MODUL PERKULIAHAN FILSAFAT MANUSIA HISTORITAS Fakultas Program Studi PSIKOLOGI PSIKOLOGI 2014 11 Tatap Muka Kode MK 11 Disusun Oleh Juneman, S.Psi dan Fahrul Rozi, M.Si Abstract Kompetensi Modul ini membahas tentang bagaimana filsafat membahas tentang manusia berdasarkan pada perkembangan historisnya yang mencakup periode perkembangan, makna historitas, segi dan implikasi historitas manusia. Mahasiswa dapat memahami pandangan filsafat dalam membahas tentang manusia berdasarkan pada perkembangan historisnya yang mencakup periode perkembangan, makna historitas, segi dan implikasi historitas manusia.. Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id -modul ini disadur sepenuhnya dari modul Filsafat Manusia karya Juneman, S.Psi di Universitas Mercu Buana HISTORISITAS MANUSIA Kata “sejarah” ternyata mempunyai sejarah juga. Sepanjang diketahui, sejarah itu belum dituliskan secara mendalam dan lengkap untuk kata Indonesia “sejarah”, tapi untuk kata Inggris history (dan kata-kata yang berkaitan dengannya seperti histoire dalam bahasa Prancis atau storia dalam bahasa Italia) sejarah itu sudah sering dilukiskan. History berasal dari bahasa Yunani historein, artinya “menyelidiki, dan historia, artinya “penyelidikan” atau pemeriksaan”. Dari situ berkembang sebagai arti berikut “pengetahuan”. Demikian pada Plato, umpamanya. Aristoteles menggunakan historia dalam judul salah satu bukunya dalam arti “kumpulan bahan-bahan tentang tema tertentu”. Bertentangan dengan uraian yang memberi penjelasan sistematis. Filsuf Inggris, Francis Bacon, yang hidup akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, masih melanjutkan pengertian Aristoteles itu dengan mengatakan bahwa historia (ia menulis dalam bahasa Latin) menyangkut pengetahuan tentang yang individual, berbeda dengan philosophia (filsafat) yang berbicara tentang yang umum. Ia membedakan antara historia naturalis yang mempelajari data-data alamiah seperti yang menyangkut tumbuhan serta binatang dan historia civilis yang membahas tentang masyarakat dan negara. Dalam abad ke-18 arti yang sama masih dapat ditemukan, tapi di situ sudah tampak tekanan lebih jelas pada sifat kronologis dari data-data yang dipelajari. Dan tendensi terakhir ini menjadi semakin kuat, sehingga kata history dalam zaman modern secara umum dikaitkan dengan pengetahuan mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung di masa silam. Informasi tentang perkembangan yang dilukiskan secara singkat ini diperoleh dari sebuah kamus filsafat berbahasa Prancis yang kenamaan. Tapi dalam kamus yang sama istilah historisitas belum dicantumkan. Ini sudah pertanda bahwa di sini kita berjumpa dengan sebuah pengertian yang masih agak baru. Dan memang demikian. Paham ini diintroduksi dalam filsafat oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan dikembangkan lebih lanjut terutama oleh Martin Heidegger (1889-1976). Bagi filsuf-filsuf seperti mereka historisitas merupakan salah satu ciri khas eksistensi manusia. Dalam modul ini, hendak diperkenalkan paham yang khas modern ini. I. "Histori" dan "Historisitas" Melawan "Nasib" dan "Fatalisme" Mari kita mulai dengan menjelaskan bahwa “historisitas” (Inggris: historicity) merupakan prerogatif manusia. Hanya eksistensi manusialah yang ditandai oleh historisitas. Hanya manusia merupakan suatu makhluk historis. Hanya tentang manusia dilukiskan suatu sejarah, karena hanya dialah yang mengadakan sejarah. Perlu diperhatikan, dalam kalimat terakhir kata “sejarah” dipakai dalam dua arti. Di satu pihak kata itu menunjuk kepada 2014 2 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id “sejarah yang dicatat” atau “sejarah yang tersurat”. Untuk itu dipakai juga istilah “historiografi”. Sejarah dalam arti ini adalah pencatatan atau studi tentang peristiwa-peristiwa yang telah berlangsung dalam waktu lampau. Ilmu sejarah merupakan pengolahan metodis dan sistematis dari sejarah dalam arti ini. Arti ini dimaksudkan bila dalam toko buku atau perpustakaan kita melihat rak-rak buku dengan papan “sejarah”, di samping “sastra”, “teknologi”, dan sebagainya. Di lain pihak kata yang sama menunjuk kepada peristiwaperistiwa yang telah berlangsung itu sendiri. Dalam peribahasa Prancis, l‟historie se répéte (sejarah terulang kembali) kata “sejarah” jelas tidak berarti “ilmu sejarah”. Yang dimaksudkan dengannya ialah bahwa kejadian-kejadian dari masa silam sering terulang kembali menurut pola-pola yang sama. Arti kedua ini lebih fundamental daripada arti pertama. Ilmu sejarah hanya mungkin, bila ada kejadian-kejadian yang pernah berlangsung. Buku-buku tentang sejarah Indonesia hanya mungkin karena bangsa Indonesia telah mengalami sejarah yang kemudian dapat dituliskan. Manusia bukan saja obyek sejarah, melainkan juga subyeknya. Ia bukan saja produk peredaran waktu, tapi ia juga mengadakan sejarah. Kalau dalam filsafat modern banyak dibicarakan tentang historisitas manusia, maka yang dimaksudkan adalah unsur subyektif ini. Manusia tidak hidup pasif di tengah peristiwa-peristiwa bersejarah, ia berperanan sebagai pelaku dan pejuang dalam sejarah. Dalam sejarah tentu juga terdapat banyak faktor yang tidak bergantung pada kehendak manusia, namun akhirnya sejarah adalah buah hasil proyek-proyek dan rancangan-rancangan manusia. Dan justru karena manusia adalah subyek sejarah, ia dapat menjadi juga obyek sejarah. Hanya tentang manusia sejarah dituliskan. Tentang binatang atau alam jasmani tidak ada sejarah. Lebah sudah ribuan tahun lamanya membangun sarangnya dengan cara yang selalu sama. Mustahillah mengadakan studi sejarah tentang cara lebah atau burung membuat sarangnya di abad-abad silam. Tapi sama sekali tidak mustahil untuk mempelajari sejarah arsitektur. Manusia tidak selalu membangun rumahnya dengan cara yang sama. Tentang cara manusia membuat tempat tinggalnya, kita melihat perkembangan-perkembangan yang mencolok, bila tema ini ditelusuri sepanjang sejarah. Mengapa tidak mungkin sejarah tentang binatang atau alam jasmani? Karena dalam bidang infrahuman atau bawah-manusiawi sebenarnya tidak ada sesuatu yang “terjadi”. Di situ tidak ada peristiwa-peristiwa menurut arti sepenuhnya. Atau dengan kata lain lagi, pada bidang infrahuman tidak pernah terjadi sesuatu yang baru. Dalam dunia binatang dan dunia jasmani pada umumnya segalanya bereaksi dengan cara yang sama. Di situ segalanya berlangsung secara deterministis. Air selalu mendidih bila dipanaskan sampai 100 derajat; pada waktu tertentu matahari terbit; pada musim tertentu burung-burung bersarang. 2014 3 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Hal-hal semacam itu ditandai suatu keajekan yang dapat dipastikan. Dalam bidang ini kita dapat mengabstraksikan waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu depan. Air pasti akan mendidih pada 100 derajat, besok dan lusa dan selama-lamanya. Tentang hal serupa itu bisa diadakan ramalan yang tidak pernah meleset. Sekarang mungkin ada yang menyatakan: Tetapi bagaimana halnya dengan evolusi dalam alam? Kalau dipandang dari segi evolusi, bukankah harus diakui bahwa juga di bidang infrahuman betul-betul terjadi sesuatu yang baru? Sebagaimana telah diperlihatkan oleh teori evolusi, pernah tidak ada makhluk hidup dan pada saat tertentu makhluk hidup timbul. Jadi, sudah jelas dalam alam infrahuman pun terjadi sesuatu yang baru. Disangka, kesimpulan ini tidak benar. Tentu saja, bukan bermaksud menolak teori evolusi, teori yang dalam ilmu pengetahuan sudah diterima secara umum (kendatipun tidak boleh dilupakan bahwa teori itu sendiri masih dalam proses evolusi). Evolusi itu tidak lain daripada bertumbuh dan berkembang dari sesuatu yang sudah ada secara virtual, seperti bunga sudah mengandung buah yang akan datang atau dalam biji sudah terkandung pohon mangga yang akan tumbuh daripadanya. Hal-hal infrahuman tidak merupakan obyek dari ilmu sejarah, hanya obyek dari penyelidikan ilmu alam saja. Karena, di bidang infrahuman tidak ada historisitas, hanya ada perkembangan. Manusia ditandai historisitas. Dia satu-satunya makhluk yang sanggup menghasilkan sesuatu yang baru. Manusia bisa mengambil sikap otonom terhadap dunia sekitarnya dan situasi di mana ia berada. Kiranya sudah jelas bahwa kebebasan adalah kunci untuk memahami keistimewaan manusia itu. Historisitas berkaitan erat dengan kreativitas dan inventivitas. Tentu saja, historisitas selalu sudah merupakan ciri khas eksistensi manusiawi. Ini bukan sesuatu yang khusus bagi zaman kita saja. Kendati demikian, historisitas tidak selalu dialami dengan cara yang sama dalam setiap periode sejarah. Tidak dapat disangkal, pada zaman kita sekarang manusia lebih insaf akan historisitas itu daripada di masa silam. Malah dapat dikatakan, belum pernah manusia begitu peka untuk dimensi historis dalam eksistensinya seperti sekarang ini. Hal itu dapat menjadi lebih jelas, bila menyoroti – meski dengan selayang pandang saja – beberapa periode yang berkaitan dengan sejarah filsafat Barat: a. Pada masa Yunani kuno keinsafan akan historisitas belum dapat tampil ke permukaan, karena kepercayaan akan Moira (Suratan Nasib) begitu kuat. Segala sesuatu yang terjadi ditakdirkan bagi manusia dengan suatu keharusan mutlak. Tinggal saja ia menerima nasibnya dengan hati yang tenang dan tabah. Yang terjadi harus terjadi demikian dan tidak ada orang yang dapat meloloskan diri dari Suratan Nasib. Keyakinan itu meresapi seluruh masyarakat dan kebudayaan Yunani kuno. Misalnya, salah satu tujuan drama targedi, yang banyak digemari orang Yunani, adalah mendamaikan dia 2014 4 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dengan nasibnya. Setelah pertunjukkan tragedi selesai, diharapkan para penonton telah mencapai catharsis (pembersihan batin) dengan menerima nasib mereka tanpa memberontak, sebagaimana telah mereka saksikan mengenai pahlawan-pahlawan mitologi di pentas. Untuk Oidipus, umpamanya, ditakdirkan begitu saja nasib malang yang telah menimpa dirinya. Para penonton harus sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada jalan lain daripada menerima nasib serupa itu dengan ketenangan hati. Di bidang filsafat, kepercayaan Yunani kuno akan Suratan Nasib itu diungkapkan paling jelas dalam aliran Stoa. Mereka menarik konsekuensi etis dari kepercayaan itu. Menurut pendapat Mazhab Stoa, manusia adalah bijaksana, bila melepaskan diri dari emosi serta nafsu dan mengakui bahwa segala-galanya berlangsung dengan keharusan mutlak. Karena itu tidak ada alasan untuk menakuti kematian, umpamanya. Orang bijaksana akan menghadapi maut dengan sikap tak acuh. Seluruh panadangan kuno itu agaknya dilatarbelakangi kecenderungan spontan manusia untuk menerapkan pada masa depan yang berlaku pada masa lampau. Peristiwa-peristiwa dari masa lampau tidak dapat dihindarkan lagi. Apa yang telah terjadi, ya, telah terjadi. Tidak ada orang yang dapat mengubah hal itu. Itu semua tentu benar. Tapi salahnya ialah bahwa hal yang sama tidak berlaku bagi kejadian-kejadian yang akan datang. b. Walaupun dalam Abad Pertengahan perspektif tentang sejarah sudah menjadi lain sama sekali, namun historisitas belum tampil ke muka. Pandangan siklis tentang sejarah yang menandai semua kebudayaan kuno (termasuk juga kebudayaan Yunani), pada waktu itu sudah diganti dengan konsepsi linear: sejarah mempunyai titik tolak (penciptaan) dan titik akhir (hari kaiamat). Pandangan Yahudi tentang sejarah itu disebarluaskan oleh kebudayaan Kristiani dan dalam Abad Pertengahan sudah mendarah daging. Namun demikian, manusia tidak diberi peranan betul-betul aktif dalam sejarah. Paham “Suratan nasib” yang kafir itu pada waktu itu sudah diganti oleh “Penyelenggaraan Ilahi” (Providentia Divina), namun paham kedua ini masih sering memperlihatkan ciri-ciri yang berasal dari paham pertama. Manusia Abad Pertengahan sering mengatakan: “Itulah kehendak Tuhan” dan dengan demikian ia pasrah. Apa yang dialami manusia tidak jarang langsung ditafsirkan sebagai hukuman atau pahala dari Tuhan. Mungkin sikap pasif itu disebabkan, karena manusia Abad Pertengahan pun hampir tidak dapat mempengaruhi alam. Berulang kali ia menjadi korban bencana alam: banjir, kelaparan, wabah, dan sebagainya. Karena tidak berdaya, terpaksa ia menerima saja keadaan seperti itu. Dalam hal ini ia masih senasib dengan manusia dari zaman kuno. c. Salah satu ciri khas zaman modern ialah diakuinya otonomi tahap profan terhadap tahap sakral. Keyakinan itu tentu tidak tercapai dalam satu dua hari, tapi merupakan 2014 5 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id buah hasil suatu proses lama yang sudah berlangsung sejak Renaissance (abad ke-15 dan ke-16). Proses itu tampak pada segala bidang. Salah satu bidang yang sangat mencolok adalah ilmu alam yang modern. Kalau pada Abad Pertengahan masih terdapat kepercayaan bahwa gerak badan-badan jagat raya diatur oleh malaikat, maka pada zaman modern timbul keyakinan bahwa gerak planet-planet dan badan-badan jagat raya lainnya terjadi menurut hukum-hukum tetap. Dan apa yag berlaku bagi planet-planet berlaku juga bagi seluruh alam, sehingga astronomi modern menjadi model bagi seluruh ilmu alam baru. Tentu saja, contoh termasyhur adalah kasus Galileo Galilei (1564-1642). Ilmuwan Italia itu mengalami kesulitan-kesulitan dengan Gereja karena pendapatnya bahwa mataharilah yang menjadi pusat jagat raya dan bukan bumi. Perlu tempo cukup lama, hingga akhirnya diakui secara umum (juga oleh agama) bahwa ilmu pengetahuan mempunyai otonomi sendiri yang tidak boleh dicampuri oleh pihak lain. Suatu bidang lain adalah filasafat. Dengan berpikir secara mandiri Descartes (abad ke-17) menciptakan filsafat baru untuk menggantikan filsafat lama yang sangat mengutamakan otoritas (otoritas Aristoteles umpamanya atau pemikir besar lainnya). Filsafat baru ciptaan Descartes adalah langkah penting dalam memperjuangkan otonomi rasio. Suatu bidang lain lagi adalah hukum. Hugo Grotius (abad ke-17) merancang hukum internasional yang didasarkan atas kodrat manusia. Ia menegaskan bahwa hukum berlaku etsi Deus non daretur (seakan Allah tidak ada). Maksudnya, hukum tidak mengikat bangsa-bangsa karena dianggap berasal dari Tuhan. Hukum harus mengikat terlepas dari setiap kepercayaan religius, karena dasarnya adalah kodrat yang dimiliki setiap manusia. Kesadaran akan otonomi rasio manusiawi dan otonomi bidang profan pada umumnya membuka kemungkinan untuk mengatasi fatalisme yang selama itu menandai pandangan dunia. Sekarang manusia dapat memperbaiki nasibnya sendiri. Manusia dapat memainkan peranan aktif. Ia dapat membebaskan dirinya dari macam-macam ketidakberesan, misalnya penyakit. Tidak kebetulan bahwa pada akhir uraiannya dalam Discours de la methode, buku kecil yang menjelaskan metode filsafat dan ilmu penegtahuan baru, Descartes menyebut secara eksplisit ilmu kedokteran sebagai salah satu lapangan di mana ia mengharapkan banyak manfaat dari ilmu pengetahuan yang baru. Dan tidak kebetulan pula, bila dalam buku yang sama ia mengucapkan harapan bahwa berkat pendekatan ilmiah yang baru kita manusia dapat menjadi maitres et possesseurs du monde (tuan dan pemilik dunia). d. Tapi kita harus menunggu sampai abad ke-19 untuk dapat menyaksikan bagaimana kesadaran historis sungguh-sungguh merebut dunia intelektual. Abad ke-19 oleh beberapa komentator telah diberi nama “abad sejarah”. Belum pernah terdapat begitu 2014 6 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id banyak sejarawan berkaliber besar seperti pada abad itu. Dan filsafat juga sebagian besar menjadi “filsafat sejarah”. Untuk itu cukup kita ingat saja nama-nama seperti Hegel, Comte, dan Marx. Filsuf terakhir itu menekankan perlunya “praksis”. Praksis justru menunjukkan peran aktif umat manusia dalam sejarah. Juga filsafat tidak merupakan teori belaka tapi harus melaksanakan sesuatu, harus menjadi praktis. “Para filsuf dulu hanya menginterpretasikan dunia dengan cara berbeda-beda; yang penting ialah mengubah dunia”, kata Marx. Tapi Hegel dan Marx memandang sejarah sebgai buah hasil dialektika yang berlangsung dengan mutlak perlu. Dan Comte mendasarkan pandangannya atas pengetahuan positif tentang kemajuan umat manusia. Pada mereka semua “manusia” adalah umat manusia yang dianggap sebagai subyek umum. Mereka mengabaikan manusia sebagai individu. Bagi mereka sejarah adalah realitas yang melebihi manusia-manusia perorangan. Hal itu antara lain mengakibatkan bahwa filsafat mereka berakhir dengan konsepsi totaliter tentang negara (Hegel dan Marx) atau tentang ilmu pengetahuan (Comte, yang melukiskan ilmu pengetahuan sebagai agama baru). Dalam abad ke-20 kita melihat pelbagai reaksi terhadap pandangan abad ke-19 mengenai sejarah itu. Bagi tema kita di sini tidaklah berguna menyoroti semua reaksi itu. Bagi kita yang penting ialah reaksi yang menunjukkan historisitas sebagai unsur dan struktur eksistensi manusia. Manusia perorangan adalah makhluk historis. Dalam struktur eksistensinya sendiri terdapat orientasi ke masa lampau dan masa depan. Manusia adalah pelaku sejarah. Pada Sartre pendirian itu bahkan dirumuskan ekstrem sekali: manusia menciptakan dirinya sendiri. Dengan demikian fatalisme yang menandai zaman kuno akhirnya sampai dijungkirbalikkan. Tentu saja, tidak semua filsuf yang menekankan historisitas manusia, menarik kesimpulan begitu ekstrem. II. Arti Modern Istilah "Historisitas" Mengapa justru dalam masa modern historisitas begitu diutamakan? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Memang tidak dapat disangkal, keinsafan akan historisitas manusia merupakan sesuatu yang baru, bila dibandingkan dengan periode-periode lain. Pasti mesti ada sebabnya. Tetapi untuk mencari sebab-sebab itu, perlu diadakan semacam “anatomi” mendalam dan lengkap tentang zaman kita yang tidak munkin diusahakan di sini. Kita membatasi diri pada satu aspek saja yang jelas berbeda bagi manusia sekarang, bila dibandingkan dengan teman-temannya di zaman dulu, yaitu pengalaman manusia tentang waktu. Pengalaman itu menyangkut hubungan manusia dengan masa lampau maupun dengan masa depan. Mari kita memandang beberapa detail: a. Dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, pengetahuan kita sekarang tentang masa lampau jauh lebih luas. Hal itu adalah hasil nyata dari ilmu 2014 7 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pengetahuan. Pada Abad Pertengahan orang berpikir bahwa dunia berumur kira-kira 6000 tahun. Seorang sarjana Inggris, Toulmin telah menandaskan bahwa sampai pada abad ke-18 orang mempunyai anggapan yang hampir sama dengan abad ke-4 (Augustinus) tentang kurun waktu yang mencakup sejarah manusia dan perkembangan semesta alam. Katanya: “The overall time-span embracing all that had happened since the creation covered… some 5.000, 6.000 or 10.000 years at the outside”. Ahli fisika termasyhur, Isaac Newton (1642-1727), mengadakan eksperimen dengan bola-bola besi pijar untuk dapat menyimpulkan berapa waktu yang diperlukan bumi hingga menjadi dingin. Ia sampai pada 50.000 tahun, tapi segera ia berkesimpulan bahwa dalam perhitungannya pasti terjadi kesalahan tersembunyi, karena angka itu dianggap terlalu tinggi. Menurut perhitungan Kepler (1571-1630), ahli astronomi yang ternama, permulaan penciptaan berlangsung pada hari Minggu tanggal 24-4-4977 sebelum Masehi. Uskup Bossuet (1627-1704) menulis sebuah buku sejarah bagi Pangeran Louis XV dari Prancis, di mana ia mengatakan bahwa dunia diciptakan pada tahun 4004 sebelum Masehi. Menurut ilmu pengetahuan modern umur bumi mesti ditaksir sekitar 4 miliar (4.000.000.000) tahun dan merupakan hasil perkembangan yang meliputi banyak miliar tahun lagi. Juga umur manusia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan dulu. Sekitar tahun 1950 para ilmuwan menyangka bahwa manusia pertama berumur kirakira 900.000 tahun. Sejak waktu itu ada perkembangan baru lagi. Sesudah Zinyanthropos (homo habilis) ditemukan oleh Louis Leaky di Tanzania tanggal 17 Juli 1959, dapat ditentukan dengan metode yang cukup safe bahwa manusia pertama hidup sekitar 1.860.000 tahun lalu. Timbulnya homo sapiens dari Cro-Magnon (Prancis Selatan) ditaksir pada 100.000 tahun sebelum tarikh kita. Angka-angka ini hampir tidak mungkin dibayangkan. Kiranya sudah jelas bahwa luas waktu lampau sekarang ini dipandang dengan cara yang sama sekali berbeda dengan periodeperiode sebelumnya. Dan dengan demikian seluruh pandangan dunia berbeda pula. Sejarah hanya goresan kecil yang ditarik manusia dalam lautan waktu yang mendahuluinya. b. Bila dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, pada manusia sekarang terdapat sikap lain juga terhadap waktu depan. Sikap manusia terhadap waktu depan itu sekarang sekali-kali bukan sikap menanti saja. Kita sudah jauh dari fatalisme yang menandai zaman kuno. Manusia modern insaf bahwa masa depannya sebagian besar terletak dalam tangannya sendiri. Hari esok tidak otomatis lagi sama dengan hari ini atau hari kemarin. Wajah hari esok untuk sebagian ditentukan oleh manusia sekarang. Dia sendirilah bertanggungjawab atas masa depannya. 2014 8 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Keadaan itu disebabkan karena peranan dominan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat modern. Menggunakan teknologi yang canggih hanya mungkin dengan melihat jauh ke depan. Lagi pula, penggunaan teknologi sering kali mempunyai efek-efek yang harus ditangani oleh teknologi juga. Masalah polusi lingkungan merupakan contoh yang jelas. Dengan industrialisasi besar-besaran dan banyaknya kendaraan bermotor, lingkungan di negara-negara yang sudah maju mencapai titik rawan dan hanya ada satu jalan untuk mengatasi efek-efek negatif teknologi, yaitu dengan teknologi itu sendiri. Contoh lain adalah masalah kependudukan. Bila jumlah penduduk di bumi kita bertambah terus dan tidak ada usaha mengendalikan laju pertumbuhannya, tidak dapat dihindarkan kita akan menuju ke suatu keadaan yang sangat gawat. Hal yang sejenis berlaku juga tentang eksploitasi sumber-sumber daya alam. Minyak bumi misalnya jauh lebih banyak digunakan manusia daripada dapat bertambah melalui proses alamiah. Sumber-sumber daya alam itu terbatas dan kalau dipakai terus sesudah sekian waktu akan habis. Di samping menjaga agar persediaan yang masih ada akan digunakan seefisien mungkin, manusia harus memikirkan juga sumber-sumber energi baru. “Laporan Klub Roma” yang termasyhur itu merupakan contoh jelas tentang cara pendekatan yang khusus bagi zaman dewasa ini. Keterarahan ke masa depan belum pernah begitu besar seperti sekarang. Planning atau “perencanaan” merupakan fenomena modern yang khas, seperti juga ilmu baru yang disebut “planologi”. Memang benar yang sudah dikatakan A. Comte: “savoir c‟est prévoir”, menjalankan ilmu pengetahuan berarti melihat ke depan. III. Segi-segi dan Implikasi-Implikasi Historisitas Historisitas termasuk struktur eksistensi manusia sendiri, kita lihat tadi. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk historis menurut kodratnya. Maka dari itu menganalisis historisitas adalah suatu cara untuk mempelajari manusia. Bila kita mempunyai penegertian lebih konkret tentang historisitas, kita juga akan mengerti lebih baik apa itu hidup sebagai manusia. Dalam bagian terakhir ini kita akan melihat bahwa historisitas sebagai paham modern sekurang-kurangnya membawa empat implikasi. Perlu diperhatikan dengan baik bahwa empat implikasi itu tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Dengan menyebut yang satu orang sebenarnya turut menyebut yang lain juga. Karena namanya “implikasi”, empat hal itu merupakan aspek-aspek dari realitas yang tak terpisahkan. Empat impliksi itu adalah berturut-turut inkarnasi, kebebasan, temporalitas, dan intersubyektivitas. 2014 9 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id a. Inkarnasi Historisitas tidak mungkin, seandainya manusia itu atau roh murni atau materi belaka. Manusia bukan binatang dan bukan malaikat, kata Pascal. Hal itu tentu selalu diketahui, tapi para filsuf tidak selalu berhasil untuk mengungkapkan kebenaran itu secara refleksif dan sintesis filosofis yang mereka ciptakan. Dan tidak dapat disangkal, pada permulaan filsafat modern pemikiran tentang manusia amat didominasi oleh konsepsi dualistis, pandangan yang tidak sanggup mempersatukan secara harmonis segi rohani dan segi jasmani dalam diri manusia. Yang dimaksudkan adalah filsafat Descartes. Tentu saja, filsuf Prancis itu tahu bahwa manusia buka malaikat. Tapi dalam sintesis filosofisnya, manusia muncul sebagai Cogito (kesadaran atau roh) yang terisolasi, sehingga memang ada benarnya bila orang di kemudian hari berbicara tentang “angelisme” dalam pemikiran Descartes. Dualisme Descartes itu merupakan suatu hipotek berat yang cukup lama membebani pemikiran tentang manusia. Seluruh filsafat modern sesudahnya bergumul untuk dapat mengatasi pandangan dualisitis tentang manusia itu. Dan mungkin baru zaman kita sekarang mulai berhasil. Tidak kebetulan bahwa dalam perspektif filsafat Descartes sama sekali belum ada tempat untuk historisitas. Bagi dia manusia sebetulnya semacam makhluk ahistoris, seperti binatang (dan… malaikat). Mengakui historisitas dalam eksistensi manusia dengan sendirinya berarti juga mengakui manusia sebagai roh-yang-diinkarnasi, sebagai roh yang menjelma dalam materi. Kejasmanian tidak merupakan rintangan bagi roh manusiawi. Sebaliknya, materialitas adalah satu-satunya jalan bagi roh manusiawi untuk mengekspresikan diri. Pada manusia, aktivitas yang paling rohani pun tidak mungkin tanpa materi (misalnya proses-proses dalam otak). Hal itu perlu diakui kepada materialisme, walaupun tidak perlu kita setujui semua kesimpulan yang mereka tarik dari kenyataan itu. Ciptaan manusia yang paling luhur seperti kesenian, tidak mungkin dikerjakan tanpa bahan tertentu. Puisi tidak mungkin tanpa kata-kata, lisan atau tulisan, jadi materi pula (meski bahasa barangkali dapat dianggap sebagai materi yang paling halus). Pendeknya, seluruh kebudayaan baru menjadi mungkin, bila manusia adalah roh-yang-diinkarnasi. Karena, kebudayaan itu tidak lain dari manusia yang mengungkapkan diri dalam alam, dalam materi yang kasar. Kultur atau kebudayaan adalah materi yang dihumanisasikan. b. Kebebasan Historisitas tidak mungkin juga, jika manusia tidak bebas. Hal ini berkaitan erat dengan yang dibahas tadi. Jika memang benar bahwa manusia selalu merealisasikan diri dalam materi dan dengan materi, maka sudah diandaikan bahwa manusia itu bebas. 2014 10 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sebuah batu adalah batu belaka, tidak lebih dan tidak kurang. Di sini harus dikatakan: “it just is what it is”. Tapi manusia tidak pernah merupakan suatu data begitu saja , tapi juga tugas. Dalam arti itu dapat dikatakan tentangnya: ”he never is what he is”. Manusia itu tidak pernah merupakan suatu data alamiah. Seorang manusia bukanlah seniman, umpamanya, sebagaimana batu adalah berat. Bila Picasso adalah seorang seniman, itu berarti bahwa ia merealisasikan diri sebagai seniman. Dalam kaitannya dengan kebudayaan dan khususnya dalam hubungan dengan kesenian sering diapakai kata “menciptakan”. Seniman “menciptakan” karya seninya. Seniman dan setiap orang yang menyumbangkan untuk memajukan kebudayaan adalah “kreatif”. Tentu saja, manusia sepatutnya merasa segan menggunakan kata-kata itu tentang dirinya sendiri. Hanya Tuhan adalah “pencipta” dalam arti sepenuhnya. Namun benar juga, manusia diciptakan sebagai seorang pencipta, seperti pernah dikatakan filsuf Prancis. Manusia adalah pencipta, walau bakat itu diberikan kepadanya. Ia sendiri tidak merupakan sumber mutlak dari bakat itu. Bakat itu sendiri tidak diciptakan olehnya. Kebebasannya adalah kebebasan-yang-disituasikan. Hal itu harus dipertahankan melawan pandangan-pandangan ekstrem mengenai kebebasan, seperti misalnya pada Sartre. Namun demikian, manusia betul-betul kreatif, karena ia dapat menghasilkan sesuatu yang baru. Pada tahap binatang tidak pernah terjadi sesuatu yang baru. Binatang tidak jarang memiliki bakat istimewa, sampai-sampai manusia sering kalah terhadap mereka. Namun mereka tidak pernah mengemukakan sesuatu yang baru. Sedangkan manusia, kata Hegel, adalah ein krankes Tier, binatang yang sakit. Maksudnya, manusia tidak pernah puas dengan keaadaan alamiahnya. Manusia selalu ingin melampaui keadaan yang disajikan kepadanya oleh alam. Ia menjalankan kemungkinan- kemungkinannya terus-menerus. Eksistensinya tidak pernah selesai dan ia insaf akan hal itu. Selalu ia mempunyai aspirasi untuk maju. Manusia, kata Merleau-Ponty, adalah un mouvement de transcendance, gerak yang senantiasa mengatasi dirinya sendiri. c. Temporalitas Historisitas tidak mungkin juga, seandainya manusia itu makhluk abadi yang terangkat di atas peredaran waktu. Historisitas mengandaikan bahwa eksistensi manusia dijalankan dalam waktu. Atau dirumuskan dengan cara lain, eksistensi manusia menurut kodratnya mempunyai struktur temporal. Sepanjang sejarah filsafat banyak sekali dibahas tentang waktu. Pada Aristoteles dan Augustinus sudah terdapat uraian-uraian tentang masalah waktu yang masih sempat merangsang pemikiran sampai pada hari ini. Bagi kita tidak mungkin mendalami bagian sejarah filsafat itu. Yang penting bagi tema kita ialah bahwa pada zaman modern konsepsi tentang waktu cukup lama didominasi oleh pandangan fisika. Isaac Newton yang menulis 2014 11 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sintesis besar tentang ilmu alam baru, mendefinisikan waktu sebagai berikut: “Tempus absolutum, verum et mathematicum in se natura sua sine relatione ad externum quodvis aequabiliter fluit alioque nomine dicitur duration” (Waktu yang absolut, benar dan matematis, menurut kodratnya mengalir terus dengan cara yang sama tanpa hubungan apa pun dengan sesuatu di luar dan dengan nama lain disebut durasi). Kalau begitu, waktu dimengerti sebagai semacam rentetan saat-saat yang lewat secara kontinyu: ada saat-saat yang sudah lewat dan karena itu tidak riil lagi (waktu lampau), ada saat-saat yang belum lewat dan karena itu belum riil (waktu depan) dan di antaranya terdapat saat sekarang sebagai semacam titik potong antara waktu lampau dan waktu depan. Hanya saat sekarang itu dianggap riil, tapi segera hilang pula, jatuh ke dalam ketiadaan dan diganti dengan saat lain. Dirumuskan sedikit karikatural, waktu lewat bagaikan kereta api kilat dan setiap saat kita berhadapan dengan satu gerbong saja yang terus-menerus diganti. Konsepsi tentang waktu serupa itu berlaku bagi waktu fisis atau waktu matematis, sebagaimana dikatakan oleh Newton sendiri. Itulah waktu yang ditunjukkan oleh jam, arloji atau kalender. Tapi itu bukan waktu dalam arti yang asali. Itu bukan waktu yang “benar”, sebagaimana diandaikan oleh Newton. Waktu fisis adalah waktu artifisial yang diturunkan dari waktu yang dihayati manusia, waktu antropologis. Bagaimana waktu dihayati secara asali? Waktu lampau, waktu sekarang dan waktu mendatang tidak merupakan tiga bagian waktu yang homogen. Di antara tiga bagian waktu itu waktu sekarang menduduki tempat istimewa. Waktu pada dasarnya adalah waktu sekarang, tapi tidak dalam arti titik potong yang timbul lalu segera hilang ke dalam ketiadaan. Waktu sekarang adalah “kehadiran” (presence). Dengan kata lain, waktu mengambil asalnya dari dalam manusia (bandingkan dengan Newton: “… tanpa hubungan apa pun dengan sesuatu di luar”). Waktu lampau hanya bisa menjadi lampau bagi saya, karena saya dapat mengakuinya sebagai lampau. Waktu lampau adalah hadir bagi saya dalam bentuk “tidak lagi”. Bila saya seorang dewasa, maka masa muda masih hadir bagi saya, bukan saja sejauh saya mengingatnya, tapi juga sejauh masa muda saya membentuk, membatasi, dan mengorientasi keadaan saya sekarang. Dalam konteks ini Husserl dan pengikut-pengikutnya menggunakan istilah Retention. Hal yang sejenis harus dikatakan tentang waktu mendatang. Waktu mendatang adalah hadir bagi saya dalam bentuk “belum”. Jadi, dengan salah satu cara hadir juga. Bila saya seorang muda, maka masa dewasa saya sudah hadir bagi saya sejauh saya rencanakan, takuti atau nantikan. Masa depan mengorientasi dan mempengaruhi keadaan saya sekarang. Para eksistensialis memang benar dengan menekankan bahwa pada setiap saat kematian sudah 2014 12 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id hadir dalam eksistensi seorang manusia, meski dalam bentuk “yang akan datang”. Kematian yang tak terelakkan mempengaruhi dan mengorientasi eksistensi saya sekarang. Dalam konteks waktu mendatang ini Husserl berbicara tentang Protention. Dengan demikian tiga “dimensi” waktu (lampau, mendatang, sekarang) mengambil asalnya dari subyek dan dipersatukan berdasarkan “kehadiran”. d. Intersubyektivitas Temporalitas tadi masih harus dilengkapi dengan implikasi lain lagi. Karena, bila dikatakan bahwa eksistensi mempunyai struktur temporal, hal itu masih dapat dimengerti tentang eksistensi perorangan saja. Tapi historisitas mengandaikan juga bahwa manusia hidup dan berkarya bersama dengan manusia lain. Seandainya manusia seorang Robinson Crusoe yang hidup seorang diri di pulau terpencil, tidak mungkin lagi dia “makhluk historis”. Manusia adalah makhluk historis, karena ia merealisasikan dirinya dan menghumanisasikan dunia bersama dengan orang lain, bukan saja kawan-kawan sewaktu melainkan juga generasi-generasi sebelumnya. Kita hidup dalam dunia yang telah dihumanisasikan oleh jerih payah banyak angkatan sebelum kita. Hidup sebagai manusia berarti hidup sebagai ahli waris: memanfaatkan pekerjaan dan pemikiran banyak sekali orang dari masa silam. Hal itu harus dipahami dengan cara seluas munkin: juga di bidang kesenian, etika, dan agama. Manusia adalah makhluk historis, karena selalu ia meneruskan. Historisitas menjadi mustahil, seandainya setiap generasi (apalagi, setiap individu!) harus menemukan segalanya bagi dirinya sendiri. Tapi dengan cara yang sama kita sekarang juga merealisasikan dunia di mana kita hidup, bukan saja bagi kita sendiri melainkan juga bagi generasi-generasi yang akan datang sesudah kita. Misalnya, sebagian besar tergantung pada kesigapan kita sekarang, bagaimana keadaan lingkungan hidup sesudah satu atau dua abad lagi. IV. Ikhtisar Paham “historisitas” ini mengizinkan kita untuk mencapai posisi yang cukup seimbang tentang hubungan manusia dengan sejarah. Tentang hubungan itu terdapat dua pandangan ekstrem. Di satu pihak terdapat apa yang boleh disebut “naturalisme”. Menurut pandangan ini manusia dianggap sebagai substansi yang tak terubahkan. Manusia dianggap selalu sama dalam setiap periode perkembangan historisnya. Manusia mempunyai kodrat yang tidak pernah berubah. Di lain pihak terdapat “historisisme” (historicism). Perlu diakui, istilah ini (dan sebenarnya hal yang sama berlaku juga untuk “naturalisme”) kerap kali kurang jelas karena digunakan dalam pelbagai arti. Dengan “historisisme” di sini dimaksudkan usaha untuk mengerti sesuatu dengan mengasalkannya kepada perkembangan historisnya. Misalnya, 2014 13 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id norma-norma etis dianggap semata-mata sebagai produk perkembangan historis sehingga norma-norma itu tidak pernah mungkin berlaku secara mutlak. Historisisme dalam arti ini menganggap juga manusia sendiri sebagai produk perkembangan historis. J. Ortega Y Gasset pernah mengatakan, “Manusia tidak mempunyai kodrat, ia hanya mempunyai sejarah”. Bila ucapan ini harus dipahami secara harfiah dan bukan sebagai paradoks saja, di sini secara jelas kita berjumpa dengan konsepsi historisistis tentang manusia. Bila dua pandangan tentang pokok yang sama berlawanan secara ekstrem, kerap kali kedua-duanya mengandung unsur kebenaran. Demikian halnya juga di sini. Dan paham “historisitas” dapat membantu untuk mencarikan jalan tengah antara dua posisi ekstrem tadi dan dengan demikian mensintesis kebenaran yang terdapat dalam kedua-duanya. Manusia adalah subyek dan serentak juga obyek sejarah. Bila ia subyek atau pelaku sejarah, itu berarti bahwa naturalisme untuk sebagian benar. Seandainya manusia tidak mempunyai identitas yang jelas, tidak mungkin ia memainkan peranan kreatif dengan menjadi pelaku sejarah. Manusia mengubah atau mentransformasi dunia dan sejarah adalah justru proses transformasi itu. Karena itu perlu diakui bahwa manusia mempunyai kodrat tertentu. Itulah kebenaran yang terpendam dalam naturalisme. Tapi manusia tidak mempunyai kodrat yang masif dan monolitis. Ia tidak sama dalam setiap periode dalam sejarah. Ia juga dipengaruhi dan dibentuk oleh sejarah. Itulah kebenaran historisisme. Sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa hubungan antara manusia dan sejarah bersifat dialektis. Artinya, terdapat perkaitan timbal balik antara manusia dan sejarah. Manusia membentuk serta menghasilkan sejarah dan serentak juga ia dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah. Kenyataan itu tidak lagi merupakan kontradiksi, bila kita mengerti historisitas sebagai struktur fundamental dalam eksistensi manusia. Daftar Pustaka Juneman. 2008. Manusia Dalam Wacana Filosofis. Modul Filsafat Manusia. Universitas Mercu Buana 2014 14 Filsafat Manusia Juneman dan Fahrul Rozi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id