Abstrak: Sebagai Agama yang universal dan komprehensif

advertisement
PERAN PENDIDIKAN AGAMA
DALAM MEWUJUDKAN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Oleh Rahmawati Suat
Dosen Agama Islam Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
Abstrak: Sebagai Agama yang universal PENDAHULUAN
dan komprehensif Islam mengandung
ajaran yang integral dalam berbagai
aspek kehidupan umat manusia, dan
tidak hanya mengajarkan tentang Akidah
dan
Akhlak
semata
tetapi
juga
mengandung ajaran dibidang ipteks dan
bidang-bidang
kehidupan
lainnya.
Keberadaan Agama islam menjadi wujud
kasih sayang ALLAH bagi makhluknya.
Karena itu di sebut Agama rahmat bagi
alam semesta karena menghormati
semua manusia sebagai makhluk Allah
dan bahkan semua makhluk-Nya. Islam
melarang menyakiti agama lain atau non
muslim, karena perbedaan agama di
antara manusia merupakan konsekuensi
dari kebebasan yang di berikan oleh
Allah, maka perbedaan agama itu tidak
menjadi penghalang bagi manusia untuk
saling berinteraksi social dan saling
membantu, sepanjang masih dalam
kawasan
kemanusiaan.
Perbedaan
golongan sebagai pendorong untuk saling
mengenal, saling memahami ,saling
berhubungan,
hal
demikian
akan
mengantarkan setiap golongan kepada
kesatuan dan kesamaan pandangan
dalam membangun dunia yang di
amanatkan
Tuhan
kepada
setiap
manusia.
Sampai
abad
pertengahan
dasawarsa 90-an masalah kerukunan
beragama di Indonesia telah mencapai
tingkat mengembirakan, banyak yang
merasa iri sehingga merasa perlu
menciptakan kerukunan hidup antar umat
beragama, realitas kerukunan yang di
maksud bukanlah sesuatu yang langsung
jadi, tetapi buah dari usaha yang panjang
dan serius dari berbagai pihak baik
pemerintah, masyarakat, dan individuindividu), yang senantiasa mendorong
agar
tumbuhnya
kesadaran
yang
menciptakan
kebersamaan
tersebut
digiring
menjadi
kemauan
untuk
melaksanakan pembangunan di berbagai
bidang, yakni masyarakat adil dan
makmur
di
dalam
sebuah
baldatunthayyibatun warabun ghafur.
Potret kerukunan agama antar
umat beragama tersebut sempat terusik
oleh munculnya fenomena “amuk” yang
memprihatinkan
berbagai
kalangan
belakangan ini, dan justru terjadi di
lingkungan masyarakat yang kental
keagamaannya, kesan adanya friksi
keagamaan di perkuat oleh kenyataan
bahwa di antara yang menjadi sasaran
amukan adalah sarana ibadah.
Serentetan
peristiwa
tersebut
mengandung polemik tajam di berbagai
Kata-kata kunci: Peran pendidikan kalangan, terutama yang menyangkut
Agama, Kerukunan Umat Beragama.
latar belakang terjadi peristiwa amuk
tersebut. Munculah berbagai analisis dan
kesimpulan,
mulai
dari
faktor
kesenjangan
ekonomi,
organisasi
kekuasaan, suksesi nasional, sampai
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
13
kepada friksi keagamaan. Adapun yang
menjadi faktor
penyebab munculnya
fenomena amuk ini telah meninggalkan
kesan mendalam di kalangan umat
beragama di Indonesia dan di nilai
cenderung merugikan bangsa yang
selama ini di kenal sebagai bangsa yang
ramah, namun di bagian yang lain,
langsung atau tidak langsung sekaligus
telah menurunkan kredibilitas umat-umat
beragama yang sebelumnya di kenal
memiliki tingkat kerukunan dan toleransi
yang tinggi, untuk itu dalam perjalanan
bangsa ini untuk masa selanjutnya, di
perlukan sikap bijak dari segenap
kalangan
dalam
berupaya
mempertahankan keutuhan bangsa yang
mulai meninggalkan keterbelakangan nya
(Syamsuddin 1997: 6).
Dalam konteks tersebut, maka
eksistensi masyarakat muslim sebagai
komunitas terbesar di Indonesia kembali
diuji terutama dalam mengamankan pilarpilar persatuan yang akan menjamin
kelanjutan
pembangunan
nasional
Indonesia, dan bagaimanakah peran
pendidikan Islam sebagai pendidikan
nasional dalam mewujudkan kerukunan
antar umat beragama di Indonesia.
PEMBAHASAN
Kerukunan antar umat beragama
tidak dapat di lepaskan dari teori
golongan, dalam sosiologi terdapat
klasifikasi golongan termasuk golongan
agama. Klasifikasi ini terjadi dikarenakan
oleh perbedaan pandangan antara
pandangan sosiolog terhadap golongan
itu sendiri.
Golongan agama berpegang pada
doktrin mutlak (wahyu Tuhan) yang
dijadikan sebagai landasan pertimbangan
dalam cara berfikir, segala ucapan dan
tindakan, yang dari sosiologi akan di
pandang terpuji jika mempertanggung
jawabkan
kebebasan
berfikir
dan
menghilangkan rasa kebencian dan
permusuhan dalam masyarakat.
Berbicara antara kerukunan antara
beragama,
sesuai
apa
yang
di
kemukakan oleh Van Weise bahwa
golongan agama adalah golongan gaib
atau golongan abstrak, maka terdapat
kesulitan dalam menentukan bentuk
kerukunan antara umat beragama secara
fisik.
Sebagai golongan gaib, agama
lebih menekankan pada kualitas yang
hanya dilihat dari indikator keberagaman
pemeluknya. indikator ini menampakan
diri dalam ibadah dan amalan-amalan
lain.
Ibadah dalam pengertian luas
bukan hanya terbatas dalam hubungan
vertical antara pemeluk agama dan
khaliknya, tetapi juga mencakup segala
amal dan perbuatan yang bernilai baik,
seperti kerja sama yang melahirkan
aspek-aspek sosial yang timbul dari
pergaulan antara umat beragama hanya
dapat diwujudkan dalam bentuk kerja
sama demi kepentingan bersama,
terutama
dalam
kehidupan
sosial
kemasyarakatan, (Husin, 2003:7).
Manusia dan Keharusan Universal
Menurut
Zaini
(1984:
10)
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
moderen belum mampu mengungkap
hakikat manusia, sementara itu menurut
Carel, penerima hadiah nobel 1948.
Mengungkapkan
kembali
bahwa
pengetahuan manusia tentang manusia
belum mencapai kemajuan yang setara
sebagaimana yang telah di capai dalam
bidang ilmu pengetahuang yang lain.
Dalam hal ini kaum agamawan dapat
berkomentar bahwa pengetahuan tentang
manusia yang mengalami situasi yang
sedemikian disebabkan oleh keberadaan
manusia itu sendiri sebagai makhluk yang
dalam unsur penciptaannya terdapat Ruh
Illahi padahal manusia tidaklah di beri
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
14
pengetahuan tentang ruh, kecuali sangat
sedikit. Namun demikian ada juga ulama
yang berusaha mencari hakikat manusia
melalui berbagai penulusuran.
Muthahari (1992: 83) menyatakan
bahwa manusia sama dengan makhluk
hidup yang lainnya, yakni Ia memiliki
hasrat dan tujuan. Pembedaan antara
keduanya adalah manusia berjuang untuk
mencapai tujuannya dengan di dukung
oleh pengetahuan dan kesadarannya,
sedangkan hewan berjuang untuk
memenuhi hasratnya dengan didukung
oleh instingnya.
Perbedaan lain terlihat pada
komitmen manusia terhadap agama,
manusia menggunakan agama untuk
mengatasi sifat mementingkan diri
sendiri, dan egoisme melalui keimanan
untuk menciptakan keshalihan pada
masing-masing pribadi, manusia akan
memeluk keimanan dengan menghargai
dan memuliakannya, sehingga di fahami
bahwa hidup tanpa keimanan akan
menjadikannya absurd dan sia-sia. Oleh
karenanya manusia akan memegang
erat-erat hal tersebut secara penuh
semangat serta ketaatan.
Ajaran spiritualitas seperti ini tidak
hanya terdapat dalam Islam. Melainkan
juga terdapat dalam agama lain. Dari
kenyataan ini agama tidak salah bila ada
yang berpendapat bahwa potensi dan
kecenderungan kehidupan batin manusia
kearah kehidupan mistis, barsifat natural
dan
universal
sebagaimana tercermin pada nurani
manusia apapun agama yang dianut,
karena di dalam agama terdapat cahaya
suci yang senantiasa ingin menata maha
cahaya (TUHAN) karena dalam kontak
dan kedekatan antara nurani dan Tuhan
itulah
munculah
kedamaian
dan
kebahagiaan yang paling prima.
Pada satu sisi hal ini menjadi titik
awal muncul fanatisme keagamaan
secara berlebihan. Karena masing-
masing merasa memiliki truth (klaim
kebenaran), disisi yang lain hal ini dapat
mencairkan fanatisme yang berlebihan
dan
membuahkan
universalisme.
Syamsuddin (1997: 6) membenarkan
bahwa agama mempunyai watak yang
mendua terhadap masalah kerukunan
dan kesatuan.
Pada satu sisi ia dapat mendorong
persatuan antara manusia atau memiliki
daya perekat sosial yang kuat sehingga
dapat mempersatukan masyarakat.
Di Indonesia misalnya, agama
telah terbukti memiliki daya rekat dalam
perspektif sosio-historis. Agama dapat
menjadi kekuatan pemersatu bangsa
indonesia. Keberadaan agama Islam
sebagai agama yang di anut oleh
mayoritas bangsa Indonesia telah
menjadi
faktor
penentu
dalam
menyatukan suku-suku bangsa di negeri
ini. Karena kesamaan agama, perbedaan
suku dan ras dapat di satukan.
Namun di sisi lain, agama juga
mendorong konflik sehingga ia dapat
memecah
persatuan
masyarakat.
Kenyataan sejarah telah menunjukan
adanya konflik yang dipicu oleh motifmotif yang bergerak atas unsur
keagamaan. Adanya potensi faktor
agama untuk memecah persatuan
sebuah masyarakat lebih disebabkan
oleh tiga watak suatu agama:
1. karena agama memiliki sifat yang
absolut, akibatnya rasa keberagaman
hanya di rasakan dan diyakini oleh
pemeluknya sebagai sesuatu yang
mutlak oleh karena itu, masing-masing
pemeluk agama akan meyakini
kebenaran Agamanya sebagai yang
mutlak,
di
sinilah
perwujudan
sosialogisnya dapat terjadi benturan
karena masing-masing mengakui dan
bahkan mengeksplisitkan
dalam
kehidupan sosial bahwa agama yang
paling benar.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
15
2. Agama memiliki karakteristik untuk
mengadakan penyebaran diri. Disini
para pemeluk suatu agama melakukan
penyebaran agama mereka sehingga
dapat berkembang sampai jauh di luar
tanah kelahirannya, bahkan mendunia.
Kecenderungan
tersebut
makin
menguat akibat adanya legitimasi dari
firman Tuhan dalam kitab suci.
3. Agama mempunyai kecenderungan
untuk membentuk masyarakat atau
pengelompokan
sosial
yang
berdasarkan atas kesamaan agama.
inilah yang melahirkan konsep umat,
dan bahkan meluas dan kemudian
melahirkan
ekslusifisme,
atau
fanatisme yang kaku.
pemerintah tidak berhak mencampuri
urusan interen agama masing-masing,
terutama masalah aqidah dan ibadah
pemeluk masing-masing agama. Dengan
kata lain pemerintah melalui toleransi dan
kerukunan hidup antara umat beragama,
pembinaan tersebut sebenarnya bukan
hanya tugas dan kewajiban Departemen
agama saja, melainkan juga merupakan
tanggung jawab semua pihak terutama
masing-masing
kelompok
umat
beragama itu sendiri.
Ali
(1971:
12)
membahas
pendapat beberapa ahli dalam upaya
menciptakan toleransi dan kerukunan
antara umat beragama, sebagai berikut:
1. Dengan jalan sinkretisme, adalah
Ketiga watak agama tersebut,
faham yang berkeyakinan bahwapada
dapat di ketahui memiliki tingkat
dasarnya semua agama sama, dan
kepekaan yang relative tinggi. Terutama
semua tingkah laku harus di lihat
karena agama di hayati oleh masingsebagai wujud dan fanatisme dari
keberadaan
asli
(zat)
sebagai
masing pemeluknya sebagai sesuatu
yang subyektif dan personal, yang
pancaran terang.
dihapuskan begitu saja. Namun begitu 2. Dengan jalan rekonsepsi, pandagan
keberadaan mereka dapat di eliminasikan
ini menawarkan pemikiran bahwa
sedemikian rupa sehingga akan diperoleh
orang harus menyalami secara
titik
temu
keberagaman
menurut
mendalam dan meninjau kembali
karakteristik masing-masing agama dapat
ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam
menjaga perdamaian abadi di muKa bumi
rangka konfrontasinya dengan agamaini.
agama yang lain. Tokoh aliran ini yang
terkenal adalah W. E Hocking, yang
Kerukunan dalam Kehidupan Bangsa
berpendapat bahwa semua agama
yang Majemuk
sama saja. Obsesi hocking yang
Indonesia dikenal sebagai bangsa
menonjol
adalah
bagaimana
yang majemuk karena menyimpan akar
sebenarnya hubungan antara agamakeberagaman dalam hal agama, tradisi,
agama yang terdapat di dunia ini dan
bagaimana cara rekonsepsi dapat
dan budaya. Dalam kaitannya dengan
masalah agama, setidaknya adalima
memenuhi rasa kebutuhan akan suatu
agama yang di akui secara resmi oleh
agama yang mengandung unsur-unsur
Negara. kelima agama tersebut yaitu
dari berbagai agama.
agama Islam, Khatolik, Protestan, Hindu, 3. Dengan jalan sintesis, yakni dengan
Budha. Pemerintah dalam hal ini
menciptakan suatu agama baru yang
Departemen Agama RI, memiliki tugas
elemen-elemennya di ambil dari
untuk mengelola, membina kehidupan
agama-agama lain. Dengan cara ini
keagaman dan umat beragama di
tiap-tiap pemeluk dari suatu agama
Indonesia.
Walaupun
demikian
merasa bahwa sebagian dari ajaran
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
16
agamanya telah di ambil dan di
masukan ke dalam agama sintesis.
Dengan jalan ini orang menduga
bahwa toleransi dan kerukunan hidup
antar umat beragama akan tercipta
dan terbina.
4. Dengan jalan penggatian, pandangan
ini menyatakan bahwa agamanya
sendirilah yang benar, sedangkan
agama orang lain adalah salah seraya
berupaya keras agar para pengikut
agama lain itu memeluk agamanya, ia
tidak rela melihat orang lain memeluk
agama dan kepercayaan lain yang
berbeda dengan agama yang di
anutnya. Oleh karena itu agama lain
haruslah di ganti dengan agama yang
ia peluk. Dengan jalan ini ia menduga
bahwa kerukunan hidup beragama
dapat di ciptakan dan di kembangkan.
Mukti ali tidak bisa dapat menerima ke
empat faham ini sebab dalam ajaran
Islam al-khalik atau sang pencipta
adalah sama skali berbeda dengan
makhluk yang di ciptakannya. Antara
khalik dan makhluk terdapat garis
pemisah, sehingga menjadi jelas siapa
yang di sembah dan untuk siapa orang
itu berbakti atau mengabdi. Dengan
cara tersebut agama tidak ubahnya
seprti produk pemikiran manusia
semata. Padahal agama secara
fundamental di yakini bersumber dari
wahyu Tuhan dan akal tidak mampu
menciptakan
atau
menghasilkan
agama tetapi agamalah yang memberi
petunjuk dan bimbingan kepada
manusia untuk menggunakan akal dan
nalarnya. Karena kenyataan bahwa
menurut kodratnya sosok kehidupan
masyakat itu adalah pluralistik dalam
kehidupan agama etnis, tradisi, seni
budaya, dan cara hidup. Cara-cara
tersebut akan mendorong seseorang
atau orang lain agar menganut agama
yang ia peluk.
5.
Dengan jalan pendekatan,
“setuju dalam perbedaan”. Gagasan ini
menekankan bahwa agama yang ia peluk
adalah agama yang paling baik walaupun
demikian ia mengakui, di antara agama
yang satu dengan agama yang lain,
selain ada perbedaan, juga terdapat
persamaan. Pengakuan seperti ini akan
membawa pada suatu pengertian yang
dapat
menimbulkan
sikap
saling
menghargai dan saling menghormati
antara kelompok agama yang satu
dengan yang lain. Dalam pendapat Mukti
ali, pendekatan kelima inilah yang lebih
tepat dan cocok untuk di kembangkan
dalam membina toleransi dan kerukunan
hidup umat beragama di Indonesia yang
terkenal sebagai masyarakat yang
majemuk.
Setiap
pemeluk
agama
hendaknya meyakini dan mempercayai
kebenaran agama yang di peluknya ini
adalah sikap yang wajar dan logis. Kalau
ia telah berlaku bodoh terhadap agama
yang di anut. Di samping itu, di dalam
membicarakan kerukunan antara umat
beragama, harus di dasarkan atas dasar
asumsi tentang adanya kemungkinan
bertemunya berbagai agama dalam suatu
landasan bersama (common platform).
Pertanyaan kita sekarang adalah;
adakah titik temu agama-agama tersebut
sebagai bangsa yang sering dikagumi
memiliki toleransi tingkat beragama yang
tinggi, bangsa Indonesia sepantasnya
memberi jawaban ya.
Sebagaimana
yang dikatakan
Nurcholis Madjid (1995: 191), bahwa
logika toleransi atau kerukunan ialah
saling pengertian dan penghargaan, yang
pada urutannya mengandung logika titik
temu, meskipun terbatas pada hal-hal
yang prinsipil. Untuk hal-hal yang rinci
seperti ekspresi yang simbolis dan
formalitas, tentu sulit bahkan tidak
mungkin di pertemukan.
Islam sangat menghargai dialog
antara umat beragama, bahkan men-
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
17
syaratkan cara yang lebih baik yakni
sopan, etis, dan penuh tenggang rasa
(QS. 29: 46).
Islam melarang umatnya untuk
mendeskreditkan umat lain yang tidak
menyembah Allah, sebab pada akhirnya
merekapun akan mencela Allah karena
rasa
permusuhan
tanpa
dasar
pengetahuan (Q.S. 6: 108).
Bagaimanapun
juga
rasa
permusuhan
tidak
akan
dapat
mendatangkan ketentraman di hati umat
beragama karena masing-masing merasa
terancam
oleh
yang
lain.Padahal
ketentraman merupakan salah satu
syarat hadirnya kebahagiaan hidup.
Islam menggariskan suatu prinsip
bagimu agamamu dan bagiku agamaku
(Q.S. 109: 60), hal ini dapat menjadi
suatu konsep dasar toleransi dalam arti
untuk tidak saling mengusik keberadaan
masing-masing.
Lembaga Pendidikan Dan Kehidupan
Umat Beragama
Monoteisme mengandung ajaran
yang dapat membawa manusia kepada
sikap intoleran, namun ia juga memuat
ajaran-ajaran yang mendorong umat
manusia kepada toleransi dan kerukunan
hidup beragama. Sikap intoleran dan
toleransi antara umat beragama menurut
Nasution (1995: 274) lebih banyak
tergantung pada ajaran-ajaran suatu
agama dalam masyarakat Indonesia.
Kehidupan
umat
beragama
seolah-olah tidak mengenal toleransi,
karena ajaran yang sering diajarkan oleh
beberapa
tokoh
agama
kepada
jamaahnya atau guru agama kepada
anak didiknya, terkadang cenderung
memberikan kesan dan pengertian yang
kurang memberikan tempat bagi toleransi
antar umat beragama.
Upaya menjaga kerukunan antara
umat beragama tidak dapat dilakukan
dengan sambil lalu saja, apalagi hanya
bersikap kualitatif temporer. Upaya itu
harus
lebih
bersifat
preventif
kontemporer. Untuk itu diperlukan konsep
teologi kerukunan antara umat beragama
yang disusun dalam suatu dialog intensif
oleh para pemuka agama.
Di samping itu, di perlukan strategi
penyebarluasan konsep tersebut kepada
segenap bangsa Indonesia.
Bagi masyarakat Indonesia yang
majemuk ini, pemantapan toleransi bagi
segenap bangsa secara sistematis
haruslah menjadi suatu upaya yang
selalu ditumbuh kembangkan upayaupaya sistematis tersebut direalisasikan
melalui pendidikan sekolah maupun luar
sekolah.
Ini
sekaligus
merupakan
implementasi konsep teologi kerukunan
beragama dan dapat di tempuh melalui
pelajaran agama di lembaga pendidikan
formal, melalui dari tingkat perguruan
dasar sampai perguruan tinggi, memang
di akui bahwa jam pelajaran agama
sangat terbatas, dan untuk itu tidak
semua hal yang seharusnya diajarkan
kepada para siswa dan mahasiswa.
Harun Nasution memberikan tuju
pointers utama sebagai penanaman
toleransi
di
kalangan
masyarakat
Indonesia yang majemuk dan dapat
dijadikan modal dasar penyusunan
konsep teologi kerukunan yakni:
1. Mencoba melihat kebenaran agama
yang ada dalam agama lain.
2. Memperkecil perbedaan yang ada di
antara agama-agama.
3. Menonjolkan persamaan-persamaan
yang ada dalam agama.
4. Memupuk rasa persaudaraan seTuhan.
5. Memusatakan pembinaan individu
dan masyarakat manusia yan baik
yang menjadi tujuan beragama dari
semua agama monoteis
6. Mengutamakan pelaksanaan ajaranajaran
yang
membawa
kepada
toleransi agama.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
18
7. Menjauhi praktek serang menyerang telah menjadi semakin penting. Dengan
antara agama.
begitu, jiwa toleransi antar umat
beragama di kalangan bangsa Indonesia
Ketuju uraian di atas dinilai relevan akan dapat ditumbuh kembangkan.
untuk di kembangkan oleh pemuka
Terlepas dari kesimpulan tentang
masing-masing
agama
dalam apa yang melatarbelakangi terjadi
merumuskan konsep teologi kerukunan. peristiwa
yang
menggenaskan
di
Konsep tersebut memang perlu di Sitobondo, Ambon, Poso, Tasikmalaya,
dialogkan oleh pemuka agama dari Rengasdengklok, atau yang lainnya
masing-masing
agama
untuk adalah bukan faktor agama, yang jelas
dikonfirmasikan
dan
ini
tidak peristiwa-peristiwa
tersebut
dapat
dimaksudkan untuk merukunkan ajaran mengganggu kerukunan hidup antara
semua agama tetapi mencari butir-butir umat beragama. Oleh karenanya kualitas
ajaran pada suatu agama, yang kerukunan antara umat beragama harus
mengarah pada kehidupan bersama ditingkatkan.
secara damai.
Pendidikan
Islam
harus
Selanjutnya, butir ajaran
di merespons situasi ini dengan langkah
netralisasikan kepada pemeluk masing- yang
dapat
menanamkan
atau
masing agama. Konsep tersebut secara menyosialisasikan konsep Islam tentang
sistematis dapat di lakukan melalui kerukunan hidup beragama kepada anak
lembaga
pendidikan,
dengan didik bahkan harus di pertegas bahwa
memasukkan ke dalam kurikulum.
Islam merupakan agama yang cinta
Mengingat jam untuk pendidikan perdamaian, karena subtansi Islam itu
agama dinilai kurang, maka sekaligus adalah perdamaian.
dilakukan penambahan jam pelajaran
Saridjo (1996: 74) mengakui
sebagai pengupayaan penyebarluasan urgensi penelaahan terhadap masalah
konsep teologi kerukunan.
pendidikan agama, sangat berkaitan
Sedangkan untuk pendidikan di dengan toleransi beragama. Dalam
luar sekolah, upaya-upaya ini dapat di masalah ini pendidikan agama justru
lakukan
melalui
ceramah-ceramah harus mampu menyumbangkan pola
keagamaan, penataran, dialog antar umat pemupukan
toleransi antara
umat
beragama, dan sebagainya.
beragama dan peningkatan kerja sama
Melalui upaya tersebut di harapkan antara
umat
beragama
dalam
akan tercipta pola hubungan yang sehat menghadapi masalah-masalah soial.
dan harmonis di antara para pemeluk Karena agama pada dasarnya adalah
suatu agama dengan yang lain.
Inheren dengan pembentukan perilaku,
Bagi bangsa Indonesia teologi tidak ada pendidikan agama tanpa tanpa
kerukunan dalam konsep yang lebih pembentukan perilaku dan budi pekerti
maju, merupakan tuntutan yang harus di luhur. Oleh karena itu sikap pendidikan
penuhi dan dalam kaitan dengan agama terhadap pemeluk agama lain
peningkatan
intensitasnya,
maka sangat berpengaruh terhadap sikap anak
keberadaan lembaga pendidikan sangat didik dalam menghadapi pemeluk agama
bersifat
strategis.Terlebih
dalam lain.
menghadapi suasana era industrialisasi
Seorang pendidik (guru) agama
yang segera dijalani masyarakat bangsa islam hendaknya memiliki wawasan
ini, penjelasan ajaran-ajaran agama tentang
Universalisme
Islam.
dengan menekankan perlunya toleransi Melalui pendidikan Islam kepada para
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
19
siswa dapatlah di tanamkan pemahaman
bahwa sebagai umat yang telah di beri
seruan untuk mencari “Kalimatun Sawa‟‟
maka selayaknya senantiasa mencari titik
temu dan menonjolkan kesamaan
dengan umat lain. Disini tidak di anjurkan
untuk menonjolkan perbedaan, tetapi
dengan segala kearifan justru harus
berupaya mengeliminasikan perbedaanperbedaan yang ada untuk tidak di
persoalkan dalam mewujudkan kerja
sama- kerja sama kebangsaan.
Sikap rasul yang sarat dengan
nuansa toleransi dan kerukunan seperti
peristiwa athu Makkah, Piagam Madinah,
serta sikap rasul kepda umat lain dapat
dijadikan rujukan dalam menumbuh
kembangkan kerukunan antara umat
beragama.
Kekhawatiran yang masih kita
pendam adalah dapatkah pendidikan
Islam di Indonesia ikut berperan secara
pasti dalam menciptakan kehidupan yang
rukun antar umat beragama. Pertanyaan
ini
muncul
karena
asumsi-asumsi
pengajaran yang selam ini berlangsung
masih mendorong output-nya pada
bentuk kehidupan yang ekslusif.
Tantangan yang menghadang
adalah bagaimana melahirkan suatu
generasi yang anggun secara moral dan
beribawa secara intelektual sehingga di
segani bangsa lain. Sebagai langkah
pertama untuk menyelesaikan tantangan
tersebut adalah menggalang keutuhan
dan kerukunan antara umat beragama
sebagai suatu bangsa yang besar, dan
dalam hal ini lembaga pendidikan dan
kalangan pendidikan muslim harus
menanggapinya dengan menunjukan
adanya kebaikan dalam agama-agama
lain dalam proses pengajarannya, untuk
mengurangi kepicikan beragama anak
didiknya. Ini semua agar kita bisa tampil
sebagai agama yang beribawa dan
memiliki rasa percaya diri dimasa yang
akan datang.
Untuk itu harus merumuskan
langkah-langkah taktis dan strategis
dalam mengukir masa depan bangsa,
karena hanya dengan bermodalkan
kesatuan dan kekompakan antara
segmen, dan senantiasa siap menjaga
kerukunan dengan saling menghormati
sebagai saudara sebangsa dan setanah
air.
Maka
bekerja
keras
dalam
membangun bangsa akan melahirkan
peradaban yang asri, anggun, dan
memiliki
syariat adalah jalan bagi
manusia
untuk
beribada
kepada
Tuhannya.
Bagi tiap-tiap umat telah di
tetapkan syariat sesuai nabinya, dan
penetapan syariat itu menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat dan
kemaslahatan mereka. Qurais Shihab
(2002: 121) menyimpulkan bahwa ayat ini
menyatakan satu prinsip dasar dalam
persoalan Agama, yakni tidak di
perkenankannya
„‟Menghina‟‟
atau
mempermasalahkan
agama
dan
kepercayaan pihak lain.
Pemaparan tersebut secara global
menyatakan hal-hal penting mengenai
doktrin kerukunan hidup beragama dalam
islam, antara lain:
1. Islam secara jujur dan terbuka
mengakui keberadaan agama-agama
terdahulu atau agama-agama lain
yang hidup sezaman. Islam juga siap
menerima kehadiran agama-agama
lain untuk berdampingan secara layak.
Islam sama skali tidak membawa
umatnya untuk bersikap masa bodoh,
apatis, dan pura-pura tidak tahu atas
kehadirannya agama orang lain (the
religious other), kesiapan untuk hidup
bertetangga dalam keragaman dan
perbedaan, dan dalam situasi damai
merupakan cita-cita luhur Islam
sebagai agama yang menjamin
keselamatan bagi orang lain.
2. Lebih dari sekedar koeksistensi, Islam
mengarahkan
penganutnya
untuk
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
20
menunjukan
secara
demonstratif
maupun persuasive kesiapan hidup
dalam kolaborasi, kerja sama, saling
memberi dan menerima dengan
siapapun yang menjadi tetangga iman,
tetangga etnik, dan tetangga kultur
mereka.
Bahu
membahu
untuk
menghadapi
dan
memecahkan
problema bersama umat islam inilah
yang di sebut proeksistensi.
3. Hidup rukun secara berdampingan
koeksistensi dan kemauan untuk
menjalin hubungan bersahabatan dan
bekerja sama dengan mereka yang
lain dan berbeda (proeksistensi),
sangat membutuhkan keterampilan
bersikap untuk menghargai perbedaan
dan keragaman itu. Menghargai bukan
semata-mata menerima secara pasif
kehadiran
mereka
namun
juga
berfikiran positif atas mereka tanpa
harus kehilangan jati diri. Menghargai
adalah
menghormati
keragaman
agama-agama sekaligus tetap loyal
pada identitasnya sendiri.
Strategi Membangun Kerukunanhidup
Umat Beragama Perspektif Al,Qur’an
Nabi Muhammad SAW pernah
mendapat teguran dari Allah, yang
terekam dalam Surat Yunus ayat 99,
artinya
“apakah kamu (Muhammad) akan
memaksa seluruh manusia hingga
mereka menjadi orang-orang yang
beriman semua’’.
Artinya Islam berpandangan bahwa
menjadi hak setiap orang untuk
memercayai bahwa agamanyalah yang
benar. Namun dalam waktu bersamaan,
yang
bersangkutan
juga
harus
menghormati jika orang lain berpikiran
serupa. Karena itu soal pribadi, tidak ada
gunanya memaksa seseorang untuk
memeluk suatu agama kalau tidak di
barengi dengan
kepercayaan dan
keyakinan penuh dari orang tersebut.
Dalam membangun kerukunan intra dan
antar
umat
beragama,
Al,Qur‟an
mengembangkan prinsip “titik temu‟,
melalui dua strategi antara lain:
1. Menebar toleransi secara umum,
toleransi memiliki makna secara luas.
Menurut Muhammad Abdul Hakim
(2002: 31) toleransi berkonotasi
menahan diri dari pelarangan dan
penganiayaan, yakni tidak melarang
serta tidak mengintimidasi atau
menganiaya
orang-orang
yang
berbeda keyakinan dengan kita. Lebih
lanjut toleransi mengakui adanya
kebebasan beragama dan persamaan
hak beragama. Sebagai suatu ajaran
fundamental, konsep toleransi telah
banyak di tegaskan dalam ayat-ayat
Al,Qur‟an, yang berpandangan bahwa
perbedaan agama bukan penghalang
untuk merajut tali persaudaraan antara
sesama manusia yang berlainan
agama. Jangan lupa bahwa tuhan
menciptakan bumi tidak untuk suatu
golongan agama tertentu. Dengan
adanya bermacam-macam agama itu,
tidak
berarti
bahwa
tuhan
membenarkan
diskriminasi
atas
manusia, melainkan untuk saling
mengakui eksistensi masing-masing.
Landasan teologisnya adalah surat AlImran
ayat
64
menjelaskan bahwa
“Katakanlah olehmu (Muhammad)
wahai ahli kitab marilah menuju ke titik
pertemuan (kalimatun Sawa) antara
kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak
akan menyembah selain Allah dan
tidak mempersekutukannya dengan
apapun, dan bahwa sebagian dari kita
tidak mengangkat sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah’’.(QS. Ali
Imran: 64).
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
21
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Model hidup bersama (living
together) dan penuh toleransi bukan
semata berangkat dari cita-cita luhur
yang secara normatif tertuang dalam
Al,Qur‟an. Model tersebut telah
diwujudkan secara historis dalam
kehidupan nyata pada masa kenabian
Muhammad S.A.W. bahwa Beliau
telah membangun landasan-landasan
utama bagaimana kehidupan bersama
bisa di bangun melalui suatu kontrak
politik dengan pihak agama lain yang
kemudian dikenal dengan Piagam
Madinah
(wathiigah
al-madiinah).
Kontrak politik itu mencakup berbagai
aspek kehidupan sosial dan politik
bahkan juga agama. Prinsip-prinsip
utama kehidupan bersama antara
Muslim dan non-Muslim
meliputi
berbagai aspek penting berikut:
piagam madinah secara gamblang dan
lugas memberikan jaminan atas
keberagaman
keyakinan
dan
kepercayaan keagamaan. Hak bebas
untuk memilih dan menganut agama
serta menjalankan keyakinan itu
memperoleh perlindungan.
warga yang berbeda keyakinan
dengan Islam, sebagai bagian dari
anggota
masyarakat
memiliki
partisipasi yang sama dan penuh
dalam kehidupan soaial dan politik.
warga yang tidak beraqidah Islam
namun menyepakati kontrak politik,
berhak
mendapatkan
jaminan
perlindungan atas hak-hak mereka.
warga non-Muslim mempunyai hak
bicara dan hak suara yang sama
dengan
warga
Muslim
dalam
persoalan politik dan public.
Negara bertanggung jawab penuh
terpeliharanya hak-hak warga Negara
non-Muslim (Zakiyuddin Baidhawi
2005: 150).
menyamai komunikasi tidak ada yang
menyangkal
bahwa
komunikasi
merupakan faktor penting untuk
mewujudkan kerukunan di tengah
masyarakat. Komunikasi merupakan
jalan untuk membangun keharmonisan
untuk membangun sikap toleransi,
maka di perlukan komunikasi yang
intensif di antara umat beragama.
Dengan
demikian
komunikasi
merupakan proses menyampaikan
pikiran dan perasaan seseorang
kepada orang lain atau sekelompok
orang. Ada sejumlah cara yang di
pakai untuk berkomunikasi, yaitu
melalui lisan (pembicaraan), tulisan
tanda, atau lainnya. Dalam konteks
membangun kerukunan hidup umat
beragama ada dua pola komunikasi
yang harus di bangun.
Pertama: komunikasi langsung di antara
berbagai kelompok masyarakat baik dari
segi
agama,
suku
etnis, budaya, golongan, dan sebagainya
perludi adakan sebuah forum dialog yang
memberikan
kebebasan
untuk
mengemukakan pendapat. Dari forumforum semacan ini, akan diperoleh
masukan pembagian tugas dan tanggung
jawab masingmasing kelompok dapat mempunyai
saluran
untuk
mengemukakan
pemikiran
atau
gagasan
untuk
membangun suatu tatanan kehidupan
masyarakat yang lebih demokratis, aman,
tertib dan nyaman.
Kedua:
komunikasi tidak langsung,
Komunikasi ini di lakukan dengan tidak
berhadapan secara langsung, melainkan
dapat menggunakan media masa, baik
cetak
maupun
elektronika.
Dari
komunikasi semacam ini dapat diperoleh
gambaran tentang masing-masing tugas
dan tanggung jawab sehingga tercipta
sikap saling menghormati. Dalam hal ini,
peran media masa baik cetak maupun
elektronika, sangat signifikan.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
22
Semua itu, menurut Al,Qur‟an
akan terwujud apabila adanya sikap
saling menghormati hak-hak, mengakui
eksistensi agama lain, dan sikap baik
toleransi kepada sesama agama atau
antar agama.
Akhirnya marilah kita sama-sama
memulainya dari diri kita, memahami
lebih dalam lagi tentang ajaran agama
kita, dan kemudian kita aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Semoga permasalahan yang ada
di negeri Indonesia ini segera usai
dengan mengembangkan sikap toleransi
dan melakukan harmonisasi antara
KESIMPULAN
agama dengan agama sesuai dengan
Di era moderen ini, khususnya syariat Islam.
dalam hal keagamaan semakin terlihat
adanya
indikasi
alienasi
faham SUMBER RUJUKAN
keagamaan, bahkan kadang kala menjadi Ali, A. Mukti. 1971. Faktor-faktor
penyiaran islam, Yayasan Nida:
salah satu sumber kekerasan, kendatipun
bukan satu-satunya sumber.
Yogyakarta.
Agama yang senantiasa di letakan Syamsuddin, Dien. 1997. “Republika”.
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam
di menara gading tidak mampu
Agama
Kemanusiaan.
Jakarta.
memberikan jawaban mujarab terhadap
problema keumatan dan kemanusiaan.
Paramadina.
Dalam rangka mewujudkan toleransi Muthahhari, Murtadha. 1992.Perspektif
Al,Qur’an Manusia dan Agama.
yang berujung pada kerukunan antar
umat beragama harus ada paradigma
Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir
kesetaraan dalam agama.
Almisbah,
Pesan
Kesan
dan
Paradigma tersebut di mulai dari
Keselarasan
Al,Qur’an.
Jakarta:
keberagaman
yang
terbuka
dan
bertanggung jawab. Pilihan beragama
Lentera Hati.
seseorang atau sebuah kelompok Muhammad,
Abdul
Hakim.
2002.
Memahami Al,Qur’an; Pendekatan
sesungguhnya
tidak
semata-mata
Gaya dan Tema. Bandung: Marja
merupakan pilihan teologis, melainkan
juga pilihan pada akhirnya ketika ada
press.
paradigma kesetaraan dalam agama Nasution, Harun. 1992. Perspektif
Al,Qur’an dan Manusia Tentang
muncul, maka klaim yang memicu salah
Agama. Bandung: Mizan.
satu konflik tidak akan terjadi.
Defenisi
kebenaranpun
tetap Saridjo, Marwan. 1996. Bunga Rampai
Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
mutlak dan absolut dan akhirnya toleransi
ada, maka kerukunan tercipta dan
Amisco.
Quraish.
1996. Wawasan
berpangkal pada masyarakat yang Shihab,
Al,Qur’an. Bandung: Mizan.
dinamis dan harmonis dalam suatu
Husin, Said Agil. 2003. Fiqih Hubungan
kemajemukan.
Antar Agama. Ciputat Perss: Jakarta.
Media-media
tersebut
dapat
memberitakan segala sesuatunya kepada
masyarakat secara luas. Oleh karena itu
apa yang di beritakan akan berdampak
massal. Akan tetapi yang perlu di
perhatikan di sini adalah bagaimana
media-media
tersebut
dapat
menampilkan informasi dan pemberitaan
yang dapat menimbulkan kerukunan,
sikap
saling
menghormati,
dan
membangun toleransi, bukan sebaliknya,
pemberitaan justru membuat masyarakat
terprovokasi untuk berbuat pengrusakan,
(Sholehuddin, 2010: 37).
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
23
Sholehuddin. 2010. Pluralisme Agama
dan Toleransi. Depok: Bina Muda
Cipta Kreasi.
Zaini, Syahminan. 1994. Mengenal
Manusia Lewat Al,Qur’an. Surabaya:
Bina Ilmu.
Zakiyuddin, Baidhawi. 2005. Kredo
Kebebasan
Beragama.
Jakarta:
PSAP Press.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-13
24
Download