MANFAAT ACTINOMYCETES BAGI EKOLOGI*) Oleh: Ika Rochdjatun Sastrahidayat**) Pengantar Ditinjau dari sisi ekologis, para ilmuwan sepakat bahwa hampir semua benda, baik yang mati maupun hidup yang ada di alam raya ini mempunyai peranan dan manfaatnya masing-masing yang satu dengan yang lain saling terkait dengan fungsinya yang bisa langsung maupun tak langsung. Bidang pertanian agar supaya bisa berkelanjutan dalam menghasilkan keluarannya, sangat perlu memahami fungsi-fungsi serta manfaat setiap benda tersebut secara ilmiah dan lengkap sehingga dapat diinformasikan dari generasi ke generasi secara objektif. Dari sumber plasma nutfah yang ada di alam raya ini, manusia pada hakekatnya baru sedikit mengungkap rahasianya; laksana gunung es, peradaban modern ini baru berkutat pada puncak gunungnya sementara yang ada di bawahnya tetap tersembunyi karena keterbatasan kita. Hal inipun dibatasi pula oleh ketertarikan manusia akan bendabenda yang nampak oleh mata secara langsung, sementara yang mikroskopis sedikit mendapatkan perhatian. Dari sekian plasma nutfah yang bersifat mikroskopis adalah Actinomycetes, yakni sebuah grup mikroorganisme yang penting dalam berbagai kehidupan manusia karena anggotanya relative luas, dari yang bersifat patogenik (pada manusia, khewan, dan tumbuhan) sampai yang mempunyai nilai ekonomis dan obat-obatan (antibiotika). Dalam paper ini jasad tersebut akan dibahas sehingga diharapkan dunia yang masih gelap selama ini dapat terkuak sekalipun sedikit mengingat terbatasnya paparan masalah tersebut dalam paper yang disajikan ini. Taksonomi Jasad ini oleh Buchanan dan Gibbons (1974) dimasukan dalam dunia bakteri namun dengan dalam grup tersendiri yakni Actinomycetes, yang mempunyai satu ordo Actinomycetales, dengan famili dan genusnya antara lain: 1 1. Streptomycetaceae: a) Streptomyces b) Microellobosporia 2. Norcardiaceae: a) Nocardia b) Pseudonocardia 3. Mycobacteriacea: a) Mycobacterium 4. Frankiaceae: a) Frankia 5. Actinomycetacea: a) Actinomyces b) Arachnia 6. Micromonosporaceae: a) Micromonospora b) Thermomonospora 7. Dermatophilaceae: a) Dermatophilus b) Geodermatophilus Morfologi Secara morfologi actinomycetes mempunyai cirri yang berbeda dengan bakteri yakni adanya kemampuan untuk membentuk filament ramping, bercabang yang kemudian membentuk miselium, dan dari padanya terbentuk konidia secara aseksual; cirri seperti ini menjadi kekhasan jamur pada umumnya. Dalam biakan actinomycetes membentuk massa koloni mirip bakteri namun umumnya bertepung. Kemiripannya dengan bakteri adalah adanya peptidoglycan dalam dinding sel dan mempunyai flagella seperti bakteri berflagela. Actinomecetes sensitive terhadap antibiotika antibakteri namun tidak pada antibiotika anti jamur; juga sensitive terhadap lysozyme. Perbedaannya dengan jamur terletak pada komposisi selularnya, yakni tidak memiliki khitin dan selulose seperti pada umunya dalam dinding sel jamur. 2 Pengamatan mikroskopis biasa untuk melihat morfologinya relaatif kurang memadai strukturnya secara keseluruhan, untuk itu diperlukan bantuan mikroskop electron, dan dari beberapa hasil pengamatan peneliti dapat diberikan beberapa contohnya karakteristik morfologi pada Streptomyces spp. sebagai berikut: Gambar 1. Rantai spora halus pada S. diastaticus Gambar 2. Rantai spora kasar pada S. olivaceus Gambar 3. Rantai spora berduri pada S. purpurascens Gambar 4. Spora berduri S. diastatochromogenes Gambar 5. Spora berduri pada S. erythraeus Gambar 6. Spora berambut panjang S. albogriseolus 3 Gambar 7. Morfologi Streptomyces sp. Setelah konidium berkecambah miselium vegetatif dibentuk dan hifa tegak ke atas permukaan, hal ini dapat dikenali melalui adanya pertumbuhan koloni keputihan. Selanjutnya akan terjadi fragmentasi pada hifa udara tersebut dan terbentuklah spora berantai, pada saat demikian koloni akan nampak berwarna tergantung pada pigmen yang terbentuk dari masing-masing spesies. Gambar 8. Streptomyces lividans pada medium RS yang diberi 10 μM Cu-2 (sebelah kiri tumbuh sempurna) dan sebelah kanan yang tak berkembang bila diberi 50 μM BCDA (Cu-2 chelator khusus) Hasil penelitian penulis dalam mengkoleksi isolate actinomecetes di beberapaa lokasi menunjukkan terjadi variasi morfologi seperti terlihat pada Gambar 9. 4 5 mm 5 mm 5 mm 5 mm 5 mm 5 Gambar 9. Morfologi koloni Berbagai Macam Isolat Actinomycetes dan Bentuk Rantai Konidium. a) Isolat Wajak 1, b) isolat Wajak 2, c) isolat Karangploso, d) isolat Batu, e) isolat Cangar, f). Rantai spora (Gambar a – e perbesaran 10X, f perbesaran 400X) Manfaat Actinomycetes Telah disebutkan di atas bahwa actinomycetes selain pembawa masalah bagi kesehatan baik manusia, khewan dan tanaman, namun terdapat juga yang bermanfaat bagi manusia karena aktivitasnya dalam beberapa hal, antara lain: 1. Perombak lignin 2. Perombak bahan organic 3. Perombak khitin (penyebab lysis hifa jamur missal R. solani, Fusarium) 4. Pembentukan dan stabilisasi tumpukan kompos (Thermoactinomyces dan Streptomyces) 5. Pembentukan humus 6. Penghasil antibiotika (S. albolongus penghasil proceomycin dan sekitar 500 spesies menghasilkan antibiotika dapat dilihat dalam Buchanan dan Gibbons, 1974) 7. Bersama dengan mikroba lain mampu menghancurkan sisa tanaman dan khewan. 5 Mengingat begitu pentingnya manfaat actnomycetes tersebut, penulis telaah melakukan berbagai penelitian yang berhubungan dengan bidang studi hama penyakit tumbuhan, yakni pemanfaatannya dalam pengendalian paatogen tular tanah. Penelitian tersebut dilakukan bersama-sama dengan mahasiswa S1 maupun Pascasarjana dan sebagian telah dipublikasikan dalam jurnal terakreditasi, antara lain: 1. Potensi Antagonis Indigenus Lahan Gambut Dalam Mengendalikan Penyakit Rebah Semai (Sclerotium Rolfsii Sacc.) Pada Tanaman Kedelai. Jurnal F.P. Unibraw ”HABITAT” (16): 4, terakreditasi DIKTI No. 49/DIKTI/Kep/2003. 2. Pemanfaatan Actinomycetes Antagonis Sebagai Pengendali Hayati Fusarium Oxysporum f.sp.Lycopersici Pada Tanaman Tomat. Jurnal F.P. Unibraw ”AGRIVITA” (27): 1, terakreditasi DIKTI No. 52/DIKTI/Kep/2002. 3. Uji Antagonisme Actinomycetes Terhadap Patogen Sclerotium Rolfsii Dan Perbanyakannya Melalui Berbagai Macam Medium Semi Alami 4. Uji Antagonis Beberapa Isolat Bakteri Bacillus Sp. Dan Actinomycetes Terhadap Penyakit Bercak Ungu (Alternaria Porri (Ell.) Cif.) Pada Tanaman Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.) Saat ini penulis dalam penyelesaian penelitian yang berhubungan dengan jasad tersebut yang disponsori oleh Balitbang Deptan, dengan judul: Pemanfaatan Teknologi Pellet Yang Mengandung Saprob Antagonis Dan Vam Dalam Pengendalian Penyakit Rebah Semai (Sclerotium Rolfsii) Tanaman Kedelai Dan Meningkatkan Produksinya. Cara hidup Actinomycetes hampir menghuni semua permukaan bumi dan pada permukaan dimana koloninya cukup dominant maka akan kelihatan seperti kumpulan bercak-bercak kebasahan di permukaan tanah, khususnya pada suhu hangat. Sebagai penyeimbang mikroba tanah actinomycetes menduduki tempat kedua setelah bakteri; meskipun kompetisinya rendah disbanding bakteri namun ia mempunyai adaptasi lingkungan melalui pembentukan spora bertahan dan produksi antibiotika sebagai penyeimbangnya (Cook dan Baker, 1974). Actinomecetes tumbuh dengan baik pada suhu panas, kering dengan bahan 6 organic tinggi; sehingga ia dapaat dimanfaatkan untuk decomposer sampah organic. Kondisi demikian telah dimanfaatkan oleh petani kopi di India untuk memanfaatkan jasa mikroba tersebut dalam dekomposisi sisa panen buah kopi di lapangan ratusan tahun lamanya sehingga menjadi hamparan perkebunan yang stabil. Baru kemudian para akhli mematenkan hasil temuannya dengan nama dagang GEOSMIN, yang merupakan metabolit streptomycetes dalam penghancuran buah kopi dengan baunya yang khas (Titus dan Pereira). Gambar 9 memberikan ilustrasi tentang pemanfaatan actinomecetes yang dikoleksi (isolasi) dari sampah kopi menjadi Geosmin tersebut. Gambar 10. Sisa panen buah kopi yang didekomposisi oleh Streptomycetes yang metabolitnya telah dipatenkan dengan nama perdagaangan GEOSMIN pH tanah sangat berpengaruh terhadap distribusi actinomycetes di lapangan, tanah dengan pH netral sampai basa (alkali) sangat baik bagi pertumbuhan jazad tersebut; dengan kisaran antara 6,5 sampai 8,0. Sebaliknya pada pH masam organisme tersebut kurang mampu bertahan hidup, dan pada pH di bawah 5,0 dalam tanah umumnya jarang ditemukan actinomecetes. Keadaan seperti ini telah dimanfaatkan pula oleh para akhli untuk mengendalikan pathogen tanah yang disebabkan oleh actinomecetes tertentu yakni dengan cara menurunkan pH tanah. Pemupukan yang terus menerus dengan menggunakan ammonium tanpa adanya penambahan kapur akan menekan pertumbuhan actinomecetes patogenik, hal ini terjadi karena ammonium akan dioksidasi oleh mikroba menjadi asam nitrat sehingga menurunkan pH tanah yang menjadikan lingkungan tak sesuai untuk pathogen tersebut. Sebaliknya pengapuran akan membantu pertumbuhan vegetatif actinomecetes karena pH menjadi netral atau basa. Dengan melihat kondisi di atas pada dasarnya telah dapat dikelola lingkungan dalam manajemen PHT apakah mau menekan actinomycetes patogenik atau antagonistic. 7 Disamping pH tanah, maka kelembaban sangat penting bagi pertumbuhan actinomecetes. Actinomecetes umumnya bersifat aerobic sehingga akan tumbuh baik pada tanah beraerasi baik. Dengan demikian perendaman tanah yang menyebabkan kelembaban mencapai 80 – 100 persen akan menghambat pertumbuhannya, dengan demikian perlu pengelolaan irigasi dengan benar dalam manajemen pemanfaatan actinomyecetes. Persentasi actinomycetes dalam total populasi mikroba tanah akan naik bersamaan dengan kedalam tanah, namun demikian bukan berarti bahwa pada permukaan tanah tidak ditemukan. Hasil penelitian Trimujoko dkk (2002) menunjukan berbagai isolate yang dikoleksi dari beberapa daerah yang ditemukan di permukaan tanah dan digunakan dalam pengendalian pathogen tanah (Fusarium oxysporum f.sp lycopersici) yang dapat dilihat pada Gambar 9. Suhu ideal bagi actinomecetes untuk tumbuh dengan baik berkisar antara 25 – 300C. Meskipun kebanyakan actinomycetes bersifat mesofilik, namun ada juga yang bersifat thermofilik yang memegang peran penting dalam transformasi berbagai residu organic dalam tumpukan kompos. Komposisi kimiawi actinomycetes adalah sebagai berikut: selnya mengandung karbon sekitar 45 %, nitrogen 10 %, dan lemak bervariasi antara 12 sampai 65 %. Beberapa spesies memiliki hexosamine dalam dinding selnya sekitar 2 – 18 %. Kandungan protein dan asam amino yang diketahui dari beberapa spesies Streptomyces dan Nocardia adalah: Alanine, Methionine, Valine, Arginine, Lysine, Leucine, hexosamine, Isoleucine, asam glutamate, asam diaminopimelate, Threonine, Asparagine. Isolasi dan pembiakan Isolasi actinomycetes dari lapangan relative mudah meskipun pertumbuhannya di alam tersebut lambat dibandingkan bakteri dan jamur. Saat ini telah banyak didapat medium selektif yang dapat digunakan untuk pertumbuhan organisme tersebut antara lain: Ken-Knight’s Medium, egg albumin atau Conn’s Medium, yeast extract atau Czapek’s Medium, Conn’s Glycerol Asparaginate Agar, Crook’s Glukose Asparaginate Agar dengan 0.4 % sodium propionate, Czapek’s Agar-tanah diperlakukan dulu dengan phenol, Eggr 8 Albumen Agar dengan 40 µg/ml. actidione, Medium Jensen, dan sebagainya (Sastrahidayat, 1994b). Pada dasarnya banyak cara untuk mengisolasi mikroorganisme dari dalam tanah, salah satu cara yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan medium khusus. Cara untuk mengisolasi mikroorganisme tersebut dilakukan berdasarkan prosedur yang dikemukakan oleh Sastrahidayat (1994a). Untuk mendapatkan mikroorganisme yang representatif , maka dilakukan koleksi dari tanah dengan mengambil sampel tanah pada kedalaman 5-15 cm. Adapun tanah yang umumnya mengandung actinomycetes adalah dengan kelembaban tinggi dan suhu tinggi, kondisi ini banyak didapat pada tanah-tanah hutan. Kebanyakan actinomycetes didapat di bawah hutan pinus (sampel diambil dari hutan pinus daerah Pujon-Malang), disamping dari tanah hutan, isolat diambil pula dari tanah kebun tanaman tomat, cabai, bawang, dan kedelai. Tanah yang terkoleksi dibawa ke laboratorium dan kemudian diisolasi dengan menumbuhkan pada medium buatan dengan metode dilution plate (Sastrahidayat, 1994a). Untuk isolasi actinomycetes digunakan medium Glucose Nitrate Agar, dimana jamur dan bakteri tidak dapat hidup dalam medium ini (Sastrahidayat, 1994b). Isolat actinomycetes yang didapat kemudian dimurnikan dalam koleksi tersendiri, ciri-ciri koloni dicatat sedangkan identifikasi dilakukan dengan menggunakan standard dari Bergey's Manual of Determinative Bacteriology (Buchanan dan Gibbons, 1974). Selanjutnya biakan yang sudah murni dapat dikembangkan dalam medium semi alami dalam botol-botol gelas yang jenisnya sangat bervariasi, dan dari hasil penelitian Sastrahidayat (2007) terlihat dapat tumbuh pada medium antara lain: Soil corn medium, Carbon Utilization Medium, Glucose Nitrate Agar, Jensen Agar Medium, Lingappa dan Lockwood Chitin Medium, Porter Pimarcim Medium, Silica Gel Medium, Soil Extract Agar, Water Agar, Actinomycete Fermentation Medium. Dalam Gambar 11 ditunjukkan produksi massa actinomycetes dalam medium semi sintetis yang siap digunakan untuk berbagai keperluan. 9 Gambar 11. Medium buatan dan semi sintetis Gambar 12. Pertumbuhan streptomycetes dalam medium semi sintetis Pustaka Buchanan, R.E. dan N.E. Gibbon. 1974. Bergey’s Manual Of Determinating Bacteriology. Williems & Wilkins Comp. Baltimore. Cook, R.J. Dan K.F. Baker, 1974. Biological Control Of Plant Pathogen. Freeman Comp. San Francisco. Sastrahidayat, I.R. 1994 A. Teknik Isolasi Pathogen Tanah. HPT Unibraw Sastrahidayat, I.R. 1994 B. Medium Buatan Untuk Mikroba. HPT Unibraw Sastrahidayat, I.R. 2007. Pemanfaatan Teknologi Pellet Yang Mengandung Saprob Antagonis Dan Vam Dalam Pengendalian Penyakit Rebah Semai (Sclerotium Rolfsii) Tanaman Kedelai Dan Meningkatkan Produksinya. Titus, A. dan G.N. Pereira. The Role Of Actinomycetes In Coffe Plantation Ecology. Http://www.Ineedcoffee.Com/Actinomycetes/ Trimudjoko, I.R. Sastrahidayat, dan A.L. Abadi. Pemanfaatan Actinomycetes Antagonis Sebagai Pengendali Hayati Fusarium Oxysporum f.sp.Lycopersici Pada Tanaman Tomat. Jurnal F.P. Unibraw ”AGRIVITA” (27): 1, terakreditasi DIKTI No. 52/DIKTI/Kep/2002. *) Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Data Base OPT dan Agens Hayati di Jurusan HPT, Fak. Pertanian Unibraw di R. Sidang HPT Malang, 10 Nov. 2007. **) Penulis Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 10