1 PROSPEK PERDAGANGAN GULA INDONESIA DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA RENA YUNITA RAHMAN S E K O L A H P AS C A S ARJ A N A INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : PROSPEK PERDAGANGAN GULA INDONESIA DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan oleh sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Februari 2013 Rena Yunita Rahman NRP H353100061 3 ABSTRACT RENA YUNITA RAHMAN. Prospect of Indonesian Sugar Trade in the Implementation of ASEAN-China Free Trade Agreement Framework (BONAR M. SINAGA as the Chairman and SRI HERY SUSILOWATI as a Member of the Advisory Committee). Sugar is an important and strategic commodity because it is one of the main foodstuff and sugar cane as a raw material of sugar produced by a large part of farmers in Indonesia. Globalization and unfair trade, including sugar trade, will affect the development of the sugar industry in Indonesia. Implementation of Asean-China Free Trade Agreement will reduce and eliminate tariff and non-tariff barriers. Domestic production of sugar has not been able to fulfill the high demand for sugar in Indonesia. The objectives of study are to analyze the factors which influence demand for and supply of sugar in domestic and world markets, to evaluate the impact of economic policy in agricultural sector on the performance of Indonesian sugar trade for the period 2004-2010, and to forecast the impact of economic policy in agricultural sector and external factor on the performance of Indonesian sugar trade for the period 2011-2014 and 2015-2020. Indonesian Sugar Trade Model was constructed as a simultaneous equations system and estimated by 2SLS method with SYSLIN procedure. Historical and forecasting were simulated using NEWTON method with SIMNLIN procedure. Indonesian sugar import from China is more responsive than Indonesian sugar import from Thailand to changes in sugar import tariff, but the share of Indonesian sugar import from Thailand larger than Indonesian sugar import from China so that reducing import tariff policy will increase sugar import from Thailand larger than China. Elimination of import tariff will increase consumer’s surplus higher than decreasing of producer’s surplus but net surplus decrease because government’s tariff revenue also decrease. This study suggest that to increase sugar consumer’s and producer’s welfare (net surplus) the combinations of reducing sugar import tariff, increasing price of sugar, expansion of sugar cane plantations and strengthening the role of State Logistics Agency could be an appropriate policy instruments. Keywords : sugar industry, ACFTA, import tariff, producer’s and consumer’s surplus 4 RINGKASAN RENA YUNITA RAHMAN. Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan SRI HERY SUSILOWATI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Gula adalah komoditas penting dan strategis karena sebagai salah satu bahan makanan pokok dan bahan baku gula dihasilkan oleh sebagian besar petani di Indonesia. Globalisasi dan perdagangan yang tidak fair, termasuk perdagangan gula, akan mempengaruhi pengembangan industri gula di Indonesia. Implementasi Perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) diwujudkan dengan pengurangan dan penghapusan hambatan tarif dan non-tarif. Kebutuhan gula di Indonesia belum mampu dipenuhi oleh produksi gula dalam negeri sehingga kecenderungan impor gula di Indonesia semakin meningkat. Permasalahan yang terjadi dalam industri gula nasional tidak hanya on farm tetapi juga off farm. Di sisi on farm masalah yang cukup menonjol adalah rendahnya produktivitas gula disamping masalah ketersediaan lahan, sedangkan masalah off farm terutama berkaitan dengan rendahnya inefisiensi pabrik gula (Kementerian Perindustrian, 2009). Selama hampir setengah dekade penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat semakin memperkuat kekhawatiran dan ketidakberdayaan Indonesia yang tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Pemerintah melalui beberapa kementerian dan instansi telah melakukan usaha-usaha guna meningkatkan daya saing produk Indonesia, terutama setelah pemberlakuan kesepakatan ACFTA. Dalam perjanjian ACFTA, komoditas gula dikategorikan sebagai komoditas High Sensitive List (HSL) sehingga masih diperbolehkan adanya intervensi pemerintah berupa tarif dan akan mengalami penurunan atau penghapusan tarif menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Ditjen KPI, 2005). Penurunan atau penghapusan tarif impor dapat menjadi ancaman dengan semakin banyaknya gula impor yang akan memenuhi pasar dalam negeri. Untuk mengantisipasi terjadinya perubahan faktor lingkungan internal dan eksternal dalam membangkitkan kembali industri gula nasional dalam era perdagangan bebas ACFTA maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan-kebijakan periode historis dan strategi kebijakan antisipatif di masa mendatang sehingga pengembangan industri gula nasional lebih berdayaguna baik bagi kesejahteraan produsen, konsumen maupun perekonomian nasional. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis keragaan pasar gula Indonesia ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, (2) mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kinerja industri gula Indonesia dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2004-2010, dan (3) meramalkan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal berkaitan dengan liberalisasi perdagangan gula dalam skema ACFTA terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2011-2014 dan 2015-2020. 5 Model Perdagangan Gula Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan yang terdiri dari dua blok, yaitu blok pasar gula Indonesia dan blok pasar gula dunia. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 30 persamaan dengan 20 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Model terdiri dari 30 variabel endogen dan 74 predetermined variable yang terdiri dari 15 lag variabel endogen dan 59 variabel eksogen, sehingga total variabel dalam model adalah 104 variabel. Jumlah variabel yang paling banyak dalam suatu persamaan adalah 7 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan bahwa setiap persamaan struktural yang terdapat dalam model adalah over identified. Selanjutnya, model diestimasi menggunakan metode 2SLS dengan prosedur SYSLIN. Simulasi historis dan peramalan menggunakan metode NEWTON dengan prosedur SIMNLIN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan rentang waktu tahun 1981–2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas gula hablur baik pada perkebunan tebu besar negara, swasta, dan rakyat kurang responsif terhadap peningkatan luas areal perkebunannya. Respon permintaan gula rumah tangga terhadap peningkatan harga riil gula eceran juga inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sedangkan penurunan permintaan gula industri tidak dipengaruhi secara nyata oleh peningkatan harga riil gula tingkat pedagang besar. Impor gula Indonesia dari China lebih responsif dibandingkan impor gula Indonesia dari Thailand terhadap perubahan tarif impor gula, tetapi pangsa impor gula Indonesia dari Thailand lebih besar daripada pangsa impor gula dari China. Ekspor gula Brazil lebih responsif dibanding ekspor gula Thailand terhadap perubahan produksi gula negara tersebut. Perilaku impor gula negara importir gula (India, Amerika, dan China) dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia. Evaluasi dampak kebijakan ekonomi disektor pertanian yang meliputi peningkatan harga gula sebesar 25 persen, peningkatan harga pupuk sebesar 33 persen, penurunan tarif impor gula 49 persen, peningkatan luas areal 20 persen, dan penurunan kuota impor 50 persen meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kecuali pada kebijakan penurunan tarif impor gula 49 persen. Alternatif kebijakan yang memberikan kondisi terbaik adalah kebijakan peningkatan harga gula 25 persen karena memberikan peningkatan kesejahteraan konsumen dan produsen (net surplus) paling besar, terutama bagi petani perkebunan rakyat. Peramalan penghapusan tarif impor gula akan meningkatkan surplus konsumen yang lebih besar dari penurunan surplus produsen tetapi kesejahteraan masyarakat (net surplus) menurun karena penerimaan pemerintah dari tarif impor juga menurun. Pemerintah sebaiknya memilih opsi menurunkan tarif sampai dengan 50 persen sesuai dengan ketentuan yang masih diperbolehkan dalam perjanjian ACFTA. Untuk meningkatan kesejahteraan konsumen dan produsen gula (net surplus) maka sebaiknya dilakukan kebijakan kombinasi penurunan tarif impor, peningkatan harga gula petani, peningkatan luas areal perkebunan tebu, dan penguatan peran BULOG. Kata kunci : industri gula, ACFTA, tarif impor, surplus produsen dan konsumen 6 © Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB 7 PROSPEK PERDAGANGAN GULA INDONESIA DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA RENA YUNITA RAHMAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian S E K O L A H P AS C A S ARJ A N A INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Pimpinan Ujian Tesis/Wakil PS.EPN : Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 9 Judul Tesis : Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China Nama Mahasiswa : Rena Yunita Rahman Nomor Pokok : H353100061 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Sri Hery Susilowati, MS Ketua Anggota Mengetahui : 2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Tanggal Ujian : 21 Desember 2012 Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Lulus : 10 KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEANChina”. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hery Susilowati, MS selaku anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan kepada penulis dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis yang telah memberikan banyak masukan bagi perbaikan tesis ini. 3. Kepala Sekretariat Dewan Gula Indonesia (DGI) beserta staf atas bantuan data dan informasi yang diberikan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian tesis. 4. Dr. Ir. Evita Soliha Hani, M.P., Ir. Anik Suwandari, M.P., Dr. Ir Yuli Hariyati, M.S., dan seluruh staf pengajar Program Studi Agribisnis Universitas Jember atas perhatian dan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan studi. 5. Orang tua penulis, Saiful Rahman dan Indah Susilowati, yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis selama menyelesaikan studi. 6. Seluruh saudara-saudariku tercinta (Novi Yulia Rahman, Kusnandar Hidayat, Dian Rosita Rahman dan Arif Rahman Hakim) atas doa, perhatian, dan kasih sayang yang tulus sehingga penulis mampu menyelesaikan studi. 11 7. Fajar Andika, S.E atas doa, perhatian, semangat, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis selama menyelesaikan studi. 8. Teman-teman mahasiswa di Program studi EPN Angkatan 2010 (Mba Erni, Mba Fanny, Mba Kanti, Mas Danil, Mas Ardhiyan, dan Pak Ujang) atas kebersamaan, perhatian, dan dukungan hingga perjuangan ini dapat kita lalui tahap demi tahap. 9. Teman-teman Wisma Bintang (Mba Isra, Mba Lisda, Mba Reikha, Nana, Novita, Dea, Nining, Iip, Depta, Pia, Mitha, dan Mey) atas motivasi, semangat, dan bantuannya selama penyelesaian tesis ini. 10. Seluruh staf kependidikan di Mayor Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (Mba Ruby, Mba Yani, Pak Johan, Ibu Kokom, dan Pak Husen) yang membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi ini. 11. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga segala doa, bantuan, semangat, perhatian, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari penelitian ini masih banyak keterbatasan dan kekurangan. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi para pengguna dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan inspirasi untuk penelitian berikutnya. Bogor, Februari 2013 Penulis 12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 28 Februari 1988. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Saiful Rahman dan Indah Susilowati. Pada Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jember dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jember. Selama kuliah penulis aktif menjadi asisten pada Laboratorium Ekonomi Pertanian. Penulis menyelesaikan program sarjana pada tahun 2010 dengan predikat lulusan terbaik. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi Pascasarjana pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN). Pada tahun 2011 penulis memperoleh Bakrie Graduate Fellowship dari Bakrie Center Foundation yang membantu penulis dalam penyelesaian studi. 13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxii DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................xxiii I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .......................................................................... 8 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 10 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................... 11 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 13 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia .................................................................. 13 2.2. Profil Struktur Industri Gula Indonesia .............................................. 16 2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Pergulaan Indonesia ........... 19 2.4. Kebijakan Pergulaan di Negara-Negara Anggota ASEAN-China Free Trade Area ................................................................................. 28 2.5. Tinjauan Studi Terdahulu .................................................................. 32 III. KERANGKA TEORITIS ......................................................................... 37 3.1. Fungsi Permintaan Gula .................................................................... 37 3.1.1. Permintaan Gula oleh Rumah Tangga .................................... 38 3.1.2. Permintaan Gula oleh Industri ................................................ 40 3.2. Fungsi Impor Gula .............................................................................. 41 3.3. Respon Bedakala Produksi Komoditas Pertanian .............................. 43 3.4. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Perdagangan Gula ............ 44 3.4.1. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk .............................. 45 3.4.2. Kebijakan Harga Patokan Petani Gula.................................... 46 3.4.3. Kebijakan Tarif Impor Gula ................................................... 47 3.4.4. Kebijakan Kuota Impor Gula.................................................. 50 xiv 14 IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS ....................... 53 4.1. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data ................................................. 53 4.2. Spesifikasi Model Perdagangan Gula ................................................ 53 4.2.1. Luas Areal Perkebunan Tebu Indonesia ................................ 55 4.2.2. Produktivitas Gula Hablur Indonesia ..................................... 56 4.2.3. Produksi.................................................................................. 58 4.2.3.1. Produksi Gula Kristal Putih ..................................... 58 4.2.3.2. Produksi Gula Indonesia .......................................... 58 4.2.4. Penawaran Gula Indonesia .................................................... 59 4.2.5. Permintaan Gula Indonesia ................................................... 59 4.2.5.1. Permintaan Gula Rumah Tangga ............................. 59 4.2.5.2. Permintaan Gula Industri ......................................... 60 4.2.5.3. Permintaan Gula Indonesia ...................................... 61 4.2.6. Harga Gula Indonesia ............................................................. 61 4.2.6.1. Harga Gula Tingkat Petani ....................................... 61 4.2.6.2. Harga Gula Tingkat Pedagang Besar ....................... 62 4.2.6.3. Harga Eceran Gula Indonesia .................................. 63 4.2.6.4. Harga Impor Gula Indonesia .................................... 63 4.2.7. Impor Gula Indonesia ............................................................. 64 4.2.7.1. Impor Gula Indonesia dari Thailand ........................ 64 4.2.7.2. Impor Gula Indonesia dari China ............................. 64 4.2.7.3. Total Impor Gula Indonesia ..................................... 65 4.2.8. Ekspor Impor Gula Dunia ...................................................... 65 4.2.8.1. Ekspor Gula Brazil ................................................... 65 4.2.8.2. Ekspor Gula Thailand .............................................. 66 4.2.8.3. Total Ekspor Gula Dunia ......................................... 66 4.2.8.4. Impor Gula India ...................................................... 67 4.2.8.5. Impor Gula Amerika Serikat .................................... 67 4.2.8.6. Impor Gula China..................................................... 68 4.2.8.7. Total Impor Gula Dunia ........................................... 68 4.2.9. Harga Gula Dunia .................................................................. 69 4.3. Prosedur Analisis ............................................................................... 69 xv 15 4.3.1. Identifikasi Model .................................................................. 69 4.3.2. Metode Estimasi Model ......................................................... 70 4.3.2.1. Uji Statistik F ............................................................ 71 4.3.2.2. Uji Statistik-t ............................................................ 71 4.3.2.3. Uji Statistik Durbin-h ............................................... 72 4.3.3. Validasi Model ....................................................................... 73 4.3.4. Simulasi Model ...................................................................... 74 4.3.4.1. Simulasi Historis (Ex Post Simulation) .................... 74 4.3.4.2. Simulasi Peramalan (Ex Ante Simulation) ................ 76 4.3.5. Metode Peramalan ................................................................. 79 4.4. Analisis Perubahan Indikator Kesejahteraan ...................................... 80 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA ..................................... 83 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia ............................................................................................. 83 5.2. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Impor, dan Stok Gula Indonesia ............................................................................................. 85 5.2.1. Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi ............. 85 5.2.2. Konsumsi Gula Rumah Tangga dan Industri ............................ 86 5.2.3. Impor Gula Indonesia ................................................................ 87 5.2.4. Stok Gula Indonesia .................................................................. 89 5.3. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Gula Dunia ........................................................................ 91 5.4. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia ................................................. 92 5.4.1. Produksi Gula Dunia ................................................................. 92 5.4.2. Konsumsi Gula Dunia ............................................................... 94 5.5. Ekspor dan Impor Gula Dunia ............................................................ 95 5.5.1. Ekspor Gula Dunia ................................................................... 95 5.5.2. Impor Gula Dunia ..................................................................... 97 5.6. Impor Gula Indonesia ......................................................................... 98 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 101 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model ............................................. 101 xvi 16 6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran dan Permintaan Gula di Pasar Domestik dan Dunia ................................................... 102 6.2.1. Areal Perkebunan Tebu Indonesia ......................................... 102 6.2.2. Produktivitas Gula Hablur Indonesia ..................................... 106 6.2.3. Permintaan Gula Indonesia .................................................... 111 6.2.3.1. Permintaan Gula Rumah Tangga ............................. 111 6.2.3.2. Permintaan Gula Industri ......................................... 113 6.2.4. Harga Gula Indonesia ............................................................. 115 6.2.4.1. Harga Riil Gula Tingkat Petani ................................ 115 6.2.4.2. Harga Riil Gula Tingkat Pedagang Besar ................ 116 6.2.4.3. Harga Riil Gula Eceran ............................................ 117 6.2.4.4. Harga Impor Riil Gula Indonesia ............................. 118 6.2.5. Impor Gula Indonesia ............................................................. 119 6.2.5.1. Impor Gula Indonesia dari Thailand ...................... 120 6.2.5.2. Impor Gula Indonesia dari China .......................... 121 6.2.6. Ekspor Impor Gula Dunia ...................................................... 123 6.2.6.1. Ekspor Gula Brazil ................................................... 123 6.2.6.2. Ekspor Gula Thailand .............................................. 124 6.2.6.3. Total Ekspor Gula Dunia ......................................... 125 6.2.6.4. Impor Gula India ...................................................... 126 6.2.6.5. Impor Gula Amerika Serikat ................................... 127 6.2.6.6. Impor Gula China..................................................... 129 6.2.6.7. Total Impor Gula Dunia ........................................... 131 6.2.7. Harga Riil Gula Dunia ........................................................... 131 VII. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2004-2010............................................................ 133 7.1. Evaluasi Daya Prediksi Model ........................................................... 133 7.2. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia ..................................................... 133 7.2.1 Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani ............................... 134 7.2.2 Peningkatan Harga Pupuk ...................................................... 136 7.2.3 Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu ........................... 139 xvii 17 7.2.4 Penurunan Tarif Impor Gula ................................................... 141 7.2.5 Penurunan Kuota Impor Gula ................................................. 143 7.3. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2005-2010 ... 145 VIII. PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTANIAN DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TAHUN 2011-2014 dan 2015-2020.......................................................................... 151 8.1. Peramalan Dampak Kebijakan terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia............................................................... 151 8.1.1. Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian ... 152 8.1.1.1. Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani .................. 152 8.1.1.2. Penguatan Peran BULOG ......................................... 154 8.1.1.3. Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu ............... 156 8.1.1.4. Swasembada Absolut Gula ....................................... 158 8.1.1.5. Penghapusan Tarif Impor Gula................................. 161 8.1.1.6. Penurunan Tarif Impor Gula..................................... 163 8.1.2. Simulasi Tunggal Perubahan Faktor Eksternal ....................... 168 8.1.2.1. Peningkatan Produksi Gula China ............................ 168 8.1.2.2. Peningkatan Produksi Gula Thailand dan Brazil ...... 170 8.1.3. Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian 172 8.1.3.1. Simulasi Kombinasi Tarif Impor dan Harga Gula Tingkat Petani ........................................................... 172 8.1.3.2. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Luas Areal Perkebunan ............ 175 8.1.3.3. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Produksi Gula China, dan Stok Gula ............ 178 8.1.3.4. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Luas Areal, dan Stok Gula ............................ 180 8.2. Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia .................................................................................... 183 8.2.1. Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian .................................................................. 183 8.2.2. Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Perubahan Faktor Eksternal ................................................................................. 193 xviii 18 8.2.3. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Ekstrnal ............... 196 IX. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 203 9.1. Kesimpulan ........................................................................................ 203 9.2. Saran .................................................................................................. 205 9.2.1. Saran Kebijakan ..................................................................... 205 9.2.2. Saran Penelitian Lanjutan ...................................................... 206 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 209 LAMPIRAN ............................................................................................... 215 19 DAFTAR TABEL Nomor 1. Halaman Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China Free Trade Area ...................................................................................... 14 2. Jumlah Impor Gula Mentah di Indonesia Tahun 2003-2009 .................. 17 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional..................................................... 20 4. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir ........................................ 49 Analisis Dampak Kebijakan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir ........................................ 51 6. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia 83 7. Perkembangan produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 ............................................................... 85 Konsumsi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 .................................................................................... 87 Impor Gula Kristal Putih, Gula Mentah, dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 ............................................................... 88 10. Stok Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 ............................................................................................... 89 11. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Dunia Gula Tahun 2004-2011 ............................................... 91 12. Produksi Gula di Beberapa Negara Produsen Terbesar Gula Dunia Tahun 2008-2010 .................................................................................... 93 13. Konsumsi Gula di Beberapa Negara Konsumen Terbesar Gula Dunia Tahun 2007-2009 .................................................................................... 94 14. Negara Eksportir Gula Dunia Tahun 2008-2010 .................................... 96 15. Negara Importir Gula Dunia Tahun 2008-2010 ...................................... 97 16. Impor Gula Indonesia dari Thailand, China, Singapura, dan Australia Tahun 2001-2010 .................................................................................... 98 5. 8. 9. 17. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Besar Negara (APTN) 102 18. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Besar Swasta (APTS) 104 19. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Rakyat (APTR) ...... 105 20. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Negara (YGHN) 107 21. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Swasta (YGHS) 108 xx 20 22. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Rakyat (YGHR) 110 23. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Gula Rumah Tangga (DGRT) .. 112 24. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Gula Industri (DGIN) ............... 114 25. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Tingkat Petani (HRGP) ..... 115 26. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Tingkat Pedagang Besar (HRGPB) ................................................................................................ 116 27. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Eceran (HRGE) ................. 118 28. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Riil Gula Indonesia (HRGINA) 118 29. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Indonesia dari Thailand (MGITH) 120 30. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Indonesia dari China (MGICN) 122 31. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Gula Brazil (XGBR) ........................ 123 32. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Gula Thailand (XGTH) ................... 125 33. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula India (MGIN) ........................... 126 34. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Amerika Serikat (MGUS) ........ 128 35. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula China (MGCN) ......................... 129 36. Hasil Estimasi Persamaan Harga Gula Dunia (HRGW) ........................ 131 37. Dampak Peningkatan Harga Gula sebesar 25 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010.......... 135 38. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 33 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010.......... 137 39. Dampak Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu 20 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010.......... 140 40. Dampak Penurunan Tarif Impor Gula 49 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 ............................. 142 41. Dampak Peningkatan Kuota Impor Gula 50 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 ............................. 144 42. Evaluasi Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian Periode 2004-2010 ................................................................. 146 43. Peramalan Dampak Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani 30 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ............................ 152 44. Peramalan Dampak Peningkatan Stok Gula Indonesia 20 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ........................................... 155 45. Peramalan Dampak Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu 30 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ............................ 157 xxi 21 46. Peramalan Dampak Swasembada Absolut Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ...................................................................... 159 47. Peramalan Dampak Penghapusan Tarif Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ...................................................................... 162 48. Peramalan Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ............................................................... 166 49. Peramalan Dampak Peningkatan Produksi Gula China terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ............................................ 169 50. Peramalan Dampak Peningkatan Produksi Gula Thailand dan Brazil terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ............................. 171 51. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor dan Harga Gula Tingkat Petani dan terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia 174 52. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Luas Areal terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ................................................................................................. 176 53. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Produksi Gula China, dan Stok Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ............................................................... 179 54. Peramalan Dampak Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Luas Areal, dan Stok Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ................................................................................................. 181 55. Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 ............................................................................................... 186 56. Peramalan Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Gula terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 .............................................................................................. 189 57. Peramalan Dampak Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 ............................................................................................... 192 58. Peramalan Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 ...... 194 59. Peramalan Dampak Perubahan Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 198 2015-2020 ............................................................................................... 22 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia Tahun 2009 18 2. Mekanisme Terjadinya Ekspor-Impor.................................................... 41 3. Dampak Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk .............................. 45 4. Dampak Kebijakan Harga Patokan Petani ............................................. 46 5. Dampak Pengenaan Tarif Impor ............................................................ 48 6. Dampak Kuota Impor ............................................................................. 50 7. Diagram Keterkaitan Variabel dalam Model Ekonomi Perdagangan Gula Indonesia ........................................................................................ 54 23 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data dan Sumber Data Model Perdagangan Gula Indonesia .................. 216 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Perdagangan Gula Indonesia ..... 224 3. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen dalam Model Perdagangan Gula Indonesia ................................................................... 225 Program Estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 .................................................................................................. 228 Hasil Estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 .................................................................................................. 233 Program Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 .................................................................................................. 253 Hasil Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 .................................................................................................. 260 Program Simulasi Historis Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ................................................................... 265 Hasil Simulasi Historis Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ................................................................... 272 10. Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2011-2020 Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode STEPAR dan Prosedur FORECAST dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ................. 274 11. Hasil Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2011-2020 Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode STEPAR dan Prosedur FORECAST dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ................. 277 12. Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2020 Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ..................... 281 13. Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2020 Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ..................... 284 4. 5. 6. 7. 8. 9. 24 xxiv 14. Program Simulasi Peramalan Nilai Dasar Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1...................................................... 287 15. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ..................................................... 291 16. Program Simulasi Peramalan Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 .................................................................. 293 17. Hasil Simulasi Peramalan Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 .................................................................. 299 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), dapat dilihat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar yaitu sekitar 15.3 persen pada tahun 2010 atau merupakan urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran. Akan tetapi, sekalipun sektor pertanian mempunyai kontribusi yang cukup besar laju pertumbuhan sektor pertanian merupakan yang terendah dibandingkan sektor lain, yaitu hanya 2.9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian mengalami kelesuan karena perhatian dibidang pertanian mulai menurun. Sebagai pondasi kehidupan sebuah negara, sektor pertanian dewasa ini tengah menghadapi tantangan terberat yaitu era globalisasi. Salah satu ciri dari era globalisasi adalah perdagangan bebas yang ditandai dengan semakin meningkatnya arus perdagangan barang maupun jasa diantara negara-negara di dunia. Globalisasi dan perdagangan bebas memberikan peluang terbukanya ruang yang lebih besar untuk memperluas volume usaha pertanian. Menurut Departemen Pertanian (2010), arus perdagangan dalam mekanisme pasar yang murni adalah mengalir dari negara yang mempunyai comparative advantages ke negara yang tidak mempunyai comparative advantages (trade creation). Tumbuhnya trade creation diantara bangsa-bangsa akan meningkatkan kesejahteraan semua bangsa di dunia. Hal inilah yang menjadi spirit dari lahirnya isu globalisasi dan liberalisasi. Perdagangan internasional menjadi suatu faktor utama yang dapat membawa masyarakat Indonesia kearah kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Masalah perdagangan bukan hanya masalah ekonomi tetapi juga masalah politik. Masalah perdagangan bukan saja masalah menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan mitra dagang. Adanya perbedaan kekuatan politik dan militer merupakan godaan untuk mengubah hubungan yang semula bersifat sukarela dan saling menguntungkan dan bersifat paksaan. Karena itu, diperlukan kewaspadaan terhadap kemungkinan tersebut dan mengambil langkah persiapan 2 menghadapi hal tersebut. Iklim perdagangan yang terbuka dapat terus berjalan dengan melestarikan aturan main yang dapat menunjang keterbukaan dari sistem internasional. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan kewaspadaan terhadap godaan negara besar untuk menggunakan kekuatan ekonomi dan politik setiap kali ada sektor yang mengalami kemunduran dalam daya saing (Kartadjoemena, 2000). Kesadaran akan manfaat peranan perdagangan internasional bagi kesejahteraan penduduknya mendorong sejumlah negara tetangga membentuk organisasi kerjasama ekonomi regional yang memiliki kepentingan untuk membangun kekuatan ekonomi bersama. Sebagai bagian dari tatanan perekonomian dunia, Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka harus ikut melaksanakan perdagangan bebas. Pengalaman pertama kerjasama perdagangan bebas regional yang diikuti Indonesia adalah kerjasama pada kawasan perdagangan bebas ASEAN yang dikenal dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Kerjasama ini diterapkan melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang diwujudkan dengan penurunan tarif hingga menjadi 0-5 persen, penghapusan pembatasan kuantitatif, dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Gula dalam skema CEPT-AFTA dimasukkan dalam kategori Sensitive List yang harus telah diturunkan tarifnya pada tahun 2010 (Tim Tarif Depkeu, 2010). Implementasinya pemerintah berhasil mengupayakan tarif impor gula diatas 5 persen, yaitu 10 persen untuk gula putih dan 5 persen untuk gula mentah. Pengalaman kedua Indonesia mengikuti kelompok perdagangan regional adalah kesepakatan perdagangan bebas Indonesia-China melalui skema ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Pelaksanaan ACFTA ini telah dimulai pada tahun 2004 yang diwujudkan dengan menghilangkan atau mengurangi hambatanhambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif. Kesepakatan perjanjian perdagangan ACFTA ini memberikan tantangan dan peluang bagi berbagai komoditas pertanian yang diproduksi di Indonesia baik untuk tujuan ekspor maupun memenuhi kebutuhan nasional. Beberapa pihak menilai liberalisasi ACFTA hanya akan memberikan dampak negatif bagi kinerja perdagangan Indonesia. Ketakutan tersebut muncul mengingat daya saing produk asal China sangat tinggi terlebih bila dibandingkan dengan produk asal Indonesia. Oleh karena itu, banyak pihak yang menginginkan pemerintah melakukan 3 renegosiasi terhadap perjanjian perdagangan tersebut. Namun, sebagian pihak lainnya yang optimis yakin bahwa liberalisasi ACFTA akan membawa dampak positif bagi sektor pertanian. Keyakinan ini yang kemudian mendorong Indonesia untuk turut serta dalam liberalisasi awal ACFTA. Early Harvest Programme (EHP) merupakan tahapan awal liberalisasi ACFTA yang terdiri dari penghapusan tarif antara produk negara ASEAN dengan produk China dan sebaliknya untuk delapan jenis produk yang terdiri dari kelompok produk hewan hidup (live animals), daging, dan jeroan yang bisa dimakan (meat and edible meat & offal), ikan termasuk udang (fish), produk susu (dairy products), produk hewan lainnya (other animal products), tanaman hidup (live trees), sayur (edible vegetables), dan produk buah serta kacang-kacangan (edible fruits and nuts) dengan pengecualian untuk jagung manis. Komoditas pertanian seperti beras, gula, jagung, dan kedelai dimasukkan dalam kategori produk High Sensitive List (HSL) yang tarifnya baru akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Ditjen KPI, 2005). Sejak kesepakatan ACFTA mulai diberlakukan, tren neraca perdagangan Indonesia dengan China semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 neraca perdagangan non migas Indonesia dengan China mengalami defisit sebesar US$ 1.293 miliar. Pada tahun 2008 menurun tajam sebesar US$ 7.160 miliar. Hingga tahun 2012 neraca perdagangan Indonesia dengan China masih mengalami defisit. Defisit perdagangan Indonesia China pada tahun 2012 sebesar US$ 5.875 miliar (Kementerian Perdagangan, 2012). Data ini menunjukkan semakin banyaknya komoditi non migas dari China yang masuk ke Indonesia. Semakin menurunnya surplus dalam neraca perdagangan Indonesia disebabkan semakin timpangnya neraca ekspor Indonesia dan China. Dalam beberapa tahun terakhir China juga telah melakukan lompatan ekonomi yang sangat besar dan menjadi penguasa ekonomi terbesar kedua di dunia. Terlebih lagi, pemerintah China mempunyai keeratan hubungan dengan masyarakat China perantauan yang berada di seluruh dunia terutama ASEAN. Hal ini memberikan peluang kepada China untuk mampu mengintegrasikan ASEAN dan menjadikannya mitra di bidang ekonomi. 4 Tidak hanya produk-produk impor dari China yang banyak memasuki pasar konsumsi Indonesia, tetapi juga produk-produk impor asal negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Impor produk pertanian dari Thailand mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, sehingga membuat neraca perdagangan Indonesia dengan Thailand juga terus mengalami defisit. Pada tahun 2010 defisit perdagangan Indonesia dengan Thailand mencapai US$ 3.4 miliar. Produk-produk pertanian dari negara ASEAN yang mendominasi pasar domestik adalah beras, gula, tepung dan olahannya, buah, sayuran dan olahannya serta produk makanan lain. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (2010), secara keseluruhan Singapura merupakan negara yang mendominasi ekspor ke negaranegara ASEAN yaitu sebesar 40.91 persen, diikuti oleh Malaysia sebesar 20.22 persen dan Thailand 16.28 persen, sedangkan Indonesia hanya mampu menguasai pasar ASEAN sebesar 12.34 persen. Meskipun dalam neraca perdagangan ASEAN Indonesia belum mengalami defisit, namun pertumbuhan impor lebih besar daripada ekspor sehingga tetap diperlukan upaya antisipatif. Wacana penurunan tarif impor gula sebagai komoditas High Sensitive List yang akan mulai diturunkan tarifnya pada tahun 2015 menjadi isu menarik untuk diwaspadai. Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh penduduk di Indonesia bahkan juga di dunia. Berdasarkan catatan Dewan Gula Indonesia (2011) kebutuhan gula kristal putih untuk konsumsi langsung adalah 2.574 juta ton, sedangkan jumlah kebutuhan gula kristal rafinasi sebesar 2.058 juta ton. Jumlah tersebut sangat tinggi apabila dilihat dari kinerja produksi gula dalam negeri yang hanya mampu menghasilkan gula hablur sebesar 3.159 juta ton (Ditjenbun, 2011). Tingginya kebutuhan gula nasional yang selama ini belum mampu dipenuhi oleh produksi lokal membuat pemerintah melakukan kebijakan impor. Beberapa impor gula Indonesia didatangkan dari negara ASEAN. Tren kenaikan konsumsi gula di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat serta pertumbuhan industri makan dan minuman. Terkait dengan perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dikhawatirkan akan 5 semakin mengancam industri gula domestik yang tengah bangkit dari keterpurukan. Negara-negara anggota ASEAN memiliki kontribusi yang berbeda-beda terhadap perkembangan perjanjian perdagangan bebas ACFTA sekalipun jenis produk pertanian yang dihasilkan hampir sama karena adanya kesamaan kondisi iklim dan budaya. Manfaat perdagangan bebas ACFTA yang akan dipetik oleh negara-negara ASEAN tergantung pada daya saing produk pertanian negaranegara ASEAN itu sendiri. Hal ini terlihat setelah perjanjian perdagangan bebas ACFTA diberlakukan, Thailand masih memimpin sebagai pengekspor gula terbesar di antara negara ASEAN yang lain, baik untuk gula mentah maupun gula kristal rafinasi. Untuk impor gula, jenis gula yang paling banyak diimpor oleh Indonesia adalah gula kristal rafinasi. Bahkan terjadi peningkatan melebihi dua kali lipat untuk impor gula kristal rafinasi ini dari tahun 2008 yang hanya sebesar 424.8 ribu ton menjadi 1.28 juta ton pada tahun 2009 (FAO Statistic Division, 2011), sedangkan Malaysia sebagai negara pengimpor gula terbesar di ASEAN lebih banyak mengimpor gula mentah daripada gula kristal rafinasi. Sebagai komoditas khusus, gula merupakan salah satu dari kebutuhan pangan yang sangat penting bagi kebutuhan sehari-hari baik dalam rumah tangga maupun industri makanan dan minuman. Prospek utama pengembangan industri gula nasional adalah untuk memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia berupaya meningkatkan produksi dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula. Akan tetapi, produksi gula yang dihasilkan oleh Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri, sehingga impor gula harus diadakan setiap tahunnya. Hal ini membuat target swasembada gula tahun 2007, 2008, dan 2009 yang telah dicanangkan pemerintah tidak terealisasi. Saat ini pemerintah mencanangkan target swasembada gula akan tercapai pada tahun 2014. Untuk mencapai target tersebut, sejak tahun 2004 pemerintah melakukan suatu Program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Tentunya keberhasilan program ini sangat berkaitan dengan kemampuan industri gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestiknya yang selama ini belum terbukti. 6 Ketidakmampuan produksi dalam negeri memenuhi kebutuhan nasional disebabkan oleh inefisiensi pengolahan yaitu kapasitas dan efisiensi teknis pabrik gula yang sangat rendah. Rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula disebabkan oleh tingginya biaya produksi dan umur mesin pabrik gula yang sudah tua. Hal ini menyebabkan rendemen tebu yang diterima petani rendah dan kualitas gula yang diproduksi juga menjadi kurang baik. Selain karena faktor inefisiensi, rendahnya rendemen tebu juga karena tidak diterapkannya teknologi penggunaan varietas bibit unggul pada budidaya tebu sehingga kualitas tebu giling yang dihasilkan petani juga rendah. Data yang ada menunjukkan bahwa struktur produksi gula dan rendemen tebu cenderung mengalami penurunan. Rendemen Indonesa tidak pernah lagi mencapai 15 persen seperti yang pernah terjadi pada tahun 1929. Rendemen tertinggi hanya 8.1 persen pada 2008 dan turun kembali tahun 2009 menjadi 7.76 persen dan semakin menurun pada tahun 2010 menjadi 6.96 persen (Dewan Gula Indonesia, 2012). Hal ini menjadi pemicu langkah pemerintah melakukan impor gula yang terus mengalami peningkatan. Dampak dari membanjirnya impor gula adalah turunnya harga gula di pasar domestik. Penurunan ini tentunya akan menyebabkan harga gula domestik menjadi lebih rendah daripada harga pokok produksi gula. Kondisi ini yang selanjutnya menyebabkan gula dalam negeri Indonesia menjadi tidak kompetitif lagi dibandingkan gula impor sehingga Indonesia menjadi sasaran pasar impor gula dunia. Harga gula dunia ini merupakan referensi bagi produsen dan importir ketika bertransaksi. Harga gula mentah pada Bursa Berjangka New York terbilang fluktuatif. Demikian juga dengan harga gula kristal rafinasi pada London International Financial Futures and Options Exchange (LIFFE). Setelah naik pada kisaran 32.04 cents per pound untuk gula kristal rafinasi dan 34.78 cents per pound untuk gula mentah kembali menunjukkan gejala penurunan baik pada kuartal I maupun ke II tahun 2011. Penurunan ini disebabkan stok gula dunia yang diperkirakan melimpah terkait dengan kenaikan produksi. Namun demikian harga gula dunia yang lebih murah ini berpotensi mendorong pabrik gula kristal rafinasi untuk lebih meningkatkan impor gula mentah (raw sugar). Harga gula mentah yang tinggi ini merupakan motivator bagi para petani untuk menanam tebu dan 7 perbaikan dalam praktek usaha pertaniannya. Soewandi (2012) menyatakan penurunan harga gula dunia perlu diwaspadai terkait dengan status Indonesia sebagai produsen sekaligus pengimpor gula. Dimana perubahan harga gula di pasar dunia akan berdampak terhadap terbentuknya harga di pasar domestik. Pencegahan masuknya gula kristal rafinasi yang notabene mendapat fasilitas keringanan tarif 0-5 persen ke pasar konsumen harus menjadi komitmen negara terkait dengan perlindungan produksi berbasis sumberdaya lokal. Terlebih lagi saat ini pemerintah melakukan kesepakatan ACFTA, dimana selama hampir setengah dekade penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat semakin memperkuat kekhawatiran dan ketidakberdayaan Indonesia yang tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Pemerintah melalui beberapa kementerian dan instansi telah melakukan usaha-usaha guna meningkatkan daya saing produk Indonesia, terutama setelah pemberlakuan kesepakatan ACFTA. Dalam perjanjian ACFTA, komoditas gula dikategorikan sebagai komoditas High Sensitive List (HSL) sehingga masih diperbolehkan adanya intervensi pemerintah berupa tarif dan akan mengalami penurunan tarif mulai tanggal 1 Januari 2015. Sehingga masih ada waktu bagi pemerintah untuk membangkitkan kembali industri gula nasional. Implikasi jangka panjang yang perlu diwaspadai adalah berbaliknya neraca perdagangan sehingga Indonesia menjadi pasar produk China dan ASEAN lain. Cadangan devisa China pada tahun 2009 sebesar US$ 2.13 trilliun dan dalam jangka waktu enam bulan telah bertambah menjadi sebesar US$ 185.6 miliar. Hal ini menunjukan bahwa China dapat memborong sumber komoditas ekspor sektor pertanian di Malaysia, Thailand dan Indonesia (Irianto, 2009). Penghapusan tarif impor dapat menjadi ancaman dengan semakin banyaknya gula impor yang akan memenuhi pasar dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya perubahan faktor lingkungan internal dan eksternal dalam membangkitkan kembali industri gula nasional dalam era perdagangan bebas ACFTA maka menarik untuk dilakukan penelitian yang mampu mengevaluasi kebijakankebijakan periode historis dan strategi kebijakan antisipatif dimasa mendatang sehingga kebangkitan industri gula nasional lebih berdayaguna baik bagi kesejahteraan produsen, konsumen maupun perekonomian nasional. 8 1.2. Perumusan Masalah Gula sebagai komoditas penting dan strategis bagi masyarakat tidak hanya dirasakan pentingnya bagi konsumen sebagai pengguna akhir tetapi juga bagi kalangan produsen yang mengolah komoditi ini dengan value added tersendiri. Sedangkan disisi lain, industri gula nasional menghadapi permasalahan yang cukup kompleks. Hal ini membuat semakin perlunya penelitian terkait dengan implementasi kebijakan perdagangan dalam skema ACFTA yang berhubungan dengan intervensi kebijakan industri gula negara eksportir dan importir gula pada negara-negara ASEAN dan China serta strategi kebijakan terkait dengan kebangkitan industri gula nasional. Industri gula dalam negeri masih dihadapkan pada persoalan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan gula baik untuk konsumsi langsung (rumah tangga) maupun konsumsi tidak langsung (industri) yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Ketidakmampuan ini ditunjukkan pula dengan kegagalan realisasi program swasembada gula tahun 2007, 2008, dan 2009. Rencana swasembada gula selanjutnya dicanangkan oleh pemerintah akan terealisasi pada tahun 2014, dimana tepat satu tahun sebelum gula terlibat dalam liberalisasi perdagangan bebas ACFTA. Program Revitalisasi Industri Gula 20102014 menjadi salah satu program prioritas untuk terwujudnya target swasembada gula 2014 sekaligus menutup neraca perdagangan gula nasional. Melalui program revitalisasi ini pemerintah menargetkan produksi gula nasional dapat mencapai 5.70 juta ton pada tahun 2014 yang terdiri dari 2.96 juta ton gula konsumsi dan 2.75 juta ton gula kristal rafinasi (Renstrabun, 2010). Swasembada gula dapat tercapai dan keterlibatan gula dalam liberalisasi perdagangan bebas ACFTA dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperoleh surplus dari perdagangan tersebut apabila pemerintah mengatasi permasalahan pada industri gula secara serius. Permasalahan pada industri gula nasional tidak hanya on farm tetapi juga off farm. Berdasarkan uraian sebelumnya maka secara rinci permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Ketidakmampuan produksi gula nasional memenuhi kebutuhan gula menyebabkan kecenderungan impor gula di Indonesia semakin meningkat. Inefisiensi ekonomis yang selama ini terjadi dalam struktur industri gula 9 domestik menyebabkan Indonesia tidak memiliki daya saing dalam menghadapi gula impor (Kementerian Perindustrian, 2009). Lebih jauh membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok pada kran impor ini sama artinya dengan membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran. 2. Masalah swasembada gula sudah sangat sering disebut sebagai salah satu tujuan nasional yang mudah dicapai. Hal ini mengingat Indonesia pernah menjadi eksportir gula kedua di dunia. Akan tetapi, target peningkatan produksi yang seringkali dicanangkan pemerintah setiap tahunnya tidak dapat tercapai. Kementerian Pertanian (2012) menyatakan bahwa target produksi 5.7 juta ton gula yang terdiri dari 2.9 juta ton gula kristal putih dan 2.7 juta ton gula kristal rafinasi akan terpenuhi apabila penyediaan lahan minimal seluas 350 ribu hektar, investasi pembangunan pabrik gula baru dan revitalisasi pabrik gula berjalan sesuai dengan rencana. Namun karena penyediaan areal baru belum dapat dipenuhi, maka pemerintah melakukan revisi target pencapaian produksi untuk tahun 2011. 3. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih menganut dualisme gula, yaitu gula kristal putih (GKP) dan gula kristal rafinasi (GKR), sedangkan negara lain sudah menganut satu gula dimana hanya ada gula dan gula mentah saja. Natsir (2012) menyatakan, sebagai negara yang menganut dualisme gula mekanisme perdagangan, distribusi, dan produksi gula diatur oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Namun, kenyataanya pemerintah kurang tegas dalam pengaturan dan pengawasannya. Hal ini yang menyebabkan gula kristal rafinasi yang notabene kualitasnya lebih putih dan diperuntukan bagi industri merembes ke pasar konsumsi. 4. Tim Nasional Revitalisasi Gula (2010) menyatakan bahwa masalah kebijakan fiskal seperti tarif bea masuk, belum sepenuhnya mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Pemberlakuan kebijakan keringanan tarif impor sebesar 0-5 persen yang selama ini diberlakukan pemerintah terhadap gula mentah (raw sugar) berpengaruh pada keragaan perdagangan gula secara simultan, dimana perubahan keragaan perdagangan gula ini berdampak pula terhadap perubahan kesejahteraan pelaku perekonomian gula. Hal ini muncul sehubungan dengan kecenderungan terus menurunnya harga gula dunia baik 10 untuk raw sugar maupun white sugar dikarenakan meningkatnya produksi di sejumlah negara produsen utama yang potensial menambah stok dunia. Pemberian fasilitas keringanan tarif ini berpotensi mendorong pabrik gula kristal rafinasi lebih memilih mengimpor gula mentah sehingga petani akan kembali masuk dalam perangkap liberalisasi perdagangan gula yang sarat akan distorsi. 5. Kebijakan pemerintah dengan menetapkan harga patokan petani (HPP) dalam era liberalisasi perdagangan yang kini dijalankan merupakan salah satu bentuk ketidakefisienan kebijakan. HPP gula ditujukan pemerintah untuk melindungi kepentingan petani. Dimana apabila harga lelang berada dibawah HPP maka selisih harga akan dibayarkan pemerintah kepada petani yang disebut dana talangan. Namun yang terjadi adalah harga lelang tidak pernah berada dibawah HPP gula sehingga harga dasar gula tersebut yang menjadi patokan pabrik gula atau pedagang sebagai harga terendah (KPPU, 2010). 6. Lembaga keuangan atau perbankan belum optimal dalam mendukung Program Revitalisasi Industri gula Nasional yang direncanakan oleh pemerintah untuk mencapai Swasembada Gula 2014. Petani masih mengalami kesulitan dalam mengakses kredit karena rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi petani untuk mendapatkan kredit. Sehingga, permasalahan modal masih menjadi problematika bagi petani tebu rakyat untuk persiapan penanaman dan pemanenan tebu (Tim Nasional Revitalisasi Industri Gula, 2009). Untuk menyederhanakan permasalahan industri gula nasional yang begitu kompleks maka penelitian ini memerlukan seperangkat model ekonometrika yang komprehensif sehingga mampu mengintegrasikan perubahan-perubahan internal maupun eksternal pada keterpaduan perdagangan komoditas gula serta dampaknya terhadap kesejahteraan konsumen, produsen serta penerimaan pemerintah dalam skema liberalisasi perdagangan ACFTA. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prospek perdagangan 11 gula Indonesia dalam kerangka implementasi perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis keragaan pasar gula Indonesia ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2. Mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kinerja industri gula Indonesia dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada era pra liberalisasi ACFTA (2004-2010). 3. Meramalkan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal berkaitan dengan liberalisasi perdagangan gula dalam skema ACFTA terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2011-2014 dan 2015-2020. Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan merumuskan strategi industri gula domestik dalam implementasi kerangka perjanjian pasar bebas ASEAN-China. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji prospek perdagangan gula Indonesia pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula Indonesia. Oleh karena itu, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini dibatasi pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA tahun 2015 dan tercapainya target swasembada gula yang dilakukan pemerintah melalui Program Revitalisasi Industri Gula Nasional, sehingga kebijakankebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini berada dalam lingkup kedua hal tersebut. 2. Disagregasi pengusahaan perkebunan tebu dalam penelitian ini hanya dilakukan berdasarkan status pengusahaan perkebunan tebu yaitu perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Disagregasi berdasarkan provinsi ataupun kepulauan tidak dilakukan, sehingga kebijakan pemerintah yang akan dievaluasi tidak sampai pada tingkat tersebut. 12 3. Penelitian ini tidak mengkaji pasar input usahatani tebu dan produk industri tersiernya. 4. Kajian ini tidak melakukan analisis secara detail mengenai proses dalam setiap subsistem produksi, tetapi melihat bagaimana kemampuan pabrik gula dalam melakukan kegiatan produksi. 5. Karena ketiadaan data time series produksi tebu, maka data produksi yang digunakan dalam penelitian ini sudah dalam wujud gula hablur, sehingga produktivitas yang digunakan juga merupakan produktivitas gula hablur. 6. Dalam penelitian ini baik Gula Kristal Putih (GKP) maupun Gula Kristal Rafinasi (GKR) dianggap sama atau homogen yang selanjutnya disebut sebagai gula, sedangkan untuk gula mentah dilakukan konversi setara gula. 7. Permintaan gula Indonesia hanya didisagregasi berdasarkan penggunanya yaitu konsumen rumah tangga dan industri. Untuk konsumen industri tidak dibedakan berdasarkan penggunaan bahan bakunya, baik yang menggunakan gula kristal putih, gula kristal rafinasi maupun gula mentah dianggap sama. 8. Data impor gula yang digunakan merupakan data resmi. Data impor gula yang tidak resmi, ilegal, dan tidak tercatat seperti penyelundupan tidak diakomodir dalam penelitian ini. 9. Data harga impor gula yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibedabedakan berdasarkan asal negara impornya. Data harga impor gula yang digunakan adalah data harga impor gula Indonesia. 10. Simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari (1) simulasi tunggal yang mencakup kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal, dan (2) simulasi kombinasi yang mencakup keduanya. 11. Simulasi kebijakan tarif impor yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan skema penghapusan dan penurunan tarif yang telah disepakati pemerintah dalam kerangka ACFTA, sehingga tidak dilakukan simulasi tarif diluar perjanjian tersebut. 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dengan negara China. Pada bulan November 2001 melalui ASEAN-China Summit di Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam, China menawarkan sebuah proposal ASEAN-China Free Trade Area untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Lima bidang kunci kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar-negara, dan pengembangan di sekitar area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti pada bulan November 2002 dengan penandatanganan “The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation (CEC)” yang dihadiri oleh Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN dan China. Naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA. Kesepakatan CEC dalam pertemuan tersebut juga mengandung tiga pilar yaitu liberalisasi, fasilitasi, dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi meliputi perdagangan bebas barang, jasa, dan investasi dalam kawasan ACFTA. Namun, dalam kesepakatan tersebut juga diberikan differential treatment and flexibility bagi negara-negara anggota ASEAN yang belum berkembang seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Peserta ASEAN-China Summit pada bulan November 2004 menandatangani naskah “The Framework Agreement on Trade in Good” yang berlaku pada 1 Juli 2005. Berdasarkan kesepakatan ini, enam negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan China) sepakat melakukan penurunan tarif secara bertahap dengan target penurunan tarif hingga nol persen. Untuk negara ASEAN yang diberikan differential treatment and flexibility akan mengikuti kesepakatan ACFTA pada tahun 2015. Adapun secara rinci tahapan peristiwa yang akhirnya mencetuskan ACFTA dimana mempengaruhi kesepakatan pemerintah Indonesia terhadap perdagangan bebas dengan ASEAN-China disajikan pada Tabel 1. 14 Tabel 1. Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China Free Trade Area Waktu Peristiwa 1991 Kesepakatan AFTA (dipercepat menjadi tahun 2001) 1991 The People’s Republic of China (PRC) secara resmi menjadi mitra dialog ASEAN 1997 (Desember) Joint Statement kepala negara: ASEAN-PRC sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya menyongsong abad 21 2000 (November) 2001 (Maret) Pada KTT ASEAN-PRC para kepala negara menyepakati gagasan pembentukan ACFTA Pembentukan ASEAN-China Economic Expert Group Pada KTT ASEAN-China para kepala negara menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and PRC 2003 Perundingan ACFTA dimulai dan selesai bulan Juni 2004 Bali Concord (proposal Indonesia “ASEAN Community" 2003 diterima): AFTA menjadi bagian dari ASEAN Economic Community (AEC) 2004 (November) Kesepakatan ACFTA untuk barang ditandatangani Kesepakatan ASEAN Charter dan AEC Blue Print ditandatangani 2008 (Desember) ASEAN Charter berlaku 2007 Sumber : Basri (2010) Perjalanan ACFTA hingga disetujui pemerintah Indonesia cukup lama yaitu dimulai pada tahun 1991. Ketika ASEAN menyepakati China sebagai rekan saing dalam perdagangan bebas, secara tidak langsung kesepakatan ini mengarahkan sistem ekonomi negara anggota ASEAN bertransformasi ke sistem ekonomi liberalis China. Tujuan dari Framework Agreement ACFTA ini adalah (1) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak, (2) meliberalisasikan perdagangan barang, jasa, dan investasi, (3) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak, dan (4) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Selain itu, kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (1) penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang, (2) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa, dan (3) membangun rezim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ACFTA. 15 Penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang, telah disepakati melalui tiga skenario yaitu (1) Early Harvest Programme (EHP), (2) Normal Track Programme, dan (3) Sensitive dan Highly Sensitive. EHP bertujuan untuk mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap dan efektif dimulai pada 1 Januari 2004 bagi produk EHP dan menjadi nol persen pada 1 Januari 2006. Cakupan produk yang masuk ke dalam EHP adalah produk yang masuk ke dalam Chapter 01 s/d 08 yaitu hewan hidup (01), daging dan produk daging dikonsumsi (02), ikan (03), dairy product atau produk susu (04), produk hewan lainnya (05),tumbuhan (06), sayuran dikonsumsi kecuali jagung manis (07), dan buah-buahan dikonsumsi (08). Jumlah kelompok EHP meliputi 530 pos tarif (HS 10 digit), sementara produk– produk spesifik yang ditentukan melalui kesepakatan bilateral antara lain kopi, minyak kelapa (CPO), bubuk kakao, barang dari karet, dan perabotan. Penurunan tarif bea masuk pada Normal Track Programme dimulai sejak tanggal 20 Juli 2005, yang menjadi nol persen pada tahun 2010, dengan fleksibilitas pada produk-produk yang akan menjadi nol persen pada tahun 2012. Adapun produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tarif bea masuk 20 persen pada tahun 2012 dan akan menjadi 0-5 persen mulai tahun 2018. Komoditas yang masuk daftar High Sensitive List (HSL) seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarif bea masuknya akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Kementerian Keuangan, 2011). Preferensi penurunan tarif untuk ketiga skenario tersebut disepakati melalui Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dengan ketentuan kandungan lokal ACFTA sebesar 40 persen yang secara operasional menggunakan SKA Form E. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dalam skema ACFTA dilakukan secara bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kepentingan perlindungan terhadap produk Indonesia yang dianggap belum mampu untuk bersaing dengan produk negara peserta FTA. Penurunan tarif di Indonesia telah dilakukan secara sepihak sejak era reformasi. Hal ini terjadi atas dorongan IMF sewaktu Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997 yang mengharuskan Indonesia untuk lebih terbuka pada 16 perdagangan. Pada prosesnya penurunan tarif di Indonesia dilakukan secara bertahap yaitu dari rata-rata 6 persen, 4 persen di tahun 2008 kemudian dari 4 persen ke 3 persen tahun 2009, dan memasuki tahun 2010 menjadi nol persen melalui Normal Track pada perdagangan ACFTA (Pasaribu, 2010). 2.2. Profil Struktur Industri Gula Indonesia Gula terdiri dari beberapa jenis yang dilihat dari tingkat keputihannya melalui standar ICUMSA (Internatioal Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam skala internasional unit (IU) sebagai berikut : Raw Sugar (Gula Mentah) Raw sugar adalah gula mentah yang berbentuk kristal berwarna kecokelatan dengan bahan baku dari tebu. Gula mentah ini merupakan gula setengah jadi dari pabrik-pabrik penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan. Jenis gula gula mentah ini yang paling banyak diimpor untuk diolah menjadi gula kristal putih ataupun gula kristal rafinasi. Untuk menghasilkan gula mentah diperlukan proses dari penilaian tebu → penggilingan → pemurnian nira → penguapan → pengkristalan merah (gula mentah). Refined Sugar (Gula Kristal Rafinasi) Gula kristal rafinasi ini merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah. Adapun tahapan produksi gula kristal rafinasi yaitu dari raw sugar preparation affination → karbonasi → penyaringan → pertukaran ion → evaporasi → sentrifugal → gula kristal rafinasi → pengemasan. Pemasaran gula kristal rafinasi dilakukan secara khusus oleh distributor gula khusus yang telah mendapat persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula kristal rafinasi yang disahkan oleh Departemen Perindustrian. Pemenuhan gula kristal rafinasi dalam negeri sebelum tahun 2000 dilakukan melalui impor. Namun dengan ekspektasi harga yang terus meningkat dan produksi dula dalam negeri yang menurun, pada tahun 2003-2005 mulai terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Kemudian pada tahun 2006-2008 usaha industri gula kristal rafinasi bertambah menjadi 7 pelaku usaha, dan bertambah lagi di tahun 2009 menjadi 8 pelaku usaha yang mempu mempunyai 17 kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per tahun. Berdasarkan data KPPU (2010) pelaku usaha dalam industri gula kristal rafinasi antara lain : 1. PT Angles Product, Bojonagara, Serang-Banten 2. PT Jawamanis, Cilegon-Banten 3. PT Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten 4. PT Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap-Jawa Tengah 5. PT Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap-Jawa Tengah 6. PT Sugar Labinta 7. PT Makassar Tene 8. PT Duta Sugar International. Pelaku industri gula kristal rafinasi dalam negeri sepenuhnya mengimpor gula mentah untuk kemudian diolah menjadi gula kristal rafinasi. Adanya peningkatan jumlah pabrik gula dalam negeri juga meningkatkan jumlah gula mentah yang diimpor setiap tahunnya. Berikut ini adalah data peningkatan impor gula mentah untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri yang membutuhkan gula kristal rafinasi. Tabel 2. Jumlah Impor Gula Mentah di Indonesia Tahun 2003-2009 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Perusahaan Rekomendasi (ton) Izin Impor (ton) 5 394 070 398 070 5 923 000 757 750 5 1 226 000 999 100 6 1 081 000 1 056 250 6 1 492 450 1 447 700 7 1 661 230 1 404 730 8 1 670 000 1 670 000 Jumlah (ton) 350 582 478 250 808 200 952 387 1 255 522 1 231 470 1 670 000 Sumber : GAPMMI, 2010 Industri yang menjadi konsumen gula kristal rafinasi antara lain industri makanan, minuman, dan farmasi. Sejak tahun 2002 hingga September 2008 pemerintah memperbolehkan industri makanan dan minuman mengimpor sendiri gula kristal rafinasi. Namun seiring dengan berkembangnya industri gula kristal rafinasi dalam negeri dan terus menurunnya harga dunia gula kristal rafinasi yang ternyata berimbas kepada petani gula, maka kemudian pada bulan September 2008 pemerintah membatasi impor gula kristal rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan minuman. Industri makanan dan minuman tersebut 18 kemudian diarahkan untuk melakukan pembelian gula kristal rafinasi dari produk pabrik gula kristal rafinasi dalam negeri. Gula Kristal Putih (Gula Pasir) Gula kristal putih merupakan gula yang paling banyak digunakan untuk rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula di dekat perkebunan tebu dengan cara menggiling tebu dan melakukan proses pemutihan. Gula kristal putih dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu gula kristal putih ICUMSA 250, Gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA 250-350, dan Gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA 350-450. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka warna gula akan semakin cokelat dan rasanya akan semakin manis. Tahapan proses memproduksi gula kristal putih antara lain tebu → gilingan → nira → evaporator → kristal → sentrifugal → sulfitasi → gula kristal putih (gula pasir). Pelaku industri gula kristal putih didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI dengan jumlah sebanyak hampir 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Produksi gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja, yaitu PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu, dan Sugar Group. Secara keseluruhan pangsa produksi gula kristal putih dapat dilihat dalam gambar berikut : (12) 1.36% (10) 1.78% (11) 1.42% (13) 0.98% (9) 4.15% 0.84%(14) 0.38%(15) 18.96%(01) (08) 5.59% (07) 6.16% (06) 6.24% (05) 8.61% 18.72% (02) (4) 9.16% (01) Sugar Grop (04) PT Gula Madu Plant (07) PTPN IX (10) PT Pemuka Sakti Manis Indah (13) PTPN XIV 15.64% (03) (02) PTPN X (05) PT RNI (08) PTPN VII (11) PT Madubaru (14) PT Gorontalo (03) PTPN XI (06) PT Kebon Agung (09) PT RNI II (12) PTPN II (15) PT Laju Perdana Indah Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2010 Gambar 1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia Tahun 2009 19 Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa PTPN X, PTPN XI, dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun 2009 yaitu 18.72 persen, 15.64 persen, dan 18.96 persen. Sugar Group merupakan satu-satunya perusahaan yang telah efisien dalam industri gula sehingga perusahaan ini mampu menjadi leader dalam industri gula kristal putih. Kemampuan industri gula swasta didukung oleh teknologi modern dan pola usaha integratif yang telah dijalankan, sehingga terbukti mampu memberikan daya saing yang tinggi. 2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Pergulaan Indonesia Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting Indonesia. Industri pergulaan di Indonesia dimulai pada tahun 1673 yaitu sejak berdirinya pabrik gula tebu pertama di Batavia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930 dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dan rendemen mencapai 11.0 persen hingga 13.8 persen. Produksi puncak pernah mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Sudana, 2000). Sepanjang sejarahnya, industri gula termasuk produk yang paling teregulasi diantara produk-produk lainnya. Industri gula merupakan salah satu yang tingkat distorsinya paling tinggi. Hal ini dikarenakan disamping gula termasuk dalam produk pokok yang bernilai strategis dalam kebutuhan masyarakat, struktur pasar gula oligopoli. Dikatakan ologopoli sebab sekalipun perkebunan tebu diusahakan oleh ribuan petani namun produksi gula hanya dihasilkan oleh puluhan pemain yaitu pabrik gula nasional yang bernaung dibawah pengusahaan negara maupun swasta. Sebagai komoditas yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap industri pergulaan nasional. Kebijakan yang diterapkan pemerintah tersebut tidak hanya berkaitan dengan input, produksi, dan pemasaran saja tetapi sudah mencakup 20 dimensi yang cukup luas hingga pada kebijakan harga dan kebijakan impor. Kebijakan yang mempengaruhi pasang surut industri pergulaan nasional disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional Kebijakan INPRES No. 9 Tahun 1975, 22 April 1975 Perihal Tujuan Intensifikasi tebu (TRI) Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Kepmen Perdagangan dan Koperasi No.122/Kp/III/81, 12 Maret 1981 Tata niaga gula pasir dalam negeri Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987 Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik Budidaya tanaman Memberikan kebebasan kepada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar UU No.12/1992 Pemberian peranan pada Inpres No 5 Tahun 1997, Program pengembangan pelaku bisnis dalam rangka 29 Desember 1997 tebu rakyat perdagangan bebas Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998 Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997 Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992 Kep Menperindag No. 25 /MPP/Kep/1/1998 Tata niaga impor gula untuk Komoditas yang diatur menjaga kelancaran arus tata niaga impornya barang dilakukan oleh importir produsen (IP) Kepmenperindag No. 505/MPP/Kep/10/1998 Perdagangan dan distribusi minyak goreng dan gula pasir Perdagangan dan distribusi gula pasir hasil produksi PT Perkebunan Nusantara/PT Rajawali Nusantara Indonesia ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kepmenhtbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999 Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi 21 Kep Menperindag No. 230/MPP/Kep/6/1999, 4 Juni 1999 Menciptakan iklim Mencabut perdagangan minyak goreng Kepmenperindag No. dan gula pasir yang 505/MPP/Kep/10/1998 berorientasi pasar Kep Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999 Tata niaga impor gula Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula dengan pembatasa jumlah importir dan izin impor hanya untuk importir produsen Kep Menperindag No. 717/MPP/Kep/12/1999 Pencabutan tata niaga impor gula dan beras Impor gula dan beras dapat dilaksanakan oleh importir umum Penetapan tarif bea masuk atas impor beras dan gula Untuk menjaga kepentingan petani dan konsumen tarif bea masuk atas impor gula sebesar 20 persen (gula mentah) dan 25 persen (gula kristal putih) Perubahan bea masuk Peningkatan efektivitas bea masuk melalui penggantian dari tarif ad-valorem menjadi tarif spesifik Tata niaga impor gula Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen. Ketentuan impor gula Pembatasan pelaku impor gula, jumlah pasokan gula impor, kualitas gula, waktu impor dan harga penyangga atau penjamin Kepmenkeu No. 568/KMK.01/1999 Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002 3 Juli 2002 Kep Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002 SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004, 17 September 2004 Perubahan atas keputusan menteri Kepmen Perdagangan perindustrian dan No.02/M/Kep/XII/ 2004, perdagangan No. 7 Desember 2004 527/MPP/Kep/9/2004 tentang impor gula Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 3 800.00 per kilogram dan atau apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan 22 Perubahan atas Keputusan Menteri Perdagangan No.02/M/Kep/XII/200 Kep Menperindag No. 4 tentang perubahan 08/M-DAG/ Per/4/2005 atas Keputusan Menperindag No. 527/2004 tentang impor gula Permendag No. 18/MDAG/PER/4/2007 Permenkeu No. 86/PMK.010/2005 Ketentuan impor gula tidak hanya mengatur tentang harga patokan tetapi juga jumlah pasokan Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 4 900.00 per kilogram dan apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Keringanan tarif bea masuk atas impor gula Gula tebu dengan ICUMSA minimal 1200 IU bea masuk menjadi Rp 250 per kilogram dan gula bit, gula murni menjadi Rp 530 per kilogram Permentan No. Pedoman pelaksanaan 57/Permentan/KU.430/7/ kredit ketahanan 2007 Pangan dan Energi Besar kredit untuk usahatani tebu Rp 12 500 000.00 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 5 000.00 per kilogram dan atau apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Pemberlakuaan Permenperind No.83/M- Standar Nasional IND/Per/11/2008 Indonesia (SNI) gula kristal rafinasi Penggunaan sertifikat produk tanda standart nasional secara wajib agar menghasilkan gula kristal rafinasi yang sesuai dengan persyaratan SNI Program Permenperind No. 91/M- Restrukturisasi IND/PER/11/2008 Mesin/Peralatan Pabrik Gula Dalam rangka mendukung revitalisasi pabrik gula melalui keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan pabrik gula guna peningkatan kapasitas produksi gula nasional Permendag No. 19/MDAG/PER/5/2008 23 Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam rangka Permenperind No.95/M- Penerapan/Pemberlak IND/PER/11/2008 uan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Gula Kristal Rafinasi Permendag No. 560/MDAG/PER/4/2009 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula SK Mendag No.111/MDAG/2/2009 Penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula kristal rafinasi Permenkeu No.150/PMK.011/2009 24 September 2009 Penetapan tarif bea masuk atas impor gula Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/MPermenperind No. 44/M- IND/PER/11/2008 IND/PER/4/2010 tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula Untuk melaksanakan sertifikasi dan pengujian mutu produk gula kristal rafinasi Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 5 350.00 per kilogram dan apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat distribusi gula kristal rafinasi Menjaga stabilitas harga gula dalam negeri tarif bea masuk atas impor gula kristal rafinasi Rp 400 per kilogram dan gula mentah Rp 150 per kilogram Memperluas peserta program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula dengan syarat pabrik gula tidak memproduksi gula kristal rafinasi, mengganti sebagian/seluruh komponen peralatan dengan teknologi yang lebih baik Sumber : Sudana et al.(2002) dan Susila (2005a), KPPU (2010), Kementerian Perindustrian (2008), Kementerian Perdagangan (2009), dan Kementerian Keuangan (2009) Pada masa pra 1975 sebagian tanaman tebu diusahakan oleh pabrik gula di atas tanah persewaan. Tarif sewa tanah untuk tanaman tebu setiap tahun ditetapkan oleh pemerintah yang sekaligus meliputi persewaan tanah untuk tanaman tebu, dan tembakau. Penetapan tarif sewa tanah yang rendah setiap tahun menimbulkan masalah karena pemilik tanah hilang minatnya untuk menyewakan 24 tanahnya pada pabrik gula. Apabila ditetapkan terlalu tinggi, maka biaya pokok produksi gula akan menjadi tinggi pula. Amang (1993) menjelaskan bahwa pada tahun 1975 melalui Inpres No. 9 Tahun 1975 pemerintah menghapus sistem sewa tanah dan menggantikannya dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Dalam sistem ini diintrodusir paket kredit dan input yang bertujuan mendorong petani perorangan bergantung dalam suatu kelompok untuk menanam tebu ditanahnya. Pada sistem TRI ini juga dimaksudkan agar terdapat suatu pemisahan yang jelas antara tanggung jawab produsen tebu (dilakukan oleh petani) dan pengolahan tebu menjadi gula pasir (oleh pabrik gula). Pada tahun 1980 pemerintah melakukan modifikasi sistem TRI dengan memberikan pengarahan kepada pabrik gula untuk memberi bimbingan dan bantuan langsung kepada petani melalui Koperasi Unit Desa (KUD) baik dalam hal penyediaan benih, pengelolaan lahan, panen, dan proses pengangkutan. Namun demikian, Hariyati (2003) mengemukakan bahwa sejak dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 1975 telah merubah sejarah baru yang merombak sistem persewaan perkebunan menjadi sistem tebu rakyat. Sejak saat itu kehadiran petani sebagai partner pabrik gula menyebabkan terjadinya pemisahan tanggung jawab, produksi, dan pengolahan, sehingga dalam produksi gula terbagi menjadi dua segi yaitu produksi tebu dan industri pengolahannya. Pelaku utama dalam produksi gula terbagi menjadi petani dan pabrik gula sehingga kebijakan produksi gula tidak boleh terlepas dari perilaku keduanya. Harapan bahwa kehidupan ekonomi petani dapat meningkat melalui program TRI tidak terwujud. Selama pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 1975 segala hal menyangkut tebu mulai dari penyediaan lahan, proses tebang, dan angkut tebu serta penggilingan diatur dan dikuasai KUD yang ditunjuk pemerintah. Akibatnya petani menjadi pihak yang dirugikan, tingkat keuntungan yang diperoleh petani dari tanaman tebu lebih kecil daripada jenis tanaman lain, sehingga secara psikologis petani kehilangan kebebasan untuk mengolah lahan pertaniannya sendiri. Menyikapi perkembangan yang negatif akan pelaksanaan TRI serta seiring dengan semakin menurunnya produksi gula nasional dan tingkat kebutuhan konsumsi gula nasional yang terus meningkat pemerintah kemudian mencabut Inpres No. 9 Tahun 1975. Pencabutan kebijakan ini diikuti dengan 25 Keputusan Menperindang No. 25/MPP/Kep/I/1998 yang intinya menetapkan BULOG tidak lagi menangani perdagangan gula. Hafsah (2003) menyatakan penerbitan keputusan ini terjadi karena adanya keterikatan Indonesia dengan IMF (Internasional Monetary Fund) dengan Letter of Intent-nya terutama tentang pelaksanaan butir nomor 44 dari Letter of Intent tersebut tentang pembebasan tata niaga komoditi pertanian termasuk gula, yang harus dilakukan sejak Januari 1999. Pada tahun 1999 ketika krisis ekonomi Indonesia mulai membaik harga gula dalam negeri mengalami penurunan. Hal ini disebabkan harga gula dunia yang terus menurun, nilai tukar rupiah yang menguat serta tidak adanya tarif impor. Keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut monopoli BULOG dalam pengadaan gula dan menerapkan tarif impor gula sebesar nol persen mengakibatkan industri gula lokal terancam. Kenyataannya pada saat itu, gula impor lebih murah daripada harga gula lokal menunjukkan ketidakefisienan dari industri gula lokal di Indonesia sehingga banyak pabrik gula domestik terancam bangkrut karena tidak dapat bersaing dengan gula impor. Wibowo (2009) menyatakan kebijakan tersebut telah membawa ekonomi pertebuan nasional berada pada titik nadir menuju liberalisasi yang menekan produksi tebu petani. Tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk merevitalisasi agribisnis tebu sehingga parameter produksi dan produktivitas serta nilai tambah agribisnis berbasis tebu benar-benar menunjukkan kinerja yang memprihatinkan. Pemerintah mengeluarkan SK Menhutbun No. 228/KPTS-IV/1999 untuk melindungi produsen dalam negeri dengan menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2 500.00 per kilogram. Namun, kebijakan ini tidak didukung oleh rencana dan tindak lanjut dari pemerintah sehingga kebijakan ini menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, ketika pemerintah menetapkan kebijakan ini ternyata pemerintah dan BUMN perkebunan tidak memiliki dana yang memadai. Akibatnya kebijakan tersebut tidak terealisasi dan harga gula petani masih mengalami ketidakpastian. Pemerintah kemudian mengambil jalan keluar dengan mengeluarkan SK Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999 dengan melakukan pembatasan jumlah impor dan hanya memberikan izin impor kepada importir produsen. Melalui kebijakan ini pemerintah mampu mengendalikan volume impor sehingga harga gula dalam negeri dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan. 26 Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Walau tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri sudah terlalu banyak serta masih adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Dalam jangka waktu 4 bulan melalui surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 717/MPP/Kep/12/1999 pemerintah mencabut tata niaga impor gula dan beras yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2000, sehingga perdagangan komoditas gula diserahkan kepada mekanisme pasar. Melalui surat Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.01/1999 yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2000 maka semua importir baik importir umum (IU) maupun importir produsen (IP) termasuk BULOG diperbolehkan mengimpor gula dengan ketentuan dikenakan bea masuk sebesar 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih. Namun, karena dirasa tarif advalorem tersebut kurang efektif maka melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 324/KMK.01/2002 tarif tersebut diganti menjadi tarif spesifik yaitu Rp 550.00 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih. Tingkat tarif ini terus berlaku hingga tahun 2004. Pada tahun 2004 dalam rangka mendukung program akselerasi pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakan sebelumnya, yaitu dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 dimana pemerintah kembali melibatkan BUMN seperti BULOG dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia dalam perdagangan gula di Indonesia. BULOG mempunyai peran sebagai distributo tunggal untuk memasarkan gula milik PTPN dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) melalui jaringannya yang tersebar diseluruh Indonesia. Ketentuan impor gula yang tertuang dalam SK Menperindag No. 527/2004 telah mendatangkan permasalahan baru dalam industri pergulaan nasional. Hal ini mengingat dalam kebijakan tersebut pemerintah membagi pemasaran gula menjadi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi. KPPU (2010) menyatakan 27 bahwa segmentasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan tidak seimbangnya pasokan dan permintaan. Pemisahan yang dilakukan untuk menjaga gula kristal putih diatas Harga Dasar Gula (HDG) tidak efektif sebab adanya perbedaan harga yang cukup signifikan. Kondisi ini yang membuat gula kristal rafinasi yang seringkali dimaksudkan untuk kepentingan industri banyak ditemukan beredar dipasaran. Target produksi gula konsumsi tahun 2009 tidak tercapai, sedangkan sebagian stok gula konsumsi nasional diserap oleh industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah serta rumah tangga, sehingga terjadi lonjakan harga di pasar dunia maupun di pasar domestik. Industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah sebelumnya menggunakan pasokan gula kristal rafinasi. Oleh karena itu, pada tahun 2009 pemerintah menetapkan penurunan tarif bea masuk impor gula kristal rafinasi dan gula mentah melalui revisi peraturan Menteri Keuangan No. 150/PMK.011/2009, dimana tarif bea masuk gula kristal rafinasi turun 49.4 persen menjadi Rp 400.00 per kilogram dari sebelumnya Rp 700.00 per kilogram dan gula mentah dari Rp 550.00 per kilogram menjadi Rp 150.00 per kilogram. Pemerintah memperpanjang pemberlakuan tarif bea masuk tersebut hingga April 2010. Tata niaga penyaluran gula nasional pada tahun 2010 dan 2011 tidak tertata dengan baik sekalipun pemerintah telah secara serius mengatur distribusi gula kristal rafinasi melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.111/MDAG/2/2009 tentang penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula. Penyaluran gula kristal rafinasi tidak lagi langsung ditujukan kepada industri pengguna tetapi melalui distributor, sehingga gula kristal rafinasi impor banyak yang masuk ke pasar konsumsi rumah tangga dan industri kecil. Pemerintah tidak melakukan sistem pengawasan yang baik terhadap peredaran gula kristal rafinasi di pasar umum. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mewujudkan swasembada gula. Target untuk swasembada gula sebenarnya telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2002 pemerintah untuk tercapai pada tahun 2007. Namun kemudian target tersebut mundur menjadi tahun 2008, lalu mundur lagi menjadi tahun 2009 walaupun dengan catatan swasembada hanya untuk gula konsumsi 28 masyarakat atau gula kristal putih dan bukan untuk industri. Kegagalan target swasembada gula ini produksi gula nasional yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional dan kurang ketertarikan investor dalam menanamkan modal di sektor perkebunan tebu di Indonesia. Bahkan saat ini target swasembada dicanangkan oleh pemerintah tercapai pada tahun 2014. 2.4. Kebijakan Pergulaan di Negara-Negara Anggota ASEAN-China Free Trade Area Perkembangan ekonomi dunia saat ini telah mengarah pada keterbukaan hubungan ekonomi antar bangsa. Dewasa ini, dunia melihat ASEAN sebagai kawasan yang strategis. ASEAN mampu membuktikan diri sebagai perhimpunan yang mampu menciptakan stabilitas di kawasannya serta mampu meningkatkan kekuatan ekonominya. Salah satu mitra dagang terbesar ASEAN adalah China. Kesepakatan perdagangan yang tengah dijalankan oleh kedua pihak tersebut tentunya hanya akan memberikan dampak negatif apabila kedua belah pihak tidak mampu melindungi produk dalam negerinya. Demikian halnya untuk komoditas pertanian seperti gula yang juga menjadi bagian dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China. Masing-masing negara ASEAN yang memproduksi gula dan China yang selain produsen juga pengimpor gula turut menerapkan kebijakannya untuk melindungi dan meningkatkan kapasitas produksi gula. Thailand Kebijakan industri gula di Thailand dijalankan oleh Thai Cane and Sugar Board yang memiliki keanggotaan petani (grower), pabrik gula (miller) dan pemerintah. Dalam berusahatani, para petani tebu di Thailand mendapat bantuan kredit dari bank dengan bunga di bawah harga pasar. Besarnya kredit ini disesuaikan dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik. Hafsah (2003) menyatakan bahwa Thailand telah menetapkan kebijaksanaan pasar domestik dan impor gulanya dengan cara membagi produksi gula domestik menjadi tiga kuota yaitu kuota A untuk pasar domestik, kuota B untuk ekspor, dan kuota C untuk kelebihan kuota A dan B. Dalam pelaksanaannya jumlah kuota A ditetapkan oleh pemerintah Thailand, sedangkan kuota B untuk ekspor gula dilakukan oleh Thai Cane and Sugar Board. Penetapan harga tebu petani dilakukan oleh pemerintah deengan menggunakan total penerimaan pabrik 29 gula dari kuota A dan kuota B sebagai dasar perhitungannya. Tidak hanya itu, harga gula domestik juga ditunjang oleh pengenaan tarif bea masuk impor sebesar 65 persen untuk volume impor dengan minimum akses sebesar 13 105 ton dan pemberlakuan tarif sebesar 104 persen untuk impor gula diatas minimum akses. Filipina Filipina merupakan salah satu contoh negara yang mempunyai kebijakan pembangunan gula nasional yang komprehensif, saling terkait dan konsisten satu dengan yang lainnya baik di tingkat makro hingga mikro maupun nasional hingga daerah. Sama halnya dengan Indonesia, Filipina juga mencanangkan program swasembada gula sehingga agribisnis gula tidak terlepas dari perhatian utama pemerintahnya. Pambudy, et al. (2005) menyatakan bahwa Filipina mempunyai kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 5 juta orang dalam agribisnis gula. Luas lahan tebu Filipina saat ini mencapai 368 ribu hektar dengan produktivitas rata-rata yang baru mencapai 60 ton per hektar yang masih jauh lebih rendah dari produktivitas tebu di Thailand yang mencapai 180 ton per hektar. Namun demikian, data hingga bulan Juni 2003 menunjukkan bahwa produksi gula di Filipina sudah mencapai 2.12 juta ton. Pencapaian jumlah produksi gula yang cepat ini menjadikan target swasembada gula di Filipina tercapai pada tahun 2003, lebih cepat dari target yang dicanangkan yaitu tahun 2007. Pemerintah Filipina membebankan tanggung jawab pergulaan pada Sugar Regulatory Administration (SRA) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga ini mempunyai kemampuan untuk mengikat semua institusi yang terlibat dalam agribisnis gula di Filipina. Lembaga ini mempunyai mandat meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan sektor industri gula nasional dengan lebih meningkatkan partisipasi sektor swasta serta meningkatkan kesejahteraan para buruh gula (www.sra.gov.ph). Kebijakan umum yang diterapkan untuk melindungi industri gula di Filipina antara lain : 1. Free enterprise, yaitu baik penduduk lokal maupun asing dapat berpartisipasi dalam perdagangan gula selama mempunyai kapabilitas keuangan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah. 30 2. Gula yang diproduksi didalam negeri diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan prioritas berikutnya untuk memenuhi kuota ekspor gula ke Amerika Serikat 3. Impor gula diusahakan dalam bentuk raw sugar agar dapat memberikan keuntungan padarefiners. Impor gula harus dididasarkan atas Executive Order yang diterbitkan oleh Presiden atas rekomendasi Departemen Pertanian untuk kemudian ditenderkan diantara traders. Selain kebijakan umum, pemerintah Filipina juga melakukan proteksi terhadap pasar pergulaan nasionalnya dengan menjaga harga pasar domestik relatif tinggi melalui kebijakan tarif bea impor. Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah Filipina adalah dengan menetapkan minimum akses sebesar 150 ribu ton dengan tarif 50 persen dan sebesar 80 persen untuk impor gula atas minimun akses. Sedangkan untuk impor gula di negara ASEAN pemerintah memberlakukan tarif preferensi sebesar 65 persen (Hafsah, 2003). China Industri gula China memiliki sejarah panjang dan telah mengalami perubahan yang signifikan dalam beberapa tahun ini. Industri gula China telah tumbuh lebih dari 300 persen sejak reformasi ekonomi dimulai pada tahun 2004. Pertumbuhan industri pergulaan di China disertai dengan berbagai tekanan baik internal maupun eksternal yang telah mengakibatkan restrukturisasi mesin dan peralatan pabrik gula yang signifikan di dalam negeri. Pemerintah China berupaya untuk mengejar pengembangan industri gula melalui serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan surplus produsen dan petani, peningkatan kualitas produk gula dan perlindungan yang besar bagi lingkungan. Manajemen teknologi yang kreatif dan inovatif menjadi sarana utama pencapaian pengembangan industri gula China (Zhu, et al. 2007). Perkembangan konsumsi yang lebih tinggi daripada produksi membuat China saat ini menjadi salah satu konsumen gula terbesar di dunia. Sekalipun China merupakan negara importir, namun pemerintah China juga memberikan kebijakan proteksi dan promosi untuk industri pergulaannya. Dalam merumuskan kebijakannya pemerintah China melibatkan State Development and Reform Commission (SDRC) yang bertanggung jawab membuat perencanaan 31 pembangunan industri gula jangka panjang, State Economic and Trade Commision (SETC) yang bertanggung jawab terhadap pengendalian produksi, kementerian pertanian yang bertanggung jawab langsung terhadap pengaturan lahan tebu, Kementerian perdagangan yang mengatur ekspor dan impor gula, serta China Sugar Association yang membantu pemerintah dalam melaksanakan pengendalian kebijakan makro dan masukan bagi pengembangan industri gula. Adapun serangkaian kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah China dalam mendukung industri pergulaannya antara lain (Pambudy, et al. 2005) : 1. Menerapkan sistem tanggung jawab produksi keluarga di wilayah pedesaan yang membangkitkan antusiasme para petani tebu untuk meningkatkan produksi. 2. Memberikan insentif berupa pangan kepada petani tebu untuk menjamin kecukupan pangan dan menjaga agar tetap menanam tebu. 3. Memberikan subsidi berupa pembangunan irigasi pada lahan-lahan yang ditanami tebu dan pembukaan lahan kering dataran tinggi untuk dijadikan lahan tebu. 4. Melepaskan seluruh kendali pembelian dan kontrak penjualan gula pada mekanisme pasar. 5. Menerapkan pajak pendapatan yang cukup tinggi terhadap pabrik gula sebesar 33 persen dan PPN sebesar 17 persen. 6. Menerapkan kebijakan proteksi dengan menerapkan kuota impor pada tahun 2003 sebesar 1.85 juta ton, dan tahun 2004 sebesar 1.94 juta ton dengan tarif sebesar 30 persen untuk gula putih dan 20 persen untuk gula mentah. Impor diatas kuota yang telah ditetapkan dikenakan tarif impor sebesar 76 persen. Pemerintah China juga tengah menerapkan konsep pembangunan keberlanjutan untuk industri gula. Li, et al. (2006) menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan industri gula China dilakukan sedemikian rupa sehingga produksi berada dalam kondisi yang seimbang dengan untuk input sumberdaya yang terbarukan seperti energi. Dorongan ini dilakukan dengan menekankan pada pengurangan dampak negatif lingkungan yang signifikan terkait dengan produksi gula di China dan seluruh dunia. Sebagai bagian dari tujuan jangka panjangnya, pemerintah China juga akan melakukan penekanan pada 32 pemanfaatan produk hilir yang selama ini hanya dikenal sebagai limbah. Sehingga, arah industri gula di China akan melalui proses produksi yang dikenal dengan 3P atau “Planting-Processing-Production Cycle”. 2.5. Tinjauan Studi Terdahulu Sanjaya (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan produksi tebu Indonesia jauh lebih responsif jika dilakukan dengan pendekatan intensifikasi, artinya peningkatan penawaran dilakukan dengan meningkatkan produktivitas tanaman tebu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan terkait dengan kebijakan harga faktor-faktor input produksi produk pertanian seperti kebijakan harga pupuk, harga pestisida, dan tingkat upah buruh. Berdasarkan nilai elastisitas penawaran tebu di Indonesia, jumlah penawaran tebu pada tahun 2025 mendatang diproyeksikan sebesar 70.531 juta ton sedangkan proyeksi jumlah kebutuhan total tebu nasional adalah sebesar 63.158 juta ton sehingga pada tahun 2025 dapat disimpulkan bahwa program swasembada gula dapat tercapai. Studi mengenai liberalisasi perdagangan gula yang dikaji oleh Hariyati (2003) menyatakan bahwa penerapan liberalisasi gula ditandai dengan penghapusan tarif diikuti dengan pelepasan tata niaga gula yang berarti stok gula sama dengan nol. Kondisi ini berdampak pada penurunan penawaran secara drastis sebesar 35.9 persen dan kenaikan harga gula domestik sebesar 14.3 persen, kenaikan harga gula petani sebesar 10.6 persen meningkatkan produksi gula. Pemenuhan kebutuhan nasional yang dilakukan dengan impor menyebabkan meningkatnya impor gula sebesar 34.5 persen. Kenaikan impor gula indonesia menyebabkan kenaikan harga impor dunia sehingga juga akan mengakibatkan kenaikan harga gula dunia. Refomasi tarif telah menjadi isu penting di awal dekade kedua sejah abad 20. Tarif yang tinggi dipercaya menjadi penyebab kekacauan ekonomi pada beberapa negara. Ellison, et al. (1995) mempelajari voting Kongres Reformasi Tarif untuk gula pada tahun 1912 untuk menyelidiki pengaruh para konstituen terhadap kebijakan perdagangan terutama kebijakan tarif. Hasil studi yang diperoleh kongres reformasi tarif tersebut terjadi karena adanya sebuah gerakan 33 nasional yang memang menginginkan reformasi tarif. Akibat dari hal inilah yang kemudian membuat sebagian kalangan menilai bahwa legislator atau para konstituen memiliki tingkat visibilitas dan akuntabilitas politik yang tinggi dalam pengaturan sebuah kebijakan perdagangan. Selain itu, sifat dari industri gula dan tarif gula itu sendiri menyebabkan munculnya sekelompok produsen yang ingin bersaing. Dalam mengevaluasi efektivitas dari kelompok-kelompok ini, penulis menjelaskan bahwa mereka hanya terkonsentrasi pada pencarian keuntungan yang relatif kurang penting peranannya dalam industri gula. Terbentuknya kelompokkelompok ini merupakan dampak yang timbul dari kebijakan pemerintah terhadap kebijakan penurunan tarif itu sendiri. Lebih lanjut studi mengenai tarif juga dikaji oleh Malian dan Saptana (2003) yang menyatakan bahwa penetapan tarif impor gula sebesar Rp 550.00 per kilogram untuk gula tebu (raw sugar) dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih (refined sugar) dalam kondisi harga gula dunia yang rendah dan nilai tukar rupiah yang makin menguat, belum cukup merangsang petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas pasokan tebu. Tanpa adanya perubahan kebijakan atau kebijakan tambahan bagi petani tebu, maka pendapatan bersih petani tebu relatif tidak meningkat. Dengan asumsi harga gula dunia sebesar US$ 225 per ton, nilai tukar rupiah antara Rp 8 500.00 sampai Rp 8 700.00, rendemen tebu 6.00 persen sampai 6.50 persen dan kepada petani diberikan management fee sebesar 20 persen, maka tarif spesifik yang dipandang layak bagi petani tebu berkisar antara Rp 950.00 per kilogram hingga Rp 1 300.00 per kilogram. Hutabarat (2011) menganalisis dampak pemotongan tarif dalam kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Metode analisis keseimbangan umum yang dilakukan menggunakan dua skenario yaitu (1) liberalisasi penuh (pemotongan tarif sebesar 100 persen) pada seluruh produk pertanian ASEAN dan China dan (2) liberalisasi penuh pada seluruh produk yang diperdagangkan ASEAN dan China. Pada skenario (1) memberikan hasil tingkat kesejahteraan masyarakat menurun sebesar Rp 128.96 miliar tetapi pada skenario (2) tingkat kesejahteraan meningkat sebesar Rp 2.878 triliun. Untuk kegiatan ekspor, jumlah ekspor hasil olahan pertanian menurun sebesar 0.74 persen sampai 24.64 persen pada skenario (1), sedangkan pada skenario (2) ekspor seluruh produk pertanian 34 menurun sebesar 0.6 persen sampai 28.21 persen. Untuk impor produk olahan pertanian pada skenario (1) meningkat antara 0.06 persen sampai 2.62 persen dan pada skenario (2) impor untuk seluruh produk pertanian meningkat antara 0.43 persen sampai 4.08 persen kecuali gandum menurun 0.15 persen. Sehingga skenario liberalisasi penuh bagi komoditas yang diperdagangkan di sektor pertanian belum tentu diikuti dengan perbaikan pada produksi dan ekspor komoditas andalannya. Hadi dan Nuryanti (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk pengembangan perekonomian gula nasional ke depan antara lain (1) mempertahankan kebijakan proteksi dengan pengenaan tarif Rp 550.00 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih yang dikombinasikan dengan pengaturan, pengawasan, dan pembatasan impor, (2) berjuang bersama negara yang tergabung dalam kelompok G-33 agar negara-negara maju dan berkembang tertentu menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan, dan (3) melakukan upayaupaya perbaikan efisiensi industri gula nasional, baik pada tingkat budidaya tebu maupun proses pengolahan di pabrik gula. Hasil studi simulasi kebijakan dalam suatu model ekonometrik industri gula domestik yang dilakukan oleh Susila (2005b), menunjukkan bahwa dalam situasi perdagangan yang distorsif, kebijakan yang berkaitan langsung dengan harga output lebih efektif dibandingkan kebijakan yang berkaitan dengan input, guna mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Kebijakan harga provenue lebih efektif bila dibandingkan dengan tariff-rate quota, tarif impor, dan subsidi input. Terhadap kebijakan pemerintah, perkebunan rakyat lebih responsif dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan perkebunan swasta. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah menciptakan medan persaingan yang lebih adil, industri gula Indonesia masih memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan harga provenue, tarif impor, tarif rate quota, dan subsidi input merupakan beberapa pilihan kebijakan guna pengembangan industri gula Indonesia. 35 Hasil penelitian Abidin (2000) tentang liberalisasi perdagangan gula menyatakan bahwa setiap perubahan dalam harga dunia atau tingkat proteksi akan mempengaruhi harga ekspor maupun impornya. Sebagian besar negara eksportir (70 persen) memberikan subsidi ekspor antara 8 persen sampai 102 persen dan 30 persen negara eksportir memberlakukan pajak ekspor antara 6 persen sampai 52 persen yang berarti bahwa negara eksportir pada umumnya merangsang ekspor melalui subsidi. Sedangkan di negara importir, sebagian negara importir (54 persen) memberikan subsidi impor antara 17 persen sampai 48 persen dan 46 persen negara importir lainnya memberlakukan pajak impor atau bea masuk sebesar 7 persen sampai 173 persen. Ini menunjukkan adanya kepentingan yang sangat beragam dari negara eksportir maupun importir yang saling memberlakukan proteksi kepentingan negaranya. Suparno (2004) yang melakukan penelitian tentang evaluasi perubahan kesejahteraan petani tebu pasca liberalisasi perdagangan gula dari tahun 19952002 menjelaskan bahwa kebijakan penghapusan tata niaga gula oleh BULOG menurunkan kesejahteraan bersih (net walfare) masyarakat. Hal ini dikarenakan kenaikan harga eceran gula dapat menurunkan daya beli konsumen yang dipicu oleh intervensi IMF melalui pengurangan subsidi. Selain itu, kenaikan impor gula sebesar 20 persen yang disebabkan penurunan tarif impor nol persen menyebabkan penurunan kesejahteraan baik dari sisi konsumen maupun produsen. Walaupun terjadi kenaikan penerimaan pemerintah, namun tidak mampu mengkompensasi penurunan kesejahteraan tersebut. 36 37 III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Fungsi Permintaan Gula Keadaan konsumsi dan permintaan suatu komoditas sangat menentukan banyaknya komoditas yang dapat digerakkan oleh sistem tata niaga dan memberikan arahan bagi produsen berapa besar mereka harus memproduksi (Limbong dan Sitorus, 1987). Secara umum dikatakan bahwa selera dan kekuatan membeli sebagai faktor-faktor yang menentukan konsumsi sedangkan dalam teori ekonomi, permintaan terhadap gula dapat dirumuskan sebagai berikut : 𝐷𝑥 = 𝑓 𝐻𝑥, 𝐼, 𝐻𝑦, 𝑃, 𝑆 ………………………...………….….....….(01) dimana : Dx = Jumlah produk gula yang diminta Hx = Harga komoditas gula I = Pendapatan Hy = Harga barang lain yang berkaitan dengan konsumsi gula P = Jumlah penduduk atau konsumen gula S = Selera Seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang secara rasional dihadapkan pada berbagai pilihan yang lengkap dan konsisten tentang sederetan preferensinya. Koutsoyiannis (1985) memberikan asumsi untuk teori indifference curves sebagai berikut : 1. Rasionalitas Konsumen diasumsikan rasional, dimana berusaha memaksimumkan utilitinya berdasarkan pendapatannya dan harga pasar tertentu. Konsumen juga diasumsikan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang semua informasi yang relevan. 2. Utiliti adalah ordinal Konsumen dianggap dapat menyusun secara berurutan pilihan-pilihannya terhadap berbagai kelompok barang berdasarkan tingkat kepuasan setiap kelompok. 3. Tingkat substitusi marginal yang menurun (diminishing marginal rate of substitution). Pilihan-pilihan (preferences) disusun dalam bentuk kurva 38 indiferen yang diasumsikan cembung (convex) pada titik origin. Hal ini menunjukkan bahwa slope kurva indiferen adalah menaik. Slope kurva indiferen ini disebut sebagai tingkat substitusi marginal dari suatu komoditi. 4. Total utiliti tergantung pada kuantitas komoditi yang dikonsumsi. Secara matematis ditulis : U = f(q1,q2,…,qn). 5. Konsistensi dan transitivitas dalam pilihan Pilihan preferensinya dibatasi oleh kendala pendapatannya, oleh karenanya problem pilihan konsumen adalah menentukan sejumlah konsumsi yang optimum didalam opportunity set-nya. Fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang diturunkan dari fungsi konsumsi atau utilitas konsumen. Konsumen terdiri dari dua golongan yaitu konsumen akhir atau konsumen yang mengolah lagi produk yang dikonsumsinya (industri). 3.1.1. Permintaan Gula oleh Rumah Tangga Secara umum, fungsi permintaan diturunkan dari fungsi utilitas konsumen yang dimaksimumkan dengan kendala pendapatan (Henderson dan Quandt, 1980). Diasumsikan fungsi utilitas konsumen adalah sebagai berikut : 𝑈 = 𝑈 𝑄𝐺 , 𝑅 ………………………………………………………..(02) dimana : U = Total utilitas konsumen mengkonsumsi gula QG = Jumlah konsumsi gula R = Jumlah konsumsi komoditi lain Jika harga gula dinotasikan sebagai PG dan harga barang lain sebagai Pr dengan asumsi semua pendapatan digunakan utuk mengkonsumsi barang, maka fungsi kendala pada tingkat pendapatan tertentu (Y) bagi konsumen adalah : 𝑌 = 𝑃𝐺 ∗ 𝑄𝐺 + 𝑃𝑟 ∗ 𝑅………..………………………………………….(03) Dengan memasukkan fungsi kendala (persamaan 03) ke dalam fungsi utilitas (persamaan 02) maka dapat digambarkan fungsi Langrange sebagai berikut : 𝑍 = 𝑈 𝑄𝐺 , 𝑅 + λ(𝑌 − 𝑃𝐺 ∗ 𝑄𝐺 − 𝑃𝑟 ∗ 𝑅)……………………………..(04) dimana : λ = Lagrange Multiplier 39 Untuk mendapatkan utilitas maksimum, maka syarat pertama adalah turunan parsial dari fungsi Lagrangian harus sama dengan nol. 𝜕𝑍 𝜕𝑈 = − 𝜆𝑃𝐺 = 0 ……..…………………………………..……..(05) 𝜕𝑄𝐺 𝜕𝑄𝐺 𝜕𝑍 𝜕𝑈 = − 𝜆𝑃𝑟 = 0 ………..……………………….…………..……..(06) 𝜕𝑅 𝜕𝑅 𝜕𝑍 = −(𝑃𝐺 ∗ 𝑄𝐺 + 𝑃𝑟 ∗ 𝑅 − 𝑌) = 0 ……..……….………….………..(07) 𝜕𝜆 Dari persamaan 05, 06, dan 07 diatas maka diperoleh : 𝜕𝑈 𝜕𝑈 𝜕𝑄𝐺 ……..…………………………...……..(08) = 𝜆 𝑃𝐺 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝜆 = 𝑃𝐺 𝜕𝑄𝐺 𝜕𝑈 𝜕𝑈 𝜕𝑅 …………..……..…….………….………..(09) = 𝜆𝑃𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝜆 = 𝜕𝑅 𝑃𝑅 𝑃𝐺 ∗ 𝑄𝐺 + 𝑃𝑟 ∗ 𝑅 = 𝑌 …….………..………..…….………….………..(10) jika 𝜕𝑈 𝜕𝑄𝐺 = 𝑀𝑈𝐺 dan 𝜕𝑈 𝜕𝑅 = 𝑀𝑈𝑟 maka : 𝜆 = 𝑀𝑈𝐺 𝑃𝐺 = 𝑀𝑈𝑟 𝑃𝑟 …….………..………..…….……….………..(11) dan 𝑀𝑈𝐺 𝑀𝑈𝑟 = 𝑃𝐺 𝑃𝑟 = 𝑀𝑅𝑆𝐺,𝑟…….…………….……….………..(12) Persamaan 12 menyatakan bahwa kepuasan konsumen akan maksimum pada kondisi dimana rasio marjinal utilitas terhadap harga sama untuk semua komoditi, yaitu sebesar koefisien pengganda Lagrangian (𝜆). Penyelesaian PG dan Pr pada persamaan 12 disubstitusikan pada persamaan 10 sehingga diperoleh fungsi permintaan terhadap gula yaitu : 𝑄𝐺 = 𝑓(𝑃𝐺 , 𝑃𝑟 , 𝑌) ………………………………………………..……..(13) Persamaan tersebut menyatakan bahwa permintaan gula kristal putih dipengaruhi oleh harga gula, harga komoditi lain sebagai alternatif, dan tingkat pendapatan konsumen. Dengan asumsi bahwa model permintaan bersifat dinamis maka elastisitas permintaan atas harga gula, elastisitas permintaan atas harga komoditi lain, dan elastisitas pendapatan dapat dihitung baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dolan (2006) menambahkan bahwa selain dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang lain, dan pendapatan permintaan suatu barang juga dipengaruhi selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, dan harapan harga. 40 3.1.2. Permintaan Gula oleh Industri Sebagai bahan baku untuk industri makanan dan minuman, permintaan terhadap gula dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu melalui fungsi keuntungan. Produsen yang rasional akan berproduksi pada tingkat keuntungan yang maksimum (Debertin, 1986). Input yang digunakan pada kondisi keuntungan maksimum berada pada jumlah yang optimal. Adapun persamaan keuntungan dapat dituliskan sebagai berikut : 𝜋 = 𝑃. 𝑌 − dimana : 𝑟𝑖 𝑋𝑖 ………………………………………………………(14) 𝜋 = Keuntungan P = Harga output yang dihasilkan oleh industri makanan dan minuman Y = Jumlah produksi ri = Harga input gula Xi = Jumlah input gula dengan menurunkan fungsi keuntungan tersebut terhadap masing-masing input maka diperoleh : 𝛿𝜋 𝛿𝑌 𝛿𝑋𝑖 = 𝑃. 𝛿𝑋𝑖 − 𝑟𝑖 = 0………………………....………………(15) atau 𝑃. 𝑃𝑀𝑖 = 𝑟𝑖 ……………………………………….………………..(16) dimana PMi adalah produk marjinal dan P.PMi adalah nilai dari produk marginal input gula. Pada persamaan diatas penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.PMi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasi dari kondisi tersebut adalah permintaan suatu input oleh industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan (r), harga output (P), dan teknologi produksi (PMi). Disamping itu, permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistorsi pasar. Pada industri makanan dan minuman, permintaan terhadap gula selain dipengaruhi oleh harga gula juga dipengaruhi oleh harga input alternatif lain, yaitu harga pemanis alternatif dan tingkat suku bunga. Dalam model ekonomi, permintaan gula industri tersebut dituliskan sebagai berikut : 𝐷𝑓 = 𝑓(𝑃𝑓 , 𝑃𝑚 , 𝑖)…………………………………...…………….……..(17) 41 dimana Df adalah permintaan gula kristal rafinasi oleh industri makanan dan minuman, Pf adalah harga gula kristal rafinasi, Pm adalah harga produk makanan dan minuman, dan i adalah tingat bunga. 3.2. Fungsi Impor Gula Perdagangan internasional memungkinkan setiap negara melakukan spesifikasi produksi dan barang-barang tertentu sehingga mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dengan skala produksi yang besar. Adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh setiap negara menyebabkan negara tersebut berusaha menghasilkan produk dengan biaya yang relatif lebih rendah. Perbedaan sumber daya inilah yang akan menyebabkan perbedaan harga dan akan menentukan keputusan suatu negara untuk melakukan ekspor dan impor. P P DA P SA r ES DB SB PB x PW m PA s ED 0 QA Q Negara A (Eksportir) 0 QE Pasar Dunia Q 0 QB Q Negara B (Importir) Sumber : Tweeten, 1992 Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Ekspor-Impor Proses ekspor dan impor dunia diilustrasikan oleh Gambar 2. Suatu negara (negara A) akan mengekspor suatu komoditi gula ke negara lain (negara B) karena harga di negara A sebelum terjadinya perdagangan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Di negara A terjadi kelebihan produksi (excess supply) karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya, sehingga negara A berkesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak negara B mengalami kelebihan permintaan (excess demand) karena konsumsi domestiknya lebih 42 besar daripada produksi domestiknya sehingga harga di negara B lebih tinggi. Oleh karena itu, negara B membeli komoditi gula dari negara lain yang harganya relatif lebih murah. Komunikasi yang terjadi antara negara A dan negara B menyebabkan terjadinya perdagangan dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa sebelum terjadinya perdagangan dunia harga di negara A adalah P A, sedangkan di negara B adalah PB. Penawaran di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia lebih tinggi dari P A sedangkan permintaan di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia lebih kecil dari PB. Pada saat harga dunia (P W) sama dengan PA maka di negara A tidak terjadi excess supply (ES) namun di negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar s. Tetapi, jika harga dunia (P W) sama dengan PB maka dinegara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar r, namun di negara B tidak terjadi excess demand (ED). Dari PA dan PB tersebut maka akan terbentuk kurva ES dan ED di pasar dunia, dimana perpotongan antara kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar dunia sebesar P W. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara A akan mengekspor gula sebesar x dan negara B akan mengimpor gula sebesar m. Permintaan impor terjadi karena suatu negara membeli barang dari negara lain yang disebabkan karena berbagai faktor antara lain (1) produksi barang dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi, (2) barang tersebut sangat penting dalam proses kehidupan namun negara tersebut tidak dapat memproduksi dengan baik akibat adanya keterbatasan teknologi dan iklim, dan (3) suatu negara mempunyai teknologi tetapi tidak mempunyai bahan baku (dalam hal ini negara tersebut akan melakukan re-ekspor) (Purwanto, 2002). Indonesia merupakan negara importir untuk komoditas gula. Salah satu hal yang menentukan jumlah impor adalah konsumsi. Secara sederhana, persamaan impor gula dapat dinyatakan sebagai berikut : 𝑀𝐺 = 𝐶𝐺 − 𝑄𝐺 + 𝑆𝐺 …………………………….….…………………..(18) dimana: 𝑀𝐺 = Jumlah impor gula 𝐶𝐺 = Jumlah konsumsi gula 43 𝑄𝐺 = Jumlah produksi gula 𝑆𝐺 = Jumlah Stok gula Pendekatan selanjutnya didekati dari fungsi konsumsi yang membentuk fungsi permintaan yang dinyatakan sebagai berikut : 𝐶𝐺 = 𝑓(𝑃𝐺 , 𝑃𝑆, 𝑌, 𝑃𝑜𝑝, 𝐷𝑦 , 𝑆)………………………………………..…(19) dimana : 𝐶𝐺 = Jumlah konsumsi gula 𝑃𝐺 = Harga gula 𝑌 = Tingkat pendapatan 𝑃𝑜𝑝 = Jumlah Penduduk 𝐷𝑦 = Distribusi pendapatan 𝑆 = Selera Dari persamaan 19 dapat diketahui apabila harga gula menurun maka konsumsi akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Selain itu, konsumsi juga akan dipengaruhi oleh (1) harga komoditi lain yang bersifat substitusi dan komplementer, (2) jumlah penduduk, dan (3) laju pertumbuhan konsumsi. Sedangkan untuk impor, suatu negara akan mencari harga yang lebih murah. Oleh karena itu, nilai tukar akan mempengaruhi jumlah barang yang diimpor oleh suatu negara. Dengan demikian, persamaan impor dapat dinyatakan sebagai berikut : 𝑀𝐺 = 𝑓(𝑃𝐺 , 𝐶𝐺 , 𝐸𝑅, 𝑍, 𝑀𝐺(𝑡−1) )……………………………………..…(20) dimana : 𝑀𝐺 = Jumlah impor gula 𝑃𝐺 = Harga gula 𝐶𝐺 = Jumlah konsumsi gula 𝐸𝑅 = Nilai tukar 𝑍 = Faktor lain yang mempengaruhi impor 𝑀𝐺(𝑡−1) = Impor gula tahun sebelumnya 3.3. Respon Bedakala Produksi Komoditas Pertanian Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan-perkiraan di masa mendatang serta pengalaman 44 masa lalu. Harga output komoditas pertanian tidak dapat dipastikan pada saat produk tersebut ditanam. Dengan kata lain, petani harus mengambil keputusan produksi berdasarkan perkiraan atas produknya tahun lalu. Hal ini mengacu pada adanya bedakala (lag) diantara dua periode, yaitu saat menanam dan memanen. Respon petani setelah bedakala sebagai dampak perubahan pada harga-harga input dan produk serta kebijakan pemerintah. Jika peningkatan harga diperkirakan oleh petani akan berlangsung terus pada periode berikutnya, maka petani akan merubah komposisi sumber daya pada masa tanam mendatang, sehingga pengaruh kenaikan harga tersebut baru akan terlihat pada periode tanam berikutnya. Apabila kemungkinan adanya ekspektasi demikian dapat diterima maka hubungan-hubungan yang spesifik diantara harga harapan dengan harga di masa lalu dapat dibuat. Sehingga model dapat dikembangkan menjadi dinamik yang dirintis oleh Nerlove melalui persamaan parsial. Nerlove (1958) menjelaskan bahwa petani pada setiap periode produksi akan merevisi dugaan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai proporsi yang normal terhadap perbedaan yang terjadi dengan yang sebelumnya dianggap normal. Atau petani juga akan menyesuaikan perkiraan harga dimasa mendatang dalam bentuk proporsi dari selisih antara perkiraan dengan kenyataannya. 3.4. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Perdagangan Gula Proses pembentukan harga gula dunia dalam perdagangan internasional ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan dunia. Akan tetapi, karena setiap negara eksportir dan importir mempunyai kepentingan yang berbeda-beda maka pemerintah melakukan intervensinya terhadap perdagangan gula. Intervensi pemerintah ini diperlukan baik untuk mengatur mekanisme perdagangan gula internasional maupun melindungi pelaku ekonomi gula dalam negeri. Beberapa kebijakan yang terkait dengan kinerja pasar gula antara lain kebijakan tarif impor, suku bunga, harga pokok pembelian, subsidi sarana produksi, suku bunga, dan lain-lain. Namun, yang akan dijelaskan dalam penelitian ini hanyalah dampak kebijakan harga pokok pembelian dan kebijakan tarif impor sesuai dengan fenomena yang terjadi sekarang. 45 3.4.1. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Pupuk sebagai salah satu sarana produksi pertanian mempunyai peran yang cukup penting dalam peningkatan produktivitas pertanian. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) pupuk untuk melindungi petani sebagai konsumen pupuk agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhannya dengan harga yang lebih murah yang berada di bawah harga keseimbangan. Dampak kebijakan HET pupuk terhadap surplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada gambar 4. Harga F S E P0 P1 B C HET D A Q1 Q0 Q2 Jumlah Gambar 3. Dampak Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Apabila pemerintah melakukan intervensi dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) maka akan mengakibatkan jumlah yang diproduksi menjadi sebesar Q1 dan jumlah yang diminta oleh konsumen sebesar Q2. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari respon konsumen yang meningkat jika harga pupuk turun, sehingga kebijakan ini akan efektif jika pemerintah memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) yaitu sebesar Q2 – Q1 sehingga besarnya pengeluaran pemerintah sebesar Q1BCQ2 Kebijakan HET pupuk ini akan berdampak pada perubahan surplus konsumen dan produsen. Sebelum adanya kebijakan HET pupuk surplus konsumen sebesar P0FE dan surplus produsen P0EA, sedangkan setelah adanya kebijakan HET pupuk surplus konsumen sebesar P1CF dan surplus produsen sebesar P1BA. Kebijakan HET pupuk ini menambah surplus konsumen sebesar P0ECP1 dan mengurangi surplus produsen sebesar P0ECP1. 46 3.4.2. Kebijakan Harga Patokan Petani Gula Harga patokan petani (HPP) untuk produk gula ini merupakan harga minimal yang diterima petani. Harga ini menjadi signal atau patokan bagi importir untuk melakukan impor karena impor gula baru dapat dilakukan apabila petani tebu menerima harga minimal sama dengan HPP yang ditetapkan oleh pemerintah. Penentuan harga patokan petani ini menggunakan biaya pokok produksi (BPP) tebu atau gula petani. Penetapan kebijakan HPP gula diatur melalui seperangkat kebijakan pemerintah melalui SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 tentang ketentuan impor gula yang telah direvisi dengan mengeluarkan perangkat Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M- DAG/PER/4/2005. Peraturan Menteri Perdagangan ini tidak hanya mengatur tentang penetapan harga patokan akan tetapi juga mengatur jumlah pasokan gula. Tujuan utama pemerintah menetapkan HPP gula adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan pendapatan petani dalam upaya untuk meningkatkan produksi tebu dan produktivitas lahan menuju swasembada gula. Selain itu, HPP juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gula bagi masyarakat konsumen dengan harga yang stabil dan terjangkau. Dampak kebijakan harga patokan petani terhadap surplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada gambar 4. Harga S C P1 E P0 F G HPP B D A Q1 Q0 Q2 Jumlah Gambar 4. Dampak Kebijakan Harga Patokan Petani 47 Penetapan HPP gula oleh pemerintah sebesar P1 mengakibatkan jumlah produksi gula menjadi sebesar Q2 dan jumlah yang diminta oleh konsumen Q1. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari respon konsumen yang menurunkan volume permintaan gula jika harga gula naik, sehingga kebijakan ini akan efektif jika pemerintah membeli kelebihan produksi gula (excess supply) sebesar Q2 – Q1, sehingga besarnya pengeluaran pemerintah sebesar Q1EGQ2. Kebijakan HPP gula ini akan berdampak pada perubahan surplus konsumen dan produsen. Sebelum adanya kebijakan HPP surplus konsumen sebesar P0BC dan surplus produsen P0BA, sedangkan setelah adanya kebijakan HPP surplus konsumen sebesar P1EC dan surplus produsen sebesar P1GA. Kebijakan HPP ini mengurangi surplus konsumen sebesar P0BEP1 dan meningkatkan surplus produsen sebesar P1GBP0. 3.4.3. Kebijakan Tarif Impor Kebijakan perdagangan dibidang impor akan diartikan sebagai tindakan yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha untuk melindungi atau mendorong pertumbuhan industri didalam negeri. Kebijakan dibidang impor ini dapat dikelompokkan menjadi kebijakan tarif dan non tarif. Oktaviani (2010) mengemukakan apabila ditinjau dari aspek asal komoditinya, terdapat dua macam tarif yaitu tarif ekspor dan tarif impor. Apabila ditinjau dari mekanisme perhitungannya terdapat tiga macam tarif yaitu tarif ad valorem (ad valorem tariff), tarif spesifik (specific tariff), dan tarif campuran (compound tariff). Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka presentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor dan tarif campuran merupakan gabungan dari tarif ad valorem dan tarif spesifik. Tarif merupakan pajak yang dikenakan atas impor suatu barang dimana suatu tarif akan cenderung menaikkan harga dan menurunkan jumlah yang dikonsumsi, dan menaikkan produksi domestik (Samuelson dan Nordhaus, 2001). Kebijakan tarif ini disatu sisi bertujuan untuk mengurangi volume impor, namun disisi lain akan meningkatkan produksi dalam negeri melalui perbaikan harga. Pemberlakuan tarif impor akan menyebabkan kenaikan harga produk di negara importir, penurunan konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor, 48 dan adanya penerimaaan pemerintah yang berasal dari tarif impor tersebut. Pemberlakuan tarif impor ini akan menguntungkan produsen domestik karena harga impor suatu komoditas cenderung lebih mahal daripada harga domestiknya. Dampak ekonomi dari pengenaan tarif impor oleh negara importir ditunjukkan oleh Gambar 5 dengan menggunakan asumsi-asumsi antara lain (1) hanya ada dua negara yaitu negara A sebagai importir, (2) tarif impor yang dilakukan adalah tarif impor spesifik, dan (3) negara impor adalah negara besar dimana perubahan jumlah impor dapat mempengaruhi harga dunia. P P P SA SB ES Pw’+ t Pw Pw’ a b c e 4 2 α d β 1 3 ED DA DB ED - t Q qp qp’ qc’ qc (a) Negara Importir Q qe’ qe (b) Pasar Dunia Q Qc Qc’ Qp’Qp (c) Negara Eksportir Sumber : Tweeten, 1992 Gambar 5. Dampak Pengenaan Tarif Impor Esensi dari kebijakan tarif impor adalah untuk melindungi produsen domestik. Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui apabila pemerintah memberlakukan kebijakan tarif sebesar t maka menyebabkan biaya impor menjadi lebih tinggi sehingga menggeser kurva ED sejajar ke bawah dengan jarak vertikal sesuai dengan besarnya tarif menjadi ED-t. Kondisi ini menyebabkan harga dunia turun menjadi Pw’ sedangkan harga impor yang diterima konsumen di negara importir (Gambar 5a) akan meningkat menjadi Pw’+ t. Meningkatnya harga impor ini menyebabkan permintaan konsumen terhadap komoditas yang perdagangkan menjadi turun sebesar qc’, sebaliknya produksi domestik akan meningkat sebesar qp’. Adanya kebijakan tarif ini membuat volume impor negara importir menjadi turun menjadi qp’- qc’, sedangkan pada negara eksportir, dengan harga dunia Pw’ 49 kelebihan penawaran akan turun menjadi Qc’-Qp’ (Gambar 5c). Pada pasar dunia, akan terbentuk keseimbangan baru yaitu pada tingkat harga dunia sebesar Pw’ dan volume perdagangan sebesar qe’ (Gambar 5b). Pengenaan tarif impor terhadap suatu komoditas menyebabkan kenaikan harga komoditas tersebut sehingga akan menurunkan konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor, dan adanya penerimaan pemerintah dari tarif. Sedangkan di negara eksportir terjadi penurunan harga sehingga menyebabkan berkurangnya volume ekspor. Dampak perubahan kesejahteraan dari adanya pemberlakuan tarif impor dianalisis melalui perubahan-perubahan surplus konsumen dan surplus produsen serta adanya penerimaan pemerintah dari tarif dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Indikator Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Pemerintah Kesejahteraan nasional bersih Kesejahteraan dunia bersih Negara Importir Negara Eksportir – (a + b + c + d) 1 a – (1 + 2 + 3 +4) c+e --- e–b–d – (2 + 3 + 4) –b–d–2–4 Berdasarkan pada Tabel 4, terlihat bahwa secara umum pengenaan tarif impor ini akan menurunkan kesejahteraan dunia. Di negara eksportir akan terjadi penurunan kesejahteraan nasional bersih sebesar daerah (2 + 3 + 4) sedangkan di negara importir dampaknya terhadap kesejahteraan nasional sangat ditentukan oleh elastisitas penawaran ekspor. Semakin elastis kurva ES maka daerah (b + d) akan lebih luas dari daerah (e), sehingga secara umum negara importir akan semakin dirugikan dengan adanya tarif impor. Pada Tabel 4 dapat diketahui pula bahwa penurunan tarif impor berarti akan memperkecil penurunan kesejahteraan masyarakat dunia. Konsumen di negara importir akan menerima kenaikan harga yang lebih rendah sedangkan produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih tinggi. 50 3.4.4. Kebijakan Kuota Impor Kuota impor merupakan instrumen pembatasan kuantitas barang yang dapat diimpor dalam kurun waktu tertentu. Kuota impor disebut mengikat (binding) apabila kuantitas impor yang diperbolehkan berada di bawah kuantitas impor yang terjadi dalam perdagangan bebas. Kondisi sebaliknya berlaku untuk kuota impor yang tidak mengikat (non-binding) (Arifin et al., 2007). Kuota impor digunakan oleh negara-negara berkembang untuk melindungi produsen dalam negeri. Kuota impor akan menyebabkan penawaran domestik turun, yang pada gilirannya akan meningkatkan harga domestik. Dampak pemberlakuan kuota impor terhadap mekanisme perdagangan dunia dapat dilihat pada Gambar 6. SA P P SA’ P ES’ Pd’ SB a Pw b x e c d 1 2 3 y 4 Pw’ ED DA ED’ qp qp’ DB Q Q qc’ qc (a) Negara Importir qe’ Q Qc Qc’ Qp’ Qp qe (b) Pasar Dunia (c) Negara Eksportir Sumber : Tweeten, 1992 Gambar 6. Dampak Kuota Impor Pada analisis ini diasumsikan terdapat dua negara yaitu negara A sebagai negara importir dan negara B (atau gabungan beberapa lainnya) sebagai negara eksportir. Negara A juga diasumsikan sebagai negara besar dalam perdagangan. Berdasarkan gambar tersebut keseimbangan mula-mula terjadi pada saat harga dunia sama dengan harga domestik (P) dan jumlah impor dari negara A sebesar qc-qp = qe. Adanya pembatasan impor oleh negara A sebesar qe’ menyebabkan kurva permintaan impor negara A menjadi kurva patah ED’ dan berpotongan dengan kurva ES membentuk harga Pw’. Akan tetapi, pada harga ini di negara A terjadi kelebihan permintaan. Kelebihan permintaan ini akan hilang pada tingkat harga domestik Pd’ yaitu pada perpotongan antara kurva permintaan S A dan kurva 51 penawaran domestik ditambah kuota impor SA’, dimana kurva SA’ sejajar dengan jarak horizontal sebesar kuota yang ditetapkan. Dengan demikian terlihat pembatasan impor akan menyebabkan peningkatan harga domestik di negara A dan harga dunia sehingga volume perdagangan menjadi berkurang. Selanjutnya dengan adanya kebijakan pembatasan volume impor maka kebijakan ini akan berpengaruh pada besarnya kesejahteraan yang dapat diperoleh baik oleh eksportir maupun importir. Perubahan kesejahteraan (surplus) dari Gambar 6 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis Dampak Kebijakan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Indikator Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Pemerintah Kesejahteraan nasional bersih Kesejahteraan dunia bersih Negara Eksportir Negara Importir -(a+b+c+d) 1 a -1-2-3-4 (b+e) - -(c+d+e) -2-3-4 -(c + d + 2 + 4) Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa secara umum dampak dari pemberian kuota impor akan menurunkan kesejahteraan dunia. Secara keseluruhan kebijakan kuota impor akan menyebabkan terjadinya penurunan kesejahteraan dunia sebesar daerah (c + d + 2 + 4). Distorsi perdagangan internasional yang telah dipaparkan dalam penelitian ini difokuskan pada kebijakan distorsi perdagangan di Indonesia sebagai negara pengimpor gula yaitu berupa pemberlakukan tarif impor dan kuota impor. 52 53 IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS 4.1. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan rentang waktu penelitian tahun 1981-2010. Periode dengan rentang waktu yang panjang ini dilakukan dengan harapan agar dapat memberikan performance yang lebih memuaskan. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari instansi-instansi terkait dengan tema penulisan tesis ini seperti Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan Republik Indonesia, Dewan Gula Indonesia (DGI), dan Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk kelengkapan serta penyesuaian data juga dilakukan pengumpulan data dari beberapa publikasi seperti Food Agricultural Organization (FAO), World Bank (WB), United States Development of Agricultural (USDA), dan International Monetary Fund (IMF). Sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut, semua variabel dalam bentuk nominal diriilkan terlebih dahulu, termasuk untuk Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tukar, dan suku bunga Bank Indonesia (BI). Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan program komputer yaitu SAS 9.1 for Windows. 4.2. Spesifikasi Model Perdagangan Gula Indonesia Model merupakan suatu abstraksi atau penyederhanaan dari fenomena yang ada di dunia nyata. Melalui penyederhanaan ini idealnya yang dimunculkan adalah komponen-komponen penting dari fenomena yang sesungguhnya diamati, sehingga kita dapat menduga secara akurat atau mendekati kondisi dan perilaku fenomena tersebut. Salah satu model pendekatan kuantitatif yang sering digunakan untuk analisis masalah ekonomi adalah model ekonometrika (Hallam, 1990). Model ekonometrika adalah suatu model statistik yang menghubungkan variabel-variabel ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang mencakup unsur stochastic yang terdiri dari satu atau lebih variabel penganggu (Intriligator, 1978). 54 54 Keterangan : = variabel endogen = variabel eksogen SHS = faktor konstanta SHS Gambar 7. Diagram Keterkaitan Variabel dalam Model Perdagangan Gula Indonesia 55 Spesifikasi model ekonometrika disusun berdasarkan teori ekonomi, dan berbagai pengalaman empiris yang berhubungan dengan fenomena yang sedang dipelajari. Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa spesifikasi model meliputi penentuan mengenai (1) endogenous dan exogenous variable yang dimasukkan dalam model, (2) harapan secara teori mengenai tanda dan besaran parameter estimasi dari setiap persamaan, dan (3) bentuk model matematis terkait dengan jumlah persamaan, bentuk persamaan linear atau non linear, dan lain-lain. Model yang baik harus dapat memenuhi kriteria ekonomi (theoritically meaningfull), kriteria statistik yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) biasanya dengan melihat R2 signifikan secara statistik dan kriteria ekonometrika yaitu apakah suatu estimasi model memiliki sifat unbias, konsistensi, kecukupan, dan efisiensi. Salah satu hal yang sangat diperhatikan adalah tahapan spesifikasi model yang diharapkan dapat benar-benar mendekati fenomena sesungguhnya. Berdasarkan tinjauan perkembangan perdagangan gula, relevansi dengan penelitian terdahulu, dan kerangka teoritis, maka Model Perdagangan Gula Indonesia dispesifikasikan dalam bentuk persamaan simultan yang keterkaitan antar variabelnya disajikan dalam Gambar 7. 4.2.1. Luas Areal Perkebunan Tebu Indonesia Analisis respon luas areal perkebunan tebu dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan status pengusahaannya yaitu perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Luas areal perkebunan dipengaruhi oleh harga gula, dimana dalam penelitian ini dilakukan pembedaan terhadap harga gula yang mempengaruhi perusahaan perkebunan rakyat dengan perusahaan perkebunan besar negara dan swasta. Perkebunan rakyat dipengaruhi oleh harga gula tingkat petani yang merupakan harga lelang dari hasil penggilingan tebu, sedangkan perkebunan besar negara dan swasta dalam pemasarannya menjual kepada distributor dan tidak berhubungan dengan petani, sehingga harga yang mempengaruhi adalah harga gula tingkat pedagang besar. Persamaan areal perkebunan pada ketiga wilayah tersebut dirumuskan masing-masing sebagai berikut : 56 APTNt = a0 + a1HRGPBt + a2HRGBt + a3JPGt + a4LSBR+ a5T + a6LAPTN + μ 1 ……………………………………….…(01) APTSt = b0 + b1SHRGPB + b2RHRGB + b3JPGt + b4SBRt + b5T + b6 LAPTS + μ2 ……………………………..………....(02) APTRt = c0 + c1HRGPt + c2HRGBt + c3JPGt + c4SBRt + c5T + c6 LAPTR + μ3………………………………………..(03) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : a1, a3, a5, b1, b3, b5, c1, c3, c5>0 ; a2, a4, b2, b4, c2, c4<0 dan 0<a6, b6, c6<1 dimana : APTNt = Luas areal panen perkebunan besar negara tahun t (ha) APTSt = Luas areal panen perkebunan besar swasta tahun t (ha) APTRt = Luas areal panen perkebunan rakyat tahun t (ha) HRGPt = Harga riil gula tingkat petani tahun t (Rp/kg) HRGPBt = Harga riil gula tingkat pedagang besar tahun t (Rp/kg) HRGBt = Harga riil gabah tingkat petani tahun t (Rp/kg) SHRGPB = HRGPBt - HRGPBt-1 : Perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar (Rp/kg) RHRGB = HRGBt/HRGBt-1 : Rasio harga riil gabah tahun t dengan t-1 JPGt = Jumlah pabrik gula tahun t (unit) SBRt = Suku bunga BI riil tahun t (%) LSBR = SBRt-1 : Suku bunga BI riil tahun t-1 (%) T = Tren waktu LAPTN = APTNt-1 : Luas areal perkebunan besar negara tahun t-1 (ha) LAPTS = APTSt-1 : Luas areal perkebunan besar swasta tahun t-1 (ha) LAPTR = APTRt-1 : Luas areal perkebunan rakyat tahun t-1 (ha) μ1, μ2, μ3 = Variabel pengganggu 4.2.2. Produktivitas Gula Hablur Indonesia Produktivitas gula yang digunakan dalam wujud gula hablur yang merupakan salah satu hasil pengolahan nira tebu selain molases (tetes tebu) dan blotong (hasil endapan nira). Produktivitas gula hablur juga didisagregasi berdasarkan status pengusahaannya, yaitu produktivitas gula hablur perkebunan besar negara, produktivitas gula hablur perkebunan swasta, dan produktivitas gula 57 hablur perkebunan rakyat. Adapun persamaan produktivitas gula hablur dan tanda estimasi parameter yang diharapkan adalah : YGHNt = d0 + d1HRGPBt + d2SHRPUK + d3LAPTN + d4RENDt + d5LURBUN + d6T+ μ4…………………………………(04) YGHSt = e0 + e1SHRGPB + e2RHPUK + e3LAPTS+ e4CHJt + e5RENDt + e6URBUNt + e7LYGHS + μ5……………...(05) YGHRt = f0 + f1HGPUK + f2LAPTR + f3URBUNt + f4DKKPEt + f5RENDt + f6LYGHR + μ6………………………………(06) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : d1, d3, d4, d6, e1, e3, e4, e5, f1, f2, f4, f5 >0 ; d2, d5, e2, e6, f3 < 0 dan 0< e7, f6 <1 dimana : YGHNt = Produktivitas gula hablur perkebunan besar negara tahun t (ton/ha) YGHSt = Produktivitas gula hablur perkebunan besar swasta tahun t (ton/ha) YGHRt = Produktivitas gula hablur perkebunan rakyat tahun t (ton/ha) HRGPBt = Harga riil gula tingkat pedagang besar tahun t (Rp/kg) HGPUK = HRGPt/HRPUKt : Rasio harga riil gula tingkat petani dengan harga riil pupuk SHRGPB = HRGPBt-HRGPBt-1 : Perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar (Rp/kg) SHRPUK = HRPUKt-HRPUKt-1 : Perubahan harga riil pupuk (Rp/kg) RHPUK = HRPUKt/HRPUKt-1 : Rasio harga riil pupuk tahun t dengan tahun t-1 LAPTN = APTNt-1 : Luas areal perkebunan besar negara tahun t-1 (ha) LAPTS = APTSt-1 : Luas areal perkebunan besar swasta tahun t-1 (ha) LAPTR = APTRt-1 : Luas areal perkebunan rakyat tahun t-1 (ha) URBUNt = Upah riil pekerja sektor perkebunan tahun t (Rp/hari) LURBUN = URBUNt-1 : Upah riil pekerja sektor perkebunan tahun t (Rp/hari) CHJt = Curah hujan Indonesia tahun t (mm/tahun) DKKPEt = Dummy Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) untuk bongkar ratoon, dimana D = 1 jika ada KKPE dan D = 0 jika tidak ada KKPE RENDt = Rendemen tebu Indonesia pada tahun t (%) T = Tren waktu 58 LYGHS = YGHSt-1 : Produktivitas gula hablur pada perkebunan besar swasta tahun t-1 (ha) LYGHR = YGHRt-1 : Produktivitas gula hablur pada perkebunan rakyat tahun t-1 (ha) μ 4 , μ5 , μ6 = Variabel pengganggu 4.2.3. Produksi 4.2.3.1.Produksi Gula Kristal Putih Produksi gula kristal putih didefinisikan sebagai hasil kali antara luas areal panen dengan produktivitasnya dengan faktor konstanta SHS = 1.003. QGKPNt = (APTNt * YGHNt)*1.003 .................................................... (07) QGKPSt = (APTSt * YGHSt)*1.003 ..................................................... (08) QGKPRt = (APTRt * YGHRt)*1.003 .................................................... (09) Total produksi gula kristal putih Indonesia QGKPt = QGKPNt + QGKPSt + QGKPR t ........................................ (10) dimana : QGKPNt = Produksi gula kristal putih perkebunan besar negara tahun t (ton) QGKPSt = Produksi gula kristal putih perkebunan besar swasta tahun t (ton) QGKPRt = Produksi gula kristal putih perkebunan rakyat tahun t (ton) QGKPt = Produksi gula kristal putih Indonesia tahun t (ton) APTNt = Luas areal panen perkebunan besar negara tahun t (ha) APTSt = Luas areal panen perkebunan besar swasta tahun t (ha) APTRt = Luas areal panen perkebunan rakyat tahun t (ha) YGHNt = Produktivitas gula hablur perkebunan besar negara tahun t (ton/ha) YGHSt = Produktivitas gula hablur perkebunan besar swasta tahun t (ton/ha) YGHRt = Produktivitas gula hablur perkebunan rakyat tahun t (ton/ha) 4.2.3.2.Produksi Gula Indonesia Produksi gula di Indonesia tidak hanya dihasilkan oleh pabrik gula yang menggunakan bahan baku tebu, tetapi juga pabrik gula yang berbahan baku gula mentah. Pabrik gula yang berbahan baku gula mentah ini akan menghasilkan gula 59 yang disebut gula kristal rafinasi. Gula kristal rafinasi sendiri banyak digunakan untuk industri makanan, minuman, dan farmasi. Di Indonesia, pabrik gula kristal rafinasi mulai berproduksi tahun 2003. Gula kristal putih (GKP) dan gula kristal rafinasi (GKR) adalah dua jenis produk gula yang hampir sama, dimana yang membedakan hanya kualitas yang ditunjukkan oleh nilai ICUMSA gula. Oleh karena itu, dalam penelitian ini baik GKP maupun GKR dianggap sama atau homogen, sehingga persamaan produksi gula Indonesia sebagai berikut : QGINAt = QGKP t + QGKRt ……...…..………....……....…..…...…(11) dimana : QGINAt = Produksi gula Indonesia tahun t (ton) QGKPt = Produksi gula kristal putih Indonesia tahun t (ton) QGKRt = Produksi gula kristal rafinasi Indonesia tahun t (ton) 4.2.4. Penawaran Gula Indonesia Penawaran gula dalam penelitian ini merupakan penjumlahan dari produksi gula, jumlah impor gula atau pengadaan luar negeri dan stok gula dalam negeri. Karena Indonesia merupakan net importir maka jumlah ekspor sangat kecil sehingga dalam penelitian ini dianggap nol. Adapun persamaan penawaran gula Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut : SGINAt = QGINAt + MGINAt + LSTG………...….....……....……...(12) dimana : SGINAt = Penawaran gula Indonesia tahun t (ton) QGINAt = Produksi gula Indonesia tahun t (ton) MGINAt = Impor gula Indonesia tahun t (ton) LSTG = STGt-1 : Stok gula Indonesia tahun t-1 (ton) 4.2.5. Permintaan Gula Indonesia 4.2.5.1.Permintaan Gula Rumah Tangga Permintaan gula oleh rumah tangga digunakan sebagai konsumsi langsung. Permintaan gula dipengaruhi oleh harga gula itu sendiri, harga barang substitusinya, harga barang komplementernya, pendapatan masyarakat, dan jumlah penduduk. Gula merah dianggap sebagai barang substitusi yang biasa 60 menjadi alternatif pengganti gula oleh konsumen di Indonesia, sedangkan kopi merupakan barang komplementer dari gula. Permintaan gula rumah tangga dirumuskan dalam persamaan berikut : DGRTt = g0 + g1HRGEt + g2RHRGM + g3HRKOt + g4LJPDBR + g5POPINAt + g6LDGRT + μ7.............................................(13) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : g2, g4, g5 > 0; g1, g3 < 0 dan 0<g6<1 dimana : DGRTt = Permintaan gula Indonesia tahun t (ton) HRGEt == Harga riil eceran gula tahun t (Rp/kg) RHRGM = HRGMt/HRGMt-1 : Rasio harga riil gula merah tahun t dengan tahun t-1 HRKOt = Harga riil kopi tahun t (Rp/kg) LJPDBR = (PDBRt - PDBRt-1)/PDBRt-1 : Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia tahun t POPINAt = Jumlah penduduk Indonesia tahun t (jiwa) LDGRT = DGRTt-1 : Permintaan gula Indonesia tahun t-1 (ton) μ7 = Variabel pengganggu 4.2.5.2.Permintaan Gula oleh Industri Industri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah industri makanan dan minuman yang menggunakan gula sebagai salah satu bahan baku produksinya. Gula yang biasa digunakan oleh industri makanan dan minuman adalah gula kristal rafinasi karena industri ini membutuhkan gula dengan kadar kotoran yang sedikit dan warna yang putih. Permintaan gula oleh industri makanan dan minuman dipengaruhi oleh harga gula tingkat pedagang besar, harga komposit makanan dan minuman, jumlah industri makanan dan minuman, serta PDB sektor industri makanan dan minuman. Harga komposit makanan dan minuman ditetapkan berdasarkan harga ekspor dari produk makanan dan minuman yang paling banyak diekspor, yaitu confectionary sugar (permen gula). Permintaan gula oleh industri makanan dan minuman dirumuskan dalam persamaan berikut : DGINt = h0 + h1LHRGPB + h2HRKINt + h3LJJIM + h4L2PDBIN + h5LDGIN + μ8…………………………….………………(14) 61 Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : h2, h3, h4>0; h1<0 dan 0<h5<1 dimana : DGIN t = Permintaan gula industri tahun t (ton) LHRGPB== HRGPBt-1 : Harga riil gula pedagang besar tahun t (Rp/kg) t HRKINt = Harga riil komposit produk makanan dan minuman tahun t (US$/kg) LJJIM = (JIMt-JIMt-1)/JIMt-1 : Pertumbuhan industri makanan dan minuman tahun t L2PDBIN = PDBINRt-2 : Produk Domestik Bruto riil Sektor Industri Makanan dan Minuman tahun t-2 (Rp miliar) LDGIN = DGINt-1: Permintaan gula industri tahun t-1 (ton) μ8 = variabel penganggu 4.2.5.3.Permintaan Gula Indonesia Permintaan gula Indonesia merupakan penjumlahan dari permintaan gula oleh rumah tangga dan industri. Persamaan total permintaan gula di Indonesia adalah sebagai berikut : DGINAt = DGRTt + DGINt ……………...………….………………(14) dimana : DGINAt = Permintaan gula Indonesia tahun t (ton) DGRTt = Permintaan gula rumah tangga tahun t (ton) DGINt = Permintaan gula industri tahun t (ton) 4.2.6. Harga Gula Indonesia 4.2.6.1.Harga Gula Tingkat Petani Harga gula tingkat petani yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah harga gula yang diterima oleh petani. Sebelum tahun 2000 harga gula yang diterima petani adalah harga provenue yang merupakan harga pembelian BULOG kepada petani tebu. Tahun 2000-2003 harga gula yang diterima petani adalah harga gula lelang kesepakatan antara petani dengan investor gula, sedangkan setelah tahun 2004 hingga saat ini harga gula yang diterima petani adalah harga lelang berdasarkan harga patokan petani (HPP) sebagai harga dasar pembelian 62 gula oleh investor. Adapun persamaan harga gula tingkat petani dirumuskan dalam persamaan berikut : HRGPt = i0 + i1HRGPBt + i2RQGINA + i3DHPP + i4T + i5LHRGP + μ9……………………………………………………...(16) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : i1, i3, i4 >0; i2 <0 dan 0<i5<1 dimana : HRGPt = Harga riil gula tingkat petani tahun t (Rp/kg) HRGPBt = Harga riil gula tingkat pedagang besar tahun t (Rp/kg) RQGINA = QGINAt/QGINAt-1 : Produksi gula Indonesia tahun t-1 (ton) DHPP = Dummy Kebijakan HPP Gula, dimana D = 1 jika ada kebijakan HPP dan D = 0 jika tidak ada kebijakan HPP T = Tren waktu LHRGP = HRGPt-1 : Harga gula riil di tingkat petani tahun t-1 (Rp/kg) μ9 = Variabel pengganggu 4.2.6.2.Harga Gula Tingkat Pedagang Besar Harga gula di tingkat pedagang besar meliputi biaya pembelian dan biaya transportasi. Adapun persamaan harga gula di tingkat pedagang besar dirumuskan dalam persamaan berikut : HRGPBt = j0 + j1HRGEt + j2T + j3LHRGPB + μ10………………….(17) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : j1, j2>0 dan 0<j3<1 dimana : HRGPBt = Harga riil gula di tingkat pedagang besar tahun t (Rp/kg) HRGEt = Harga riil eceran gula tahun t (Rp/kg) T = Tren waktu LHRGPB = HRGPBt -1 : Harga riil gula tingkat pedagang besar tahun t-1 (Rp/kg) μ9 = Variabel pengganggu 63 4.2.6.3.Harga Eceran Gula Indonesia Harga eceran gula merupakan harga yang diterima oleh konsumen. Persamaan harga eceran gula Indonesia dirumuskan dalam sebagai berikut : HRGEt = k0 + k1HRGINAt + k2DGINAt + k3SGINAt + μ11……….(18) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : k1, k2>0 dan k3<0 dimana : HRGEt = Harga riil eceran gula tahun t (Rp/kg) HRGINAt = Harga impor riil gula Indonesia tahun t (Rp/kg) DGINAt = Permintaan gula Indonesia tahun t (ton) SGINAt = Penawaran gula Indonesia tahun t (ton) μ11 = Variabel pengganggu 4.2.6.4.Harga Impor Gula Indonesia Harga impor gula Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga rata-rata impor gula Indonesia dari beberapa negara eksportir yang mengekspor gulanya ke Indonesia. Adapun persamaan harga impor gula Indonesia dirumuskan dalam persamaan berikut : HRGINAt = l0 + l1HRGWt + l2T + l3LHRGINA + μ12…….……......(19) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : l1, l2>0 dan 0<l3<1 dimana : HRGINAt = Harga impor riil gula Indonesia tahun t (Rp/Kg) HRGWt = Harga riil gula dunia tahun t (US$/ton) T = Tren waktu LHRGINA = HRGINAt-1 : Harga impor riil gula Indonesia tahun t-1 (Rp/kg) μ12 = Variabel pengganggu 64 4.2.7. Impor Gula Indonesia 4.2.7.1.Impor Gula Indonesia dari Thailand Thailand merupakan ekspotir gula utama bagi Indonesia, karena Thailand merupakan produsen penghasil gula terbesar di Asia Tenggara. Adapun impor gula Indonesia dari Thailand dapat dirumuskan dalam persamaan berikut : MGITHt = m0 + m1HRGINAt + m2QGINAt + m3ERITHt + m4LSTG + m5TIGt + m6T + m7LMGITH+ μ13…………..….…..…(20) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : m6>0; m1, m2, m3, m4, m5<0 dan 0<m7<1 dimana : MGITHt = Impor gula Indonesia dari Thailand tahun t (kg) HRGINAt = Harga impor riil gula Indonesia tahun t (Rp/Kg) QGINAt = Produksi gula Indonesia (ton) ERITHt = Nilai tukar riil Indonesia terhadap Thailand tahun t (Rp/Bath) LSTG = STGt-1 : Stok gula Indonesia tahun t-1 (ton) TIGt = Tarif impor gula Indonesia tahun t (%) T = Tren waktu LMGITH = MGITHt-1 : Impor gula Indonesia dari Thailand tahun t-1 (ton) μ13 = Variabel pengganggu 4.2.7.2.Impor Gula Indonesia dari China China merupakan salah satu negara produsen gula terbesar di dunia. Tujuan utama ekspor gula China adalah Indonesia. Indonesia dan China akan terlibat dalam perdagangan bebas gula melalui skema perjanjian perdagangan ACFTA. Adapun impor gula Indonesia dari China dapat dirumuskan dalam persamaan berikut : MGICNt = n0 + n1SHRGINA + n2QGINAt + n3TIGt + n4SERICN + n5SSTG+ n6T + μ14…………………….……….….....(21) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : n1, n2, n3, n4, n5<0 dan n6>0 dimana : MGICNt = SHRGINA = Impor gula Indonesia dari China tahun t (ton) HRGINAt - HRGINAt-1 : Perubahan harga impor riil gula Indonesia tahun t (Rp/Kg) 65 QGINAt = Produksi gula Indonesia tahun t (ton) TIGt = Tarif impor gula Indonesia tahun t (%) SERICN = ERICNt - ERICNt-1: Perubahan nilai tukar riil Indonesia terhadap China tahun t (Rp/Yuan) SSTG = STGt - STGt-1 : Perubahan stok gula Indonesia tahun t (ton) T = Tren waktu μ14 = Variabel pengganggu 4.2.7.3.Total Impor Gula Indonesia Total impor gula Indonesia adalah penjumlahan dari permintaan impor gula Indonesia dari Thailand, China, dan negara lain. Persamaan impor gula Indonesia dirumuskan sebagai berikut : MGINAt = MGITHt + MGICNt + MGIRWt……………………..…(22) dimana : MGITHt = Impor gula Indonesia dari Thailand tahun t (ton) MGICNt = Impor gula Indonesia dari China tahun t (ton) MGIRWt = Impor gula negara lain (rest of the world) tahun t (ton) 4.2.8. Ekspor Impor Gula Dunia Ekspor Gula Dunia 4.2.8.1. Ekspor Gula Brazil Brazil merupakan negara produsen dan eksportir gula baik untuk gula mentah maupun gula kristal rafinasi terbesar di dunia. Adapun persamaan ekspor gula Brazil dirumuskan sebagai berikut : XGBRt = o0 + o1HRGWt + o2QGBR + o3SERBRt + o4LXGBR+ μ15 (23) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : o1, o2, o3 >0 dan 0<o4<1 dimana : XGBRt = Ekspor gula Brazil tahun t (ton) HRGWt = Harga riil gula dunia tahun t (US$/ton) QGBRt = Produksi gula Brazil tahun t (ton) SERBR = ERBRt - ERBRt-1 : Perubahan Nilai tukar riil Brazil terhadap Dollar Amerika tahun t (R$/US$) 66 LXGBR = XGBRt-1 : Ekspor gula Brazil tahun t-1 (ton) μ15 = Variabel pengganggu 4.2.8.2.Ekspor Gula Thailand Thailand juga merupakan produsen dan eksportir gula baik raw sugar maupun refined sugar dengan share terbesar kedua di dunia. Adapun persamaan ekspor gula Thailand dirumuskan dalam persamaan berikut : XGTHt = p0 + p1HRGWt + p2QGTHt + p3SERTH + p4T + μ16……..(24) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : p1, p2, p3, p4>0 dimana : XGTHt = Ekspor gula Thailand tahun t (ton) HRGWt = Harga riil gula dunia tahun t (US$/ton) QGTHt = Produksi gula Thailand tahun t (ton) SERTH = ERTHt - ERTHt-1 : Nilai tukar riil Thailand terhadap Dollar Amerika (Bath/US$) T = Tren waktu μ16 = Variabel pengganggu 4.2.8.3. Total Ekspor Gula Dunia Ekspor gula dunia dibentuk melalui persamaan identitas yang merupakan penjumlahan dari ekspor gula negara eksportir terbesar dunia (Brazil dan Thailand) dan negara lainnya. Setiap perubahan yang mempengaruhi ekspor gula negara-negara eksportir terbesar dunia mempengaruhi ekspor gula dunia. XGWt = XGBRt + XGTHt + XGRWt.................................................(25) dimana : XGWt = Ekspor gula dunia tahun t (ton) XGBRt = Ekspor gula Brazil tahun t (ton) XGTHt = Ekspor gula Thailand tahun t (ton) XGRWt = Ekspor gula sisa dunia (selain Brazil dan Thailand) tahun t (ton) 67 Impor Gula Dunia 4.2.8.4. Impor Gula India India yang merupakan salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia juga merupakan importir gula. Adapun persamaan gula India dirumuskan dalam persamaan berikut : MGINt = q0 + q1HRGWt + q2QGINt + q3LJPOPIN + q4SERIN + q5IRINt + q6T + μ17…….........................……….…….......(26) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : q3, q5, q6>0 dan q1, q2, q4<0 dimana : MGINt = Impor gula India tahun t (ton) HRGWt = Harga riil gula dunia tahun t (US$/ton) QGINt = Produksi gula India tahun t (ton) LJPOPIN = (POPINt - POPINt-1)/POPINt-1 : Pertumbuhan populasi penduduk India SERIN = ERINt - ERINt-1 : Nilai tukar India terhadap Dollar Amerika (Rupee/US$) IRINt = Pendapatan riil India (US$) T = Tren waktu μ17 = Variabel pengganggu 4.2.8.5.Impor Gula Amerika Serikat Amerika Serikat yang merupakan negara produsen gula juga menjadi negara yang mengimpor gula dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan gula penduduknya. Adapun persamaan gula India dirumuskan dalam persamaan berikut : MGUSt = r0 + r1SHRGW + r2QGUSt + r3CGUSt + r4STUSt + r5LMGUS + μ18………………………………………………………(27) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : r3>0; r1, r2, r4<0dan 0<r5<1 dimana : MGUSt = Impor gula Amerika Serikat tahun t (ton) SHRGW = HRGWt - HRGWt-1: Harga gula dunia tahun t-1 (US$/ton) 68 QGUSt = Produksi gula Amerika Serikat tahun t (ton) CGUSt = Konsumsi gula Amerika Serikat tahun t (ton) STUSt = Stok gula Amerika Serikat tahun t (ton) LMGUS = MGUSt-1: Impor gula Amerika Serikat tahun t-1 (ton) μ18 = Variabel pengganggu 4.2.8.6.Impor Gula China China sekalipun merupakan negara penghasil gula terbesar di dunia juga masih kekurangan dalam memenuhi kebutuhan gula penduduknya yang terbesar di dunia sehingga harus melakukan impor gula dari negara lain. Adapun persamaan gula India dirumuskan dalam persamaan berikut : MGCNt = s0 + s1LHRGW + s2QGCNt + s3CGCNt + s4STCNt + s5IRCNt + s6LJPOPCN + s7LMGCN+ μ19…………..……………..(28) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : s3, s5, s6>0; s1, s2, s4 <0dan 0<s7<1 dimana : MGCNt = Impor gula China tahun t (ton) LHRGW = HRGWt-1: Harga gula dunia tahun t-1 (US$/ton) QGCNt = Produksi gula China tahun t (ton) CGCNt = Konsumsi gula China tahun t (ton) STCNt = Stok gula China tahun t (ton) IRCNt = Pendapatan riil China (US$) LJPOPCN = (POPCNt-POPCNt-1)/POPCNt-1 : Populasi China tahun t (jiwa) LMGCN = MGCNt-1: Impor gula China tahun t-1 (ton) μ19 = Variabel pengganggu 4.2.8.7. Total Impor Gula Dunia Total impor gula dunia merupakan penjumlahan dari impor negara terbesar gula di dunia, yaitu India, Amerika Serikat, China, dan Indonesia. Indonesia dalam penelitian ini diasumsikan sebagai negara importir gula yang cukup besar di dunia dengan pertimbangan share impor gula Indonesia terhadap impor gula dunia yang cukup tinggi dan masuk dalam sepuluh besar negara importir gula dunia. Negara lain yang mengimpor gula dikelompokkan sebagai 69 rest of the world atau sisa dunia. Adapun persamaan total impor gula dunia dirumuskan sebagai berikut : MGWt = MGINt + MGUSt + MGCNt + MGINAt + MGRWt...........(29) dimana : MGWt Impor gula dunia tahun t (ton) MGINt Impor gula India tahun t (ton) MGUSt Impor gula Amerika Serikat tahun t (ton) MGCNt Impor gula China tahun t (ton) MGINAt Impor gula Indonesia tahun t (ton) MGRWt Impor gula sisa dunia tahun t (selain India, Amerika Serikat dan China) (ton) 4.2.9. Harga Gula Dunia Setiap komoditas ekspor masing-masing memiliki harga yang ditentukan oleh keseimbangan pasar dunia. Harga dunia yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga dunia untuk white sugar. Harga dunia tersebut sangat ditentukan oleh penawaran ekspor dan permintaan gula dunia. Selain itu juga dipengaruhi oleh harga gula dunia sebelumnya. Oleh karena itu, persamaan harga gula dunia dapat dirumuskan sebagai berikut : HRGWt = t0 + t1XGWt + t2MGWt + t3LHRGW + μ20………....……(30) Tanda parameter estimasi yang diharapkan (hipotesis) adalah : dimana : 4.3. HRGWt = Harga gula dunia tahun t (US$/ton) XGWt = Volume ekspor gula dunia tahun t (ton) MGWt = Volume impor gula dunia tahun t (ton) LHRGW = HRGWt-1: Harga gula dunia tahun t-1 (US$/ton) μ20 = Variabel pengganggu Prosedur Analisis 4.3.1. Identifikasi Model Identifikasi dilakukan sebelum estimasi model dan tidak hanya terkait dengan penentuan metode estimasi model, tetapi juga spesifikasi model 70 persamaan simultan. Identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition menurut Koutsoyiannis (1977) dapat ditentukan dengan rumus : (K-M) ≥ (G-1) ……………………………..………….………..………(31) dimana : K = Total variabel dalam model (variabel endogen dan eksogen) M = Jumlah variabel endogen dan eksogen terbanyak dalam persamaan G = Total persamaan (jumlah variabel endogen dalam model) Apabila (K–M) lebih besar dari (G–1) maka persamaan teridentifikasi berlebih dikatakan over-identified. Jika (K–M) sama dengan (G–1) maka persamaan teridentifikasi tepat exactly-identified dan jika (K–M) lebih kecil dari (G–1) maka persamaan dikatakan dikatakan under-identified. Hasil identifikasi setiap persamaan struktural haruslah exactly-identified atau over-identified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Model Perdagangan Gula Indonesia yang telah dirumuskan terdiri dari 30 persamaaan dengan 20 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Model ini terdiri dari 30 variabel endogen (G) dan 74 predetermined variables yang terdiri dari 15 lag variabel endogen dan 59 variabel eksogen, sehingga total variabel dalam model adalah 104 variabel (K). Jumlah variabel yang paling banyak dalam persamaan adalah 7 variabel (M). Berdasarkan kriteria order condition, maka dapat disimpulkan bahwa setiap persamaan struktural yang terdapat dalam model adalah over identified. 4.3.2. Metode Estimasi Model Berdasarkan hasil identifikasi model yang menyatakan model over identified, maka estimasi model dapat dilakukan dengan metode 2SLS (Two Stage Least Squares) atau metode 3SLS (Three Stage Least Squares). Koutsoyiannis (1977) menjelaskan bahwa metode 3SLS sensitif terhadap perubahan spesifikasi model. Apabila terdapat perubahan spesifikasi pada salah satu persamaan dalam sistem maka dapat mempengaruhi semua estimasi parameter. Sedangkan menurut Gujarati (2004), metode 2SLS tidak terlalu sensitif terhadap terhadap kesalahan spesifikasi model serta dapat memberikan estimasi parameter secara konsisten dan 71 tidak bias. Selain itu, metode 3SLS memerlukan data sampel yang lebih besar daripada metode 2SLS karena semua parameter struktural diestimasi pada waktu yang sama (Sinaga, 1989). Berdasarkan pertimbangan ketersediaan data dan kemungkinan adanya perubahan dalam spesifikasi model untuk alternatif simulasi kebijakan, maka metode estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2SLS. 4.3.2.1.Uji Statistik F Pengujian statistik F digunakan untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan keragaman variabel endogen (Koutsoyiannis, 1977). Mekanisme untuk menguji hipotesis dari estimasi parameter secara bersama-sama (uji statistik F) adalah sebagai berikut : Hipotesis : Ho : β1= β2 = β3 =…..= βi = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0 dimana : i = banyaknya variabel penjelas dalam suatu persamaan β= estimasi parameter Kriteria yang digunakan dalam pengujian estimasi model adalah : 1. Apabila nilai probabilitas (Pr) uji statistik F < taraf α = 5 persen maka H0 ditolak. Artinya variabel penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan keragaman dari variabel endogen. 2. Apabila nilai probabilitas (Pr) uji statistik F > taraf α = 5 persen maka H0 diterima. Artinya variabel penjelas secara bersama-sama tidak mampu menjelaskan keragaman dari variabel endogen. 4.3.2.2.Uji Statistik-t Uji statistik-t digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas secara parsial berpengaruh secara nyata terhadap variabel endogennya. Adapun mekanisme pengujian hipotesis dari estimasi parameter secara parsial (uji statistik t) adalah sebagai berikut : 72 Hipotesis : H0 : βi = 0 (tidak ada pengaruh Xi terhadap Y) H1 : Pengujian satu arah a) βi > 0 (ada pengaruh positif Xi terhadap Y) b) βi < 0 (ada pengaruh negatif Xi terhadap Y) Pengujian dua arah c) βi ≠ 0 (ada pengaruh Xi terhadap Y) Kriteria pengujian : 1. H0 ditolak apabila H1 : βi > 0 ; dengan probabilitas uji t < α 2. H0 ditolak apabila H1 : βi < 0 ; dengan probabilitas uji t < α 3. H0 ditolak apabila H1 : βi ≠ 0 ; dengan probabilitas uji t < 𝛼/2 Penelitian ini menggunakan uji satu arah dengan taraf α = 15 persen, sehingga apabila nilai probabilitas uji statistik-t < taraf α =15 persen maka H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel penjelas berpengaruh secara nyata terhadap variabel endogennya. Pada program SAS, hasil uji statistik bisa dilihat dari nilai probabilitas (Pr). Nilai probabilitas ini merupakan probabilitas untuk uji dua sisi (two tails test), sehingga untuk pengujian satu arah nilai probabilitas harus dibagi dua. 4.3.2.3.Uji Statistik Durbin-h Metode pengujian yang sering digunakan untuk mendeteksi adanya serial korelasi (autocorrelation) adalah dengan statistik dw (Durbin Watson Statistics). Namun, mengingat di dalam model terdapat persamaan yang mengandung variabel bedakala, maka penggunaan statistik dw sudah tidak valid. Oleh karena itu, digunakan uji statistik dh (Durbin-h Statistics) untuk mengetahui ada tidaknya serial korelasi pada persamaan yang mengandung variabel bedakala (Pindyck dan Rubinfield, 1998). Persamaan 32 berikut merupakan formula untuk memperoleh nilai Durbin-h Statistics atau hhitung. d hhitung 1 W 2 N ............................................................(32) 1 N Var dimana : h = Nilai statistik durbin h N = Jumlah pengamatan contoh 73 Var (β) = Varians dari koefisien lag endogen dW = Nilai durbin watson hitung (dari pengolahan komputer) Apabila digunakan taraf α = 5 persen, sehingga diketahui -1.96 ≤ hhitung ≤ 1.96, maka dapat disimpulkan persamaan tidak mengalami masalah serial korelasi. Namun apabila diketahui hhitung<-1.96 maka terdapat autokorelasi negatif, sebaliknya apabila nilai hhitung >1.96 maka terdapat autokorelasi positif. 4.3.3. Validasi Model Tujuan dari validasi model adalah untuk menganalisis sejauh mana model dapat menggambarkan dunia nyata. Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal, maka dilakukan validasi model. Kriteria statistik yang digunakan untuk validasi nilai estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia dalam penelitian ini yaitu RMSPE (Root Mean Squares Percent Error) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck dan Rubinfield, 1998). Adapun kriterita validasi tersebut dirumuskan sebagai berikut : 2 s a 1 T Yt Yt RMSPE T t 1 Yta U 1 T Yts Yta T t 1 1 T Yts T t 1 2 100% ……………..….………………(33) 2 1 T Yta T t 1 ……………..………...……..……...(34) 2 dimana : Yt s = Nilai simulasi dasar dari variabel endogen Yt a = Nilai aktual variabel endogen T = Jumlah periode pengamatan U = Theil’s inequality coefficient RMSPE = Root Mean Squares Percent Error Statistika RMSPE digunakan untuk mengukur presentase penyimpangan nilai-nilai estimasi variabel endogen dari nilai aktualnya selama periode pengamatan. Semakin kecil nilai RMSPE maka estimasi variabel endogen tersebut 74 semakin valid. Sitepu dan Sinaga (2006) juga menyatakan bahwa nilai statistik U dapat digunakan sebagai ukuran validasi model untuk mengevaluasi kemampuan model dalam analisis simulasi. Statistik U selalu bernilai antara 0 dan 1. Jika nilai U=1 maka estimasi variabel endogen adalah naif, sedangkan jika U=0 maka estimasi variabel endogen sempurna, sangat mendekati kenyataan. Oleh karena itu, semakin kecil nilai RMSPE dan U maka estimasi variabel endogen semakin baik. 4.3.4. Simulasi Model Prosedur selanjutnya setelah validasi model adalah simulasi model. Simulasi diperlukan untuk mempelajari dampak perubahan variabel eksogen terhadap variabel endogen dalam model. Tujuan dari simulasi dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan dampak dari berbagai kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal terhadap Model Perdagangan Gula Indonesia dan terhadap surplus produsen, surplus konsumen, penerimaan pemerintah dari tarif, serta devisa impor. Pindyck dan Rubinfield (1998) menjelaskan bahwa simulasi model bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan masa lampau dan membuat peramalan untuk masa yang akan datang. Dalam penelitian ini, simulasi digunakan untuk mengevaluasi alternatif kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal melalui simulasi historis (ex post simulation) dan untuk meramalkan dampak alternatif kebijakan dan perubahan faktor eksternal melalui simulasi peramalan (ex ante simulation). 4.3.4.1.Simulasi Historis (Ex Post Simulation) Tujuan kedua mengenai evaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap permintaan dan penawaran gula Indonesia, penerimaan pemerintah dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula Indonesia pada tahun 20042010 diselesaikan dengan menggunakan simulasi historis. Pada analisis simulasi ini lebih lanjut dapat dilihat dampaknya terhadap perubahan tingkat kesejahteraan baik menurut pelaku pasar maupun masyarakat secara keseluruhan. Skenario simulasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain : 75 1. Peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 25 persen HPP untuk komoditas gula kristal putih selalu mengalami revisi setiap tahunnya. Beberapa pertimbangan mengenai kenaikan HPP gula ini antara lain disesuaikan dengan perhitungan biaya pokok produksi yang mengalami kenaikan dikarenakan biaya sewa lahan yang juga mengalami kenaikan. Selain itu, kenaikan inflasi juga menjadi perhitungan dalam kenaikan HPP gula. Peningkatan harga gula tingkat petani disimulasikan sebesar 25 persen. HPP gula pada tahun 2010 mengalami peningkatan dari sebelumnya sebesar Rp 5 350.00 menjadi Rp 6 350.00 atau sebesar 18.7 persen sedangkan Dewan Gula Indonesia mengusulkan kenaikan harga gula tingkat petani sebesar 25 persen. 2. Peningkatan harga eceran tertinggi pupuk 33 persen Tata niaga pupuk diatur oleh pemerintah mengingat peranannya yang esensial dalam produksi gula Indonesia. Dasar pertimbangan simulasi kebijakan peningkatan harga eceran tertinggi (HET) pupuk adalah pernyataan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.32 Tahun 2010 yang menaikkan harga eceran tertinggi (HET) untuk pupuk bersubsidi yang diaplikasikan di seluruh wilayah Indonesia dari harga sebelumnya Rp 1 200.00 per kilogram meningkat menjadi Rp 1 600.00 per kilogram atau sebesar 33.33 persen. Adapun tujuan kebijakan tersebut antara lain (1) menghindari penggunaan pupuk urea berlebih guna meningkatkan produksi dan rendemen tebu, (2) mengurangi subsidi pupuk, dan (3) diharapkan dalam jangka panjang petani dapat beralih menggunakan pupuk organik. 3. Peningkatan luas areal perkebunan tebu Indonesia 20 persen Salah satu program revitalisasi industri gula yang dicanangkan pemerintah untuk pencapaian swasembada gula adalah ekstensifikasi pertanian. Dukungan lahan pertanian yang dicanangkan oleh pemerintah untuk tercapainya program tersebut adalah 350 ribu hektar. Namun, hingga saat ini target perluasan areal tersebut belum tercapai. Peningkatan luas areal tanam tebu di Indonesia hingga tahun 2010 hanya mencapai 3.75 persen per tahunnya, sedangkan harapan pemerintah peluang ekstensifikasi lahan perkebunan tebu untuk tahun 2011 bisa mencapai 20 persen. 76 4. Penurunan tarif impor 49 persen Seiring dengan penerapan kebijakan ACFTA di Indonesia yang masih memperbolehkan penurunan tarif impor di Indonesia hingga 50 persen, maka berdasarkan kebijakan sebelumnya ingin diketahui dampak penurunan tarif impor sebesar 49 persen. Simulasi kebijakan penurunan tarif ini didasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan No.83/PMK.01/2005 yang pernah memberikan keringanan tarif bea masuk atas impor gula menjadi Rp 400.00 per kilogram dari sebelumnya Rp 790.00 per kilogram atau sebesar 49 persen. 5. Penurunan kuota impor gula 50 persen Penurunan kuota impor ini didasarkan atas wacana pemerintah yang mengusulkan untuk penurunan kuota impor gula sampai 50 persen. Pembatasan kuota impor tersebut diharapkan dapat memacu para petani tebu untuk meningkatkan produksinya dan mengurangi rembesan gula kristal rafinasi ke pasar konsumsi. 4.3.4.2.Simulasi Peramalan (Ex Ante Simulation) Simulasi peramalan digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ketiga yaitu meramalkan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal terhadap keragaan industri gula nasional, kesejahteraan pelaku ekonomi gula di Indonesia, dan penerimaan pemerintah dengan membandingkan pada 2 periode, yaitu sebelum diberlakukannya liberalisasi perdagangan gula ACFTA (2011-2014) dan pada saat liberalisasi perdagangan gula ACFTA (20152020). Simulasi peramalan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu simulasi tunggal dan simulasi kombinasi. Adapun skenario simulasi tersebut antara lain : Skenario Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian 1. Peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen. Peningkatan harga gula tingkat petani ini didasarkan atas keluhan petani melalui APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) yang menginginkan kenaikan HPP gula sebesar 30 persen. Usulan HPP sebesar 30 persen yang diinginkan petani tersebut diperoleh dengan asumsi kenaikan biaya produksi yang sebesar 30 persen yang terdiri dari biaya sewa lahan, sewa traktor, bibit, 77 biaya tanam, biaya tebang, biaya angkut, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bukan 14.7 persen seperti survei yang dilakukan oleh tim independen. Dengan HPP yang ada dan memperhitungkan 10 persen besarnya keuntungan bagi petani dirasa terlalu kecil bagi petani sebab petani membutuhkan waktu satu tahun untuk mendapatkan keuntungan 10 persen. 2. Penguatan kembali peran BULOG Melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 25 Tahun 1998, pemerintah telah menghapuskan peranan BULOG sebagai pengendali tunggal tata niaga gula di Indonesia. Penghapusan intervensi gula oleh BULOG ini juga berarti bahwa stok gula yang ada pada BULOG setelah kebijakan tersebut adalah nol atau tidak ada lagi. Namun kemudian pemerintah menyadari bahwa selama ini ketika produksi gula di dalam negeri tidak ada karena musim giling sudah selesai, pedagang sering kali memainkan harga gula di tingkat konsumen. Sementara pemerintah juga tidak dapat menstabilkan harga gula, karena tidak adanya stok gula. Oleh karena itu, muncul wacana dari Panitia Kerja swasembada gula DPR untuk mengembalikan peran BULOG sebagai buffer stock pengendalikan harga komoditas strategis ini. Wacana peningkatan kembali peran BULOG sebagai lembaga buffer stock disimulasikan dengan peningkatan stok gula sebesar 20 persen. 3. Peningkatan luas areal perkebunan tebu 30 persen Peningkatan luas areal perkebunan tebu ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai swasembada gula yang telah dirumuskan melalui Program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Dalam program tersebut pemerintah berharap dapat membuka areal perkebunan baru untuk pertanaman tebu sebesar 350 ribu hektar atau meningkat sekitar 30 persen, baik yang diupayakan oleh pihak pemerintah maupun swasta. 4. Swasembada absolut gula di Indonesia Simulasi ini dimaksudkan untuk mengetahui kesiapan industri gula Indonesia dalam permintaan dan penawarannya apabila pemerintah menutup kran impor. Hal ini sejalan dengan salah satu varian dari konsep swasembada pangan dengan pemenuhan kebutuhan pangan seluruhnya oleh produksi dalam negeri tanpa adanya impor gula. 78 5. Penghapusan tarif impor gula di Indonesia Sejak tanggal 1 Januari 2010 perjanjian antara China dan Indonesia efektif berlaku. Sesuai dengan skema kesepakatan ACFTA dimana komoditas gula yang dimasukkan kategori HSL akan mengalami penghapusan atau penurunan tarif pada 1 Januari 2015. Untuk melihat performansi industri gula di Indonesia terkait dengan impor gula, maka dilakukan simulasi penghapusan tarif yang artinya tarif impor gula sebesar nol. 6. Penurunan Tarif Impor Gula Simulasi ini dimaksudkan untuk melihat alternatif penurunan tarif impor gula terbaik yang masih dapat diterapkan dalam era liberalisasi perdagangan gula ACFTA pada komoditas yang masuk dalam kategori HSL. Karena batas penurunan tarif yang diperbolehkan dalam perjanjian tersebut adalah antara 0 sampai 50 persen, maka simulasi kebijakan penurunan tarif impor yang dilakukan antara lain penurunan tarif 10 persen, 30 persen, dan 50 persen. Skenario Tunggal Simulasi Perubahan Faktor Eksternal Simulasi perubahan faktor eksternal dalam penelitian ini meliputi : (1) peningkatan produksi gula China sebesar 20 persen dan (2) peningkatan produksi gula Thailand dan Brazil sebesar 20 persen. Pertimbangan memasukkan China didasarkan pada proyeksi adanya peningkatan produksi gula negara ini akibat peningkatan efisiensi pabrik gula yang mampu menghasilkan gula lebih banyak, sedangkan pertimbangan memasukkan Brazil dan Thailand sehubungan dengan terus menurunnya harga gula dunia menyusul keberhasilan panen kedua negara yang notabene menjadi eksportir gula terbesar di dunia. Besarnya perubahan sebesar 20 persen tersebut semata-mata hanya berdasarkan kecenderungan adanya peningkatan volume produksi dari negara bersangkutan mendekati 20 persen. Skenario Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian 1. Kombinasi penurunan tarif impor 50 persen dan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen. Skenario kebijakan kombinasi ini dilakukan untuk melihat bagaimana kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani yang direfleksikan dari peningkatan HPP gula dapat melindungi industri gula khususnya produsen domestik dari derasnya impor gula jika kebijakan penurunan tarif impor harus dilakukan. 79 2. Penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula petani 30 persen, dan peningkatan luas areal 30 persen. Skenario kombinasi ini dilakukan untuk melihat bagaimana kebijakan harga gula tingkat petani dan tercapainya target perluasan areal dalam Program Revitalisasi Industri Gula Nasional mampu melindungi industri gula dari serbuan gula impor. 3. Kombinasi peningkatan produksi gula China 20 persen, penurunan tarif impor 30 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen, dan peningkatan stok gula 20 persen. Simulasi ini dilakukan untuk melihat efektivitas dari kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen dan peningkatan stok dalam melindungi industri gula nasional dari peningkatan produksi gula China yang diduga akan meningkatkan ekspornya ke Indonesia serta keharusan penurunan tarif impor sesuai skema ACFTA yang menyebabkan peningkatan impor gula Indonesia. 4. Penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen, peningkatan luas areal 30 persen, dan peningkatan stok gula 20 persen. Kombinasi simulasi ini dilakukan untuk melihat bagaimana peningkatan luas areal, peningkatan stok gula, dan peningkatan harga gula tingkat petani mampu melindungi industri gula nasional dan kesejahteraan masyarakat. 4.3.5. Metode Peramalan Proses simulasi pada periode peramalan dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah meramalkan variabel eksogen. Prosedur yang digunakan untuk meramalkan nilai-nilai variabel eksogen adalah prosedur FORECAST. Prosedur tersebut merupakan prosedur ekstrapolasi yang praktis dan efisien dalam meramalkan nilai variabel tertentu dibandingkan dengan prosedur ilmiah yang memerlukan pengujian hipotesis yang lebih rumit (Sitepu dan Sinaga, 2006). Metode yang dapat digunakan untuk meramalkan nilai-nilai variabel eksogen antara lain Stepwise Autoregressive Method (STEPAR), Exponential Smoothing Method (EXPO), dan Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (WINTERS). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode STEPAR. Metode ini mengkombinasikan kecenderungan waktu dengan autoregressive dan menggunakan metode stepwise untuk memilih lag yang 80 digunakan pada prosedur autoregressive. Program dan hasil peramalan variabel eksogen dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Tahap kedua adalah peramalan nilai variabel endogen menggunakan prosedur SIMNLIN dan metode NEWTON. Program dan hasil peramalan variabel endogen dapat dilihat pada Lampiran 11 dan Lampiran 12. 4.4. Analisis Perubahan Indikator Kesejahteraan Surplus produsen dan konsumen menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan merupakan indikator penentu arah kebijakan yang dilakukan. Perubahan kesejahteraan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Perubahan Surplus Produsen Gula = a + b + c a. Produsen Perkebunan Besar Negara QGKPNb(HRGPBs – HRGPBb) + ½ (QGKPNs – QGKPNb) (HRGPBs – HRGPBb) b. Produsen Perkebunan Besar Swasta QGKPSb(HRGPBs – HRGPBb) + ½ (QGKPSs – QGKPSb) (HRGPBs – HRGPBb) c. Produsen Perkebunan Rakyat QGKPNb(HRGPs – HRGPb) + ½ (QGKPNs – QGKPNb) (HRGPs – HRGPb) 2. Perubahan Surplus Konsumen = a + b + c a. Konsumen Rumah Tangga DGRTb(HRGEb – HRGEs) + ½(DGRTb–DGRTs)(HRGEs – HRGEb) b. Konsumen Industri DGINb(HRGPBb – HRGPBs) + ½(DGINb–DGINs)(HRGPBs – HRGPBb) 3. Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif Impor Gula = a + b + c a. Impor Gula Indonesia dari Thailand (TIGs*MGITHs*(HRGINAs*1000))/100 - (TIGd*MGITHd*(HRGINAd*1000))/100 b. Impor Gula Indonesia dari China (TIGs*MGICNs*(HRGINAs*1000))/100 - (TIGd*MGICNd*(HRGINAd*1000))/100 c. Impor Gula Indonesia dari Negara Lain (TIGs*MGIRWs*(HRGINAs*1000))/100 - (TIGd*MGIRWd*(HRGINAd*1000))/100 4. Penerimaan Devisa Negara a. Impor Gula Indonesia dari Thailand (MGITHs*HRGINAs*1000) - (MGITHd*HRGINAd*1000) 81 b. Impor Gula Indonesia dari China (MGICNs*HRGINAs*1000) - (MGICNd*HRGINAd*1000) c. Impor Gula Indonesia dari Negara Lain (MGIRWs*HRGINAs*1000) - (MGIRWd*HRGINAd*1000) 5. Kesejahteraan Pelaku Pasar Net Surplus = Perubahan surplus produsen + Perubahan surplus konsumen + Penerimaan pemerintah dari tarif impor gula Keterangan : Subscript d = menyatakan nilai simulasi dasar Subscript s = menyatakan nilai simulasi kebijakan QGKPN = Produksi gula kristal putih perkebunan besar negara (ton) QGKPS = Produksi gula kristal putih perkebunan besar swasta (ton) QGKPR = Produksi gula kristal putih perkebunan rakyat (ton) DGRT = Permintaan gula rumah tangga (ton) DGIN = Permintaan gula industri (ton) HRGE = Harga riil eceran gula (Rp/Kg) HRGPB = Harga riil gula tingkat pedagang besar (Rp/Kg) HRGP = Harga riil gula tingkat petani (Rp/Kg) HRGINA = Harga impor riil gula Indonesia (Rp/Kg) TIG = Tarif impor gula Indonesia (%) MGITH = Impor gula Indonesia dari Thailand (ton) MGICN = Impor gula Indonesia dari China (ton) MGIRW = Impor gula Indonesia dari Negara Lain (ton) 82 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk menghasilkan gula hablur yang tinggi. Gula hablur ini merupakan sukrosa yang dikristalkan, dimana dalam sistem produksi gula pembentukan gula terjadi di dalam proses metabolisme tanaman. Pabrik gula sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi gula kristal. Perkembangan luas areal perkebunan tebu dan produktivitas gula hablur di Indonesia dari tahun 2005-2011 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Luas Areal (ha) Tahun PBN PBS Produktivitas (ton/ha) PR PBN PBS PR 2005 80 383 89 924 211 479 5.27 6.95 5.64 2006 87 227 95 338 213 876 5.20 6.58 5.74 2007 81 655 96 657 249 487 5.20 7.08 6.07 2008 82 222 101 500 252 783 4.82 7.25 6.08 2009 74 185 105 549 243 219 4.81 7.90 5.46 2010 76 250 114 494 243 513 4.13 5.94 5.32 79 302 114 554 280 067 5.89 8.25 6.24 *) 2011 Keterangan : PBN PBS PR *) Sumber : Perkebunan Besar Negara : Perkebunan Besar Swasta : Perkebunan Rakyat : Angka sementara : Ditjenbun (2011) Saat ini perkebunan rakyat mendominasi luas areal perkebunan tebu di Indonesia. Berdasarkan data dari tahun 2005-2011 terlihat bahwa perkebunan rakyat memiliki luas areal yang terbesar dibandingkan luas areal perkebuan besar negara dan swasta. Pada tahun 2010 dari total areal perkebunan tebu nasional seluas 434 257 ha, sekitar 243 513 ha (56.08 persen) diusahakan oleh perkebunan rakyat, sedangkan 76 250 ha (17.56 persen) diusahakan oleh perkebunan besar negara dan sisanya 114 494 ha (26.37 persen) diusahakan oleh perkebunan besar swasta. Pada periode 2005-2011 pertumbuhan luas areal perkebunan besar swasta selalu mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan 4.48 persen per tahun, 84 sedangkan luas areal perkebunan rakyat mencapai 6.46 persen per tahun, sementara luas areal perkebunan besar negara hanya 0.37 persen per tahun. Luas areal perkebunan rakyat mengalami penurunan pada tahun 2009. Hal ini dipicu oleh anjloknya harga gula pada periode tersebut sehingga menurunkan minat petani untuk menanam tebu, sedangkan pada perkebunan besar negara, anomali cuaca yang tidak kondusif menyebabkan banyak tebu yang tidak berbunga sehingga tanaman tebu banyak yang mati. Selain itu, terjadinya konflik hak guna usaha pada perkebunan besar negara VII Unit Usaha Cinta Manis Sumatera Selatan yang berujung pada pembakaran luas areal perkebunan sehingga mengurangi luas areal perkebunan besar negara. Apabila ditinjau dari sisi produktivitasnya, selama kurun waktu 2005-2011 rata-rata tingkat produktivitas gula hablur pada perkebunan besar swasta jauh lebih tinggi dibandingkan pada perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara. Produktivitas perkebunan rakyat dan negara cenderung mengalami penurunan, sedangkan swasta mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 2010 seluruh perkebunan mengalami penurunan produktivitas sebelum akhirnya kembali mengalami peningkatan pada tahun 2011. Produktivitas perkebunan rakyat meningkat sebesar 6.24 ton per hektar, perkebunan besar negara meningkat 5.89 ton per hektar, sedangkan perkebunan besar swasta meningkat 8.25 ton per hektar. Produktivitas perkebunan besar swasta lebih baik karena lahan perkebunan tebunya berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang didukung dengan pola manajemen budidaya tebu yang integratif dan dikelola dengan baik. Dalam rangka mendukung target swasembada gula nasional pada 2014, pemerintah mencanangkan program revitalisasi dengan memperluas tanaman tebu dan peningkatan produktivitas melalui penataan komposisi varietas, percepatan pembibitan dengan menerapkan metode colombia, rehabilitasi, dan revitalisasi pabrik gula serta peningkatan efisiensi pabrik serta peningkatan kualitas hasil produksi (Tim Nasional Revitalisasi Industri Gula, 2010). Target perluasan areal tebu dalam rangka program revitalisasi adalah seluas 600 ribu hektar. Akan tetapi sampai saat ini masalah yang dihadapi oleh industri perkebunan tebu adalah masih kurangnya areal perkebunan dalam rangka mendukung program tersebut. 85 5.2. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Impor, dan Stok Gula Indonesia 5.2.1. Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan telah ditetapkan sebagai salah satu komoditas strategis sebagaimana yang tertuang dalam Kepres No. 57 Tahun 2004. Indonesia pernah menjadi negara produsen gula terbesar kedua setelah Kuba yang mampu memasok kebutuhan gula negaranegara lain. Namun, saat ini fakta tersebut telah berbalik, dan Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor gula terbesar di dunia. Hal ini terjadi karena produksi gula Indonesia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pabrik gula di Indonesia tidak hanya memproduksi gula kristal putih, tetapi sejak tahun 2003 juga memproduksi gula kristal rafinasi. Gula kristal putih ditujukan untuk konsumsi rumah tangga, sedangkan gula kristal rafinasi untuk konsumsi industri. Berikut ini adalah perkembangan produksi gula kristal putih dan rafinasi di Indonesia tahun 2003-2010. Tabel 7. Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 Produksi (ton) Tahun Gula Kristal Putih Gula Kristal Rafinasi 2003 1 631 919 329 547 2004 2 051 643 439 990 2005 2 241 742 759 708 2006 2 307 027 1 100 228 2007 2 448 143 1 441 501 2008 2 668 428 1 256 435 2009 2 299 504 2 031 843 2010 2 214 488 2 356 805 2011 2 228 259 2 192 109 Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012 Produksi gula kristal putih merupakan produksi gula yang berbahan baku tebu petani, sedangkan produksi gula kristal rafinasi sebagian besar bahan bakunya masih berupa gula mentah yang berasal dari impor. Berdasarkan Tabel 7 tampak bahwa produksi gula kristal putih Indonesia dari tahun 2003 hingga 2010 mengalami pertumbuhan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi 86 gula kristal rafinasi yang baru berdiri sejak tahun 2003. Sejak awal berdirinya, hanya terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Selama periode 2003-2005, ketiga pelaku usaha tersebut mampu memasok kebutuhan gula kristal rafinasi untuk industri hingga 759.71 ribu ton per tahun. Kemudian pada 2006-2008, pelaku usaha di industri gula kristal rafinasi ini bertambah menjadi tujuh pelaku usaha dengan total kemampuan pasokan meningkat jadi sekitar 1.1 juta ton hingga 1.4 juta ton per tahun. Pada 2009 hingga sekarang, total pelaku usaha dalam industri gula kristal rafinasi menjadi delapan, sehingga kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai lebih dari 2 juta ton per tahun. Pertumbuhan produksi gula kristal rafinasi paling tinggi adalah pada tahun 2009 yaitu tumbuh 61.71 persen menjadi 2.031 juta ton gula, sedangkan gula kristal putih, yang mayoritas diproduksi oleh pabrik gula BUMN dan swasta yang berjumlah 62 unit hanya mampu berproduksi 2.228 juta ton pada tahun 2011. Produksi gula kristal putih bahkan tidak mampu tumbuh lebih dari 10 persen dalam setiap tahunnya. Pada tahun 2009 produksi gula kristal putih mengalami penurunan paling besar, yaitu 13.83 persen dari 2.668 juta ton pada tahun 2008 menjadi hanya sebesar 2.299 juta ton pada tahun 2009. Bahkan pada tahun 2010 produksi gula kristal putih masih mengalami penurunan hingga menyebabkan produksinya lebih rendah dibandingkan gula kristal rafinasi. Ketidakmampuan produksi gula kristal putih dalam meningkatkan laju produksinya, disebabkan pabrik-pabrik gula yang memproduksi gula kristal putih tersebut mayoritas adalah pabrik-pabrik tua peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang dalam prosesnya kurang memenuhi standar sebagai produsen bahan pangan. 5.2.2. Konsumsi Gula Rumah Tangga dan Industri Indonesia merupakan negara yang masih menganut dualisme gula, dimana di Indonesia konsumsi gula di Indonesia dibedakan berdasarkan penggunaannya, yaitu konsumsi gula langsung atau rumah tangga dan konsumsi gula industri. Gula kristal putih adalah gula yang ditujukan untuk konsumen rumah tangga, sedangkan gula kristal rafinasi tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi rumah tangga sehingga hanya sektor industri yang mempergunakan gula jenis ini. Sektor 87 industri yang paling banyak menggunakan gula kristal rafinasi adalah sektor industri makanan dan minuman. Namun, kurangnya pengawasan membuat tidak sedikit gula kristal rafinasi merembes pada pasar konsumsi. Berikut ini adalah perkembangan konsumsi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi di Indonesia tahun 2003-2007. Tabel 8. Konsumsi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 Konsumsi (ton) Tahun Gula Kristal Putih Gula Kristal Rafinasi 2003 2 309 570 845 918 2004 2 441 279 904 203 2005 2 616 480 1 373 403 2006 2 719 956 1 532 837 2007 2 618 679 2 084 737 2008 2 693 559 1 647 555 2009 3 011 971 2 280 139 2010 2 288 025 2 519 232 2011 2 768 831 2 246 705 Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012 Konsumsi gula kristal putih di Indonesia berfluktuasi dalam setiap tahunnya. Konsumsi gula kristal putih mengalami penurunan 24.04 persen dari tahun 2009 sebesar 3.012 juta ton menjadi 2.288 juta ton pada tahun 2010. Seiring dengan peningkatan produksinya, pertumbuhan konsumsi gula kristal rafinasi juga lebih tinggi dibanding pertumbuhan gula kristal putih. Gula kristal rafinasi meningkat 38.40 persen pada tahun 2009 dengan total konsumsi mencapai 2.280 juta ton. Bahkan pada tahun 2010, konsumsi gula kristal rafinasi meningkat 10.49 persen atau sebesar 2.519 juta ton lebih tinggi dari konsumsi gula rumah tangga. 5.2.3. Impor Gula Indonesia Berdasarkan Tabel 7 dan 8 dapat dilihat bahwa kebutuhan gula di Indonesia baik gula kristal putih maupun rafinasi seringkali lebih tinggi daripada produksi gula di Indonesia. Adanya gap atau selisih antara produksi dan konsumsi ini yang menyebabkan Indonesia selalu membuka kran impornya untuk memenuhi kekurangan konsumsi gula dalam negeri. Peningkatan tersebut selain karena 88 peningkatan jumlah penduduk dan tingkat perekonomian masyarakat yang mengalami peningkatan juga karena meningkatnya kebutuhan gula karena industri makanan dan minuman juga mengalami kemajuan. Perkembangan impor gula Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 9. Tabel 9. Impor Gula Kristal Putih, Gula Mentah, dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 Impor (ton) Tahun Gula Kristal Gula Kristal Putih Gula Mentah Rafinasi 2003 647 908 350 582 516 371 2004 256 589 478 250 464 213 2005 453 160 808 200 629 615 2006 216 490 952 387 462 741 2007 448 681 1 255 522 715 930 2008 49 025 1 213 470 453 743 2009 13 000 1 670 000 149 837 2010 446 894 2 265 000 158 384 2011 143 479 2 268 954 60 412 Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012 Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa laju pertumbuhan impor gula kristal putih relatif berfluktuasi dipengaruhi oleh kebijakan impor yang diterapkan oleh pemerintah. Impor gula kristal putih mempunyai komposisi yang lebih kecil dibanding impor gula kristal rafinasi dan gula mentah karena impor gula kristal putih dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan kebutuhan gula didaerah non sentra produksi. Daerah sentra produksi gula di Indonesia berada pada wilayah Indonesia bagian barat sehingga kekurangan gula pada non sentra produksi atau wilayah timur Indonesia seringkali dipenuhi melalui impor karena distribusi dari daerah sentra produksi membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya transportasi yang tinggi apabila menunggu distribusi gula dari wilayah barat. Sejak tahun 2007 impor gula kristal putih telah mengalami penurunan namun pada tahun 2010 impor gula kristal putih meningkat kembali menjadi 446.89 ribu ton karena faktor cuaca yang menyebabkan penurunan produksi. 89 Impor gula mentah digunakan oleh pelaku-pelaku dalam industri gula kristal rafinasi di Indonesia untuk kemudian diolah menjadi gula kristal rafinasi. Berdasarkan Tabel 9 seiring dengan bertambahnya jumlah pabrik gula kristal rafinasi maka permintaan akan impor gula mentah juga terus meningkat. Peningkatan impor gula mentah terjadi sejak tahun 2007 yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Impor gula mentah tahun 2011 mencapai 2.268 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan gula kristal rafinasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun pemerintah juga melakukan impor langsung gula kristal rafinasi untuk diserap oleh industri yang menggunakan bahan baku gula kristal rafinasi. Perkembangan impor gula kristal rafinasi menunjukkan tren penurunan seiring dengan peningkatan pabrik gula kristal rafinasi. Hingga tahun 2011 impor langsung gula kristal rafinasi hanya 60.412 ribu ton. 5.3. Stok Gula Indonesia Peningkatan impor gula yang terus meningkat dari tahun ke tahun karena ketidakmampuan industri gula dalam meningkatkan produksinya semakin diperparah dengan tidak adanya peran BULOG dalam importasi gula Indonesia. Hal ini menyebabkan stok gula mengalami peningkatan setiap tahunnya. Stok gula yang tercatat kini merupakan data stok gula yang terdapat pada perusahaanperusahaan gula. Berikut ini adalah data yang menunjukkan perkembangan stok gula di Indonesia tahun 2003-2011. Tabel 10. Stok Awal Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 Stok Awal Tahun (ton) Tahun Gula Kristal Putih Gula Kristal Rafinasi 2003 391 701 75 000 2004 528 986 75 000 2005 397 219 75 000 2006 617 581 90 920 2007 446 142 121 052 2008 888 485 193 746 2009 947 926 256 369 2010 352 852 157 910 2011 876 102 153 868 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 90 Berdasarkan data pada Tabel 10 tampak bahwa pasokan gula yang tidak tersalurkan berfluktuasi setiap tahunnya. Menyikapi data tersebut, seharusnya dengan tingkat stok gula kristal putih yang tinggi tersebut pemerintah tidak perlu melakukan atau mengurangi impor gula kristal putih pada tahun-tahun berikutnya. Namun, berdasarkan data impor gula kristal putih pada Tabel 8 menunjukkan bahwa impor gula kristal putih tetap dilakukan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan ketidakcermatan pemerintah dalam menghitung stok gula kristal putih yang membuat impor terus dilakukan. Terlebih lagi, data stok tersebut belum termasuk gula selundupan atau ilegal dan rembesan gula kristal rafinasi yang beredar pada pasar konsumsi. Peningkatan stok gula kristal putih paling besar terjadi pada tahun 2008 dan 2010. Pada tahun 2008 stok gula kristal putih meningkat sebesar 99.15 persen menjadi sebesar 888.48 ribu ton, sedangkan pada tahun 2011 meningkat 148.28 persen atau sebesar 876.10 ribu ton. Stok gula kristal rafinasi cenderung lebih rendah dibandikan cadangan gula kristal putih. Hal ini menunjukkan distribusi dan impor gula kristal rafinasi lebih efektif dibandingkan impor gula kristal putih. Gula kristal rafinasi diimpor oleh beberapa produsen gula kristal rafinasi yang jumlahnya lebih sedikit dari produsen gula kristal putih. Gula kristal rafinasi mengalami peningkatan paling besar tahun 2008 sebesar 60.05 persen atau sebesar 193.75 ribu ton dan meningkat kembali 32.32 persen atau sebesar 256.37 ribu ton pada tahun 2010. Sejak 2 tahun terakhir stok gula kristal rafinasi menunjukkan tren penurunan. Perhitungan neraca gula yang tidak cermat inilah yang membuat impor gula dan produksi gula yang sebenarnya mencukupi untuk kebutuhan nasional tidak terserap oleh pasar. Kelebihan stok gula kristal putih yang cukup besar dari tahun ke tahun diduga disebabkan diluar musim giling stok gula kristal putih dikuasai oleh beberapa pedagang besar saja. Hal ini yang membuat pemerintah melakukan impor gula untuk menjaga stabilitas harga gula didalam negeri. Penguatan peran BULOG tampaknya dibutuhkan sebagai lembaga yang berwenang mengatur impor gula dan lembaga buffer stock untuk komoditas strategis seperti gula, sehingga perhitungan kekurangan pasokan gula dapat dilakukan secara cermat. 91 5.3. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Dunia Gula Sejak tahun 2004 pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam industri gula yang lebih mengarah untuk melindungi petani dan meningkatkan kesejahteraan dalam rangka mewujudkan swasembada gula. Perlindungan tersebut berupa penetapan harga patokan petani (HPP) yang besarnya ditentukan oleh pemerintah dan direvisi setiap tahunnya. HPP ini menjadi tolak ukur dalam pembentukan harga gula awal pada tingkat petani yang dikenal sebagai harga lelang. Di Indonesia dikenal istilah “the seven samurai” yaitu tujuh pengusaha yang bermain dalam industri pergulaan Indonesia. Kelompok pengusaha tersebut beroperasi melalui sistem pembelian gula melalui lelang. Tidak hanya adanya pengusaha besar yang mempengaruhi pergerakan harga gula di Indonesia, keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional membuat harga gula domestik tidak lagi ditentukan oleh harga gula petani melainkan harga gula dunia turut mempengaruhi pergerakan harga gula domestik. Pergerakan harga gula baik pada pasar domestik maupun pada pasar dunia disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Dunia Gula Tahun 2004-2011 Harga Gula (Rp/Kg) Tahun HPP Lelang Domestik Dunia 2004 3 410 3 609 5 489.70 1 417.10 2005 3 800 4 585 5 979.80 2 114.38 2006 4 000 5 380 6 341.90 2 984.80 2007 4 900 5 382 6 190.80 2 030.86 2008 5 100 5 255 8 205.00 2 729.76 2009 5 350 7 056 8 752.00 4 132.77 2010 6 350 8 732 10 502.00 4 270.42 2011 7 000 8 142 9 981.20 5 040.18 Sumber : Data HPP, Harga Lelang, dan Harga Domestik : Dewan Gula Indonesia, 2012 Data harga gula dunia : International Sugar Organization (ISO), 2012 Harga nominal gula baik pada pasar domestik maupun dunia menunjukkan tren peningkatan. Berdasarkan Tabel 11 HPP gula setiap tahunnya direvisi oleh pemerintah dan menunjukkan tren peningkatan. Presentase peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2007 dimana HPP gula meningkat 22.50 persen atau Rp 900.00 92 dan pada tahun 2010 yang meningkat Rp 1 000.00 atau 18.7 persen. Namun, harga lelang gula yang diterima petani mengalami fluktuasi, dan memiliki laju pertumbuhan yang menurun. Pada tahun 2008 harga lelang yang diterima petani menurun 2.36 persen dari harga lelang tahun sebelumnya. Demikian pula yang terjadi pada tahun 2011, dimana petani menerima harga lelang hanya Rp 8 142.00 atau menurun 6.76 persen dari tahun sebelumnya. Harga gula dunia secara umum mengalami peningkatan. Penurunan harga gula terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 2 030.86 per kilogram atau menurun 31.96 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan menurunnya produksi gula Brazil yang merupakan eksportir utama gula dunia. Namun setelah tahun 2007 harga gula dunia terus melambung. Pergerakan harga gula domestik cenderung mengikuti pergerakan harga gula dunia. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan impor gula, harga gula di pasar dunia berpengaruh cukup signifikan terhadap harga gula domestik baik pada harga lelang yang diterima petani maupun harga domestik. Harga gula domestik mengalami peningkatan setiap tahunnya kecuali pada tahun 2011 yang mengalami penurunan menjadi Rp 9 981.20. Penurunan ini diakibatkan oleh banyaknya gula impor yang diperparah dengan impor gula ilegal yang masuk ke pasar konsumen. Penurunan harga gula ini juga berimbas pada penurunan harga lelang gula yang diterima petani. 5.4. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia 5.4.1. Produksi Gula Dunia Sebagai salah satu komoditas pangan yang berguna sebagai sumber kalori yang penting bagi manusia, gula banyak diproduksi oleh beberapa negara yang mempunyai kesesuaian lahan dan iklim untuk budidaya tebu. Negara-negara penghasil gula terbesar adalah negara-negara dengan iklim hangat seperti Brazil, Australia, dan Thailand. Perkembangan produksi gula pada negara-negara penghasil gula cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring dengan kemajuan teknologi dalam budidaya tebu dan tingkat efisiensi pabrik gula dalam memproduksi gula. Berikut ini pada Tabel 12 dapat dilihat perkembangan 10 negara produsen gula utama di dunia pada periode 2008-2010. 93 Tabel 12. Produksi Gula di Beberapa Negara Produsen Terbesar Gula Dunia Tahun 2008-2010 Tahun (ton) No Produksi 2008 2009 2010 1. Brazil 29 517 295 31 864 673 36 680 773 2. India 26 338 546 14 673 413 18 985 281 3. China 12 490 322 10 788 040 10 515 179 4. Thailand 7 190 929 6 611 398 6 374 158 5. Amerika Serikat 6 286 109 6 514 259 6 535 419 6. Mexico 5 464 397 4 565 317 4 439 319 7. Australia 4 382 190 4 263 109 4 157 314 8. Pakistan 3 829 807 3 206 992 3 606 256 9. Perancis 3 529 899 3 980 681 3 557 498 3 347 185 3 870 708 3 349 052 10. Jerman Sumber : FAO, 2012 Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa Brazil masih menduduki peringkat pertama produsen gula dunia. Produksi gula Brazil selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa produksi gula Brazil pada tahun 2010 sebanyak 38.68 juta ton atau mampu menguasai 25.74 persen produksi gula dunia yang meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mampu menguasai 23.29 persen produksi gula dunia. Keberhasilan Brazil dalam industri gula ini karena dukungan teknologi yang lebih maju baik dalam pembibitan, pemeliharaan, dan pemanenan tebu dibanding negara lainnya. India juga merupakan negara produsen terbesar kedua di dunia. Namun tren produksi gula India mengalami penurunan. Produksi gula India sebesar 26.34 juta ton pada tahun 2008 dan mengalami penurunan sebesar 7.03 persen menjadi hanya sebesar 14.673 juta ton pada tahun 2009. Kemudian kembali mengalami peningkatan sebesar 18.985 juta ton. Penurunan gula India ini dikarenakan cuaca yang sangat ekstrim dan bencana kekeringan yang melanda negara ini. Demikian juga dengan China yang menjadi negara dengan penduduk terbesar di dunia juga merupakan produsen gula ketiga terbesar di dunia. Produksi gula China menguasai 7.38 persen produksi gula dunia atau sebesar 18.985 juta ton. Thailand menjadi salah satu produsen gula terbesar di Asia Tenggara. Produksinya mencapai 7.190 juta 94 ton atau menguasai 4.85 persen produksi gula dunia. Akan tetapi, produksi gula Thailand mengalami penurunan dari tahun 2009 hingga 2010. 5.4.2. Konsumsi Gula Dunia Kebutuhan akan gula sebagai salah satu sumber kalori di dunia terus meningkat. Peningkatan ini dapat ditunjukkan dari pertumbuhan konsumsi gula dunia yang meningkat dengan laju 0.97 persen pada tahun 2008 (FAO, 2012). Peningkatan konsumsi gula terutama sangat berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan, dan perkembangan industri makanan dan minuman. India, Amerika Serikat, dan China pada Tabel 9 ditunjukkan sebagai negara produsen gula terbesar di dunia, ternyata tidak hanya mempunyaii kemampuan produksi yang tinggi, ketiga negara tersebut juga menjadi negara terbesar untuk konsumsi gula di dunia. Lebih lanjut mengenai perkembangan konsumsi gula negara konsumen terbesar gula di dunia disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Konsumsi Gula di Beberapa Negara Konsumen Terbesar Gula Dunia Tahun 2007-2009 Tahun (ton) No. Negara 2007 2008 2009 19 121 765.41 20 536 276.91 22 039 492.18 9 297 591.54 9 281 262.19 9 379 266.79 1. India 2. Amerika Serikat 3. China 10 216 894.20 8 922 887.76 7 424 276.91 4. Brazil 6 901 473.78 7 000 953.08 7 001 940.20 5. Mexico 4 549 092.00 4 628 262.19 4 740 655.93 6. Rusia 5 950 532.66 5 470 660.53 4 166 477.46 7. Pakistan 3 803 080.04 4 259 600.74 3 612 639.37 8. Jerman 2 903 215.27 2 900 541.86 2 900 598.90 9. Indonesia 2 779 690.89 2 752 919.04 2 814 996.32 10. Perancis 1 918 126.95 2 290 520.70 2 155 808.65 Sumber : FAO, 2012 Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa mayoritas negara konsumen gula terbesar di dunia merupakan negara produsen gula. Negara yang mengonsumsi gula terbesar di dunia selama tiga tahun terakhir adalah India. 95 Posisi India tidak tergeser dan semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2009 share konsumsi gula India adalah 16.67 persen konsumsi gula dunia. Peningkatan konsumsi gula India sangat berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduknya yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan pada posisi kedua adalah Amerika dengan share 7.10 persen konsumsi gula dunia. Pada tahun 2007 China menjadi konsumen gula terbesar kedua di dunia. Namun tren konsumsi gula China mengalami penurunan dari tahun ke tahun sehingga China menempati urutan ketiga dalam konsumsi gula dunia. Konsumsi gula di China diperkirakan akan terus menurun seiring dengan progam pemerintah China yang tengah menekan laju pertumbuhan penduduknya. Indonesia juga masuk ke dalam sepuluh negara konsumen gula terbesar dunia. Hal ini dikarenakan gula juga merupakan penduduk terbesar di dunia. Konsumsi gula Indonesia memiliki share 2.13 persen dari konsumsi gula dunia pada tahun 2009. Apabila ditinjau dari sisi produksi, dimana Indonesia bukan merupakan negara produsen gula terbesar di dunia tingkat konsumsi tersebut sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia mengejar angka konsumsi dengan terus berupaya meningkatkan produksinya. 5.5. Ekspor dan Impor Gula Dunia 5.5.1. Ekspor Gula Dunia Gula merupakan sumber kalori bagi kebutuhan pangan dunia. Namun tidak semua negara mampu memenuhi kebutuhan penduduknya melalui produksinya sendiri. Oleh karena itu, beberapa produsen gula juga melakukan ekspor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi negara lain yang kekurangan pasokan gula. Namun, tidak semua negara produsen menjadi negara eksportir gula. Negara produsen yang juga mempunyai share ekspor gula yang cukup besar diantaranya Brazil, Thailand, dan Australia. India juga memiliki share ekspor yang besar namun beberapa tahun terakhir karena bencana yang menyebabkan kegagalan panen India beralih menjadi importir gula. Perkembangan sepuluh negara eksportir gula terbesar di dunia dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 14. 96 Tabel 14. Negara Eksportir Gula Dunia Tahun 2008-2010 Tahun (ton) No. Negara 2008 2009 1. Brazil 2. 2010 18 382 053 22 859 395 26 323 624 Thailand 4 773 471 4 864 634 4 334 643 3. Australia 2 356 240 2 434 819 2 842 163 4. France 1 969 642 2 242 702 2 338 397 5. Guatemala 1 193 134 1 463 969 1 602 653 6. India 3 214 025 40 853 1 268 418 7. Mexico 952 832 965 060 855 339 8. Colombia 408 477 897 519 791 184 9. Cuba 741 314 684 765 497 267 10. South Africa 647 933 854 694 404 857 Sumber : FAO, 2012 Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun Brazil masih menjadi eksportir gula terbesar di dunia, yang kemudian diikuti oleh Thailand, Australia, Perancis, Guatemala, India, dan Mexico. Ekspor gula Brazil yang selalu mengalami peningkatan membuat posisi Brazil sebagai negara eksportir terbesar di dunia semakin tidak tergantikan oleh negara lain. Brazil mampu menguasai 57.11 persen ekspor gula dunia atau sebesar 26.32 juta ton pada tahun 2010. Posisi kedua ekspor terbesar adalah Thailand, dengan share lebih dari 10 persen yang relatif stabil dalam tiga tahun terakhir. Ekspor gula Thailand meningkat pada tahun 2009 dan menurun menjadi 1.15 persen pada tahun 2010 menjadi sebesar 4.33 juta ton. Australia juga merupakan negara eksportir gula dengan share ketiga terbesar di dunia yang relatif konsisten dengan volume ekspornya. Australia mampu menguasai kurang lebih dari 5 persen ekspor gula dunia. Demikian halnya dengan India, pada tahun 2008 India merupakan negara pengekspor gula terbesar keempat di dunia dengan share 6.97 persen. Namun, seiring dengan bencana kekeringan yang pernah melanda India dan menyebabkan penurunan produksi ekspor India pada tahun 2009 mengalami penurunan dan hanya menguasai 0.09 persen pasar ekspor gula dunia. Namun, pada tahun 2010 share ekspor gula India kembali meningkat dengan menguasai 2.75 persen pasar ekspor gula dunia. 97 5.5.2. Impor Gula Dunia Gula sebagai bahan pemanis utama dibutuhkan sebagai sumber energi bagi sebagian besar penduduk dunia. Ketidakmampuan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negerinya membuat negara tersebut harus melakukan impor gula. Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui perkembangan negara-negara pengimpor gula terbesar di dunia dari tahun 2008-2010. Tabel 15. Negara Importir Gula Dunia Tahun 2008-2010 Tahun (ton) No Negara 2008 2009 2010 1. United States of America 2 479 994 2 368 537 2 754 799 2. Russian Federation 2 291 500 1 251 821 2 017 788 3. China 1 151 821 1 526 660 1 896 877 4. India 355 056 2 387 959 1 105 008 5. Indonesia 972 317 1 384 150 1 675 116 6. Iran (Islamic Republic of) 837 679 502 532 1 668 933 7. Malaysia 1 335 290 1 442 227 1 578 382 8. Republic of Korea 1 515 922 1 519 310 1 508 975 9. Saudi Arabia 1 387 473 1 072 659 1 446 650 10. United Kingdom 1 399 846 1 322 014 1 331 261 Sumber : FAO, 2012 Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa negara importir gula terbesar di dunia antara lain Amerika, Rusia, China, India, dan Indonesia. Impor gula Amerika merupakan yang terbesar setiap tahunnya. Pada tahun 2010, impor gula Amerika mencapai 2.75 juta ton atau menguasai 5.42 persen impor gula dunia. Rusia juga merupakan negara pengimpor gula yang cukup besar setelah Amerika karena menguasai 3.97 persen impor gula dunia pada tahun 2010. China yang merupakan negara produsen gula juga telah menjadi negara pengimpor gula karena produksi gula domestik yang kurang mencukupi. Impor gula China dari tahun 2008-2010 cenderung mengalami peningkatan. China mengimpor gula sebesar 1.15 juta ton pada tahun 2008, meningkat menjadi 1.53 juta ton pada tahun 2009 dan meningkat kembali sebesar 1.89 juta ton pada tahun 2010. Demikian halnya dengan India, pada tahun 2008 India hanya mengimpor sebesar 355.06 ribu ton, namun seiring dengan bencana kekeringan yang menurunkan 98 produksi hingga mengurangi ekspornya membuat negara ini juga melakukan impor gula. Bahkan negara ini menjadi importir gula terbesar di dunia pada tahun 2009 dengan total impor gula sebesar 2.39 juta ton. Jumlah gula yang diimpor oleh suatu negara dipengaruhi pula oleh kebijakan pada perdagangan gula yang diterapkan oleh pemerintah masing-masing negara. 5.6. Impor Gula Indonesia Masalah pokok dalam pergulaan nasional adalah ketidakmampuan produksi gula Indonesia dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Hal inilah yang kemudian membuat pemerintah selalu memenuhi kekurangan tersebut dengan melakukan impor gula. Bahkan, Indonesia termasuk negara yang cukup besar dalam melakukan importasi gula. Adapun perkembangan impor gula Indonesia tahun 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Impor Gula Indonesia dari Thailand, China, Singapura, dan Australia Tahun 2001-2010 Total Partner Impor Gula Indonesia Tahun Impor Thailand China Singapura Australia ROW Indonesia 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 651 522 460 124 517 971 758 693 690 082 177 888 1 086 935 800 040 572 684 421 150 27 635 43 340 13 356 28 16 022 23 018 3 500 201 250 299 30 240 22 823 2 031 6 220 874 1 226 7 202 49 553 8 074 3 760 60 562 82 089 139 330 116 030 249 345 407 259 654 920 3 601 172 804 167 354 430 900 308 881 275 858 195 385 565 171 716 586 696 350 100 117 517 803 694 600 1 200 858 917 258 948 546 1 076 356 1 521 494 1 325 977 2 448 907 953 512 1 271 615 1 287 162 Sumber : FAO, 2012 Ketergantungan impor gula Indonesia setiap tahun semakin meningkat menurunkan pertumbuhan industri gula di dalam negeri. Hal ini juga turut menjadi ancaman terhadap kemandirian pangan Indonesia yang mempunyai penduduk yang besar dengan daya beli yang masih rendah. Nainggolan (2010) menyatakan bahwa kemandirian pangan mensyaratkan agar pemenuhan kebutuhan pangan pokok semaksimal mungkin dipenuhi oleh produksi dalam negeri mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya 99 alam yang memadai dan mempunyai potensi untuk berproduksi lebih baik dari saat ini. Impor gula Indonesia banyak berasal dari negara Thailand, Singapura, China, Australia, serta negara lain. Sesuai dengan Tabel 16 dapat dilihat bahwa impor gula Indonesia paling banyak berasal dari Thailand. Pada periode 2001-2010 diperoleh bahwa proporsi (share) rata-rata impor gula Indonesia dari Thailand sebesar 47.38 persen dan dari Australia sebesar 15.85 persen sehingga proporsi kedua negara tersebut sebesar 63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kedua negara tersebut merupakan eksportir utama gula di Indonesia. Selain dari kedua negara tersebut, impor gula Indonesia juga banyak berasal dari China, dan Singapura. Sekalipun China masih melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, namun negara ini masih melakukan ekspor gulanya ke Indonesia. Indonesia merupakan negara utama tujuan ekspor gula China. Demikian juga dengan Singapura, sekalipun negara ini bukan negara produsen gula dan bahkan juga melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, sebagian besar impor gula Indonesia berasal dari negara ini. Ditinjau dari sisi impornya, fluktuasi impor gula Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang mengatur ketentuan impor gula. Selama satu dekade terakhir impor gula Indonesia paling tinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 2.45 juta ton dengan impor terbeesar dari Thailand sebesar 1.09 juta ton. 100 101 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan gula Indonesia dalam penelitian ini merupakan model simultan yang dinamis dan dibangun dari 30 persamaan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Model tersebut sudah melalui beberapa tahapan respesifikasi model. Data yang digunakan adalah deret waktu (time series) dengan periode pengamatan tahun 1981 sampai dengan tahun 2010. Berdasarkan kriteria ekonomi, semua variabel penjelas telah menunjukkan tanda parameter estimasi yang sesuai dengan harapan (hipotesis). Berdasarkan kriteria statistik, nilai koefisien determinasi (R2) secara umum cukup tinggi. Sebagian besar (83.33 persen) persamaan struktural mempunyai nilai R2 diatas 50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 83.33 persen variabel penjelas yang mampu menjelaskan dengan baik lebih dari 50 persen perilaku variabel endogen. Kemudian apabila dilihat dari nilai peluang uji F-statistik, sebesar 86.67 persen persamaan memiliki nilai peluang uji F-statistik yang lebih kecil dari taraf α = 0.05. Pengujian asumsi klasik autokorelasi yang menggunakan uji statistik durbin watson (dw) diperoleh nilai dw berkisar antara 1.440 sampai 2.366 sedangkan yang menggunakan uji statistik durbin-h (dh) diperoleh kisaran nilai -2.448 sampai 2.829. Dari hasil tersebut diperoleh 11 persamaan yang mengalami masalah serial korelasi, 7 persamaan yang tidak terdeteksi serial korelasinya dan 2 persamaan yang mengalami masalah serial korelasi. Terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfield (1998) menjelaskan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi estimasi parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias regresi. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dan mempertimbangkan model yang cukup besar serta periode pengamatan yang cukup panjang, maka hasil estimasi model cukup representatif menangkap fenomena ekonomi dari industri gula di pasar domestik maupun pasar dunia. 102 6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran dan Permintaan Gula di Pasar Domestik dan Dunia 6.2.1. Areal Perkebunan Tebu Indonesia Persamaan luas areal perkebunan di Indonesia didisagregasi menjadi 3 persamaan berdasarkan status pengusahaan perkebunan, yaitu : (1) luas areal perkebunan besar negara, (2) luas areal perkebunan besar swasta, dan (3) luas areal perkebunan rakyat. Luas areal perkebunan besar negara berhubungan positif dengan harga gula tingkat pedagang besar, sedangkan jumlah pabrik gula, tren waktu, dan luas areal perkebunan besar negara t-1. harga riil gabah dan suku bunga BI riil berhubungan negatif dengan luas areal perkebunan besar negara di Indonesia. Hasil estimasi pada Tabel 17 menunjukkan bahwa luas areal pada perkebunan besar negara dipengaruhi secara nyata oleh jumlah pabrik gula dan luas areal perkebunan besar negara tahun t-1 Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Besar Negara (APTN) Variabel Parameter Estimate Elastisitas SR Intercept -58 507.800 HRGPB 7.019 0.410 0.676 HRGB -8.931 -0.216 -0.356 1 401.404 1.063 1.752 -235.054 -0.008 -0.014 JPG LSBR T 0.393 Prob>|F| : 0.1338 Variabel Label 0.2182 Intercept 296.083 LAPTN Prob > |T| LR R2 : 0.3482 0.1540 Harga riil gula pedagang besar 0.2310 Harga riil gabah 0.1025 Jumlah pabrik gula 0.2208 Suku bungaBI riil t-1 0.3051 Tren waktu Luas areal perkebunan besar 0.0286 negara t-1 Dw : 2.0409 Dh : - Keterangan : taraf signifikansi yang digunakan α= 0.15 Harga riil gula tingkat pedagang besar berpengaruh secara tidak nyata terhadap luas areal perkebunan besar negara. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga gula tidak mempengaruhi keputusan petani pada perkebunan besar negara mengenai luas areal tanamnya. Harga riil gabah juga berpengaruh secara tidak nyata terhadap luas areal perkebunan besar negara. Perkebunan besar negara memang spesifik untuk fokus dalam membudidayakan komoditas perkebunan seperti tebu, sehingga kenaikan harga riil gabah tidak mempengaruhi luas areal perusahaan perkebunan tebu negara untuk beralih mengusahakan tanaman padi. 103 Jumlah pabrik gula berpengaruh secara nyata terhadap luas areal perkebunan besar negara. Perkebunan tebu sangat mengandalkan adanya pabrik gula untuk mengolah tebu menjadi gula. Pertambahan jumlah pabrik gula di Indonesia menjadi pertimbangan tersendiri bagi perkebunan besar negara untuk menambah luas areal tanamnya. Hal ini diperkuat pula oleh respon luas areal perkebunan besar negara terhadap jumlah pabrik gula yang elastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penambahan 1 persen jumlah pabrik gula akan meningkatkan luas areal perkebunan besar negara sebesar 1.063 persen dalam jangka pendek dan 1.752 persen dalam jangka panjang. Suku bunga BI riil t-1 berpengaruh secara tidak nyata terhadap luas areal perkebunan besar negara. Hal ini dikarenakan peningkatan luas areal perkebunan besar negara lebih ditentukan oleh kebijakan pemerintah sehingga tidak mengandalkan perbankan sebagai salah satu sumber permodalan. Variabel tren waktu yang merepresentasikan perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen berpengaruh secara tidak nyata terhadap areal perkebunan besar negara. Adopsi teknologi yang dilakukan oleh perkebunan besar negara tidak menjadi pertimbangan bagi perkebunan besar negara untuk meningkatkan luas areal perkebunannya, sedangkan luas areal perkebunan besar negara t-1 berpengaruh secara nyata terhadap luas areal perkebunan besar negara. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi luas areal perkebunan besar negara untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Hasil estimasi persamaan luas areal perkebunan besar swasta yang ditunjukkan oleh Tabel 18 dipengaruhi oleh perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar, rasio harga riil gabah, jumlah pabrik gula, suku bunga BI riil, teknologi, dan luas areal perkebunan besar swasta t-1. Berdasarkan hasil estimasi persamaan luas areal perkebunan besar swasta dapat dijelaskan bahwa variabel luas areal perkebunan besar swasta dipengaruhi secara nyata oleh jumlah pabrik gula, suku bunga BI riil, tren waktu, dan luas areal perkebunan besar swasta t-1. Perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar tidak berpengaruh secara nyata terhadap luas areal perkebunan besar swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar tidak mempengaruhi keputusan 104 perkebunan besar swasta mengenai luas arealnya. Rasio harga riil gabah juga tidak berpengaruh secara nyata terhadap luas areal perkebunan besar swasta. Perkebunan besar swasta lebih konsisten terhadap jenis tanaman yang ditanam sehingga kenaikan harga riil gabah tidak akan membuat perusahaan perkebunan besar swasta beralih mengusahakan tanaman padi sehingga menurunkan luas areal perkebunan. Tabel 18. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Besar Swasta (APTS) Variabel Parameter Estimate Intercept -30 759.5 SHRGPB RHRGB JPG SBR T LAPTS Elastisitas SR LR Prob > |T| 0.2543 1.396 0.001 0.001 0.3411 -10 934.20 660.433 -488.834 1 655.675 -0.179 0.682 -0.022 -0.458 1.742 -0.056 0.2869 0.1471 0.0527 0.0057 0.609 Prob>|F| : <.0001 Variabel Label 0.0007 R2 : 0.9513 Dw : Perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar Rasio harga riil gabah Jumlah pabrik gula Suku bunga BI riil Tren waktu Luas areal perkebunan besar swasta t-1 2.448 Dh : -2.449 Jumlah pabrik gula t-1 berpengaruh secara nyata terhadap luas areal perkebunan besar swasta. Perkebunan besar swasta pada umumnya lebih progresif dalam melakukan pengembangan perkebunan. Hal ini diperkuat dengan perubahan luas areal perkebunan besar swasta yang sangat responsif terhadap perubahan jumlah pabrik gula baik dalam jangka panjang. Peningkatan 1 persen jumlah pabrik gula akan meningkatkan luas areal perkebunan besar swasta sebesar 0.682 persen dalam jangka pendek dan 1.742 persen dalam jangka panjang. Suku bunga BI riil juga berpengaruh secara nyata terhadap luas areal perkebunan besar swasta. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan besar swasta mengandalkan perbankan sebagai salah satu sumber dalam permodalan untuk peningkatan areal. Namun, respon luas areal perkebunan besar swasta terhadap perubahan suku bunga BI riil adalah ineslastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan 1 persen suku bunga BI riil akan menurunkan luas areal perkebunan besar swasta sebesar 0.022 persen dalam jangka pendek dan 0.056 persen dalam jangka panjang. Variabel tren waktu yang merepresentasikan perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen juga berpengaruh secara nyata terhadap luas areal 105 perkebunan besar swasta. Peningkatan terhadap adaposi inovasi dan teknologi akan mendorong peningkatan luas areal pada perkebunan besar swasta. Luas areal perkebunan besar swasta t-1 juga berpengaruh secara nyata terhadap luas areal perkebunan besar swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi luas areal perkebunan besar swasta untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa persamaan luas areal perkebunan rakyat dipengaruhi oleh harga riil gula tingkat petani, harga riil gabah, jumlah pabrik gula, suku bunga BI riil, tren waktu, dan luas areal perkebunan rakyat t-1. Hasil estimasi menunjukkan bahwa luas areal perkebunan rakyat hanya dipengaruhi secara nyata oleh jumlah pabrik gula dan luas areal perkebunan rakyat t-1. Peningkatan harga riil gula tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan luas areal perkebunan rakyat. Hal ini mengindikasikan peningkatan harga gula tingkat petani tidak mampu menjadi insentif bagi petani tebu rakyat untuk meningkatkan luas areal perkebunannya. Kenaikan harga gula tingkat petani seringkali juga diikuti dengan kenaikan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani selama masa tanam. Hal ini yang membuat kenaikan harga gula petani tidak membuat petani meningkatkan luasan areal perkebunannya. Tabel 19. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Rakyat (APTR) Variabel Parameter Estimate Elastisitas SR LR Prob > |T| Variabel Label Intercept -70 786.7 HRGP 4.640525 0.088 0.193 HRGB -30.1531 -0.261 -0.572 JPG 3 185.105 0.867 1.899 0.1291 Jumlah pabrik gula SBR -420.724 -0.005 -0.011 0.3345 Suku bunga BI riil T 915.7704 LAPTR 0.3375 0.1536 Harga riil gabah 0.2030 Tren waktu 0.54337 Prob>|F| : 0.0013 0.3873 Harga riil gula tingkat petani 0.0098 Luas areal perkebunan rakyat t-1 R2 : 0.6176 Dw : 1.991 Dh : - Harga riil gabah berpengaruh secara tidak nyata terhadap luas areal perkebunan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa petani relatif konsisten dalam membudidayakan tebu dan tidak serta merta mengganti luas areal pertanamannya dengan padi sekalipun harga gabah mengalami peningkatan. Jumlah pabrik gula 106 berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan luas areal perkebunan rakyat. Namun peningkatan jumlah pabrik gula ini responsif pada jangka panjang dalam mempengaruhi luas areal perkebunan rakyat. Peningkatan 1 persen jumlah pabrik gula akan meningkatkan luas areal perkebunan rakyat sebesar 0.867 persen dalam jangka pendek dan 1.899 persen dalam jangka panjang. Suku bunga BI riil t-1 juga berpengaruh secara tidak nyata terhadap luas areal perkebunan rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa petani pada perkebunan rakyat kurang tertarik untuk mengakses permodalan dengan pihak perbankan, demikian pula dengan perbankan yang tidak tertarik untuk membiayai usaha pertanian dengan alasan resiko yang terlalu tinggi (high risk) dan keuntungan yang relatif rendah (low profit). Hal ini yang kemudian membuat petani beralih pada rentenir untuk memperoleh modal pembiayaan usahataninya. Variabel tren waktu yang merepresentasikan perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen juga tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan luas areal perkebunan rakyat. Petani perkebunan rakyat relatif masih tertinggal dalam melakukan adopsi teknologi. Luas areal perkebunan rakyat t-1 juga berpengaruh secara nyata terhadap luas areal perkebunan rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi luas areal perkebunan besar negara untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.2. Produktivitas Gula Hablur Indonesia Sama halnya dengan persamaan luas areal perkebunan, persamaan produktivitas gula hablur Indonesia juga didisagregasi menjadi 3 persamaan, yaitu : (1) produktivitas gula hablur negara, (2) produktivitas gula hablur swasta, dan (3) produktivitas gula hablur rakyat. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 20 produktivitas gula hablur negara dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula tingkat pedagang besar, perubahan harga riil pupuk, luas areal perkebunan besar negara t-1, rendemen tebu, dan tren waktu. Harga riil gula tingkat pedagang besar berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur negara. Respon produktivitas gula hablur negara terhadap harga riil gula tingkat pedagang besar adalah inelastis dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga riil gula tingkat pedagang 107 besar 1 persen akan menyebabkan produktivitas gula hablur meningkat sebesar 0.818 persen dalam jangka pendek. Perubahan harga riil pupuk juga berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur negara. Peningkatan harga pupuk membuat produktivitas perkebunan besar negara mengalami penurunan. Namun, respon penurunan perubahan harga riil pupuk terhadap produktivitas gula hablur negara adalah inelastis. Peningkatan perubahan harga riil pupuk sebesar 1 persen akan menurunkan produktivitas gula hablur sebesar 0.003 persen dalam jangka pendek. Tabel 20. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Negara (YGHN) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept -7.8257 0.0003 Harga riil gula tingkat HRGPB 0.0007 0.818 0.0001 pedagang besar SHRPUK -0.0009 -0.003 0.0970 Perubahan harga riil pupuk Luas areal perkebunan besar LAPTN 0.000007 0.126 0.1070 negara t-1 REND 1.0217 1.762 <.0001 Rendemen tebu LURBUN -0.000008 -0.021 0.4105 Upah pekerja perkebunan t-1 T 0.0350 0.0724 Tren waktu Prob>|F| : <.0001 R2 : 0.7616 Dw : 2.366 Luas areal perkebunan besar negara t-1 berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur negara. Ini juga menunjukkan bahwa peningkatan luas areal perkebunan besar negara dapat menjadi tolak ukur bagi peningkatan produktivitas gula hablur negara. Namun respon produktivitas gula hablur negara terhadap luas areal perkebunannya adalah inelastis. Peningkatan 1 persen luas areal perkebunan besar negara hanya akan meningkatkan 0.126 persen produktivitas gula hablur negara dalam jangka pendek. Lebih lanjut, rendemen tebu juga berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur negara. Peningkatan rendemen tebu akan meningkatkan produksi sehingga meningkatkan produktivitas gula hablur negara. Respon produktivitas gula hablur pada perkebunan besar negara terhadap rendemen adalah elastis, artinya perubahan tingkat rendemen akan memberikan perubahan yang cukup besar bagi produktivitas gula hablur pada perkebunan besar negara sehingga akan meningkatkan produksi gula di Indonesia. 108 Upah riil pekerja perkebunan t-1 tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan produktivitas gula hablur negara. Peningkatan upah pekerja perkebunan tidak menyebabkan turunnya produktivitas perkebunan gula hablur negara. Variabel tren waktu yang merepresentasikan perbaikan teknologi, infrastruktur dan manajemen berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur negara. Berkembangnya teknologi budidaya tebu yang dilakukan oleh perkebunan besar negara ternyata memberikan manfaat ekonomi melalui peningkatan produktivitas gula hablur pada perkebunan besar negara. Hasil estimasi terhadap persamaan produktivitas gula hablur pada perkebunan besar swasta di Tabel 21 menunjukkan bahwa produktivitas gula hablur dipengaruhi oleh perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar, rasio harga riil pupuk, luas areal perkebunan besar swasta t-1, curah hujan, rendemen tebu, upah riil pekerja perkebunan, dan produktivitas gula hablur swasta t-1. Dapat dijelaskan bahwa produktivitas gula hablur swasta hanya dipengaruhi secara nyata oleh luas areal perkebunan besar swasta t-1 dan rendemen tebu. Tabel 21. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Swasta (YGHS) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept 1.3175 0.4100 Perubahan harga riil gula SHRGPB 0.0000 0.00010 0.0001 0.4608 tingkat pedagang besar RHPUK -1.8542 -0.314 -0.325 0.2687 Rasio harga riil pupuk Luas areal perkebunan LAPTS 0.000028 0.272 0.282 0.0233 besar swasta t-1 CHJ 0.0001 0.048 0.049 0.3487 Curah hujan REND 0.6392 0.789 0.818 0.0680 Rendemen tebu Upah riil pekerja URBUN -0.000020 -0.040 -0.041 0.3867 perkebunan Produktivitas gula hablur LYGHS 0.0356 0.4505 swasta t-1 2 Prob>|F| : 0.050 R : 0.46315 Dw : 2.101 Dh : - Perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar berpengaruh secara tidak nyata terhadap produktivitas gula hablur pada perkebunan besar swasta. Perkebunan besar swasta umumnya mempunyai tata cara budidaya tersendiri dalam upaya meningkatkan produktivitas gula hablur sehingga perubahan harga riil gula tingkat pedagang besar tidak mempengaruhi produktivitas gula hablur swasta. Rasio harga riil pupuk juga berpengaruh secara tidak nyata terhadap 109 produktivitas gula hablur swasta. Demikian juga dengan upah riil pekerja perkebunan yang juga berpengaruh secara tidak nyata terhadap produktivitas gula hablur swasta. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan besar swasta memiliki ketahanan modal yang kuat sehingga peningkatan harga pupuk dan upah riil pekerja perkebunan tidak membuat perkebunan besar swasta mengurangi kuantitas input tersebut sehingga tidak menurunkan produktivitas gula hablurnya. Pada perkebunan besar swasta curah hujan berpengaruh secara tidak nyata terhadap produktivitas gula hablur swasta. Curah hujan tidak menjadi penghalang dalam upaya peningkatan produktivitas gula hablur pada perkebunan besar swasta. Hal ini diduga karena perkebunan besar swasta telah memiliki sistem tata kelola air yang baik. Begitu pula dengan luas areal perkebunan besar swasta tahun t-1 yang berpengaruh secara tidak nyata terhadap produktivitas gula hablur swasta. Ini berarti peningkatan luas areal perkebunan besar swasta tidak menjadi tolok ukur bagi peningkatan produktivitas gula hablur swasta. Luas areal perkebunan besar swasta t-1 berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan produktivitas gula hablur swasta. Akan tetapi respon yang diberikan oleh luas areal perkebunan besar swasta t-1 terhadap produktivitas gula hablur swasta swasta adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan luas areal perkebunan t-1 sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produktivitas gula hablur swasta sebesar 0.272 persen dalam jangka pendek dan 0.282 persen dalam jangka panjang. Rendemen tebu berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula swasta. Rendemen tebu pada perkebunan besar swasta pada umumnya lebih tinggi karena mesin penggiling gula yang digunakan lebih modern sehingga lebih efisien dan mampu meningkatkan produktivitas gula hablur. Namun demikian, respon produktivitas terhadap rendemen tebu pada perkebunan besar swasta tidak lebih elastis daripada perkebunan besar negara. Peningkatan rendemen tebu sebesar 1 persen hanya akan meningkatkan produktivitas gula hablur sebesar 0.789 persen dalam jangka pendek dan 0.818 persen dalam jangka panjang. Produktivitas gula hablur swasta t-1 berpengaruh secara tidak nyata terhadap produktivitas gula hablur swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang dibutuhkan oleh 110 produktivitas gula hablur swasta untuk menyesuaikan diri kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Produktivitas gula hablur rakyat dipengaruhi oleh rasio harga riil gula tingkat petani dengan harga riil pupuk, luas areal perkebunan rakyat t-1, upah riil pekerja perkebunan, dummy kredit ketahanan pangan dan energi, rendemen tebu, dan produktivitas gula hablur rakyat t-1. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 22 dapat dijelaskan bahwa produktivitas gula hablur rakyat hanya dipengaruhi secara nyata oleh rendemen tebu dan produktivitas gula hablur rakyat t-1. Tabel 22. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Rakyat (YGHR) Elastisitas Variabel Parameter Estimate Intercept -0.9461 HGPUK 0.1448 0.086 0.269 0.2200 LAPTR 0.0000003 0.011 0.035 0.4786 URBUN -0.000040 -0.086 -0.270 0.1937 DKKPE 0.6171 - - 0.1747 REND 0.3278 0.437 1.369 0.0542 LYGHR 0.6807 Prob>|F| : 0.0009 SR Prob > |T| LR Variabel Label 0.2681 0.0001 R2 : 0.63075 Rasio harga riil gula tingkat petani dengan harga riil pupuk Luas areal perkebunan rakyat t-1 Upah riil pekerja perkebunan Dummy Kredit Ketahanan Pangan dan Energi Rendemen tebu Produktivitas gula hablur rakyat t-1 Dw : 2.424 Dh : -1.853 Rasio harga riil gula tingkat petani dengan harga riil pupuk tidak berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa rasio harga riil gula tingkat petani dengan harga riil pupuk tidak dapat menjadi tolak ukur peningkatan produktivitas gula hablur pada perkebunan rakyat. Demikian pula dengan luas areal perkebunan rakyat t-1 tidak berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur. Peningkatan luas areal perkebunan rakyat juga tidak dapat menjadi tolak ukur bagi peningkatan produktivitas gula hablurnya. Upah riil pekerja perkebunan berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan produktivitas gula hablur rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan upah riil pekerja perkebunan membuat petani tebu mengurangi penggunaan input lainnya sehingga menurunkan produktivitas gula hablurnya. 111 Dummy Kredit Ketahanan Pangan dan Energi merupakan bantuan kredit untuk usaha budidaya tebu yang diberikan kepada petani perkebunan rakyat utamanya untuk program bongkar ratoon dan rawat ratoon dalam upaya peningkatan produktivitas. Namun, Dummy Kredit Ketahanan Pangan dan Energi ini berpengaruh secara tidak nyata terhadap peningkatan produktivitas gula hablur rakyat. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi belum optimal dalam membantu petani perkebunan rakyat dalam meningkatkan produktivitasnya. Pada penyaluran kredit ketahanan pangan dan energi ini pemerintah perlu menyertainya dengan bimbingan dan pendampingan sehingga target kredit untuk peningkatan produktivitas gula hablur rakyat terealisasi sesuai dengan tujuannya. Sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan ketangguhan produksi tebu maka bantuan kredit tersebut dapat terus dilanjutkan dan menjangkau lebih banyak petani tebu lagi sehingga dapat menjadi kail bagi petani tebu untuk meningkatkan kesejahteraannya. Selanjutnya berdasarkan Tabel 22 dapat dijelaskan pula bahwa rendemen tebu berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur. Respon produktivitas perkebunan rakyat terhadap rendemen tebu adalah inelastis dalam jangka pendek namun elastis pada jangka panjang. Peningkatan 1 persen rendemen tebu akan meningkatkan 0.437 persen gula hablur perkebunan rakyat pada jangka pendek dan 1.369 persen pada jangka panjang. Demikian pula dengan variabel produktivitas gula hablur rakyat tahun t-1 berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas gula hablur rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi produktivitas gula hablur rakyat untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.3. Permintaan Gula Indonesia 6.2.3.1.Permintaan Gula Rumah Tangga Hasil estimasi permintaan gula Indonesia untuk konsumsi dapat dilihat pada Tabel 23. Permintaan gula rumah tangga dipengaruhi oleh harga riil gula eceran, rasio harga riil gula merah, harga riil kopi, pertumbuhan PDB riil Indonesia, populasi penduduk Indonesia dan permintaan gula rumah tangga t-1. Permintaan gula rumah tangga dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula 112 eceran, pertumbuhan PDB riil Indonesia, populasi penduduk Indonesia, dan permintaan gula rumah tangga t-1. Tabel 23. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Gula Rumah Tangga (DGRT) Parameter Elastisitas Variabel Prob>|T| Variabel Label Estimate SR LR 0.3776 Intercept 224 009.4 0.0287 Harga riil gula eceran HRGE -185.862 -0.464 -0.752 0.4498 Rasio harga riil gula merah RHRGM 37 639.88 0.018 0.029 0.2763 Harga riil kopi HRKO -2.49354 -0.037 -0.061 Pertumbuhan PDB riil 0.1283 LJPDBR 522 469.5 0.019 0.031 Indonesia 0.0235 Populasi penduduk Indonesia POPINA 0.010401 0.982 1.590 Permintaan gula rumah 0.0657 LDGRT 0.382462 tangga t-1 2 Prob>|F| : <.0001 R : 0.8334 Dw : 2.002 Dh : Harga eceran gula berpengaruh secara nyata terhadap permintaan gula rumah tangga. Konsumen gula rumah tangga akan cenderung mengurangi konsumsi gula ketika harga gula mengalami kenaikan. Namun, respon permintaan gula terhadap peningkatan harga riil gula eceran adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini dikarenakan gula merupakan salah sumber pemanis utama yang digunakan oleh mayoritas penduduk Indonesia. Kenaikan 1 persen harga riil gula eceran hanya akan mengurangi 0.464 persen dalam jangka pendek dan 0.752 persen dalam jangka panjang permintaan gula rumah tangga. Permintaan gula dipengaruhi secara tidak nyata oleh rasio harga riil gula merah. Kenaikan perubahan harga riil gula merah tidak akan membuat konsumen meningkatkan permintaan gula. Gula merah merupakan salah satu komoditas substitusi gula. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas yang bernilai positif 0.018 dalam jangka pendek dan 0.029 dalam jangka panjang. Namun demikian, permintaan gula tidak responsif terhadap perubahan rasio harga gula merah. Sekalipun gula merah merupakan komoditas substitusi, namun gula merah tidak mempunyai ikatan yang erat dengan gula. Harga riil kopi memberikan pengaruh secara tidak nyata terhadap permintaan gula rumah rangga. Kenaikan harga riil kopi tidak akan membuat konsumen menurunkan permintaan gula. Kopi merupakan salah satu komoditas komplementer gula. Hal ini ditunjukkan oleh elastistias harga kopi yang bernilai 113 negatif yaitu 0.037 persen pada jangka pendek dan 0.061 dalam jangka panjang. Pertumbuhan GDP riil Indonesia berpengaruh secara nyata terhadap permintaan gula rumah tangga. Namun respon permintaan gula terhadap GDP riil Indonesia adalah inelastis. Kenaikan 1 persen pertumbuhan GDP riil Indonesia hanya akan meningkatkan 0.019 persen permintaan gula dalam jangka pendek dan 0.031 persen dalam jangka panjang. Populasi penduduk Indonesia berpengaruh secara nyata terhadap permintaan gula rumah rangga. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan akan gula rumah tangga. Respon yang ditunjukkan oleh permintaan gula rumah tangga terhadap perubahan jumlah penduduk adalah inelastis dalam jangka pendek namun elastis pada jangka panjang. Kenaikan 1 persen jumlah penduduk Indonesia akan meningkatkan 0.982 persen permintaan gula rumah tangga dalam jangka pendek dan 1.590 persen dalam jangka panjang. Permintaan gula rumah tangga tahun t-1 berpengaruh secara nyata terhadap permintaan gula rumah tangga tahun t. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi permintaan gula Indonesia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.3.2.Permintaan Gula Industri Hasil estimasi permintaan gula industri dapat dilihat pada Tabel 24. Permintaan gula industri dipengaruhi oleh harga riil gula tingkat pedagang besar t-1, harga riil komposit produk makanan dan minuman, pertumbuhan industri makanan dan minuman, PDB riil sektor makanan dan minuman, dan permintaan gula Indonesia t-1. Permintaan gula industri hanya dipengaruhi secara nyata oleh harga riil komposit produk makanan dan minuman, PDB riil sektor makanan dan minuman, serta permintaan gula industri t-1. Harga riil gula tingkat pedagang besar t-1 berpengaruh secara secara tidak nyata terhadap permintaan gula industri. Hal ini dikarenakan gula menjadi bahan baku yang sangat esensial bagi industri makanan dan minuman maupun olahannya, sehingga peningkatan harga riil gula tingkat pedagang besar tidak akan langsung direspon dengan penurunan permintaan gula oleh industri makanan dan minuman. Sebagai produk industri makanan dan minuman yang paling banyak 114 diekspor confectionary sugar (permen gula) berpengaruh secara nyata terhadap permintaan gula industri. Kenaikan harga riil komposit produk makanan dan minuman ini akan membuat konsumen industri meningkatkan permintaan mereka terhadap gula. Tabel 24. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Gula Industri (DGIN) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept -396 625 LHRGPB -12.4975 -0.067 -0.280 0.4332 HRKIN 34 560.46 0.266 1.109 0.0984 LJJIM 148 787.7 0.008 0.034 0.3365 L2PDBIN 1.292485 0.532 2.213 0.0351 LDGIN 0.759753 Prob>|F| : <.0001 0.2089 0.0002 R2 : 0.9003 Harga riil gula pedagang besar t-1 Harga riil komposit produk makanan dan minuman Pertumbuhan industri makanan dan minuman PDB riil sektor makanan dan minuman t-2 Permintaan gula industri t-1 Dw : 3.015 Dh : - Pertumbuhan jumlah industri makanan dan minuman berpengaruh secara tidak nyata terhadap permintaan gula industri. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan gula industri tidak semata-mata disebabkan oleh peningkatan jumlah industri makanan dan minuman di Indonesia. Selain itu pula, diduga sejak beberapa dekade terakhir industri makanan dan minuman tidak hanya menggunakan gula sebagai perasa manis, adanya tambahan fruktosa sebagai penguat rasa manis mulai banyak digunakan pula oleh industri gula. PDB riil sektor makanan dan minuman tahun t-2 berpengaruh secara nyata terhadap permintaan gula. Bahkan respon permintaan gula terhadap PDB sektor makanan dan minuman tahun t-2 adalah inelastis pada jangka pendek namun sangat elastis pada jangka panjang. Peningkatan 1 persen PDB riil sektor makanan dan minuman tahun t-2 akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.532 persen dalam jangka pendek dan 2.213 persen dalam jangka panjang. Demikian pula dengan permintaan gula industri tahun t-1 yang berpengaruh secara nyata terhadap permintaan gula industri tahun t. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi permintaan gula industri untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 115 6.2.4. Harga Gula Indonesia 6.2.4.1.Harga Riil Gula Tingkat Petani (HRGP) Hasil estimasi harga riil gula tingkat petani yang ditunjukkan oleh Tabel 25 dapat dijelaskan bahwa harga riil gula tingkat petani dipengaruhi secara positif oleh harga riil gula tingkat pedagang besar, dummy kebijakan Harga Patokan Petani (HPP), tren waktu, dan harga riil gula tingkat petani tahun t-1. Adapun variabel rasio produksi gula tahun t dengan tahun t-1 berpengaruh secara negatif terhadap harga riil gula tingkat petani. Variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula tingkat petani adalah harga riil gula tingkat pedagang besar, rasio produksi gula Indonesia tahun t terhadap tahun t-1, dan harga riil gula tingkat petani t-1. Tabel 25. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Tingkat Petani (HRGP) Variabel Parameter Estimate Elastisitas SR Prob > |T| LR Intercept -16.5646 HRGPB 0.881358 0.97174 1.1346 -557.12 -0.1304 -0.1522 105.1625 - - 3.70296 0.01369 0.0160 RQGINA DHPP T LHRGP 0.4897 0.1435 Prob>|F| : <.0001 Variabel Label Harga riil gula tingkat pedagang besar Rasio produksi gula Indonesia 0.0672 tahun t terhadap tahun t-1 0.2056 Dummy Kebijakan HPP <.0001 0.2723 Tren waktu 0.0111 Harga riil gula tingkat petani t-1 2 R : 0.93707 Dw : 2.153 Dh : -0.426 Harga riil gula tingkat pedagang besar berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula tingkat petani. Peningkatan harga riil gula di tingkat pedagang besar akan meningkatkan harga riil gula di tingkat petani. Hal ini diduga karena adanya transmisi harga yang besar antara harga riil gula tingkat pedagang besar dengan harga riil gula tingkat petani. Respon harga riil gula tingkat petani terhadap harga riil gula tingkat pedagang besar adalah inelastis dalam jangka pendek namun elastis pada jangka panjang. Peningkatan harga riil gula tingkat pedagang besar sebesar 1 persen akan meningkatkan harga riil gula tingkat petani dalam jangka pendek sebesar 0.972 persen dan 1.135 persen dalam jangka panjang. Rasio produksi gula Indonesia tahun t dengan tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula tingkat petani. Peningkatan 116 produksi gula Indonesia akan menurunkan harga gula tingkat petani. Oleh karena itu, target swasembada yang dicanangkan oleh pemerintah hendaknya diikuti dengan kebijakan penetapan harga yang sesuai bagi petani, sehingga kesejahteraan petani tidak mengalami penurunan. Dummy kebijakan HPP gula berpengaruh secara tidak nyata terhadap harga riil gula tingkat petani. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kebijakan HPP tidak efektif dalam meningkatkan harga gula petani. Kebijakan HPP gula memang tidak dimaksudkan untuk meningkatkan harga gula, karena sistem penetapan harga gula tingkat petani dilakukan dengan sistem lelang yang menggunakan HPP sebagai referensi harga atau sebagai batas harga minimum. Harga riil gula kecenderungan waktu tidak menunjukkan adanya peningkatan harga gula tingkat petani. Dalam hal ini harga riil gula tingkat petani relatif tidak stabil, sedangkan harga riil gula tingkat petani t-1 berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula tingkat petani. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat tenggang waktu yang cukup bagi harga riil gula tingkat petani untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.4.2.Harga Riil Gula Tingkat Pedagang Besar (HRGPB) Hasil estimasi persamaan harga riil gula tingkat pedagang besar disajikan pada Tabel 26. Harga riil gula tingkat pedagang besar dari model yang diestimasi ditentukan oleh variabel harga riil gula eceran, tren waktu, dan harga riil gula tingkat pedagang besar t-1. Berdasarkan kriteria statistik maka harga riil gula tingkat pedagang besar dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula eceran dan tren waktu. Tabel 26. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Tingkat Pedagang Besar (HRGPB) Variabel Parameter Estimate Elastisitas SR LR Intercept HRGE -218.315 0.904098 0.985 1.015 T 8.933385 0.030 0.031 LHRGPB 0.029177 Prob>|F| : <.0001 Prob > |T| Variabel Label 0.1919 R2 : 0.9752 <.0001 Harga riil gula eceran 0.0005 Tren waktu Harga riil gula tingkat 0.2029 pedagang besar t-1 Dw : 1.340 Dh : 1.776 117 Harga riil gula eceran berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula tingkat pedagang besar. Kenaikan harga riil gula eceran akan meningkatkan harga riil gula pedagang besar. Hal ini dikarenakan adanya transmisi harga yang besar antara harga riil gula eceran dengan harga riil gula tingkat pedagang besar. Respon harga riil gula tingkat pedagang besar terhadap harga riil gula eceran adalah inelastis dalam jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. Peningkatan harga gula eceran sebesar 1 persen akan meningkatkan harga riil gula tingkat pedagang besar sebesar 0.985 persen pada jangka pendek dan 1.015 pada jangka panjang. Selanjutnya harga riil gula tingkat pedagang besar berpengaruh secara nyata terhadap tren waktu. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tenggang waktu yang relatif lambat bagi harga riil gula tingkat pedagang besar untuk kembali pada tingkat keseimbangannya, dalam hal ini harga riil gula tingkat pedagang besar relatif tidak stabil. 6.2.4.3.Harga Riil Gula Eceran Hasil estimasi terhadap persamaan harga riil gula eceran pada Tabel 27 menunjukkan bahwa harga riil gula eceran dipengaruhi secara positif oleh harga impor riil gula Indonesia, permintaan gula Indonesia dan secara negatif oleh penawaran gula t-1. Harga riil gula eceran dipengaruhi secara nyata oleh harga impor riil gula Indonesia dan permintaan gula Indonesia. Harga riil gula eceran tidak responsif terhadap perubahan harga impor riil gula Indonesia dengan nilai elastisitas 0.192 dalam jangka pendek. Artinya, apabila harga impor riil gula meningkat 1 persen maka hanya akan meningkatkan harga riil gula eceran sebesar 0.262 persen. Kebijakan impor yang bertujuan untuk memenuhi segmen pasar tertentu dan memenuhi kebutuhan domestik akan gula pada musim-musim tertentu dengan harga yang relatif murah dapat menekan kenaikan harga riil gula eceran, terlebih lagi banyaknya gula impor rafinasi yang seharusnya untuk pasar industri merembes ke pasar konsumsi dan akan mensubstitusi gula domestik begitu perbedaan harga keduanya menjadi tinggi. Meskipun hal ini dilarang, namun kenyataan dilapangan masih menunjukkan banyaknya jumlah gula impor (rafinasi) yang dipasarkan pada pasar konsumsi. Hal ini terjadi akibat harga impor gula kristal rafinasi lebih murah daripada harga gula domestik. 118 Tabel 27. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Eceran (HRGE) Variabel Parameter Estimate Elastisitas SR Intercept 3 905.693 HRGINA 0.262341 0.192 DGINA SGINA 0.000249 -0.00008 0.142 -0.062 LR Prob > |T| <.0001 R2 : 0.4379 Prob>|F| : 0.0028 Variabel Label Harga impor riil gula Indonesia 0.1473 Permintaan gula Indonesia 0.3267 Penawaran gula Indonesia 0.0002 Dw : 1.906 Selanjutnya pada Tabel 27 juga menunjukkan bahwa permintaan gula berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula eceran. Peningkatan permintaan gula akan menyebabkan kenaikan harga riil gula eceran. Namun, respon harga riil gula eceran terhadap perubahan permintaan adalah inelastis. Artinya, kenaikan 1 persen permintaan gula Indonesia hanya akan meningkatkan harga riil gula eceran sebesar 0.142 persen. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa harga riil gula eceran kurang responsif terhadap permintaan gula Indonesiaedangkan penawaran gula Indonesia tidak berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula eceran. Perubahan pada penawaran gula Indonesia tidak dapat menjadi tolok ukur bagi perubahan harga riil gula eceran Indonesia. 6.2.4.4.Harga Impor Riil Gula Indonesia Hasil estimasi terhadap harga impor riil gula Indonesia yang disajikan pada Tabel 28 menunjukkan bahwa harga impor riil gula Indonesia dipengaruhi secara positif oleh harga riil gula dunia, tren waktu, dan harga impor riil gula Indonesia t-1. Berdasarkan kriteria statistik, dapat diketahui bahwa harga impor riil gula Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia dan tren waktu. Tabel 28. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Riil Gula Indonesia (HRGINA) Variabel Parameter Estimate Intercept HRGW T 156.1317 4.937577 51.66909 LHRGINA 0.202815 Prob>|F| : 0.1201 Elastisitas Prob > |T| Variabel Label SR LR 0.4683 0.540 0.678 0.0204 Harga riil gula dunia 0.1539 Tren waktu Harga impor riil gula 0.1441 Indonesia t-1 2 R : 0.2119 Dw : 1.932 Dh : 1.159 119 Salah satu konsekuensi dari perekonomian terbuka yaitu adanya integrasi harga antara harga di tingkat pasar dunia dengan harga pada negara yang bersangkutan. Apabila ditinjau dari koefisien parameternya harga riil gula dunia sangat berpengaruh terhadap harga impor riil gula Indonesia dengan koefisien parameter 4.937 yang menjelaskan bahwa dari setiap kenaikan harga riil gula dunia sebesar 1 US$ per ton, dengan asumsi ceteris paribus maka harga impor riil gula Indonesia akan meningkat sebesar Rp 4 937.00 per kilogram. Apabila ditinjau dari elastisitasnya, respon harga impor riil gula Indonesia terhadap perubahan harga riil gula dunia bersifat inelastis baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan harga riil gula dunia sebesar 1 persen hanya akan menyebabkan peningkatan harga impor riil gula Indonesia 0.540 persen dalam jangka pendek dan 0.678 persen dalam jangka panjang. Selanjutnya, harga riil gula tingkat pedagang besar berpengaruh secara nyata terhadap tren waktu. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tenggang waktu yang relatif lambat bagi harga impor riil gula untuk kembali pada tingkat keseimbangannya. Dalam hal ini harga impor riil gula relatif tidak stabil. Sedangkan harga impor riil gula Indonesia t-1 berpengaruh secara tidak nyata terhadap harga impor riil gula Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang cukup bagi harga impor riil gula Indonesia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.5. Impor Gula Indonesia Thailand merupakan eksportir gula terbesar bagi Indonesia, sedangkan bagi China yang merupakan negara produsen gula, Indonesia masih menjadi tujuan ekspor nomor satu bagi negara ini. Disamping Thailand dan China sebagai negara pengekspor gula bagi Indonesia ada beberapa negara lain yang juga mengekspor gulanya ke Indonesia. Namun dalam penelitian ini negara selain Thailand dan China dikelompokkan dalam rest of the word. Persamaan impor gula Indonesia merupakan penjumlahan impor gula Indonesia dari Thailand, China, dan negara lain (selain Thailand dan China). 120 6.2.5.1.Impor Gula Indonesia dari Thailand Hasil estimasi persamaan impor gula Indonesia dari Thailand pada Tabel 29 menunjukkan bahwa impor gula Indonesia dari Thailand dipengaruhi secara positif oleh tren waktu dan impor gula Indonesia dari Thailand t-1. Adapun variabel harga impor riil gula Indonesia, produksi gula Indonesia, nilai tukar Indonesia terhadap Thailand, stok gula Indonesia t-1, dan tarif impor gula Indonesia berpengaruh secara negatif terhadap impor gula Indonesia dari Thailand. Variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap impor gula Indonesia dari Thailand adalah produksi gula Indonesia dan tren waktu. Tabel 29. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Indonesia dari Thailand (MGITH) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept 341 127.1 0.1543 Harga impor riil gula HRGINA -20.8237 -0.222 -0.239 0.2664 Indonesia QGINA -0.09003 -0.592 -0.637 0.1480 Produksi gula Indonesia t-1 Nilai tukar Indonesia ERITH -244.582 -0.233 -0.251 0.3465 terhadap Thailand LSTG -0.14987 -0.378 -0.406 0.2006 Stok gula Indonesia t-1 Tarif impor gula TIG -6 335.73 -0.200 -0.216 0.1767 Indonesia T 36 383.02 0.0145 Tren waktu Impor gula Indonesia dari LMGITH 0.070703 0.3848 Thailand t-1 2 Prob>|F| : 0.000 R : 0.71443 Dw : 2.0128 Dh : Harga impor riil gula Indonesia berpengaruh secara tidak nyata terhadap impor gula Indonesia dari Thailand. Indonesia mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap ekspor gula dari Thailand, sehingga peningkatan harga impor riil gula Indonesia tidak menyebabkan penurunan impor gula Indonesia dari Thailand. Produksi gula Indonesia berpengaruh secara nyata terhadap impor gula Indonesia dari Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan impor gula Indonesia dari Thailand maka pemerintah sebaiknya berupaya untuk meningkatkan produksi gula Indonesia dari produsen dalam negeri. Namun demikian respon perubahan impor gula Thailand terhadap perubahan produksi gula Indonesia adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan produksi gula Indonesia t-1 sebesar 1 persen 121 akan menurunkan impor gula Indonesia dari Thailand sebesar 0.592 persen dalam jangka pendek dan 0.637 persen dalam jangka panjang. Hal ini dikarenakan impor gula dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan gula pada daerah non produsen di Indonesia. Seperti misalnya, di Kalimantan Barat yang tidak memungkinkan untuk menunggu pasokan gula karena terkendala trasportasi yang tidak bisa mengirim dalam waktu yang cepat sehingga pemerintah memberikan izin untuk melakukan impor bagi daerah tersebut. Lebih lanjut, hal ini pula yang turut menyebabkan banyaknya impor gula ilegal yang memenuhi pasar konsumsi di Indonesia sebab lemahnya pengawasan dari pemerintah. Nilai tukar riil Indonesia mempengaruhi impor gula Indonesia dari Thailand secara tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar tersebut tidak dapat digunakan sebagai tolak ukur perubahan jumlah impor gula Indonesia dari Thailand. Pengaruh tarif impor gula Indonesia dari Thailand juga tidak nyata. Peningkatan tarif impor gula oleh pemerintah Indonesia tidak menyebabkan turunnya impor gula Indonesia dari Thailand. Hal ini diduga karena besaran tarif yang ditetapkan pemerintah Indonesia terhadap impor gula selama ini masih rendah. Selain faktor-faktor tersebut, tren waktu juga berpengaruh secara nyata terhadap impor gula Indonesia dari Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tenggang waktu yang relatif lambat bagi impor gula Indonesia dari Thailand untuk kembali pada tingkat keseimbangannya. Impor gula Indonesia dari Thailand juga dipengaruhi secara tidak nyata oleh impor gula Indonesia dari Thailand t-1. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat tenggang waktu yang cukup bagi impor gula Indonesia dari Thailand untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.5.2.Impor Gula Indonesia dari China China merupakan salah satu negara produsen gula terbesar di Dunia. Salah satu negara tujuan ekspor China adalah Indonesia. Hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 30 menunjukkan bahwa impor gula Indonesia dari China dipengaruhi secara positif oleh tren waktu. Adapun perubahan harga impor riil gula Indonesia, produksi gula Indonesia, tarif impor gula Indonesia, perubahan nilai tukar Indonesia terhadap China dan perubahan stok gula Indonesia berpengaruh secara 122 negatif. Impor gula Indonesia dari China dipengaruhi secara nyata oleh produksi gula Indonesia, tarif impor gula Indonesia, dan tren waktu. Tabel 30. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Indonesia dari China (MGICN) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept 27 132.28 0.0319 Perubahan harga impor SHRGINA -1.83649 -0.0002 0.2977 riil gula Indonesia QGINA -0.02588 -2.7787 0.0002 Produksi gula Indonesia Tarif Impor Gula TIG -2 397.54 -1.2375 0.0006 Indonesia Perubahan nilai tukar SERICN -2.15749 -0.0005 0.4257 Indonesia terhadap China Perubahan stok gula SSTG -0.00045 0.0003 0.4896 Indonesia T 5 214.175 <.0001 Tren waktu 2 Prob>|F| : 0.0005 R : 0.6497 Dw : 2.360 Sama halnya dengan impor gula Indonesia dari Thailand, perubahan harga impor riil gula Indonesia juga berpengaruh secara tidak nyata terhadap impor gula Indonesia dari China. Peningkatan harga impor riil gula Indonesia tidak menyebabkan penurunan impor gula Indonesia dari China. Demikian juga dengan perubahan nilai tukar Indonesia terhadap China yang berpengaruh secara tidak nyata terhadap impor gula Indonesia dari China. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar tersebut tidak dapat digunakan sebagai tolak ukur perubahan jumlah impor gula Indonesia dari China. Demikian halnya dengan perubahan stok gula Indonesia yang berpengaruh secara tidak nyata terhadap impor gula Indonesia. Peningkatan stok gula Indonesia tidak menyebabkan impor gula Indonesia dari China berkurang. Pemerintah masih kurang cermat dalam melakukan perhitungan stok gula di Indonesia, sehingga sering kali impor gula masih dilakukan sekalipun sebenarnya stok gula masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan domestik. Produksi gula Indonesia berpengaruh secara nyata terhadap impor gula Indonesia dari China. Penurunan produksi gula Indonesia menyebabkan peningkatan impor gula Indonesia dari China. Hal ini diperkuat oleh respon impor gula China terhadap produksi gula indonesia yang sangat elastis. 123 Peningkatan 1 persen produksi gula Indonesia menyebabkan impor gula Indonesia dari China menurun 2.779 persen. Tarif impor gula juga berpengaruh secara nyata terhadap impor gula Indonesia dari China. Respon perubahan impor gula China terhadap perubahan tarif impor gula adalah elastis. Penurunan tarif impor gula sebesar 1 persen akan meningkatkan impor gula Indonesia dari China sebesar 1.237 persen. Impor gula Indonesia dari China juga dipengaruhi secara nyata oleh tremd waktu. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tenggang waktu yang relatif lambat bagi harga impor riil gula Indonesia dari China untuk kembali pada tingkat keseimbangannya. 6.2.6. Ekspor Impor Gula Dunia Ekspor Gula 6.2.6.1.Ekspor Gula Brazil Brazil merupakan negara pengekspor gula terbesar di dunia saat ini. Hasil estimasi persamaan eskpor gula Brazil disajikan pada Tabel 31. Ekspor gula Brazil dapat ditentukan harga riil gula dunia, produksi gula Brazil, perubahan nilai tukar riil Brazil, dan ekspor gula Brazil t-1. Ekspor gula Brazil dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia, produksi gula Brazil dan perubahan nilai tukar riil Brazil. Tabel 31. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Gula Brazil (XGBR) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept -6 330 563 <.0001 HRGW 2 504.546 0.125 0.135 0.0604 Harga riil gula dunia QGBR 0.790311 1.544 1.667 <.0001 Produksi gula Brazil Perubahan nilai tukar riil SERBR 325 475.5 0.002 0.002 0.1353 Brazil LXGBR 0.073383 0.3085 Ekspor gula Brazil t-1 Prob>|F| : <.0001 R2 : 0.98382 Dw : 1.868 Dh : 0.539 Harga riil gula dunia berpengaruh secara nyata terhadap ekspor gula Brazil. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga riil gula dunia dapat menjadi stimulus bagi Brazil meningkatkan volume ekspor gulanya. Namun, respon ekspor gula Brazil terhadap harga riil gula dunia adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan harga riil gula dunia 124 sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor gula Brazil sebesar 0.125 persen dalam jangka pendek dan 0.135 persen dalam jangka panjang. Produksi gula Brazil berpengaruh secara nyata terhadap ekspor gulanya. Semakin besar jumlah gula yang diproduksi oleh Brazil maka akan mendorong pengusaha gula Brazil untuk meningkatkan jumlah ekspor gula yang lebih banyak lagi. Hal ini diperkuat dengan respon ekspor gula Brazil terhadap produksi gulanya yang sangat elastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kenaikan 1 persen produksi gula Brazil maka akan meningkatkan 1.544 persen ekspor gulanya dalam jangka pendek dan 1.667 persen dalam jangka panjang. Perubahan nilai tukar riil Brazil juga berpengaruh secara nyata terhadap ekspor gula Brazil. Namun respon ekspor gula Brazil terhadap perubahan nilai tukar riil Brazil bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini berarti bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar riil Brazil menyebabkan terjadinya perubahan volume gula yang diekspor oleh eksportir gula Brazil, walaupun perubahannya kecil baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sebaliknya, ekspor gula Brazil t-1 berpengaruh secara tidak nyata terhadap ekspor gula Brazil. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang dibutuhkan oleh ekspor gula Brazil untuk menyesuaikan diri kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.6.2.Ekspor Gula Thailand Thailand merupakan eksportir gula terbesar kedua di dunia. Hasil estimasi persamaan ekspor gula Thailand disajikan pada Tabel 32. Ekspor gula Thailand dari model yang diestimasi ditentukan oleh harga riil gula dunia, produksi gula Thailand, perubahan nilai tukar riil Thailand, dan tren waktu. Ekspor gula Thailand dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia, produksi gula Thailand, dan nilai tukar riil Thailand. Harga riil gula dunia yang berpengaruh secara nyata terhadap ekspor gula Thailand mengindikasikan bahwa peningkatan harga riil gula dunia menjadi stimulus bagi eksportir gula Thailand untuk meningkatkan ekspor gulanya. Respon ekspor gula Thailand terhadap harga riil gula dunia adalah inelastis. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan harga 125 gula dunia sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor gula Thailand sebesar 0.100 persen dalam jangka pendek. Tabel 32. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Gula Thailand (XGTH) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept -179 072 0.2948 HRGW 716.1686 0.100 0.0501 Harga riil gula dunia QGTH 0.470358 0.687 <.0001 Produksi gula Thailand Perubahan nilai tukar riil SERTH 2 570.296 -0.001 0.4335 Thailand T 50 528.95 0.0009 Tren waktu Prob>|F| : <.0001 R2 : 0.95432 Dw : 1.440 Peningkatan produksi gula Thailand juga menjadi salah satu pendorong ekspor gula Thailand. Namun, respon ekspor gula Thailand terhadap produksi gula Thailand adalah inelastis. Apabila terjadi peningkatan produksi gula Thailand sebesar 1 persen maka akan meningkatkan ekspor gula Thailand sebesar 0.687 persen dalam jangka pendek. Selain faktor-faktor tersebut ekspor gula Thailand juga dipengaruhi secara tidak nyata oleh perubahan nilai tukar riilnya. Hal ini menujukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar tidak dapat digunakan sebagai tolak ukur perubahan jumlah ekspor gula Thailand, sedangkan variabel tren waktu berpengaruh secara nyata terhadap ekspor gula Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tenggang waktu yang relatif lambat bagi harga ekspor gula Thailand untuk kembali pada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.6.3. Total Ekspor Gula Dunia Persamaan ekspor gula dunia merupakan penjumlahan dari ekspor gula Brazil, Thailand, dan negara eksportir lainnya (selain Brazil dan Thailand). Hal tersebut dibangun berdasarkan analisis dalam kurun waktu 1981 sampai dengan 2010 yang diperoleh proporsi (share) ekspor rata-rata gula dunia adalah 57.11 persen oleh Brazil dan 10.37 persen oleh Thailand, sedangkan rata-rata ekspor dari negara lain sebesar 40.92 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun Brazil dan Thailand merupakan negara terbesar dalam impor gula namun masih terdapat banyak negara-negara lain yang menjadi negara eksportir 126 gula di dunia, namun jumlah impornya relatif kecil. Sehingga ekspor gula dunia merupakan penjumlahan dari ekspor gula Brazil, Thailand, ditambah dengan ekspor gula sisa dunia. Impor Gula Dunia 6.2.6.4. Impor Gula India India sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia merupakan negara importir gula terbesar di dunia. Impor gula India dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan penduduk india t-1, perubahan nilai tukar India, sedangkan harga riil gula dunia dan GDP riil India berpengaruh secara negatif terhadap impor gula India. Adapun hasil estimasi persamaan impor gula India yang ditunjukkan oleh Tabel 33 menyatakan bahwa impor gula India dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia, produksi gula India, pertumbuhan penduduk India, GDP riil India, dan tren waktu. Tabel 33. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula India (MGIN) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept -23 560 000 0.0329 HRGW -2 465.20 -2.226 0.0080 Harga riil gula dunia QGIN -0.12 -3.572 0.0002 Produksi gula India Pertumbuhan penduduk LJPOPIN 1 064 500 000 41.378 0.0243 India Perubahan nilai tukar SERIN -43 429.60 0.067 0.0652 India terhadap Amerika IRIN 0.000003 2.517 0.0411 GDP riil India T 356 268.40 0.0350 Tren waktu 2 Prob>|F| : 0.0012 R : 0.6212 Dw : 2.058 Pengaruh harga riil gula dunia yang nyata terhadap impor gula India menunjukkan bahwa perubahan pada harga riil gula dunia mampu menyebabkan terjadinya perubahan impor gula India. Secara ekonomi, respon perubahan ekspor gula India terhadap harga riil gula dunia adalah elastis. Kenaikan 1 persen harga gula dunia akan meyebabkan impor gula India berkurang 1.814 persen. Produksi gula India berpengaruh secara nyata terhadap impor gula India. Penurunan impor gula dunia sangat responsif terhadap peningkatan produksi gula India. Peningkatan produksi gula India sebesar 1 persen akan menurunkan impor gula India sebesar 3.572 persen dalam jangka pendek. Pertumbuhan penduduk India 127 juga berpengaruh secara nyata terhadap impor gula India. Peningkatan penduduk India menjadi pendorong bagi India untuk meningkatkan volume impornya. Namun demikian impor gula India terhadap pertumbuhan penduduk India adalah sangat elastis. Peningkatan jumlah penduduk India sebesar 1 persen akan meningkatkan impor gula India sebesar 41.378 persen. GDP riil India berpengaruh secara nyata pula terhadap impor gula India. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku impor gula India ditentukan oleh perubahan GDP riilnya dan memiliki respon yang sangat elastis dalam jangka pendek. Peningkatan GDP riil India sebesar 1 persen akan meningkatkan impor gula India sebesar 2.517 persen dalam jangka pendek. Selain itu, perubahan nilai tukar India juga berpengaruh secara nyata terhadap impor gula India. Ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar riil India dapat dijadikan tolak ukur berubahnya volume impor gula India. Demikian juga dengan variabel tren waktu yang berpengaruh secara nyata terhadap impor gula India. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tenggang waktu yang relatif lambat bagi harga impor gula India untuk kembali pada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 6.2.6.5.Impor Gula Amerika Serikat Hasil estimasi persamaan impor gula Amerika Serikat ditunjukkan oleh Tabel 34. Impor gula Amerika Serikat dari model yang diestimasi ditentukan oleh perubahan harga riil gula dunia, produksi gula Amerika Serikat, konsumsi gula Amerika Serikat, stok gula Amerika Serikat, dan impor gula Amerika Serikat t-1. Dapat diketahui bahwa konsumsi gula Amerika Serikat dan impor gula Amerika Serikat t-1 berpengaruh positif terhadap impor gula Amerika Serikat. Adapun perubahan harga riil gula, produksi gula Amerika Serikat, dan stok gula Amerika Serikat mempengaruhi impor gula Amerika Serikat secara negatif. Berdasarkan kriteria statistik, impor gula Amerika Serikat dipengaruhi secara nyata oleh produksi gula Amerika Serikat, konsumsi gula Amerika Serikat, dan stok gula Amerika Serikat. Perubahan harga riil gula dunia berpengaruh secara tidak nyata terhadap impor gula Amerika Serikat. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga gula dunia tidak membuat pengusaha importir gula Amerika Serikat mengurangi impor gula. 128 Produksi gula Amerika Serikat berpengaruh secara nyata terhadap impor gula Amerika Serikat. Peningkatan produksi gula Amerika Serikat akan menurunkan impor gula Amerika Serikat. Hal ini diperkuat oleh respon impor gula Amerika Serikat terhadap produksi yang sangat elastis. Peningkatan 1 persen produksi gula Amerika Serikat akan menurunkan impor gula Amerika Serikat sebesar 3.223 persen dalam jangka pendek dan 3.248 persen dalam jangka panjang. Tabel 34. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Amerika Serikat (MGUS) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept 1 565 346 <.0001 Perubahan harga riil gula SHRGW -132.809 0.001 0.002 0.3099 dunia QGUS -0.93316 -3.113 -3.284 <.0001 Produksi gula USA CGUS 0.767013 3.225 3.401 <.0001 Konsumsi gula USA STUS -0.89732 0.008 0.008 <.0001 Stok gula USA LMGUS 0.051877 0.2103 Impor gula USA t-1 Prob>|F| : <.0001 R2 : 0.9548 Dw : 1.286 Dh : 2.004 Konsumsi gula Amerika Serikat berpengaruh secara nyata terhadap impor gulanya. Ini menunjukkan bahwa perilaku impor gula Amerika Serikat dapat ditentukan oleh perubahan konsumsi masyarakatnya. Adapun respon impor gula Amerika Serikat terhadap konsumsi gulanya adalah elastis. Peningkatan 1 persen konsumsi gula Amerika Serikat akan meningkatkan impor gula Amerika Serikat sebesar 3.225 persen pada jangka pendek dan 3.402 persen pada jangka panjang. Stok gula Amerika Serikat juga berpengaruh secara nyata terhadap impor gula Amerika Serikat. Peningkatan stok gula akan menurunkan impor gulanya meskipun kurang responsif. Peningkatan stok gula Amerika Serikat akan menurunkan impor gula Amerika Serikat sebesar 0.008 persen baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lebih lanjut, impor gula Amerika Serikat t-1 juga berpengaruh secara tidak nyata terhadap impor gula Amerika Serikat. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang cukup bagi impor gula Amerika serikat untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 129 6.2.6.6.Impor Gula China China merupakan negara produsen gula terbesar di dunia, namun China juga menjadi konsumen gula terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Hal ini sesuai dengan tabulasi data historis selam kurun waktu 2007-2009 yang dapat dijelaskan bahwa rata-rata share impor gula China terhadap total impor dunia adalah 3.03 persen. Berdasarkan Tabel 35 dapat diketahui bahwa impor gula China ditentukan oleh harga gula dunia t-1, produksi gula China, konsumsi gula China, stok gula China, GDP riil China, pertumbuhan penduduk China, dan impor gula China t-1. Adapun secara statistik yang memberikan pengaruh secara nyata terhadap impor gula China antara lain harga riil gula dunia t-1, produksi gula China, stok gula China, GDP riil China, pertumbuhan penduduk China, dan impor gula China t-1. Tabel 35. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula China (MGCN) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept 350 378.8 0.3886 LHRGW -1 131.57 -0.358 -0.498 0.1000 Harga riil gula dunia t-1 QGCN -0.16627 -0.941 -1.311 0.0615 Produksi gula China CGCN 0.061002 0.327 0.456 0.3280 Konsumsi gula China STCN -0.45192 0.033 0.047 0.0114 Stock gula China 0.0000007 IRCN 0.553 0.771 0.0214 GDP riil China Pertumbuhan penduduk LJPOPCN 120 150 000 0.859 1.197 0.0828 China LMGCN 0.2825 0.0777 Impor gula China t-1 Prob>|F| : 0.078 R2 : 0.395 Dw : 1.868 Dh : Harga riil gula dunia memberikan pengaruh nyata terhadap impor gula China. Hal ini mengindikasikan bahwa harga riil gula dunia mampu menyebabkan terjadinya perubahan volume impor gula China. Namun demikian, secara ekonomi respon impor gula China terhadap harga riil gula dunia t-1 adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini berarti perubahan harga gula dunia sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan impor gula China kurang dari 1 persen baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Produksi gula China juga berpengaruh secara nyata terhadap impor gula China. Peningkatan produksi gula China akan menurunkan impor gula China dengan respon yang cukup elastis dalam jangka panjang. Peningkatan 1 persen produksi 130 gula China akan menurunkan impor gula China sebesar 0.941 persen dalam jangka pendek dan 1.311 persen dalam jangka panjang. Sebaliknya, konsumsi gula China tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan impor gula China. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi gula China tidak dapat menjadi tolak ukur dalam peningkatan impor gula China. Adapun stok gula China berpengaruh secara nyata terhadap impor gula China. Peningkatan stok gula China akan menurunkan impor gula China sekalipun kurang responsif. Peningkatan stok gula China akan menurunkan impor gula China sebesar 0.033 persen dalam jangka pendek dan 0.047 persen dalam jangka panjang. Lebih lanjut, GDP riil China memberikan pengaruh yang nyata terhadap impor gula China. Peningkatan GDP riil China membuat importir gula di China meningkatkan jumlah impor gula. Namun respon peningkatan impor gula China terhadap GDP riil China adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan GDP riil China sebesar 1 persen hanya akan meningkatkan impor gula China sebesar 0.553 persen dalam jangka pendek dan 0.771 persen dalam jangka panjang. Demikian halnya dengan pertumbuhan penduduk China yang juga berpengaruh secara nyata terhadap impor gula China. Namun respon impor gula China terhadap pertumbuhan penduduk China inelastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan penduduk China sebesar 1 persen akan meningkatkan impor China sebesar 0.895 dalam jangka pendek dan 1.197 dalam jangka panjang. Apabila dikaitkan dengan perjanjian perdagangan bebas ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) jika pemerintah China tidak mampu membendung laju pertumbuhan penduduknya maka China yang selama ini dikenal sebagai negara penghasil gula terbesar ketiga dunia akan memborong gula dari pasar internasional dan mengurangi ekspornya ke Indonesia. Impor gula China juga dipengaruhi secara nyata oleh impor gula China t-1. Ini berarti bahwa ada tenggang waktu yang cukup bagi China untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 131 6.2.6.7. Total Impor Gula Dunia Persamaan impor gula dunia merupakan penjumlahan impor gula India, Amerika Serikat, China, dan negara importir gula lainnya. Hal tersebut dibangun berdasarkan tabulasi data historis selama kurun waktu 2007-2009 dapat dijelaskan bahwa rata-rata share impor India, Amerika Serikat, China, dan Indonesia adalah 14.09 persen (India 2.10 persen, Amerika Serikat 5.03 persen, China 3.03 persen, dan Indonesia 3.93 persen), sedangkan rata-rata impor gula negara lain sebesar 85.91 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun India, Amerika Serikat, China, dan Indonesia merupakan negara-negara terbesar dalam impor gula dunia, namun masih terdapat banyak negara-negara lain yang juga menjadi importir gula dunia. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa terdapat banyak negara importir gula di dunia, namun jumlah impornya relatif kecil. 6.2.7. Harga Riil Gula Dunia Hasil estimasi terhadap persamaan harga riil gula dunia disajikan pada Tabel 36. Harga riil gula dunia ditentukan oleh ekspor gula dunia, impor gula dunia, dan harga riil gula dunia t-1. Ekspor gula dunia berpengaruh secara negatif terhadap harga riil gula dunia, sedangkan impor gula dunia dan harga riil gula dunia t-1 berpengaruh secara positif terhadap harga riil gula dunia. Tabel 36. Hasil Estimasi Persamaan Harga Gula Dunia (HRGW) Elastisitas Parameter Variabel Prob > |T| Variabel Label Estimate SR LR Intercept 216.782 0.0709 XGW -0.00002 -1.652 -4.473 0.1583 Ekspor gula dunia MGW 0.00002 1.572 4.256 0.1857 Impor gula dunia LHRGW 0.630578 <.0001 Harga riil gula dunia t-1 Prob>|F| : <.0001 R2 : 0.7651 Dw : 1.180 Dh : 2.829 Harga riil gula dunia hanya dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia t-1. Ekspor gula dunia berpengaruh secara tidak nyata terhadap harga riil gula dunia. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor gula dunia tidak dapat menjadi tolak ukur peningkatan harga gula dunia. Peningkatan ekspor gula dunia memiliki kecenderungan untuk tidak menyebabkan penurunan harga riil gula dunia. Demikian pula dengan impor gula dunia yang juga berpengaruh secara tidak nyata 132 terhadap harga riil gula dunia, sehingga perubahan impor gula dunia juga tidak menyebabkan perubahan yang besar terhadap harga riil gula dunia, sedangkan harga riil gula dunia t-1 berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari harga riil gula dunia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 133 VII. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2004-2010 7.1. Evaluasi Daya Prediksi Model Simulasi historis untuk menggambarkan kondisi permintaan dan penawaran gula baik di pasar domestik maupun pasar dunia dilakukan dalam kurun waktu tahun 2004-2010. Kriteria validasi model dalam kajian ini adalah RMSPE dan U Theil. Validasi model juga dilakukan secara historik-dinamis. Hasil validasi model menunjukkan bahwa variabel endogen yang memiliki RMSPE 1-30 sebesar 80 persen, berkisar antara 31-60 sebesar 10 persen, dan yang memiliki nilai RMSPE > 60 sebesar 10 persen. Selain itu, diperoleh juga nilai rata-rata U-Theil sebesar 0.09. Berdasarkan kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar persamaan di dalam model memiliki daya prediksi yang baik. Walaupun beberapa persamaan memiliki validasi yang lemah, namun nilai dekomposisi U-Theil mengindikasikan bahwa bias (error) yang terjadi dalam simulasi model lebih banyak disebabkan oleh faktor nonsistemik. Dengan demikian secara umum model yang dibangun memiliki daya prediksi yang cukup valid untuk melakukan simulasi historis dan simulasi peramalan. Evaluasi dampak penerapaan alternatif kebijakan ekonomi di sektor pertanian dibatasi pada perubahan variabel endogen yang terkait dengan pengukuran kesejahteraan pelaku ekonomi gula. Evaluasi dilakukan terhadap enam skenario simulasi historis tahun 2004-2010, dimana periode ini merupakan periode liberalisasi ACFTA mulai diimplementasikan di Indonesia disamping juga merupakan periode dimulainya kebijakan HPP gula. Selain itu, periode ini juga merupakan periode Harga Patokan Petani (HPP) gula, dimana pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan kebijakan HPP gula sebagai batas harga minimun yang diterima petani. Hasil validasi terkait dengan daya prediksi model lainnya dapat dilihat pada Lampiran 8. 7.2. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Evaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap permintaan dan penawaran gula di Indonesia dibatasi pada perubahan variabel endogen yang terkait dengan pengukuran kesejahteraan pelaku industri gula, yaitu 134 produksi gula, harga gula tingkat petani, harga gula eceran, permintaan gula Indonesia, volume dan harga impor gula Indonesia. Skenario simulasi historis yang dilakukan meliputi peningkatan harga gula tingkat petani 25 persen, peningkatan harga pupuk 33 persen, peningkatan luas areal perkebunan tebu 20 persen, penurunan tarif impor 49 persen, dan penurunan kuota impor gula 50 persen. Berikut ini dikemukakan hasil simulasi pada masing-masing skenario. 7.2.1. Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani Sejak tahun 2004 pemerintah mengeluarkan kebijakan penetapan harga patokan petani (HPP) dalam industri gula untuk memberikan perlindungan kepada petani. HPP gula ini merupakan salah satu insentif bagi petani dalam berbudidaya tebu. Harga patokan petani ini besarannya ditetapkan oleh pemerintah dan direvisi angkanya setiap tahun. Peningkatan harga gula petani dalam penelitian ini disimulasikan sebesar 25 persen sesuai usulan peningkatan HPP gula yang diusulkan oleh Dewan Gula Indonesia. Adapun dampak peningkatan harga gula sebesar 25 persen terhadap perubahan nilai rata-rata variabel endogen periode 2004-2010 dapat dijelaskan pada Tabel 37. Peningkatan harga gula akan meningkatkan luas areal perkebunan rakyat sebesar 4.590 persen dan produktivitas sebesar 15.858 persen sehingga produksi gula kristal pada perkebunan rakyat juga akan meningkat sebesar 4.056 persen. Peningkatan produksi gula kristal putih rakyat mampu meningkatkan produksi gula Indonesia sebesar 4.544 persen. Adanya harga gula yang wajar dan menguntungkan akan menjadi acuan bagi petani untuk menanam tebu atau tidak pada musim giling tahun berikutnya. Khudori (2005) menambahkan bahwa besar kecilnya harga berpengaruh besar terhadap minat dan insentif petani untuk terus menekuni usahatani tebu. Petani tebu tidak semata-mata menginginkan keuntungan yang besar tetapi juga stabilitas harga, sebab dengan harga yang baik petani bisa dijadikan tumpuan pertumbuhan industri gula nasional. Selanjutnya, peningkatan produksi gula ini akan menyebabkan penawaran gula Indonesia meningkat 1.581 persen. Selain itu, peningkatan produksi gula juga akan menyebabkan impor gula Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.872 persen. Presentase penurunan impor gula paling tinggi berasal dari China 135 sebesar 30.503 persen, sedangkan dari Thailand menurun sebesar 1.653 persen. Penurunan impor gula Indonesia menyebabkan berkurangnya volume impor gula dunia, sehingga impor gula dunia turun sebesar 0.025 persen. Tabel 37. Dampak Peningkatan Harga Gula sebesar 25 persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Variable Endogen Areal perkebunan besar negara Areal perkebunan besar swasta Areal perkebunan rakyat Produktivitas hablur negara Produktivitas hablur swasta Produktivitas hablur rakyat Produksi GKP negara Produksi GKP swasta Produksi GKP rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia Permintaan gula rumah tangga Permintaan gula industri Permintaan gula Indonesia Penawaran gula Indonesia Harga riil gula tingkat petani Harga riil gula pedagang besar Harga riil gula eceran Indonesia Harga riil impor gula Indonesia Impor gula dari Thailand Impor gula dari China Impor gula Indonesia Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India Impor gula Amerika Serikat Impor gula China Harga riil gula dunia Ekspor gula dunia Impor gula dunia Sumber : Data diolah, 2012 Satuan Nilai Dasar Ha Ha Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton US$/Ton Ton Ton 83 826.5 99 508.5 213 487 4.9324 7.0486 5.5915 414 313 705 568 1 197 796 2 317 678 3 658 608 2 599 370 1 609 852 4 209 223 5 855 610 4 880.7 5 279.4 5 646.1 4 424.4 606 388 8 933.5 1 462 833 19 535 931 2 933 704 444 435 2 198 155 1 256 535 415 46 622 553 44 691 177 Perubahan (%) -0.087 -0.004 4.590 -0.107 -0.001 4.056 -0.195 -0.005 8.863 4.544 2.879 0.079 0.011 0.053 1.581 25.000 -0.133 -0.133 -0.054 -1.653 -30.503 -0.872 -0.006 -0.010 0.229 0.000 0.040 -0.096 -0.003 -0.025 136 Penurunan volume impor gula dunia ini menyebabkan harga riil gula dunia turun 0.096 persen. Turunnya harga gula dunia ini juga akan menyebabkan harga riil impor gula Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.054 persen. Penurunan harga impor gula Indonesia menyebabkan harga gula eceran menurun sebesar 0.133 persen. Turunnya harga gula eceran ini akan meningkatkan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.079 persen. Harga gula eceran yang mengalami penurunan mempengaruhi harga gula tingkat pedagang besar yang juga mengalami penurunan sebesar 0.133 persen. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.047 persen. Peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.011 persen. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar ini akan menjadi disinsentif bagi perkebunan besar negara dan swasta sehingga menurunkan produksi gula yang ditunjukkan oleh penurunan areal perkebunan dan produktivitas. 7.2.2. Peningkatan Harga Pupuk Pupuk mempunyai peranan yang sangat penting dalam produksi pertanian sehingga hal ini mendorong pemerintah untuk turut campur tangan dalam mengatur tata niaga pupuk. Termasuk dalam upaya pemerintah untuk menekan biaya yang akan ditanggung petani dalam pengadaan pupuk melalui subsidi pupuk sejak tahun 1971. Namun, pada akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan peningkatan harga pupuk untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 Tahun 2010 yang diaplikasikan diseluruh wilayah Indonesia dari harga sebelumnya Rp 1 200.00 perkilogram dinaikkan menjadi Rp 1 600.00 perkilogram atau meningkat 33.33 persen. Dampak peningkatan harga pupuk sebesar 33 persen terhadap perubahan nilai rata-rata variabel endogen periode 2004-2010 dapat dijelaskan pada Tabel 38. Kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar 33 persen menurunkan produktivitas gula hablur rakyat sebesar 4.228 persen, sedangkan perkebunan perkebunan negara masih mengalami peningkatan sebesar 0.606 persen dan perkebunan swasta meningkat 0.001 persen. Kebijakan peningkatan harga pupuk 137 lebih dirasakan dampaknya bagi petani perkebunan tebu rakyat. Meningkatnya biaya produksi yang ditanggung petani akibat peningkatan harga pupuk selama masa tanam menyebabkan penurunan produktivitas gula hablur. Tabel 38. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 33 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 Perubahan No. Variable Endogen Satuan Nilai Dasar (%) 1 Areal perkebunan besar negara Ha 83 826.5 0.038 2 Areal perkebunan besar swasta Ha 99 508.5 0.002 3 Areal perkebunan rakyat Ha 213 487 0.020 4 Produktivitas hablur negara Ton/Ha 4.9324 0.606 5 Produktivitas hablur swasta Ton/Ha 7.0486 0.001 6 Produktivitas hablur rakyat Ton/Ha 5.5915 -4.228 7 Produksi GKP negara Ton 414 313 0.633 8 Produksi GKP swasta Ton 705 568 0.003 9 Produksi GKP rakyat Ton 1 197 796 -4.336 10 Produksi GKP Indonesia Ton 2 317 678 -2.126 11 Produksi gula Indonesia Ton 3 658 608 -1.347 12 Permintaan gula rumah tangga Ton 2 599 370 -0.035 13 Permintaan gula industri Ton 1 609 852 -0.004 14 Permintaan gula Indonesia Ton 4 209 223 -0.023 15 Penawaran gula Indonesia Ton 5 855 610 -0.740 16 Harga riil gula tingkat petani Rp/Kg 4 880.7 0.104 17 Harga riil gula pedagang besar Rp/Kg 5 279.4 0.061 18 Harga riil gula eceran Rp/Kg 5 646.1 0.060 19 Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 424.4 0.023 20 Impor gula dari Thailand Ton 606 388 0.769 21 Impor gula dari China Ton 8 933.5 14.271 22 Impor gula Indonesia Ton 1 462 833 0.406 23 Ekspor gula Brazil Ton 19 535 931 0.002 24 Ekspor gula Thailand Ton 2 933 704 0.004 25 Impor gula India Ton 444 435 -0.097 26 Impor gula Amerika Serikat Ton 2 198 155 0.000 27 Impor gula China Ton 1 256 535 -0.014 28 Harga riil gula dunia US$/Ton 415 0.048 29 Ekspor gula dunia Ton 46 622 553 0.001 30 Impor gula dunia Ton 44 691 177 0.012 Sumber : Data diolah, 2012 138 Selanjutnya kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar 33 persen akan menyebabkan penurunan produksi gula Indonesia sebesar 1.347 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas dan produksi perkebunan besar negara dan swasta tidak mampu meningkatkan produksi gula Indonesia, karena penurunan produktivitas dan produksi perkebunan rakyat lebih besar daripada peningkatan produksi dan produktivitas perkebunan besar negara dan swasta. Penurunan produksi gula Indonesia menyebabkan penurunan penawaran gula Indonesia sebesar 0.740 persen. Selain itu, penurunan produksi gula Indonesia juga menyebabkan impor gula Indonesia meningkat 0.406 persen. Presentase peningkatan impor gula paling besar berasal dari China sebesar 14.271 persen, sedangkan dari Thailand hanya sebesar 0.769 persen. Peningkatan impor gula dunia ini selanjutnya akan meningkatkan impor gula dunia sebesar 0.012 persen yang juga akan meningkatkan harga gula dunia sebesar 0.048 persen. Peningkatan harga gula dunia ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara besar (big country) dalam perdagangan gula dunia. Penawaran gula Indonesia tidak mengalami peningkatan sekalipun impor gula Indonesia meningkat, karena penurunan produksi gula Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan peningkatan impor. Peningkatan harga gula dunia berdampak terhadap harga impor gula Indonesia yang meningkat sebesar 0.023 persen. Selanjutnya, peningkatan harga impor gula Indonesia akan ditransmisikan pada harga gula eceran, sehingga harga gula eceran mengalami peningkatan sebesar 0.060 persen. Peningkatan harga gula eceran ini menyebabkan permintaan gula rumah tangga turun sebesar 0.035 persen. Penurunan permintaan gula yang masih lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan harga eceran gula menunjukkan bahwa gula masih merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Peningkatan harga gula eceran juga akan ditransmisikan pada harga gula tingkat pedagang besar yang mengalami peningkatan sebesar 0.061 persen. Peningkatan harga gula tingkat pedagang besar ini akan menyebabkan permintaan gula industri menurun sebesar 0.004 persen. Penurunan permintaan gula rumah tangga dan permintaan gula industri akan menurunkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.023 persen. 139 Peningkatan harga gula pedagang besar akan menjadi insentif bagi perkebunan besar negara dan swasta dalam meningkatkan produksinya yang ditunjukkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas. Luas areal perkebunan besar negara akan meningkat sebesar 0.038 persen dan perkebunan besar swasta akan meningkat sebesar 0.002 persen. Peningkatan harga gula pedagang besar kemudian akan ditransmisikan pada harga gula tingkat petani yang juga meningkat sebesar 0.104 persen. Peningkatan harga gula tingkat petani ini menjadi insentif bagi petani perkebunan rakyat dalam meningkatkan luas arealnya sehingga meningkat sebesar 0.020 persen. 7.2.3. Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan program swasembada gula adalah melalui ekstensifikasi dengan pembukaan areal baru untuk tanaman tebu. Dampak peningkatan luas areal perkebunan tebu sebesar 20 persen terhadap permintaan dan penawaran gula Indonesia disajikan pada Tabel 39. Dampak langsung peningkatan 20 persen luas areal adalah peningkatan produksi gula kristal putih dari perkebunan besar negara sebesar 16.370 persen, perkebunan besar swasta sebesar 26.666 persen dan perkebunan rakyat sebesar 29.036 persen. Namun demikian, secara keseluruhan produksi gula akan meningkat sebesar 8.276 persen akibat kebijakan ini. Peningkatan produksi gula Indonesia ini menyebabkan peningkatan penawaran gula Indonesia sebesar 9.017 persen. Selain itu, peningkatan produksi juga menurunkan impor gula Indonesia dari Thailand dan China sebesar 9.463 persen dan 174.042 persen, sehingga total impor gula Indonesia mengalami penurunan sebesar 4.986 persen. Penurunan impor gula Indonesia ini akan menurunkan impor gula dunia sebesar 0.143 persen. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara besar dalam perdagangan gula dunia. Lebih lanjut turunnya impor gula dunia ini akan menyebabkan harga gula dunia juga mengalami penurunan sebesar 0.578 persen. Penurunan harga gula dunia ini akan ditransmisikan ke harga gula eceran yang menurun 0.758 persen melalui penurunan harga impor gula sebesar 0.319 persen. 140 Tabel 39. Dampak Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu 20 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 Perubahan No. Variable Endogen Satuan Nilai Dasar (%) 1 Areal perkebunan besar negara Ha 83 826.5 20.000 2 Areal perkebunan besar swasta Ha 99 508.5 20.000 3 Areal perkebunan rakyat Ha 213 487 20.000 4 Produktivitas hablur negara Ton/Ha 4.9324 1.379 5 Produktivitas hablur swasta Ton/Ha 7.0486 6.977 6 Produktivitas hablur rakyat Ton/Ha 5.5915 0.372 7 Produksi GKP negara Ton 414 313 16.370 8 Produksi GKP swasta Ton 705 568 26.266 9 Produksi GKP rakyat Ton 1 197 796 29.036 10 Produksi GKP Indonesia Ton 2 317 678 25.929 11 Produksi gula Indonesia Ton 3 658 608 16.425 12 Permintaan gula rumah tangga Ton 2 599 370 0.455 13 Permintaan gula industri Ton 1 609 852 0.063 14 Permintaan gula Indonesia Ton 4 209 223 0.305 15 Penawaran gula Indonesia Ton 5 855 610 9.017 16 Harga riil gula tingkat petani Rp/Kg 4 880.7 -1.088 17 Harga riil gula pedagang besar Rp/Kg 5 279.4 -0.752 18 Harga riil gula eceran Indonesia Rp/Kg 5 646.1 -0.758 19 Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 424.4 -0.319 20 Impor gula dari Thailand Ton 606 388 -9.463 21 Impor gula dari China Ton 8 933.5 -174.042 22 Impor gula Indonesia Ton 1 462 833 -4.986 23 Ekspor gula Brazil Ton 19 535 931 -0.033 24 Ekspor gula Thailand Ton 2 933 704 -0.058 25 Impor gula India Ton 444 435 1.323 26 Impor gula Amerika Serikat Ton 2 198 155 0.002 27 Impor gula China Ton 1 256 535 0.230 415 -0.578 28 Harga riil gula dunia US$/Ton 29 Ekspor gula dunia Ton 46 622 553 -0.017 30 Impor gula dunia Ton 44 691 177 -0.143 Sumber : Data diolah, 2012 141 Penurunan harga gula eceran ini akan menyebabkan peningkatan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.455 persen. Penurunan harga gula eceran ini akan menyebabkan harga gula tingkat pedagang besar juga mengalami penurunan yang lebih besar yaitu sebesar 0.752 persen. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.063 persen. Meningkatnya permintaan gula rumah tangga dan industri akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.305 persen. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar akan menurunkan harga gula tingkat petani sebesar 1.088 persen. 7.2.4. Penurunan Tarif Impor Gula Dampak penurunan tarif impor gula sebesar 49 persen terhadap permintaan dan penawaran gula Indonesia disajikan pada Tabel 40. Dampak langsung penurunan tarif impor adalah peningkatan impor gula Indonesia dari masing-masing negara eksportir sehingga secara keseluruhan total impor gula Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8.104 persen. Impor gula Indonesia dari China meningkat sebesar 349.532 persen, sedangkan dari Thailand hanya meningkat sebesar 14.400 persen. Namun demikian, volume impor gula dari Thailand masih lebih tinggi daripada volume impor gula dari China. Peningkatan impor gula Indonesia ini akan meningkatkan impor gula dunia sebesar 0.234 persen sehingga meningkatkan harga gula dunia sebesar 0.916 persen. Hal ini semakin menguatkan bahwa Indonesia merupakan negara besar importir gula di dunia sebab penurunan dan peningkatan gula Indonesia berpengaruh terhadap pasar gula dunia. Selain itu, peningkatan impor gula dunia juga akan menyebabkan peningkatan penawaran gula Indonesia sebesar 2.013 persen. Peningkatan penawaran gula ini akan menyebabkan harga gula eceran menurun sebesar 0.324 persen, sehingga peningkatan harga gula dunia yang akan ditransmisikan pada pasar domestik melalui peningkatan harga impor gula Indonesia sebesar 0.058 persen tidak akan meningkatkan harga gula eceran. Penurunan harga gula eceran menyebabkan permintaan gula rumah tangga meningkat sebesar 0.035 persen. Selanjutnya, penurunan harga gula eceran akan menurunkan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.057 persen. Penurunan 142 harga gula tingkat pedagang besar akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.006 persen. Tabel 40. Dampak Penurunan Tarif Impor Gula 49 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Variable Endogen Areal perkebunan besar negara Areal perkebunan besar swasta Areal perkebunan rakyat Produktivitas hablur negara Produktivitas hablur swasta Produktivitas hablur rakyat Produksi GKP negara Produksi GKP swasta Produksi GKP rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia Permintaan gula rumah tangga Permintaan gula industri Permintaan gula Indonesia Penawaran gula Indonesia Harga riil gula tingkat petani Harga riil gula pedagang besar Harga riil gula eceran Indonesia Harga riil impor gula Indonesia Impor gula dari Thailand Impor gula dari China Impor gula Indonesia Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India Impor gula Amerika Serikat Impor gula China Harga riil gula dunia Ekspor gula dunia Impor gula dunia Sumber : Data diolah, 2012 Satuan Nilai Dasar Ha Ha Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton US$/Ton Ton Ton 83 826.5 99 508.5 213 487 4.9324 7.0486 5.5915 414 313 705 568 1 197 796 2 317 678 3 658 608 2 599 370 1 609 852 4 209 223 5 855 610 4 880.7 5 279.4 5 646.1 4 424.4 606 388 8 933.5 1 462 833 19 535 931 2 933 704 444 435 2 198 155 1 256 535 415 46 622 553 44 691 177 Perubahan (%) -0.039 -0.001 -0.013 -0.047 0.000 -0.011 -0.085 -0.001 -0.024 -0.028 -0.018 0.035 0.006 0.024 2.013 -0.061 -0.057 -0.058 0.513 14.400 349.532 8.104 0.052 0.093 -2.124 -0.004 -0.367 0.916 0.028 0.234 143 Peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.024 persen. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar kemudian akan ditransmisikan pada harga gula tingkat petani sehingga harga gula tingkat petani menurun sebesar 0.061 persen. Penurunan harga gula tingkat petani dan pedagang besar ini merupakan disinsentif bagi pengusaha perkebunan tebu baik negara, swasta maupun rakyat yang akan direspon dengan penurunan luas areal perkebunan tebu sebesar 0.039 persen pada perkebunan besar negara, 0.001 persen pada perkebunan besar swasta, dan 0.013 persen pada perkebunan rakyat. Lebih lanjut, penurunan areal ini menyebabkan penurunan produktivitas gula sehingga menurunkan produksi gula Indonesia sebesar 0.018 persen. Namun demikian, sekalipun produksi gula Indonesia mengalami penurunan tidak membuat penawaran gula Indonesia mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa gula impor mendominasi penawaran gula Indonesia. 7.2.5. Penurunan Kuota Impor Gula Upaya peningkatan produksi gula nasional yang bertujuan untuk mencapai swasembada gula didukung oleh pemerintah dengan mengurangi kuota impor gula sebesar 50 persen dari kuota yang telah ditetapkan oleh sebelumnya. Pembatasan kuota impor ini diharapkan dapat memacu para petani tebu untuk meningkatkan produksinya. Adapun dampak penurunan kuota impor gula sebesar 50 persen dapat dilihat pada Tabel 41. Penurunan kuota impor gula Indonesia sebesar 50 persen menurunkan impor gula dunia sebesar 1.407 persen. Penurunan impor gula dunia menyebabkan penurunan harga gula dunia sebesar 5.542 persen. Hal ini menunjukkan Indonesia merupakan negara besar dalam impor gula, karena perubahan impor gula dalam negeri mampu mempengaruhi harga gula dunia. Penurunan harga gula dunia selanjutnya akan menurunkan harga impor gula Indonesia sebesar 3.087 persen. Penurunan harga impor gula tidak membuat harga gula eceran mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan kebijakan penurunanan kuota impor menyebabkan penawaran gula Indonesia menurun sebesar 12.128 persen. 144 Tabel 41. Dampak Penurunan Kuota Impor Gula 50 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 No. Variable Endogen Satuan Nilai Dasar Perubahan (%) 1 Areal perkebunan besar negara Ha 83 826.5 0.231 2 Areal perkebunan besar swasta Ha 99 508.5 0.007 3 Areal perkebunan rakyat Ha 213 487 0.075 4 Produktivitas hablur negara Ton/Ha 4.9324 0.286 5 Produktivitas hablur swasta Ton/Ha 7.0486 0.004 6 Produktivitas hablur rakyat Ton/Ha 5.5915 0.068 7 Produksi GKP negara Ton 414 313 0.509 8 Produksi GKP swasta Ton 705 568 0.008 9 Produksi GKP rakyat Ton 1 197 796 0.142 10 Produksi GKP Indonesia Ton 2 317 678 0.167 11 Produksi gula Indonesia Ton 3 658 608 0.106 12 Permintaan gula rumah tangga Ton 2 599 370 -0.210 13 Permintaan gula industri Ton 1 609 852 -0.034 14 Permintaan gula Indonesia Ton 4 209 223 -0.142 15 Penawaran gula Indonesia Ton 5 855 610 -12.128 16 Harga riil gula tingkat petani Rp/Kg 4 880.7 0.369 17 Harga riil gula pedagang besar Rp/Kg 5 279.4 0.343 18 Harga riil gula eceran Indonesia Rp/Kg 5 646.1 0.344 19 Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 424.4 -3.087 20 Impor gula dari Thailand Ton 606 388 0.437 21 Impor gula dari China Ton 8 933.5 -0.629 22 Impor gula Indonesia Ton 1 462 833 -50.000 23 Ekspor gula Brazil Ton 19 535 931 -0.314 24 Ekspor gula Thailand Ton 2 933 704 -0.562 25 Impor gula India Ton 444 435 12.780 26 Impor gula Amerika Serikat Ton 2 198 155 0.025 27 Impor gula China Ton 1 256 535 2.218 415 -5.542 28 Harga riil gula dunia US$/Ton 29 Ekspor gula dunia Ton 46 622 553 -0.167 30 Impor gula dunia Ton 44 691 177 -1.407 Sumber : Data diolah, 2012 Penurunan penawaran gula selanjutnya menyebabkan harga gula eceran meningkat sebesar 0.344 persen. Peningkatan harga gula eceran akan direspon 145 dengan penurunan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.210 persen. Penurunan permintaan gula rumah tangga lebih kecil dibandingkan dengan penurunan harga gula ecerannya. Hal ini menunjukkan bahwa gula merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian penduduk Indonesia. Penurunan harga gula eceran akan ditransmisikan lebih lanjut pada harga gula tingkat pedagang besar yang akan meningkat sebesar 0.343 persen. Peningkatan harga gula tingkat pedagang besar ini akan menyebabkan permintaan gula industri mengalami penurunan sebesar 0.034 persen. Penurunan permintaan gula rumah tangga dan industri akan menurunkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.142 persen. Harga gula tingkat petani juga akan terdorong naik seiring dengan peningkatan harga gula tingkat pedagang besar. Harga gula tingkat petani akan meningkat sebesar 0.369 persen. Peningkatan ini akan menjadi insentif bagi petani dalam meningkatkan produksi tebu yang ditunjukkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas baik pada perkebunan besar negara, swasta, dan rakyat. Produksi gula kristal putih perkebunan besar negara meningkat sebesar 0.286 persen, perkebunan besar swasta meningkat sebesar 0.004 persen dan perkebunan rakyat meningkat 0.064 persen. Secara keseluruhan produksi gula Indonesia akan meningkat sebesar 0.167 persen. Sekalipun produksi gula Indonesia mengalami peningkatan namun besarnya peningkatan produksi gula Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan penurunan impor gula Indonesia, sehingga penawaran gula Indonesia masih mengalami penurunan. 7.3. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2004-2010 Kompilasi dari dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi gula dan penerimaan devisa Indonesia tahun 20042010 ditunjukkan pada Tabel 42. Adapun kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang disimulasikan yaitu peningkatan harga gula petani sebesar 25 persen, peningkatan harga pupuk 33 persen, penurunan tarif impor gula 49 persen, peningkatan luas areal perkebunan tebu sebesar 20 persen, dan penurunan kuota impor gula 50 persen. 146 146 Tabel 42. Evaluasi Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian Periode 2004-2010 Rp miliar No. Komponen 1 Perubahan Surplus Produsen Indonesia a. Perusahaan perkebunan besar negara b. Perusahaan perkebunan besar swasta c. Perusahaan perkebunan rakyat 2 Perubahan Surplus Konsumen Indonesia a. Konsumen Rumah Tangga b. Konsumen Industri 3 Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain 4 Net Surplus Indonesia 5 Perubahan Devisa Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain Keterangan : 1. Peningkatan harga gula tingkat petani 25 persen 2. Peningkatan harga pupuk 33 persen 3. Peningkatan luas areal perkebunan tebu 20 persen Sumber : Data diolah, 2012 S1 S2 Alternatif Kebijakan S3 S4 S5 1 518.455 -2.897 -4.939 1 526.291 9.564 1.330 2.258 5.976 -118.642 -17.795 -28.011 -72.837 -6.952 -1.242 -2.117 -3.593 41.865 7.518 12.771 21.576 30.773 19.503 11.270 -13.988 -8.836 -5.151 175.438 111.506 63.931 13.409 8.579 4.830 -79.508 -50.375 -29.133 -16.796 -12.50 -3.30 -1.00 7.703 6.10 1.60 0.00 -94.097 -71.40 -18.70 -4.00 -781.937 -293.20 14.86 -503.60 -53.967 -18.80 -0.27 -34.90 1 532.43 3.28 -37.30 -775.48 -91.61 -61.200 -47.00 -12.20 -2.00 28.990 22.00 5.99 1.00 -348.470 -266.00 -69.47 -13.00 563.430 404.00 139.43 20.00 -198.000 -70.00 -1.00 -127.00 4. Penurunan tarif impor gula 49 persen 5. Penurunan kuota impor gula 50 persen 147 Berdasarkan Tabel 42 dapat diketahui bahwa simulasi peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 25 persen mampu memberikan dampak peningkatan surplus produsen gula paling besar, yaitu sebesar Rp 1.518 triliun. Hal ini disebabkan kenaikan harga gula tingkat petani sebesar 25 persen menyebabkan kenaikan produksi yang besar, yaitu 2.879 persen. Namun jika dikaji lebih lanjut, pada simulasi peningkatan harga gula 25 persen terdapat trade off antara petani perkebunan rakyat dengan perusahaan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Hal ini dikarenakan perkebunan besar negara dan swasta tidak dipengaruhi oleh harga gula tingkat petani melainkan harga gula tingkat pedagang besar, sehingga kenaikan harga gula tingkat petani bukan insentif bagi perkebunan besar negara dan swasta dalam memproduksi tebu. Ditinjau dari sisi konsumen, kebijakan ini juga memberikan peningkatan surplus konsumen gula yaitu sebesar Rp 30.773 miliar. Peningkatan surplus konsumen tersebut merupakan total dari peningkatan surplus konsumen gula rumah tangga sebesar Rp 19.503 miliar dan peningkatan surplus konsumen industri sebesar Rp 11.270 miliar. Hal ini dikarenakan pada kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani 25 persen, harga gula eceran dan harga gula pedagang besar masing-masing mengalami penurunan sebesar 0.133 persen sehingga permintaan gula rumah tangga mengalami peningkatan sebesar 0.079 persen dan permintaan gula industri meningkat 0.011 persen. Peningkatan produksi juga mampu menurunkan impor gula Indonesia sebesar 0.872 persen sehingga penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun sebesar Rp 16.796 miliar dan devisa impor pemerintah juga mengalami penurunan sebesar Rp 61.2 miliar. Namun, secara keseluruhan kebijakan ini masih memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat (net surplus) yang tinggi, yaitu sebesar Rp 1.532 triliun. Kebijakan peningkatan harga pupuk 33 persen memberikan peningkatan surplus bagi produsen sebesar Rp 9.564 miliar. Namun, hal ini bukan terjadi karena efisiensi pupuk yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas melainkan karena penurunan produksi gula sebesar 1.347 persen yang mengakibatkan peningkatan impor gula Indonesia sebesar 0.406 persen sehingga meningkatkan harga gula dunia yang kemudian 148 ditransmisikan pada peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 0.104 persen dan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.061 persen. Konsumen menderita kerugian dengan penurunan surplus sebesar Rp 13.988 miliar yang berasal dari penurunan surplus konsumen rumah tangga sebesar Rp 8.836 miliar dan konsumen industri sebesar Rp 5.151 miliar. Hal ini diakibatkan peningkatan harga gula eceran sebesar 0.060 persen dan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.061 persen yang menyebabkan penurunan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.035 persen dan permintaan gula industri sebesar 0.004 persen. Kebijakan ini juga menyebabkan impor gula Indonesia meningkat sehingga penerimaan pemerintah dari tarif impor meningkat sebesar Rp 7.703 miliar. Selain itu perubahan devisa impor pemerintah juga meningkat sebesar Rp 28.990 miliar. Secara keseluruhan, kebijakan ini menurunkan kesejahteraan masyarakat (net surplus) sebesar Rp 3.28 miliar. Kebijakan peningkatan luas areal 20 persen memberikan dampak penurunan surplus produsen paling besar yaitu sebesar Rp 118.642 miliar. Semua produsen perkebunan tebu mengalami penurunan surplus masing-masing Rp 17.795 miliar, Rp 28.011 miliar, Rp 72.837 miliar untuk perkebunan besar negara, swasta, dan rakyat. Hal ini dikarenakan pada kebijakan peningkatan luas areal harga riil gula tingkat petani dan pedagang besar mengalami penurunan masing-masing sebesar 1.088 persen dan 0.752 persen. Sedangkan disisi lain, kebijakan ini meningkatkan surplus konsumen sebesar Rp 175.438 miliar pada konsumen rumah tangga dan Rp 111.506 miliar pada konsumen industri. Peningkatan ini dikarenakan harga gula eceran dan harga gula tingkat pedagang besar mengalami penurunan sebesar 0.758 persen dan 0.752 persen sehingga konsumen rumah tangga meningkatkan permintaannya sebesar 0.455 persen dan konsumen industri meningkatkan permintaannya sebesar 0.063 persen. Dari sisi impor, peningkatan produksi gula karena peningkatan luas areal menyebabkan impor gula Indonesia mengalami penurunan sebesar 4.986 persen sehingga penerimaan pemerintah dari tarif juga turut mengalami penurunan sebesar Rp 94.097 miliar. Devisa impor negara juga mengalami penurunan sebesar Rp 348.470 miliar. Namun demikian, secara menyeluruh kebijakan ini 149 memberikan penurunan kesejahteraan bagi masyarakat (net surplus) sebesar Rp 37.30 miliar. Kebijakan penurunan tarif impor gula 49 persen menyebabkan penurunan surplus produsen sebesar Rp 6.952 miliar dengan penurunan surplus paling besar diderita oleh petani perkebunan rakyat sebesar Rp 3.593 miliar, sedangkan perkebunan besar negara hanya menurun Rp 1.242 miliar dan perkebunan swasta menurun Rp 2.117 miliar. Hal ini dikarenakan penurunan harga gula tingkat petani yang sebesar 0.061 persen dan harga gula tingkat pedagang besar yang sebesar 0.057 persen menyebabkan penurunan produksi gula perkebunan besar negara 0.085 persen, perkebunan besar swasta 0.001 persen, dan perkebunan rakyat 0.024 persen. Sebaliknya, surplus konsumen mengalami peningkatan sebesar Rp 13.409 miliar yang berasal dari peningkatan surplus konsumen rumah tangga sebesar Rp 8.579 miliar dan surplus konsumen industri sebesar Rp 4.830 miliar. Peningkatan surplus konsumen tersebut diakibatkan oleh penurunan harga gula eceran sebesar 0.058 persen dan harga gula tingkat pedagang besar 0.057 persen yang menyebabkan konsumen rumah tangga meningkatkan permintaannya sebesar 0.035 persen dan konsumen industri meningkatkan permintaannya sebesar 0.006 persen. Peningkatan impor pada kebijakan penurunan tarif impor sebesar 49 persen ini menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor sebesar Rp 781.937 miliar. Dengan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif paling besar berasal dari Thailand sebesar Rp 293.20 miliar, sedangkan dari China mengalami peningkatan sebesar Rp 14.86 miliar. Namun demikian, devisa negara dari impor masih mengalami peningkatan, bahkan paling besar diantara kebijakan lainnya yaitu sebesar Rp 563.430 miliar. Secara keseluruhan kebijakan penurunan tarif impor gula 49 persen ini menurunkan kesejahteraan masyarakat (net surplus) sebesar Rp 775.48 miliar. Kebijakan penurunan kuota impor gula sebesar 50 persen memberikan dampak peningkatan surplus produsen sebesar Rp 41.865 miliar karena adanya peningkatan produksi gula sebesar 0.106 persen dan peningkatan harga gula tingkat petani serta pedagang besar masing-masing sebesar 0.369 persen dan 0.343 persen. Konsumen menderita kerugian sebesar Rp 79.508 miliar yang 150 berasal dari penurunan surplus konsumen rumah tangga sebesar Rp 50.375 miliar, dan penurunan surplus konsumen industri sebesar Rp 29.133 miliar. Penurunan tersebut disebabkan oleh peningkatan harga eceran gula dan pedagang besar masing-masing sebesar 0.344 persen dan 0.343 persen sehingga menurunkan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.210 persen dan permintaan industri sebesar 0.034 persen. Penurunan kuota impor ini menyebabkan menurunnya penerimaan pemerintah dari tarif impor sebesar Rp 53.967 miliar dan penurunan devisa impor yang paling besar yaitu Rp 198 miliar, sehingga secara keseluruhan kebijakan ini telah menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat (net surplus) sebesar Rp 91.61 miliar. 151 VIII. PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTANIAN DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TAHUN 2011-2014 DAN 2015-2020 8.1. Peramalan Dampak Kebijakan terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Peramalan dampak kebijakan terhadap permintaan dan penawaran gula di Indonesia dilakukan pada dua periode yaitu periode sebelum liberalisasi perdagangan gula ACFTA dimplementasikan atau tahun 2011-2014 dan periode pada saat diimplementasikannya liberalisasi perdagangan gula ACFTA atau tahun 2015-2015. Skenario kebijakan yang dilakukan antara lain skenario simulasi tunggal kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal, serta simulasi kombinasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian. Simulasi tunggal kebijakan ekonomi di sektor pertanian terdiri dari (1) peningkatan harga gula petani 30 persen, (2) penguatan peran BULOG melalui peningkatan stok gula 20 persen (3) peningkatan areal panen tebu 30 persen, (4) swasembada absolut gula, (5) penghapusan tarif impor gula, (6) penurunan tarif impor gula 10 persen, (7) penurunan tarif impor gula 30 persen, (8) penurunan tarif impor gula 50 persen. Simulasi tunggal perubahan faktor eksternal terdiri dari : (9) penurunan impor gula China 20 persen dan (10) peningkatan produksi gula Brazil dan Thailand 20 persen. Simulasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian difokuskan pada penurunan tarif impor yang merupakan bagian dari skema perjanjian perdagangan bebas ACFTA. Adapun simulasi kombinasi yang dilakukan yaitu (11) simulasi kombinasi penurunan tarif impor 50 persen dan pengurangan kuota impor gula 50 persen, (12) simulasi kombinasi penurunan tarif impor gula 30 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 15 persen, dan peningkatan luas areal perkebunan 30 persen, (13) simulasi kombinasi penurunan tarif impor gula 50 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen, pengurangan kuota impor gula 50 persen, dan peningkatan luas areal tebu 30 persen, dan (14) simulasi kombinasi penurunan tarif impor gula 50 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen, peningkatan luas areal tebu 30 persen, dan penguatan peran BULOG melalui peningkatan stok gula 20 persen. 152 8.1.1. Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian 8.1.1.1. Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani Berdasarkan Tabel 43 dapat diketahui peramalan dampak peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen. Baik pada periode 2011-2014 maupun periode 2015-2020 skenario simulasi peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen menyebabkan produksi gula Indonesia meningkat sebesar 3.005 persen (2011-2014) dan 2.883 persen (2015-2020). Tabel 43. Peramalan Dampak Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani 30 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variable Endogen 1. Areal perkebunan besar negara 2. Areal perkebunan besar swasta 3. Areal perkebunan rakyat 4. Produktivitas hablur negara 5. Produktivitas hablur swasta 6. Produktivitas hablur rakyat 7. Produksi GKP negara 8. Produksi GKP swasta 9. Produksi GKP rakyat 10. Produksi GKP Indonesia 11. Produksi gula Indonesia 12. Permintaan gula rumah tangga 13. Permintaan gula industri 14. Permintaan gula Indonesia 15. Penawaran gula Indonesia 16. Harga riil gula tingkat petani 17. Harga riil gula pedagang besar 18. Harga riil gula eceran 19. Harga riil impor gula Indonesia 20. Impor gula dari Thailand 21. Impor gula dari China 22. Impor gula Indonesia 23. Ekspor gula Brazil 24. Ekspor gula Thailand 25. Impor gula India 26. Impor gula Amerika Serikat 27. Impor gula China 28. Harga riil gula dunia 29. Ekspor gula dunia 30. Impor gula dunia Nilai Dasar Perubahan (%) BA AA BA AA Ha 88 470.1 91 075 -0.090 -0.088 Ha 126 693 147 670 -0.006 -0.003 Ha 238 617 234 361 5.464 6.337 Ton/Ha 4.3578 4.6109 -0.147 -0.132 Ton/Ha 6.9627 7.6122 -0.003 -0.003 Ton/Ha 4.8519 4.1861 5.585 5.834 Ton 386 788 421 185 -0.238 -0.220 Ton 885 552 1 128 436 -0.009 -0.006 Ton 1 161 700 985 199 11.296 12.417 Ton 2 434 040 2 534 821 5.350 4.787 Ton 4 332 967 4 209 037 3.005 2.883 Ton 2 637 506 2 918 284 0.086 0.078 Ton 2 763 026 2 954 823 0.004 0.005 Ton 5 400 532 5 873 107 0.044 0.041 Ton 6 801 666 6 762 361 1.685 1.578 Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 30.000 30.000 Rp/Kg 5 632.5 5 875 -0.149 -0.136 Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 -0.154 -0.139 Rp/Kg 4 805.8 5 156 -0.048 -0.048 Ton 707 776 925 994 -1.733 -1.244 Ton 10 195.2 26 056.9 -33.039 -12.047 Ton 1 746 257 2 123 894 -0.895 -0.690 Ton 25 155 099 2 698 8620 -0.004 -0.004 Ton 3 492 231 3 872 515 -0.009 -0.008 Ton 1 930 761 2 449 443 0.054 0.045 Ton 1 990 763 1 806 342 0.001 0.001 Ton 2 632 508 2 385 513 0.013 0.020 US$/Ton 407.3 407.3 -0.098 -0.123 Ton 53 615 282 56 434 941 -0.003 -0.003 Ton 50 011 773 52 633 659 -0.028 -0.025 Satuan Keterangan : BA = Periode 2011 – 2014 Sumber : Data diolah, 2012 AA = Periode 2015 – 2020 153 Peningkatan produksi tersebut merupakan implikasi dari meningkatnya luas areal perkebunan rakyat sebesar 5.464 persen (2011-2014) dan 6.337 persen (2015-2020). Perkebunan besar negara dan swasta tidak mengalami peningkatan dikarenakan perkebunan besar swasta tidak dipengaruhi langsung oleh harga gula tingkat petani melainkan dipengaruhi oleh harga gula tingkat pedagang besar. Selanjutnya, peningkatan produksi gula ini akan menyebabkan penawaran gula Indonesia meningkat 1.685 persen (2011-2014) dan 1.578 persen (2015-2020). Selain itu, peningkatan produksi gula juga akan menyebabkan impor gula Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.895 persen (2011-2014) dan 0.690 persen (2015-2020). Presentase penurunan impor gula paling tinggi baik sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA maupun pada periode liberalisasi ACFTA gula berasal dari China masing-masing sebesar 33.039 persen dan 12.047 persen, sedangkan dari Thailand menurun sebesar 1.733 persen (2011-2014) dan 1.244 persen (2015-2020). Penurunan impor gula Indonesia menyebabkan berkurangnya volume impor gula dunia, sehingga impor gula dunia turun 0.028 persen (2011-2014) dan 0.025 persen (2015-2020). Penurunan volume impor gula dunia ini menyebabkan harga riil gula dunia turun 0.098 persen (2011-2014) dan 0.123 persen (2015-2020). Turunnya harga gula dunia ini juga akan menyebabkan harga riil impor gula Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.048 persen baik pada periode 2011-2014 maupun pada periode 2015-2020. Penurunan harga impor gula Indonesia menyebabkan harga gula eceran menurun sebesar 0.154 persen (2011-2014) dan 0.139 persen (2015-2020). Turunnya harga gula eceran ini akan meningkatkan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.086 persen (2011-2014) dan 0.078 persen (2015-2020). Harga gula eceran yang mengalami penurunan mempengaruhi harga gula tingkat pedagang besar yang juga mengalami penurunan sebesar 0.149 persen (2011-2014) dan 0.136 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.004 persen (2011-2014) dan 0.005 persen (2015-2020). Peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.044 persen (2011-2014) dan 0.041 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar ini akan menjadi disinsentif bagi perkebunan besar negara dan 154 swasta sehingga menurunkan produksi gula yang ditunjukkan oleh penurunan areal perkebunan dan produktivitas baik pada periode 2011-2014 maupun 20152020. Apabila ditinjau dari sisi penawaran, sekalipun impor gula Indonesia mengalami penurunan, namun penawaran gula Indonesia masih mengalami peningkatan dikarenakan peningkatan produksi gula pada kedua periode lebih tinggi daripada penurunan impor gulanya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini efektif untuk mengurangi kebijakan impor gula dan meningkatkan produksi gula Indonesia yang merupakan salah satu tujuan tercapainya swasembada gula. 8.1.1.2.Penguatan Peran BULOG Simulasi kebijakan penguatan kembali peran BULOG didasarkan pada rencana pemerintah sejak tahun 2008 yang akan melakukan revitalisasi peran BULOG. Hal ini dilakukan seiring terjadinya lonjakan harga minyak dan komoditas pangan baik pada tingkat global maupun nasional. Penguatan kembali peran BULOG direpresentasikan melalui simulasi peningkatan stok gula 20 persen. Dampak kebijakan ini terhadap perubahan variabel endogen dalam Model Perdagangan Gula Indonesia baik sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA maupun pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA dapat dilihat pada Tabel 44. Peningkatan stok gula secara langsung akan berdampak pada peningkatan penawaran gula Indonesia sebesar 1.765 persen apabila diterapkan pada periode 2011-2014 dan 1.055 persen pada periode 2015-2020. Selain itu, kebijakan ini juga menyebabkan penurunan impor gula Indonesia. Impor gula Indonesia menurun 1.279 persen pada periode 2011-2014 dan 0.636 persen pada periode 2015-2020. Tidak semua impor gula dari negara eksportir mengalami penurunan. Impor gula dari China mengalami peningkatan sebesar 0.592 persen pada periode 2011-2014 dan 0.117 persen pada periode 2015-2020. Sehingga diduga, penurunan impor gula yang berasal dari Thailand dan negara lain masih lebih besar dibanding peningkatan impor gula dari China. Lebih lanjut, penurunan impor gula Indonesia menyebabkan penurunan impor gula dunia sebesar 0.041 persen pada periode 2011-2014 dan 0.023 persen 2015-2020. 155 Tabel 44. Peramalan Dampak Peningkatan Stok Gula Indonesia 20 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variable Endogen 1. Areal perkebunan besar negara 2. Areal perkebunan besar swasta 3. Areal perkebunan rakyat 4. Produktivitas hablur negara 5. Produktivitas hablur swasta 6. Produktivitas hablur rakyat 7. Produksi GKP negara 8. Produksi GKP swasta 9. Produksi GKP rakyat 10. Produksi GKP Indonesia 11. Produksi gula Indonesia 12. Permintaan gula rumah tangga 13. Permintaan gula industri 14. Permintaan gula Indonesia 15. Penawaran gula Indonesia 16. Harga riil gula tingkat petani 17. Harga riil gula pedagang besar 18. Harga riil gula eceran 19. Harga riil impor gula Indonesia 20. Impor gula dari Thailand 21. Impor gula dari China 22. Impor gula Indonesia 23. Ekspor gula Brazil 24. Ekspor gula Thailand 25. Impor gula India 26. Impor gula Amerika Serikat 27. Impor gula China 28. Harga riil gula dunia 29. Ekspor gula dunia 30. Impor gula dunia Satuan Nilai Dasar BA AA Ha 88 470.1 91 075 Ha 126 693 147 670 Ha 238 617 234 361 Ton/Ha 4.3578 4.6109 Ton/Ha 6.9627 7.6122 Ton/Ha 4.8519 4.1861 Ton 386 788 421 185 Ton 885 552 1 128 436 Ton 1 161 700 985 199 Ton 2 434 040 2 534 821 Ton 4 332 967 4 209 037 Ton 2 637 506 2 918 284 Ton 2 763 026 2 954 823 Ton 5 400 532 5 873 107 Ton 6 801 666 6 762 361 Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 Rp/Kg 5 632.5 5 875 Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 Rp/Kg 4 805.8 5 156 Ton 707 776 925 994 Ton 10 195.2 26 056.9 Ton 1 746 257 2 123 894 Ton 25 155 099 2 698 8620 Ton 3 492 231 3 872 515 Ton 1 930 761 2 449 443 Ton 1 990 763 1 806 342 Ton 2 632 508 2 385 513 US$/Ton 407.3 407.3 Ton 53 615 282 56 434 941 Ton 50 011 773 52 633 659 Perubahan (%) BA AA -0.104 -0.005 -0.029 -0.161 -0.003 -0.031 -0.265 -0.008 -0.060 -0.074 -0.041 0.099 0.006 0.052 1.765 -0.168 -0.163 -0.168 -0.081 -3.209 0.592 -1.297 -0.007 -0.014 0.086 0.001 0.026 -0.172 -0.004 -0.041 -0.063 -0.002 -0.019 -0.091 -0.001 -0.019 -0.155 -0.003 -0.037 -0.042 -0.025 0.056 0.004 0.030 1.055 -0.099 -0.094 -0.095 -0.048 -1.463 0.117 -0.636 -0.004 -0.008 0.044 0.001 0.021 -0.098 -0.003 -0.023 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan Indonesia merupakan negara besar dalam perdagangan gula, sehingga penurunan impor gula dunia menurunkan harga gula dunia. Selanjutnya penurunan harga gula dunia akan menurunkan harga impor gula Indonesia. Penurunan harga impor gula Indonesia menyebabkan harga gula eceran 156 mengalami penurunan sebesar 0.168 persen (2011-2014) dan 0.095 persen (20152020). Penurunan harga gula eceran ini akan membuat konsumen rumah tangga meningkatkan konsumsinya sebesar 0.099 persen (2011-2014) dan 0.056 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran ini kemudian akan menurunkan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.163 persen (2011-2014) dan 0.094 persen (2015-2020) sehingga permintaan gula industri juga akan meningkat sebesar 0.006 persen baik periode 2011-2014 dan 0.004 persen pada periode 2015-2020. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar ini akan ditrasmisikan lebih lanjut pada harga gula tingkat petani. Harga gula tingkat petani menurun sebesar 0.168 persen (2011-2014) dan 0.099 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat petani dan harga gula tingkat pedagang besar ini akan menjadi disinsentif bagi petani perkebunan rakyat, pengusaha perkebunan besar negara dan swasta sehingga luas areal dan produktivitas gula menurun baik pada periode 2011-2014 maupun 2015-2020. Selanjutnya, penurunan luas areal dan produktivitas ini akan menurunkan produksi gula Indonesia sebesar 0.041 persen pada periode 20112014 dan 0.025 persen pada periode 2015-2020. 8.1.1.3.Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu Peningkatan luas areal perkebunan merupakan salah upaya pemerintah untuk mencapai swasembada gula 2014 melalui Program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Dalam program tersebut pemerintah mencanangkan program ekstensifikasi atau pembukaan areal baru untuk pertanaman tebu sebesar 30 persen baik yang tengah diupayakan baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Adapun dampak dari peningkatan luas areal perkebunan sebesar 30 persen terhadap permintaan dan penawaran gula Indonesi dapat dilihat pada Tabel 45. Peningkatan luas areal perkebunan berdampak langsung terhadap peningkatan produktivitas gula hablur baik pada perkebunan besar negara, swasta maupun rakyat. Peningkatan produktivitas gula hablur ini pada akhirnya akan meningkatkan produksi gula Indonesia. Apabila kebijakan ini dapat tercapai pada periode sebelum liberalisasi perdagangan gula ACFTA maka produksi gula akan meningkat 23.264 persen, sedangkan apabila diterapkan pada periode liberalisasi perdagangan ACFTA akan meningkat produksi gula Indonesia yang lebih besar 157 yaitu 27.067 persen. Peningkatan produksi gula Indonesia ini menyebabkan peningkatan penawaran gula Indonesia sebesar 13.036 persen (2011-2014) dan 14.809 persen (2015-2020). Selain itu, peningkatan produksi juga menurunkan impor gula Indonesia sebesar 6.949 persen (2011-2014) dan 6.489 persen (20152020). Tabel 45. Peramalan Dampak Peningkatan Luas Areal Perkebunan 30 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variable Endogen 1. Areal perkebunan besar negara 2. Areal perkebunan besar swasta 3. Areal perkebunan rakyat 4. Produktivitas hablur negara 5. Produktivitas hablur swasta 6. Produktivitas hablur rakyat 7. Produksi GKP negara 8. Produksi GKP swasta 9. Produksi GKP rakyat 10. Produksi GKP Indonesia 11. Produksi gula Indonesia 12. Permintaan gula rumah tangga 13. Permintaan gula industri 14. Permintaan gula Indonesia 15. Penawaran gula Indonesia 16. Harga riil gula tingkat petani 17. Harga riil gula pedagang besar 18. Harga riil gula eceran 19. Harga riil impor gula Indonesia 20. Impor gula dari Thailand 21. Impor gula dari China 22. Impor gula Indonesia 23. Ekspor gula Brazil 24. Ekspor gula Thailand 25. Impor gula India 26. Impor gula Amerika Serikat 27. Impor gula China 28. Harga riil gula dunia 29. Ekspor gula dunia 30. Impor gula dunia Satuan Ha Ha Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton US$/Ton Ton Ton : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan Nilai Dasar BA AA Perubahan (%) BA AA 88 470.1 91 075 30.000 30.000 126 693 147 670 30.000 30.000 238 617 234 361 30.000 30.000 4.3578 4.6109 3.148 3.392 6.9627 7.6122 15.363 16.421 4.8519 4.1861 0.400 0.769 386 788 421 185 39.043 41.026 885 552 1 128 436 50.747 51.593 1 161 700 985 199 35.088 39.004 2 434 040 2 534 821 41.414 44.944 4 332 967 4 209 037 23.264 27.067 2 637 506 2 918 284 0.684 0.744 2 763 026 2 954 823 0.036 0.056 5 400 532 5 873 107 0.353 0.398 6 801 666 6 762 361 13.036 14.809 5 402.4 5 663.1 -1.916 -1.835 5 632.5 5 875 -1.168 -1.277 5 967.1 6 179.7 -1.195 -1.309 4 805.8 5 156 -0.404 -0.487 707 776 925 994 -13.460 -11.700 10 195.2 26 056.9 -255.761 -113.113 1 746 257 2 123 894 -6.949 -6.489 25 155 099 2 698 8620 -0.036 -0.042 3 492 231 3 872 515 -0.070 -0.079 1 930 761 2 449 443 0.435 0.432 1 990 763 1 806 342 0.008 0.007 2 632 508 2 385 513 0.116 0.202 407.3 407.3 -0.835 -1.056 53 615 282 56 434 941 -0.021 -0.026 50 011 773 52 633 659 -0.219 -0.232 158 Penurunan impor gula Indonesia ini akan menurunkan impor gula dunia sebesar 0.219 persen (2011-2014) dan 0.232 persen (2015-2020). Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara besar dalam perdagangan gula dunia. Lebih lanjut penurunan impor gula dunia ini akan menyebabkan harga gula dunia juga mengalami penurunan sebesar 0.835 persen (2011-2014) dan 1.056 persen (2015-2020). Penurunan harga gula dunia ini akan ditransmisikan pada harga gula eceran yang menurun 1.195 persen (2011-2014) dan 1.309 persen (2015-2020) melalui penurunan harga impor gula sebesar 0.376 persen (2011-2014) dan 0.441 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran ini akan menyebabkan peningkatan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.404 persen (2011-2014) dan 0.487 persen (2015-2020). Harga gula tingkat pedagang besar juga mengalami penurunan seiring dengan penurunan harga gula eceran, yaitu sebesar 1.195 persen (2011-2014) dan 1.309 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar ini akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.036 persen (2011-2014) dan 0.056 persen (2015-2020). Meningkatnya permintaan gula rumah tangga dan industri ini akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.353 persen (2011-2014) dan 0.398 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar akan menurunkan harga gula tingkat petani sebesar 1.916 persen (2011-2014) dan 1.835 persen (2015-2020). Kebijakan ini terbukti mampu meningkatkan produksi gula namun tidak memberikan jaminan peningkatan harga yang baik bagi petani. 8.1.1.4. Swasembada Absolut Gula Kebijakan ini dilakukan untuk meramalkan apabila Indonesia tidak melakukan impor gula sama sekali atau mempertahankan swasembada absolut gula, sehingga dapat dilihat kemampuan industri gula Indonesia apabila kebijakan ini diterapkan. Hal ini sejalan dengan konsep kemandirian pangan yang merupakan salah satu varian dari konsep swasembada pangan dengan swasembada absolut, yaitu kebutuhan pangan dipenuhi seluruhnya (100 persen) dari produksi domestik. Adapun dampak peramalan apabila pemerintah melakukan swasembada absolut gula dapat dilihat pada Tabel 46. 159 Tabel 46. Peramalan Dampak Swasembada Absolut Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variabel Endogen Satuan Nilai Dasar BA Gula terhadap Perubahan AA BA AA 1. Areal perkebunan besar negara Ha 88 470.1 91 075 0.647 0.679 2. Areal perkebunan besar swasta Ha 126 693 147 670 0.031 0.018 3. Areal perkebunan rakyat Ha 238 617 234 361 0.181 0.214 4. Produktivitas hablur negara Ton/Ha 4.3578 4.6109 1.001 0.980 5. Produktivitas hablur swasta Ton/Ha 6.9627 7.6122 0.022 0.013 6. Produktivitas hablur rakyat Ton/Ha 4.8519 4.1861 0.190 0.203 7. Produksi GKP negara Ton 386 788 421 185 1.650 1.666 8. Produksi GKP swasta Ton 885 552 1 128 436 0.051 0.030 9. Produksi GKP rakyat Ton 1 161 700 985 199 0.370 0.415 10. Produksi GKP Indonesia Ton 2 434 040 2 534 821 0.457 0.451 11. Produksi gula Indonesia Ton 4 332 967 4 209 037 0.257 0.272 12. Permintaan gula rumah tangga Ton 2 637 506 2 918 284 -0.614 -0.597 13. Permintaan gula industri Ton 2 763 026 2 954 823 -0.038 -0.052 14. Permintaan gula Indonesia Ton 5 400 532 5 873 107 -0.319 -0.323 15. Penawaran gula Indonesia Ton 6 801 666 6 762 361 -25.510 -31.238 16. Harga riil gula tingkat petani Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 1.042 1.029 17. Harga riil gula pedagang besar Rp/Kg 5 632.5 5 875 1.010 0.989 18. Harga riil gula eceran Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 1.029 1.015 19. Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 805.8 5 156 -5.797 -7.514 20. Impor gula dari Thailand Ton 707 776 925 994 -100.00 -100.00 21. Impor gula dari China Ton 10 195.2 26 056.9 -100.00 -100.00 22. Impor gula Indonesia Ton 1 746 257 2 123 894 -100.00 -100.00 23. Ekspor gula Brazil Ton 24. Ekspor gula Thailand Ton 3 492 231 25. Impor gula India Ton 26. Impor gula Amerika Serikat 27. Impor gula China 28. Harga riil gula dunia -0.512 -0.651 3 872 515 -1.004 -1.222 1 930 761 2 449 443 6.252 6.650 Ton 1 990 763 1 806 342 0.113 0.108 Ton 2 632 508 2 385 513 1.655 3.105 US$/Ton 25 155 099 2 698 8620 407.3 407.3 -12.030 -16.229 29. Ekspor gula dunia Ton 53 615 282 56 434 941 -0.306 -0.395 30. Impor gula dunia Ton 50 011 773 52 633 659 -3.159 -3.581 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan Peramalan dampak kebijakan swasembada absolut gula atau tidak adanya impor gula Indonesia ini akan berdampak pada menurunnya impor gula dunia. 160 Impor gula dunia akan menurun 3.159 persen pada periode 2011-2014 dan 3.581 persen pada periode 2015-2020. Akibat penurunan impor gula dunia ini, maka harga gula dunia juga akan mengalami penurunan sebesar 12.030 persen pada periode 2011-2014 dan 16.229 persen pada periode 2015-2020. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara besar dalam perdagangan gula dunia. Lebih lanjut, penurunan harga gula dunia ini akan menurunkan harga impor gula Indonesia. Harga impor gula Indonesia akan menurun sebesar 5.797 persen pada periode 2011-2014 dan sebesar 7.514 persen pada periode 2015-2020. Kebijakan pelarangan impor gula ini juga akan menyebabkan penawaran gula Indonesia mengalami penurunan yang cukup besar yaitu 25.510 persen (2011-2014) dan 31.238 persen (2015-2020). Penurunan penawaran gula Indonesia akan menyebabkan harga gula eceran mengalami peningkatan. Harga gula eceran meningkat sebesar 1.029 persen (2011-2014) dan 1.015 persen (20152020) sehingga menyebabkan permintaan gula oleh konsumen rumah tangga menurun 0.614 persen (2011-2014) dan 0.597 persen (2015-2020). Peningkatan harga gula eceran ini akan ditransmisikan pada harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.010 persen (2011-2014) dan 0.989 persen (2015-2020) sehingga permintaan gula oleh industri menurun sebesar 0.038 persen (2011-2014) dan 0.052 persen (2015-2020). Selanjutnya, peningkatan harga gula tingkat pedagang besar akan menyebabkan peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 1.042 persen (2011-2014) dan 1.029 persen (2015-2020). Peningkatan harga gula tingkat petani dan pedagang besar ini akan menjadi insentif bagi petani perkebunan rakyat maupun pengusaha perkebunan besar negara dan swasta dalam meningkatkan produksinya yang ditunjukkan oleh peningkatan areal perkebunan dan produktivitasnya. Produksi gula Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0.257 persen (2011-2014) dan 0.272 persen (2015-2020). Sekalipun produksi gula Indonesia mengalami peningkatan namun tidak cukup mampu untuk meningkatkan penawaran gula Indonesia. Hal ini disebabkan peningkatan produksi gula Indonesia masih lebih rendah dibandingkan penurunan impor gula Indonesia. 161 8.1.1.5. Penghapusan Tarif Impor Gula Penghapusan tarif impor gula Indonesia dilakukan sesuai dengan skema ACFTA untuk gula sebagai komoditas high sensitive list (HSL) yang akan diimplementasikan mulai tahun 2015. Namun, berdasarkan Tabel 47 dapat dilihat dampak penghapusan impor gula baik jika diterapkan sebelum masa implementasi liberalisasi perdagangan ACFTA untuk gula (2011-2014) maupun pada masa implementasi liberalisasi perdagangan ACFTA untuk gula (2015-2020). Penghapusan tarif impor gula baik apabila diterapkan pada periode 2011-2014 maupun 2015-2020 sama-sama menyebabkan impor gula Indonesia dari Thailand, China maupun negara lain meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada periode 2011-2014 dimana impor gula meningkat 15.970 persen, sedangkan pada periode ACFTA (2015-2020) hanya sebesar 15.658 persen. Negara ekspotir yang akan meningkatkan jumlah ekspornya menjadi sangat besar adalah China. Hal ini menunjukkan bahwa China merespon dengan menambah impornya, jika liberalisasi perdagangan perjanjian perdagangan bebas ACFTA dilakukan. Namun, secara volume impor gula Thailand masih lebih besar daripada impor gula China. Peningkatan impor ini selanjutnya menyebabkan peningkatan impor gula dunia sebesar 0.504 persen (2011-2014) dan 0.561 persen (2015-2020). Meningkatnya volume impor gula dunia akan menyebabkan harga gula dunia juga meningkat. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara besar yang mampu mempengaruhi harga gula dunia. Pada periode 2011-2014 penghapusan tarif impor gula menyebabkan harga gula dunia meningkat lebih rendah, yaitu 1.940 persen sedangkan pada periode 2015-2020 meningkat 2.529 persen. Selain itu, volume impor gula Indonesia yang semakin meningkat ini menyebabkan penawaran gula Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 4.074 persen (2011-2014) dan 4.891 persen (2015-2020). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dipenuhi oleh gula impor sehingga harga gula eceran akan menurun sebesar 0.164 persen (2011-2014) dan 0.159 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran ini akan meningkatkan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.098 persen (2011-2014) dan 0.094 persen (2015-2020). 162 Tabel 47. Peramalan Dampak Penghapusan Tarif Impor Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variabel Endogen 1. Areal perkebunan besar negara 2. Areal perkebunan besar swasta 3. Areal perkebunan rakyat 4. Produktivitas hablur negara 5. Produktivitas hablur swasta 6. Produktivitas hablur rakyat 7. Produksi GKP negara 8. Produksi GKP swasta 9. Produksi GKP rakyat 10. Produksi GKP Indonesia 11. Produksi gula Indonesia 12. Permintaan gula rumah tangga 13. Permintaan gula industri 14. Permintaan gula Indonesia 15. Penawaran gula Indonesia 16. Harga riil gula tingkat petani 17. Harga riil gula pedagang besar 18. Harga riil gula eceran 19. Harga riil impor gula Indonesia 20. Impor gula dari Thailand 21. Impor gula dari China 22. Impor gula Indonesia 23. Ekspor gula Brazil 24. Ekspor gula Thailand 25. Impor gula India 26. Impor gula Amerika Serikat 27. Impor gula China 28. Harga riil gula dunia 29. Ekspor gula dunia 30. Impor gula dunia Nilai Dasar Satuan Ha Ha Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton US$/Ton Ton Ton BA AA 88 470.1 91 075 126 693 147 670 238 617 234 361 4.3578 4.6109 6.9627 7.6122 4.8519 4.1861 386 788 421 185 885 552 1 128 436 1 161 700 985 199 2 434 040 2 534 821 4 332 967 4 209 037 2 637 506 2 918 284 2 763 026 2 954 823 5 400 532 5 873 107 6 801 666 6 762 361 5 402.4 5 663.1 5 632.5 5 875 5 967.1 6 179.7 4 805.8 5 156 707 776 925 994 10 195.2 26 056.9 1 746 257 2 123 894 25 155 099 2 698 8620 3 492 231 3 872 515 1 930 761 2 449 443 1 990 763 1 806 342 2 632 508 2 385 513 407.3 407.3 53 615 282 56 434 941 50 011 773 52 633 659 Perubahan BA AA -0.103 -0.107 -0.005 -0.003 -0.029 -0.033 -0.158 -0.152 -0.003 -0.001 -0.031 -0.031 -0.261 -0.260 -0.008 -0.005 -0.059 -0.065 -0.073 -0.071 -0.041 -0.043 0.098 0.094 0.006 0.008 0.051 0.051 4.074 4.891 -0.165 -0.162 -0.160 -0.157 -0.164 -0.159 0.930 1.175 28.965 26.440 724.593 336.675 15.970 15.658 0.082 0.102 0.161 0.191 -1.002 -1.040 -0.018 -0.017 -0.267 -0.484 1.940 2.529 0.049 0.062 0.504 0.561 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan Penurunan harga gula eceran akan ditransimikan pada harga gula tingkat pedagang besar sehingga akan menurunkan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.160 persen (2011-2014) dan 0.157 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar ini akan menyebabkan permintaan gula industri 163 mengalami peningkatan sebesar 0.006 persen (2011-2014) dan 0.008 persen (2015-2020). Peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.051 persen baik pada periode 2011-2014 maupun 2015-2020. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar selanjutnya juga akan menurunkan harga tingkat petani sebesar 0.160 persen (2011-2014) dan 0.157 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat petani dan harga gula tingkat pedagang besar ini merupakan disinsentif bagi pengusaha perkebunan baik negara, swasta maupun rakyat yang akan direspon dengan menurunkan luas areal perkebunan dan produktivitas gula hablur sehingga produksi gula mengalami penurunan 0.041 persen (2011-2014) dan 0.043 persen (2015-2020). Penurunan produksi gula Indonesia ternyata juga tidak membuat penawaran gula Indonesia meningkat. Hal ini semakin memperkuat adanya dominansi gula impor yang membanjiri penawaran gula Indonesia. 8.1.1.6. Penurunan Tarif Impor Gula Simulasi ini dilakukan sesuai dengan kesepakatan perjanjian perdagangan ACFTA dimana pemerintah masih dapat mendapatkan pilihan untuk melindungi komodistas yang dimasukkan dalam kategori produk High Sensitive List (HSL) dengan penurunan tarif 0-50 persen mulai 1 Januari 2015. Skenario kebijakan penurunan tarif yang dilakukan pada penelitian ini adalah penurunan tarif 10 persen, 30 persen dan 50 persen untuk melihat kombinasi peramalan dampak penurunan tarif yang terbaik untuk diterapkan baik sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA maupun pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Adapun dampak peramalan berbagai kombinasi penurunan tarif impor tersebut dapat dilihat pada Tabel 48. Penurunan tarif 10 persen akan berdampak langsung pada peningkatan impor gula Indonesia sebesar 1.597 persen pada periode 2011-2014 dan 1.566 persen pada periode 2015-2020. Peningkatan impor gula Indonesia paling besar berasal dari China. Impor gula China meningkat 72.460 persen pada periode 2011-2014 dan 33.668 persen pada periode 2015-2020. Hal ini menunjukkan bahwa China sangat responsif terhadap perubahan tarif impor. Namun, secara jumlah peningkatan impor gula paling besar tetap berasal dari Thailand. 164 Peningkatan impor gula Indonesia ini menyebabkan impor gula dunia mengalami peningkatan yang selanjutnya akan meningkatkan harga gula dunia. Peningkatan harga gula dunia ini kemudian akan meningkatkan harga impor gula Indonesia. Peningkatan impor gula Indonesia juga akan menyebabkan penawaran gula Indonesia meningkat 0.407 persen (2011-2014) dan 0.489 persen (20152020). Peningkatan penawaran gula Indonesia akan menurunkan harga gula eceran sebesar 0.017 persen (2011-2014) dan sebesar 0.015 persen (2015-2020) sehingga permintaan gula rumah tangga akan meningkat sebesar 0.010 persen (2011-2014) dan 0.009 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran ini akan ditransmisikan pada harga gula tingkat pedagang besar yang juga akan menurun sebesar 0.016 persen (2011-2014) dan 0.015 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.001 persen baik pada periode 2011-2014 maupun pada periode 20152020. Peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.005 persen baik pada periode 2011-2014 maupun pada periode 2015-2020. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar juga akan menurunkan harga gula tingkat petani sebesar 0.017 persen (2011-2014) dan 0.018 persen (20152020). Penurunan harga gula tingkat petani dan harga gula tingkat pedagang besar merupakan disinsentif bagi petani perkebunan rakyat dan pengusaha perkebunan besar negara dan swasta dalam membudidayakan tebu. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan produksi gula sebesar 0.004 persen baik pada periode 2011-2014 maupun pada periode 2015-2020 yang merupakan dampak dari penurunan luas areal perkebunan dan produktivitas gula hablur baik pada perkebunan besar negara, swasta maupun rakyat. Simulasi penurunan tarif impor gula sebesar 30 persen juga memberikan pengaruh yang lebih besar daripada kebijakan penurunan tarif 10 persen. Pada kebijakan ini, volume impor gula Indonesia meningkat lebih besar yaitu sebesar 4.791 persen pada periode 2011-2014 dan sebesar 4.697 persen pada periode 20152020. Semakin rendahnya tarif impor gula Indonesia akan semakin meningkatkan impor gula, terutama impor gula yang berasal dari China. Impor gula China meningkat hingga 217.378 persen pada periode 2011-2014 dan 101.003 persen pada 165 periode 2015-2020. Namun dilihat dari volumenya, impor gula Thailand masih lebih tinggi. Peningkatan volume impor gula ini kemudian akan menyebabkan meningkatnya volume impor gula dunia sehingga harga gula dunia akan mengalami peningkatan sebesar 0.589 persen pada periode 2011-2014 dan 0.761 persen pada periode 2015-2020. Selanjutnya, peningkatan harga gula dunia ini akan ditransmisikan pada harga impor gula Indonesia yang juga mengalami peningkatan. Harga impor gula Indonesia meningkat sebesar 0.279 persen pada periode 2011-2014 dan 0.353 persen pada periode 2015-2020. Selain itu, peningkatan impor gula Indonesia juga akan menyebabkan penawaran gula Indonesia meningkat lebih tinggi dari penerapan kebijakan penurunan tarif impor gula 30 persen, yaitu sebesar 1.222 persen (2011-2014) dan 1.467 persen (2015-2020). Peningkatan penawaran gula Indonesia akan menurunkan harga gula eceran sebesar 0.050 persen pada periode 2011-2014 dan sebesar 0.049 persen pada periode 2015-2020 sehingga permintaan gula rumah tangga akan mengalami peningkatan sebesar 0.029 persen (2011-2014) dan 0.028 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran ini akan ditransmisikan pada harga gula tingkat pedagang besar yang juga akan menurun sebesar 0.048 persen baik pada periode 2011-2014 maupun pada periode 2015-2020. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.002 persen baik pada periode 2011-2014 maupun pada periode 2015-2020. Peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.015 persen juga pada kedua periode. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar juga akan menurunkan harga gula tingkat petani sebesar 1.222 persen (2011-2014) dan 1.467 persen (20152020). Penurunan harga gula tingkat petani dan harga gula tingkat pedagang besar merupakan disinsentif bagi petani perkebunan rakyat dan pengusaha perkebunan besar negara dan swasta dalam membudidayakan tebu. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan produksi gula sebesar 0.012 persen pada periode 2011-2014 dan 0.013 persen pada periode 2015-2020 yang merupakan dampak dari penurunan luas areal perkebunan dan produktivitas gula hablur baik pada perkebunan besar negara, swasta maupun rakyat. 166 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Variable Endogen Areal perkebunan besar negara Areal perkebunan besar swasta Areal perkebunan rakyat Produktivitas hablur negara Produktivitas hablur swasta Produktivitas hablur rakyat Produksi GKP negara Produksi GKP swasta Produksi GKP rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia Permintaan gula rumah tangga Permintaan gula industri Permintaan gula Indonesia Penawaran gula Indonesia Harga riil gula tingkat petani Harga riil gula pedagang besar Harga riil gula eceran Harga riil impor gula Indonesia Impor gula dari Thailand Impor gula dari China Impor gula Indonesia Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India Impor gula Amerika Serikat Impor gula China Harga riil gula dunia Ekspor gula dunia Impor gula dunia Satuan Nilai Dasar BA AA Ha 88 470.1 91 075 Ha 126 693 147 670 Ha 238 617 234 361 Ton/Ha 4.3578 4.6109 Ton/Ha 6.9627 7.6122 Ton/Ha 4.8519 4.1861 Ton 386 788 421 185 Ton 885 552 1 128 436 Ton 1 161 700 985 199 Ton 2 434 040 2 534 821 Ton 4 332 967 4 209 037 Ton 2 637 506 2 918 284 Ton 2 763 026 2 954 823 Ton 5 400 532 5 873 107 Ton 6 801 666 6 762 361 Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 Rp/Kg 5 632.5 5 875 Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 Rp/Kg 4 805.8 5 156 Ton 707 776 925 994 Ton 10 195.2 26 056.9 Ton 1 746 257 2 123 894 Ton 25 155 099 26 988 620 Ton 3 492 231 3 872 515 Ton 1 930 761 2 449 443 Ton 1 990 763 1 806 342 Ton 2 632 508 2 385 513 US$/Ton 407.3 407.3 Ton 53 615 282 56 434 941 Ton 50 011 773 52 633 659 Keterangan : BA = Periode 2011 – 2014 Sumber : Data diolah, 2012 AA Tarif Turun 10% BA AA -0.010 -0.011 -0.001 0.000 -0.003 -0.003 -0.016 -0.015 0.000 0.000 -0.004 -0.002 -0.026 -0.026 -0.001 0.000 -0.006 -0.006 -0.007 -0.007 -0.004 -0.004 0.010 0.009 0.001 0.001 0.005 0.005 0.407 0.489 -0.017 -0.018 -0.016 -0.015 -0.017 -0.015 0.094 0.118 2.897 2.644 72.460 33.668 1.597 1.566 0.008 0.010 0.016 0.019 -0.100 -0.104 -0.002 -0.002 -0.027 -0.048 0.196 0.246 0.005 0.006 0.050 0.056 = Periode 2015 – 2020 Perubahan (%) Tarif Turun 30% BA AA -0.031 -0.032 -0.002 -0.001 -0.009 -0.010 -0.046 -0.046 0.000 0.000 -0.010 -0.010 -0.078 -0.078 -0.002 -0.001 -0.018 -0.019 -0.022 -0.021 -0.012 -0.013 0.029 0.028 0.002 0.002 0.015 0.015 1.222 1.467 -0.050 -0.049 -0.048 -0.048 -0.050 -0.047 0.279 0.353 8.689 7.932 217.378 101.003 4.791 4.697 0.025 0.031 0.048 0.057 -0.301 -0.312 -0.005 -0.005 -0.080 -0.145 0.589 0.761 0.015 0.019 0.151 0.168 Tarif Turun 50% BA AA -0.052 -0.053 -0.002 -0.001 -0.014 -0.017 -0.078 -0.076 -0.001 -0.001 -0.016 -0.017 -0.131 -0.130 -0.004 -0.002 -0.030 -0.032 -0.036 -0.035 -0.020 -0.021 0.049 0.047 0.003 0.004 0.025 0.025 2.037 2.446 -0.083 -0.081 -0.080 -0.078 -0.082 -0.079 0.466 0.588 14.483 13.220 362.297 168.339 7.985 7.829 0.041 0.051 0.080 0.096 -0.501 -0.520 -0.009 -0.009 -0.134 -0.242 0.958 1.277 0.025 0.031 0.252 0.280 166 Tabel 48. Peramalan Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia 167 Pada kebijakan penurunan tarif impor gula 50 persen memberikan pengaruh terhadap peningkatan volume impor gula yang paling tinggi diantara kebijakan penurunan tarif sebelumnya. Impor gula Indonesia meningkat sebesar 7.985 persen sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan meningkat sebesar 7.829 persen pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Peningkatan volume impor gula yang cukup tinggi ini akan meningkatkan volume impor gula dunia yang juga lebih tinggi dibandingkan pada kebijakan sebelumnya. Selanjutnya, mengingat Indonesia merupakan negara besar pada perdagangan gula maka peningkatan volume impor gula dunia juga akan turut menyebabkan peningkatan harga gula dunia. Meningkatnya harga gula dunia akan meningkatkan harga impor gula Indonesia. Peningkatan harga impor gula ini seharusnya juga akan menyebabkan harga eceran gula Indonesia mengalami peningkatan. Namun hal ini tidak terjadi, dikarenakan peningkatan volume impor gula Indonesia juga akan meningkatkan penawaran gula Indonesia sebesar 2.037 persen (2011-2014) dan 2.446 persen (2015-2020). Peningkatan penawaran gula Indonesia akan menurunkan harga gula eceran sebesar 0.082 persen pada periode 2011-2014 dan sebesar 0,079 persen pada periode 2015-2020 sehingga permintaan gula rumah tangga akan mengalami peningkatan sebesar 0.049 persen (2011-2014) dan 0.047 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran ini akan ditransmisikan pada harga gula tingkat pedagang besar yang juga akan menurun sebesar 0.080 persen (2011-2014) dan 0.078 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.003 persen (2011-2014) dan 0.004 persen (2015-2020). Peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.025 persen baik pada periode 2011-2014 maupun pada periode 2015-2020. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar juga akan menurunkan harga gula tingkat petani sebesar 0.083 persen (2011-2014) dan 0.081 persen (20152020). Penurunan harga gula tingkat petani dan harga gula tingkat pedagang besar merupakan disinsentif bagi petani perkebunan rakyat dan pengusaha perkebunan besar negara dan swasta dalam membudidayakan tebu. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan produksi gula sebesar 0.020 persen (2011-2014) dan 0.021 persen 168 (2015-2020) yang merupakan dampak dari penurunan luas areal perkebunan dan produktivitas gula hablur baik pada perkebunan besar negara, swasta, maupun rakyat. Namun demikian, baik pada penurunan tarif impor 10 persen, 30 persen maupun 50 persen, sekalipun produksi gula mengalami penurunan tidak menyebabkan penawaran gula Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan peningkatan impor gula Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan produksi yang terjadi akibat kebijakan ini. Dengan kata lain, penawaran gula Indonesia dikuasai oleh gula impor jika pemerintah menerapkan kebijakan ini. 8.1.2. Simulasi Tunggal Perubahan Faktor Eksternal 8.1.2.1.Peningkatan Produksi Gula China Peramalan dampak simulasi peningkatan produksi gula China dilakukan sebagai upaya antisipatif bagi pemerintah Indonesia dalam rangka implementasi liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Adapun dampak peningkatan produksi gula China 20 persen dapat dilihat pada Tabel 49. Peningkatan produksi gula China berdampak langsung terhadap penurunan impor gula China sebesar 19.529 persen pada periode 2011-2014 dan 23.957 persen pada periode 2015-2020. Penurunan impor gula China akan menurunkan impor gula dunia sebesar 0.951 persen pada periode 2011-2014 dan 0.994 persen pada periode 2015-2020. Penurunan impor gula dunia ini akan menurunkan harga gula dunia sebesar 3.560 persen (2011-2014) dan 4.444 persen (2015-2020). Keterlibatan Indonesia dalam perdagangan dunia membuat segala gejolak yang terjadi pada pasar dunia langsung ditransmisikan pada pasar domestik, sehingga penurunan harga gula dunia akan menyebabkan penurunan harga gula eceran Indonesia melalui penurunan harga impor gula Indonesia 1.710 persen (2011-2014) dan 2.056 persen (2015-2020). Harga gula eceran ini mengalami penurunan sebesar 0.340 persen sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan 0.419 persen pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Penurunan harga gula eceran ini menyebabkan permintaan gula rumah tangga meningkat sebesar 0.185 persen (2011-2014) dan 0.231 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran juga akan menyebabkan penurunan pula pada harga 169 gula tingkat pedagang besar sebesar 0.330 persen (2011-2014) dan 0.409 persen (2015-2020) sehingga permintaan gula industri meningkat 0.008 persen (20112014) dan 0.015 persen (2015-2020). Permintaan gula Indonesia akan meningkat sebesar 0.094 persen (2011-2014) dan 0.122 persen (2015-2020) seiring dengan peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri. Tabel 49. Peramalan Dampak Peningkatan Produksi Gula China terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Variabel Endogen Satuan Nilai Dasar BA AA Areal perkebunan besar negara Ha 88 470.1 91 075 Areal perkebunan besar swasta Ha 126 693 147 670 Areal perkebunan rakyat Ha 238 617 234 361 Produktivitas hablur negara Ton/Ha 4.3578 4.6109 Produktivitas hablur swasta Ton/Ha 6.9627 7.6122 Produktivitas hablur rakyat Ton/Ha 4.8519 4.1861 Produksi GKP negara Ton 386 788 421 185 Produksi GKP swasta Ton 885 552 1 128 436 Produksi GKP rakyat Ton 1 161 700 985 199 Produksi GKP Indonesia Ton 2 434 040 2 534 821 Produksi gula Indonesia Ton 4 332 967 4 209 037 Permintaan gula rumah tangga Ton 2 637 506 2 918 284 Permintaan gula industri Ton 2 763 026 2 954 823 Permintaan gula Indonesia Ton 5 400 532 5 873 107 Penawaran gula Indonesia Ton 6 801 666 6 762 361 Harga riil gula tingkat petani Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 Harga riil gula pedagang besar Rp/Kg 5 632.5 5 875 Harga riil gula eceran Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 805.8 5 156 Impor gula dari Thailand Ton 707 776 925 994 Impor gula dari China Ton 10 195.2 26 056.9 Impor gula Indonesia Ton 1 746 257 2 123 894 Ekspor gula Brazil Ton 25 155 099 2 698 8620 Ekspor gula Thailand Ton 3 492 231 3 872 515 Impor gula India Ton 1 930 761 2 449 443 Impor gula Amerika Serikat Ton 1 990 763 1 806 342 Impor gula China Ton 2 632 508 2 385 513 Harga riil gula dunia US$/Ton 407.3 407.3 Ekspor gula dunia Ton 53 615 282 56 434 941 Impor gula dunia Ton 50 011 773 52 633 659 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan Perubahan (%) BA AA -0.193 -0.013 -0.050 -0.321 -0.007 -0.047 -0.518 -0.022 -0.096 -0.136 -0.076 0.185 0.008 0.094 -0.016 -0.329 -0.330 -0.340 -1.710 0.297 1.380 0.129 -0.152 -0.298 1.853 0.035 -19.529 -3.560 -0.091 -0.951 -0.261 -0.012 -0.076 -0.397 -0.008 -0.067 -0.656 -0.019 -0.140 -0.172 -0.103 0.231 0.015 0.122 -0.021 -0.417 -0.409 -0.419 -2.056 0.297 0.607 0.137 -0.178 -0.335 1.824 0.031 -23.957 -4.444 -0.108 -0.994 170 Penurunan harga gula tingkat pedagang besar selanjutnya akan ditransmisikan pada harga gula tingkat petani yang juga akan mengalami penurunan sebesar 0.329 persen (2011-2014) dan 0.417 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat petani dan pedagang besar ini akan menjadi disinsentif bagi petani perkebunan rakyat dan pengusaha perkebunan besar negara dan swasta dalam meningkatkan produksi gula. Hal ini ditunjukkan melalui penurunan areal dan produktivitas pada ketiga perkebunan yang pada akhirnya menurunkan produksi gula Indonesia sebesar 0.076 persen (2011-2014) dan 0.103 persen (2015-2020). Penurunan produksi gula Indonesia ini akan memicu peningkatan impor gula Indonesia. Impor gula Indonesia meningkat sebesar 0.129 persen (2011-2014) dan 0.137 persen (2015-2020) dengan peningkatan terbesar berasal dari China sebesar 1.380 persen (2011-2014) dan 0.607 persen (20152020). Penurunan produksi gula dan peningkatan impor gula Indonesia menurunkan penawaran gula Indonesia sebesar 0.016 persen (2011-2014) dan 0.021 persen (2015-2020). 8.1.2.2.Peningkatan Produksi Gula Thailand dan Brazil Peramalan dampak peningkatan produksi gula Thailand dan Brazil ini dilakukan dengan dasar adanya wacana kedua negara akan mencapai keberhasilan panen. Adapun dampak peningkatan produksi gula Thailand dan Brazil dapat dilihat pada Tabel 50. Peningkatan produksi gula Thailand dan Brazil akan berdampak langsung pada peningkatan ekspor gula Thailand dan Brazil. Pada periode sebelum liberalisasi perdagangan gula ACFTA kebijakan tersebut mampu meningkatkan ekspor gula Brazil sebesar 21.951 persen yang masih lebih tinggi dibandingkan ekspor gula Thailand yang hanya sebesar 15.466 persen. Demikian juga pada liberalisasi ACFTA peningkatan produksi sebesar 20 persen akan meningkatkan ekspor gula Brazil sebesar 21.688 persen dan Brazil yang hanya sebesar 15.297 persen. Peningkatan ekspor gula kedua negara ini akan meningkatkan volume ekspor gula dunia sebesar 11.306 persen (2011-2014) dan 11.421 persen (2015-2020) yang kemudian akan menurunkan harga riil gula dunia dengan cukup besar yaitu 46.403 persen pada periode 2011-2014 dan sebesar 54.849 persen pada periode 2015-2020. 171 Tabel 50. Peramalan Dampak Peningkatan Produksi Gula Thailand dan Brazil terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variabel Endogen Nilai Dasar Satuan BA Perubahan (%) AA BA AA 1. Areal perkebunan besar negara Ha 88 470.1 91 075 -2.569 -3.252 2. Areal perkebunan besar swasta Ha 126 693 147 670 -0.170 -0.135 3. Areal perkebunan rakyat Ha 238 617 234 361 -0.675 -0.961 4. Produktivitas hablur negara Ton/Ha 4.3578 4.6109 -4.225 -4.917 5. Produktivitas hablur swasta Ton/Ha 6.9627 7.6122 -0.102 -0.092 6. Produktivitas hablur rakyat Ton/Ha 4.8519 4.1861 -0.647 -0.853 7. Produksi GKP negara Ton 386 788 421 185 -6.712 -7.979 8. Produksi GKP swasta Ton 885 552 1 128 436 -0.274 -0.226 9. Produksi GKP rakyat Ton 1 161 700 985 199 -1.297 -1.762 10. Produksi GKP Indonesia Ton 2 434 040 2 534 821 -1.785 -2.111 11. Produksi gula Indonesia Ton 4 332 967 4 209 037 -1.003 -1.271 12. Permintaan gula rumah tangga Ton 2 637 506 2 918 284 2.458 2.875 13. Permintaan gula industri Ton 2 763 026 2 954 823 0.112 0.194 14. Permintaan gula Indonesia Ton 5 400 532 5 873 107 1.258 1.526 15. Penawaran gula Indonesia Ton 6 801 666 6 762 361 -0.206 -0.261 16. Harga riil gula tingkat petani Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 -4.354 -5.154 17. Harga riil gula pedagang besar Rp/Kg 5 632.5 5 875 -4.336 -5.042 18. Harga riil gula eceran Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 -4.441 -5.178 19. Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 805.8 5 156 -22.444 -25.417 20. Impor gula dari Thailand Ton 707 776 925 994 3.907 3.669 21. Impor gula dari China Ton 10 195.2 26 056.9 17.555 7.335 22. Impor gula Indonesia Ton 1 746 257 2 123 894 1.686 1.689 23. Ekspor gula Brazil Ton 25 155 099 2 698 8620 21.951 21.688 24. Ekspor gula Thailand Ton 3 492 231 3 872 515 15.466 15.297 25. Impor gula India Ton 1 930 761 2 449 443 24.134 22.480 26. Impor gula Amerika Serikat Ton 1 990 763 1 806 342 0.421 0.362 27. Impor gula China Ton 2 632 508 2 385 513 6.535 10.532 407.3 407.3 -46.403 -54.849 28. Harga riil gula dunia US$/Ton 29. Ekspor gula dunia Ton 53 615 282 56 434 941 11.306 11.421 30. Impor gula dunia Ton 50 011 773 52 633 659 1.351 1.604 Keterangan : BA = Periode 2011 – 2014 Sumber : Data diolah, 2012 AA = Periode 2015 – 2020 Penurunan harga gula dunia ini ditransmisikan pada harga gula eceran melalui penurunan harga impor gula Indonesia. Harga gula eceran mengalami penurunan sebesar 4.441 persen pada periode 2011-2014 dan sebesar 5.178 persen 172 pada periode 2015-2020 sehingga permintaan gula rumah tangga akan mengalami peningkatan sebesar 2.458 persen (2011-2014) dan 2.875 persen (2015-2020). Lebih lanjut penurunan harga gula eceran ini menurunkan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 4.336 persen (2011-2014) dan 5.042 persen (2015-2020) sehingga juga akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.112 persen (2011-2014) dan 0.194 persen (2015-2020). Permintaan gula Indonesia akan meningkat sebesar 1.258 persen (2011-2014) dan 1.526 persen (2015-2020) seiring dengan peningkatan permintaan rumah tangga dan industri. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar juga akan menurunkan harga gula tingkat petani, yang akan menurun sebesar 4.354 persen (2011-2014) dan 5.154 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat petani dan pedagang besar ini tentu saja akan membuat petani tidak bergairah untuk membudidayakan tebu. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan produksi gula Indonesia yang merupakan dampak dari pengurangan luas areal dan produktivitas perkebunan baik pada perkebunan besar negara, swasta maupun rakyat. Penurunan produksi gula paling besar terjadi pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA yaitu sebesar 1.003 persen, sedangkan pada sebelum liberalisasi perdagangan gula ACFTA hanya menurun 1.271 persen. Karena produksi gula Indonesia mengalami penurunan maka volume impor gula Indonesia akan meningkat sebesar 1.686 persen pada periode 2011-2014 dan sebesar 1.689 persen pada periode 2015-2020. Peningkatan impor gula Indonesia ini ternyata juga tidak cukup mampu untuk meningkatkan penawaran gula di Indonesia. Hal ini terlihat dari penawaran gula Indonesia yang mengalami penurunan yaitu 0.206 persen sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan 0.261 persen pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Hal ini diduga karena adanya penurunan pula pada stok gula Indonesia yang tidak terekam dalam model. 8.1.3. Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian 8.1.3.1.Simulasi Kombinasi Tarif Impor dan Harga Gula Tingkat Petani Simulasi penurunan tarif impor 50 persen dilakukan sesuai dengan skema ACFTA yang masih memperbolehkan penurunan tarif impor hingga 50 persen, sedangkan peningkatan harga 30 persen diharapkan dapat menjadi stimulus bagi 173 petani dalam meningkatkan produksinya. Peramalan dampak kombinasi kedua kebijakan ini terhadap permintaan dan penawaran gula Indonesia baik diterapkan sebelum era liberalisasi perdagangan gula ACFTA (2011-2014) maupun pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA (2015-2020) ditunjukkan oleh Tabel 51. Simulasi kombinasi penurunan tarif impor gula 50 persen dan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen menyebabkan peningkatan impor gula Indonesia sebesar 7.088 persen (2011-2014) dan 7.137 persen (2015-2020). Peningkatan impor terbesar berasal dari China yaitu sebesar 329.171 persen (2011-2014) dan 156.260 persen (2015-2020). Hal ini dikarenakan perilaku China yang sangat respon terhadap perubahan tarif impor Indonesia. Peningkatan impor Indonesia ini akan meningkatkan impor gula dunia sebesar 0.224 persen pada periode 2011-2014 dan 0.256 persen pada periode 2015-2020. Peningkatan impor gula dunia meningkatkan harga gula dunia mengingat Indonesia merupakan negara besar dalam perdagangan gula. Harga gula dunia meningkat sebesar 0.859 persen pada periode 2011-2014 dan menurun lebih besar pada periode 2015-2020 yaitu 1.154 persen. Peningkatan harga gula dunia akan ditransmisikan pada peningkatan harga impor gula Indonesia. Namun peningkatan ini tidak menyebabkan harga gula eceran mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan penawaran gula mengalami peningkatan sebesar 3.726 persen (2011-2014) dan 4.027 persen (2015-2020) akibat peningkatan impor gula Indonesia. Peningkatan penawaran gula Indonesia menyebabkan harga gula eceran menurun sebesar 0.236 persen (2011-2014) dan 0.218 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran ini akan meningkatkan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.135 persen (2011-2014) dan 0.125 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran akan menurunkan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.231 persen (2011-2014) dan 0.214 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar ini akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.007 persen (2011-2014) dan 0.009 persen (2015-2020). Peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akan menyebabkan permintaan gula Indonesia meningkat sebesar 0.070 persen (2011-2014) dan 0.067 persen (2015-2020). 174 Tabel 51. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor dan Harga Gula Tingkat Petani terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variabel Endogen 1. 2. 3. 4. 5. 6. Satuan Nilai Dasar BA AA Perubahan (%) BA AA Areal perkebunan besar negara Areal perkebunan besar swasta Areal perkebunan rakyat Produktivitas hablur negara Produktivitas hablur swasta Produktivitas hablur rakyat Ha Ha Ha Ton/Ha Ton/Ha Ton/Ha 88 470.1 126 693 238 617 4.3578 6.9627 4.8519 91 075 147 670 234 361 4.6109 7.6122 4.1861 -0.142 -0.008 5.464 -0.227 -0.004 5.585 -0.141 -0.005 6.337 -0.208 -0.003 5.834 7. Produksi GKP negara 8. Produksi GKP swasta 9. Produksi GKP rakyat 10. Produksi GKP Indonesia 11. Produksi gula Indonesia 12. Permintaan gula rumah tangga 13. Permintaan gula industri 14. Permintaan gula Indonesia 15. Penawaran gula Indonesia 16. Harga riil gula tingkat petani 17. Harga riil gula pedagang besar 18. Harga riil gula eceran Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg 386 788 885 552 1 161 700 2 434 040 4 332 967 2 637 506 2 763 026 5 400 532 6 801 666 5 402.4 5 632.5 5 967.1 421 185 1 128 436 985 199 2 534 821 4 209 037 2 918 284 2 954 823 5 873 107 6 762 361 5 663.1 5 875 6 179.7 -0.369 -0.013 11.296 5.328 2.993 0.135 0.007 0.070 3.726 30.000 -0.231 -0.236 -0.351 -0.008 12.417 4.764 2.869 0.125 0.009 0.067 4.027 30.000 -0.214 -0.218 19. Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 805.8 5 156 0.416 0.537 20. Impor gula dari Thailand Ton 707 776 925 994 12.745 11.973 21. Impor gula dari China Ton 10 195.2 26 056.9 329.171 156.260 22. Impor gula Indonesia Ton 1 746 257 2 123 894 7.088 7.137 23. Ekspor gula Brazil Ton 25 155 099 2 698 8620 0.037 0.046 24. Ekspor gula Thailand Ton 3 492 231 3 872 515 0.072 0.087 25. Impor gula India Ton 1 930 761 2 449 443 -0.447 -0.475 26. Impor gula Amerika Serikat Ton 1 990 763 1 806 342 -0.008 -0.008 27. Impor gula China Ton 2 632 508 2 385 513 -0.121 -0.222 28. Harga riil gula dunia US$/Ton 407.3 407.3 0.859 1.154 29. Ekspor gula dunia Ton 53 615 282 56 434 941 0.022 0.028 30. Impor gula dunia Ton 50 011 773 52 633 659 0.224 0.256 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan Penurunan harga gula tingkat pedagang besar tidak akan menurunkan harga gula tingkat petani karena adanya kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen. Peningkatan harga gula tingkat petani ini menjadi 175 insentif bagi petani perkebunan rakyat dalam meningkatkan produksinya yang ditunjukkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitasnya. Produksi gula kristal putih rakyat meningkat sebesar 11.296 persen (2011-2014) dan 12.417 persen (2015-2020), sedangkan penurunan harga gula tingkat pedagang besar menjadi disinsentif bagi pengusaha perkebunan besar negara dan swasta dalam meningkatkan produksinya melalui penurunan luas areal dan produktivitas. Produksi gula kristal putih pada perkebunan besar negara dan swasta akan menurun masing-masing sebesar 0.3699 persen dan 0.013 persen pada periode 2011-2014 serta 0.351 persen dan 0.008 persen pada periode 2015-2020. Secara keseluruhan produksi gula Indonesia meningkat 2.993 persen (2011-2014) dan 2.869 persen (2015-2020). Peningkatan produksi gula Indonesia yang cukup besar dan peningkatan impor gula Indonesia membuat penawaran gula Indonesia masih meningkat. 8.1.3.2.Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Luas Areal Perkebunan Simulasi penurunan tarif 50 persen merupakan skema penurunan tarif yang masih diizinkan untuk komoditas gula dalam era liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Peningkatan luas areal 30 persen merupakan salah satu target yang tengah diupayakan pemerintah dalam Program Revitalisasi Industri Gula Nasional untuk mencapai swasembada gula, sedangkan peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen merupakan usulan yang diinginkan petani melalui APTRI untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Adapun kombinasi ketiga simulasi tersebut ditunjukkan pada tabel 52. Simulasi penurunan tarif impor gula sebesar 50 persen tidak akan berdampak langsung pada peningkatan impor gula Indonesia karena kebijakan peningkatan luas areal perkebunan sebesar 30 persen akan meningkatkan produktivitas gula hablur baik pada perkebunan besar negara, swasta maupun rakyat. Peningkatan produktivitas gula hablur ini pada akhirnya akan meningkatkan produksi gula Indonesia. Apabila kebijakan ini dapat tercapai pada periode sebelum liberalisasi perdagangan gula ACFTA maka produksi gula akan meningkat 25.366 persen, sedangkan apabila diterapkan pada periode liberalisasi 176 perdagangan ACFTA akan meningkat produksi gula Indonesia yang lebih besar yaitu 28.999 persen. Tabel 52. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Luas Areal terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variable Endogen Nilai Dasar Satuan BA Perubahan (%) AA BA AA 1. Areal perkebunan besar negara Ha 88 470.1 91 075 30.000 30.000 2. Areal perkebunan besar swasta Ha 126 693 147 670 30.000 30.000 3. Areal perkebunan rakyat Ha 238 617 234 361 30.000 30.000 4. Produktivitas hablur negara Ton/Ha 4.3578 4.6109 2.974 3.238 5. Produktivitas hablur swasta Ton/Ha 6.9627 7.6122 15.363 16.420 6. Produktivitas hablur rakyat Ton/Ha 4.8519 4.1861 6.278 6.818 7. Produksi GKP negara Ton 386 788 421 185 38.810 40.815 8. Produksi GKP swasta Ton 885 552 1 128 436 50.745 51.592 9. Produksi GKP rakyat Ton 1 161 700 985 199 43.008 47.351 10. Produksi GKP Indonesia Ton 2 434 040 2 534 821 45.156 48.153 11. Produksi gula Indonesia Ton 4 332 967 4 209 037 25.366 28.999 12. Permintaan gula rumah tangga Ton 2 637 506 2 918 284 0.794 0.843 13. Permintaan gula industri Ton 2 763 026 2 954 823 0.042 0.064 14. Permintaan gula Indonesia Ton 5 400 532 5 873 107 0.409 0.451 15. Penawaran gula Indonesia Ton 6 801 666 6 762 361 16.263 18.324 16. Harga riil gula tingkat petani Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 30.000 30.000 17. Harga riil gula pedagang besar Rp/Kg 5 632.5 5 875 -1.355 -1.445 18. Harga riil gula eceran Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 -1.386 -1.482 19. Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 805.8 5 156 0.027 0.066 20. Impor gula dari Thailand Ton 707 776 925 994 -0.201 0.678 21. Impor gula dari China Ton 10 195.2 26 056.9 83.202 47.062 22. Impor gula Indonesia Ton 1 746 257 2 123 894 0.404 0.873 23. Ekspor gula Brazil Ton 25 155 099 2 698 8620 0.002 0.006 24. Ekspor gula Thailand Ton 3 492 231 3 872 515 0.004 0.011 25. Impor gula India Ton 1 930 761 2 449 443 -0.028 -0.058 26. Impor gula Amerika Serikat Ton 1 990 763 1 806 342 0.000 -0.001 27. Impor gula China Ton 2 632 508 2 385 513 -0.009 -0.027 407.3 407.3 0.049 0.147 28. Harga riil gula dunia US$/Ton 29. Ekspor gula dunia Ton 53 615 282 56 434 941 0.001 0.003 30. Impor gula dunia Ton 50 011 773 52 633 659 0.013 0.031 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan 177 Peningkatan produksi gula Indonesia ini menyebabkan peningkatan penawaran gula Indonesia sebesar 16.263 persen (2011-2014) dan 18.234 persen (2015-2020). Peningkatan produksi gula dan penurunan tarif impor sebesar 50 persen ini masih menyebabkan impor gula Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0.404 persen (2011-2014) dan 0.873 persen (2015-2020). Volume impor gula Indonesia dari China meningkat paling besar yaitu 47.062 persen apabila diterapkan pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Peningkatan impor gula Indonesia ini akan meningkatkan impor gula dunia sebesar 0.013 persen (2011-2014) dan 0.031 persen (2015-2020). Lebih lanjut, penurunan impor gula dunia ini akan menyebabkan harga gula dunia juga mengalami penurunan sebesar 0.049 persen (2011-2014) dan 0.147 persen (2015-2020). Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara besar dalam perdagangan gula dunia. Penurunan harga gula dunia ini akan ditransmisikan pada harga impor gula Indonesia yang akan mengalami penurunan sebesar 0.027 persen dan 0.066 persen. Penurunan harga impor gula Indonesia kemudian akan menurunkan harga gula eceran sebesar 1.386 persen (2011-2014) dan 1.482 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran ini akan menyebabkan peningkatan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.794 persen (2011-2014) dan 0.843 persen (2015-2020). Harga gula tingkat pedagang besar juga mengalami penurunan seiring dengan penurunan harga gula eceran, yaitu sebesar 1.355 persen (2011-2014) dan 1.445 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar ini akan meningkatkan permintaan gula industri sebesar 0.042 persen (2011-2014) dan 0.064 persen (2015-2020). Meningkatnya permintaan gula rumah tangga dan industri ini akan meningkatkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.409 persen (2011-2014) dan 0.451 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat pedagang besar tidak akan menurunkan harga gula tingkat petani dengan adanya kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen, sehingga dengan didukung oleh kebijakan peningkatan luas areal target swasembada gula 2014 dapat tercapai sebab produksi gula mampu meningkat 25.366 persen pada periode 2011-2014 dan 28.999 persen pada periode 2011-2015. 178 8.1.3.3. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Produksi Gula China, dan Stok Gula Simulasi kombinasi yang dilakukan adalah peningkatan produksi gula China 20 persen, penurunan tarif impor 50 persen sesuai dengan skema liberalisasi perdagangan bebas ACFTA, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen sesuai dengan usulan APTRI, dan penguatan peran BULOG melalui peningkatan stok gula sebesar 20 persen sesuai dengan rencana pemerintah. Adapun kombinasi keempat simulasi tersebut akan menunjukkan hasil seperti pada Tabel 53. Kebijakan peningkatan produksi gula China sebesar 20 persen akan berdampak secara langsung terhadap penurunan impor gula China sebesar 19.624 persen pada periode 2011-2014 dan 24.157 persen pada periode 2015-2020. Penurunan impor gula China akan menurunkan impor gula dunia sebesar 0.768 persen (2011-2014) dan 0.762 persen (2015-2020). Harga gula dunia juga akan mengalami penurunan sebesar 2.873 persen (2011-2014) dan sebesar 3.413 persen (2015-2020) karena penurunan impor gula dunia. Selanjutnya penurunan harga gula dunia akan menurunkan harga impor gula Indonesia sebesar 1.378 persen (2011-2014) dan 1.567 persen (2015-2020). Penurunan harga impor akan meningkatkan impor gula Indonesia sebesar 5.907 persen pada periode 2011-2014 dan 6.628 persen pada periode 2015-2020. Peningkatan impor gula paling tinggi berasal dari China yang meningkat 330.687 persen (2011-2014) dan 156.812 persen (2015-2020). Namun, sekalipun presentase peningkatan impor gula Indonesia dari China lebih tinggi dari pada peningkatan impor gula Indonesia dari Thailand, secara volume peningkatan impor gula Indonesia dari Thailand masih lebih tinggi. Penurunan harga impor gula Indonesia selanjutnya akan menyebabkan harga gula eceran mengalami penurunan sebesar 0.744 persen pada periode 2011-2014 dan 0.736 persen pada periode 2015-2020. Penurunan harga gula eceran ini akan meningkatkan permintaan gula oleh konsumen rumah tangga sebesar 0.421 persen (2011-2014) dan 0.412 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran selanjutnya akan ditransmisikan pada harga gula tingkat pedagang besar yang mengalami penurunan sebesar 0.726 persen pada periode 2011-2014 dan 0.718 persen pada periode 2015-2020. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar ini akan meningkatkan permintaan gula oleh 179 industri sebesar 0.021 persen (2011-2014) dan 0.029 persen (2015-2020). Secara keseluruhan permintaan gula Indonesia akan meningkat sebesar 0.216 persen (2011-2014) dan 0.219 persen (2015-2020). Tabel 53. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Petani, Produksi Gula China, dan Stok Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Variable Endogen Satuan Nilai Dasar BA AA Perubahan (%) BA AA Areal perkebunan besar negara Ha 88 470.1 91 075 -0.440 -0.467 Areal perkebunan besar swasta Ha 126 693 147 670 -0.027 -0.018 Areal perkebunan rakyat Ha 238 617 234 361 5.464 6.337 Produktivitas hablur negara Ton/Ha 4.3578 4.6109 -0.711 -0.701 Produktivitas hablur swasta Ton/Ha 6.9627 7.6122 -0.016 -0.012 Produktivitas hablur rakyat Ton/Ha 4.8519 4.1861 5.585 5.834 Produksi GKP negara Ton 386 788 421 185 -1.153 -1.163 Produksi GKP swasta Ton 885 552 1 128 436 -0.043 -0.031 Produksi GKP rakyat Ton 1 161 700 985 199 11.296 12.417 Produksi GKP Indonesia Ton 2 434 040 2 534 821 5.192 4.619 Produksi gula Indonesia Ton 4 332 967 4 209 037 2.917 2.782 Permintaan gula rumah tangga Ton 2 637 506 2 918 284 0.421 0.412 Permintaan gula industri Ton 2 763 026 2 954 823 0.021 0.029 Permintaan gula Indonesia Ton 5 400 532 5 873 107 0.216 0.219 Penawaran gula Indonesia Ton 6 801 666 6 762 361 5.499 5.083 Harga riil gula tingkat petani Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 30.000 30.000 Harga riil gula pedagang besar Rp/Kg 5 632.5 5 875 -0.726 -0.718 Harga riil gula eceran Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 -0.744 -0.736 Harga riil impor gula Indonesia Rp/Kg 4 805.8 5 156 -1.378 -1.567 Impor gula dari Thailand Ton 707 776 925 994 9.809 10.790 Impor gula dari China Ton 10 195.2 26 056.9 330.687 156.812 Impor gula Indonesia Ton 1 746 257 2 123 894 5.907 6.628 Ekspor gula Brazil Ton 25 155 099 2 698 8620 -0.122 -0.136 Ekspor gula Thailand Ton 3 492 231 3 872 515 -0.240 -0.256 Impor gula India Ton 1 930 761 2 449 443 1.493 1.393 Impor gula Amerika Serikat Ton 1 990 763 1 806 342 0.029 0.024 Impor gula China Ton 2 632 508 2 385 513 -19.624 -24.157 Harga riil gula dunia US$/Ton 407.3 407.3 -2.873 -3.413 Ekspor gula dunia Ton 53 615 282 56 434 941 -0.073 -0.083 Impor gula dunia Ton 50 011 773 52 633 659 -0.768 -0.762 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan 180 Penurunan harga gula tingkat pedagang besar tidak akan ditransmisikan pada harga gula tingkat petani karena adanya kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen. Kebijakan peningkatan harga gula petani akan menjadi stimulus bagi petani perkebunan rakyat untuk semakin meningkatkan produksi gula. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan luas areal perkebunan rakyat sebesar 5.464 persen (2011-2014) dan 6.337 persen (2015-2020). Peningkatan luas areal ini diikuti dengan peningkatan produktivitas gula hablur sehingga produksi gula kristal putih rakyat mampu meningkat sebesar 11.296 persen (20112014) dan 12.417 persen (2015-2020). Namun,penurunan harga gula tingkat pedagang besar menjadi disinsentif bagi perkebunan besar negara dan swasta dalam upaya peningkatan produksinya. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan luas areal dan produktivitas sehingga produksi gula kristal putih negara menurun sebesar 1.153 persen (2011-2014) dan 1.163 persen (2015-2020) serta produksi gula kristal putih swasta menurun sebesar 0.043 persen (2011-2014) dan 0.031 persen (2015-2020). Peningkatan produksi gula kristal putih perkebunan rakyat yang lebih besar dibandingkan penurunan produksi gula kristal putih perkebunan negara dan swasta membuat produksi gula Indonesia secara keseluruhan masih mengalami peningkatan sebesar 2.917 persen pada periode 2011-2014 dan 2.782 persen pada periode 2015-2020. Selanjutnya, adanya peningkatan kebijakan peningkatan stok gula 20 persen, peningkatan produksi gula Indonesia dan peningkatan impor gula Indonesia akan meningkatkan penawaran gula Indonesia sebesar 5.499 persen (2011-2014) dan 5.083 persen (2015-2020). 8.1.3.4. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Luas Areal, dan Stok Gula Pada Tabel 54 dapat dilihat dampak dari simulasi kombinasi tarif impor, harga gula tingkat petani, luas areal dan stok gula. Adapun simulasi yang dilakukan adalah penurunan tarif impor 50 persen sesuai dengan yang diperbolehkan dalam skema liberalisasi perdagangan bebas ACFTA, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen, peningkatan luas areal tebu sebesar 30 persen dan peningkatan stok gula 20 persen. 181 Tabel 54. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Petani, Luas Areal, dan Stok Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia No. Variabel Endogen Nilai Dasar Satuan BA AA Perubahan (%) BA AA 1. Areal perkebunan besar negara Ha 88 470.1 91 075 30.000 30.000 2. Areal perkebunan besar swasta 3. Areal perkebunan rakyat Ha Ha 126 693 238 617 147 670 234 361 30.000 30.000 30.000 30.000 4. Produktivitas hablur negara 5. Produktivitas hablur swasta Ton/Ha Ton/Ha 4.3578 6.9627 4.6109 7.6122 2.823 15.362 3.151 16.420 6. 7. 8. 9. 10. 11. Ton/Ha Ton Ton Ton Ton Ton 4.8519 386 788 885 552 1 161 700 2 434 040 4 332 967 4.1861 421 185 1 128 436 985 199 2 534 821 4 209 037 6.278 38.607 50.745 43.008 45.123 25.348 6.818 40.698 51.591 47.351 48.133 28.987 Ton Ton 2 637 506 2 763 026 2 918 284 2 954 823 0.894 0.048 0.899 0.068 Ton 5 400 532 5 873 107 Ton 6 801 666 6 762 361 Rp/Kg 5 402.4 5 663.1 Rp/Kg 5 632.5 5 875 Rp/Kg 5 967.1 6 179.7 Rp/Kg 4 805.8 5 156 Ton 707 776 925 994 Ton 10 195.2 26 056.9 Ton 1 746 257 2 123 894 Ton 25 155 099 2 698 8620 Ton 3 492 231 3 872 515 Ton 1 930 761 2 449 443 0.461 18.041 30.000 -1.520 -1.554 -0.054 -3.424 83.540 -0.900 -0.005 -0.009 0.059 0.481 19.386 30.000 -1.540 -1.579 0.017 -0.790 47.124 0.234 0.001 0.003 -0.014 1 806 342 2 385 513 0.001 0.017 0.000 -0.006 US$/Ton 407.3 407.3 Ton 53 615 282 56 434 941 -0.098 -0.003 0.025 0.001 -0.028 0.008 Produktivitas hablur rakyat Produksi GKP negara Produksi GKP swasta Produksi GKP rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia 12. Permintaan gula rumah tangga 13. Permintaan gula industri 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Permintaan gula Indonesia Penawaran gula Indonesia Harga riil gula tingkat petani Harga riil gula pedagang besar Harga riil gula eceran Harga riil impor gula Indonesia Impor gula dari Thailand Impor gula dari China Impor gula Indonesia Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India 26. Impor gula Amerika Serikat 27. Impor gula China 28. Harga riil gula dunia 29. Ekspor gula dunia 30. Impor gula dunia Ton Ton Ton 1 990 763 2 632 508 50 011 773 52 633 659 Keterangan : BA = Periode 2011 – 2014 Sumber : Data diolah, 2012 AA = Periode 2015 – 2020 Penurunan tarif impor gula 50 persen tidak akan menyebabkan peningkatan impor gula Indonesia yang besar dengan adanya peningkatan luas areal perkebunan. Peningkatan luas areal perkebunan sebesar 30 persen yang 182 meningkatkan produktivitas gula hablur menyebabkan produksi gula Indonesia meningkat sebesar 25.348 persen (2011-2014) dan 28.987 persen (2015-2020). Peningkatan produksi gula akan menurunkan impor gula Indonesia. Namun, impor gula Indonesia dari China tidak mengalami penurunan sehingga impor gula Indonesia secara keseluruhan menurun pada periode 2011-2014 sebesar 0.900 persen dan masih meningkatkan sebesar 0.234 persen 2015-2020 karena peningkatan impor gula dari China yang lebih besar. Penurunan impor gula Indonesia pada periode 2011-2014 akan menurunkan impor gula dunia sebesar 0.028 persen, sedangkan pada periode 2011-2015 peningkatan impor gula Indonesia yang lebih besar dari penurunan impor gula China (0.006 persen) membuat impor gula dunia masih mengalami peningkatan sebesar 0.008 persen. Penurunan impor gula dunia pada periode 2011-2014 akan menurunkan harga gula dunia sebesar 0.098 persen, sedangkan peningkatan impor gula dunia pada periode 2015-2020 akan meningkatkan harga gula dunia sebesar 0.025 persen. Penurunan harga gula dunia akan ditransmisikan pada harga impor gula Indonesia. ada periode 2011-2014 mengalami penurunan sebesar 0.054 persen dan peningkatan harga gula dunia akan menyebabkan peningkatan harga impor gula Indonesia pada periode 2015-2020 sebesar 0.017 persen. Penurunan harga impor gula pada periode 2011-2014 ini akan ditransmisikan pada harga gula eceran yang akan menurun 1.554 persen, sedangkan penurunan harga impor gula pada periode 2015-2020 tidak akan menurunkan harga eceran gula. Hal ini disebabkan kebijakan peningkatan luas areal yang meningkatkan produksi dan menurunkan impor gula serta diikuti dengan peningkatan stok gula sebesar 20 persen akan meningkatkan penawaran gula Indonesia pada periode 2015-2020 sebesar 19.386 persen. Penawaran gula Indonesia yang juga mengalami peningkatan ini menyebabkan harga gula eceran turun sebesar 1.579 persen. Penurunan harga gula eceran ini akan meningkatkan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.894 persen (2011-2014) dan 0.899 persen (2015-2020). Penurunan harga gula eceran lebih lanjut akan menurunkan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.520 persen (2011-2014) dan 1.540 persen (2015-2020). Harga gula tingkat pedagang besar yang menurun ini akan meningkatkan 183 permintaan gula industri sebesar 0.048 persen (2011-2014) dan 0.068 persen (2015-2020). Secara keseluruhan peningkatan permintaan gula Indonesia adalah sebesar 0.461 persen (2011-2014) dan 0.481 persen (2015-2020) seiring dengan peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri. Karena harga gula tingkat petani telah dilindungi oleh kebijakan peningkatan sebesar 30 persen, maka harga gula petani tidak akan terimbas dampak penurunan harga gula dunia. 8.2. Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia 8.2.1. Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian Tabel 55 merupakan kompilasi dari peramalan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi gula Indonesia sebelum periode 2011-2014 dan 2015-2020. Adapun kebijakan ekonomi di sektor pertanian terdiri dari simulasi (1) peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen, (2) penguatan peran BULOG (stok gula meningkat 20 persen), (3) peningkatan luas areal perkebunan 30 persen dan (4) swasembada absolut gula atau impor gula sama dengan nol. Pada simulasi 7 (S7) peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen) berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa skenario kebijakan tersebut mampu memberikan dampak peningkatan surplus produsen gula yang paling besar diantara skenario kebijakan tunggal yang lain, baik apabila diterapkan sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA maupun pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Surplus produsen meningkat sebesar Rp 2.191 triliun pada periode 2011-2014 dan sebesar Rp 1.765 triliun pada periode 2015-2020. Peningkatan tersebut disumbangkan oleh peningkatan surplus produsen pada perkebunan rakyat yang meningkat sebesar Rp 2.201 triliun (2011-2014) dan Rp 1.777 triliun (2015-2020). Peningkatan surplus produsen perkebunan rakyat ini dikarenakan kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen akan menyebabkan peningkatan produksi gula kristal putih petani perkebunan rakyat sebesar 11.296 persen (2011-2014) dan 12.417 persen (2015-2020). Namun, pada skenario kebijakan ini terjadi trade off dimana 184 perkebunan besar negara dan swasta mengalami penurunan surplus produsen. Perkebunan besar negara menurun sebesar Rp 3.25 miliar (2011-2014) dan Rp 3.37 miliar (2015-2020) sedangkan perkebunan besar swasta menurun sebesar Rp 7.44 miliar pada 2011-2014 dan Rp 9.03 miliar pada 2015-2020. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.149 persen (2011-2014) dan 0.136 persen (2015-2020) yang menyebabkan produksi perkebunan besar negara dan swasta mengalami penurunan. Ditinjau dari sisi konsumen, karena harga gula eceran mengalami penurunan sebesar 0.154 persen (2011-2014) dan 0.139 persen (2015-2020) maka permintaan gula rumah tangga mengalami peningkatan sebesar 0.086 persen (2011-2014) dan 0.078 persen (2015-2020) sehingga konsumen memperoleh tambahan surplus dengan adanya kebijakan ini. Surplus konsumen rumah tangga meningkat lebih tinggi pada periode 2015-2020 yaitu sebesar Rp 24.28 miliar, sedangkan pada periode 2011-2014 sebesar Rp 25.11 miliar. Harga gula tingkat pedagang besar yang menurun menyebabkan permintaan gula industri meningkat sebesar 0.004 persen (2011-2014) dan 0.005 persen (2015-2020) sehingga surplus konsumen gula industri meningkat lebih tinggi daripada surplus konsumen rumah tangga yaitu sebesar Rp 23.21 miliar dan Rp 23.64 miliar. Secara keseluruhan surplus konsumen gula Indonesia mengalami peningkatan sebesar Rp 47.49 miliar pada 2011-2014 dan Rp 48.75 miliar pada 2015-2020. Penurunan impor yang terjadi akibat kebijakan ini juga menyebabkan penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa impor mengalami penurunan. Penerimaan tarif pada periode 2011-2014 menurun Rp 24.05 miliar dan pada periode 2015-2020 menurun Rp 30.02 miliar. Demikian pula dengan devisa impor negara juga menurun Rp 80.23 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 81.20 miliar pada periode 2015-2020. Namun demikian, dengan adanya redistribusi pendapatan secara keseluruhan kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp 2.214 triliun (2011-2014) dan Rp 1.784 triliun (2015-2020). Pada simulasi 8 (S8) peningkatan stok gula 20 persen yang merepresentasikan penguatan peran BULOG akan akan menyebabkan penurunan surplus produsen sebesar Rp 22.26 miliar (2011-2014) dan Rp 14.04 miliar (20152020). Seluruh produsen mengalami penurunan surplus yang terjadi akibat 185 penurunan harga gula tingkat petani sebesar 0.168 persen (2011-2014) dan 0.099 persen (2015-2020) dan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.163 persen (2011-2014) dan 0.094 persen (2015-2020) yang menjadi disinsentif bagi petani sehingga produksi gula perkebunan besar negara, swasta dan rakyat mengalami penurunan baik sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA maupun pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Dari sisi konsumen, terjadi penurunan harga gula eceran sebesar 0.168 persen (2011-2014) dan 0.095 persen (2015-2020) yang diikuti dengan peningkatan permintaan rumah tangga sebesar 0.099 persen pada periode 20112014 dan 0.056 persen pada periode 2015-2020. Hal ini menyebabkan surplus konsumen rumah tangga mengalami peningkatan sebesar Rp 26.39 miliar sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan sebesar Rp 17.22 miliar pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Harga gula tingkat pedagang besar yang menurun menyebabkan permintaan gula industri meningkat sebesar 0.006 persen pada periode 2011-2014 dan 0.004 persen pada periode 2015-2020 sehingga surplus konsumen gula industri meningkat lebih tinggi daripada surplus konsumen rumah tangga yaitu sebesar Rp 25.42 miliar (2011-2014) dan Rp 16.25 miliar (2015-2020). Secara keseluruhan, surplus konsumen gula Indonesia mengalami peningkatan sebesar Rp 51.81 miliar pada 2011-2014 dan Rp 33.47 miliar pada 2015-2020. Demikian pula dengan perubahan penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa impor pemerintah mengalami penurunan dengan adanya kebijakan ini. Penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun Rp 34.93 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 26.97 miliar pada periode 2015-2020. Kebijakan ini hanya menurunkan penerimaan pemerintah dari tarif akan impor gula Indonesia dari Thailand sedangkan impor gula dari China meningkat sebesar Rp 0.07 miliar (2011-2014) dan Rp 0.03 miliar (2015-2020). Devisa impor pemerintah juga mengalami penurunan seiring dengan penurunan impor gula Indonesia. Devisa impor menurun Rp 115.75 miliar (2011-2014) dan Rp 74.90 miliar (2015-2020). Secara menyeluruh kebijakan ini menurunkan kesejahteraan masyarakat (net surplus) sebesar Rp 5.38 miliar sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan Rp 7.53 miliar pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. 186 Tabel 55. Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 Rp miliar Alternatif Kebijakan No Komponen 1 Perubahan Surplus Produsen a. Perusahaan perkebunan besar negara b. Perusahaan perkebunan besar swasta c. Perusahaan perkebunan rakyat 2 Perubahan Surplus Konsumen Indonesia a. Konsumen gula rumah tangga b. Konsumen gula industri 3 Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain 4 Net Surplus Indonesia 5 Perubahan Devisa Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain S7 S8 S10 BA 2 191.12 -3.25 -7.44 2 201.81 AA 1 765.31 -3.37 -9.03 1 777.70 BA -22.26 -3.55 -8.15 -10.56 AA -14.04 -2.31 -6.21 -5.52 BA -286.99 -30.42 -73.05 -183.52 AA -266.86 -38.07 -106.46 -122.32 BA 138.36 22.19 50.40 65.77 AA 147.80 24.67 65.57 57.56 47.49 24.28 23.21 48.75 25.11 23.64 51.81 26.39 25.42 33.47 17.22 16.25 370.54 188.70 181.84 458.64 236.97 221.67 -318.63 -161.45 -157.19 -354.06 -182.43 -171.63 -24.05 -19.00 -5.05 0.00 -30.02 -23.00 -6.02 -1.00 -34.93 -34.00 0.07 -1.00 -26.97 -26.00 0.03 -1.00 -190.37 -145.70 -38.67 -6.00 -279.70 -213.00 -55.70 -11.00 -2 594.57 -1 054.00 -15.57 -1 525.00 -4 017.57 -1 753.00 -49.57 -2 215.00 2 214.56 1 784.03 -5.38 -7.53 -106.82 -87.92 -2 774.85 -4 223.83 -80.23 -61.00 -16.23 -3.00 -81.20 -62.00 -16.20 -3.00 -115.75 -112.00 0.25 -4.00 -74.90 -72.00 0.10 -3.00 -616.08 -471.00 -125.08 -20.00 -760.90 -579.00 -151.90 -30.00 -8 396.18 -3 404.00 -49.18 -4 943.00 -10 950.30 -4 774.00 -134.30 -6 042.00 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 S7 = Peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen S8 = Penguatan peran BULOG (Stok gula meningkat 20 persen) S9 = Peningkatan luas areal perkebunan 30 persen S10 = Swasembada absolut gula (tidak ada impor gula) Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan S9 187 Pada simulasi 9 (S9) peningkatan luas areal perkebunan 30 persen menyebabkan peningkatan produksi gula sebesar 23.264 persen pada periode 2011-2014 dan 27.067 persen pada periode 2015-2020, namun menurunkan harga gula tingkat petani sebesar 1.916 persen (2011-2014) dan 1.835 persen (20152020) serta harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.168 persen (2011-2014) dan 1.277 persen (2015-2020). Hal tersebut menyebabkan surplus produsen gula mengalami penurunan yang cukup besar, yaitu Rp 286.99 miliar (2011-2014) dan Rp 266.86 miliar (2015-2020). Sedangkan dari sisi konsumen terjadi penurunan harga gula eceran sebesar 1.195 persen (2011-2014) dan 1.309 persen (20152020) yang diikuti dengan peningkatan permintaan rumah tangga sebesar 0.684 persen pada periode 2011-2014 dan 0.744 persen pada periode 2015-2020 sehingga surplus konsumen rumah tangga mengalami peningkatan sebesar Rp 188.70 miliar (2011-2014) dan sebesar Rp 236.97 miliar (2015-2020). Selanjutnya harga gula tingkat pedagang besar yang menurun menyebabkan permintaan gula industri meningkat sebesar 0.036 persen (2011-2014) dan 0.056 persen (2015-2020) sehingga surplus konsumen gula industri meningkat lebih tinggi daripada surplus konsumen rumah tangga yaitu sebesar Rp 181.84 miliar (2011-2014) dan Rp 221.67 miliar (2015-2020). Secara keseluruhan surplus konsumen gula Indonesia meningkat sebesar Rp 370.54 miliar pada 2011-2014 dan Rp 458.64 miliar pada 2015-2020. Demikian pula dengan perubahan penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa impor pemerintah juga mengalami penurunan dengan adanya kebijakan ini. Penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun Rp 190.37 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 279.70 miliar pada periode 2015-2020. Devisa impor pemerintah juga mengalami penurunan seiring dengan penurunan impor gula Indonesia. Devisa impor menurun Rp 616.08 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 760.90 miliar pada periode 2015-2020. Secara menyeluruh kebijakan ini memberikan penurunan kesejahteraan bagi masyarakat (net surplus) sebesar Rp 106.82 miliar pada periode 2011-2014 namun apabila dilakukan pada periode 2015-2020 akan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat (net surplus) sebesar Rp 87.92 miliar. Hal ini dikarenakan peningkatan surplus konsumen yang lebih besar dibanding penurunan surplus produsen dan penerimaan pemerintah dari tarif impor. 188 Pada simulasi 10 (S10) penerapan swasembada absolut dengan menghentikan impor gula memacu produsen untuk meningkatkan produksi gula sehingga meningkat sebesar 0.257 persen pada periode 2011-2014 dan 0.272 persen pada periode 2015-2020. Selain itu, kebijakan ini juga meningkatkan harga gula tingkat petani sebesar 1.042 persen pada periode 2011-2014 dan 1.029 persen pada periode 2015-2020 serta harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.010 persen (2011-2014) dan 0.989 persen (2015-2020). Hal ini menyebabkan produsen memperoleh tambahan surplus sebesar Rp 138.36 miliar apabila diterapkan sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan sebesar Rp 147.80 miliar apabila kebijakan tersebut diterapkan pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Konsumen merupakan yang paling dirugikan dari adanya kebijakan ini. Peningkatan harga gula eceran sebesar 1.029 persen (2011-2014) dan 1.015 persen (2015-2020) yang diikuti dengan penurunan permintaan rumah tangga sebesar 0.614 persen pada periode 2011-2014 dan 0.597 persen pada periode 2015-2020 menyebabkan surplus konsumen rumah tangga mengalami penurunan sebesar Rp 161.45 miliar (2011-2014) dan sebesar Rp 182.43 miliar (2015-2020). Selanjutnya, harga gula tingkat pedagang besar yang menurun menyebabkan permintaan gula industri turun sebesar 0.038 persen (2011-2014) dan 0.052 persen (2015-2020) sehingga surplus konsumen gula industri menurun lebih besar daripada surplus konsumen rumah tangga yaitu sebesar Rp 157.19 miliar (20112014) dan Rp 171.63miliar (2015-2020). Secara keseluruhan surplus konsumen gula Indonesia menurun sebesar Rp 318.63 miliar pada 2011-2014 dan Rp 354.06 miliar pada 2015-2020. Pelarangan impor gula ini memiliki dampak yang paling besar terhadap penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa impor. Pada periode sebelum liberalisasi perdagangan gula ACFTA penerimaan permerintah dari tarif impor menurun Rp 2.594 triliun dan devisa impor menurun Rp 8.396 triliun, sedangkan pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun lebih besar yaitu Rp 4.017 triliun dan devisa impor menurun lebih besar yaitu Rp 10.950 triliun. Secara menyeluruh kebijakan ini juga menurunkan kesejahteraan masyarakat sebesar Rp 2.774 triliun pada 189 periode 2011-2014 dan Rp 4.223 triliun pada periode 2015-2020. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan swasembada gula absolut masih belum tepat untuk dilakukan di Indonesia. Selanjutnya pada Tabel 56 dapat dilihat skema skenario kebijakan penghapusan tarif impor gula sesuai dengan kesepakatan perjanjian perdagangan bebas ACFTA. Kebijakan ini apabila dilakukan oleh pemerintah baik sebelum liberalisasi perdagangan gula ACFTA (2011-2014) maupun pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA (2015-2020) maka akan menurunkan surplus produsen. Penurunan surplus produsen paling tinggi terjadi pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA yaitu Rp 21.78 miliar, sedangkan sebelum era liberalisasi perdagangan gula ACFTA surplus produsen menurun sebesar Rp 23.31 miliar. Tabel 56. Peramalan Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Gula terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 Rp miliar No Komponen 1 Perubahan Surplus Produsen a. Perusahaan perkebunan besar negara b. Perusahaan perkebunan besar swasta c. Perusahaan perkebunan rakyat 2 Perubahan Surplus Konsumen Indonesia a. Konsumen gula rumah tangga b. Konsumen gula industri 3 Alternatif Kebijakan S11 BA AA -21.78 -23.31 -3.48 -3.87 -7.97 -10.38 -10.34 -9.06 50.73 25.86 24.87 55.80 28.61 27.19 Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain -2 594.57 -1 054.00 -15.57 -1 525.00 -4 017.57 -1 753.00 -49.57 -2 215.00 4 Net Surplus Indonesia -2 565.62 -3 985.08 5 Perubahan Devisa Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain 1 433.02 1 028.00 359.02 46.00 1 866.40 1 335.00 459.40 72.00 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 S11 = Penghapusan tarif impor gula Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan 190 Penurunan surplus produsen paling tinggi dialami oleh perusahaan perkebunan rakyat, yaitu Rp 10.34 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 9.06 miliar pada periode 2015-2020. Penurunan surplus ini dikarenakan penurunan produksi gula sebesar 0.041 persen (2011-2014) dan 0.043 persen (2015-2020) yang disebabkan oleh penurunan harga gula tingkat petani dan harga gula tingkat pedagang besar. Tingginya penurunan surplus produsen perkebunan rakyat diantara perusahaan perkebunan lainnya menunjukkan bahwa petani yang paling dirugikan dengan adanya liberalisasi perdagangan gula ACFTA yang diwujudkan melalui penghapusan tarif. Lain halnya dengan konsumen, kebijakan ini sangat menguntungkan konsumen karena adanya tambahan surplus. Penurunan harga gula eceran dan pedagang besar membuat surplus konsumen Indonesia meningkat Rp 50.73 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 55.80 miliar pada periode 2015-2020. Surplus konsumen rumah tangga meningkat lebih tinggi yaitu sebesar Rp 25.86 miliar (2011-2014) dan Rp 28.61 miliar (2015-2020), sedangkan surplus konsumen industri hanya meningkat Rp 24.87 miliar (2011-2014) dan Rp 27.19 miliar (20152020). Peningkatan surplus ini karena adanya peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akibat penurunan harga gula eceran dan pedagang besar. Penerimaan pemerintah dari tarif impor mengalami penurunan, namun devisa impor gula meningkat. Pada periode 2011-2014 penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun sebesar Rp 2.594 triliun dan devisa impor meningkat Rp 1.433 triliun, sedangkan pada periode 2015-2020 penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun lebih besar yaitu Rp 4.017 triliun dan devisa impor meningkat lebih besar pula yaitu Rp 1.866 triliun. Secara keseluruhan, penghapusan tarif impor gula sesuai dengan skema ACFTA ini menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat (net surplus) yang paling besar diantara kebijakan lainnya, yaitu sebesar Rp 2.565 triliun (2011-2014) dan Rp 3.985 triliun (20152020). Berdasarkan Tabel 57 dapat dilihat peramalan dampak skenario simulasi penurunan tarif impor gula terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi gula Indonesia. Skenario penurunan tarif impor gula sesuai dengan skema penurunan tarif untuk komoditas HSL yang salah satunya adalah gula terdiri dari penurunan 191 tarif sebesar 10 persen, 30 persen dan 50 persen. Ketiga skenario simulasi ini menurunkan surplus produsen gula Indonesia. Penurunan surplus produsen gula terbesar adalah pada skenario penurunan tarif impor 50 persen. Pada periode 2011-2014 surplus produsen menurun sebesar Rp 10.951 miliar dan pada periode 2015-2020 surplus produsen menurun lebih besar yaitu sebesar Rp 11.658 miliar. Pada skenario penurunan tarif impor 30 persen, surplus produsen menurun lebih rendah yaitu sebesar Rp 6.571 miliar (2011-2014) dan Rp 7.097 miliar (2015-2020), sedangkan pada skenario penurunan tarif impor 10 persen surplus produsen menurun paling rendah, yaitu sebesar Rp 2.191 miliar (2011-2014) dan Rp 2.380 miliar (2015-2020). Penurunan surplus produsen ini terjadi karena peningkatan impor gula yang memicu penurunan harga gula tingkat petani dan pedagang besar sehingga produksi gula pada ketiga perkebunan mengalami penurunan. Dari sisi konsumen, peningkatan impor gula menyebabkan harga gula eceran dan harga gula tingkat pedagang besar mengalami penurunan. Penurunan harga gula eceran dan tingkat pedagang besar ini direspon dengan peningkatan permintaan gula baik oleh konsumen gula rumah tangga maupun industri sehingga surplus konsumen mengalami peningkatan. Tambahan surplus konsumen paling tinggi juga berada pada skenario simulasi penurunan tarif impor gula 50 persen. Surplus konsumen akibat kebijakan ini meningkat sebesar Rp 25.361 miliar (2011-2014) dan meningkat Rp 27.895 miliar (2015-2020). Pada pada skenario simulasi penurunan tarif impor 30 persen, surplus konsumen mengalami peningkatan lebih rendah yaitu Rp 16.738 miliar (2011-2014) dan Rp 25.361 miliar (2015-2020). Pada skenario simulasi penurunan tarif impor gula 10 persen, surplus konsumen juga mengalami peningkatan, namun hanya sebesar Rp 5.124 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 5.286 miliar pada periode 2015-2020. Peningkatan surplus konsumen industri meningkat lebih besar daripada peningkatan surplus konsumen rumah tangga baik pada skenario penurunan tarif impor 10 persen, 30 persen maupun 50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penurunan tarif impor gula lebih berpihak dan menguntungkan bagi konsumen. 192 Tabel 57. Peramalan Dampak Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 Rp miliar No Komponen S12 S14 1 Perubahan Surplus Produsen a. Perusahaan perkebunan besar negara b. Perusahaan perkebunan besar swasta c. Perusahaan perkebunan rakyat BA -2.191 -0.348 -0.797 -1.045 2 Perubahan Surplus Konsumen Indonesia a. Konsumen gula rumah tangga b. Konsumen gula industri 5.124 2.638 2.487 5.286 2.627 2.659 3 Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain -219.970 -77.300 8.330 -151.000 -340.950 -132.000 10.050 -219.000 -685.650 -1 062.770 -1 186.910 -1 838.490 -250.100 -424.000 -448.100 -754.600 18.450 20.230 19.790 17.110 -454.000 -659.000 -758.600 -1 101.000 4 Net Surplus Indonesia -217.036 -338.044 -676.847 -1 053.129 -1 172.500 -1 822.253 5 Perubahan Devisa Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain 142.600 102.000 35.600 5.000 184.500 132.000 45.500 7.000 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 S12 = Penurunan tarif impor gula 10 persen S13 = Penurunan tarif impor gula 30 persen S14 = Penurunan tarif impor gula 50 persen Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan AA -2.380 -0.379 -1.016 -0.985 Alternatif Kebijakan S13 BA AA -6.571 -7.097 -1.044 -1.179 -2.391 -3.160 -3.136 -2.758 15.374 7.914 7.460 427.020 306.000 107.020 14.000 16.738 8.464 8.274 555.700 397.000 136.700 22.000 BA -10.951 -1.739 -3.985 -5.227 AA -11.658 -1.936 -5.191 -4.531 25.361 12.927 12.434 27.895 14.303 13.592 712.720 511.000 178.720 23.000 928.300 664.000 228.300 36.000 193 Skenario penurunan tarif impor gula ini juga menyebabkan penerimaan pemerintah dari tarif impor mengalami penurunan. Penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor paling tinggi adalah pada skenario penurunan tarif 50 persen. Pada periode 2011-2014 penerimaan pemerintah dari tarif impor mengalami penurunan sebesar Rp 1.838 triliun, sedangkan pada periode 20152020 menurun lebih besar yaitu Rp 1.186 triliun. Hal yang sebaliknya berlaku pada devisa impor. Devisa impor mengalami peningkatan, dengan peningkatan paling tinggi terjadi skenario penurunan tarif impor gula 50 persen yaitu Rp 717.720 miliar (2011-2014) dan Rp 928.300 miliar (2015-2020). Secara keseluruhan, adanya redistribusi pendapatan dari ketiga skenario penurunan tarif tersebut memberikan penurunan bagi kesejahteraan (net surplus). Skenario kebijakan penurunan tarif impor 10 persen memberikan penurunan kesejahteraan masyarakat (net surplus) yang lebih rendah dari simulasi kebijakan penurunan tarif impor lainnya. Pada periode 2011-2014 penurunan tarif impor 10 persen menurunkan net surplus sebesar Rp 217.036 miliar sedangkan pada periode 2015-2020 net surplus menurun Rp 338.044 miliar. Penurunan tarif impor 30 persen menyebabkan penurunan net surplus lebih besar lagi yaitu Rp 676.847 miliar (2011-2014) dan Rp 1.053 triliun (2015-2020). Pada simulasi penurunan tarif impor 50 persen terjadi penurunan kesejahteraan masyarakat yang paling besar yaitu Rp 1.172 triliun pada periode 2011-2014 dan Rp 1.822 triliun pada periode 2015-2020. 8.2.2. Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Perubahan Faktor Eksternal Berdasarkan Tabel 58 dapat dilihat peramalan dampak perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi gula dan devisa impor. Adapun perubahan faktor eksternal yang disimulasi adalah (1) peningkatan produksi gula China 20 persen dan (2) peningkatan produksi gula Thailand dan Brazil 20 persen. Kedua skenario simulasi ini sama-sama memberikan dampak penurunan terhadap surplus produsen. Peningkatan produksi gula China yang menurunkan impor gula China 20 persen menyebabkan harga gula dunia menurun sehingga menurunkan harga gula tingkat petani sebesar 0.329 persen (2011-2014) dan 0.417 persen (2015-2020) 194 dan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.330 persen (2011-2014) dan 0.409 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat petani dan harga gula tingkat pedagang besar ini menyebabkan penurunan produksi gula pada masingmasing perkebunan. Inilah yang menyebabkan surplus produsen gula menurun sebesar Rp 44.29 miliar pada periode 2011-2014 dan menurun Rp 60.39 miliar pada periode 2015-2020. Tabel 58. Peramalan Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 20112014 dan 2015-2020 Rp miliar No Komponen Alternatif Kebijakan S15 S16 BA AA BA AA 1 Perubahan Surplus Produsen a. Perusahaan perkebunan besar negara b. Perusahaan perkebunan besar swasta c. Perusahaan perkebunan rakyat -44.29 -7.18 -16.47 -20.65 -60.39 -10.08 -27.08 -23.23 -575.16 -91.28 -215.96 -267.92 2 Perubahan Surplus Konsumen Indonesia a. Konsumen gula rumah tangga b. Konsumen gula industri 104.99 53.59 51.39 146.59 75.67 70.92 1 382.64 1 823.34 707.53 947.28 675.11 876.07 3 Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain -42.13 -16.00 -0.13 -26.00 -79.81 -32.00 -0.81 -47.00 -568.88 -1 003.74 -216.70 -415.00 -2.18 -10.74 -350.00 -578.00 4 Net Surplus Indonesia 18.56 6.39 5 Perubahan Devisa Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain 238.60 -738.69 -119.78 -333.87 -285.05 80.92 -137.39 -215.10 -1 820.65 -2 694.60 -51.00 -87.00 -691.00 -1 112.00 -0.39 -2.10 -6.65 -28.60 -86.00 -126.00 -1 123.00 -1 554.00 : BA = Periode 2011 – 2014 AA = Periode 2015 – 2020 S18 = Peningkatan produksi gula China 20 persen S19 = Peningkatan produksi gula Thailand dan Brazil 20 persen Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan Peningkatan produksi gula Thailand dan Brazil juga menyebabkan penurunan surplus produsen akibat penurunan harga gula dunia yang juga memicu penurunan harga gula tingkat petani sebesar 4.354 persen (2011-2014) dan 5.154 persen (2015-2020) dan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 4.336 persen 195 (2011-2014) dan 5.042 persen (2015-2020). Penurunan harga gula tingkat petani dan pedagang besar ini sama-sama menyebabkan produksi gula pada ketiga perkebunan mengalami penurunan baik pada periode 2011-2014 maupun 20152020. Hal ini menyebabkan surplus produsen pada periode 2011-2014 menurun Rp 575.16 miliar dan pada periode 2015-2020 menurun Rp 738.69 miliar. Pada skenario peningkatan produksi gula China 20 persen, harga gula eceran mengalami penurunan sebesar 0.340 persen (2011-2014) dan 0.419 persen (2015-2020) karena penurunan harga gula dunia. Penurunan harga gula eceran ini menyebabkan permintaan gula rumah tangga mengalami peningkatan sebesar 0.185 persen pada periode 2011-2014 dan 0.231 persen pada periode 2015-2020, sehingga persen surplus konsumen rumah tangga meningkatkan sebesar Rp 53.59 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 75.67 miliar pada periode 2015-2020. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar juga menurunkan permintaan gula industri sebesar sebesar 0.008 persen (2011-2014) dan 0.015 persen (2015-2020) sehingga surplus konsumen industri meningkat Rp 51.39 miliar dan Rp 70.92 miliar. Demikian halnya dengan skenario peningkatan produksi gula Brazil dan Thailand 20 persen juga menyebabkan peningkatan surplus konsumen sebesar Rp 1.382 triliun pada periode 2011-2014 dan Rp 1.823 triliun pada periode 20152020. Surplus konsumen Indonesia ini merupakan total dari peningkatan surplus konsumen rumah tangga dan industri yang meningkat akibat penurunan harga gula eceran dan pedagang besar sehingga meningkatkan permintaannya. Penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa impor pada kedua skenario perubahan faktor eksternal ini juga mengalami penurunan. Pada periode 2011-2014 penerimaan pemerintah dari tarif impor pada skenario peningkatan produksi gula China menurun sebesar Rp 42.13 miliar, sedangkan pada skenario peningkatan ekspor gula Brazil dan Thailand menurun sebesar Rp 568.88 miliar. Pada periode 2015-2020 penerimaan pemerintah dari tarif impor pada skenario peningkatan produksi gula China menurun sebesar Rp 79.81 miliar, sedangkan pada skenario peningkatan impor gula Brazil dan Thailand menurun sebesar Rp 1.003 triliun. 196 Devisa impor pada skenario simulasi peningkatan produksi gula China menurun sebesar Rp 137.39 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 215.10 miliar pada periode 2015-2020, sedangkan pada skenario simulasi peningkatan ekspor gula Brazil dan Thailand menurun sebesar Rp 1.820 triliun pada periode 20112014 dan Rp 2.694 triliun pada periode 2015-2020. Secara keseluruhan dua skenario perubahan faktor eksternal ini memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia (net surplus). Pada skenario peningkatan produksi gula China peningkatan kesejahteraan adalah sebesar Rp 18.56 miliar (2011-2014) dan Rp 6.39 miliar (2015-2020), sedangkan pada skenario peningkatan ekspor gula Brazil dan Thailand memberikan peningkatan kesejahteraan sebesar Rp 238.60 miliar (2011-2014) dan Rp 80.92 miliar (2015-2020). 8.2.3. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal Tabel 59 menunjukkan kompilasi dari peramalan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi gula dan penerimaan devisa impor baik apabila diterapkan sebelum era liberalisasi perdagangan gula ACFTA (2011-2014) maupun pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA (2015-2020). Adapun kombinasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang dilakukan meliputi simulasi kombinasi tarif impor, harga gula di tingkat petani, peningkatan stok gula, peningkatan luas areal, dan penurunan impor gula China. Simulasi 17 (S17) menunjukkan bahwa simulasi penurunan tarif impor 50 persen yang diikuti dengan peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen menyebabkan peningkatan surplus produsen sebesar Rp 1.972 triliun (2011-2014) dan Rp 1.758 triliun (2015-2020). Peningkatan tersebut disumbangkan oleh peningkatan surplus produsen pada perkebunan rakyat yang meningkat sebesar Rp 1.989 triliun (2011-2014) dan Rp 1.777 triliun (20152020). Peningkatan surplus produsen perkebunan rakyat ini dikarenakan kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen akan menyebabkan peningkatan produksi gula kristal putih petani perkebunan rakyat sebesar 11.296 persen (20112014) dan 12.417 persen (2015-2020). Namun, pada skenario kebijakan ini terjadi trade off dimana perkebunan besar negara dan swasta mengalami penurunan 197 surplus produsen. Perkebunan besar negara menurun sebesar Rp 5.02 miliar (2011-2014) dan Rp 5.30 miliar (2015-2020) sedangkan perkebunan besar swasta menurun sebesar Rp 11.51 miliar pada 2011-2014 dan Rp 14.22 miliar pada 20152020. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.231 persen (2011-2014) dan 0.214 persen (2015-2020) yang menyebabkan produksi perkebunan besar negara dan swasta mengalami penurunan. Dari sisi konsumen peningkatan impor gula Indonesia menyebabkan harga gula eceran menurun sebesar 0.236 persen (2011-2014) dan 0.218 persen (20152020) yang kemudian direspon dengan peningkatan permintaan rumah tangga sebesar 0.135 persen (2011-2014) dan 0.125 persen (2015-2020). Hal ini menyebabkan peningkatan surplus konsumen rumah tangga sebesar Rp 37.21 miliar sebelum periode liberalisasi gula ACFTA dan meningkat lebih besar yaitu Rp 39.42 miliar apabila diterapkan pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.231 persen (2011-2014) dan 0.214 persen (2015-2020) menyebabkan peningkatan permintaan gula industri sebesar 0.007 persen (2011-2014) dan 0.009 persen (2015-2020), sehingga surplus konsumen industri meningkat sebesar Rp 35.92 miliar (20112014) dan Rp 37.23 miliar (2015-2020). Penurunan tarif impor juga menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor dan penurunan devisa impor. Penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun sebesar Rp 1.199 triliun (2011-2014) dan Rp 1.853 triliun (2015-2020) dengan penurunan yang hanya terjadi pada impor gula yang berasal dari Thailand. Sebaliknya, devisa impor Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar akibat kebijakan ini, yaitu Rp 633.22 miliar (2011-2014) dan Rp 845.80 miliar (2015-2020). Secara keseluruhan, apabila kebijakan ini diterapkan akan memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat (net surplus) yang cukup besar pada periode 2011-2014 Rp 846.26 miliar namun menurunkan kesejahteraan masyarakat pada 2015-2020 sebesar Rp 18.31 miliar. Penurunan ini disebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor yang lebih besar pada periode 2015-2020 dibandingkan pada periode 2011-2014. 198 Rp miliar No Komponen S17 AA 1 758.18 -5.30 -14.22 1 777.70 76.65 39.42 37.23 Alternatif Kebijakan S18 S19 BA AA BA AA 2 167.71 1 906.48 1 937.19 1 712.42 -35.24 -43.06 -15.73 -17.67 -84.71 -120.52 -36.21 -47.61 2 287.66 2 070.06 1 989.13 1 777.70 S20 BA AA 2 153.13 1 895.72 -39.50 -45.87 -95.04 -128.47 2 287.66 2 070.06 1 Perubahan Surplus Produsen a. Perusahaan perkebunan besar negara b. Perusahaan perkebunan besar swasta c. Perusahaan perkebunan rakyat BA 1 972.60 -5.02 -11.51 1 989.13 2 Perubahan Surplus Konsumen Indonesia a. Konsumen gula rumah tangga b. Konsumen gula industri 73.13 37.21 35.92 3 Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain 4 Net Surplus Indonesia 846.26 -18.31 1 305.85 435.70 927.27 60.17 1 325.79 445.96 5 Perubahan Devisa Impor a. Impor Gula dari Thailand b. Impor Gula dari China c. Impor Gula dari Negara Lain 633.22 450.00 162.22 21.00 845.80 601.00 211.80 33.00 35.78 -6.00 40.78 1.00 103.40 36.00 63.40 4.00 369.92 280.00 158.92 -69.00 539.10 430.00 205.10 -96.00 -81.13 -119.00 40.87 -3.00 27.40 -37.00 63.40 1.00 429.85 218.99 210.86 519.39 268.44 250.94 230.37 117.35 113.02 257.77 133.06 124.71 482.16 245.59 236.57 -1 199.47 -1 853.15 -1 291.71 -1 990.17 -1 240.29 -1 910.01 -1 309.50 -2 003.37 -457.70 -766.20 -528.10 -870.00 -483.90 -797.80 -545.30 -883.20 17.23 14.05 -1.51 -13.17 16.71 12.79 -1.50 -13.17 -759.00 -1 101.00 -762.10 -1 107.00 -773.10 -1 125.00 -762.70 -1 107.00 = Periode 2011 – 2014 = Periode 2015 – 2020 = Kombinasi penurunan tarif impor 50 persen dan peningkatan harga gula petani 30 persen = Kombinasi penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula petani 30 persen dan peningkatan luas areal 30 persen = Kombinasi peningkatan produksi gula China 20 persen, penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula petani 30 persen, dan peningkatan stok gula 20 persen S20 = Kombinasi penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula petani 30 persen, peningkatan luas areal 30 persen dan peningkatan stok gula 20 persen Sumber : Data diolah, 2012 Keterangan : BA AA S17 S18 S19 553.61 286.10 267.50 198 Tabel 59. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 199 Simulasi 18 (S18) yang merupakan simulasi penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen dan peningkatan luas areal 30 persen memberikan peningkatan surplus produsen sebesar Rp 2.167 triliun (2011-2014) dan Rp 1.906 triliun (2015-2020). Peningkatan ini dikarenakan adanya peningkatan harga gula petani 30 persen dan peningkatan luas areal 30 persen yang memacu petani sehingga mampu meningkatkan produksi gula Indonesia sebesar 25.366 persen dan 28.999 persen. Namun, jika dikaji lebih lanjut terjadi trade off antara produsen perkebunan besar swasta dengan perkebunan besar negara dan rakyat. Hal ini terjadi karena perkebunan besar swasta tidak merasakan dampak peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen, karena perkebunan besar negara dan swasta dipengaruhi oleh harga gula tingkat pedagang besar yang mengalami penurunan sebesar 1.355 persen (20112014) dan 1.445 persen (2015-2020). Ditinjau dari sisi konsumen peningkatan impor gula Indonesia akibat peningkatan produksi sehingga penawaran gula meningkat menyebabkan harga gula eceran menurun sebesar 1.386 persen (2011-2014) dan 1.482 persen (20152020) yang kemudian direspon dengan peningkatan permintaan rumah tangga sebesar 0.794 persen (2011-2014) dan 0.843 persen (2015-2020). Hal ini menyebabkan peningkatan surplus konsumen rumah tangga sebesar Rp 218.99 miliar sebelum periode liberalisasi gula ACFTA dan meningkat lebih besar yaitu Rp 268.44 miliar apabila diterapkan pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA. Penurunan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.355 persen (2011-2014) dan 1.445 persen (2015-2020) menyebabkan peningkatan permintaan gula industri sebesar 0.042 persen (2011-2014) dan 0.064 persen (2015-2020). Hal ini menyebabkan surplus konsumen industri meningkat lebih besar yaitu Rp 210.86 miliar (2011-2014) dan Rp 250.94 miliar (2015-2020). Secara total, surplus konsumen Indonesia meningkat Rp 429.85 miliar (2011-2014) dan Rp 519.39 miliar (2015-2020) akibat simulasi ini Penurunan impor gula Indonesia yang terjadi akibat kebijakan ini menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif dan devisa negara. Penerimaan pemerintah dari tarif menurun sebesar Rp 1.291 triliun (2011-2014) dan Rp 1.990 triliun (2015-2020), sedangkan devisa impor meningkat sebesar 200 sebesar Rp 35.78 miliar (2011-2014) dan Rp 103.40 miliar (2015-2020). Namun, secara keseluruhan dengan adanya redistribusi pendapatan kebijakan ini masih memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat (net surplus) sebesar Rp 1.305 triliun dan Rp 435.70 miliar. Simulasi 19 (S19) yang merupakan kombinasi dari empat kebijakan yang meliputi tarif, harga gula petani, luas areal, dan perubahan faktor eksternal berupa penurunan impor gula China memberikan dampak peningkatan surplus produsen yang cukup besar yaitu sebesar Rp 1.937 triliun pada 2011-2014 dan Rp 1.712 triliun pada 2015-2020. Peningkatan tersebut diberikan oleh peningkatan surplus produsen pada perkebunan rakyat yang meningkat sebesar Rp 1.989 triliun (20112014) dan Rp 1.777 triliun (2015-2020). Peningkatan surplus produsen perkebunan rakyat ini dikarenakan adanya kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen sehingga menyebabkan peningkatan produksi gula kristal putih petani perkebunan rakyat sebesar 11.296 persen (2011-2014) dan 12.417 persen (2015-2020). Pada kebijakan ini juga terjadi trade off antara perkebunan besar besar negara dan swasta dengan perkebunan rakyat. Surplus perkebunan besar negara menurun sebesar Rp 15.73 miliar (2011-2014) dan Rp 17.67 miliar (2015-2020) sedangkan perkebunan besar swasta menurun sebesar Rp 36.21 miliar pada 2011-2014 dan Rp 47.61 miliar pada 2015-2020. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.726 persen (2011-2014) dan 0.718 persen (2015-2020) yang menyebabkan produksi perkebunan besar negara dan swasta mengalami penurunan. Pada kebijakan ini, konsumen juga memperoleh tambahan surplus sebesar Rp 230.37 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 257.77 miliar pada periode 2015-2020. Tambahan surplus terjadi karena adanya tambahan surplus yang diterima oleh konsumen rumah tangga dan industri. Penurunan harga gula eceran sebesar 0.744 persen (2011-2014) dan 0.736 persen (2015-2020) akibat peningkatan penawaran gula meningkatkan permintaan gula rumah tangga sehingga konsumen rumah tangga memperoleh tambahan surplus sebesar Rp 117.35 miliar (2011-2014) dan Rp 133.06 miliar (2015-2020). Penurunan harga pedagang besar menyebabkan peningkatan permintaan industri sebesar 0.021 201 persen (2011-2014) dan 0.029 persen (2015-2020) sehingga surplus konsumen industri mengalami peningkatan sebesar Rp 113.02 miliar dan Rp 124.71 miliar. Penerimaan pemerintah dari tarif dan devisa impor juga mengalami penurunan akibat adanya penurunan tarif impor. Penerimaan pemerintah menurun sebesar Rp 1.240 triliun (2011-2014) dan Rp 1.910 triliun (2015-2020). Devisa impor masih mengalami peningkatan karena peningkatan impor gula Indonesia yaitu sebesar Rp 369.92 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 539.10 miliar pada periode 2015-2020. Namun, secara keseluruhan kebijakan ini juga masih memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat (net surplus) sebesar Rp 927.27 miliar (2011-2014) dan Rp 60.17 miliar (2015-2020). Simulasi 20 (S20) merupakan simulasi yang juga menggunakan empat simulasi yang meliputi penurunan tarif, harga gula tingkat petani, luas areal dan stok gula. Simulasi ini memberikan peningkatan surplus produsen yang besar yaitu Rp 2.153 triliun pada 2011-2014 dan Rp 1.895 triliun pada 2015-2020. Peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen dan peningkatan luas areal 30 persen yang menyebabkan produksi gula Indonesia mengalami peningkatan sebesar 25.348 persen pada periode 2011-2014 dan 28.987 persen pada periode 2015-2020. Pada kebijakan ini juga terjadi trade off pada perkebunan besar negara dan swasta karena tidak merasakan dampak peningkatan harga gula tingkat petani. Perkebunan besar negara menurun sebesar Rp 39.50 miliar (2011-2014) dan Rp 45.87 miliar (2015-2020) sedangkan perkebunan besar swasta menurun lebih besar yaitu Rp 95.04 miliar pada 2011-2014 dan Rp 128.47 miliar pada 2015-2020. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.520 persen (2011-2014) dan 1.540 persen (20152020) yang menyebabkan produksi perkebunan besar negara dan swasta mengalami penurunan. Pada simulasi ini, konsumen juga memperoleh tambahan surplus yang paling besar diantara simulasi lainnya, yaitu sebesar Rp 482.16 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 553.61 miliar pada periode 2015-2020. Tambahan surplus terjadi karena adanya tambahan surplus yang diterima oleh konsumen rumah tangga dan industri. Penurunan harga gula eceran sebesar 1.554 persen (2011-2014) dan 1.579 persen (2015-2020) akibat peningkatan penawaran gula 202 meningkatkan permintaan gula rumah tangga sehingga konsumen rumah tangga memperoleh tambahan surplus sebesar Rp 245.59 miliar (2011-2014) dan Rp 268.10 miliar (2015-2020). Penurunan harga pedagang besar menyebabkan peningkatan permintaan industri sebesar 0.048 persen (2011-2014) dan 0.068 persen (2015-2020) sehingga surplus konsumen industri mengalami peningkatan sebesar Rp 236.57 miliar dan Rp 267.50 miliar. Penerimaan pemerintah dari tarif dan devisa impor juga mengalami penurunan akibat kebijakan ini. Penurunan ini dikarenakan adanya penurunan tarif sebesar 50 persen pada kedua periode. Penerimaan pemerintah menurun sebesar Rp 1.309 triliun pada periode 2011-2014 dan Rp 2.003 triliun pada periode 20152020. Devisa impor mengalami penurunan pada periode 2011-2014 Rp 81.13 miliar namun mengalami peningkatan pada periode 2015-2020 Rp 27.40 miliar pada periode 2015-2020. Namun, secara keseluruhan kebijakan ini memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang paling besar diantara kebijakan lainnya, yaitu meningkat sebesar Rp 1.325 triliun apabila kebijakan diterapkan sebelum periode liberalisasi gula ACFTA dan meningkat sebesar Rp 445.96 miliar apabila diterapkan pada periode liberalisasi gula ACFTA. Rendahnya net surplus pada periode 2015-2020 disebabkan tingginya penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor pada periode ini dibanding periode 2011-2014. Namun, dilihat dari surplus yang diterima oleh konsumen dan produsen pada simulasi kebijakan ini lebih tinggi dibanding pada simulasi yang lain, sehingga kebijakan ini dapat menjadi alternatif kebijakan yang tepat untuk diterapkan dalam rangka implementasi perjanjian perdagangan bebas ACFTA 2015. 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan gula di pasar domestik dan dunia menunjukkan bahwa : a. Pada luas areal perkebunan rakyat variabel harga gula tingkat petani berpengaruh secara tidak nyata terhadap peningkatan luas areal perkebunan. Peningkatan harga gula tingkat petani sering kali diikuti dengan peningkatan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani selama masa tanam, sedangkan respon produktivitas gula hablur baik negara, swasta, dan rakyat kurang responsif terhadap peningkatan luas areal perkebunannya. b. Permintaan gula Indonesia merupakan penjumlahan dari permintaan gula untuk konsumsi rumah tangga dan permintaan gula untuk kebutuhan industri. Permintaan gula rumah tangga dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula eceran, pertumbuhan PDB riil Indonesia, populasi, dan permintaan gula rumah tangga tahun t-1, sedangkan permintaan gula oleh industri hanya dipengaruhi secara nyata oleh PDB riil sektor makanan dan minuman t-2 serta permintaan gula industri tahun t-1. c. Perilaku harga riil impor gula Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia tahun t-1. Harga riil impor gula Indonesia ini juga berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula eceran. Harga riil gula eceran kemudian berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula tingkat pedagang besar dan harga riil gula tingkat pedagang besar berpengaruh pula secara nyata terhadap harga riil gula tingkat petani. d. Pada perilaku impor gula Indonesia dari kedua negara eksportir diketahui bahwa impor gula Indonesia dari China lebih responsif dibandingkan impor gula Indonesia dari Thailand terhadap perubahan tarif impor gula, tetapi pangsa impor gula Indonesia dari Thailand lebih besar daripada pangsa impor gula dari China sehingga kebijakan penurunan tarif impor yang sama akan meningkatkan impor gula yang lebih besar dari Thailand. Indonesia 204 mempunyai ketergantungan yang lebih besar terhadap impor gula dari Thailand dibanding impor gula dari China. e. Pada perilaku ekspor gula pada negara eksportir terbesar yaitu Brazil dan Thailand diketahui bahwa produksi gula berpengaruh secara nyata terhadap ekspor gula di kedua negara tersebut. Respon perubahan ekspor terhadap perubahan produksi gula pada kedua negara eksportir bersifat elastis. Namun, ekspor gula Brazil terhadap perubahan produksinya lebih responsif daripada ekspor gula Thailand terhadap perubahan produksinya. f. Pada perilaku impor gula negara importir gula terbesar di dunia yaitu India, Amerika, dan China terdapat variabel yang berpengaruh secara nyata yaitu harga riil gula dunia. Impor gula India, Amerika Serikat, dan China masingmasing sangat responsif terhadap perubahan produksi gulanya. Peningkatan produksi gula sebesar 1 persen pada negara importir akan menurunkan lebih dari 1 persen impor gulanya. Peningkatan pertumbuhan penduduk baik di China maupun di India berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan impor gulanya. 2. Kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang meliputi skenario peningkatan harga gula sebesar 25 persen, peningkatan harga pupuk sebesar 33 persen berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (net surplus), sedangkan skenario penurunan tarif impor gula 49 persen, peningkatan luas areal 20 persen, dan penurunan kuota impor 50 persen berdampak pada penurunan kesejahteraan masyarakat (net surplus). Alternatif kebijakan yang memberikan kondisi terbaik dalam mendukung usaha perkebunan rakyat adalah kebijakan peningkatan harga gula 25 persen karena memberikan peningkatan surplus bagi produsen perkebunan paling besar terutama bagi perkebunan rakyat. 3. Peramalan dampak kebijakan penghapusan tarif impor sesuai skema ACFTA akan menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat (net surplus) yang sangat tinggi. Kombinasi penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula 30 persen, peningkatan luas areal 30 persen, dan peningkatan stok gula 20 persen yang merepresentasikan penguatan peran BULOG dapat menjadi alternatif kebijakan yang memberikan kondisi terbaik bagi industri gula 205 Indonesia karena tidak memberikan dampak negatif bagi pelaku ekonomi gula, memberikan net surplus yang besar dan mampu mendorong peningkatan produksi gula kristal putih sehingga mengurangi ketergantungan Indonesia akan impor gula. 9.2. Saran 9.2.1. Saran Kebijakan 1. Kebijakan penghapusan tarif impor gula belum tepat untuk diterapkan di Indonesia pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA karena memberikan dampak negatif bagi produsen gula terutama petani perkebunan rakyat dan menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat yang besar. Pemerintah sebaiknya memilih opsi menurunkan tarif sampai dengan 50 persen sesuai dengan ketentuan yang masih diperbolehkan dalam perjanjian ACFTA. 2. Peningkatan produksi gula China dan penurunan tarif impor gula 50 persen yang menyebabkan penurunan surplus produsen sebaiknya diantisipasi oleh pemerintah dengan kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen dan peningkatan stok gula sebagai representasi dari penguatan kembali peran BULOG. Kebijakan kombinasi ini mampu memberikan peningkatan kesejahteraan bagi produsen dan konsumen serta secara menyeluruh memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat (net surplus) yang besar. 3. Kebijakan swasembada absolut gula tanpa adanya impor juga masih belum dapat dilakukan dalam kondisi industri gula Indonesia saat ini. Impor sebaiknya tetap dilakukan untuk mengurangi kerugian konsumen akibat berkurangnya kesejahteraan. Kebijakan impor yang diikuti dengan penurunan tarif impor dalam era liberalisasi ACFTA sebaiknya dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani. Peningkatan harga gula akan menjadi insentif bagi petani tebu rakyat sebagai produsen terbesar sehingga mampu mendorong peningkatan produksi. 4. Kebijakan ekstensifikasi lahan pertanian akan menyebabkan penurunan kesejahteraan yang besar bagi produsen karena peningkatan produksi gula menyebabkan harga yang diterima petani menjadi lebih rendah. Kebijakan ekstensifikasi lahan akan efektif apabila diikuti dengan kebijakan lain yang 206 memacu peningkatan produksi, yaitu melalui peningkatan harga gula dan adanya lembaga yang mengatur pasokan gula dipasaran ketika harga gula konsumen meningkat sehingga stabilitas harga tetap terjaga. 5. Dalam rangka menghadapi pasar bebas ASEAN-China dan target swasembada gula, pemerintah sebaiknya menerapkan kebijakan penurunan tarif 50 persen sesuai dengan yang masih diperbolehkan dalam perjanjian ACFTA. Namun, untuk mengurangi peningkatan impor penguatan industri gula domestik perlu dilakukan dengan menerapkan kebijakan peningkatan harga gula petani 30 persen, mewujudkan peningkatan luas areal 30 persen, dan peningkatan stok gula 20 persen yang merepresentasikan penguatan kembali peran BULOG. Selain memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat (net surplus) yang besar, kebijakan kombinasi ini juga mampu meningkatkan produksi gula Indonesia. Wacana penguatan kembali peran BULOG sebaiknya segera direalisasikan oleh pemerintah. Dengan demikian, diharapkan Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi juga mampu mengekspor gula. 9.2.2. Saran Penelitian Lanjutan 1. Penelitian ini tidak melakukan disagregasi wilayah kajian. Pembedaan wilayah kajian ini penting untuk dilakukan sebab selama ini sentra produksi berada pada wilayah barat dan non sentra produksi adalah wilayah timur Indonesia. Hal ini sangat terkait dengan perilaku impor dan ketersediaan stok pada kedua wilayah tersebut yang berbeda, sehingga diharapkan dapat disusun suatu kebijakan pengembangan industri gula yang spesifik pada tingkat kewilayahan. 2. Pada penelitian selanjutnya perlu dipertimbangkan pula penyusunan model perdagangan gula yang dibedakan berdasarkan jenisnya gula. Gula kristal putih, gula mentah dan gula kristal rafinasi mempunyai perilaku yang berbeda sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang lebih spesifik berdasarkan jenis gulanya. 3. Penelitian ini belum menggambarkan dampak kebijakan perdagangan terhadap kesejahteraan konsumen industri makanan dan minuman yang 207 menggunakan gula kristal putih dan gula kristal rafinasi, serta industri farmasi dan industri MSG untuk konsumen langsung gula mentah. Sehingga pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian yang juga mengkaji kesejahteraan konsumen pada pelaku industri gula tersebut. 4. Dalam penelitian selanjutnya dapat dimasukan kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing negara eksportir ke Indonesia, sehingga akan lebih komprehensif dalam menggambarkan kondisi perdagangan gula dunia. 208 209 DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Gula Indonesia : Suatu Analisis Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Amang, B. 1993. Kebijaksanaan Pemasaran Gula di Indonesia. PT Dharma Karsa Utama, Jakarta. Ariff, M.M. Lesson From The Sugar Crunch. Ministry of Domestic Trade. http://kpdnkk.bernama.com/news.php?id=225422&. Diakses 22 Maret 2011. Arifin, B. 2011. Swasembada Gula 2014 Sulit Tercapai. http://metrotvnews.com/read/analisdetail/2012/01/20/242/SwasembadaGula-2014-Sulit-Tercapai. Diakses Tanggal 6 Maret 2011. Arifin, S., D. Ediana, dan Charles P. 2007. Kerjasama Perdagangan Internasional : Peluang dan Tantangan bagi Indonesia. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2011. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2011. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Basri, F. 2010. Menyikapi ASEAN-China FTA. http://kompasiana.com/faisalbasri. Diakses tanggal 28 Desember 2011. Chiang, A.C. 2005. Fundamental Methods of Mathematical. Economics. Fourth Edition. Mc.Graw Hill Inc, New York. Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. MacMillan Publishing Company, New York. Ditjen KPI. 2005. Implementasi Penurunan Tarif Bea Masuk dalam Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China. Kementerian Perdagangan, Jakarta. Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia. Publikasi Interen DGI dan Bahan Diskusi Reformasi. Dewan Gula Indonesia, Jakarta. Dolan, E.G. 2006. Introduction to Microeconomics. Second Edition. Best Value Textbooks Publisher Llc, Redding. Ellison, S.F. and W.P. Mullin. 1995. Economics and Politics : The Case of Sugar Tariff Reform. Journal of Law and Economics, 38(2): 335-366. 210 Food and Agriculture Organization Statistics Division. 2008. Crops and Livestock Products. http://faostat.fao.org/site/535/desktopDefault.aspx?PageID= 535#ancor. Diakses 13 November 2011. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman. 2010. Gerakan Nasional Penerapan Standart Nasional Indonesia. Food Review Indonesia, 5(7): 20-21. Gujarati, D. 2004. Basic Econometrics. Fourth Edition. Mc.Graw Hill Inc, New York. Hadi, P.U. dan S. Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23(1): 82-89. Hafsah, M.J. 2003. Bisnis Gula di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hallam, D. 1990. Econometric Modelling of Agricultural Commodity Markets. Routledge, London. Hariyati, Y. 2003. Performansi Perdagangan Beras dan Gula Indonesia Pada Era Liberalisasi Perdagangan. Disertasi Doktor. Universitas Brawijaya, Malang, Malang. Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory : A Mathematical Approach. Third Edition. Mc.Graw Hill Inc, New York. Hutabarat, B. 2011. Perdagangan Bebas Wilayah ASEAN-China : Implikasinya Terhadap Perdagangan dan Investasi Pertanian Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 9(1): 19-31. Kartadjoemena, H.S. 2002. GATT dan WTO : Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. UI Press, Jakarta. Kementerian Keuangan. 2009. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Gula. Kementeriaan Keuangan, Jakarta. ____________________. 2011. ASEAN-CHINA Free Trade Area. http://www.tarif.depkeu.go.id/Others/?hi=AC-FTA. Diakses tanggal 3 Maret 2012. Kementeriaan Perdagangan. 2009. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 111/M-DAG/2/2009 tentang Petunjuk Pendistribusian Gula Rafinasi. Kementeriaan Perdagangan, Jakarta. ______________________. 2012. Statistik Neraca Perdagangan Indonesia dengan Republik Rakyat China Periode 2007-2012. Kementerian Perdagangan, Jakarta. 211 Kementerian Perindustrian. 2008. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomo 44/M-IND/PER/4/2008 tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula. Kementeriaan Perindustrian, Jakarta. _________________. 2009. Roadmap Industri Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian, Jakarta. Kementeriaan Pertanian. 2010. Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian. http://www.deptan.go.id/pusdatin/tampil.php?page=berita-&id-214. Diakses tanggal 3 Maret 2012. ____________________. 2012. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2011. Kementerian Pertanian, Jakarta. Khudori. 2005. Gula Rasa Neoliberalisme : Pergumulan Empat Abad Industri Gula. Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. KPPU. 2010. Position Paper Komisi Pengawasan Persaingan Usaha terhadap kebijakan dalam Industri Gula. Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition. Macmillan Publisher Ltd, London. _______________. 1985. Modern Microeconomics. Second Edition. Macmillan Publisher Ltd, London. Kustia, A. 2004. Ekonomi Gula 11 Negara Pemain Utama Dunia : Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta. Li, Y.R. and Y.A. Wei. 2006. Sugar Industry in China : R & D and Policy Initiatives Meet Sugar and Biofuel Demand of Future. Sugar Tech, 8(4): 203-216. Malian, A.H. dan Saptana. 2003. Dampak Peningkatan Tarif Gula terhadap Pendapatan Petani Tebu. Media SOCA (Socio Economic of Agriculture and Agribussines), 3(2): 107-124. Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas : Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Natsir, M. 2012. Atasi Masalah Gula, Pemerintah Harus Tegas. http://regional.kompas.com/read/2012/01/16/08141354/Atasi.Masalah.Gula. Pemerintah.Harus.Tegas. Diakses Tanggal 7 Juni 2012. 212 Nerlove, B. 1958. The Dynamics for Supply : Estimation of Farmers to Price. The John Hopkins Press, Baltimore. Oktaviani, R., T. Novianti, dan Widyastutik. 2010. Teori Kebijakan Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia Bagian II. Penerbit Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pambudy, R., S. Mardianto, dan N. Syafa’at. 2005. Kebijakan Proteksi dan Promosi Agribisnis Gula Dunia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Agro-Ekonomika, 35(1): 49-72. Pasaribu, D. 2010. ACFTA, Ancaman atau Peluang? http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/04/22/. Diakses tanggal 8 Maret 2012. Pindyck, R. S. and D.L Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forecasts. Fourth Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Purwanto, S. K. 2002. Dampak Kebijakan Domestik dan Faktor Eksternal terhadap Perdagangan Dunia Minyak Nabati. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2009. Outlook Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian. Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian, 1(1): 512. Renstrabun. 2010. Rencana Strategis Pembangunan Perkebunan 2010-2014. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementeriaan Pertanian, Jakarta. Samuelson, P. dan W. Nordhaus. 2003. Ilmu Mikroekonomi. PT Media Global Edukasi, Jakarta. Sanjaya, I.M. 2009. Proyeksi Penawaran Tebu Indonesia Tahun 2025: Analisis Respon Penawaran. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of The Indonesian Hardwood Product Industry : A Policy Simulation Analysis. Ph.D. Dissertation. University of The Philippines, Los Banos. Sitepu, R.K. dan B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika : Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmo Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soewandi, A. 2012. Petani dan PG Waspadai Harga Gula Turun. http://www.beritasatu.com/mobile/bisnis/34991-harga-gula-kemungkinanturun.html. Diakses tanggal 19 Maret 2012. 213 Sudana, W. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula terhadap Realokasi Sumberdaya Produksi Pangan dan Pendapatan Petani. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE), Bogor. Suparno. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Tata Niaga Gula Terhadap Kesejahteraan Petan Tebu di Indonesia (Simulasi Kebijakan Pra dan Pasca Liberalisasi Perdagangan Gula). Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supranto, J. 2004. Ekonometri. Buku Kedua. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Susila, W. dan B.M. Sinaga. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23(1): 30-53. Susila, W. 2005a. Dinamika Impor Gula Indonesia: Sebuah Analisis Kebijakan. Jurnal Agrimedia, 10(1): 12-27. ________. 2005b. Pengembangan Industri Gula Indonesia : Analisis Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryantoro, A. 2005. Model Respon Penawaran Produksi Gula Menghadapi Liberalisasi Perdagangan. Jurnal Dinamika Pembangunan, 2(1): 78-100. Tim Tarif Departemen Keuangan RI. 2011. ASEAN-China Free Trade Area. Badan Kebijakan Fiskal (Pusat Badan Kebijakan Pendapatan Negara), Jakarta. Tim Nasional Revitalisasi Industri Gula. 2009. Laporan P 75 H Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula 2010-2014. Kementerian Perindustrian, Jakarta. ________________________________. 2010. Laporan P 100 H Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula 2010-2014. Kementerian Perindustrian, Jakarta. Tweeten, L. 1992. Agricultural Trade : Principal and Policies. Westview Press, Inc, Colorado. United States Department of Agriculture. 2012. Sugar and Sweeteners Yearbook Tables. http://www.ers.usda.gov/Briefing/Sugar/Data.htm. Diakses tanggal 10 Maret 2012. Wibowo, R. 2009. Musim Giling Tebu 2009: Maniskah Gula Kita? Jurnal Agrimedia, 14(1): 56-63. Zhu, Q., E.A. Lowe, Y. Wei, and D. Barnes. 2007. Industrial Symbiosis in China : A Case Study of Guitang Group. Journal of Industrial Ecology, 11(1): 3142. 214 215 LAMPIRAN 216 216 Lampiran 1. Data dan Sumber Data Model Perdagangan Gula Indonesia Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 APTR 1 290470 303228 315649 236810 225787 238509 241169 254669 249933 259877 255934 262092 280504 276581 263157 304047 218201 195048 176733 171279 178887 196509 172015 184283 211479 213876 249487 252783 243219 243513 APTN 2 36722 43043 49152 85569 95079 69168 75926 92368 77378 71252 96625 105905 104460 107570 120162 79269 85086 83069 82106 64133 87687 79975 87251 78205 80383 87227 81655 82222 74185 76250 APTS 3 18996 17049 19572 19629 19363 18026 17823 18492 30441 32839 33745 36065 40689 44585 52718 63217 83591 98972 83372 105248 77867 74238 76459 82305 89924 95338 96657 101500 105549 114494 YGHR 4 3.15 4.53 3.93 5.90 6.42 6.57 7.23 6.18 6.49 6.19 6.30 6.31 6.01 6.05 5.13 4.97 5.48 3.89 4.18 4.62 4.55 4.92 4.88 5.58 5.64 5.74 6.07 6.08 5.46 5.32 YGHN 5 5.46 4.23 5.91 3.85 3.61 5.00 4.25 3.68 3.95 4.30 4.66 4.49 3.77 4.73 3.51 3.99 4.29 3.68 3.47 3.65 3.55 3.72 4.25 4.91 5.27 5.20 5.20 4.82 4.81 4.13 YGHS 6 6.11 4.21 4.52 4.24 5.45 5.60 6.14 4.84 5.95 6.22 5.63 4.94 6.18 6.09 5.44 4.20 7.54 4.28 5.64 6.32 7.72 6.61 5.52 7.76 6.95 6.58 7.08 7.25 7.90 5.94 QGKR 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 329547 439990 759708 1100228 1441501 1256435 2031843 2356805 REND 8 8.77 8.87 9.03 7.89 8.25 8.22 7.91 7.51 7.55 8.00 7.99 7.21 6.60 8.02 6.97 7.32 7.83 5.49 6.96 7.04 6.85 6.43 7.21 7.67 7.18 7.63 7.35 7.96 7.60 6.46 JPG 9 59 60 65 67 67 67 67 67 67 67 68 68 68 68 68 69 69 63 63 58 58 58 58 58 59 59 59 60 62 62 HRGP 10 5247.38 4729.73 4402.52 4264.39 4024.62 3891.94 4185.32 3889.94 4234.30 4284.77 4242.06 4512.82 4290.36 4122.85 4513.38 4053.40 3963.70 6563.16 4682.52 4416.51 4718.41 4100.53 3988.16 4548.78 5324.58 5369.26 4733.93 4028.98 4260.10 5364.04 HRGE 11 6431.78 5797.30 5735.85 5373.13 5009.47 4844.32 5192.48 4848.71 5243.47 5359.26 5404.43 5732.19 5433.37 5221.24 5302.28 4761.90 4641.09 7383.57 4944.75 4649.23 5656.05 4667.99 5540.98 5185.28 6375.57 5968.06 5578.33 4746.61 4953.81 6424.18 HRGPB 12 5839.58 5263.51 5069.18 4818.76 4517.05 4368.13 4688.90 4369.36 4738.88 4822.02 4823.25 5122.51 4861.86 4672.05 4907.83 4407.65 4302.39 6972.89 4708.75 4579.58 5187.23 4361.42 5061.11 4867.03 5850.08 5668.66 5156.13 4387.79 4606.96 5894.11 HRGB 13 2001.20 2000.68 1848.30 1669.72 1415.53 1609.16 1835.09 1866.72 1932.89 1974.49 1938.23 1965.70 1770.37 1989.90 2311.15 2103.83 2186.22 3398.49 2324.44 2016.46 1954.30 1912.29 2064.58 1969.57 2072.76 2372.49 2331.61 2155.91 1803.55 2181.73 217 Lampiran 1. Lanjutan Tahun HRPUK 14 1981 1081.11 1982 1106.62 1983 1144.28 1984 988.06 1985 949.53 1986 1087.73 1987 1159.27 1988 1116.64 1989 1227.73 1990 1330.65 1991 1366.81 1992 1416.47 1993 1510.51 1994 1570.64 1995 1650.64 1996 1728.35 1997 1831.19 1998 2167.97 1999 2038.58 2000 2297.96 2001 2257.00 2002 2028.40 2003 2054.90 2004 2029.42 2005 1932.03 2006 1803.30 2007 1605.43 2008 1326.86 2009 1090.79 2010 1157.75 HRKO 15 69487.26 62936.76 58865.79 50131.66 44743.09 43474.27 42702.86 36251.36 34490.83 28998.15 26910.25 28029.12 27950.05 49577.93 48697.87 40349.71 38549.59 107295.27 39284.04 35637.61 29462.60 32543.44 24392.87 24901.25 23400.79 21143.36 19655.84 22318.10 15757.65 16213.08 HRGM 16 7796.40 7544.59 8003.52 6910.77 7020.93 7346.61 6906.00 6645.46 6023.15 6896.57 6198.80 9496.70 6933.42 7555.28 8355.40 7494.84 7859.86 13279.06 7315.30 6982.86 6840.84 6167.74 7072.71 6974.45 6943.93 6552.62 6818.01 6305.68 5899.70 6996.22 URBUN HRKIN SBR DKKPE 17 18 19 20 7062.18 32.38 4.28 0 7092.51 28.24 6.45 0 7686.12 18.99 2.50 0 7113.68 20.26 7.08 0 6935.62 14.68 10.89 0 7151.75 15.38 5.20 0 7593.16 15.85 6.35 0 7716.49 12.86 9.71 0 7783.31 12.77 6.63 0 7827.21 12.06 1.83 0 8221.12 12.04 8.20 0 8320.09 11.17 10.93 0 8537.15 10.51 -0.44 0 8579.43 11.19 -0.61 0 9125.89 10.80 4.38 0 9206.02 9.79 6.58 0 9341.93 6.89 4.13 0 11954.23 6.97 -39.20 0 10346.67 3.37 10.50 0 10912.67 2.73 5.10 1 11942.42 2.36 5.03 1 12867.44 2.18 4.83 1 13183.59 2.15 4.70 1 14165.72 2.34 0.96 1 17332.21 1.95 -6.57 1 20696.32 1.89 5.38 1 21684.97 1.74 1.90 1 23528.48 1.61 -2.33 1 23014.21 1.33 4.37 1 23381.54 1.46 -0.46 1 CHJ STG 21 2235.37 1613.37 1639.48 2013.69 1809.17 2163.53 1962.09 2492.66 2677.38 2127.50 1628.44 1308.34 2093.23 1592.10 2605.62 2573.28 1057.65 979.86 1415.67 1930.14 2368.09 1950.17 2572.65 2169.92 1266.27 985.15 2389.99 2411.53 2206.24 2152.17 22 1944698 1239845 1474796 1239845 1305698 1147578 1169535 1339607 1058757 1117835 1132982 1172690 1361801 1388771 1036880 486404 488946 676532 1163737 600000 532331 460002 466701 593986 472219 708501 567194 1082231 1204295 510762 DGRT 23 1760300 1628000 1548456 1231772 1389409 1503606 1567938 1784295 1739748 1782383 1901732 1884176 2131476 2367443 2628706 2251683 2664094 2070473 2175471 2219111 2349406 2202601 2309570 2441279 2616480 2719956 2618697 2693559 3011971 2288025 DGIN 24 414170 428440 438060 463690 493890 523580 538410 542560 578630 600480 618000 550990 560380 561680 542230 815800 702850 654480 713700 770060 801460 797940 845918 904203 1373403 1532837 2084737 1647555 2280139 2519232 PDBR 25 667824.5 656746.7 741424.6 783571.6 771970.7 745705.1 917771.3 956290.7 1041000.6 1144512.6 1234800.2 1289109.6 1393713.9 1607992.0 1761682.2 1886532.1 2059368.1 2951678.5 2144562.4 2047125.3 2627992.7 2549445.0 2518667.4 2693999.3 3064149.7 3339216.8 3492965.4 4111572.3 4241501.1 4638155.8 PDBINR 26 43007.3 51195.3 62481.9 69749.8 70229.8 103508.2 126716.2 143191.8 154896.0 184918.7 212511.4 237283.7 267546.8 331517.0 380969.4 432984.8 500512.1 635344.7 488974.8 421813.4 494349.7 634676.3 614449.9 645481.3 686901.3 747444.4 783599.7 946053.6 959506.8 999598.5 218 Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 POPINA 27 154275429 157758440 161245684 164706919 168119209 171472345 174767379 178006800 181197879 184345939 187451800 190512441 193525648 196488446 199400339 202257039 205063468 207839287 210610776 213395411 216203499 219026365 221839235 224606531 227303175 229918547 232461746 234951154 237414495 239870000 ERINA 28 7873.92 7334.80 8993.96 9270.93 9087.20 9984.44 12132.35 11386.27 11033.62 10825.04 10629.75 10104.17 9672.36 9087.08 8728.68 7977.33 8851.71 29311.30 15115.05 13155.85 15907.32 13473.27 10690.43 10524.52 10712.39 9184.00 8087.70 8042.54 7879.20 6561.24 TGI 29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 10 10 10 0 0 0 0 0 25 25 25 25 25 25 28 28 28 24 28 CPINA 30 8.09 9.08 9.94 11.11 12.27 12.85 13.60 14.86 16.06 17.09 18.42 20.16 21.67 23.77 25.80 28.23 30.48 32.38 51.28 61.79 64.09 71.46 79.95 85.22 90.54 100.00 113.11 120.36 132.12 138.48 WPINA 31 6.67 7.40 7.95 9.38 10.56 10.92 11.17 13.22 14.17 15.17 16.69 17.55 18.46 19.21 20.18 22.47 24.24 26.41 53.39 58.87 66.23 75.60 77.73 79.34 86.11 100.20 113.69 130.43 165.63 162.62 ERITH 32 262.052 300.661 336.016 355.536 371.638 402.335 425 430.013 435.866 445.29 418.024 396.032 381.495 361.17 348.915 325.151 302.723 756.949 402.867 336.656 358.153 301.777 257.248 259.88 265.783 241.22 248.519 241.201 227.134 204.874 ERICN 33 711.74 813 906.04 956.89 998.78 1080.08 1139.93 1152.56 1167.56 1192.22 1194.3 1171.78 1671.07 1062.18 1041.55 991.6 1143.93 3768.59 1841.97 1636.74 1927.46 1568.91 1290.82 1264.18 1306.54 1147.32 1059.57 1154.17 1149.21 964.76 MFITH 34 18700 55425 50754 0 0 0 0 0 0 12308 0 11116 29448 61984 253212 497845 358594 16500 174931 215559 53255 127046 220761 416110 332942 84926 425817 514267 60145 114361 MFICN 35 35500 0 0 1 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 19300 35591 30252 816 4405 13356 18 16019 23018 3500 201 250 299 MFINA 36 483220 685655 163699 250 943 48161 129756 2233 2085 19848 13869 35503 57525 103570 334998 684848 577346 109141 587373 430558 239801 304560 461107 577114 716133 598138 712789 603719 97334 191343 HRGINA 37 7483.75 5501.79 8891.53 5536.63 4583.11 1418.23 2920.96 4659.27 5888.49 7081.59 4698.14 4057.87 3766.21 4066.67 5049.93 4217.76 4459.27 10924.53 3218.57 2734.61 3668.69 2913.23 2650.64 2892.15 3828.46 4262.22 3089.11 2808.86 3381.57 3869.34 MWITH 38 0 0 0 0 0 0 0 0 165227 73708 19540 257214 98480 40 8500 58900 322365 459520 568672 671392 650316 362056 323067 372388 388212 101050 718634 310635 557130 333479 MWICN 39 0 0 0 0 0 0 0 0 41457 49100 0 8200 33839 0 48114 100740 0 61208 87724 24843 29152 42322 0 11 3 0 0 0 0 0 218 Lampiran 1. Lanjutan 219 Lampiran 1. Lanjutan Tahun XFTH 41 19485 111284 190856 64429 152880 277492 149181 198551 416956 639657 988143 1280720 538186 708762 958614 1485930 1582390 927588 1271680 1765740 1027470 1969830 2574710 2364830 1457760 994575 2316750 2034040 2704450 2362118 XWBR 42 1785210 1619840 1720830 1847670 1355920 1234390 1100580 984320 549380 926121 978224 1345870 2132980 2716980 4800100 4090400 3844220 4788980 7826980 4346080 7089870 7630320 8353680 9565750 11579000 12806900 12443200 13624600 17925500 12684238 XWTH 43 1099150 2094960 1346040 1177530 1703560 1683150 1876590 1656610 2544740 1730750 1912330 2476630 1680800 1902060 2800620 2966950 2449850 1359250 1997630 2321690 2218290 2063350 2551310 2235210 1583630 1244130 2091590 2977770 2348120 2381898 QWBR 44 8423300 9312400 9576300 9331900 8273800 8650000 8458400 8683000 7793400 7935000 9348000 9986000 10038000 12618000 13594000 14775000 15975000 19232000 20955000 17100000 20400000 23810000 26400000 28150000 29500000 32166000 31279800 32085300 34636900 39872000 QWTH 45 1641000 2930000 2305000 2349000 2572000 2586000 2637000 2704000 4051850 3505790 4054650 5106000 3792000 3974000 5202000 6085000 6188000 4325100 5478700 5520080 4920280 6141050 7302790 6988940 5174440 4835040 6719780 7816540 7186590 6928710 QWCN 46 4231996 4976823 4543052 5364233 6268598 6350004 5226870 5991066 6338148 7396680 9022665 8920358 6980687 6409459 7213579 7764591 9122916 10047803 7720445 7021034 9471200 11797917 11058177 9976900 9666400 13097791 16199630 13576980 11726600 11430000 QWUS 47 5643500 5261650 5106500 5363250 5473020 6075400 6650500 6264000 6003000 6344000 6628000 7110000 6945000 7192000 6686000 6537000 7276000 7598000 8202000 7955000 7171000 7645000 7846000 7144000 6712000 7662000 7396000 6833000 7081000 7104000 QWIN 48 5595000 9170000 8948000 6410000 6630000 7507000 9099000 9748000 9365000 11757000 12891000 14341000 12447000 11704000 16410000 18225000 14616000 14592000 17436000 20219000 20480000 20475000 22140000 15150000 14170000 21140000 30780000 28630000 15950000 20637000 MFIN 49 195992 12000 0 321683 1638700 930690 513419 319 134321 12000 0 0 284 1669490 150632 1123 128414 547229 699205 2759 26578 36582 81 181 5070 844 527 129 513244 71881 MFUS 50 4416 30108 19405 48077 41666 39019 51271 31629 28495 56854 72851 86204 87988 118622 56774 76788 69152 68033 84038 70820 65565 132627 81745 103152 337667 956192 245639 916856 727594 450914 MFCN 51 25000 120337 389061 32669 39993 68259 66416 357547 101133 173356 94684 21554 31482 67612 382245 50122 99270 118769 123323 122527 207274 165253 190289 331605 349135 371034 450460 416246 281282 313281 219 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 XFBR 40 915946 1090000 782713 1211910 1192310 1196150 1095000 781200 503920 611216 677296 1056770 903891 689936 1439070 1288500 2527750 3575270 4273260 2158350 4083340 5724010 4560730 6198180 6568080 6063240 6915800 5847940 6368560 6325018 220 220 Lampiran 1. Lanjutan Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 MWIN 52 0 0 0 0 0 0 124998 0 0 0 2593 1343 164 111285 0 1006 218473 353938 481748 28201 0 4845 74322 932255 553698 207 383 385806 2037820 556727 MWUS 53 4580760 2545040 2682670 3080150 2525840 1940660 1329230 1212490 1682760 1785250 1804960 1837020 1689200 1486090 1602480 2720610 2877870 1959870 1613630 1336190 1272750 1274640 1439910 1418070 1750340 1963200 1701940 1699130 1783710 1309936 MWCN 54 1003600 2041100 1445000 1198030 1868730 1114230 1760280 3351390 1480230 958873 968055 1130440 498665 1544430 2665056 1328681 890198 606804 546739 886813 1382689 1387743 1033581 1448019 1651393 1548006 971115 799570 1353726 1078254 MWW 55 18741047 19889344 18265582 18726175 17925341 17293150 17620066 17972548 18011338 17018316 16466489 17283508 15637424 15777933 17943588 20825902 20721627 20517053 22822114 21077981 22915137 22075271 23055695 22488723 25567344 25067196 26892357 25220615 24758997 24893881 CGIN 56 5241631 8160718 7673989 6064789 7689226 7827647 8978779 8959783 8718096 10801408 11690450 12800250 11266974 12487614 14879956 16118996 13607340 14284181 17169092 18304490 17444465 17224581 19259623 14692379 13234522 17835380 18509791 18803296 19293435 19783575 CGUS 57 8147300 7640520 7361076 7049076 6411819 6490891 6794808 6819330 6961761 7213403 7220413 7397041 7436923 7583322 7679355 7862382 8205574 8300015 8559237 8112861 8033607 8624634 8818227 9144340 9295257 9307500 9297963 8770827 8861678 8952529 CGCN 58 4543795 5944158 5432815 5969909 6872858 6512517 7187350 8263164 7299234 7496909 8558724 7692420 5815800 6564452 7669597 8672618 9808219 9608339 7433448 6925362 7334164 7019662 7688950 7502460 7623354 7816650 10153515 8341995 8437172 8532349 ERBR 59 0.12 0.11 0.10 0.09 0.08 0.08 0.07 0.07 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.04 3.72 3.54 3.54 3.58 3.53 2.96 3.64 4.02 3.80 3.43 2.68 2.17 1.72 1.52 1.51 1.26 ERTH 60 51.76 51.83 49.97 50.92 57.11 54.31 51.81 49.08 47.34 44.52 42.00 40.34 38.84 36.61 34.28 32.97 38.22 46.94 43.00 44.94 48.97 46.98 44.55 42.02 40.21 36.18 29.95 29.00 30.47 27.27 ERIN 61 50.09 50.70 48.39 50.24 51.84 48.59 45.91 45.08 50.89 50.36 57.47 58.60 66.67 60.50 56.71 56.81 54.38 54.55 54.41 54.52 55.23 54.48 50.30 47.12 43.98 42.56 36.61 35.65 35.70 30.10 ERCN 62 10.83 12.39 12.90 13.59 13.35 12.39 11.55 10.93 10.84 11.44 11.34 11.15 12.71 11.63 9.74 8.99 8.72 8.78 8.88 8.86 8.79 8.86 8.76 8.43 8.28 8.16 7.66 7.07 6.84 6.15 IRTH 63 39476772126 41589706661 43912159722 46438174779 48596267188 51285501317 56167342577 63630922388 71387853266 79359850156 86151673510 93115648058 100798662359 109857624323 120005700844 127087651039 125344804675 112171099813 117160062361 122725247706 125385028151 132052469496 141480983231 150456640790 157384716142 165400160325 173743467322 178059776977 173911253778 187494613811 221 Lampiran 1. Lanjutan IRBR IRIN IRUS IRCN 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 64 411470658991 413858199197 399746489304 420809704088 454246661387 490533225221 508190603692 507668830626 524317621032 501771963327 509359093915 506980820289 530632240834 558938074183 583625429866 596173376608 616293863303 616527313475 618073920864 644701831101 653149809199 670512665737 678217761979 716959543489 739613124999 768867489436 815703390474 857885609996 855069617297 919487274118 65 170690606911 176623357074 189497244409 196737437362 207074611006 216965662681 225569122810 247286428288 261993401183 276490686996 279412727485 294731239741 308733261390 329291574837 354233738304 380976693190 396405566741 420920935324 456543772248 474691627708 498161456345 517627284474 558747568021 602602553782 658553437817 719561619358 790088337362 820830424070 888452309192 973324950212 66 5272895704466 5168479293070 5401885901722 5790542060028 6028650512184 6235265484267 6432742911428 6696489717783 6935219168138 7063943223309 7045490705407 7285373438130 7494649831064 7803019793692 8001916645307 8304875052204 8679070823886 9061073430064 9502248293168 9898800000000 10007031114616 10189959441124 10450068972316 10813707774621 11146296666995 11442690235793 11660926745593 11619053724200 11209194913112 11547905073444 67 192454058701 209967378043 232853822250 268247603232 304461029668 331253600279 369679017911 411452746935 428322309560 444598557323 485501624597 554442855290 632064855030 714865351039 792785674302 872064241732 953166216214 1027513181078 1105604182840 1198474934199 1297948353737 1416061653927 1557667819320 1714992269071 1908786395477 2151202267702 2456672989716 2692513596728 2940224847627 3246008231781 POPTH 68 48460289 49422519 50379788 51346204 52328663 53339762 54368583 55370526 56284973 57072058 57711519 58225969 58671177 59126690 59650157 60258113 60933752 61660383 62408639 63155029 63898879 64642931 65370277 66060383 66698483 67276383 67796451 68267982 68706122 69122000 POPBR 69 124588432 127514673 130459023 133380123 136246764 139049440 141791325 144470377 147088677 149650206 152146887 154582103 156985824 159398558 161848162 164342524 166869168 169409713 171936271 174425387 176877135 179289227 181633074 183873377 185986964 187958211 189798070 191543237 193246610 194946000 POPIN 70 716493309 733151769 750033539 767146806 784490842 802051806 819800055 837699675 855707358 873785449 891910180 910064576 928226051 946373316 964486155 982553253 1000558144 1018471141 1036258683 1053898107 1071374264 1088694080 1105885689 1122991192 1140042863 1157038539 1173971629 1190863679 1207740408 1224615000 POPUS 71 229466000 231664000 233792000 235825000 237924000 240133000 242289000 244499000 246819000 249623000 252981000 256514000 259919000 263126000 266278000 269394000 272657000 275854000 279040000 282162411 284968955 287625193 290107933 292805298 295516599 298379912 301231207 304093966 306771529 309349000 POPCN 72 993885000 1008630000 1023310000 1036825000 1051040000 1066790000 1084035000 1101630000 1118650000 1135185000 1150780000 1164970000 1178440000 1191835000 1204855000 1217550000 1230075000 1241935000 1252735000 1262645000 1271850000 1280400000 1288400000 1296075000 1303720000 1311020000 1317885000 1324655000 1331380000 1338300000 STBR 73 236252 -360402 -988316 56922 449717 472476 409700 -218288 184481 1091146 -82916 483790 1199104 -510183 1548128 -400939 -95018 -1155661 99153 -961039 723311 -176565 -2999437 -1429864 -166263 -2031131 -1914339 -1053216 -1116218 -1179221 221 Tahun 222 222 Lampiran 1. Lanjutan Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 STTH 74 86793 -86554 -87891 -346322 16312 127660 261810 55222 -60756 -12287 -31350 13587 -188834 119583 231951 171015 -240452 -103443 -275518 234263 -153641 -270511 -211212 -223316 -110742 -267572 129248 -127335 -132854 -138372 STUS 75 -263369 523672 439862 -448900 -459150 -506859 -46933 170041 281056 157344 -56321 -453813 -280733 -102316 442496 -425954 -1080635 -463313 -479510 -466546 256755 373699 213850 1189828 1177897 -379753 874042 -127335 -132854 -138372 STCN 76 -128 -320760 -356145 -41144 -417723 -115719 1043067 -556418 339370 57415 -489463 -24960 630755 -2317 -1462198 734816 728988 -148357 -714 -63659 10901 -433263 -1502809 -537738 918251 481167 -1212845 -168639 -176641 -184642 HGW 77 2053.93 1020.21 792.97 474.02 436.33 496.43 508.22 626.45 780.84 760.31 579.58 502.09 501.43 523.36 557.43 480.81 387.42 295.26 224.13 237.17 259.66 231.32 208.86 226.32 263.75 363.89 255.52 267.13 360.67 433.20 CPIBR 78 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.06 1.28 27.75 46.06 53.32 57.01 58.84 61.70 66.04 70.56 76.52 87.78 93.57 100.00 104.18 107.97 114.09 119.66 125.69 CPITH 79 42.16 44.38 46.03 46.43 47.56 48.43 49.64 51.53 54.29 57.48 60.76 63.27 65.37 68.67 72.67 76.88 81.21 87.70 87.95 89.35 90.81 91.44 93.09 95.66 100.00 104.64 107.02 112.80 111.83 115.54 CPIIN 80 17.29 18.66 20.87 22.61 23.86 25.95 28.23 30.88 31.89 34.75 39.57 44.23 47.05 51.85 57.15 62.28 66.74 75.58 79.10 82.28 85.31 89.05 92.44 95.93 100.00 106.15 112.91 122.34 135.64 151.91 CPIUS 81 46.55 49.41 51.00 53.20 55.10 56.12 58.22 60.55 63.48 66.90 69.74 71.85 73.97 75.90 78.03 80.32 82.19 83.47 85.30 88.18 90.67 92.11 94.20 96.72 100.00 103.23 106.17 110.25 109.85 111.66 CPICN 82 19.21 21.39 23.57 25.75 27.93 30.11 32.29 38.34 45.37 46.75 48.41 51.48 58.99 73.28 85.67 92.80 95.40 94.60 93.27 93.50 94.18 93.46 94.54 98.21 100.00 101.46 106.28 112.52 111.72 115.43 CPIW 83 19.97 22.27 28.75 32.53 31.13 34.14 34.42 38.34 43.94 45.55 46.27 49.35 51.03 59.84 64.55 69.21 73.95 78.48 81.18 84.11 86.97 89.52 93.22 96.05 100 104.46 109.6 119.51 122.73 128.25 223 Sumber Data : 1. Statistik Perkebunan Tebu 2011 : Variabel nomor 1-6 2. Dewan Gula Indonesia (DGI) : Variabel nomor 7, 8, 9, 25 3. Neraca Bahan Makanan, Badan Ketahanan Pangan : Variabel nomor 24 4. Badan Pusat Statistik (BPS) : Variabel nomor 10-18, 22, 26, 27, 28. 5. Buku Tarif, Kementerian Keuangan : Variabel nomor 29 6. Food Agricultural Organization (FAO) : Variabel nomor 19, 34-76. 7. London International Financial Futures and Options Exchange (LIFFE) : Variabel nomor 77 8. Bank Indonesia (BI) : Variabel nomor 20 9. World Bank (WB) : Variabel nomor 30, 31, 63-67, 78-83 10. International Monetary Fund (IMF) : Variabel nomor 32, 33, 60, 61, 62, 63. Catatan : Apabila pada series variabel terdapat data yang tidak tersedia diantara tahun maka dilakukan interpolasi data, sedangkan apabila data tidak tersedia di awal atau diakhir tahun maka dilakukan ekstrapolasi data. Interpolasi dan ekstapolasi data dilakukan menggunakan regresi sederhana dengan trend variable. 224 Lampiran 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Perdagangan Gula Indonesia Blok 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Pasar 11. Gula Indonesia 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Pasar 26. Gula 27. Dunia 28. 29. 30. Persamaan Luas Areal perkebunan tebu Negara Luas Areal perkebunan tebu Swasta Luas Areal perkebunan tebu Negara Produktivitas tebu Negara Produktivitas tebu Swasta Produktivitas tebu Rakyat Produksi GKP Negara Produksi GKP Swasta Produksi GKP Rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia Permintaan gula rumah tangga Permintaan gula industri Permintaan Indonesia Penawaran gula Indonesia Harga riil gula tingkat petani Harga riil gula pedagang besar Harga gula eceran Indonesia Harga riil impor gula Indonesia Impor gula Indonesia dari Thailand Impor gula Indonesia dari China Impor gula Indonesia Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India Impor gula Amerika Serikat Impor gula China Harga riil gula dunia Ekspor gula dunia Impor gula dunia Struktural/ Identitas APTN Struktural APTS Struktural APTR Struktural YGHR Struktural YGHS Struktural YGHN Struktural QGKPN Identitas QGKPS Identitas QGKPR Identitas QGKP Identitas QGINA Identitas DGRT Struktural DGIN Struktural DGINA Struktural SGINA Identitas HRGP Struktural HRGPB Struktural HRGE Struktural HRGINA Struktural MGITH Struktural MGICN Struktural MGINA Identitas XGBR Struktural XGTH Struktural MGIN Struktural MGUS Struktural MGCN Struktural HRGW Struktural XGW Identitas MGW Identitas Notasi 225 Lampiran 3. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen dalam Model Perdagangan Gula Indonesia A. Variabel Endogen 1. APTNt = Luas areal panen perkebunan besar negara (ha) 2. APTRt = Luas areal panen perkebunan besar rakyat (ha) 3. APTSt = Luas areal panen perkebunan besar swasta (ha) 4. DGIN t = Permintaan gula industri (ton) 5. DGINAt = Permintaan gula Indonesia (ton) 6. DGRTt = Permintaan gula Indonesia (ton) 7. HRGE = Harga riil eceran gula (Rp/kg) yang telah dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar Indonesia (2005=100) 8. HRGINAt = Harga impor riil gula Indonesia (Rp/kg) yang telah dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar Indonesia (2005=100) 9. HRGPBt = Harga riil gula tingkat pedagang besar (Rp/kg) yang telah dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar Indonesia (2005=100) 10. HRGPt = Harga riil gula tingkat petani (Rp/kg) yang telah dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar (2005=100) 11. HRGWt = Harga riil gula dunia (US$/ton) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen dunia (2005=100) 12. MGCNt = Impor gula China (ton) 13. MGICNt = Impor gula Indonesia dari China (ton) 14. MGINAt = Impor gula Indonesia (ton) 15. MGINt = Impor gula India (ton) 16. MGITHt = Impor gula Indonesia dari Thailand (kg) 17. MGUSt = Impor gula Amerika Serikat (ton) 18. MGWt = Impor gula dunia (ton) 19. QGINAt = Produksi gula Indonesia (ton) 20. QGKPNt = Produksi gula kristal putih perkebunan besar negara (ton) 21. QGKPRt = Produksi gula kristal putih perkebunan rakyat (ton) 22. QGKPSt = Produksi gula kristal putih perkebunan besar swasta (ton) 23. QGKPt = Produksi gula kristal putih Indonesia (ton) 24. SGINAt = Penawaran gula Indonesia (ton) 25. XGBRt = Ekspor gula Brazil (ton) 226 26. XGTHt = Ekspor gula Thailand (ton) 27. XGWt = Ekspor gula dunia (ton) 28. YGHNt = Produktivitas gula hablur perkebunan besar negara (ton/ha) 29. YGHRt = Produktivitas gula hablur perkebunan rakyat (ton/ha) 30. YGHSt = Produktivitas gula hablur perkebunan besar swasta (ton/ha) B. Variabel Eksogen 1. CGCNt = Konsumsi gula China (ton) 2. CGUSt = Konsumsi gula Amerika Serikat (ton) 3. CHJt = Curah hujan Indonesia (mm/tahun) 4. DHPPt = Dummy Kebijakan HPP Gula, dimana D = 1 jika ada kebijakan HPP dan D = 0 jika tidak ada kebijakan HPP 5. DKKPEt = Dummy Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) untuk bongkar ratoon, dimana D = 1 jika ada KKPE dan D = 0 jika tidak ada KKPE 6. ERBRt = Nilai tukar Brazil terhadap Dollar Amerika (R$/US$) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Brazil (2005=100) 7. ERCNt = Nilai tukar China terhadap Dollar Amerika (Yuan/US$) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen China (2005=100) 8. ERICNt = Nilai tukar Indonesia terhadap China (Rp/Yuan) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia (2005=100) 9. ERINAt = Nilai tukar Indonesia terhadap Dollar Amerika (Rp/US$) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia dan USA (2005=100) 10. ERINt = Nilai tukar India terhadap Dollar Amerika (Rupee/US$) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen India (2005=100) 11. ERITHt = Nilai tukar Indonesia terhadap Thailand (Rp/Bath) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia (2005=100) 12. ERTHt = Nilai tukar Thailand terhadap Dollar Amerika (Bath/US$) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Thailand (2005=100) 13. HRGBt = Harga riil gabah yang telah dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar Indonesia (2005=100) 14. HRGMt = Harga riil gula merah yang telah dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar Indonesia (2005=100) 227 15. HRKINt = Harga riil komposit produk makanan dan minuman (US$/kg) yang telah dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar Indonesia (2005=100) 16. HRKOt = Harga riil kopi yang telah dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar Indonesia (2005=100) (Rp/kg) 17. IRCNt = Pendapatan riil China (US$) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen China (2005=100) 18. IRINt = Pendapatan riil India (US$)yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen India (2005=100) 19. JIMt = Jumlah industri makanan dan minuman (unit) 20. JPGt = Jumlah pabrik gula (unit) 21. PDBINRt = Produk Domestik Bruto riil Sektor Industri Makanan dan Minuman (Rp miliar) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia (2005=100) 22. PDBRt = Produk Domestik Bruto riil Indonesia (Rp miliar) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia (2005=100) 23. POPCNt = Populasi China (jiwa) 24. POPINAt = Jumlah penduduk Indonesia (jiwa) 25. POPINt = Populasi penduduk India (jiwa) 26. QGCNt = Produksi gula China (ton) 27. QGINt = Produksi gula India (ton) 28. QGKRt = Produksi gula kristal rafinasi Indonesia (ton) 29. QGTHt = Produksi gula Thailand (ton) 30. QGUSt = Produksi gula Amerika Serikat (ton) 31. RENDt = Rendemen tebu Indonesia (%) 32. SBRt = Suku bunga BI riil (%) yaitu suku bunga BI nominal dikurangi dengan tingkat inflasi 33. STCNt = Stok gula China (ton) 34. STGt = Stok gula Indonesia (ton) 35. STUSt = Stok gula Amerika Serikat (ton) 36. T = Tren waktu (1981=1, 1982=2, ..…., 2010=30) 37. TIGt = Tarif impor gula Indonesia (%) 38. URBUNt = Upah riil pekerja sektor perkebunan (Rp/hari) yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen (2005=100) Keterangan : subscript t menunjukkan tahun t 228 Lampiran 4. Program Estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 /*Program Estimasi*/ OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA GULA; SET ANALISIS; *Make Nominal Data Real*/ ERINA = (EINA/CPINA)*100; ERITH = (EITH/CPINA)*100; ERICN = (EICN/CPINA)*100; ERBR = (EBR/CPIBR)*100; ERTH = (ETH/CPITH)*100; ERIN = (EIN/CPIIN)*100; ERCN = (ECN/CPICN)*100; HRGB = (HGB/WPINA)*100; HRGE = (HGE/WPINA)*100; HRGM = (HGM/WPINA)*100; HRGP = (HGP/WPINA)*100; HRGPB = (HGPB/WPINA)*100; HRKO = (HKO/WPINA)*100; HRPUK = (HPUK/WPINA)*100; URBUN = (UBUN/CPINA)*100; SBR = SB-INF; PDBR = (PDB/CPINA)*100; PDBINR = (PDBIN/CPINA)*100; HRGIIN = (HGINA/WPINA)*100; HRKIN = (HKIN/WPINA)*100; HRGW = (HGW/CPIW)*100; HRGINA = HRGIIN*EINA/1000; /*create QGHN QGHS QGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGINA QGBR QGTH QGCN QGIN QGUS MGITH MGICN XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN MGIW data*/ = APTN*YGHN; = APTS*YGHS; = APTR*YGHR; = QGHN*1.003; = QGHS*1.003; = QGHR*1.003; = QGKPN+QGKPS+QGKPR; = QGKP+QGKR; = DGRT+DGIN; = QWBR/1.087; = QWTH/1.087; = QWCN/1.087; = QWIN/1.087; = QWUS/1.087; = MFITH + (MWITH/1.087); = MFICN + (MWICN/1.087); = XFBR + (XWBR/1.087); = XFTH + (XWTH/1.087); = MFIN + (MWIN/1.087); = MFUS + (MWUS/1.087); = MFCN + (MWCN/1.087); = MFINA + (MWINA/1.087); 229 XGTW MGTW MGIRW MGINA MGRW XGRW XGW MGW = = = = = = = = /*Make Lag LSBR = LAPTN = LAPTS = LAPTR = LHRGPB = LHRGB = LHRGE = LJPG = LHRPUK = LURBUN = LYGHR = LYGHS = LHRGM = LPDBR = LDGRT = LHRKIN = LJIM = L2PDBIN = LDGIN = LQGINA = LHRGP = LHRGW = LHRGINA = LERICN = LSTG = LXGBR = LERTH = LPOPIN = LERIN = LMGUS = LPOPCN = LMGCN = LMGITH = LERBR = /*Create SGINA LSGINA SHRGPB RHRGPB RHRGB SHRPUK RHPUK HGPUK RHRGM LJPDBR SHRKIN XFW + (XWW/1.087); MFW + (MWW/1.087); MGIW - (MGITH + MGICN); MGITH + MGICN + MGIRW; MGTW - (MGIN+MGUS+MGCN+MGINA); XGTW - (XGBR+XGTH); XGBR + XGTH + XGRW; MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; Variables*/ LAG(SBR); LAG(APTN); LAG(APTS); LAG(APTR); LAG(HRGPB); LAG(HRGB); LAG(HRGE); LAG(JPG); LAG(HRPUK); LAG(URBUN); LAG(YGHR); LAG(YGHS); LAG(HRGM); LAG(PDBR); LAG(DGRT); LAG(HRKIN); LAG(JIM); LAG2(PDBINR); LAG(DGIN); LAG(QGINA); LAG(HRGP); LAG(HRGW); LAG(HRGINA); LAG(ERICN); LAG(STG); LAG(XGBR); LAG(ERTH); LAG(POPIN); LAG(ERIN); LAG(MGUS); LAG(POPCN); LAG(MGCN); LAG(MGITH); LAG(ERBR); Data Baru*/ = QGINA+MGINA+LSTG; = LAG(SGINA); = HRGPB-LHRGPB; = HRGPB/LHRGPB; = HRGB/LHRGB; = HRPUK-LHRPUK; = HRPUK/LHRPUK; = HRGP/HRPUK; = HRGM/LHRGM; = (PDBR-LPDBR)/LPDBR; = HRKIN-LHRKIN; 230 LJJIM RQGINA SHRGINA SERICN SPOPIN SSTG SERBR SERTH LJPOPIN LJPOPCN SERIN SHRGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW = = = = = = = = = = = = = = = = = = (JIM-LJIM)/LJIM; QGINA/LQGINA; HRGINA-LHRGINA; ERICN-LERICN; POPIN-LPOPIN; STG-LSTG; ERBR-LERBR; ERTH-LERTH; (POPIN-LPOPIN)/LPOPIN; (POPCN-LPOPCN)/LPOPCN; ERIN-LERIN; HRGW-LHRGW; (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; MGITH*(HRGINA*1000); MGICN*(HRGINA*1000); MGIRW*(HRGINA*1000); /*Make Description of Variables*/ label APTN = 'Luas Areal Perkebunan Besar Negara' APTS = 'Luas Areal Perkebunan Besar Swasta' APTR = 'Luas Areal Perkebunan Rakyat' YGHN = 'Produktivitas gula hablur negara' YGHS = 'Produktivitas gula hablur swasta' YGHR = 'Produktivitas gula hablur rakyat' QGINA = 'Produksi gula Indonesia' SGINA = 'Penawaran gula Indonesia' DGINA = 'Permintaan gula Indonesia' DGRT = 'Permintaan gula RT' LDGRT = 'Permintaan gula RT t-1' DGIN = 'Permintaan gula industri' LDGIN = 'Permintaan gula industri t-1' HRGPB = 'H.r gula pdg.besar' LHRGPB = 'H.r gula pdg.besar t-1' SHRGPB = 'Perubahan H.r gula pdg.besar' HRGE = 'H.r gula eceran' HRGB = 'H.r gabah' RHRGB = 'Rasio H.riil gabah' HRGP = 'H.r gula petani' LHRGP = 'H.r gula petani t-1' HRKIN = 'H.r produk mamin' HRPUK = 'H.r pupuk' HGPUK = 'Rasio H.r gula thd H.r pupuk' SHRPUK = 'Perubahan H.r pupuk' RHPUK = 'Rasio H.r pupuk' RHRGM = 'Rasio H.r gula merah' HRKO = 'H.r kopi' MGITH = 'Impor gula dari Thailand' LMGITH = 'Impor gula dari Thailand t-1' MGICN = 'Impor gula dari China' HRGINA = 'H.r impor gula Ina' LHRGINA = 'H.r impor gula Ina t-1' SHRGINA = 'Perubahan H.riil impor gula Ina' XGBR = 'Ekspor gula Brazil' LXGBR = 'Ekspor gula Brazil t-1' XGTH = 'Ekspor gula Thailand' 231 MGIN MGUS LMGUS MGCN LMGCN HRGW LHRGW SHRGW XGW MGW CHJ CGUS DKKPE DHPP ERBR SERBR ERITH SERTH LJPDBR SERICN SERIN IRCN IRIN JPG POPINA LJPOPIN LJPOPCN QGBR QGTH QGIN QGCN QGUS REND STCN STUS STG LSTG SSTG SBR LSBR TIG T LJJIM L2PDBIN RQGINA LAPTN LAPTS LAPTR LYGHN LYGHS LYGHR URBUN LURBUN RUN; = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = 'Impor gula India' 'Impor gula USA' 'Impor gula USA t-1' 'Impor gula China' 'Impor gula China t-1' 'H.r gula dunia' 'H.r gula dunia t-1' 'Perubahan H.r gula dunia' 'Ekspor gula dunia' 'Impor gula dunia' 'Curah hujan' 'Konsumsi gula USA' 'Dummy KKPE' 'Dummy HPP' 'Nilai tukar riil Brazil' 'Perubahan Nilai tukar riil Brazil' 'Nilai tukar riil Ina thdp Thai' 'Perubahan Nilai tukar riil Thailand' 'Pertumbuhan PDB riil Ina' 'Perubahan nilai tukar Ina thd China' 'Perubahan nilai tukar India' 'GDP riil China' 'GDP riil India' 'Jumlah pabrik gula' 'Populasi Ina' 'Pertumbuhan Penduduk India' 'Pertumbuhan Penduduk China' 'Produksi gula Brazil' 'Produksi gula Thailand' 'Produksi gula India' 'Produksi gula China' 'Produksi gula USA' 'Rendemen tebu' 'Stok gula China' 'Stok gula USA' 'Stok gula Ina' 'Stok gula Ina t-1' 'Perubahan Stok gula Ina' 'Suku bunga BI riil' 'Suku bunga BI riil t-1' 'Tarif impor gula' 'Tren waktu' 'Pertumbuhan industri mamin' 'PDB riil sektor mamin t-2' 'Rasio produksi gula Ina' 'APTN t-1' 'APTS t-1' 'APTR t-1' 'YGHN t-1' 'YGHS t-1' 'YGHR t-1' 'Upah riil pekerja perkebunan' 'Upah riil pekerja perkebunan t-1'; 232 PROC SYSLIN 2SLS DATA=GULA OUTEST=HASIL; ENDOGENOUS APTN APTS APTR YGHR YGHS YGHN QGHN QGHS QGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGINA DGRT DGIN SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW; INSTRUMENTS CGCN CGUS CHJ DKKPE DHPP ERITH ERBR ERTH HRPUK HRKO IRIN IRCN PDBR JPG HRGB HRGM ERICN XGRW MGRW POPIN ERIN POPCN STG MGIRW POPINA QGBR QGTH JIM PDBINR QGIN QGUS QGCN QGKR REND SBR STCN STUS T TIG URBUN HRKIN; /*STRUCTURAL EQUATIONS*/ ARL_NEG : MODEL APTN = HRGPB HRGB JPG LSBR T LAPTN/DW; ARL_SWA : MODEL APTS = SHRGPB RHRGB JPG SBR T LAPTS/DW; ARL_RAK : MODEL APTR = HRGP HRGB JPG SBR T LAPTR/DW; YLD_NEG : MODEL YGHN = HRGPB SHRPUK LAPTN REND LURBUN T/DW; YLD_SWA : MODEL YGHS = SHRGPB RHPUK LAPTS CHJ REND URBUN LYGHS/DW; YLD_RAK : MODEL YGHR = HGPUK LAPTR URBUN DKKPE REND LYGHR/DW; DEMANDRT : MODEL DGRT = HRGE RHRGM HRKO LJPDBR POPINA LDGRT/DW; DEMANDIN : MODEL DGIN = LHRGPB HRKIN LJJIM L2PDBIN LDGIN/DW; HRG_PET : MODEL HRGP = HRGPB RQGINA DHPP T LHRGP/DW; HRG_GPB : MODEL HRGPB = HRGE T LHRGPB/DW; HRG_ECR : MODEL HRGE = HRGINA DGINA SGINA/DW; HRG_INA : MODEL HRGINA = HRGW T LHRGINA/DW; IMP_TH : MODEL MGITH = HRGINA QGINA ERITH LSTG TIG T LMGITH/DW; IMP_CN : MODEL MGICN = SHRGINA QGINA TIG SERICN SSTG T/DW; EKS_BR : MODEL XGBR = HRGW QGBR SERBR LXGBR/DW; EKS_TH : MODEL XGTH = HRGW QGTH SERTH T/DW; IMP_IND : MODEL MGIN = HRGW QGIN LJPOPIN SERIN IRIN T/DW; IMP_USA : MODEL MGUS = SHRGW QGUS CGUS STUS LMGUS/DW; IMP_CHN : MODEL MGCN = LHRGW QGCN CGCN STCN IRCN LJPOPCN LMGCN/DW; HRG_WRD : MODEL HRGW = XGW MGW LHRGW/DW; /*IDENTITY EQUATIONS*/ QGHN : IDENTITY QGHN QGHS : IDENTITY QGHS QGHR : IDENTITY QGHR QGKPN : IDENTITY QGKPN QGKPS : IDENTITY QGKPS QGKPR : IDENTITY QGKPR QGKP : IDENTITY QGKP QGINA : IDENTITY QGINA DGINA : IDENTITY DGINA MGINA : IDENTITY MGINA SGINA : IDENTITY SGINA XGW : IDENTITY XGW MGW : IDENTITY MGW PPMRTH : IDENTITY PPMRTH PPMRCN : IDENTITY PPMRCN PPMRRW : IDENTITY PPMRRW DEVITH : IDENTITY DEVITH DEVICN : IDENTITY DEVICN DEVIRW : IDENTITY DEVIRW RUN; = = = = = = = = = = = = = = = = = = = QGHN + 0; QGHS + 0; QGHR + 0; QGKPN + 0; QGKPS + 0; QGKPR + 0; QGKP + 0; QGINA + 0; DGINA + 0; MGITH + MGICN QGINA + MGINA XGBR + XGTH + MGIN + MGUS + PPMRTH + 0; PPMRCN + 0; PPMRRW + 0; DEVITH + 0; DEVICN + 0; DEVIRW + 0; + MGIRW; + LSTG; XGRW; MGCN + MGINA + MGRW; 233 Lampiran 5. Hasil Estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label ARL_NEG APTN Luas Areal Perkebunan Besar Negara Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 6 21 27 1.917E9 3.5886E9 5.5055E9 3.1949E8 1.7088E8 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 13072.2663 84261.3214 15.51396 R-Square Adj R-Sq F Value Pr > F 1.87 0.1338 0.34819 0.16196 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept HRGPB HRGB JPG LSBR T LAPTN 1 1 1 1 1 1 1 -58507.8 7.019464 -8.93069 1401.404 -235.054 296.0828 0.393402 73733.80 6.717223 11.91798 1071.167 299.6956 571.9206 0.195461 -0.79 1.04 -0.75 1.31 -0.78 0.52 2.01 0.4364 0.3079 0.4620 0.2049 0.4416 0.6101 0.0571 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation 2.040986 28 -0.08685 Variable Label Intercept H.r gula pdg.besar H.r gabah Jumlah pabrik gula SBI riil t-1 Tren waktu APTN t-1 234 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label ARL_SWA APTS Luas Areal Perkebunan Besar Swasta Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 6 21 27 2.839E10 1.4533E9 2.984E10 4.7314E9 69204138 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 8318.90244 61882.7857 13.44300 F Value Pr > F 68.37 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.95130 0.93739 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 SHRGPB 1 -30759.5 1.395940 45731.87 3.360525 -0.67 0.42 0.5085 0.6821 RHRGB JPG SBR T LAPTS -10934.2 660.4332 -488.834 1655.675 0.608505 19128.79 613.7405 288.8502 596.3194 0.165341 -0.57 1.08 -1.69 2.78 3.68 0.5737 0.2941 0.1054 0.0113 0.0014 1 1 1 1 1 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept Perubahan H.r gula pdg.besar Rasio H.riil gabah Jumlah pabrik gula SBI riil Tren waktu APTS t-1 2.448216 28 -0.22961 235 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label ARL_RAK APTR Luas Areal Perkebunan Rakyat Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 6 21 27 2.506E10 1.551E10 4.057E10 4.176E9 7.3876E8 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 27180.1939 234715.357 11.58007 F Value Pr > F 5.65 0.0013 R-Square Adj R-Sq 0.61760 0.50834 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Intercept HRGP HRGB JPG SBR T LAPTR 1 1 1 1 1 1 1 -70786.7 4.640525 -30.1531 3185.105 -420.724 915.7704 0.543370 Standard Error 166461.6 16.00020 28.81031 2740.034 970.4056 1079.989 0.214774 t Value Pr > |t| -0.43 0.29 -1.05 1.16 -0.43 0.85 2.53 0.6750 0.7746 0.3072 0.2581 0.6690 0.4060 0.0195 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula petani H.r gabah Jumlah pabrik gula SBI riil Tren waktu APTR t-1 1.990762 28 -0.07054 236 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label YLD_NEG YGHN Produktivitas gula hablur negara Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 6 21 27 8.765761 2.743507 11.50927 1.460960 0.130643 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 0.36145 4.30893 8.38830 F Value Pr > F 11.18 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.76163 0.69352 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Intercept HRGPB SHRPUK LAPTN REND LURBUN 1 1 1 1 1 1 -7.82566 0.000716 -0.00091 6.527E-6 1.021687 -7.81E-6 T 1 0.035034 Standard Error t Value Pr > |t| 1.930810 0.000158 0.000676 5.094E-6 0.158934 0.000034 -4.05 4.53 -1.34 1.28 6.43 -0.23 0.0006 0.0002 0.1940 0.2140 <.0001 0.8210 0.023132 1.51 0.1448 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula pdg.besar Perubahan H.r pupuk APTN t-1 Rendemen tebu Upah riil pekerja perkebunan t-1 Tren waktu 2.366441 28 -0.25009 237 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label YLD_SWA YGHS Produktivitas gula hablur swasta Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 7 20 27 14.73438 17.07869 31.81307 2.104911 0.853935 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 0.92409 6.01893 15.35299 F Value Pr > F 2.46 0.0537 R-Square Adj R-Sq 0.46315 0.27526 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 SHRGPB 1 1.317542 0.000028 5.715783 0.000282 0.23 0.10 0.8200 0.9215 RHPUK LAPTS CHJ REND URBUN 1 1 1 1 1 -1.85419 0.000028 0.000147 0.639197 -0.00002 2.954085 0.000013 0.000373 0.411462 0.000083 -0.63 2.12 0.39 1.55 -0.29 0.5373 0.0465 0.6974 0.1360 0.7733 LYGHS 1 0.035580 0.282526 0.13 0.9010 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation 2.100594 28 -0.11795 Variable Label Intercept Perubahan H.r gula pdg.besar Rasio H.r pupuk APTS t-1 Curah hujan Rendemen tebu Upah riil pekerja perkebunan YGHS t-1 238 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label YLD_RAK YGHR Produktivitas gula hablur rakyat Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 6 21 27 12.08506 7.074634 19.15970 2.014177 0.336887 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 0.58042 5.57464 10.41179 F Value Pr > F 5.98 0.0009 R-Square Adj R-Sq 0.63075 0.52526 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 HGPUK 1 -0.94612 0.144799 1.504335 0.183922 -0.63 0.79 0.5362 0.4399 LAPTR URBUN 1 1 2.605E-7 -0.00004 4.791E-6 0.000045 0.05 -0.88 0.9571 0.3873 DKKPE REND LYGHR 1 1 1 0.617054 0.327803 0.680695 0.644670 0.195469 0.150359 0.96 1.68 4.53 0.3494 0.1084 0.0002 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept Rasio H.r gula thd H.r pupuk APTR t-1 Upah riil pekerja perkebunan Dummy KKPE Rendemen tebu YGHR t-1 2.424243 28 -0.40279 239 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label DEMANDRT DGRT Permintaan gula RT Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 6 21 27 4.705E12 9.402E11 5.645E12 7.841E11 4.477E10 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 211594.237 2146197.00 9.85903 F Value Pr > F 17.51 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.83344 0.78585 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Intercept HRGE RHRGM HRKO LJPDBR 1 1 1 1 1 224009.4 -185.862 37639.88 -2.49354 522469.5 POPINA LDGRT 1 1 0.010401 0.382462 Standard Error t Value Pr > |t| 708819.8 92.45554 294388.9 4.131745 447942.6 0.32 -2.01 0.13 -0.60 1.17 0.7551 0.0574 0.8995 0.5526 0.2565 0.004926 0.243601 2.11 1.57 0.0469 0.1314 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation 2.002861 28 -0.10615 Variable Label Intercept H.r gula eceran Rasio H.r gula merah H.r kopi Pertumbuhan PDB riil Ina Populasi Ina Permintaan gula RT t-1 240 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label DEMANDIN DGIN Permintaan gula industri Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 5 22 27 8.115E12 8.987E11 9.013E12 1.623E12 4.085E10 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 202119.364 909174.786 22.23108 F Value Pr > F 39.73 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.90029 0.87762 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 LHRGPB 1 -396625 -12.4975 480196.0 73.36834 -0.83 -0.17 0.4177 0.8663 HRKIN LJJIM 1 1 34560.46 148787.7 25963.45 347813.1 1.33 0.43 0.1968 0.6730 L2PDBIN 1 1.292485 0.678929 1.90 0.0701 LDGIN 1 0.759753 0.180565 4.21 0.0004 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula pdg. besar t-1 H.r produk mamin Pertumbuhan industri mamin PDB riil sektor mamin t-2 Permintaan gula industri t-1 3.015167 28 -0.50822 241 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label HRG_PET HRGP H.r gula petani Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 5 22 27 8655049 581233.1 9236282 1731010 26419.69 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 162.54133 4463.40465 3.64164 F Value Pr > F 65.52 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.93707 0.92277 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 HRGPB 1 RQGINA 1 -16.5646 0.881358 -557.120 629.8220 0.063665 358.4765 -0.03 13.84 -1.55 0.9793 <.0001 0.1344 DHPP T LHRGP 105.1625 3.702960 0.143517 125.5372 6.017443 0.058346 0.84 0.62 2.46 0.4112 0.5446 0.0222 1 1 1 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula pdg.besar Rasio produksi gula Ina Dummy HPP Tren waktu H.r gula petani t-1 2.153606 28 -0.11058 242 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label HRG_GPB HRGPB H.r gula pdg.besar Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 3 24 27 9021222 228934.5 9250156 3007074 9538.937 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 97.66748 4921.12675 1.98466 F Value Pr > F 315.24 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.97525 0.97216 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Intercept HRGE T LHRGPB 1 1 1 1 -218.315 0.904098 8.933385 0.029177 Standard Error 246.1036 0.031077 2.366979 0.034483 t Value Pr > |t| -0.89 29.09 3.77 0.85 0.3838 <.0001 0.0009 0.4058 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula eceran Tren waktu H.r gula pdg. besar t-1 1.34016 28 0.295403 243 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label HRG_ECR HRGE H.r gula eceran Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 3 24 27 4554531 5846195 10400725 1518177 243591.4 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 493.54984 5363.48568 9.20204 F Value Pr > F 6.23 0.0028 R-Square Adj R-Sq 0.43791 0.36764 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 HRGINA 1 DGINA 1 3905.693 0.262341 0.000249 446.6259 0.063110 0.000232 8.74 4.16 1.07 <.0001 0.0004 0.2946 SGINA -0.00008 0.000177 -0.45 0.6534 1 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation 1.906461 28 0.004701 Variable Label Intercept H.r impor gula Ina Permintaan gula Indonesia Penawaran gula Indonesia 244 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label HRG_INA HRGINA H.r impor gula Ina Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 3 24 27 13236811 49212724 62449535 4412270 2050530 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 1431.96724 3926.86481 36.46592 F Value Pr > F 2.15 0.1201 R-Square Adj R-Sq 0.21196 0.11346 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Intercept HRGW T LHRGINA 1 1 1 1 156.1317 4.937577 51.66909 0.202815 Standard Error 1943.128 2.282518 49.57324 0.186738 t Value Pr > |t| 0.08 2.16 1.04 1.09 0.9366 0.0407 0.3077 0.2882 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula dunia Tren waktu H.r impor gula Ina t-1 1.932661 28 -0.00625 245 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IMP_TH Dependent Variable MGITH Label Impor gula dari Thailand Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 7 20 27 2.007E12 8.024E11 2.81E12 2.868E11 4.012E10 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 200296.130 368089.751 54.41503 F Value Pr > F 7.15 0.0002 R-Square Adj R-Sq 0.71443 0.61448 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 HRGINA 1 QGINA 1 341127.1 -20.8237 -0.09003 326474.5 32.80511 0.083894 1.04 -0.63 -1.07 0.3085 0.5328 0.2960 ERITH 1 -244.582 610.3303 -0.40 0.6929 LSTG TIG T LMGITH 1 1 1 1 -0.14987 -6335.73 36383.02 0.070703 0.174717 6668.487 15451.46 0.238023 -0.86 -0.95 2.35 0.30 0.4012 0.3534 0.0289 0.7695 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation 2.012872 28 -0.06411 Variable Label Intercept H.r impor gula Ina Produksi gula Indonesia Nilai tukar riil Ina thdp Thailand Stok gula Ina t-1 Tarif impor gula Tren waktu Impor gula dari Thailand t-1 246 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label IMP_CN MGICN Impor gula dari China Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 6 21 27 1.722E10 9.282E9 2.65E10 2.8701E9 4.42E8 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 21023.7522 22557.1992 93.20196 F Value Pr > F 6.49 0.0005 R-Square Adj R-Sq 0.64977 0.54971 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 SHRGINA 1 27132.28 -1.83649 13859.91 3.404562 1.96 -0.54 0.0637 0.5953 QGINA 1 -0.02588 0.006206 -4.17 0.0004 TIG SERICN 1 1 -2397.54 -2.15749 634.7933 11.37825 -3.78 -0.19 0.0011 0.8514 SSTG 1 -0.00045 0.017111 -0.03 0.9792 T 1 5214.175 983.4159 5.30 <.0001 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept Perubahan H.riil impor gula Ina Produksi gula Indonesia Tarif impor gula Perubahan nilai tukar Ina thd China Perubahan Stok gula Ina Tren waktu 2.36001 28 -0.18215 247 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label EKS_BR XGBR Ekspor gula Brazil Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 4 23 27 1.459E15 2.4E13 1.483E15 3.648E14 1.044E12 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 1021546.59 8586169.99 11.89758 F Value Pr > F 349.53 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.98382 0.98100 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Intercept HRGW QGBR SERBR 1 1 1 1 -6330563 2504.546 0.790311 325475.5 LXGBR 1 0.073383 Standard Error t Value Pr > |t| 1291680 1554.190 0.107557 288289.5 -4.90 1.61 7.35 1.13 <.0001 0.1207 <.0001 0.2705 0.144712 0.51 0.6169 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula dunia Produksi gula Brazil Perubahan Nilai tukar riil Brazil Ekspor gula Brazil t-1 1.868928 28 0.041467 248 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label EKS_TH XGTH Ekspor gula Thailand Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 4 23 27 2.874E13 1.376E12 3.012E13 7.186E12 5.982E10 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 244579.804 3068920.53 7.96957 F Value Pr > F 120.12 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.95432 0.94637 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 HRGW 1 QGTH 1 -179072 716.1686 0.470358 327272.1 418.0276 0.067838 -0.55 1.71 6.93 0.5895 0.1001 <.0001 SERTH 1 2570.296 15181.67 0.17 0.8670 T 1 50528.95 14303.85 3.53 0.0018 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation 1.440074 28 0.23452 Variable Label Intercept H.r gula dunia Produksi gula Thailand Perubahan Nilai tukar riil Thailand Tren waktu 249 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label IMP_IND MGIN Impor gula India Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 6 21 27 6.909E12 4.212E12 1.112E13 1.151E12 2.006E11 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 447867.252 475941.090 94.10140 F Value Pr > F 5.74 0.0012 R-Square Adj R-Sq 0.62123 0.51301 Parameter Estimates Parameter Estimate Variable DF Intercept HRGW QGIN LJPOPIN 1 1 1 1 -2.356E7 -2465.20 -0.11979 1.0645E9 SERIN 1 IRIN T 1 1 Standard Error t Value Pr > |t| 12135152 940.5539 0.028314 5.0836E8 -1.94 -2.62 -4.23 2.09 0.0657 0.0160 0.0004 0.0486 -43429.6 27588.90 -1.57 0.1304 2.673E-6 356268.4 1.463E-6 186635.7 1.83 1.91 0.0821 0.0700 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula dunia Produksi gula India Pertumbuhan Penduduk India Perubahan nilai tukar India GDP riil India Tren waktu 2.058233 28 -0.0597 250 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label IMP_USA MGUS Impor gula USA Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 5 22 27 7.609E12 3.603E11 7.969E12 1.522E12 1.638E10 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 127969.653 1890739.60 6.76823 F Value Pr > F 92.93 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.95479 0.94452 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Intercept 1 SHRGW 1 1565346 -132.809 271773.0 263.9267 5.76 -0.50 <.0001 0.6198 QGUS CGUS STUS LMGUS -0.93316 0.767013 -0.89732 0.051877 0.061537 0.049439 0.068598 0.063212 -15.16 15.51 -13.08 0.82 <.0001 <.0001 <.0001 0.4206 1 1 1 1 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept Perubahan H.r gula dunia Produksi gula USA Konsumsi gula USA Stok gula USA Impor gula USA t-1 1.286087 28 0.296483 251 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label IMP_CHN MGCN Impor gula China Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 7 20 27 4.087E12 6.265E12 1.035E13 5.839E11 3.132E11 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 559687.191 1426827.36 39.22599 F Value Pr > F 1.86 0.1299 R-Square Adj R-Sq 0.39483 0.18302 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Intercept LHRGW QGCN CGCN STCN IRCN LJPOPCN 1 1 1 1 1 1 1 350378.8 -1131.57 -0.16627 0.061002 -0.45192 6.802E-7 1.2015E8 LMGCN 1 0.282497 Standard Error t Value Pr > |t| 1221495 853.8172 0.103257 0.134857 0.183213 3.144E-7 83471911 0.29 -1.33 -1.61 0.45 -2.47 2.16 1.44 0.7772 0.2000 0.1230 0.6559 0.0228 0.0428 0.1655 0.191291 1.48 0.1553 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept H.r gula dunia t-1 Produksi gula China Konsumsi gula China Stok gula China GDP riil China Pertumbuhan Penduduk China Impor gula China t-1 1.868724 28 0.058347 252 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label HRG_WRD HRGW H.r gula dunia Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error Corrected Total 3 24 27 633127.5 194326.1 827453.5 211042.5 8096.919 Root MSE Dependent Mean Coeff Var 89.98288 429.80639 20.93568 F Value Pr > F 26.06 <.0001 R-Square Adj R-Sq 0.76515 0.73580 Parameter Estimates Variable DF Intercept XGW MGW LHRGW 1 1 1 1 Parameter Estimate 216.7820 -0.00002 0.000020 0.630578 Standard Error 142.6788 0.000021 0.000022 0.121408 t Value Pr > |t| 1.52 -1.02 0.91 5.19 0.1417 0.3166 0.3713 <.0001 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation Variable Label Intercept Ekspor gula dunia Impor gula dunia H.r gula dunia t-1 1.180449 28 0.369507 253 Lampiran 6. Program Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 /*Program Estimasi*/ OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA GULA; SET ANALISIS; *Make Nominal Data Real*/ ERINA = (EINA/CPINA)*100; ERITH = (EITH/CPINA)*100; ERICN = (EICN/CPINA)*100; ERBR = (EBR/CPIBR)*100; ERTH = (ETH/CPITH)*100; ERIN = (EIN/CPIIN)*100; ERCN = (ECN/CPICN)*100; HRGB = (HGB/WPINA)*100; HRGE = (HGE/WPINA)*100; HRGM = (HGM/WPINA)*100; HRGP = (HGP/WPINA)*100; HRGPB = (HGPB/WPINA)*100; HRKO = (HKO/WPINA)*100; HRPUK = (HPUK/WPINA)*100; URBUN = (UBUN/CPINA)*100; SBR = SB-INF; PDBR = (PDB/CPINA)*100; PDBINR = (PDBIN/CPINA)*100; HRGIIN = (HGINA/WPINA)*100; HRKIN = (HKIN/WPINA)*100; HRGW = (HGW/CPIW)*100; HRGINA = HRGIIN*EINA/1000; /*create QGHN QGHS QGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGINA QGBR QGTH QGCN QGIN QGUS MGITH MGICN XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN MGIW data*/ = APTN*YGHN; = APTS*YGHS; = APTR*YGHR; = QGHN*1.003; = QGHS*1.003; = QGHR*1.003; = QGKPN+QGKPS+QGKPR; = QGKP+QGKR; = DGRT+DGIN; = QWBR/1.087; = QWTH/1.087; = QWCN/1.087; = QWIN/1.087; = QWUS/1.087; = MFITH + (MWITH/1.087); = MFICN + (MWICN/1.087); = XFBR + (XWBR/1.087); = XFTH + (XWTH/1.087); = MFIN + (MWIN/1.087); = MFUS + (MWUS/1.087); = MFCN + (MWCN/1.087); = MFINA + (MWINA/1.087); 254 XGTW MGTW MGIRW MGINA MGRW XGRW XGW MGW = = = = = = = = /*Make Lag LSBR = LAPTN = LAPTS = LAPTR = LHRGPB = LHRGB = LHRGE = LJPG = LHRPUK = LURBUN = LYGHR = LYGHS = LHRGM = LPDBR = LDGRT = LHRKIN = LJIM = L2PDBIN = LDGIN = LQGINA = LHRGP = LHRGW = LHRGINA = LERICN = LSTG = LXGBR = LERTH = LPOPIN = LERIN = LMGUS = LPOPCN = LMGCN = LMGITH = LERBR = /*Create SGINA LSGINA SHRGPB RHRGPB RHRGB SHRPUK RHPUK HGPUK RHRGM LJPDBR SHRKIN XFW + (XWW/1.087); MFW + (MWW/1.087); MGIW - (MGITH + MGICN); MGITH + MGICN + MGIRW; MGTW - (MGIN+MGUS+MGCN+MGINA); XGTW - (XGBR+XGTH); XGBR + XGTH + XGRW; MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; Variables*/ LAG(SBR); LAG(APTN); LAG(APTS); LAG(APTR); LAG(HRGPB); LAG(HRGB); LAG(HRGE); LAG(JPG); LAG(HRPUK); LAG(URBUN); LAG(YGHR); LAG(YGHS); LAG(HRGM); LAG(PDBR); LAG(DGRT); LAG(HRKIN); LAG(JIM); LAG2(PDBINR); LAG(DGIN); LAG(QGINA); LAG(HRGP); LAG(HRGW); LAG(HRGINA); LAG(ERICN); LAG(STG); LAG(XGBR); LAG(ERTH); LAG(POPIN); LAG(ERIN); LAG(MGUS); LAG(POPCN); LAG(MGCN); LAG(MGITH); LAG(ERBR); Data Baru*/ = QGINA+MGINA+LSTG; = LAG(SGINA); = HRGPB-LHRGPB; = HRGPB/LHRGPB; = HRGB/LHRGB; = HRPUK-LHRPUK; = HRPUK/LHRPUK; = HRGP/HRPUK; = HRGM/LHRGM; = (PDBR-LPDBR)/LPDBR; = HRKIN-LHRKIN; 255 LJJIM RQGINA SHRGINA SERICN SPOPIN SSTG SERBR SERTH LJPOPIN LJPOPCN SERIN SHRGW = = = = = = = = = = = = (JIM-LJIM)/LJIM; QGINA/LQGINA; HRGINA-LHRGINA; ERICN-LERICN; POPIN-LPOPIN; STG-LSTG; ERBR-LERBR; ERTH-LERTH; (POPIN-LPOPIN)/LPOPIN; (POPCN-LPOPCN)/LPOPCN; ERIN-LERIN; HRGW-LHRGW; PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW = = = = = = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; MGITH*(HRGINA*1000); MGICN*(HRGINA*1000); MGIRW*(HRGINA*1000); /*Make Description of Variables*/ label APTN = 'Luas Perkeb. Besar Negara' APTS = 'Luas Perkeb. Besar Swasta' APTR = 'Luas Perkeb. Rakyat' YGHN = 'Produktivitas hablur negara' YGHS = 'Produktivitas hablur swasta' YGHR = 'Produktivitas hablur rakyat' QGINA = 'Produksi gula Indonesia' SGINA = 'Penawaran gula Indonesia' DGINA = 'Permintaan gula Indonesia' DGRT = 'Permintaan gula RT' LDGRT = 'Permintaan gula RT t-1' DGIN = 'Permintaan gula industri' LDGIN = 'Permintaan gula industri t-1' HRGPB = 'H.r gula pdg.besar' LHRGPB = 'H.r gula pdg.besar t-1' SHRGPB = 'Perubahan H.r gula pdg.besar' HRGE = 'H.r gula eceran' HRGB = 'H.r gabah' RHRGB = 'Rasio H.riil gabah' HRGP = 'H.r gula petani' LHRGP = 'H.r gula petani t-1' HRKIN = 'H.r produk mamin' HRPUK = 'H.r pupuk' SHRPUK = 'Perubahan H.r pupuk' RHPUK = 'Rasio H.r pupuk' RHRGM = 'Rasio H.r gula merah' HRKO = 'H.r kopi' MGITH = 'Impor gula dari Thai' LMGITH = 'Impor gula dari Thai t-1' MGICN = 'Impor gula dari China' HRGINA = 'H.r impor gula Ina' LHRGINA = 'H.r impor gula Ina t-1' SHRGINA = 'Perubahan H.riil impor gula Ina' XGBR = 'Ekspor gula Brazil' LXGBR = 'Ekspor gula Brazil t-1' XGTH = 'Ekspor gula Thailand' 256 MGIN MGUS LMGUS MGCN LMGCN MGINA HRGW LHRGW SHRGW XGW MGW CHJ CGUS DKKPE DHPP ERBR SERBR ERITH SERTH LJPDBR SERICN SERIN IRCN IRIN JPG POPINA LJPOPIN LJPOPCN QGKP QGKPN QGKPS QGKPR QGBR QGTH QGIN QGCN QGUS REND STCN STUS STG LSTG SSTG SBR LSBR TIG T LJJIM L2PDBIN RQGINA LAPTN LAPTS LAPTR LYGHN LYGHS LYGHR URBUN = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = 'Impor gula India' 'Impor gula USA' 'Impor gula USA t-1' 'Impor gula China' 'Impor gula China t-1' 'Impor gula Ina' 'H.r gula dunia' 'H.r gula dunia t-1' 'Perubahan H.r gula dunia' 'Ekspor gula dunia' 'Impor gula dunia' 'Curah hujan' 'Konsumsi gula USA' 'Dummy KKPE' 'Dummy HPP' 'Nilai tukar riil Brazil' 'Perubahan Nilai tukar riil Brazil' 'Nilai tukar riil Ina thdp Thai' 'Perubahan Nilai tukar riil Thailand' 'Pertumbuhan PDB riil Ina' 'Perubahan nilai tukar Ina thd China' 'Perubahan nilai tukar India' 'GDP riil China' 'GDP riil India' 'Jumlah pabrik gula' 'Populasi Ina' 'Pertumbuhan Penduduk India' 'Pertumbuhan Penduduk China' 'Produksi GKP Indonesia ' 'Produksi GKP Negara ' 'Produksi GKP Swasta ' 'Produksi GKP Rakyat ' 'Produksi gula Brazil' 'Produksi gula Thailand' 'Produksi gula India' 'Produksi gula China' 'Produksi gula USA' 'Rendemen tebu' 'Stok gula China' 'Stok gula USA' 'Stok gula Ina' 'Stok gula Ina t-1' 'Perubahan Stok gula Ina' 'Suku bunga BI riil' 'Suku bunga BI riil t-1' 'Tarif impor gula' 'Tren waktu' 'Pertumbuhan industri mamin' 'PDB riil sektor mamin t-2' 'Rasio produksi gula Ina' 'APTN t-1' 'APTS t-1' 'APTR t-1' 'YGHN t-1' 'YGHS t-1' 'YGHR t-1' 'Upah riil pekerja perkebunan' 257 LURBUN PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW = = = = = = = 'Upah riil pekerja perkebunan t-1'; 'Pen. Pmrth dari tarif Impor asal Thailand' 'Pen. Pmrth dari tarif Impor asal China' 'Pen. Pmrth dari tarif Impor asal ROW' 'Devisa impor dari Thailand' 'Devisa impor dari China' 'Devisa impor dari ROW'; RUN; PROC SIMNLIN DATA=GULA DYNAMIC SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=A; ENDOGENOUS APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW; INSTRUMENTS CGCN CGUS CHJ DKKPE DHPP ERITH ERBR ERTH HRPUK HRKO IRIN IRCN PDBR JPG HRGB HRGM ERICN XGRW MGRW POPIN ERIN POPCN STG MGIRW POPINA QGBR QGTH JIM PDBINR QGIN QGUS QGCN QGKR REND SBR STCN STUS T TIG URBUN HRKIN; LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LJPG = LAG(JPG); LHRPUK = LAG(HRPUK); LURBUN = LAG(URBUN); LYGHR = LAG(YGHR); LYGHS = LAG(YGHS); LHRGM = LAG(HRGM); LPDBR = LAG(PDBR); LDGRT = LAG(DGRT); LHRKIN = LAG(HRKIN); LJIM = LAG(JIM); L2PDBIN = LAG2(PDBINR); LDGIN = LAG(DGIN); LQGINA = LAG(QGINA); LHRGP = LAG(HRGP); LHRGW = LAG(HRGW); LHRGINA = LAG(HRGINA); LERICN = LAG(ERICN); LSTG = LAG(STG); LXGBR = LAG(XGBR); LERTH = LAG(ERTH); LPOPIN = LAG(POPIN); LERIN = LAG(ERIN); LMGUS = LAG(MGUS); LPOPCN = LAG(POPCN); LMGCN = LAG(MGCN); LMGITH = LAG(MGITH); LERBR = LAG(ERBR); 258 PARM A0 -58507.8 A1 7.019 A2 -8.931 A3 1401.404 A4 -235.054 A5 296.083 A6 0.393 B0 -30759.5 B1 1.396 B2 -10934.2 B3 660.433 B4 -488.834 B5 1655.675 B6 0.609 C0 -70786.7 C1 4.640525 C2 -30.1531 C3 3185.105 C4 -420.724 C5 915.7704 C6 0.54337 D0 -7.82566 D1 0.000716 D2 -0.00091 D3 6.53E-06 D4 1.02E+00 D5 -7.81E-06 D6 0.035034 ; E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 G0 G1 G2 G3 G4 G5 G6 H0 H1 H2 H3 H4 H5 1.317542 0.000028 -1.85419 0.000028 0.000147 0.639197 -0.00002 0.03558 -0.94612 0.144799 2.61E-07 -0.00004 0.617054 0.327803 0.680695 224009.4 -185.862 37639.88 -2.49354 522469.5 0.010401 0.382462 -396625 -12.4975 34560.46 148787.7 1.292485 0.759753 I0-16.5646 I1 0.881358 I2 -557.12 I3 105.1625 I4 3.70296 I5 0.143517 J0 -218.315 J1 0.904098 J2 8.933385 J3 0.029177 K0 3905.693 K1 0.262341 K2 0.000249 K3 -0.00008 L0 156.1317 L1 4.937577 L2 51.66909 L3 0.202815 M0 341127.1 M1 -20.8237 M2 -0.09003 M3 -244.582 M4 -0.14987 M5 -6335.73 M6 36383.02 M7 0.070703 N0 N1 N2 N3 N4 N5 N6 O0 O1 O2 O3 O4 P0 P1 P2 P3 P4 Q0 Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 27132.28 -1.83649 -0.02588 -2397.54 -2.15749 -0.00045 5214.175 -6330563 2504.546 0.790311 325475.5 0.073383 -179072 716.1686 0.470358 2570.296 50528.95 -2.36E+07 -2465.2 -0.11979 1.06E+09 -4.34E+04 2.67E-06 3.56E+05 R0 R1 R2 R3 R4 R5 S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 T0 T1 T2 T3 1565346 -132.809 -0.93316 0.767013 -0.89732 0.051877 350378.8 -1131.57 -0.16627 0.061002 -0.45192 6.80E-07 1.20E+08 2.82E-01 216.782 -0.00002 0.00002 0.630578 /*STRUCTURAL EQUATIONS*/ APTN APTS = A0 + A1*HRGPB + A2*HRGB + A3*JPG + A4*LSBR + A5*T + A6*LAPTN; = B0 + B1*(HRGPB-LHRGPB) + B2*(HRGB/LHRGB) + B3*JPG + B4*SBR + B5*T + B6*LAPTS; APTR = C0 + C1*HRGP + C2*HRGB + C3*JPG + C4*SBR + C5*T + C6*LAPTR; YGHN = D0 + D1*HRGPB + D2*(HRPUK-LHRPUK) + D3*LAPTN + D4*REND + D5*LURBUN + D6*T; YGHS = E0 + E1*(HRGPB-LHRGPB) + E2*(HRPUK/LHRPUK) + E3*LAPTS + E4*CHJ + E5*REND + E6*URBUN + E7*LYGHS; YGHR = F0 + F1*(HRGP/HRPUK) + F2*LAPTR + F3*LURBUN + F4*DKKPE + F5*REND + F6*LYGHR; DGRT = G0 + G1*HRGE + G2*(HRGM/LHRGM) + G3*HRKO + G4*((PDBRLPDBR)/LPDBR)+ G5*POPINA + G6*LDGRT; DGIN = H0 + H1*LHRGPB + H2*HRKIN + H3*((JIM-LJIM)/LJIM) + H4*(L2PDBIN) + H5*LDGIN; HRGP = I0 + I1*HRGPB + I2*(QGINA/LQGINA) + I3*DHPP + I4*T + I5*LHRGP; HRGPB = J0 + J1*HRGE + J2*T + J3*LHRGPB; HRGE = K0 + K1*HRGINA + K2*DGINA + K3*SGINA; HRGINA = L0 + L1*HRGW + L2*T+ L3*LHRGINA ; MGITH = M0 + M1*HRGINA + M2*QGINA + M3*ERITH + M4*LSTG + M5*TIG + M6*T + M7*LMGITH; MGICN = N0 + N1*(HRGINA-LHRGINA) + N2*QGINA + N3*TIG + N4*(ERICNLERICN) + N5*(STG-LSTG) + N6*T; XGBR = O0 + O1*HRGW + O2*QGBR + O3*(ERBR-LERBR) + O4*LXGBR; XGTH = P0 + P1*HRGW + P2*QGTH + P3*(ERTH-LERTH); 259 MGIN MGUS MGCN HRGW = Q0 + Q1*HRGW + Q2*QGIN + Q3*(POPIN-LPOPIN)/LPOPIN + Q4*(ERINLERIN) + Q5*IRIN + Q6*T; = R0 + R1*(HRGW-LHRGW) + R2*QGUS + R3*CGUS + R4*STUS + R5*LMGUS; = S0 + S1*LHRGW + S2*QGCN + S3*CGCN + S4*STCN + S5*IRCN + S6*((POPCN-LPOPCN)/LPOPCN) + S7*LMGCN; = T0 + T1*XGW + T2*MGW+ T3*LHRGW; /*IDENTITY EQUATIONS*/ QGKPN = (APTN*YGHN)*1.003; QGKPS = (APTS*YGHS)*1.003; QGKPR = (APTR*YGHR)*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; MGINA = MGITH + MGICN + MGIRW; SGINA = QGINA + MGINA + LSTG; XGW = XGBR + XGTH + XGRW; MGW = MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; PPMRTH = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; PPMRCN = (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; PPMRRW = (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; DEVITH = MGITH*(HRGINA*1000); DEVICN = MGICN*(HRGINA*1000); DEVIRW = MGIRW*(HRGINA*1000); RANGE TAHUN= 2004 TO 2010; RUN; 260 Lampiran 7. Hasil Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length 36 36 124 Tahun 36 70 2 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT= GULA A Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations 36 2 Tahun 2004 2010 NEWTON 1E-8 7.269E-9 3 18 2.571429 Observations Processed Read Lagged Solved First Last 9 2 7 24 30 261 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2004 To 2010 Descriptive Statistics Variable N Obs N Actual Mean Std Dev Predicted Mean Std Dev Label APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 80018.1 4304.0 83826.5 97966.7 10501.8 99508.5 228377 25595.5 213487 4.9057 0.3925 4.9324 7.0657 0.6744 7.0486 5.6986 0.2895 5.5915 394586 46872.4 414313 691371 75180.9 705568 1307262 180065 1197796 2393219 225157 2317678 3734149 799886 3658608 2627138 227614 2599370 1763158 562503 1609852 4390296 626960 4209223 5965943 1112842 5855610 4804.2 558.4 4880.7 5204.4 612.1 5279.4 5604.5 675.1 5646.1 3648.1 720.3 4424.4 643924 290925 606388 6188.3 9406.6 8933.5 1497624 449184 1462833 19427423 3841733 19535931 4254398 679103 2933704 746030 832071 444435 2218943 511618 2198155 1606634 281022 1256535 310.1 75.9355 415.0 47834739 3838922 46622553 45398449 3575414 44691177 5.853E11 2.188E11 7.11E11 5729.3 11618.9 19430.2 0.4612 0.3965 0.1663 44572.6 107916 119363 256211 898360 71932.4 412418 477544 1102039 266.7 198.9 194.0 615.8 49678.3 12875.6 327996 3171693 494168 741622 496893 438839 68.2862 3364310 3669068 1.15E11 PPMRCN 7 7 6.5682E9 1.063E10 8.4974E9 1.289E10 PPMRRW 7 7 8.479E11 3.869E11 1.033E12 4.689E11 DEVITH DEVICN DEVIRW 7 7 7 7 2.21E12 7.922E11 2.666E12 3.001E11 7 2.437E10 3.879E10 3.297E10 4.986E10 7 3.147E12 1.328E12 3.824E12 1.591E12 Luas Perkeb. Besar Negara Luas Perkeb. Besar Swasta Luas Perkeb. Rakyat Produktivitas hablur negara Produktivitas hablur swasta Produktivitas hablur rakyat Produksi GKP Negara Produksi GKP Swasta Produksi GKP Rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia Permintaan gula RT Permintaan gula Industri Permintaan gula Ina Penawaran gula Ina H.r gula petani H.r gula pdg.besar H.r gula eceran H.r impor gula Ina Impor gula dari Thai Impor gula dari China Impor gula Ina Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India Impor gula USA Impor gula China H.r gula dunia Ekspor gula dunia Impor gula dunia Pen.Pmrth dari tarif Impor Asal Thailand Pen.Pmrth dari tarif Impor Asal China Pen.Pmrth dari tarif Impor Asal ROW Devisa Impor dari Thailand Devisa Impor dari China Devisa Impor dari ROW 262 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2004 To 2010 Statistics of fit Variable APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW N 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 Mean Error 3808.3 1541.8 -14889.9 0.0267 -0.0171 -0.107 19726.9 14197.1 -109465 -75541.1 -75541.1 -27767.7 -153306 -181073 -110332 76.444 74.9962 41.5035 776.4 -37536.3 2745.2 -34791.2 108509 -1320695 -301595 -20787.5 -350099 104.9 -1212186 -707272 1.26E+11 1.93E+09 1.85E+11 4.56E+11 8.60E+09 6.77E+11 Mean % Error 5.2672 1.5124 -6.0159 0.8965 0.3695 -1.7293 6.6382 1.8274 -7.4657 -2.9944 -2.43 -0.4574 -5.8173 -3.5298 -1.7074 2.8605 2.6952 2.0055 23.7038 26.9592 14215.5 -0.0893 1.1555 -31.0913 -7614.3 -0.7037 -20.2554 37.2995 -2.4642 -1.5692 45.4337 17919 23.7038 45.4337 17919 23.7038 Mean Abs Error 6628.6 2436.2 16592.1 0.3759 0.4837 0.2152 62415.5 42499.1 123886 178458 178458 143938 234112 299587 334675 483.8 509.4 546.2 777.4 217533 9573.2 208469 856167 1320695 468380 120061 373429 104.9 1214995 772361 1.70E+11 1.07E+10 1.85E+11 6.13E+11 4.03E+10 6.78E+11 Mean Abs % Error 8.5665 2.4505 6.9395 7.5559 6.9865 3.7213 16.4502 6.2713 8.5551 7.2863 4.6629 5.5169 13.3157 6.5705 5.3779 10.5737 10.1831 10.0278 23.7285 55.5406 15336.3 13.3111 4.377 31.0913 11234.2 5.0883 21.6207 37.2995 2.4701 1.6973 50.0822 19177.3 23.7285 50.0822 19177.3 23.7285 RMS Error 9475.2 3105.1 23415.4 0.4724 0.5683 0.2523 70263.8 56667 184352 204386 204386 207912 273364 370406 412996 589.6 602.5 642.1 959.6 271190 12717.3 264591 946012 1345303 598587 137371 566195 118.8 1555366 863605 2.45E+11 1.27E+10 2.62E+11 8.75E+11 4.84E+10 9.44E+11 RMS % Error 12.4785 3.0604 9.4706 9.4603 8.3533 4.3075 19.0791 8.329 12.2394 8.1381 5.1757 8.093 14.8389 7.7116 6.2471 13.396 12.5052 12.1196 30.476 95.1408 37753.1 16.3066 4.7877 31.3462 25279.5 5.6392 31.6496 43.7864 3.1176 1.8793 94.6742 46947.1 30.476 94.6742 46947.1 30.476 263 Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2004 To 2010 Theil Forecast Error Statistics Variable N APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 MSE 89779742 9641786 5.4828E8 0.2231 0.3229 0.0636 4.937E9 3.2111E9 3.399E10 4.177E10 4.177E10 4.323E10 7.473E10 1.372E11 1.706E11 347576 362971 412298 920769 7.354E10 1.6173E8 7.001E10 8.949E11 1.81E12 3.583E11 1.887E10 3.206E11 14116.6 2.419E12 7.458E11 5.988E22 1.611E20 6.883E22 7.655E23 2.338E21 8.908E23 Corr (R) -0.74 0.97 0.66 0.30 0.44 0.53 -0.27 0.85 0.49 0.64 0.98 0.23 0.92 0.83 0.92 -0.05 -0.01 0.05 0.59 0.10 0.31 0.78 0.98 0.94 0.75 0.96 0.16 0.66 0.97 0.99 0.19 0.35 0.91 0.14 0.35 0.90 MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.16 0.25 0.40 0.00 0.00 0.18 0.08 0.06 0.35 0.14 0.14 0.02 0.31 0.24 0.07 0.02 0.02 0.00 0.65 0.02 0.05 0.02 0.01 0.96 0.25 0.02 0.38 0.78 0.61 0.67 0.26 0.02 0.50 0.27 0.03 0.51 0.76 0.18 0.01 0.46 0.03 0.00 0.57 0.52 0.02 0.25 0.28 0.01 0.13 0.01 0.03 0.22 0.10 0.05 0.03 0.00 0.53 0.01 0.32 0.01 0.03 0.00 0.41 0.02 0.04 0.02 0.08 0.45 0.17 0.04 0.48 0.15 0.08 0.57 0.58 0.54 0.97 0.82 0.35 0.42 0.62 0.61 0.58 0.97 0.56 0.75 0.90 0.77 0.88 0.94 0.31 0.98 0.42 0.98 0.67 0.03 0.71 0.98 0.21 0.20 0.35 0.31 0.66 0.53 0.33 0.69 0.48 0.33 0.02 0.11 0.06 0.02 0.20 0.20 0.00 0.29 0.09 0.02 0.20 0.48 0.26 0.14 0.00 0.21 0.40 0.48 0.01 0.68 0.06 0.18 0.43 0.02 0.02 0.01 0.07 0.00 0.08 0.01 0.15 0.03 0.08 0.27 0.04 0.07 0.82 0.64 0.54 0.98 0.79 0.62 0.92 0.65 0.55 0.84 0.66 0.50 0.43 0.62 0.93 0.77 0.58 0.51 0.34 0.30 0.89 0.80 0.56 0.02 0.73 0.97 0.55 0.22 0.31 0.32 0.58 0.95 0.42 0.46 0.92 0.42 Inequality Coef U1 U 0.1183 0.0315 0.1020 0.0960 0.0801 0.0442 0.1770 0.0816 0.1399 0.0851 0.0537 0.0789 0.1487 0.0836 0.0682 0.1220 0.1151 0.1139 0.2587 0.3885 1.1904 0.1702 0.0479 0.3128 0.5582 0.0605 0.3479 0.3737 0.0324 0.0190 0.3951 1.0727 0.2850 0.3758 1.1139 0.2793 0.0577 0.0156 0.0528 0.0479 0.0402 0.0223 0.0864 0.0403 0.0731 0.0432 0.0270 0.0397 0.0783 0.0428 0.0344 0.0607 0.0573 0.0569 0.1175 0.2076 0.4972 0.0868 0.0239 0.1851 0.3167 0.0304 0.1921 0.1611 0.0164 0.0096 0.1828 0.4793 0.1286 0.1747 0.4829 0.1262 264 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2004 To 2010 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change Corr Variable N MSE (R) APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW 7 0.0145 7 0.00103 7 0.0109 7 0.00880 7 0.00745 7 0.00194 7 0.0315 7 0.00834 7 0.0199 7 0.00761 7 0.00361 7 0.00541 7 0.0357 7 0.00788 7 0.00549 7 0.0166 7 0.0152 7 0.0151 7 0.0820 7 1.0803 7 6964.3 7 0.0342 7 0.00285 7 0.1043 7 152967 7 0.00412 7 0.1020 7 0.1857 7 0.00112 7 0.000371 7 0.2253 7 22037.0 7 0.0673 7 0.1923 7 21938.8 7 0.0677 0.28 0.59 0.47 0.51 0.93 0.84 -0.49 0.93 0.60 0.70 0.85 0.80 0.68 0.72 0.86 0.55 0.59 0.63 0.67 0.98 1.00 0.88 0.82 0.93 -0.56 0.97 0.78 0.56 0.91 0.99 0.97 1.00 0.99 0.98 1.00 0.99 MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.17 0.24 0.39 0.00 0.01 0.20 0.09 0.01 0.37 0.18 0.23 0.03 0.22 0.24 0.10 0.02 0.02 0.01 0.67 0.09 0.09 0.02 0.04 0.96 0.27 0.01 0.41 0.80 0.61 0.70 0.09 0.10 0.78 0.07 0.10 0.78 0.55 0.35 0.24 0.34 0.31 0.07 0.75 0.31 0.11 0.01 0.03 0.19 0.00 0.00 0.02 0.16 0.08 0.03 0.03 0.76 0.90 0.02 0.00 0.01 0.64 0.03 0.38 0.04 0.00 0.09 0.44 0.89 0.00 0.59 0.89 0.00 0.28 0.41 0.37 0.66 0.68 0.73 0.16 0.68 0.53 0.81 0.74 0.78 0.77 0.76 0.88 0.82 0.89 0.97 0.30 0.15 0.01 0.96 0.96 0.03 0.09 0.96 0.22 0.16 0.38 0.21 0.47 0.01 0.22 0.34 0.01 0.22 0.12 0.07 0.02 0.01 0.52 0.26 0.03 0.52 0.00 0.09 0.01 0.53 0.11 0.16 0.16 0.01 0.03 0.09 0.00 0.83 0.89 0.16 0.14 0.02 0.06 0.00 0.20 0.00 0.04 0.07 0.57 0.89 0.00 0.68 0.89 0.00 0.72 0.69 0.60 0.98 0.47 0.54 0.88 0.47 0.63 0.73 0.76 0.44 0.67 0.61 0.74 0.97 0.95 0.90 0.33 0.07 0.02 0.83 0.83 0.02 0.67 0.98 0.39 0.20 0.35 0.23 0.35 0.01 0.22 0.25 0.01 0.22 Inequality Coef U1 U 1.7472 0.4950 1.1652 1.0585 0.4528 0.6193 2.1177 0.4209 0.9600 0.7101 0.3582 0.6720 0.6355 0.6820 0.4282 0.8654 0.8311 0.7720 1.2123 0.5282 0.3882 0.4684 0.3562 2.1949 2.5678 0.2184 1.2265 1.7338 0.5006 0.2711 0.3521 0.5104 0.2531 0.3243 0.5093 0.2611 0.6634 0.2174 0.5953 0.4979 0.2710 0.3724 0.8776 0.2404 0.5203 0.4182 0.1940 0.4432 0.3839 0.4224 0.2406 0.4370 0.4406 0.4313 0.4569 0.3539 0.1628 0.2594 0.1795 0.6956 0.9141 0.1092 0.4865 0.5358 0.2950 0.1389 0.1951 0.2036 0.1197 0.1810 0.2032 0.1231 265 Lampiran 8. Program Simulasi Historis Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 Contoh : Simulasi penurunan tarif impor gula 49 persen /*Program Estimasi*/ OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA GULA; SET ANALISIS; *Make Nominal Data Real*/ ERINA = (EINA/CPINA)*100; ERITH = (EITH/CPINA)*100; ERICN = (EICN/CPINA)*100; ERBR = (EBR/CPIBR)*100; ERTH = (ETH/CPITH)*100; ERIN = (EIN/CPIIN)*100; ERCN = (ECN/CPICN)*100; HRGB = (HGB/WPINA)*100; HRGE = (HGE/WPINA)*100; HRGM = (HGM/WPINA)*100; HRGP = (HGP/WPINA)*100; HRGPB = (HGPB/WPINA)*100; HRKO = (HKO/WPINA)*100; HRPUK = (HPUK/WPINA)*100; URBUN = (UBUN/CPINA)*100; SBR = SB-INF; PDBR = (PDB/CPINA)*100; PDBINR = (PDBIN/CPINA)*100; HRGIIN = (HGINA/WPINA)*100; HRKIN = (HKIN/WPINA)*100; HRGW = (HGW/CPIW)*100; HRGINA = HRGIIN*EINA/1000; /*create data*/ QGHN = APTN*YGHN; QGHS = APTS*YGHS; QGHR = APTR*YGHR; QGKPN = QGHN*1.003; QGKPS = QGHS*1.003; QGKPR = QGHR*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; QGBR = QWBR/1.087; QGTH = QWTH/1.087; QGCN = QWCN/1.087; QGIN = QWIN/1.087; QGUS = QWUS/1.087; MGITH = MFITH + (MWITH/1.087); MGICN = MFICN + (MWICN/1.087); XGBR = XFBR + (XWBR/1.087); XGTH = XFTH + (XWTH/1.087); MGIN = MFIN + (MWIN/1.087); 266 MGUS MGCN MGIW XGTW MGTW MGIRW MGINA MGRW XGRW XGW MGW = = = = = = = = = = = MFUS + (MWUS/1.087); MFCN + (MWCN/1.087); MFINA + (MWINA/1.087); XFW + (XWW/1.087); MFW + (MWW/1.087); MGIW - (MGITH + MGICN); MGITH + MGICN + MGIRW; MGTW - (MGIN+MGUS+MGCN+MGINA); XGTW - (XGBR+XGTH); XGBR + XGTH + XGRW; MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; /*Make Lag Variables*/ LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LHRGE = LAG(HRGE); LJPG = LAG(JPG); LHRPUK = LAG(HRPUK); LURBUN = LAG(URBUN); LYGHR = LAG(YGHR); LYGHS = LAG(YGHS); LHRGM = LAG(HRGM); LPDBR = LAG(PDBR); LDGRT = LAG(DGRT); LHRKIN = LAG(HRKIN); LJIM = LAG(JIM); L2PDBIN = LAG2(PDBINR); LDGIN = LAG(DGIN); LQGINA = LAG(QGINA); LHRGP = LAG(HRGP); LHRGW = LAG(HRGW); LHRGINA = LAG(HRGINA); LERICN = LAG(ERICN); LSTG = LAG(STG); LXGBR = LAG(XGBR); LERTH = LAG(ERTH); LPOPIN = LAG(POPIN); LERIN = LAG(ERIN); LMGUS = LAG(MGUS); LPOPCN = LAG(POPCN); LMGCN = LAG(MGCN); LMGITH = LAG(MGITH); LERBR = LAG(ERBR); /*Create Data Baru*/ SGINA = QGINA+MGINA+LSTG; LSGINA = LAG(SGINA); SHRGPB = HRGPB-LHRGPB; RHRGPB = HRGPB/LHRGPB; RHRGB = HRGB/LHRGB; SHRPUK = HRPUK-LHRPUK; RHPUK = HRPUK/LHRPUK; HGPUK = HRGP/HRPUK; 267 RHRGM LJPDBR SHRKIN LJJIM RQGINA SHRGINA SERICN SPOPIN SSTG SERBR SERTH LJPOPIN LJPOPCN SERIN SHRGW = = = = = = = = = = = = = = = HRGM/LHRGM; (PDBR-LPDBR)/LPDBR; HRKIN-LHRKIN; (JIM-LJIM)/LJIM; QGINA/LQGINA; HRGINA-LHRGINA; ERICN-LERICN; POPIN-LPOPIN; STG-LSTG; ERBR-LERBR; ERTH-LERTH; (POPIN-LPOPIN)/LPOPIN; (POPCN-LPOPCN)/LPOPCN; ERIN-LERIN; HRGW-LHRGW; PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW = = = = = = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; MGITH*(HRGINA*1000); MGICN*(HRGINA*1000); MGIRW*(HRGINA*1000); /*Simulasi penurunan tarif impor gula 49%*/ TIG = 0.51*TIG; /* /*Simulasi peningkatan harga pupuk 33%*/ HRPUK = 1.33*HRPUK; /*Simulasi peningkatan harga gula tingkat petani 25%*/ HRGP = 1.25*HRGP; /*Simulasi peningkatan luas areal perkebunan tebu 20%*/ APTN = 1.20*APTN; APTS = 1.20*APTS; APTR = 1.20*APTR; /*Simulasi penurunan kuota impor gula Indonesia 50%*/ MGINA = 0.50*MGINA; */ /*Make Description of Variables*/ label APTN = 'Luas Perkeb. Besar Negara' APTS = 'Luas Perkeb. Besar Swasta' APTR = 'Luas Perkeb. Rakyat' YGHN = 'Produktivitas hablur negara' YGHS = 'Produktivitas hablur swasta' YGHR = 'Produktivitas hablur rakyat' QGINA = 'Produksi gula Indonesia' SGINA = 'Penawaran gula Indonesia' DGINA = 'Permintaan gula Indonesia' DGRT = 'Permintaan gula RT' LDGRT = 'Permintaan gula RT t-1' DGIN = 'Permintaan gula industri' LDGIN = 'Permintaan gula industri t-1' HRGPB = 'H.r gula pdg.besar' LHRGPB = 'H.r gula pdg.besar t-1' SHRGPB = 'Perubahan H.r gula pdg.besar' HRGE = 'H.r gula eceran' HRGB = 'H.r gabah' 268 RHRGB HRGP LHRGP HRKIN HRPUK SHRPUK RHPUK RHRGM HRKO MGITH LMGITH MGICN HRGINA LHRGINA SHRGINA XGBR LXGBR XGTH MGIN MGUS LMGUS MGCN LMGCN MGINA HRGW LHRGW SHRGW XGW MGW CHJ CGUS DKKPE DHPP ERBR SERBR ERITH SERTH LJPDBR SERICN SERIN IRCN IRIN JPG POPINA LJPOPIN LJPOPCN QGKP QGKPN QGKPS QGKPR QGBR QGTH QGIN QGCN QGUS REND STCN = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = 'Rasio H.riil gabah' 'H.r gula petani' 'H.r gula petani t-1' 'H.r produk mamin' 'H.r pupuk' 'Perubahan H.r pupuk' 'Rasio H.r pupuk' 'Rasio H.r gula merah' 'H.r kopi' 'Impor gula dari Thai' 'Impor gula dari Thai t-1' 'Impor gula dari China' 'H.r impor gula Ina' 'H.r impor gula Ina t-1' 'Perubahan H.riil impor gula Ina' 'Ekspor gula Brazil' 'Ekspor gula Brazil t-1' 'Ekspor gula Thailand' 'Impor gula India' 'Impor gula USA' 'Impor gula USA t-1' 'Impor gula China' 'Impor gula China t-1' 'Impor gula Ina' 'H.r gula dunia' 'H.r gula dunia t-1' 'Perubahan H.r gula dunia' 'Ekspor gula dunia' 'Impor gula dunia' 'Curah hujan' 'Konsumsi gula USA' 'Dummy KKPE' 'Dummy HPP' 'Nilai tukar riil Brazil' 'Perubahan Nilai tukar riil Brazil' 'Nilai tukar riil Ina thdp Thai' 'Perubahan Nilai tukar riil Thailand' 'Pertumbuhan PDB riil Ina' 'Perubahan nilai tukar Ina thd China' 'Perubahan nilai tukar India' 'GDP riil China' 'GDP riil India' 'Jumlah pabrik gula' 'Populasi Ina' 'Pertumbuhan Penduduk India' 'Pertumbuhan Penduduk China' 'Produksi GKP Indonesia ' 'Produksi GKP Negara ' 'Produksi GKP Swasta ' 'Produksi GKP Rakyat ' 'Produksi gula Brazil' 'Produksi gula Thailand' 'Produksi gula India' 'Produksi gula China' 'Produksi gula USA' 'Rendemen tebu' 'Stok gula China' 269 STUS STG LSTG SSTG SBR LSBR TIG T LJJIM L2PDBIN RQGINA LAPTN LAPTS LAPTR LYGHN LYGHS LYGHR URBUN LURBUN PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = 'Stok gula USA' 'Stok gula Ina' 'Stok gula Ina t-1' 'Perubahan Stok gula Ina' 'Suku bunga BI riil' 'Suku bunga BI riil t-1' 'Tarif impor gula' 'Tren waktu' 'Pertumbuhan industri mamin' 'PDB riil sektor mamin t-2' 'Rasio produksi gula Ina' 'APTN t-1' 'APTS t-1' 'APTR t-1' 'YGHN t-1' 'YGHS t-1' 'YGHR t-1' 'Upah riil pekerja perkebunan' 'Upah riil pekerja perkebunan t-1'; 'Pen. Pmrth dari tarif Impor asal Thailand' 'Pen. Pmrth dari tarif Impor asal China' 'Pen. Pmrth dari tarif Impor asal ROW' 'Devisa impor dari Thailand' 'Devisa impor dari China' 'Devisa impor dari ROW'; RUN; PROC SIMNLIN DATA=GULA DYNAMIC SIMULATE STAT; ENDOGENOUS APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW; INSTRUMENTS CGCN CGUS CHJ DKKPE DHPP ERITH ERBR ERTH HRPUK HRKO IRIN IRCN PDBR JPG HRGB HRGM ERICN XGRW MGRW POPIN ERIN POPCN STG MGIRW POPINA QGBR QGTH JIM PDBINR QGIN QGUS QGCN QGKR REND SBR STCN STUS T TIG URBUN HRKIN; LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LHRGE = LAG(HRGE); LJPG = LAG(JPG); LHRPUK = LAG(HRPUK); LURBUN = LAG(URBUN); LYGHR = LAG(YGHR); LYGHS = LAG(YGHS); LHRGM = LAG(HRGM); LPDBR = LAG(PDBR); LDGRT = LAG(DGRT); LHRKIN = LAG(HRKIN); LJIM = LAG(JIM); L2PDBIN = LAG2(PDBINR); LDGIN = LAG(DGIN); LQGINA = LAG(QGINA); 270 LHRGP LHRGW LHRGINA LERICN LSTG LXGBR LERTH LPOPIN LERIN LMGUS LPOPCN LMGCN LMGITH LERBR = = = = = = = = = = = = = = LAG(HRGP); LAG(HRGW); LAG(HRGINA); LAG(ERICN); LAG(STG); LAG(XGBR); LAG(ERTH); LAG(POPIN); LAG(ERIN); LAG(MGUS); LAG(POPCN); LAG(MGCN); LAG(MGITH); LAG(ERBR); PARM A0 -58507.8 A1 7.019 A2 -8.931 A3 1401.404 A4 -235.054 A5 296.083 A6 0.393 B0 -30759.5 B1 1.396 B2 -10934.2 B3 660.433 B4 -488.834 B5 1655.675 B6 0.609 C0 -70786.7 C1 4.640525 C2 -30.1531 C3 3185.105 C4 -420.724 C5 915.7704 C6 0.54337 D0 -7.82566 D1 0.000716 D2 -0.00091 D3 6.53E-06 D4 1.02E+00 D5 -7.81E-06 D6 0.035034 ; E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 G0 G1 G2 G3 G4 G5 G6 H0 H1 H2 H3 H4 H5 1.317542 0.000028 -1.85419 0.000028 0.000147 0.639197 -0.00002 0.03558 -0.94612 0.144799 2.61E-07 -0.00004 0.617054 0.327803 0.680695 224009.4 -185.862 37639.88 -2.49354 522469.5 0.010401 0.382462 -396625 -12.4975 34560.46 148787.7 1.292485 0.759753 I0-16.5646 I1 0.881358 I2 -557.12 I3 105.1625 I4 3.70296 I5 0.143517 J0 -218.315 J1 0.904098 J2 8.933385 J3 0.029177 K0 3905.693 K1 0.262341 K2 0.000249 K3 -0.00008 L0 156.1317 L1 4.937577 L2 51.66909 L3 0.202815 M0 341127.1 M1 -20.8237 M2 -0.09003 M3 -244.582 M4 -0.14987 M5 -6335.73 M6 36383.02 M7 0.070703 N0 N1 N2 N3 N4 N5 N6 O0 O1 O2 O3 O4 P0 P1 P2 P3 P4 Q0 Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 27132.28 -1.83649 -0.02588 -2397.54 -2.15749 -0.00045 5214.175 -6330563 2504.546 0.790311 325475.5 0.073383 -179072 716.1686 0.470358 2570.296 50528.95 -2.36E+07 -2465.2 -0.11979 1.06E+09 -4.34E+04 2.67E-06 3.56E+05 R0 R1 R2 R3 R4 R5 S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 T0 T1 T2 T3 1565346 -132.809 -0.93316 0.767013 -0.89732 0.051877 350378.8 -1131.57 -0.16627 0.061002 -0.45192 6.80E-07 1.20E+08 2.82E-01 216.782 -0.00002 0.00002 0.630578 /*STRUCTURAL EQUATIONS*/ APTN = A0 + A1*HRGPB + A2*HRGB + A3*JPG + A4*LSBR + A5*T + A6*LAPTN; APTS = B0 + B1*(HRGPB-LHRGPB) + B2*(HRGB/LHRGB) + B3*JPG + B4*SBR + B5*T + B6*LAPTS; APTR = C0 + C1*HRGP + C2*HRGB + C3*JPG + C4*SBR + C5*T + C6*LAPTR; YGHN = D0 + D1*HRGPB + D2*(HRPUK-LHRPUK) + D3*LAPTN + D4*REND + D5*LURBUN + D6*T; YGHS = E0 + E1*(HRGPB-LHRGPB) + E2*(HRPUK/LHRPUK) + E3*LAPTS + E4*CHJ + E5*REND + E6*URBUN + E7*LYGHS; 271 YGHR = F0 + F1*(HRGP/HRPUK) + F2*LAPTR + F3*LURBUN + F4*DKKPE + F5*REND + F6*LYGHR; DGRT = G0 + G1*HRGE + G2*(HRGM/LHRGM) + G3*HRKO + G4*((PDBRLPDBR)/LPDBR)+ G5*POPINA + G6*LDGRT; DGIN = H0 + H1*LHRGPB + H2*HRKIN + H3*((JIM-LJIM)/LJIM) + H4*(L2PDBIN) + H5*LDGIN; HRGP = I0 + I1*HRGPB + I2*(QGINA/LQGINA) + I3*DHPP + I4*T + I5*LHRGP; HRGPB = J0 + J1*HRGE + J2*T + J3*LHRGPB; HRGE = K0 + K1*HRGINA + K2*DGINA + K3*SGINA; HRGINA = L0 + L1*HRGW + L2*T+ L3*LHRGINA ; MGITH = M0 + M1*HRGINA + M2*QGINA + M3*ERITH + M4*LSTG + M5*TIG + M6*T + M7*LMGITH; MGICN = N0 + N1*(HRGINA-LHRGINA) + N2*QGINA + N3*TIG + N4*(ERICNLERICN) + N5*(STG-LSTG) + N6*T; XGBR = O0 + O1*HRGW + O2*QGBR + O3*(ERBR-LERBR) + O4*LXGBR; XGTH = P0 + P1*HRGW + P2*QGTH + P3*(ERTH-LERTH); MGIN = Q0 + Q1*HRGW + Q2*QGIN + Q3*(POPIN-LPOPIN)/LPOPIN + Q4*(ERINLERIN) + Q5*IRIN + Q6*T; MGUS = R0 + R1*(HRGW-LHRGW) + R2*QGUS + R3*CGUS + R4*STUS + R5*LMGUS; MGCN = S0 + S1*LHRGW + S2*QGCN + S3*CGCN + S4*STCN + S5*IRCN + S6*((POPCN-LPOPCN)/LPOPCN) + S7*LMGCN; HRGW = T0 + T1*XGW + T2*MGW+ T3*LHRGW; /*IDENTITY EQUATIONS*/ QGKPN = (APTN*YGHN)*1.003; QGKPS = (APTS*YGHS)*1.003; QGKPR = (APTR*YGHR)*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; MGINA = MGITH + MGICN + MGIRW; SGINA = QGINA + MGINA + LSTG; XGW = XGBR + XGTH + XGRW; MGW = MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; PPMRTH = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; PPMRCN = (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; PPMRRW = (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; DEVITH = MGITH*(HRGINA*1000); DEVICN = MGICN*(HRGINA*1000); DEVIRW = MGIRW*(HRGINA*1000); RANGE TAHUN= 2004 TO 2010; RUN; 272 Lampiran 9. Hasil Simulasi Historis Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 Contoh : Simulasi penurunan tarif impor gula 49 persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length 36 36 124 Tahun 36 70 2 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT= GULA A Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations 36 2 Tahun 2004 2010 NEWTON 1E-8 6.752E-9 3 17 2.428571 Observations Processed Read Lagged Solved First Last 9 2 7 24 30 273 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2004 To 2010 Descriptive Statistics Variable N Obs N Actual Mean Std Dev 80018.1 4304.0 97966.7 10501.8 228377 25595.5 4.9057 0.3925 7.0657 0.6744 5.6986 0.2895 394586 46872.4 691371 75180.9 1307262 180065 2393219 225157 3734149 799886 2627138 227614 1763158 562503 4390296 626960 5965943 1112842 4804.2 558.4 5204.4 612.1 5604.5 675.1 3648.1 720.3 643924 290925 6188.3 9406.6 1497624 449184 19427423 3841733 4254398 679103 746030 832071 2218943 511618 1606634 281022 310.1 75.9355 47834739 3838922 45398449 3575414 5.853E11 2.188E11 Predicted Mean Std Dev Label APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 83794.0 5736.9 99507.4 11621.4 213460 19432.3 4.9301 0.4613 7.0486 0.3966 5.5909 0.1662 413960 44632.0 705558 107942 1197508 119336 2317025 256305 3657955 898457 2600285 71762.2 1609943 412451 4210228 477369 5973505 1106078 4877.7 267.6 5276.4 200.0 5642.8 195.3 4447.1 622.7 693709 49473.2 40158.9 12190.5 1581380 334349 19546142 3173879 2936446 494430 434995 742135 2198063 496962 1251927 438183 418.8 69.2605 46635506 3366905 44795583 3670677 4.178E11 7.093E10 PPMRCN 7 7 6.5682E9 1.063E10 2.336E10 4.5561E9 PPMRRW 7 7 8.479E11 3.869E11 5.294E11 2.406E11 DEVITH DEVICN DEVIRW 7 7 7 7 2.21E12 7.922E11 3.07E12 3.685E11 7 2.437E10 3.879E10 1.724E11 3.206E10 7 3.147E12 1.328E12 3.844E12 1.601E12 Luas Perkeb. Besar Negara Luas Perkeb. Besar Swasta Luas Perkeb. Rakyat Produktivitas hablur negara Produktivitas hablur swasta Produktivitas hablur rakyat Produksi GKP Negara Produksi GKP Swasta Produksi GKP Rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia Permintaan gula RT Permintaan gula industri Permintaan gula Indonesia Penawaran gula Indonesia H.r gula petani H.r gula pdg.besar H.r gula eceran H.r impor gula Ina Impor gula dari Thai Impor gula dari China Impor gula Ina Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India Impor gula USA Impor gula China H.r gula dunia Ekspor gula dunia Impor gula dunia Pen. Pmrth dari tarif Impor asal Thailand Pen. Pmrth dari tarif Impor asal China Pen. Pmrth dari tarif Impor asal ROW Devisa impor dari Thailand Devisa impor dari China Devisa impor dari ROW 274 Lampiran 10. Program Peramalan Variabel Eksogen Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode STEPAR dan Prosedur FORECAST dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 /*Program Peramalan Variabel Eksogen*/ OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA GULA; SET ANALISIS; *Make Nominal Data Real*/ ERINA = (EINA/CPINA)*100; ERITH = (EITH/CPINA)*100; ERICN = (EICN/CPINA)*100; ERBR = (EBR/CPIBR)*100; ERTH = (ETH/CPITH)*100; ERIN = (EIN/CPIIN)*100; ERCN = (ECN/CPICN)*100; HRGB = (HGB/WPINA)*100; HRGE = (HGE/WPINA)*100; HRGM = (HGM/WPINA)*100; HRGP = (HGP/WPINA)*100; HRGPB = (HGPB/WPINA)*100; HRKO = (HKO/WPINA)*100; HRPUK = (HPUK/WPINA)*100; URBUN = (UBUN/CPINA)*100; SBR = SB-INF; PDBR = (PDB/CPINA)*100; PDBINR = (PDBIN/CPINA)*100; HRGIIN = (HGINA/WPINA)*100; HRKIN = (HKIN/WPINA)*100; HRGW = (HGW/CPIW)*100; HRGINA = HRGIIN*EINA/1000; /*create data*/ QGHN = APTN*YGHN; QGHS = APTS*YGHS; QGHR = APTR*YGHR; QGKPN = QGHN*1.003; QGKPS = QGHS*1.003; QGKPR = QGHR*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; QGBR = QWBR/1.087; QGTH = QWTH/1.087; QGCN = QWCN/1.087; QGIN = QWIN/1.087; QGUS = QWUS/1.087; MGITH = MFITH + (MWITH/1.087); MGICN = MFICN + (MWICN/1.087); XGBR = XFBR + (XWBR/1.087); XGTH = XFTH + (XWTH/1.087); MGIN = MFIN + (MWIN/1.087); MGUS = MFUS + (MWUS/1.087); MGCN = MFCN + (MWCN/1.087); MGIW = MFINA + (MWINA/1.087); 275 XGTW MGTW MGIRW MGINA MGRW XGRW XGW MGW = = = = = = = = XFW + (XWW/1.087); MFW + (MWW/1.087); MGIW - (MGITH + MGICN); MGITH + MGICN + MGIRW; MGTW - (MGIN+MGUS+MGCN+MGINA); XGTW - (XGBR+XGTH); XGBR + XGTH + XGRW; MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; /*Make Lag Variables*/ LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LHRGE = LAG(HRGE); LJPG = LAG(JPG); LHRPUK = LAG(HRPUK); LURBUN = LAG(URBUN); LYGHR = LAG(YGHR); LYGHS = LAG(YGHS); LHRGM = LAG(HRGM); LPDBR = LAG(PDBR); LDGRT = LAG(DGRT); LHRKIN = LAG(HRKIN); LJIM = LAG(JIM); L2PDBIN = LAG2(PDBINR); LDGIN = LAG(DGIN); LQGINA = LAG(QGINA); LHRGP = LAG(HRGP); LHRGW = LAG(HRGW); LHRGINA = LAG(HRGINA); LERICN = LAG(ERICN); LSTG = LAG(STG); LXGBR = LAG(XGBR); LERTH = LAG(ERTH); LPOPIN = LAG(POPIN); LERIN = LAG(ERIN); LMGUS = LAG(MGUS); LPOPCN = LAG(POPCN); LMGCN = LAG(MGCN); LMGITH = LAG(MGITH); LERBR = LAG(ERBR); /*Create Data Baru*/ SGINA = QGINA+MGINA+LSTG; LSGINA = LAG(SGINA); SHRGPB = HRGPB-LHRGPB; RHRGPB = HRGPB/LHRGPB; RHRGB = HRGB/LHRGB; SHRPUK = HRPUK-LHRPUK; RHPUK = HRPUK/LHRPUK; HGPUK = HRGP/HRPUK; RHRGM = HRGM/LHRGM; LJPDBR = (PDBR-LPDBR)/LPDBR; SHRKIN = HRKIN-LHRKIN; 276 LJJIM RQGINA SHRGINA SERICN SPOPIN SSTG SERBR SERTH LJPOPIN LJPOPCN SERIN SHRGW = = = = = = = = = = = = (JIM-LJIM)/LJIM; QGINA/LQGINA; HRGINA-LHRGINA; ERICN-LERICN; POPIN-LPOPIN; STG-LSTG; ERBR-LERBR; ERTH-LERTH; (POPIN-LPOPIN)/LPOPIN; (POPCN-LPOPCN)/LPOPCN; ERIN-LERIN; HRGW-LHRGW; RUN; PROC FORECAST DATA=GULA METHOD=STEPAR TREND=2 ID TAHUN; VAR CGCN CGUS CHJ ERITH ERBR ERTH HRPUK JPG HRGB HRGM ERICN XGRW MGRW POPIN POPINA QGBR QGTH JIM PDBINR QGIN QGUS STCN STUS T TIG URBUN HRKIN MGTW RUN; PROC PRINT DATA=EXO (FIRSTOBS=25); ID TAHUN; RUN; OUT=EXO OUTDATA LEAD=10; HRKO ERIN QGCN MGIW IRIN POPCN QGKR DKKPE IRCN PDBR STG MGIRW REND SBR DHPP; 277 Lampiran 11. Hasil Peramalan Variabel Eksogen Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode STEPAR dan Prosedur FORECAST dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 The SAS System Tahun _TYPE_ _LEAD_ CGCN CGUS CHJ 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 ACTUAL ACTUAL ACTUAL ACTUAL ACTUAL ACTUAL FORECAST FORECAST FORECAST FORECAST FORECAST FORECAST FORECAST FORECAST FORECAST FORECAST 0 0 0 0 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 7623354 7816650 10153515 8341995 8437172 8532349 8756174.6348 8903644.4533 9017809.6376 9117448.1139 9210750.3774 9301288.9321 9390622.0212 9479429.3142 9568007.267 9656485.1871 9295257 9307500 9297963 8770827 8861678 8952529 9115078.1713 9250034.9219 9367172.0994 9472801.1462 9570998.0805 9664395.2521 9754692.6695 9842988.2221 9929990.9423 10016158.733 1266.27 985.15 2389.99 2411.53 2206.24 2152.17 1777.4209475 1950.7081243 1693.6886526 1860.6932862 2234.8770878 2351.5841517 1770.9826831 1762.5103831 1847.8543624 1870.6541555 Tahun ERTH HRPUK HRKO IRIN IRCN 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 40.2100 36.1812 29.9477 28.9982 30.4748 27.2719 27.5232 29.2063 30.4708 30.6915 31.4604 31.6486 30.9568 29.6914 28.2786 26.5880 1837.50 1806.91 1613.66 1437.87 1367.45 1359.57 1516.85 1709.48 1919.77 2099.00 2235.83 2323.90 2371.21 2389.31 2391.98 2390.95 22255.82 21185.65 19756.64 24185.36 19754.31 19039.36 21845.77 21081.45 20317.14 19552.83 18788.51 18024.20 17259.89 16495.57 15731.26 14966.95 658553437817 719561619358 790088337362 820830424070 888452309192 973324950212 960952835298 956119520184 957297218479 963267759556 973059842920 985899008384 1.0011677E12 1.0183737E12 1.0371242E12 1.0571064E12 1.9087864E12 2.1512023E12 2.456673E12 2.6925136E12 2.9402248E12 3.2460082E12 3.188189E12 3.1588172E12 3.1525283E12 3.1649694E12 3.1926084E12 3.2325794E12 3.2825568E12 3.3406537E12 3.4053389E12 3.47537E12 ERITH ERBR 265.783 241.220 248.519 241.201 227.134 204.874 274.552 269.900 265.247 260.594 255.941 251.288 246.635 241.982 237.329 232.676 2.68390 2.17000 1.71514 1.52044 1.50621 1.26372 1.83340 2.29996 2.68681 3.01206 3.28968 3.53050 3.74287 3.93325 4.10664 4.26688 PDBR JPG 3064149.66 3339216.80 3492965.43 4111572.28 4241501.06 4638155.83 4383350.55 4309986.29 4331724.32 4403310.20 4501023.84 4612432.33 4731018.97 4853368.05 4977689.20 5103044.01 59 59 59 60 62 62 61.2531 60.6238 60.0843 59.6130 59.1937 58.8141 58.4646 58.1380 57.8290 57.5333 278 The SAS System Tahun HRGB HRGM ERICN XGRW MGRW 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2072.76 2372.49 2331.61 2155.91 1803.55 2181.73 2267.86 2283.04 2298.22 2313.40 2328.58 2343.76 2358.94 2374.12 2389.30 2404.48 6604.17 6565.73 6852.97 6833.25 7396.06 8215.81 7406.85 7456.12 7505.38 7554.64 7603.91 7653.17 7702.43 7751.70 7800.96 7850.23 1306.54 1147.32 1059.57 1154.17 1149.21 964.76 1521.31 1536.71 1552.12 1567.53 1582.93 1598.34 1613.74 1629.15 1644.56 1659.96 25278276.97 26977002.93 25662632.82 22393876.82 21582976.13 24042651.80 24600008.56 24914692.63 25110131.58 25246975.54 25355026.95 25448930.20 25535881.29 25619416.21 25701272.48 25782303.90 37960334.17 40540479.22 41771044.16 38584881.58 38489693.50 43741977.31 43016861.37 42946158.39 43248310.38 43762898.28 44398522.56 45103107.91 45846984.17 46613246.60 47392263.67 48178547.75 Tahun POPCN STG 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 1303720000 1311020000 1317885000 1324655000 1331380000 1338300000 1354311446.8 1369847760.4 1384967830 1399723245.7 1414159203.6 1428315298.2 1442226216.3 1455922345.7 1469430307.7 1482773424.4 708501 567194 1082231 1204295 510762 1029970 726166.54572 598217.2461 535414.75315 496746.50045 467019.00146 440603.6878 415415.40399 390681.68481 366116.36331 341613.42631 MGIRW 815389.11 1125069.80 1358472.92 751319.08 698680.49 866013.27 882428.97 906381.88 933583.12 962184.31 991388.85 1020853.41 1050430.03 1080054.95 1109700.69 1139355.39 POPIN 1140042863 1157038539 1173971629 1190863679 1207740408 1224615000 1242832049.4 1260976442.4 1279058230.6 1297086074.9 1315067438.2 1333008750.7 1350915553.3 1368792620.3 1386644065.2 1404473432.9 POPINA 227303175 229918547 232461746 234951154 237414495 239870000 243219854.64 246496227.5 249712282.32 252878824.63 256004724.24 259097261.98 262162414.4 265205087.38 268229307.94 271238381.7 ERIN 43.9800 42.5624 36.6132 35.6547 35.6974 30.0968 32.3106 34.0310 35.3508 36.3454 37.0760 37.5923 37.9346 38.1357 38.2221 38.2154 QGBR QGTH 27138914.44 29591536.34 28776264.95 29517295.31 31864673.41 36680772.77 36075944.66 35849914.00 35911226.78 36190508.98 36635135.71 37205187.42 37870382.47 38607750.16 39399865.66 40233511.10 4760294.39 4448058.88 6181950.32 7190929.16 6611398.34 6374158.23 6894404.43 7237680.50 7250085.46 7339791.23 7574021.97 7774487.61 7911824.53 8063910.10 8243570.39 8416788.44 279 The SAS System Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 JIM 4722 6651 6341 6063 5871 5579 6017.00 6320.15 6550.64 6741.96 6912.18 7071.03 7223.75 7373.17 7520.80 7667.48 PDBINR QGIN 686901.26 747444.40 783599.68 946053.59 959506.81 999598.50 985619.43 991771.90 1009401.11 1033573.06 1061474.94 1091503.21 1122743.72 1154675.30 1187000.85 1219551.00 Tahun REND 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 7.18 7.63 7.35 7.96 7.6 6.46 6.7494942529 6.6994186133 6.6493429737 6.5992673341 6.5491916945 6.4991160549 6.4490404153 6.3989647757 6.3488891361 6.2988134965 QGUS 13035878.56 19448022.08 28316467.34 26338546.46 14673413.06 18985280.59 25762978.18 26275750.16 22552023.35 21405728.48 24212938.47 26857687.91 26724022.30 25573258.31 25915579.37 27562186.12 SBR -6.57000 5.38000 1.90000 -2.33000 4.37000 -0.46000 -0.97432 -1.22707 -1.47983 -1.73258 -1.98533 -2.23808 -2.49083 -2.74359 -2.99634 -3.24909 6174793.01 7048758.05 6804047.84 6286108.56 6514259.43 6535418.58 6856356.04 7077893.69 7238865.15 7362932.47 7464513.40 7552392.95 7631923.98 7706368.10 7777712.67 7847168.63 QGCN QGKR 8892732.29 12049485.74 14903063.48 12490321.99 10788040.48 10515179.39 11622318.83 12831787.25 13185968.91 12883968.10 12704846.17 13050246.73 13673557.80 14135979.22 14301477.71 14370912.17 STCN STUS 918251 481167 -1212845 -168639 -176641 -184642 -234936.2925 -241732.7789 -227867.7894 -235252.715 -252731.359 -259828.8153 -261995.2032 -269233.0964 -278879.9568 -286049.2426 1177897 -379753 874042 -127335 -132854 -138372 169535.73103 180929.70078 192323.67052 203717.64027 215111.61001 226505.57976 237899.5495 249293.51924 260687.48899 272081.45873 T 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 759708 1100228 1441501 1256435 2031843 2356805 2111172.4655 1935928.0938 1814475.0985 1734130.0403 1685200.101 1660277.927 1653702.7403 1661148.5148 1679309.2558 1705658.487 TIG 25 28 28 28 24 28 29.101324627 30.226162367 31.366271902 32.516300485 33.672771503 34.83342689 35.99680003 37.161938353 38.328223165 39.495252622 280 The SAS System Tahun URBUN HRKIN MGTW MGIW 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 17332.21 20696.32 21684.97 23528.48 23014.21 23381.54 23392.18 23481.82 23638.91 23853.60 24117.49 24423.39 24765.18 25137.60 25536.19 25957.13 1.85553 1.89000 1.75051 1.74477 1.67272 1.71144 -0.77131 -2.34618 -3.47323 -4.37940 -5.17662 -5.92010 -6.63707 -7.34097 -8.03842 -8.73269 43812550.77 46424896.05 47376041.50 44123311.80 46044468.57 50786123.46 49836323.02 49521586.37 49618125.73 49981013.07 50516391.00 51163476.20 51882904.57 52649183.35 53445803.11 54262072.10 1521493.63 1325976.09 2448906.76 1551559.85 1271614.59 1287461.68 1558367.78 1701886.46 1794668.97 1867244.16 1931771.14 1993092.65 2053137.47 2112673.83 2172007.66 2231260.83 DKKPE DHPP 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 281 Lampiran 12. Program Peramalan Variabel Endogen Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 /*Program Peramalan Variabel Endogen*/ OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA RAMAL; SET EXO; IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN APTN = 1; APTS = 1; APTR = 1; YGHN = 1; YGHS = 1; YGHR = 1; DGRT = 1; DGIN = 1; HRGP = 1; HRGPB = 1; HRGE = 1; HRGINA= 1; HRGW = 1; DKKPE = 1; DHPP = 1; RUN; PROC PRINT DATA=RAMAL (FIRSTOBS=25); RUN; PROC SIMNLIN DATA=RAMALGULA DYNAMIC SIMULATE OUT=ENDO; ENDOGENOUS APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW; INSTRUMENTS CGCN CGUS CHJ DKKPE DHPP ERITH ERBR ERTH HRPUK HRKO IRIN IRCN PDBR JPG HRGB HRGM ERICN XGRW MGRW POPIN ERIN POPCN STG MGIRW POPINA QGBR QGTH JIM PDBINR QGIN QGUS QGCN QGKR REND SBR STCN STUS T TIG URBUN HRKIN; LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LHRGE = LAG(HRGE); LJPG = LAG(JPG); LHRPUK = LAG(HRPUK); LURBUN = LAG(URBUN); LYGHR = LAG(YGHR); LYGHS = LAG(YGHS); LHRGM = LAG(HRGM); LPDBR = LAG(PDBR); LDGRT = LAG(DGRT); 282 LHRKIN LJIM L2PDBIN LDGIN LQGINA LHRGP LHRGW LHRGINA LERICN LSTG LXGBR LERTH LPOPIN LERIN LMGUS LPOPCN LMGCN LMGITH LERBR = = = = = = = = = = = = = = = = = = = LAG(HRKIN); LAG(JIM); LAG2(PDBINR); LAG(DGIN); LAG(QGINA); LAG(HRGP); LAG(HRGW); LAG(HRGINA); LAG(ERICN); LAG(STG); LAG(XGBR); LAG(ERTH); LAG(POPIN); LAG(ERIN); LAG(MGUS); LAG(POPCN); LAG(MGCN); LAG(MGITH); LAG(ERBR); PARM A0 -58507.8 A1 7.019 A2 -8.931 A3 1401.404 A4 -235.054 A5 296.083 A6 0.393 B0 -30759.5 B1 1.396 B2 -10934.2 B3 660.433 B4 -488.834 B5 1655.675 B6 0.609 C0 -70786.7 C1 4.640525 C2 -30.1531 C3 3185.105 C4 -420.724 C5 915.7704 C6 0.54337 D0 -7.82566 D1 0.000716 D2 -0.00091 D3 6.53E-06 D4 1.02E+00 D5 -7.81E-06 D6 0.035034 ; E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 G0 G1 G2 G3 G4 G5 G6 H0 H1 H2 H3 H4 H5 1.317542 0.000028 -1.85419 0.000028 0.000147 0.639197 -0.00002 0.03558 -0.94612 0.144799 2.61E-07 -0.00004 0.617054 0.327803 0.680695 224009.4 -185.862 37639.88 -2.49354 522469.5 0.010401 0.382462 -396625 -12.4975 34560.46 148787.7 1.292485 0.759753 I0-16.5646 I1 0.881358 I2 -557.12 I3 105.1625 I4 3.70296 I5 0.143517 J0 -218.315 J1 0.904098 J2 8.933385 J3 0.029177 K0 3905.693 K1 0.262341 K2 0.000249 K3 -0.00008 L0 156.1317 L1 4.937577 L2 51.66909 L3 0.202815 M0 341127.1 M1 -20.8237 M2 -0.09003 M3 -244.582 M4 -0.14987 M5 -6335.73 M6 36383.02 M7 0.070703 N0 N1 N2 N3 N4 N5 N6 O0 O1 O2 O3 O4 P0 P1 P2 P3 P4 Q0 Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 27132.28 -1.83649 -0.02588 -2397.54 -2.15749 -0.00045 5214.175 -6330563 2504.546 0.790311 325475.5 0.073383 -179072 716.1686 0.470358 2570.296 50528.95 -2.36E+07 -2465.2 -0.11979 1.06E+09 -4.34E+04 2.67E-06 3.56E+05 R0 R1 R2 R3 R4 R5 S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 T0 T1 T2 T3 1565346 -132.809 -0.93316 0.767013 -0.89732 0.051877 350378.8 -1131.57 -0.16627 0.061002 -0.45192 6.80E-07 1.20E+08 2.82E-01 216.782 -0.00002 0.00002 0.630578 /*STRUCTURAL EQUATIONS*/ APTN = A0 + A1*HRGPB + A2*HRGB + A3*JPG + A4*LSBR + A5*T + A6*LAPTN; APTS = B0 + B1*(HRGPB-LHRGPB) + B2*(HRGB/LHRGB) + B3*JPG + B4*SBR + B5*T + B6*LAPTS; APTR = C0 + C1*HRGP + C2*HRGB + C3*JPG + C4*SBR + C5*T + C6*LAPTR; 283 YGHN = D0 + D1*HRGPB + D2*(HRPUK-LHRPUK) + D3*LAPTN + D4*REND + D5*LURBUN + D6*T; YGHS = E0 + E1*(HRGPB-LHRGPB) + E2*(HRPUK/LHRPUK) + E3*LAPTS + E4*CHJ + E5*REND + E6*URBUN + E7*LYGHS; YGHR = F0 + F1*(HRGP/HRPUK) + F2*LAPTR + F3*LURBUN + F4*DKKPE + F5*REND + F6*LYGHR; DGRT = G0 + G1*HRGE + G2*(HRGM/LHRGM) + G3*HRKO + G4*((PDBRLPDBR)/LPDBR)+ G5*POPINA + G6*LDGRT; DGIN = H0 + H1*LHRGPB + H2*HRKIN + H3*((JIM-LJIM)/LJIM) + H4*(L2PDBIN) + H5*LDGIN; HRGP = I0 + I1*HRGPB + I2*(QGINA/LQGINA) + I3*DHPP + I4*T + I5*LHRGP; HRGPB = J0 + J1*HRGE + J2*T + J3*LHRGPB; HRGE = K0 + K1*HRGINA + K2*DGINA + K3*SGINA; HRGINA = L0 + L1*HRGW + L2*T+ L3*LHRGINA ; MGITH = M0 + M1*HRGINA + M2*QGINA + M3*ERITH + M4*LSTG + M5*TIG + M6*T + M7*LMGITH; MGICN = N0 + N1*(HRGINA-LHRGINA) + N2*QGINA + N3*TIG + N4*(ERICNLERICN) + N5*(STG-LSTG) + N6*T; XGBR = O0 + O1*HRGW + O2*QGBR + O3*(ERBR-LERBR) + O4*LXGBR; XGTH = P0 + P1*HRGW + P2*QGTH + P3*(ERTH-LERTH); MGIN = Q0 + Q1*HRGW + Q2*QGIN + Q3*(POPIN-LPOPIN)/LPOPIN + Q4*(ERINLERIN) + Q5*IRIN + Q6*T; MGUS = R0 + R1*(HRGW-LHRGW) + R2*QGUS + R3*CGUS + R4*STUS + R5*LMGUS; MGCN = S0 + S1*LHRGW + S2*QGCN + S3*CGCN + S4*STCN + S5*IRCN + S6*((POPCN-LPOPCN)/LPOPCN) + S7*LMGCN; HRGW = T0 + T1*XGW + T2*MGW+ T3*LHRGW; /*IDENTITY EQUATIONS*/ QGKPN = (APTN*YGHN)*1.003; QGKPS = (APTS*YGHS)*1.003; QGKPR = (APTR*YGHR)*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; MGINA = MGITH + MGICN + MGIRW; SGINA = QGINA + MGINA + LSTG; XGW = XGBR + XGTH + XGRW; MGW = MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; PPMRTH = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; PPMRCN = (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; PPMRRW = (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; DEVITH = MGITH*(HRGINA*1000); DEVICN = MGICN*(HRGINA*1000); DEVIRW = MGIRW*(HRGINA*1000); RANGE TAHUN=2011 TO 2020; RUN; PROC PRINT DATA=ENDO; VAR TAHUN APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS RUN; QGKPN QGKPS QGKPR HRGPB HRGE HRGINA MGCN HRGW XGW MGW; 284 Lampiran 13. Hasil Peramalan Variabel Endogen Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length 36 36 124 Tahun 36 70 2 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT= RAMALGULA ENDO Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations 36 2 Tahun 2011 2020 NEWTON 1E-8 1.15E-9 3 30 3 Observations Processed Read Lagged Solved First Last 12 2 10 31 40 285 The SAS System Obs Tahun APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 86789.82 91620.85 93695.09 94749.59 95283.74 95458.66 95436.09 95572.39 95727.27 95843.40 120057.80 125343.48 129845.88 134030.45 138028.95 141940.94 145845.66 149823.82 153805.79 157800.79 245521.56 246900.28 247742.85 248300.52 248653.57 248823.96 248878.47 249008.00 249201.74 249429.88 4.4348 4.5944 4.6640 4.7166 4.7458 4.7518 4.7464 4.7609 4.7694 4.7712 6.9231 7.1378 7.2378 7.3738 7.5299 7.6417 7.6457 7.7297 7.8300 7.9209 5.1849 5.0933 5.0256 4.9729 4.9280 4.8859 4.8439 4.8036 4.7639 4.7235 386048.58 422209.64 438304.92 448235.79 453549.46 454962.42 454336.97 456374.83 457932.68 458658.27 Obs QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 833665.87 897364.16 942620.07 991284.43 1042462.19 1087917.10 1118439.66 1161561.42 1207915.13 1253671.66 1276810.38 1261300.23 1248782.89 1238469.98 1229050.11 1219364.10 1209161.74 1199733.73 1190727.70 1181705.25 2496524.83 2580874.03 2629707.88 2677990.19 2725061.76 2762243.62 2781938.37 2817669.99 2856575.50 2894035.17 4607697.30 4516802.12 4444182.98 4412120.23 4410261.86 4422521.55 4435641.11 4478818.50 4535884.76 4599693.66 2480490.48 2564713.82 2623939.34 2671568.38 2718340.04 2769157.96 2822971.98 2870908.62 2918063.36 2966238.81 2748996.57 2971830.40 3085155.93 3128188.71 3127207.61 3100549.78 3060668.93 3015612.66 2969971.88 2926924.08 Obs DGINA SGINA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 5229487.05 5536544.22 5709095.27 5799757.08 5845547.65 5869707.75 5883640.91 5886521.28 5888035.24 5893162.89 6868463.89 6505812.93 6796328.30 6692156.04 6566452.22 6687155.49 6991527.13 6917786.38 6960376.82 7123632.34 HRGP 5369.56 5499.58 5576.10 5644.47 5693.28 5718.11 5730.90 5765.27 5796.99 5821.48 HRGPB 5613.94 5750.21 5813.97 5880.47 5924.82 5942.86 5949.25 5986.24 6014.33 6033.60 HRGE HRGINA MGITH 5954.39 6104.27 6160.51 6222.13 6259.16 6267.80 6264.41 6295.23 6315.23 6325.75 4940.26 5109.54 5248.74 5365.82 5425.16 5471.96 5538.63 5630.91 5718.68 5803.70 589991.39 679699.28 736700.78 778628.19 814509.73 847743.91 879914.92 908683.94 936070.57 962855.16 286 Obs MGICN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 -969.09 4274.59 8683.27 12014.97 14617.40 16761.34 18816.17 20077.47 21031.08 21804.50 Obs 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 MGINA 1230796.60 1262844.26 1753928.07 1744621.06 1659443.85 1797614.94 2115282.34 2023552.48 2033810.37 2157822.31 MGCN HRGW 2706625.57 2638970.98 2496818.90 2466572.97 2470827.74 2417808.74 2311002.84 2221784.07 2190419.92 2198608.15 457.88 465.42 476.19 483.72 480.47 477.04 478.16 483.65 487.17 490.32 XGBR XGTH 25315074.36 25091651.94 25151886.82 25381818.31 25750706.48 26201295.94 26745040.66 27366196.69 28036786.43 28742502.48 3395859.17 3564602.30 3576727.78 3622369.86 3731045.87 3820902.00 3884266.99 3958579.65 4045141.53 4128321.04 XGW 52995400.48 53291800.47 53622573.95 54094770.71 54728152.70 55397674.97 56116446.47 56912294.75 57762549.39 58639873.19 MGIN 1401942.13 1403441.88 1953479.31 2170143.33 2009964.28 1883375.84 2085805.89 2418712.05 2583524.26 2599010.52 MGW 51391984.21 51287137.04 51919006.65 52427896.29 52661226.12 53262153.16 54144661.44 55179577.09 56032935.02 56956776.62 MGUS 2146157.46 2003419.08 1924993.86 1876376.73 1845589.61 1823422.16 1806489.36 1793062.20 1782558.79 1773117.34 287 Lampiran 14. Program Simulasi Peramalan Nilai Dasar Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 Contoh : Simulasi Peramalan Nilai Dasar Periode ACFTA tahun 2015-2020 /*Program Simulasi Peramalan Nilai Dasar*/ data RAMALGULA ; set RAMALAN ; /*create data*/ QGHN = APTN*YGHN; QGHS = APTS*YGHS; QGHR = APTR*YGHR; QGKPN = QGHN*1.003; QGKPS = QGHS*1.003; QGKPR = QGHR*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; MGIRW = MGIW - (MGITH + MGICN); MGINA = MGITH + MGICN + MGIRW; MGRW = MGTW - (MGIN+MGUS+MGCN+MGINA); XGW = XGBR + XGTH + XGRW; MGW = MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; /*Make Lag Variables*/ LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LHRGE = LAG(HRGE); LJPG = LAG(JPG); LHRPUK = LAG(HRPUK); LURBUN = LAG(URBUN); LYGHR = LAG(YGHR); LYGHS = LAG(YGHS); LHRGM = LAG(HRGM); LPDBR = LAG(PDBR); LDGRT = LAG(DGRT); LHRKIN = LAG(HRKIN); LJIM = LAG(JIM); L2PDBIN = LAG2(PDBINR); LDGIN = LAG(DGIN); LQGINA = LAG(QGINA); LHRGP = LAG(HRGP); LHRGW = LAG(HRGW); LHRGINA = LAG(HRGINA); LERICN = LAG(ERICN); LSTG = LAG(STG); LXGBR = LAG(XGBR); LERTH = LAG(ERTH); LPOPIN = LAG(POPIN); 288 LERIN LMGUS LPOPCN LMGCN LMGITH LERBR = = = = = = LAG(ERIN); LAG(MGUS); LAG(POPCN); LAG(MGCN); LAG(MGITH); LAG(ERBR); /*Create Data Baru*/ SGINA = QGINA+MGINA+LSTG; LSGINA = LAG(SGINA); SHRGPB = HRGPB-LHRGPB; RHRGPB = HRGPB/LHRGPB; RHRGB = HRGB/LHRGB; SHRPUK = HRPUK-LHRPUK; RHPUK = HRPUK/LHRPUK; HGPUK = HRGP/HRPUK; RHRGM = HRGM/LHRGM; LJPDBR = (PDBR-LPDBR)/LPDBR; SHRKIN = HRKIN-LHRKIN; LJJIM = (JIM-LJIM)/LJIM; RQGINA = QGINA/LQGINA; SHRGINA = HRGINA-LHRGINA; SERICN = ERICN-LERICN; SPOPIN = POPIN-LPOPIN; SSTG = STG-LSTG; SERBR = ERBR-LERBR; SERTH = ERTH-LERTH; LJPOPIN = (POPIN-LPOPIN)/LPOPIN; LJPOPCN = (POPCN-LPOPCN)/LPOPCN; SERIN = ERIN-LERIN; SHRGW = HRGW-LHRGW; PPMRTH = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; PPMRCN = (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; PPMRRW = (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; DEVITH = MGITH*(HRGINA*1000); DEVICN = MGICN*(HRGINA*1000); DEVIRW = MGIRW*(HRGINA*1000); RUN; PROC SIMNLIN DATA=RAMALGULA DYNAMIC SIMULATE STAT ENDOGENOUS APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH PPMRCN PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW; INSTRUMENTS CGCN CGUS CHJ DKKPE DHPP ERITH ERBR ERTH HRPUK HRKO IRIN IRCN PDBR JPG HRGB HRGM ERICN XGRW MGRW POPIN ERIN POPCN STG MGIRW POPINA QGBR QGTH JIM PDBINR QGIN QGUS QGCN QGKR REND SBR STCN STUS T TIG URBUN HRKIN; LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LHRGE = LAG(HRGE); 289 LJPG LHRPUK LURBUN LYGHR LYGHS LHRGM LPDBR LDGRT LHRKIN LJIM L2PDBIN LDGIN LQGINA LHRGP LHRGW LHRGINA LERICN LSTG LXGBR LERTH LPOPIN LERIN LMGUS LPOPCN LMGCN LMGITH LERBR = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = LAG(JPG); LAG(HRPUK); LAG(URBUN); LAG(YGHR); LAG(YGHS); LAG(HRGM); LAG(PDBR); LAG(DGRT); LAG(HRKIN); LAG(JIM); LAG2(PDBINR); LAG(DGIN); LAG(QGINA); LAG(HRGP); LAG(HRGW); LAG(HRGINA); LAG(ERICN); LAG(STG); LAG(XGBR); LAG(ERTH); LAG(POPIN); LAG(ERIN); LAG(MGUS); LAG(POPCN); LAG(MGCN); LAG(MGITH); LAG(ERBR); PARM A0 -58507.8 A1 7.019 A2 -8.931 A3 1401.404 A4 -235.054 A5 296.083 A6 0.393 B0 -30759.5 B1 1.396 B2 -10934.2 B3 660.433 B4 -488.834 B5 1655.675 B6 0.609 C0 -70786.7 C1 4.640525 C2 -30.1531 C3 3185.105 C4 -420.724 C5 915.7704 C6 0.54337 D0 -7.82566 D1 0.000716 D2 -0.00091 D3 6.53E-06 D4 1.02E+00 D5 -7.81E-06 D6 0.035034 E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 G0 G1 G2 G3 G4 G5 G6 H0 H1 H2 H3 H4 H5 1.317542 0.000028 -1.85419 0.000028 0.000147 0.639197 -0.00002 0.03558 -0.94612 0.144799 2.61E-07 -0.00004 0.617054 0.327803 0.680695 224009.4 -185.862 37639.88 -2.49354 522469.5 0.010401 0.382462 -396625 -12.4975 34560.46 148787.7 1.292485 0.759753 I0-16.5646 I1 0.881358 I2 -557.12 I3 105.1625 I4 3.70296 I5 0.143517 J0 -218.315 J1 0.904098 J2 8.933385 J3 0.029177 K0 3905.693 K1 0.262341 K2 0.000249 K3 -0.00008 L0 156.1317 L1 4.937577 L2 51.66909 L3 0.202815 M0 341127.1 M1 -20.8237 M2 -0.09003 M3 -244.582 M4 -0.14987 M5 -6335.73 M6 36383.02 M7 0.070703 N0 N1 N2 N3 N4 N5 N6 O0 O1 O2 O3 O4 P0 P1 P2 P3 P4 Q0 Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 27132.28 -1.83649 -0.02588 -2397.54 -2.15749 -0.00045 5214.175 -6330563 2504.546 0.790311 325475.5 0.073383 -179072 716.1686 0.470358 2570.296 50528.95 -2.36E+07 -2465.2 -0.11979 1.06E+09 -4.34E+04 2.67E-06 3.56E+05 R0 R1 R2 R3 R4 R5 S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 T0 T1 T2 T3 1565346 -132.809 -0.93316 0.767013 -0.89732 0.051877 350378.8 -1131.57 -0.16627 0.061002 -0.45192 6.80E-07 1.20E+08 2.82E-01 216.782 -0.00002 0.00002 0.630578 290 ; /*STRUCTURAL EQUATIONS*/ APTN = A0 + A1*HRGPB + A2*HRGB + A3*JPG + A4*LSBR + A5*T + A6*LAPTN; APTS = B0 + B1*(HRGPB-LHRGPB) + B2*(HRGB/LHRGB) + B3*JPG + B4*SBR + B5*T + B6*LAPTS; APTR = C0 + C1*HRGP + C2*HRGB + C3*JPG + C4*SBR + C5*T + C6*LAPTR; YGHN = D0 + D1*HRGPB + D2*(HRPUK-LHRPUK) + D3*LAPTN + D4*REND + D5*LURBUN + D6*T; YGHS = E0 + E1*(HRGPB-LHRGPB) + E2*(HRPUK/LHRPUK) + E3*LAPTS + E4*CHJ + E5*REND + E6*URBUN + E7*LYGHS; YGHR = F0 + F1*(HRGP/HRPUK) + F2*LAPTR + F3*LURBUN + F4*DKKPE + F5*REND + F6*LYGHR; DGRT = G0 + G1*HRGE + G2*(HRGM/LHRGM) + G3*HRKO + G4*((PDBRLPDBR)/LPDBR)+ G5*POPINA + G6*LDGRT; DGIN = H0 + H1*LHRGPB + H2*HRKIN + H3*((JIM-LJIM)/LJIM) + H4*(L2PDBIN) + H5*LDGIN; HRGP = I0 + I1*HRGPB + I2*(QGINA/LQGINA) + I3*DHPP + I4*T + I5*LHRGP; HRGPB = J0 + J1*HRGE + J2*T + J3*LHRGPB; HRGE = K0 + K1*HRGINA + K2*DGINA + K3*SGINA; HRGINA = L0 + L1*HRGW + L2*T+ L3*LHRGINA ; MGITH = M0 + M1*HRGINA + M2*QGINA + M3*ERITH + M4*LSTG + M5*TIG + M6*T + M7*LMGITH; MGICN = N0 + N1*(HRGINA-LHRGINA) + N2*QGINA + N3*TIG + N4*(ERICNLERICN) + N5*(STG-LSTG) + N6*T; XGBR = O0 + O1*HRGW + O2*QGBR + O3*(ERBR-LERBR) + O4*LXGBR; XGTH = P0 + P1*HRGW + P2*QGTH + P3*(ERTH-LERTH); MGIN = Q0 + Q1*HRGW + Q2*QGIN + Q3*(POPIN-LPOPIN)/LPOPIN + Q4*(ERINLERIN) + Q5*IRIN + Q6*T; MGUS = R0 + R1*(HRGW-LHRGW) + R2*QGUS + R3*CGUS + R4*STUS + R5*LMGUS; MGCN = S0 + S1*LHRGW + S2*QGCN + S3*CGCN + S4*STCN + S5*IRCN + S6*((POPCN-LPOPCN)/LPOPCN) + S7*LMGCN; HRGW = T0 + T1*XGW + T2*MGW+ T3*LHRGW; /*IDENTITY EQUATIONS*/ QGKPN = (APTN*YGHN)*1.003; QGKPS = (APTS*YGHS)*1.003; QGKPR = (APTR*YGHR)*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; MGINA = MGITH + MGICN + MGIRW; SGINA = QGINA + MGINA + LSTG; XGW = XGBR + XGTH + XGRW; MGW = MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; PPMRTH = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; PPMRCN = (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; PPMRRW = (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; DEVITH = MGITH*(HRGINA*1000); DEVICN = MGICN*(HRGINA*1000); DEVIRW = MGIRW*(HRGINA*1000); RANGE TAHUN=2015 TO 2020; /* RANGE TAHUN 2011 TO 2014; */ RUN; 291 Lampiran 15. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 Contoh : Simulasi Peramalan Nilai Dasar Periode ACFTA tahun 2015-2020 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length 36 36 124 Tahun 36 70 2 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= RAMALGULA Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations 36 2 Tahun 2015 2020 NEWTON 1E-8 3.89E-16 3 18 3 Observations Processed Read Lagged Solved First Last 8 2 6 11 16 292 293 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2015 To 2020 Descriptive Statistics Variable N Obs N Actual Mean Std Dev 95553.6 205.0 147874 7399.6 248999 279.8 4.7583 0.00983 7.7167 0.1411 4.8233 0.0792 456041 1891.5 1145380 78078.4 1204591 18453.1 2806013 61611.2 4480229 73516.9 2844280 92720.3 3033489 77109.2 5877769 17644.5 6991984 135573 5754.3 49.0645 5975.2 43.1764 6287.9 28.3374 5598.2 146.5 891630 55406.8 18851.3 2730.3 2082324 111917 27140421 1130548 3928043 146260 2263399 309653 1804040 27004.5 2301742 119641 482.8 5.2251 56642269 1434950 52319972 1409187 1.836E12 2.702E11 Predicted Mean Std Dev Label APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGP HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 91075.0 951.2 147670 7414.1 234361 4365.5 4.6109 0.0228 7.6122 0.1576 4.1861 0.3321 421185 2628.6 1128436 79824.5 985199 96834.8 2534821 25657.9 4209037 36882.6 2918284 108604 2954823 43862.7 5873107 78325.0 6762361 78732.0 5663.1 29.7592 5875.0 31.4698 6179.7 19.4958 5156.0 48.5179 925994 70071.2 26056.9 4709.1 2123894 128462 26988620 1085602 3872515 130788 2449443 342785 1806342 28624.0 2385513 68169.6 407.3 18.5122 56434941 1374359 52633659 1512435 1.753E12 2.367E11 PPMRCN 6 6 3.904E10 8.7565E9 4.957E10 1.166E10 PPMRRW 6 6 2.411E12 3.177E11 2.215E12 2.359E11 DEVITH DEVICN DEVIRW 6 6 6 6 4.998E12 4.401E11 4.774E12 3.609E11 6 1.059E11 1.786E10 1.343E11 2.419E10 6 6.567E12 4.746E11 6.042E12 2.848E11 Luas Perkeb. Besar Negara Luas Perkeb. Besar Swasta Luas Perkeb. Rakyat Produktivitas hablur negara Produktivitas hablur swasta Produktivitas hablur rakyat Produksi GKP Negara Produksi GKP Swasta Produksi GKP Rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia Permintaan gula RT Permintaan gula industri Permintaan gula Indonesia Penawaran gula Indonesia H.r gula petani H.r gula pdg.besar H.r gula eceran H.r impor gula Ina Impor gula dari Thai Impor gula dari China Impor gula Ina Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India Impor gula USA Impor gula China H.r gula dunia Ekspor gula dunia Impor gula dunia Pen. Pmrth dari tarif Impor asal Thailand Pen. Pmrth dari tarif Impor asal China Pen. Pmrth dari tarif Impor asal ROW Devisa impor dari Thailand Devisa impor dari China Devisa impor dari ROW 294 Lampiran 16. Program Simulasi Peramalan Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 Contoh : Simulasi peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen pada periode ACFTA tahun 2015-2020 /*Program Simulasi Peramalan */ data RAMALGULA ; set RAMALAN ; /*create data*/ QGHN = APTN*YGHN; QGHS = APTS*YGHS; QGHR = APTR*YGHR; QGKPN = QGHN*1.003; QGKPS = QGHS*1.003; QGKPR = QGHR*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; MGIRW = MGIW - (MGITH + MGICN); MGINA = MGITH + MGICN + MGIRW; MGRW = MGTW - (MGIN+MGUS+MGCN+MGINA); XGW = XGBR + XGTH + XGRW; MGW = MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; /*Make Lag Variables*/ LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LHRGE = LAG(HRGE); LJPG = LAG(JPG); LHRPUK = LAG(HRPUK); LURBUN = LAG(URBUN); LYGHR = LAG(YGHR); LYGHS = LAG(YGHS); LHRGM = LAG(HRGM); LPDBR = LAG(PDBR); LDGRT = LAG(DGRT); LHRKIN = LAG(HRKIN); LJIM = LAG(JIM); L2PDBIN = LAG2(PDBINR); LDGIN = LAG(DGIN); LQGINA = LAG(QGINA); LHRGP = LAG(HRGP); LHRGW = LAG(HRGW); LHRGINA = LAG(HRGINA); LERICN = LAG(ERICN); LSTG = LAG(STG); LXGBR = LAG(XGBR); 295 LERTH LPOPIN LERIN LMGUS LPOPCN LMGCN LMGITH LERBR = = = = = = = = LAG(ERTH); LAG(POPIN); LAG(ERIN); LAG(MGUS); LAG(POPCN); LAG(MGCN); LAG(MGITH); LAG(ERBR); /*Create Data Baru*/ SGINA = QGINA+MGINA+LSTG; LSGINA = LAG(SGINA); SHRGPB = HRGPB-LHRGPB; RHRGPB = HRGPB/LHRGPB; RHRGB = HRGB/LHRGB; SHRPUK = HRPUK-LHRPUK; RHPUK = HRPUK/LHRPUK; HGPUK = HRGP/HRPUK; RHRGM = HRGM/LHRGM; LJPDBR = (PDBR-LPDBR)/LPDBR; SHRKIN = HRKIN-LHRKIN; LJJIM = (JIM-LJIM)/LJIM; RQGINA = QGINA/LQGINA; SHRGINA = HRGINA-LHRGINA; SERICN = ERICN-LERICN; SPOPIN = POPIN-LPOPIN; SSTG = STG-LSTG; SERBR = ERBR-LERBR; SERTH = ERTH-LERTH; LJPOPIN = (POPIN-LPOPIN)/LPOPIN; LJPOPCN = (POPCN-LPOPCN)/LPOPCN; SERIN = ERIN-LERIN; SHRGW = HRGW-LHRGW; PPMRTH = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; PPMRCN = (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; PPMRRW = (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; DEVITH = MGITH*(HRGINA*1000); DEVICN = MGICN*(HRGINA*1000); DEVIRW = MGIRW*(HRGINA*1000); /*Simulasi peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen*/ HRGP = 1.30*HRGP; /* /*Penguatan peran BULOG melalui peningkatan stok gula 20 persen*/ STG = 1.20*STG; /*Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu 30 persen*/ APTN = 1.30*APTN; APTS = 1.30*APTS; APTR = 1.30*APTR; /*Simulasi swasembada absolut gula*/ MGINA = 0; MGITH = 0; MGICN = 0; MGIRW = 0; 296 /*Simulasi penghapusan tarif impor gula*/ TIG = 0; /*Simulasi penurunan tarif impor gula*/ TIG = 0.90*TIG; TIG = 0.70*TIG; TIG = 0.50*TIG; /*Simulasi peningkatan produksi gula China sebesar 20 persen*/ QGCN = 1.20*QGCN; /*Simulasi peningkatan produksi gula Brazil dan Thailand sebesar 20 persen*/ QGBR = 1.20*QGBR; QGTH = 1.20*QGTH; */ /*Simulasi Kombinasi penurunan tarif impor 50 persen dan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen*/ HRGP = 1.30*HRGP; TIG = 0.50*TIG; /*Simulasi kombinasi penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen dan peningkatan luas areal 30 persen*/ TIG = 0.50*TIG; HRGP = 1.30*HRGP; APTN = 1.30*APTN; APTS = 1.30*APTS; APTR = 1.30*APTR; /*Simulasi Kombinasi peningkatan produksi gula China 20 persen, penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen, dan peningkatan stok gula 20 persen*/ HRGP = 1.30*HRGP; TIG = 0.50*TIG; STG = 1.20*STG; /*Simulasi Kombinasi penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan luas areal 30 persen, peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen, dan peningkatan stok gula 20 persen*/ TIG = 0.50*TIG; HRGP = 1.30*HRGP; APTN = 1.30*APTN; APTS = 1.30*APTS; APTR = 1.30*APTR; STG = 1.20*STG;*/ RUN; PROC SIMNLIN DATA=RAMALGULA DYNAMIC SIMULATE ENDOGENOUS APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN DGRT DGIN DGINA SGINA /*HRGP*/ HRGPB MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW PPMRRW DEVITH DEVICN DEVIRW; INSTRUMENTS CGCN CGUS IRCN PDBR CHJ JPG DKKPE DHPP HRGB HRGM STAT QGKPS QGKPR QGKP QGINA HRGE HRGINA MGITH MGICN XGW MGW PPMRTH PPMRCN ERITH ERBR ERTH ERICN XGRW MGRW HRPUK HRKO POPIN ERIN IRIN POPCN 297 STG MGIRW POPINA QGBR REND SBR STCN STUS LSBR = LAG(SBR); LAPTN = LAG(APTN); LAPTS = LAG(APTS); LAPTR = LAG(APTR); LHRGPB = LAG(HRGPB); LHRGB = LAG(HRGB); LHRGE = LAG(HRGE); LJPG = LAG(JPG); LHRPUK = LAG(HRPUK); LURBUN = LAG(URBUN); LYGHR = LAG(YGHR); LYGHS = LAG(YGHS); LHRGM = LAG(HRGM); LPDBR = LAG(PDBR); LDGRT = LAG(DGRT); LHRKIN = LAG(HRKIN); LJIM = LAG(JIM); L2PDBIN = LAG2(PDBINR); LDGIN = LAG(DGIN); LQGINA = LAG(QGINA); LHRGP = LAG(HRGP); LHRGW = LAG(HRGW); LHRGINA = LAG(HRGINA); LERICN = LAG(ERICN); LSTG = LAG(STG); LXGBR = LAG(XGBR); LERTH = LAG(ERTH); LPOPIN = LAG(POPIN); LERIN = LAG(ERIN); LMGUS = LAG(MGUS); LPOPCN = LAG(POPCN); LMGCN = LAG(MGCN); LMGITH = LAG(MGITH); LERBR = LAG(ERBR); PARM A0 -58507.8 A1 7.019 A2 -8.931 A3 1401.404 A4 -235.054 A5 296.083 A6 0.393 B0 -30759.5 B1 1.396 B2 -10934.2 B3 660.433 B4 -488.834 B5 1655.675 B6 0.609 C0 -70786.7 C1 4.640525 C2 -30.1531 C3 3185.105 C4 -420.724 E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 G0 G1 G2 G3 1.317542 0.000028 -1.85419 0.000028 0.000147 0.639197 -0.00002 0.03558 -0.94612 0.144799 2.61E-07 -0.00004 0.617054 0.327803 0.680695 224009.4 -185.862 37639.88 -2.49354 QGTH T JIM TIG I0-16.5646 I1 0.881358 I2 -557.12 I3 105.1625 I4 3.70296 I5 0.143517 J0 -218.315 J1 0.904098 J2 8.933385 J3 0.029177 K0 3905.693 K1 0.262341 K2 0.000249 K3 -0.00008 L0 156.1317 L1 4.937577 L2 51.66909 L3 0.202815 M0 341127.1 PDBINR QGIN QGUS URBUN HRKIN; N0 N1 N2 N3 N4 N5 N6 O0 O1 O2 O3 O4 P0 P1 P2 P3 P4 Q0 Q1 27132.28 -1.83649 -0.02588 -2397.54 -2.15749 -0.00045 5214.175 -6330563 2504.546 0.790311 325475.5 0.073383 -179072 716.1686 0.470358 2570.296 50528.95 -2.36E+07 -2465.2 R0 R1 R2 R3 R4 R5 S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 T0 T1 T2 T3 QGCN 1565346 -132.809 -0.93316 0.767013 -0.89732 0.051877 350378.8 -1131.57 -0.16627 0.061002 -0.45192 6.80E-07 1.20E+08 2.82E-01 216.782 -0.00002 0.00002 0.630578 QGKR 298 C5 C6 D0 D1 D2 D3 D4 D5 D6 ; 915.7704 0.54337 -7.82566 0.000716 -0.00091 6.53E-06 1.02E+00 -7.81E-06 0.035034 G4 G5 G6 H0 H1 H2 H3 H4 H5 522469.5 0.010401 0.382462 -396625 -12.4975 34560.46 148787.7 1.292485 0.759753 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 -20.8237 -0.09003 -244.582 -0.14987 -6335.73 36383.02 0.070703 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 -0.11979 1.06E+09 -4.34E+04 2.67E-06 3.56E+05 /*STRUCTURAL EQUATIONS*/ APTN = A0 + A1*HRGPB + A2*HRGB + A3*JPG + A4*LSBR + A5*T + A6*LAPTN; APTS = B0 + B1*(HRGPB-LHRGPB) + B2*(HRGB/LHRGB) + B3*JPG + B4*SBR + B5*T + B6*LAPTS; APTR = C0 + C1*HRGP + C2*HRGB + C3*JPG + C4*SBR + C5*T + C6*LAPTR; YGHN = D0 + D1*HRGPB + D2*(HRPUK-LHRPUK) + D3*LAPTN + D4*REND + D5*LURBUN + D6*T; YGHS = E0 + E1*(HRGPB-LHRGPB) + E2*(HRPUK/LHRPUK) + E3*LAPTS + E4*CHJ + E5*REND + E6*URBUN + E7*LYGHS; YGHR = F0 + F1*(HRGP/HRPUK) + F2*LAPTR + F3*LURBUN + F4*DKKPE + F5*REND + F6*LYGHR; DGRT = G0 + G1*HRGE + G2*(HRGM/LHRGM) + G3*HRKO + G4*((PDBRLPDBR)/LPDBR)+ G5*POPINA + G6*LDGRT; DGIN = H0 + H1*LHRGPB + H2*HRKIN + H3*((JIM-LJIM)/LJIM) + H4*(L2PDBIN) + H5*LDGIN; HRGP = I0 + I1*HRGPB + I2*(QGINA/LQGINA) + I3*DHPP + I4*T + I5*LHRGP; HRGPB = J0 + J1*HRGE + J2*T + J3*LHRGPB; HRGE = K0 + K1*HRGINA + K2*DGINA + K3*SGINA; HRGINA = L0 + L1*HRGW + L2*T+ L3*LHRGINA ; MGITH = M0 + M1*HRGINA + M2*QGINA + M3*ERITH + M4*LSTG + M5*TIG + M6*T + M7*LMGITH; MGICN = N0 + N1*(HRGINA-LHRGINA) + N2*QGINA + N3*TIG + N4*(ERICNLERICN) + N5*(STG-LSTG) + N6*T; XGBR = O0 + O1*HRGW + O2*QGBR + O3*(ERBR-LERBR) + O4*LXGBR; XGTH = P0 + P1*HRGW + P2*QGTH + P3*(ERTH-LERTH); MGIN = Q0 + Q1*HRGW + Q2*QGIN + Q3*(POPIN-LPOPIN)/LPOPIN + Q4*(ERINLERIN) + Q5*IRIN + Q6*T; MGUS = R0 + R1*(HRGW-LHRGW) + R2*QGUS + R3*CGUS + R4*STUS + R5*LMGUS; MGCN = S0 + S1*LHRGW + S2*QGCN + S3*CGCN + S4*STCN + S5*IRCN + S6*((POPCN-LPOPCN)/LPOPCN) + S7*LMGCN; HRGW = T0 + T1*XGW + T2*MGW+ T3*LHRGW; /*IDENTITY EQUATIONS*/ QGKPN = (APTN*YGHN)*1.003; QGKPS = (APTS*YGHS)*1.003; QGKPR = (APTR*YGHR)*1.003; QGKP = QGKPN+QGKPS+QGKPR; QGINA = QGKP+QGKR; DGINA = DGRT+DGIN; MGINA = MGITH + MGICN + MGIRW; SGINA = QGINA + MGINA + LSTG; XGW = XGBR + XGTH + XGRW; MGW = MGIN + MGUS + MGCN + MGINA + MGRW; PPMRTH = (TIG*MGITH*(HRGINA*1000))/100; PPMRCN = (TIG*MGICN*(HRGINA*1000))/100; PPMRRW = (TIG*MGIRW*(HRGINA*1000))/100; 299 DEVITH = MGITH*(HRGINA*1000); DEVICN = MGICN*(HRGINA*1000); DEVIRW = MGIRW*(HRGINA*1000); RANGE TAHUN=2015 TO 2020; /* RANGE TAHUN 2011 TO 2014; */ RUN; 300 Lampiran 17. Hasil Simulasi Peramalan Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 Contoh : Simulasi peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen pada periode ACFTA tahun 2015-2020 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length 35 35 124 Tahun 35 69 2 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA = RAMALGULA Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations 35 2 Tahun 2015 2020 NEWTON 1E-8 4.442E-9 2 12 2 Observations Processed Read Lagged Solved First Last 8 2 6 11 16 301 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2015 To 2020 Descriptive Statistics Variable N Obs N Actual Mean Std Dev Predicted Mean Std Dev Label APTN APTS APTR YGHN YGHS YGHR QGKPN QGKPS QGKPR QGKP QGINA DGRT DGIN DGINA SGINA HRGPB HRGE HRGINA MGITH MGICN MGINA XGBR XGTH MGIN MGUS MGCN HRGW XGW MGW PPMRTH 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 95553.6 205.0 90994.9 982.0 147874 7399.6 147665 7415.5 248999 279.8 249212 658.4 4.7583 0.00983 4.6048 0.0211 7.7167 0.1411 7.6120 0.1576 4.8233 0.0792 4.4303 0.2527 456041 1891.5 420258 2909.7 1145380 78078.4 1128370 79835.3 1204591 18453.1 1107529 65813.8 2806013 61611.2 2656157 14138.4 4480229 73516.9 4330374 32259.7 2844280 92720.3 2920552 109449 3033489 77109.2 2954982 43771.4 5877769 17644.5 5875534 79184.1 6991984 135573 6869043 99900.9 5975.2 43.1764 5867.0 30.0125 6287.9 28.3374 6171.1 18.8536 5598.2 146.5 5153.5 48.8130 891630 55406.8 914479 67007.4 18851.3 2730.3 22917.9 3902.7 2082324 111917 2109239 124666 27140421 1130548 26987448 1085087 3928043 146260 3872199 130652 2263399 309653 2450534 343228 1804040 27004.5 1806357 28628.7 2301742 119641 2385980 67840.2 482.8 5.2251 406.8 18.7042 56642269 1434950 56433451 1373706 52319972 1409187 52620577 1509520 1.836E12 2.702E11 1.73E12 2.293E11 PPMRCN 6 6 3.904E10 8.7565E9 4.355E10 9.8365E9 PPMRRW 6 6 2.411E12 3.177E11 2.214E12 2.353E11 DEVITH DEVICN DEVIRW 6 6 6 6 4.998E12 4.401E11 4.712E12 3.444E11 6 1.059E11 1.786E10 1.181E11 2.003E10 6 6.567E12 4.746E11 6.039E12 2.833E11 Luas Perkeb. Besar Negara Luas Perkeb. Besar Swasta Luas Perkeb. Rakyat Produktivitas hablur negara Produktivitas hablur swasta Produktivitas hablur rakyat Produksi GKP Negara Produksi GKP Swasta Produksi GKP Rakyat Produksi GKP Indonesia Produksi gula Indonesia Permintaan gula RT Permintaan gula industri Permintaan gula Indonesia Penawaran gula Indonesia H.r gula pdg.besar H.r gula eceran H.r impor gula Ina Impor gula dari Thai Impor gula dari China Impor gula Ina Ekspor gula Brazil Ekspor gula Thailand Impor gula India Impor gula USA Impor gula China H.r gula dunia Ekspor gula dunia Impor gula dunia Pen. Pmrth dari tarif Impor asal Thailand Pen. Pmrth dari tarif Impor asal China Pen. Pmrth dari tarif Impor asal ROW Devisa impor dari Thailand Devisa impor dari China Devisa impor dari ROW