CALON PRESIDEN INDEPENDEN DAN TANTANGAN PARTAI

advertisement
CALON PRESIDEN INDEPENDEN DAN TANTANGAN PARTAI POLITIK
Oleh: Muhamad Rosit
Di era Reformasi, demokrasi elektoral kita sudah memberikan ruang kepada
calon perseorangan dalam Pilkada, baik itu pada tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Namun tidak untuk calon presiden Independen, Mahkamah
Konstitusi masih berpegang teguh pada UU 1945 Pasal 6 A ayat (2) bahwa
pasangan capres atau cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol.
Padahal, dibukanya kran capres independen berpotensi memunculkan caprescapres yang memiliki potensial, kridibilitas, kapasitas dan leadership yang tak
kalah saing dengan capres dari parpol. Hadirnya capres independen akan
menjadi oase demokrasi di tengah kian menguatnya oligarki politik dan budaya
politik transaksional yang kian merajalela. Merujuk pada UUD 1945 Pasal 27
ayat (1) yakni setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di
hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga bisa dipahami, setiap WNI memiliki
hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden,
asalkan memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, tidak disahkannya capres
independen berarti masih tersumbatnya kran hak-hak politik warga untuk dipilih
dalam pemilu. Dan itu berarti membelenggu regenerasi kepemimpinan nasional
dan masa depan demokrasi di Indonesia.
Kata kunci: Capren Independen, Tantangan Partai Politik dan Pelembagaan Pemilu
Pendahuluan
Berbicara tentang konsep kedaulatan rakyat adalah berbicara mengenai implementasi
demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Serta terjaminnya hak-hak politik
rakyat sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi merevisi beberapa pasal dalam UU No.32
Tahun 2004 antara lain Pasal 59 (3) yang diubah menjadi “membuka kesempatan bagi bakal
calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan”.
Keputusan MK meloloskan calon independen, tentu saja memberikan harapan baru bagi
munculnya calon-calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang relatif lebih terbuka bagi siapa
pun yang memiliki minat untuk mencalonkan diri. Selama ini, peraturan yang memberikan
1
kewenangan partai politik dalam proses perekrutan politik tidak memberikan peluang yang
demokratis dan transparan, bahkan disalahgunakan oleh sebagian elit parpol untuk mematikan
proses perekrutan politik yang demokratis. Tidak mengherankan jika partai telah dianggap
sebagian masyarakat sebagai lembaga perantara politik yang “memeras” kandidat yang ingin
menjadi kepala daerah. Persepsi tersebut tidak mudah dibuktikan, tetapi gejala ini bukan lagi
sekadar rumor melainkan telah menjadi isu politik yang mencemaskan dan menggerogoti masa
depan demokrasi Indonesia.
Calon independen merupakan calon perseorangan yang dapat mengikuti pilkada
meskipun tanpa ada dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik. Posisi calon
independen dalam pilkada merupakan suatu bentuk yang mengapresiasi hak-hak politik bagi
setiap warga masyarakat yang ingin menjadi pemimpin, namun terbatas atau tidak adanya
dukungan politik dari partai-partai politik (Cakra Arbas, 2012). Oleh karena itu, calon
independen hadir sebagai salah satu solusi, supaya partai politik tidak bersikap semaunya dan
lebih mereformasi rekrutmen politik yang selama ini tidak dijalankan secara konsisten.
Calon independen tidak terikat oleh partai politik sebagaimana pencalonan yang diusung
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Calon independen memang tidak diusung oleh
partai politik, melainkan pencalonannya memperoleh legitimasi secara langsung dari rakyat yang
menjadi konstituennya. Jadi tidak ada istilah ‘balas budi’ kepada pihak-pihak yang merasa
mengusung dan membesarkannya. Namun jika calon independen memenangkan pilkada, maka ia
harus konsentrasi bagaimana memenuhi janji-janji politiknya dan bisa memainkan peran di
tengah kuatnya aroma kepentingan perwakilan dari partai politik.
Calon independen menjadi “alternatif” di tengah oligarki politik. Di samping itu, juga
adanya bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap elit politik yang setelah meraih
jabatannya kurang memperhatikan rakyatnya. Serta, kepentingan yang paling utama adalah
masyarakat di tingkat lokal memiliki spektrum yang lebih luas dalam memilih pemimpin.
Dengan semakin luas spektrum pilihan yang dimiliki, maka masyarakat di tingkat lokal lebih
leluasa untuk memilih calon yang dianggap paling merepresentasikan mereka. Masyarakat
merasa lebih puas jika kepentingan atau kelompok mereka ada yang mewakili di dalam pilkada.
2
Dampak Pilkada Langsung
Di era Reformasi, proses demokrasi telah melahirkan perubahan-perubahan secara
signifikan dalam sistem politik di Indonesia. Proses pemilu (pemilihan presiden dan wakil
presiden, pemilihan anggota DPR/DPRD dan DPD) yang dilaksanakan secara langsung pertama
kali pada Pemilu 2004, menjadi titik awal terbukanya kran demokrasi yang secara langsung
dipilih oleh rakyat. Dari sini, kita melihat bahwa ada sebuah perubahan pola pemilihan yang
akan berdampak terhadap sistem demokrasi di Indonesia. Kemudian mengilhami proses
demokrasi pada tingkatan Pilkada yang sebelumnya masih menggunakan pola pemilihan lama
(melalui sistem perwakilan dari DPRD) menjadi pola pemilihan langsung.
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan babak baru sekaligus momentum
politik penting bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, keberhasilan
penyelenggarakan kepala daerah secara langsung diharapkan berpengaruh pada peningkatan
kualitas berdemokrasi di daerah itu sendiri. Tentu pemilihan kepala daerah secara langsung ini
menjadi modal besar yang berharga, bagi proses proses pembangunan di segala bidang (Rozali,
2007). Berangkat dari proses pilkada secara langsung yang dimulai sejak 1 Juni 2005, kita bisa
melihat bahwa harapan itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Dikatakan pilkada secara
langsung, makna langsung di sini lebih terfokus kepada adanya hak pilih dari rakyat untuk
memilih kepala daerah.
Pilkada langsung merupakan upaya demokrasi untuk mencari pemimpin di daerah yang
berkualitas, akuntabel, aspiratif dan peka terhadap kepentingan masyarakat. Menurut J. Kristiadi,
pilkada langsung yang selama berlangsung menampilkan wajah yang sama sekali berbeda.Wajah
pertama yaitu menunjukkan sisi gelap pilkada di mana pilkada di mata masyarakat hanya
dijadikan ajang perebutan oleh segelintir elit partai politik untuk mendapatkan kekuasaan pada
lembaga eksekutif daerah. Wajah kedua, menunjukkan adanya secercah harapan bagi
perkembangan demokrasi ke depan karena telah terjadi proses transformasi politik melalui
pergeseran pola pemilihan dari model elite vote ke model popular vote yang berarti menggeser
arena politik yang semula dimainkan oleh DPRD (Amiruddin dan Zaini Bisri, 2006).
Ada dua alasan mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung.
Pertama, agar lebih konsisten dengan sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan
presidensial antara lain ditandai oleh pemilihan kepala pemerintahan secara langsung oleh
rakyat. Karena itu sebagaimana pada tingkat nasional presiden sebagai kepala pemerintahan
3
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka untuk kepala daerah otonom juga
dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dengan memilih secara langsung
siapa yang memimpin suatu daerah, rakyat yang berhak memilih dapat menentukan kepala
daerah macam apakah yang akan memimpin daerahnya, dan dapat menentukan pola dan arah
kebijakan macam apakah yang akan dibuat dan dilaksanakan untuk kesejahteraan daerah.
Kedua, untuk menciptakan pembagian kekuasaan yang seimbang dan saling mengecek
(checks and balances) antara DPRD dan kepala daerah/wakil kepala daerah. Salah satu ciri
pemerintahan yang menganut pembagian kekuasaan yang seimbang dan saling mengecek adalah
baik lembaga legislatif maupun eksekutif sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Keduanya memiliki kekuasaan yang seimbang dengan tugas dan kewenangan
yang berbeda, keduanya saling mengontrol melalui pembuatan peraturan daerah dan APBD,
keduanya memiliki legitimasi dari rakyat. Dalam bahasa yang sering digunakan oleh elit lokal,
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan
umum untuk menjamin agar kepala daerah menjadi mitra sejajar dengan DPRD. Dengan begitu
interaksi DPRD dan kepala daerah/wakil kepala daerah diharapkan tidak saja dinamis tetapi
produktif bagi kesejahteraan masyarakat daerah (Surbakti, 2006).
Ditinjau dari lingkungan kemasyarakatan (civil society), sesungguhnya pilkada langsung
memiliki implikasi yang tidak kecil pula terhadap penguatan kehidupan politik masyarakat lokal
kita. Paling tidak, pilkada memajukan lembaga kemasyarakatan dan menyehatkan perilaku
politik masyarakat daerah kita di dalam lima hal sebagai berikut: Pertama, pilkada bakal
meningkatan kesadaran politik masyarakat daerah dalam segenap proses pemilihan, mulai dari
pendaftaran, pencalonan, kampanye, pemungutan suara dan penetapan serta pelantikan calon
terpilih. Pemahaman dan pengetahuan mereka terhadap realitas politik di daerahnya akan kian
meningkat seiring dengan keterlibatan, keaktifan, dan pengalaman mereka dalam berpemilu.
Pendek kata, pemilihan kepala daerah menjadi suatu mekanisme perubahan politik yang teratur,
tertib dan periodik, tidak menyeramkan, dan bahkan ditunggu-tunggu kedatangannya.
Kedua, pilkada memicu aktivitas politik masyarakat di area lokal yang memberi
kesempatan lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi dan mengembangkan organisasi
madani. Pengorganisasian masyarakat lewat berbagai macam bentukl LSM dan ormas (civil
society organization), pendidikan anggota masyarakat menjadi pemilih yang cerdas, dan
keterlibatan warga dalam segenap tahapan pemilihan merupakan latihan demokrasi bernilai
4
tinggi. Dengan begitu, proses pemilihan pemimpin pemerintahan daerah tidak hanya dilepaskan
ke tangan segelintir elite di DPRD yang mengatasnamakan rakyat, tetapi dengan melibatkan
masyarakat sebagai stakeholder.
Ketiga, pilkada memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka, misalnya dengan turut langsung
menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan daerah yang akan membawa
mereka menggapai mimpi hidup sejahtera dan bahagia serta tetap terus terlibat sebagai active
citizen dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan oleh kepala daerah
terpilih sebagai janji janjinya pada waktu kampanye dulu, bahkan dalam mengawasi sang kepala
daerah jika salah menggunakan kekuasaannya ketika memangku jabatan. Jadi pilkada memaksa
kepala daerah untuk tetap memperhatikan aspirai rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan
atau dia akan terjungkal dalam pilkada berikutnya.
Keempat, pilkada memotivasi media lokal untuk lebih aktif terlibat dalam segenap
tahapan pemilihan mulai dari pendaftaran pimilih hingga pelantikan kepala daerah terpilih.
Misalnya, tiras koran lokal akan naik , halamannya pun akan bertambah baik karena ada rubrik
khusus pilkada maupun ada pemaasangan iklan oleh para calon. Informasi pemilihan dan
sosialisasi pemilu juga akan ramai menghiasai media lokal kita. Tidak hanya itu media juga akan
aktif mengkritisi dan juga mengawal segenap proses penyelenggaraan pilkada dari berbagai
kelailaian dan penyimpangan yang merugikan masyarakat pemilih, baik yang dilakukan oleh
petugas pelaksana pemilihan maupun oleh pasangan calon serta partai politik. Dengan demikian,
the power of media akan memberi kontribusi cukup besar bagi kelancaran jalannya pilkada.
Kelima, pilkada mendorong berkembangnya spirit kemandirian di dalam tubuh partai
politik di daerah dan sekaligus mengurangi intervensi pengurus pusat partai politik, karena
pasangan calon yang ditampilkan agar dapat memenangi pemilihan mestilah yang punya nilai
jual di mata pemilih di daerah itu, bukan karena pesanan bos partai dari Jakarta. Pilkada juga
berpotensi untuk menumbuhkan demokrasi di kalangan internal partai politik di daerah lewat
mekanisme konvensi, musyawarah atau muktamar partai yang menghargai kedaulatan anggota.
Selain itu, lewat pilkada mesin partai politik di daerah akan berputar, sehingga menyehatkan
tubuh partai. Jadi, kehadiran pilkada bisa menyuburkan kebhidupan partai politik di daerah
(Thubany, 2005).
5
Lalu, apakah pilkada secara langsung ini mampu membangun relasi yang lebih baik
antara kepala daerah dan DPRD dengan masyarakat? Salah satu argumen pokok yang mendasar
dilaksanakannya pilkada secara langsung adalah mengembalikan otoritas kepada masyarakat.
Melalui pilkada secara langsung, sistem representasi di dalam pemerintahan memang masih
berlangsung, tetapi, sistem representasi yang dibangun melalui pilkada secara langsung lebih
memberi ruang otoritas yang lebih besar kepada masyarakat dari pada sistem representasi yang
mendelegasikan otoritas memilih kepala daerah kepada DPRD.
Secara teoretis, relasi antara kepala daerah dengan masyarakat bisa berlangsung lebih
baik pasca pilkada langsung ini. Dalam konteks akuntabilitas, kepala daerah harus menjalinnya
secara langsung dengan masyarakat. Untuk itu, kepala daerah setiap tahun dituntut
menyebarluaskan informasi tentang apa yang telah dikerjakan. Melalui informasi demikian,
masyarakat tidak hanya bisa mengetahui tetapi juga bisa melakukan penilaian-penilaian apakah
yang dikerjakan oleh kepala daerah itu sesuai dengan janji janji yang telah diberikan pada saat
kampanye atau tidak. Sekiranya apa yang dikerjakan itu tidak mengecewakan, rakyat di daerah
bisa memberikan hadiah, yaitu memilihnya kembali. Sebaliknya kalau mengecewakan, bisa
memberikan hukuman, yaitu tidak akan memilih kembali. Di dalam situasi seperti ini, tingkat
akuntabilitas kepala daerah yang dipilih secara langsung bisa berlangsung lebih baik daripada
tingkat akuntabilitas kepala daerah yang dipilih oleh DPRD, dan lebih lebih yang ditunjuk oleh
pusat pusat kekuasaan pada masa pemerintahan Orde Baru (Marijan, 2010)
Namun kenyataannya dalam pilkada secara langsung, dominasi partai politik masih
begitu besar. Pilkada secara langsung akan memiliki makna yang lebih baik manakala terdapat
desentralisasi sistem kepartaian. Sekarang ini mengingat sentralisasi partai politik masih kuat,
rakyat di daerah masih belum bisa leluasa menentukan calon-calon yang diajukan di dalam
pilkada. Realitas demikian tidak hanya memperkecil ruang penyeleksian pemimpin yang lebih
terbuka, tetapi juga tidak mampu mewadahi realitas tentang munculnya fenomena anti partai
politik. Oleh karena itu, calon independen merupakan salah satu alternatif untuk keluar dari
dominasi partai politik yang sangat besar atau setidaknya menciptakan tantangan terhadap
pencalonan dari partai politik. Dengan disahkannya calon independen, terjaminnya hak-hak
politik warga negara untuk mencalonkan diri di pilkada secara independen, dan masyarakat di
satu sisi juga memiliki kesempatan yang luas untuk menyeleksi calon-calon di pilkada.
6
Perangkingan Media dan Krisis Kepemimpinan
Hadirnya calon Independen di pilkada dan wacana capres independen di Pilpres menjadi
sinyal bahwa negeri ini krisis pemimpin yang berkualitas. Hal ini terjadi karena partai politik
tidak menjalankan rekrutmen politik atau kaderisasi secara berjenjang. Pada akhirnya, ketika
menjelang pemilu maupun pilkada, wajah-wajah lama masih menghiasi dan mendominasi
kontestasi pemilu. Misalnya, hiruk-pikuk mengenai siapa yang pantas menjadi capres pada
Pilpres 2014 kian menjadi wacana yang menguras perhatian publik. Karena dari semua presiden
yang telah memimpin Indonesia, rupanya belum ada satupun yang bisa melakukan perubahan
secara radikal.
Mengamati sepak terjang calon presiden masih didominasi wajah-wajah lama yang
berasal dari partai politik. Padahal, Indonesia membutuhkan sosok figur “baru dan segar” yang
bisa menjawab segala bentuk permasalahan nasional. Selain itu, perangkingan yang dilakukan
oleh sejumlah lembaga survei dan media massa sudah terjebak pada aspek popularitas dan
elektabilitas belaka, padahal semua itu tak
menjamin bisa menghasilkan pemimpin yang
berkualitas sesuai dengan kehendak rakyat. Seharusnya lembaga survei dan lebih-lebih media
massa bisa menstimulasi dan memunculkan sosok pemimpin yang segar, energik dan memiliki
wawasan kebangsaan yang luas. Bukan larut ke dalam “budaya popular” yang dangkal dan tiada
memiliki dampak jauh ke depan.
Dalam hal ini, media massa berperan besar dalam mengonstruksi citra calon presiden.
Bahkan media massa dan lembaga survei bisa menggiring wajah-wajah capres. Oleh karena itu,
untuk mengatasi dan mengimbangi upaya konstruksi media massa, misalnya para tokoh yang
tergabung dalam Rumah Kebangsaan Indonesia Memilih Pemimpin, yang dipelopori oleh
Komarudin Hidayat dkk, dalam rangka mencari seorang pemimpin yang berkualitas yang
memang tak dimediasi oleh media massa.
Semua capres yang dirangking oleh media massa itu berasal dari tokoh elite partai,
bahkan nyaris sebagian dari mereka sudah pernah bertarung pada Pilpres sebelumnya. Tak ada
satupun capres dari perseorangan (calon independen) yang dirangking oleh media massa dan
lembaga survei. Hal inilah yang harus kita kritisi, berarti persepsi media massa, faktor
kepemimpinan itu menitikberatkan pada modal popularitas dan elektabilitas yang tinggi semata.
Padahal dalam memilih pemimpin dibutuhkan syarat-syarat yang ketat, di antaranya. Pertama,
7
seorang pemimpin harus memiliki modal sosial. Modal sosial ini bisa berupa jaringan akar
rumput masyarakat. Kedua, memiliki rekam jejak. Rekam jejak merupakan pengalaman atau
prestasi saat menjadi pejabat publik. Ketiga, Modal intelektual. Seorang kandidat harus
berpendidikan tinggi dan memiliki daya tangkap yang tajam serta berwawasan kebangsaan. Dan
keempat, modal finansial. Ini merupakan modal dasar untuk menggerakkan segala mesin
pemenangan calon. Lebih khusus lagi, bagi capres independen harus memiliki kualitas yang
lebih unggul dibandingkan dengan calon dari parpol. Terutama personality atau personal
branding sangat menentukan perilaku pemilih.
Tantangan Cares dari Partai Politik
Dinamika politik Indonesia kekinian menunjukkan bahwa partai politik hari ini dianggap
tidak lagi memiliki taring. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol kian meningkat. Hal
inilah yang barangkali menjelaskan mengapa Jokowi mampu keluar sebagai pemenang pada
pilpres 2014. Koalisi besar partai politik ditumbangkan oleh personality dan track record Jokowi
yang berhasil mencuri hati rakyat.
Namun sangat disayangkan, kinerja Jokowi dan Jusuf Kalla selama ini belum
menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan. Bahkan Jokowi sebagai presiden pilihan
rakyat malah tersandera kepentingan partai koalisi. Kebijakan-kebijakannya kerapkali
diintervensi oleh partai koalisi, sehingga presiden dan wakil presiden lebih mengakomodir
kepentingan politik balas budi. Pada akhirnya, hal tersebut berimbas pada kinerja “kabinet
kerja” yang belum memberikan kepuasan terhadap rakyat Indonesia.
Menurut hasil survei bertajuk "Jelang Enam Bulan Pemerintahan Jokowi-JK" yang
dilakukan lembaga survei Indo Barometer, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja
Presiden Jokowi hanya sebesar 57,5% dan 3,2% menyatakan sangat puas. Sedangkan mereka
yang kurang puas tercatat 33,8% dan tidak puas sama sekali 3,7%, menurut hasil survei yang
digelar pada 15 sampai 25 Maret 2015.
Rendahnya kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi-JK terkait dengan persoalan
ekonomi yang harus mendapat perhatian pemerintah, yakni sebesar 21,6%. Masalah penting
lainnya menurut pendapat responden adalah mahalnya harga kebutuhan pokok, yakni sebesar
19,6%. Sedangkan sulitnya mencari pekerjaan dan meningkatnya angka kemiskinan dipandang
sebagai masalah penting dengan porsi masing-masing 8,4% dan 6,7%.
8
Hal menarik dari hasil temuan itu adalah dimasukannya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) sebagai permasalahan yang paling penting yang harus mendapat perhatian pemerintah
dengan angka 14,6%. Artinya, masalah KKN tetap harus menjadi perhatian pemerintah untuk
diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK. Rendahnya tingkat kepuasan publik terhadap pemerintan
juga diikuti oleh rendahnya ketidakpuasan masyarakat terhadap Kabinet Kerja. Masyarakat
yang cukup puas kepada kinerja kabinet hanya sebesar 45,3% dan sangat puas 1,5%. Sedangkan
mereka yang kurang puas sebesar 31,2% dan tidak puas sama sekali 2,2%.
Dari hasil survei di atas, selain kinerjanya belum memuaskan rakyat, Jokowi – Jusuf
Kalla belum bisa menjadi seorang presiden dan wakil presiden yang mandiri dan berwibawa.
Karena setiap kebijakan publik yang menjadi otoritasnya kerapkali diintervensi oleh
kepentingan partai koalisi. Oleh karena itu, calon presiden yang diusung partai politik banyak
sekali menunjukkan kelemahan-kelemahannya yang berdampak terhadap kinerjanya.
Misalnya, secara kelembagaan, salah satu kelemahan parpol adalah soal alur pendanaan.
Dana internal partai politik (parpol) sangat tak memadai untuk membiayai pertarungan, sehingga
dibutuhkan dukungan dari pihak eksternal, antara lain donator dan para investor politik. Praktik
ini, melahirkan perselingkuhan abadi penguasa-pengusaha (penguasaha) yang kerap mereduksi
kesejatian demokrasi. Hal tersebut juga sering menjadi pembenar bagi praktik akumulasi
ekonomi para politisi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam konteks
inilah, kita sering melihat peran parpol sebagai bunker bagi para koruptor. Sudah bukan rahasia
jika BUMN, proyek-proyek kementrian, pemda-pemda, sirkulasi jabatan dan sejumlah kerja
sama dengan pihak swasta, kerap kali menjadi pintu masuk tindakan korupsi para politis maupun
para broker yang berafiliasi ke parpol tertentu (Heryanto, 2011).
Merujuk pada realitas tersebut, pada akhirnya stigma yang terbangun adalah parpol
sebagai lembaga yang koruptif dan tidak lagi mampu menjadi ladang persemaian calon
pemimpin. Parpol bukan menjadi wahana penyampai ideologi atau saluran politik namun lebih
sebagai mesin pengeruk anggaran. Stigma ini tentu saja sangat tidak menguntungkan bagi partai
politik dan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Stigma kegagalan parpol yang lain adalah dalam merawat akar rumput. Konstituen tidak
diposisikan sebagai bagian integral dari partai, namun hanya sebagai komoditas musiman.
Mereka hanya dianggap berharga ketika masuk waktu-waktu pemilihan umum. Di luar itu, tidak
9
ada tali pengikat yang kuat untuk menyatukan mereka. Melalui pendekatan kesamaan ideologi
misalnya.
Terdapat tren di sejumlah negara yang memperlihatkan semakin meningkatnya proporsi
non-partisan dalam pemilihan umum. Non-partisan adalah sekelompok masyarakat yang tidak
menjadi anggota atau mengikatkan diri secara ideologis dengan partai politik tertentu. Kaum
non-partisan melihat pentingnya kemampuan dan kapasitas orang atau program kerja yang
dicanangkan partai atau kandidat. Fenomena non-partisan ini menunjukkan bahwa pemilih
dewasa ini semakin kritis terhadap partai politik. Mereka tidak dengan mudah mengikatkan diri
dengan suatu ideologi tertentu, karena perdebatan ideologi pasca perang dingin memang telah
kehilangan energinya. Yang disimak pada masa ini tinggal seberapa besar kemampuan suatu
partai untuk memecahkan permasalahan bangsa. Hal inilah yang menentukan bisa tidaknya suatu
partai untuk mendapatkan suara dalam pemilu. (Firmanzah, 2008).
Menjawab kekecewaan masyarakat terhadap partai politik, seyogyanya partai mulai
berbenah dan bertranformasi menjadi partai modern. Menurut Gun Gun Heryanto, setidaknya
ada empat ciri partai modern.
Pertama, meminimalisir kekuatan rujukan (referent power). Tak disangkal bahwa setiap
partai butuh figur atau tokoh simpul. Namun ketergantungan yang berlebihan terhadap figur
dapat mengundang budaya feodal dan sistem dinasti politik. Misalnya saja di PDIP, tak ada yang
salah jika menjadikan Soekarno sebagai figur sentral ideologi partai. Begitupun tak salah
menempatkan Mega sebagai sosok sentral dalam beberapa periode kepemimpinan partai ini.
Yang salah adalah munculnya asumsi jika tak dipimpin Mega, maka PDIP seolah akan
kehilangan ruhnya. Terbukti, kongres PDI Perjuangan memilih Megawati Soekarnoputri menjadi
ketua umum kembali tanpa ada satupun kompetitor internal PDI Perjuangan.
Kedua, partai modern dibangun melalui kemampuan anggotanya untuk melakukan proses
refleksivitas. Partai memfasilitasi anggota-anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan
dan membuat perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal tertentu
tidak akan berjalan. Refleksifitas adalah kemampuan untuk menentukan alasan-alasan pilihan
perilakunya. Dengan demikian, partai modern adalah partai yang progresif dalam beradaptasi
dalam situasi dinamis.
Ketiga, partai modern dibangun melalui tahapan kaderisasi. Ketiga tahapan tersebut,
berjalan secara integratif yakni merekrut orang untuk bergabung dengan wadah partai, lantas
10
membina kader menjadi loyalis serta mendistribusikan kader ke dalam posisi-posisi tertentu.
Perkembangan dinamis-pragmatis kerap menciderai tahapan kaderisasi ini. Partai kerap menjadi
pintu masuk bagi munculnya politisi-politisi non-kader yang mengatasnamakan partai dalam
perebutan jabatan publik tertentu.
Keempat, partai modern harus mau dan mampu menjalankan fungsi-fungsi partai. Di
antara fungsi-fungsi itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan
kontrol. Bagaimanapun partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan
arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik.
Capres Independen Pada Pilpres 2019
Disahkannya calon independen dalam Pilkada langsung merupakan terakomodirnya hakhak politik masyarakat untuk mimilih dan dipilih. Ini merupakan aplikasi demokrasi yang kian
menunjukkan penghargaan kepada rakyat. Namun hak-hak politik itu sampai saat ini
kemungkinan besar belum bisa diterapkan pada pemilihan Presiden 2019. Mahkamah Konstitusi
belum mengesahkan capres independen untuk bisa berkontestasi dalam pemilihan umum.
Sehingga capres independen masih mengalami jalan terjal menuju Pilpres 2019.
Kemunculan capres independen banyak sekali menemui hambatan, di samping isu ini
masih menjadi konsumsi elit dan respons serta dukungan elit utama partai politik agak lemah.
Aturan main dalam bentuk UU Pemilu ternyata tidak sesuai dengan harapan kalangan ini. Capres
masih tetap akan sangat ditentukan oleh parpol seperti terdapat dalam UU Pemilu yang
kemudian disahkan oleh DPR di mana parpol yang berhak mengajukan capres adalah parpol
yang memperoleh 20 persen kursi dan 25 persen suara nasional. Itu berarti pintu masuk atau
kesempatan capres independen untuk ikut berlaga menjadi tertutup atau bahkan hilang. Misalnya
pada Pemilu 2009 lalu, dari beberapa nama capres independen pertama kali muncul nama Rizal
Malarangeng yang secara terbuka menjagokan diri menjadi capres dengan mengiklankan di
beberapa media massa. Dengan modal kapital yang dimiliki oleh Rizal dan popularitasnya serta
posisinya sebagai pengamat politik nasional membuat bangunan popularitasnya tidak menuai
hambatan. Namun karena respons masyarakat terhadapnya dingin dan kurang diminati, maka
kemudian Rizal memutuskan mundur dari bursa pencapresan.
Selain Rizal, tokoh muda lain yang gencar menjagokan diri menjadi presiden dan
mendukung upaya-upaya agar capres independen mendapatkan legitimasi politik adalah Fadjroel
11
Rahman. Fadjroel dikenal sebagai intelektual politik dan tokoh LSM terkemuka. Berbeda dengan
Rizal yang akhirnya memutuskan mundur karena respons dan dukungan politik kurang, Fadjroel
tetap konsisten maju dan terus mewacanakan untuk judicial review aturan hukum syarat
pencapresan dalam UU pemilu yang tidak mengakomodasi munculnya capres independen
(Firmanzah, 2010).
Kemudian, bagaimana dengan capres independen pada Pilpres 2019? Sampai saat ini pun
Mahkamah Konstitusi sepertinya masih berpegang teguh pada UU 1945 Pasal 6 A ayat (2)
bahwa pasangan capres atau cawapres yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Hal
inilah yang menjadi sumbatan bagi capres independen tidak bisa ikut serta dalam ajang
pemilihan umum. Sementara bursa calon presiden masih didominasi wajah-wajah lama yang
notabene mereka adalah tokoh elite partai politik.
Bagi kelompok yang menginginkan diakomodirnya capres independen mencoba melihat
sisi lain dari konstitusi. Misalnya yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yakni setiap
warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Sehingga bisa dipahami, setiap WNI memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
mencalonkan diri sebagai calon presiden, asalkan memenuhi persyaratan. Dua sisi yang seolah
paradoks inilah yang dianggap membutuhkan kejelasan sehingga memerlukan langkah
amandemen.
Kemudian, konteks politik yang terkait dengan fenomena disonansi kognitif yang dialami
pemilih atas tawaran parpol yang berkutat di elite yang itu-itu saja. Disonansi kognitif biasanya
muncul akibat perbedaan dari apa yang dipikirkan dengan realitas yang didapatkan dari para
pemilih. Parpol di Indonesia hingga sekarang tidak memberi impresi yang kuat. Bahkan ada
kecenderungan menguatnya gejala ketidakpercayaan publik atas peran dan fungsi partai.
Apatisme publik terhadap eksistensi parpol ini semakin menjadi, di saat parpol-parpol ramai
melibatkan diri ke dalam kekuasaan. Sejak reformasi hingga sekarang, DPR sebagai representasi
kiprah partai politik dalam sistem demokrasi perwakilan, ternyata gagal memberi keyakinan pada
publik, bahkan semakin cenderung menguatnya gejala delegitimasi simbol wakil rakyat
(Heryanto, 2011).
Begitu juga dengan perilaku elite-elite parpol yang kian menujukkan sikap oligarkis.
Budaya politik di partai politik masih biasa menempatkan ketua umum partai politik mempunyai
otoritas untuk mencalonkan diri sebagai presiden dari partainya. Entah dia mempunyai
12
elektabilitas dan polularitas tinggi sebagai modal pencalonannya atau dia hanya bermodalkan
kemauan agar bisa mencalonkan diri. Jadi, ketua umum partai politik adalah sebuah tiket khusus
menuju pencalonan kursi presiden yang dengan sendirinya akan diakomodir dan diusung oleh
partai politik yang dipimpin. Mekanisme konvensi partai dalam menyeleksi calon-colon
pemimpin berkualitas sudah tak dijalankan, meskipun ada konvensi, konvensi itu tak sama
dengan konvensi yang dijalankan di Amerika Serikat. Di AS konvensi dijalankan secara terbuka,
transparan dan melibatkan masyarakat. Bukan konvensi yang lebih mementingkan gizi (uang)
dari pada visi dan misi calon.
Capres Independen di Amerika
Jika di Indonesia capres independen belum bisa diakomodir, bagaimana dengan capres
independen di Amerika? Apakah di negara tersebut capres independen lebih diminati dibanding
calon dari parpol? Pada Pemilu Amerika tahun 2008, kandidat presiden Barrack Obama dan
kandidat presiden Partai Republik John McCain, jauh lebih diminati dibanding calon-calon
independen yang beredar sebelum fase pemilu nasional. Misalnya nama Ralp Neder yang
berpasangan dengan Matt Gonzalez sebagai capres independen, ternyata tidak menarik minat
warga AS. Di Pemilu AS tahun 2000 dan 2004 kita juga mengenal nama capres independen dari
Ohio bernama Joe Schriner yang berpasangan dengan Dale Way dari Michigan.
Para capres independen tersebut, tak laku jual karena warga Amerika cenderung lebih
mempercayai kandidat yang berasal dari parpol. Satu mekanisme yang membuat kandidat parpol
itu menarik minat pemilih adalah mekanisme konvensi. Bagaimana Obama harus bersusah payah
mengalahkan Hillary Clinton guna merebut minimal 2.025 dari 2.049 delegasi pada pemilu
nasional. Ini merupakan contoh bagi kita, jika partai menjalankan fungsinya dengan baik, maka
sesungguhnya parpol tak perlu khawatir untuk bersaing dengan capres independen. (Heryanto,
2011)
Berkaca pada pemilu di AS, sekali lagi, partai politik di Indonesia harus berbenah jika
masih ingin mendapat kepercayaan dari masyarakat. Mereka harus menghapus citra parpol
sebagai lembaga yang korup serta harus serius menggarap massa akar rumput. Citra oligarkis,
feodal, dan traksaksional yang masih melekat pada tubuh parpol juga menjadi evaluasi wajib
bagi parpol.
13
Calon Independen sebagai Katalisator
Pada Pilgub Aceh 2006 merupakan calon independen yang pertama kali berkompetisi di
Pilkada. Calon independen tersebut yakni pasangan Irwandi Yusuf-M. Nazar, mereka menang
dengan 38,20 % suara. Pemilihan yang dilaksanakan pada 11 Desember 2006 tak ayal mengubah
peta politik Aceh. Pasalnya calon independen di Aceh merupakan representasi dari GAM-SIRA
yang ketika itu belum membentuk partai lokal. Pun begitu Pilgub Aceh 2006 tak pelak menjadi
awal mula kemenangan calon independen di sebuah pemilihan umum daerah (Cakra Abas 2012).
Kemudian, calon independen di Pilgup Aceh menjadi rujukan bagi implementasi calon-calon
independen di daerah-daerah lain.
Selain di Aceh, salah satu calon independen yang memenangi pilkada adalah pasangan
Aceng Fikri dan Diky Candra. Mereka terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Garut setelah
memenangi Pilkada Garut 2008 dalam dua putaran, mengungguli kandidat dari PDIP-Partai
Golkar dengan mengumpulkan 57 % suara. Banyak yang berpendapat bahwa kemenangan
Aceng-Diky lantaran popularitas Diky Candra sebagai selebritis.
Pada September 2011, Diky Candra menyampaikan pengunduran diri karena
ketidakharmonisan hubungan dengan Aceng Fikri. Sebelum Pilkada, Diky dan Aceng berjanji
untuk tidak membawa politik dalam jabatan pemerintahan mereka, dan Diky menilai Aceng Fikri
telah mengkhianatinya dengan masuk ke Partai Golkar dan menjabat sebagai wakil ketua DPD
Partai Golkar Jawa Barat.
Adapun di Jakarta, calon independen yang ikut berkontestasi di Pilgub DKI 2012 tak
seberuntung calon independen di Garut maupun Aceh. Di Jakarta pasangan Faisal Basri dan
Biem Benyamin hanya memperoleh suara 4,98 % (215.935). Namun mereka unggul dari
pasangan Alex-Nono (calon dari Partai Golkar) yang mendapat 4,67 % suara (202.643). Perihal
sedikitnya suara yang diraup Faisal-Biem disinyalir karena masuknya Jokowi dalam pertarungan
Pilgub DKI. Faisal dan Jokowi memiliki ‘pasar’ yang sama, yakni kalangan menengah ke atas
dan pemilih rasional. Selain juga gaya komunikasi Faisal yang kerap kali terlihat agresif dan
sangat antipartai. Gaya seperti itu tampaknya belum bisa diterima masyarakat kebanyakan.
Pada Maret 2012, Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) melakukan polling
yang yang hasilnya menarik untuk dicermati. Sebanyak 46 % dari 1180 responden menyatakan
calon gubernur DKI yang paling ideal merupakan calon dari independen. Adapun 32 %
14
responden menyatakan sama saja antara calon independen dan calon dari partai dan 17 %
menyatakan calon gubernur yang ideal berasal dari parpol. Dari hasil polling tersebut dapat kita
baca bahwa sebenarnya calon independen cukup diminati masyarakat meskipun banyak pula
yang berpendapat baik calon indepeden maupun calon dari partai sama saja. Adapun angka 17 %
untuk calon dari parpol kian menegaskan merosotnya citra partai.
Penutup
Capres Independen merupakan solusi terhadap krisisnya regenerasi kepemimpinan di
negeri ini. Hal ini salah satunya disebabkan oleh fungsi partai politik sebagai rekrutmen politik
telah gagal memunculkan regenerasi kepemimpinan nasional yang tangguh. Oleh karena itu
calon independen menjadi keniscayaan dalam menjawab problem kepemimpinan. Ada beberapa
hal yang penting mengenai calon independen, antaralain: Pertama, bahwa calon independen
dapat dipandang sebagai katalisator di tengah kekecewaan masyarakat terhadap partai politik
yang kini memiliki citra oligarkis, feodal, dan transaksional.
Kedua, pada akhirnya kita mencatat bahwa seorang calon independen harus memiliki
modal yang memadai sebelum ikut dalam pertarungan, baik itu modal finansial dan modal
politik. Supaya dalam perjalanannya tidak mudah digoyahkan dan benar-benar mampu
mengelola harapan publik akan munculnya harapan baru dari calon alternatif yang tidak
tersandera partai.
Ketiga, masih tersumbatnya kran bagi capres independen untuk berlaga dalam pilpres
juga wajib menjadi sorotan kita bersama. Manakala suplai pemimpin nasional masih mutlak
harus berasal dari partai sama halnya mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Prinsip setiap
warga berhak memilih dan dipilih menjadi jargon semata selama kesempatan bagi capres
independen masih disumbat. Kelima,partai politik seharusnya tidak antipati terhadap menculnya
calon independen, baik ditingkat daerah maupun nasional. Kahadiran calon independen sudah
semestinya dianggap sebagai pematik untuk partai membenahi diri. Juga harus dilihat sebagai
upaya untuk menciptakan suasana yang kompetitif dalam melahirkan pemimpin yang
berkualitas.
15
Daftar Pustaka
Abbas, Cakra. Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh. Medan: Sofmedia.
2012.
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.
Amirudin, Bisri dan Ahmad Zaini. Pilkada Langsung Problem dan Prosepek; Sketsa Singkat
Perjalanan Pilkada 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Firmanzah. Persaingan Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2010.
Firmanzah. Marketing Politik; Antar Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
2008
Heryanto, Gun Gun. Dinamika Komunikasi Politik. Jakarta: Lasswell Visitama. 2011.
Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Prenada
Media Group. 2010.
Thubany, Syamsul Hadi. Pilkada Bima 2005; Era Baru Demokratisasi Lokal Indonesia. Tuban: Bina
Sawigiri. 2005.
Surbakti, Ramlan, Mamahami Ilmu Politik, Jakarta, PT Grasindo, 2006.
16
Download