BAB VI KESIMPULAN Di masa Orde Baru, komunikasi

advertisement
BAB VI
KESIMPULAN
Di masa Orde Baru, komunikasi pembangunan yang ditujukan untuk
pedesaan merupakan prioritas utama pemerintah yang dijalankan melalui berbagai
cara. Perekonomian Indonesia yang sangat bergantung pada sektor pertanian yang
berada di wilayah pedesaan menjadi alasan utama mengapa hal tersebut
dilakukan. Di samping itu, masyarakat pedesaan, khususnya para petani dengan
tingkat pendidikan yang masih relatif rendah memerlukan berbagai usaha untuk
dapat memahami tentang arti penting pembangunan serta bagaimana cara untuk
dapat ikut berpartisipasi di dalamnya. Berbagai informasi pun diperlukan dan
diharapkan mampu mengalir hingga ke wilayah pedesaan demi tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Hal tersebut kemudian diwujudkan melalui komunikasi
pembangunan.
Di pedesaan Yogyakarta, komunikasi pembangunan dilakukan melalui
berbagai cara, diantaranya melalui penyuluhan, pameran, kesenian dan
pertunjukan serta melalui media massa. Penyuluhan yang dilakukan oleh petugas
penyuluh lapangan (PPL) adalah salah satu bentuk komunikasi pembangunan
yang umum dipakai di pedesaan. Penyuluhan ini dilaksanakan secara door to door
ke rumah-rumah warga, kendati demikian upaya tersebut belum memperlihatkan
hasil yang maksimal karena tidak semua warga mampu dijangkau oleh PPL.
Sistem penyuluhan pun terkesan kaku dan bersifat menggurui sehingga
masyarakat desa merasa enggan untuk mengikutinya.
Kondisi semacam ini
kemudian melahirkan bentuk komunikasi pembangunan lain melalui media massa
206
yang diharapkan lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat desa.
Komunikasi pembangunan tersebut ialah Siaran Pedesaan yang telah dimulai di
Yogyakarta sejak 1968 dan mampu menjembatani adanya kekosongan di tengah
masyarakat desa yang belum mampu terjangkau komunikasi pembangunan
melalui PPL maupun melalui bentuk lain.
Di Yogyakarta Siaran Pedesaan diselenggarakan oleh tiga media massa
utama waktu itu, yaitu RRI, TVRI dan Koran Masuk Desa (KMD). KMD yang
ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan Siaran Pedesaan ialah KMD Kandha
Rahardja dan KMD Djaka Lodang karena memiliki jangkauan pembaca yang
luas mencakup DIY-Jawa Tengah. Di lain pihak, RRI Yogyakarta telah memulai
siaran ini sejak tahun 1968 yang disusul oleh TVRI Yogyakarta setahun
kemudian, KMD Kandha Rahardja di tahun 1980 dan KMD Djaka Lodang pada
tahun 1981. Peran nyata Siaran Pedesaan ialah mendorong terbentuknya farm
forum atau dikenal dengan kelompen dan kelompencapir di wilayah pedesaan
yang belum pernah dibentuk sebelumnya.
Siaran Pedesaan maupun Kelompencapir merupakan salah satu penanda
adanya perbedaan antara kebijakan Orde Baru dengan kebijakan Soekarno. Di era
Soekarno, komunikasi pembangunan belum dijadikan prioritas utama oleh
pemerintah, meskipun petugas penyuluh yang berperan memberikan penyuluhan
bagi masyarakat telah dibentuk. Model komunikasi pembangunanannya pun
dilakukan melalui cara tradisional yang masih mengandalkan pertemuan secara
langsung antara petugas penyuluh dengan masyarakat. Lain lagi dengan masalah
pengorganisasian masyarakat desa, jika di masa Orde Baru dikenal kelompen
207
maupun kelompencapir yang menunjukkan adanya hubungan antara komunikasi
pembangunan dengan media massa, di era Soekarno juga telah terdapat
kelompok-kelompok tani di pedesaan namun kelompok ini hanya terbentuk
berdasarkan adanya kepentingan dan tujuan yang sama yang biasanya berkaitan
dengan masalah pertanian.
Lebih lanjut, kelompencapir menjadi kelompok sosial di pedesaan yang
sangat berperan bagi berjalannya pembangunan. Kelompok-kelompok ini telah
mengubah wajah pedesaan melalui berbagai pembangunan fisik yang mereka
lakukan. Pada periode 1980an hingga awal 90an, desa-desa diubah menjadi
semarak dengan pembangunan gardu pos kamling di sudut-sudut desa, tempat
ibadah, gapura dan pagar-pagar desa. Setiap desa berlomba-lomba menjadi desa
yang paling maju di bidang fisik maupun mental masyarakatnya. Tak dipungkiri
bahwa adanya perlombaan kelompencapir yang diadakan pemerintah setiap
setahun sekali mampu memicu semangat pembangunan di pedesaan. Lombalomba tersebut memotivasi kelompencapir di seluruh Yogyakarta untuk tampil
menjadi kelompencapir terbaik yang menampilkan berbagai keunggulan dan
potensi yang dimiliki. Tak hanya kemajuan di bidang fisik desa, kreativitas
masyarakat pun menjadi lebih meningkat setelah diwadahi kelompencapir,
misalnya dalam membuat olahan makanan ringan yang mampu mendatangkan
keuntungan ekonomis, memanfaatkan lahan kosong untuk tanaman obat dan
kegiatan produktif lainnya. Sehingga dapat dipahami bahwa komunikasi
pembangunan melalui siaran pedesaan yang juga mendorong terbentuknya
208
kelompencapir merupakan faktor penting bagi pembangunan pedesaan di era
Suharto.
Hasil dari komunikasi pembangunan di pedesaan Yogyakarta adalah
inovasi dan modernisasi. Inovasi dan modernisasi selain dapat dilihat seperti
uraian di atas juga dapat dilihat melalui penggunaan bibit unggul, penggunaan
pestisida, cara bertani yang baru serta penggunaan mesin-mesin pertanian yang
mampu menggantikan tenaga manusia. Penggunaan teknologi pertanian yang baik
dan benar selain diperoleh melalui penyuluhan juga banyak dilakukan melalui
Siaran Pedesaan. Di lain pihak, munculnya desa-kota di tahun 1990an juga
menjadi dampak dari pembangunan desa yang mengarah pada modernisasi. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Rogers yang menekankan bahwa komunikasi
harus memegang peranan dalam transfer inovasi teknologi serta menggugah dan
menumbuhkan iklim modernisasi di masyarakat.
Meskipun komunikasi pembangunan lewat siaran pedesaan menunjukkan
keberhasilan yang memuaskan di pedesaan Yogyakarta, namun perubahan
kebijakan pemerintah yang tidak lagi berorientasi terhadap pembangunan
pedesaan telah berdampak bagi siaran pedesaan. Desa yang dinilai telah berhasil
melakukan pembangunan kemudian mulai digeser dengan kebijakan lain yang
dinilai lebih strategis. Jika di akhir 1960an hingga awal 1990an komunikasi
pembangunan ditujukan untuk memajukan wilayah pedesaan dalam pembangunan
pertanian dan kondisi fisik desa, di akhir tahun 90an komunikasi pembangunan
lebih ditujukan untuk memajukan kegiatan industrialisasi, perdagangan dan
pariwisata. Hal ini ditunjukkan melaui berubahnya isi siaran pedesaan, baik
209
melalui RRI, TVRI maupun KMD. Kemunduran komunikasi pembangunan
sebenarnya tidak terlalu berpengaruh bagi pedesaan dan masyarakat desa pada
periode 1990an. Satu-satunya hal yang dapat diamati secara nyata dari
dihapuskannya komunikasi pembangunan melalui siaran pedesaan adalah
turunnya aktivitas dan hilangnya eksistensi kelompencapir di pedesaan. Tidak ada
lagi hiruk-pikuk desa yang dulu semarak dan sibuk dengan berbagai macam
kegiatan kelompencapir seperti dulu.
Ditinjau lebih jauh, komunikasi pembangunan di Indonesia, khususnya
Siaran Pedesaan adalah kebijakan pemerintah yang diadopsi dari paradigma yang
berkembang di dunia pada tahun 1960an, disadari atau tidak kelangsungannya
bahkan hingga dihentikannya siaran ini berkaitan erat dengan kondisi dunia di
masa itu. Terkhusus untuk komunikasi pembangunan di pedesaan Yogyakarta
yang diwujudkan melalui siaran pedesaan, ialah kebijakan Orde Baru dalam
konteks yang baru, bukan kebijakan yang dipengaruhi oleh pemerintahan
sebelumnya, tetapi kebijakan yang dipengaruhi oleh perkembangan komunikasi
pembangunan di dunia. Lebih lanjut lagi, komunikasi pembangunan di masa Orde
Baru dilihat sebagai suatu komponen khusus yang bekerja secara sistematis,
terarah sekaligus diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, sehingga tanpa
disadari sebenarnya sangat bersifat politis. Departemen Penerangan sebagai
penyelenggara utamanya yang bekerjasama dengan dinas-dinas pemerintahan
yang lain melakukan pembinaan sekaligus kontrol terhadap saluran-saluran
komunikasi yang ada dan memutuskan informasi apa saja yang layak dan boleh
disiarkan maupun yang tidak. Dengan demikian, dalam proses diseminasi/
210
penyebarluasan informasi dan penerangan, Departemen Penerangan merupakan
pemegang otoritas tertinggi. Hal ini semakin mempertegas bahwa komunikasi
pembangunan di era Orde Baru dijalankan dengan menggunakan pendekatan top
down, yang mana semuanya ditentukan dari pusat sehingga desa dan masyarakat
desa hanya bertindak sebagai objek dan pelaksana dalam tingkat yang lebih
rendah. Meskipun di pertengahan 1980an pendekatan semacam ini telah diubah
menjadi bottom up, namun tidak serta merta mampu mengubah pola yang telah
berlangsung sebelumnya.
Pada umumnya, pembangunan pedesaan di masa Orde Baru menunjukkan
adanya homogenisasi yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat dan
wilayah pedesaan. Homogenisasi tersebut antara lain dapat diamati melalui
himbauan dibentuknya kelompencapir di hampir setiap wilayah di pedesaan serta
isi dari komunikasi pembangunan yang mengarah pada keseragaman dalam
penggunaan bibit unggul, pupuk, pestisida, teknologi pertanian serta program
Keluarga Berencana (KB).
Download