BAB II KAJIAN TEORI II.1 Unsur Visual dalam Kostum Tari Kostum atau pakaian dapat dipandang sebagai segala sesuatu yang dipakai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Fungsinya tidak hanya sebagai penutup tubuh saja, melainkan melindungi tubuh dari alam sekitar. Cara penggunaan kostum mengalami perubahan sejak ajaran Islam berkembang di wilayah Indonesia, yaitu mulai ditutupnya bagian dada pada wanita. Selain untuk membedakan dengan laki-laki, juga bagian dari ajaran agama Islam yang mengharuskan bagi wanita untuk menutup tubuhnya karena dianggap aurat. Pada masa Hindu-Budha, laki-laki dan perempuan tidak menggunakan penutup tubuh, melainkan hanya menggunakan kain dan celana, ditambah dengan hiasan-hiasan berupa gelang, kalung dan selendang di pinggang. Pada umumnya bentuk busana tradisi di Indonesia adalah berbentuk busana bungkus, kutang, kaftan dan celana (Arifah A Riyanto, 2003:81). Pengelompokan dalam busana busana bungkus adalah : 1. Busana yang menutup seluruh badan, terdiri dari satu atau dua lembar dan digunakan oleh kaum bangsawan. 2. Busana penutup badan bagian bawah, dari pinggang sampai mata kaki. 3. Busana penutup tubuh bagian atas, sebagai pengganti baju atau kemben. 4. Busana bungkus sebagai penutup kepala, baik untuk kaum perempuan maupun laki-laki. Bentuk kutang adalah busana yang memiliki konstruksi yang menutupi buah dada, yaitu busana yang dipakai dengan cara dimasukan melalui kepala, baik yang memiliki lengan ataupun yang tidak berlengan. Dan bentuk kaftan adalah perkembangan dari bentuk-bentuk dasar kostum yang telah ada. Pengembangannya antara lain telah adanya belahan pada sebagian muka baju atau pada seluruh bagian muka baju, contohnya seperti kebaya. Terakhir adalah bentuk celana, yang berfungsi untuk menutup bagian kaki. Khusus pada penggunaan bentuk celana, setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, yang disesuaikan dengan kondisi alam sekitarnya. Perkembangan selanjutnya adalah saat berbagai bentuk kesenian lahir dan hingga menjadi bagian dari kehidupan manusia. Kostum menjadi salah satu unsur 14 yang digunakan untuk memberikan identitas pada kesenian ini. Kostum yang digunakan dalam sebuah kegiatan kesenian ini umumnya memiliki bentuk yang berbeda dengan kostum yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari, contoh perbedaannya adalah pemakian atribut tertentu agar tujuan dan pesan dari kesenian ini mengena pada masyarakat pendukungnya. Pola awal dari bentuk penutup tubuh penari perempuan adalah kain panjang yang dililitkan pada bagian dada, atau kini dikenal dengan nama kemben. Sedangkan laki-laki tidak menggunakan penutup tubuh. Perkembangan selanjutnya adalah mulai dikenalnya sistem menutup kain dengan jahitan. Maka teknik-teknik sederhana seperti membuat simpulan, mengikat, menyelipkan kain pada bagian lain yang selama ini digunakan, mulai bergeser menjadi bentuk yang praktis, namun fungsinya sama, yaitu menutup atau melindungi tubuh. Bentuk kostum pada kegiatan kesenian atau seni pertunjukan meliputi komponen dasar, seperti bentuk baju, ukuran panjang baju dan panjang kain atau celana yang dipakai untuk menutup kaki. Karena adanya perbedaan dari unsur dan bentuk yang dipakai, maka dapat ditelusuri pula aspek-aspek fungsi, tujuan dan cara penggunaannya. Begitu pula dengan penutup bagian kaki atau bawah. Bentuk dari penutup bagian bawah dapat terdiri beberapa teknik, ada yang dijahit, adapula yang dibiarkan terbuka, atau bentuk yang tertutup akibat diselipkan pada bagian kain yang lain atau diikatkan. Dalam lingkup tradisi, setiap bentuk yang dihasilkan oleh setiap teknik tersebut tampaknya mempengaruhi pula pada kedudukan atau status si pemakainya. Sedangkan unsur warna, meliputi keseluruhan aspek warna pada kostum, motif dan aksesoris. Warna pada suatu ornamen tidak semata untuk menambah nilai keindahan semata, melainkan memiliki kandungan lebih dan warna dapat dilihat sebagai refleksi masyarakat atau budaya setempat. Ekpresi warna masyarakat Cirebon bersifat simbolik dan mengacu pada konsep-konsep budaya lokal, seperti disesuaikan dengan simbol perwatakan, karakter serta tingkatan nafsu manusia. Pada unsur material atau bahan, aspek-aspek yang meliputi adalah material baku dari kostum dan kelengkapan yang digunakan. Pemilihan material dalam unsur kostum dan perlengkapannya dapat dikaitkan sebagai cara pandang masyarakat peladang yang menghormati segala bentuk hasil bumi. 15 II.2 Konsep Seni Rupa Tradisi Indonesia Pada dasarnya seni rupa yang berkembang pada masa sekarang bersumber dari seni rupa tradisi. Seni dalam tradisi etnik di Indonesia lebih berfungsi pada kegiatan religius dan spiritual, sehingga melahirkan simbol dan makna-makna sebagai tranformasi dari alam dan budaya yang ada di sekitarnya. Dalam kegiatan membaca makna yang ada di dalamnya maka harus dipahami pula struktur budaya, sistem religi, konsep dan nilai yang ada. Berikut adalah konsep kebudayaan pada masyarakat kuno di wilayah nusantara (Indonesia Indah, Bangsa Indonesia II, 12:1995): 1. Adanya kekerabatan yang menganut garis keturunan, baik menurut keibuan atau kebapakan. 2. Persekutuan dan kekerabatan tersebut terjalin hubungan perkawinan secara tetap, sehingga terjelma tata hubungan yang menduduki kelompok kerabat pemberi pengantin wanita lebih tinggi daripada kedudukan kelompok kerabat yang menerima pengantin wanita. 3. Seluruh kelompok kekerabatan umumnya terbagi atas dua paruh yaitu antropologis ’moiety’ yakni satu sama lain dalam hubungan saling bermusuhan atau berkawan. 4. Keanggotaan setiap individu dan bersifat ganda. 5. Pembagian masyarakat dalam dua paruh, yang artinya masyarakat yang mempengaruhi pengertian masyarakat terhadap isi semesta, saling mengisi, dalam arti serba dua yang dipertentangkan sekaligus yang dibutuhkan. 6. Sistem penilaian dalam masyarakat yang bersangkutan. 7. Susunan masyarakat yang erat hubungannya dengan sistem kepercayaan, terutama yang berkait dengan kompleksitas toteisme yang didominasi upacara - upacara keagamaan, ritual, inisiasi. 8. Sifat serba dua yang tercermin melalui susunan dewa-dewa yang ada di masyarakat, ada dewa yang baik dan ada dewa yang buruk. 9. Pengaruh dari tata susunan dewa itu juga tercermin pada tata susunan kepemimpinan masyarakat. Selain konsep, perkembangan seni tradisi memiliki pula nilai dan makna yang bersifat simbolis dan keberadaanya eksis dalam masyarakat. Nilai yang terkandung dalam karya seni tradisi selalu berdasarkan asas bahwa manusia bagian dari alam semesta, bukan bagian terpisah, ia berada dalam posisi menghadapi apa yang berada di luar 16 dirinya, sehingga nilai seni pada masyarakat pra modern selain diwujudkan dalam aspek religi, juga hadir dalam kebutuhan praktis, seperti pada pakaian, kain batik, selendang, sarung, ikat kepala, bangunan, ragam hias, dinding dan tiang rumah. Dapat disimpulkan bahwa nilai yang terkandung dalam dalam kegiatan seni rupa tradisi selalu berkait dengan simbol religi, contohnya dalam kegiatan seni ragam hias tradisi Indonesia di masa kuno, selain memiliki makna simbolis juga mengandung nilai ekologi alam, walaupun maknanya akan berbeda pada setiap wilayah. Dari aspek visual seni rupa tradisi Indonesiayang ditemukan pada masa kuno terdiri dari ornamen yang sederhana, namun kandungan simbolisnya ternyata sangat kompleks. While clothing is structurally simple, the graphic language of design motif founds in Indonesia is especially complex. ..these motif-single and interlocking spirals, hooks and triangles as well as stylized antropomorphic figures associated with ancestor veneration..The tumpal motif is associated with the sacred mountain –the abode of the Gods and ancestor, where one undergoes. (Suwati Kartiwa, Fabled and Cloths, Icons of Art, Nasional Museum Jakarta, 2006:169). (Walaupun strukturnya terlihat sederhana namunn makna yang terkandung didalamnya sangat kompleks, diantaranya motif tunggal dan motif spiral yang saling berkaitan, menyudut dan segitiga, membentuk figur yang diasosiasikan sebagai sosok nenek moyang. Motif tumpal diasosiasikan sebagai puncak gunung yang keramat, Tuhan dan nenek moyang). Seni hias masa prasejarah akhirnya menjadi dasar dari perkembangan seni hias di masa Hindu-Budha dan Islam di Indonesia. Kecenderungan yang ada dalam seni hias Indonesia adalah adanya komposisi yang memperlihatkan bidang hiasan yang mewah, sesuai dengan lingkungan budaya agraris, dilakukannya stilasi bentuk pada objek flora, fauna yang berkesan dekoratif dan mistis, serta menampilkan perlambangan yang bersifat religi magis dan kosmis. II.3 Penggunaan Simbol dalam Seni Tradisi di Indonesia Setiap budaya memiliki ekspresi simbol yang berbeda, hal ini tentunya berkaitan pada cara pandang serta lingkungan yang berada di sekelilingnya. Simbol 17 yang dimaksud dalam pembahasan di sini adalah simbol dan lambang yang mengekspresikan ide-ide, yang berlandaskan pada kepercayaan, mitologi yang sifatnya mistis dan religi. Namun pada intinya tetap mengacu pada nilai kesatuan yang bersifat paradoks atau oposisi binner, seperti perempuan-lelaki, langit-bumi, bulan-matahari dan hulu-hilir. Konsep ini mengacu pada kosmologi tiga dunia atau triloka, yang berasal dari paham Jawa-kuno pada masa Hindu. Atas Tengah Bawah Bagan II.1 Pola Pembagian Tiga Dunia atau Triloka (Sumber : dari berbagai sumber) Pembacaan terhadap karya seni pada masa pramodern lebih terfokus pada sistem religi atau budaya mistis spiritual, sehingga lahir konsep pembagian semesta yang mengandung empat arah mata angin, dan setiap arah mata angin memiliki pula unsur warna dan elemen-elemen pembentuk bumi. Bagan II.2 Pola Pembagian Arah dan Unsur Warna (Sumber : Jakob Soemardjo, 2006) 18 II.3.1 Penggunaan Simbol dalam Motif Dalam seni pramodern, manusia adalah bagian dari alam dan berada dalam susunan metakosmos alam semesta, tidak ada dualisme antara objek dengan subjek, dan bersifat total-holistik. Dalam masyarakat Jawa, konsep tersebut disebut kiblat papat lima pancer yang diwakili oleh empat arah mata angin, yaitu Utara-Selatan, Timur-Barat, sedangkan yang berada di tengah adalah pusat dari segala nilai, dimana semua unsur yang bertentangan terdapat di dalamnya. Konsep ini ternyata kaitannya dengan nilai ajaran budaya Hindu, yang menjadi agama pertama di wilayah Nusantara sebelum Islam masuk. Dalam kosmologi Hindu hubungan ketiga elemen tersebut digambarkan dengan puncak gunung Meru, yang melambangkan tanah atau disebut juga bumi, hal ini terlihat dalam bentuk bangunan maupun pada pola ragam hias (Anne Ritcher, 1993:25). Pada umumnya ornamen dan ragam hias yang digunakan dalam karya seni tradisi Indonesia memiliki nilai yang akan terlihat bila mengandung unsur yang saling bertentangan namun saling melengkapi atau bersifat paradoks. Tabel II.1 Pola Kosmologi pada Motif Kain Motif Kawung Kain Simbut Motif Parang (Sumber : Jakob Soemardjo, 2006 dan Batik from the North Coast of Java) Tinjauan mengenai pola ragam hias yang banyak ditemukan di Indonesia, pada umumnya adalah corak titik-titik, lingkaran, ragamnya linear dan geometris, dari pola-pola tersebut, kita dapat melihat sebuah konsep kosmologi pembagian alam semesta. 19 Dalam seni ragam hias Indonesia, motif yang dibuat pada sebuah batik pada umumnya terdiri dari dua unsur, yang pertama disebut ornamen motif batik, yang kedua adalah isen motif batik. Motif utama dianggap memiliki jiwa, sedangkan isen bersifat pengisi bidang, bentuknya berupa titik, garis dan gabungannya. Ornamen-ornamen tersebut dianggap mengandung paham kesaktian serta menggambarkan bahwa hidup manusia itu dikuasai oleh kekuasaan tertinggi atau penguasa jagad, dan hidup itu berasal dari empat unsur, yaitu bumi, tanah, api, air dan angin. Keempat unsur tersebut dianggap mampu memberikan watak dasar pada hidup manusia, yaitu angkara murka, candala, dusta dan adil suci.(Sewan Susanto, 1973:212) Bentuk-bentuk yang digambarkan pada motif-motif ragam hias, pada umumnya adalah stilasi dari binatang, tumbuhan serta unsur-unsur yang ada di alam, di antaranya : burung melambangkan dunia atas, pohon melambangkan dunia tengah dan ular melambangkan dunia bawah, maksud dari gambaran tersebut adalah manusia itu hidup tidak kekal dan berada di dunia tengah atau madya pada. Bila pengendalian hidupnya salah maka akan masuk dunia bawah atau lembah kesengsaraan, bila pengendalian hidupnya mencapai kebenaran, maka akan masuk dunia atas atau kemuliaan abadi. Makna keseluruhannya adalah, hidup itu tidak gampang dan gawat, sengsara atau mulia adalah tergantung dari perbuatan dan pengendalian hidup manusia itu sendiri. Tabel II.2 Motif sebagai Lambang Dunia Atas – Dunia Tengah dan Dunia Bawah Dunia Atas Dunia Tengah Dunia Bawah Burung Pohon Ular atau Naga (Sumber : Van Der Hoop, 1949) 20 Tabel II.3 Beberapa Makna pada Ornamen Tradisi di Indonesia Penjelmaan dewa Jelmaan dari arwah nenek moyang Kesatuan yang totaliter. Berdirinya satu kesatuan yang meliputi dunia atas dengan dunia bawah. Ke-Esaan yang tertinggi Lambang dunia perempuan Benua bawah dan air Identik dengan ‘bumi’ Tanah yang subur atau kesuburan (Sumber : Van Der Hoop, 1949) Sedangkan konsep seni yang dianut oleh masyarakat Cirebon sebenarnya memiliki gabungan antara nilai Hindu, Budha dan Islam, sehingga bentuk dan ekspresi yang dihasilkan menjadi kaya, karena melebur menjadi suatu identitas lokal yang sangat kaya dan khas. Hasil peleburan berbagai nilai budaya terlihat dalam setiap aspek kegiatan seni, baik seni pertunjukan, ragam hias, seni rupa dan lainnya. Masuknya kebudayaan Islam di wilayah Cirebon, setidaknya turut mewarnai pula pada keragaman kebudayaan yang ada di wilayah ini. Disebutkan bahwa kebudayaan Islam bersikap sangat toleran terhadap hasil-hasil kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Contoh yang paling memperlihatkan beragam nilai tersebut diantaranya Paksi Naga Liman, Paksi adalah sosok binatang mitologi gubahan dari burung phoenix, yang berkait dengan lambang kerajaan, Naga yang berbentuk ular selalu dikaitkan dengan simbol kehidupan, dan Liman adalah gajah yang menyimbolkan kekuatan dan kecerdikan. Kekuatan yang dimiliki oleh binatang mitologi tersebut adalah simbol yang tertera dalam ajaran Hindu. Sikap toleransi yang lain juga terlihat pada motif Mega Mendung, yang dianggap oleh Sunan Gunung Jati sebagai motif yang memperlihatkan Pusar Bumi, atau sebagai sebuah lubang yang berada di wilayah yang dianggap keramat oleh masyarakat Cirebon, yaitu puncak Gunung Jati. Pada ornamen ragam hias Cirebon, banyak pula ditemukan unsur-unsur serapan dalam visualisasinya. Letak daerah Cirebon sebagai wilayah terbuka memungkinkan terjadinya percampuran budaya dari berbagai aktifitas, diantaranya 21 kegiatan niaga yang dimulai sejak jaman kerajaan pra-Hindu, Hindu-Budha, serta pedagang-pedagang Islam dari kerajaan lain di wilayah Barat Nusantara, Asia Kecil, Cina dan India. Gaya dan ornamen yang ada di Cirebon atau Indramayu, sebenarnya berasal dari daerah Lasem. Menurut dugaan, mayoritas penduduknya adalah orang Cina, karena pada batik Laseman terdapat beberapa ornamen dan motif Cina seperti gulungan, prasasti, bunga mawar peoni, burung phoenix, singa dan lainnya. Dan gaya menghias seperti ini ternyata ditemukan hampir di sepanjang pesisir Cirebon, sehingga ornamen - ornamen seperti ini disebut dengan gaya pesisiran (Cerbon, 1982:130). Seiring dengan pesatnya kerajaan Islam, maka mulai berubah pula nilai estetika yang diterapkan pada sebuah ornamen. Simbol-simbol akhirnya dihilangkan, seiring dengan konsep Islam yang tidak membenarkan adanya gambaran yang sifatnya realistis, maka terciptalah motif-motif baru seperti medalion, arabesk motif kembang-kembangan, wajik, kaligrafi, serta stilasi dari mahluk-mahluk hidup yang disembunyikan dalam huruf Arab. Periode berikutnya adalah perkembangan dari masa Islam ke masa meluasnya kerajaan lain di wilayah Cirebon, seperti kerajaan Mataram, sehingga ditemukan pula motif garuda. Namun yang menjadi ciri khas dalam ornamen Cirebon adalah guratan yang kuat dan berani, tidak simetris, dekoratif, tersusun horisontal, terbagi tiga lajur, yaitu bagian atas-tengah-bawah, menggambarkan suatu yang nyata, pemandangan alam dan mitologi setempat, serta dasar warna kuning gading, coklat soga dan biru indigo atau tarum. (Indonesia Indah, seri Batik Indonesia,1990: 100) Selain itu apa yang tergambarkan pada motif dan ornamen tersebut, mayoritas adalah refleksi dari alam yang ada di sekitar mereka, dan umumnya adalah jenis tumbuh-tumbuhan, bunga dan hewan mitologi, yang selama ini mereka percayai memiliki kekuatan magis 22 Gambar II.1 Kereta Paksi Naga Liman di Keraton Kacirebonan-Cirebon (Sumber : fastcounter.bcentral.com) II.3.2 Penggunaan Simbol dalam Warna Dalam seni tradisi di Indonesia, susunan warna memiliki pula karakter tersendiri, contohnya di Bali yang memiliki falsafah warna Panca Maha Butha berdasarkan ajaran Hindu dengan konsep air, api, udara, tanah dan angkasa. Sedangkan di masyarakat Jawa, pembagian warna dikaitkan pula dengan estetika keraton, yang detail dan memiliki susunan warna yang agung, serta dikaitkan pula dengan ajaran kejawen ‘papat pancer sadulur limo’ yang mengadopsi empat arah mata angin dan memiliki pusat atau pancer. Unsur warna tersebut diwakili oleh elemen besi, perak, perunggu dan emas. Pembagian berdasarkan empat arah mata angin ini juga dikenal oleh masyarakat Sunda sebagai ’nu opat kalima pancer’ yang melambangkan alam manusia ’buana panca tengah’, yang mengandung arti sifat-sifat manusia. Berkaitan dengan seni pertunjukan, warna ikut menentukan wanda dalam seni topeng, dan hal ini berkait dengan nilai budaya yang ada dalam masyarakat Cirebon sendiri dalam memandang alam di sekitarnya. Nilai simbolik tersebut lahir sebagai suatu ungkapan atas hubungan batin antara masyarakat Cirebon dengan alam lingkungan, kepercayaan serta adat istiadat (Usep Kustiawan,1996:291). Di wilayah Cirebon, warna seringkali dimaknai simbolik sesuai dengan tokoh- tokoh yang dibuatnya. Bagi masyarakat Cirebon, warna terkadang mewakili tingkah laku secara simbolik, selain itu mereka juga lebih mengutamakan sifat dari warna tersebut daripada bentuk itu sendiri. Cara pandang masyarakat Cirebon yang 23 mengaitkan warna dan tingkah laku secara simbolik dianggap sebuah sikap yang mendua, hal ini dimungkinkan karena adanya pengaruh dari agama-agama besar yang pernah berkembang di Indonesia yang masuk sebelum Islam masuk. Dampak dari pengaruh-pengaruh tersebut terkadang menimbulkan tumpang tindih terhadap suatu pemaknaan, sehingga makna-makna yang terkandung di dalamnya terkesan ambigu atau memiliki makna ganda. Hal ini dapat ditemukan pada aspek beberapa aspek warna dan struktur pada karya-karya seni di wilayah Cirebon, contohnya adalah pemaknaan pada warna hitam yang memiliki dua pemaknaan dan mengandung dua unsur simbolik, yaitu simbol negatif yang berkaitan dengan kejahatan, mistis, sedangkan makna lainnya adalah unsur positif, yang mewakili sifat kuat, kokoh, formal dan terstruktur. Dalam kegiatan seni pertunjukan, simbol-simbol tersebut akan terbaca jika ditampilkan secara utuh, karena di dalamnya terdapat unsur rupa, unsur gerak, unsur suara dan unsur cerita. Sedangkan dalam seni tari topeng, hubungan unsur warna dengan karakter disebut wanda. Pengertian wanda pada topeng bukan saja meliputi raut, melainkan mengandung arti yang menyeluruh, yang menunjukan suasana hati, keadaan jasmani dan keadaan lingkungan (Jajang Suryaman,1995:97). II.3.3 Penggunaan Simbol dalam Kostum Tradisi di Indonesia Pada tahap awal, manusia menggunakan lambang-lambang yang diberinya makna, sehingga ia dapat menyampaikan pemikirannya dan pengetahuannya dengan sesamanya. Kemampuan manusia dalam menggunakan perlambangan tersebut adalah bentuk penyesuaian yang menghasilkan ciri non ragawi yang membedakan dirinya dengan makhluk primata lainnya. Berkait dengan kemampuan manusia dalam mengembangkan akal dan budinya tersebut, maka manusia pun menciptakan beberapa pelengkap untuk mendukung kehidupannya, termasuk pada wilayah kesenian. Secara definitif busana Istilah busana sendiri diambil dari bahasa Sansekerta ‘Bhusana’ yang artinya perhiasan (Arifah A Riyanto, 2003 : 1), yang dipakai untuk menutup tubuh secara fisik etik dan estetik memiliki makna dan tujuan simbolis sesuai dengan nilai dan alam sosial budayanya. Penggunaan pakaian bagi masyarakat Indonesia telah ada sejak jaman prasejarah, yaitu pasca masa neolithikum, yang disebut juga masa revolusi kebudayaan (Soekmono,1973:55). Terlebih dengan ditemukannya alat pemukul kulit 24 kayu dan kepandaian menenun serat alam yang menunjukan bahwa pada masa tersebut pakaian telah dikenakan dan terbuat dari kulit kayu. Selain pemakaian kulit kayu para arkeolog juga menemukan batu manikmanik serta cap berupa ukiran garis dan motif-motif serta pewarna alam pada anyaman bambu dan kerang yang diduga sebagai pelengkap dalam cara berpakaian nenek moyang kita, yang disebut fuya atau tapa. Hal ini sebagai bukti yang menunjukan telah adanya pertimbangan estetis pada busana mereka. Perkembangan tentang cara berpakaian tampaknya semakin pesat pada masa Logam. Pada masa ini ditemukan barang perhiasan seperti gelang, binggel atau gelang kaki, anting, kalung dan cincin. Perkembangan pemakaian pakaian semakin berkembang saat kebudayaan Hindu yang datang dari India, masuk pada wilayah Indonesia. Pada masa ini perkembangan pakaian memasuki masa dikenakannya perangkat tambahan seperti aksesori, kain panjang dan mahkota. Dalam piagam tembaga Kebantenan yang ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), tertulis : ’Nihan Sasakala Rahyang Niskala Wastu Kancana pun turun ka Ranghyang Ningrat Kancana , maka ngunika Susuhan ayeuna di Pakwan Pajajaran pun. Mulah mo mihalpe dayeuhna di Jayagiri deung dayuehna sunda Sembawa. Aya manu ngahayuan inya, ulah deuk ngaheuryanan inya ku nu dasa calagara, kapas,tambang pare dongdang......’ Artinya : ’inilah peringatan dari Ranghayang Niskala Wastu Kancana yang turun pada Rahyang Ningrat Kancana, demikian pula kepada Susuhan yang sekarang ada di Pakuan Pajajaran. Titiplah ibukota di jayagiri dan ibukota Sunda Sembawa. Di sana ada orang yang memberi kesejahteraan kepada penduduk. Jangan diganggu oleh pemungut pajak, baik kapas yang telah ditimbang maupun padi yang dipikul dongdang.....” Selain itu bukti arkeologis membuktikan adanya peninggalan perhiasan di sejumlah daerah, yang diduga dihasilkan pada masa perundagian, berupa kulit kerang, akik sampai emas, walaupun fungsinya dapat juga sebagai alat penukar jual beli dan sebagai pusaka (dalam Indonesia Indah, seri Busana Tradisional, 1997 : 8) 25 Pencapaian busana sebagai alat penambah nilai estetika dimulai pada masa kerajaan, karena pada masa ini, busana yang dikenakan berfungsi sebagai penunjukan derajat atau kasta golongan tertentu. Dalam masyarakat kuno, sebenarnya tiap budaya hanya dapat bersumber pada raja, dan hanya istana terpancar sinar-sinar yang mampu mempercantik dunia. Dahuku sastra dan seni rupa hanya dapat terwujud di istana, serta lingkungan raja dan wakil-wakilnya yang mencerminkan kecemerlangan baginda menurut tempat masing-masing pada lingkaran kosentris yang berpusatkan pada raja. (Lombard, 1996:176) Hal ini terlihat jelas dalam relief yang didapati pada candi-candi peninggalan masa Hindu dan Budha, dimana penempatan kasta pada agama Hindu setidaknya telah mengatur cara berpakaian dari masyarakatnya, karena sangat jelas penggambaran antara para pembesar yaitu raja dan kalangan pejabat istana, dengan orang yang berada di kasta terendah, selain itu penunjukan juga diperlihatkan pada penggunaan aksesoris, sehingga memperjelas kedudukan dari para pemakainya. Gambar II.2 Arca Wishnu di Candi Banon, Jawa Tengah Gambar II.3 Arca Sanjaya (sumber : Icons of Art, National Museum Jakarta dan Indonesian Heritage, Ancient History) Dari cara berpakaian yang terlihat pada kedua arca di atas, ternyata simbol kostum yang dikenakan kaum bangsawan terlihat lebih banyak aksesoris, dan kain panjang sebagai penutup bagian kaki bawah. Ternyata ciri inilah yang membedakannya antara kaum bangsawan dengan kaum rakyat biasa, kaum bangsawan pada umumnya mengenakan kain panjang dan berhias aksesori, sedangkan rakyat biasa menggunakan kain pendek dan tidak menggunakan aksesoris. 26 Dalam sebuah pertunjukan tari, ada beberapa kelengkapan kostum yang harus digunakan oleh para penari tersebut, seperti kain penutup tubuh bagian atas, penutup bagiuan kaki, kain yang berfungsi sebagai hiasan, serta aksesoris pada bagian tubuh seperti pada bagian kepala, leher, lengan, badan dan kaki. Walaupun ragam dari jenis tarian yang tersebar di Indonesia sangat banyak, namun ada beberapa unsur yang selalu tampak digunakan, di antaranya adalah kain sebagai penutup kaki dan hiasan kepala. Pada masa kerajaan Hindu dan Budha, kaum perempuan tidak mengenakan penutup tubuh bagian atas, namun terlihat berkain panjang pada bagian kakinya. Kelengkapan lainnya adalah dikenakannya hiasan yang tersebar pada bagian kepala dan bagian tubuh lainnya, seperti pinggang, tangan dan kaki. Selain kain, ternyata ada kelengkapan kain lain yang ukuran lebih kecil yaitu selendang, yang di ikat pada bagian pinggang, berikut gambaran secara umum kelengkapan kostum yang dikenakan di lingkungan kerajaan : 27 Makuta Jamang Sumping Kalung Kelat Bahu Kain diikat pada bagian pinggang. Gelang Sampur Celana Kain Gelang Kaki Gambar II.4 Rekontruksi Kostum Tari di Kerajaan (sumber : Indonesian Heritage, digambar ulang oleh penulis) Sedangkan dalam kostum yang digunakan oleh penari dari kalangan rakyat biasa, kostum yang digunakan terlihat lebih sederhana dan tidak menggunakan beragam aksesoris. Berikut adalah gambaran kostum tari rakyat : 28 Rambut di gelung belakang Kain diikatkan di pinggang Celana Kain Gambar II.5 Rekonstruksi Kostum Tari Rakyat (Sumber : Edy Sedyawati, 1981, digambar ulang oleh penulis) Semua kelengkapan yang digunakan adalah sebuah simbol. Penggunaan kain panjang adalah simbol suatu kedudukan bagi kaum bangsawan, sedangkan masyarakat jelata disimbolkan dengan penggunaan kain yang sederhana dan pendek. 29 II.3.4 Penggunaan Simbol dalam Bentuk dan Material Kostum Dalam seni tradisi setiap unsur yang digunakan dalam pembentukannya selalu memiliki simbol dan kedudukannya tidak berdiri sendiri. Simbol yang digunakan dalam seni tradisi bertolak dari wujud yang dikenali dan mengacu pada wilayah yang tidak dikenali, serta bentuk adalah tranformasi dari budaya dan kondisi alam sekitar. Dan setiap bentuk dalam karya tradisi memiliki pula asas makrokosmos dan mikrokosmos sekaligus menjadi metakosmos atau simbol dari alam yang tak nampak (Jakob Sumardjo, 200:53). Asas yang terkadung dalam suatu bentuk mengacu pada perlambangan dunia perempuan atau laki-laki, contohnya bentuk-bentuk yang membulat, basah, berlubang, diidentikan sebagai alam perempuan atau yoni, sedangkan pada bentuk yang bersifat memanjang, lurus, mampat, kering, identik sebagai bentuk yang berasas laki-laki atau lingga. Sifat terbuka adalah laki-laki, dan yang tertutup adalah perempuan, contohnya pada keris, mata keris berasas laki-laki dan sarung bersifat perempuan dan lainnya. Pada masa Islam, pengaruh terhadap cara berpakaian melayu menghasilkan simbol sebagai berikut : bentuk terbuka untuk laki-laki dan tertutup untuk perempuan, sedangkan pada masa Hindu-Budha, baju atau penutup dada tidak menjadi bagian dari kebudayaan, karena baik laki-laki maupun perempuan tidak menggunakan penutup badan, melainkan hanya menggunakan kain sebagai penutup bagian bawah. Pola hidup masyarakat Cirebon adalah masyarakat peladang, pada umumnya simbol-simbol yang diambil adalah suatu bentuk penghargaan pada alam di sekitarnya. Hal ini menggambarkan bentuk hubungan manusia dengan alamnya. Kehidupan di alam akan berjalan dengan baik bila ada perkawinan dari alam atas yaitu langit dan alam bawah yaitu tanah, dan manusia adalah perantara untuk menghadirkan perkawinan tersebut. Caranya adalah dengan menggunakan unsurunsur yang bersumber dari alam sebagai simbol dari perkawinan tersebut. Hal ini tersirat pula dalam seni topeng yang digunakan sebagai upacara untuk menghadirkan alam atas yaitu mahluk ghaib pada alam bumi, yaitu diantara manusia, untuk mencari nilai yang membawa berkah. Contohnya adalah saat pementasan berlangsung, penari topeng tetap menggunakan kelengkapan dalam utama dalam tarian tersebut, yaitu topeng dan sobrah. Pada masa awal terbentuknya kesenian ini, kayu yang dipakai untuk topeng pun tidak sembarangan, melainkan berasal dari kayu yang khusus yaitu katu dari pohon tertentu (Pigeaud,1938:647). Untuk sobrah material rambut yang 30 digunakan pada umumnya berasal dari rambut penarinya sendiri, begitupula pada sumping, yang pada masa awalnya dibuat dari biji hanjeli atau pelepah pisang, yang disebut kararas. Penggunaan unsur-unsur dari alam terlihat juga dalam tempat yang digunakan untuk para penari, biasanya selalu menggunakan bangunan sementara, yang disebut tarub atau terop , yaitu bangunan sementara yang dibuat oleh seseorang saat menyelenggarakan hajatan. Bangunan tersebut dihiasi unsur-unsur alam, seperti janur, bambu, tandan pisang, kasang dan dedaunan, serta lantai yang terbuat dari anyaman bambu atau tikar (Sal Murgiyanto dan A.M Munardi, 1978/1980:21). Penggunaan material yang terdapat di alam ini berkaitan pula dengan cara pandang masyarakat agraris yang tidak terlepas dari hasil bumi atau hasil alam yang ada di sekitarnya, begitu pula pada bentuk-bentuk dan simbol-simbol yang digunakan dalam kesenian ini. 31