ASPEK HUKUM PIDANA PENANGKAPAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Unversitas Halu Oleo OLEH RUDIYANTO LAPAUDI H1 A1 12 020 PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016 ABSTRAK Rudiyanto Lapaudi, Stambuk H1 A1 12 020. “Aspek Hukum Pidana Penangkapan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Teroris Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana”. Di bawah bimbingan Dr. Oheo K Haris, SH, LL.M selaku pembimbing I dan Ramadan Tabiu, SH, LL.M selaku pembimbing II. Tujuan Penelitian ini adalah untuk megetahui apakah prosedur penangkapan dugaan teroris memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Jo Pasal 26 dan Pasal 28 Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian normatif adalah tipe penelitian yang berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian penulis. Dengan penelitian normatif ini, penulis mengkaji asas dan peraturan perundangundangan yang sesuai dengan isu hukum yang diajukan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis menyimpulkan bahwa prosedur penangkapan yang dilakukan oleh lembaga manapun yang megatasnamakan perintah undang-undang, ketika dalam prosedur penangkapannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana maka proses penangkapan tersebut dinyatakan tidak sah (Inprosedural). Dalam tindak pidana terorisme sekalipun yang memiliki undang-undang khusus yang mengaturnya, tidak dibenarkan ketika dalam prosedur penangkapan aparat penegak hukum tidak memperlihatkan surat perintah penangkapan. Karena apa yang diatur dalam Undang-Undang khusus harus kembali pada Undang-Undang yang umum, kecuali dalam peristiwa tertangkap tangan. Untuk itu dalam proses penangkapan terduga/tersangka teroris harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kata Kunci : Aspek Hukum Pidana, Penangkapan , Terorisme. ABSTRACT Rudiyanto Lapaudi, Stambuk H1 A1 12 020. "Legal Aspects of Criminal Arrest Terrorist CrimeAgainst Perpetrators According to the Act - Act No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure". Under the guidance of Dr. Oheo K Harris, SH, LL.M as a mentor I and Ramadan Tabiu, SH, LL.M as a mentor II. The purpose of this study was to knowing whether alleged terrorist arrest procedures comply with the provisions of Article 18 Paragraph (1) Criminal Procedure Code Jo Article 26 and Article 28 of the Law - Law Number 15 Year 2003 on Eradication of Terrorism. This type of research is a normative legal research. Normative research is a type of study that is based on the provisions of the legislation relating to the study authors. With this normative research, the author examines the principles and legislation in accordance with the legal issues raised. Based on the research that has been described, the authors conclude that the arrest procedures undertaken by any institution which behalf of order legislation, when the procedures arrest does not comply with the provisions of Article 18 paragraph (1) of Law No. 8 of 1981 on criminal procedural law, then the process the arrest declared invalid (Inprosedural). In the criminal acts of terrorism even if that has specific laws that govern it, is not justified when the arrest procedure of law enforcement officers did not show an arrest warrant. Because what is stipulated in the Act specifically have to go back to the common law, except in the event caught red-handed. For that during the arrest the unexpected / suspected terrorists should be based on Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure Code and Law No. 15 Year 2003 on Eradication of Terrorism. Keywords: Aspects of Criminal Law, Arrest, Terrorism. KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan, ilmu pengetahuan, sumber kebenaran, penguasa alam raya beserta isinya, karena rahmat dan ridho-Nya yang dilimpahkan kepada penulis berupa kekuatan dan kesehatan lahir batin sehingga penulisan skirpsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW. Selama penyusunan skripsi ini penulis sering mendapatkan berbagai kendala, namun dengan bantuan berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda (La Paudi) dan Ibunda tercinta (Wa Ani) yang telah memberikan motivasi dan kasih sayang serta doa untuk keberhasilan dalam mengikuti pendidikan. Tak lupa pula penulis sampaikan terima kasih atas doa saudara kandung penulis Untung Lapaudi dan Renita Lapaudi. Ucapan terima kasih banyak kepada Dr. Oheo K Haris, SH.,Msc.,LL.M selaku pembimbing I dan Ramadan Tabiu, SH.,LL.M selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari, tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tak akan dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Usman Rianse, MS, Selaku Rektor Universitas Halu Oleo Kendari. 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH.,MS, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 3. Bapak Rizal Muchtasar, SH.,LL.M, Selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 4. Bapak Herman, SH., LL.M, Selaku Wakil Dekan Bidang Umum, Keuangan, Dan Kepegawaian Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 5. Bapak Jabalnur, SH.,MH, Selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 6. Ibu Heryanti, SH., MH, Selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 7. Bapak Haris Yusuf, SH.,MH, Selaku Kordinator Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 8. Bapak Lade Sirjon, SH.,LL.M, Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 9. Ibu Nur Intan, SH.,MH, Selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 10. Bapak Guasman Tatawu, SH.,MH, Selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 11. Bapak Herman, SH.,LL.M, Bapak Ali Rizki, SH.,MH, Bapak Lade Sirjon, SH.,MH, Selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat positif dalam penyusunan skripsi ini. 12. Para Dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan etika selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 13. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Fakultas Hukum yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan dan dengan susah payah memberikan pelayanan yang baik. 14. Saudara-saudari seperjuanganku kelas A angkatan 2012 pada umumnya, dan terutama yang berada dalam garis perjuangan Kelompok Kajian CaK Nur Insan Cita: Laode Abdul Mukfin, Pratno Kurniawan, Edi Safran, Fais Al-Majid, Arif Efran, Laode Subroto, Muhamad Tri Putra, Dan Lucky. terima kasih pula penulis sampaikan kepada Ahwan Agus, Jessi Sisdayanti, Waode Melia, S.H, Ariska Damayanti, S.H, Hardianti, S.H, Sri Wahuni Ramadan, S.H. Secara pribadi penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ade Nursania Arista yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran demi selesainya skripsi ini. Untuk semua sahabat-sahabatku yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas bantuannya, motivasi dan waktu yang telah kita lalui bersama temanteman sehingga penulis tetap semngat. 15. Kepada teman-teman pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UHO periode 2015/2016 : Muhamad Triputra, Karmin Duhara, Pratno Kurniawan, Koko Najirun, Andi Dedi Setiadi, Erfan Andika Putra, Andi Panaongi, Dan Devi Nurfadila Abas. 16. Kepada Teman-Teman Asrama Suci : La Rino, Arsid, Asmin Garusu, Ahli Nur, Muhamad Ricoh, Arwin,Candra, Beniar, Suparman, Muhar, Yances, Filman Ode, Wa Mili, Krisman, dan seluruh anak-anak asrama suci yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu 17. Kepada teman-teman KKN nusantara 2016 desa Tombeleu Kecamatan Lalembu Kabupaten Konawe Selatan : Arbwan, Ali Imran, Saum Ratman, Indi, Waode Asriani, Risnawati Walelei, Endah Harizhotul, dan semua warga desa tombeleu yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih banyak atas bantuan dan kerja samanya selama 45 hari kuliah kerja nyata (KKN). Dengan memohon doa semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan membalas budi baik kita semua, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan khususnya bagi disiplin ilmu hukum. Amin Yarobal Alamin Kendari, Agustus 2016 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii ABSTRAK ................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ............................................................................... v DAFTAR ISI .............................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7 D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 8 A. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia ................................ 8 1. Pengertian Hak Asasi Manusia ................................................. 8 2. Klasifikasi Hak Asasi Manusia ................................................. 11 B. Tinjauan Umum Tentang Terorisme ............................................... 14 1. Pengertian dan Sejarah Terosis di Indonesia ............................ 14 2. Tindak Pidana dan Subjek tindak pidana terorisme .................. 16 C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penganiayaan ................. 20 1. Pengertian Tindak Pidana ......................................................... 20 2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan .................................. 22 3. Karakteristik Umum Tindak Pidana Penganiayaan .................. 25 D. Tinjauan Umum Tentang Penangkapan .......................................... 30 1. Pengertian Penangkapan ........................................................... 30 2. Persyaratan Penangkapan .......................................................... 30 BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 33 A. Jenis Penelitian ................................................................................ 33 B. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum ............................................. 33 C. Sumber Bahan Hukum .................................................................... 34 D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ............................................. 35 E. Langkah-Langkah Penelitian Hukum ............................................. 36 F. Teknik Analisis Bahan Hukum ....................................................... 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 38 A. Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Jo Pasal 26 Dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dalam Prosedur Penangkapan Terhadap Teroris ............................................................................................. 38 B. Kesesuaian Prosedur Penangkapan Dengan Peraturan PerundangUndangan ........................................................................................ 58 BAB V PENUTUP ..................................................................................... 64 A. Kesimpulan ..................................................................................... 64 B. Saran ................................................................................................ 65 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana terorisme merupakan perkara pidana luar biasa (extra ordinary crimes) yang dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Tindak pidana ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan khusunya bagi korban maupun terduga yang dapat mengalami kerugian baik secara moril maupun materil yang dapat berpengaruh bagi kelangsungan hidupnya maupun keluarganya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, di samping memberikan manfaat yang sangat besar bagi umat manusia pada umumnya dengan segala manfaat dan kemudahan yang dinikmati oleh umat manusia, pada sisi lain juga menimbulkan berbagai jenis kejahatan baru. Beberapa jenis kejahatan yang timbul akibat dari perkembangan sains dan teknologi, antara lain adalah: kejahatan genosida, kejahatan terorisme, kejahatan penerbangan, kejahatan pemalsuan mata uang, kejahatan komputer dan lain sebagainya. Pada dasarnya, semua jenis kejahatan tersebut tumbuh dan berkembang tidak lepas dari kemajuan sains dan teknologi dalam bidang itu masing-masing1. 1 hlm.125. Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, CV. Yrama Widya, Bandung, 2006, Teorisme bukan hanya kejahatan yang mengancam dan merusak keamanan dan keutuhan suatu bangsa dan negara, tetapi juga merusak tatanan dan kedamaian masyarakat internasional. Harmonisasi global dapat terkoyak karena bisa jadi masing-masing negara saling mencurigai dan mengecam negara lain. Hal ini disebabkan ada di antara tersangka atau pelakunya berasal dari negara tersebut Aksi terorisme dapat terjadi kapan pun di mana pun dan menimpa siapa pun tanpa pandang bulu. Kerugian yang ditimbulkan oleh aksi terorisme sangat besar. Maraknya aksi teror yang terjadi dengan jatuhnya banyak korban telah membuktikan bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat) dan bukan atas dasar kekuasaan belaka (machtstaat), itu berarti bahwa segala aspek kehidupan bernegara harus berdasarkan atas hukum. Dan hukum itu tidak boleh memihak pada suatu individu maupun golongan tertentu. Hukum itu ada untuk melindungi hak, termasuk hak asasi manusia yang dari tahun ke tahun tetap saja ada pelanggaran yang berhubungan dengan hak yang paling hakiki tersebut. Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan atau atau program dari pembuat undang- undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan2. 2 Arief Barda Nawawi, Beberapa Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Adyta Bakti, Bandung, 1998, hlm. 60 Berdasarkan kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya, perlindungan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan hak untuk tidak disiksa. Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia, sehingga setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali. Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada, demi tidak terjadinya kesalahan prosedur dalam proses pengangkapan maka setiap langkah yang harus dilakukan harus sesuai peraturan yang berlaku. Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana mengatur mengenai prosedur penangkapan terhadap pelaku tindak pidana. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum tersebut, maka segala bentuk ancaman kekerasan fisik dan psikis, intimidasi dan teror bagi setiap orang merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia, yang ketika prosedur penangkapan tidak sesuai maka secara tidak langsung hak-hak terduga maupun tersangka tersebut dilanggar. Untuk itu ada perlindungan hak asasi manusia secara hukum terhadap korban maupun orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme. Akan tetapi permasalahan yang sering terjadi dimasyarakat yaitu ketidak sesuaian antara regulasi yang ada dengan penerapan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum. seperti kasus yang dialami oleh siyono misalnya. Merujuk pada kasus kematian yang dialami oleh Siyono masih banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) menyatakan pemberantasan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 tidak diiringi akuntanbilitas. Hal ini terlihat dari kasus tewasnya Siyono, 33 tahun, terduga teroris asal Klaten. KontraS beranggapan banyak pelanggaran yang dilakukan polisi. Pernyataan Markas Besar Polri Siyono tewas karena melawan seorang petugas yang sedang mengawalnya. Menurut Staf Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS, hal tersebut janggal karena standarnya minimal ada dua orang mengawal tersangka. "Apalagi ini kasus terorisme KontraS mempertanyakan keterangan polisi yang menjelaskan bahwa Siyono adalah panglima salah satu kelompok teroris. Menurutnya, fakta tersebut kabur dan berasal dari sumber yang tidak jelas3. Menurut Satrio pernyataan polisi hanya upaya memperkuat kesan bahwa kematian Siyono karena ia berbahaya dan Karena beliau sudah tewas, jadi tidak bisa mengkonfirmasi ini. Satrio menambahkan bahwa polisi harus menunjukkan berita acara pemeriksaan (BAP) bila mereka menganggap Siyono seorang panglima berasal dari pengakuannya. Dan kalau itu pengakuannya polisi seharusnya menunjukan berita acara pemeriksaan. Kejanggalan lainnya terdapat pada jenazah Siyono. Menurut Satrio, tidak masuk akal bila siyono tewas karena berkelahi dengan satu orang. Selain itu, kondisi jenazah tidak sesuai dengan keterangan tewas akibat kepala Siyono dibenturkan ke badan mobil. Luka yang ditemukan yatu ada memar pipi, mata 3 http://www.geoogle.com/Apa Saja Kejanggalan dalam Kematian Siyono, Terduga Teroris-hukum-tempo.co.htm/ Diakses pada tanggal 9 april 2016 lebam, hidung patah, kaki dari paha hingga betis bengkak dan memar, kuku kaki hampir patah, dan keluar darah dari belakang kepala. KontraS menduga ada penyiksaan yang terjadi terhadap Siyono dan meminta polisi menyelidiki kembali dan menindak pelakunya. Polisi seharusnya tidak kekurangan bukti untuk menindak anggotanya karena jenazah Siyono sudah divisum. Selain kejanggalan tersebut, KontraS juga mencatat beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88, antara lain pelanggaran administrasi. Petugas tidak menunjukkan surat perintah mulai dari penangkapan hingga penggeledahan rumah Siyono4. Mengenai akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme dalam hal ini mengenai prosedur penangkapan . Undang-Undang pemberantasan tindak pidana terorisme belum membahas secara spesifik bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme. Tidak adanya mekanisme akuntabilitas tercermin pada saat dilakukan penagkapan terhadap terduga teroris. Kasus salah tangkap yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak hanya satu dua kali terjadi penyiksaan selama proses pemeriksaan bahkan berakibat pada kematian seperti kasus siyono. Dalam kerangka hak asasi manusia , tindakan tersebut masuk dalam pembunuhan yang dilakukan diluar system hukum tanpa putusan pengadilan. Menyadari akan pentingnya perlindungan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme yang yang kemudian menjadi 4 Ibid korban salah tangkap, khsusnya dari berbagai bentuk upaya sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang kemudian prosedur penangkapannya tidak sesuai regulasi yang ada, hingga menyababkan hilangnya nyawa orang. Maka penulis bermaksud melakukan penelitian tentang “Aspek Hukum Pidana Penangkapan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Teroris Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah prosedur penangkapan dugaan teroris memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP jo Pasal 26 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui Apakah prosedur penangkapan dugaan teroris memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP jo Pasal 26 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. D. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis 1. Untuk menambah dan memperdalam pengetahuan penulis dibidang hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut pengaturan tentang prosedur penangkapan terhadap dugaan pelaku teroris . 2. Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti sehingga hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan masukan dan pemikiran serta menambah pengetahuan mengenai permasalahan yang diteliti. b. Manfaat praktis 1. Sebagai wawasan dan menambah pengetahuan tentang peraturanperaturan yang berlaku dalam prosedur penangkapan terhadap dugaan pelaku teroris. 2. Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa yang akan menulis skripsi pada bidang yang sama dan sebagai sumbangan untuk melengkapi pembendaharaan dan referensi bagi perpustakaan fakultas dan universitas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia 1. Pengertian Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat bagi setiap orang, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat harus dihormati dan dihargai sesuai dengan martabat manusia, dan menolak apabila diperlakukan dengan sewenang-wenang. Konsep awal secara umum hak asasi manusia diketengahkan oleh Jan Martenson dari komisi hak asasi manusia PBB yang mengatakan bahwa5 : “human rights could be generally defined as those rights which are inherent I our nature and without which we cannot live as human being” (hak asasi manusia ialah hak-hak yang melekat pada sifat manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia). Hak asasi (fundamental rights) untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif “Hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya 6. Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut7 : a. Pemilik hak b. Ruang lingkup penerapan hak 5 Muntaha. Penerapan Asas Opurtunitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia. Genta Publishing. Yogyakarta. 2014. hlm 123 6 Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani . Jakarta. Prenada Media. Jakarta. 2003. hlm 199 7 Ibid, hlm. 199 c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori Mc Closkey dan teori Joel Feinberg. Menurut teori Mc Closkey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksnaan kewajiban. Hal itu berarti anatara hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya. Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus melakukan kewajiban8. Hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia itu menjamin setiap orang untuk menentukan isi jiwanya sendiri, untuk melahirkan isi jiwanya itu melalui suara atau aktivitas lain dan mengembangkan aktivitas itu secara perorangan 8 Ibid, hlm. 200 maupun berorganisasi dengan orang lain menurut kehendaknya, tanpa gangguan atau paksaan dari orang lain. Hardjowirogo (1981 : 7) mengungkapkan bahwa : “Hak-hak manusia ialah hak-hak yang memungkinkan kita tanpa diganggu gugat menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai warga negara dari suatu kehidupan”. John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa : “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiaporang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan 9 Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hlm 3 antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum10. Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara11. 2. Klasifikasi Hak Asasi Manusia Aswanto (2008, Bahan Kuliah PPS Doctor Ilmu Hukum UNHAS), mengemukakan bahwa hak asasi manusia secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok sebagai berikut : a. Civil Rights Civil rights didalamnya meliputi : 1. Integrity rights, terliput didalamnya : a. Rights to live (Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan) b. No death penalty (Penghapusan hukuman mati) c. No torture (Larangan perbudakan) 10 11 Ibid, hlm 201 Ibid, hlm 202 d. F reedom of recidence (Hak untuk memilih tempat tinggal) e. Freedom of movement (Kebebasan bergerak) f. Rights to leave any country (Hak untuk memilih Negara domisili) g. Rights to return (Hak untuk kembali kenegara asal) h. Protection of privacy (Perlindungan hak pribadi) i. Honour and reputation (Pemulihan kehormatan dan nama baik) j. Protection of property (Perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan) k. Freedom of thought (Kebebasan untuk mengemukakan pikiran dan pendapat) l. Conscience and religion (Penghormatan terhadap keyakinan beragama) m. Right to seek asylum from persecution (Hak untuk mendapatkan suaka untuk terbebas dari pengejaran atau tuntutan dari negara) n. Rights to nationality (Hak untuk mendapatkan kebangsaan/kewarganegaraan) o. Rights to family life (Hak untuk hidup berkeluarga) 2. Due Process Right, meliputi : a. No arbitrary arrest, no detention or exile (Larangan penangkapan,penahanan pengasingan) secara sewenang-wenang dan b. Right to effective remedy (Hak untuk pemulihan nama baik) c. Right to fair trial (Hak untuk mendapatkan proses hukum melalui pengadilan yang adil) d. Equality before the courts (Hak mendapatkan perlakuan yang sama dimuka pengadilan) e. Right to the accused (Hak terdakwa untuk membela diri) f. Nulla poena sine lege (Tidak adanya hukuman tanpa adanya kesalahan) b. Political Rights Political rights didalamnya meliputi : 1. Opinion and expression (Hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran) 2. Assembly and association (Hak untuk berserikat dan berkumpul) 3. Take part in government (Hak turut serta ambil bagian dalam pemerintahan) 4. Equal access to public service (Hak untuk mendapatkan akses pelayanan public yang sama) 5. Elect and be elected (Hak untuk memilih dan dipilih) c. Socio Economic Rights Socio economic rights didalamnya meliputi : 1. Right to work (Hak untuk bekerja) 2. Equal pay for equal work (Hak untuk mendapatkan upah yang sama dari pekerjaan yang sama) 3. No forced labour (Larangan adanya kerja paksa) 4. Trade union (Serikat pekerja/buruh) 5. Organize and bargaining (Mengatur dan tawar menawar) 6. Restand leisure (Hak cuti dan libur) 7. Adequate standard of living (Standar hidup yang layak) 8. Right to food (Hak untuk mendapatkan makanan) 9. Right to health (Hak untuk mendapatkan kesehatan) 10. Right to housing (Hak untuk mendapatkan tempat tinggal) 11. Right to education (Hak untuk mendapatkan pendidikan) d. Cultural Right Cultural right didalamnya meliputi : 1. Take part in cultural life (Hak berperan serta dalam kehidupan budaya) 2. To benefit from scientific progress (Hak memperoleh manfaat dari perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan) 3. Protection of anothership and copy right (Perlindungan terhadap hak cipta) 4. Freedom in scientific research and creative acivity (Kebebasan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian) B. Tinjauan Umum Tentang Terorisme 1. Pengertian dan Sejarah Teroris di Indonesia Definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak sertamerta meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan menanggulangi terorisme12. Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa13. Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut14. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama 12 Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.2001.hlm 17 13 Ibid, hlm18-19 14 Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia, Jakarta: Grafindo.2005.hlm 62 yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai pada non komformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima daripada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh Negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anakanak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga sepatutnya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal. Pada umumnya orang sipil merupakan sasaran utama terorisme, dengan demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme. 2. Tindak Pidana dan Subjek Tindak Pidana Terorisme Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu : a. Perbuatan yang dilarang; b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu; c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar itu. Penggunaan salinan istilah yang berbeda menunjukan adanya perbedaan dalam isi pengertian, yang berakibat pula adanya perbedaan dalam isi pengertian itu. Dengan kata lain, tiap pengertian memiliki esensi atas unsure yang berbeda. Demikian anggapan pada umumnya, tetapi penggunaan istilah yang berbeda tidak menjadi kemutlakan bahwa istilah yang berbeda memiliki isi yang berbeda pula. Hattum mengatakan, bahwa tindak pidana itu perbuatan oleh karena mana sesorang dapat dipidana. Pompe membedakan pengertian strafbaar feit antara: 1. Strafbaar feit yaitu suatau pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesehjateraan umum (definisi menurut teori). 2. Strafbaar feit adalah suatu feit (kejadian) yang oleh peraturan undangundang dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum (definisi menurut hukum positif), Moeljatno (1969:83) mengatakan, perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan mengenai perbuatan pidana ini menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan yang merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusanperumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berpikir sebagai syarat bagi subyek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda. Pada umunya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia/orang pribadi oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenai orang, seorang/kelompok orang sebagai subjek hukum. Subjek hukum/pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan bunyi Pasal 55 KUH Pidana maka yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana adalah : 1. Orang yang melakukan (pleger) 2. Yang menyuruh melakukan (member perintah) don pleger 3. Orang yang turut serta melakukan (dader), dan 4. Orang yang membujuk melakukan. Eksistensi pertanggungjawaban dapat diawali dengan kata pertanggungjawaban, yang kata dasarnya adalah tanggungjawab, yang berarti keadaan wajib untuk menanggung segala sesuatu (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan). Sedangkan pertanggungjawaban berarti perbuatan bertanggungjawab, sesuatu yang dipertanggungjawabkan (Moeliono, 1990:899). Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan tindak pidana dan terbukti bersalah/dapat dicela. Jadi yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah dikenakannya penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dapat dipersalahkan atau dapat dicela. sehingga dijalaninya pidana oleh seseorang yang bersalah karena telah melakukan tindak pidana merupakan wujud tanggung jawab pidana yang harus diterima. Setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskaannya celaan yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan unutk dapat dikenai pidana karena pebuatannya tersebut. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti bahwa pembuat/pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kessalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut15. Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme sebagai berikut : tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsure-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan undangundang ini ( Pasal 1 ayat (1) ).16 C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penganiayaan 1. Pengertian Tindak Pidana 15 Abdul Wahid, Dkk. Kejahatan Terorisme Pprespektif Agama, HAM Dan Hukum. Rifika Aditama, Bandung, 2014. hlm 73 16 Ibid, hlm 76 Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeit”17 di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yaitu yang dulu bernama wetboek van Strafrecht voor Indonesia merupakan semacam. Menurut Pompe, pengertian tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.18 Menurut Simon, pengertian tindak pidana merupakan tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakannya sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.19 Menurut E.Utrech, pengertian tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu)20 17 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Depok, 2012, hlm 5 18 http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/2958/06bab2_irawan _10040010083_skr_2015.pdf?sequence=6&isAllowed=y/ diakses pada tanggal 18 agustus 2016 19 20 Ibid Ibid Para pakar hukum pidana menerjemahkan istilah tersebut dengan cara yang berbeda, sesuai dengan cara pandang masing-masing mengenai hukum pidana itu sendiri. Wirjono Prodjodikoro mengatakan tindak pidana adalah “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.21 ”adalah “Perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang mana dilakukan oleh seseorang yang dipertanggung jawabkan, dapat diisyaratkan kepada pelaku.” 22 2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada KUHP hal ini disebut dengan penganiayaan, tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai : “perlakuan yang sewenangwenang...” Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia. Roeslan saleh menuliskan, bahwa orang baru akan dipidana apabila mempunyai unsur kesalahan, sebagaimana salah satu asas yang dikenal dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana apabila tidak ada kesalahan. Suatu perbuatan akan menjadi perbuatan pidana apabila terdapat unsur yang dilarang, atau aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana, 21 Sudarto, Op.Cit, hlm 42 Kamsil, C.S.T,Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, PT. Sinar Grafika Jakarta, 1994, hlm. 106 22 sedangkan mengenai sifat dari perbuatan tersebut akan dikenakan dengan adanya unsur melawan hukum.23 Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja membuat pengertian penganiayaan ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan kemudian ilmu pengertian (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”24 H.R (hooge Raad), menjelaskan penganiayaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan.25 Simon merumuskan, strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.26 23 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban, Rineka Cipta, Jakarta, 1983 hlm 13 24 Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Armico, Bandung, 1985, hlm 83 25 Ibid, hlm 83 26 Leden Marpaung,Tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh,Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hlm. 8 Pengertian penganiyayaan adalah sebagai berikut: “Menganiyaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiyayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan”27 Penjelasan Mentri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain: 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain.28 Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin, penganiyayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam perkembangan muncul yurisprudensi yang mencoba menyempurnakan Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari 1902, yang secara substansial menyatakan: “Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiyayaan. Contohnya dalam batas- batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak.”29 27 Ibid, hlm 5 Ibid, hlm 6 29 Tongat, Hukum Pidana Materil, Djambatan , Jakarta, 2003, hlm. 71 28 Adapun yang disimpulkan bedasarkan yurisprudensi, setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditunjukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiyayaan. 3. Karakteristik Umum Tindak Pidana Penganiayaan Sekalipun akibat berupa luka berat pada korban dalam Pasal 351 Ayat (2) KUHP bukan merupakan akibat yang dikehendaki, namun akibat lukaluka berat pada korban tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akibat luka berat itu benar-benar akibat dari perbuatan pelaku dengan kata lain, antara perbuatan penganiayaan dengan akibat yang ditimbulkan berupa luka berat, harus ada hubungan kausal. Dalam hal ini untuk membuktikan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat pada korban. Aparat hukum dapat meminta bantuan kepada yang berkomponen yaitu dokter.30 Perumusan mengenai penganiayaan secara yuridis memiliki penjelasan bahwa perbuatan tersebut berarti berbuat sesuatu dengan tujuan (oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit. Dan, memang inilah arti dari kata penganiayaan. Sedangkan menurut Pasal 351 Ayat (4) KUHP, penganiayaan disamakan dengan merugikan kesehatan orang dengan sengaja. Dengan demikian, unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud tujuan (oogmerk), tidak seperti unsur kesengajaan dari perbuatan. Apabila 30 Ibid, hlm, 82 suatu penganiayaan menbgakibatkan luka berat, maka sesuai Pasal 351 Ayat (2) KUHP maksimum hukuman dijadikan 5 (lima) tahun penjara. Akibat ini harus dituju dan juga harus sengaja karena KUHP telah tindak pidana penganiayaan berat kedalam Pasal 345 Ayat (2) KUHP maksimal hukuman dijadikan 5 (lima) tahun penjara dan Pasal 354 Ayat (1) KUHP dengan maksimum hukuman delapan tahun penjara. 31 Akan tetapi akibat dari penganiayaan fisik, tidak selalu mengakibatkan luka ringan saja, melainkan juga menimbulkan luka berat. Definisi mengenai luka berat yang dimaksud terdapat dalam KUHP, Istilah luka berat sesuai Pasal 90 KUHP : a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahya maut; b. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; c. Kehilangan salah satu pancaindra; d. Mendapat cacat berat; e. Menderita sakit lumpuh; f. Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih; g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.32 Tindak pidana penganiyayaan merupakan perbuatan dengan berupa sakit atau luka pada tubuh, itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelaku memang menghendaki timbulnya rasa sakit 31 M. Ahmad Zulfikar, Tindak Pidana Penganiayaan Anggota Polri, Universitas Khatolik Parahiyangan, Bandung, 2008, hlm 8-9 32 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP , Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm, 39 atau luka dari perbuatan (penganiyayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiyayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiyayaan.33 Jenis-jenis dari penganiayaan yang diatur dalam KUHP diantaranya adalah:34 a. Penganiyaan Biasa Pasal 351 KUHP Perumusan tentang tindak penganiayaan biasa merupakan perumusan yang paling singkat dan sederhana. Ketentuan Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan kualifikasinya saja tanpa mengurangi unsur-unsurnya. Oleh Karena Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan kualifikasinya saja, maka berdasarkan rumus Pasal 351 KUHP tersebut tidak jelas pebuatan yang serperti apa yang dimaksud. Sebagai kelaziman yang berlaku dalam hukum pidana, dimana terhadap rumusan pidana yang hanya kualifikasinya biasa ditafsirjkan secara historis, maka penafsiran terhqadap Pasal 351 KUHP tyersebut juga dityempuh nerdasrkan penafsiran historis. Apabila ditelusuri sejarah pembentukan Pasal 351 KUHP awalnya terdapat kelaziman rumusan Pasal-Pasal dalam KUHP yang merupakan 33 34 Ibid, hlm 41 Moeljatno, Op.Cit , hlm, 125 unsur-unsur perbuatan dan juga akibat yang dilarang, unsur penganiayaan itu sendiri yaitu : a. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderita pada tubuh orang lain b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain. Secara yuridis formal sebenarnya tidak ada Pasal atau ayat yang menunjukan adanya perbedaan antara kedua istilah tersebut sebab dalam konteks KUHP tidak ada batasan tentang apa yang dimaksud dengan luka. KUHP hanya memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud luka berat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 90 KUHP. Sementara tentang luka sama sekali tidak disinggung. Secara doktrin, istilah luka dalam konteks Pasal 351 Ayat (1) KUHP diartikan sebagai luka ringan. Penggunaaan istilah luka ringan tersebut atas pertimbangan, bahwa dalam konteks Pasal 351 Ayat (2) KUHP dikenal istilah luka berat. Dengan demikian, menurut doktrin istilah luka dalam konteks Pasal 351 Ayat (1) KUHP harus diartikan sebagai luka ringan sebagai lawan dari istilah luka berat dalam kontekas Pasal 351 Ayat (2) KUHP. b. Penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP Penganiaayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimal hukuma penjara 3 (tiga) bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk rumusan Pasal 353 KUHP dan Pasal 356 KUHP, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Dalam praktek, ukuiran ini adalah bahwa sikorban harus dirawat dirumah sakit atau tidak, hukuman ini bias ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintahnya. Jenis tindak pidana ini berbeda dengan penganiayaan lain yang diberlakukan diindonesia berdasarkan asas konkordansi, maka penganiayaan ringan merupakan pengecualian dari asas konkordansi.35 c. Penganiayaan berat yang direncana terlebih dahulu Pasal 355 KUHP Berdasarkan rumusan Pasal 355 KUHP terlihat, bahwa penganiayaan berat direncanakan terlebih dahulu yang tidak menimbulkan kematian. Jenis penganiayaan ini sering disebut sebagai pengnaiayaan berat berencana biasa. Dalam pengnaiayaan ini luka berat itu memang merupakan akibat yang dikehendaki oleh pelaku sekaligus yang merencanakannya terlebih dahulu. Sedangkan pengnaiayaan berat yang direncana terlebih dahulu menimbulkan kematian, namun matinya korban dalam tindak pidana ini bukanlah akibat yang dikehendaki oleh pelaku. Kematian yang timbul dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan, sebab apabila kematian merupakan akibat yang dituju makan yang terjadi bukanlah penganiayaan melaikan pembunuh yang diatur dalam Pasal 338 KUHP.36 D. Tinjauan Umum Tentang Penangkapan 1. Pengertian Penangkapan 35 36 75 Tongat, Op.Cit , hlm, 84. Wirjono Prodijodikoro,perbuatan melanggar hukum, Mandar maju, Jakarta, 2003, hlm Sering dikacaukan pengertian penangkapan dan penahanan. penangkapan sejajar dengan arrest (inggris), sedangkan penahanan sejajar dengan detention (inggris). Jangka waktu penangkapan tidak lama. dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesudah sampai dikantor polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentuka tersangkanya dapat ditahan.37 Pasal 1 butir 20 KUHAP member definisi “penangkapan” sebagai berikut: “penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.38 2. Persyaratan Penangkapan39 Untuk mencegah tersangka/terdakwa terjadinya secara tindakan sewenang-wenang, terhadap maka terhadap pelaksanaan penagkapan harus dilakukan sesuai dengan persyaratan/ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu sebagai berikut : a. Tindakan penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan/penuntutan/peradilan (Pasal 1 butir 20 KUHAP) 37 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta.2014. Hlm 128 Ibid, Hlm 128 39 HMH Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum,Umm Press,Malang,2010.Hlm 58 38 b. Perintah penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana, baru dapat dilakukan apabila penyidik telah memiliki alat bukti permulaan yang cukup (Pasal 1 butir 20 jo 17 KUHAP). c. Pelaksanaan penangkapan dilakukan dengan surat perintah penangkapan (model serse:A-5) yang ditandatangani kepala kesatuan /instansi(KAPOLWIL, KAPOLRES atau KAPOLSEK) selaku penyidik ( Pasal 1 butir 20 jo 16 Ayat (2) KUHAP). Apabila yang melaksanakan penangkapan adalah penyidik/penyidik pembantu, maka petugasnya cukup memberikan satu lembar surat perintah penangkapan kepada tersangka dan satu lembar kepada keluarga tersangka yang ditangkap (Pasal 18 KUHAP). Kalau pelaksanaan penagkapan dilakukan oleh penyelidik atas perintah penyidik/penyidik pembantu, maka petugas tersebut selain memberikan surat perintah penangkapan harus pula dapat menunjukan surat perintah tugas (model serse:C.3). d. Surat perintah penangkapan berisi: 1. Pertimbangan dan dasar hukum tindakan penangkapan 2. Nama-nama petugas, pangkat, Nrp, jabatan 3. Identitas tersangka yang ditangkap (ditulis secara lengkap/jelas) 4. Uraian singkat tentang tindak pidana yang dipersangkakan 5. Tempat/kantor dimana tersangka akan diperiksa (Pasal 18 Ayat (1) KUHAP) 6. Jangka waktu berlakunya surat perintah penangkapan (Pasal 19 Ayat (1) KUHAP) e. Setiap kali selesai melaksanakan SPRIN penangkapan petugas pelaksana membuat berita acara penangkapan (Pasal 75 KUHAP) f. Selain untuk kepentingan penyidikan, penyidik/penyidik pembantu berwenang melakukan tersangka/terdakwa kepentingan atas penuntutan, tindakan permintaan atau atas penangkapan terhadap penuntut umum untuk permintaan hakim untuk kepentingan peradilan atau atas permintaan instansi/penyidik lain atau Interpol (Pasal 7 Ayat (1) huruf j jo Pasal 1 butir 20 KUHAP) g. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran, meskipun tidak dapat ditangkap akan tetapi apabila sudah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak mau memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah, dapat ditangkap oleh penyidik (Pasal 19 ayat (2) KUHAP). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode normatif. penelitian normatif adalah tipe penelitian yang berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian penulis. Dengan penelitian normatif ini, penulis mengkaji asas dan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan isu hukum yang diajukan. B. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum 1. Pendekatan konseptual40 Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dari doktrin-doktrin yang berkembag dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, konsepkonsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. 2. pendekatan perundang-undangan Undang-undang ini dilakukan dengan cara menelaah materi muatannya41 , kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan sehingga member hasil telaah yang logis. 3. Pendekatan Kasus (Case Aprroach) 40 41 Peter Mahmud Marzuki,”penelitian hukum”, kencana, Jakarta, 2005, hlm 177 Ibid, hlm 35 Pada pendekatan kasus yang mana menganalisa kasus-kasus pemberian tumpang tindih izin usaha pertambangan dan konflik wewenang yang mempunyai kaitan dengan kewenangan pejabat berwenang yang mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, riset ini menganalisa putusan hakim ratio decidendi yang bersifat preskriptif42 dengan tujuan menemukan ratio decidenci yang mempunyai hubungan dengan kewenangan pemerintah dan kerangka rumusan terhadap maladministrasi dalam kewenangan pemerintah yang berimplikasi pada suatu tindak pidana; dengan demikian, dari ketiga pendekatan tersebut dapat membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.43 C. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum dibedakan antara lain : 1. Bahan hukum a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya bahan hukum ini mempunyai otoritas, bahan hukum primer ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab undang-undang hukum pidana 3. Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia 42 43 Ibid, hlm 119 Ibid, hlm 95 4. Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme 5. Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab undang-undang hukum acara pidana 6. Peraturan kapolri nomor 23 tahun 2011 tentang prosedur penindakan tersangka tindak pidana terorisme. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, skripsi, tesis, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan44. c. Bahan non hukum45 Bahan non hukum adalah wawancara, dialog, kesaksian ahli hukum di pengadilan, seminar, ceramah, dan kuliah. D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan penulisan ini menggunakan: 1. Pengumpulan bahan hukum yang menggunakan pendekatan perundang-undangan yang dilakukan dengan mencari peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti46. 2. Pengumpulan bahan hukum menggunakan pendekatan historis, yaitu dilakukan dengan pengumpulan peraturan perundang-undangan, 44 Ibid, Hlm 181-195 Ibid, Hlm 204 46 Ibid, Hlm 237 45 putusan-putusan pengadilan, dan buku-buku hukum, yang mempunyai relevansi dengan isu yang dibahas dalam penelitian47. 3. Mengumpulkan bahan hukum yang menggunakan pendekatan konseptual, yaitu penelusuran buku-buku hukum yang mengandung konsep-konsep hukum48. 4. Melakukan pengumpulan bahan non hukum yang berupa wawancara, dialog, kesaksian ahli hukum di pengadilan, seminar, ceramah, kuliah, maupun disertasi bahan acuan lainnya yang digunakan untuk penyusunan penelitian yang dibahas. E. Langkah-Langkah Penelitian Hukum 1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengiliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum. 2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum. 3. Melakukan telaah atas asas hukum yang diajukan berdasarkan bahanbahan hukum yang telah dikumpulkan49. 4. Menarik kesimpulan untuk menjawab isu hukum50. 5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun dalam kesimpulan. Langkah-langkah ini sesuai dengan karakter ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat sebagai preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat 47 Ibid, Hlm 238 Ibid, hlm 239 49 Ibid, hlm 241 50 Ibid, hlm 246 48 preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. F. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisi normatif kualitatif yaitu peneliti akan mendeskripsikan secara lengkap berdasarkan fakta-fakta yng terungkap sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh dari objek penelitian lalu dikorelasikan dengan undang-undang yang berlaku yang berkaitan dengan proses penangkapan terduga terorisme khususnya undangundang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana dan undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN A. Prosedur Penangkapan Terhadap Dugaan Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurut Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Jo Pasal 26 Dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Peristiwa hukum pidana dalam penanganan penyidik tidak semua selalu diawali dengan penangkapan, biasanya dalam kondisi tertentu saja penyidik melakukan penangkapan, seperti misalnya tertangkap tangan, dan atau tertangkap segera setelah melakukan tindak pidana. Dalam kasus-kasus tertentu yang kemudian itu diatur alam undang-undang khusus misalnya, seperti kasus tindak pidana terorisme. Pada kasus tindak pidana terorisme, proses penangkapan ketika ada orang orang yang diduga melakukan tindak pidana sedikit berbeda dengan hukum acara yang berlaku, akan tetapi itu hanya berlaku ketika ada ketentuan yang tidak diatur dalam kitab undangundang hukum acara pidana. 1. Prosedur Penangkapan Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada proses penyelesaian perkara pidana selanjutnya adalah penangkapan. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat dugaan keras bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana terorisme dan dugaan itu didukung oleh bukti permulaan yang cukup guna kepentingan penyidikan dan tuntutan dan atau peradilan. Dan untuk mendapatkan waktu yang cukup untuk mendapatkan informasi yang akurat seorang penyidik diberi wewenang untuk menangkap palin lama 24 jam dan apabila dalam waktu yang telah ditentukan tersebut masih kurang maka penyidik diperkenankan untuk memperpanjang penangkapan selama 48 jam dan harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negri. Ketentuan seperti ini juga diterapkan di Undang-undang teroris dikanada, dimana masa penangkapan dapat diperpanjang paling lama 72 jam (Adnan Buyung, 2002:10).51 Berbeda halnya dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP, menurut Pasal 19 Ayat (1) KUHAP penangkapan hanya dapat dilakukan untuk waktu paling lama satu hari dan tidak ada ketentuan dapat diperpanjang. Dasar pertimbangan lamanya masa penangkapan dalam undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, bahwa pelaku terorisme memiliki jaringan yang luas dan tertutup, sehingga pelaku tindak pidana terorisme masih ada jaringan yang lebih luas dibelakangnya. Oleh karena itu untuk memperoleh dan mendapatkan informasi yang lebih jauh dan lebih akurat diperlukan penambahan waktu masa penangkapan. Dan demi efektivitas dan efisiensi, penangkapan sebaiknya dan hendaknya dilakukan oleh penyidik pembantu (polisi). Dengan demikian, penyidik mendirikan surat perintah kepada penyidik pembantu untuk melakukan penangkapan. Namun,tersangka yang telah ditangkap penyidik pembantu harus segera 51 Abdul Wahid,Dkk, op.cit, Hlm 107 diserahkan kepada penyidik untuk segera dilakukan penyidikan. (Koesno Adi, 2003:10).52 Pada situasi-situasi khusus, seperti jika tertangkap tangan dalam kasus terorisme ini maka dapat diartikan bahwa teroris (pelaku) tersebut tertangkap ketika sedang melakukan aksi terorisme, misalnya sedang membajak, menyandera, menculik atau memasang bom, atau para teroris tersebut tertangkap beberapa saat setelah aksi mereka dilakukan. Ketika para teroris sedang beraksi, sebenarnya setiap orang dapat menangkap. Tetapi pada kenyataannya untuk menangkap teroris yang sedang beraksi dibutuhkan keahlian tertentu yang hanya dimiliki oleh aparat (Polri dan TNI). Tentu saja dalam hal ini baik Polri maupun TNI memanfaatkan satuan-satuan kontra terror mereka. Bahkan dalam menangkap teroris yang beraksi dengan membawa senjata nubika, diperlukan keahlian TNI dari satuan zeni tempur untuk menangani situasi seperti ini. Setelah tertangkap, para teroris harus segera diserahkan kepada penyidik (jaksa).53 Hal yang patut lebih ditekankan dalam penangkapan adalah cara-cara penangkapan yang memperthatikan norma-norma kepatutan dan perlindungan hak-hak tersangka. Sebab selam ini, penangkapan yang dilakukan oleh Polri terkesan kurang menghargai hak-hak tersangka dan ada kecenderungan pamer kekuasaan,54 seperti terlihat dalam kasus Siyono misalnya. Pasal yang mengatur hal ini adalah Pasal 28 Undang-undang nomor 15 tahun 2003 menyatakan : 52 Ibid, Hlm 107 Ibid, Hlm 108 54 Ibid , Hlm 109 53 Pasal 28 “penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam”. Penangkapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan atas bukti permulaan yang berupa bukti dari intelejen, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menyatakan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh ketua dan wakil ketua Pengadilan Negri. Rumusan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menyatakan : ”untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen”. Hal lain yang patut dicermati dalam Undang-undang nomor 15 tahun 2003 ini adalah mengenai digunakannya laporan intelijen sebagai bukti permulaan yang cukup sebagai suatu syarat untuk melakukan penyidikan. Pasal 26 (1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen ... dst. (2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri (3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. (4) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan. Penjelasannya : Yang dimaksud dengan “laporan Intelijen” adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan Intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Keuangan, Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi lain yang terkait. Kata “dapat” dalam rumusan ini berarti bahwa suatu yang boleh digunakan dan boleh tidak digunakan. Namun masalah yang perlu diperhatikan dalam rumusan “penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen” ialah apakah hanya dengan laporan intelijen saja sudah bisa dianggap memenuhi syarat bukti permulaan yang cukup atau laporan intelijen tersebut hanya merupakan tambahan saja sebagai standar terpenuhinya bukti permulaan yang cukup. Hal itu tidak ada penjelasannya. Jika hanya dengan bukti “laporan intelijen” saja, penyidik dapat melakukan penyidikan dengan melakukan penangkapan maka penyidik akan dengan mudah melanggar hak pembelaan diri dari pihak yang disidik atau tersangka. Karena tidak jelasnya definisi dan standar dari “laporan intelijen” yang bisa dipakai, maka implementasi dari Pasal 26 di atas dapat mendatangkan suatu keputusan yang subyektif. Dan alat apa yang bisa dipakai oleh hakim dalam menentukan bahwa sebuah laporan intelijen telah atau belum memenuhi syarat sebagai “bukti permulaan yang cukup”. Laporan intelijen mempunyai kualifikasi tertentu antara range satu sampai dengan lima atas dasar seberapa jauh laporan tersebut dapat diandalkan dalam arti dipastikan kebenarannya (wawancara dengan Mulyo Wibisono, seorang ahli bin, Desember 2003)55. Karena laporan intelijen bersifat preventif, maka jika semua laporan intelijen layak dijadikan bukti permulaan yang cukupsebagai dasar penyidikan tindak pidana terorisme, hal tersebut merupakan suatu langkah yang overprotektif, dan dapat membelenggu kebebasan individu. Bukti permulaan yang cukup seperti yang dimaksud dalam KUHAP untuk melakukan penangkapan masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Menurut Kapolri, dalam SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982 ditentukan bahwa bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua di antara (1) Laporan Polisi, (2) BAP di TKP, (3) Laporan Hasil Penyelidikan; (4) Keterangan Saksi/Ahli dan (5) Barang Bukti.56 Menurut Rapat Kerja Makehjapol tanggal 21 Maret 1984 disimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukupseyogyanya minimal: Laporan Polisi 55 http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1241/1146. diakses pada tanggal 1 september 2016 56 Ibid, ditambah salah satu alat bukti lainnya57 Dikaitkan dengan peraturan di atas, maka terdapat pertanyaan apakah laporan intelijen saja sudah cukup untuk dilakukan penyidikan ataukah masih harus pula disertai dengan minimal satu alat bukti yang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP ataupun yang diatur baik oleh Raker Makehjapol atau SK Kapolri. Sebagaimana bunyi Pasal 26 ayat (3), pemeriksaan sebuah laporan intelijen bisa dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup dilakukan secara tertutup oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Dalam pemeriksaan tertutup itu, bagaimana cara hakim dalam menimbang sebuah laporan bisa dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup tanpa kehadiran orang yang diduga atau kuasa hukum dari orang yang diduga melakukan teror. Artinya, dalam membuat keputusannya, hakim tidak memiliki opini pembanding dari laporan intelijen tersebut meskipun laporan Iintelijen tersebut termasuk klasifikasi AI atau AZ. Akibatnya hakim akan mudah dimanipulasi oleh pihak intelijen yang menggunakan laporan sepihak. Parahnya, ketentuan ini akan menjadikan seseorang tidak pernah tahu bahwa dirinya diduga sedang melakukan tindakan terorisme. Aplikasi Pasal 26 ini juga akan merubah sistem judisial, karena intelijen menjadi sub sistem. Hal ini dapat membahayakan kemandirian pengadilan, karena akan mudah diintervensi oleh pihak intelijen atau eksekutif atas nama keamanan nasional. Dengan kata lain, jika Pasal 26 ini tidak diterapkan secara 57 Arwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Cet.2, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998), Hlm 51. hati-hati, arif, bijaksana dan sebagai data ultimum remedium, maka pengadilan akan menjadi stempel laporan intelijen dalam menangkap siapa saja yang diidentifikasi oleh pihak intelijen sebagai teroris. Di atas semua hal tersebut diatas, satu hal yang kiranya perlu untuk direnungkan disini adalah, apakah Hakim dalam mengadili/memutus perkara kelak tetap dapat bersikap independen, mengingat bahwa atasan si hakim (ketua pengadilan) telah terlibat dalam menentukan terdakwa adalah orang yang patut untuk disidik sebagai tersangka pidana terorisme. Pemahaman tersebut diatas sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang mengatur bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen dari Kepolisian, Kejaksaan, Dirjen Imigrasi, Dirjen Bea dan Cukai, TNI atau BIN. Sedangkan agar dapat dipergunakan sebagai bukti permulaan tindakan Pro-justitia, terlebih dahulu harus ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat.58 2. Prosedur Penangkapan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Menurut ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau menurut Pasal 17 KUHAP ditentukan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang 58 Abdul Wahid,Dkk, op.cit, Hlm 111 diduga keras melakukan tindak pidana bedasarkan bukti permulaan yang cukup. Apabila perumusan Pasal 1 butir 20 dan Pasal 17 tersebut dibaca secara cermat, akan Nampak adanya hal-hal yang membingungkan dan menimbulkan kekaburan. Karena dalam Pasal 1 butir 20 dinyatakan bahwa penangkapan adalah tindakan penyidik terhadap tersangka atau terdakwa guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan berdasarkan “bukti” yang cukup. Sedangkan menurut Pasal 17 tindakan (perintah) dilakukan terhadap seseorang (tidak tersurat sebagai tersangka/terdakwa) yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan” yang cukup. Jadi kalau menurut Pasal 1 butir 20 tindakan penangkapan didasarkan pada bukti yang cukup sedangkan menurut Pasal 17 tindakan penangkapan didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Meskipun menggunakan istilah yang sama yaitu penangkapan namun dalam penerapannya mengandung pengertian yang bebeda. Penangkapan berdasarkan Pasal 17 KUHAP hanya berlaku untuk penangkapan guna kepentingan penyidikan juga untuk penuntutan dan peradilan. Untuk mengetahui apa yang dimaksud pengertian bukti dan bukti permulaan, maka terlebih dahulu perlu dipahami mengenai apa yang dimaksud dengan bukti dan barang bukti serta bukti permulaan. Hal ini sangat penting karena dalam praktek hukum seringkali timbul kerancuan dan kekaburan pengertian dikalangan aparat penegak hukum dan praktisi hukum terlebih dikalangan masyarakat yang awam hukum mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian bukti, barang bukti, dan bukti permulaan. Ada prinsip dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dilaksanakan polisi dalam setiap penyelenggaraan tugasnya, termasuk dalam hal melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana. Penyidik (dalam hal ini kepolisian) antara lain dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun saat melakukan penangkapan. Tersangka berhak bebas dari penangkapan sewenang-wenang. Dari definisi penangkapan di atas dapat kita bisa ketahui bahwa tindakan penangkapan dilakukan oleh penyidik (dalam hal ini kepolisian) pada proses penyidikan. Selain itu, penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Soal penangkapan, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan mengatakan bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP:59 1. Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana; 2. Dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Sementara itu, istilah penggerebekan tidak dikenal dalam KUHAP. Adapun kewenangan penyidik kepolisian yang dikenal dalam KUHAP, antara lain yaitu melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. yang keseluruhan ini merupakan upaya paksa. Mungkin yang Anda maksud 59 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560b4bb076c30/hal-yang-wajibdiperhatikan-saat-polisi-melakukan-penangkapan. Diakses pada tanggal 2 september 2016 penggerebekan adalah penangkapan di tempat tinggal tersangka. Adapaun syarat penanagkapan menurut M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut :60 1. Penangkapan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup 2. Melakukan penangkapan tidak sewenang-wenang Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepad mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Menjawab pertanyaan Anda, kewajiban polisi dalam melakukan penangkapan adalah tidak berlaku sewenang-wenang terhadap “terduga”/tersangka tindak pidana. M. Yahya juga mengatakan bahwa penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP. Selain itu, penting diingat bahwa alasan untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud selain di luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan. 3. Berpijak pada landasan hukum Masih berkaitan dengan fungsi penangkapan, menurut M. Yahya sebagaimana kami sarikan, wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang asal masih berpijak pada landasan hukum. Salah satu bentuk pengurangan kebebasan dan hak asasi itu adalah dengan dilakukannya penangkapan. Akan tetapi harus diingat bahwa semua tindakan penyidik mengenai 60 Ibid, penangkapan itu adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pada proporsi demi untuk kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat diperlukan sekali. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Fungsi Penangkapan dan Penahanan dalam Proses Penyidikan 4. Tidak menggunakan kekerasan Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.61 Hal ini juga berkaitan dengan salah satu hak yang dimiliki oleh tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. Penyidik tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan.62 5. Melengkapi penangkapan dengan surat perintah penangkapan Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan penangkapan identitas serta tersangka uraian dan singkat menyebutkan perkara kejahatan alasan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa63. 61 Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”) 62 Pasal 10 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 63 Pasal 18 ayat (1) KUHAP Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. 6. Dalam melaksanakan penangkapan wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Keseimbangan antara tindakan yang dlakukan dengan bobot ancaman; b. Senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang ditangkap; dan c. Tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi tersangka Secara umum, kewajiban petugas kepolisian dalam melakukan penangkapan, yaitu :64 a. Memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri; b. Menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan; c. Memberitahukan alasan penangkapan; d. Menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan; 64 Pasal 17 ayat (1) Peraturan Kapolri Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 e. Menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan; f. Senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; dan g. Memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP. 3. Asas lex spesialis derogate lex generalis (aturan khusus mengesampingkan aturan yang umum) Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Undang-undang nomor 15 tahun 2003 selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari kitab undang-undang hukum pidana dan kitab undang-undang hukum acara pidana. dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan. Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pumbuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan. Hukum acara pidana didalam bidang pembuktian mengenal adanya alat bukti dan barang bukti. Dimana keduanya digunakan didalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang yang didakwakan kepada terdakwa. Alat bukti yang sah berdasarka Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. sedangkan alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi : 1. Alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, dengan alat optic atau yang serupa dengan itu 3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : a. Tulisan, suara atau gambar b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya c. Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) undang-undang nomor 15 tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai barang bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat butki. akan tetapi dengan adanya undang-undang nomor 15 tahun 2003, kedua alat buktitersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mngikat serta memiliki kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. meskipun demikian, prinsip lex spesialis derogate legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dala ketentuan khusus, dalam hal ini undang-undang nomor 15 tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Menurut pendapat penulis mengenai laporan intelejen dijadikan sebagai bukti permulaan dalam penangkapan dan proses penyidikan dan pemeriksaan sah-sah saja asalkan dengan mekanisme dan prosedur-prosedur yang berlaku dan mengingat tindak pidana terorisme yang memiliki kecanggihan modus operandi didukung oleh suatu organisasi internasional yang kuat baik dari sisi finansial dan teknologi serta memiliki jaringan intelejen yang kuat. Maka dari itu dianggap perlu diberikan kewenangan-kewenangan khusus seperti diatas yang menyimpang dari KUHAP/aturan hukum umum. Dan kita dapat memakai asas hukum pidana “Lex Spesialis Derogate Lex Generalis”, jadi KUHAP sebagai aturan umum sedangkan undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai aturan hukum yang khusus. 4. Ketidaksesuaian Penangkapan Yang Dilakukan Oleh Datasemen Khusus 88 Antiteror Menurut Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada kasus kematian yang dialami oleh siyono yang di duga sebagai teroris terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada proses penangkapan. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengungkapkan, terduga teroris yang selama ini disematkan pada pelaku terorisme yang ditangkap tetapi belum dijadikan tersangka tidak memiliki dasar hukum. Terlebih almarhum Siyono, seseorang yang dicap terduga teroris ditangkap kemudian dipulangkan tinggal jasad. Seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka, dapat dikenai upaya paksa oleh aparat, yaitu penangkapan, penggeledehan, dan lain-lain. Tidak boleh ada upaya paksa sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan dan penggeledahan terhadap Siyono, terduga teroris dari Klaten, sebagai tindakan dengan pendekatan di luar hukum pidana."apalagi Siyono tidak hanya ditangkap dan digeledah, tetapi juga diduga mengalami penyiksaan. Itu sudah di luar pendekatan hukum pidana dan merupakan tindakan kesewenang-wenangan. Siyono bukanlah terduga teroris pertama yang harus kehilangan nyawa tanpa melalui proses hukum.Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Siyono merupakan orang Ke-121 yang tewas sebagai terduga teroris tanpa menjalani proses hukum sejak Densus 88 dibentuk.65 65 http://u.msn.com/id-id/berita/other/tak-ada-istilah-terduga-teroris-dalam nomenklatur-hukum/ar-BBrfCSX, Diakses pada tanggal 26 agustus 2016 Penangkapan terduga teroris Siyono beberapa waktu lalu di Klaten terdapat kesalahan prosedur. Peristiwa naas yang berujung hilangnya nyawa Siyono mengabaikan Standar Operasional Prosedur Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Hal ini disampaikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dalam rapat kerja dengan komisi III di gedung DPR. Kesalahan prosedur dimaksud berupa pengawalan yang tidak dilakukan lebih dari satu orang. Sebaliknya, pengawalan saat penangkapan Siyono dilakukan hanya satu orang personil petugas Densus. Sesuai dengan prosedur penetapan (Protap) yang berlaku di Densus, hal tersebut tidak diperbolehkan. Kesalahan prosedur lainnya, petugas yang melakukan pengawalan tidak melakukan pemborgolan terhadap Siyono.66 Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) saat melakukan pemantauan di lapangan menemukan fakta bahwa Densus 88 diduga melakukan praktik mal administrasi. Dalam operasi penangkapan dan penggeledahan Densus 88, keluarga korban tidak mendapat tembusan surat penangkapan maupun penggeledahan. Temuan berikutnya, Densus 88 tidak memberikan hak atas informasi dan klarifikasi kepada keluarga korban pasca Siyono ditangkap usai shalat Maghrib. KontraS menilai Peristiwa di atas menunjukkan bahwa operasi Densus 88 kadang tidak berdasar informasi 66 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571736d3d5486/prosespenangkapan-siyono ternyata-salah-prosedur,dikases 24 agustus 2016 akurat dan tidak dilakukan berdasar kebutuhan penyelidikan yang diperhitungkan dengan baik.67 Kordinator subkondisi pemantau dan penyelidikan komisi nasional HAM, mengatakan belum ada satu lembaga Negara pun yang menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap siyono sejak ia menghilang dari rumahnya dan dipulangkan dalam kondisi sudah tidak bernyawa.68 Prosedur penangkapan yang dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan selalu berlandaskan aturan hukum yang yang berlaku. adapun syarat-syarat penangkapan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut : a. Tindakan penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan/penuntutan/peradilan (Pasal 1 butir 20 KUHAP) b. Perintah penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana, baru dapat dilakukan apabila penyidik telah memiliki alat bukti permulaan yang cukup (Pasal 1 butir 20 jo 17 KUHAP). c. penangkapan dilakukan dengan surat perintah penangkapan Setiap kali selesai melaksanakan SPRIN d. penangkapan petugas pelaksana membuat berita acara penangkapan. Menurut penulis Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme memberikan justifikasi terhadap pelanggaran sejumlah hak-hak asasi manusia. 67 https://www.islampos.com/kontras-densus-88-melanggar-hukum-dalampenangkapan siyono-264306/, diakses pada tanggal 24 agustus 2016 68 https://www.tempo.co.news/komnas-HAM-pertanyakan-surat-penangkapan-siyono2016/03/22/. diakses pada tanggal 26 agustus 2016 Hak tersebut adalah hak-hak non derogable rights, seperti hak hidup, hak bebas atas penyiksaan dan hak persamaan di dalam hukum. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 28 tentang penangkapan, dan Pasal mengenai pidana hukuman mati (Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.15 tahun 2003). Dikaitkan dengan Pasal 25 ayat (1) yang secara tegas menyebutkan bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku – dalam hal ini KUHAP – kecuali ditentukan lain, maka segala tindakan penyidik dalam rangka penangkapan harus mengikuti tata cara, prosedur, dan syarat yang diatur KUHAP, seperti: 1. Memperlihatkan surat tugas 2. Memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan 3. TembusanSurat Perintah Penangkapan harus diberikan kepada keluarganyasegera setelah penangkapan dilakukan. 4. Orang yang ditangkap harus diduga kerasmelalukan tindak pidana. 5. Dugaan tersebut harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup Sedangkan pengecualian dari ketentuan KUHAP yang dibolehkan oleh Undang-undang nomor 15 Tahun 2003 dalam hal penyidik melakukan penangkapan hanyaterhadap hal-hal sebagai berikut: 1. Lamanya penangkapan maksimal 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam (Pasal 28) 2. Bukti permulaan yang cukuptersebut dapat diperoleh melalui laporan intelijen, namun laporan intelijen tersebut harus sudah dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang hasilnya dikeluarkan dalam bentuk produk. Perlu menjadi perhatian semua aparatur penegak hukum bahwa salah satu saja tata cara, prosedur, atau syarat penangkapan tersebut, baik yang diatur dalam KUHAP maupun Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tidak dipenuhi, maka konsekuensi hukumnya adalah penangkapan tersebut menjadi: TIDAK SAH Makna lebih lanjut dari penangkapan yang tidak sah tersebut adalah: perbuatan melawan hukum dari aparat penegak hukum. B. Kesesuaian Prosedur Penangkapan Dengan Peraturan PerundangUndangan Prosedur Penangkapan Terhadap Tersangka atau Pelaku Tindak Pidana dalam KUHAP memiliki SOP (standard operating procedure) tertentu agar tindakan hukum bisa berjalan sesuai aturan. Jika pelaku hukum dalam hal ini adalah penegak hukum tidak mengindahkan prosedur hukum acara yang telah ada, maka banyak kemungkinan akan muncul perspektif bermacam-macam dari masyarakat. Dalam tahapan melakukan penangkapan terhadap sesorang yang diduga sebagai pelaku pidana, ada aturan-aturan atau unsur yang harus diperhatikan oleh penegak hukum. Sebab semua warga mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum. Contoh kecil unsur yang sangat penting adalah mengenai Hak Tersangka untuk memperoleh perlakuan secara manusiawi. 1. Hakikat Penangkapan Penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan seseorang apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau pengadilan. Artinya bahwa tindakan penangkapan ini dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, bukti permulaan minimal didasarkan pada dua bukti atau keterangan terkait tindak pidana yang dilakukan, misalnya adanya barang bukti dan keterangan saksi/ahli. 2. Para Pihak Yang Berwenang Melakukan Penangkapan Pihak yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik dan penyidik pembantu. Penyidik terdiri dari pejabat polri dengan pangkat minimal inspektur dua dan PNS yang diberi wewenang khusus oleh UU yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b atau yang disamakan dengan itu) sementara penyidik pembantu terdiri dari pejabat polri dengan pangkat minimal Brigadir Dua dan PNS dilingkungan POLRI dengan pangkat minimal Pengatur Muda (golongan II/a atau yang disamakan dengan itu) 3. Persyaratan Penangkapan Suatu penangkapan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu : a. Penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan atau peradilan b. Penangkapan dilakukan setelah memiliki suatu bukti permulaan yang cukup c. Penangkapan dilaksanakan berdasarkan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh kepala kesatuan atau instansi misalnya Kapolda, Kapolres atau Kapolsek d. Penangkapan dilakukan terhadap tersangka pelaku pelanggaran yang mangkir dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah saat dipanggil oleh penyidik e. Petugas pelaksana wajib berita acara penangkapan setelah dilakukan penangkapan f. Jangka waktu penangkapan paling lama sehari. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan status orang yang ditangkap apakah selanjutnya ia ditahan, wajib lapor atau dilepaskan. Bila pejabat yang berwenang menangkap seseorang lewat dari sehari maka dapat dikategorikan pejabat tersebut telah melakukan tindakan sewenangwenang (Pasal 19 Ayat (1) KUHAP) 4. Tata Cara Penangkapan69 Tata cara penangkapan yang diatur dalam KUHAP yakni a. Harus memperlihatkan surat tugas kepada tersangka dan keluarga tersangka b. Memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alas an 69 /Hak%20Kita%20Saat%20Ditangkap!!!%20-%20KOMPASIANA.com.htm. diakses pada tanggal 3 november 2015 penangkapan serta uraian perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa c. Menyerahkan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukan 5. Isi Surat Perintah Penangkapan Surat perintah penangkapan dalam prakteknya menggunakan model Serse : A. 5 (kalau belum berubah) dan memuat beberapa poin antara lain : a. Pertimbangan dan dasar hokum tindakan penangkapan b. Nama-nama petugas, pangkat dan jabatan c. Identitas tersangka yang ditulis lengkap dan jelas d. Uraian singkat mengenai tindak pidana yang disangkakan e. Tempat/kantor tersangka akan diperiksa f. Jangka waktu berlakunya surat perintah penangkapan 6. Hak-hak Ketika Ditangkap Walaupun ditetapkan sebagai tersangka namun seseorang tetap mempunyai hak-hak yang harus diperhatikan oleh penyidik, antara lain : 1. Hak untuk meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap dirinya kepada petugas yang melakukan penangkapan 2. Hak untuk meminta penjelasan tentang tuduhan kejahatan yang dituduhkan kepadanya, tempat ia akan dibawa/diperiksa atau ditahan, serta bukti awal terhadap tuduhan yang dituduhkan kepadanya 3. Hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah 4. Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi dan hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selama masa penangkapan atas dirinya 5. Hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah yang akan menjelaskan kepada tersangka bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami 6. Hak untuk mendapatkan juru bahasa yang menguasai bahasa isyarat apabila ia seorang tunarungu atau tunawicara 7. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan dari polisi atau penyidik 8. Hak untuk didampingi oleh satu atau lebih penasihat hokum yang ia pilih sendiri untuk mendapatkan bantuan hukum 9. Hak untuk mendapatkan penasehat hukum secara Cuma-Cuma atau gratis 10. Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan tanpa adanya tekanan 11. Hak untuk diam dalam arti tidak mengeluarkan penyataan ataupun pengakuan. Jadi tidak diperkenankan adanya tekanan 7. Tindak Pidana Yang Termasuk Tertangkap Tangan a. Tindak pidana perjudian (Pasal 303 KUHP) b. Tindak pidana pengedar narkotika/penjual/penyimpan dan atau pemakai narkotika/obat terlarang (Undang-Undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika) c. Pelanggaran di zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Undang-Undang No. 5 tahun 1983) d. Tindak pidana perikanan (Undang-Undang No. 9 tahun 1985) Untuk hal diatas pejabat yang berwenang dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku tindak pidana tersebut tanpa surat perintah penangkapan, akan tetapi dalam jangka waktu 1x24 jam, eksekutornya harus menyerahkan orang yang ditangkap beserta atau tanpa barang buktinya kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat (Pasal 18 Ayat 2 jo Pasal 111 Ayat 1 KUHAP) 8. Penangkapan Dalam Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang No.15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Ketentuan terkait penangkapan dalam undang-undang tersebut berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Dalam KUHAP diatur bahwa penangkapan dilakukan dalam waktu 1x24 jam sementara dalam undang-undang tidndak pidana terorisme jangka waktunya adalah 7x24 jam (Pasal 28). Hal ini terkait dengan tindak pidana yang menggangu keamanan nasional. Sehingga sebelum penangkapan dilakukan terhadap tersangkanya, terlebih dahulu penyidik mendapat laporan intelijen yang didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Dan dalam Pasal 25 undang-undang tindak pidana terorime menjelaskan bahwa apa yang tidak diatur dalam undang-undang ini harus kembali kepada hukum acara yang berlaku. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis menyimpulkan bahwa prosedur penangkapan terhadap terduga tindak pidana teroris harus sesuai dengan prosedur penangkapan yang diatur dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. karena ketika dalam prosedur penangkapan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan maka prosedur penangkapan tersebut tidak sah (inprosedural). Dalam tindak pidana teroris sekalipun yang memiliki undang-undang khusus tidak dibenarkan ketika dalam prosedur penangkapan terhadap terduga terosis tanpa memperlihatkan surat penangkapan kecuali dalam hal tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. Ketentuan yang tidak diatur dalam undang-undang khusus harus kembali pada undang-undang yang umum, Seperti halnya kasus kematian terduga teroris Siyono yang kemudian dikemukakan oleh Komisi Orang Hilang Dan Tindak Kekerasan (KontraS) bahwa dalam proses penangkapanya densus 88 tidak memperlihatkan atau memberikan surat penangkapan kepada korban maupun pihak keluarga korban. Padahal korban ditangkap ketika selesai melaksanakan sholat magrib. Untuk itu dalam proses penangkapan terduga/tersangka terorisme harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. B. Saran Adapaun saran penulis sebagai berikut : 1. Dengan banyaknya kasus salah tangkap yang dilakukan oleh Instansi Kepolisian dan kasus-kasus penangkapan yang berujung pada hilangnya nyawa , pemerintah seharusnya memberikan efek jera kepada oknumoknum yang semena-mena menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum, dalam hal melakukan pelanggaran prosedur penangkapan. 2. Pemerintah harus mengusut tuntas kasus Siyono karena kematian Siyono merupakan salah satu pelanggaran Hak asasi manusia, yang dimana kasuskasus penangkapan dengan hilangnya nyawa sudah sering terjadi dikalangan masyarakat. 3. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme harus menjadi prioritas untuk dilakukan revisi karena masih banyak hal-hal yang kemudian menjadi multitafsir dalam undangundang tersebut, misalnya Pasal 26 Ayat (2). Yaitu soal informasi intelijen sebagai bukti permulaan. Pasal ini yang kemudian saat ini juga masih menjadi perdebatan dikalangan pakar hukum pidana. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung. PT.Citra Adyta Bakti. Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Ali, Khidir. 1985. Response Hukum Pidana: Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana. Bandung. Armico, Ahmad Zulfikar, M. 2008. Tindak Pidana Penganiayaan Anggota Polri, Universitas Khatolik Parahiyangan, Bandung. Bambang, Abimanyu. 2005. Teror Bom di Indonesia. Jakarta. Grafindo. Effendi, Masyhur. 1994.Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta. Ghalia Indonesia. Hamzah Andi. 2014.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. sinar grafika. . 2008. KUHP Dan KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta. Indriyanto, Seno Adji. 2001. Terorisme dan HAM dalam Terorisme. Tragedi Umat Manusia, Jakarta, O.C. Kaligis & Associates. Kaligis, O.C. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Manusia Terseangka, Terdakwadan Terpidana. Bandung. Alumni. Kamsil, C.S.T. 1994. Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta. PT.Sinar Grafika. Muntaha. 2014. Penerapan Asas Opurtunitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta. Genta Publishing. Marzuki, Peter Mahmud. 2011. penelitian hukum. Jakarta. kencana. Marpaung, Leden. 1999. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh. Jakarta. Sinar Grafika. Prodjodikoro, Wiryono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta. Refika Aditama Prasetyo, Teguh. 2014. Hukum Pidana. Jakarta. Rajagrafindo Persada. Poernomo, Bambang. 1982. Hukum Pidana. Jakarta. PT. Bina Aksara. Sudarto. 1990. Hukum Pidana, Semarang. Yayasan Sudarto. Saleh Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban, Jakarta, Rineka Cipta. Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta. Prenada Media. Tongat. 2003. Hukum Pidana Materil, Jakarta, Djambatan. Wayan, Parthiana. 2006. Hukum Pidana Internasional. Bandung. CV. Yrama Widya. Wahid, Abdul. 2004. Kejahatan Terorisme Prespektif Agama, Ham dan Hukum. Bandung. Refika Aditama. B. Undang-Undang Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Susunan dan Tata Organisasi Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Indonesia. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana C. Internet http://www.geoogle.com/Apa Saja Kejanggalan dalam Kematian Siyono, Terduga Teroris-hukum-tempo.co.htm/ Diakses pada tanggal 9 april 2016 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5739b9b8111a1/putusan-etikkasus-siyono-dinilai-tidak-memenuhi-rasa-keadilan, diakses pada tanggal 24 agustus 2016. https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme. diakses pada tanggal 25 agustus 2016 http://u.msn.com/id-id/berita/other/tak-ada-istilah-terduga-teroris-dalam nomenklatur-hukum/ar-BBrfCSX, Diakses pada tanggal 26 agustus 2016 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571736d3d5486/prosespenangkapan-siyono ternyata-salah-prosedur,dikases 24 agustus 2016 https://www.islampos.com/kontras-densus-88-melanggar-hukum-dalampenangkapan siyono-264306/, diakses pada tanggal 24 agustus 2016 https://www.tempo.co.news/komnas-HAM-pertanyakan-surat-penangkapansiyono-2016/03/22/. diakses pada tanggal 26 agustus 2016 http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1241/1146. diakses pada tanggal 1 september 2016