BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belum hilang ingatan masyarakat internasional dari musibah yang menimpa pesawat MH-370 milik maskapai penerbangan Malaysia Airlines yang hingga saat ini belum jelas keberadaannya.1Pada tanggal 17 Juli 2014, sebuah tragedi lain lagi-lagi menimpa maskapai penerbangan ini. Kali ini yang menjadi korban adalah pesawat jenis BOEING 777-200ER dengan nomor penerbangan MH-17. Pesawat Malaysia Airlines MH-17 ini dijadwalkan terbang dari Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda menuju Kuala Lumpur, Malaysia. MH-17 tertembak dan jatuh di Ukraina Timur dekat perbatasan Rusia. Tercatat sebanyak 298 orang tewas, diantaranya 283 orang penumpang dari berbagai negara2dan 15 orang kru 1 Pada tanggal 8 Maret 2014 pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH-370 menghilang dalam perjalanan. Pesawat tersebut dijadwalkan terbang dari Kuala Lumpur, Malaysia menuju Beijing, China. Air Traffic Control (ATC) menyatakan bahwa pihaknya menerima pesan terakhir dari MH-370 sesaat setelah pesawat lepas landas (take off) tepatnya di atas Laut China Selatan. Pesawat MH-370 membawa penumpang sebanyak 227 orang penumpang dari 15 negara dan sebanyak 12 orang kru pesawat yang juga ikut hilang dan diduga meninggal dalam kejadian tersebut. Dalam keterangan persnya pada tanggal 29 Januari 2015, pemerintah Malaysia secara resmi menyatakan bahwa hilangnya pesawat MH-370 merupakan sebuah kecelakaan dan tidak ada korban yang selamat. Beberapa bulan kemudian, tepatnya Maret 2015 dari berita yang dilansir BBC Indonesia, Menteri Transportasi Malaysia, Liow Tiong Lai meyakini bahwa MH-370 jatuh dan akan ditemukan di Samudera Hindia. Hingga saat ini proses pencarian bangkai pesawat dan korban masih terus berlangsung. (Lihat http://www.bbc.uk.indonesia/dunia/2015/01/150129_mh 370_kecelakaan, diakses pada tanggal 24 April 2015, 07.30 PM). 2 Korban terbanyak berasal dari Belanda yaitu sebanyak 193 orang, Malaysia 43 orang, Australia 27 orang, Indonesia 12 orang, Inggris 10 orang, Jerman dan Belgia masing-masing sebanyak 4 orang, Filipina sebanyak 3 orang serta Kanada dan Selandia Baru masing-masing seorang. (Lihat http://www.malaysiaairlines.com, diakses pada tanggal 24 April 2015, 07.30 PM) pesawat.3 Lokasi jatuhnya pesawat diketahui berada di Desa Grabovo, Donetsk, Ukraina.Salah satu situs berita terkemuka dunia, Reuters, menyatakan bahwa pemerintah Ukraina menduga pesawat ini ditembak oleh rudal jenis buk4 pada ketinggian 10.000 meter atau sekitar 33.000 kaki.5 Sebelum peristiwa ini mencuat ke publik, pihak Malaysia Airlines telah mendapat pemberitahuan dari Air Traffic Control (ATC) Ukraina bahwa mereka telah kehilangan kontak dengan MH-17 sekitar 50 kilometer dari perbatasan RusiaUkraina. Beberapa saat kemudianMalaysia Airlines merilis sebuah pernyataan melalui akun Twitter resmi miliknya (@MAS)6: “Malaysia Airlines has lost contact of MH-17 from Amsterdam. The last known position was over Ukrainian airspace...”. Pascaperistiwa ini, saling bantah atas siapa pelaku penembakan MH-17 pun terjadi.Pemerintah Rusia maupun Ukraina sama-sama membela diri dan menyatakan bahwa pihak lawan merupakan pelaku penembakan serta harus bertanggungjawab atas peristiwa memilukan ini.Namun beberapa hari setelahperistiwa ini terjadi, sumber dari Amerika Serikat menduga bahwa pelaku penembakan adalah separatis 3 Kronologi Jatuhnya Pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina, internasional.kompas.com /read/2014/07/18/11141031/Kronologi.Jatuhnya.Pesawat.Malaysia.Airlines.MH.17.di.Ukraina, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014, 10.00 AM. 4 Buk atau sistem rudal adalah keluarga sistem rudal self-propolled jarak menengah yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1966. Dikembangkan oleh Uni Soviet dan Federasi Rusia.Buk dirancang untuk melibatkan rudal jelajah, bom pintar, pesawat tetap dan rotarysayap serta kendaraan udara tak berawak. 5 Kronologi Jatuhnya Pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina, loc.cit. 6 Ibid. pro Rusia.7Dugaan tersebut didasari oleh sensor di sekitar ledakan, percakapan, sejumlah foto, dan data dari sosial media yang mengindikasikan bahwa saat itu kelompok separatis telah berhasil menembak jatuh sebuah pesawat.Lebih lanjut dugaan mengarah pada Igor Girkin, seorang pemimpin pasukan separatis Rusia di wilayah Donbass. Pada saat jatuhnya pesawat MH-17, Girkin membagi status di media sosial Vkontakte8 miliknya. Ia menulis bahwa pemberontak telah berhasil menembak jatuh pesawat Antonov An-26 yang biasa digunakan angkatan udara Ukraina.9Namun faktanya, setelah dilakukan penyelidikan beberapa hari setelah kejadian dengan menghubungkan bukti-bukti di lapangan, pernyataan yang ditulis pada sosial media Girkin tersebut ternyata salah.Pemberontak bukan telah berhasil menembak pesawat militer milik Ukraina melainkan pesawat sipil milik Malaysia. Semenjak itu, kontan separatis mengaku bahwa pihaknya tak mengetahui tentang insiden penembakan pesawat tersebut. Rute perjalanan MH-17 yang terbang dari Amsterdam ke Kuala Lumpurmemang dapat dikatakan cukup berbahaya.Sebab, rangkaian rute perjalanan tersebut mengagendakan pesawat untuk melintas di atas wilayah udara daerah konflik Rusia-Ukraina.Salah satu alasan mengemuka bahwa dilaluinya jalur rawan tersebut hanya demi menghemat anggaran bahan bakar pesawat karena jalurnya lebih 7 Ibid. Vkontakte merupakan jejaring sosial asal Rusia terbesar di Eropa yang diluncurkan pada tanggal 10 Oktober 2006.Diciptakan oleh Pavel Durov, mahasiswa lulusan Saint Petersburg State University. 8 9 Misteri Ditembaknya Malaysia Airlines MH-17 di Atas Langit Ukraina, www.indocropcircles.wordpress.com/2014/07/18/misteri-dibalik-ditembaknya-malaysian-airlines-mh17-di-udara-ukraina/, diakses pada tanggal 1 Oktober, 10.00 AM. pendek.10 Tidak adanya larangan terbang di atas wilayah udara Ukraina membuat masih banyak penerbangan dari Eropa menuju Asia atau sebaliknya tetap menggunakan jalur ini. Namun pada bulan April 2014, International Civil Aviation Organization (ICAO) selaku otoritas penerbangan sipil internasional telah memberikan peringatan kepada pemerintah di berbagai negara tentang adanya risiko bagi pesawat komersial yang terbang di atas wilayah udara Ukraina.11 Sejak konflik antara Rusia dan Ukraina dimulai, beberapa pesawat tempur Ukraina diketahui telah jatuh tertembak oleh kelompok separatis.Pada tanggal 14 Juni 2014, pesawat tempur Ilyushin Il-76 tertembak jatuh dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Luhansk yang menewaskan 49 orang. Selanjutnya di tanggal yang sama pada bulan Juli, pesawat tempur An-26 milik Ukraina juga tertembak jatuh. Dua hari berselang menyusul pesawat Sukhoi Su-25 ikut mengalami nasib yang samapada tanggal 16 Juli 2014.12 Dalam jumpa pers yang berlangsung pada tanggal 18 Juli 2014 Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Abdul Razak menyatakan, bahwa rute yang dilalui MH-17 merupakan rute yang aman dan bukan termasuk daerah larangan terbang berdasarkan klaim dari International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air Transport Association (IATA).Hingga kini peristiwa pesawat MH-17 ini masih dalam tahap penyelidikan oleh gabungan tim investigasi dari beberapa negara. Dutch Safety 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ibid. Boardsebagai pemimpin investigasimenyatakan bahwa hasil penyelidikan selambatlambatnya akan dirilis pertengahan tahun 2015.13Jeroen Akkermans seorang wartawan Dutch RTL News yang liputannya dilansir BBC Indonesia pada tanggal 16 April 2015 menyatakan bahwa analisforensikdanparaahlidarianalisispertahananInggris, IHS Jane menemukan kaitan kerusakan bagian pesawat yang ditemukan di lapangan, merupakankerusakan yang diakibatkan oleh jenis bahan peledak 9N314, dari sistem rudal buk.14 Dalam peristiwa yang dialami oleh pesawat Malaysia Airlines MH-17 tersebut, terdapat satu masalah yang menarik untuk dianalisis lebih jauh, yaitu masalah pertanggungjawaban baik dilihat dari perspektif hukum internasional publik maupun secara spesifik menurut hukum angkutan udara internasional. Dari perspektif hukum internasional publik masalah yang menarik untuk dikaji adalah status atau kedudukan Malaysia sebagai negara bendera (flag state). Maksudnya, apakah dalam peristiwa seperti yang dialami oleh pesawat MH-17, negara bendera dapat dimintakan pertanggungjawabannya berdasarkan hukum internasional publik yang berlaku umum. Sementara itu, hal serupa juga menarik untuk dinalisis dari perspektif hukum angkutan udara internasional. Dalam kasus seperti yang dialami MH-17, apakah pengangkut (dalam hal ini Malaysia Airlines) tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap kerugian yang diderita penumpang, meskipun 13 14 Ibid. MH-17 Jatuh Ditembak Rudal, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2015/04/150416_ mh17 , diakses pada tanggal 24 April 2015, 07.30 PM. kerugian itu bukan timbul dari kecelakaan biasa melainkan karena sebab yang tidak terduga, dalam hal ini penembakan. Pengkajian terhadap permasalahan sebagaimana tertuang dalam topik skripsi ini penting dilakukan karena pertama, analogi bendera kapal dalam rezim hukum laut juga dipraktikan dalam kegiatan komersialisasi ruang udara dan antariksa. Bendera kapal memiliki fungsi menunjuk kepada tempat di mana suatukapal atau pesawat didaftarkan guna memperoleh kebangsaan dan hukum mana yang akan mengatur segala aktivitas dan peristiwa hukum dalam kapal atau pesawat tersebut. Di samping itu bendera kapal juga berfungsi untuk memudahkan identifikasi terhadap kapal tersebut dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang berkaitan dengan kapal, baik apabila berada di laut lepas, perairan nasional maupun wilayah negara lain.15Akibat hukum dari dipasangnya bendera suatu negara pada kapal atau pesawat berkaitan dengan atribut kedaulatan suatu negara dan prinsip tanggung jawab negara (state responsibility).16 Kedua, merujuk pada Pasal 1 Convention on International Civil Aviation 1944 (Chicago Convention) yang diambil secara integral pada Pasal 1 Konvensi Paris 1919 dengan tegas menyatakan negara-negara anggota konvensi mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Dengan bunyi ketentuan pasal ini, dapat diinterpretasikan bahwa 15 Mieke Komar Kantaatmadja, 1984,Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja Karya, Bandung, h. 11. 16 Ibid. Ukraina sebagai negara anggota konvensi juga memiliki kedaulatan penuh untuk menyikapi semua peristiwa yang terjadi di teritorial udaranya. Walaupun sampai saat ini hasil investigasi belum dirilis secara resmi, namun fakta-fakta di lapangan telah mengarah bahwa pelaku penembakan adalah separatis Rusia yang merupakan warga negara Ukraina. Ketiga, bahwa pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim/penumpang, dimana pengangkut mengikatkan diri dalam bentuk tiket untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan selamat, sedangkan pengirim/penumpang mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang sebagai biaya angkutan.17 Menurut penulis, pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa antara pihak pengangkut dan penumpang mempunyai hubungan kontraktual yang secara sadar mereka jalin guna memenuhi kepentingan mereka masing-masing. Oleh karena adanya hubungan kontrak antara para pihak, maka apabila salah satu pihak tidak dapat sebagian atau sepenuhnya memenuhi apa yang diperjanjikan maka pihak tersebut dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi terhadap kontrak dan harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak lain. Dalam hal ini, Malaysia Airlines gagal untuk mengantar para penumpangnya untuk tiba dengan selamat ke tempat tujuan, maka dari itu berdasarkan hubungan kontrak antara pengangkut dan penumpang yang telah 17 HMN. Purwosutjipto, 2003, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan, Penerbit Djembatan, Jakarta, h. 187. diuraikan di atas, Malaysia Airlines wajib untuk memberikan pertanggungjawabannya dalam peristiwa ini. Selanjutnya munculnya Protokol Guatemala City 1975 (untuk penumpang dan bagasi) serta Protokol Montreal No. 4 Tahun 1975 (untuk kargo) telah merubah ketentuan Pasal 17 dan 20(1) pada Konvensi Warsawa 1929 yang turut memberikan prinsip pertanggungjawaban baru bagi ketentuan rezim hukum angkutan udara internasional khususnya di bidang pertanggungjawaban pengangkut. Pada Konvensi Warsawa 1929 prinsip tanggung jawab didasarkan atas adanya unsur kesalahan dan praduga bersalah yang dapat memberikan perlindungan kepada pengangkut (protective philosophy)18 berupa pembebasan dari tanggung jawab sepanjang pegawai dari perusahaan pengangkut telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian. Berbeda halnya semenjak kemunculanProtokol Guatemala City 1971dan protokol-protokol perubahan lainnya yang menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability principle).Prinsip ini menuntut agar pengangkut tetap bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada penumpang dalam keadaan apapun.19 Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan warisan dari sistem hukum kuno. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari ajaran „a man acts at his peril‟ atau „he who breaks must pay‟, yang maksudnya barang siapa melakukan perbuatan lalu 18 E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 47. 19 Lihat Pasal 17(1) Protokol Guatemala City 1971. menimbulkan kerugian untuk orang lain, maka ia harus bertanggungjawab. 20 Menurut Prosser alasan lain untuk memberlakukan kembali ketentuan lama tentang tanggung jawab mutlak adalah sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya berbahaya.21Jadi dalam konteks ini, dasar dari tanggung jawab mutlak adalah adanya niat dari pihak pengangkut untuk tetap melaksanakan usahanya meskipun disadarinya betul bahwa kegiatan tersebut membawa risiko baik untuk usahanya maupun penumpang.22 Berangkat dari pemaparan fakta-fakta di atas, penulis memandang perlu untuk melakukan sebuah penelitian tentang bagaimana pertanggungjawaban negara khususnya negara bendera (flag state) serta pengangkut atas peristiwa tersebut menurut perspektif hukum internasional.Penelitian ini akan ditulis secara sistematis dalam suatu rangkaian tugas akhir/skripsi yang berjudul: “Tanggung Jawab Negara dan Pengangkut atas Tertembaknya Pesawat MH-17 Milik Malaysia Airlines”, dengan harapanpara pihak (negara dan pengangkut) dapat berbuat sesuai kapasitasnya menurut ketentuan hukumyang berlaku serta di kemudian hari tidak terulang lagi peristiwa yang serupa. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, penulis telah merumuskan 2 (dua) permasalahan yang akan dibahas pada tulisan ini, yaitu: 20 E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 41 21 Ibid, h. 42 22 Ibid. 1. Sebagai negara bendera (flag state)apakah Malaysia dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam peristiwa tertembaknya pesawat MH-17? 2. Berdasarkan Konvensi Warsawa 1929, apakah pihak Malaysia Airlines sebagai perusahaan pengangkut dapat dibebaskan dari kewajiban membayar kompensasi atas kerugian yang diderita para penumpang pesawat MH-17 yang tertembak di atas wilayah udara Ukraina? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar skripsi ini memiliki kerangka yang jelas dan sistematis serta tidak keluar dari judul serta latar belakang permasalahan, penulis membatasi ruang lingkup permasalahan yangakan dibahas, yaitu sebagai berikut: - Pada Bab I, penulis mendeskripsikan keseluruhan peristiwa secara singkat pada sub Latar Belakang Masalah. Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan 2 (dua) buah permasalahan yang akan dibahas pada bab berikutnya. Sementara itu, pada bab ini penulis juga menjabarkan teori-teori yang mendasari penulisan skripsi ini serta mengemukakan identitas penelitian skripsi pada sub Metode Penelitian. - Pada Bab II penulis menjelaskan suatu tinjauan umum mengenai tanggung jawab negara dan pengangkut dalam hukum internasional. Dalam sub bab pertama, penulis menjabarkan mengenai pengertian tanggung jawab negara, teori-teori yang mendasari munculnya tanggung jawab negara, elemen-elemen tanggung jawab negara, jenis serta ketentuan mengenai pembebasan negara dari kewajiban bertanggung jawab dalam hukum internasional. Selanjutnya, pada sub bab kedua penulis menjabarkan tentang pengertian dan ruang lingkup tanggung jawab pengangkut, prinsip, unsur serta ketentuan pembebasan pengangkut dari kewajiban bertanggung jawab dalam hukum internasional khususnya hukum pengangkutan udara internasional. - Pada Bab III dengan judul Tanggung Jawab Malaysia Sebagai Negara Bendera (Flag State) dalam Peristiwa Tertembaknya Pesawat MH-17, penulis menjabarkan tentang kedudukan negara bendera dalam hukum internasional serta keterkaitan negara Malaysia dengan pesawat MH-17. Kemudian, pada bab ini penulis juga menulis tinjauan komprehensif sebagai suatu rangkuman pembahasan dalam bab ini. - Pada Bab IV penulis membahas mengenai berlakunya prinsip tanggung jawab pengangkut serta bentuk tanggung jawab pengangkut pada Malaysia Airlines. Dalam bab ini turut juga membahas alasan-alasan pembebasan kewajiban bertanggung jawab oleh pengangkut serta relevansi alasan tersebut terhadap Malaysia Airlines atas peristiwa tertembaknya pesawat MH-17. Selanjutnya, sama seperti bab sebelumnya, penulis akan memberikan suatu tinjauan komprehensif sebagai suatu rangkuman pembahasan bab ini. - Pada Bab V penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan atas permasalahan yang dibahas lalu memberikan saran yang konstruktif guna tercapainya tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini. 1.4 Orisinalitas Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis mengenai topik skripsi yang telah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, belum pernah ada yang membahas topik seperti yang penulis bahas pada skripsi ini. Dalam upaya penelusuran skripsi yang dilakukandi Ruang Koleksi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana, penulis memperoleh beberapa skripsi sebagai perbandingan yang topiknya berdekatan dengan topik yang ditulis dalam skripsi ini. Adapun skripsi yang dimaksud penulis dapat dilihat dalam tabel berikut: No Judul 1 Tanggung Jawab Pengangkut dan Negara dalam Aktivitas Wisata Ruang Angkasa yang Dioperasikan Pihak Swasta (2014) Penulis Lila Sitha Rambisa 1. 2. 2 3 Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sebagai Pengangkut Dalam Hal Terjadi Kerusakan Kargo di Denpasar (2012) I Gusti Ayu Made Similir Susila Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Kecelakaan Penumpang Pengguna Jasa Angkutan Umum (Studi pada Perum Widya Eka Sari 1. 2. 1. 2. Rumusan Masalah Bagaimanakah status hukum pesawat yang digunakan untuk aktivitas wisata di ruang angkasa yang dioperasikan oleh perusahaan swasta ditinjau dari perspektif hukum internasional khususnya hukum ruang angkasa? Bagaimana pertanggungjawaban pengangkut dan negara terhadap kerugian yang timbul dalam aktivitas wisata di ruang angkasa? Bagaimanakah tanggung jawab maskapai penerbangan sebagai pengangkut terhadap pengirim apabila terjadi kerusakan kargo? Bagaimana cara menentukan besarnya ganti kerugian kepada pengirim apabila terjadi kerusakan kargo? Bagaimanakah tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang pengguna jasa angkutan umum yang mengalami kecelakaan? Bagaimanakah tata cara pembayaran klaim terhadap Damri Denpasar) (2012) 1.5 penumpang yang mengalami kecelakaan dalam kegiatan pengangkutan? Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum 1. Untuk mengetahui penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam hukum internasional. 2. Untuk mengetahui penerapan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional khususnya hukum pengangkutan udara internasional. 1.5.2 Tujuan Khusus 1. Untuk menganalisis dapat atau tidaknya Malaysia sebagai negara bendera (flag state) dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum internasional dalam peristiwa tertembaknya pesawat Malaysia Airlines MH-17 di wilayah udara Ukraina. 2. Untuk menganalisis dapat atau tidaknya Malaysia Airlines sebagai perusahaan pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab membayar kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan dari kejadian pesawat MH-17 yang tertembak di atas wilayah udara Ukraina menurut hukum pengangkutan udara internasional. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis 1. Memberikan pemahaman tentang penerapan prinsip tanggung jawab negara menurut hukum internasional dalam peristiwa konkrit. 2. Memberikan pemahaman tentang tanggung jawab pengangkut dalam hukum internasional khususnya hukum angkutan udara internasional menurut Konvensi Warsawa 1929 dan protokol-protokol perubahannya. 1.6.2 Manfaat Praktis 1. Bagi pejabat negara terkait, tulisan ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengantisipasi kemungkinan tuntutan pertanggungjawaban negara bilamanana suatu hari terjadi peristiwa yang serupa dengan yang dialami Malaysia Airlines. 2. Bagi perusahaan pengangkut (airliner), tulisan ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan tambahan tentang penerapan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum internasional khususnya hukum angkutan udara internasional menurut Konvensi Warsawa 1929dan protokol-protokol perubahannyaapabila suatu hari berhadapan dengan kasus-kasus konkrit. 3. Bagi praktisi hukum (lawyer), tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam menangani kasus-kasus nyata yang berkaitan dengan pertanggungjawaban negara maupun pertanggungjawaban pengangkut berdasarkan hukum angkutan udara internasional. 1.7 Landasan Teoritis 1.7.1 Teori Kedaulatan Negara Teori kedaulatan negara digunakan dalam landasan teori penulisan skripsi ini karena berkaitan dengan negara sebagai subyek hukum internasional penuh yang dalam hal ini memiliki hak dan kewajiban yang paling sempurna dalam sistem hukum internasional. Dalam teori ini memberikan gambaran bahwa tidak ada satu negara manapun di dunia ini yang dapat menikmati kedaulatannya tanpa menghormati kedaulatan negara lain. Konvensi Montevideo 1933 yang mengatur tentang hak dan kewajiban negara telah berhasil menetapkan kesepakatan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi negara sebagai subyek hukum. Adapun syarat-syarat itu ialah penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah dan kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional. Menurut Kelsen negara adalah sama dengan sistem hukum. Starke menganggap bahwa pengertian negara menurut Kelsen ini merupakan kondensasi empat syarat negara menurut Konvensi Montevideo. Sistem hukum itu diciptakan dan dipertahankan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Di samping itu, adanya sistem hukum merupakan syarat utama bagi adanya negara.23 Menurut teori kedaulatan negara kekuasaan tertinggi terletak pada negara.Sumber kedaulatan adalah negara yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Hukum dan konstitusi lahir berdasarkan kehendak negara dan diabdikan demi 23 F. Sugeng Istanto, 2010, Hukum Internasional, Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 30. kepentingan negara. Para penganut teori ini melaksanakan pemerintahan tiran, teirstimewa melalui kepala negara yang bertindak sebagai diktator.24 Suatu negara dianggap memiliki kemerdekaan dan kedaulatan terhadap warga negaranya dan urusan-urusannya serta dalam batas-batas wilayah teritorialnya. Kedaulatan pada saat ini mempunyai arti yang lebih sempit dibandingkan dengan masa abad XVIII dan XIX. Dewasa ini sulit bagi suatu negara sehubungan dengan kepentingan masyarakat internasional, untuk tidak menerima pembatasan-pembatasan yang dikenakan terhadap kebebasan bertindaknya.25 Oleh karena itu, lebih tepat dikatakan bahwa saat ini kedaulatan suatu negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimilikinya dalam batas-batas yang diterapkan hukum internasional.26 1.7.2 Teori Pertanggungjawaban Negara Teori pertanggungjawaban negara digunakan sebagai landasan teori dalam skripsi ini karena dari sudut pandang hukum internasional publik terdapat keterkaitan atau imputabilitas (imputability) suatu negara dalam hal ini Malaysia dalam kasus yang menjadi fokus kajian skripsi ini, yakni tertembaknya pesawat MH-17 di wilayah udara Ukraina. Keterkaitan atau imputabilitas tersebut, dalam hal ini adalah kedudukan Malaysia sebagai negara bendera (flag state) dari pesawat MH-17 tersebut. 24 Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h. 71. 25 T. May Rudy, 2010, Hukum Internasional I, Refika Aditama, Jakarta, h. 27. 26 Ibid. Dalam hukum internasional publik, sesuatu dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila sesuatu itu berkedudukan sebagai subyek hukum internasional. Secara teoritis, menurut hukum internasional yang dapat dikatakan sebagai subyek hukum internasional hanyalah negara saja.27Boer Mauna menyatakan bahwa negara merupakan subjek utama hukum internasional. Ia juga menambahkan bahwa hukum internasional adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban negara.28Berbeda halnya dengan Friedmann, menurutnya beberapa tahun silam telah terjadi perubahan struktur dan perkembangan dimensi-dimensi baru hukum internasional. Perubahan serta perkembangan tersebut adalah sebagai akibat dari anggota masyarakat bangsa-bangsa bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan kesejahteraan internasional.29 Walaupun mengalami perubahan dan perkembangan, hingga saat ini, negaranegara tetaplah merupakan pelaku utama dalam hukum internasional. Artinya hingga saat ini negara masih tetap menikmati kepribadian hukum internasional (international legal personality) yang penuh.30 Oleh karena itu, negara-negara dapat menciptakan 27 Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pengantar Hukum Intenasional, Bina Cipta, Jakarta, h.68. 28 Boer Mauna, 2011, op.cit, h. 17. 29 Friedmann, 1964, The Changing Structure of International Law, Columbia University Press and Stevens & Sons Ltd, h. 67-68. Dikutip dari I Dewa Gede Palguna, 2008, “Tanggung Jawab Negara dan Individu”, disampaikan dalam acara Penataran Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD), h. 1, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014, 08.30 PM. 30 Jeffrey L. Dunoff, et.al., 2006, International Law: Norms, Actors, Process, A Problem-oriented Approach, Aspen Publishers, New York, h. 111. dan menjadi subyek langsung dari kewajiban-kewajiban internasional.31Namun seiring dengan perkembangan dewasa ini,yang telah diterima sebagai subjek hukum internasional selain negara adalah Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang perorangan (individu), dan pihak dalam sengketa (belligerent).32 Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. International Law Commission (ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan Rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi A/RES/56/83. Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Hukum internasional tentang tanggung jawab negara ini awalnyaberkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC menerima seluruh Artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama 31 I Dewa Gede Palguna, 2008, “Tanggung Jawab Negara dan Individu”, disampaikan dalam acara Penataran Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD), h. 1, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014, 08.30 PM. 32 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, h. 89-105. mengutip dan menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC. Sehingga walaupun rancangan Artikel tidak menjelma sebagai sebuah konvensi, namun dapat dipastikan bahwa rancangan tersebut akan tetap berpengaruh besar pada pengadilanpengadilan internasional.33 Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (The Statute of International Court of Justice), praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.34 1.7.3 Teori Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional Teori ini digunakan sebagai landasan teori karena langsung berkenaan dengan masalah yang hendak dianalisis yaitu apakah pihak Malaysia Airlines dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk membayar kompensasi baik dalam bentuk materiil maupun imateriil, atas kerugian yang diderita para penumpang meskipun kerugian itu timbul bukan karena kecelakaan biasa melainkan karena penembakan. Dalam pengangkutan udara internasional, suatu accident merupakan syarat pertama untuk dapat diberlakukannya ketentuan-ketentuan konvensi.35 Suatu kejadian agar dapat dikualifikasikan sebagai accident menurut Pasal 17 Konvensi Warsawa 33 I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 3. 34 Ibid. 35 Ibid. 1929 adalah apabila kejadian dalam pesawat udara yang menyebabkan kerugian tersebut harus merupakan kejadian yang luar biasa (unusual) atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya (unexpected).36 Sejak dunia penerbangan mulai berkembang, terlebih setelah penerbangan sipil berkembang melintasi batas-batas negara, para ahli hukum di berbagai negara telah menyadari akan adanya berbagai masalah yang kompleks mengenai tanggung jawab pengangkut.37 Seiring dengan hal tersebut, para ahli hukum memandang bahwa akan terjadi perselisihan hukum (conflict of laws) yang tidak mungkin dapat dihindari.38 Lahirnya Konvensi Warsawa pada tahun 1929 dimaksudkan untuk menghindari terjadinya berbagai permasalahan tersebut dengan mengadakan suatu rezim hukum yang seragam terutama tentang tanggung jawab pengangkut udara. Konvensi Warsawa atau dengan nama resmi Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933.39 Konvensi ini merupakan perjanjian pertama di bidang Hukum Udara Perdata dan merupakan salah satu perjanjian tertua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu 36 Otto Kahn Freund, 1965, The Law of Carriage by Inland Transport 4th edition, Stevens, London, h. 718. 37 E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 54. 38 Ibid. 39 Ibid. dalam hukum perdata. Hingga saat ini Konvensi Warsawa telah diratifikasi oleh kurang lebih 130 negara.40 Namun kenyataan ini tidak berlangsung lama, pasca Perang Dunia II, semakin banyak negara yang menginginkan Konvensi Warsawa untuk diubah demi memenuhi perkembangan jaman.41 Oleh karena itu, dimulai dari tahun 1955 konvensi ini kemudian telah diubah beberapa kali. Perubahan pertama diadakan dengan munculnya Protocol The Hague 1955, kedua melalui Protocol Guatemala City 1971, sampai 4 (empat) Protocol Montreal 1975. Di samping itu telah dibuat pula suatu konvensi tambahan yang ditandatangani di Guadalajara pada tahun 1961. Tujuan utama dari protokol-protokol tersebut adalah mengubah batas-batas maksimum tanggung jawab pengangkut dan prinsip tanggung jawab pengangkut udara karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.42 Sedangkan perubahan-perubahan lain dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan tujuan perubahan tersebut.43 Dalam hal pengangkutan penumpang, Pasal17 Konvensi Warsawa 1929 menyatakan sebagai berikut: “The carrier shall be liable for damage sustained in the event of death, wounding or any other bodily injury by passenger if the accident which caused 40 Ibid. 41 Ibid, h. 55 Ibid. 42 43 Ibid. the damage so sustained took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking.” Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang harus dipenuhi pengangkut untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban harus memenuhi beberapa syarat yaitu pertama kerugian harus disebabkan oleh suatu kecelakaan (accident), kedua kecelakaan tersebut harus terjadi dalam pesawat udara (...on board the aircraft) atau kecelakaan tersebut harus terjadi pada waktu embarkasi atau disembarkasi (in the course of any of the operations of embarking or disembarking). Dalam praktek, terdapat kesulitan sehubungan dengan adanya persyaratan tersebut. Kesulitan tersebut dikarenakan dalam Konvensi Warsawa 1929 tidak ada definisi tentang syarat-syarat di atas sehingga perlu ditafsirkan lebih lanjut melalui pendapat para sarjana atau dari putusan pengadilan.44 Beberapa masalah kontroversial dalam praktek hukum angkutan udara internasional setelah munculnya Konvensi Warsawa 1929 yaitu: 1. Kapan pengangkut harus bertanggung jawab. Persoalan ini berhubungan dalam hal menentukan kapan pengangkut udara dapat diminta pertanggungjawabannya bilamana terjadi suatu kerugian atau kecelakaan yang diderita oleh pengguna jasa angkutan.Dalam prakteknya terdapat banyak kesulitan dalam menentukan kapan pengangkut udara harus diwajibkan untuk bertanggung jawab. Hal ini disebabkan karena dalam 44 Ibid, h. 57. Konvensi Warsawa 1929 tidak dirumuskan secara jelas kapan dan dalam hal apa pengangkut udara bertanggung jawab baik dalam hal pengangkutan penumpang bagasi tercatat dan kargo atau dalam hal kelambatan. Oleh karena itu tidak adanya ketentuan yang jelas dalam Konvensi, alhasil dalam praktek penafsirannya diserahkan pada pengadilan yang menangani perkara tersebut atau pada pendapat para ahli (doktrin).45 2. Jenis kerugian yang dapat diberikan santunan oleh pengangkut. Berdasarkan Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929, santunan dapat diberikan atas kerugian yang diderita penumpang apabila penumpang meninggal dunia, mengalami luka (wounding) atau mengalami penderitaan fisik lainnya bila peristiwa tersebut terjadi di dalam pesawat udara pada saat embarkasi atau disembarkasi.46 3. Tanggung jawab pengangkut dalam hal kelambatan Konvensi Warsawa 1929 menentukan bahwa pengangkutan bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa penumpang, bagasi atau kargo akbat adanya kelambatan selama dalam pengangkutan udara. Adanya ketentuan tentang kemungkinan para pengguna jasa angkutan memperoleh ganti rugi yang diakibatkan oleh keterlambatan pihak pengangkut didasari oleh 45 Ibid, h. 55. 46 Ibid h. 84. pemikiran bahwa kecepatan merupakan unsur utama dalam pengangkutan udara.47 Lebih lanjut menurut E.M. Lopez menyatakan bahwa faktor waktu merupakan faktor yang terpenting sebagai bahan pertimbangan bagi para pengguna jasa angkutan untuk memilih angkutan udara dibanding dengan alat angkutan tradisional lainnya seperti angkutan darat atau angkutan laut.48 4. Batas-batas tanggung jawab pengangkut udara Konversi Warsawa 1929 memberikan batasan mengenai tanggung jawab pengangkut hingga jumlah maksimum tertentu. Hanya saja dalam halhal yang khusus, batas tersebut dapat dilampaui. Namun sebaliknya dalam keadaan apapun jumlah yang telah ditetapkan tidak dapat dikurangi.49 5. Pembebasan tanggung jawab pengangkut udara Seperti yang telah diketahui, Konversi Warsawa 1929 menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability principle) yang mana beban pembuktian terhadap suatu perkara beralih dari pihak penggugat ke pihak tergugat. Dengan demikian, kemungkinan atas terjadinya pembebasan tanggung jawab pengangkut atas kerugian yang diderita penumpang atau barang dalam suatu peristiwa kecelakaan bisa saja terjadi sepanjang pengangkut dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah di hadapan persidangan. Pembebasan kewajiban 47 Ibid, h. 105 48 E. M. Lopez, 1976, Air Carrier’s Liability in Cases of Delay, h. 109 49 E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 115. pengangkut untuk bertanggung jawab ini dapat diterapkan dalam hal pengangkutan penumpang maupun pengangkutan kargo atau bagasi.50 Perbuatan hukum (rechtshandeling) atau kejadian hukum (rechtsfeit) merupakan perbuatan dan tingkah laku subyek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum. 51 Menurut Van Apeldoorn, peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.52 Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) merupakan hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Hubungan ini bisa berupa ikatan antara individu dengan individu lainnya, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban.53 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Tulisan ini merupakanpenelitian hukum normatif.Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang 50 Ibid, h. 140-148. 51 Soedjono Dirdjosisworo, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, PT. GrafindoPersada, Jakarta, h. 49. 52 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu HukumCetakan XII, Sinar Grafika, Jakarta, h. 251. 53 Soedjono Dirdjosisworo,op.cit. dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan.54 Dalam pandangan Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah asas, kaidah dari peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian internasional serta pendapat para sarjana yang telah diakui oleh dunia sebagai suatu teori yang benar (doktrin).55 Sementara itu, yang hendak dilakukan oleh penelitian ini ialah meneliti sistem norma tersebut, baik berupa asas, prinsip serta pengertian-pengertian yang terkandung dalam sumbersumber hukum internasional pada peristiwa yang terjadi di lapangan. 1.8.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum, umumnya dikenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, yakni: a. Pendekatan kasus (case approach); b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); c. Pendekatan fakta (fact approach); d. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach); e. Pendekatan frasa (words and phrase approach); f. Pendekatan sejarah (historical approach); 54 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Sebagai Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, h. 15. 55 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Belajar, Yogyakarta, h. 34. g. Pendekatan perbandingan (comparative approach).56 Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebanyak 4 (empat) jenis pendekatan yaknipendekatan kasus (case approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach). Digunakannya pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan fakta (fact approach)karena tulisan ini berangkat dan didasari oleh kasus yang benar-benar terjadi secara konkrit. Selanjutnya terkait dengan digunakannya pendekatan perundang-undangan (statute approach), meskipun dalam hukum internasional tidak mengenal undang-undang layaknya dalam sistem hukum nasional, namun perundang-undangan dapat diinterpretasikan secara luas dalam bentuk konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi dan mengikat negara-negara anggotanya. Pendekatan perundangundangan (statute approach) digunakan karena tulisan ini mengkajiaturan-aturan dalam konvensi internasional, di mana aturan-aturan tersebut berhubungan dengan permasalahan hukum yang akan dibahas dalam tulisan ini. Terakhir, penggunaan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach) karena dalam tulisan ini selain menggunakan aturan dalam konvensi sebagai acuan, pembahasan terhadap masalah-masalah hukumnya juga diperlukan menggunakan beberapa konsep-konsep ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum internasional. 1.8.3 Bahan Hukum 56 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 80. Sumber-sumber bahan hukum yang digunakan penulis guna menunjang penulisan skripsi ini dapat dibagi 3 (tiga), yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta perjanjian internasional. 57 Adapun bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam tulisan ini berupa beberapa dokumen, antara lain: - Act 408 National Productivity Corporation; - Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air (Warsaw Convention) 1929; - Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention)1944; - Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001; - Protocol The Hague 1955; - Protocol Guatemala City 1971; - Protocol Montreal 1 – 4 1975; b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diperoleh melalui studi kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana berupa buku-buku, jurnal ilmiah, artikel serta berita-berita dari situs internet. c. Bahan Hukum Tersier 57 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,op.cit, h. 157. Adapun bahan hukum tersier yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah berupa kamus umum bahasa Inggris dan Indonesia serta kamus hukum. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Skripsi ini merupakanpenelitian hukum normatif, oleh karena itu maka teknik pengumpulan bahan hukumnya adalah dengan cara studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum yang digunakan. Penelusuran dalam studi kepustakaan yang dimaksud dilakukan dengan membacadan melakukan penulusuran bahan hukum melalui media internet. 1.8.5 Teknik Analisis Dalam tulisan ini, penulis menggunakan 2 (dua) teknik analisis yaitu teknik analisis yang bersifat deskriptif dan preskriptif.Teknik analisis deskriptif adalah teknik analisis yang memberikan gambaran atau pemaparan terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh.Sedangkan teknik analisis preskriptif adalah teknik analisis yang memberikan penilaian benar atau salah dan bagaimana seharusnya menurut hukum terhadap fakta-fakta yang terjadi di lapangan.58 Dalam tulisan ini, fakta-fakta tersebut diperoleh melalui laporan, berita serta rilis resmi yang dapat ditelusuri melalui internet. 58 Ibid, h. 183-184.