skripsi oleh rudiyanto lapaudi h1 a1 12 020 program

advertisement
ASPEK HUKUM PIDANA PENANGKAPAN TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA TERORIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Unversitas Halu Oleo
OLEH
RUDIYANTO LAPAUDI
H1 A1 12 020
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
ABSTRAK
Rudiyanto Lapaudi, Stambuk H1 A1 12 020. “Aspek Hukum Pidana
Penangkapan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Teroris Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana”. Di bawah
bimbingan Dr. Oheo K Haris, SH, LL.M selaku pembimbing I dan Ramadan
Tabiu, SH, LL.M selaku pembimbing II.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk megetahui apakah prosedur
penangkapan dugaan teroris memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Jo
Pasal 26 dan Pasal 28 Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian normatif adalah tipe penelitian yang berdasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian penulis.
Dengan penelitian normatif ini, penulis mengkaji asas dan peraturan perundangundangan yang sesuai dengan isu hukum yang diajukan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis menyimpulkan
bahwa prosedur penangkapan yang dilakukan oleh lembaga manapun yang
megatasnamakan
perintah
undang-undang,
ketika
dalam
prosedur
penangkapannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana maka proses penangkapan
tersebut dinyatakan tidak sah (Inprosedural). Dalam tindak pidana terorisme
sekalipun yang memiliki undang-undang khusus yang mengaturnya, tidak
dibenarkan ketika dalam prosedur penangkapan aparat penegak hukum tidak
memperlihatkan surat perintah penangkapan. Karena apa yang diatur dalam
Undang-Undang khusus harus kembali pada Undang-Undang yang umum, kecuali
dalam peristiwa tertangkap tangan. Untuk itu dalam proses penangkapan
terduga/tersangka teroris harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kata Kunci : Aspek Hukum Pidana, Penangkapan , Terorisme.
ABSTRACT
Rudiyanto Lapaudi, Stambuk H1 A1 12 020. "Legal Aspects of Criminal
Arrest Terrorist CrimeAgainst Perpetrators According to the Act - Act No. 8 of
1981 on the Law of Criminal Procedure". Under the guidance of Dr. Oheo K
Harris, SH, LL.M as a mentor I and Ramadan Tabiu, SH, LL.M as a mentor II.
The purpose of this study was to knowing whether alleged terrorist arrest
procedures comply with the provisions of Article 18 Paragraph (1) Criminal
Procedure Code Jo Article 26 and Article 28 of the Law - Law Number 15 Year
2003 on Eradication of Terrorism.
This type of research is a normative legal research. Normative research is a
type of study that is based on the provisions of the legislation relating to the study
authors. With this normative research, the author examines the principles and
legislation in accordance with the legal issues raised.
Based on the research that has been described, the authors conclude that the
arrest procedures undertaken by any institution which behalf of order legislation,
when the procedures arrest does not comply with the provisions of Article 18
paragraph (1) of Law No. 8 of 1981 on criminal procedural law, then the process
the arrest declared invalid (Inprosedural). In the criminal acts of terrorism even if
that has specific laws that govern it, is not justified when the arrest procedure of
law enforcement officers did not show an arrest warrant. Because what is
stipulated in the Act specifically have to go back to the common law, except in the
event caught red-handed. For that during the arrest the unexpected / suspected
terrorists should be based on Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure Code and
Law No. 15 Year 2003 on Eradication of Terrorism.
Keywords: Aspects of Criminal Law, Arrest, Terrorism.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah memberikan kesehatan, ilmu pengetahuan, sumber kebenaran,
penguasa alam raya beserta isinya, karena rahmat dan ridho-Nya yang
dilimpahkan kepada penulis berupa kekuatan dan kesehatan lahir batin sehingga
penulisan skirpsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga
tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW.
Selama penyusunan skripsi ini penulis sering mendapatkan berbagai
kendala, namun dengan bantuan berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
menyelesaikannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tak lupa penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda
(La Paudi) dan Ibunda tercinta (Wa Ani) yang telah memberikan motivasi dan
kasih sayang serta doa untuk keberhasilan dalam mengikuti pendidikan. Tak lupa
pula penulis sampaikan terima kasih atas doa saudara kandung penulis Untung
Lapaudi dan Renita Lapaudi.
Ucapan terima kasih banyak kepada Dr. Oheo K Haris, SH.,Msc.,LL.M
selaku pembimbing I dan Ramadan Tabiu, SH.,LL.M selaku pembimbing II yang
telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan
bimbingan, arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari, tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tak akan dapat
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Usman Rianse, MS, Selaku Rektor Universitas Halu
Oleo Kendari.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH.,MS, Selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
3. Bapak Rizal Muchtasar, SH.,LL.M, Selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
4. Bapak Herman, SH., LL.M, Selaku Wakil Dekan Bidang Umum,
Keuangan, Dan Kepegawaian Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
Kendari.
5. Bapak Jabalnur, SH.,MH, Selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan
Dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
6. Ibu Heryanti, SH., MH, Selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
7. Bapak Haris Yusuf, SH.,MH, Selaku Kordinator Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
8. Bapak Lade Sirjon, SH.,LL.M, Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
9. Ibu Nur Intan, SH.,MH, Selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
10. Bapak Guasman Tatawu, SH.,MH, Selaku Ketua Bagian Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
11. Bapak Herman, SH.,LL.M, Bapak Ali Rizki, SH.,MH, Bapak Lade Sirjon,
SH.,MH, Selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan
yang sangat positif dalam penyusunan skripsi ini.
12. Para Dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan etika selama menuntut
ilmu di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
13. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Fakultas Hukum yang telah membimbing
penulis selama masa perkuliahan dan dengan susah payah memberikan
pelayanan yang baik.
14. Saudara-saudari seperjuanganku kelas A angkatan 2012 pada umumnya,
dan terutama yang berada dalam garis perjuangan Kelompok Kajian CaK
Nur Insan Cita: Laode Abdul Mukfin, Pratno Kurniawan, Edi Safran, Fais
Al-Majid, Arif Efran, Laode Subroto, Muhamad Tri Putra, Dan Lucky.
terima kasih pula penulis sampaikan kepada Ahwan Agus, Jessi
Sisdayanti, Waode Melia, S.H, Ariska Damayanti, S.H, Hardianti, S.H, Sri
Wahuni Ramadan, S.H. Secara pribadi penulis mengucapkan terima kasih
banyak kepada Ade Nursania Arista yang telah banyak meluangkan waktu
dan pikiran demi selesainya skripsi ini. Untuk semua sahabat-sahabatku
yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas
bantuannya, motivasi dan waktu yang telah kita lalui bersama temanteman sehingga penulis tetap semngat.
15. Kepada teman-teman pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
Hukum UHO periode 2015/2016 : Muhamad Triputra, Karmin Duhara,
Pratno Kurniawan, Koko Najirun, Andi Dedi Setiadi, Erfan Andika Putra,
Andi Panaongi, Dan Devi Nurfadila Abas.
16. Kepada Teman-Teman Asrama Suci : La Rino, Arsid, Asmin Garusu, Ahli
Nur, Muhamad Ricoh, Arwin,Candra, Beniar, Suparman, Muhar, Yances,
Filman Ode, Wa Mili, Krisman, dan seluruh anak-anak asrama suci yang
tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu
17. Kepada teman-teman KKN nusantara 2016 desa Tombeleu Kecamatan
Lalembu Kabupaten Konawe Selatan : Arbwan, Ali Imran, Saum Ratman,
Indi, Waode Asriani, Risnawati Walelei, Endah Harizhotul, dan semua
warga desa tombeleu yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu
persatu. Terima kasih banyak atas bantuan dan kerja samanya selama 45
hari kuliah kerja nyata (KKN).
Dengan memohon doa semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan
membalas budi baik kita semua, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan khususnya bagi disiplin ilmu
hukum. Amin Yarobal Alamin
Kendari,
Agustus 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
iii
ABSTRAK .................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...............................................................................
v
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang ................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ..........................................................................
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................
8
A. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia ................................
8
1. Pengertian Hak Asasi Manusia .................................................
8
2. Klasifikasi Hak Asasi Manusia .................................................
11
B. Tinjauan Umum Tentang Terorisme ...............................................
14
1. Pengertian dan Sejarah Terosis di Indonesia ............................
14
2. Tindak Pidana dan Subjek tindak pidana terorisme ..................
16
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penganiayaan .................
20
1. Pengertian Tindak Pidana .........................................................
20
2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan ..................................
22
3. Karakteristik Umum Tindak Pidana Penganiayaan ..................
25
D. Tinjauan Umum Tentang Penangkapan ..........................................
30
1. Pengertian Penangkapan ...........................................................
30
2. Persyaratan Penangkapan ..........................................................
30
BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................
33
A. Jenis Penelitian ................................................................................
33
B. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum .............................................
33
C. Sumber Bahan Hukum ....................................................................
34
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .............................................
35
E. Langkah-Langkah Penelitian Hukum .............................................
36
F. Teknik Analisis Bahan Hukum .......................................................
37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .........................
38
A. Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Jo Pasal 26 Dan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Dalam Prosedur Penangkapan Terhadap
Teroris .............................................................................................
38
B. Kesesuaian Prosedur Penangkapan Dengan Peraturan PerundangUndangan ........................................................................................
58
BAB V PENUTUP .....................................................................................
64
A. Kesimpulan .....................................................................................
64
B. Saran ................................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana terorisme merupakan perkara pidana luar biasa (extra
ordinary crimes) yang dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dan
ketertiban masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Tindak
pidana ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kejahatan
terhadap kemanusiaan khusunya bagi korban maupun terduga yang dapat
mengalami kerugian baik secara moril maupun materil yang dapat
berpengaruh bagi kelangsungan hidupnya maupun keluarganya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, di
samping memberikan manfaat yang sangat besar bagi umat manusia pada
umumnya dengan segala manfaat dan kemudahan yang dinikmati oleh umat
manusia, pada sisi lain juga menimbulkan berbagai jenis kejahatan baru.
Beberapa jenis kejahatan yang timbul akibat dari perkembangan sains dan
teknologi, antara lain adalah: kejahatan genosida, kejahatan terorisme,
kejahatan penerbangan, kejahatan pemalsuan mata uang, kejahatan komputer
dan lain sebagainya. Pada dasarnya, semua jenis kejahatan tersebut tumbuh
dan berkembang tidak lepas dari kemajuan sains dan teknologi dalam bidang
itu masing-masing1.
1
hlm.125.
Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, CV. Yrama Widya, Bandung, 2006,
Teorisme bukan hanya kejahatan yang mengancam dan merusak
keamanan dan keutuhan suatu bangsa dan negara, tetapi juga merusak tatanan
dan kedamaian masyarakat internasional. Harmonisasi global dapat terkoyak
karena bisa jadi masing-masing negara saling mencurigai dan mengecam
negara lain. Hal ini disebabkan ada di antara tersangka atau pelakunya berasal
dari negara tersebut Aksi terorisme dapat terjadi kapan pun di mana pun dan
menimpa siapa pun tanpa pandang bulu. Kerugian yang ditimbulkan oleh aksi
terorisme sangat besar. Maraknya aksi teror yang terjadi dengan jatuhnya
banyak korban telah membuktikan bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(rechstaat) dan bukan atas dasar kekuasaan belaka (machtstaat), itu berarti
bahwa segala aspek kehidupan bernegara harus berdasarkan atas hukum. Dan
hukum itu tidak boleh memihak pada suatu individu maupun golongan
tertentu. Hukum itu ada untuk melindungi hak, termasuk hak asasi manusia
yang dari tahun ke tahun tetap saja ada pelanggaran yang berhubungan dengan
hak yang paling hakiki tersebut. Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan
atau atau program dari pembuat undang- undang mengenai apa yang akan
dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan
atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan2.
2
Arief Barda Nawawi, Beberapa Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, PT.Citra Adyta Bakti, Bandung, 1998, hlm. 60
Berdasarkan kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya,
perlindungan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme
merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan
keadilan, dan hak untuk tidak disiksa. Hak asasi ini bersifat langgeng dan
universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal-usul,
jenis kelamin, agama, serta usia, sehingga setiap negara berkewajiban untuk
menegakkannya tanpa terkecuali.
Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka dengan mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang ada, demi tidak terjadinya kesalahan
prosedur dalam proses pengangkapan maka setiap langkah yang harus
dilakukan harus sesuai peraturan yang berlaku. Dalam Undang-undang nomor
8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana mengatur mengenai prosedur
penangkapan terhadap pelaku tindak pidana.
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum tersebut, maka segala bentuk
ancaman kekerasan fisik dan psikis, intimidasi dan teror bagi setiap orang
merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia, yang ketika prosedur
penangkapan tidak sesuai maka secara tidak langsung hak-hak terduga
maupun tersangka tersebut dilanggar. Untuk itu ada perlindungan hak asasi
manusia secara hukum terhadap korban maupun orang yang diduga
melakukan tindak pidana terorisme. Akan tetapi permasalahan yang sering
terjadi dimasyarakat yaitu ketidak sesuaian antara regulasi yang ada dengan
penerapan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum. seperti kasus yang
dialami oleh siyono misalnya.
Merujuk pada kasus kematian yang dialami oleh Siyono masih banyak
kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Kekerasan (KontraS) menyatakan pemberantasan terorisme oleh
Detasemen Khusus 88 tidak diiringi akuntanbilitas. Hal ini terlihat dari kasus
tewasnya Siyono, 33 tahun, terduga teroris asal Klaten. KontraS beranggapan
banyak pelanggaran yang dilakukan polisi. Pernyataan Markas Besar Polri
Siyono tewas karena melawan seorang petugas yang sedang mengawalnya.
Menurut Staf Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS, hal tersebut
janggal karena standarnya minimal ada dua orang mengawal tersangka.
"Apalagi ini kasus terorisme KontraS mempertanyakan keterangan polisi yang
menjelaskan bahwa Siyono adalah panglima salah satu kelompok teroris.
Menurutnya, fakta tersebut kabur dan berasal dari sumber yang tidak jelas3.
Menurut Satrio pernyataan polisi hanya upaya memperkuat kesan bahwa
kematian Siyono karena ia berbahaya dan Karena beliau sudah tewas, jadi
tidak bisa mengkonfirmasi ini. Satrio menambahkan bahwa polisi harus
menunjukkan berita acara pemeriksaan (BAP) bila mereka menganggap
Siyono seorang panglima berasal dari pengakuannya. Dan kalau itu
pengakuannya polisi seharusnya menunjukan berita acara pemeriksaan.
Kejanggalan lainnya terdapat pada jenazah Siyono. Menurut Satrio, tidak
masuk akal bila siyono tewas karena berkelahi dengan satu orang. Selain itu,
kondisi jenazah tidak sesuai dengan keterangan tewas akibat kepala Siyono
dibenturkan ke badan mobil. Luka yang ditemukan yatu ada memar pipi, mata
3
http://www.geoogle.com/Apa Saja Kejanggalan dalam Kematian Siyono, Terduga
Teroris-hukum-tempo.co.htm/ Diakses pada tanggal 9 april 2016
lebam, hidung patah, kaki dari paha hingga betis bengkak dan memar, kuku
kaki hampir patah, dan keluar darah dari belakang kepala. KontraS menduga
ada penyiksaan yang terjadi terhadap Siyono dan meminta polisi menyelidiki
kembali dan menindak pelakunya. Polisi seharusnya tidak kekurangan bukti
untuk menindak anggotanya karena jenazah Siyono sudah divisum. Selain
kejanggalan tersebut, KontraS juga mencatat beberapa pelanggaran yang
dilakukan oleh Densus 88, antara lain pelanggaran administrasi. Petugas tidak
menunjukkan surat perintah mulai dari penangkapan hingga penggeledahan
rumah Siyono4.
Mengenai
akuntabilitas
kinerja
aparat
penegak
hukum
dalam
pemberantasan terorisme dalam hal ini mengenai prosedur penangkapan .
Undang-Undang pemberantasan tindak pidana terorisme belum membahas
secara spesifik bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas aparat penegak
hukum dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme. Tidak adanya
mekanisme akuntabilitas tercermin pada saat dilakukan penagkapan terhadap
terduga teroris. Kasus salah tangkap yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum tidak hanya satu dua kali terjadi penyiksaan selama proses
pemeriksaan bahkan berakibat pada kematian seperti kasus siyono. Dalam
kerangka hak asasi manusia , tindakan tersebut masuk dalam pembunuhan
yang dilakukan diluar system hukum tanpa putusan pengadilan.
Menyadari akan pentingnya perlindungan hukum terhadap seseorang yang
diduga melakukan tindak pidana terorisme yang yang kemudian menjadi
4
Ibid
korban salah tangkap, khsusnya dari berbagai bentuk upaya sewenang-wenang
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang kemudian prosedur
penangkapannya tidak sesuai regulasi yang ada, hingga menyababkan
hilangnya nyawa orang. Maka penulis bermaksud melakukan penelitian
tentang “Aspek Hukum Pidana Penangkapan Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Teroris Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah prosedur penangkapan
dugaan teroris memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP jo Pasal 26 dan
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui Apakah prosedur penangkapan
dugaan teroris memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP jo Pasal 26 dan
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
1. Untuk menambah dan memperdalam pengetahuan penulis dibidang
hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut pengaturan
tentang prosedur penangkapan terhadap dugaan pelaku teroris .
2. Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti
sehingga hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan masukan dan pemikiran serta menambah pengetahuan
mengenai permasalahan yang diteliti.
b. Manfaat praktis
1. Sebagai wawasan dan menambah pengetahuan tentang peraturanperaturan yang berlaku dalam prosedur penangkapan terhadap dugaan
pelaku teroris.
2. Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa yang akan menulis skripsi pada
bidang yang sama dan sebagai sumbangan untuk melengkapi
pembendaharaan dan referensi bagi perpustakaan fakultas dan
universitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat bagi setiap
orang, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat harus
dihormati dan dihargai sesuai dengan martabat manusia, dan menolak
apabila diperlakukan dengan sewenang-wenang. Konsep awal secara
umum hak asasi manusia diketengahkan oleh Jan Martenson dari komisi
hak asasi manusia PBB yang mengatakan bahwa5 :
“human rights could be generally defined as those rights which are
inherent I our nature and without which we cannot live as human
being” (hak asasi manusia ialah hak-hak yang melekat pada sifat
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia).
Hak asasi (fundamental rights) untuk memahami hakikat Hak Asasi
Manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak.
Secara definitif “Hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai
pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin
adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya 6.
Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut7 :
a. Pemilik hak
b. Ruang lingkup penerapan hak
5
Muntaha. Penerapan Asas Opurtunitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia. Genta
Publishing. Yogyakarta. 2014. hlm 123
6
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani .
Jakarta. Prenada Media. Jakarta. 2003. hlm 199
7
Ibid, hlm. 199
c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak
Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak.
Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara
individu atau dengan instansi.
Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya
dengan pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori Mc Closkey dan teori
Joel Feinberg. Menurut teori Mc Closkey dinyatakan bahwa pemberian
hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan
dalam teori Joel Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak penuh
merupakan kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan yang didapat dari
pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian
keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak bila disertai dengan
pelaksnaan kewajiban. Hal itu berarti anatara hak dan kewajiban
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya.
Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus melakukan
kewajiban8.
Hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia itu menjamin setiap orang
untuk menentukan isi jiwanya sendiri, untuk melahirkan isi jiwanya itu
melalui suara atau aktivitas lain dan mengembangkan aktivitas itu secara
perorangan
8
Ibid, hlm. 200
maupun
berorganisasi
dengan
orang
lain
menurut
kehendaknya, tanpa gangguan atau paksaan dari orang lain. Hardjowirogo
(1981 : 7) mengungkapkan bahwa :
“Hak-hak manusia ialah hak-hak yang memungkinkan kita tanpa
diganggu gugat menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara
sebagai warga negara dari suatu kehidupan”.
John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang
kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat
mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup
dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa
terlepas dari dan dalam kehidupan manusia9.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 disebutkan bahwa :
“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiaporang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”.
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh
suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri
manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah
Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu,
masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan
perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi
manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan
9
Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
dan Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hlm 3
antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum10.
Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM,
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu,
pemerintah, bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak
terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga
dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak
kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu pemenuhan,
perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan
kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara11.
2. Klasifikasi Hak Asasi Manusia
Aswanto (2008, Bahan Kuliah PPS Doctor Ilmu Hukum UNHAS),
mengemukakan
bahwa
hak
asasi
manusia
secara
umum
dapat
dikelompokkan dalam empat kelompok sebagai berikut :
a. Civil Rights
Civil rights didalamnya meliputi :
1. Integrity rights, terliput didalamnya :
a. Rights to live (Hak untuk hidup dan mempertahankan
kehidupan)
b. No death penalty (Penghapusan hukuman mati)
c. No torture (Larangan perbudakan)
10
11
Ibid, hlm 201
Ibid, hlm 202
d. F reedom of recidence (Hak untuk memilih tempat tinggal)
e. Freedom of movement (Kebebasan bergerak)
f. Rights to leave any country (Hak untuk memilih Negara
domisili)
g. Rights to return (Hak untuk kembali kenegara asal)
h. Protection of privacy (Perlindungan hak pribadi)
i. Honour and reputation (Pemulihan kehormatan dan nama baik)
j. Protection of property (Perlindungan terhadap hak-hak
kepemilikan)
k. Freedom of thought (Kebebasan untuk mengemukakan pikiran
dan pendapat)
l. Conscience and religion (Penghormatan terhadap keyakinan
beragama)
m. Right
to
seek
asylum
from
persecution
(Hak
untuk
mendapatkan suaka untuk terbebas dari pengejaran atau
tuntutan dari negara)
n. Rights
to
nationality
(Hak
untuk
mendapatkan
kebangsaan/kewarganegaraan)
o. Rights to family life (Hak untuk hidup berkeluarga)
2. Due Process Right, meliputi :
a. No arbitrary arrest, no detention or exile (Larangan
penangkapan,penahanan
pengasingan)
secara
sewenang-wenang
dan
b. Right to effective remedy (Hak untuk pemulihan nama baik)
c. Right to fair trial (Hak untuk mendapatkan proses hukum
melalui pengadilan yang adil)
d. Equality before the courts (Hak mendapatkan perlakuan yang
sama dimuka pengadilan)
e. Right to the accused (Hak terdakwa untuk membela diri)
f. Nulla poena sine lege (Tidak adanya hukuman tanpa adanya
kesalahan)
b. Political Rights
Political rights didalamnya meliputi :
1. Opinion and expression (Hak kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dan pikiran)
2. Assembly and association (Hak untuk berserikat dan berkumpul)
3. Take part in government (Hak turut serta ambil bagian dalam
pemerintahan)
4. Equal access to public service (Hak untuk mendapatkan akses
pelayanan public yang sama)
5. Elect and be elected (Hak untuk memilih dan dipilih)
c. Socio Economic Rights
Socio economic rights didalamnya meliputi :
1. Right to work (Hak untuk bekerja)
2. Equal pay for equal work (Hak untuk mendapatkan upah yang
sama dari pekerjaan yang sama)
3. No forced labour (Larangan adanya kerja paksa)
4. Trade union (Serikat pekerja/buruh)
5. Organize and bargaining (Mengatur dan tawar menawar)
6. Restand leisure (Hak cuti dan libur)
7. Adequate standard of living (Standar hidup yang layak)
8. Right to food (Hak untuk mendapatkan makanan)
9. Right to health (Hak untuk mendapatkan kesehatan)
10. Right to housing (Hak untuk mendapatkan tempat tinggal)
11. Right to education (Hak untuk mendapatkan pendidikan)
d. Cultural Right
Cultural right didalamnya meliputi :
1. Take part in cultural life (Hak berperan serta dalam kehidupan
budaya)
2. To benefit from scientific progress (Hak memperoleh manfaat dari
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan)
3. Protection of anothership and copy right (Perlindungan terhadap
hak cipta)
4. Freedom in scientific research and creative acivity (Kebebasan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian)
B. Tinjauan Umum Tentang Terorisme
1. Pengertian dan Sejarah Teroris di Indonesia
Definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan
meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan definisi yang
seragam menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak sertamerta meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara
mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah
dan menanggulangi terorisme12.
Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang
kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga
bisa menimbulkan kengerian akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada
definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya
istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang
sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil
yang tidak berdosa13.
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk
mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang . Dari
segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata
Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal
dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang
berarti takut14.
Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu
musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama
12
Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat
Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.2001.hlm 17
13
Ibid, hlm18-19
14
Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia, Jakarta: Grafindo.2005.hlm 62
yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan
teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk
mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah
kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang
diserang. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal
terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga
yang tidak puas sampai pada non komformis politik. Aksi terorisme dapat
dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif
dari pernyataan perang secara terbuka.
Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil
menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain
paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan
oleh kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima daripada yang
dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan
karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang
terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap
penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian
muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara
kekerasan yang dilakukan oleh Negara dengan terorisme, hanyalah sebatas
bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi ,
korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anakanak, kaya miskin, siapapun dapat diserang.
Terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga sepatutnya
tetap dianggap sebagai tindakan kriminal. Pada umumnya orang sipil
merupakan sasaran utama terorisme, dengan demikian penyerangan
terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan
terorisme.
2. Tindak Pidana dan Subjek Tindak Pidana Terorisme
Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum
pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu :
a. Perbuatan yang dilarang;
b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;
c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar itu.
Penggunaan salinan istilah yang berbeda menunjukan adanya
perbedaan dalam isi pengertian, yang berakibat pula adanya perbedaan
dalam isi pengertian itu. Dengan kata lain, tiap pengertian memiliki esensi
atas unsure yang berbeda. Demikian anggapan pada umumnya, tetapi
penggunaan istilah yang berbeda tidak menjadi kemutlakan bahwa istilah
yang berbeda memiliki isi yang berbeda pula.
Hattum mengatakan, bahwa tindak pidana itu perbuatan oleh karena
mana sesorang dapat dipidana. Pompe membedakan pengertian strafbaar
feit antara:
1. Strafbaar feit yaitu suatau pelanggaran terhadap norma, yang
dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam dengan pidana
untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesehjateraan
umum (definisi menurut teori).
2. Strafbaar feit adalah suatu feit (kejadian) yang oleh peraturan undangundang dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum (definisi menurut
hukum positif),
Moeljatno (1969:83) mengatakan, perbuatan pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Lebih lanjut ia
menjelaskan mengenai perbuatan pidana ini menurut wujudnya atau
sifatnya, perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang melawan hukum.
Perbuatan yang merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan
atau menghambat akan terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat
yang dianggap baik dan adil.
Pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah
seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusanperumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakan daya
berpikir sebagai syarat bagi subyek tindak pidana itu, juga terlihat pada
wujud hukuman/pidana termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman
penjara, kurungan dan denda.
Pada umunya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia/orang
pribadi oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenai orang,
seorang/kelompok orang sebagai subjek hukum. Subjek hukum/pelaku
pencemaran lingkungan hidup berdasarkan bunyi Pasal 55 KUH Pidana
maka yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana adalah :
1. Orang yang melakukan (pleger)
2. Yang menyuruh melakukan (member perintah) don pleger
3. Orang yang turut serta melakukan (dader), dan
4. Orang yang membujuk melakukan.
Eksistensi
pertanggungjawaban
dapat
diawali
dengan
kata
pertanggungjawaban, yang kata dasarnya adalah tanggungjawab, yang
berarti keadaan wajib untuk menanggung segala sesuatu (kalau terjadi
sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan). Sedangkan pertanggungjawaban
berarti perbuatan bertanggungjawab, sesuatu yang dipertanggungjawabkan
(Moeliono, 1990:899). Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja
dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan tindak pidana
dan terbukti bersalah/dapat dicela. Jadi yang dimaksud dengan
pertanggungjawaban pidana adalah dikenakannya penderitaan yang
sengaja dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang terbukti
melakukan tindak pidana dan dapat dipersalahkan atau dapat dicela.
sehingga dijalaninya pidana oleh seseorang yang bersalah karena telah
melakukan tindak pidana merupakan wujud tanggung jawab pidana yang
harus diterima.
Setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya
harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban
pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskaannya celaan
yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana
berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada
pembuat yang memenuhi persyaratan unutk dapat dikenai pidana karena
pebuatannya tersebut. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas,
sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Hal
ini mengandung arti bahwa pembuat/pelaku tindak pidana hanya dapat
dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana
tersebut. Kapan seorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal
yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang
mempunyai kessalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana,
dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatan
tersebut15.
Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002
yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai
dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia,
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme
sebagai berikut : tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsure-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan undangundang ini ( Pasal 1 ayat (1) ).16
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penganiayaan
1. Pengertian Tindak Pidana
15
Abdul Wahid, Dkk. Kejahatan Terorisme Pprespektif Agama, HAM Dan Hukum.
Rifika Aditama, Bandung, 2014. hlm 73
16
Ibid, hlm 76
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeit”17 di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yaitu
yang dulu bernama wetboek van Strafrecht voor Indonesia merupakan
semacam.
Menurut Pompe, pengertian tindak pidana adalah suatu pelanggaran
norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja
ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.18
Menurut Simon, pengertian tindak pidana merupakan tindakan
melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakannya
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.19
Menurut E.Utrech, pengertian tindak pidana dengan istilah peristiwa
pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan
(handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-negatif),
maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau
melalaikan itu)20
17
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Depok, 2012, hlm 5
18
http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/2958/06bab2_irawan
_10040010083_skr_2015.pdf?sequence=6&isAllowed=y/ diakses pada tanggal 18 agustus
2016
19
20
Ibid
Ibid
Para pakar hukum pidana menerjemahkan istilah tersebut dengan cara
yang berbeda, sesuai dengan cara pandang masing-masing mengenai
hukum pidana itu sendiri. Wirjono Prodjodikoro mengatakan tindak
pidana adalah “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.21
”adalah “Perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan
yang mana dilakukan oleh seseorang yang dipertanggung jawabkan, dapat
diisyaratkan kepada pelaku.” 22
2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan,
yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada
KUHP hal ini disebut dengan penganiayaan, tetapi KUHP sendiri tidak
memuat arti penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai : “perlakuan yang sewenangwenang...” Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia
tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang
menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud
dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.
Roeslan saleh menuliskan, bahwa orang baru akan dipidana apabila
mempunyai unsur kesalahan, sebagaimana salah satu asas yang dikenal
dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana apabila tidak ada kesalahan.
Suatu perbuatan akan menjadi perbuatan pidana apabila terdapat unsur
yang dilarang, atau aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana,
21
Sudarto, Op.Cit, hlm 42
Kamsil, C.S.T,Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, PT. Sinar Grafika Jakarta,
1994, hlm. 106
22
sedangkan mengenai sifat dari perbuatan tersebut akan dikenakan dengan
adanya unsur melawan hukum.23
Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja membuat pengertian penganiayaan
ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan
tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain,
tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan
untuk menambah keselamatan badan kemudian ilmu pengertian (doctrine)
mengartikan penganiayaan sebagai “setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”24
H.R (hooge Raad), menjelaskan penganiayaan adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada
orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan
tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang
diperkenankan.25
Simon merumuskan, strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakan dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum.26
23
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban, Rineka Cipta, Jakarta,
1983 hlm 13
24
Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
Armico, Bandung, 1985, hlm 83
25
Ibid, hlm 83
26
Leden Marpaung,Tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh,Sinar Grafika, Jakarta,
1999, hlm. 8
Pengertian penganiyayaan adalah sebagai berikut: “Menganiyaya ialah
dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi
perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat
dianggap sebagai penganiyayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk
menambah keselamatan badan”27
Penjelasan Mentri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351
KUHP dirumuskan, antara lain:
1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan
penderitaan badan kepada orang lain, atau
2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan
kesehatan badan orang lain.28
Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin,
penganiyayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Bertolak
dari
adanya
kelemahan
yang
cukup
mendasar
tersebut,
dalam
perkembangan muncul yurisprudensi yang mencoba menyempurnakan
Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari 1902, yang secara substansial
menyatakan:
“Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan,
melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang
patut, maka tidaklah ada penganiyayaan. Contohnya dalam batas- batas
yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang
anak.”29
27
Ibid, hlm 5
Ibid, hlm 6
29
Tongat, Hukum Pidana Materil, Djambatan , Jakarta, 2003, hlm. 71
28
Adapun yang disimpulkan bedasarkan yurisprudensi, setiap perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja yang ditunjukan untuk menimbulkan rasa
sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiyayaan.
3. Karakteristik Umum Tindak Pidana Penganiayaan
Sekalipun akibat berupa luka berat pada korban dalam Pasal 351 Ayat
(2) KUHP bukan merupakan akibat yang dikehendaki, namun akibat lukaluka berat pada korban tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akibat luka
berat itu benar-benar akibat dari perbuatan pelaku dengan kata lain, antara
perbuatan penganiayaan dengan akibat yang ditimbulkan berupa luka
berat, harus ada hubungan kausal. Dalam hal ini untuk membuktikan
hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan penganiayaan yang
mengakibatkan luka berat pada korban. Aparat hukum dapat meminta
bantuan kepada yang berkomponen yaitu dokter.30
Perumusan mengenai penganiayaan secara yuridis memiliki penjelasan
bahwa perbuatan tersebut berarti berbuat sesuatu dengan tujuan (oogmerk)
untuk mengakibatkan rasa sakit. Dan, memang inilah arti dari kata
penganiayaan. Sedangkan menurut
Pasal 351 Ayat (4) KUHP,
penganiayaan disamakan dengan merugikan kesehatan orang dengan
sengaja. Dengan demikian, unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud
tujuan (oogmerk), tidak seperti unsur kesengajaan dari perbuatan. Apabila
30
Ibid, hlm, 82
suatu penganiayaan menbgakibatkan luka berat, maka sesuai Pasal 351
Ayat (2) KUHP maksimum hukuman dijadikan 5 (lima) tahun penjara.
Akibat ini harus dituju dan juga harus sengaja karena KUHP telah
tindak pidana penganiayaan berat kedalam Pasal 345 Ayat (2) KUHP
maksimal hukuman dijadikan 5 (lima) tahun penjara dan Pasal 354 Ayat
(1) KUHP dengan maksimum hukuman delapan tahun penjara. 31 Akan
tetapi akibat dari penganiayaan fisik, tidak selalu mengakibatkan luka
ringan saja, melainkan juga menimbulkan luka berat. Definisi mengenai
luka berat yang dimaksud terdapat dalam KUHP, Istilah luka berat sesuai
Pasal 90 KUHP :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahya maut;
b. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian;
c. Kehilangan salah satu pancaindra;
d. Mendapat cacat berat;
e. Menderita sakit lumpuh;
f. Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih;
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.32
Tindak pidana penganiyayaan merupakan perbuatan dengan berupa
sakit atau luka pada tubuh, itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya
dari pelaku. Artinya pelaku memang menghendaki timbulnya rasa sakit
31
M. Ahmad Zulfikar, Tindak Pidana Penganiayaan Anggota Polri, Universitas Khatolik
Parahiyangan, Bandung, 2008, hlm 8-9
32
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP , Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm, 39
atau luka dari perbuatan (penganiyayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk
adanya penganiyayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada
tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit
atau luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana
mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi
penganiyayaan.33
Jenis-jenis dari penganiayaan yang diatur dalam KUHP diantaranya
adalah:34
a. Penganiyaan Biasa Pasal 351 KUHP
Perumusan tentang tindak penganiayaan biasa merupakan perumusan
yang paling singkat dan sederhana. Ketentuan Pasal 351 KUHP hanya
menyebutkan kualifikasinya saja tanpa mengurangi unsur-unsurnya. Oleh
Karena Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan kualifikasinya saja, maka
berdasarkan rumus Pasal 351 KUHP tersebut tidak jelas pebuatan yang
serperti apa yang dimaksud. Sebagai kelaziman yang berlaku dalam
hukum
pidana,
dimana
terhadap
rumusan
pidana
yang
hanya
kualifikasinya biasa ditafsirjkan secara historis, maka penafsiran terhqadap
Pasal 351 KUHP tyersebut juga dityempuh nerdasrkan penafsiran historis.
Apabila ditelusuri sejarah pembentukan Pasal 351 KUHP awalnya
terdapat kelaziman rumusan Pasal-Pasal dalam KUHP yang merupakan
33
34
Ibid, hlm 41
Moeljatno, Op.Cit , hlm, 125
unsur-unsur perbuatan dan juga akibat yang dilarang, unsur penganiayaan
itu sendiri yaitu :
a. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa
sakit atau penderita pada tubuh orang lain
b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak
kesehatan tubuh orang lain.
Secara yuridis formal sebenarnya tidak ada Pasal atau ayat yang
menunjukan adanya perbedaan antara kedua istilah tersebut sebab dalam
konteks KUHP tidak ada batasan tentang apa yang dimaksud dengan luka.
KUHP hanya memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud luka
berat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 90 KUHP. Sementara tentang
luka sama sekali tidak disinggung. Secara doktrin, istilah luka dalam
konteks Pasal 351 Ayat (1) KUHP diartikan sebagai luka ringan.
Penggunaaan istilah luka ringan tersebut atas pertimbangan, bahwa dalam
konteks Pasal 351 Ayat (2) KUHP dikenal istilah luka berat. Dengan
demikian, menurut doktrin istilah luka dalam konteks Pasal 351 Ayat (1)
KUHP harus diartikan sebagai luka ringan sebagai lawan dari istilah luka
berat dalam kontekas Pasal 351 Ayat (2) KUHP.
b. Penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP
Penganiaayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimal hukuma
penjara 3 (tiga) bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk
rumusan Pasal 353 KUHP dan Pasal 356 KUHP, dan tidak menyebabkan
sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Dalam
praktek, ukuiran ini adalah bahwa sikorban harus dirawat dirumah sakit
atau tidak, hukuman ini bias ditambah dengan sepertiga bagi orang yang
melakukan penganiayaan ringan terhadap orang yang bekerja padanya atau
yang ada dibawah perintahnya.
Jenis tindak pidana ini berbeda dengan penganiayaan lain yang
diberlakukan
diindonesia
berdasarkan
asas
konkordansi,
maka
penganiayaan ringan merupakan pengecualian dari asas konkordansi.35
c. Penganiayaan berat yang direncana terlebih dahulu Pasal 355 KUHP
Berdasarkan rumusan Pasal 355 KUHP terlihat, bahwa penganiayaan
berat direncanakan terlebih dahulu yang tidak menimbulkan kematian.
Jenis penganiayaan ini sering disebut sebagai pengnaiayaan berat
berencana biasa. Dalam pengnaiayaan ini luka berat itu memang
merupakan akibat yang dikehendaki oleh pelaku sekaligus yang
merencanakannya terlebih dahulu. Sedangkan pengnaiayaan berat yang
direncana terlebih dahulu menimbulkan kematian, namun matinya korban
dalam tindak pidana ini bukanlah akibat yang dikehendaki oleh pelaku.
Kematian yang timbul dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat
yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan, sebab apabila kematian
merupakan akibat yang dituju makan yang terjadi bukanlah penganiayaan
melaikan pembunuh yang diatur dalam Pasal 338 KUHP.36
D. Tinjauan Umum Tentang Penangkapan
1. Pengertian Penangkapan
35
36
75
Tongat, Op.Cit , hlm, 84.
Wirjono Prodijodikoro,perbuatan melanggar hukum, Mandar maju, Jakarta, 2003, hlm
Sering
dikacaukan
pengertian
penangkapan
dan
penahanan.
penangkapan sejajar dengan arrest (inggris), sedangkan penahanan sejajar
dengan detention (inggris). Jangka waktu penangkapan tidak lama. dalam
hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat dilakukan setiap orang)
hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi
terdekat. Sesudah sampai dikantor polisi atau penyidik, maka polisi atau
penyidik dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentuka tersangkanya
dapat ditahan.37
Pasal 1 butir 20 KUHAP member definisi “penangkapan” sebagai
berikut:
“penangkapan
adalah
suatu
tindakan
penyidik
berupa
pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan
dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”.38
2. Persyaratan Penangkapan39
Untuk
mencegah
tersangka/terdakwa
terjadinya
secara
tindakan
sewenang-wenang,
terhadap
maka
terhadap
pelaksanaan
penagkapan harus dilakukan sesuai dengan persyaratan/ketentuan yang
diatur dalam KUHAP, yaitu sebagai berikut :
a. Tindakan
penangkapan
dilakukan
untuk
kepentingan
penyidikan/penuntutan/peradilan (Pasal 1 butir 20 KUHAP)
37
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta.2014. Hlm 128
Ibid, Hlm 128
39
HMH
Kuffal,
Penerapan
KUHAP
dalam
Praktik
Hukum,Umm
Press,Malang,2010.Hlm 58
38
b. Perintah penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras
melakukan tindak pidana, baru dapat dilakukan apabila penyidik telah
memiliki alat bukti permulaan yang cukup (Pasal 1 butir 20 jo 17
KUHAP).
c. Pelaksanaan
penangkapan
dilakukan
dengan
surat
perintah
penangkapan (model serse:A-5) yang ditandatangani kepala kesatuan
/instansi(KAPOLWIL,
KAPOLRES
atau
KAPOLSEK)
selaku
penyidik ( Pasal 1 butir 20 jo 16 Ayat (2) KUHAP).
Apabila
yang
melaksanakan
penangkapan
adalah
penyidik/penyidik pembantu, maka petugasnya cukup memberikan
satu lembar surat perintah penangkapan kepada tersangka dan satu
lembar kepada keluarga tersangka yang ditangkap (Pasal 18
KUHAP). Kalau pelaksanaan penagkapan dilakukan oleh penyelidik
atas perintah penyidik/penyidik pembantu, maka petugas tersebut
selain memberikan surat perintah penangkapan harus pula dapat
menunjukan surat perintah tugas (model serse:C.3).
d. Surat perintah penangkapan berisi:
1. Pertimbangan dan dasar hukum tindakan penangkapan
2. Nama-nama petugas, pangkat, Nrp, jabatan
3. Identitas tersangka yang ditangkap (ditulis secara lengkap/jelas)
4. Uraian singkat tentang tindak pidana yang dipersangkakan
5. Tempat/kantor dimana tersangka akan diperiksa (Pasal 18 Ayat
(1) KUHAP)
6. Jangka waktu berlakunya surat perintah penangkapan (Pasal 19
Ayat (1) KUHAP)
e. Setiap kali selesai melaksanakan SPRIN penangkapan petugas
pelaksana membuat berita acara penangkapan (Pasal 75 KUHAP)
f. Selain untuk kepentingan penyidikan, penyidik/penyidik pembantu
berwenang
melakukan
tersangka/terdakwa
kepentingan
atas
penuntutan,
tindakan
permintaan
atau
atas
penangkapan
terhadap
penuntut
umum
untuk
permintaan
hakim
untuk
kepentingan peradilan atau atas permintaan instansi/penyidik lain atau
Interpol (Pasal 7 Ayat (1) huruf j jo Pasal 1 butir 20 KUHAP)
g. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran, meskipun tidak dapat
ditangkap akan tetapi apabila sudah dipanggil secara sah dua kali
berturut-turut tidak mau memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah,
dapat ditangkap oleh penyidik (Pasal 19 ayat (2) KUHAP).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode normatif.
penelitian normatif adalah tipe penelitian yang berdasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian penulis.
Dengan penelitian normatif ini, penulis mengkaji asas dan peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan isu hukum yang diajukan.
B. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum
1. Pendekatan konseptual40
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dari
doktrin-doktrin yang berkembag dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, konsepkonsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
2. pendekatan perundang-undangan
Undang-undang ini dilakukan dengan cara menelaah materi
muatannya41 , kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan
sehingga member hasil telaah yang logis.
3. Pendekatan Kasus (Case Aprroach)
40
41
Peter Mahmud Marzuki,”penelitian hukum”, kencana, Jakarta, 2005, hlm 177
Ibid, hlm 35
Pada pendekatan kasus yang mana menganalisa kasus-kasus
pemberian tumpang tindih izin usaha pertambangan dan konflik
wewenang yang mempunyai kaitan dengan kewenangan pejabat
berwenang yang mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Selain itu,
riset ini menganalisa putusan hakim ratio decidendi yang bersifat
preskriptif42 dengan tujuan menemukan ratio decidenci yang mempunyai
hubungan dengan kewenangan pemerintah dan kerangka rumusan terhadap
maladministrasi dalam kewenangan pemerintah yang berimplikasi pada
suatu tindak pidana; dengan demikian, dari ketiga pendekatan tersebut
dapat membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang
dihadapi.43
C. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dibedakan antara lain :
1. Bahan hukum
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya bahan hukum ini mempunyai otoritas, bahan hukum
primer ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catan resmi, atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab undang-undang
hukum pidana
3. Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia
42
43
Ibid, hlm 119
Ibid, hlm 95
4. Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme
5. Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab undang-undang
hukum acara pidana
6. Peraturan kapolri nomor 23 tahun 2011 tentang prosedur
penindakan tersangka tindak pidana terorisme.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, skripsi, tesis, kamus-kamus
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan44.
c. Bahan non hukum45
Bahan non hukum adalah wawancara, dialog, kesaksian ahli
hukum di pengadilan, seminar, ceramah, dan kuliah.
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan penulisan
ini menggunakan:
1. Pengumpulan
bahan
hukum
yang
menggunakan
pendekatan
perundang-undangan yang dilakukan dengan mencari peraturan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti46.
2. Pengumpulan bahan hukum menggunakan pendekatan historis, yaitu
dilakukan dengan pengumpulan peraturan perundang-undangan,
44
Ibid, Hlm 181-195
Ibid, Hlm 204
46
Ibid, Hlm 237
45
putusan-putusan pengadilan, dan buku-buku hukum, yang mempunyai
relevansi dengan isu yang dibahas dalam penelitian47.
3. Mengumpulkan bahan hukum
yang menggunakan pendekatan
konseptual, yaitu penelusuran buku-buku hukum yang mengandung
konsep-konsep hukum48.
4. Melakukan pengumpulan bahan non hukum yang berupa wawancara,
dialog, kesaksian ahli hukum di pengadilan, seminar, ceramah, kuliah,
maupun disertasi bahan acuan lainnya yang digunakan untuk
penyusunan penelitian yang dibahas.
E. Langkah-Langkah Penelitian Hukum
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengiliminir hal-hal yang tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum.
2. Pengumpulan
bahan-bahan
hukum
dan
sekiranya
dipandang
mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum.
3. Melakukan telaah atas asas hukum yang diajukan berdasarkan bahanbahan hukum yang telah dikumpulkan49.
4. Menarik kesimpulan untuk menjawab isu hukum50.
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun
dalam kesimpulan.
Langkah-langkah ini sesuai dengan karakter ilmu hukum sebagai ilmu
yang bersifat sebagai preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat
47
Ibid, Hlm 238
Ibid, hlm 239
49
Ibid, hlm 241
50
Ibid, hlm 246
48
preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.
F. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisi normatif
kualitatif yaitu peneliti akan mendeskripsikan secara lengkap berdasarkan
fakta-fakta yng terungkap sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh dari
objek penelitian lalu dikorelasikan dengan undang-undang yang berlaku yang
berkaitan dengan proses penangkapan terduga terorisme khususnya undangundang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana dan undang-undang
nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Prosedur Penangkapan Terhadap Dugaan Pelaku Tindak Pidana
Terorisme Menurut Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Jo Pasal 26
Dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Peristiwa hukum pidana dalam penanganan penyidik tidak semua selalu
diawali dengan penangkapan, biasanya dalam kondisi tertentu saja penyidik
melakukan penangkapan, seperti misalnya tertangkap tangan, dan atau
tertangkap segera setelah melakukan tindak pidana. Dalam kasus-kasus
tertentu yang kemudian itu diatur alam undang-undang khusus misalnya,
seperti kasus tindak pidana terorisme. Pada kasus tindak pidana terorisme,
proses penangkapan ketika ada orang orang yang diduga melakukan tindak
pidana sedikit berbeda dengan hukum acara yang berlaku, akan tetapi itu
hanya berlaku ketika ada ketentuan yang tidak diatur dalam kitab undangundang hukum acara pidana.
1. Prosedur Penangkapan Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pada proses penyelesaian perkara pidana selanjutnya adalah penangkapan.
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat dugaan keras
bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana terorisme dan dugaan itu
didukung oleh bukti permulaan yang cukup guna kepentingan penyidikan dan
tuntutan dan atau peradilan. Dan untuk mendapatkan waktu yang cukup untuk
mendapatkan informasi yang akurat seorang penyidik diberi wewenang untuk
menangkap palin lama 24 jam dan apabila dalam waktu yang telah ditentukan
tersebut masih kurang maka penyidik diperkenankan untuk memperpanjang
penangkapan selama 48 jam dan harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan
Negri. Ketentuan seperti ini juga diterapkan di Undang-undang teroris
dikanada, dimana masa penangkapan dapat diperpanjang paling lama 72 jam
(Adnan Buyung, 2002:10).51
Berbeda halnya dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP, menurut Pasal
19 Ayat (1) KUHAP penangkapan hanya dapat dilakukan untuk waktu paling
lama satu hari dan tidak ada ketentuan dapat diperpanjang. Dasar
pertimbangan lamanya masa penangkapan dalam undang-undang nomor 15
tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, bahwa pelaku
terorisme memiliki jaringan yang luas dan tertutup, sehingga pelaku tindak
pidana terorisme masih ada jaringan yang lebih luas dibelakangnya. Oleh
karena itu untuk memperoleh dan mendapatkan informasi yang lebih jauh dan
lebih akurat diperlukan penambahan waktu masa penangkapan. Dan demi
efektivitas dan efisiensi, penangkapan sebaiknya dan hendaknya dilakukan
oleh penyidik pembantu (polisi). Dengan demikian, penyidik mendirikan surat
perintah kepada penyidik pembantu untuk melakukan penangkapan.
Namun,tersangka yang telah ditangkap penyidik pembantu harus segera
51
Abdul Wahid,Dkk, op.cit, Hlm 107
diserahkan kepada penyidik untuk segera dilakukan penyidikan. (Koesno Adi,
2003:10).52
Pada situasi-situasi khusus, seperti jika tertangkap tangan dalam kasus
terorisme ini maka dapat diartikan bahwa teroris (pelaku) tersebut tertangkap
ketika sedang melakukan aksi terorisme, misalnya sedang membajak,
menyandera, menculik atau memasang bom, atau para teroris tersebut
tertangkap beberapa saat setelah aksi mereka dilakukan. Ketika para teroris
sedang beraksi, sebenarnya setiap orang dapat menangkap. Tetapi pada
kenyataannya untuk menangkap teroris yang sedang beraksi dibutuhkan
keahlian tertentu yang hanya dimiliki oleh aparat (Polri dan TNI). Tentu saja
dalam hal ini baik Polri maupun TNI memanfaatkan satuan-satuan kontra
terror mereka. Bahkan dalam menangkap teroris yang beraksi dengan
membawa senjata nubika, diperlukan keahlian TNI dari satuan zeni tempur
untuk menangani situasi seperti ini. Setelah tertangkap, para teroris harus
segera diserahkan kepada penyidik (jaksa).53
Hal yang patut lebih ditekankan dalam penangkapan adalah cara-cara
penangkapan yang memperthatikan norma-norma kepatutan dan perlindungan
hak-hak tersangka. Sebab selam ini, penangkapan yang dilakukan oleh Polri
terkesan kurang menghargai hak-hak tersangka dan ada kecenderungan pamer
kekuasaan,54 seperti terlihat dalam kasus Siyono misalnya. Pasal yang
mengatur hal ini adalah Pasal 28 Undang-undang nomor 15 tahun 2003
menyatakan :
52
Ibid, Hlm 107
Ibid, Hlm 108
54
Ibid , Hlm 109
53
Pasal 28
“penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang
diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti
permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
untuk paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam”.
Penangkapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan atas bukti permulaan
yang berupa bukti dari intelejen, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
Pasal 26 ayat (2) Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme menyatakan bahwa sudah dapat atau
diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh ketua dan wakil ketua
Pengadilan Negri. Rumusan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang nomor 15
tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menyatakan :
”untuk
memperoleh
bukti
permulaan
yang
cukup,
penyidik
dapat
menggunakan setiap laporan intelejen”.
Hal lain yang patut dicermati dalam Undang-undang nomor 15 tahun 2003
ini adalah mengenai digunakannya laporan intelijen sebagai bukti permulaan
yang cukup sebagai suatu syarat untuk melakukan penyidikan.
Pasal 26
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap laporan intelijen ... dst.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang
cukup sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) harus dilakukan proses
pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri
(3) Proses
pemeriksaan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Ayat
(2)
dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
(4) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) ditetapkan
adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri
segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “laporan Intelijen” adalah laporan yang berkaitan
dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan
Intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar
Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM,
Departemen Keuangan, Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia,
Kejaksaan Agung Republik indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi
lain yang terkait.
Kata “dapat” dalam rumusan ini berarti bahwa suatu yang boleh digunakan
dan boleh tidak digunakan. Namun masalah yang perlu diperhatikan dalam
rumusan “penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen” ialah apakah
hanya dengan laporan intelijen saja sudah bisa dianggap memenuhi syarat
bukti permulaan yang cukup atau laporan intelijen tersebut hanya merupakan
tambahan saja sebagai standar terpenuhinya bukti permulaan yang cukup. Hal
itu tidak ada penjelasannya. Jika hanya dengan bukti “laporan intelijen” saja,
penyidik dapat melakukan penyidikan dengan melakukan penangkapan maka
penyidik akan dengan mudah melanggar hak pembelaan diri dari pihak yang
disidik atau tersangka.
Karena tidak jelasnya definisi dan standar dari “laporan intelijen” yang
bisa dipakai, maka implementasi dari Pasal 26 di atas dapat mendatangkan
suatu keputusan yang subyektif. Dan alat apa yang bisa dipakai oleh hakim
dalam menentukan bahwa sebuah laporan intelijen telah atau belum memenuhi
syarat sebagai “bukti permulaan yang cukup”.
Laporan intelijen mempunyai kualifikasi tertentu antara range satu sampai
dengan lima atas dasar seberapa jauh laporan tersebut dapat diandalkan dalam
arti dipastikan kebenarannya (wawancara dengan Mulyo Wibisono, seorang
ahli bin, Desember 2003)55. Karena laporan intelijen bersifat preventif, maka
jika semua laporan intelijen layak dijadikan bukti permulaan yang
cukupsebagai dasar penyidikan tindak pidana terorisme, hal tersebut
merupakan suatu langkah yang overprotektif, dan dapat membelenggu
kebebasan individu.
Bukti permulaan yang cukup seperti yang dimaksud dalam KUHAP untuk
melakukan penangkapan masih terdapat perbedaan pendapat di antara para
penegak hukum. Menurut Kapolri, dalam SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari
1982 ditentukan bahwa bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang
merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua di antara (1)
Laporan Polisi, (2) BAP di TKP, (3) Laporan Hasil Penyelidikan; (4)
Keterangan Saksi/Ahli dan (5) Barang Bukti.56
Menurut Rapat Kerja Makehjapol tanggal 21 Maret 1984 disimpulkan
bahwa bukti permulaan yang cukupseyogyanya minimal: Laporan Polisi
55
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1241/1146. diakses pada tanggal 1
september 2016
56
Ibid,
ditambah salah satu alat bukti lainnya57 Dikaitkan dengan peraturan di atas,
maka terdapat pertanyaan apakah laporan intelijen saja sudah cukup untuk
dilakukan penyidikan ataukah masih harus pula disertai dengan minimal satu
alat bukti yang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP ataupun
yang diatur baik oleh Raker Makehjapol atau SK Kapolri.
Sebagaimana bunyi Pasal 26 ayat (3), pemeriksaan sebuah laporan
intelijen bisa dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup dilakukan
secara
tertutup oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Dalam
pemeriksaan tertutup itu, bagaimana cara hakim dalam menimbang sebuah
laporan bisa dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup tanpa kehadiran
orang yang diduga atau kuasa hukum dari orang yang diduga melakukan teror.
Artinya, dalam membuat keputusannya, hakim tidak memiliki opini
pembanding dari laporan intelijen tersebut meskipun laporan Iintelijen
tersebut termasuk klasifikasi AI atau AZ. Akibatnya hakim akan mudah
dimanipulasi oleh pihak intelijen yang menggunakan laporan sepihak.
Parahnya, ketentuan ini akan menjadikan seseorang tidak pernah tahu bahwa
dirinya diduga sedang melakukan tindakan terorisme.
Aplikasi Pasal 26 ini juga akan merubah sistem judisial, karena intelijen
menjadi sub sistem. Hal ini dapat membahayakan kemandirian pengadilan,
karena akan mudah diintervensi oleh pihak intelijen atau eksekutif atas nama
keamanan nasional. Dengan kata lain, jika Pasal 26 ini tidak diterapkan secara
57
Arwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Cet.2, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1998), Hlm 51.
hati-hati, arif, bijaksana dan sebagai data ultimum remedium, maka
pengadilan akan menjadi stempel laporan intelijen dalam menangkap siapa
saja yang diidentifikasi oleh pihak intelijen sebagai teroris.
Di atas semua hal tersebut diatas, satu hal yang kiranya perlu untuk
direnungkan disini adalah, apakah Hakim dalam mengadili/memutus perkara
kelak tetap dapat bersikap independen, mengingat bahwa atasan si hakim
(ketua pengadilan) telah terlibat dalam menentukan terdakwa adalah orang
yang patut untuk disidik sebagai tersangka pidana terorisme.
Pemahaman tersebut diatas sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme yang mengatur bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang
cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen dari Kepolisian,
Kejaksaan, Dirjen Imigrasi, Dirjen Bea dan Cukai, TNI atau BIN. Sedangkan
agar dapat dipergunakan sebagai bukti permulaan tindakan Pro-justitia,
terlebih dahulu harus ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat.58
2. Prosedur Penangkapan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan bahwa
penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau menurut Pasal 17 KUHAP
ditentukan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang
58
Abdul Wahid,Dkk, op.cit, Hlm 111
diduga keras melakukan tindak pidana bedasarkan bukti permulaan yang
cukup.
Apabila perumusan Pasal 1 butir 20 dan Pasal 17 tersebut dibaca secara
cermat, akan Nampak adanya hal-hal yang membingungkan dan menimbulkan
kekaburan. Karena dalam Pasal 1 butir 20 dinyatakan bahwa penangkapan
adalah tindakan penyidik terhadap tersangka atau terdakwa guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan berdasarkan “bukti” yang
cukup. Sedangkan menurut Pasal 17 tindakan (perintah) dilakukan terhadap
seseorang (tidak tersurat sebagai tersangka/terdakwa) yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan” yang cukup.
Jadi kalau menurut Pasal 1 butir 20 tindakan penangkapan didasarkan pada
bukti yang cukup sedangkan menurut Pasal 17 tindakan penangkapan
didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Meskipun menggunakan istilah
yang sama yaitu penangkapan namun dalam penerapannya mengandung
pengertian yang bebeda. Penangkapan berdasarkan Pasal 17 KUHAP hanya
berlaku untuk penangkapan guna kepentingan penyidikan juga untuk
penuntutan dan peradilan. Untuk mengetahui apa yang dimaksud pengertian
bukti dan bukti permulaan, maka terlebih dahulu perlu dipahami mengenai apa
yang dimaksud dengan bukti dan barang bukti serta bukti permulaan. Hal ini
sangat penting karena dalam praktek hukum seringkali timbul kerancuan dan
kekaburan pengertian dikalangan aparat penegak hukum dan praktisi hukum
terlebih dikalangan masyarakat yang awam hukum mengenai apa sebenarnya
yang dimaksud dengan pengertian bukti, barang bukti, dan bukti permulaan.
Ada prinsip dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib
dilaksanakan polisi dalam setiap penyelenggaraan tugasnya, termasuk dalam
hal melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana. Penyidik
(dalam hal ini kepolisian) antara lain dilarang menggunakan kekerasan atau
penekanan dalam bentuk apapun saat melakukan penangkapan. Tersangka
berhak bebas dari penangkapan sewenang-wenang.
Dari definisi penangkapan di atas dapat kita bisa ketahui bahwa tindakan
penangkapan dilakukan oleh penyidik (dalam hal ini kepolisian) pada proses
penyidikan. Selain itu, penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan atau peradilan.
Soal penangkapan, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan
Permasalahan
dan
Penerapan
KUHAP:
Penyidikan
dan
Penuntutan
mengatakan bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat
dalam Pasal 17 KUHAP:59
1. Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;
2. Dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
Sementara itu, istilah penggerebekan tidak dikenal dalam KUHAP.
Adapun kewenangan penyidik kepolisian yang dikenal dalam KUHAP, antara
lain yaitu melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
yang keseluruhan ini merupakan upaya paksa. Mungkin yang Anda maksud
59
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560b4bb076c30/hal-yang-wajibdiperhatikan-saat-polisi-melakukan-penangkapan. Diakses pada tanggal 2 september 2016
penggerebekan adalah penangkapan di tempat tinggal tersangka. Adapaun
syarat penanagkapan menurut M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut :60
1. Penangkapan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup
2. Melakukan penangkapan tidak sewenang-wenang
Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat
dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepad mereka
yang betul-betul melakukan tindak pidana. Menjawab pertanyaan
Anda, kewajiban polisi dalam melakukan penangkapan adalah tidak
berlaku sewenang-wenang terhadap “terduga”/tersangka tindak pidana.
M. Yahya juga mengatakan bahwa penangkapan harus dilakukan
menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP. Selain itu,
penting diingat bahwa alasan untuk kepentingan penyelidikan dan
kepentingan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud selain di
luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan.
3. Berpijak pada landasan hukum
Masih berkaitan dengan fungsi penangkapan, menurut M. Yahya
sebagaimana kami sarikan, wewenang yang diberikan kepada penyidik
sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang tersebut, penyidik
berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang asal masih
berpijak pada landasan hukum. Salah satu bentuk pengurangan
kebebasan dan hak asasi itu adalah dengan dilakukannya penangkapan.
Akan tetapi harus diingat bahwa semua tindakan penyidik mengenai
60
Ibid,
penangkapan itu adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pada
proporsi demi untuk kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat
diperlukan sekali. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam
artikel Fungsi Penangkapan dan Penahanan dalam Proses Penyidikan
4. Tidak menggunakan kekerasan
Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan
tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.61
Hal ini juga berkaitan dengan salah satu hak yang dimiliki oleh
tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti
dan disiksa secara fisik. Penyidik tidak boleh menggunakan kekerasan,
kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan
penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan
peraturan penggunaan kekerasan.62
5. Melengkapi penangkapan dengan surat perintah penangkapan
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian
negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan
penangkapan
identitas
serta
tersangka
uraian
dan
singkat
menyebutkan
perkara
kejahatan
alasan
yang
dipersangkakan serta tempat ia diperiksa63.
61
Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
(“Perkapolri 8/2009”)
62
Pasal 10 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009
63
Pasal 18 ayat (1) KUHAP
Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah,
dengan
ketentuan
bahwa
penangkap
harus
segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
6. Dalam melaksanakan penangkapan wajib dipertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Keseimbangan antara tindakan yang dlakukan dengan bobot
ancaman;
b. Senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang
ditangkap; dan
c. Tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi
tersangka
Secara
umum,
kewajiban
petugas
kepolisian
dalam
melakukan
penangkapan, yaitu :64
a. Memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri;
b. Menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan
tertangkap tangan;
c. Memberitahukan alasan penangkapan;
d. Menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman
hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan;
64
Pasal 17 ayat (1) Peraturan Kapolri Kapolri Nomor 8 Tahun 2009
e. Menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan
memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah
penangkapan;
f. Senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; dan
g. Memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut,
berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi
oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.
3. Asas lex spesialis derogate lex generalis (aturan khusus mengesampingkan
aturan yang umum)
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 karena
pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana
yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan
yang luar biasa juga (extraordinary measures). Undang-undang nomor 15
tahun 2003 selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil.
Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex
specialis) dari kitab undang-undang hukum pidana dan kitab undang-undang
hukum acara pidana. dengan adanya undang-undang ini diharapkan
penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil
maupun formil dapat segera dilakukan.
Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian
merupakan suatu proses pencarian kebenaran materil atas suatu peristiwa
pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata
yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pumbuktian
sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan
persidangan. Hukum acara pidana didalam bidang pembuktian mengenal
adanya alat bukti dan barang bukti. Dimana keduanya digunakan didalam
persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang yang didakwakan kepada
terdakwa. Alat bukti yang sah berdasarka Pasal 184 KUHAP adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
sedangkan alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
1. Alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik, dengan alat optic atau
yang serupa dengan itu
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang diatas kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
a. Tulisan, suara atau gambar
b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya
c. Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.
Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) undang-undang
nomor 15 tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat
bukti, tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai barang
bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat butki. akan tetapi
dengan adanya undang-undang nomor 15 tahun 2003, kedua alat
buktitersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mngikat serta
memiliki kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam
KUHAP. meskipun demikian, prinsip lex spesialis derogate legi generalis
tetap berlaku. Dengan penafsiran a contrario, dapat diartikan hal yang tidak
diatur dala ketentuan khusus, dalam hal ini undang-undang nomor 15 tahun
2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini undang-undang nomor 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana.
Menurut pendapat penulis mengenai laporan intelejen dijadikan sebagai
bukti permulaan dalam penangkapan dan proses penyidikan dan pemeriksaan
sah-sah saja asalkan dengan mekanisme dan prosedur-prosedur yang berlaku
dan mengingat tindak pidana terorisme yang memiliki kecanggihan modus
operandi didukung oleh suatu organisasi internasional yang kuat baik dari sisi
finansial dan teknologi serta memiliki jaringan intelejen yang kuat. Maka dari
itu dianggap perlu diberikan kewenangan-kewenangan khusus seperti diatas
yang menyimpang dari KUHAP/aturan hukum umum. Dan kita dapat
memakai asas hukum pidana “Lex Spesialis Derogate Lex Generalis”, jadi
KUHAP sebagai aturan umum sedangkan undang-undang nomor 15 tahun
2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai aturan hukum
yang khusus.
4. Ketidaksesuaian Penangkapan Yang Dilakukan Oleh Datasemen Khusus 88
Antiteror Menurut Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Dan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pada kasus kematian yang dialami oleh siyono yang di duga sebagai
teroris terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada proses
penangkapan. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengungkapkan,
terduga teroris yang selama ini disematkan pada pelaku terorisme yang
ditangkap tetapi belum dijadikan tersangka tidak memiliki dasar hukum.
Terlebih almarhum Siyono, seseorang yang dicap terduga teroris ditangkap
kemudian dipulangkan tinggal jasad. Seseorang yang dinyatakan sebagai
tersangka, dapat dikenai upaya paksa oleh aparat, yaitu penangkapan,
penggeledehan, dan lain-lain. Tidak boleh ada upaya paksa sebelum seseorang
ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan dan penggeledahan terhadap
Siyono, terduga teroris dari Klaten, sebagai tindakan dengan pendekatan di
luar hukum pidana."apalagi Siyono tidak hanya ditangkap dan digeledah,
tetapi juga diduga mengalami penyiksaan. Itu sudah di luar pendekatan hukum
pidana dan merupakan tindakan kesewenang-wenangan. Siyono bukanlah
terduga teroris pertama yang harus kehilangan nyawa tanpa melalui proses
hukum.Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Siyono merupakan
orang Ke-121 yang tewas sebagai terduga teroris tanpa menjalani proses
hukum sejak Densus 88 dibentuk.65
65
http://u.msn.com/id-id/berita/other/tak-ada-istilah-terduga-teroris-dalam
nomenklatur-hukum/ar-BBrfCSX, Diakses pada tanggal 26 agustus 2016
Penangkapan terduga teroris Siyono beberapa waktu lalu di Klaten
terdapat kesalahan prosedur. Peristiwa naas yang berujung hilangnya nyawa
Siyono mengabaikan Standar Operasional Prosedur Detasemen Khusus
(Densus) 88 Antiteror Polri. Hal ini disampaikan Kapolri Jenderal Badrodin
Haiti dalam rapat kerja dengan komisi III di gedung DPR. Kesalahan prosedur
dimaksud berupa pengawalan yang tidak dilakukan lebih dari satu orang.
Sebaliknya, pengawalan saat penangkapan Siyono dilakukan hanya satu orang
personil petugas Densus. Sesuai dengan prosedur penetapan (Protap) yang
berlaku di Densus, hal tersebut tidak diperbolehkan. Kesalahan prosedur
lainnya, petugas yang melakukan pengawalan tidak melakukan pemborgolan
terhadap Siyono.66
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) saat
melakukan pemantauan di lapangan menemukan fakta bahwa Densus 88
diduga melakukan praktik mal administrasi. Dalam operasi penangkapan dan
penggeledahan Densus 88, keluarga korban tidak mendapat tembusan surat
penangkapan maupun penggeledahan. Temuan berikutnya, Densus 88 tidak
memberikan hak atas informasi dan klarifikasi kepada keluarga korban pasca
Siyono ditangkap usai shalat Maghrib. KontraS menilai Peristiwa di atas
menunjukkan bahwa operasi Densus 88 kadang tidak berdasar informasi
66
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571736d3d5486/prosespenangkapan-siyono ternyata-salah-prosedur,dikases 24 agustus 2016
akurat
dan tidak dilakukan berdasar kebutuhan penyelidikan
yang
diperhitungkan dengan baik.67
Kordinator subkondisi pemantau dan penyelidikan komisi nasional HAM,
mengatakan belum ada satu lembaga Negara pun yang menerbitkan surat
perintah penangkapan terhadap siyono sejak ia menghilang dari rumahnya dan
dipulangkan dalam kondisi sudah tidak bernyawa.68
Prosedur penangkapan yang dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan
penyidikan selalu berlandaskan aturan hukum yang yang berlaku. adapun
syarat-syarat penangkapan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana adalah sebagai berikut :
a. Tindakan
penangkapan
dilakukan
untuk
kepentingan
penyidikan/penuntutan/peradilan (Pasal 1 butir 20 KUHAP)
b. Perintah penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras
melakukan tindak pidana, baru dapat dilakukan apabila penyidik telah
memiliki alat bukti permulaan yang cukup (Pasal 1 butir 20 jo 17
KUHAP).
c. penangkapan dilakukan dengan surat perintah penangkapan Setiap
kali selesai melaksanakan SPRIN
d. penangkapan petugas pelaksana membuat berita acara penangkapan.
Menurut penulis Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme
memberikan justifikasi terhadap pelanggaran sejumlah hak-hak asasi manusia.
67
https://www.islampos.com/kontras-densus-88-melanggar-hukum-dalampenangkapan siyono-264306/, diakses pada tanggal 24 agustus 2016
68
https://www.tempo.co.news/komnas-HAM-pertanyakan-surat-penangkapan-siyono2016/03/22/. diakses pada tanggal 26 agustus 2016
Hak tersebut adalah hak-hak non derogable rights, seperti hak hidup, hak
bebas atas penyiksaan dan hak persamaan di dalam hukum. Hal ini dapat
dilihat dari Pasal 28 tentang penangkapan, dan Pasal mengenai pidana
hukuman mati (Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.15 tahun 2003).
Dikaitkan dengan Pasal 25 ayat (1) yang secara tegas menyebutkan bahwa
penyidikan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku – dalam hal ini
KUHAP – kecuali ditentukan lain, maka segala tindakan penyidik dalam
rangka penangkapan harus mengikuti tata cara, prosedur, dan syarat yang
diatur KUHAP, seperti:
1. Memperlihatkan surat tugas
2. Memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan
3. TembusanSurat Perintah Penangkapan harus diberikan kepada
keluarganyasegera setelah penangkapan dilakukan.
4. Orang yang ditangkap harus diduga kerasmelalukan tindak pidana.
5. Dugaan tersebut harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup
Sedangkan pengecualian dari ketentuan KUHAP yang dibolehkan oleh
Undang-undang nomor 15 Tahun 2003 dalam hal penyidik melakukan
penangkapan hanyaterhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Lamanya penangkapan maksimal 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat)
jam (Pasal 28)
2. Bukti permulaan yang cukuptersebut dapat diperoleh melalui laporan
intelijen, namun laporan intelijen tersebut harus sudah dilakukan
proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri,
yang hasilnya dikeluarkan dalam bentuk produk.
Perlu menjadi perhatian semua aparatur penegak hukum bahwa salah satu
saja tata cara, prosedur, atau syarat penangkapan tersebut, baik yang diatur
dalam KUHAP maupun Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tidak dipenuhi,
maka konsekuensi hukumnya adalah penangkapan tersebut menjadi: TIDAK
SAH Makna lebih lanjut dari penangkapan yang tidak sah tersebut adalah:
perbuatan melawan hukum dari aparat penegak hukum.
B. Kesesuaian Prosedur Penangkapan Dengan Peraturan PerundangUndangan
Prosedur Penangkapan Terhadap Tersangka atau Pelaku Tindak Pidana
dalam KUHAP memiliki SOP (standard operating procedure) tertentu agar
tindakan hukum bisa berjalan sesuai aturan. Jika pelaku hukum dalam hal ini
adalah penegak hukum tidak mengindahkan prosedur hukum acara yang telah
ada, maka banyak kemungkinan akan muncul perspektif bermacam-macam
dari masyarakat. Dalam tahapan melakukan penangkapan terhadap sesorang
yang diduga sebagai pelaku pidana, ada aturan-aturan atau unsur yang harus
diperhatikan oleh penegak hukum. Sebab semua warga mendapatkan perlakuan
yang sama dimata hukum. Contoh kecil unsur yang sangat penting adalah
mengenai Hak Tersangka untuk memperoleh perlakuan secara manusiawi.
1. Hakikat Penangkapan
Penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan seseorang apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau pengadilan. Artinya bahwa tindakan
penangkapan ini dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, bukti
permulaan minimal didasarkan pada dua bukti atau keterangan terkait tindak
pidana yang dilakukan, misalnya adanya barang bukti dan keterangan
saksi/ahli.
2. Para Pihak Yang Berwenang Melakukan Penangkapan
Pihak yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik dan
penyidik pembantu. Penyidik terdiri dari pejabat polri dengan pangkat
minimal inspektur dua dan PNS yang diberi wewenang khusus oleh UU yang
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b atau
yang disamakan dengan itu) sementara penyidik pembantu terdiri dari pejabat
polri dengan pangkat minimal Brigadir Dua dan PNS dilingkungan POLRI
dengan pangkat minimal Pengatur Muda (golongan II/a atau yang disamakan
dengan itu)
3. Persyaratan Penangkapan
Suatu penangkapan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :
a. Penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan atau peradilan
b. Penangkapan dilakukan setelah memiliki suatu bukti permulaan yang
cukup
c. Penangkapan dilaksanakan berdasarkan surat perintah penangkapan
yang ditandatangani oleh kepala kesatuan atau instansi misalnya
Kapolda, Kapolres atau Kapolsek
d. Penangkapan dilakukan terhadap tersangka pelaku pelanggaran yang
mangkir dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah saat dipanggil
oleh penyidik
e. Petugas pelaksana wajib berita acara penangkapan setelah dilakukan
penangkapan
f. Jangka waktu penangkapan paling lama sehari. Hal ini dimaksudkan
untuk mendapatkan kejelasan status orang yang ditangkap apakah
selanjutnya ia ditahan, wajib lapor atau dilepaskan. Bila pejabat yang
berwenang menangkap seseorang lewat dari sehari maka dapat
dikategorikan pejabat tersebut telah melakukan tindakan sewenangwenang (Pasal 19 Ayat (1) KUHAP)
4. Tata Cara Penangkapan69
Tata cara penangkapan yang diatur dalam KUHAP yakni
a. Harus memperlihatkan surat tugas kepada tersangka dan keluarga
tersangka
b. Memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alas an
69
/Hak%20Kita%20Saat%20Ditangkap!!!%20-%20KOMPASIANA.com.htm. diakses
pada tanggal 3 november 2015
penangkapan serta uraian perkara kejahatan yang dipersangkakan serta
tempat ia diperiksa
c. Menyerahkan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka
segera setelah penangkapan dilakukan
5. Isi Surat Perintah Penangkapan
Surat perintah penangkapan dalam prakteknya menggunakan model Serse :
A. 5 (kalau belum berubah) dan memuat beberapa poin antara lain :
a. Pertimbangan dan dasar hokum tindakan penangkapan
b. Nama-nama petugas, pangkat dan jabatan
c. Identitas tersangka yang ditulis lengkap dan jelas
d. Uraian singkat mengenai tindak pidana yang disangkakan
e. Tempat/kantor tersangka akan diperiksa
f. Jangka waktu berlakunya surat perintah penangkapan
6. Hak-hak Ketika Ditangkap
Walaupun
ditetapkan
sebagai
tersangka
namun
seseorang
tetap
mempunyai hak-hak yang harus diperhatikan oleh penyidik, antara lain :
1. Hak untuk meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan
terhadap dirinya kepada petugas yang melakukan penangkapan
2. Hak untuk meminta penjelasan tentang tuduhan kejahatan yang
dituduhkan kepadanya, tempat ia akan dibawa/diperiksa atau ditahan,
serta bukti awal terhadap tuduhan yang dituduhkan kepadanya
3. Hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah
4. Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi dan hak-hak yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selama
masa penangkapan atas dirinya
5. Hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah yang akan
menjelaskan kepada tersangka bahasa yang mudah dimengerti dan
dipahami
6. Hak untuk mendapatkan juru bahasa yang menguasai bahasa isyarat
apabila ia seorang tunarungu atau tunawicara
7. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan dari polisi atau penyidik
8. Hak untuk didampingi oleh satu atau lebih penasihat hokum yang ia
pilih sendiri untuk mendapatkan bantuan hukum
9. Hak untuk mendapatkan penasehat hukum secara Cuma-Cuma atau
gratis
10. Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan
tanpa adanya tekanan
11. Hak untuk diam dalam arti tidak mengeluarkan penyataan ataupun
pengakuan. Jadi tidak diperkenankan adanya tekanan
7. Tindak Pidana Yang Termasuk Tertangkap Tangan
a. Tindak pidana perjudian (Pasal 303 KUHP)
b. Tindak pidana pengedar narkotika/penjual/penyimpan dan atau
pemakai narkotika/obat terlarang (Undang-Undang No.22 tahun 1997
tentang Narkotika dan Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang
Psikotropika)
c. Pelanggaran di zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Undang-Undang No.
5 tahun 1983)
d. Tindak pidana perikanan (Undang-Undang No. 9 tahun 1985) Untuk
hal diatas pejabat yang berwenang dapat melakukan penangkapan
terhadap tersangka pelaku tindak pidana tersebut tanpa surat perintah
penangkapan, akan tetapi dalam jangka waktu 1x24 jam, eksekutornya
harus menyerahkan orang yang ditangkap beserta atau tanpa barang
buktinya kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat (Pasal 18
Ayat 2 jo Pasal 111 Ayat 1 KUHAP)
8. Penangkapan Dalam Tindak Pidana Terorisme
Tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang No.15 tahun 2003
tentang
pemberantasan
tindak
pidana
terorisme.
Ketentuan
terkait
penangkapan dalam undang-undang tersebut berbeda dengan ketentuan yang
diatur dalam KUHAP. Dalam KUHAP diatur bahwa penangkapan dilakukan
dalam waktu 1x24 jam sementara dalam undang-undang tidndak pidana
terorisme jangka waktunya adalah 7x24 jam (Pasal 28). Hal ini terkait
dengan tindak pidana yang menggangu keamanan nasional. Sehingga
sebelum penangkapan dilakukan terhadap tersangkanya, terlebih dahulu
penyidik mendapat laporan intelijen yang didasarkan pada bukti permulaan
yang cukup. Dan dalam Pasal 25 undang-undang tindak pidana terorime
menjelaskan bahwa apa yang tidak diatur dalam undang-undang ini harus
kembali kepada hukum acara yang berlaku.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis menyimpulkan
bahwa prosedur penangkapan terhadap terduga tindak pidana teroris harus
sesuai dengan prosedur penangkapan yang diatur dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada. karena ketika dalam prosedur penangkapan
tidak
sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan
maka
prosedur
penangkapan tersebut tidak sah (inprosedural). Dalam tindak pidana teroris
sekalipun yang memiliki undang-undang khusus tidak dibenarkan ketika
dalam prosedur penangkapan terhadap terduga terosis tanpa memperlihatkan
surat penangkapan kecuali dalam hal tertangkap tangan sedang melakukan
tindak pidana. Ketentuan yang tidak diatur dalam undang-undang khusus
harus kembali pada undang-undang yang umum, Seperti halnya kasus
kematian terduga teroris Siyono yang kemudian dikemukakan oleh Komisi
Orang Hilang Dan Tindak Kekerasan (KontraS) bahwa dalam proses
penangkapanya densus 88 tidak memperlihatkan atau memberikan surat
penangkapan kepada korban maupun pihak keluarga korban. Padahal korban
ditangkap ketika selesai melaksanakan sholat magrib. Untuk itu dalam proses
penangkapan terduga/tersangka terorisme harus berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
B. Saran
Adapaun saran penulis sebagai berikut :
1. Dengan banyaknya kasus salah tangkap yang dilakukan oleh Instansi
Kepolisian dan kasus-kasus penangkapan yang berujung pada hilangnya
nyawa , pemerintah seharusnya memberikan efek jera kepada oknumoknum yang semena-mena menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
penegak hukum, dalam hal melakukan pelanggaran prosedur penangkapan.
2. Pemerintah harus mengusut tuntas kasus Siyono karena kematian Siyono
merupakan salah satu pelanggaran Hak asasi manusia, yang dimana kasuskasus penangkapan dengan hilangnya nyawa sudah sering terjadi
dikalangan masyarakat.
3. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme harus menjadi prioritas untuk dilakukan revisi karena
masih banyak hal-hal yang kemudian menjadi multitafsir dalam undangundang tersebut, misalnya Pasal 26 Ayat (2). Yaitu soal informasi intelijen
sebagai bukti permulaan. Pasal ini yang kemudian saat ini juga masih
menjadi perdebatan dikalangan pakar hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana. Bandung. PT.Citra Adyta Bakti.
Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.
Ali, Khidir. 1985. Response Hukum Pidana: Penyertaan Dan Gabungan
Tindak Pidana. Bandung. Armico,
Ahmad Zulfikar, M. 2008. Tindak Pidana Penganiayaan Anggota Polri,
Universitas Khatolik Parahiyangan, Bandung.
Bambang, Abimanyu. 2005. Teror Bom di Indonesia. Jakarta. Grafindo.
Effendi, Masyhur. 1994.Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Hamzah Andi. 2014.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. sinar grafika.
. 2008. KUHP Dan KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta.
Indriyanto, Seno Adji. 2001. Terorisme dan HAM dalam Terorisme. Tragedi
Umat Manusia, Jakarta, O.C. Kaligis & Associates.
Kaligis, O.C. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Manusia
Terseangka, Terdakwadan Terpidana. Bandung. Alumni.
Kamsil, C.S.T. 1994. Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta.
PT.Sinar Grafika.
Muntaha. 2014. Penerapan Asas Opurtunitas Dalam Hukum Pidana di
Indonesia. Yogyakarta. Genta Publishing.
Marzuki, Peter Mahmud. 2011. penelitian hukum. Jakarta. kencana.
Marpaung, Leden. 1999. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh. Jakarta.
Sinar Grafika.
Prodjodikoro, Wiryono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia.
Jakarta. Refika Aditama
Prasetyo, Teguh. 2014. Hukum Pidana. Jakarta. Rajagrafindo Persada.
Poernomo, Bambang. 1982. Hukum Pidana. Jakarta. PT. Bina Aksara.
Sudarto. 1990. Hukum Pidana, Semarang. Yayasan Sudarto.
Saleh Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban, Jakarta,
Rineka Cipta.
Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani. Jakarta. Prenada Media.
Tongat. 2003. Hukum Pidana Materil, Jakarta, Djambatan.
Wayan, Parthiana. 2006. Hukum Pidana Internasional. Bandung. CV. Yrama
Widya.
Wahid, Abdul. 2004. Kejahatan Terorisme Prespektif Agama, Ham dan
Hukum. Bandung. Refika Aditama.
B. Undang-Undang
Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Susunan dan Tata
Organisasi Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
C. Internet
http://www.geoogle.com/Apa Saja Kejanggalan dalam Kematian Siyono,
Terduga Teroris-hukum-tempo.co.htm/ Diakses pada tanggal 9 april
2016
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5739b9b8111a1/putusan-etikkasus-siyono-dinilai-tidak-memenuhi-rasa-keadilan, diakses pada
tanggal 24 agustus 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme. diakses pada tanggal 25 agustus
2016
http://u.msn.com/id-id/berita/other/tak-ada-istilah-terduga-teroris-dalam
nomenklatur-hukum/ar-BBrfCSX, Diakses pada tanggal 26 agustus
2016
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571736d3d5486/prosespenangkapan-siyono ternyata-salah-prosedur,dikases 24 agustus 2016
https://www.islampos.com/kontras-densus-88-melanggar-hukum-dalampenangkapan siyono-264306/, diakses pada tanggal 24 agustus 2016
https://www.tempo.co.news/komnas-HAM-pertanyakan-surat-penangkapansiyono-2016/03/22/. diakses pada tanggal 26 agustus 2016
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1241/1146. diakses pada
tanggal 1 september 2016
Download