PERAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM MEWUJUDKAN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA Oleh Rahmawati Suat Dosen Agama Islam Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Abstrak: Sebagai Agama yang universal PENDAHULUAN dan komprehensif Islam mengandung ajaran yang integral dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, dan tidak hanya mengajarkan tentang Akidah dan Akhlak semata tetapi juga mengandung ajaran dibidang ipteks dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Keberadaan Agama islam menjadi wujud kasih sayang ALLAH bagi makhluknya. Karena itu di sebut Agama rahmat bagi alam semesta karena menghormati semua manusia sebagai makhluk Allah dan bahkan semua makhluk-Nya. Islam melarang menyakiti agama lain atau non muslim, karena perbedaan agama di antara manusia merupakan konsekuensi dari kebebasan yang di berikan oleh Allah, maka perbedaan agama itu tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling berinteraksi social dan saling membantu, sepanjang masih dalam kawasan kemanusiaan. Perbedaan golongan sebagai pendorong untuk saling mengenal, saling memahami ,saling berhubungan, hal demikian akan mengantarkan setiap golongan kepada kesatuan dan kesamaan pandangan dalam membangun dunia yang di amanatkan Tuhan kepada setiap manusia. Sampai abad pertengahan dasawarsa 90-an masalah kerukunan beragama di Indonesia telah mencapai tingkat mengembirakan, banyak yang merasa iri sehingga merasa perlu menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama, realitas kerukunan yang di maksud bukanlah sesuatu yang langsung jadi, tetapi buah dari usaha yang panjang dan serius dari berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat, dan individuindividu), yang senantiasa mendorong agar tumbuhnya kesadaran yang menciptakan kebersamaan tersebut digiring menjadi kemauan untuk melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, yakni masyarakat adil dan makmur di dalam sebuah baldatunthayyibatun warabun ghafur. Potret kerukunan agama antar umat beragama tersebut sempat terusik oleh munculnya fenomena “amuk” yang memprihatinkan berbagai kalangan belakangan ini, dan justru terjadi di lingkungan masyarakat yang kental keagamaannya, kesan adanya friksi keagamaan di perkuat oleh kenyataan bahwa di antara yang menjadi sasaran amukan adalah sarana ibadah. Serentetan peristiwa tersebut mengandung polemik tajam di berbagai Kata-kata kunci: Peran pendidikan kalangan, terutama yang menyangkut Agama, Kerukunan Umat Beragama. latar belakang terjadi peristiwa amuk tersebut. Munculah berbagai analisis dan kesimpulan, mulai dari faktor kesenjangan ekonomi, organisasi kekuasaan, suksesi nasional, sampai Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 13 kepada friksi keagamaan. Adapun yang menjadi faktor penyebab munculnya fenomena amuk ini telah meninggalkan kesan mendalam di kalangan umat beragama di Indonesia dan di nilai cenderung merugikan bangsa yang selama ini di kenal sebagai bangsa yang ramah, namun di bagian yang lain, langsung atau tidak langsung sekaligus telah menurunkan kredibilitas umat-umat beragama yang sebelumnya di kenal memiliki tingkat kerukunan dan toleransi yang tinggi, untuk itu dalam perjalanan bangsa ini untuk masa selanjutnya, di perlukan sikap bijak dari segenap kalangan dalam berupaya mempertahankan keutuhan bangsa yang mulai meninggalkan keterbelakangan nya (Syamsuddin 1997: 6). Dalam konteks tersebut, maka eksistensi masyarakat muslim sebagai komunitas terbesar di Indonesia kembali diuji terutama dalam mengamankan pilarpilar persatuan yang akan menjamin kelanjutan pembangunan nasional Indonesia, dan bagaimanakah peran pendidikan Islam sebagai pendidikan nasional dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. PEMBAHASAN Kerukunan antar umat beragama tidak dapat di lepaskan dari teori golongan, dalam sosiologi terdapat klasifikasi golongan termasuk golongan agama. Klasifikasi ini terjadi dikarenakan oleh perbedaan pandangan antara pandangan sosiolog terhadap golongan itu sendiri. Golongan agama berpegang pada doktrin mutlak (wahyu Tuhan) yang dijadikan sebagai landasan pertimbangan dalam cara berfikir, segala ucapan dan tindakan, yang dari sosiologi akan di pandang terpuji jika mempertanggung jawabkan kebebasan berfikir dan menghilangkan rasa kebencian dan permusuhan dalam masyarakat. Berbicara antara kerukunan antara beragama, sesuai apa yang di kemukakan oleh Van Weise bahwa golongan agama adalah golongan gaib atau golongan abstrak, maka terdapat kesulitan dalam menentukan bentuk kerukunan antara umat beragama secara fisik. Sebagai golongan gaib, agama lebih menekankan pada kualitas yang hanya dilihat dari indikator keberagaman pemeluknya. indikator ini menampakan diri dalam ibadah dan amalan-amalan lain. Ibadah dalam pengertian luas bukan hanya terbatas dalam hubungan vertical antara pemeluk agama dan khaliknya, tetapi juga mencakup segala amal dan perbuatan yang bernilai baik, seperti kerja sama yang melahirkan aspek-aspek sosial yang timbul dari pergaulan antara umat beragama hanya dapat diwujudkan dalam bentuk kerja sama demi kepentingan bersama, terutama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, (Husin, 2003:7). Manusia dan Keharusan Universal Menurut Zaini (1984: 10) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan moderen belum mampu mengungkap hakikat manusia, sementara itu menurut Carel, penerima hadiah nobel 1948. Mengungkapkan kembali bahwa pengetahuan manusia tentang manusia belum mencapai kemajuan yang setara sebagaimana yang telah di capai dalam bidang ilmu pengetahuang yang lain. Dalam hal ini kaum agamawan dapat berkomentar bahwa pengetahuan tentang manusia yang mengalami situasi yang sedemikian disebabkan oleh keberadaan manusia itu sendiri sebagai makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat Ruh Illahi padahal manusia tidaklah di beri Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 14 pengetahuan tentang ruh, kecuali sangat sedikit. Namun demikian ada juga ulama yang berusaha mencari hakikat manusia melalui berbagai penulusuran. Muthahari (1992: 83) menyatakan bahwa manusia sama dengan makhluk hidup yang lainnya, yakni Ia memiliki hasrat dan tujuan. Pembedaan antara keduanya adalah manusia berjuang untuk mencapai tujuannya dengan di dukung oleh pengetahuan dan kesadarannya, sedangkan hewan berjuang untuk memenuhi hasratnya dengan didukung oleh instingnya. Perbedaan lain terlihat pada komitmen manusia terhadap agama, manusia menggunakan agama untuk mengatasi sifat mementingkan diri sendiri, dan egoisme melalui keimanan untuk menciptakan keshalihan pada masing-masing pribadi, manusia akan memeluk keimanan dengan menghargai dan memuliakannya, sehingga di fahami bahwa hidup tanpa keimanan akan menjadikannya absurd dan sia-sia. Oleh karenanya manusia akan memegang erat-erat hal tersebut secara penuh semangat serta ketaatan. Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat dalam Islam. Melainkan juga terdapat dalam agama lain. Dari kenyataan ini agama tidak salah bila ada yang berpendapat bahwa potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia kearah kehidupan mistis, barsifat natural dan universal sebagaimana tercermin pada nurani manusia apapun agama yang dianut, karena di dalam agama terdapat cahaya suci yang senantiasa ingin menata maha cahaya (TUHAN) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah munculah kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Pada satu sisi hal ini menjadi titik awal muncul fanatisme keagamaan secara berlebihan. Karena masing- masing merasa memiliki truth (klaim kebenaran), disisi yang lain hal ini dapat mencairkan fanatisme yang berlebihan dan membuahkan universalisme. Syamsuddin (1997: 6) membenarkan bahwa agama mempunyai watak yang mendua terhadap masalah kerukunan dan kesatuan. Pada satu sisi ia dapat mendorong persatuan antara manusia atau memiliki daya perekat sosial yang kuat sehingga dapat mempersatukan masyarakat. Di Indonesia misalnya, agama telah terbukti memiliki daya rekat dalam perspektif sosio-historis. Agama dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa indonesia. Keberadaan agama Islam sebagai agama yang di anut oleh mayoritas bangsa Indonesia telah menjadi faktor penentu dalam menyatukan suku-suku bangsa di negeri ini. Karena kesamaan agama, perbedaan suku dan ras dapat di satukan. Namun di sisi lain, agama juga mendorong konflik sehingga ia dapat memecah persatuan masyarakat. Kenyataan sejarah telah menunjukan adanya konflik yang dipicu oleh motifmotif yang bergerak atas unsur keagamaan. Adanya potensi faktor agama untuk memecah persatuan sebuah masyarakat lebih disebabkan oleh tiga watak suatu agama: 1. karena agama memiliki sifat yang absolut, akibatnya rasa keberagaman hanya di rasakan dan diyakini oleh pemeluknya sebagai sesuatu yang mutlak oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama akan meyakini kebenaran Agamanya sebagai yang mutlak, di sinilah perwujudan sosialogisnya dapat terjadi benturan karena masing-masing mengakui dan bahkan mengeksplisitkan dalam kehidupan sosial bahwa agama yang paling benar. Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 15 2. Agama memiliki karakteristik untuk mengadakan penyebaran diri. Disini para pemeluk suatu agama melakukan penyebaran agama mereka sehingga dapat berkembang sampai jauh di luar tanah kelahirannya, bahkan mendunia. Kecenderungan tersebut makin menguat akibat adanya legitimasi dari firman Tuhan dalam kitab suci. 3. Agama mempunyai kecenderungan untuk membentuk masyarakat atau pengelompokan sosial yang berdasarkan atas kesamaan agama. inilah yang melahirkan konsep umat, dan bahkan meluas dan kemudian melahirkan ekslusifisme, atau fanatisme yang kaku. pemerintah tidak berhak mencampuri urusan interen agama masing-masing, terutama masalah aqidah dan ibadah pemeluk masing-masing agama. Dengan kata lain pemerintah melalui toleransi dan kerukunan hidup antara umat beragama, pembinaan tersebut sebenarnya bukan hanya tugas dan kewajiban Departemen agama saja, melainkan juga merupakan tanggung jawab semua pihak terutama masing-masing kelompok umat beragama itu sendiri. Ali (1971: 12) membahas pendapat beberapa ahli dalam upaya menciptakan toleransi dan kerukunan antara umat beragama, sebagai berikut: 1. Dengan jalan sinkretisme, adalah Ketiga watak agama tersebut, faham yang berkeyakinan bahwapada dapat di ketahui memiliki tingkat dasarnya semua agama sama, dan kepekaan yang relative tinggi. Terutama semua tingkah laku harus di lihat karena agama di hayati oleh masingsebagai wujud dan fanatisme dari keberadaan asli (zat) sebagai masing pemeluknya sebagai sesuatu yang subyektif dan personal, yang pancaran terang. dihapuskan begitu saja. Namun begitu 2. Dengan jalan rekonsepsi, pandagan keberadaan mereka dapat di eliminasikan ini menawarkan pemikiran bahwa sedemikian rupa sehingga akan diperoleh orang harus menyalami secara titik temu keberagaman menurut mendalam dan meninjau kembali karakteristik masing-masing agama dapat ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam menjaga perdamaian abadi di muKa bumi rangka konfrontasinya dengan agamaini. agama yang lain. Tokoh aliran ini yang terkenal adalah W. E Hocking, yang Kerukunan dalam Kehidupan Bangsa berpendapat bahwa semua agama yang Majemuk sama saja. Obsesi hocking yang Indonesia dikenal sebagai bangsa menonjol adalah bagaimana yang majemuk karena menyimpan akar sebenarnya hubungan antara agamakeberagaman dalam hal agama, tradisi, agama yang terdapat di dunia ini dan bagaimana cara rekonsepsi dapat dan budaya. Dalam kaitannya dengan masalah agama, setidaknya adalima memenuhi rasa kebutuhan akan suatu agama yang di akui secara resmi oleh agama yang mengandung unsur-unsur Negara. kelima agama tersebut yaitu dari berbagai agama. agama Islam, Khatolik, Protestan, Hindu, 3. Dengan jalan sintesis, yakni dengan Budha. Pemerintah dalam hal ini menciptakan suatu agama baru yang Departemen Agama RI, memiliki tugas elemen-elemennya di ambil dari untuk mengelola, membina kehidupan agama-agama lain. Dengan cara ini keagaman dan umat beragama di tiap-tiap pemeluk dari suatu agama Indonesia. Walaupun demikian merasa bahwa sebagian dari ajaran Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 16 agamanya telah di ambil dan di masukan ke dalam agama sintesis. Dengan jalan ini orang menduga bahwa toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama akan tercipta dan terbina. 4. Dengan jalan penggatian, pandangan ini menyatakan bahwa agamanya sendirilah yang benar, sedangkan agama orang lain adalah salah seraya berupaya keras agar para pengikut agama lain itu memeluk agamanya, ia tidak rela melihat orang lain memeluk agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan agama yang di anutnya. Oleh karena itu agama lain haruslah di ganti dengan agama yang ia peluk. Dengan jalan ini ia menduga bahwa kerukunan hidup beragama dapat di ciptakan dan di kembangkan. Mukti ali tidak bisa dapat menerima ke empat faham ini sebab dalam ajaran Islam al-khalik atau sang pencipta adalah sama skali berbeda dengan makhluk yang di ciptakannya. Antara khalik dan makhluk terdapat garis pemisah, sehingga menjadi jelas siapa yang di sembah dan untuk siapa orang itu berbakti atau mengabdi. Dengan cara tersebut agama tidak ubahnya seprti produk pemikiran manusia semata. Padahal agama secara fundamental di yakini bersumber dari wahyu Tuhan dan akal tidak mampu menciptakan atau menghasilkan agama tetapi agamalah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada manusia untuk menggunakan akal dan nalarnya. Karena kenyataan bahwa menurut kodratnya sosok kehidupan masyakat itu adalah pluralistik dalam kehidupan agama etnis, tradisi, seni budaya, dan cara hidup. Cara-cara tersebut akan mendorong seseorang atau orang lain agar menganut agama yang ia peluk. 5. Dengan jalan pendekatan, “setuju dalam perbedaan”. Gagasan ini menekankan bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling baik walaupun demikian ia mengakui, di antara agama yang satu dengan agama yang lain, selain ada perbedaan, juga terdapat persamaan. Pengakuan seperti ini akan membawa pada suatu pengertian yang dapat menimbulkan sikap saling menghargai dan saling menghormati antara kelompok agama yang satu dengan yang lain. Dalam pendapat Mukti ali, pendekatan kelima inilah yang lebih tepat dan cocok untuk di kembangkan dalam membina toleransi dan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia yang terkenal sebagai masyarakat yang majemuk. Setiap pemeluk agama hendaknya meyakini dan mempercayai kebenaran agama yang di peluknya ini adalah sikap yang wajar dan logis. Kalau ia telah berlaku bodoh terhadap agama yang di anut. Di samping itu, di dalam membicarakan kerukunan antara umat beragama, harus di dasarkan atas dasar asumsi tentang adanya kemungkinan bertemunya berbagai agama dalam suatu landasan bersama (common platform). Pertanyaan kita sekarang adalah; adakah titik temu agama-agama tersebut sebagai bangsa yang sering dikagumi memiliki toleransi tingkat beragama yang tinggi, bangsa Indonesia sepantasnya memberi jawaban ya. Sebagaimana yang dikatakan Nurcholis Madjid (1995: 191), bahwa logika toleransi atau kerukunan ialah saling pengertian dan penghargaan, yang pada urutannya mengandung logika titik temu, meskipun terbatas pada hal-hal yang prinsipil. Untuk hal-hal yang rinci seperti ekspresi yang simbolis dan formalitas, tentu sulit bahkan tidak mungkin di pertemukan. Islam sangat menghargai dialog antara umat beragama, bahkan men- Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 17 syaratkan cara yang lebih baik yakni sopan, etis, dan penuh tenggang rasa (QS. 29: 46). Islam melarang umatnya untuk mendeskreditkan umat lain yang tidak menyembah Allah, sebab pada akhirnya merekapun akan mencela Allah karena rasa permusuhan tanpa dasar pengetahuan (Q.S. 6: 108). Bagaimanapun juga rasa permusuhan tidak akan dapat mendatangkan ketentraman di hati umat beragama karena masing-masing merasa terancam oleh yang lain.Padahal ketentraman merupakan salah satu syarat hadirnya kebahagiaan hidup. Islam menggariskan suatu prinsip bagimu agamamu dan bagiku agamaku (Q.S. 109: 60), hal ini dapat menjadi suatu konsep dasar toleransi dalam arti untuk tidak saling mengusik keberadaan masing-masing. Lembaga Pendidikan Dan Kehidupan Umat Beragama Monoteisme mengandung ajaran yang dapat membawa manusia kepada sikap intoleran, namun ia juga memuat ajaran-ajaran yang mendorong umat manusia kepada toleransi dan kerukunan hidup beragama. Sikap intoleran dan toleransi antara umat beragama menurut Nasution (1995: 274) lebih banyak tergantung pada ajaran-ajaran suatu agama dalam masyarakat Indonesia. Kehidupan umat beragama seolah-olah tidak mengenal toleransi, karena ajaran yang sering diajarkan oleh beberapa tokoh agama kepada jamaahnya atau guru agama kepada anak didiknya, terkadang cenderung memberikan kesan dan pengertian yang kurang memberikan tempat bagi toleransi antar umat beragama. Upaya menjaga kerukunan antara umat beragama tidak dapat dilakukan dengan sambil lalu saja, apalagi hanya bersikap kualitatif temporer. Upaya itu harus lebih bersifat preventif kontemporer. Untuk itu diperlukan konsep teologi kerukunan antara umat beragama yang disusun dalam suatu dialog intensif oleh para pemuka agama. Di samping itu, di perlukan strategi penyebarluasan konsep tersebut kepada segenap bangsa Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia yang majemuk ini, pemantapan toleransi bagi segenap bangsa secara sistematis haruslah menjadi suatu upaya yang selalu ditumbuh kembangkan upayaupaya sistematis tersebut direalisasikan melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Ini sekaligus merupakan implementasi konsep teologi kerukunan beragama dan dapat di tempuh melalui pelajaran agama di lembaga pendidikan formal, melalui dari tingkat perguruan dasar sampai perguruan tinggi, memang di akui bahwa jam pelajaran agama sangat terbatas, dan untuk itu tidak semua hal yang seharusnya diajarkan kepada para siswa dan mahasiswa. Harun Nasution memberikan tuju pointers utama sebagai penanaman toleransi di kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk dan dapat dijadikan modal dasar penyusunan konsep teologi kerukunan yakni: 1. Mencoba melihat kebenaran agama yang ada dalam agama lain. 2. Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama. 3. Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama. 4. Memupuk rasa persaudaraan seTuhan. 5. Memusatakan pembinaan individu dan masyarakat manusia yan baik yang menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteis 6. Mengutamakan pelaksanaan ajaranajaran yang membawa kepada toleransi agama. Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 18 7. Menjauhi praktek serang menyerang telah menjadi semakin penting. Dengan antara agama. begitu, jiwa toleransi antar umat beragama di kalangan bangsa Indonesia Ketuju uraian di atas dinilai relevan akan dapat ditumbuh kembangkan. untuk di kembangkan oleh pemuka Terlepas dari kesimpulan tentang masing-masing agama dalam apa yang melatarbelakangi terjadi merumuskan konsep teologi kerukunan. peristiwa yang menggenaskan di Konsep tersebut memang perlu di Sitobondo, Ambon, Poso, Tasikmalaya, dialogkan oleh pemuka agama dari Rengasdengklok, atau yang lainnya masing-masing agama untuk adalah bukan faktor agama, yang jelas dikonfirmasikan dan ini tidak peristiwa-peristiwa tersebut dapat dimaksudkan untuk merukunkan ajaran mengganggu kerukunan hidup antara semua agama tetapi mencari butir-butir umat beragama. Oleh karenanya kualitas ajaran pada suatu agama, yang kerukunan antara umat beragama harus mengarah pada kehidupan bersama ditingkatkan. secara damai. Pendidikan Islam harus Selanjutnya, butir ajaran di merespons situasi ini dengan langkah netralisasikan kepada pemeluk masing- yang dapat menanamkan atau masing agama. Konsep tersebut secara menyosialisasikan konsep Islam tentang sistematis dapat di lakukan melalui kerukunan hidup beragama kepada anak lembaga pendidikan, dengan didik bahkan harus di pertegas bahwa memasukkan ke dalam kurikulum. Islam merupakan agama yang cinta Mengingat jam untuk pendidikan perdamaian, karena subtansi Islam itu agama dinilai kurang, maka sekaligus adalah perdamaian. dilakukan penambahan jam pelajaran Saridjo (1996: 74) mengakui sebagai pengupayaan penyebarluasan urgensi penelaahan terhadap masalah konsep teologi kerukunan. pendidikan agama, sangat berkaitan Sedangkan untuk pendidikan di dengan toleransi beragama. Dalam luar sekolah, upaya-upaya ini dapat di masalah ini pendidikan agama justru lakukan melalui ceramah-ceramah harus mampu menyumbangkan pola keagamaan, penataran, dialog antar umat pemupukan toleransi antara umat beragama, dan sebagainya. beragama dan peningkatan kerja sama Melalui upaya tersebut di harapkan antara umat beragama dalam akan tercipta pola hubungan yang sehat menghadapi masalah-masalah soial. dan harmonis di antara para pemeluk Karena agama pada dasarnya adalah suatu agama dengan yang lain. Inheren dengan pembentukan perilaku, Bagi bangsa Indonesia teologi tidak ada pendidikan agama tanpa tanpa kerukunan dalam konsep yang lebih pembentukan perilaku dan budi pekerti maju, merupakan tuntutan yang harus di luhur. Oleh karena itu sikap pendidikan penuhi dan dalam kaitan dengan agama terhadap pemeluk agama lain peningkatan intensitasnya, maka sangat berpengaruh terhadap sikap anak keberadaan lembaga pendidikan sangat didik dalam menghadapi pemeluk agama bersifat strategis.Terlebih dalam lain. menghadapi suasana era industrialisasi Seorang pendidik (guru) agama yang segera dijalani masyarakat bangsa islam hendaknya memiliki wawasan ini, penjelasan ajaran-ajaran agama tentang Universalisme Islam. dengan menekankan perlunya toleransi Melalui pendidikan Islam kepada para Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 19 siswa dapatlah di tanamkan pemahaman bahwa sebagai umat yang telah di beri seruan untuk mencari “Kalimatun Sawa‟‟ maka selayaknya senantiasa mencari titik temu dan menonjolkan kesamaan dengan umat lain. Disini tidak di anjurkan untuk menonjolkan perbedaan, tetapi dengan segala kearifan justru harus berupaya mengeliminasikan perbedaanperbedaan yang ada untuk tidak di persoalkan dalam mewujudkan kerja sama- kerja sama kebangsaan. Sikap rasul yang sarat dengan nuansa toleransi dan kerukunan seperti peristiwa athu Makkah, Piagam Madinah, serta sikap rasul kepda umat lain dapat dijadikan rujukan dalam menumbuh kembangkan kerukunan antara umat beragama. Kekhawatiran yang masih kita pendam adalah dapatkah pendidikan Islam di Indonesia ikut berperan secara pasti dalam menciptakan kehidupan yang rukun antar umat beragama. Pertanyaan ini muncul karena asumsi-asumsi pengajaran yang selam ini berlangsung masih mendorong output-nya pada bentuk kehidupan yang ekslusif. Tantangan yang menghadang adalah bagaimana melahirkan suatu generasi yang anggun secara moral dan beribawa secara intelektual sehingga di segani bangsa lain. Sebagai langkah pertama untuk menyelesaikan tantangan tersebut adalah menggalang keutuhan dan kerukunan antara umat beragama sebagai suatu bangsa yang besar, dan dalam hal ini lembaga pendidikan dan kalangan pendidikan muslim harus menanggapinya dengan menunjukan adanya kebaikan dalam agama-agama lain dalam proses pengajarannya, untuk mengurangi kepicikan beragama anak didiknya. Ini semua agar kita bisa tampil sebagai agama yang beribawa dan memiliki rasa percaya diri dimasa yang akan datang. Untuk itu harus merumuskan langkah-langkah taktis dan strategis dalam mengukir masa depan bangsa, karena hanya dengan bermodalkan kesatuan dan kekompakan antara segmen, dan senantiasa siap menjaga kerukunan dengan saling menghormati sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Maka bekerja keras dalam membangun bangsa akan melahirkan peradaban yang asri, anggun, dan memiliki syariat adalah jalan bagi manusia untuk beribada kepada Tuhannya. Bagi tiap-tiap umat telah di tetapkan syariat sesuai nabinya, dan penetapan syariat itu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan mereka. Qurais Shihab (2002: 121) menyimpulkan bahwa ayat ini menyatakan satu prinsip dasar dalam persoalan Agama, yakni tidak di perkenankannya „‟Menghina‟‟ atau mempermasalahkan agama dan kepercayaan pihak lain. Pemaparan tersebut secara global menyatakan hal-hal penting mengenai doktrin kerukunan hidup beragama dalam islam, antara lain: 1. Islam secara jujur dan terbuka mengakui keberadaan agama-agama terdahulu atau agama-agama lain yang hidup sezaman. Islam juga siap menerima kehadiran agama-agama lain untuk berdampingan secara layak. Islam sama skali tidak membawa umatnya untuk bersikap masa bodoh, apatis, dan pura-pura tidak tahu atas kehadirannya agama orang lain (the religious other), kesiapan untuk hidup bertetangga dalam keragaman dan perbedaan, dan dalam situasi damai merupakan cita-cita luhur Islam sebagai agama yang menjamin keselamatan bagi orang lain. 2. Lebih dari sekedar koeksistensi, Islam mengarahkan penganutnya untuk Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 20 menunjukan secara demonstratif maupun persuasive kesiapan hidup dalam kolaborasi, kerja sama, saling memberi dan menerima dengan siapapun yang menjadi tetangga iman, tetangga etnik, dan tetangga kultur mereka. Bahu membahu untuk menghadapi dan memecahkan problema bersama umat islam inilah yang di sebut proeksistensi. 3. Hidup rukun secara berdampingan koeksistensi dan kemauan untuk menjalin hubungan bersahabatan dan bekerja sama dengan mereka yang lain dan berbeda (proeksistensi), sangat membutuhkan keterampilan bersikap untuk menghargai perbedaan dan keragaman itu. Menghargai bukan semata-mata menerima secara pasif kehadiran mereka namun juga berfikiran positif atas mereka tanpa harus kehilangan jati diri. Menghargai adalah menghormati keragaman agama-agama sekaligus tetap loyal pada identitasnya sendiri. Strategi Membangun Kerukunanhidup Umat Beragama Perspektif Al,Qur’an Nabi Muhammad SAW pernah mendapat teguran dari Allah, yang terekam dalam Surat Yunus ayat 99, artinya “apakah kamu (Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua’’. Artinya Islam berpandangan bahwa menjadi hak setiap orang untuk memercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun dalam waktu bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena itu soal pribadi, tidak ada gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak di barengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Dalam membangun kerukunan intra dan antar umat beragama, Al,Qur‟an mengembangkan prinsip “titik temu‟, melalui dua strategi antara lain: 1. Menebar toleransi secara umum, toleransi memiliki makna secara luas. Menurut Muhammad Abdul Hakim (2002: 31) toleransi berkonotasi menahan diri dari pelarangan dan penganiayaan, yakni tidak melarang serta tidak mengintimidasi atau menganiaya orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Lebih lanjut toleransi mengakui adanya kebebasan beragama dan persamaan hak beragama. Sebagai suatu ajaran fundamental, konsep toleransi telah banyak di tegaskan dalam ayat-ayat Al,Qur‟an, yang berpandangan bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antara sesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa bahwa tuhan menciptakan bumi tidak untuk suatu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama itu, tidak berarti bahwa tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing. Landasan teologisnya adalah surat AlImran ayat 64 menjelaskan bahwa “Katakanlah olehmu (Muhammad) wahai ahli kitab marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun Sawa) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak akan menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukannya dengan apapun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah’’.(QS. Ali Imran: 64). Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 21 a. b. c. d. e. f. Model hidup bersama (living together) dan penuh toleransi bukan semata berangkat dari cita-cita luhur yang secara normatif tertuang dalam Al,Qur‟an. Model tersebut telah diwujudkan secara historis dalam kehidupan nyata pada masa kenabian Muhammad S.A.W. bahwa Beliau telah membangun landasan-landasan utama bagaimana kehidupan bersama bisa di bangun melalui suatu kontrak politik dengan pihak agama lain yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah (wathiigah al-madiinah). Kontrak politik itu mencakup berbagai aspek kehidupan sosial dan politik bahkan juga agama. Prinsip-prinsip utama kehidupan bersama antara Muslim dan non-Muslim meliputi berbagai aspek penting berikut: piagam madinah secara gamblang dan lugas memberikan jaminan atas keberagaman keyakinan dan kepercayaan keagamaan. Hak bebas untuk memilih dan menganut agama serta menjalankan keyakinan itu memperoleh perlindungan. warga yang berbeda keyakinan dengan Islam, sebagai bagian dari anggota masyarakat memiliki partisipasi yang sama dan penuh dalam kehidupan soaial dan politik. warga yang tidak beraqidah Islam namun menyepakati kontrak politik, berhak mendapatkan jaminan perlindungan atas hak-hak mereka. warga non-Muslim mempunyai hak bicara dan hak suara yang sama dengan warga Muslim dalam persoalan politik dan public. Negara bertanggung jawab penuh terpeliharanya hak-hak warga Negara non-Muslim (Zakiyuddin Baidhawi 2005: 150). menyamai komunikasi tidak ada yang menyangkal bahwa komunikasi merupakan faktor penting untuk mewujudkan kerukunan di tengah masyarakat. Komunikasi merupakan jalan untuk membangun keharmonisan untuk membangun sikap toleransi, maka di perlukan komunikasi yang intensif di antara umat beragama. Dengan demikian komunikasi merupakan proses menyampaikan pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain atau sekelompok orang. Ada sejumlah cara yang di pakai untuk berkomunikasi, yaitu melalui lisan (pembicaraan), tulisan tanda, atau lainnya. Dalam konteks membangun kerukunan hidup umat beragama ada dua pola komunikasi yang harus di bangun. Pertama: komunikasi langsung di antara berbagai kelompok masyarakat baik dari segi agama, suku etnis, budaya, golongan, dan sebagainya perludi adakan sebuah forum dialog yang memberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat. Dari forumforum semacan ini, akan diperoleh masukan pembagian tugas dan tanggung jawab masingmasing kelompok dapat mempunyai saluran untuk mengemukakan pemikiran atau gagasan untuk membangun suatu tatanan kehidupan masyarakat yang lebih demokratis, aman, tertib dan nyaman. Kedua: komunikasi tidak langsung, Komunikasi ini di lakukan dengan tidak berhadapan secara langsung, melainkan dapat menggunakan media masa, baik cetak maupun elektronika. Dari komunikasi semacam ini dapat diperoleh gambaran tentang masing-masing tugas dan tanggung jawab sehingga tercipta sikap saling menghormati. Dalam hal ini, peran media masa baik cetak maupun elektronika, sangat signifikan. Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 22 Semua itu, menurut Al,Qur‟an akan terwujud apabila adanya sikap saling menghormati hak-hak, mengakui eksistensi agama lain, dan sikap baik toleransi kepada sesama agama atau antar agama. Akhirnya marilah kita sama-sama memulainya dari diri kita, memahami lebih dalam lagi tentang ajaran agama kita, dan kemudian kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga permasalahan yang ada di negeri Indonesia ini segera usai dengan mengembangkan sikap toleransi dan melakukan harmonisasi antara KESIMPULAN agama dengan agama sesuai dengan Di era moderen ini, khususnya syariat Islam. dalam hal keagamaan semakin terlihat adanya indikasi alienasi faham SUMBER RUJUKAN keagamaan, bahkan kadang kala menjadi Ali, A. Mukti. 1971. Faktor-faktor penyiaran islam, Yayasan Nida: salah satu sumber kekerasan, kendatipun bukan satu-satunya sumber. Yogyakarta. Agama yang senantiasa di letakan Syamsuddin, Dien. 1997. “Republika”. Madjid, Nurcholish. 1995. Islam di menara gading tidak mampu Agama Kemanusiaan. Jakarta. memberikan jawaban mujarab terhadap problema keumatan dan kemanusiaan. Paramadina. Dalam rangka mewujudkan toleransi Muthahhari, Murtadha. 1992.Perspektif Al,Qur’an Manusia dan Agama. yang berujung pada kerukunan antar umat beragama harus ada paradigma Bandung: Mizan. Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir kesetaraan dalam agama. Almisbah, Pesan Kesan dan Paradigma tersebut di mulai dari Keselarasan Al,Qur’an. Jakarta: keberagaman yang terbuka dan bertanggung jawab. Pilihan beragama Lentera Hati. seseorang atau sebuah kelompok Muhammad, Abdul Hakim. 2002. Memahami Al,Qur’an; Pendekatan sesungguhnya tidak semata-mata Gaya dan Tema. Bandung: Marja merupakan pilihan teologis, melainkan juga pilihan pada akhirnya ketika ada press. paradigma kesetaraan dalam agama Nasution, Harun. 1992. Perspektif Al,Qur’an dan Manusia Tentang muncul, maka klaim yang memicu salah Agama. Bandung: Mizan. satu konflik tidak akan terjadi. Defenisi kebenaranpun tetap Saridjo, Marwan. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: mutlak dan absolut dan akhirnya toleransi ada, maka kerukunan tercipta dan Amisco. Quraish. 1996. Wawasan berpangkal pada masyarakat yang Shihab, Al,Qur’an. Bandung: Mizan. dinamis dan harmonis dalam suatu Husin, Said Agil. 2003. Fiqih Hubungan kemajemukan. Antar Agama. Ciputat Perss: Jakarta. Media-media tersebut dapat memberitakan segala sesuatunya kepada masyarakat secara luas. Oleh karena itu apa yang di beritakan akan berdampak massal. Akan tetapi yang perlu di perhatikan di sini adalah bagaimana media-media tersebut dapat menampilkan informasi dan pemberitaan yang dapat menimbulkan kerukunan, sikap saling menghormati, dan membangun toleransi, bukan sebaliknya, pemberitaan justru membuat masyarakat terprovokasi untuk berbuat pengrusakan, (Sholehuddin, 2010: 37). Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 23 Sholehuddin. 2010. Pluralisme Agama dan Toleransi. Depok: Bina Muda Cipta Kreasi. Zaini, Syahminan. 1994. Mengenal Manusia Lewat Al,Qur’an. Surabaya: Bina Ilmu. Zakiyuddin, Baidhawi. 2005. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: PSAP Press. Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13 24