FUNGSI DAN MAKNA UPACARA MAPAG TOYA DI SUBAK ULUN SUWI DESA NAMBARU KECAMATAN PARIGI SELATAN KABUPATEN PARIGI MOUTONG Ni Ketut Ratini * Staff Pengajar STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah ABSTRAK Penelitian ini mengkaji tentang fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru. Pelaksanaan upacara Mapag Toya dilakukan di ulu bendungan atau irigasi serta diantarkan ke parit yang menuju sawah yang terletak paling ulu. Hal ini dilakukan sebelum mulainya peleburan lahan sawah disertai berbagai upacara dengan harapan selama proses pengolahan dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan dan dapat meningkatkan hasil panennya. Upacara ini bertujuan untuk memohon anugerah dari Dewi Gangga dan Dewa Wisnu yang dapat memberikan air (amertha) yang digunakan dalam peleburan lahan sawah, serta memakai kurban suci yang dilakukan dalam upacara Mapag Toya yang berupa caru ayam hitam sebagai penyeimbangan alam sekitar baik bhuana agung dan bhuana alit yang dapat menetralisir suatu keadaan di dunia. Rumusan masalah: 1) Bagaimanakah tattwa dan etika upacara Mapag Toya pada Subak Ulun Suwi di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong?, dan 2) Bagaimanakah fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong?. Tujuan Penelitian ini yaitu: 1) Untuk mengetahui tattwa dan etika upacara Mapag Toya di Desa Nambaru, dan 2) Untuk memahami fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Desa Nambaru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, serta menggunakan sumber data primer dan sekunder, penentuan informan dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu memahami tattwa dan etika dalam pelaksanaan upacara Mapag Toya, melalui berbagai cara dengan mengikuti atau mengacu pada Tri Kerangka Dasar agama Hindu yaitu tattwa, etika dan upacara, serta sastra dan ajaran agama Hindu yang dilakukan oleh Subak Ulun Suwi Desa Nambaru, sebelum melakukan peleburan lahan sawah yang akan ditanami padi. Subak Ulun Suwi sebagian besar telah mengetahui fungsi dan makna dari upacara Mapag Toya yang dilakukan, yaitu sebagai anugerah dan wujud terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan kesuburan, kemakmuran dan ketentraman dalam pengolahan lahan sawah. Upacara ini merupakan proses awal turun ke sawah dengan berbagai sarana upakara banten yang memiliki makna, sebagai wujud terima kasih atas anugerah yang diberikan oleh Dewa Danu yang memberikan sumber air, yang dapat dipergunakan untuk mengairi lahan. Upacara ini didukung juga oleh Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan manusia dengan alam (palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia (pawongan). Kata Kunci: Fungsi, Makna, Tattwa, Etika Upacara Mapag Toya 1. Pendahuluan Pelaksanaan upacara agama sangat mendominasi kehidupan manusia, hampir WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 setiap gerak kehidupan masyarakat Hindu khususnya di Bali selalu ditandai dengan upacara (Punyatmadja, 1987: 3). Umat Hindu 21 Bali yang pada umumnya lebih dominan mengutamakan pelaksanaan upacara yajna, namun nilai filsafat (tattwa) dan etika agama tidaklah diabaikan begitu saja, sebab ketiga aspek agama itu yang disebut Tri Kerangka Dasar agama Hindu yang saling memiliki hubungan yang erat sebagai pedoman untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama guna tercapainya kesejahteraan lahir dan bathin yang menjadi tujuan hidup bersama dalam agama Hindu. Kegiatan dalam pelaksanaan upacara yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu merupakan cetusan hati nurani yang tulus ikhlas (Surayin, 2004: 3). Di samping itu juga upacara yajna merupakan salah satu tujuan untuk membina kepribadian yang mandiri, sekaligus mengandung makna mendidik dan membudayakan tingkah laku manusia agar tercipta suasana kesucian yang maha agung dan mulia (Raid Pekaka, 1992: 4). Oleh karena itu, upacara dalam pelaksanaan upacara yajna merupakan gambaran sekaligus sebagai ungkapan rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan menghaturkan atau mempersembahkan banten. Keyakinan para petani di dalam menanam tanaman pertanian tidak hanya mengorek tanah sedemikian rupa, menyiram dengan air, memberantas hama dan tindakantindakan praktis lainnya, tetapi disertai pula dengan upacara dan doa. Doa-doa itu berisikan pernyataan atau pengakuan akan adanya kekuatan Yang Maha Besar, yakni kekuatan yang memberi kemakmuran melalui tanaman pertanian dan kekuatan-kekuatan lain yang berhubungan dengan itu. Pelaksanaan upacara pertanian juga merupakan penyatuan rasa bhakti, rasa syukur, dan pujian-pujian permohonan disampaikan agar berjenis-jenis hama dan gangguan lainnya yang menyerang tanaman pertanian dapat dijauhkan dari daerah pertaniannya. Di antara sekian tanaman pertanian, tanaman padilah yang paling banyak disertai dengan upacara dan upakara. Walaupun masyarakat (petani) rajin melaksanakan upacara dan menyiapkan 22 upakara yajna, namun hanya sebagian kecil yang menyadari dan mengetahui secara mendalam tentang apa yang dilakukan dalam menyelenggarakan upacara yajna pada lahan basah. Suryani (2004: 3) menguraikan bahwa yang utama di dalam perwujudan sebagai umat Hindu, dituntut suatu penghayatan yang bernilai bhakti suci, ketulusikhlasan, berkorban terhadap yang menjadikan sebagai manusia, percaya akan adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Sang Hyang Tunggal beserta manifestasi-Nya dan para leluhur yang sudah suci berwujud Ida Bhatara/Bhatari yang selalu ada serta selalu memonitor perbuatan manusia di jagat raya ini. Lebih jauh dijelaskan juga bahwa di dalam menyusun upakara yajna baik untuk di pura maupun di merajan masingmasing dan di tempat lainnya, semestinya diketahui terlebih dahulu kegiatan-kegiatan yang perlu dibuatkan upakara dan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki serta dengan hati persembahan yang tulus ikhlas agar yajna yang dibuat tidak sia-sia. Kitab Veda Smerti buku IV, sloka 227 menyebutkan: Danadharmam nisewata Nityammaistika paurtikam Paritustena bhawena Patramasadya saktitah Artinya: Hendaknya selalu melaksanakan tugastugas dengan tulus ikhlas dan murah hati sesuai dengan kemampuannya dan dengan hati gembira, apakah dengan mempersembahkan upacara berkorban atau dengan melakukan pekerjaanpekerjaan amal, kalau ia menemui pihak yang patut dihargai untuk menerima pemberiannya. Salah satu upacara yang sering dilakukan oleh umat Hindu, khususnya di bidang pertanian adalah upacara Mapag Toya (menjemput air). Upacara tersebut mempunyai fungsi dan makna bagaimana seharusnya WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 manusia menunjukkan rasa kasih, hormat, dan bhakti kepada Tuhan, kepada alam semesta, kepada sesama manusia, kepada leluhur, dan kepada orang-orang suci. Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Parigi Moutong merupakan daerah transmigrasi. Sejak tahun 1969 warga Bali masuk ke Sulawesi Tengah dan sampai saat ini berkembang. Hal tersebut terlihat banyaknya umat Hindu yang ada di Kabupaten Parigi Moutong khususnya di Desa Nambaru. Di dalam perkembangannya, umat Hindu melaksanakan tradisi adat istiadat dan upacara sesuai dengan apa yang berlaku di tempat asal sebelumnya yaitu Bali. Salah satu contoh yaitu pada upacara Mapag Toya. Upacara Mapag Toya ini dilakukan setiap akan mulai turun ke sawah menggarap lahan dengan harapan mendapatkan air dengan lancar. Sebagai upaya untuk mendapatkan air sebagai sumber pengairan, maka organisasi subak tersebut melaksanakan upacara Mapag Toya (menjemput air) yang dilakukan setiap permulaan pembukaan pintu air pada setiap peleburan tanah sawah. Umat Hindu yang memiliki organisasi subak dapat melaksanakan Upacara Mapag Toya pada saat pengairan dibuka dan sebelum memulai peleburan lahan persawahan. 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru Kecamatan parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi dilaksanakan setiap awal turun ke sawah dan sebelum peleburan lahan sawah yang akan ditanami padi. Upacara dilakukan di ulu bendungan, sebab Desa Nambaru merupakan desa yang memiliki hasil pertaniaan yang tidak menentu, umat Hindunya sebagian besar berprofesi sebagai petani dan bergantung pada hasil pertanian karena merupakan daerah penghasil padi. Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 pada penelitian ini adalah data langsung dari hasil observasi dan wawancara dengan beberapa tokoh umat Hindu di Desa Nambaru yaitu pemangku, parisada, serathi banten, ketua adat dan tokoh masyarakat yang mengetahui dan dapat memberikan informasi sehubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Sumber data sekunder ini biasanya diperoleh dari literatur-literatur, dokumen hasil laporan peneliti terdahulu, perpustakaan atau dari sumber-sumber yang telah ada. Penentuan informan dilakukan melalui teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif interpretatif untuk mencari makna dari hasil wawancara yang telah dilakukan. Data yang diperoleh dikelompokkan, kemudian dilakukan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi atau penyimpulan. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Tattwa dan Etika Upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong Tattwa dan etika dalam pelaksanaan upacara Mapag Toya merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh petani sebelum turun melebur sawah yang akan diolah dengan mengunakan alat tradisional ataupun alat pembajakan berupa traktor. Umat Hindu pada umumnya, setiap melaksanakan upacara keagamaan selalu dilandasi dengan berbagai petunjuk sastra yang menyangkut dengan upacara agama. Dalam setiap upacara yang digunakan baik secara umum, maupun secara pribadi pada prinsipnya memakai dasar atau panduan yang sesuai dengan sastra dan kebudayaan agama. Dalam proses upacara Mapag Toya dan upacara lainnya tentang pertanian lahan basah, perlu ditekankan pada 23 landasan susila, sebab semakin besar suatu upacara yajna yang dilaksanakan dan dipersembahkan, maka semakin berat juga pengendalian diri yang patut dilaksanakan. Sebagaimana dijelaskan dalam Lontar Yajna Prakerti 3.a. sebagai berikut: Kurang yang darung diniksan de sang Brahmana putus, ri sanwir ing yajnyayajnya,kirti-kerti inkag wang ring para loka tan sidha putus ngaran puput, tan wenang watek dewa bhatara amanggapi ikang yajnya magkana. Artinya: Apabila belum disucikan oleh seseorang Brahmana suci, segala bentuk yajna maupun pekerjaan, segala yang diperbuat oleh manusia di dunia ini, tidak dinamakan sukses, tak wajar Tuhan menerima persembahan yang demikian. Dari penjelasan lontar di atas memberi tuntunan kepada umat Hindu agar setiap pelaksanaan ritual dalam bentuk apapun yang dipimpin oleh sang Brahmana, maka wajib terlebih dahulu disucikan oleh Brahmana. Jika hal itu tidak melanggar norma persembahan, maka yajna tersebut akan diterima atau sampai kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berikut hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat yaitu Bpk W.SKd tanggal 12 November 2012. “Bagi masyarakat Desa Nambaru khususnya umat Hindu yang memiliki sawah atau ladang atau lahan basah, masih percaya dengan kekuatan upacara Mapag Toya yang menggunakan berbagai sarana banten sebelum turun ke sawah atau sebelum mengelola sawah, hendaknya melaksanakan upacara Mapag Toya terlebih dahulu di bendungan atau di irigasi tempat pembagian air menuju persawahan. Dengan tujuan agar mendapatkan berkah serta segala pekerjaan yang dilakukan di 24 persawahan tidak mendapat hambatanhambatan khususnya masalah air yang sangat penting dalam pengolahan sawah. Jika pengairan tidak bagus atau kurang baik, maka pengolahan atau peleburan lahan juga tidak dapat dilakukan secara maksimal” Hasil wawancara di atas menekankan umat Hindu melakukan upacara Mapag Toya untuk memohon berkah dari Dewi Gangga agar beliau memberikan air suci (toya) dan Dewi Sri menganugerahkan kesuburan tanaman padi. Persembahan upacara ditujukan sepenuhnya kepada Sang Hyang Siwa, dalam konteks ini adalah sebagai pemberi kehormatan dan kesucian spiritual oleh masyarakat untuk menangani masalah-masalah dalam lahan persawahan tentang upacara yajna, sehingga dalam kehidupan sosial keagamaan tampak adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Berikut hasil wawancara dengan Jero Mangku: “Umat Hindu Desa Nambaru selalu taat terhadap petunjuk sastra Hindu dalam pelaksanaan upacara Mapag Toya, hal ini sangatlah penting artinya bagi perkembangan petani dalam menanam padi, dengan demikian petani setempat melakukan upacara Mapag Toya yang didasari oleh tattwa, etika, dan upacara, ketiga kerangka dasar agama Hindu ini dijadikan sebagai dasar acuan dalam melakukan/melaksanakan kegiatan keagamaan khususnya ritual upacara penjemputan air (Mapag Toya). 3.2. Fungsi dan Makna Upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi Desa Nambar Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Fungsi upacara Mapag Toya ini adalah sebagai simbol guna mendapatkan air untuk mengairi persawahan para petani agar melancarkan dalam proses pengolahan lahan. WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 Dimana dewa yang disimbolkan dalam upacara tersebut adalah Dewi Gangga, Dewi Sri dan Dewa wisnu sebagai manifestasi Tuhan yang dapat memberikan kemakmuran dalam mengelola sawah sampai selesai. Dalam pelaksanaan upacara mapag toya ini juga diyakini oleh umat Hindu untuk melindungi tanaman padi agar tidak mudah diserang berbagai jenis penyakit atau hama-hama lainnya. Masyarakat Bali/Hindu yang ada di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Mautong sebagian besar asli berasal dari Bali, dimana sebelum mereka merantau sebagai transmigrasi yang telah diprogramkan oleh pemerintah yang profesinya sebagai petani lahan basah khususnya dipersawahan dalam hal mengelola tanah sawah. Upacara Mapag Toya selalu dilaksanakan dan tidak pernah dilupakan sesuai dengan tatanan atau awig-awig yang berlaku di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru, sebagai kepercayan umat Hindu yang sangat kental dengan budaya, bahwa sebelum melakukan peleburan lahan sawah umat Hindu melakukan upacara Mapag Toya (menjemput air) yang memiliki makna yaitu pelaksanaan upacara permohonan diberikan air atau kata lainnya penjemputan air, dengan adanya upacara tersebut petani yang ada menyakini bahwa dengan upacara Mapag Toya dapat berfungsi mengairi persawahan untuk memberikan hasil panen yang baik, dan membantu perekonomian masyarakat khususnya para petani padi. Berdasarkan hasil Wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 14 November 2012 dengan Ketua Subak Ulun Suwi menyatakan: “Bahwa pelaksanaan upacara Mapag Toya adalah suatu upacara yang dilakukan di hulu empelan dimana pelaksanaan upacara Mapag Toya ini memiliki makna penjemputan air dari bendungan hulu menuju WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 bendungan/irigasi, dan berfungsi untuk mengairi sawah yang kami garap masing-masing. Dalam penjemputan air tersebut kami menggunakan suatu upacara Pemapag Toya yang disesuaikan dengan desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan). Adapun susunan atau runtutan upacara Mapag Toya ini dilakukan setiap awal turun ke sawah dan merupakan langkah dari pada seorang petani pada saat mulai melebur atau menggarap sawahnya, serta sebagai wujud terima kasih kepada Dewi Gangga, karena berkat beliau para petani khususnya umat Hindu dapat melakukan penanaman padi tepat pada waktu yang telah disepakati bersama kelompok subak. Dengan adanya upacara tersebut petani dapat berkerja dengan baik karena telah diberikan suatu berkah dalam penjemputan air (toya). Upacara pemapang toya atau dalam upacara Balinya disebut memendak amertha, yang artinya meminta air (toya), dilakukan secara bersama-sama dengan kelompok subak sekitarnya”. Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa umat Hindu yang ada di Desa Nambaru atau di Subak Ulun Suwi selalu rutin setaip mulai pengolahan tanah yang akan ditanami padi, wajib melakukan pemendak toya dalam istilah Balinya atau dengan melakukan upacara Mapag Toya di bendungan dan dilimpahkan melalui pintu air yang sebagai pusat masuknya air ke petak persawahan. Umat Hindu yang ada di Desa Nambaru, Subak Ulun Suwi tidak pernah lupa akan pelaksanaan upacara Mapag Toya tersebut, karena sesuai dengan kepercayaan umat Hindu dengan adanya upacara tersebut petani di Subak dapat melakukan penanaman padi yang baik dan benar, dan untuk menjauhkan gangguan hama yang akan menyerang tanaman padi maka upacara Mapag Toya ini dapat dilakukan dengan 25 melihat hari dan wuku yang baik, dan sebagai wujud terima kasih atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Dewi Gangga yang dapat memberikan berkah dan hasil yang seimbang, serta memberi kehidupan yang harmonis dan hasil yang maksimal. Dalam pelaksanaan upacara Mapag Toya, menggunakan berbagai macam sarana yaitu berupa sorohan agung 2 soroh, katur ring bedugul, ring panggulun empelan, tekaning pecaruan eka sata ayam hitam, banten suci, gebogan, dan lumbung sebagai tempat meminta air suci (tirtha). Sudarsana (1994: 15) menyatakan bahwa upacara Mapag Toya biasanya disertai dengan mecaru ayam hitam dengan tujuan pencaruan dapat menetralisir suatu lingkungan atau wilayah yang ada di daerah sekitar bendungan persawahan, dengan harapan dapat mencegah atau mengurangi berbagai penyakit atau hama yang dapat merugikan petani. Upacara Mapag Toya merupakan awalnya para petani turun ke sawah yang sesuai dengan hari dan sasih yang baik agar bermanfaat dalam memulai pengolahan lahan sawah. Makna dan fungsi upacara Mapag Toya yang dilakukan merupakan permohonan dari semua anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diberikan kepada umat, dengan melaksanakan upacara yang dilakukan di nista, madya dan utama. Upacara di madya memakai banten pras ajengan, dan meminta ampun kepada Dewi Danu, dan mohon izin di Bedugul karena akan ada orang yang melakukan dan memohon restu dalam upacara Mapag Toya, untuk memohon anugerah air sebagai proses pengolahan sawah yang akan ditanami padi. Upacara Mapang Toya juga memiliki kaitan dengan Tri Hita Karana dalam hubungan Manusia semasa hidupnya yaitu: 1. Hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan) Melakukan dan menghaturkan upakara atau upacara yajna yang dipersembahkan sebagai rasa syukur dan rasa terima kasih 26 yang tulus ikhlas dan mengingat keberadaan Tuhan. 2. Hubungan manusia dengan alam semesta (pelemahan) Dalam hubungan manusia dengan alam semesta yaitu dengan melakukan upacara yajna atau upacara Bhuta Yajna yang dilakukan manusia selama hidup dan menikmati hasil bumi. 3. Hubungan manusia dengan manusia (pawongan) Seperti hubungan manusia dengan manusia dalam upacara pertanian ini dapat dilihat dengan bersama-sama melaksanakan upacara yajna berupa upacara Mapang Toya dan upacara lainnya baik yang kecil ataupun besar yang memberikan keselamatan hasil sawah atau hasil bumi. Menggunakan caru ayam hitam yang ditujukan kepada Dewa Wisnu dan Bhuta Kala, sebagai wujud sembah bhakti dan terima kasih karena berkat beliau petani setempat dapat mengolah sawahnya. Banten ini memiliki makna dan fungsi sebagai wujud terima kasih kehadapan Dewa Wisnu dan Dewi Gangga sebagai sumber mata air untuk mengolah lahan persawahan. Upacara Mapag Toya yang dilakukan sebelum peleburan lahan sawah dan meminta berkah serta memohon keselamatan tanaman, pertama dilakukan di Bedugul, menuju ke Ulun Suwi dan ke empelan atau bendungan untuk meminta berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, kemudian menuju ke petakan sawah yang pertama menerima air atau ke temuku. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik suatu kesimpulan dari upacara Mapag Toya sebagai berikut: 1. Tattwa dan Etika dalam Pelaksanaan Upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong yaitu: a. Tattwa merupakan personifikasi dari kekuatan mahat (intuisi) dengan WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 kenyataan bahwa tattwa merupakan tempat jaringan otak, sebagai sumber berpikir dan merupakan tempat susunan saraf pusat untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan kenyataan. b. Etika/Ritual merupakan personifikasi dari kekuatan budhi (akal) yaitu menerima perintah dari mahat, untuk diteruskan kepada ahamkara, kenyataan sebagai simbol badan penyebab, sebagai tempat memproses perintah mahat sehingga menjadi kebijaksanaan (kleteg hati) atau kesenangan, dan keihklasan hati. c. Upacara/upakara merupakan personifikasi dari kekuatan ahamkara sebagai pelaksanaan perintah dari budhi sehingga muncullah perilaku, kenyataan sebagai simbol anggota badan (tangan dan kaki) dan seluruh jiwa. Adapun segala bentuk upacara yang digunakan oleh umat Hindu khususnya Subak di Desa Nambaru sangat tergantung pada kerangka dasar agama Hindu dan sastra Hindu lainnya. Begitu pula dengan subak yang berada di Sulawesi Tengah pada umumnya hampir memiliki kesamaan tentang pelaksanaan upacara Mapag Toya yang digunakan oleh petani baik di daerahdaerah atau di kampung-kampung mengacu dari beberapa sumber seperti Dharmani Pemaculan, Bhuta Yajna, Tuntunan Gunan Ing Masasawahan, Dharmaning Paebatan, Dharma Caruban, ajaran agama Hindu (filsafat yajna), pustaka sari tattwa, dan himpunan tetandingan upakara yajna. 2. Fungsi dan Makna Upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong yaitu upacara Mapag Toya adalah sebagai simbol guna mendapatkan air untuk mengairi persawahan para petani agar melancarkan dalam proses pengolahan lahan. Dimana dewa yang disimbolkan dalam upacara tersebut adalah Dewi Gangga, Dewi Sri dan Dewa Wisnu sebagai WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 manifestasi Tuhan yang dapat memberikan kemakmuran dalam mengelola sawah sampai selesai. Pelaksanaan upacara Mapag Toya ini juga diyakini oleh umat Hindu untuk melindungi tanaman padi agar tidak mudah diserang berbagai jenis penyakit atau hama-hama lainnya. Makna upacara Mapang Toya ini merupakan suatu upacara penjemputan air yang dilakukan sebelum peleburan atau turun ke sawah dalam pengolahan tanah. Upacara ini dilakukan di Bedugul, atau empelan, terus menuju ke persawahan. Dimana upacara ini menggunakan upacara yajna, yang dilakukan di ulun empelan, yang dalam pelaksanaannya terdiri dari tiga tempat yaitu nista, madya, dan utama. Contoh yang madya ada banten yang digunakan misalnya banten pras daksina, segehan dan lainnya, sedangkan pada tingkatan utama menggunakan peras, daksina suci, segehan, tumpeng pitu, dan banten yang lainya. DAFTAR PUSTAKA Ariadi, N.M. 2010. (PTJJ). Kajian Nilai Etika Busana Adat Sembahyang Bagi Kaum Remaja. (Skripsi tidak di terbitkan). Universitas Hindu Indonesia. Astiti, Wayan. 1997. Peran Lembaga Subak Gede dalam Pelaksanaan Program Supra Insus Di Kabupaten Tabanan. (Tesis tidak diterbitkan). Universitas Gadjah Mada. Bagus, I Gusti Ngurah. 2000. Dinamika Budaya Hindu Dharma di Indonesia. Forum Penyadaran Dharma Duta Wanita, Universitas Press. Bandesa, Gede Nyoman. 1994. Dharmanig Pemaculan. Denpasar. Bangli, Putu. 2010. Warnaning Sesayut Lan Caru. Jakarta: Paramita Surabaya. 27 Basrowi, Sawandi. 2008. Memahami Penelitaian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. _____________. 1998. Ajaran Agama Hindu (Dharma Caruban). Yayasan Dharma Acarya. Dahara, Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Departemen Pendidikan Kebudayaan Direktorat jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta. _____________. 2010. Himpunan Tetandigan Upakara Yajna. Yayasan Dharma Acarya. Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. Hindu Dharma. 1977. Tuntunan Gunan Ing Masasawahan. Parisada Hindu Dharma Kabupaen Tabanan. Jaman, Gede. 2006. Tri Hita Karana. Pustaka Bali Post. Kajeng, I Nyoman. 1999. Sarasamucaya. Surabaya: Paramita. Maswinara, I Wayan. 1997. Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita. Mitja Ketut. 1979. Dharmanig Pemaculan (persubakan). Giayar. Sudarta, N.M. 2008. Etika Upacara Caru Panca Sata. (Skripsi tidak diterbitkan). Denpasar: Universitas Hindu Indonesia. Suryani, Ida Ayu Putu. 2004. Seri Upakara Yajna, Manusa Yajna. Surabaya: Paramita. __________________. 2005. Bhuta Yajna. Surabaya: Paramita. Tim Penyusun. 2008. Panca Yajna. Denpasar. ___________. 2009. Pedoman Pelaksanaan Manusia Yajna di Jawa. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Departemen Agama Hindu. Jakatra. Titib, I Made. 2009. Teologi dan SimbolSimbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Pudja, Gede. 2005. Bhagavad Gita. Surabaya: Paramita Surabaya. Putra, Ida Bagus Anila. 1976. Pustaka Sri Tattwa. Badan Pembinaan Lembaga Adat Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. Suarjaya, 2008. Panca Yajna. Denpasar: Widya Dharma Sudarsa, N.M. 2010. Kidung Kaki Kiwa (perspektif Nilai Pendidikan Etis Estetis Religius. (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri. Sudarsana, Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu (Filsafat Yajna). Yayasan Dharma Acarya. 28 WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014