2 Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu dari beban kesakitan global (global burden of disease). Gangguan kesehatan mental dianggap sebagai penyebab utama dari kerugian ekonomi dan disabilitas secara global (WHO, 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi gangguan mental emosional penduduk usia 15 tahun atau lebih adalah 11,6% (Idaiani, Suhardi, & Kristanto, 2009). Kerugian ekonomi akibat masalah kesehatann mental berdasarkan hasil riset tersebut diperkirakan mencapai 20 triliun rupiah. Angka kerugian tersebut merupakan angka yang sangat besar dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya. Jumlah pasien gangguan kesehatan mental yang terlayani di fasilitas kesehatan kurang dari 10%. Kondisi tersebut menggambarkan hanya sedikit pasien gangguan kesehatan mental yang menerima tritmen. Layanan kesehatan mental diharapkan lebih efektif, terjangkau, manusiawi, dan dapat mencegah terjadinya disabilitas kronik sehingga tercapai kesehatan dan kehidupan yang lebih baik (Kementerian Kesehatan, 2011). Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan layanan kesehatan mental. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 220/MENKES/SK/III/2002 menyatakan bahwa pencegahan dan penanggulangan gangguan kesehatan mental diubah dari berbasis rumah sakit menjadi berbasis masyarakat (Kementerian Kesehatan, 2002). Pada umumnya pasien gangguan kesehatan mental pertama kali datang ke pelayanan kesehatan dasar untuk memeriksakan diri karena gejala yang dialami seringkali berupa keluhan yang 3 berhubungan dengan kondisi medis. Faktanya, sejumlah 30% dari pasien yang ditangani pada tingkat pelayanan kesehatan dasar adalah pasien yang memenuhi kriteria gangguan kesehatan mental sesuai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV. Sekitar 30-80% gangguan kesehatan mental yang dialami pasien di pelayanan kesehatan dasar seringkali tidak terdiagnosis dengan baik. Perbaikan sistem deteksi permasalahan kesehatan mental di pelayanan kesehatan dasar dapat meningkatkan cakupan terapi di pelayanan kesehatan dasar (Hidayat, Ingkiriwang, Andri, Asnawi, Widya, & Susanto, 2010). Oleh karena itu, deteksi pasien yang memiliki risiko gangguan kesehatan mental adalah langkah penting dalam program prevensi kesehatan mental (Lussier, Gagnon, & Lamarche, 2004). Penggunaan instrumen skrining sebagai alat deteksi gangguan kesehatan mental dapat meningkatkan kemampuan identifikasi terhadap pasien yang memerlukan evaluasi lanjutan dan memiliki risiko tinggi (Boyd, Le, & Somberg, 2005). Gambaran gangguan mental emosional pada Riskedas 2007 menunjukkan bahwa gejala sulit tidur merupakan salah satu dari lima gejala yang paling banyak dialami oleh penduduk, yaitu sebanyak 21,6% (Idaiani, Suhardi, & Kristanto, 2009). Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM), yang merupakan sistem cakupan informasi mengenai penanganan gangguan mental di Puskesmas Kabupaten Sleman, menunjukkan bahwa salah satu gangguan yang banyak dijumpai di Puskemas adalah gangguan insomnia. Gangguan tersebut dialami oleh 258 pasien (3.3 %) dari total 7846 pasien yang terdiagnosis gangguan mental (CPMH, 2011). Penelitian global yang telah dilakukan pada populasi dewasa di 4 beberapa negara menunjukkan sekitar 30% dari populasi mengalami insomnia kronik (Roth, 2007). Sekitar 40% wanita, 30% pria, dan 50% individu di atas usia 65 tahun mengeluhkan mengalami insomnia (Lee & Harris, 2000). Gangguan insomnia sering kali merupakan gejala awal dari gangguan mental yang mengancam. Tidur memiliki fungsi restoratif dan homeostatik sehingga memiliki peran penting untuk termoregulasi dan cadangan energi normal. Periode kekurangan tidur yang panjang dapat menyebabkan disorganisasi ego, halusinasi, dan waham (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Insomnia meningkatkan kerentanan individu untuk mengalami gangguan mental lain secara komorbid, kondisi kesehatan fisik yang buruk, peningkatan konsumsi obat, kehilangan konsentrasi, kecelakaan, peningkatan penggunaan layanan kesehatan, dan penurunan kinerja serta kualitas hidup (Kao, Huang, Wang, & Tsai, 2008; Bolge, Doan, Kannan, & Baran, 2009; MacGregor, Funderburk, Pigeon, & Maisto, 2011; Zaillinawati, Mazza, & Teng, 2012). Insomnia juga memiliki dampak secara ekonomi, yaitu menyebabkan kerugian sebesar 100 milyar USD per tahun di Amerika Serikat, 0,2%-0,5% dari Gross Domestic Product (GDP) di New Zealand, dan 1,3% dari GDP di Australia (MacGregor, Funderburk, Pigeon, & Maisto, 2011; Scott, Scott, O’Keeffe, & Gander, 2011). Diagnosis gangguan tidur yang paling sering ditemukan berdasarkan DSM-IV adalah insomnia primer dan insomnia terkait gangguan mental lain (Nowell dkk, 1997). Karakteristik gangguan insomnia ialah terganggunya jumlah, kualitas, atau waktu tidur. Insomnia yang tidak disebabkan oleh gangguan psikologis, fisik, atau obat digolongkan sebagai gangguan insomnia primer. 5 Berdasarkan kriteria diagnosis gangguan insomnia primer dalam DSM-IV-TR, prevalensi gangguan diperkirakan 6% (Roth, 2007). Individu dengan insomnia primer mengalami kesulitan yang terus menerus untuk tidur, tetap tidur, atau mencapai tidur restoratif dalam jangka waktu sebulan atau lebih. Insomnia primer sering kali ditandai dengan terjaga berulang kali dan kesulitan untuk tertidur. Kondisi lain yang sering ditemukan adalah meningkatnya keadaan terbangun fisiologis dan psikologis pada malam hari, kebiasaan negatif untuk tidur, dan preokupasi untuk mendapatkan tidur yang cukup (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Insomnia primer menimbulkan rasa lelah fisik dan stres yang signifikan sehingga menyebabkan individu kesulitan untuk menjalankan peran sosial, belajar, pekerjaan, atau peran lainnya dengan baik. Kondisi tersebut menyebabkan insomnia primer dapat muncul komorbid dengan gangguan psikologis lainnya, misalnya depresi dan kecemasan. Faktor psikologis memiliki peran dalam insomnia primer. Individu dengan insomnia primer membawa kecemasan dan kekhawatiran ketika akan tidur sehingga kesadaran tubuh meningkat hingga pada tahap mencegah tidur secara alami. Kesulitan tidur tersebut semakin ditambah dengan perasaan cemas dan tegang karena takut tidak cukup tidur sehingga memaksakan diri untuk tidur. Usaha memaksa diri untuk tidur akan menimbulkan dampak yang sebaliknya (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Kriteria diagnosis untuk insomnia primer menurut DSM-IV-TR adalah sebagai berikut (APA, 2000): (1) keluhan yang menonjol adalah kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama sekurangnya satu bulan; (2) gangguan tidur (atau kelelahan siang hari yang 6 menyertai) menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya; (3) gangguan tidur tidak terjadi semata-mata karena perjalanan narkolepsi, gangguan tidur berhubungan dengan pernafasan, gangguan tidur irama sirkadian, atau parasomnia; (4) gangguan tidur tidak terjadi semata-mata karena perjalanan gangguan mental lain (misalnya gangguan depresif berat, gangguan kecemasan umum, delirium); (5) gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum. Sebagian besar pasien yang mengeluhkan gejala insomnia belum dapat terdeteksi mengalami insomnia oleh tenaga kesehatan mental (Lee & Harris, 2000). Tidak memadainya identifikasi dan layanan terhadap keluhan gejala gangguan mental merupakan salah satu dampak dari minimnya ketersediaan tenaga kesehatan mental di Indonesia. Indonesia hanya memiliki 650 orang psikiater, 450 orang psikolog klinis, dan 220.575 orang perawat. Perbandingan antara jumlah tenaga kesehatan mental dan jumlah pasien gangguan mental sangat tidak ideal, karena satu tenaga kesehatan mental harus melayani sekitar 400.000 pasien. Idealnya satu tenaga kesehatan mental melayani 30.000-50.000 pasien. Sebaran jumlah tenaga kesehatan mental tersebut juga tidak mampu menjangkau secara merata layanan kesehatan mental di semua Puskemas (Retnowati, 2011; Agustia, 2011; Widiyani, 2013; Departemen Kesehatan, 2013). 7 Skrining untuk gangguan insomnia di Puskesmas dapat menjadi usaha preventif untuk meningkatkan layanan tritmen yang efektif terhadap gangguan. Tenaga kesehatan di Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan dasar memerlukan instrumen yang efektif dan efisien untuk mengidentifikasi gangguan insomnia pada pasien (MacGregor, Funderburk, Pigeon, & Maisto, 2011). General Health Questionnaire (GHQ) adalah salah satu instrumen yang paling sering digunakan untuk skrining dan menjadi objek penelitian. GHQ dikembangkan oleh untuk membedakan antara pasien yang mengalami permasalahan psikiatrik dan yang memiliki kondisi sehat mental. GHQ mengukur status kesehatan mental pada kondisi saat ini. GHQ mengukur melalui dua aspek dari suatu episode psikiatrik yaitu ketidakmampuan menjalankan fungsi normal dalam keseharian dan kemunculan gejala baru yang mengarah pada kondisi distress. GHQ dapat digunakan untuk memperkirakan prevalensi gangguan dalam populasi dan mengenali kasus yang berpotensi mengalami masalah psikiatrik (Lussier, Gagnon, & Lamarche, 2004). GHQ semula tersusun atas 60 aitem, seiring dengan pengembangan instrumen maka terdapat versi yang lebih pendek yaitu GHQ-30, GHQ-28, GHQ20, dan GHQ-12. GHQ-12 menunjukkan efektivitas yang sama dengan GHQ-30. GHQ-12 merupakan instrumen yang konsisten melalui beberapa periode waktu. Analisis terhadap GHQ-12 menunjukkan bahwa instrumen memiliki validitas konten dan prediktif yang baik, serta konsistensi internal antara 0.77-0.93 (North West Public Health Observatory, 2000). GHQ-12 memiliki kesesuaian untuk dijadikan instrumen skrining di pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas. 8 Kesesuaian tersebut ditinjau dari properti psikometrik yang sudah teruji baik dalam berbagai penelitian di bermacam-macam populasi dari berbagai negara dan efisiensi instrumen karena proses adiministrasi yang cepat, jumlah aitem sedikit, serta bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami (Lee, Yip, Chen, Meng, & Kleinman, 2006; Sanchez-Lopez & Dresch, 2008; Hankins, 2008; Yusof, Rahim, & Yacoob, 2009, Smith, Fallowfield, Stark, Velikova, & Jenkins , 2010; Kawada Otsuka, Inagaki, Wakayama, Katsumata, Li, & Li, 2011). Usaha untuk mengadaptasi GHQ-12 sebagai instrumen skrining di Indonesia sudah dilakukan oleh beberapa penelitian (Idaiani & Suhardi, 2006; Primasari, 2012). GHQ-12 yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia juga telah diteliti sebagai instrumen skrining untuk Gangguan Penyesuaian Diri, Depresi, dan Gangguan Kecemasan Menyeluruh di Puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa GHQ-12 memiliki properti psikometrik yang memuaskan (tingkat reliabilitas tinggi dan kesesuaian fungsi pengukuran gangguan), sensitif, dan spesifik untuk digunakan sebagai instrumen skrining ketiga gangguan tersebut (Emeldah, 2012; Nurwanti, 2012; Primasari, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk menguji keunggulan GHQ-12 sebagai instrumen skrining Gangguan Insomnia Primer di Puskesmas. Instrumen yang unggul adalah instrumen yang memiliki nilai diagnostik tinggi, terjangkau, sederhana, tidak berisiko, dan cepat (Dahlan, 2009). GHQ-12 memiliki empat subskala yaitu depresi, simtom somatik, kecemasan/insomnia, dan disfungsi sosial (Boyd, Le, & Somberg, 2005). GHQ-12 memiliki satu aitem yang mengukur kondisi tidur individu. Aitem tersebut meminta individu untuk mengidentifikasi 9 ada tidaknya kesulitan tidur yang dialami selama beberapa minggu ke belakang. Aitem tersebut berbunyi “susah tidur karena khawatir”. Aitem tersebut dapat mendukung GHQ-12 sebagai instrumen skrining untuk gangguan insomnia primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa GHQ-12 dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan tidur dengan gejala ringan hingga berat. Pasien dengan gangguan insomnia memiliki skor GHQ-12 yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami gangguan (Ichikawa dkk, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa GHQ-12 menunjukkan korelasi yang hampir sama dengan kuesioner multi-aitem yang khusus disusun untuk mendeteksi gangguan tidur. Akan tetapi GHQ-12 belum memiliki nilai diagnostik yang baik, yaitu memiliki sensitivitas 39% dan spesifisitas 87% untuk mendeteksi gangguan tidur. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya agar lebih mempertimbangkan tujuan penelitian dalam mempertimbangkan pemilihan nilai cut-off. Pemilihan nilai tersebut akan mempengaruhi validitas dan tingkat kemampuan mengidentifikasi gangguan (Lallukka, Dregan, & Armstrong, 2011). Uji psikometrik dan diagnostik terhadap GHQ-12 dilakukan untuk mengetahui kemampuannya untuk menjadi instrumen skrining gangguan insomnia primer. Suatu instrumen dapat menjadi instrumen skrining yang adekuat jika memiliki tingkat realibilitas dan validitas yang memuaskan (Boyd, Le, & Somberg, 2005; Zimmerman, 2007). Analisis diskriminan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya nilai diskriminan dari tiap aitem GHQ-12 untuk membedakan pasien yang berisiko mengalami gangguan insomnia primer. 10 Analisis diskriminan tersebut dapat memeriksa keunggulan tiap aitem GHQ-12 dalam memprediksi gangguan insomnia primer. Hasil uji psikometrik dan diagnostik diharapkan menjadi bukti ilmiah (evidence based) dalam menyusun sistem skrining gangguan insomnia primer yang efektif, efisien, dan sistematis. Uji diagnostik dilakukan untuk meningkatkan ketepatan diagnostik sesuai tujuannya sebagai instrumen skrining. Teori dasar yang digunakan dalam uji diagnostik adalah signal detection theory. Signal detection theory adalah kerangka teori untuk menjelaskan dan mengambil keputusan dalam suatu situasi yang masih belum memiliki kejelasan (ambigu). Contoh situasi ambigu yang relevan dengan signal detection theory adalah pasien yang memiliki sejumlah simtom dan psikolog berusaha memutuskan ada tidaknya gangguan yang dialami oleh pasien (Fletcher, Flecther, & Wagner, 1991). Uji diagnostik dilakukan dengan melihat hubungan antara hasil-hasil tes dan diagnosis yang sebenarnya. Dalam uji diagnostik tersebut diukur sensitifitas, spesifisitas, likelihood ratio positive, likelihood ratio negative, dan cut-off point dari GHQ-12. Sensitifitas adalah proporsi orang-orang yang menderita penyakit yang menunjukkan hasil tes diagnostik positif untuk gangguan/penyakit itu. Tes yang sensitif jarang menunjukkan kekeliruan dalam menentukan adanya penyakit pada seseorang. Spesifisitas adalah proporsi dari orang-orang tanpa gangguan/penyakit yang menunjukkan tes negatif. Suatu tes yang spesifik jarang salah dalam menentukan seseorang tanpa gangguan/penyakit dinyatakan menderita gangguan tersebut (Fletcher, Flecther, & Wagner, 1991). 11 Penilaian kemampuan GHQ-12 sebagai instrumen skrining gangguan insomnia primer dalam uji diagnostik didasarkan atas hubungan dengan suatu standar untuk mengetahui gangguan tersebut benar ada atau tidak ada. Hasil instrumen dibandingkan dengan suatu standar ketepatan yang disebut standar emas. Standar emas merupakan suatu prosedur yang sudah dikenal memiliki akurasi dalam mencapai kebenaran (Fletcher, Flecther, & Wagner, 1991). Standar emas adalah pemeriksaan yang dijadikan sebagai rujukan akhir untuk menentukan pasien menderita suatu gangguan atau tidak. Standar emas dapat berupa pemeriksaan yang dianggap alat diagnostik terbaik pada tempat penelitian atau dapat juga berupa keputusan ahli, tergantung pada kasus gangguan yang sedang diteliti (Dahlan, 2009). Standar emas yang banyak digunakan dalam penelitian kesehatan mental adalah panduan diagnosis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV Text Revision (DSM-IV-TR) (Rumpf, Meyer, Hapke, & John, 2001). DSM-IV-TR dikembangkan oleh American Psychiatric Association yang ditujukan sebagai panduan yang bermanfaat dan praktis bagi tenaga kesehatan mental dengan merangkum serangkaian kriteria, memperjelas bahasa, dan memperjelas pernyataan dari konstruk yang mewakili kriteria diagnosis. DSM-IV-TR merupakan sistem klasifikasi yang dilakukan dengan mengamati ciri-ciri khas gangguan kemudian memisahkan berdasarkan kesamaan dan perbedaan, mengelompokkan kembali, serta mengklasifikasikan ciri-ciri khas tersebut ke dalam jenis-jenis gangguan (Crowe, 2000). 12 DSM-IV-TR menegakkan diagnosis gangguan insomnia primer melalui wawancara klinis berdasarkan kriteria yang telah disusun. Diagnosis gangguan insomnia berdasarkan DSM-IV-TR menunjukkan reliabilitas dan validitas yang dapat diterima (p= 0.43-0.76) (Edinger dkk, 2011). Penelitian ini menggunakan standar emas berupa hasil wawancara klinis berdasarkan DSM-IV-TR yang dilakukan oleh psikolog profesional. Hipotesis dari penelitian ini adalah GHQ-12 dapat menjadi instrumen skrining gangguan insomnia primer di Puskesmas yang efisien dan unggul berdasarkan nilai diagnostik serta sifat psikometrik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah literasi dalam peningkatan kesadaran akan kesehatan mental dan pengembangan alat ukur klinis. Penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi mengenai instrumen skrining yang dapat meningkatkan layanan kesehatan terhadap gangguan insomnia primer pada pasien Puskesmas. Metode Subjek Penelitian Penelitian dilakukan di sepuluh Puskesmas di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kriteria untuk menentukan subjek penelitian adalah pasien Bagian Pemeriksaan Umum (BPU) di sepuluh Puskesmas di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, serta berusia 1860 tahun. Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah bersedia mengisi informed consent sebagai bentuk kesediaan menjadi subjek penelitian.