BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT 2.1 Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional Tanggung jawab negara (state responsibility) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin para ahli hukum internasional. Tanggung jawab negara timbul bila terdapat pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan perjanjian internasional maupun berdasarkan pada kebiasaan internasional.1 Di samping itu tanggung jawab negara (state responsibility) muncul sebagai akibat dari adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara (equality and sovereignty of state) yang terdapat dalam hukum internasional.2 Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut suatu hak yaitu berupa perbaikan (reparation).3 Meskipun suatu negara mempunyai kedaulatan atas dirinya, tidak lantas negara tersebut dapat menggunakan kedaulatannya tanpa menghormati kedaulatan negara-negara lain.Didalam hukum internasional telah diatur bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena apabila suatu negara 1 Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo Gramedia WidiasaranaIndonesia, h. 28. 2 3 Hingorani, 1984, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, h. 241. Ibid. menyalahgunakan kedaulatannya, maka negara tersebut dapat dimintai suatu pertanggungjawaban atas tindakan dan kelalaiannya.4 Istilah tanggung jawab negara hingga saat ini masih belum secara tegas dinyatakan dan masih terus berkembang untuk menemukan konsepnya yang mapan dan solid. Oleh karena masih dalam tahap perkembangan ini, maka sebagai konsekuensinya, pembahasan terhadapnya pun dewasa ini masih sangat membingungkan.5 Hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum internasional yang mapan tentang tanggung jawab negara. Umumnya yang dapat dikemukakan oleh para ahli hukum internasional dalam menganalisa tanggung jawab negara hanya baru pada tahap mengemukakan syarat-syarat atau karakteristik dari pertanggungjawaban suatu negara. Meskipun demikian para ahli hukum internasional telah banyak mengakui bahwa tanggung jawab negara ini merupakan suatu prinsip yang fundamental dari hukum internasional.6 Dalam hukum internasional dikenal 2 (dua) macam aturan yakni:7 4 Huala Adolf, 1991, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, CV Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat Huala Adolf I), h. 174. 5 Ibid. 6 Ibid. 7 266. Sefriani,2010, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. - Primary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan hak dan kewajiban negara yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan atau instrumen lainnya; dan - Secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana dan apa akibat hukum apabila primary rules tersebut dilanggar oleh suatu negara. Secondary rules inilah yang disebut sebagai hukum tanggung jawab negara (the law of state responsibility).8 Pasal 1 Draft Articles International Law Comission 2001 menegaskan bahwa setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan suatu tanggung jawab.9 Prinsip dalam rancangan pasal inilah yang dianut dengan teguh oleh praktek negara dan keputusan-keputusan pengadilan serta telah menjadi doktrin dalam hukum internasional.10 2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara Pengertian tanggung jawab negara jika merujuk pada Dictionary of Law adalah: 8 Ibid. 9 Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law Sixth Edition, Oxford University Press, New York, h. 244. 10 Huala Adolf I, op.cit, h. 176. “Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law.”11 Dari rumusan tersebut tanggung jawab negara dapat diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparation) yang timbul ketika suatu negara melakukan kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary hanya terdapat pengertian tanggung jawab secara sempit yaitu answerability or accountability.12 Sugeng Istanto memberikan pengertian terhadap tanggung jawab negara dengan menggunakan istilah pertanggungjawaban negara. Menurutnya pertanggungjawaban negara adalah kewajiban negara memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkan.13 Sebagaimana layaknya dalam sistem hukum nasional, dalam hukum internasional juga dikenal dipenuhinya adanya tanggung jawab sebagai akibat dari tidak kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.14Ada dua pengertian dari pertanggungjawaban negara. Pertama yaitu pertanggungjawaban atas 11 ElizabethA.Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, h. 477. 12 Bryan A. Garner, 2014, Black’s Law Dictionary Edisi Kesepuluh, Claitors Pub Division, New York, h. 211. 13 14 F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 105. Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 193. tindakan negara yang melanggar kewajiban internasionalnya. Kemudian yang kedua yaitu pertanggungjawaban yang dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang asing.15 Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa tidak ada negara manapun di dunia ini yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya menurut hukum internasional. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa dalam sistem hukum di dunia, dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat secara hukum akan menimbulkan tanggung jawab bagi pelanggarnya.16 Menurut Malcolm N. Shaw ada 3 (tiga) karakter esensial dari suatu pertanggungjawaban negara, yakni:17 1. The existence of an international legal obligation in force as between two particular states, 2. There has occured an act or omission which violates that obligation and which is imputable to the state responsible; dan 3. That loss or damage has resulted from the unlawful act or ommission. 15 Ibid. 16 17 Sefriani, op.cit. Malcolm N. Shaw, 2008, International Law, 6th Edition, Cambridge University Press, New York, (selanjutnya disingkat Malcolm N. Shaw II), h. 781. Dari ketiga karakter pertanggungjawaban negara menurut Shaw di atas, terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi suatu negara agar dapat dimintai pertanggungjawabannya. Pertama, yaitu harus terdapat kewajiban internasional yang mengikat pada negara yang akan dimintakan pertanggungjawabannya. Kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan dilanggarnya suatu kewajiban internasional suatu negara yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi negara tersebut. Terakhir adalah adanya kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan serta kelalaian yang dilakukan oleh negara tersebut. Jadi secara implisit Shaw menyatakan bahwa negara yang hendak dimintai pertanggungjawabannya harus memenuhi ketiga unsur di atas dan apabila salah satu dari unsur pertanggungjawaban negara tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.18 1.1.2 Munculnya Tanggung Jawab Negara Pada hakikatnya, lahirnya tanggung jawab negara didasari oleh 2 (dua) teori, yaitu teori risiko dan teori kesalahan. Kedua teori ini memiliki alur logika dan argumentasinya masing-masing. Teori risiko (risk theory)menentukan bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effectsof hazardous activities) walaupun kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mempunyai legalitas hukum. Teori ini kemudian melahirkan prinsip 18 Ibid. tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility).19 Contoh penerapan teori ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang mana kerugian dan kecelakaan tersebut ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya. Berbeda dengan teori risiko, teori kesalahan (fault theory)menyatakan bahwa tanggung jawab negara muncul pada saat perbuatan negara tersebut dapat dibuktikan mengandung unsur kesalahan.20 Suatu perbuatan dikatakan mengandung kesalahan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja beritikad buruk atau dengan kelalaian yang tidak dapat dibenarkan. Teori dan praktek hukum internasional dewasa ini tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada perbuatan alat kelengkapan negara yang bertentangan dengan hukum internasional yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban negara. Dalam hal ini negara menjadi bertanggung jawab tanpa adanya keharusan bagi pihak yang menuntut pertanggungjawaban untuk membuktikan adanya kesalahan pada negara tersebut.21Teori kesalahan ini kemudian 19 Huala Adolf I, op.cit, h. 187. 20 Ibid. 21 F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 111. melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault).22 2.1.3 Elemen-elemen Tanggung Jawab Negara Suatu perbuatan negara yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional (internationally wrongful act of a state) secara otomatis akan melahirkan tanggung jawab internasional bagi negara tersebut.23 Untuk itu menurut Draft Articles International Law Comission 200124 (selanjutnya disebut Draft Articles ILC) sebagai suatu instrumen hukum internasional kebiasaan yang mengatur tentang state responsibility menentukan kapan perbuatan suatu negara dapat dikatakan salah. Merujuk Pasal 1 dan 2 Draft Articles ILC perbuatan suatu negara dapat dipersalahkan menurut hukum internasional apabila pertama ketika perbuatan tersebut dapat diatribusikan pada negara tersebut (attribution of conduct to a state) dan kedua ketika perbuatan negara tersebut telah melanggar kewajiban internasionalnya (breach of an international obligation).25 Namun Draft Articles ILC tidak memberi pembatasan kapan suatu negara dikatakan melakukan suatu pelanggaran hukum internasional. Sehingga dalam praktiknya, hal tersebut ditentukan melalui penerapan sumbersumber hukum internasional primer lainnya. 22 Huala Adolf I, loc.cit. 23 I Dewa Gede Palguna, loc.cit. 24 Nama Resmi dari draft ini adalah Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001. 25 Malcolm D. Evans, 2006, International Law, Second Edition, Oxford University Press, New York, h. 459. a. Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara (attribution of conduct to a state) Secara umum, ketentuan yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa hanya perbuatan organ negara, pemerintah dan/atau pejabatnya (orang maupun entitas yang bertindak berdasarkan perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan organ-organ itu) yang dapat diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu mencakup organ-organ pemerintahan nasional, daerah, maupun lokal dan orang-orang maupun entitas dalam tingkatan apapun, ataupun setiap orang maupun entitas yang menyandang status sebagai organ pemerintahan berdasarkan hukum nasional suatu negara. Di samping itu juga termasuk di dalamnya orang-orang yang secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan meskipun mereka tidak diklasifikasikan demikian oleh hukum nasional negara yang bersangkutan.26 b. Pelanggaran suatu kewajiban internasional(breach of an international obligation) Sekalipun suatu perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara, untuk melahirkan adanya tanggung jawab negara, perbuatan itu harus dibuktikan merupakan pelanggaran suatu kewajiban internasional negara yang bersangkutan. Untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional, Artikel menentukan bahwa hal itu harus ditentukan secara kasus 26 Ibid, h. 460. demi kasus.27Sementara itu ditentukan pula bahwa perbuatan suatu negara tidak dianggap melanggar kewajiban internasional jika perbuatan itu terjadi sebelum terikatnya negara tersebut oleh suatu kewajiban internasional.28 2.1.4 Jenis-jenis Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional Secara garis besar tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:29 a. Tanggung jawab karena perbuatan melawan hukum (delictual liability) Tanggung jawab seperti ini dapat lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayahnya atau wilayah negara lain. Beberapa hal yang dapat menimbulkan tanggung jawab negara dalam hal ini adalah: - Eksplorasi ruang angkasa Negara peluncur satelit selalu bertanggung jawab terhadap setiap kerugian yang disebabkan oleh satelit tersebut kepada benda-benda (obyek) di wilayah negara lain. Pemberlakuan prinsip tanggung jawub dari perbuatan ini adalah tanggung jawab absolut. Ketentuan hukum yang mengatur tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan peluncuran satelit (benda-benda ruang angkasa) ini diatur dalam Liability Convention 1972. - Eksplorasi nuklir 27 Ibid, h. 466. 28 Ibid. 29 Huala Adolf I, op.cit, h. 180-181. Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabkan karena kegiatan-kegiatan dalam bidang eksplorasi nuklir. Prinsip tanggung jawab dalam kegiatan ini juga menggunakan prinsip tanggung jawab absolut. Dalam hal ini, tidaklah penting apakah suatu negara sebelumnya telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Sama halnya dengan kegiatan eksploitasi ruang angkasa, yang menjadi latar belakang digunakannya prinsip tanggung jawab absolut yaitu karena kegiatan-kegiatan ini mengandung risiko berbahaya yang sangat tinggi (a highly hazardous activity). - Kegiatan-kegiatan lintas batas nasional Setiap negara berkewajiban mengatur dan mengawasi setiap kegiatan yang terjadi di dalam wilayahnya baik yang sifatnya publik maupun perdata, di mana kegiatan-kegiatan tersebut dapat melintasi batas negaranya dan menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Prinsip tanggung jawab yang berlaku pada kegiatan ini tergantung pada bentuk kegiatan yang bersangkutan. Jika kerugiannya bersifat bahaya, maka prinsip tanggung jawab yang digunakan ialah prinsip tanggung jawab mutlak. Namun apabila kegiatan-kegiatan tersebut bersifat biasa maka tanggung jawab negara bergantung pada kelalaian atau maksud dari tindakan tersebut.30 b. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian (contractual liability) 30 Hingorani, loc.cit. Suatu negara juga dapat bertanggung jawab atas pelanggaran perjanjian menurut hukum internasional. Tanggung jawab seperti ini dapat terjadi terhadap suatu negara manakala negara tersebut melanggar suatu perjanjian atau kontrak. Negara yang memiliki tanggung jawab karena melakukan kesalahan menurut hukum internasional berkewajiban untuk melakukan perbaikan (reparation) secara penuh atas kerugian material maupun moral yang diakibatkan oleh perbuatannya. Menurut Pasal 34 Draft Articles ILC, bentuk atau jenis perbaikan (reparation) itu mencakup restitusi (restitution), kompensasi (compensation), dan pemenuhan (satisfication). Artikel telah memberikan pengertian pada masing-masing jenis perbaikan oleh negara di atas. Pasal 35 Draft Articles ILC menyatakan bahwa restitusi adalah tindakan untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya pelanggaran sepanjang hal itu secara material tidak mustahil dilakukan atau sepanjang tidak merupakan suatu beban yang tidak proporsional. Selanjutnya kompensasi merupakan tanggung jawab negara untuk memberikan kompensasi atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya, yang dipersalahkan menurut hukum internasional sepanjang hal itu tidak menyangkut hal-hal yang telah dilakukan secara baik melalui restitusi.31 Sementara itu, menyangkut soal pemenuhan (satisfaction), Artikel menentukan bahwa hal itu dilakukan sepanjang restitusi atau kompensasi tidak 31 Lihat Pasal 36 Draft Articles ILC. berlangsung baik atau tidak memuaskan. Pemenuhan dapat berupa pengakuan telah melakukan pelanggaran, pernyataan menyesal, atau permohonan maaf secara formal atau sarana-sarana lain yang dipandang tepat.32 2.1.5 Pembebasan Negara dari Kewajiban Bertanggung Jawab dalam Hukum Internasional Dalam keadaan-keadaan tertentu, suatu pelanggaran terhadap perjanjian atau suatu kewajiban internasional tidak mengakibatkan negara tersebut bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Secara umum keadaan-keadaan yang dimaksud adalah: a. Tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan negara yang dirugikan. Contoh yang umum tentang hal ini adalah pengiriman tentara ke negara lain atas permintaannya.33 b. Diterapkannya sanksi-sanksi yang sah menurut Pasal 30 Draft Articles ILC. Pasal ini menentukan bahwa suatu tindakan pelanggaran dikesampingkan manakala tindakan itu dilakukan sebagai suatu upaya yang sah menurut hukum internasional sebagai akibat adanya pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara lainnya.34 c. Keadaan memaksa (force majeure). Force majeure telah lama diterima sebagai 32 alasan pembebasan Pasal 37 Draft Articles ILC. 33 Huala Adolf I, op.cit, h. 185. 34 Ibid. tanggung jawab negara untuk tidak melaksanakan kewajian suatu perjanjian internasional. Pasal 31 Draft Articles ILC menentukan bahwa kesalahan negara dapat dihindari apabila tindakan itu disebabkan karena adanya kekuatan yang tak dapat dihindari atau karena adanya kejadian yang tidak dapat diduga sebelumnya (unpredictable) atau secara materil tidak mungkin bagi negara yang bersangkutan untuk memenuhi kewajiban internasional tersebut.35 d. Tindakan yang sangat diperlukan (state of necessity). Pasal 33 Draft Articles ILC mengatur tentang tindakan yang sangat diperlukan yaitu suatu tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan negara terhadap bahaya yang sangat besar, sepanjang kepentingan negara lain yang terkait tidak terancam oleh tindakan negara tersebut.36 e. Tindakan membela diri (self defense). Negara dapat juga dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatan yang tidak sah apabila tindakan tersebut dilakukan untuk membela diri.37 2.2 Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional 2.2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Pengangkut 35 Ibid. 36 Malcolm N. Shaw, 1986, International Law, Second Edition, Buttherworths, h. 419. 37 Ibid. Secara etimologi pengangkutan berasal dari kata „angkut‟ yang berarti bawa, angkut, muat dan kirimkan, memuat dan membawa atau mengirimkan. Berarti pengangkutan mempunyai arti pembawaan, pemuatan dan/atau pengiriman barang atau orang.38 Menurut Purwosutjipto, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim/penumpang, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan selamat, sedangkan pengirim/penumpang mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang sebagai biaya angkutan.39Kemudian Hasim Purba menambahkan bahwa pengangkutan adalah upaya pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan alat angkutan, baik angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara.40 Jadi secara umum yang dimaksud dengan pengangkutan adalah suatu kegiatan memindahkan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan menggunakan alat angkutan, dimana terdapat hubungan timbal balik yang menimbulkan hak serta kewajiban antara pihak pengangkut dan pengirim atau penumpang. Pihak pengangkut mempunyai kewajiban untuk mengirim barang dan/atau orang ke tempat dengan selamat dan setelahnya mendapatkan hak berupa 38 Abdulkadir Muhammad, 1991, Hukum Pengangkutan Darat Laut dan Udara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19. 39 40 HMN. Purwosutjipto, loc.cit. Hasim Purba, 2005, Hukum Pengangkutan di Laut: Perspektif Teori dan Praktek, Pustaka Bangsa Press, Medan, h. 5. biaya angkut. Sedangkan pengirim atau penumpang mempunyai kewajiban untuk membayar biaya angkut yang selanjutnya mendapatkan hak untuk diangkut dengan selamat ke tempat tujuan. Secara umum tanggung jawab pengangkut dapat diartikan sebagai kewajiban perusahaan angkutan untuk mengganti kerugian yang diderita penumpang atau pengirim barang serta pihak ketiga.41 Adapun yang menjadi ruang lingkup terkait tanggung jawab pengangkut, yaitu42: 1. Pada saat kapan pengangkut bertanggung jawab terhadap barang atau penumpang. Ketentuan ini berkaitan dengan penentuan dapat atau tidaknya pengangkut bertanggung jawab bilamana terjadi kecelakaan atau keterlambatan yang menimbulkan kerugian pada penumpang atau barang. 2. Kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh suatu kecelakaan. Ketentuan ini membahas mengenai kerugian atau kerusakan yang seperti apa yang dapat membuat pihak pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap kecelakaan atau kerusakan yang diderita penumpang atau barang. 3. Batas tanggung jawab pengangkut. Pembatasan tanggung jawab pengangkut didasari oleh pemikiran yaitu merupakan salah bentuk perlindungan terhadap perusahaan pengangkut yang masih dalam taraf berkembang atau secara finansial masih sangat lemah, kesadaran penumpang dan kargo bahwa setiap 41 Ibid, h. 18. 42 Ibid. setiap kegiatan pengangkutan pasti akan menimbulkan risiko, serta untuk menghindari proses berperkara di Pengadilan yang berkepanjangan. 2.2.2 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional Titik sentral setiap pembahasan mengenai tanggung jawab pengangkut pada umumnya adalah mengenai prinsip tanggung jawab (liability principle) yang diterapkan. Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab tertentu bergantung pada keadaan tertentu, baik ditinjau dari perkembangan masyarakat maupun perkembangan dunia angkutan yang bersangkutan, baik darat, laut atau udara.43 Mengenai teori tanggung jawab pengangkut, dikenal 3 (tiga) macam prinsip, yakni: a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault principle) Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip tanggung jawab berdasarkan kepada unsur kesalahan (liability based on fault) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori tanggung jawab mutlak (strict liability) yang berlaku pada jaman primitif. Namun seiring dengan perkembangan jaman, hukum mulai menaruh perhatian lebih besar pada hal-hal yang besifat pemberian maaf (exculpatory considerations) dan sebagai akibat moral philosophy dari ajaran agama yang cenderung mengarah pada pengakuan kesalahan moral (moral 43 E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 19. culpability) sebagai dasar yang tepat untuk perbuatan melawan hukum. 44 Di samping ajaran moral ini, faktor lain yang juga penting dalam proses sikap ini adalah adanya anggapan masyarakat bahwa kerugian sebagai akibat dari suatu kelalaian (negligence) tidak berarti kurang penting daripada kerugian akibat dari suatu kesengajaan.45 Adapun yang termasuk dalam pengertian kesalahan adalah baik perbuatan yang disengaja maupun kelalaian. Kahn Freund yang pendapatnya dikutip oleh Saefullah Wiradipradja memberikan definisi umum mengenai kesalahan sebagai berikut: “Negligence means omission to do something which in the circumstances a reasonable and careful man would do, or the doing of something which in the circumstances a reasonable or careful man would not do.” 46 Menurut sejarahnya, prinsip tanggung jawab yang didasarkan pada unsur kesalahan mulanya dikenal dalam kebudayaan kuno dari Babylonia yang kemudian dalam bentuknya yang lebih modern, prinsip ini dikenal dalam tahap awal dari hukum Romawi termasuk di dalamnya doktrin mengenai „culpa‟. Prinsip ini kemudian menjadi hukum di negeri Belanda yang dituangkan dalam Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (BW) atau Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang dikenal dengan sebutan pasal perbuatan 44 Ibid, h. 20-21. 45 Ibid. 46 Ibid h. 23. melawan hukum atau pasal mengenai tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan.47 J.G. Fleming berpendapat bahwa konsep modern tentang tanggung jawab keperdataan (civil liability) secara umum menyatakan bahwa unsur kesalahan pada seseorang yang menyebabkan timbulnya kerugian pada orang lain merupakan syarat mutlak bagi adanya perbuatan melawan hukum. Prinsip bahwa tiada tanggung jawab tanpa kesalahan (no liability without fault) menjadi dogma yang berlaku umum.48 b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability principle) Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga ini pertama diterapkan pada Konvensi Warsawa 1929 untuk pengangkutan udara internasional dan Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 bagi pengangkutan udara domestik. Perbedaan yang utama antara prinsip tanggung jawab ini dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan adalah bahwa pada prinsip tanggung jawab ini beban pembuktian beralih dari korban (penggugat) kepada pengangkut (tergugat).49 47 M.A. Moegni Djojodihardjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 48 E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 24. 49 Ibid, h. 30. 27. Berdasarkan prinsip presumption of liability yang diterapkan dalam Konvensi Warsawa dan Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut adalah prima facie bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban kecuali ia dapat membuktikan bahwa pihaknya telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian tersebut. Jadi, pihak penggugat atau korban dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh santunan tanpa harus membuktikan adanya kesalahan pada pihak pengangkut. Satusatunya cara kewajiban yang harus ia (korban/penggugat) lakukan adalah menunjukkan bahwa kecelakaan atau kejadian yang menyebabkan kerugian tersebut terjadi di dalam pesawat udara atau selama embarkasi atau disembarkasi.50 Dengan demikian, yang dimaksud bahwa tanggung jawab pengangkut berdasarkan pada praduga yaitu tanggung jawab pengangkut tersebut dapat dihindarkan sepanjang pengangkut dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah (absence of fault). c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, absolute/strict liability principle) Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan istilah absolute liability atau strict liability. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak dimaksudkan agar meniadakan keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu 50 Ibid. perbuatan. Atau dengan kata lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan.51 Prinsip tanggung jawab mutlak telah diterapkan dalam ketentuanketentuan hukum pengangkutan udara internasional dewasa ini seperti Roma Convention 1952 (kemudian diubah dengan Protocol Montreal 1978), Montreal Agreement 1966, Protocol Guatemala City 1971 dan dalam Protocol Montreal No. 4 1975. Adapun beberapa alasan untuk memberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum pengangkutan udara antara lain:52 - Ketidaksesuaian protective philosophy bagi pengangkut dan pesatnya kemajuan teknologi penerbangan yang membuat kemungkinan timbulnya kecelakaan berkurang dibandingkan 50 – 60 tahun yang lalu; - Sebagai kompensasi atas penyelenggaraan kegiatan yang sangat berbahaya dan dapat mengancam keselamatan orang lain; - Sebagai pertimbangan terhadap nilai-nilai sosial secara luas (a broad social value-judgement) yang mana apabila seseorang melakukan kegiatan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri harus menanggung risiko akibat dari kegiatan tersebut; - Menjamin para korban untuk memperoleh pembayarannya tidak akan berlarut-larut; dan 51 52 Ibid, h. 35. Ibid, h. 204. santunan dan proses - Pelaksanaan prinsip tanggung jawab mutlak dengan disertai pembatasan tanggung jawab yang tidak dapat dilampaui dalam keadaan apapun (unbreakable limit) serta sistem asuransi wajib, sebenarnya cukup memberikan perlindungan terhadap pengangkut. 2.2.3 Unsur-unsur Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional Merujuk Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929, untuk menyatakan bahwa pengangkut mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab haruslah memenuhi 3 (unsur) yaitu: a. Accident Agar suatu kejadian dapat dikualifikasikan sebagai accident dalam pengertian Pasal 17 Konvensi, kejadian dalam pesawat udara yang menimbulkan kerugian tersebut harus merupakan kejadian yang luar biasa (unusual) atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya (unexpected).53 Lebih lanjut menurut Mankiewicz, beberapa kejadian yang dapat dikualifikasikan ke dalam suatu accident menurut ketentuan Pasal 17 tersebut antara lain penguasaan pesawat secara tidak sah (hijacking) dan sabotase, kerusakan tekanan udara pesawat, keadaan cuaca buruk dan badai, suatu serangan oleh pesawat 53 udara Otto Kahn Freund, loc.cit. militer, kegaduhan, kepanikan dan kekacauan (pandemonium) akibat dari suatu pendaratan darurat, serta pendaratan pesawat terlalu cepat yang disertai kegagalan menjaga keseimbangan tekanan udara di dalam kabin.54 b. On board the aircraft Konvensi Warsawa 1929 tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan „on board the aircraft‟, sehingga dalam upaya mencari definisinya dalam perkara yang telah ada menimbulkan berbagai macam pengertian. Menurut Saefullah Wiradipradja, dari segi yuridis pengertian di dalam pesawat udara tidaklah semata-mata saat penumpang secara fisik berada di dalam penumpang tapi termasuk pada saat penumpang berada (secara fisik) di luar pesawat yang disebabkan karena keadaan pesawat yang tidak normal. Artinya keberadaan penumpang di luar pesawat tersebut bukan karena berakhirnya perjalanan sebagaimana yang disebut dalam perjanjian angkutan. Sehingga apabila penumpang tersebut menderita kerugian atau kecelakaan selama di luar pesawat yang disebabkan oleh suatu keadaan yang tidak normal dari pesawat, maka pengangkut tetap harus bertanggung jawab.55 c. Embarking or disembarking 54 E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 59. 55 Ibid, h.62-65. Sama seperti 2 (dua) syarat sebelumnya, Konvensi Warsawa tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan embarkasi („naik ke‟) atau disembarkasi („turun dari‟). Lureau berpendapat bahwa yang dimaksud dengan embarkasi dimulai sejak penumpang meninggalkan gedung pelabuhan udara dalam rangka menuju landasan pacu (run way) dan embarkasi berakhir pada waktu penumpang memasuki gedung pelabuhan udara di tempat tujuan.56Kemudian menurut Kahn Freund, bahwa pengertian menuju ke pesawat (operation of embarking) adalah pada saat seseorang berada di bawah tanggung jawab pengangkut, misalnya ketika ia dipanggil untuk boarding dan berada di bawah instruksi para pegawai perusahaan penerbangan dan yang dimaksud dengan meninggalkan pesawat (operation of disembarking) berakhir ketika penumpang tersebut tiba di ruang tunggu pelabuhan udara tempat tujuan.57Selanjutnya Mankiewcz mencatat bahwa beberapa pengadilan di Amerika Serikat dan di negara-negara lainnya bahkan melangkah lebih jauh lagi, yaitu menyatakan bahwa proses embarkasi dimulai sejak check in dan proses disembarkasi berakhir setelah penumpang mengambil bagasinya (registered luggage).58 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa embarkasi dan disembarkasi berlangsung pada saat segala kegiatan yang telah 56 Ibid, h. 66. 57 Otto Kahn Freund, op.cit, h. 715-716. 58 E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 69. ditetapkan oleh pengangkut (berdasarkan instruksi dan di bawah pengawasan pengangkut) baik sebelum „naik ke‟ atau sesudah „turun dari‟ pesawat udara.59 2.2.4 Pembebasan Pengangkut dari Kewajiban Bertanggung Jawab dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional Berdasarkan Konvensi Warsawa 1929 atau Konvensi Warsawa-Hague memberikan beberapa kemungkinan kepada pengangkut untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya. a. Pertama, Pasal 20 (1) Konvensi menyatakan sebagai berikut: “The carrier is not liable if he proves that he and his agents have taken all necessary measures to avoid the damage or that it was impossible for him or them to take such measures.” Berdasarkan ketentuan pasal di atas, pengangkut dapat bebas dari kewajiban bertanggung jawab apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa pihaknya telah mengambil semua tindakan yang perlu (all necessary measures) untuk menghindarkan kerugian. b. Kedua, Pasal 21 Konvensi menyatakan sebagai berikut: “If the carrier proves that the damage was caused by or contributedto by the negligence of the injured person the Court may, in accordance with 59 Ibid, h. 72. the provisions of its own law, exonerate the carrier wholly or partly from his liability” Pasal ini memberikan pembebasan pengangkut untuk bertanggung jawab baik sebagian atau seluruhnya apabila pihak pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak korban sendiri (contributory negligence). c. Ketiga, Pasal 29 Konvensi juga menyatakan bahwa pengangkut dapat dibebaskan dari kewajiban membayar santunan jika gugatan (claim) diajukan setelah dua tahun sejak tanggal kedatangan di tempat tujuan atau sejak tanggal kedatangan di tempat tujuan atau sejak pesawat seharusnya tiba.