BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN
PENGANGKUT
2.1
Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional
Tanggung jawab negara (state responsibility) merupakan prinsip fundamental
dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin para ahli hukum
internasional. Tanggung jawab negara timbul bila terdapat pelanggaran atas suatu
kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan
perjanjian internasional maupun berdasarkan pada kebiasaan internasional.1
Di samping itu tanggung jawab negara (state responsibility) muncul sebagai
akibat dari adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara (equality and
sovereignty of state) yang terdapat dalam hukum internasional.2 Prinsip ini kemudian
memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut
suatu hak yaitu berupa perbaikan (reparation).3 Meskipun suatu negara mempunyai
kedaulatan atas dirinya, tidak lantas negara tersebut dapat menggunakan
kedaulatannya tanpa menghormati kedaulatan negara-negara lain.Didalam hukum
internasional telah diatur bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan kewajiban
untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena apabila suatu negara
1
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor
Leste dan Lainnya, Grasindo Gramedia WidiasaranaIndonesia, h. 28.
2
3
Hingorani, 1984, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, h. 241.
Ibid.
menyalahgunakan kedaulatannya, maka negara tersebut dapat dimintai suatu
pertanggungjawaban atas tindakan dan kelalaiannya.4
Istilah tanggung jawab negara hingga saat ini masih belum secara tegas
dinyatakan dan masih terus berkembang untuk menemukan konsepnya yang mapan
dan solid. Oleh karena masih dalam tahap perkembangan ini, maka sebagai
konsekuensinya,
pembahasan
terhadapnya
pun
dewasa
ini
masih
sangat
membingungkan.5
Hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum internasional yang mapan
tentang tanggung jawab negara. Umumnya yang dapat dikemukakan oleh para ahli
hukum internasional dalam menganalisa tanggung jawab negara hanya baru pada
tahap mengemukakan syarat-syarat atau karakteristik dari pertanggungjawaban suatu
negara. Meskipun demikian para ahli hukum internasional telah banyak mengakui
bahwa tanggung jawab negara ini merupakan suatu prinsip yang fundamental dari
hukum internasional.6
Dalam hukum internasional dikenal 2 (dua) macam aturan yakni:7
4
Huala Adolf, 1991, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, CV Rajawali, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Huala Adolf I), h. 174.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
266.
Sefriani,2010, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
- Primary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan hak dan
kewajiban negara yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan atau
instrumen lainnya; dan
- Secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana
dan apa akibat hukum apabila primary rules tersebut dilanggar oleh suatu
negara.
Secondary rules inilah yang disebut sebagai hukum tanggung jawab negara (the
law of state responsibility).8
Pasal 1 Draft Articles International Law Comission 2001 menegaskan bahwa
setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan suatu
tanggung jawab.9 Prinsip dalam rancangan pasal inilah yang dianut dengan teguh oleh
praktek negara dan keputusan-keputusan pengadilan serta telah menjadi doktrin
dalam hukum internasional.10
2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara
Pengertian tanggung jawab negara jika merujuk pada Dictionary of Law adalah:
8
Ibid.
9
Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law Sixth Edition, Oxford University Press,
New York, h. 244.
10
Huala Adolf I, op.cit, h. 176.
“Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply
with a legal obligation under international law.”11
Dari rumusan tersebut tanggung jawab negara dapat diartikan sebagai
kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparation) yang timbul ketika suatu negara
melakukan kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum
internasional. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary hanya terdapat pengertian
tanggung jawab secara sempit yaitu answerability or accountability.12
Sugeng Istanto memberikan pengertian terhadap tanggung jawab negara dengan
menggunakan istilah pertanggungjawaban negara. Menurutnya pertanggungjawaban
negara adalah kewajiban negara memberikan jawaban yang merupakan perhitungan
atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian
yang mungkin ditimbulkan.13
Sebagaimana layaknya dalam sistem hukum nasional, dalam hukum
internasional juga dikenal
dipenuhinya
adanya tanggung jawab sebagai akibat dari tidak
kewajiban-kewajiban
menurut
hukum
internasional.14Ada
dua
pengertian dari pertanggungjawaban negara. Pertama yaitu pertanggungjawaban atas
11
ElizabethA.Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, h.
477.
12
Bryan A. Garner, 2014, Black’s Law Dictionary Edisi Kesepuluh, Claitors Pub Division, New
York, h. 211.
13
14
F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 105.
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika
Aditama, Bandung, h. 193.
tindakan negara yang melanggar kewajiban internasionalnya. Kemudian yang kedua
yaitu pertanggungjawaban yang dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang
asing.15
Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada dasarnya
dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa tidak ada negara manapun di dunia ini yang
dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap
pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut berkewajiban
untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya menurut hukum internasional.
Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa dalam sistem hukum di dunia,
dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat secara hukum akan
menimbulkan tanggung jawab bagi pelanggarnya.16
Menurut Malcolm N. Shaw ada 3 (tiga) karakter esensial dari suatu
pertanggungjawaban negara, yakni:17
1. The existence of an international legal obligation in force as between two
particular states,
2. There has occured an act or omission which violates that obligation and
which is imputable to the state responsible; dan
3. That loss or damage has resulted from the unlawful act or ommission.
15
Ibid.
16
17
Sefriani, op.cit.
Malcolm N. Shaw, 2008, International Law, 6th Edition, Cambridge University Press, New
York, (selanjutnya disingkat Malcolm N. Shaw II), h. 781.
Dari ketiga karakter pertanggungjawaban negara menurut Shaw di atas, terdapat
3 (tiga) unsur
yang harus dipenuhi suatu negara agar dapat
dimintai
pertanggungjawabannya. Pertama, yaitu harus terdapat kewajiban internasional yang
mengikat pada negara yang akan dimintakan pertanggungjawabannya. Kedua, adanya
suatu perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan dilanggarnya suatu kewajiban
internasional suatu negara yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi negara
tersebut. Terakhir adalah adanya kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan karena
perbuatan serta kelalaian yang dilakukan oleh negara tersebut. Jadi secara implisit
Shaw menyatakan bahwa negara yang hendak dimintai pertanggungjawabannya harus
memenuhi ketiga unsur di atas dan apabila salah satu dari unsur pertanggungjawaban
negara
tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya.18
1.1.2
Munculnya Tanggung Jawab Negara
Pada hakikatnya, lahirnya tanggung jawab negara didasari oleh 2 (dua) teori,
yaitu teori risiko dan teori kesalahan. Kedua teori ini memiliki alur logika dan
argumentasinya masing-masing.
Teori risiko (risk theory)menentukan bahwa suatu negara mutlak bertanggung
jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan
(harmful effectsof hazardous activities) walaupun kegiatan tersebut merupakan
kegiatan yang mempunyai legalitas hukum. Teori ini kemudian melahirkan prinsip
18
Ibid.
tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab
objektif (objective responsibility).19 Contoh penerapan teori ini dapat dilihat pada
ketentuan Pasal 2 Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa negara
peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi
untuk kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam
penerbangan yang mana kerugian dan kecelakaan tersebut ditimbulkan oleh benda
angkasa miliknya.
Berbeda dengan teori risiko, teori kesalahan (fault theory)menyatakan bahwa
tanggung jawab negara muncul pada saat perbuatan negara tersebut dapat dibuktikan
mengandung unsur kesalahan.20 Suatu perbuatan dikatakan mengandung kesalahan
apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja beritikad buruk atau dengan
kelalaian yang tidak dapat dibenarkan. Teori dan praktek hukum internasional dewasa
ini tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada perbuatan alat kelengkapan negara
yang bertentangan dengan hukum internasional
yang dapat menimbulkan
pertanggungjawaban negara. Dalam hal ini negara menjadi bertanggung jawab tanpa
adanya
keharusan
bagi
pihak
yang
menuntut
pertanggungjawaban
untuk
membuktikan adanya kesalahan pada negara tersebut.21Teori kesalahan ini kemudian
19
Huala Adolf I, op.cit, h. 187.
20
Ibid.
21
F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 111.
melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung
jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault).22
2.1.3 Elemen-elemen Tanggung Jawab Negara
Suatu perbuatan negara yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional
(internationally wrongful act of a state) secara otomatis akan melahirkan tanggung
jawab internasional bagi negara tersebut.23 Untuk itu menurut Draft Articles
International Law Comission 200124 (selanjutnya disebut Draft Articles ILC) sebagai
suatu instrumen hukum internasional kebiasaan yang mengatur tentang state
responsibility menentukan kapan perbuatan suatu negara dapat dikatakan salah.
Merujuk Pasal 1 dan 2 Draft Articles ILC perbuatan suatu negara dapat dipersalahkan
menurut hukum internasional apabila pertama ketika perbuatan tersebut dapat
diatribusikan pada negara tersebut (attribution of conduct to a state) dan kedua ketika
perbuatan negara tersebut telah melanggar kewajiban internasionalnya (breach of an
international obligation).25 Namun Draft Articles ILC tidak memberi pembatasan
kapan suatu negara dikatakan melakukan suatu pelanggaran hukum internasional.
Sehingga dalam praktiknya, hal tersebut ditentukan melalui penerapan sumbersumber hukum internasional primer lainnya.
22
Huala Adolf I, loc.cit.
23
I Dewa Gede Palguna, loc.cit.
24
Nama Resmi dari draft ini adalah Draft Articles on Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts 2001.
25
Malcolm D. Evans, 2006, International Law, Second Edition, Oxford University Press, New
York, h. 459.
a. Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara (attribution of conduct to a
state)
Secara umum, ketentuan yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa
hanya perbuatan organ negara, pemerintah dan/atau pejabatnya (orang maupun
entitas yang bertindak berdasarkan perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan
organ-organ itu) yang dapat diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu
mencakup organ-organ pemerintahan nasional, daerah, maupun lokal dan
orang-orang maupun entitas dalam tingkatan apapun, ataupun setiap orang
maupun entitas yang menyandang status sebagai organ pemerintahan
berdasarkan hukum nasional suatu negara. Di samping itu juga termasuk di
dalamnya orang-orang yang secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan
meskipun mereka tidak diklasifikasikan demikian oleh hukum nasional negara
yang bersangkutan.26
b. Pelanggaran suatu kewajiban internasional(breach of an international
obligation)
Sekalipun suatu perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara,
untuk melahirkan adanya tanggung jawab negara, perbuatan itu harus
dibuktikan merupakan pelanggaran suatu kewajiban internasional negara yang
bersangkutan. Untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran suatu kewajiban
internasional, Artikel menentukan bahwa hal itu harus ditentukan secara kasus
26
Ibid, h. 460.
demi kasus.27Sementara itu ditentukan pula bahwa perbuatan suatu negara
tidak dianggap melanggar kewajiban internasional jika perbuatan itu terjadi
sebelum terikatnya negara tersebut oleh suatu kewajiban internasional.28
2.1.4 Jenis-jenis Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional
Secara garis besar tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:29
a. Tanggung jawab karena perbuatan melawan hukum (delictual liability)
Tanggung jawab seperti ini dapat lahir dari setiap kesalahan atau
kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayahnya atau
wilayah negara lain. Beberapa hal yang dapat menimbulkan tanggung jawab
negara dalam hal ini adalah:
- Eksplorasi ruang angkasa
Negara peluncur satelit selalu bertanggung jawab terhadap setiap
kerugian yang disebabkan oleh satelit tersebut kepada benda-benda
(obyek) di wilayah negara lain. Pemberlakuan prinsip tanggung jawub
dari perbuatan ini adalah tanggung jawab absolut. Ketentuan hukum yang
mengatur tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan peluncuran satelit
(benda-benda ruang angkasa) ini diatur dalam Liability Convention 1972.
-
Eksplorasi nuklir
27
Ibid, h. 466.
28
Ibid.
29
Huala Adolf I, op.cit, h. 180-181.
Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang
disebabkan karena kegiatan-kegiatan dalam bidang eksplorasi nuklir.
Prinsip tanggung jawab dalam kegiatan ini juga menggunakan prinsip
tanggung jawab absolut. Dalam hal ini, tidaklah penting apakah suatu
negara sebelumnya telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Sama
halnya dengan kegiatan eksploitasi ruang angkasa, yang menjadi latar
belakang digunakannya prinsip tanggung jawab absolut yaitu karena
kegiatan-kegiatan ini mengandung risiko berbahaya yang sangat tinggi (a
highly hazardous activity).
-
Kegiatan-kegiatan lintas batas nasional
Setiap negara berkewajiban mengatur dan mengawasi
setiap
kegiatan yang terjadi di dalam wilayahnya baik yang sifatnya publik
maupun perdata, di mana kegiatan-kegiatan tersebut dapat melintasi batas
negaranya dan menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Prinsip
tanggung jawab yang berlaku pada kegiatan ini tergantung pada bentuk
kegiatan yang bersangkutan. Jika kerugiannya bersifat bahaya, maka
prinsip tanggung jawab yang digunakan ialah prinsip tanggung jawab
mutlak. Namun apabila kegiatan-kegiatan tersebut bersifat biasa maka
tanggung jawab negara bergantung pada kelalaian atau maksud dari
tindakan tersebut.30
b. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian (contractual liability)
30
Hingorani, loc.cit.
Suatu negara juga dapat bertanggung jawab atas pelanggaran
perjanjian menurut hukum internasional. Tanggung jawab seperti ini dapat
terjadi terhadap suatu negara manakala negara tersebut melanggar suatu
perjanjian atau kontrak.
Negara yang memiliki tanggung jawab karena melakukan kesalahan menurut
hukum internasional berkewajiban untuk melakukan perbaikan (reparation) secara
penuh atas kerugian material maupun moral yang diakibatkan oleh perbuatannya.
Menurut Pasal 34 Draft Articles ILC, bentuk atau jenis perbaikan (reparation) itu
mencakup restitusi (restitution), kompensasi (compensation), dan pemenuhan
(satisfication).
Artikel telah memberikan pengertian pada masing-masing jenis perbaikan oleh
negara di atas. Pasal 35 Draft Articles ILC menyatakan bahwa restitusi adalah
tindakan untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya pelanggaran
sepanjang hal itu secara material tidak mustahil dilakukan atau sepanjang tidak
merupakan suatu beban yang tidak proporsional. Selanjutnya kompensasi merupakan
tanggung jawab negara untuk memberikan kompensasi atas kerugian yang
disebabkan oleh perbuatannya, yang dipersalahkan menurut hukum internasional
sepanjang hal itu tidak menyangkut hal-hal yang telah dilakukan secara baik melalui
restitusi.31 Sementara itu, menyangkut soal pemenuhan (satisfaction), Artikel
menentukan bahwa hal itu dilakukan sepanjang restitusi atau kompensasi tidak
31
Lihat Pasal 36 Draft Articles ILC.
berlangsung baik atau tidak memuaskan. Pemenuhan dapat berupa pengakuan telah
melakukan pelanggaran, pernyataan menyesal, atau permohonan maaf secara formal
atau sarana-sarana lain yang dipandang tepat.32
2.1.5 Pembebasan Negara dari Kewajiban Bertanggung Jawab dalam Hukum
Internasional
Dalam keadaan-keadaan tertentu, suatu pelanggaran terhadap perjanjian atau
suatu kewajiban internasional tidak mengakibatkan negara tersebut bertanggung
jawab terhadap perbuatannya. Secara umum keadaan-keadaan yang dimaksud adalah:
a. Tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan negara yang dirugikan.
Contoh yang umum tentang hal ini adalah pengiriman tentara ke negara lain
atas permintaannya.33
b. Diterapkannya sanksi-sanksi yang sah menurut Pasal 30 Draft Articles ILC.
Pasal ini menentukan bahwa suatu tindakan pelanggaran dikesampingkan
manakala tindakan itu dilakukan sebagai suatu upaya yang sah menurut
hukum internasional sebagai akibat adanya pelanggaran internasional yang
dilakukan oleh negara lainnya.34
c. Keadaan memaksa (force majeure). Force majeure telah lama diterima
sebagai
32
alasan
pembebasan
Pasal 37 Draft Articles ILC.
33
Huala Adolf I, op.cit, h. 185.
34
Ibid.
tanggung
jawab
negara
untuk
tidak
melaksanakan kewajian suatu perjanjian internasional. Pasal 31 Draft
Articles ILC menentukan bahwa kesalahan negara dapat dihindari apabila
tindakan itu disebabkan karena adanya kekuatan yang tak dapat dihindari
atau karena adanya kejadian yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unpredictable) atau secara materil tidak mungkin bagi negara yang
bersangkutan untuk memenuhi kewajiban internasional tersebut.35
d. Tindakan yang sangat diperlukan (state of necessity). Pasal 33 Draft Articles
ILC mengatur tentang tindakan yang sangat diperlukan yaitu suatu tindakan
yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan
negara terhadap bahaya yang sangat besar, sepanjang kepentingan negara
lain yang terkait tidak terancam oleh tindakan negara tersebut.36
e. Tindakan membela diri (self defense). Negara dapat juga dibebaskan dari
tanggung jawab atas perbuatan yang tidak sah apabila tindakan tersebut
dilakukan untuk membela diri.37
2.2 Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara
Internasional
2.2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Pengangkut
35
Ibid.
36
Malcolm N. Shaw, 1986, International Law, Second Edition, Buttherworths, h. 419.
37
Ibid.
Secara etimologi pengangkutan berasal dari kata „angkut‟ yang berarti bawa,
angkut, muat dan kirimkan, memuat dan membawa atau mengirimkan. Berarti
pengangkutan mempunyai arti pembawaan, pemuatan dan/atau pengiriman barang
atau orang.38
Menurut Purwosutjipto, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara
pengangkut dan pengirim/penumpang, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat
tujuan dengan selamat, sedangkan pengirim/penumpang mengikatkan diri untuk
membayar sejumlah uang sebagai biaya angkutan.39Kemudian Hasim Purba
menambahkan bahwa pengangkutan adalah upaya pemindahan orang dan/atau barang
dari suatu tempat ke tempat lain dengan alat angkutan, baik angkutan darat, angkutan
perairan maupun angkutan udara.40
Jadi secara umum yang dimaksud dengan pengangkutan adalah suatu kegiatan
memindahkan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan
menggunakan alat angkutan, dimana terdapat hubungan timbal balik yang
menimbulkan hak serta kewajiban antara pihak pengangkut dan pengirim atau
penumpang. Pihak pengangkut mempunyai kewajiban untuk mengirim barang
dan/atau orang ke tempat dengan selamat dan setelahnya mendapatkan hak berupa
38
Abdulkadir Muhammad, 1991, Hukum Pengangkutan Darat Laut dan Udara, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 19.
39
40
HMN. Purwosutjipto, loc.cit.
Hasim Purba, 2005, Hukum Pengangkutan di Laut: Perspektif Teori dan Praktek, Pustaka
Bangsa Press, Medan, h. 5.
biaya angkut. Sedangkan pengirim atau penumpang mempunyai kewajiban untuk
membayar biaya angkut yang selanjutnya mendapatkan hak untuk diangkut dengan
selamat ke tempat tujuan.
Secara umum tanggung jawab pengangkut dapat diartikan sebagai kewajiban
perusahaan angkutan untuk mengganti kerugian yang diderita penumpang atau
pengirim barang serta pihak ketiga.41 Adapun yang menjadi ruang lingkup terkait
tanggung jawab pengangkut, yaitu42:
1.
Pada saat kapan pengangkut bertanggung jawab terhadap barang atau
penumpang. Ketentuan ini berkaitan dengan penentuan dapat atau tidaknya
pengangkut
bertanggung
jawab
bilamana
terjadi
kecelakaan
atau
keterlambatan yang menimbulkan kerugian pada penumpang atau barang.
2.
Kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh suatu kecelakaan. Ketentuan
ini membahas mengenai kerugian atau kerusakan yang seperti apa yang
dapat membuat pihak pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap
kecelakaan atau kerusakan yang diderita penumpang atau barang.
3. Batas tanggung jawab pengangkut. Pembatasan tanggung jawab pengangkut
didasari oleh pemikiran yaitu merupakan salah bentuk perlindungan terhadap
perusahaan pengangkut yang masih dalam taraf berkembang atau secara
finansial masih sangat lemah, kesadaran penumpang dan kargo bahwa setiap
41
Ibid, h. 18.
42
Ibid.
setiap kegiatan pengangkutan pasti akan menimbulkan risiko, serta untuk
menghindari proses berperkara di Pengadilan yang berkepanjangan.
2.2.2
Prinsip-Prinsip
Tanggung
Jawab
Pengangkut
dalam
Hukum
Pengangkutan Udara Internasional
Titik sentral setiap pembahasan mengenai tanggung jawab pengangkut pada
umumnya adalah mengenai prinsip tanggung jawab (liability principle) yang
diterapkan. Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab tertentu bergantung pada
keadaan tertentu, baik ditinjau dari perkembangan masyarakat maupun perkembangan
dunia angkutan yang bersangkutan, baik darat, laut atau udara.43 Mengenai teori
tanggung jawab pengangkut, dikenal 3 (tiga) macam prinsip, yakni:
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability
atau liability based on fault principle)
Dilihat
dari
sejarah
perkembangannya,
prinsip
tanggung
jawab
berdasarkan kepada unsur kesalahan (liability based on fault) merupakan reaksi
terhadap prinsip atau teori tanggung jawab mutlak (strict liability) yang berlaku
pada jaman primitif. Namun seiring dengan perkembangan jaman, hukum mulai
menaruh perhatian lebih besar pada hal-hal yang besifat pemberian maaf
(exculpatory considerations) dan sebagai akibat moral philosophy dari ajaran
agama yang cenderung mengarah pada pengakuan kesalahan moral (moral
43
E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 19.
culpability) sebagai dasar yang tepat untuk perbuatan melawan hukum. 44 Di
samping ajaran moral ini, faktor lain yang juga penting dalam proses sikap ini
adalah adanya anggapan masyarakat bahwa kerugian sebagai akibat dari suatu
kelalaian (negligence) tidak berarti kurang penting daripada kerugian akibat
dari suatu kesengajaan.45 Adapun yang termasuk dalam pengertian kesalahan
adalah baik perbuatan yang disengaja maupun kelalaian. Kahn Freund yang
pendapatnya dikutip oleh Saefullah Wiradipradja memberikan definisi umum
mengenai kesalahan sebagai berikut:
“Negligence means omission to do something which in the
circumstances a reasonable and careful man would do, or the doing of
something which in the circumstances a reasonable or careful man
would not do.” 46
Menurut sejarahnya, prinsip tanggung jawab yang didasarkan pada unsur
kesalahan mulanya dikenal dalam kebudayaan kuno dari Babylonia yang
kemudian dalam bentuknya yang lebih modern, prinsip ini dikenal dalam tahap
awal dari hukum Romawi termasuk di dalamnya doktrin mengenai „culpa‟.
Prinsip ini kemudian menjadi hukum di negeri Belanda yang dituangkan dalam
Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (BW) atau Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia yang dikenal dengan sebutan pasal perbuatan
44
Ibid, h. 20-21.
45
Ibid.
46
Ibid h. 23.
melawan hukum atau pasal mengenai tanggung jawab berdasarkan atas
kesalahan.47
J.G. Fleming berpendapat bahwa konsep modern tentang tanggung jawab
keperdataan (civil liability) secara umum menyatakan bahwa unsur kesalahan
pada seseorang yang menyebabkan timbulnya kerugian pada orang lain
merupakan syarat mutlak bagi adanya perbuatan melawan hukum. Prinsip
bahwa tiada tanggung jawab tanpa kesalahan (no liability without fault)
menjadi dogma yang berlaku umum.48
b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of
liability principle)
Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga ini pertama diterapkan
pada Konvensi Warsawa 1929 untuk pengangkutan udara internasional dan
Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 bagi pengangkutan udara domestik.
Perbedaan yang utama antara prinsip tanggung jawab ini dengan prinsip
tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan adalah bahwa pada prinsip
tanggung jawab ini beban pembuktian beralih dari korban (penggugat) kepada
pengangkut (tergugat).49
47
M.A. Moegni Djojodihardjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h.
48
E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 24.
49
Ibid, h. 30.
27.
Berdasarkan prinsip presumption of liability yang diterapkan dalam
Konvensi Warsawa dan Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut
adalah prima facie bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban
kecuali ia dapat membuktikan bahwa pihaknya telah mengambil semua
tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian tersebut. Jadi, pihak
penggugat atau korban dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh santunan
tanpa harus membuktikan adanya kesalahan pada pihak pengangkut. Satusatunya cara kewajiban yang harus ia (korban/penggugat) lakukan adalah
menunjukkan bahwa kecelakaan atau kejadian yang menyebabkan kerugian
tersebut terjadi di dalam pesawat udara atau selama embarkasi atau
disembarkasi.50 Dengan demikian, yang dimaksud bahwa tanggung jawab
pengangkut berdasarkan pada praduga yaitu tanggung jawab pengangkut
tersebut dapat dihindarkan sepanjang pengangkut dapat membuktikan bahwa
pihaknya tidak bersalah (absence of fault).
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, absolute/strict liability
principle)
Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without
fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan istilah absolute liability
atau strict liability. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak dimaksudkan agar
meniadakan keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu
50
Ibid.
perbuatan. Atau dengan kata lain, suatu prinsip tanggung jawab yang
memandang
kesalahan
sebagai
suatu
yang
tidak
relevan
untuk
dipermasalahkan.51
Prinsip tanggung jawab mutlak telah diterapkan dalam ketentuanketentuan hukum pengangkutan udara internasional dewasa ini seperti Roma
Convention 1952 (kemudian diubah dengan Protocol Montreal 1978), Montreal
Agreement 1966, Protocol Guatemala City 1971 dan dalam Protocol Montreal
No. 4 1975. Adapun beberapa alasan untuk memberlakukan prinsip tanggung
jawab mutlak dalam hukum pengangkutan udara antara lain:52
-
Ketidaksesuaian protective philosophy bagi pengangkut dan pesatnya
kemajuan teknologi penerbangan yang membuat kemungkinan timbulnya
kecelakaan berkurang dibandingkan 50 – 60 tahun yang lalu;
-
Sebagai kompensasi atas penyelenggaraan kegiatan yang sangat berbahaya
dan dapat mengancam keselamatan orang lain;
-
Sebagai pertimbangan terhadap nilai-nilai sosial secara luas (a broad social
value-judgement) yang mana apabila seseorang melakukan kegiatan untuk
memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri harus menanggung risiko
akibat dari kegiatan tersebut;
-
Menjamin
para
korban
untuk
memperoleh
pembayarannya tidak akan berlarut-larut; dan
51
52
Ibid, h. 35.
Ibid, h. 204.
santunan
dan
proses
-
Pelaksanaan prinsip tanggung jawab mutlak dengan disertai pembatasan
tanggung jawab yang tidak dapat dilampaui dalam keadaan apapun
(unbreakable limit) serta sistem asuransi wajib, sebenarnya cukup
memberikan perlindungan terhadap pengangkut.
2.2.3 Unsur-unsur Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional
Merujuk Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929, untuk menyatakan bahwa
pengangkut mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab haruslah memenuhi 3
(unsur) yaitu:
a. Accident
Agar suatu kejadian dapat dikualifikasikan sebagai accident dalam
pengertian Pasal 17 Konvensi, kejadian dalam pesawat udara yang
menimbulkan kerugian tersebut harus merupakan kejadian yang luar biasa
(unusual) atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya (unexpected).53 Lebih
lanjut menurut Mankiewicz, beberapa kejadian yang dapat dikualifikasikan
ke dalam suatu accident menurut ketentuan Pasal 17 tersebut antara lain
penguasaan pesawat secara tidak sah (hijacking) dan sabotase, kerusakan
tekanan udara pesawat, keadaan cuaca buruk dan badai, suatu serangan oleh
pesawat
53
udara
Otto Kahn Freund, loc.cit.
militer,
kegaduhan,
kepanikan
dan
kekacauan
(pandemonium) akibat dari suatu pendaratan darurat, serta pendaratan
pesawat terlalu cepat yang disertai kegagalan menjaga keseimbangan
tekanan udara di dalam kabin.54
b. On board the aircraft
Konvensi Warsawa 1929 tidak memberikan definisi tentang apa yang
dimaksud dengan „on board the aircraft‟, sehingga dalam upaya mencari
definisinya dalam perkara yang telah ada menimbulkan berbagai macam
pengertian. Menurut Saefullah Wiradipradja, dari segi yuridis pengertian di
dalam pesawat udara tidaklah semata-mata saat penumpang secara fisik
berada di dalam penumpang tapi termasuk pada saat penumpang berada
(secara fisik) di luar pesawat yang disebabkan karena keadaan pesawat yang
tidak normal. Artinya keberadaan penumpang di luar pesawat tersebut bukan
karena berakhirnya perjalanan sebagaimana yang disebut dalam perjanjian
angkutan. Sehingga apabila penumpang tersebut menderita kerugian atau
kecelakaan selama di luar pesawat yang disebabkan oleh suatu keadaan yang
tidak normal dari pesawat, maka pengangkut tetap harus bertanggung
jawab.55
c. Embarking or disembarking
54
E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 59.
55
Ibid, h.62-65.
Sama seperti 2 (dua) syarat sebelumnya, Konvensi Warsawa tidak
memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan embarkasi („naik
ke‟) atau disembarkasi („turun dari‟).
Lureau berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan embarkasi dimulai sejak penumpang meninggalkan
gedung pelabuhan udara dalam rangka menuju landasan pacu (run way) dan
embarkasi berakhir pada waktu penumpang memasuki gedung pelabuhan
udara di tempat tujuan.56Kemudian menurut Kahn Freund, bahwa pengertian
menuju ke pesawat (operation of embarking) adalah pada saat seseorang
berada di bawah tanggung jawab pengangkut, misalnya ketika ia dipanggil
untuk boarding dan berada di bawah instruksi para pegawai perusahaan
penerbangan dan yang dimaksud dengan meninggalkan pesawat (operation
of disembarking) berakhir ketika penumpang tersebut tiba di ruang tunggu
pelabuhan udara tempat tujuan.57Selanjutnya Mankiewcz mencatat bahwa
beberapa pengadilan di Amerika Serikat dan di negara-negara lainnya
bahkan melangkah lebih jauh lagi, yaitu menyatakan bahwa proses
embarkasi dimulai sejak check in dan proses disembarkasi berakhir setelah
penumpang mengambil bagasinya (registered luggage).58
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa embarkasi
dan disembarkasi berlangsung pada saat segala kegiatan yang telah
56
Ibid, h. 66.
57
Otto Kahn Freund, op.cit, h. 715-716.
58
E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 69.
ditetapkan oleh pengangkut (berdasarkan instruksi dan di bawah pengawasan
pengangkut) baik sebelum „naik ke‟ atau sesudah „turun dari‟ pesawat
udara.59
2.2.4 Pembebasan Pengangkut dari Kewajiban Bertanggung Jawab dalam
Hukum Pengangkutan Udara Internasional
Berdasarkan Konvensi Warsawa 1929 atau Konvensi Warsawa-Hague
memberikan beberapa kemungkinan kepada pengangkut untuk membebaskan diri
dari tanggung jawabnya.
a. Pertama, Pasal 20 (1) Konvensi menyatakan sebagai berikut:
“The carrier is not liable if he proves that he and his agents have taken
all necessary measures to avoid the damage or that it was impossible for
him or them to take such measures.”
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, pengangkut dapat bebas dari kewajiban
bertanggung jawab apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa pihaknya
telah mengambil semua tindakan yang perlu (all necessary measures) untuk
menghindarkan kerugian.
b. Kedua, Pasal 21 Konvensi menyatakan sebagai berikut:
“If the carrier proves that the damage was caused by or contributedto by
the negligence of the injured person the Court may, in accordance with
59
Ibid, h. 72.
the provisions of its own law, exonerate the carrier wholly or partly from
his liability”
Pasal ini memberikan pembebasan pengangkut untuk bertanggung jawab
baik sebagian atau seluruhnya apabila pihak pengangkut dapat membuktikan
bahwa kerugian yang terjadi disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak
korban sendiri (contributory negligence).
c. Ketiga, Pasal 29 Konvensi juga menyatakan bahwa pengangkut dapat
dibebaskan dari kewajiban membayar santunan jika gugatan (claim)
diajukan setelah dua tahun sejak tanggal kedatangan di tempat tujuan atau
sejak tanggal kedatangan di tempat tujuan atau sejak pesawat seharusnya
tiba.
Download