21 FUNGSI DAN MAKNA UPACARA MAPAG TOYA DI SUBAK

advertisement
FUNGSI DAN MAKNA UPACARA MAPAG TOYA DI SUBAK ULUN SUWI
DESA NAMBARU KECAMATAN PARIGI SELATAN
KABUPATEN PARIGI MOUTONG
Ni Ketut Ratini *
 Staff Pengajar STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Subak
Ulun Suwi Desa Nambaru. Pelaksanaan upacara Mapag Toya dilakukan di ulu
bendungan atau irigasi serta diantarkan ke parit yang menuju sawah yang terletak paling
ulu. Hal ini dilakukan sebelum mulainya peleburan lahan sawah disertai berbagai
upacara dengan harapan selama proses pengolahan dapat berjalan dengan lancar tanpa
hambatan dan dapat meningkatkan hasil panennya. Upacara ini bertujuan untuk
memohon anugerah dari Dewi Gangga dan Dewa Wisnu yang dapat memberikan air
(amertha) yang digunakan dalam peleburan lahan sawah, serta memakai kurban suci
yang dilakukan dalam upacara Mapag Toya yang berupa caru ayam hitam sebagai
penyeimbangan alam sekitar baik bhuana agung dan bhuana alit yang dapat
menetralisir suatu keadaan di dunia.
Rumusan masalah: 1) Bagaimanakah tattwa dan etika upacara Mapag Toya pada
Subak Ulun Suwi di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi
Moutong?, dan 2) Bagaimanakah fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Desa
Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong?. Tujuan Penelitian ini
yaitu: 1) Untuk mengetahui tattwa dan etika upacara Mapag Toya di Desa Nambaru,
dan 2) Untuk memahami fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Desa Nambaru.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, serta menggunakan
sumber data primer dan sekunder, penentuan informan dengan cara purposive sampling.
Hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu memahami tattwa dan etika dalam
pelaksanaan upacara Mapag Toya, melalui berbagai cara dengan mengikuti atau
mengacu pada Tri Kerangka Dasar agama Hindu yaitu tattwa, etika dan upacara, serta
sastra dan ajaran agama Hindu yang dilakukan oleh Subak Ulun Suwi Desa Nambaru,
sebelum melakukan peleburan lahan sawah yang akan ditanami padi. Subak Ulun Suwi
sebagian besar telah mengetahui fungsi dan makna dari upacara Mapag Toya yang
dilakukan, yaitu sebagai anugerah dan wujud terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang telah memberikan kesuburan, kemakmuran dan ketentraman dalam
pengolahan lahan sawah. Upacara ini merupakan proses awal turun ke sawah dengan
berbagai sarana upakara banten yang memiliki makna, sebagai wujud terima kasih atas
anugerah yang diberikan oleh Dewa Danu yang memberikan sumber air, yang dapat
dipergunakan untuk mengairi lahan. Upacara ini didukung juga oleh Tri Hita Karana
yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan manusia dengan alam
(palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia (pawongan).
Kata Kunci: Fungsi, Makna, Tattwa, Etika Upacara Mapag Toya
1.
Pendahuluan
Pelaksanaan upacara agama sangat
mendominasi kehidupan manusia, hampir
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
setiap gerak kehidupan masyarakat Hindu
khususnya di Bali selalu ditandai dengan
upacara (Punyatmadja, 1987: 3). Umat Hindu
21
Bali yang pada umumnya lebih dominan
mengutamakan pelaksanaan upacara yajna,
namun nilai filsafat (tattwa) dan etika agama
tidaklah diabaikan begitu saja, sebab ketiga
aspek agama itu yang disebut Tri Kerangka
Dasar agama Hindu yang saling memiliki
hubungan yang erat sebagai pedoman untuk
melaksanakan ajaran-ajaran agama guna
tercapainya kesejahteraan lahir dan bathin
yang menjadi tujuan hidup bersama dalam
agama Hindu. Kegiatan dalam pelaksanaan
upacara yajna yang dilaksanakan oleh umat
Hindu merupakan cetusan hati nurani yang
tulus ikhlas (Surayin, 2004: 3). Di samping itu
juga upacara yajna merupakan salah satu
tujuan untuk membina kepribadian yang
mandiri, sekaligus mengandung makna
mendidik dan membudayakan tingkah laku
manusia agar tercipta suasana kesucian yang
maha agung dan mulia (Raid Pekaka, 1992: 4).
Oleh karena itu, upacara dalam pelaksanaan
upacara yajna merupakan gambaran sekaligus
sebagai ungkapan rasa terima kasih kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan
menghaturkan atau mempersembahkan banten.
Keyakinan para petani di dalam
menanam tanaman pertanian tidak hanya
mengorek tanah sedemikian rupa, menyiram
dengan air, memberantas hama dan tindakantindakan praktis lainnya, tetapi disertai pula
dengan upacara dan doa. Doa-doa itu berisikan
pernyataan atau pengakuan akan adanya
kekuatan Yang Maha Besar, yakni kekuatan
yang memberi kemakmuran melalui tanaman
pertanian dan kekuatan-kekuatan lain yang
berhubungan dengan itu.
Pelaksanaan upacara pertanian juga
merupakan penyatuan rasa bhakti, rasa syukur,
dan pujian-pujian permohonan disampaikan
agar berjenis-jenis hama dan gangguan lainnya
yang menyerang tanaman pertanian dapat
dijauhkan dari daerah pertaniannya. Di antara
sekian tanaman pertanian, tanaman padilah
yang paling banyak disertai dengan upacara
dan upakara. Walaupun masyarakat (petani)
rajin melaksanakan upacara dan menyiapkan
22
upakara yajna, namun hanya sebagian kecil
yang menyadari dan mengetahui secara
mendalam tentang apa yang dilakukan dalam
menyelenggarakan upacara yajna pada lahan
basah.
Suryani (2004: 3) menguraikan bahwa
yang utama di dalam perwujudan sebagai umat
Hindu, dituntut suatu penghayatan yang
bernilai
bhakti
suci,
ketulusikhlasan,
berkorban terhadap yang menjadikan sebagai
manusia, percaya akan adanya Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/Sang Hyang Tunggal beserta
manifestasi-Nya dan para leluhur yang sudah
suci berwujud Ida Bhatara/Bhatari yang selalu
ada serta selalu memonitor perbuatan manusia
di jagat raya ini. Lebih jauh dijelaskan juga
bahwa di dalam menyusun upakara yajna baik
untuk di pura maupun di merajan masingmasing dan di tempat lainnya, semestinya
diketahui terlebih dahulu kegiatan-kegiatan
yang perlu dibuatkan upakara dan disesuaikan
dengan kemampuan yang dimiliki serta
dengan hati persembahan yang tulus ikhlas
agar yajna yang dibuat tidak sia-sia. Kitab
Veda Smerti buku IV, sloka 227 menyebutkan:
Danadharmam nisewata
Nityammaistika paurtikam
Paritustena bhawena
Patramasadya saktitah
Artinya:
Hendaknya selalu melaksanakan tugastugas dengan tulus ikhlas dan murah hati
sesuai dengan kemampuannya dan
dengan hati gembira, apakah dengan
mempersembahkan upacara berkorban
atau dengan melakukan pekerjaanpekerjaan amal, kalau ia menemui pihak
yang patut dihargai untuk menerima
pemberiannya.
Salah satu upacara yang sering dilakukan
oleh umat Hindu, khususnya di bidang
pertanian adalah upacara Mapag Toya
(menjemput air). Upacara tersebut mempunyai
fungsi dan makna bagaimana seharusnya
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
manusia menunjukkan rasa kasih, hormat, dan
bhakti kepada Tuhan, kepada alam semesta,
kepada sesama manusia, kepada leluhur, dan
kepada orang-orang suci.
Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten
Parigi
Moutong
merupakan
daerah
transmigrasi. Sejak tahun 1969 warga Bali
masuk ke Sulawesi Tengah dan sampai saat ini
berkembang. Hal tersebut terlihat banyaknya
umat Hindu yang ada di Kabupaten Parigi
Moutong khususnya di Desa Nambaru. Di
dalam perkembangannya, umat Hindu
melaksanakan tradisi adat istiadat dan upacara
sesuai dengan apa yang berlaku di tempat asal
sebelumnya yaitu Bali. Salah satu contoh yaitu
pada upacara Mapag Toya.
Upacara Mapag Toya ini dilakukan
setiap akan mulai turun ke sawah menggarap
lahan dengan harapan mendapatkan air dengan
lancar. Sebagai upaya untuk mendapatkan air
sebagai sumber pengairan, maka organisasi
subak tersebut melaksanakan upacara Mapag
Toya (menjemput air) yang dilakukan setiap
permulaan pembukaan pintu air pada setiap
peleburan tanah sawah. Umat Hindu yang
memiliki organisasi subak dapat melaksanakan
Upacara Mapag Toya pada saat pengairan
dibuka dan sebelum memulai peleburan lahan
persawahan.
2.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Subak
Ulun Suwi Desa Nambaru Kecamatan parigi
Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Upacara
Mapag Toya di Subak Ulun Suwi dilaksanakan
setiap awal turun ke sawah dan sebelum
peleburan lahan sawah yang akan ditanami
padi. Upacara dilakukan di ulu bendungan,
sebab Desa Nambaru merupakan desa yang
memiliki hasil pertaniaan yang tidak menentu,
umat Hindunya sebagian besar berprofesi
sebagai petani dan bergantung pada hasil
pertanian karena merupakan daerah penghasil
padi.
Sumber data dalam penelitian ini yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
pada penelitian ini adalah data langsung dari
hasil observasi dan wawancara dengan
beberapa tokoh umat Hindu di Desa Nambaru
yaitu pemangku, parisada, serathi banten,
ketua adat dan tokoh masyarakat yang
mengetahui dan dapat memberikan informasi
sehubungan dengan permasalahan yang sedang
diteliti. Data sekunder adalah data yang
diperoleh atau dikumpulkan oleh yang
melakukan penelitian dari sumber-sumber
yang telah ada. Sumber data sekunder ini
biasanya diperoleh dari literatur-literatur,
dokumen hasil laporan peneliti terdahulu,
perpustakaan atau dari sumber-sumber yang
telah ada. Penentuan informan dilakukan
melalui teknik purposive sampling. Teknik
pengumpulan
data
dilakukan
melalui
observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Teknik analisis data yang digunakan adalah
deskriptif interpretatif untuk mencari makna
dari hasil wawancara yang telah dilakukan.
Data
yang
diperoleh
dikelompokkan,
kemudian dilakukan reduksi data, penyajian
data, dan verifikasi atau penyimpulan.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1. Tattwa dan Etika Upacara Mapag
Toya di Subak Ulun Suwi Desa
Nambaru Kecamatan Parigi Selatan
Kabupaten Parigi Moutong
Tattwa dan etika dalam pelaksanaan
upacara Mapag Toya merupakan suatu
keharusan yang dilakukan oleh petani sebelum
turun melebur sawah yang akan diolah dengan
mengunakan alat tradisional ataupun alat
pembajakan berupa traktor. Umat Hindu pada
umumnya, setiap melaksanakan upacara
keagamaan selalu dilandasi dengan berbagai
petunjuk sastra yang menyangkut dengan
upacara agama. Dalam setiap upacara yang
digunakan baik secara umum, maupun secara
pribadi pada prinsipnya memakai dasar atau
panduan yang sesuai dengan sastra dan
kebudayaan agama. Dalam proses upacara
Mapag Toya dan upacara lainnya tentang
pertanian lahan basah, perlu ditekankan pada
23
landasan susila, sebab semakin besar suatu
upacara yajna yang dilaksanakan dan
dipersembahkan, maka semakin berat juga
pengendalian diri yang patut dilaksanakan.
Sebagaimana dijelaskan dalam Lontar Yajna
Prakerti 3.a. sebagai berikut:
Kurang yang darung diniksan de sang
Brahmana putus, ri sanwir ing yajnyayajnya,kirti-kerti inkag wang ring para
loka tan sidha putus ngaran puput, tan
wenang watek dewa bhatara amanggapi
ikang yajnya magkana.
Artinya:
Apabila belum disucikan oleh seseorang
Brahmana suci, segala bentuk yajna
maupun
pekerjaan,
segala
yang
diperbuat oleh manusia di dunia ini,
tidak dinamakan sukses, tak wajar Tuhan
menerima persembahan yang demikian.
Dari penjelasan lontar di atas memberi
tuntunan kepada umat Hindu agar setiap
pelaksanaan ritual dalam bentuk apapun yang
dipimpin oleh sang Brahmana, maka wajib
terlebih dahulu disucikan oleh Brahmana. Jika
hal itu tidak melanggar norma persembahan,
maka yajna tersebut akan diterima atau sampai
kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Berikut hasil wawancara dengan salah
satu tokoh masyarakat yaitu Bpk W.SKd
tanggal 12 November 2012.
“Bagi masyarakat Desa Nambaru
khususnya umat Hindu yang memiliki
sawah atau ladang atau lahan basah,
masih percaya dengan kekuatan upacara
Mapag Toya yang menggunakan
berbagai sarana banten sebelum turun ke
sawah atau sebelum mengelola sawah,
hendaknya
melaksanakan
upacara
Mapag Toya terlebih dahulu di
bendungan atau di irigasi tempat
pembagian air menuju persawahan.
Dengan tujuan agar mendapatkan berkah
serta segala pekerjaan yang dilakukan di
24
persawahan tidak mendapat hambatanhambatan khususnya masalah air yang
sangat penting dalam pengolahan sawah.
Jika pengairan tidak bagus atau kurang
baik, maka pengolahan atau peleburan
lahan juga tidak dapat dilakukan secara
maksimal”
Hasil wawancara di atas menekankan
umat Hindu melakukan upacara Mapag Toya
untuk memohon berkah dari Dewi Gangga
agar beliau memberikan air suci (toya) dan
Dewi Sri menganugerahkan kesuburan
tanaman padi. Persembahan upacara ditujukan
sepenuhnya kepada Sang Hyang Siwa, dalam
konteks ini adalah sebagai pemberi
kehormatan dan kesucian spiritual oleh
masyarakat untuk menangani masalah-masalah
dalam lahan persawahan tentang upacara
yajna, sehingga dalam kehidupan sosial
keagamaan tampak adanya hubungan yang
harmonis antara manusia dengan alam.
Berikut hasil wawancara dengan Jero
Mangku:
“Umat Hindu Desa Nambaru selalu taat
terhadap petunjuk sastra Hindu dalam
pelaksanaan upacara Mapag Toya, hal
ini sangatlah penting artinya bagi
perkembangan petani dalam menanam
padi, dengan demikian petani setempat
melakukan upacara Mapag Toya yang
didasari oleh tattwa, etika, dan upacara,
ketiga kerangka dasar agama Hindu ini
dijadikan sebagai dasar acuan dalam
melakukan/melaksanakan
kegiatan
keagamaan khususnya ritual upacara
penjemputan air (Mapag Toya).
3.2. Fungsi dan Makna Upacara Mapag
Toya di Subak Ulun Suwi Desa
Nambar Kecamatan Parigi Selatan
Kabupaten Parigi Moutong.
Fungsi upacara Mapag Toya ini adalah
sebagai simbol guna mendapatkan air untuk
mengairi persawahan para petani agar
melancarkan dalam proses pengolahan lahan.
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
Dimana dewa yang disimbolkan dalam
upacara tersebut adalah Dewi Gangga, Dewi
Sri dan Dewa wisnu sebagai manifestasi
Tuhan yang dapat memberikan kemakmuran
dalam mengelola sawah sampai selesai. Dalam
pelaksanaan upacara mapag toya ini juga
diyakini oleh umat Hindu untuk melindungi
tanaman padi agar tidak mudah diserang
berbagai jenis penyakit atau hama-hama
lainnya.
Masyarakat Bali/Hindu yang ada di Desa
Nambaru
Kecamatan
Parigi
Selatan
Kabupaten Parigi Mautong sebagian besar asli
berasal dari Bali, dimana sebelum mereka
merantau sebagai transmigrasi yang telah
diprogramkan
oleh
pemerintah
yang
profesinya sebagai petani lahan basah
khususnya dipersawahan dalam hal mengelola
tanah sawah.
Upacara
Mapag
Toya
selalu
dilaksanakan dan tidak pernah dilupakan
sesuai dengan tatanan atau awig-awig yang
berlaku di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru,
sebagai kepercayan umat Hindu yang sangat
kental dengan budaya, bahwa sebelum
melakukan peleburan lahan sawah umat Hindu
melakukan upacara Mapag Toya (menjemput
air) yang memiliki makna yaitu pelaksanaan
upacara permohonan diberikan air atau kata
lainnya penjemputan air, dengan adanya
upacara tersebut petani yang ada menyakini
bahwa dengan upacara Mapag Toya dapat
berfungsi
mengairi
persawahan
untuk
memberikan hasil panen yang baik, dan
membantu
perekonomian
masyarakat
khususnya para petani padi.
Berdasarkan hasil Wawancara yang
dilaksanakan pada tanggal 14 November 2012
dengan Ketua Subak Ulun Suwi menyatakan:
“Bahwa pelaksanaan upacara Mapag
Toya adalah suatu upacara yang
dilakukan di hulu empelan dimana
pelaksanaan upacara Mapag Toya ini
memiliki makna penjemputan air dari
bendungan
hulu
menuju
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
bendungan/irigasi, dan berfungsi untuk
mengairi sawah yang kami garap
masing-masing. Dalam penjemputan air
tersebut kami menggunakan suatu
upacara Pemapag Toya yang disesuaikan
dengan desa (tempat), kala (waktu), dan
patra (keadaan). Adapun susunan atau
runtutan upacara Mapag Toya ini
dilakukan setiap awal turun ke sawah
dan merupakan langkah dari pada
seorang petani pada saat mulai melebur
atau menggarap sawahnya, serta sebagai
wujud terima kasih kepada Dewi
Gangga, karena berkat beliau para petani
khususnya umat Hindu dapat melakukan
penanaman padi tepat pada waktu yang
telah disepakati bersama kelompok
subak. Dengan adanya upacara tersebut
petani dapat berkerja dengan baik karena
telah diberikan suatu berkah dalam
penjemputan air (toya). Upacara
pemapang toya atau dalam upacara
Balinya disebut memendak amertha,
yang artinya meminta air (toya),
dilakukan secara bersama-sama dengan
kelompok subak sekitarnya”.
Dari hasil wawancara di atas dapat
disimpulkan bahwa umat Hindu yang ada di
Desa Nambaru atau di Subak Ulun Suwi selalu
rutin setaip mulai pengolahan tanah yang akan
ditanami padi, wajib melakukan pemendak
toya dalam istilah Balinya atau dengan
melakukan upacara Mapag Toya di bendungan
dan dilimpahkan melalui pintu air yang
sebagai pusat masuknya air ke petak
persawahan. Umat Hindu yang ada di Desa
Nambaru, Subak Ulun Suwi tidak pernah lupa
akan pelaksanaan upacara Mapag Toya
tersebut, karena sesuai dengan kepercayaan
umat Hindu dengan adanya upacara tersebut
petani di Subak dapat melakukan penanaman
padi yang baik dan benar, dan untuk
menjauhkan gangguan hama yang akan
menyerang tanaman padi maka upacara
Mapag Toya ini dapat dilakukan dengan
25
melihat hari dan wuku yang baik, dan sebagai
wujud terima kasih atas karunia Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dan Dewi Gangga yang
dapat memberikan berkah dan hasil yang
seimbang, serta memberi kehidupan yang
harmonis dan hasil yang maksimal. Dalam
pelaksanaan
upacara
Mapag
Toya,
menggunakan berbagai macam sarana yaitu
berupa sorohan agung 2 soroh, katur ring
bedugul, ring panggulun empelan, tekaning
pecaruan eka sata ayam hitam, banten suci,
gebogan, dan lumbung sebagai tempat
meminta air suci (tirtha).
Sudarsana (1994: 15) menyatakan bahwa
upacara Mapag Toya biasanya disertai dengan
mecaru ayam hitam dengan tujuan pencaruan
dapat menetralisir suatu lingkungan atau
wilayah yang ada di daerah sekitar bendungan
persawahan, dengan harapan dapat mencegah
atau mengurangi berbagai penyakit atau hama
yang dapat merugikan petani. Upacara Mapag
Toya merupakan awalnya para petani turun ke
sawah yang sesuai dengan hari dan sasih yang
baik agar bermanfaat dalam memulai
pengolahan lahan sawah.
Makna dan fungsi upacara Mapag Toya
yang dilakukan merupakan permohonan dari
semua anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang diberikan kepada umat, dengan
melaksanakan upacara yang dilakukan di nista,
madya dan utama. Upacara di madya memakai
banten pras ajengan, dan meminta ampun
kepada Dewi Danu, dan mohon izin di
Bedugul karena akan ada orang yang
melakukan dan memohon restu dalam upacara
Mapag Toya, untuk memohon anugerah air
sebagai proses pengolahan sawah yang akan
ditanami padi.
Upacara Mapang Toya juga memiliki
kaitan dengan Tri Hita Karana dalam
hubungan Manusia semasa hidupnya yaitu:
1. Hubungan
manusia
dengan
Tuhan
(parahyangan)
Melakukan dan menghaturkan upakara atau
upacara yajna yang dipersembahkan
sebagai rasa syukur dan rasa terima kasih
26
yang tulus ikhlas dan mengingat
keberadaan Tuhan.
2. Hubungan manusia dengan alam semesta
(pelemahan)
Dalam hubungan manusia dengan alam
semesta yaitu dengan melakukan upacara
yajna atau upacara Bhuta Yajna yang
dilakukan manusia selama hidup dan
menikmati hasil bumi.
3. Hubungan manusia dengan manusia
(pawongan)
Seperti hubungan manusia dengan manusia
dalam upacara pertanian ini dapat dilihat
dengan
bersama-sama
melaksanakan
upacara yajna berupa upacara Mapang
Toya dan upacara lainnya baik yang kecil
ataupun
besar
yang
memberikan
keselamatan hasil sawah atau hasil bumi.
Menggunakan caru ayam hitam yang
ditujukan kepada Dewa Wisnu dan Bhuta
Kala, sebagai wujud sembah bhakti dan terima
kasih karena berkat beliau petani setempat
dapat mengolah sawahnya. Banten ini
memiliki makna dan fungsi sebagai wujud
terima kasih kehadapan Dewa Wisnu dan
Dewi Gangga sebagai sumber mata air untuk
mengolah lahan persawahan. Upacara Mapag
Toya yang dilakukan sebelum peleburan lahan
sawah dan meminta berkah serta memohon
keselamatan tanaman, pertama dilakukan di
Bedugul, menuju ke Ulun Suwi dan ke
empelan atau bendungan untuk meminta
berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, kemudian
menuju ke petakan sawah yang pertama
menerima air atau ke temuku.
4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan maka dapat ditarik suatu kesimpulan
dari upacara Mapag Toya sebagai berikut:
1. Tattwa dan Etika dalam Pelaksanaan
Upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi
Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan
Kabupaten Parigi Moutong yaitu:
a. Tattwa merupakan personifikasi dari
kekuatan mahat (intuisi) dengan
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
kenyataan bahwa tattwa merupakan
tempat jaringan otak, sebagai sumber
berpikir dan merupakan tempat susunan
saraf pusat untuk melakukan sesuatu
yang berdasarkan kenyataan.
b. Etika/Ritual merupakan personifikasi
dari kekuatan budhi (akal) yaitu
menerima perintah dari mahat, untuk
diteruskan kepada ahamkara, kenyataan
sebagai simbol badan penyebab, sebagai
tempat memproses perintah mahat
sehingga menjadi kebijaksanaan (kleteg
hati) atau kesenangan, dan keihklasan
hati.
c. Upacara/upakara
merupakan
personifikasi dari kekuatan ahamkara
sebagai pelaksanaan perintah dari budhi
sehingga muncullah perilaku, kenyataan
sebagai simbol anggota badan (tangan
dan kaki) dan seluruh jiwa.
Adapun segala bentuk upacara yang
digunakan oleh umat Hindu khususnya
Subak di Desa Nambaru sangat tergantung
pada kerangka dasar agama Hindu dan
sastra Hindu lainnya. Begitu pula dengan
subak yang berada di Sulawesi Tengah pada
umumnya hampir memiliki kesamaan
tentang pelaksanaan upacara Mapag Toya
yang digunakan oleh petani baik di daerahdaerah atau di kampung-kampung mengacu
dari beberapa sumber seperti Dharmani
Pemaculan, Bhuta Yajna, Tuntunan Gunan
Ing Masasawahan, Dharmaning Paebatan,
Dharma Caruban, ajaran agama Hindu
(filsafat yajna), pustaka sari tattwa, dan
himpunan tetandingan upakara yajna.
2. Fungsi dan Makna Upacara Mapag Toya di
Subak Ulun Suwi di Desa Nambaru
Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi
Moutong yaitu upacara Mapag Toya adalah
sebagai simbol guna mendapatkan air untuk
mengairi persawahan para petani agar
melancarkan dalam proses pengolahan
lahan. Dimana dewa yang disimbolkan
dalam upacara tersebut adalah Dewi
Gangga, Dewi Sri dan Dewa Wisnu sebagai
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
manifestasi Tuhan yang dapat memberikan
kemakmuran dalam mengelola sawah
sampai selesai. Pelaksanaan upacara Mapag
Toya ini juga diyakini oleh umat Hindu
untuk melindungi tanaman padi agar tidak
mudah diserang berbagai jenis penyakit
atau hama-hama lainnya.
Makna upacara Mapang Toya ini
merupakan suatu upacara penjemputan air
yang dilakukan sebelum peleburan atau
turun ke sawah dalam pengolahan tanah.
Upacara ini dilakukan di Bedugul, atau
empelan, terus menuju ke persawahan.
Dimana upacara ini menggunakan upacara
yajna, yang dilakukan di ulun empelan,
yang dalam pelaksanaannya terdiri dari tiga
tempat yaitu nista, madya, dan utama.
Contoh yang madya ada banten yang
digunakan misalnya banten pras daksina,
segehan dan lainnya, sedangkan pada
tingkatan utama menggunakan peras,
daksina suci, segehan, tumpeng pitu, dan
banten yang lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ariadi, N.M. 2010. (PTJJ). Kajian Nilai Etika
Busana Adat Sembahyang Bagi Kaum
Remaja. (Skripsi tidak di terbitkan).
Universitas Hindu Indonesia.
Astiti, Wayan. 1997. Peran Lembaga Subak
Gede dalam Pelaksanaan Program
Supra Insus Di Kabupaten Tabanan.
(Tesis tidak diterbitkan). Universitas
Gadjah Mada.
Bagus, I Gusti Ngurah. 2000. Dinamika
Budaya Hindu Dharma di Indonesia.
Forum Penyadaran Dharma Duta
Wanita, Universitas Press.
Bandesa, Gede Nyoman. 1994. Dharmanig
Pemaculan. Denpasar.
Bangli, Putu. 2010. Warnaning Sesayut Lan
Caru. Jakarta: Paramita Surabaya.
27
Basrowi,
Sawandi.
2008.
Memahami
Penelitaian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
_____________. 1998. Ajaran Agama Hindu
(Dharma Caruban). Yayasan Dharma
Acarya.
Dahara, Willis. 1988. Teori-Teori Belajar.
Departemen Pendidikan Kebudayaan
Direktorat jendral Pendidikan Tinggi.
Jakarta.
_____________. 2010. Himpunan Tetandigan
Upakara Yajna. Yayasan Dharma
Acarya.
Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme
Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Hanindita.
Hindu Dharma. 1977. Tuntunan Gunan Ing
Masasawahan. Parisada Hindu Dharma
Kabupaen Tabanan.
Jaman, Gede. 2006. Tri Hita Karana. Pustaka
Bali Post.
Kajeng, I Nyoman. 1999. Sarasamucaya.
Surabaya: Paramita.
Maswinara, I Wayan. 1997. Bhagawad Gita.
Surabaya: Paramita.
Mitja Ketut. 1979. Dharmanig Pemaculan
(persubakan). Giayar.
Sudarta, N.M. 2008. Etika Upacara Caru
Panca Sata. (Skripsi tidak diterbitkan).
Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
Suryani, Ida Ayu Putu. 2004. Seri Upakara
Yajna, Manusa Yajna. Surabaya:
Paramita.
__________________. 2005. Bhuta Yajna.
Surabaya: Paramita.
Tim Penyusun. 2008. Panca Yajna. Denpasar.
___________. 2009. Pedoman Pelaksanaan
Manusia Yajna di Jawa. Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu
Departemen Agama Hindu. Jakatra.
Titib, I Made. 2009. Teologi dan SimbolSimbol dalam Agama Hindu. Surabaya:
Paramita.
Pudja, Gede. 2005. Bhagavad Gita. Surabaya:
Paramita Surabaya.
Putra, Ida Bagus Anila. 1976. Pustaka Sri
Tattwa. Badan Pembinaan Lembaga
Adat Kabupaten Daerah Tingkat II
Bandung.
Suarjaya, 2008. Panca Yajna. Denpasar:
Widya Dharma
Sudarsa, N.M. 2010. Kidung Kaki Kiwa
(perspektif Nilai Pendidikan Etis Estetis
Religius. (Skripsi tidak diterbitkan).
Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu
Dharma Negeri.
Sudarsana, Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu
(Filsafat Yajna). Yayasan Dharma
Acarya.
28
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
Download