bab 8 diskursus dan praktik potensi golongan miskin

advertisement
BAB 8
DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN
Diskursus dan praktik potensi golongan miskin mengoperasikan kekuasaan
untuk membuka berbagai akses guna memunculkan tubuh-tubuh miskin. Aksesakses tersebut menjadi modal bagi tubuh miskin untuk menunjukkan potensinya.
Mekanisme pembalikan pemikiran dilakukan akademisi dan aktivis
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam diskursus dan praktik ini. Pertama,
tubuh-tubuh miskin tidak ditenggelamkan dalam penghitungan statistika maupun
persangkaan budaya, melainkan justru diajak untuk muncul bersama pendamping.
Dalam arena proyek penanggulangan kemiskinan, golongan miskin muncul dalam
menentukan subyek kemiskinan sendiri. Kedua, tubuh-tubuh miskin tidak
dicurigai, sebaliknya dipercaya untuk memecahkan persoalannya sendiri. Interaksi
dalam kelompok mengarahkan munculnya kekuasaan yang menguatkan
solidaritas sosial, dan diarahkan untuk mencapai kemandirian golongan miskin itu
sendiri. Ketiga, golongan miskin tidak dipandang sebagai Si Lain (Other)
melainkan menjadi subyek kemiskinan sendiri, yang biasa disebut sebagai orang
dalam. Pe-Lain-an justru diterapkan kepada pihak-pihak di luar golongan miskin,
sehingga berkonsekuensi pada tugas orang luar untuk mendekati golongan miskin
tersebut –bukan tugas golongan miskin untuk beradaptasi dengan orang luar.
Orang luar menjadi diperlukan (penyuluh, pendamping) agar bersamasama mewujudkan potensi golongan miskin menjadi kekuatan/kekuasaan nyata.
Potensi hendak dikembangkan setinggi-tingginya, baik dari level individual,
kelompok, hingga gabungan kelompok (pada pemikiran peningkatan kapasitas
petani, nelayan dan koperasinya), pada level lokal, regional, nasional dan
internasional (dalam kegiatan kredit mikro). Diskursus ini memang berkembang
melalui seminar dan penerbitan ilmiah, serta jaringan ilmuwan dan aktivis lokal
hingga global.
Kekuasaan
lebih
utama
dioperasikan
sebagai
kekuatan
untuk
meningkatkan solidaritas antar pihak dan antar lapisan sosial –bukan terutama
untuk mendominasi pihak lain. Masyarakat sendiri dipandang terstruktur secara
128
hierarkis. Golongan miskin ditentukan pada lapisan terbawah dari masyarakat
tersebut. Kekuasaan untuk meningkatkan solidaritas beroperasi ketika agensi
dalam struktur tersebut memiliki kemampuan untuk bergerak antar lapisan sosial.
Dibandingkan dengan konsep orang miskin, lebih dikenal konsep
golongan miskin, golongan lemah, golongan terbawah dari masyarakat. Subyek
kemiskinan mencakup lapisan terbawah dari masyarakat, yang dapat berupa
petani berlahan sempit, buruh tani, buruh industri kecil, pengangguran. Namun
demikian, karena seringkali menggunakan data individu miskin, dapat
diperkirakan bahwa diskursus dan praktik potensi golongan miskin diterapkan
pada 13 persen atau 31 juta penduduk miskin di Indonesia.
Penyebab jatuhnya mereka pada posisi terbawah ialah ketidaksamaan
sosial (social inequality) yang bersumber dari ketidaksamaan akses terhadap
berbagai aspek pola nafkah. Tubuh-tubuh tersebut bukanlah miskin dalam makna
tidak memiliki barang dan jasa (the have nots), namun disebabkan oleh akses
kepada penghidupan yang tidak merata dalam masyarakatnya.
Mempercayai Tubuh Miskin
Sejarah pemikiran tentang potensi orang miskin menempati posisi penting,
karena selama lebih dari dua dekade dikembangkan (1970-an hingga 1980-an)
sebelum dioperasikan dalam arena program pemberdayaan masyarakat pada
waktu berikutnya (melalui Program IDT/Inpres Desa Tertinggal yang dimulai
tahun 1993). Adapun predisposisi yang dikembangkan berupa pemikiran
dikotomis berakses-nirakses, dan solidaritas-persaingan (Gambar 11).
Diskursus potensi golongan miskin mendeteksi tubuh miskin pada
golongan terlemah dalam masyarakat (Sajogyo 1977: 10-17). Tubuh golongan
miskin bukan menunjukkan ketiadaan, melainkan masih meninggalkan jejak
kepemilikan potensi untuk mandiri. Kemiskinan mereka dimaknai sebagai
ketidaksamaan atau kesenjangan (inequality) dari golongan di atasnya (Sajogyo
2006: 261-282). Kesenjangan sosial tersebut menghambat potensi mereka, karena
ketiadaan akses untuk berkembang. Oleh sebab itu, upaya penanggulangan
129
kemiskinan diarahkan untuk memeratakan akses bagi tubuh-tubuh golongan
miskin (Supriatna 1997: 24-25).
Berakses
Solidaritas
Kelompok
Persaingan
Individualistik
Nirakses
Gambar 11. Dikotomi Diskursus Potensi Golongan Miskin
Potensi kemandirian muncul karena dalam tubuh golongan miskin
terkandung struktur pengetahuan tersendiri, mampu mengakumulasi pengetahuan,
terutama perihal mekanisme menjadi miskin dan untuk lepas dari kemiskinan.
Konsekuensinya, tubuh golongan miskin dapat dipercaya untuk mengkaji dan
memahami kemiskinan di sekelilingnya serta memahami mekanisme untuk lepas
dari kemiskinan. Mubyarto (1997: 3) mempraktikkannya dalam Program IDT.
Filsafat yang mendasari pendekatan Program IDT adalah
mempercayai penduduk miskin, bahwa apabila dibantu secara tepat
mereka akan dapat "mengentaskan diri" dari kemiskinan yang
mereka alami. Maka Program IDT ditekankan sebagai program
pemberdayaan yang diarahkan pada upaya-upaya memperkuat dan
memampukan usaha-usaha ekonomi rakyat dalam mencapai
kemandirian. Kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan adalah
kegiatan produksi dan sekaligus pemasaran, terutama yang
sumberdayanya tersedia setempat dan dikerjakan oleh rakyat secara
swadaya.
Kepercayaan kepada tubuh golongan miskin diwujudkan dengan
membuka akses partisipasi mereka dalam kegiatan dan program penanggulangan
kemiskinan. Dalam proses partisipasi tersebut, berbagai posisi sosial yang berbeda
130
hierarkinya diharapkan saling bekerjasama. Tindakan kerjasama ini mencipta
solidaritas antar posisi sosial.
Bagaimanapun kunci keberhasilan program-program
penanggulangan kemiskinan adalah pada sikap keberpihakan aparat
pemerintah atau birokrasi pada ekonomi rakyat dan penduduk
miskin yang terlibat di dalamnya. Meningkatkan kepedulian,
keberpihakan, dan komitmen warga yang tidak miskin terhadap
warga yang masih hidup serba kekurangan hendaknya terus
menerus kita dorong (Mubyarto 1997: 20).
Berkaitan dengan hubungan antar pihak, dalam diskursus ini dioperasikan
praktik metode partisipatoris, atau kadang-kadang dinyatakan sebagai metode
partisipatif. Metode ini menyalurkan kekuasaan untuk menghubungkan berbagai
pihak yang berbeda posisi sosial, sehingga sekaligus mengembangkan solidaritas
antar pihak. Dalam metode partisipatoris berbagai pihak yang memiliki
kepentingan berbeda saling berinteraksi sampai menghasilkan keputusan bersama.
Warga desa turut berpartisipasi dalam menganalisis kondisi lingkungan mereka
sendiri, dengan cara menyumbang gagasan dan kritik (Mubyarto 1996: 8).
Metode lainnya ialah belajar dan bertindak bersama (Participatory
Learning and Action). Dalam metode ini warga miskin dipandang kreatif dan
mampu menganalisis serta merencanakan hidupnya sendiri (Mubyarto 1996: 7).
Orang luar hanyalah berperan sebagai penyelenggara, katalis, atau pemelancar.
Metode kajian bersama (co-operative inquiry) juga bersesuaian dengan
diskursus ini, karena memandang setiap pribadi memiliki kemampuan untuk
bertingkah laku mandiri (Mubyarto 1996: 7). Oleh sebab itu setiap pihak yang
terlibat dalam kajian bersama dipandang sama-sama sebagai peneliti. Sumber
pengetahuan dan instrumennya ialah semua pihak yang terlibat langsung. Secara
spesifik, pengetahuan tersebut diperoleh dari tatap muka, hasil praktik,
pengalaman, dan yang dipresentasikan. Secara rinci metode partisipatoris sebagai
proses pengembangan solidaritas antar pihak dilaporkan Sajogyo (1997: 114-116).
… kajian bersama … telah menghasilkan kesadaran bersama yang
semakin kuat akan pentingnya kebersamaan dalam mencari cara
dan pendekatan yang lebih sesuai maksud pemberdayaan
penduduk dalam menanggulangi kemiskinan.
131
… kajian bersama … mencairkan kekakuan komunikasi dan
hubungan antarunsur penggerak pembangunan.
… metode ini memiliki dayaguna praktis dalam proses
pengembagan program-program yang melibatkan banyak pihak…
kajian terbuka semacam ini jarang atau belum pernah
dilaksanakan dalam pengembangan suatu program. Metode kajian
bersama dianggap mampu untuk membangun suatu jembatan
yang kukuh bagi tiga pihak, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan
lembaga sukarela (LSM) yang masing-masing mempunyai
pijakan berbeda dalam memecahkan persoalan pengembangan
masyarakat.
… komunikasi yang lebih intensif antartiga pihak menjadi suatu
tuntutan di masa depan untuk menemukan pola-pola hubungan
yang lebih efektif dan lebih efisien dalam mencapai tujuan
bersama, suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Agensi dari lapisan atas yang telah mengembangkan diskursus potensi
orang miskin terutama akademisi, yang memiliki pemikiran alternatif untuk
pembangunan, seperti pembangunan alternatif, pembangunan partisipatoris, model
kebutuhan manusia. Di samping percaya kepada orang miskin dan mengakui
solidaritas lintas lapisan sosial, penganut diskursus ini mendeteksi kekuasaan
dalam memeratakan hasil pembangunan sebagai mekanisme penting untuk
menanggulangi kemiskinan. Pemerataan sempat terumuskan dalam kerangka
delapan jalur pemerataan plus empat jalur tambahan. Dua jalur pembuka
pemerataan ialah peluang berusaha dan peluang bekerja. Keduanya menentukan
tingkat pendapatan (pengusaha, buruh beserta rumahtangga tanggungan), tingkat
pangan, sandang, perumahan, serta tingkat pendidikan dan kesehatan yang
pelayanannya terjangkau. Tiga jalur pemerataan lainnya dimatrikskan dengan
kelima jalur terdahulu, yaitu meliputi jalur peranserta, jalur pemerataan
antardaerah kota dan desa, serta kesamaan dalam hukum. Empat jalur tambahan
yang perlu diwujudkan terlebih dahulu berupa pemerataan pola penguasaan tanah,
pola penyediaan modal usaha bagi masyarakat, pola komunikasi pengetahuan baru
bagi pengusaha dan buruh, serta pola penyediaan input baru untuk usaha yang
makin banyak berasal dari luar desa. (Sajogyo 2006: 203-206),
Telah dikembangkan pula pemikiran moral ekonomi Pancasila (Mubyarto
1987: 53). Sistem ekonomi ini bercirikan penggerak perekonomian berupa
rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Penggerak lainnya ialah kehendak untuk
132
pemerataan sosial sesuai asas kemanusiaan. Kebijakan ekonomi diprioritaskan
kepada penciptaan perekonomian nasional yang tangguh atau nasionalisme
ekonomi. Dalam kaitan ini, koperasi dipandang sebagai soko guru perekonomian
yang kongkrit. Untuk mengembangkan keadilan sosial, diperlukan pula imbangan
yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan daerah.
Setelah krisis moneter, Mubyarto juga mengembangkan konsep ekonomi
kerakyatan. Konsep ini mencakup sistem perekonomian tradisional yang telah
dikerjakan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun (Mubyarto 1996:
46). Sistem ini bercirikan penggunakan teknologi sederhana dengan pemanfaatan
tenaga kerja dari dalam keluarga. Segala aspek di dalamnya tidak dilihat sebagai
keterbelakangan, melainkan sebagai strategi lokal untuk mengatasi masalah
setempat.
Agensi lain dari lapisan atas yang berperan penting dalam diskursus ini
ialah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Identitas swadaya dalam organisasi ini
lebih menunjukkan kemandirian, sambil menurunkan identitas sebagai organisasi
kontra pemerintah (Ismawan 1996: 49-53). Sebagian akademisi sekaligus menjadi
aktivis LSM, yang berarti sekaligus memerankan penyusunan pengetahuan formal
kemiskinan dan praktik penanggulangannya. Predisposisi pemerataan akses dapat
menjadi dorongan bagi praktik pemberdayaan, seperti pemberian fasilitas,
pelatihan penggunaannya, dan penyusunan pengetahuan bersama-sama antara
pihak luar dan golongan miskin.
Pemberdayaan menjadi saluran untuk meningkatkan akses berbagai aspek
produktif bagi golongan miskin. Dalam pemberdayaan, tubuh miskin diakui
rasionalitasnya, kebijakan lokalnya, apresiasinya terhadap alam, dan perilaku
mereka lainnya (Mubyarto 1996: 7-8). Orang luar justru belajar untuk
menghargai hal itu, sehingga diharapkan untuk berdialog serta tidak bertindak
tergesa-gesa dan menggurui.
Meskipun diyakini munculnya peluang solidaritas untuk menghubungkan
berbagai posisi sosial, disadari pula persoalan interaksional antara orang luar dan
orang dalam (Siregar 2001: 366-397). Berorientasi pada golongan miskin,
identitas mereka didefinisikan sebagai orang dalam. Kerjasama dari orang luar
bertujuan memunculkan penyadaran dan rasa kepemilikan orang dalam terhadap
133
masukan kegiatan dan program dari luar (Mubyarto 1995: 18-22). Dengan kata
lain, interaksi sosial tersebut diarahkan pada proses sosial berupa kerjasama, dan
pelembagaan (institutionalization) sampai masukan dari luar dirasakan sebagai
milik
tubuh
golongan
miskin.
Siregar
(2001:
370-372)
menuliskan
pengalamannya.
… pendampingan merupakan ruang dialog antara dua ranah
budaya yang saling membuka diri untuk berubah, saling berbagi,
dan saling mempengaruhi, yaitu antara OL (Orang Luar) dan OD
(Orang Dalam). Pengertian saling-berubah di situ tidaklah terbatas
pada perubahan gagasan (teori dan kebijakan), melainkan juga cara
pandang dan watak kami sebagai OL terhadap beragam gejala dan
fakta…..
Akhirnya, kami menyadari bahwa lebih dari apapun,
kesuksesan menjalin pertemanan dengan OD lebih banyak
ditentukan oleh kesediaan kami belajar mempraktikkan, melakoni,
menghayati, dan menikmati proses belajar dan bertindak bersama
masyarakat. Kami lebih banyak menerima ketimbang memberi.
Pada golongan miskin sendiri dikembangkan proses kerjasama atau
solidaritas, dalam bentuk pembentukan kelompok. Melalui proses sosial tersebut
anggota yang lebih mampu dapat membantu anggota yang lebih kekurangan
(Mubyarto 1995: 11). Kelompok menjadi atribut penting bagi tubuh golongan
miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak hanya diarahkan untuk
memandirikan tubuh golongan miskin, namun juga pada kelompok golongan
miskin (Sajogyo 1997: 109-110).
Dalam berinteraksi dengan kelompok tubuh miskin sehari-hari, orang luar
berperan sebagai pendamping kelompok. Pada saat interaksi dalam kelompok
lemah atau tanpa kegiatan, pendamping merangsang tubuh-tubuh miskin untuk
menciptakan kegiatan sendiri. Pada saat anggota kelompok telah aktif
menjalankan kegiatannya, pendamping menyediakan akses kepada peningkatan
kemampuan modal ekonomi, pengetahuan, ketrampilan. Pendamping menjadi
mitra kerja kelompok tersebut, sehingga pendampingan dinilai sebagai profesi
yang
berlangsung
secara
berkelanjutan,
dan
dapat
diarahkan
menjadi
pendampingan yang mandiri. Pendamping tidak dipandang sebagai unsur yang
terpisah dari program penanggulangan kemiskinan, melainkan integral yang hidup
134
dari mekanisme hubungan dengan kelompok masyarakat yang didampinginya
(Sajogyo 1997: 13). Dengan melekatnya pendamping, maka kelompok tidak harus
mulai dikembagkan dari anggota yang sudah mampu. Pendamping justru berperan
menyesuaikan persyaratan arena kelompok dengan habitus anggota, atau melatih
anggota sehingga habitusnya sesuai dengan arena kelompok. Peran minimal dari
pendamping ialah memastikan komponen program (pengembangan kelompok
masyarakat, penyaluran dana) tetap lestari dan, bila memungkinkan, berkembang
lebih lanjut. Keberlanjutan tersebut mencakup kelembagaan dan administrasi
kelompok yang meningkat, serta peningkatan jumlah dana yang dikelola. Hal ini
disampaikan Sajogyo (1997: 134-136).
Dalam rangka Microcredit Summit di Washington pada tanggal 2
s.d. 4 Februari 1997, yang hendak mengentaskan 100 juta
keluarga dari kemiskinan pada tahun 2005, Indonesia
mentargetkan untuk mengentaskan tujuh juta keluarga atau sekitar
28 juta orang miskin. Melalui pendekatan kelompok dan
pengembangan
kelembagaan
pendampingan,
program
penanggulangan kemiskinan tujuh juta keluarga miskin itu berarti
akan membentuk sekitar 280.000 pokmas, melibatkan 11.200
tenaga pendamping, 2.240 koordinator kecamatan dan 2.240
tenaga administrasi dan tergabung dalam Lembaga Pendamping
Kelompok (LPK). Untuk mengoperasikan 2.240 LPK itu
dibutuhkan dana Rp 138 miliar per tahun (2.240 x Rp
61.875.000)… Jumlah tersebut masih perlu ditambah dengan
biaya-biaya penyiapan bagi pembentukan atau pengembangan
LPK di seluruh Indonesia sebesar kurang lebih Rp 12 miliar.
Sementara itu, dana yang harus dimobilisasi untuk kepentingan
pengembangan usaha adalah Rp 1,225 triliun per tahun atau
kurang lebih Rp 6 triliun selama lima tahun. Dari jumlah biaya
sebesar Rp 138 miliar rupiah, diasumsikan akan memerlukan 5
tahun untuk mencapai tingkat keuntungan, dengan rincian
kemampuan pembiayaan (cost recovery) sebagai berikut:
- Tahun I mampu membiayai
: 10%
- Tahun II mampu membiayai
: 20%
- Tahun III mampu membiayai
: 40%
- Tahun IV mampu membiayai : 60%
- Tahun V mampu membiayai
: 80%
- Tahun VI mampu membiayai : 120% (untung)
135
Berkelompok Menghadirkan Kekuasaan
Setelah melalui kajian akademis sejak tahun 1970-an, dan pendampingan
melalui LSM sejak 1980-an, mulai tahun 1993 diselenggarakan Program Inpres
Desa Tertinggal (IDT). Mubyarto, akademisi penganut diskursus potensi golongan
miskin mengembangkan desain program IDT tersebut. Berkompromi dengan
aparat pemerintah, konsep kelompok swadaya masyarakat (KSM) diputuskan
menjadi kelompok masyarakat (pokmas). Penghilangan konsep swadaya
dipandang sebagai pelarangan pembangunan yang sepenuhnya bottom-up
(Sajogyo 1997: 13, 122-123).
Sampai mana upaya sejumlah LPSM (Lembaga
Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang tahun 1993 itu
menunjukkan kepedulian berhasil "menjual" konsep dana bergulir
dalam kelompok pada pemerintah dalam rangka "peningkatan
penanggulangan kemiskinan" (istilah di buku Repelita waktu itu)?
Singkat saja: LPSM secara resmi tak pernah dimintai bantuannya,
dari mulai awal penggodokan konsep program maupun dalam
pelaksanaannya di daerah. Di dalam program IDT yang dimulai
tahun 1994 pemerintah pusat memberi kepercayaan kepada
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sesuai undangundang berlaku maupun kebijakan sentralistik sama sekali tanpa
menyebut peranan LPSM. Di pusat pemeran utama adalah
Bappenas dan Departemen Dalam Negeri, Dirjen PMD khususnya.
Bahkan pemerintah menunjukkan kelainannya dalam hal penamaan
kelompok dibentuk keluarga miskin yang menerima dana bergulir
itu. Nama yang diacu LPSM adalah KSM (Kelompok Swadaya
Masyarakat), tapi yang dipakai oleh Program IDT adalah pokmas,
yaitu Kelompok Masyarakat, tanpa kata "swadaya": gambaran
sikap "jangan pakai nama dari kamus LPSM"? (Sajogyo 2006:
179).
Program ini melakukan berbagai pembalikan pemikiran utama pada
masanya. Tubuh miskin yang sebelumnya dimaknai secara negatif kini diberi
kepercayaan penuh, sejak penentuan siapa sajakah orang miskin di wilayahnya,
turut serta dalam perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan secara mandiri,
hingga mengevaluasi hasil kegiatan (Bappenas Tt: ii). Dibandingkan dengan nilai
dana bantuan desa tahunan saat itu sebesar sekitar Rp 6 juta, nilai program IDT
136
sebesar Rp 20 juta per desa berarti bernilai tiga kali lipat. Dana yang dinilai sangat
besar itu sepenuhnya dikelola pokmas yang berisikan tubuh-tubuh miskin.
Setiap pokmas mendapatkan sejumlah dana, biasanya senilai Rp 500 ribu
hingga Rp 5 juta per anggota, dan satu kelompok beranggotakan maksimal 20
orang. Dalam satu desa dapat terbentuk banyak pokmas. Setelah tahun pertama,
dana pengembalian dari anggota digulirkan kepada anggota lainnya, atau
digulirkan kepada pokmas lainnya. Untuk menciptakan solidaritas di antara
anggotanya, diciptakan aturan tanggung renteng, di mana kesulitan pengembalian
oleh satu anggota turut ditanggung bersama anggota lainnya.
Di samping partisipasi tubuh miskin untuk menentukan warga desa lain
yang setara dengannya, di tingkat nasional kemiskinan dipatok menurut garis
kemiskinan. Di Indonesia, Sajogyo (1988: 1-14; 2006: 247-259) mula-mula
mengembangkan garis kemiskinan untuk menentukan jumlah individu miskin
sejak tahun 1977, sebelum akhirnya pemerintah secara resmi menggunakan garis
kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) mulai tahun 1984.
Garis kemiskinan Sajogyo dan BPS sama-sama disusun menurut nilai gizi
minimal setara 2.100 Kkal per orang dalam sehari, namun demikian terdapat
perbedaan rincian dalam penyusunannya. Menurut Sajogyo (1988: 1-14), pada
saat diterapkan pada masyarakat simpangan datanya menurun hingga dua deviasi
standard, sehingga masih bisa ditoleransi hingga 1.900 Kkal per orang-hari.
Adapun proses pengumpulan data gizi dengan menggunakan pendekatan ingatan
(recall) seringkali terlapor lebih rendah (under reporting) hingga 20 persen. Atas
dasar pengalaman ini, maka garis kemiskinan terbawah dapat ditoleransi hingga
1.700 Kkal per orang-hari.
Untuk menghasilkan pengukuran yang lebih realistis, sesuai peluang
keragaman kemiskinan antar daerah, Sajogyo menyusun garis kemiskinan lebih
dari satu agar kian tajam mengukur kemajuan golongan bawah. Dirumuskannya
garis melarat (destitute), miskin sekali (very poor), dan miskin (poor).
Berdasarkan nilai tukar beras, dibedakan pula garis kemiskinan pedesaan dan
perkotaan. Di desa dipancang garis 180 kg, 240 kg, dan 320 kg setara beras per
orang-tahun. Untuk kota nilainya 270 kg, 360 kg, dan 480 kg setara beras per
orang-tahun. Demi kepraktisan, nilai rupiah bagi kalori lalu dipertukarkan dengan
137
nilai beras. Beras mudah dipahami sebagai sumber kalori dan harganya tidak
fluktuatif.
Sejak awal penentuan desa tertinggal untuk menjaring tubuh-tubuh
golongan miskin dipertanyakan. Tidak terdapat korelasi yang kuat antara lokasi
tertinggal dan permukiman golongan miskin (Sarman 1997: 33-42). Sesuai
dengan data kemiskinan dari BPS, jumlah tubuh orang miskin dalam satu provinsi
atau satu kabupaten diprediksi melalui Survai Sosial dan Ekonomi Nasional
(Susenas), bukan berupa sensus. Desa tertinggal, sementara itu, ditentukan dari
susunan variabel sensus Potensi Desa (Podes). Sebagai ganti kesulitan
menentukan jumlah orang miskin dalam satu desa melalui Susenas–dan sesuai
dengan orientasi kepercayaan kepada golongan miskin—tubuh-tubuh miskin di
tiap desa akhirnya ditentukan oleh warga desa sendiri (Mubyarto 1997: 3). Tubuh
miskin juga dipercaya untuk membentuk kelompok masyarakat (pokmas) sendiri.
Dalam salah satu survai untuk mengevaluasi pokmas IDT, diketahui
bahwa hanya seper tiga pokmas tersebut mandiri (Sajogyo 1997: 13, 122-123).
Yang menarik, selain ditemukan pokmas yang telah mandiri, juga ditemukan
tubuh anggota pokmas yang telah melepaskan identitas miskin dan sedang
berkembang lebih lanjut. Sayangnya, Program IDT tidak mengantisipasi tubuh
usahawan baru hasil berkelompok, namun me-Lain-kannya dengan sekedar
mengeluarkannya dari pokmas asal. Tidak tersusun rencana pendampingan lebih
lanjut untuk anggota pokmas yang telah mandiri, atau pengembangan jaringan
permodalannya dengan perbankan. Berbeda dari tataran diskursus yang berminat
mengembangkan potensi golongan miskin setinggi-tingginya, ternyata tataran
arena program penanggulangan kemiskinan telah membatasi diri pada
pengembangan potensi sekedar sampai keluar dari kemiskinan.
Kejanggalan muncul saat metode penanggulangan kemiskinan yang
memerlukan kemitraan dari seluruh pihak di lokasi tertentu ternyata tidak
sepenuhnya dilaksanakan. Pendamping dalam program IDT mampu bermitra
dengan tubuh miskin. Akan tetapi kemitraan sulit dijalin bersama pemerintah
daerah, swasta dan LSM. Hal ini tecermin dalam kajian bersama Program IDT
(Mubyarto 1996: 26).
138
Di sebagian pertemuan sarasehan keterpaduan PPK (Peningkatan
Penanggulangan Kemiskinan) yang diadakan atas usulan Tim
Jisam (Kajian Bersama) P3R-YAE, di tingkat I maupun di tingkat
II, diperoleh sejumlah apresiasi atas pendekatan (metode) diskusi
kajian bersama yang terarah (terfokus), dalam situasi duduk sama
rendah berdiri sama tinggi itu di antara peserta diskusi.
Disayangkan, tidak seluruh peserta pada diskusi awal (arus turun)
dapat berperan serta pada diskusi kedua (arus naik) ketika Tim
Jisam Pusat P3R-YAE membawakan hasil jisam dari desa dan
kecamatan kasus, sehingga dampak kumulatif tak sepenuhnya
tercapai. Begitu pula ketidakhadiran unsur swasta (pengusaha)
dan unsur LSM/Ormas sebagai peserta diskusi jisam dirasakan
sebagai suatu kekurangan dalam proses menyertakan seluas
mungkin unsur-unsur yang kepeduliannya sangat diharapkan, baik
di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan maupun tingkat desa
kasus.
Pemrograman menuju pendamping mandiri juga praktis berhenti. Hingga
saat ini dapat dijumpai tubuh-tubuh pendamping di tingkat kecamatan hingga
provinsi yang semula dilekati label pendamping IDT. Akan tetapi upaya
pengembangan profesi berlangsung secara individual, tidak terencana dalam suatu
program penanggulangan kemiskinan. Menurunnya diskursus potensi golongan
miskin dalam program nasional penanggulangan kemiskinan masa kini telah
menenggelamkan pernyataan-pernyataan kemandirian pendamping.
Ikhtisar
Dengan mempercayai potensi tubuh miskin untuk berkembang menuju
kemandiriannya, diskursus potensi golongan miskin memunculkan mereka, lallu
pendamping mengajaknya mengembangkan kekuasaan melalui kelompok dan
usaha ekonomis. Kekuasaan beroperasi melalui aktivitas pemerataan akses modal
usaha, akses prasarana ekonomis dan pendampingan. Dalam konteks demikian,
tubuh miskin menjadi orang dalam sementara pendamping dan pihak lain
berposisi sebagai orang luar. Hubungan keduanya mengoperasikan kekuasaan
untuk menciptakan permukaan solidaritas antar pihak dan antar lapisan sosial.
Pada bab berikutnya hendak dikemukakan diskursus dan praktik
kemiskinan produksi. Menggunakan arena yang serupa dengan praktik potensi
golongan miskin–meskipun saling dimanipulasi—ada baiknya dikemukakan
139
pembedaan, di mana diskursus potensi golongan miskin mengoperasikan
kekuasaan dalam upaya memunculkan tubuh miskin terus menerus, sementara
diskursus kemiskinan produksi menenggelamkan kembali tubuh miskin dalam
mekanisme arena birokrasi ciptaan lapisan atas.
Download