Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681 MEMBANGUN PARTAI YANG DEMOKRATIS DAN MEMILIH SISTEM PEMILU Oleh : Benyamin Pinem, ST.,MM Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara Abstract The objective of this research is to : (1) revitalize the role and political party function in democratic life, (2) test the validity of the role and functions of political parties in the post-1998 reforms, with: (a) literature and mass media, (b) observe the character and activities of political parties, (c) the results of the democratic process: (d) observing and exploiting regulatory loopholes to weakening political process benefit (3) Structuring the party's role in the internal and external parties (4) reviewing appropriate electoral system Keywords: revitalization of political parties, the validity of the role and functions of political parties, structuring role and function of the party, electoral system proper assessment Partai politik merupakan salah satu institusi dari pelaksanaan demokrasi modern. Demokrasi modern mengandalkan sebuah sistem dimana yang disebut keterwakilan, baik keterwakilan dalam lembaga-lembaga formal seperti parlemen maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaiaan. 1 Dengan demikian Partai Politik merupakan Pilar dari Demokrasi. Secara sederhana, cita-cita ideal partai politik hadir mempunyai fungsi yaitu sebagai sarana pendidikan politik, artikulasi politik, komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi politik, dan rekrutmen. Dengan demikian Partai politik merupakan sarana untuk menghimpun aspirasi rakyat, artikulasi dan agregasi kepentingan yang dilakukan kepada masyarakat untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan publik. 1 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka pelajar 2004, hlm. 1. 58 Setelah reformasi 1998, tuntutan untuk hidup demokratis tidak dapat dihindarkan. Hadirnya partai politik baru saat itu seolaholah memberi harapan lahirnya pemimpinpemimpin baru yang berkualitas dan demokratis. Ternyata harapan itu masih jauh untuk diwujudkan. Khusus terkait penetapan calon DPR/DPRD di internal partai, sudah menjadi rahasia umum bahwa penetapan calon tersebut berdasrkan “kedekatan” dengan pengurus partai. Sampai saat ini, imange partai politik masih negatif dalam masyarakat. Masyarakat masih enggan bergabung dengan sukalera untuk menjadi anggota malah berfikir apatis. Salah satu penyebab dari permasalahan diatas karena sejumlah Partai di Indonesia dibangun oleh individu-individu yang kecewa dengan partai sebelumnya, membuat partai baru tanpa ideologi yang kuat, sehingga partai itu merupakan sebuah “dinasti pribadi”. Yang terjadi saat ini, partai politik digunakan sekedar kendaraan untuk mewujudkan ambisi Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681 individu-individu meraih kekuasaan. Kondisi ini membuat partai tidak demokratis. Partai politik telah terreduksi oleh kepentingankepentingan pribadi. Yang menjadi pertanyaan bersama, bagaimana kita menciptakan Indonesia lebih demokratis, sementara partai politik yang menjadi pilar dekokrasi tidak memperlihatkan sisem yang demokratis? Partai politk sampai masih sangat pragmatis dalam mencari kekuasaan tanpa harus melakukan pendidikan politik kepada masyarakat yang menjadi fungsi idealnya hadir. Dalam sistem demokrasi unsur yang sangat penting adalah keberadaan partai politik suatu negara. Partai mempunyai peran yang strategis tehadap proses demokratisasi. Selain sebagai struktur kelembagaan politik, partai juga berperan sebagai wadah penampungan aspirasi rakyat. Sedangkan mekanisme untuk mewujudkan menyalurkan aspirasi serta menentukan perebutan kekuasaan yang fair melalui Pemilihan umum (pemilu). Tulisan ini selanjutnya membahas mengenai bagaimana fenomena partai politik saat ini di Indonesia serta bagaimana seharusnya partai politik berperan untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, dan bagaimana sitem pemilu yang baik untuk memberi penguatan pada fungsi partai politik. Situasi Kepartaian Berikut ini akan di inventarisir bagaimana keadaan partai saat ini. Pertama, partai politik saat ini, dibentuk bukan berdasarkan kekuatan ideologi yang berbeda dengan partai lain, namun lebih kepada ketidakpuasan terhadap partai sebelumnya. Banyaknya “kutu loncat” dan menduduki posisi penting dalam partai. Ini menjadi bukti bahwa partai tersebut sebenarnya tidak punya ideologi yang mengakar kepada anggotanya. Kedua, partai politik saat ini hanya menitikberatkan untuk mencari dan atau mempertahankan kekuasaan baik dilembaga eksekutif, legsilatif dan bahkan sampai ke yudikatif. Ketiga, banyaknya waktu dan dana yang dibutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan tidak sebanding dengan kinerja parlemen atau kegiatan untuk 59 mendukung kepentingan masyarakat melalui fungsi legislasi. Keempat, pengelolaan partai politik masih lebih banyak berdasarkan keputusan pengurus dibawah kepeminpinan yang sentralistik, oligarhik, dan personalistik daripada kepeminpinan demokratis berdasarkan keputusan Rapat Anggota. Baik kepengurusan maupun kebijakan partai di daerah ditentukan oleh Pengurus Pusat (sentralistik), keputusan pengurus pusat ditentukan oleh sekelompok kecil tokoh yang dekat dengan Ketua Umum (oligarhik), dan kata akhir dalam semua keputusan partai berada pada tangan Ketua Umum (personalistik).2 Kelima, dirasakan jumlah partai saat ini masih terlalu banyak (multy party) dan relatif berubah-ubah dari setiap pemilu. Masyarakat cenderung bingung terhadap kehadiran atau hilangnya partai karena tidak lulus parliamentary threshold. Perubahan jumlah partai ini didasari karena berbedanya setiap aturan tentang syarat pendirian partai di Indonesia. Saat ini belum ada sistem yang baku dalam penentuan partai politik peserta Pemilu, maka setiap menjelang Pemilu banyak waktu dan energi dihabiskan untuk memperdebatkan persyaratan partai politik menjadi peserta Pemilu. Keenam, beberapa peran partai politik dalam pemilihan legislatif adalah sebagai rekruitmen, kaderisasi, pencalonan. Namun saat ini hanya peran pencalonanlah yang benar-benar dilaksanakan oleh partai politik. Peran sebagai rekruitmen dan kaderisasi belum dapat dilaksanakan dengan nyata dan belum mejadi fokus utama. Dari berbagai fenomena di atas, maka dapat disimpulkan bahwa partai politik di Indonesia telah mengalami perkembangan dari segi jumlah dan masing-masing partai melakukan kegiatan politik yang pragmatis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dan belum dapat mencerminkan suasana yang demokratis di dalam internal partai. 2 Ramlan Surbakti, dkk, Membangun Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011 Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681 Dilema partai dan kualitas keterwakilan Akhir 2008 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan membatalkan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang intinya membatalkan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP. MK berpandangan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan pasal 18 d ayat 1 UUD 1945. Keputusan ini seolah-olah memutuskan rantai oligarki partai dalam menetapkan calon dalam pemilu DPR dan DPRD. Penetapan calon terpilih tidak lagi berdasarkan nomor urut melainkan suara terbanyak. Namun yang menjadi pertanyaan bagi kita, seberapa jauh sistem penetapan calon dengan suara terbanyak akan berdampak positif bagi domokrasi dan kekuatan kelembagaan partai yang ideal di Indonesia. Apakah dengan suara terbanyak sudah menjamin kualitas hubungan wakil rakyat dengan pemilih yang diwakilinya? Memang benar, dengan penerapan sistem proporsional terbuka terbatas pada tahun 2004 sebelumnya masih menggunakan nomor urut, Calon legislatif (Caleg) lebih ditentukan oleh Partai Politik. Ketika itu, caleg yang memperoleh suara terbanyak tetapi tidak dapat memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) akan tergusur oleh caleg yang berada di nomor urut atas. Opini publik mengisyaratkan partai politik “bermain-main” dengan aspirasi rakyat. Kondisi ini membuat sentimen negatif kepada partai, sehingga putusan MK lebih mendengarkan opini publik yang menginginkan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Pasca putusan MK tersebut konstelasi politik pun berubah. Partai politik seolah-oleh dikebiri oleh putusan tersebut. Munculnya calon-calon legislatif yang “kutu loncat” dan menempati posisi penting dipartai semakin melemahkan fungsi partai politik dalam sebagai kaderisasi. Banyak orang yang masuk tiba-tiba yang tidak memiliki kontribusi ke partai. Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak menimbulkan kaderisasi internal partai menjadi masalah. Semua caleg punya kemungkinan terpilih. Namun bisa saja suara yang memilih partai politik akan terdistrubusi suara kepada mereka yang bukan 60 kader namun menjadi caleg. Konflik internal partaipun tak dapat dihindari. Dan banyak kasus partai politik mencari calon yang populer di luar partai hanya untuk mengambil kesempatan untuk terpilih. Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak telah dua kali digunakan yakni pemilu 2009 dan pemilu 2014. Justifikasi logis yang dibangun, kelemahan sistem proporsional terbuka, melahirkan wakil rakyat karbitan yang masih belajar, belum teruji dan sebagian bukan kader terbaik partai, sehingga terpilih wakil yang gagal menjaga pintu (gate keepers) moral dan tanggung jawab, alih alih perjuangkan rakyat, fungsi pengawasan pun tidak maksimal. Dalam sistem proporsional terbuka rakyat berdaulat penuh. Namun realitas kondisi masyarakat yang masih lapar dan miskin, cenderung memilih wakil pemilik modal dan berduit, mengabaikan soal fatsun politik, moralitas apalagi kapasitas. Melihat bentangan emperis selama ini, trend proporsional terbuka melahirkan wakil rakyat instan, berbekal ekses kapital dan popularitas semata 3, sehingga tidak dapat dihindari bahwa sistem proporsional terbuka semakin menyuburkan money politic. Didalam proporsional terbuka ditambah dengan suara terbanyak membuat persaingan yang kurang sehat (politik destruktif) antar caleg dalam satu partai, hal yang aneh bersaingan sesama caleg dalam satu partai bukan bersaing dengan partai lain. Yang terjadi pada dua kali Pileg 2009 dan 2014 dengan menggunakan sistem proporsional terbuka menyuguhkan pertarungan sengit antarcaleg dalam satu partai yang bersifat predatorik. Di sisi lain kelemahan dari sistem proporsional terbuka, ada banyak calon yang harus dipilih oleh pemilih pada saat itu. Pemilih tidak dapat mengenali calon satu persatu. Sebagai contoh di Dapil Sumatera Utara 1 meliputi: Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, alokasi kursi 10 kursi dengan 12 partai maka caleg sekitar 120 orang. Banyaknya caleg ini akan membingungkan pemilih karena banyaknya nama-nama tersebut. Banyaknya caleg tersebut semuanya berpotensi juga melakukan money politic. 3 http://www.pikiranrakyat.com/politik/2016/07/22/sistem-proporsionalterbuka-atau-tertutup-375473 Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681 Dengan kondisi menggunakan sistem proporsional terbuka tersebut, dimana lagi partai politik hadir mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan politik, artikulasi politik, komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi politik, dan rekrutmen? Menata Internal Partai dengan Demokratisasi Serperti dijelaskan di atas, bahwa sistem proporsional terbuka ternyata belum menjadi sitem yang ideal untuk mendapatkan kualitas keterwakilan yang baik. Di lain sisi fungsi partai politik sebagai pendidikan politik, artikulasi politik, komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi politik, dan rekrutmen belum dapat diwujudkan sepenuhnya. Sistem pemilu yang baik akan membutuhkan sistem kepartaian yang baik pula. Harus diakui bahwa masih banyak terdapat kelemahan dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Ini berimplikasi pada lemahnya sistem politik kepartaian, sehinggah rendahnya kualitas partai politik. Hasil Perubahan UU No. 8 Tahun 2008 tentang Partai Politik tidak mendorong terbentuknya demokratisasi internal partai politik dalam melahirkan calon-calon pemimpin, dimulai dari Bupati/Walikota/Gubernur, Anggota DPR maupun DPRD, dan Pejabat-pejabat Negara di tingkat Lembaga Negara. Selain itu perubahan ini juga tidak mengatur secara rinci, jelas, disertai sanksi yang tegas bagi partai politik yang memainkan politik uang, padahal politik uang inilah yang menjadi sumber “kebobbrokan” tatanan dan peradaban politik. Tanpa ketentuan tersebut, keberadaan partai politik justru dapat membahayakan perkembangan demokrasi, serta eksistensi dan peradaban bangsa, seperti komersialisasi pemilukada, dan munculnya elit politik yang tidak berkualitas.4 Untuk mewujudkan kualitas demokrasi yang efektif, Menurut Prof Ramlan Surbakti, terdapat sejumlah alasan dapat diajukan untuk menunjukkan betapa partai politik secara internal harus dikelola secara demokratis. Pertama, dalam sistem politik demokrasi, partai politik adalah sarana dan aktor utama kekuasaan politik. Semua kegiatan politik, mulai dari mencari kekuasaan sampai pada penggunaan kekuasaan, melibatkan partai politik sebagai aktor. Karena itu partai politik harus secara internal demokratis, baik dari segi isi dan proses maupun tujuannya. Kedua, partai politik adalah struktur dan forum utama dalam membentuk kehendak politik warga negara dan dalam memobilisasi kegiatan politik warga negara. Proses pembentukan kehendak politik warga dan pelaksanaan kegiatan politik dalam demokrasi haruslah dilakukan secara demokratis. Ketiga, demokrasi tidak berfungsi secara otomatis. Prinsip dasar dan tujuan mulia yang tertulis dalam AD/ART dan dokumen partai politik lainnya tidak akan terwujud secara spontan. keempat, demokrasi tidak hanya mengenai pemilihan pemimpin dan pemegang jabatan politik secara periodik. Demokrasi juga menyangkut seperangkat norma sosial yang mengatur tindakan dan perilaku warga negara. Karena itu prinsip-prinsip dasar, metode, dan nilai-nilai demokrasi harus diterapkan tanpa kecuali dalam semua bidang kehidupan sosial dan publik sehingga pada gilirannya akan berkontribusi pada upaya demokratisasi masyarakat, negara, dan lembaga publik. 5 Dengan demikian partai politik tidak akan dapat menjadi aktor utama dalam pembangunan demokrasi apabila partai politik tidak dikelola secara demokratis. Dengan merangkum pendapat dari beberapa ahli untuk mewujudkan demokratisasi partai secara internal maka partai politik harus kembali merumuskan halhal sebagai berikut, pertama, bagimana partai politik memilih pengurus pada semua tingkatan secara demokratis? Kedua, bagaimana merumuskan kebijakan partai yang demokratis dalam mencari anggota, metode dan materi dalam pengkaderan dan, sumbangan kader, kriteria dan tata cara pemberhentian anggota partai, pedoman dan mekanisme menampung dan merumuskan aspirasi masyarakat, serta pembagian 4 Disadur dari ANDI ZASTRAWATI, HTTP://DOKTORPOLITIK-UI.NET/2016/08/REKONSTRUKSI-PERANPARPOL-DALAM-PEMILIHAN-PEMIMPIN/#_FTN5 61 5 Ramlan Surbakti, Mendorong Demokratisasi Internal partai Politik, Kemitraan Patnership, 2013 Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681 kewenangan DPR dan DPRD. Ketiga, bagiamana melakukan seleksi yang demokratis dalam menentukan calon anggota DPR, calon anggota DPRD bahkan bila ada yang mendapat “tawaran” menduduki jabatan eksekutif. Menurut Prof. Ramlan Surbakti terdapat sejumlah langkah dalam melaksanakan demokratisasi internal partai politik, yaitu: 1. memutahirkan daftar anggota partai politik. 2. merumuskan buku saku tentang Hak dan Kewajiban Anggota untuk kemudian mencetak dan mendistribusikannya kepada anggota. 3. melaksanakan Pendidikan Politik bagi Anggota Partai yang setidaktidaknya berisi AD/ART Partai, Hak dan Kewajiban Anggota, dan Hak dan Kewajiban sebagai Warga Negara Indonesia. 4. merumuskan tata cara pelaksanaan Pemilihan Pendahuluan secara operasional untuk memilih Ketua Umum Partai, Ketua DPD Provinsi, Ketua DPD Kabupaten/Kota, Ketua PAC, dan Ketua Pengurus Ranting. 5. merumuskan tata cara pelaksanaan Pemilihan Pendahuluan secara operasional untuk memilih calon anggota DPR, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon anggota DPRD Provinsi dan calon anggota DPRD Kabupaten/ Kota, dan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 6. merumuskan tata cara pelaksanaan Rapat Umum Anggota pada tiga tingkat kepengurusan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) secaraoperasional untuk membahas dan mengambil keputusan tentang Visi, Misi dan Program Partai Politik untuk Pemilu Nasional (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Anggota DPR). 7. merumuskan tata cara pelaksanaan Rapat Umum Anggota pada tiga tingkat kepengurusan secara operasional untuk membahas dan mengambil keputusan tentang Visi, Misi dan Program Pembangunan untuk Pemilu Lokal (Pemilu Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota, dan Pemilu 62 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). merumuskan pembagian tugas dan kewenangan semua tingkat kepengurusan partai (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan) berdasarkan asas desentralisasi dan subsider (kalau suatu masalah dapat ditangani pengurus kabupaten/ kota,mengapa diambil alih oleh Pusat). merumuskan pembagian tugas dan kewenangan antara Fraksi Partai di DPR dan Fraksi Partai DPRD dengan DPP/DPD Partai. Merumuskan tata cara pelaksanaan kewajiban anggota membayar iuran, dan tata cara transparansi dan pertanggungjawaban penggunaan iuran anggota. Merumuskan mekanisme penyampaian aspirasi ataupun pengaduan dari anggota kepada pengurus partai di berbagai tingkatan atau kepada anggota DPR/D dari partai yang mewakili daerah yang menjadi domisili anggota, dan mekanisme pertanggungjawaban pengurus atau anggota DPR/D dalam menindak-lanjuti aspirasi atau pengaduan tersebut. mengidentifi kasi sejumlah praktek demokrasi yang selama ini sudah dijalankan walaupun tidak diatur dalam Undang-Undang ataupun AD/ART Partai. Membiasakan partai melakukan dialog terbuka antar kader dan anggota partai dengan menjamin kebebasan menyatakan pendapat secara jujur dan terbuka untuk membahas persoalan partai, seperti substansi poin nomor 1 sd 10 di atas. Mengembangkan sikap dan perilaku menghormati pandangan yang berbeda antar pengurus, kader, dan anggota partai sehingga perbedaan sikap dan pandangan tidak perlu diikuti sikap bermusuhan. „Tidak sependapat berarti bukan teman alias musuh,‟ merupakan contoh sikap dan perilaku tidak demokratis. Membiasakan setiap pengurus, kader dan anggota mencatat setiap Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681 16. 17. penerimaan dan pengeluaran untuk kegiatan partai untuk kemudian mempertanggungjawabkan penerimaan dan pengeluaran tersebut melalui mekanisme yang ditetapkan oleh partai (transparan dan akuntabel). Membiasakan setiap pengurus dan kader menyusun laporan tentang apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan dalam bidang tugasnya untuk kemudian mengumumkan dan mempertanggungjawabkannya kepada partai dan publik (transparan dan akuntabel). Menyusun „Road Map‟ tentang langkah-langkah pelaksanaan demokrasi internal partai beserta persiapan pelaksanaan setiap tahap: dimensi dan indikator mana yang akan dilaksanakan pada jangka pendek (1 sd 3 tahun), dimensi dan indikator mana yang akan dilaksanakan pada jangka menengah (4 sd 7 tahun), dan dimensi dan indicator mana yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang (8 sd 10 tahun).6 Memilih sistem pemilu Seperti dijelaskan diatas Penerapan Sistem Proporsional dengan Open List (List terbuka) dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD belum dapat memberikan solusi terhadap penguatan demokrasi sekaligus penguatan fungsi partai politik. Dalam UUD 1945 pasal 22 E ayat 3 “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Bukan “persorangan”. Kenyataan selama ini bahwa Anggota legislatif yang terpilih adalah mereka yang sudah populer dan menggunakan berbagai cara untuk memperoleh suara terbanyak. Partai sematamata hanya sebagai “perahu” untuk mencapai tujuan masing-masing individu. Sehingga partai politik berpikir pragmatis mencari calon legislatif yang sudah populer dan mempunyai sumber dana. Keadaan ini disambuat baik oleh 6 Ramlan Surbakti, Mendorong Demokratisasi Internal partai Politik, Kemitraan Patnership, 2013 63 individu yang ingin berkarir di dunia politik dengan cara yang instan. Sehingga calon yang terpilih “lebih bersar” dari partai pengusungnya. Partai tidak dapat mengontrol calonnya dengan baik. Penerapan sistem open list membuat partai semakin lemah. Partai bukan lagi tempat mencipkatan para pemimpin melalui kaderisasi di partai. Anggota legislatif yang terpilih merasa tidak memiliki partai dan berjuang untuk kepentingannya saja. Ini sangat bertentangan dengan prinsip bahwa Partai Politik merupakan pilar dari demokrasi. Untuk menjawab kebuntuan tersebut, penerapan sistem tertutup (Close list) merupakan alternatif. Selain sesuai dengan penjabaran UUD 1945 pasal 22 E ayat 3 juga memperkuat fungsi partai dalam demokrasi untuk memilih calon yang terbaik sesuai dengan visi-misi partai. Harus diakui selama ini penerapan close list dalam pemilu sebelumnya seperti “membeli kucing dalam karung”, hal ini disebabkan karena di internal partai terjadi tarik merarik kepentingan. Penerapan Close list dapat dilakukan setelah terbentuk suatu sistem demokratisasi dalam partai yang kuat dan sistemik seperti dijelaskan di atas. Untuk perbaikan kedepan, bahwa proses demokratisasi didalam partai harus diatur dalam Undang-undang partai politik. Ini menjadi suatu keharusan untuk menciptakan sistem pemilu yang kuat. Partai wajib melakukan pendidikan politik, wajib melakukan kaderisasi dan hanya dapat mencalonkan anggotanya yang telah “magang” di partai beberapa lama, dan bukan “karbitan”. Ini akan membuat calon yang diusulkan benarbenar kader terbaik dan bukan hanya modal populer dan dana. Salah satu kelebihan sistem pemilu proporsional tertutup mampu menekan praktik politik uang yang terjadi serta menekan biaya pemilu yang cenderung mahal terutama dalam internal partai. Dengan sistem ini Partai tahu betul siapa kader yang punya kapasitas dan integritas dan sesuai dengan visi-misi partai. Sistem ini juga untuk menyederhanakan pilihan, dimana masyarakat cukup memilih partai, kemudian partai mengirim kader-kader terbaiknya ke parlemen, sebab partai telah mengetahui rekam jejak masing-masing calon. Kesimpulannya bahwa penerapan sistem tertutup diharapkan memberi Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681 kesempatan kader partai menjadi wakil rakyat, menutup ruang kutu loncat, mengurangi praktik money politics, dan efisien. Para kader partai yang telah mengikuti sekolah kader dapat memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya secara hakiki. Dan itulah fungsi yang ideal didirikannya sebuah partai politik. Daftar Pustaka Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka pelajar 2004 Ramlan Surbakti, dkk, Membangun Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011 http://www.pikiranrakyat.com/politik/2016/07/22/sistemproporsional-terbuka-atau-tertutup375473 ANDI ZASTRAWATI, HTTP://DOKTORPOLITIKUI.NET/2016/08/REKONSTRUKSIPERAN-PARPOL-DALAMPEMILIHAN-PEMIMPIN/#_FTN5 Ramlan Surbakti, Mendorong Demokratisasi Internal partai Politik, Kemitraan Patnership, 2013 Syarif Hidayattullah. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media, 2005 HAW Widjaja. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005, hal. 186 Kompas, 13 Maret 2001 “Otonomi Daerah Lahirkan Konflik Kewenangan”. Yogyakarta VHRmedia.com, Jakarta. Konflik Kewenangan Pemda Rugikan Masyarat. 15 Februari 2008 - 22:28 WIB Haposan Siallagan. ˝Ilmu PerundangUndangan Di Indonesia˝. Medan : UHN PRESS, 2008, hal. 20-21 64 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Rajawali Pers, 2005, hal. 352 Bagir Manan. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Bandung: Pustaka Pelajar Offset. 2001, hal. 37 HAW Widjaja. Otoomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002, hal.225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah