1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sosial budaya adalah gejala berubahnya struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Perubahan tersebut merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Kehidupan bermasyarakat merupakan upaya adaptasi kolektif terhadap tantangan lingkungan, tetapi juga mempunyai konsekuensi bahwa mereka harus selalu menyesuaikan hubungan internal maupun eksternal, sesuai dengan tuntutan yang serba terus berubah dari zaman ke zaman. Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta bahwa perubahan merupakan suatu fenomena yang selalu diwarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaan. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern.1 Perubahan tersebut akhir-akhir ini memperlihatkan hal-hal yang menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan apabila dipandang dari sisi perkembangan budaya. Banyak upaya untuk mengembangkan aspek-aspek dan nilai-nilai yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan media, karena pengaruh derasnya arus globalisasi. Di tengah-tengah 1 Garna, Yudistira, K. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pajajaran. hal. 1-2. 1 2 perubahan yang sesuai dengan harapan, terjadi pula kondisi yang tidak menguntungkan. Semua itu perlu diperhitungkan dan diantisipasi dalam menyikapi perubahannya. Hal itu meliputi hampir semua aspek kehidupan, yaitu; geografi, demografi, sumber kekayaan alam, idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Secara khusus tulisan ini membahas dinamika sosial budaya kawasan Wisata Candi Borobudur yang dimulai dari proses pemugaran Candi Borobudur oleh Theodore Van Erp pada tahun 1907 – 1911 selama empat tahun, 2 kemudian dilanjutkan hingga tahun 1960-an, namun hasilnya dirasa masih kurang karena kegiatan pemugaran saat itu masih ditujukan untuk memperbaiki sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada tahun 1963 usaha penyelamatan monumen besar dunia itu dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun usaha penyelamatan ini telah memakan dana yang cukup besar namun usaha tersebut terhenti dengan adanya peristiwa G 30 S. Selanjutnya pada tahun 1965 atas prakarsa Amerika diadakan sebuah pertemuan di White House yang dijuluki “World Heritage Trust” (Pertanggung jawaban terhadap Warisan Dunia) “untuk melindungi keagungan dan keindahan alam dan situs sejarah dunia untuk masa kini dan masa depan bagi seluruh warga dunia”. Pada tahun 1968 dikembangkanlah suatu organisasi bernama “International Union for Conservation of Nature”. 3 2 3 Soekmono, 1981, Candi Borobudur - Pusaka Budaya Umat Manusia, Jakarta: Pustaka Jaya. (IUCN), 2011, International Union for the Conservation of Nature,. IUCN Red List of Threatened Species. Versi 2011. 3 Kemudian dilanjutkan Pada tanggal 16 November 1972 saat konferensi Lingkungan Manusia PBB di Stockholm.4 Perjanjian itu disetujui oleh semua anggota, dan “pertemuan mengenai perlindungan budaya dunia dan warisan alam” dipakai dalam Konferensi Umum oleh UNESCO. Dengan masuknya kembali Indonesia menjadi anggota PBB, maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota UNESCO. Melalui lembaga UNESCO tersebut, Indonesia mulai menghimbau kepada dunia internasional untuk ikut menyelamatkan bangunan yang sangat bersejarah yaitu Candi Borobudur. dengan dana dari Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan dana UNESCO.5 Rupanya harapan bangsa untuk menyelamatkan Candi Borobudur tidak pernah padam, pada tanggal 10 Agustus tahun 1973 Presiden Suharto meresmikan proyek pemugaran Candi Borobudur yang saat itu disebut dengan proyek Pemugaran Candi Borobudur Fase 1 yang diprakarsai oleh wakil Pemerintah Indonesia yaitu Drs. Soekmono dan UNESCO pada saat itu bergabung dengan dewan internasional bagian situs dan monumental (International Council on Monuments and Sites), menghasilkan sebuah draft pertemuan untuk melindungi budaya-budaya kemanusiaan. Pemugaran Borobudur itu membutuhkan waktu 10 tahun (1973-1983).6 4 5 6 Amerika mengajukan pertemuan untuk menggabungkan perlindungan alam dengan budaya. Sebuah pertemuan di White House pada tahun 1965 yang dijuluki World Heritage Trust (Pertanggung jawaban terhadap Warisan Dunia) “untuk melindungi keagungan dan keindahan alam dan situs sejarah dunia untuk masa kini dan masa depan untuk seluruh warga dunia”. Kemudian, dikembangkanlah suatu organisasi bernama International Union for Conservation of Nature pada waktu yang sama pada tahun 1968, dan mereka diperkenalkan pada tahun 1972 saat konferensi Lingkungan Manusia PBB di Stockholm. Sebuah perjanjian disetujui oleh semua anggota, dan Pertemuan Mengenai Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam dipakai dalam Konferensi Umum oleh UNESCO pada tanggal 16 November 1972. Kemendikbud, 2011, Candi Borobudur, Balai Konsevasi Borobudur. Sucoro, 2012, “Catatan Rakyat di Kaki Candi Rangkaian Duka Yang Tak Terlupakan”, Jakarta. 4 Pada dekade 1980-an Pemerintah menetapkan Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH). Pada Pasal 14 UULH dinyatakan bahwa “warisan budaya” adalah salah satu unsur lingkungan hidup yang harus dilindungi. Pemerintah kemudian mengambil langkah untuk mengembangkan sektor-sektor non migas dalam hal ini adalah sektor “industri pariwisata”.7 Dipilihnya Candi Borobudur sebagai tujuan wisata utama di Indonesia, telah memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan devisa negara. Akan tetapi ternyata orientasi terhadap peningkatan devisa negara tersebut, belum memberikan alternatif yang bermanfaat terhadap mata pencaharian pada masyarakat sekitarnya, sehingga pemanfaatan Candi Borobudur yang dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) lebih merupakan masalah bagi sebagian besar masyarakat di kawasan Candi Borobudur. Sebab setelah tanahtanah produktif yang notabene milik masyarakat digusur dengan ganti rugi yang tidak seimbang, tidak dijamin untuk diterima bekerja di Kantor TWCB serta sulit mendapatkan akses untuk berusaha yang lain, maka hal ini menjadi masalah. Di sisi lain ketika itu sarana pendidikan seperti Sekolah Muhammadiyah dan sarana ibadah seperti masjid yang digunakan oleh masyarakat dipindahkan, 7 Banjir Minyak 1980-an, Wikipedia Ensiklopedia, diunduh pada tanggal 25 Januari 2013. Pada tahun 1980-an harga minyak di pangsa pasar dunia mulai merosot dan komoditas lain mengalami penurunan. Hal itu dikarenakan oleh banjir minyak 1980-an, merujuk pada surplus minyak mentah pada 1980-an yang disebabkan oleh menurunnya permintaan setelah krisis energi tahun 1970-an. Harga minyak dunia yang mencapai puncaknya pada tahun 1980 dengan harga US$ 35 per barrel jatuh pada tahun 1986 dari $27 menjadi di bawah $10 (saat ini $95,95 per barrel, 25 Januari 2013- Kompas.com, Jumat, 25 Januari 2013). “Banjir minyak” ini dimulai pada awal 1980-an sebagai akibat dari melambatnya kegiatan perekonomian di negara-negara industri dan konservasi energi yang didorong oleh tingginya harga bahan bakar. Penyesuaian inflasi atas nilai riil minyak jatuh dari rata-rata $78,2 pada 1981 ke rata-rata $26,8 per barel pada 1986. 5 maka masyarakat bersikeras untuk menolak. Selanjutnya hal yang paling menarik adalah masyarakat di kawasan wisata Borobudur merasa bahwa secara turuntemurun telah ikut serta merawat dan menjaga Candi Borobudur, padahal sebagian mata pencaharian mereka hanya mampu bekerja sebagai pedagang-pedagang kecil di sekitar Candi Borobudur, maka ketika dipindahkan juga menolak dan menjadi masalah. Setelah Tiga puluh tahun berlalu semenjak diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Februari 1983, dibukalah Kawasan Wisata Candi Borobudur untuk para wisatawan nusantara dan mancanegara. 8 Kawasan Candi Borobudur telah banyak mengalami perubahan-perubahan terutama setelah dijadikannya kawasan ini menjadi Taman Wisata. Kehadiran wisatawan dan migrasi tentu berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat di kawasan tersebut maupun terhadap pelestarian Candi Borobudur secara fisik.9 Kenyataannya, masyarakat di kawasan Candi Borobudur belum merasakan manfaat sepenuhnya keberadaan Candi Borobudur. Karena sistem pengelolaan yang diterapkan belum memberikan akses ruang partisipasi kepada masyarakat. Yang terjadi adalah masyarakat terpinggirkan, sehingga mentalitas masyarakat di kawasan Candi kurang mencerminkan masyarakat pariwisata yang senantiasa berusaha memberikan rasa aman, bagi setiap pengunjung yang datang karena mereka belum menyadari manfaat pariwisata di daerahnya. Apabila mencermati pembangunan sesungguhnya peran serta masyarakat yang terorganisir merupakan salah satu komponen penting dalam melestarikan Candi Borobudur. 8 9 Yazir Marzuki dan Toeti Heraty, 1987, Borobudur, Jakarta, Djambatan. Purwantana, 1985, Candi Borobudur dan Taman Wisatanya, Bandung, Alumni 1985. 6 Masalahnya adalah Pengelolaan kawasan Candi Borobudur diatur menggunakan politik ekonomi. Dalam kaitannya dengan apa yang diproduksi, ruang dalam hal ini menjadi bagian dari sebuah produksi (proses) sejarah, yang meliputi persinggungan dari waktu (time), ruang (space) dan makhluk sosial, yang mengarah kepada “a materialization of social being” (Lefebvre, 1991: 68, 69, 102 dalam Kurniawan, 2011:2). Berkaitan dengan hal tersebut, alat politiknya dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres No.1 Tahun 1992) tentang pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur yang terdiri dari 3 Zona, yaitu: “Zona I : Merupakan lingkungan kepurbakalaan diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan kelestarian fisik Candi seluas 44,8 Ha yang dikelola oleh balai konservasi Candi dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Zona II : Merupakan kawasan di luar zona I yang diperuntukkan bagi pembangunan taman wisata sebagai tempat kegiatan kepariwisataan, pemeliharaan dan pelestarian bangunan Candi seluas 42,3 Ha yang dikelola oleh unit Taman Wisata Candi Borobudur. Zona III : Merupakan kawasan di luar zona II yang diperuntukkan bagi pemukiman terbatas, jalur hijau, daerah pertanian untuk menjamin keserasian dan kawasan keseimbangan di zona I yang dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten Magelang.”10 Di sisi lain hilangnya pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Magelang menjadi realitas ketidak adilan dan berdampak kecemburuan. Karena hal itu dapat mempengaruhi kinerja pembangunan yang cukup signifikan berkisar 3 sampai 4 milyar pertahunnya (sebelum dibatalkannya pajak hiburan oleh Pemerintah Pusat tahun 2008) Apabila pendapatan tersebut kembali ke Pemerintah Kabupaten Magelang tentu dapat dimanfaatkan dengan baik untuk membangun daerahnya. 11 Bagi masyarakat salah satu mata pencaharian di kawasan Candi Borobudur adalah 10 11 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1, Tahun 1992. Penuturan dari Asisten Pemerintahan Pemkab Magelang Ir. Agung Trijaya, 27 Oktober 2013, saat menerima kunjungan DPR RI Poppy Dharsono di Kecamatan Srumbung. 7 berbagai usaha kecil dan menengah, antara lain bagi yang agak mampu berdagang di kios-kios tentu dengan penggantian atau angsuran termasuk membuka home stay, bagi yang tidak mampu dengan berdagang di kaki lima dan asongan mulai dari taman parkir hingga masuk ke wilayah-wilayah lain yang terlarang baginya, sedangkan bagi yang mempunyai lahan cukup luas telah bekerjasama dengan investor membangun fasilitas Hotel yang berkelas internasional, sehingga menimbulkan ketimpangan dikalangan masyarakat di sekitar kawasan. Hasil rangkaian lokakarya tentang Borobudur pada tanggal 19 Februari 2008 di Semarang. Menjelaskan bahwa revitalisasi merupakan salah satu agenda Jawa Tengah sebagai alat untuk mengembalikan kejayaan kawasan Borobudur; sebagai pusat studi budaya dan komunitas lintas agama kelas internasional; serta sebagai salah satu tujuan wisata terbesar di dunia. Alasan revitalisasi kawasan Candi Borobudur ini, Candi Borobudur merupakan warisan budaya dan destinasi wisata unggulan yang mendunia; kondisi fisik dan lingkungan Candi Borobudur berada pada kondisi yang rawan diakibatkan oleh akumulasi dan kompleksitas permasalahannya; pengelolaan situs peninggalan sejarah dan purbakala dan pengembangannya dalam konteks kepariwisataan secara berkelanjutan telah menjadi salah satu isu utama dalam manajemen sumber daya budaya.12 Oleh karena itu, revitalisasi kawasan Candi Borobudur merupakan langkah yang sangat mendesak dan perlu segera dilakukan pemulihan kondisi Candi beserta 12 Nindyo Suwarno, 2008, Revitalisasi Kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. 8 lingkungannya, sehingga citra Candi Borobudur akan tetap dikenang sebagai salah satu keajaiban dunia yang menyimpan jejak-jejak peradaban antar bangsa.13 1.2 Permasalahan Permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah dinamika perubahan dan perkembangan sosial budaya sejak adanya Master Plan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan UNESCO pada dekade 1970-an selama 5 dekade hingga 2013. Pertanyaan utama ini akan diformulasikan lebih rinci dalam beberapa sub pertanyaan yang lebih empiris. a. Bagaimana transformasi dari natural resources menjadi obyek wisata. b. Bagaimana perubahan obyek wisata berubah menjadi aset ekonomi. c. Bagaimana perubahan aset ekonomi mengubah gaya hidup dan perilaku masyarakat. d. Bagaimana perubahan pelembagaan masyarakat dalam sistem budaya/ nilai yang menjadi salah satu penyebab sengketa antara penguasa dengan pengelola dan masyarakat. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini ingin memahami perubahan sosio-kultural di kalangan kelompok masyarakat petani dan pedagang, akibat dari perubahan budaya petani menjadi semakin terdiversifikasi ke perdagangan atau home industry serta industri wisata; perubahan penggunaan faktor waktu oleh masyarakat di kawasan 13 Adrian Snodgrass, 1985, Architecture, Time and Eternity, Volume II, London: Oxford University Press. 9 wisata Borobudur; perubahan perilaku sosial dan gaya hidup masyarakat. Serta penyebab terjadinya sengketa antara penguasa dengan pengelola dan masyarakat. Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademis dan praktis. Secara akademis, sebagai sumbangan teori terhadap pengembangan keilmuan soal akulturasi perubahan budaya akibat terintegrasinya ekonomi lokal dan dunia khususnya lewat industri wisata dan diharapkan mampu memberikan gambaran tentang sisi lain dari penelitian-penelitian yang sudah dilaksanakan sebelumnya yang berkaitan dengan kawasan wisata Candi Borobudur. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap lembaga pemerintah seperti Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Propinsi Daerah Jawa Tengah. Diharapkan juga hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi upaya peningkatan kehidupan di pelbagai desa utamanya di kawasan Candi Borobudur. Di samping itu dapat dijadikan cermin evaluasi pelaksanaan pembangunan sehingga dapat dijadikan pemicu dan pemacu untuk lebih baik lagi di masa mendatang. 1.4 Kajian Pustaka dan Landasan Teori 1.4.1 Kajian Pustaka Selama ini persoalan kemiskinan dan keterbelakangan identik dengan kehidupan masyarakat pedesaan. Persoalan tersebut lebih disebabkan oleh struktur perekonomian yang kurang memberikan ruang bagi masyarakat pedesaan untuk 10 berpartisipasi lebih dalam terhadap pelaksanaan pembangunan, Arif Satria, dkk. (2011: 64). Salah satu wilayah yang cukup potensial namun masih cukup terpuruk adalah Desa Karangrejo, Desa Karangrejo termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Desa Karangrejo memiliki luas 174 ha terdiri atas 98 ha sawah dan ladang, 72 ha permukiman dan sisanya fasilitas umum. Desa Karangrejo juga hanya berjarak sekitar 5 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Magelang, dan 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Borobudur, serta hanya sekitar 2 km dari Candi Borobudur. Namun demikian tidak banyak manfaat yang diperoleh masyarakat dari keberadaan candi dan pengunjung di Borobudur. Desa Karangrejo juga memiliki potensi tinggi dalam pertanian. Mayoritas warga Karangrejo bekerja di sektor pertanian dan jasa dalam hal ini sebagai petani, buruh tani. pedagang, dan sektor jasa pariwisata dan kesenian. Kebanyakan mereka yang bekerja di sektor wisata menggantungkan hidupnya di sekitar kawasan wisata Candi Borobudur, baik sebagai penjual asongan, pemandu wisata, fotografer, angkutan wisata, maupun pekerja serabutan atau sebagai tenaga kebersihan, penjaga hotel dan tenaga keamanan, serta sektor informal lainnya. Kehidupan masyarakat secara umum banyak bergantung pada kondisi lahan di desa, serta keberadaan Candi Borobudur. Namun demikian, masyarakat Desa Karangrejo belum dapat menikmati keberadaan wisatawan di Candi Borobudur. Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa meskipun dekat dengan 11 Candi Borobudur, namun tidak begitu banyak wisatawan yang berkunjung ke desa, maupun sekedar jalan-jalan, membeli produk maupun menginap. Adapun hasil penelitian-penelitian terdahulu dan tulisan-tulisan yang dianggap relevan untuk dijadikan kajian pustaka mengenai kawasan Borobudur, antara lain: Satria, Arif Sofianto, (2013) berjudul “Peran kelompok masyarakat dalam penguatan inovasi sosial di desa Karang Rejo kecamatan Borobudur” dan Muhammad Taufik, Suparjiono, Suparno, (2001), yang berjudul “Upaya Penanggulangan Konflik Kepentingan Pemanfaatan Candi Borobudur”. Menurut mereka kebijakan-kebijakan pengelola warisan budaya pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan persepsi masyarakat tentang sumber daya budaya itu sendiri. Gejala seperti ini terjadi di berbagai tempat dan hampir pada semua bangsa, sehingga seolah-olah menjadi fakta umum bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya akan selalu bergantung pada situasi politik maupun hukum Evolusi sosial. Kehadiran suasana pertentangan ini menjauhkan sikap penghargaan terhadap mereka yang telah menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, bahkan suasana yang hadir malahan berupa sebuah arena konflik yang semakin lama semakin tajam antara pihak pengelola dengan masyarakat. Interaksi konflik ini bila diamati dari atas, seakan-akan kedua kelompok tersebut yaitu penguasa (pengelola) dan masyarakat pelaku usaha telah menampakan suatu arena pertempuran di lokasi Taman Wisata Candi Borobudur. Di satu sisi pengelola memiliki sebuah cetak biru yang berkaitan dengan aturan-aturan mesti ditaati dan di sisi lain masyarakat yang telah melakukan proses kreatif adaptif, tidak mentaati demi sesuap nasi. 12 Gambaran umum studi-studi terdahulu tentang dinamika sosial budaya masyarakat di sekitar Borobudur, menunjukkan bahwa di Desa Karangrejo tersebut di atas, belum diberikan ruang permodalan oleh struktur ekonomi di bidang agraris dan industri karena tidak diberdayakan. Sedangkan dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih luas. Muhammad Taufik, menyatakan bahwa perubahan terbukanya lapangan pekerjaan baru yang diciptakan oleh pengelola tidak sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan pencarian nafkah oleh masyarakat, sehingga menimbulkan benturan dan bertentangan dengan yang dianjurkan oleh Pengelola. Lingkup bahasan penulis lebih luas dan membahas perubahan mata pencaharian warga masyarakat yang semula bertani menjadi terdiversifikasi ke perdagangan atau home industry serta industri wisata. Elanto Wijoyono, (2009), dalam “Peluncuran Peta Hijau Mandala Borobudur” menyatakan bahwa pengelolaan kawasan Candi Borobudur hingga kini masih mengikuti prinsip yang diatur dalam Master Plan JICA (1979) dan diperkuat oleh Keppres No. 1/1992 yang membagi kewenangan pengelolaan sesuai dengan zonanya. Situs Candi Borobudur (Zona I) dikelola oleh Balai Konservasi Candi Borobudur di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur (Zona II) dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur yang berada di bawah naungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Wilayah di luar kedua zona itu dikelola oleh pemerintah daerah. Jadi, praktis, Pemerintah Desa Borobudur memiliki satu “kantong” di dalam wilayah administratifnya yang tidak boleh dicampuri. Padahal, selain telah menggusur beberapa dusun dan membelah desa menjadi dua bagian, keberadaan Taman Wisata Candi Borobudur dan beragam kegiatannya 13 telah memberikan dampak yang intensif terhadap wilayah dan masyarakat Desa Borobudur. Proses identifikasi dan diskusi mengenai potensi baik dan buruk di Desa Borobudur yang dilakukan langsung oleh penduduk telah dimulai sejak tahun 2005 dan dilanjutkan kembali pada akhir tahun 2008 lalu. Langkah-langkah yang ditempuh telah berhasil mendokumentasikan sejarah, pernyataan, hingga pendapat, dan harapan masyarakat setempat terhadap keadaan desa mereka di masa kini dan di masa mendatang. Sebagai upaya penyebarluasan hasil penelitian dan kegiatan maka telah dilangsungkan peluncuran14 Peta Hijau Mandala Borobudur dan Peta Hijau Borobudur Tourist Park (Tahap I), tanggal 8 Juni 2009. Tujuan utama acara ini adalah sebagai langkah publikasi kepada masyarakat setempat dan para pihak terkait, sekaligus undangan untuk membangun kerjasama melanjutkan proses yang telah berlangsung ke depan.15 Dalam bahasan yang disampaikan oleh Elanto tentang “Peluncuran Peta Hijau Mandala Borobudur”, bahwa Langkah-langkah yang ditempuh telah berhasil mendokumentasikan sejarah, pernyataan, hingga pendapat, dan harapan masyarakat setempat terhadap keadaan desa mereka di masa kini dan di masa mendatang. Namun dalam bahasan yang telah dilakukan penelitian oleh Elanto belum dapat memecahkan persoalan warga masyarakat secara memuaskan. Sedangkan Penulis akan mengkaji tentang pergeseran perilaku sosial budaya secara lebih mendalam. 14 15 Elanto Wijoyono, Rabu, 19 Maret 2014, “Pertemuan Nasional Peta Hijau 2014”. Elanto Wijoyono, 2009, “Peluncuran Peta Hijau Mandala Borobudur”. Dusun Ngaran I, Desa Borobudur. 14 M. Taufik, dalam “Pariwisata dan Pergeseran Sosial Budaya” (B. Sunaryo, 2000) menjelaskan bahwa pariwisata secara sosiolosis terdiri atas tiga interaksi yaitu interaksi bisnis, interaksi politik dan interaksi kultural. Interaksi bisnis adalah interaksi di mana kegiatan ekonomi yang menjadi basis materialnya dan ukuran-ukuran yang digunakannya adalah ukuran-ukuran yang bersifat ekonomi. Dalam dimensi interaksi kultural dimungkinkan adanya pertemuan antara dua atau lebih warga dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda. Pertemuan ini mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan keberadaan interaksi bisnis dan interaksi politik. Perubahan terjadi apabila adanya kontak dengan kebudayaan lain yang akhirnya akan terjadi difusi (penyebaran budaya), misalnya bagaimana terjadinya pergeseran kultur kehidupan masyarakat sekitar kawasan Candi Borobudur yang semula berbasis aktivitas kehidupan agraris (bertani) bergeser menjadi masyarakat pedagang dan penjual jasa. Dengan demikian pariwisata ditinjau dari dimensi kultural dapat menumbuhkan suatu interaksi antara masyarakat tradisional agraris dengan masyarakat modern industrial. Melalui proses interaksi itu maka dimungkinkan adanya pola saling pengaruh yang akhirnya akan mempengaruhi struktur kehidupan atau pola budaya masyarakat khususnya masyarakat yang menjadi tuan rumah. Kontak selanjutnya antara wisatawan dengan masyarakat kawasan candi membutuhkan suatu perantara atau media yang mampu menjalin pengertian antara kedua belah pihak, perantara atau media tersebut adalah bahasa, bahasa menjadi faktor determinan. Dorongan itu muncul bukan semata-mata karena motif ingin 15 berhubungan misalnya korespondensi atau yang lain, melainkan lebih disebabkan karena faktor ekonomi, untuk dapat komunikatif dalam memasarkan dagangannya baik produk souvenir, jasa menjadi guide (pemandu wisata) dll. Ini berarti telah terjadi pola perubahan budaya masyarakat menuju ke arah yang positif yaitu memperkaya kemampuan masyarakat khususnya dalam bidang bahasa paling tidak belajar bahasa Inggris. 16 Sunaryo menekankan tentang pembahasan interaksi bisnis, politik dan kultural yang mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan keberadaan interaksi bisnis dan interaksi politik. Penulis akan mengkaji lebih dalam tentang bagaimana pola relasi yang berkembang diantara masyarakat setempat dan pengelola, kaum pendatang dan penduduk lokal serta hubungannya dengan Pemerintah Daerah. Robert Sibarani (2013), dalam penelitian yang dilakukan dengan judul ”Pembentukan Karakter Berbasis Kearifan Lokal”, berpendapat bahwa dalam tradisi budaya terdapat berbagai nilai dan norma budaya sebagai warisan leluhur yang menurut fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya dapat diklasifikasikan sebagai kearifan lokal. Jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10), kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, dan (17) rasa syukur.17 16 17 Op.cit. Robert Sibarani, 2013, ”Pembentukan Karakter Berbasis Kearifan Lokal” Taskap Program Pendidikan Reguler Angkatan LXVIII, Lemhannas RI. 16 Peran masyarakat setempat melalui kearifan lokal dalam bentuk pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, sangat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan melalui konsep yang disebut CBNRM (Community based nature resource management) atau Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat.18 Hal itu disampaikan oleh penulis Suhartini dari Universitas Negeri Yogyakarta dalam sebuah penelitian yang bertajuk ”Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan”. Dalam kajiannya disampaikan bahwa masyarakat berpartisipasi secara aktif dan berperan dalam menanggulangi masalah terkait kondisi sumber daya hayati disekitarnya. Peran masyarakat lokal dalam CBNRM mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Untuk menunjang keberhasilannya, maka ada beberapa prinsip dalam penerapan CBNRM, yaitu prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip kesetaraan peran, prinsip berorientasi pada lingkungan, prinsip penghargaan terhadap pengetahuan lokal/tradisional dan prinsip kebersamaan gender. Sayangnya peneliti belum menjelaskan betapa sulitnya menjabarkan prinsip-prinsip lokal tersebut ke dalam praktek nyata dalam kehidupan, misalnya pengetahuan lokal dalam pengelolaan kawasan, seberapa besar kepedulian masyarakat lokal terhadap alam sekitar, dan manfaat apa dari nilai kearifan lokal (secara materi) yang bisa didapat. Hal ini masih berkaitan lagi dengan masalah informasi atau pengetahuan, peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan peran atau posisi masyarakat dalam kebijakan alam sekitar. Contohnya, masyarakat lokal yang berada di sekitar Gunung Merapi yang kurang memahami konsep CBNRM ini malah ikut mencuri kayu di hutan sekitar masyarakat hal ini tidak 18 Suhartini, 16 Mei 2009, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Negeri Yogyakarta. 17 lain berkaitan dengan informasi terbatas, dorongan kesejahteraan dan ketiadaan posisi dalam kebijakan.19 Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa masyarakat kawasan candi Borobudur sudah sepatutnya untuk melakukan pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai kearifan lokal. Upaya membangun masyarakat harmonis di era otonomi daerah dan era globalisasi yang perlu dilakukan adalah menelusuri makna substantif kearifan lokal, misalnya keterbukaan dikembangkan dan diaktualisasikan menjadi kejujuran, dan keseragaman diganti keberagaman dan lain sebagainya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekedar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Dalam hal ini, peran dan tanggung jawab para pemimpin dan elite sosial dan elit politik utamanya di Kabupaten Magelang sangat dibutuhkan untuk revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal guna memperkuat identitas nasional dalam rangka ketahanan nasional. 1.4.2 Landasan Teori 1.4.2.1 Perubahan Sosial Budaya Dalam konteks kehidupan manusia sebagai makhluk sosial terdapat dua macam perubahan yaitu perubahan sosial (social change) dan perubahan kebudayaan (cultural change). Perbedaan pengertian antara perubahan sosial dan perubahan budaya terletak pada pengertian masyarakat dan budaya yang diberikan, tetapi pada umumnya perubahan budaya menekankan pada sistem nilai, sedangkan perubahan 19 Susilo, Candi Borobudur Belum Banyak Berikan Keuntungan Bagi Masyarakat, Kompas Images, Magelang, 11 November 2011 (19:18) 18 sosial pada sistem pelembagaan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Perubahan masyarakat pertanian tradisional kearah masyarakat industry modern ditandai adanya perubahan-perubahan dalam sistem nilai masyarakat industri, misalnya lebih banyak berorientasi pada nilai-nilai rasional, komersial daripada masyarakat pertanian. Soemantri (2011: 2), perubahan budaya adalah proses yang terjadi dalam budaya yang menyebabkan adanya perbedaan yang dapat diukur setelah terjadi dalam kurun waktu tertentu. Budaya dapat diartikan sebagai segala daya upaya dan kegiatan manusia dalam mengubah dan mengola alam. Perubahan kebudayaan mencakup semua bagian kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan lain-lain. Perubahan sosial mencakup perubahan norma, sistem nilai sosial, pola-pola perilaku, stratifikasi sosial, lembaga sosial, dan lain-lain. Perubahan sosial merupakan hal yang penting dalam perubahan kebudayaan. Dari teori tersebut penulis sangat sependapat karena sebagian besar kegagalan masyarakat di dalam merespon pembangunannya karena masyarakat tidak diorganisir secara baik, dalam hal ini aturan organisasi seyogyanya dievaluasi, dan ditegakkan serta dikontrol sehingga mampu mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat. Emile Durkheim menjelaskan perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari 19 kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, 20 ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.21 Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan ekologis dan perpindahan penduduk bukan saja akibat bencana alam, buatan maupun keinginan masyarakat sendiri namun juga bisa terjadi karena justru hadirnya industri pariwisata dan kebijakan politik pemerintah. 1.4.2.2 Konsep dasar pembangunan Konsep dan arahan pengembangan sebagai langkah-langkah yang taktis dan mendasar untuk memulihkan kondisi fisik Candi dan lingkungannya serta elemen non fisik yang terkait di dalamnya merupakan prinsip pengembangan yang terdiri dari: a. Borobudur sebagai Culture Heritage Trails; didasari pemikiran bahwa penyebaran agama Budha yang berakar dari India mempunyai keterkaitan arkeologis di antara negara-negara Asia. Argumen penulis keberadaan candi Borobudur adalah keterpaduan kultur antara India dan Jawa yaitu sebagai tempat meditasi penganut Buddha (kitab Nagarakertagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365). b. Keseimbangan antara pengembangan dan konservasi; hubungan antara peninggalan 20 21 sejarah dan pariwisata merupakan hubungan yang saling Solidaritas Mekanistik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya pembagian kerja diantara para anggota kelompok. (Masyarakat Pedesaan). Solidaritas Organistik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh saling ketergantungan antar anggota. (Masyarakat Perkotaan). Hooguelt, Ankle MM, 1995, Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Hlm. 56. 20 menguntungkan karena peninggalan sejarah merupakan nilai sosial dan budaya. Pariwisata dapat menjadi alat yang baik untuk membantu keberlanjutan peninggalan sejarah tetapi perlu adanya pelestarian dan perencanaan yang matang, terarah, serta pengaturan pengembangan dan manajemen untuk mendukung peningkatan ekonomi. c. Community Involvement : Empowerment (pemberdayaan masyarakat) merupakan salah satu hal penting dalam pengembangan pariwisata termasuk di dalamnya budaya dan peninggalan sejarah. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, membuat lapangan kerja baru yang pada intinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama komunitas di sekitar area peninggalan sejarah. Konsep dasar keseimbangan pelestarian serta pemberdayaan masyarakat pada dasarnya saling berkaitan untuk peningkatan ekonomi tetapi dalam kenyataannya belum menyentuh masyarakat. Oleh karenanya dalam pelestarian dan pemeliharaan seyogyanya perlu melibatkan komunitas masyarakat yang menggeluti dan memahami tentang perawatan arkeologi, contohnya komunitas pemahat batu di kawasan Muntilan sebagai sumber tenaga manusia profesional untuk pelestarian pelbagai candi, tak pernah tersentuh oleh sistem konservasi pusat maupun daerah, padahal di dalamnya terdapat SDM yang berkualitas di dusun Prumpung Sidohardjo, desa Taman Agung kecamatan Muntilan sebagai tokoh maestro seni pahat kelas dunia yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Dul Kamit Djoyo Prono. 21 d. Cultural Tourism and Healthy Lifestyle ; merupakan salah satu trend dalam wisata budaya yang menerapkan konsep ajaran Buddha, sehingga mendorong pertumbuhan fasilitas penunjang dan pelayanan di sekitar situs peninggalan sejarah. Terbatasnya sarana dan prasarana kesehatan bertaraf internasional seperti rumah sakit, dokter dan tenaga medis mengakibatkan berkurangnya wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Candi Borobudur. Oleh karenanya kesiapan infrastruktur seperti rumah sakit, dokter serta paramedis yang berkualitas sangat penting untuk diwujudkan guna melayani wisatawan dan masyarakat kawasan wisata. e. Borderless Tourism; konsep pariwisata lintas batas atau tanpa batas mengarahkan pada pentingnya membangun kemitraan atau aliansi strategis antar wilayah yang berdekatan atau kerjasama lintas batas untuk mengembangkan kepariwisataan secara terpadu, sinergis dan komplementer. Argumen penulis dalam mendukung konsep pariwisata, perlu fasilitas media center yang mampu membangun image tentang perkembangan sosial budaya di kawasan wisata candi Borobudur, secara terus menerus dan berkelanjutan. f. Konsep Mandala; konsep dasar sebuah mandala stupa ialah adanya ruangan pusat yang dikelilingi oleh ruangan-ruangan yang lebih kecil. Bila konsep tersebut dikembalikan ke organisasi ruang Candi Borobudur, akan nampak adanya kesejajaran konsep. Di sisi lain keberadaan Candi Borobudur, Mendut, Pawon sebagai satu kesatuan World Heritage Site. Perhatian pemerintah dalam pengelolaan kawasan selalu terpusat pada Candi Borobudur. Padahal, keberadaan bangunan ini tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai penghidupan, kehidupan (social), kemanusiaan (human), 22 kemestaan alam (nature) dan ketuhanan.22 Berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai objek budaya yang apabila dikelola dan dilestarikan secara baik oleh masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama akan meningkatkan kualitas kawasan dan masyarakatnya (Soeroso, 2007). 1.4.2.3 Teori Komunitas Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunitas adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu yang hidup dan saling berinteraksi satu sama lain di daerah tertentu. Dalton et al (2007) menyatakan komunitas sebagai wadah dimana ide individu-individu muncul bersama-sama di dalam beberapa kegiatan atau usaha bersama maupun hanya karena adanya kedekatan secara geografis. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Sarason pada tahun 1974 (dalam Dalton et al, 2007) bahwa komunitas adalah penyedia dengan mudah jaringan hubungan saling mendukung satu sama lain dan masing-masing individu memiliki ketergantungan di dalamnya. Sejak akhir abad ke 19, istilah komunitas mempunyai makna sebuah perkumpulan dengan harapan dapat semakin dekat dan harmonis antara sesama anggota (Elias 1974, dikutip oleh Hogget 1997). Di sisi lain komunitas adalah sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa orang yang tinggal berdekatan; dan ada yang melihat komunitas sebagai daerah yang mempunyai kehidupan yang sama. Komunitas dapat berarti sebuah nilai (Frazer, 2000). Komunitas dapat digunakan untuk membawa nilai-nilai seperti: solidaritas, komitmen, saling tolong-menolong, dan kepercayaan. 22 Baiquni, M., 2004. Manajemen Strategis. Yogyakarta: Program Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 23 Pengertian komunitas mengacu pada sekumpulan orang yang saling berbagi perhatian, masalah, atau kegemaran terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling berinteraksi secara terus menerus Etienne Wenger (2004). Komunitas merupakan bagian dari masyarakat yang saling berbagi informasi mengenai suatu subjek tertentu. Mereka mendiskusikan keadaan, aspirasi dan kebutuhan mereka. Pengertian komunitas ialah sekelompok orang yang berinteraksi dan saling berbagi sesuatu secara berkelompok. Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa faktor utama yang menjadi kesepakatan komunitas tersebut adalah totalitas sosial kultural yang berinteraksi dalam suatu daerah tertentu didasarkan pada solidaritas, komitmen, saling tolongmenolong dan rela berkorban, serta terjalinnya kepercayaan. Namun disisi lain juga terbentuk pola hubungan tingkah laku nilai-nilai, kesederajatan, kebersamaan, kekeluargaan, keseteraan, dan norma-norma baru sesuai dengan tuntutan perkembangannya. 1.4.2.4 Teori Ketahanan Individu dalam sistem sosial Dalam tulisan yang berjudul ”Direction changes in ecological comunities and sicio-ecological systems, F.S. Chapin (2006) menyimpulkan bahwa kebijakan diperlukan bukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tetapi untuk meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi individu, keluarga dan masyarakat dalam beradaptasi dan berfungsi dengan baik dalam posisinya sosial yang berbasis pada karakterisari demografisnya. Teorinya meniscayakan setiap individu di dalam masyarakat dengan kapasitas yang dimilikinya sehingga mampu berperan 24 dan memperkuat ketahanan sosial budaya sehingga ketahanan nasional terpelihara” Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa diperlukan solidaritas masyarakat yang didasarkan pada ikatan yang kuat dari kepercayaan dan kebiasaan masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya terciptanya harmonisasi kehidupan bermasyarakat. 1.4.2.5 Teori sistem sosial budaya Talcot Parsons (dikutip dari Margaret M Poloma, 1992, 187) menyatakan sebagai berikut: ”Sebagai masalah pokok sosiologi makro, masyarakat bukan hanya merupakan contoh sistem sosial, tetapi merupakan substansi yang paling penting untuk dianalisis; kita membatasi masyarakat sebagai suatu tipe sistem sosial yang ditandai oleh tingkat swadaya (self sufficiency) tertinggi dalam konteks lingkungannya, termasuk sistem sosial lain. Sebagian besar sistem sosial, sekolah, gereja, keluarga, perusahaan adalah subsistem masyarakat. Subsistem itu saling berhubungan sehingga merupakan suatu sistem sosial yang paling berswadaya (dan merupakan suatu sistem yang mampu mengontrol lingkungannya yaitu masyarakat).23 Teori Fungsionalisme Parsons berlangsung di berbagai tingkat dengan titik berat terletak pada struktur interaksi sosial dan pada pola-pola tindakan, serta pada hubungan-hubungan sosialnya di dalam sebuah sistem sosial yang stabil. ada empat syarat fungsional agar sistem sosial dapat bertahan yaitu: 23 Alfabeta, 23-27 Agustus 2010, dalam Lemhannas RI, Kajian kondisi ketahanan nasional provinsi Nusa Tenggara, Laporan kelompok peserta PPRA, studi strategis kajian dalam negeri. 25 a. Adaptasi (Adaptation). Dalam sistem sosial Parsons masih menekankan pada unsur tindakan yang membentuk unit-unit sistem sebagai empat syarat memaksa di dalam sistem. Sistem adaptasi menekankan pada mobilisasi sarana dan prasarana. Melalui sistem adaptasi dihasilkan fasilitas umum, umumnya berkaitan dengan masalah ekonomi atau uang. b. Pencapaian Tujuan (Goal Attainment). Sistem pencapaian tujuan mengkhususkan diri pada tujuan-tujuan yang terletak di luar sistem. Meskipun proses adaptasi berlangsung secara normal, namun adaptasi tidak akan punya rujukkan apabila tidak diorientasikan kepada pencapaian tujuan. Adaptasi memerlukan arah yang jelas agar tidak mengalami penghamburan atau pemborosan fasilitas. Semua upaya dari sistem bermuara pada pencapaian tujuan, sistem pencapaian tujuan menghasilkan sumber-sumber umum yang paling penting yakni kekuasaan. c. Integrasi Sistem integrasi mengkhususkan pada sistem sosial dan kultural. Integrasi, artinya suatu kesatuan yang utuh, tidak terpecah-belah dan cerai-berai. Integrasi meliputi keutuhan dan kelengkapan anggota-anggota yang membentuk suatu kesatuan dengan jalinan hubungan yang erat, harmonis dalam kebersamaan antara anggota-anggota kesatuan itu. Paul Doyle Johnson (1990 : 130) menyatakan, supaya sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai suatu satuan harus ada paling kurang satu tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya. Integrasi merupakan kebutuhan untuk menjamin ikatan emosional yang memadai, yang akan menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama. Ikatan emosional 26 kebersamaan (kohesivenes) akan memiliki daya magnetic yang kuat bila diikat oleh agama. d. Pemeliharaan Pola (Latent Pattern Maintenance) Sistem pemeliharaan pola mengkhususkan diri pada sistem sosial dan sistem kepribadian. Konsep ini menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai ideal seperti nilai moral, norma-norma yang di anut bersama oleh para anggota dalam suatu masyarakat atau suatu sistem tertentu yang diakui kebenarannya. Konsep ini menunjukkan adanya mempertahankan nilai-nilai dasar dalam upaya tercapainya nilai akhir yang bersifat kekal, dan dapat meningkatkan serta memperkuat komitmen terhadap nilai-nilai itu. Pola-pola lama dari suatu unit sistem yang bersifat fungsional dalam pencapaian tujuan tetap dipelihara dan di tingkatkan. Pemeliharaan pola yang tersembunyi mengacu kepada masalah pemeliharaan pola nilai dan sistem. Masyarakat sebagai suatu sistem secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium kehidupan sosial (masyarakat) sebagai sistem sosial harus di lihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada dalam satu kesatuan. Sistem sosial sifatnya tidak empiris (abstrak), sehingga komponennya tidak dapat di lihat tapi hanya dapat dibayangkan dengan suatu konstruksi berfikir. Ranjabar, (2006: 9), Pengertian sosial budaya mengandung makna sosial dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakat berarti segala sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari orang atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, 27 nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Arti budaya, kultur atau kebudayaan adalah cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang di dalamnya sudah tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang psikologis, idiil dan spiritual. Sistem sosial budaya yaitu merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur budaya secara mandiri serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat.24 Dari teori tersebut di atas, pendapat penulis bahwa pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan candi Borobudur dalam sistem sosial utamanya bersifat sosial ekonomi belum terorganisir secara signifikan. Sedangkan pemberdayaan dalam sistem nilai yang berkaitan dengan nilai, norma, etika, tradisi dan hukum, belum sepenuhnya dapat diterapkan. 1.4.2.6 Kosmopolitanisme Charles Taylor dalam bukunya yang berjudul Prinsip Otensitas Charles Taylor : ”Antara Kosmopolitanisme dan Nasionalisme”.25 Arus globalisasi telah menghadirkan ketegangan fundamental dalam kehidupan manusia, yakni antara tendensi untuk terbuka dan usaha untuk menutup diri, antara proses penyatuan dan pemisahan, antara keberanian untuk memfasilitasi dan pecegahan yang tergesagesa. Ketegangan ini terekspresi dalam diskursus yang berkepanjangan antara 24 25 Ranjabar, Jacobus, 2006, Sistem Sosial Budaya Indonesia; Bogor, Ghalia Indonesia. Charles Taylor, 2009, Jurnal Etika, Vol. 1 No. 2, November 2009, hlm. 187. 28 kosmopolitanisme dan nasionalisme yang merupakan dua model aliran pemikiran yang mendominasi alam pemahaman kita tentang hubungan internasional. Kosmopolitanisme, bagi para pendukungnya, dianggap sebagai suatu alternatif untuk memfasilitasi baik keyakinan kaum liberal yang menegaskan bahwa semua umat manusia merupakan dan seharusnya membentuk satu komunitas moral universal, maupun arus globalisasi yang tak bisa terhindarkan. Tekanan tersebut diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu ketegangan internal dan eksternal. Salah satu contoh ketegangan yang timbul dari masalah internal suatu negara adalah problem migrasi yang kemudian memicu tantangan lain, yakni bangkitnya usaha penegasan identitas dari komunitas-komunitas kecil yang terbentuk dari proses migrasi tersebut. Tekanan eksternal terhadap gerakan nasionalisme sangat jelas terlihat dalam peningkatan kekuatan, pengaruh, dan legitimasi dari organisasi ekonomi dan sosial yang bersifat global, seperti: World Trade Organization, World Economic Forum, dan World Social Forum, dan organisasi-organisasi hukum dan politik supra-nasional, seperti : International Criminal Court dan United Nations. Fenomena kosmopolitanisme sungguh telah merubah wajah politik setiap negara di dunia. Status politik dan fungsi pragmatis dari batas-batas geografis setiap negara sebagai penegas identitas dan kedaulatan nasional setiap negara, walau masih penting sekarang cenderung nasionalisme mulai luntur disaat negara yang bersangkutan menegaskan diri sebagai satu Negara dan berjuang untuk mendapatkan pengakuan internasional. Namun di sisi lain fenomena globalisasi, alasan dasar bagi para pendukung aliran nasionalisme untuk semakin menegaskan pentingnya penegasan identitas nasional, otoritas, dan kedaulatan setiap Negara. 29 Sebagai filosofi, kosmopolitanisme mengutamakan penerimaan akan kebudayaan yang beragam. Identitas manusia sebagai bagian dari suatu kelompok kebudayaan juga dibarengi dengan keberadaan identitasnya sebagai bagian dari satu kosmos yang sama. Atau dengan kata lain, manusia melakukan interaksi dan kontak dengan budaya lain, namun di saat yang sama ia masih dapat memelihara budayanya. Kosmopolitanisme juga seringkali diibaratkan sebagai salad bowl alih-alih melting pot dimana setiap budaya dapat mempertahankan karakteristik khas dan tradisinya masing-masing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen yang terkandung dalam kosmopolitanisme ialah: a) Perdamaian, b) Persatuan, c) Kebebasan, d) Toleransi, e) Rasa penasaran akan kebudayaan lain. Penegasan kosmopolitanisme pada identitas universal semua individu yang berdasar pada pemahaman liberal bahwa setiap manusia mempunyai harkat dan martabat yang sama dan bahwa setiap manusia diikat oleh kodrat tersebut, senantiasa mengalami polemik ketika dihadapkan pada tuntutan penghargaan terhadap identitas partikular negara, bangsa, atau kultur tertentu. Sebaliknya, aliran nasionalisme yang menekankan hak menentukan dan mengatur Negara sendiri dan penegasan identitas nasional, semakin tergerogoti oleh komposisi dunia dan permasalahannya yang semakin accessible dan compact akibat proses globalisasi. Kosmopolitanisme sering dijadikan argumentasi untuk menentang kebangkitan aliran nasionalisme, dan sebaliknya nasionalisme muncul antara lain sebagai reaksi kritis terhadap kecenderungan warga dunia. 30 1.4.2.7 Transformasi Berkaitan dengan terjadinya transformasi terhadap nilai-nilai tradisional yang ada di kawasan wisata Borobudur, Max Weber berpendapat bahwa proses transformasi berjalan melalui suatu proses evolusioner yang antar unsurnya saling mempengaruhi dalam suatu ”bentuk ideal” yang sengaja diciptakan sebagai suatu model. Sedangkan menurut Marcia Daszko dan Sheila Sheinberg (2005), mengatakan bahwa untuk mentransformasi berarti melakukan perubahan dalam bentuk, tampilan atau struktur. Transformasi dalam konteks manajemen organisasi dan sistem terjadi berawal dari individu, dan kemudian dalam organisasi.26 Kawasan wisata Borobudur memerlukan transformasi untuk selalu menjaga kelestariannya. Transformasi hanya dapat dilakukan oleh pemimpin yang memiliki pengetahuan akan hal itu. Berdasarkan hal tersebut, semestinya para pemimpin mulai dari Bupati, Camat, Lurah Kabupaten Magelang yang meliputi kawasan wisata Borobudur sebagai penjaga kebudayaan, secara individu maupun organisasi harus dapat melakukan transformasi dengan menciptakan bentuk, tampilan dan struktur baru budaya sebagai artikulasi baru dari artikulasi yang sudah ada. Transformasi budaya lokal dalam kawasan wisata candi Borobudur adalah transformasi yang komprehensif, integral dan holistik serta mampu menyeimbangkan antara kebijakan pemerintah dengan kehidupan sosial masyarakat utamanya pendidikan, pelestarian dan kesejahteraan. 26 Marcia Daszko dan Sheinberg, 2005, Survival is Optional: Only Leaders With New Knowledge Can Lead the Transformation. 31 Gambar 1. Transformasi Sosial Budaya akibat suatu daerah dinyatakan sebagai kawasan wisata. Pada Gambar 1 (lihat hal 31). Secara diagram dapat dijelaskan bahwa pada awalnya ketika kawasan Candi Borobudur belum dijadikan kawasan wisata, komunitas kawasan Borobudur hidup di wilayah ekologi dan ekosistem yang dinamis, namun relatif masih menunjukkan kondisi tentram dan damai didasarkan pada solidaritas, komitmen, saling tolong-menolong, gotong-royong dan rela berkorban. Dalam perkembangannya ketika keputusan politik ekonomi menentukan bahwa Candi Borobudur dijadikan kawasan wisata pada tanggal 10 Agustus tahun 1973, Presiden Suharto meresmikan proyek pemugaran Candi Borobudur, maka bersamaan dengan itu kapitalisme industri masuk dan mengubah alam yang menjadi bagian dari kehidupan sosial yang komprehensif tersebut. Karena sebenarnya komunitas kawasan Borobudur melihat Tuhan ada di dalam alam. Alam menjadi sumber inspirasi kebudayaan tetapi dipotong oleh kapitalisme industri yang menganggap alam hanya sebagai komoditi (barang dagangan). 32 Padahal dalam sistem komunitas, alam itu totalitas tetapi kapitalisme itu tidak memperhitungkan alam secara totalitas, hanya melihat dari sisi berapa harganya bila dijual, hal inilah yang kemudian merubah kawasan dan komunitas tersebut secara keseluruhan menjadi kompleks. Totalitas kultural yang terpisahpisah oleh proses yang berlangsung dalam sistem industri pariwisata itulah, kemudian melahirkan transformasi sosial budaya, dalam hal ini adalah kasus di kawasan wisata Borobudur. Kasus di kawasan Borobudur menyatakan bahwa proses itu memang terjadi perubahan ekosistem antara lain yang semula lahan pertanian, perkebunan, permukiman penduduk, kawasan hutan dll, berubah menjadi kawasan industri, perhotelan, perkantoran, sarana prasarana jalan, dll. Di sisi lain kompleksitas totalitas komunitas kawasan Borobudur menjadi masyarakat berkelas-kelas, mulai dari kelas yang paling rendah adalah penduduk asli, yaitu kelompok orang terpinggir yang tidak mempunyai skill dan pengangguran. Kemudian kelas yang lebih tinggi kelas pengasong, pemandu wisata, pedagang, bisnis, sedangkan yang lebih tinggi lagi yaitu kelompok intelektual elit baik pemerintah maupun swasta. Komunitas yang semula totalitasnya tidak membeda-bedakan, karena adanya industri pariwisata maka menjadi lebih kompleks, artinya sebagian masyarakat teralienasi ada yang kepinggir atau kemana-mana, ini belajar dari kasus Borobudur oleh karena itu penulis berpendapat bahwa “suatu daerah baik di dalam maupun di luar negeri bila dijadikan kawasan wisata, dimanapun daerahnya tidak bisa dihindari akan terjadi proses-proses transformasi ekosistem maupun komunitas masyarakat di kawasan wisata menjadi lebih kompleks sehingga masyarakatnya berkelas-kelas, seperti yang terjadi di Borobudur”. 33 1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Tipe penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan mengkritisi perkembangan representasi serta refleksi dinamika sosial budaya kawasan wisata Borobudur, sehingga bisa ditemukan kecenderungan naratif yang dipilih di tengah-tengah iklim globalisasi yang syarat dengan teknologi saat ini. Penulis dalam pengumpulan data dan fakta sosial, untuk memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Magelang, Pemerintah Propinsi Jateng, Yogjakarta dan Dinas Budaya serta Pariwisata Propinsi Yogjakarta, berharap agar kebudayaan masyarakat setempat dapat memberi pengaruh positif kepada wisatawan manca Negara, Nusantara dan lokal karena mampu menyaring kebudayaan asing sehingga bijak dan tidak terseret arus negatif kebudayaan asing. 1.5.2 Jenis Data Untuk mendapatkan jawaban yang mendalam dari permasalahan yang dirumuskan dan sejalan dengan manfaat penelitian yang diharapkan, maka data yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber dengan dua macam cara pengumpulan data secara kualitatif yang dilakukan meliputi: a. Observasi Pengumpulan data dengan cara pengamatan di lapangan. Data yang dikumpulkan dengan cara mengamati langsung perilaku sesama masyarakat setempat, perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat dengan migran dan sebaliknya. Dalam observasi ini menggunakan alat berupa kamera untuk dokumentasi. 34 b. Wawancara yang berencana, dengan memilih responden baik dari jajaran aparatur pemerintah daerah, swasta, maupun masyarakat setempat, secara terbuka dan mendalam. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat setempat di kawasan Borobudur, sebelas orang, wisatawan lokal, enam orang dan wisatawan manca negara, lima orang. Tehnik pengumpulan data ini diperlukan untuk mendapatkan data yang tidak didapat dengan observasi serta berasal dari sumber utama. 1.5.3 Tehnik Pengolahan Data Data-data yang telah terkumpul melalui tehnik pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder, dilanjutkan pada proses pengolahan data atau menganalisis, dengan menggunakan langkah-langkah: a. Editing, dilakukan pada waktu di lapangan, dan setelah dari lapangan. b. Klasifikasi data, melalui data yang telah melalui proses editing, sesuai dengan masalah, tujuan penelitian dan ruang lingkupnya dalam pembatasan masalah. c. Analisis data dan interpretasi data. Dalam proses ini dilakukan beberapa tahap, yaitu: 1) Menganalisis proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat Kawasan Candi Borobudur, terhadap budayanya sendiri. 2) Menganalisis proses belajar warga masyarakat Kawasan Candi Borobudur terhadap unsur-unsur kebudayaan asing (akulturasi dan asimilasi) 3) Menganalisis transformasi penghidupan masyarakat di kawasan Candi Borobudur bergerak dari masyarakat pertanian menjadi semakin terdiversifikasi 35 ke dalam berbagai ragam sumber mata pencaharian, meliputi (a) perubahan dari masyarakat pertanian ke perdagangan atau home industry serta industri wisata, (b) perubahan masyarakat tersebut ikut andil dalam proses kosmopolitanisme di kawasan Candi Borobudur 4) Menganalisis pola relasi yang berkembang akibat interaksi politik, bisnis dan kultural diantara masyarakat setempat dan pengelola, kaum pendatang dan penduduk lokal serta hubungannya dengan Pemerintah Daerah. 5) Menganalisis pola relasi yang berkembang diantara kaum migran dan penduduk lokal, yang meliputi proses penduduk migran memberi makna dalam relasi dengan nilai-nilai sosial budaya penduduk setempat dan menganalisis penduduk setempat merespon secara kultural dan sosial terhadap para pendatang. 1.6 Sistematika Penulisan Disertasi ini terdiri dari enam Bab, dan masing-masing bab merupakan satu kesatuan yang saling terkait untuk mengungkap permasalahan secara komprehensif. Secara rinci sistematika penulisan disertasi ini sebagai berikut: BAB I, Pendahuluan, memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik dan metode penelitian serta sistimatika penulisan yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini. BAB II, Gambaran Lokasi Studi, menguraikan kondisi letak geografi dan demografi masyarakat di kawasan Borobudur sehingga terjadi transformasi dari natural resources yang ada menjadi objek pariwisata dalam kehidupan masyarakat Borobudur. 36 BAB III, Perubahan Obyek Wisata Dalam Meningkatkan Aset Ekonomi, menguraikan gambaran tentang perubahan obyek wisata yang ada di kawasan Borobudur melalui peran swasta dalam pembangunan industri pariwisata untuk meningkatkan ekonomi maupun sosial budaya dalam masyarakat di kawasan Borobudur. BAB IV, Dampak Pariwisata Komersial, membahas pengaruh pariwisata yang merupakan komersialisasi nilai-nilai budaya dengan adanya kegiatan-kegiatan pariwisata akan menyebabkan terkontaminasinya nilai-nilai budaya asli suatu daerah, dengan adanya kedatangan pengaruh budaya asing yang dibawa oleh wisatawan dan penyesuaian masyarakat terhadap perubahan sosial di Kawasan Borobudur dengan berbagai sumber daya alam yang ada di Kabupaten Magelang. BAB V, Struktur Sosial Budaya Di Kawasan Borobudur, membahas dampak perkembangan industri pariwisata terhadap kebudayaan dan diperlukan kemampuan kelembagaan dalam penanganan berbagai hambatan yang dihadapi oleh penanam modal termasuk masalah-masalah yang bersifat lintas sektor dan lintas daerah seperti keamanan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur. BAB VI, berisi Kesimpulan dan saran bagi pemerintah pusat dan daerah serta Lembaga Pemerintah terkait dalam melembagakan sistem budaya / nilai.