BAB I. PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang
Keterampilan komunikasi efektif merupakan salah satu kompetensi yang
mendapat sorotan dalam pelayanan kesehatan. Keterampilan ini dinilai sangat
penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan pendekatan patient
centered. Komunikasi dalam bentuk verbal dan nonverbal yang baik tidak hanya
memberikan pemahaman pasien mengenai penyakitnya, tetapi juga memberikan
kepuasan pasien terhadap perawatan yang dilakukan. Hal ini tentunya dapat
mempengaruhi kualitas hubungan dokter-pasien dan meningkatkan efektivitas
terapi pasien (Al-Mohaimeed et al., 2013; Hawken et al., 2012; Barnett et al.,
2007).
Salah satu bentuk komunikasi yang sering menimbulkan keluhan dari pasien
atau keluarganya adalah komunikasi yang terjadi ketika pasien dalam keadaan
buruk, seperti dalam kondisi kritis, menderita penyakit terminal atau pasangan
muda yang mengalami infertilitas. Kasus-kasus tersebut banyak dihadapi dalam
praktik, namun cara menyampaikannya kepada pasien masih tetap menjadi
masalah bagi dokter. Pasien mengharapkan informasi yang jelas mengenai
penyakitnya, namun tidak jarang seorang dokter berupaya menghindar. Kualitas
dan kuantitas diskusi dokter-pasien dalam situasi tersebut dinilai sangat kurang.
Hal ini menjadi isu penting karena memberikan informasi mengenai kondisi yang
buruk tersebut kepada pasien atau keluarganya adalah tugas dan tanggung jawab
seorang dokter (Clayton et al., 2012; Payan et al., 2009).
Informasi mengenai penyakit, termasuk kondisi yang buruk adalah hak
pasien. Hal ini terkait dengan otonomi seseorang untuk mengetahui dan
menentukan nasibnya sendiri. Dengan informasi tersebut, pasien dapat
mempertimbangkan langkah selanjutnya, baik terkait dengan penatalaksanaan
penyakit maupun terkait dengan kehidupan pribadinya. Harapan pasien terhadap
proses penyampaian berita buruk bervariasi. Sebuah penelitian di Iran
menunjukkan bahwa 93% pasien yang menderita penyakit kanker ingin
mengetahui penyakitnya dan sebanyak 75,5% pasien ingin menjadi orang pertama
1
2
yang mengetahui penyakitnya (Arbabi, 2014). Sebuah penelitian di Arab Saudi
menemukan bahwa hanya 16% pasien kanker yang memperoleh informasi
mengenai penyakitnya dari dokter sedangkan pada 69% kasus lainnya, dokter
lebih memilih menyampaikan berita buruk tersebut kepada keluarganya (AlMohaimeed et al., 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Puspito (2012) mengenai pengalaman dan
harapan pasien penderita karsinoma nasofaring mengenai proses penyampaian
berita buruk di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo menunjukkan hasil yang tidak
jauh berbeda. Sebanyak 90% pasien berharap memperoleh informasi yang jelas
dan rinci mengenai penyakit yang dideritanya, sementara 10% lainnya ingin
mengetahui penyakitnya, namun tidak ingin memperoleh informasi yang rinci
karena merasa takut dengan kenyataan yang harus dihadapi jika ternyata
keadaannya buruk. Meskipun demikian, 30% pasien menginginkan agar dokter
menyampaikan berita buruk kepada keluarga terlebih dahulu dengan harapan
keluarganya akan memberitahu pasien. Sementara 50% lainnya memilih
menerima informasi dengan ditemani keluarganya.
Menyampaikan berita buruk dinilai sebagai salah satu tugas yang paling
kompleks dan dianggap sulit oleh para dokter praktik. Seorang dokter tidak hanya
bertugas menyampaikan berita yang buruk, tetapi juga mengelola emosi pribadi
dan pasiennya selama proses komunikasi berlangsung. Seorang dokter sering
menjadi emosional ketika menghadapi reaksi pasien dan merasa bersalah karena
tidak dapat memenuhi harapan pasien. Proses tersebut dapat membawa dokter dan
pasien atau keluarganya ke dalam situasi yang menyedihkan dan sering menjadi
pengalaman emosional yang buruk (Rosenbaum et al., 2004; Barnett et al., 2007;
Arnold et al. 2006).
Kompleksitas menyampaikan berita buruk dapat membuat seorang dokter
merasa cemas bahkan dapat menimbulkan efek fisiologis. Proses ini diketahui
dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Kecemasan yang
dirasakan sering terkait dengan ketidaknyamanan dalam menghadapi reaksi pasien
atau keluarganya yang timbul selama proses berlangsung (Hulsman et al., 2010).
Buckman (1984) menyebutkan bahwa menyampaikan berita buruk dinilai sulit
3
karena dokter merasa tidak terlatih dengan baik, tidak mengetahui cara
menampilkan bahasa tubuh dan tutur kata yang tepat, bingung dalam menghadapi
emosi pasien, tidak dapat menjawab pertanyaan pasien, takut disalahkan atas
berita buruk yang disampaikan serta ketakutan pribadi mengenai penyakit dan
kematian (Buckman, 1984; Payan et al., 2009). Kesulitan lain yang sering
dihadapi oleh dokter praktik dalam menyampaikan berita buruk adalah tingkat
pengetahuan dan pendidikan pasien yang rendah serta keterbatasan waktu dan
dukungan dari rekan kerja yang terlibat dalam perawatan pasien (Castel et al.,
2008; Claramita et al., 2010). Sebuah penelitian yang dilakukan di RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto menunjukkan bahwa menyampaikan berita
buruk masih menjadi dilema bagi para dokter sehingga sebagian dari mereka
mengalihkan tugas tersebut kepada perawat (Muhaimin et al., 2010).
Tidak ada standar baku cara menyampaikan berita buruk pada setiap negara.
Status emosi pasien dan persepsi dokter merupakan faktor krusial yang
menentukan berlangsungnya proses penyampaian berita buruk. Kehidupan sosial
dan budaya setempat juga tampaknya sangat berpengaruh terhadap perilaku dokter
dalam menyampaikan berita buruk. Perbedaan tersebut mempengaruhi perilaku
dokter dalam menyampaikan berita buruk, seperti pilihan dokter akan bersikap
jujur atau menutupi kondisi pasien yang sebenarnya, orang yang diberitahukan
dokter tentang kondisi pasien untuk pertama kali, waktu informasi diberikan
kepada pasien atau keluarganya dan proses penyampaian informasi berlangsung
(Mystakidou et al., 2004; Cerimagic, 2013).
Para dokter praktik di Amerika Serikat memilih untuk bersikap jujur dalam
mendiskusikan penyakit yang diderita pasien. Sementara itu kebanyakan dokter di
negara Asia, Amerika Tengah dan Selatan serta Eropa Timur berpendapat bahwa
menyembunyikan lebih baik daripada menyampaikan berita buruk. Dokter praktik
di Arab Saudi memilih untuk membicarakan penyakit pasien dengan keluarganya
saja. Sekitar 84% dokter di Singapura menyetujui keinginan keluarga pasien agar
tidak memberitahukan penyakit kepada pasien. Hal serupa terjadi di Jepang. Para
dokter cenderung mengikuti keinginan keluarga pasien, bahwa dokter perlu
4
menyampaikan atau tidak perlu menyampaikan penyakit kepada pasien yang
bersangkutan (Mystakidou et al., 2004; Cerimagic, 2013).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian pasien tidak
memahami kondisi buruk yang dialaminya. Berdasarkan penelitian Arbabi (2014),
82% pasien menyatakan dirinya telah mengetahui diagnosis penyakitnya, namun
hanya 60% pasien yang memperoleh informasi yang akurat. Penelitian serupa
pernah dilakukan di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Berdasarkan
pengalaman pasien karsinoma nasofaring, 30% pasien tidak memperoleh
informasi tentang penyakitnya. Sebanyak 70% pasien lainnya mengetahui
diagnosis penyakit yang dideritanya, namun hanya 30% di antaranya yang
memperoleh informasi akurat. Pasien yang dapat menjelaskan proses pengobatan
dan efek samping obat berjumlah 60% sementara 40% lainnya tidak mengetahui
pengobatan yang harus dijalani (Puspito, 2012).
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menyampaikan berita buruk
menjadi tantangan tersendiri bagi para dokter untuk senantiasa meningkatkan
kemampuannya
dalam
keterampilan
komunikasi.
Penting
dan
sulitnya
keterampilan menyampaikan berita buruk dalam praktik telah disadari oleh semua
pihak, termasuk pemerhati pendidikan di Indonesia. Keterampilan ini harus
dikuasai oleh setiap dokter, baik pada perawatan paliatif, kegawatdaruratan
maupun pelayanan primer. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun
2012 yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia telah mencantumkan
keterampilan menyampaikan berita buruk dalam area kompetensi komunikasi
efektif.
Hanya ada sedikit bukti bahwa pengalaman praktik akan mempermudah
seorang dokter untuk menyampaikan berita buruk. Seorang dokter tidak hanya
membutuhkan pengalaman, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan yang
memadai. Ia memerlukan pelatihan atau strategi tertentu untuk dapat
menyampaikan berita buruk dengan baik. Pelatihan komunikasi berkelanjutan
tampaknya menjadi kebutuhan yang cukup penting bagi seorang dokter dalam
menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan yang tepat
5
menjadi satu kunci penting dalam mengembangkan kemampuan menyampaikan
berita buruk (Payan et al., 2009; Barnett et al., 2007).
Upaya mengembangkan pelatihan yang baik terdiri dari beberapa langkah
yang berkesinambungan meliputi identifikasi masalah, analisis kebutuhan peserta,
penentuan tujuan, penyusunan strategi, implementasi dan evaluasi pelatihan (Kern
et al., 2009). Langkah pertama dalam mengembangkan pelatihan menyampaikan
berita buruk adalah mengidentifikasi masalah yang dihadapi oleh dokter dalam
praktik dan menentukan kebutuhan agar dapat menyampaikan berita buruk dengan
baik. Informasi tersebut dapat diperoleh dari studi literatur maupun studi
lapangan. Literatur mengenai proses penyampaian berita buruk dapat ditemukan
dengan mudah karena penelitian mengenai topik ini banyak dikembangkan di
negara-negara maju sejak tahun 80-an. Sayangnya, publikasi mengenai proses
penyampaian berita buruk dalam konteks sosial dan budaya Indonesia tidak
banyak ditemukan. Di Indonesia juga belum dikembangkan panduan nasional
mengenai teknik menyampaikan berita buruk yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Beberapa rekomendasi dan
panduan yang digunakan untuk menyampaikan berita buruk, lebih banyak
dikembangkan dengan latar belakang sosial budaya barat (Buckman, 1984; Baile
et al., 2000). Acuan yang mungkin dapat digunakan adalah Manual Komunikasi
Efektif Dokter-pasien yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, namun
tidak ada panduan yang spesifik untuk menyampaikan berita buruk (KKI, 2006).
Budaya berpengaruh terhadap pemahaman mengenai penyakit, penderitaan
dan kematian. Budaya juga mempengaruhi pemahaman mengenai prinsip-prinsip
otonomi dan kebaikan. Oleh karena itu, budaya mempunyai pengaruh besar
terhadap pola komunikasi, termasuk komunikasi dokter-pasien yang terkait
dengan penyampaian berita buruk (Kagawa-Singer et al., 2001). Panduan dari
beberapa negara dengan latar belakang sosial budaya barat belum tentu dapat
digunakan dengan baik di Indonesia. Untuk dapat mengembangkan pelatihan yang
sesuai, perlu dilakukan studi lapangan yang komprehensif sebagai salah satu
pelengkap analisis kebutuhan. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah
6
eksplorasi mengenai proses penyampaian berita buruk dengan latar belakang
budaya setempat baik dari perspektif pasien maupun dokter.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, peneliti ingin mengeksplorasi
pengalaman dokter praktik dalam menyampaikan berita buruk, meliputi cara
proses tersebut berlangsung, bagian-bagian yang dapat dilakukan dengan baik
maupun yang masih memerlukan perbaikan,
kesulitan yang dihadapi, cara
mengatasinya dan segala sesuatu yang dibutuhkan agar proses penyampaian berita
buruk dapat berlangsung dengan baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai masalah dan kebutuhan dokter praktik dalam
menyampaikan berita buruk kepada pasien atau keluarganya, sehingga dapat
menjadi rekomendasi bagi pengembangan pelatihan yang tepat dan sesuai dengan
latar belakang budaya setempat.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, rumusan masalah
penelitian ini ditekankan pada permasalahan dan kebutuhan dokter praktik dalam
menyampaikan berita buruk sebagai salah satu bagian penting dalam upaya
pengembangan pelatihan menyampaikan berita buruk.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
dokter praktik dalam menyampaikan berita buruk dengan latar belakang budaya
setempat (Banyumas). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi
bagi pengembangan pelatihan menyampaikan berita buruk dalam pendidikan
kedokteran dasar dan berkelanjutan.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai salah satu sumber informasi mengenai pengalaman dokter praktik
dalam menyampaikan berita buruk kepada pasien atau keluarganya.
7
2. Memberikan gambaran mengenai pola komunikasi dokter-pasien terkait
proses penyampaian berita buruk dalam konteks budaya setempat (Jawa pada
umumnya dan Banyumas pada khususnya).
3. Sebagai salah satu langkah awal dalam proses mengembangkan program
pelatihan menyampaikan berita buruk yang efektif dalam konteks sosial
budaya Banyumas.
4. Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rekomendasi atau kebijakan
penyelenggaraan praktik kedokteran dan pelayanan kesehatan khususnya
terkait dengan proses penyampaian berita buruk
1.5. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai proses penyampaian berita buruk telah banyak
dilakukan
di
berbagai
negara.
Ada
penelitian
yang
berupaya
untuk
mengeksplorasi proses tersebut dari sudut pandang dokter atau perawat dan ada
pula yang meneliti dari sudut pandang pasien. Beberapa penelitian yang mirip
dengan penelitian ini antara lain :
1. Penelitian Grassi et al. pada tahun 2000
Penelitian yang dilakukan oleh Grassi et al. bertujuan untuk menilai
perilaku dokter dalam membuka diagnosis kanker dan untuk mengidentifikasi
hambatan yang dihadapi oleh dokter dalam menyampaikannya. Subjek
penelitian ini adalah dokter di Provinsi Udine, Italia. Para responden diminta
untuk mengisi kuesioner yang menilai tentang perilaku dan masalah yang
dihadapi oleh dokter ketika menyampaikan diagnosis kanker kepada pasien.
Kuesioner yang kembali sekitar 54,21% (Grassi et al., 2000).
Hasil penelitian ini menunjukkan 45% responden menyebutkan bahwa
pasien harus diberi informasi mengenai penyakitnya, namun hanya 25% yang
selalu melakukannya dalam praktik. Dari pengalaman responden, 55% pasien
ingin mengetahui kondisi yang sebenarnya, sedangkan 31% pasien tidak ingin
mengetahui penyakitnya. Hampir semua responden menyatakan bahwa
keterlibatan keluarga sangat penting dalam proses penyampaian berita buruk.
8
Namun ketika responden menyampaikan berita buruk kepada keluarga
terlebih dahulu, 85% keluarga memintanya agar tidak menyampaikan berita
buruk tersebut kepada pasien. Sebanyak 95% responden menyebutkan bahwa
keterlibatan dokter keluarga dalam proses penyampaian berita buruk sangat
penting dan 48% menyatakan bahwa orang yang seharusnya menyampaikan
berita buruk adalah dokter keluarga. Dokter-dokter di rumah sakit cenderung
memilih untuk menyampaikan berita buruk di rumah sakit, sedangkan dokter
keluarga lebih memilih untuk menyampaikannya di rumah pasien. Panduan
teknik menyampaikan berita buruk dinilai sangat penting oleh 86%
responden. Peningkatan keterampilan komunikasi dokter dengan pasien
penderita kanker dan keluarganya merupakan kebutuhan yang tidak dapat
terelakkan dalam praktik layanan kesehatan (Grassi et al., 2000).
2. Penelitian Ptacek et al. pada tahun 2001
Penelitian
Ptacek
et
al.
bertujuan
untuk
mengetahui
proses
penyampaian berita buruk yang biasanya berjalan dengan baik dan yang
biasanya berjalan dengan tidak baik berdasarkan pengalaman dokter praktik
di Amerika Serikat. Subjek penelitian adalah dokter lulusan Universitas
Bucknell yang dipilih secara acak. Para responden memperoleh lembar
penjelasan mengenai penelitian, lembar instruksi yang rinci dan serangkaian
pertanyaan dalam kuesioner mengenai proses penyampaian berita buruk yang
dikirimkan melalui paket pos. Kuesioner dikembangkan dari hasil studi
literatur dan diskusi dengan dokter, perawat dan pasien yang aktif dalam
cancer support group. Di dalam kuesioner juga terdapat skala penilaian
mengenai kecemasan yang dirasakan oleh dokter selama proses persiapan dan
penyampaian berita buruk. Kuesioner yang kembali sekitar 42,5% dan hanya
36,5% yang dapat dianalisis (Ptacek et al., 2001).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden yang
menyatakan proses penyampaian berita buruk berjalan tidak baik juga
menyebutkan adanya kecemasan akan disalahkan. Responden dalam
kelompok ini cenderung memilih untuk ditemani oleh kolega ketika
menyampaikan berita buruk. Mereka menyebutkan bahwa banyaknya kontak
9
dengan pasien sebelum proses penyampaian berita buruk akan mengakibatkan
stres yang berkepanjangan. Sebaliknya, responden yang menyatakan proses
penyampaian berita buruk berjalan dengan baik menyebutkan bahwa
banyaknya kontak sebelum menyampaikan berita buruk berbanding terbalik
dengan tingkat dan durasi kecemasan dalam proses penyampaian berita buruk
(Ptacek et al., 2001).
3. Penelitian Vegni et al. pada tahun 2001
Penelitian yang dilakukan oleh Vegni et al. bertujuan untuk
mengeksplorasi perspektif dokter umum dalam menyampaikan berita buruk.
Subjek penelitian ini adalah 168 dokter umum yang mengikuti pelatihan
terkait dengan penyampaian berita buruk. Responden diminta untuk membuat
laporan tertulis mengenai hubungan dokter-pasien yang mereka alami ketika
harus menyampaikan berita buruk. Laporan tersebut dianalisis dengan
pendekatan kualitatif (Vegni et al., 2001).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian dokter berusaha
untuk menghindar dari situasi yang tidak baik ketika menyampaikan berita
buruk, sementara sebagian lainnya berupaya untuk terus menemani pasien.
Sebagian besar dokter melakukan konsultasi dengan pendekatan doctorcentred. Mereka menentukan sendiri bahwa mereka akan memberitahukan
penyakit yang sebenarnya atau tidak. Hanya sebagian kecil yang melakukan
konsultasi
dengan
pendekatan
patient-centred.
Para
dokter
ini
mempertimbangkan kewajibannya untuk menghormati hak pasien untuk
menentukan nasibnya sendiri. Kedua bentuk komunikasi ini tetap tidak
mudah untuk dilakukan. Setiap dokter memahami bahwa ia harus
memberikan keyakinan dan ketenteraman kepada pasien, namun di lain pihak
seorang dokter sering merasa kesulitan untuk mengatasi reaksi emosionalnya
sendiri saat menyampaikan berita buruk (Vegni et al., 2001).
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan kerangka pikir yang sama
dengan penelitian-penelitian tersebut. Perbedaannya terletak pada metode
penelitian yang digunakan. Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan
10
juga berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu dengan teknik
wawancara mendalam.
Download