BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perubahan sosial budaya adalah gejala berubahnya struktur sosial dan
budaya suatu masyarakat. Perubahan tersebut merupakan gejala umum yang
terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Kehidupan bermasyarakat
merupakan upaya adaptasi kolektif terhadap tantangan lingkungan, tetapi juga
mempunyai konsekuensi bahwa mereka harus selalu menyesuaikan hubungan
internal maupun eksternal, sesuai dengan tuntutan yang serba terus berubah dari
zaman ke zaman.
Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam
masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta bahwa perubahan merupakan
suatu fenomena yang selalu diwarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan
kebudayaan. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi, sehingga tidak ada
satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama dalam waktu yang
berbeda, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern.1
Perubahan tersebut
akhir-akhir ini
memperlihatkan hal-hal
yang
menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan apabila dipandang dari sisi
perkembangan budaya. Banyak upaya untuk mengembangkan aspek-aspek dan
nilai-nilai yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
informasi dan media, karena pengaruh derasnya arus globalisasi. Di tengah-tengah
1
Garna, Yudistira, K. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana
Universitas Pajajaran. hal. 1-2.
1
2
perubahan yang sesuai dengan harapan, terjadi pula kondisi yang tidak
menguntungkan. Semua itu perlu diperhitungkan dan diantisipasi dalam menyikapi
perubahannya. Hal itu meliputi hampir semua aspek kehidupan, yaitu; geografi,
demografi, sumber kekayaan alam, idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan. Secara khusus tulisan ini membahas dinamika sosial
budaya kawasan Wisata Candi Borobudur yang dimulai dari proses pemugaran
Candi Borobudur oleh Theodore Van Erp pada tahun 1907 – 1911 selama empat
tahun, 2 kemudian dilanjutkan hingga tahun 1960-an, namun hasilnya dirasa masih
kurang karena kegiatan pemugaran saat itu masih ditujukan untuk memperbaiki
sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air
hujan.
Pada tahun 1963 usaha penyelamatan monumen besar dunia itu dilanjutkan
oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun usaha penyelamatan ini telah memakan dana
yang cukup besar namun usaha tersebut terhenti dengan adanya peristiwa G 30 S.
Selanjutnya pada tahun 1965 atas prakarsa Amerika diadakan sebuah
pertemuan di White House yang dijuluki “World Heritage Trust” (Pertanggung
jawaban terhadap Warisan Dunia) “untuk melindungi keagungan dan keindahan
alam dan situs sejarah dunia untuk masa kini dan masa depan bagi seluruh warga
dunia”. Pada tahun 1968 dikembangkanlah suatu organisasi bernama “International
Union for Conservation of Nature”. 3
2
3
Soekmono, 1981, Candi Borobudur - Pusaka Budaya Umat Manusia, Jakarta: Pustaka Jaya.
(IUCN), 2011, International Union for the Conservation of Nature,. IUCN Red List of
Threatened Species. Versi 2011.
3
Kemudian dilanjutkan Pada tanggal 16 November 1972 saat konferensi
Lingkungan Manusia PBB di Stockholm.4 Perjanjian itu disetujui oleh semua
anggota, dan “pertemuan mengenai perlindungan budaya dunia dan warisan alam”
dipakai dalam Konferensi Umum oleh UNESCO. Dengan masuknya kembali
Indonesia menjadi anggota PBB, maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota
UNESCO. Melalui lembaga UNESCO tersebut, Indonesia mulai menghimbau
kepada dunia internasional untuk ikut menyelamatkan bangunan yang sangat
bersejarah yaitu Candi Borobudur. dengan dana dari Pelita (Pembangunan Lima
Tahun) dan dana UNESCO.5
Rupanya harapan bangsa untuk menyelamatkan Candi Borobudur tidak
pernah padam, pada tanggal 10 Agustus tahun 1973 Presiden Suharto meresmikan
proyek pemugaran Candi Borobudur yang saat itu disebut dengan proyek
Pemugaran Candi Borobudur Fase 1 yang diprakarsai oleh wakil Pemerintah
Indonesia yaitu Drs. Soekmono dan UNESCO pada saat itu bergabung dengan
dewan internasional bagian situs dan monumental (International Council on
Monuments and Sites), menghasilkan sebuah draft pertemuan untuk melindungi
budaya-budaya kemanusiaan. Pemugaran Borobudur itu membutuhkan waktu 10
tahun (1973-1983).6
4
5
6
Amerika mengajukan pertemuan untuk menggabungkan perlindungan alam dengan budaya.
Sebuah pertemuan di White House pada tahun 1965 yang dijuluki World Heritage Trust
(Pertanggung jawaban terhadap Warisan Dunia) “untuk melindungi keagungan dan
keindahan alam dan situs sejarah dunia untuk masa kini dan masa depan untuk seluruh warga
dunia”. Kemudian, dikembangkanlah suatu organisasi bernama International Union for
Conservation of Nature pada waktu yang sama pada tahun 1968, dan mereka diperkenalkan
pada tahun 1972 saat konferensi Lingkungan Manusia PBB di Stockholm.
Sebuah perjanjian disetujui oleh semua anggota, dan Pertemuan Mengenai Perlindungan
Budaya Dunia dan Warisan Alam dipakai dalam Konferensi Umum oleh UNESCO pada
tanggal 16 November 1972.
Kemendikbud, 2011, Candi Borobudur, Balai Konsevasi Borobudur.
Sucoro, 2012, “Catatan Rakyat di Kaki Candi Rangkaian Duka Yang Tak Terlupakan”,
Jakarta.
4
Pada dekade 1980-an Pemerintah menetapkan Undang-Undang RI No. 4
Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup
yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH). Pada
Pasal 14 UULH dinyatakan bahwa “warisan budaya” adalah salah satu unsur
lingkungan hidup yang harus dilindungi. Pemerintah kemudian mengambil
langkah untuk mengembangkan sektor-sektor non migas dalam hal ini adalah
sektor “industri pariwisata”.7
Dipilihnya Candi Borobudur sebagai tujuan wisata utama di Indonesia,
telah memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan devisa negara.
Akan tetapi ternyata orientasi terhadap peningkatan devisa negara tersebut, belum
memberikan alternatif yang bermanfaat terhadap mata pencaharian pada
masyarakat sekitarnya, sehingga pemanfaatan Candi Borobudur yang dikelola
oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) lebih merupakan masalah bagi
sebagian besar masyarakat di kawasan Candi Borobudur. Sebab setelah tanahtanah produktif yang notabene milik masyarakat digusur dengan ganti rugi yang
tidak seimbang, tidak dijamin untuk diterima bekerja di Kantor TWCB serta sulit
mendapatkan akses untuk berusaha yang lain, maka hal ini menjadi masalah.
Di sisi lain ketika itu sarana pendidikan seperti Sekolah Muhammadiyah
dan sarana ibadah seperti masjid yang digunakan oleh masyarakat dipindahkan,
7
Banjir Minyak 1980-an, Wikipedia Ensiklopedia, diunduh pada tanggal 25 Januari 2013.
Pada tahun 1980-an harga minyak di pangsa pasar dunia mulai merosot dan komoditas lain
mengalami penurunan. Hal itu dikarenakan oleh banjir minyak 1980-an, merujuk pada
surplus minyak mentah pada 1980-an yang disebabkan oleh menurunnya permintaan setelah
krisis energi tahun 1970-an. Harga minyak dunia yang mencapai puncaknya pada tahun 1980
dengan harga US$ 35 per barrel jatuh pada tahun 1986 dari $27 menjadi di bawah $10 (saat
ini $95,95 per barrel, 25 Januari 2013- Kompas.com, Jumat, 25 Januari 2013).
“Banjir minyak” ini dimulai pada awal 1980-an sebagai akibat dari melambatnya kegiatan
perekonomian di negara-negara industri dan konservasi energi yang didorong oleh tingginya
harga bahan bakar. Penyesuaian inflasi atas nilai riil minyak jatuh dari rata-rata $78,2 pada
1981 ke rata-rata $26,8 per barel pada 1986.
5
maka masyarakat bersikeras untuk menolak. Selanjutnya hal yang paling menarik
adalah masyarakat di kawasan wisata Borobudur merasa bahwa secara turuntemurun telah ikut serta merawat dan menjaga Candi Borobudur, padahal sebagian
mata pencaharian mereka hanya mampu bekerja sebagai pedagang-pedagang kecil
di sekitar Candi Borobudur, maka ketika dipindahkan juga menolak dan menjadi
masalah.
Setelah Tiga puluh tahun berlalu semenjak diresmikan kembali oleh
Presiden Soeharto pada tanggal 23 Februari 1983, dibukalah Kawasan Wisata
Candi Borobudur untuk para wisatawan nusantara dan mancanegara.
8
Kawasan
Candi Borobudur telah banyak mengalami perubahan-perubahan terutama setelah
dijadikannya kawasan ini menjadi Taman Wisata. Kehadiran wisatawan dan
migrasi tentu berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat di kawasan
tersebut maupun terhadap pelestarian Candi Borobudur secara fisik.9
Kenyataannya, masyarakat di kawasan Candi Borobudur belum merasakan
manfaat sepenuhnya keberadaan Candi Borobudur. Karena sistem pengelolaan
yang diterapkan belum memberikan akses ruang partisipasi kepada masyarakat.
Yang terjadi adalah masyarakat terpinggirkan, sehingga mentalitas masyarakat di
kawasan Candi kurang mencerminkan masyarakat pariwisata yang senantiasa
berusaha memberikan rasa aman, bagi setiap pengunjung yang datang karena
mereka belum menyadari manfaat pariwisata di daerahnya. Apabila mencermati
pembangunan sesungguhnya peran serta masyarakat yang terorganisir merupakan
salah satu komponen penting dalam melestarikan Candi Borobudur.
8
9
Yazir Marzuki dan Toeti Heraty, 1987, Borobudur, Jakarta, Djambatan.
Purwantana, 1985, Candi Borobudur dan Taman Wisatanya, Bandung, Alumni 1985.
6
Masalahnya adalah Pengelolaan kawasan Candi Borobudur diatur
menggunakan politik ekonomi. Dalam kaitannya dengan apa yang diproduksi,
ruang dalam hal ini menjadi bagian dari sebuah produksi (proses) sejarah, yang
meliputi persinggungan dari waktu (time), ruang (space) dan makhluk sosial, yang
mengarah kepada “a materialization of social being” (Lefebvre, 1991: 68, 69,
102 dalam Kurniawan, 2011:2). Berkaitan dengan hal tersebut, alat politiknya
dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres No.1 Tahun 1992) tentang
pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur yang terdiri dari 3 Zona, yaitu:
“Zona I : Merupakan lingkungan kepurbakalaan diperuntukkan bagi
perlindungan dan pemeliharaan kelestarian fisik Candi seluas 44,8 Ha yang
dikelola oleh balai konservasi Candi dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Zona II
: Merupakan kawasan di luar zona I yang diperuntukkan bagi
pembangunan taman wisata sebagai tempat kegiatan kepariwisataan,
pemeliharaan dan pelestarian bangunan Candi seluas 42,3 Ha yang dikelola oleh
unit Taman Wisata Candi Borobudur.
Zona III : Merupakan kawasan di luar zona II yang diperuntukkan bagi
pemukiman terbatas, jalur hijau, daerah pertanian untuk menjamin keserasian dan
kawasan keseimbangan di zona I yang dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten
Magelang.”10
Di sisi lain hilangnya pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Magelang
menjadi realitas ketidak adilan dan berdampak kecemburuan. Karena hal itu dapat
mempengaruhi kinerja pembangunan yang cukup signifikan berkisar 3 sampai 4
milyar pertahunnya (sebelum dibatalkannya pajak hiburan oleh Pemerintah Pusat
tahun 2008) Apabila pendapatan tersebut kembali ke Pemerintah Kabupaten
Magelang tentu dapat dimanfaatkan dengan baik untuk membangun daerahnya. 11
Bagi masyarakat salah satu mata pencaharian di kawasan Candi Borobudur adalah
10
11
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1, Tahun 1992.
Penuturan dari Asisten Pemerintahan Pemkab Magelang Ir. Agung Trijaya, 27 Oktober 2013,
saat menerima kunjungan DPR RI Poppy Dharsono di Kecamatan Srumbung.
7
berbagai usaha kecil dan menengah, antara lain bagi yang agak mampu berdagang
di kios-kios tentu dengan penggantian atau angsuran termasuk membuka home
stay, bagi yang tidak mampu dengan berdagang di kaki lima dan asongan mulai
dari taman parkir hingga masuk ke wilayah-wilayah lain yang terlarang baginya,
sedangkan bagi yang mempunyai lahan cukup luas telah bekerjasama dengan
investor membangun fasilitas Hotel yang berkelas internasional, sehingga
menimbulkan ketimpangan dikalangan masyarakat di sekitar kawasan.
Hasil rangkaian lokakarya tentang Borobudur pada tanggal 19 Februari
2008 di Semarang. Menjelaskan bahwa revitalisasi merupakan salah satu agenda
Jawa Tengah sebagai alat untuk mengembalikan kejayaan kawasan Borobudur;
sebagai pusat studi budaya dan komunitas lintas agama kelas internasional; serta
sebagai salah satu tujuan wisata terbesar di dunia.
Alasan revitalisasi kawasan Candi Borobudur ini, Candi Borobudur
merupakan warisan budaya dan destinasi wisata unggulan yang mendunia;
kondisi fisik dan lingkungan Candi Borobudur berada pada kondisi yang rawan
diakibatkan oleh akumulasi dan kompleksitas permasalahannya; pengelolaan situs
peninggalan sejarah dan purbakala dan pengembangannya dalam konteks
kepariwisataan secara berkelanjutan telah menjadi salah satu isu utama dalam
manajemen sumber daya budaya.12
Oleh karena itu, revitalisasi kawasan Candi Borobudur merupakan langkah
yang sangat mendesak dan perlu segera dilakukan pemulihan kondisi Candi beserta
12
Nindyo Suwarno, 2008, Revitalisasi Kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
8
lingkungannya, sehingga citra Candi Borobudur akan tetap dikenang sebagai salah
satu keajaiban dunia yang menyimpan jejak-jejak peradaban antar bangsa.13
1.2
Permasalahan
Permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah dinamika
perubahan dan perkembangan sosial budaya sejak adanya Master Plan yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan UNESCO pada dekade 1970-an selama
5 dekade hingga 2013.
Pertanyaan utama ini akan diformulasikan lebih rinci dalam beberapa sub
pertanyaan yang lebih empiris.
a.
Bagaimana transformasi dari natural resources menjadi obyek wisata.
b.
Bagaimana perubahan obyek wisata berubah menjadi aset ekonomi.
c.
Bagaimana perubahan aset ekonomi mengubah gaya hidup dan perilaku
masyarakat.
d.
Bagaimana perubahan pelembagaan masyarakat dalam sistem budaya/
nilai yang menjadi salah satu penyebab sengketa antara penguasa dengan
pengelola dan masyarakat.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini ingin memahami perubahan sosio-kultural di
kalangan kelompok masyarakat petani dan pedagang, akibat dari perubahan budaya
petani menjadi semakin terdiversifikasi ke perdagangan atau home industry serta
industri wisata; perubahan penggunaan faktor waktu oleh masyarakat di kawasan
13
Adrian Snodgrass, 1985, Architecture, Time and Eternity, Volume II, London: Oxford
University Press.
9
wisata Borobudur; perubahan perilaku sosial dan gaya hidup masyarakat. Serta
penyebab terjadinya sengketa antara penguasa dengan pengelola dan masyarakat.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademis dan praktis. Secara
akademis, sebagai sumbangan teori terhadap pengembangan keilmuan soal
akulturasi perubahan budaya akibat terintegrasinya ekonomi lokal dan dunia
khususnya lewat industri wisata dan diharapkan mampu memberikan gambaran
tentang sisi lain dari penelitian-penelitian yang sudah dilaksanakan sebelumnya
yang berkaitan dengan kawasan wisata Candi Borobudur.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap lembaga
pemerintah seperti Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Propinsi
Daerah Jawa Tengah. Diharapkan juga hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi
upaya peningkatan kehidupan di pelbagai desa utamanya di kawasan Candi
Borobudur. Di samping itu dapat dijadikan cermin evaluasi pelaksanaan
pembangunan sehingga dapat dijadikan pemicu dan pemacu untuk lebih baik lagi
di masa mendatang.
1.4
Kajian Pustaka dan Landasan Teori
1.4.1
Kajian Pustaka
Selama ini persoalan kemiskinan dan keterbelakangan identik dengan
kehidupan masyarakat pedesaan. Persoalan tersebut lebih disebabkan oleh struktur
perekonomian yang kurang memberikan ruang bagi masyarakat pedesaan untuk
10
berpartisipasi lebih dalam terhadap pelaksanaan pembangunan, Arif Satria, dkk.
(2011: 64).
Salah satu wilayah yang cukup potensial namun masih cukup terpuruk
adalah Desa Karangrejo, Desa Karangrejo termasuk dalam wilayah administratif
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Desa Karangrejo memiliki luas 174
ha terdiri atas 98 ha sawah dan ladang, 72 ha permukiman dan sisanya fasilitas
umum. Desa Karangrejo juga hanya berjarak sekitar 5 km dari pusat pemerintahan
Kabupaten Magelang, dan 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Borobudur,
serta hanya sekitar 2 km dari Candi Borobudur.
Namun demikian tidak banyak manfaat yang diperoleh masyarakat dari
keberadaan candi dan pengunjung di Borobudur. Desa Karangrejo juga memiliki
potensi tinggi dalam pertanian. Mayoritas warga Karangrejo bekerja di sektor
pertanian dan jasa dalam hal ini sebagai petani, buruh tani. pedagang, dan sektor
jasa pariwisata dan kesenian. Kebanyakan mereka yang bekerja di sektor wisata
menggantungkan hidupnya di sekitar kawasan wisata Candi Borobudur, baik
sebagai penjual asongan, pemandu wisata, fotografer, angkutan wisata, maupun
pekerja serabutan atau sebagai tenaga kebersihan, penjaga hotel dan tenaga
keamanan, serta sektor informal lainnya.
Kehidupan masyarakat secara umum banyak bergantung pada kondisi
lahan di desa, serta keberadaan Candi Borobudur. Namun demikian, masyarakat
Desa Karangrejo belum dapat menikmati keberadaan wisatawan di Candi
Borobudur. Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa meskipun dekat dengan
11
Candi Borobudur, namun tidak begitu banyak wisatawan yang berkunjung ke
desa, maupun sekedar jalan-jalan, membeli produk maupun menginap.
Adapun hasil penelitian-penelitian terdahulu dan tulisan-tulisan yang
dianggap relevan untuk dijadikan kajian pustaka mengenai kawasan Borobudur,
antara lain: Satria, Arif Sofianto, (2013) berjudul “Peran kelompok masyarakat
dalam penguatan inovasi sosial di desa Karang Rejo kecamatan Borobudur” dan
Muhammad Taufik, Suparjiono, Suparno, (2001), yang berjudul “Upaya
Penanggulangan Konflik Kepentingan Pemanfaatan Candi Borobudur”. Menurut
mereka kebijakan-kebijakan pengelola warisan budaya pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan persepsi masyarakat tentang sumber daya budaya
itu sendiri. Gejala seperti ini terjadi di berbagai tempat dan hampir pada semua
bangsa, sehingga seolah-olah menjadi fakta umum bahwa kebijakan pengelolaan
sumber daya akan selalu bergantung pada situasi politik maupun hukum Evolusi
sosial.
Kehadiran suasana pertentangan ini menjauhkan sikap penghargaan
terhadap mereka yang telah menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, bahkan
suasana yang hadir malahan berupa sebuah arena konflik yang semakin lama
semakin tajam antara pihak pengelola dengan masyarakat. Interaksi konflik ini bila
diamati dari atas, seakan-akan kedua kelompok tersebut yaitu penguasa (pengelola) dan
masyarakat pelaku usaha telah menampakan suatu arena pertempuran di lokasi
Taman Wisata Candi Borobudur. Di satu sisi pengelola memiliki sebuah cetak
biru yang berkaitan dengan aturan-aturan mesti ditaati dan di sisi lain masyarakat
yang telah melakukan proses kreatif adaptif, tidak mentaati demi sesuap nasi.
12
Gambaran umum studi-studi terdahulu tentang dinamika sosial budaya
masyarakat di sekitar Borobudur, menunjukkan bahwa di Desa Karangrejo
tersebut di atas, belum diberikan ruang permodalan oleh struktur ekonomi di
bidang agraris dan industri karena tidak diberdayakan. Sedangkan dalam makalah
ini, penulis akan membahas lebih luas. Muhammad Taufik, menyatakan bahwa
perubahan terbukanya lapangan pekerjaan baru yang diciptakan oleh pengelola
tidak sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan pencarian nafkah oleh
masyarakat, sehingga menimbulkan benturan dan bertentangan dengan yang
dianjurkan oleh Pengelola. Lingkup bahasan penulis lebih luas dan membahas
perubahan mata pencaharian warga masyarakat yang semula bertani menjadi
terdiversifikasi ke perdagangan atau home industry serta industri wisata.
Elanto Wijoyono, (2009), dalam “Peluncuran Peta Hijau Mandala
Borobudur” menyatakan bahwa pengelolaan kawasan Candi Borobudur hingga kini
masih mengikuti prinsip yang diatur dalam Master Plan JICA (1979) dan
diperkuat oleh Keppres No. 1/1992 yang membagi kewenangan pengelolaan
sesuai dengan zonanya. Situs Candi Borobudur (Zona I) dikelola oleh Balai
Konservasi Candi Borobudur di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata. Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur (Zona II) dikelola oleh PT
Taman Wisata Candi Borobudur yang berada di bawah naungan Kementerian
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Wilayah di luar kedua zona itu dikelola oleh
pemerintah daerah. Jadi, praktis, Pemerintah Desa Borobudur memiliki satu
“kantong” di dalam wilayah administratifnya yang tidak boleh dicampuri.
Padahal, selain telah menggusur beberapa dusun dan membelah desa menjadi dua
bagian, keberadaan Taman Wisata Candi Borobudur dan beragam kegiatannya
13
telah memberikan dampak yang intensif terhadap wilayah dan masyarakat Desa
Borobudur.
Proses identifikasi dan diskusi mengenai potensi baik dan buruk di Desa
Borobudur yang dilakukan langsung oleh penduduk telah dimulai sejak tahun
2005 dan dilanjutkan kembali pada akhir tahun 2008 lalu. Langkah-langkah yang
ditempuh telah berhasil mendokumentasikan sejarah, pernyataan, hingga
pendapat, dan harapan masyarakat setempat terhadap keadaan desa mereka di
masa kini dan di masa mendatang.
Sebagai upaya penyebarluasan hasil penelitian dan kegiatan maka telah
dilangsungkan peluncuran14 Peta Hijau Mandala Borobudur dan Peta Hijau
Borobudur Tourist Park (Tahap I), tanggal 8 Juni 2009. Tujuan utama acara ini
adalah sebagai langkah publikasi kepada masyarakat setempat dan para pihak
terkait, sekaligus undangan untuk membangun kerjasama melanjutkan proses
yang telah berlangsung ke depan.15
Dalam bahasan yang disampaikan oleh Elanto tentang “Peluncuran Peta
Hijau Mandala Borobudur”, bahwa Langkah-langkah yang ditempuh telah
berhasil mendokumentasikan sejarah, pernyataan, hingga pendapat, dan harapan
masyarakat setempat terhadap keadaan desa mereka di masa kini dan di masa
mendatang. Namun dalam bahasan yang telah dilakukan penelitian oleh Elanto
belum dapat memecahkan persoalan warga masyarakat secara memuaskan.
Sedangkan Penulis akan mengkaji tentang pergeseran perilaku sosial budaya
secara lebih mendalam.
14
15
Elanto Wijoyono, Rabu, 19 Maret 2014, “Pertemuan Nasional Peta Hijau 2014”.
Elanto Wijoyono, 2009, “Peluncuran Peta Hijau Mandala Borobudur”. Dusun Ngaran I,
Desa Borobudur.
14
M. Taufik, dalam “Pariwisata dan Pergeseran Sosial Budaya” (B. Sunaryo,
2000) menjelaskan bahwa pariwisata secara sosiolosis terdiri atas tiga interaksi
yaitu interaksi bisnis, interaksi politik dan interaksi kultural. Interaksi bisnis
adalah interaksi di mana kegiatan ekonomi yang menjadi basis materialnya dan
ukuran-ukuran yang digunakannya adalah ukuran-ukuran yang bersifat ekonomi.
Dalam dimensi interaksi kultural dimungkinkan adanya pertemuan antara dua atau
lebih warga dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda. Pertemuan ini
mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga
bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan keberadaan interaksi
bisnis dan interaksi politik.
Perubahan terjadi apabila adanya kontak dengan kebudayaan lain yang
akhirnya akan terjadi difusi (penyebaran budaya), misalnya bagaimana terjadinya
pergeseran kultur kehidupan masyarakat sekitar kawasan Candi Borobudur yang
semula berbasis aktivitas kehidupan agraris (bertani) bergeser menjadi masyarakat
pedagang dan penjual jasa. Dengan demikian pariwisata ditinjau dari dimensi
kultural dapat menumbuhkan suatu interaksi antara masyarakat tradisional agraris
dengan masyarakat modern industrial. Melalui proses interaksi itu maka
dimungkinkan adanya pola saling pengaruh yang akhirnya akan mempengaruhi
struktur kehidupan atau pola budaya masyarakat khususnya masyarakat yang
menjadi tuan rumah.
Kontak selanjutnya antara wisatawan dengan masyarakat kawasan candi
membutuhkan suatu perantara atau media yang mampu menjalin pengertian antara
kedua belah pihak, perantara atau media tersebut adalah bahasa, bahasa menjadi
faktor determinan. Dorongan itu muncul bukan semata-mata karena motif ingin
15
berhubungan misalnya korespondensi atau yang lain, melainkan lebih disebabkan
karena faktor ekonomi, untuk dapat komunikatif dalam memasarkan dagangannya
baik produk souvenir, jasa menjadi guide (pemandu wisata) dll. Ini berarti telah
terjadi pola perubahan budaya masyarakat menuju ke arah yang positif yaitu
memperkaya kemampuan masyarakat khususnya dalam bidang bahasa paling
tidak belajar bahasa Inggris. 16
Sunaryo menekankan tentang pembahasan interaksi bisnis, politik dan
kultural yang mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling
memperkuat sehingga bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan
keberadaan interaksi bisnis dan interaksi politik. Penulis akan mengkaji lebih
dalam tentang bagaimana pola relasi yang berkembang diantara masyarakat
setempat dan pengelola, kaum pendatang dan penduduk lokal serta hubungannya
dengan Pemerintah Daerah.
Robert Sibarani (2013), dalam penelitian yang dilakukan dengan judul
”Pembentukan Karakter Berbasis Kearifan Lokal”, berpendapat bahwa dalam
tradisi budaya terdapat berbagai nilai dan norma budaya sebagai warisan leluhur
yang menurut fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya dapat
diklasifikasikan sebagai kearifan lokal. Jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain (1)
kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6)
gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9)
peduli lingkungan, (10), kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13)
kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen,
(16) pikiran positif, dan (17) rasa syukur.17
16
17
Op.cit.
Robert Sibarani, 2013, ”Pembentukan Karakter Berbasis Kearifan Lokal” Taskap Program
Pendidikan Reguler Angkatan LXVIII, Lemhannas RI.
16
Peran masyarakat setempat melalui kearifan lokal dalam bentuk
pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, sangat
penting dalam menjaga kelestarian lingkungan melalui konsep yang disebut
CBNRM (Community based nature resource management) atau Pengelolaan
Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat.18 Hal itu disampaikan oleh penulis
Suhartini dari Universitas Negeri Yogyakarta dalam sebuah penelitian yang
bertajuk ”Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan”. Dalam kajiannya disampaikan bahwa masyarakat
berpartisipasi secara aktif dan berperan dalam menanggulangi masalah terkait
kondisi sumber daya hayati disekitarnya. Peran masyarakat lokal dalam CBNRM
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Untuk menunjang
keberhasilannya, maka ada beberapa prinsip dalam penerapan CBNRM, yaitu
prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip kesetaraan peran, prinsip berorientasi
pada lingkungan, prinsip penghargaan terhadap pengetahuan lokal/tradisional dan
prinsip kebersamaan gender.
Sayangnya peneliti belum menjelaskan betapa sulitnya menjabarkan
prinsip-prinsip lokal tersebut ke dalam praktek nyata dalam kehidupan, misalnya
pengetahuan lokal dalam pengelolaan kawasan, seberapa besar kepedulian
masyarakat lokal terhadap alam sekitar, dan manfaat apa dari nilai kearifan lokal
(secara materi) yang bisa didapat. Hal ini masih berkaitan lagi dengan masalah
informasi atau pengetahuan, peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan peran
atau posisi masyarakat dalam kebijakan alam sekitar. Contohnya, masyarakat
lokal yang berada di sekitar Gunung Merapi yang kurang memahami konsep
CBNRM ini malah ikut mencuri kayu di hutan sekitar masyarakat hal ini tidak
18
Suhartini, 16 Mei 2009, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan, Universitas Negeri Yogyakarta.
17
lain berkaitan dengan informasi terbatas, dorongan kesejahteraan dan ketiadaan
posisi dalam kebijakan.19
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa masyarakat kawasan candi
Borobudur sudah sepatutnya untuk melakukan pemaknaan kembali dan
rekonstruksi nilai-nilai kearifan lokal. Upaya membangun masyarakat harmonis di
era otonomi daerah dan era globalisasi yang perlu dilakukan adalah menelusuri
makna substantif kearifan lokal, misalnya keterbukaan dikembangkan dan
diaktualisasikan menjadi kejujuran, dan keseragaman diganti keberagaman dan
lain sebagainya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan
disebarluaskan ke seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa,
bukan sekedar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Dalam hal ini,
peran dan tanggung jawab para pemimpin dan elite sosial dan elit politik
utamanya di Kabupaten Magelang sangat dibutuhkan untuk revitalisasi nilai-nilai
kearifan lokal guna memperkuat identitas nasional dalam rangka ketahanan
nasional.
1.4.2 Landasan Teori
1.4.2.1 Perubahan Sosial Budaya
Dalam konteks kehidupan manusia sebagai makhluk sosial terdapat dua
macam perubahan yaitu perubahan sosial (social change) dan perubahan
kebudayaan (cultural change).
Perbedaan pengertian antara perubahan sosial dan perubahan budaya
terletak pada pengertian masyarakat dan budaya yang diberikan, tetapi pada
umumnya perubahan budaya menekankan pada sistem nilai, sedangkan perubahan
19
Susilo, Candi Borobudur Belum Banyak Berikan Keuntungan Bagi Masyarakat, Kompas Images,
Magelang, 11 November 2011 (19:18)
18
sosial pada sistem pelembagaan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat.
Perubahan masyarakat pertanian tradisional kearah masyarakat industry modern
ditandai adanya perubahan-perubahan dalam sistem nilai masyarakat industri,
misalnya lebih banyak berorientasi pada nilai-nilai rasional, komersial daripada
masyarakat pertanian.
Soemantri (2011: 2), perubahan budaya adalah proses yang terjadi dalam
budaya yang menyebabkan adanya perbedaan yang dapat diukur setelah terjadi
dalam kurun waktu tertentu. Budaya dapat diartikan sebagai segala daya upaya
dan kegiatan manusia dalam mengubah dan mengola alam. Perubahan
kebudayaan mencakup semua bagian kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan lain-lain. Perubahan sosial mencakup
perubahan norma, sistem nilai sosial, pola-pola perilaku, stratifikasi sosial,
lembaga sosial, dan lain-lain. Perubahan sosial merupakan hal yang penting dalam
perubahan kebudayaan.
Dari teori tersebut penulis sangat sependapat karena sebagian besar
kegagalan masyarakat di dalam merespon pembangunannya karena masyarakat
tidak diorganisir secara baik, dalam hal ini aturan organisasi seyogyanya
dievaluasi, dan ditegakkan serta dikontrol sehingga mampu mengakomodasi
berbagai kepentingan masyarakat.
Emile Durkheim menjelaskan perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari
faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari
19
kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, 20 ke dalam kondisi masyarakat
modern yang diikat oleh solidaritas organistik.21
Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan ekologis dan
perpindahan penduduk bukan saja akibat bencana alam, buatan maupun keinginan
masyarakat sendiri namun juga bisa terjadi karena justru hadirnya industri
pariwisata dan kebijakan politik pemerintah.
1.4.2.2 Konsep dasar pembangunan
Konsep dan arahan pengembangan sebagai langkah-langkah yang taktis
dan mendasar untuk memulihkan kondisi fisik Candi dan lingkungannya serta
elemen non fisik yang terkait di dalamnya merupakan prinsip pengembangan yang
terdiri dari:
a.
Borobudur sebagai Culture Heritage Trails; didasari pemikiran bahwa
penyebaran agama Budha yang berakar dari India mempunyai keterkaitan
arkeologis di antara negara-negara Asia. Argumen penulis keberadaan candi
Borobudur adalah keterpaduan kultur antara India dan Jawa yaitu sebagai tempat
meditasi penganut Buddha (kitab Nagarakertagama, yang ditulis oleh Mpu
Prapanca pada tahun 1365).
b.
Keseimbangan antara pengembangan dan konservasi; hubungan antara
peninggalan
20
21
sejarah
dan
pariwisata
merupakan
hubungan
yang
saling
Solidaritas Mekanistik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang masih
sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya pembagian kerja
diantara para anggota kelompok. (Masyarakat Pedesaan).
Solidaritas Organistik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah kompleks dan
telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh saling ketergantungan
antar anggota. (Masyarakat Perkotaan).
Hooguelt, Ankle MM, 1995, Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Hlm. 56.
20
menguntungkan karena peninggalan sejarah merupakan nilai sosial dan budaya.
Pariwisata dapat menjadi alat yang baik untuk membantu keberlanjutan
peninggalan sejarah tetapi perlu adanya pelestarian dan perencanaan yang matang,
terarah, serta pengaturan pengembangan dan manajemen untuk mendukung
peningkatan ekonomi.
c.
Community Involvement : Empowerment (pemberdayaan masyarakat)
merupakan salah satu hal penting dalam pengembangan pariwisata termasuk di
dalamnya budaya dan peninggalan sejarah. Pemberdayaan masyarakat dapat
dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, membuat lapangan kerja baru
yang pada intinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama komunitas
di sekitar area peninggalan sejarah.
Konsep dasar keseimbangan pelestarian serta pemberdayaan masyarakat pada
dasarnya saling berkaitan untuk peningkatan ekonomi tetapi dalam kenyataannya
belum menyentuh masyarakat. Oleh karenanya dalam pelestarian dan pemeliharaan
seyogyanya perlu melibatkan komunitas masyarakat yang menggeluti dan memahami
tentang perawatan arkeologi, contohnya komunitas
pemahat batu di kawasan
Muntilan sebagai sumber tenaga manusia profesional untuk pelestarian pelbagai
candi, tak pernah tersentuh oleh sistem konservasi pusat maupun daerah, padahal di
dalamnya terdapat SDM yang berkualitas di dusun Prumpung Sidohardjo, desa
Taman Agung kecamatan Muntilan sebagai tokoh maestro seni pahat kelas dunia
yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Dul Kamit Djoyo Prono.
21
d.
Cultural Tourism and Healthy Lifestyle ; merupakan salah satu trend dalam
wisata budaya yang menerapkan konsep ajaran Buddha, sehingga mendorong
pertumbuhan fasilitas penunjang dan pelayanan di sekitar situs peninggalan sejarah.
Terbatasnya sarana dan prasarana kesehatan bertaraf internasional seperti
rumah sakit, dokter dan tenaga medis mengakibatkan berkurangnya wisatawan yang
berkunjung ke kawasan wisata Candi Borobudur. Oleh karenanya kesiapan
infrastruktur seperti rumah sakit, dokter serta paramedis yang berkualitas sangat
penting untuk diwujudkan guna melayani wisatawan dan masyarakat kawasan wisata.
e.
Borderless Tourism; konsep pariwisata lintas batas atau tanpa batas
mengarahkan pada pentingnya membangun kemitraan atau aliansi strategis antar
wilayah yang berdekatan atau kerjasama lintas batas untuk mengembangkan
kepariwisataan secara terpadu, sinergis dan komplementer. Argumen penulis dalam
mendukung konsep pariwisata, perlu fasilitas media center yang mampu membangun
image tentang perkembangan sosial budaya di kawasan wisata candi Borobudur,
secara terus menerus dan berkelanjutan.
f.
Konsep Mandala; konsep dasar sebuah mandala stupa ialah adanya ruangan
pusat yang dikelilingi oleh ruangan-ruangan yang lebih kecil. Bila konsep tersebut
dikembalikan ke organisasi ruang Candi Borobudur, akan nampak adanya kesejajaran
konsep.
Di sisi lain keberadaan Candi Borobudur, Mendut, Pawon sebagai satu
kesatuan World Heritage Site. Perhatian pemerintah dalam pengelolaan kawasan
selalu terpusat pada Candi Borobudur. Padahal, keberadaan bangunan ini tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai penghidupan, kehidupan (social), kemanusiaan (human),
22
kemestaan alam (nature) dan ketuhanan.22 Berkaitan dengan pemanfaatan
sumberdaya alam sebagai objek budaya yang apabila dikelola dan dilestarikan
secara baik oleh masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama akan
meningkatkan kualitas kawasan dan masyarakatnya (Soeroso, 2007).
1.4.2.3 Teori Komunitas
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunitas adalah kelompok
organisme yang terdiri dari individu-individu yang hidup dan saling berinteraksi
satu sama lain di daerah tertentu. Dalton et al (2007) menyatakan komunitas
sebagai wadah dimana ide individu-individu muncul bersama-sama di dalam
beberapa kegiatan atau usaha bersama maupun hanya karena adanya kedekatan
secara geografis. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Sarason pada tahun 1974
(dalam Dalton et al, 2007) bahwa komunitas adalah penyedia dengan mudah
jaringan hubungan saling mendukung satu sama lain dan masing-masing individu
memiliki ketergantungan di dalamnya.
Sejak akhir abad ke 19, istilah komunitas mempunyai makna sebuah
perkumpulan dengan harapan dapat semakin dekat dan harmonis antara sesama
anggota (Elias 1974, dikutip oleh Hogget 1997). Di sisi lain komunitas adalah
sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa orang yang tinggal berdekatan; dan
ada yang melihat komunitas sebagai daerah yang mempunyai kehidupan yang
sama. Komunitas dapat berarti sebuah nilai (Frazer, 2000). Komunitas dapat
digunakan untuk membawa nilai-nilai seperti: solidaritas, komitmen, saling
tolong-menolong, dan kepercayaan.
22
Baiquni, M., 2004. Manajemen Strategis. Yogyakarta: Program Studi Kajian Pariwisata
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
23
Pengertian komunitas mengacu pada sekumpulan orang yang saling
berbagi perhatian, masalah, atau kegemaran terhadap suatu topik dan
memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling berinteraksi
secara terus menerus Etienne Wenger (2004). Komunitas merupakan bagian dari
masyarakat yang saling berbagi informasi mengenai suatu subjek tertentu. Mereka
mendiskusikan keadaan, aspirasi dan kebutuhan mereka. Pengertian komunitas
ialah sekelompok orang yang berinteraksi dan saling berbagi sesuatu secara
berkelompok.
Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa faktor utama yang menjadi
kesepakatan komunitas tersebut adalah totalitas sosial kultural yang berinteraksi
dalam suatu daerah tertentu didasarkan pada solidaritas, komitmen, saling tolongmenolong dan rela berkorban, serta terjalinnya kepercayaan. Namun disisi lain
juga
terbentuk
pola
hubungan
tingkah
laku
nilai-nilai,
kesederajatan,
kebersamaan, kekeluargaan, keseteraan, dan norma-norma baru sesuai dengan
tuntutan perkembangannya.
1.4.2.4 Teori Ketahanan Individu dalam sistem sosial
Dalam tulisan yang berjudul ”Direction changes in ecological comunities
and sicio-ecological systems, F.S. Chapin (2006) menyimpulkan bahwa kebijakan
diperlukan
bukan
untuk
mengatasi
kelemahan-kelemahan
tetapi
untuk
meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi individu, keluarga dan masyarakat
dalam beradaptasi dan berfungsi dengan baik dalam posisinya sosial yang berbasis
pada karakterisari demografisnya. Teorinya meniscayakan setiap individu di
dalam masyarakat dengan kapasitas yang dimilikinya sehingga mampu berperan
24
dan memperkuat ketahanan sosial budaya sehingga ketahanan nasional
terpelihara”
Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa diperlukan solidaritas
masyarakat yang didasarkan pada ikatan yang kuat dari kepercayaan dan
kebiasaan masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya terciptanya harmonisasi
kehidupan bermasyarakat.
1.4.2.5 Teori sistem sosial budaya
Talcot Parsons (dikutip dari Margaret M Poloma, 1992, 187) menyatakan
sebagai berikut:
”Sebagai masalah pokok sosiologi makro, masyarakat bukan hanya merupakan
contoh sistem sosial, tetapi merupakan substansi yang paling penting untuk
dianalisis; kita membatasi masyarakat sebagai suatu tipe sistem sosial yang
ditandai oleh tingkat swadaya (self sufficiency) tertinggi dalam konteks
lingkungannya, termasuk sistem sosial lain. Sebagian besar sistem sosial, sekolah,
gereja, keluarga, perusahaan adalah subsistem masyarakat. Subsistem itu saling
berhubungan sehingga merupakan suatu sistem sosial yang paling berswadaya
(dan merupakan suatu sistem yang mampu mengontrol lingkungannya yaitu
masyarakat).23
Teori Fungsionalisme Parsons berlangsung di berbagai tingkat dengan titik
berat terletak pada struktur interaksi sosial dan pada pola-pola tindakan, serta pada
hubungan-hubungan sosialnya di dalam sebuah sistem sosial yang stabil. ada
empat syarat fungsional agar sistem sosial dapat bertahan yaitu:
23
Alfabeta, 23-27 Agustus 2010, dalam Lemhannas RI, Kajian kondisi ketahanan nasional
provinsi Nusa Tenggara, Laporan kelompok peserta PPRA, studi strategis kajian dalam
negeri.
25
a.
Adaptasi (Adaptation). Dalam sistem sosial Parsons masih menekankan
pada unsur tindakan yang membentuk unit-unit sistem sebagai empat syarat
memaksa di dalam sistem. Sistem adaptasi menekankan pada mobilisasi sarana
dan prasarana. Melalui sistem adaptasi dihasilkan fasilitas umum, umumnya
berkaitan dengan masalah ekonomi atau uang.
b.
Pencapaian Tujuan (Goal Attainment). Sistem pencapaian tujuan
mengkhususkan diri pada tujuan-tujuan yang terletak di luar sistem. Meskipun
proses adaptasi berlangsung secara normal, namun adaptasi tidak akan punya
rujukkan apabila tidak diorientasikan kepada pencapaian tujuan. Adaptasi
memerlukan arah yang jelas agar tidak mengalami penghamburan atau
pemborosan fasilitas. Semua upaya dari sistem bermuara pada pencapaian tujuan,
sistem pencapaian tujuan menghasilkan sumber-sumber umum yang paling
penting yakni kekuasaan.
c.
Integrasi
Sistem integrasi mengkhususkan pada sistem sosial dan kultural. Integrasi,
artinya suatu kesatuan yang utuh, tidak terpecah-belah dan cerai-berai. Integrasi
meliputi keutuhan dan kelengkapan anggota-anggota yang membentuk suatu
kesatuan dengan jalinan hubungan yang erat, harmonis dalam kebersamaan antara
anggota-anggota kesatuan itu.
Paul Doyle Johnson (1990 : 130) menyatakan, supaya sistem sosial itu
berfungsi secara efektif sebagai suatu satuan harus ada paling kurang satu tingkat
solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya. Integrasi merupakan
kebutuhan untuk menjamin ikatan emosional yang memadai, yang akan
menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama. Ikatan emosional
26
kebersamaan (kohesivenes) akan memiliki daya magnetic yang kuat bila diikat
oleh agama.
d.
Pemeliharaan Pola (Latent Pattern Maintenance)
Sistem pemeliharaan pola mengkhususkan diri pada sistem sosial dan
sistem kepribadian. Konsep ini menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai ideal
seperti nilai moral, norma-norma yang di anut bersama oleh para anggota dalam
suatu masyarakat atau suatu sistem tertentu yang diakui kebenarannya. Konsep ini
menunjukkan adanya mempertahankan nilai-nilai dasar dalam upaya tercapainya
nilai akhir yang bersifat kekal, dan dapat meningkatkan serta memperkuat
komitmen terhadap nilai-nilai itu. Pola-pola lama dari suatu unit sistem yang
bersifat fungsional dalam pencapaian tujuan tetap dipelihara dan di tingkatkan.
Pemeliharaan pola yang tersembunyi mengacu kepada masalah pemeliharaan pola
nilai dan sistem.
Masyarakat sebagai suatu sistem secara fungsional terintegrasi ke dalam
suatu bentuk equilibrium kehidupan sosial (masyarakat) sebagai sistem sosial
harus di lihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau
unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada
dalam satu kesatuan. Sistem sosial sifatnya tidak empiris (abstrak), sehingga
komponennya tidak dapat di lihat tapi hanya dapat dibayangkan dengan suatu
konstruksi berfikir.
Ranjabar, (2006: 9), Pengertian sosial budaya mengandung makna sosial
dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakat berarti segala sesuatu
yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari orang
atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi,
27
nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Arti budaya, kultur
atau kebudayaan adalah cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara
timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang di dalamnya sudah
tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik
materiil maupun yang psikologis, idiil dan spiritual. Sistem sosial budaya yaitu
merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku
manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur budaya secara mandiri
serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan
hidup manusia dalam bermasyarakat.24
Dari teori tersebut di atas, pendapat penulis bahwa pemberdayaan
masyarakat sekitar kawasan candi Borobudur dalam sistem sosial utamanya
bersifat sosial ekonomi belum terorganisir secara signifikan. Sedangkan
pemberdayaan dalam sistem nilai yang berkaitan dengan nilai, norma, etika,
tradisi dan hukum, belum sepenuhnya dapat diterapkan.
1.4.2.6 Kosmopolitanisme
Charles Taylor dalam bukunya yang berjudul Prinsip Otensitas Charles
Taylor : ”Antara Kosmopolitanisme dan Nasionalisme”.25 Arus globalisasi telah
menghadirkan ketegangan fundamental dalam kehidupan manusia, yakni antara
tendensi untuk terbuka dan usaha untuk menutup diri, antara proses penyatuan dan
pemisahan, antara keberanian untuk memfasilitasi dan pecegahan yang tergesagesa. Ketegangan ini terekspresi dalam diskursus yang berkepanjangan antara
24
25
Ranjabar, Jacobus, 2006, Sistem Sosial Budaya Indonesia; Bogor, Ghalia Indonesia.
Charles Taylor, 2009, Jurnal Etika, Vol. 1 No. 2, November 2009, hlm. 187.
28
kosmopolitanisme dan nasionalisme yang merupakan dua model aliran pemikiran
yang mendominasi alam pemahaman kita tentang hubungan internasional.
Kosmopolitanisme, bagi para pendukungnya, dianggap sebagai suatu
alternatif untuk memfasilitasi baik keyakinan kaum liberal yang menegaskan
bahwa semua umat manusia merupakan dan seharusnya membentuk satu
komunitas moral universal, maupun arus globalisasi yang tak bisa terhindarkan.
Tekanan tersebut diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu ketegangan internal
dan eksternal. Salah satu contoh ketegangan yang timbul dari masalah internal
suatu negara adalah problem migrasi yang kemudian memicu tantangan lain,
yakni bangkitnya usaha penegasan identitas dari komunitas-komunitas kecil yang
terbentuk dari proses migrasi tersebut. Tekanan eksternal terhadap gerakan
nasionalisme sangat jelas terlihat dalam peningkatan kekuatan, pengaruh, dan
legitimasi dari organisasi ekonomi dan sosial yang bersifat global, seperti: World
Trade Organization, World Economic Forum, dan World Social Forum, dan
organisasi-organisasi hukum dan politik supra-nasional, seperti : International
Criminal Court dan United Nations.
Fenomena kosmopolitanisme sungguh telah merubah wajah politik setiap
negara di dunia. Status politik dan fungsi pragmatis dari batas-batas geografis
setiap negara sebagai penegas identitas dan kedaulatan nasional setiap negara,
walau masih penting sekarang cenderung nasionalisme mulai luntur disaat negara
yang bersangkutan menegaskan diri sebagai satu Negara dan berjuang untuk
mendapatkan pengakuan internasional. Namun di sisi lain fenomena globalisasi,
alasan dasar bagi para pendukung aliran nasionalisme untuk semakin menegaskan
pentingnya penegasan identitas nasional, otoritas, dan kedaulatan setiap Negara.
29
Sebagai filosofi, kosmopolitanisme mengutamakan penerimaan akan
kebudayaan yang beragam. Identitas manusia sebagai bagian dari suatu kelompok
kebudayaan juga dibarengi dengan keberadaan identitasnya sebagai bagian dari
satu kosmos yang sama. Atau dengan kata lain, manusia melakukan interaksi dan
kontak dengan budaya lain, namun di saat yang sama ia masih dapat memelihara
budayanya. Kosmopolitanisme juga seringkali diibaratkan sebagai salad bowl
alih-alih melting pot dimana setiap budaya dapat mempertahankan karakteristik
khas dan tradisinya masing-masing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
elemen-elemen yang terkandung dalam kosmopolitanisme ialah: a) Perdamaian, b)
Persatuan, c) Kebebasan, d) Toleransi, e) Rasa penasaran akan kebudayaan lain.
Penegasan kosmopolitanisme pada identitas universal semua individu
yang berdasar pada pemahaman liberal bahwa setiap manusia mempunyai harkat
dan martabat yang sama dan bahwa setiap manusia diikat oleh kodrat tersebut,
senantiasa mengalami polemik ketika dihadapkan pada tuntutan penghargaan
terhadap identitas partikular negara, bangsa, atau kultur tertentu. Sebaliknya,
aliran nasionalisme yang menekankan hak menentukan dan mengatur Negara
sendiri dan penegasan identitas nasional, semakin tergerogoti oleh komposisi
dunia dan permasalahannya yang semakin accessible dan compact akibat proses
globalisasi. Kosmopolitanisme sering dijadikan argumentasi untuk menentang
kebangkitan aliran nasionalisme, dan sebaliknya nasionalisme muncul antara lain
sebagai reaksi kritis terhadap kecenderungan warga dunia.
30
1.4.2.7 Transformasi
Berkaitan dengan terjadinya transformasi terhadap nilai-nilai tradisional
yang ada di kawasan wisata Borobudur, Max Weber berpendapat bahwa proses
transformasi berjalan melalui suatu proses evolusioner yang antar unsurnya saling
mempengaruhi dalam suatu ”bentuk ideal” yang sengaja diciptakan sebagai suatu
model. Sedangkan menurut Marcia Daszko dan Sheila Sheinberg (2005),
mengatakan bahwa untuk mentransformasi berarti melakukan perubahan dalam
bentuk, tampilan atau struktur. Transformasi dalam konteks manajemen organisasi
dan sistem terjadi berawal dari individu, dan kemudian dalam organisasi.26
Kawasan wisata Borobudur memerlukan transformasi untuk selalu menjaga
kelestariannya. Transformasi hanya dapat dilakukan oleh pemimpin yang
memiliki pengetahuan akan hal itu. Berdasarkan hal tersebut, semestinya para
pemimpin mulai dari Bupati, Camat, Lurah Kabupaten Magelang yang meliputi
kawasan wisata Borobudur sebagai penjaga kebudayaan, secara individu maupun
organisasi harus dapat melakukan transformasi dengan menciptakan bentuk,
tampilan dan struktur baru budaya sebagai artikulasi baru dari artikulasi yang
sudah ada.
Transformasi budaya lokal dalam kawasan wisata candi Borobudur adalah
transformasi
yang
komprehensif,
integral
dan
holistik
serta
mampu
menyeimbangkan antara kebijakan pemerintah dengan kehidupan sosial
masyarakat utamanya pendidikan, pelestarian dan kesejahteraan.
26
Marcia Daszko dan Sheinberg, 2005, Survival is Optional: Only Leaders With New
Knowledge Can Lead the Transformation.
31
Gambar 1. Transformasi Sosial Budaya akibat suatu daerah dinyatakan sebagai
kawasan wisata.
Pada Gambar 1 (lihat hal 31). Secara diagram dapat dijelaskan bahwa pada
awalnya ketika kawasan Candi Borobudur belum dijadikan kawasan wisata,
komunitas kawasan Borobudur hidup di wilayah ekologi dan ekosistem yang
dinamis, namun relatif masih menunjukkan kondisi tentram dan damai didasarkan
pada solidaritas, komitmen, saling tolong-menolong, gotong-royong dan rela
berkorban.
Dalam perkembangannya ketika keputusan politik ekonomi menentukan
bahwa Candi Borobudur dijadikan kawasan wisata pada tanggal 10 Agustus tahun
1973, Presiden Suharto meresmikan proyek pemugaran Candi Borobudur, maka
bersamaan dengan itu kapitalisme industri masuk dan mengubah alam yang
menjadi bagian dari kehidupan sosial yang komprehensif tersebut. Karena
sebenarnya komunitas kawasan Borobudur melihat Tuhan ada di dalam alam.
Alam menjadi sumber inspirasi kebudayaan tetapi dipotong oleh kapitalisme
industri yang menganggap alam hanya sebagai komoditi (barang dagangan).
32
Padahal dalam sistem komunitas, alam itu totalitas tetapi kapitalisme itu
tidak memperhitungkan alam secara totalitas, hanya melihat dari sisi berapa
harganya bila dijual, hal inilah yang kemudian merubah kawasan dan komunitas
tersebut secara keseluruhan menjadi kompleks. Totalitas kultural yang terpisahpisah oleh proses yang berlangsung dalam sistem industri pariwisata itulah,
kemudian melahirkan transformasi sosial budaya, dalam hal ini adalah kasus di
kawasan wisata Borobudur.
Kasus di kawasan Borobudur menyatakan bahwa proses itu memang
terjadi perubahan ekosistem antara lain yang semula lahan pertanian, perkebunan,
permukiman penduduk, kawasan hutan dll, berubah menjadi kawasan industri,
perhotelan, perkantoran, sarana prasarana jalan, dll. Di sisi lain kompleksitas
totalitas komunitas kawasan Borobudur menjadi masyarakat berkelas-kelas, mulai
dari kelas yang paling rendah adalah penduduk asli, yaitu kelompok orang
terpinggir yang tidak mempunyai skill dan pengangguran. Kemudian kelas yang
lebih tinggi kelas pengasong, pemandu wisata, pedagang, bisnis, sedangkan yang
lebih tinggi lagi yaitu kelompok intelektual elit baik pemerintah maupun swasta.
Komunitas yang semula totalitasnya tidak membeda-bedakan, karena
adanya industri pariwisata maka menjadi lebih kompleks, artinya sebagian
masyarakat teralienasi ada yang kepinggir atau kemana-mana, ini belajar dari
kasus Borobudur oleh karena itu penulis berpendapat bahwa “suatu daerah baik di
dalam maupun di luar negeri bila dijadikan kawasan wisata, dimanapun daerahnya
tidak bisa dihindari akan terjadi proses-proses transformasi ekosistem maupun
komunitas masyarakat di kawasan wisata menjadi lebih kompleks sehingga
masyarakatnya berkelas-kelas, seperti yang terjadi di Borobudur”.
33
1.5
Metode Penelitian
1.5.1
Tipe penelitian
Penelitian
ini
dilakukan
untuk
menganalisis
dan
mengkritisi
perkembangan representasi serta refleksi dinamika sosial budaya kawasan wisata
Borobudur, sehingga bisa ditemukan kecenderungan naratif yang dipilih di
tengah-tengah iklim globalisasi yang syarat dengan teknologi saat ini. Penulis
dalam pengumpulan data dan fakta sosial, untuk memberikan masukan kepada
Pemerintah Kabupaten Magelang, Pemerintah Propinsi Jateng, Yogjakarta dan
Dinas Budaya serta Pariwisata Propinsi Yogjakarta, berharap agar kebudayaan
masyarakat setempat dapat memberi pengaruh positif kepada wisatawan manca
Negara, Nusantara dan lokal karena mampu menyaring kebudayaan asing
sehingga bijak dan tidak terseret arus negatif kebudayaan asing.
1.5.2
Jenis Data
Untuk mendapatkan jawaban yang mendalam dari permasalahan yang
dirumuskan dan sejalan dengan manfaat penelitian yang diharapkan, maka data
yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber dengan dua macam cara
pengumpulan data secara kualitatif yang dilakukan meliputi:
a.
Observasi
Pengumpulan data dengan cara pengamatan di lapangan. Data yang
dikumpulkan dengan cara mengamati langsung perilaku sesama masyarakat
setempat, perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat dengan migran dan
sebaliknya. Dalam observasi ini menggunakan alat berupa kamera untuk
dokumentasi.
34
b.
Wawancara yang berencana, dengan memilih responden baik dari jajaran
aparatur pemerintah daerah, swasta, maupun masyarakat setempat, secara terbuka
dan mendalam.
Wawancara dilakukan terhadap masyarakat setempat di kawasan
Borobudur, sebelas orang, wisatawan lokal, enam orang dan wisatawan manca
negara, lima orang. Tehnik pengumpulan data ini diperlukan untuk mendapatkan
data yang tidak didapat dengan observasi serta berasal dari sumber utama.
1.5.3
Tehnik Pengolahan Data
Data-data yang telah terkumpul melalui tehnik pengumpulan data, baik
data primer maupun data sekunder, dilanjutkan pada proses pengolahan data atau
menganalisis, dengan menggunakan langkah-langkah:
a.
Editing, dilakukan pada waktu di lapangan, dan setelah dari lapangan.
b.
Klasifikasi data, melalui data yang telah melalui proses editing, sesuai
dengan masalah, tujuan penelitian dan ruang lingkupnya dalam pembatasan
masalah.
c.
Analisis data dan interpretasi data.
Dalam proses ini dilakukan beberapa tahap, yaitu:
1)
Menganalisis proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat Kawasan
Candi Borobudur, terhadap budayanya sendiri.
2)
Menganalisis proses belajar warga masyarakat Kawasan Candi Borobudur
terhadap unsur-unsur kebudayaan asing (akulturasi dan asimilasi)
3)
Menganalisis transformasi penghidupan masyarakat di kawasan Candi
Borobudur bergerak dari masyarakat pertanian menjadi semakin terdiversifikasi
35
ke dalam berbagai ragam sumber mata pencaharian, meliputi (a) perubahan dari
masyarakat pertanian ke perdagangan atau home industry serta industri wisata, (b)
perubahan masyarakat tersebut ikut andil dalam proses kosmopolitanisme di
kawasan Candi Borobudur
4)
Menganalisis pola relasi yang berkembang akibat interaksi politik, bisnis
dan kultural diantara masyarakat setempat dan pengelola, kaum pendatang dan
penduduk lokal serta hubungannya dengan Pemerintah Daerah.
5)
Menganalisis pola relasi yang berkembang diantara kaum migran dan
penduduk lokal, yang meliputi proses penduduk migran memberi makna dalam
relasi dengan nilai-nilai sosial budaya penduduk setempat dan menganalisis
penduduk setempat merespon secara kultural dan sosial terhadap para pendatang.
1.6
Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri dari enam Bab, dan masing-masing bab merupakan satu
kesatuan
yang
saling
terkait
untuk
mengungkap
permasalahan
secara
komprehensif. Secara rinci sistematika penulisan disertasi ini sebagai berikut:
BAB I, Pendahuluan, memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik dan metode penelitian
serta sistimatika penulisan yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini.
BAB II,
Gambaran Lokasi Studi, menguraikan kondisi letak geografi dan
demografi masyarakat di kawasan Borobudur sehingga terjadi transformasi dari
natural resources yang ada menjadi objek pariwisata dalam kehidupan
masyarakat Borobudur.
36
BAB III, Perubahan Obyek Wisata Dalam Meningkatkan Aset Ekonomi,
menguraikan gambaran tentang perubahan obyek wisata yang ada di kawasan
Borobudur melalui peran swasta dalam pembangunan industri pariwisata untuk
meningkatkan ekonomi maupun sosial budaya dalam masyarakat di kawasan
Borobudur.
BAB IV, Dampak Pariwisata Komersial, membahas pengaruh pariwisata yang
merupakan komersialisasi nilai-nilai budaya dengan adanya kegiatan-kegiatan
pariwisata akan menyebabkan terkontaminasinya nilai-nilai budaya asli suatu
daerah, dengan adanya kedatangan pengaruh budaya asing yang dibawa oleh
wisatawan dan penyesuaian masyarakat terhadap perubahan sosial di Kawasan
Borobudur dengan berbagai sumber daya alam yang ada di Kabupaten Magelang.
BAB V, Struktur Sosial Budaya Di Kawasan Borobudur, membahas dampak
perkembangan
industri
pariwisata
terhadap
kebudayaan
dan
diperlukan
kemampuan kelembagaan dalam penanganan berbagai hambatan yang dihadapi
oleh penanam modal termasuk masalah-masalah yang bersifat lintas sektor dan
lintas daerah seperti keamanan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur.
BAB VI, berisi Kesimpulan dan saran bagi pemerintah pusat dan daerah serta
Lembaga Pemerintah terkait dalam melembagakan sistem budaya / nilai.
Download