Kekayaan Laut Mencapai US$ 24 Triliun, Namun

advertisement
WWF-Indonesia
Gedung Graha Simatupang
Tel: +62 21 7829461
Fax: +62 21 7829462
Tower 2C Lt. 7-11
www.wwf.or.id
JL. TB Simatupang Kav. 38
Jakarta Selatan 12540
Indonesia
SIARAN PERS
Untuk disiarkan 23 April 2015
Kekayaan Laut Mencapai US$ 24 Triliun, Namun Cepat Terkuras Habis
Jakarta – Jumlah kekayaan laut dunia menyaingi nilai ekonomi negara-negara maju, namun sumber daya laut
menyusut secara cepat, demikian dikatakan laporan yang diluncurkan WWF hari ini, 23 April 2015. Laporan
berjudul Reviving the Ocean Economy: The Case for Action – 2015 menganalisa peran laut sebagai penggerak
ekonomi dan menggambarkan ancaman-ancaman yang mendorong ke arah kehancuran.
Dalam laporan tersebut, nilai aset utama dalam laut diperkirakan secara konservatif mencapai US$ 24 triliun.
Jika dibandingkan dengan 10 negara dengan tingkat ekonomi tertinggi di dunia, sumber daya laut akan
menempati peringkat ketujuh dengan nilai sumber daya dan jasa hingga US$ 2,5 triliun per tahunnya.
Laporan yang disusun atas hasil kerjasama dengan The Global Change Institute di University of Queensland
dan The Boston Consulting Group (BCG) ini merupakan kajian yang paling fokus tentang laut berdasarkan
nilai asetnya. Reviving the Ocean Economy mengungkap kekayaan laut yang berlimpah melalui kajian
terhadap nilai sumber daya dan jasa yang mencakup perikanan hingga perlindungan dari badai laut. Selain itu,
laporan ini juga menjelaskan tekanan terhadap sumber daya laut yang terus menerus karena eksploitasi yang
berlebihan, penyalahgunaannya, dan perubahan iklim.
“Laut mampu menyaingi kekayaan negara-negara terkaya di dunia, namun dibiarkan tenggelam menuju
kegagalan ekonomi,” ujar Dr. Marco Lambertini, Direktur Jenderal WWF Internasional. “Sebagai pihak yang
bertanggung jawab, kita tidak mungkin berharap untuk terus mengeruk aset berharga laut dengan tidak serius
memikirkan dampaknya dan tanpa berinvestasi untuk masa depan.”
Nilai ekonomi maritim Indonesia menurut Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2013 berpotensi mencapai
sebesar 171 miliar dollar AS per tahun. Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor,
Arif Satria, mengatakan “Kehebatan bangsa bahari tidak tergantung pada seberapa banyak kekayaan lautnya,
tetapi tergantung bagaimana mengelolanya. Karena itu, laut harus dikelola dengan mengacu pada prinsipprinsip kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Prinsip-prinsip ini harus menjadi pegangan seluruh
pemangku kepentingan kelautan, dan kemudian diterjemahkan ke dalam program aksi secara sistematis.”
Menurut laporan tersebut, lebih dari dua per tiga nilai ekonomi tahunan dari kelautan bergantung pada
kondisi kesehatan laut untuk menjaga nilai pendapatan ekonomi per tahun yang dapat dihasilkan.
Melemahnya sektor perikanan, deforestasi mangrove serta hilangnya terumbu karang dan padang lamun
merupakan ancaman bagi roda penggerak ekonomi kelautan yang menjadi penopang kehidupan dan sumber
kehidupan di seluruh dunia.
“Dengan menghitung nilai ekonomi tahunan dan nilai aset dari laut dunia menunjukkan kepada kita apa yang
sebenarnya yang dipertaruhkan dalam angka perhitungan yang jelas - secara ekonomi dan lingkungan. Kami
berharap laporan ini menjadi seruan bagi para pimpinan di dunia usaha dan pembuat kebijakan untuk
membuat keputusan yang lebih bijak dan berdasarkan perhitungan matang dalam mewujudkan masa depan
ekonomi dari laut kita bersama,” ucap Douglas Beal, Partner and Managing Director dari The Boston
Consulting Group.
Penelitian yang dipaparkan dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa kondisi laut dewasa ini berubah lebih
cepat dibanding pada masa-masa lain selama periode jutaan tahun. Pada saat yang sama, pertumbuhan
populasi manusia dan ketergantungan akan laut membuat pemulihan ekonomi kelautan dan aset utamanya
menjadi sebuah desakan global.
“Kini laut dihadapkan pada risiko yang lebih besar dibandingkan masa-masa sebelumnya dalam catatan
sejarah. Kita mengeruk terlalu banyak ikan, membuang terlalu banyak limbah, dan meningkatkan suhu serta
keasaman laut sampai titik dimana sistem alami tidak lagi bisa berfungsi,” kata Ove Hoegh-Guldberg, penulis
utama laporan tersebut dan Direktur Global Change Institute di University of Queesnland yang berpusat di
Australia.
Perubahan iklim merupakan penyebab utama menurunnya kondisi kesehatan laut. Penelitian dalam laporan ini
juga menunjukkan dengan laju peningkatan suhu saat ini, pada tahun 2050, terumbu karang yang
menyediakan makanan, pekerjaan dan melindungi ratusan juta manusia dari badai akan punah. Bukan hanya
meningkatnya suhu permukaan air laut, perubahan iklim juga meningkatkan keasaman air laut yang
membutuhkan ratusan generasi untuk pulih.
Eksploitasi berlebih merupakan penyebab utama lain dari penurunan kondisi kesehatan laut, dengan sekitar 90
persen dari ketersediaan perikanan dunia telah tereksploitasi berlebihan atau sepenuhnya tereksploitasi.
Populasi Pacific Bluefin Tuna sendiri telah turun sebanyak 96 persen.
Belum terlambat untuk memutarbalikkan kecenderungan yang merusak ini dan memastikan kesehatan laut
yang bermanfaat bagi manusia, bisnis dan alam. Reviving the Ocean Economy mendorong delapan butir
rencana aksi untuk perbaikan sumber daya laut sesuai potensinya
Salah satu solusi mendesak yang diusulkan adalah memasukkan upaya pemulihan laut dalam agenda Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) PBB, mendorong tindakan global terhadap
perubahan iklim, dan memperkuat komitmen untuk melindungi kawasan pesisir dan laut.
“Laut memberi kita makan, penghidupan, dan menopang kesehatan serta kesejahteraan kita, namun kita
membiarkan laut hancur di depan mata kita. Bila kisah buruknya kesehatan laut tidak menginspirasi para
pemimpin kita, mungkin sebuah analisa ekonomi akan membuka mata mereka. Kita memiliki pekerjaan serius
untuk melindungi laut, dimulai dengan komitmen global yang sungguh-sungguh untuk iklim dan
pembangunan berkelanjutan,” tambah Dr. Lambertini.
Arif Satria menegaskan kembali pentingnya peran laut dan perhatian pemerintah dalam menjaga ketahanan
pangan, "Laut harus berkontribusi terhadap ketahanan pangan. Karena itu agar ketersediaan ikan terjaga
kesinambungannya, maka produksinya pun harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Yang harus
diperhatikan oleh pemerintah Indonesia adalah membuat Rencana Pengelolaan Perikanan dan Kawasan
Konservasi Laut yang berfungsi secara efektif dan didukung oleh seluruh pemangku kepentingan. Karena itu,
perlu melibatkan para pihak dalam proses perencanaan, implementasi, hingga evaluasinya,”
Kampanye kelautan global WWF, Sustain Our Seas, didasarkan pada kerja- kerja WWF selama berpuluh
tahun bersama mitra dalam konservasi kelautan. WWF bekerja sama dengan pemerintah, pelaku usaha dan
masyarakat untuk menggugah para pemimpin agar mengambil tindakan cepat dalam membangkitkan kembali
ekonomi kelautan dan melindungi kehidupan dan sumber kehidupan milyaran orang di seluruh dunia.
-o0oLaporan lengkapnya dapat dilihat di: ocean.panda.org
Beberapa infografis dan foto untuk laporan ini tersedia di: http://bit.ly/1Is7Aex
2
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Nenden N. Fathiastuti, Public Relations Manager, WWF-Indonesia
Email: [email protected], Hp: +62 811 1909-148
Dwi Aryo Tjiptohandono, Marine & Fisheries Campaign Coordinator, WWF-Indonesia
Email: [email protected], Hp: +62 811 480-3343
Imam Musthofa, Coral Triangle Fisheries Program Leader, WWF-Indonesia
Email: [email protected], Hp: +62 812 3853-921
Catatan untuk Editor:
• The Global Change Institute (GCI) – University of Queesnland (UQ) merupakan institusi
independen yang bergerak dalam penelitian, ide dan masukan untuk penanggulangan tantangan
perubahan global. GCI mengedepankan menciptakan penemuan, solusi, dan advokasi tindakan untuk
menjawab tantangan dari perubahan iklim, inovasi teknologi, dan pertumbuhan populasi. UQ
merupakan salah satu institusi terkemuka berpusat di Australia yang bergerak dalam bidang
pembelajaran dan penelitian. Berdasarkan kombinasi dari empat peringkat Universitas global, UQ
menempati peringkat 100 teratas dari seluruh Universitas di dunia. UQ juga adalah salah satu pendiri
dari kelompok universitas Australia Group of Eight.
•
The Boston Consulting Group (BCG) adalah perusahaan konsultan manajemen global dan penasihat
strategi bisnis terkemuka di dunia. BCG bekerja sama dengan pihak swasta, publik, dan lembaga
nirlaba di seluruh dunia untuk mengidentifikasi peluang-peluang terbaik, mengatasi tantangan yang
paling kritis, dan mentransformasi perusahaan mereka. Pendekatan BCG menggabungkan wawasan
yang mendalam tentang dinamika perusahaan dan pasar melalui keterlibatan pada semua tingkat
dalam struktur organisasi klien. Hal ini untuk memastikan agar klien memiliki keunggulan kompetitif
yang berkelanjutan, membangun organisasi yang lebih bersaing, dan menjamin hasil yang hasil
jangka panjang. Didirikan pada tahun 1963, BCG merupakan perusahaan swasta yang memiliki 81
kantor di 45 negara. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi bcg.com
Tentang WWF-Indonesia
WWF-Indonesia adalah organisasi konservasi nasional yang mandiri dan merupakan bagian dari jaringan global WWF.
Mulai bekerja di Indonesia pada tahun 1962 dengan penelitian Badak Jawa di Ujung Kulon, WWFIndonesia saat ini
bergiat di 28 wilayah kerja lapangan di 17 propinsi, mulai dari Aceh hingga Papua. Didukung oleh sekitar 500 staff,
WWF-Indonesia bekerja bersama pemerintah, masyarakat lokal, swasta, LSM, masyarakat madani, dan publik luas.
Sejak 2006 hingga 2013, WWF Indonesia didukung oleh sekitar 64.000 supporter di dalam negeri. Kunjungi
www.wwf.or.id.
3
Download