BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belum hilang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Belum hilang ingatan masyarakat internasional dari musibah yang menimpa
pesawat MH-370 milik maskapai penerbangan Malaysia Airlines yang hingga saat ini
belum jelas keberadaannya.1Pada tanggal 17 Juli 2014, sebuah tragedi lain lagi-lagi
menimpa maskapai penerbangan ini. Kali ini yang menjadi korban adalah pesawat
jenis BOEING 777-200ER dengan nomor penerbangan MH-17.
Pesawat Malaysia Airlines MH-17 ini dijadwalkan terbang dari Bandara
Schipol, Amsterdam, Belanda menuju Kuala Lumpur, Malaysia. MH-17 tertembak
dan jatuh di Ukraina Timur dekat perbatasan Rusia. Tercatat sebanyak 298 orang
tewas, diantaranya 283 orang penumpang dari berbagai negara2dan 15 orang kru
1
Pada tanggal 8 Maret 2014 pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH-370
menghilang dalam perjalanan. Pesawat tersebut dijadwalkan terbang dari Kuala Lumpur, Malaysia
menuju Beijing, China. Air Traffic Control (ATC) menyatakan bahwa pihaknya menerima pesan
terakhir dari MH-370 sesaat setelah pesawat lepas landas (take off) tepatnya di atas Laut China
Selatan. Pesawat MH-370 membawa penumpang sebanyak 227 orang penumpang dari 15 negara dan
sebanyak 12 orang kru pesawat yang juga ikut hilang dan diduga meninggal dalam kejadian tersebut.
Dalam keterangan persnya pada tanggal 29 Januari 2015, pemerintah Malaysia secara resmi
menyatakan bahwa hilangnya pesawat MH-370 merupakan sebuah kecelakaan dan tidak ada korban
yang selamat. Beberapa bulan kemudian, tepatnya Maret 2015 dari berita yang dilansir BBC
Indonesia, Menteri Transportasi Malaysia, Liow Tiong Lai meyakini bahwa MH-370 jatuh dan akan
ditemukan di Samudera Hindia. Hingga saat ini proses pencarian bangkai pesawat dan korban masih
terus berlangsung. (Lihat http://www.bbc.uk.indonesia/dunia/2015/01/150129_mh
370_kecelakaan, diakses pada tanggal 24 April 2015, 07.30 PM).
2
Korban terbanyak berasal dari Belanda yaitu sebanyak 193 orang, Malaysia 43 orang, Australia
27 orang, Indonesia 12 orang, Inggris 10 orang, Jerman dan Belgia masing-masing sebanyak 4 orang,
Filipina sebanyak 3 orang serta Kanada dan Selandia Baru masing-masing seorang. (Lihat
http://www.malaysiaairlines.com, diakses pada tanggal 24 April 2015, 07.30 PM)
pesawat.3 Lokasi jatuhnya pesawat diketahui berada di Desa Grabovo, Donetsk,
Ukraina.Salah satu situs berita terkemuka dunia, Reuters, menyatakan bahwa
pemerintah Ukraina menduga pesawat ini ditembak oleh rudal jenis buk4 pada
ketinggian 10.000 meter atau sekitar 33.000 kaki.5
Sebelum peristiwa ini mencuat ke publik, pihak Malaysia Airlines telah
mendapat pemberitahuan dari Air Traffic Control (ATC) Ukraina bahwa mereka telah
kehilangan kontak dengan MH-17 sekitar 50 kilometer dari perbatasan RusiaUkraina. Beberapa saat kemudianMalaysia Airlines merilis sebuah pernyataan
melalui akun Twitter resmi miliknya (@MAS)6:
“Malaysia Airlines has lost contact of MH-17 from Amsterdam. The last known
position was over Ukrainian airspace...”.
Pascaperistiwa ini, saling bantah atas siapa pelaku penembakan MH-17 pun
terjadi.Pemerintah Rusia maupun Ukraina sama-sama membela diri dan menyatakan
bahwa pihak lawan merupakan pelaku penembakan serta harus bertanggungjawab
atas peristiwa memilukan ini.Namun beberapa hari setelahperistiwa ini terjadi,
sumber dari Amerika Serikat menduga bahwa pelaku penembakan adalah separatis
3
Kronologi Jatuhnya Pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina, internasional.kompas.com
/read/2014/07/18/11141031/Kronologi.Jatuhnya.Pesawat.Malaysia.Airlines.MH.17.di.Ukraina, diakses
pada tanggal 1 Oktober 2014, 10.00 AM.
4
Buk atau sistem rudal adalah keluarga sistem rudal self-propolled jarak menengah yang
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1966. Dikembangkan oleh Uni Soviet dan Federasi Rusia.Buk
dirancang untuk melibatkan rudal jelajah, bom pintar, pesawat tetap dan rotarysayap serta kendaraan
udara tak berawak.
5
Kronologi Jatuhnya Pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina, loc.cit.
6
Ibid.
pro Rusia.7Dugaan tersebut didasari oleh sensor di sekitar ledakan, percakapan,
sejumlah foto, dan data dari sosial media yang mengindikasikan bahwa saat itu
kelompok separatis telah berhasil menembak jatuh sebuah pesawat.Lebih lanjut
dugaan mengarah pada Igor Girkin, seorang pemimpin pasukan separatis Rusia di
wilayah Donbass. Pada saat jatuhnya pesawat MH-17, Girkin membagi status di
media sosial Vkontakte8 miliknya. Ia menulis bahwa pemberontak telah berhasil
menembak jatuh pesawat Antonov An-26 yang biasa digunakan angkatan udara
Ukraina.9Namun faktanya, setelah dilakukan penyelidikan beberapa hari setelah
kejadian dengan menghubungkan bukti-bukti di lapangan, pernyataan yang ditulis
pada sosial media Girkin tersebut ternyata salah.Pemberontak bukan telah berhasil
menembak pesawat militer milik Ukraina melainkan pesawat sipil milik Malaysia.
Semenjak itu, kontan separatis mengaku bahwa pihaknya tak mengetahui tentang
insiden penembakan pesawat tersebut.
Rute
perjalanan
MH-17
yang
terbang
dari
Amsterdam
ke
Kuala
Lumpurmemang dapat dikatakan cukup berbahaya.Sebab, rangkaian rute perjalanan
tersebut mengagendakan pesawat untuk melintas di atas wilayah udara daerah konflik
Rusia-Ukraina.Salah satu alasan mengemuka bahwa dilaluinya jalur rawan tersebut
hanya demi menghemat anggaran bahan bakar pesawat karena jalurnya lebih
7
Ibid.
Vkontakte merupakan jejaring sosial asal Rusia terbesar di Eropa yang diluncurkan pada tanggal
10 Oktober 2006.Diciptakan oleh Pavel Durov, mahasiswa lulusan Saint Petersburg State University.
8
9
Misteri
Ditembaknya
Malaysia
Airlines
MH-17
di
Atas
Langit
Ukraina,
www.indocropcircles.wordpress.com/2014/07/18/misteri-dibalik-ditembaknya-malaysian-airlines-mh17-di-udara-ukraina/, diakses pada tanggal 1 Oktober, 10.00 AM.
pendek.10 Tidak adanya larangan terbang di atas wilayah udara Ukraina membuat
masih banyak penerbangan dari Eropa menuju Asia atau sebaliknya tetap
menggunakan jalur ini. Namun pada bulan April 2014, International Civil Aviation
Organization (ICAO) selaku otoritas penerbangan sipil internasional telah
memberikan peringatan kepada pemerintah di berbagai negara tentang adanya risiko
bagi pesawat komersial yang terbang di atas wilayah udara Ukraina.11
Sejak konflik antara Rusia dan Ukraina dimulai, beberapa pesawat tempur
Ukraina diketahui telah jatuh tertembak oleh kelompok separatis.Pada tanggal 14 Juni
2014, pesawat tempur Ilyushin Il-76 tertembak jatuh dalam perjalanan menuju
Bandara Internasional Luhansk yang menewaskan 49 orang. Selanjutnya di tanggal
yang sama pada bulan Juli, pesawat tempur An-26 milik Ukraina juga tertembak
jatuh. Dua hari berselang menyusul pesawat Sukhoi Su-25 ikut mengalami nasib yang
samapada tanggal 16 Juli 2014.12
Dalam jumpa pers yang berlangsung pada tanggal 18 Juli 2014 Perdana Menteri
Malaysia, Najib Tun Abdul Razak menyatakan, bahwa rute yang dilalui MH-17
merupakan rute yang aman dan bukan termasuk daerah larangan terbang berdasarkan
klaim dari International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air
Transport Association (IATA).Hingga kini peristiwa pesawat MH-17 ini masih dalam
tahap penyelidikan oleh gabungan tim investigasi dari beberapa negara. Dutch Safety
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid.
Boardsebagai pemimpin investigasimenyatakan bahwa hasil penyelidikan selambatlambatnya akan dirilis pertengahan tahun 2015.13Jeroen Akkermans seorang
wartawan Dutch RTL News yang liputannya dilansir BBC Indonesia pada tanggal 16
April
2015
menyatakan
bahwa
analisforensikdanparaahlidarianalisispertahananInggris, IHS Jane menemukan kaitan
kerusakan bagian pesawat yang ditemukan di lapangan, merupakankerusakan yang
diakibatkan oleh jenis bahan peledak 9N314, dari sistem rudal buk.14
Dalam peristiwa yang dialami oleh pesawat Malaysia Airlines MH-17 tersebut,
terdapat satu masalah yang menarik untuk dianalisis lebih jauh, yaitu masalah
pertanggungjawaban baik dilihat dari perspektif hukum internasional publik maupun
secara spesifik menurut hukum angkutan udara internasional. Dari perspektif hukum
internasional publik masalah yang menarik untuk dikaji adalah status atau kedudukan
Malaysia sebagai negara bendera (flag state). Maksudnya, apakah dalam peristiwa
seperti yang dialami oleh pesawat MH-17, negara bendera dapat dimintakan
pertanggungjawabannya berdasarkan hukum internasional publik yang berlaku
umum. Sementara itu, hal serupa juga menarik untuk dinalisis dari perspektif hukum
angkutan udara internasional. Dalam kasus seperti yang dialami MH-17, apakah
pengangkut
(dalam
hal
ini
Malaysia
Airlines)
tetap
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya terhadap kerugian yang diderita penumpang, meskipun
13
14
Ibid.
MH-17 Jatuh Ditembak Rudal, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2015/04/150416_ mh17 ,
diakses pada tanggal 24 April 2015, 07.30 PM.
kerugian itu bukan timbul dari kecelakaan biasa melainkan karena sebab yang tidak
terduga, dalam hal ini penembakan.
Pengkajian terhadap permasalahan sebagaimana tertuang dalam topik skripsi ini
penting dilakukan karena pertama, analogi bendera kapal dalam rezim hukum laut
juga dipraktikan dalam kegiatan komersialisasi ruang udara dan antariksa. Bendera
kapal memiliki fungsi menunjuk kepada tempat di mana suatukapal atau pesawat
didaftarkan guna memperoleh kebangsaan dan hukum mana yang akan mengatur
segala aktivitas dan peristiwa hukum dalam kapal atau pesawat tersebut. Di samping
itu bendera kapal juga berfungsi untuk memudahkan identifikasi terhadap kapal
tersebut dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang berkaitan
dengan kapal, baik apabila berada di laut lepas, perairan nasional maupun wilayah
negara lain.15Akibat hukum dari dipasangnya bendera suatu negara pada kapal atau
pesawat berkaitan dengan atribut kedaulatan suatu negara dan prinsip tanggung jawab
negara (state responsibility).16
Kedua, merujuk pada Pasal 1 Convention on International Civil Aviation 1944
(Chicago Convention) yang diambil secara integral pada Pasal 1 Konvensi Paris 1919
dengan tegas menyatakan negara-negara anggota konvensi mengakui bahwa setiap
negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di
atas wilayahnya. Dengan bunyi ketentuan pasal ini, dapat diinterpretasikan bahwa
15
Mieke Komar Kantaatmadja, 1984,Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja
Karya, Bandung, h. 11.
16
Ibid.
Ukraina sebagai negara anggota konvensi juga memiliki kedaulatan penuh untuk
menyikapi semua peristiwa yang terjadi di teritorial udaranya. Walaupun sampai saat
ini hasil investigasi belum dirilis secara resmi, namun fakta-fakta di lapangan telah
mengarah bahwa pelaku penembakan adalah separatis Rusia yang merupakan warga
negara Ukraina.
Ketiga, bahwa pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara
pengangkut dan pengirim/penumpang, dimana pengangkut mengikatkan diri dalam
bentuk tiket untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu
tempat ke tempat tujuan dengan selamat, sedangkan pengirim/penumpang
mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang sebagai biaya angkutan.17 Menurut
penulis, pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa antara pihak pengangkut
dan penumpang mempunyai hubungan kontraktual yang secara sadar mereka jalin
guna memenuhi kepentingan mereka masing-masing. Oleh karena adanya hubungan
kontrak antara para pihak, maka apabila salah satu pihak tidak dapat sebagian atau
sepenuhnya memenuhi apa yang diperjanjikan maka pihak tersebut dapat dikatakan
telah melakukan wanprestasi terhadap kontrak dan harus bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita pihak lain. Dalam hal ini, Malaysia Airlines gagal untuk
mengantar para penumpangnya untuk tiba dengan selamat ke tempat tujuan, maka
dari itu berdasarkan hubungan kontrak antara pengangkut dan penumpang yang telah
17
HMN. Purwosutjipto, 2003, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum
Pengangkutan, Penerbit Djembatan, Jakarta, h. 187.
diuraikan
di
atas,
Malaysia
Airlines
wajib
untuk
memberikan
pertanggungjawabannya dalam peristiwa ini.
Selanjutnya munculnya Protokol Guatemala City 1975 (untuk penumpang dan
bagasi) serta Protokol Montreal No. 4 Tahun 1975 (untuk kargo) telah merubah
ketentuan Pasal 17 dan 20(1) pada Konvensi Warsawa 1929 yang turut memberikan
prinsip pertanggungjawaban baru bagi ketentuan rezim hukum angkutan udara
internasional khususnya di bidang pertanggungjawaban pengangkut. Pada Konvensi
Warsawa 1929 prinsip tanggung jawab didasarkan atas adanya unsur kesalahan dan
praduga bersalah yang dapat memberikan perlindungan kepada pengangkut
(protective philosophy)18 berupa pembebasan dari tanggung jawab sepanjang pegawai
dari perusahaan pengangkut telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk
menghindari kerugian. Berbeda halnya semenjak kemunculanProtokol Guatemala
City 1971dan protokol-protokol perubahan lainnya yang menerapkan prinsip
tanggung jawab mutlak (absolute liability principle).Prinsip ini menuntut agar
pengangkut tetap bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada penumpang
dalam keadaan apapun.19
Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan warisan dari sistem hukum kuno.
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari ajaran „a man acts at his peril‟ atau „he who
breaks must pay‟, yang maksudnya barang siapa melakukan perbuatan lalu
18
E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 47.
19
Lihat Pasal 17(1) Protokol Guatemala City 1971.
menimbulkan kerugian untuk orang lain, maka ia harus bertanggungjawab. 20 Menurut
Prosser alasan lain untuk memberlakukan kembali ketentuan lama tentang tanggung
jawab mutlak adalah sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya
berbahaya.21Jadi dalam konteks ini, dasar dari tanggung jawab mutlak adalah adanya
niat dari pihak pengangkut untuk tetap melaksanakan usahanya meskipun disadarinya
betul bahwa kegiatan tersebut membawa risiko baik untuk usahanya maupun
penumpang.22
Berangkat dari pemaparan fakta-fakta di atas, penulis memandang perlu untuk
melakukan sebuah penelitian tentang bagaimana pertanggungjawaban negara
khususnya negara bendera (flag state) serta pengangkut atas peristiwa tersebut
menurut perspektif hukum internasional.Penelitian ini akan ditulis secara sistematis
dalam suatu rangkaian tugas akhir/skripsi yang berjudul: “Tanggung Jawab Negara
dan Pengangkut atas Tertembaknya Pesawat MH-17 Milik Malaysia Airlines”,
dengan harapanpara pihak (negara dan pengangkut) dapat berbuat sesuai kapasitasnya
menurut ketentuan hukumyang berlaku serta di kemudian hari tidak terulang lagi
peristiwa yang serupa.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, penulis telah
merumuskan 2 (dua) permasalahan yang akan dibahas pada tulisan ini, yaitu:
20
E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 41
21
Ibid, h. 42
22
Ibid.
1. Sebagai negara bendera (flag state)apakah Malaysia dapat dimintakan
pertanggungjawaban dalam peristiwa tertembaknya pesawat MH-17?
2. Berdasarkan Konvensi Warsawa 1929, apakah pihak Malaysia Airlines sebagai
perusahaan pengangkut dapat dibebaskan dari kewajiban membayar kompensasi
atas kerugian yang diderita para penumpang pesawat MH-17 yang tertembak di
atas wilayah udara Ukraina?
1.3
Ruang Lingkup Masalah
Agar skripsi ini memiliki kerangka yang jelas dan sistematis serta tidak keluar
dari judul serta latar belakang permasalahan, penulis membatasi ruang lingkup
permasalahan yangakan dibahas, yaitu sebagai berikut:
-
Pada Bab I, penulis mendeskripsikan keseluruhan peristiwa secara singkat
pada sub Latar Belakang Masalah. Kemudian berangkat dari latar belakang
tersebut, penulis merumuskan 2 (dua) buah permasalahan yang akan dibahas
pada bab berikutnya. Sementara itu, pada bab ini penulis juga menjabarkan
teori-teori yang mendasari penulisan skripsi ini serta mengemukakan identitas
penelitian skripsi pada sub Metode Penelitian.
-
Pada Bab II penulis menjelaskan suatu tinjauan umum mengenai tanggung
jawab negara dan pengangkut dalam hukum internasional. Dalam sub bab
pertama, penulis menjabarkan mengenai pengertian tanggung jawab negara,
teori-teori yang mendasari munculnya tanggung jawab negara, elemen-elemen
tanggung jawab negara, jenis serta ketentuan mengenai pembebasan negara
dari kewajiban bertanggung jawab dalam hukum internasional. Selanjutnya,
pada sub bab kedua penulis menjabarkan tentang pengertian dan ruang
lingkup tanggung jawab pengangkut, prinsip, unsur serta ketentuan
pembebasan pengangkut dari kewajiban bertanggung jawab dalam hukum
internasional khususnya hukum pengangkutan udara internasional.
-
Pada Bab III dengan judul Tanggung Jawab Malaysia Sebagai Negara
Bendera (Flag State) dalam Peristiwa Tertembaknya Pesawat MH-17, penulis
menjabarkan tentang kedudukan negara bendera dalam hukum internasional
serta keterkaitan negara Malaysia dengan pesawat MH-17. Kemudian, pada
bab ini penulis juga menulis tinjauan komprehensif sebagai suatu rangkuman
pembahasan dalam bab ini.
-
Pada Bab IV penulis membahas mengenai berlakunya prinsip tanggung jawab
pengangkut serta bentuk tanggung jawab pengangkut pada Malaysia Airlines.
Dalam bab ini turut juga membahas alasan-alasan pembebasan kewajiban
bertanggung jawab oleh pengangkut serta relevansi alasan tersebut terhadap
Malaysia Airlines atas peristiwa tertembaknya pesawat MH-17. Selanjutnya,
sama seperti bab sebelumnya, penulis akan memberikan suatu tinjauan
komprehensif sebagai suatu rangkuman pembahasan bab ini.
-
Pada Bab V penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan atas permasalahan
yang dibahas lalu memberikan saran yang konstruktif guna tercapainya tujuan
dan manfaat dari penulisan skripsi ini.
1.4
Orisinalitas Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis mengenai topik skripsi yang telah ditulis oleh
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, belum pernah ada yang membahas
topik seperti yang penulis bahas pada skripsi ini. Dalam upaya penelusuran skripsi
yang dilakukandi Ruang Koleksi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
penulis memperoleh beberapa skripsi sebagai perbandingan yang topiknya berdekatan
dengan topik yang ditulis dalam skripsi ini. Adapun skripsi yang dimaksud penulis
dapat dilihat dalam tabel berikut:
No
Judul
1 Tanggung Jawab
Pengangkut dan
Negara dalam
Aktivitas Wisata
Ruang Angkasa yang
Dioperasikan Pihak
Swasta (2014)
Penulis
Lila Sitha
Rambisa
1.
2.
2
3
Tanggung Jawab
Maskapai
Penerbangan Sebagai
Pengangkut Dalam
Hal Terjadi Kerusakan
Kargo di Denpasar
(2012)
I Gusti Ayu
Made
Similir
Susila
Tanggung Jawab
Pengangkut Terhadap
Kecelakaan
Penumpang Pengguna
Jasa Angkutan Umum
(Studi pada Perum
Widya Eka
Sari
1.
2.
1.
2.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah status hukum
pesawat yang digunakan untuk
aktivitas wisata di ruang angkasa
yang dioperasikan oleh
perusahaan swasta ditinjau dari
perspektif hukum internasional
khususnya hukum ruang
angkasa?
Bagaimana pertanggungjawaban
pengangkut dan negara terhadap
kerugian yang timbul dalam
aktivitas wisata di ruang
angkasa?
Bagaimanakah tanggung jawab
maskapai penerbangan sebagai
pengangkut terhadap pengirim
apabila terjadi kerusakan kargo?
Bagaimana cara menentukan
besarnya ganti kerugian kepada
pengirim apabila terjadi
kerusakan kargo?
Bagaimanakah tanggung jawab
pengangkut terhadap penumpang
pengguna jasa angkutan umum
yang mengalami kecelakaan?
Bagaimanakah tata cara
pembayaran klaim terhadap
Damri Denpasar)
(2012)
1.5
penumpang yang mengalami
kecelakaan dalam kegiatan
pengangkutan?
Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam hukum
internasional.
2. Untuk mengetahui penerapan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam
penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional khususnya
hukum pengangkutan udara internasional.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisis dapat atau tidaknya Malaysia sebagai negara bendera
(flag state) dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum internasional
dalam peristiwa tertembaknya pesawat Malaysia Airlines MH-17 di wilayah
udara Ukraina.
2. Untuk menganalisis dapat atau tidaknya Malaysia Airlines sebagai
perusahaan pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab membayar
kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan dari kejadian pesawat MH-17
yang tertembak di atas wilayah udara Ukraina menurut hukum
pengangkutan udara internasional.
1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
1. Memberikan pemahaman tentang penerapan prinsip tanggung jawab negara
menurut hukum internasional dalam peristiwa konkrit.
2. Memberikan pemahaman tentang tanggung jawab pengangkut dalam
hukum internasional khususnya hukum angkutan udara internasional
menurut Konvensi Warsawa 1929 dan protokol-protokol perubahannya.
1.6.2 Manfaat Praktis
1. Bagi pejabat negara terkait, tulisan ini diharapkan dapat menjadi acuan
dalam mengantisipasi kemungkinan tuntutan pertanggungjawaban negara
bilamanana suatu hari terjadi peristiwa yang serupa dengan yang dialami
Malaysia Airlines.
2. Bagi perusahaan pengangkut (airliner), tulisan ini diharapkan dapat menjadi
pengetahuan tambahan tentang penerapan prinsip tanggung jawab
pengangkut dalam hukum internasional khususnya hukum angkutan udara
internasional menurut Konvensi Warsawa 1929dan protokol-protokol
perubahannyaapabila suatu hari berhadapan dengan kasus-kasus konkrit.
3. Bagi praktisi hukum (lawyer), tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah
satu referensi dalam menangani kasus-kasus nyata yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban negara maupun pertanggungjawaban pengangkut
berdasarkan hukum angkutan udara internasional.
1.7
Landasan Teoritis
1.7.1 Teori Kedaulatan Negara
Teori kedaulatan negara digunakan dalam landasan teori penulisan skripsi ini
karena berkaitan dengan negara sebagai subyek hukum internasional penuh yang
dalam hal ini memiliki hak dan kewajiban yang paling sempurna dalam sistem hukum
internasional. Dalam teori ini memberikan gambaran bahwa tidak ada satu negara
manapun di dunia ini yang dapat menikmati kedaulatannya tanpa menghormati
kedaulatan negara lain.
Konvensi Montevideo 1933 yang mengatur tentang hak dan kewajiban negara
telah berhasil menetapkan kesepakatan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi
negara sebagai subyek hukum. Adapun syarat-syarat itu ialah penduduk yang tetap,
wilayah yang pasti, pemerintah dan kemampuan untuk mengadakan hubungan
internasional. Menurut Kelsen negara adalah sama dengan sistem hukum. Starke
menganggap bahwa pengertian negara menurut Kelsen ini merupakan kondensasi
empat syarat negara menurut Konvensi Montevideo. Sistem hukum itu diciptakan dan
dipertahankan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Di samping itu, adanya
sistem hukum merupakan syarat utama bagi adanya negara.23
Menurut
teori
kedaulatan
negara
kekuasaan
tertinggi
terletak
pada
negara.Sumber kedaulatan adalah negara yang merupakan lembaga tertinggi
kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu
negara. Hukum dan konstitusi lahir berdasarkan kehendak negara dan diabdikan demi
23
F. Sugeng Istanto, 2010, Hukum Internasional, Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 30.
kepentingan negara. Para penganut teori ini melaksanakan pemerintahan tiran,
teirstimewa melalui kepala negara yang bertindak sebagai diktator.24
Suatu negara dianggap memiliki kemerdekaan dan kedaulatan terhadap warga
negaranya dan urusan-urusannya serta dalam batas-batas wilayah teritorialnya.
Kedaulatan pada saat ini mempunyai arti yang lebih sempit dibandingkan dengan
masa abad XVIII dan XIX. Dewasa ini sulit bagi suatu negara sehubungan dengan
kepentingan masyarakat internasional, untuk tidak menerima pembatasan-pembatasan
yang dikenakan terhadap kebebasan bertindaknya.25 Oleh karena itu, lebih tepat
dikatakan bahwa saat ini kedaulatan suatu negara merupakan sisa dari kekuasaan
yang dimilikinya dalam batas-batas yang diterapkan hukum internasional.26
1.7.2 Teori Pertanggungjawaban Negara
Teori pertanggungjawaban negara digunakan sebagai landasan teori dalam
skripsi ini karena dari sudut pandang hukum internasional publik terdapat keterkaitan
atau imputabilitas (imputability) suatu negara dalam hal ini Malaysia dalam kasus
yang menjadi fokus kajian skripsi ini, yakni tertembaknya pesawat MH-17 di wilayah
udara Ukraina. Keterkaitan atau imputabilitas tersebut, dalam hal ini adalah
kedudukan Malaysia sebagai negara bendera (flag state) dari pesawat MH-17
tersebut.
24
Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h. 71.
25
T. May Rudy, 2010, Hukum Internasional I, Refika Aditama, Jakarta, h. 27.
26
Ibid.
Dalam
hukum
internasional
publik,
sesuatu
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban apabila sesuatu itu berkedudukan sebagai subyek hukum
internasional. Secara teoritis, menurut hukum internasional yang dapat dikatakan
sebagai subyek hukum internasional hanyalah negara saja.27Boer Mauna menyatakan
bahwa negara merupakan subjek utama hukum internasional. Ia juga menambahkan
bahwa hukum internasional adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban
negara.28Berbeda halnya dengan Friedmann, menurutnya beberapa tahun silam telah
terjadi perubahan struktur dan perkembangan dimensi-dimensi baru hukum
internasional. Perubahan serta perkembangan tersebut adalah sebagai akibat dari
anggota masyarakat bangsa-bangsa bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan
kesejahteraan internasional.29
Walaupun mengalami perubahan dan perkembangan, hingga saat ini, negaranegara tetaplah merupakan pelaku utama dalam hukum internasional. Artinya hingga
saat ini negara masih tetap menikmati kepribadian hukum internasional (international
legal personality) yang penuh.30 Oleh karena itu, negara-negara dapat menciptakan
27
Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pengantar Hukum Intenasional, Bina Cipta, Jakarta, h.68.
28
Boer Mauna, 2011, op.cit, h. 17.
29
Friedmann, 1964, The Changing Structure of International Law, Columbia University Press
and Stevens & Sons Ltd, h. 67-68. Dikutip dari I Dewa Gede Palguna, 2008, “Tanggung Jawab Negara
dan Individu”, disampaikan dalam acara Penataran Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi
Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(KOSTRAD), h. 1, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014, 08.30 PM.
30
Jeffrey L. Dunoff, et.al., 2006, International Law: Norms, Actors, Process, A Problem-oriented
Approach, Aspen Publishers, New York, h. 111.
dan menjadi subyek langsung dari kewajiban-kewajiban internasional.31Namun
seiring dengan perkembangan dewasa ini,yang telah diterima sebagai subjek hukum
internasional selain negara adalah Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional,
organisasi internasional, orang perorangan (individu), dan pihak dalam sengketa
(belligerent).32
Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional
untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional
negara itu. International Law Commission (ILC) telah membahas persoalan tanggung
jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan
Rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang
Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (Draft Articles on Responsibility of
States for Internationally Wrongful Acts) yang kemudian diedarkan oleh Majelis
Umum PBB melalui Resolusi A/RES/56/83.
Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum
internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Hukum
internasional tentang tanggung jawab negara ini awalnyaberkembang melalui praktik
negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC menerima seluruh
Artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama
31
I Dewa Gede Palguna, 2008, “Tanggung Jawab Negara dan Individu”, disampaikan dalam acara
Penataran Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di
Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD), h. 1, diakses pada tanggal 17
Nopember 2014, 08.30 PM.
32
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, h. 89-105.
mengutip dan menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC. Sehingga
walaupun rancangan Artikel tidak menjelma sebagai sebuah konvensi, namun dapat
dipastikan bahwa rancangan tersebut akan tetap berpengaruh besar pada pengadilanpengadilan internasional.33 Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat
(1) Statuta Mahkamah Internasional (The Statute of International Court of Justice),
praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan
internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber
primer hukum internasional.34
1.7.3 Teori Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional
Teori ini digunakan sebagai landasan teori karena langsung berkenaan dengan
masalah yang hendak dianalisis yaitu apakah pihak Malaysia Airlines dapat
dimintakan pertanggungjawaban untuk membayar kompensasi baik dalam bentuk
materiil maupun imateriil, atas kerugian yang diderita para penumpang meskipun
kerugian itu timbul bukan karena kecelakaan biasa melainkan karena penembakan.
Dalam pengangkutan udara internasional, suatu accident merupakan syarat
pertama untuk dapat diberlakukannya ketentuan-ketentuan konvensi.35 Suatu kejadian
agar dapat dikualifikasikan sebagai accident menurut Pasal 17 Konvensi Warsawa
33
I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 3.
34
Ibid.
35
Ibid.
1929 adalah apabila kejadian dalam pesawat udara yang menyebabkan kerugian
tersebut harus merupakan kejadian yang luar biasa (unusual) atau tidak dapat
diperkirakan sebelumnya (unexpected).36
Sejak dunia penerbangan mulai berkembang, terlebih setelah penerbangan sipil
berkembang melintasi batas-batas negara, para ahli hukum di berbagai negara telah
menyadari akan adanya berbagai masalah yang kompleks mengenai tanggung jawab
pengangkut.37 Seiring dengan hal tersebut, para ahli hukum memandang bahwa akan
terjadi perselisihan hukum (conflict of laws) yang tidak mungkin dapat dihindari.38
Lahirnya Konvensi Warsawa pada tahun 1929 dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya berbagai permasalahan tersebut dengan mengadakan suatu rezim hukum
yang seragam terutama tentang tanggung jawab pengangkut udara. Konvensi
Warsawa atau dengan nama resmi Convention for the Unification of Certain Rules
Relating to International Carriage by Air ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12
Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933.39 Konvensi ini
merupakan perjanjian pertama di bidang Hukum Udara Perdata dan merupakan salah
satu perjanjian tertua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu
36
Otto Kahn Freund, 1965, The Law of Carriage by Inland Transport 4th edition, Stevens,
London, h. 718.
37
E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 54.
38
Ibid.
39
Ibid.
dalam hukum perdata. Hingga saat ini Konvensi Warsawa telah diratifikasi oleh
kurang lebih 130 negara.40
Namun kenyataan ini tidak berlangsung lama, pasca Perang Dunia II, semakin
banyak negara yang menginginkan Konvensi Warsawa untuk diubah demi memenuhi
perkembangan jaman.41 Oleh karena itu, dimulai dari tahun 1955 konvensi ini
kemudian telah diubah beberapa kali. Perubahan pertama diadakan dengan
munculnya Protocol The Hague 1955, kedua melalui Protocol Guatemala City 1971,
sampai 4 (empat) Protocol Montreal 1975. Di samping itu telah dibuat pula suatu
konvensi tambahan yang ditandatangani di Guadalajara pada tahun 1961.
Tujuan utama dari protokol-protokol tersebut adalah mengubah batas-batas
maksimum tanggung jawab pengangkut dan prinsip tanggung jawab pengangkut
udara karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.42
Sedangkan perubahan-perubahan lain dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan
tujuan perubahan tersebut.43
Dalam hal pengangkutan penumpang, Pasal17 Konvensi Warsawa 1929
menyatakan sebagai berikut:
“The carrier shall be liable for damage sustained in the event of death,
wounding or any other bodily injury by passenger if the accident which caused
40
Ibid.
41
Ibid, h. 55
Ibid.
42
43
Ibid.
the damage so sustained took place on board the aircraft or in the course of
any of the operations of embarking or disembarking.”
Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang harus
dipenuhi pengangkut untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban harus memenuhi
beberapa syarat yaitu pertama kerugian harus disebabkan oleh suatu kecelakaan
(accident), kedua kecelakaan tersebut harus terjadi dalam pesawat udara (...on board
the aircraft) atau kecelakaan tersebut harus terjadi pada waktu embarkasi atau
disembarkasi (in the course of any of the operations of embarking or disembarking).
Dalam praktek, terdapat kesulitan sehubungan dengan adanya persyaratan tersebut.
Kesulitan tersebut dikarenakan dalam Konvensi Warsawa 1929 tidak ada definisi
tentang syarat-syarat di atas sehingga perlu ditafsirkan lebih lanjut melalui pendapat
para sarjana atau dari putusan pengadilan.44
Beberapa masalah kontroversial dalam praktek hukum angkutan udara
internasional setelah munculnya Konvensi Warsawa 1929 yaitu:
1. Kapan pengangkut harus bertanggung jawab.
Persoalan ini berhubungan dalam hal menentukan kapan pengangkut
udara dapat diminta pertanggungjawabannya bilamana terjadi suatu kerugian
atau kecelakaan yang diderita oleh pengguna jasa angkutan.Dalam prakteknya
terdapat banyak kesulitan dalam menentukan kapan pengangkut udara harus
diwajibkan untuk bertanggung jawab. Hal ini disebabkan karena dalam
44
Ibid, h. 57.
Konvensi Warsawa 1929 tidak dirumuskan secara jelas kapan dan dalam hal
apa pengangkut udara bertanggung jawab baik dalam hal pengangkutan
penumpang bagasi tercatat dan kargo atau dalam hal kelambatan. Oleh karena
itu tidak adanya ketentuan yang jelas dalam Konvensi, alhasil dalam praktek
penafsirannya diserahkan pada pengadilan yang menangani perkara tersebut
atau pada pendapat para ahli (doktrin).45
2. Jenis kerugian yang dapat diberikan santunan oleh pengangkut.
Berdasarkan Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929, santunan dapat
diberikan atas kerugian yang diderita penumpang apabila penumpang
meninggal dunia, mengalami luka (wounding) atau mengalami penderitaan
fisik lainnya bila peristiwa tersebut terjadi di dalam pesawat udara pada saat
embarkasi atau disembarkasi.46
3. Tanggung jawab pengangkut dalam hal kelambatan
Konvensi
Warsawa
1929
menentukan
bahwa
pengangkutan
bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa penumpang, bagasi atau
kargo akbat adanya kelambatan selama dalam pengangkutan udara. Adanya
ketentuan tentang kemungkinan para pengguna jasa angkutan memperoleh
ganti rugi yang diakibatkan oleh keterlambatan pihak pengangkut didasari
oleh
45
Ibid, h. 55.
46
Ibid h. 84.
pemikiran
bahwa
kecepatan
merupakan
unsur
utama
dalam
pengangkutan udara.47 Lebih lanjut menurut E.M. Lopez menyatakan bahwa
faktor waktu merupakan faktor yang terpenting sebagai bahan pertimbangan
bagi para pengguna jasa angkutan untuk memilih angkutan udara dibanding
dengan alat angkutan tradisional lainnya seperti angkutan darat atau angkutan
laut.48
4. Batas-batas tanggung jawab pengangkut udara
Konversi Warsawa 1929 memberikan batasan mengenai tanggung
jawab pengangkut hingga jumlah maksimum tertentu. Hanya saja dalam halhal yang khusus, batas tersebut dapat dilampaui. Namun sebaliknya dalam
keadaan apapun jumlah yang telah ditetapkan tidak dapat dikurangi.49
5. Pembebasan tanggung jawab pengangkut udara
Seperti yang telah diketahui, Konversi Warsawa 1929 menganut
prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of
liability principle) yang mana beban pembuktian terhadap suatu perkara
beralih dari pihak penggugat ke pihak tergugat. Dengan demikian,
kemungkinan atas terjadinya pembebasan tanggung jawab pengangkut atas
kerugian yang diderita penumpang atau barang dalam suatu peristiwa
kecelakaan bisa saja terjadi sepanjang pengangkut dapat membuktikan bahwa
pihaknya tidak bersalah di hadapan persidangan. Pembebasan kewajiban
47
Ibid, h. 105
48
E. M. Lopez, 1976, Air Carrier’s Liability in Cases of Delay, h. 109
49
E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 115.
pengangkut untuk bertanggung jawab ini dapat diterapkan dalam hal
pengangkutan penumpang maupun pengangkutan kargo atau bagasi.50
Perbuatan hukum
(rechtshandeling) atau kejadian hukum
(rechtsfeit)
merupakan perbuatan dan tingkah laku subyek hukum yang membawa akibat hukum,
karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum. 51 Menurut Van
Apeldoorn, peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan
atau menghapuskan hak.52
Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) merupakan hubungan antara dua atau
lebih subyek hukum. Hubungan ini bisa berupa ikatan antara individu dengan
individu lainnya, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat lainnya yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu hak dan
kewajiban.53
1.8
Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Tulisan ini merupakanpenelitian hukum normatif.Menurut Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang
50
Ibid, h. 140-148.
51
Soedjono Dirdjosisworo, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, PT. GrafindoPersada, Jakarta, h. 49.
52
R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu HukumCetakan XII, Sinar Grafika, Jakarta, h. 251.
53
Soedjono Dirdjosisworo,op.cit.
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan.54
Dalam pandangan Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah sistem norma.
Sistem norma yang dimaksud adalah asas, kaidah dari peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian internasional serta pendapat para sarjana
yang telah diakui oleh dunia sebagai suatu teori yang benar (doktrin).55 Sementara itu,
yang hendak dilakukan oleh penelitian ini ialah meneliti sistem norma tersebut, baik
berupa asas, prinsip serta pengertian-pengertian yang terkandung dalam sumbersumber hukum internasional pada peristiwa yang terjadi di lapangan.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum, umumnya dikenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, yakni:
a. Pendekatan kasus (case approach);
b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach);
c. Pendekatan fakta (fact approach);
d. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach);
e. Pendekatan frasa (words and phrase approach);
f. Pendekatan sejarah (historical approach);
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Sebagai Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo, h. 15.
55
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Belajar, Yogyakarta, h. 34.
g. Pendekatan perbandingan (comparative approach).56
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebanyak 4
(empat) jenis pendekatan yaknipendekatan kasus (case approach), pendekatan fakta
(fact approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach). Digunakannya
pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan fakta (fact approach)karena
tulisan ini berangkat dan didasari oleh kasus yang benar-benar terjadi secara konkrit.
Selanjutnya terkait dengan digunakannya pendekatan perundang-undangan (statute
approach), meskipun dalam hukum internasional tidak mengenal undang-undang
layaknya dalam sistem hukum nasional, namun perundang-undangan dapat
diinterpretasikan secara luas dalam bentuk konvensi-konvensi internasional yang
telah diratifikasi dan mengikat negara-negara anggotanya. Pendekatan perundangundangan (statute approach) digunakan karena tulisan ini mengkajiaturan-aturan
dalam konvensi internasional, di mana aturan-aturan tersebut berhubungan dengan
permasalahan hukum yang akan dibahas dalam tulisan ini. Terakhir, penggunaan
pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach) karena
dalam tulisan ini selain menggunakan aturan dalam konvensi sebagai acuan,
pembahasan terhadap masalah-masalah hukumnya juga diperlukan menggunakan
beberapa konsep-konsep ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum internasional.
1.8.3 Bahan Hukum
56
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, h. 80.
Sumber-sumber bahan hukum yang digunakan penulis guna menunjang
penulisan skripsi ini dapat dibagi 3 (tiga), yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan serta perjanjian internasional. 57 Adapun
bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam tulisan ini berupa beberapa
dokumen, antara lain:
-
Act 408 National Productivity Corporation;
-
Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International
Carriage by Air (Warsaw Convention) 1929;
-
Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention)1944;
-
Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001;
-
Protocol The Hague 1955;
-
Protocol Guatemala City 1971;
-
Protocol Montreal 1 – 4 1975;
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diperoleh
melalui studi kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana
berupa buku-buku, jurnal ilmiah, artikel serta berita-berita dari situs internet.
c. Bahan Hukum Tersier
57
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,op.cit, h. 157.
Adapun bahan hukum tersier yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi
ini adalah berupa kamus umum bahasa Inggris dan Indonesia serta kamus hukum.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Skripsi ini merupakanpenelitian hukum normatif, oleh karena itu maka teknik
pengumpulan bahan hukumnya adalah dengan cara studi kepustakaan terhadap
bahan-bahan hukum yang digunakan. Penelusuran dalam studi kepustakaan yang
dimaksud dilakukan dengan membacadan melakukan penulusuran bahan hukum
melalui media internet.
1.8.5 Teknik Analisis
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan 2 (dua) teknik analisis yaitu teknik
analisis yang bersifat deskriptif dan preskriptif.Teknik analisis deskriptif adalah
teknik analisis yang memberikan gambaran atau pemaparan terhadap bahan-bahan
hukum yang diperoleh.Sedangkan teknik analisis preskriptif adalah teknik analisis
yang memberikan penilaian benar atau salah dan bagaimana seharusnya menurut
hukum terhadap fakta-fakta yang terjadi di lapangan.58 Dalam tulisan ini, fakta-fakta
tersebut diperoleh melalui laporan, berita serta rilis resmi yang dapat ditelusuri
melalui internet.
58
Ibid, h. 183-184.
Download