1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa dalam kehidupan seharihari selalu digunakan, baik dalam situasi resmi maupun tidak resmi. Menurut Poedjosoedarmo (2001:80), bahasa adalah alat komunikasi dalam mengadakan interaksi dengan sesama anggota dan masyarakat. Bahasa juga sebagai cermin pikiran, budaya, jiwa, dan roh suatu bangsa. Selain itu, bahasa juga berperan besar dalam suatu bangsa. Sejarah membuktikan bahwa bangsa yang besar terbangun oleh bangsa yang menghargai bahasa sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahasa sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari yaitu untuk mengungkapkan sesuatu yang kita pikirkan, dapat pula belajar sesuatu dari orang lain, dan sekaligus menjadi suatu identitas bagi setiap warga negara. Thailand merupakan salah satu negara yang mempunyai rakyat yang mayoritasnya beragama Budha dan minoritasnya beragama Islam. Masyarakat Islam di Thailand kebanyakan berlokasi di tiga provinsi Thailand Selatan, yaitu provinsi Patani, Yala, dan Narathiwat yang di panggil dengan sebutan “Orang Melayu”. Mereka melestarikan adat istiadat Melayu, tradisi Melayu, budaya Melayu, dan bicara dengan salah satu dialek yang dinamakan bahasa Melayu Patani (BMP). Bahasa ibu mereka adalah bahasa Melayu Patani (BMP) yang 2 digunakan dan menjadi bahasa pergaulan bagi seluruh masyarakat tiga provinsi Melayu Thailand Selatan. Setiap bahasa pasti memiliki sistem, yaitu seperangkat kaidah yang bersifat mengatur. Misalnya tentang kata atau kosakata yang digunakan dalam suatu bahasa akan menunjukkan kekhasan suatu bahasa negara tersebut, misalnya bahasa Melayu Patani (BMP) mempunyai kosakata yang sama maknanya dengan kosakata yang ada dalam bahasa Indonesia, tetapi cara pemakainnya maupun strukturnya dalam kalimat akan berbeda, walaupun maksud dan tujuannya sama. Perbedaan cara pemakaiannya maupun struktur kosakatanya dalam kalimat itu bisa saja terjadi pada nomina, verba, adjektiva, kata bilangan, kata penyukat, dan kata-kata penyukat dalam BMP mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bahasa lainnya. Kata penyukat dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang terletak di belakang numeralia dan bersama itu membentuk frasa yang disebut frasa numeralia yang mungkin terletak di muka nomina (Ramlan,1995:55). Contohnya adalah penyukat orang, ekor, biji, kotak dalam dua orang petani, tiga ekor kambing, satu meter kain, empat buah jeruk, beberapa kotak sabun, dan sebagainya. Kata penyukat sendiri dipakai semata-semata berdasarkan konvensi masyarakat yang memakai bahasa itu, karena pada dasarnya manusia mengelompokkan wujud di dunia ini menjadi tiga kategori, yaitu manusia, binatang, dan benda. Berdasarkan pengamatan sekilas mengenai kondisi kebahasaan Melayu di Indonesia dan di Thailand, maka dapat dilihat bahwa di 3 dalam BMP juga ditemukan kata penyukat untuk manusia, binatang, dan benda yang masih aktif digunakan. Kata penyukat dipakai untuk membantu numeralia menghitung jumlah suatu benda yang berbeda, serta menunjuk jenis benda tersebut. Setiap benda yang berbeda memakai kata penyukat yang berbeda pula. Contoh-contoh penggunaan kata penyukat beserta uraiannya dapat dilihat sebagai berikut. (1) Ado kru duo ore di depe koloh Ada guru dua orang di depan sekolah ‘Ada dua orang guru di depan sekolah’. Pada contoh (1) terdapat kata penyukat ore ‘orang’. Kata penyukat ini digunakan untuk menunjuk manusia. Kata penyukat ore ‘orang’ tidak dapat berdiri sendiri. Kehadirannya selalu diikuti satuan lingual lain. Pada contoh (1) satuan lingual yang mengikuti adalah nomina, yaitu kru ‘guru’. Kalimat (1) ado kru duo ore di depe koloh adalah gabungan kata bilangan duo, kata penyukat ore, dan nomina kru membentuk satu kalimat, yaitu ado kru duo ore di depe koloh ‘ada guru dua orang di depan sekolah’. (2) Pokci Li Paman Li ado lemu tigo eko ada sapi tiga ekor ‘Paman Li mempunyai tiga ekor sapi’. Pada contoh (2) terdapat kata penyukat eko ‘ekor’. Kata penyukat ini digunakan untuk menunjuk binatang. Kata penyukat eko ‘ekor’ tidak dapat berdiri 4 sendiri. Kehadirannya selalu diikuti satuan lingual lain. Pada contoh (2) satuan lingual yang mengikuti adalah nomina, yaitu lemu ‘sapi’. Kalimat (2) pokci Li ado lemu tigo eko adalah gabungan kata bilangan tigo, kata penyukat eko, dan nomina lemu membentuk satu kalimat, yaitu pokci Li ado lemu tigo eko ‘paman Li mempunyai sapi tiga ekor’. (3) Adeq ameq pauh pa bute / buwoh di Adik ambil mangga empat buah pahong.” di pohon ‘Adik memetik empat buah mangga di pohon’. Pada contoh (3) terdapat kata penyukat bute/ buwoh ‘buah’. Kata penyukat ini digunakan untuk menunjuk buah-buahan dan benda-benda. Kata penyukat bute/ buwoh ‘buah’ tidak dapat berdiri sendiri. Kehadirannya selalu diikuti satuan lingual lain. Pada contoh (3) satuan lingual yang mengikuti adalah nomina, yaitu pauh ‘mangga’. Kalimat(3) adeq ameq pauh pa bute / buwoh di pahong adalah gabungan kata bilangan pa, kata penyukat bute / buwoh, dan nomina pauh membentuk satu kalimat, yaitu adeq ameq pauh pa bute / buwoh di pahong ‘adik memetik mangga empat buah di pohon’. Dari uraian contoh di atas, BMP dipilih sebagai objek penelitian mengingat (1) kemampuan penulis sebagai penutur asli dan (2) didorong sedikitnya penelitian yang berkaitan dengan BMP itu sendiri. Penelitian tentang kata penyukat dalam BMP perlu dilakukan, mengingat pentingnya kata penyukat sebagai bagian dari bahasa yang digunakan sehari-hari, sebagaimana masyarakat Melayu Patani mengelompokkan sesuatu. Penelitian ini 5 akan mengkaji variasi bentuk-bentuk kata penyukat, klasifikasi kata penyukat, dan perilaku sintaksis yang merupakan bagian dari kajian sintaksis. 1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Apa sajakah kata penyukat dalam BMP? (2) Bagaimanakah klasifikasi kata penyukat dalam BMP? (3) Bagaimanakah perilaku sintaksis kata penyukat dalam BMP? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dideskripsikan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Mengidentifikasikan kata penyukat dalam BMP. (2) Mendeskripsikan klasifikasi kata penyukat dalam BMP. (3) Mendeskripsikan karakter sintaksis kata penyukat BMP dalam frasa numeralia. 1.4 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini akan dihasilkan deskripsi kata penyukat dalam BMP. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. 6 a. Manfaat teoretis 1. Memberi gambaran variasi jenis-jenis kata penyukat dalam BMP. 2. Memberi deskripsi klasifikasi kata penyukat dalam BMP. 3. Memberikan deskripsi karekter sintaksis kata penyukat BMP dalam frasa numeralia. b. Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pembaca khususnya penutur asli BMP dan pembaca umum agar dapat mempunyai gambaran penggunaan kata penyukat dalam BMP yang baik dan benar. 1.5 Ruang Lingkup Ruang lingkup bersangkutan dengan batas-batas penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini akan dibatasi pada pemaparan jenis dan bentuk kata penyukat yang menyatakan manusia, binatang, dan benda dalam bahasa Melayu Patani (BMP). 1.6 Tinjauan Pustaka Pada bagian ini terdapat beberapa penjelasan singkat yang mengulas penelitian sebelumnya tentang kata penyukat. Penelitian terdahulu mengenai kata penyukat belum banyak mendapat perhatian dari para linguistik. Istilah kata penyukat pertama kali digunakan oleh Lubis (1954:155-156) yang mengatakan bahwa kata penyukat ialah kata yang terletak di belakang kata bilangan dan membentuk satu frasa yang disebut frasa bilangan yang mungkin 7 terletak di muka nomina. Kajian kata penyukat belum banyak diteliti, pembahasan tentang kata penyukat pada umumnya hanya membahas penggolongan kata saja, tidak membahas kata penyukat secara khusus. Ramlan (1985:49) mengatakan bahwa berdasarkan struktur sintaksis, kata dibagi menjadi dua belas golongan kata, yaitu kata verbal, kata nomina, kata keterangan, kata tambah, numeralia, kata penyukat, kata sandang, kata tanya, kata suruh, kata penghubung, kata depan, dan kata seruan. Sementara itu, yang dimaksud dengan kata penyukat adalah kata yang terletak di belakang numeralia dan bersama kata itu membentuk satu frasa yang disebut frasa numeralia, yang mungkin terletak di muka kata nomina. Misalkan kata orang, ekor, buah, kodi, meter, biji, kotak, dan sebagainya (Ramlan, 1985:55). Moeliono (1988:76-249) mengatakan bahwa kata dibagi menjadi lima bagian, yaitu verba, nomina, pronomina, numeralia, adjektiva, adverbia, dan kata tugas. Untuk kata penyukat dibahas dalam pembilang nomina yaitu numeralia. Numeralia terbagi atas numeralia pokok, numeralia tingkat, numeralia pecahan, dan penggolongan nomina. Kridalaksana (1986:49-119) membagi kata menjadi empat belas kelompok, yaitu verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, kategori fatis, interjeksi, dan pertindihan kelas. Kata penyukat dalam hal ini dibahas dalam penggolongan nomina. 8 Alwi, dkk. (2003:87-282) mengatakan bahwa kata terbagi dalam lima kelompok, yaitu verba, adjektiva, adverbia, nomina, pronomina, numeralia, dan kata tugas. Untuk kata penyukat itu dibahas dalam penggolongan nomina. Ravita (2006) dalam artikelnya yang diterbit dalam Jurnal Humonira membahas tentang kata penyukat dalam bahasa Minangkabau dialek Datar. Dalam tulisan ini diuraikan bahwa dalam bahasa Minangkabau dialek Datar, kata penyukatnya yang dapat dibedakan menjadi kata penyukat yang bersifat tradisional dan nontradisional. Tesis Zulisih (2011) mendeskripsikan kata penyukat dalam bahasa Indonesia secara tradisional dan nontradisional dan disimpulkan bahwa bentuk kata penyukat dalam bahasa Indonesia ada tiga, yaitu kata penyukat bentuk dasar, kata penyukat bentuk berimbuhan, dan kata penyukat bentuk majemuk. Kata penyukat dalam bahasa Indonesia dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu kata penyukat untuk manusia, kata penyukat untuk binatang, dan kata penyukat untuk benda. Masing-masing kata penyukat diklasifikasikan lagi ke dalam kata penyukat umum dan kata penyukat khusus. Selain itu, dijelaskan pula tentang perilaku sintaksis dalam bahasa Indonesia yang meliputi posisi kata penyukat dalam frasa numeralia, sifat kehadiran kata penyukat dalam frasa numeralia, dan kadar keeratan antara kata penyukat, numeralia, dan kata nominal dalam frasa numeralia. Kata penyukat dalam bahasa Indonesia sebagian besar terletak di kiri nomina yang disukatinya, tetapi bisa juga terletak di kanan nomina yang disukatinya. Sifat kehadiran kata penyukat dalam frasa numeralia ada yang bersifat opsional (manasuka) dan bersifat obligatori (wajib hadir). Kadar keeratan 9 antara kata penyukat, kata bilangan, dan kata nominal sangat rendah karena di antara ketiga konstituen itu dapat disisipi kata atau frasa. Jika disisipi kata atau frasa di antara ketiga konstituen itu tidak akan mengubah kegramatikalan frasa, tetapi akan mengubah makna frasa. Tesis Adrianis (2010) mendeskripsikan bahwa kata penyukat dalam bahasa Jepang, dimana menurut pemakainnya terdapat perbedaan bergantung dari benda dan ukuran benda tersebut. Variasi bentuk penyukat juga terdapat tiga macam, yaitu penyukat bentuk dasar, penyukat bentuk imbuhan, dan penyukat dalam bentuk khusus. Bentuk berimbuhan yaitu berimbuhan di awal (sufiks). Pengklasifikasian benda berdasarkan dari melihat fitur-fitur semantik benda dan berdasarkan ciri-ciri benda yang disukatinya. Pengklasifikasikan tersebut terbagi lagi atas dua bagian, yaitu bernyawa dan tak bernyawa. Benda yang bernyawa juga dibagi menjadi dua, yaitu insani dan noninsani, sedangkan benda yang tak bernyawa dibagi menjadi benda konkret, terbilang, dan tak terbilang. Sementara itu, dilihat dari perilaku sintaksisnya terjadinya penambahan dan pelesapan partikel no dan terdapat penambahan partikel wo atau go. Tesis Yanyan (2011) mendeskripsikan kata penyukat dalam bahasa Mandarin yang melihat dari aspek klasifikasi, distribusi, fungsi sintaksis, serta menjelaskan faktor-faktor penyebab bahasa Mandarin kaya akan kata penyukat. Kata penyukat dalam bahasa Mandarin dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kata penyukat nominal dan kata penyukat verbal. Kata penyukat nominal dapat dibagi lagi menjadi tujuh jenis, sedangkan kata penyukat verbal dapat dibagi tiga jenis. Distribusi kata penyukat nominal pada umumnya diletakkan di depan 10 nomina, tetapi dalam konteks yang menegaskan jumlah, nomina yang diterangkan itu akan medahului kata penyukat. Kata penyukat verbal kebanyakan terletak di depan verba. Bila dikolokasi dengan kata bilangan, kata penyukat verbal kebanyakan berada di depan verba. Frasa penyukat dalam kalimat dapat berfungsi sebagai subjek, predikat, objek, artibut, keterangan, dan pelengkapan. Bahasa Mandarin kaya dengan kata penyukat dari segi nonlingual karena berkaitan dengan Hanzi yang membuat orang Cina lebih mementingkan bentuk dan fitur sesuatu, dan ingin langsung mendapat informasi lain, sehingga kata penyukat nominal selalu diperlukan, dan jumlahnya semakin menambah. Dari segi lingual, fungsi pokok kata penyukat adalah membentuk frasa penyukat dan berperan dalam menghubungkan numeralia dan nomina atau verba. Selain itu, adanya kata penyukat nominal membuat frasa atribut untuk nomina menjadi padat, dan kata penyukat nominal juga merupakan salah satu penanda bagi nomina. BMP banyak dipengaruh oleh bahasa Thai (BT) yang merupakan bahasa mayoritas dan bahasa resmi di negara Thailand. BMP semakin hari kelihatan semakin mengalami peminjaman leksikal BT ke dalam kehidupan sehari-hari mareka, salah satunya adalah leksikal dalam kata penyukat. Phanmetha (1994) mengatakan bahwa kata penyukat dalam BT dapat dikasifikasi menjadi tiga, yaitu manusia, binatang, dan benda yang berdasarkan dari melihat fitur-fitur semantik benda dan berdasarkan ciri-ciri benda yang disukatinya. Pengklasifikasikan tersebut terbagi lagi atas dua bagian, yaitu bernyawa dan tak bernyawa. Benda yang bernyawa juga dibagi menjadi dua, yaitu insani dan noninsani. 11 1.7 Landasan Teori Subroto (2007) mengatakan bahwa setiap bahasa pasti mempunyai sistem, yaitu seperangkat kaidah yang bersifat mengatur. Setiap bahasa pasti memiliki asas-asas dan pola-pola sendiri. Di dalam kenyataannya, bahasa itu tidak seragam atau homogen, ada variasi geografi, dan ada variasi sosial. Bahasa itu selain bersifat universal, yakni mempunyai sifat atau ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini, juga bersifat unik. Dengan kata lain, bahasa memiliki ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain (Chaer, 2003:51-52). Teori dapat digunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan, menilai objek atau data yang dikumpulkan, dan juga sebagai petunjuk untuk memberikan arah dalam penelitian. Teori juga dapat dinilai sebagai latar belakang untuk menetukan metode dan teknik-teknik analisis (Subroto, 1992:22). Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada teori penggolongan kata yang khusus pada kata penyukat. Ramlan (1985:54:57) memberi istilah kata penyukat dengan kata penujuk jenis, yaitu kata yang menghubungkan numeralia dengan nomina. Lubis (1954:155-156) mengatakan bahwa istilah kata penyukat adalah kata-kata yang menunjuk ukuran atau sukatan ukuran itu ada yang menentukan harga, waktu, panjang, dan isi. Misalnya kata-kata rupiah, jam, menit, helai, dan sebagainya. Poedjawijatna dan Zoemulder (via Ramlan, 1985:37) memberi istilah kata penyukat dengan kata penujuk jenis, yaitu kata yang digunakan untuk menunjuk 12 jenis hal yang dibilang. Kata penunjuk jenis itu ialah kata-kata orang, ekor, buah, biji, dan sebagainya. Ramlan (1985:40) mengatakan bahwa kata penyukat termasuk ke dalam numeralia, yaitu numeralia bantu atau kata-kata yang menerangkan jenis benda yang berfungsi membantu bilangan pokok. Kata penyukat yaitu kata yang terletak di belakang numeralia dan bersama kata itu membentuk satu frasa yang disebut frasa numeralia, yang mungkin terletak di muka kata nomina (Ramlan, 1985:55) 1.7.1 Penggolongan Kata Ramlan (1985:1) mengatakan bahwa setiap pembicaraan mengenai tata bahasa tentu melibatkan pembicaraan tentang penggolongan kata struktur frasa, klausa, dan kalimat tidak mungkin dapat dijelaskan. Penggolongan kata bertujuan untuk menyederhanakan pemerian struktur bahasa dan merupakan tahapan yang tidak boleh dilalui dalam penyusunan tata bahasa (Crystal, 1967:26-27). Penggolongan yang didefinisikan oleh para tata bahasawan, yaitu Soetan Moehammad Zain, S. Zainuddin Gl. Png. Batuah, C.A. Mees, Madong Lubis, I.R. Poedjawijatna dan P.J. Zoetmulders, S. Takdir Alisjahbana, Tardjan Hadidjaja, dan Soetarno menjelaskan bahwa dasar utama penentuan golonggan kata yang mereka gunakan ialah arti (via Ramlan, 1985:9). Berdasarkan arti itu, C.A. Mees, Hadidjaja, dan Soetarno menggolongkan kata bahasa Indonesia menjadi sepuluh golongan kata, yaitu (1) nomina, (2) adjektiva, (3) pronomina, (4) verba, (5) numeralia, (6) kata sandang, (7) kata depan, (8) kata keterangan, (9) kata sambung, dan(10) kata seru (via Ramlan, 1985:10-18). 13 Poedjawijatna dan Zoetmulder (via Ramlan, 1985:35) menggolongkan kata menjadi delapan karena mereka tidak mengakui adanya kata sandang dan verba serta adjektiva dijadikan satu golongan kata yang disebutnya dengan istilah kata tambah. Alisjahbana (1978:77-88) menggolongkan kata menjadi sepuluh golongan, yaitu (1) nomina, (2) verba, (3) adjektiva, (4) adverbia, (5) pronomina, (6) numeralia, (7) preposisi, (8) konjungsi, (9) artikal, dan (10) interjeksi. 1.7.2 Kata Penyukat Ramlan (1985:55) mendefinisikan kata penyukat sebagai kata yang terletak di belakang kata bilangan dan bersama kata itu membentuk satu frasa yang disebut frasa bilangan, yang mungkin terletak di muka kata nominal, contohnya orang, ekor,buah, meter, biji, dan sebagainya (Ramlan, 1985:55). Verhaar (1996:310) menyebutkan kata penyukat dengan nomina penggolongan. Verhaar mengatakan bahwa banyak bahasa yang memiliki sistem nomina penggolongan, yaitu alat penggolongan kelas nomina di tempat atribut. Moeliono (1993:199) mengatakan tentang kata penyukat dengan penggolongan nomina. Menurutnya, bahasa Indonesia itu memiliki sekelompok kata yang membagi-bagi wujud dalam ketegori tertentu menurut bentuk rupanya, contohnya manusia disertai oleh penggolongan orang, binatang dengan penggolongan ekor, dan sebagainya. Penggolongan seperti itu semata-mata berdasarkan konvensi masyarakat yang memakai bahasa itu dan untuk wujud lain juga disertai penggolongan yang berbeda-beda. 14 Keraf (1989:78) menyebutkan kata penyukat sebagai kata bantu bilangan, yang mana menurutnya dalam beberapa jumlah suatu barang dalam bahasa Indonesia tidak saja dipakai numeralia, tetapi selalu dipakai suatu kata yang menerangkan sifat atau macam barang itu, kata-kata semacam itu adalah kata bantu bilangan. Kridalaksana (2008:110) mengatakan bahwa kata bantu bilangan adalah kata atau bentuk yang menunjuk golongan nomina, yang biasanya mengikuti numeralia. Kroeger (2005:131) mengatakan bahwa kata penyukat dalam bahasa Inggris adalah classifier atau penggolong dan menjelaskan bahwa penggolong itu sebagai kata bebas, seringkali nomina, yang mengisi posisi khusus di dalam frasa nomina, tetapi tidak terlihat memberikan kontribusi terhadap makna NP. Kroeger (2005:131) menyebutkan bahwa kata penggolong yang umum digunakan di dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yaitu orang, ekor, biji, helai, buah, lembar, biji, batang, dan sebagainya. 1.7.3 Numeralia Keraf (1969:83-85) menyatakan bahwa numeralia (numeralia) adalah katakata yang menyatakan jumlah atau satuan kumpulan benda, atau urutan tempat dari nama-nama benda. Ada dua macam sistem numeralia dalam berbagai bahasa di dunia, yaitu sistem desimal dan sistem kuinal. Sistem desimal adalah sistem perhitungan yang akan kembali kekesatuan pertama sesudah hitungan kesepuluh, dan sistem kuinal adalah sistem perhitungan yang akan kembali kekesatuan 15 pertama sesudah hitungan kelima. Bahasa Indonesia menggunakan sistem desimal campuran karena ada dua kata, yaitu delapan dan sembilan yang bukan numeralia asli. Kata delapan dibentuk dari dua alapan yang berarti dua diambil (dari sepuluh), sedangkan kata sembilan berarti satu ambilan yang berarti satu diambil (dari sepuluh). Menurut sifatnya, numeralia dapat dibagi menjadi empat. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut. a) Numeralia Utama (Numeralia Cardinalia) Numeralia utama (numeralia cardinalia) adalah numeralia yang memberi keterangan mengenai jumlah barang atau hal. Numeralia ini merupakan dasar bagi pembentukan numeralia tingkat dan numeralia kumpulan. Numeralia ini membentuk kelas yang tertutup karena jumlahnya sangat terbatas, namun dapat diperbanyak dengan pengabungan kata dasar tadi. Numeralia utama dalam bahasa Indonesia yang dasar dan gabungan adalah sebagai berikut. Dasar : satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Gabungan : sebelas, dua belas, dua puluh satu, tiga puluh lima, dan sebagainya. Numeralia dasar yang lain adalah ratus, ribu, juta, milayar, triliun yang memungkinkan penggabungan untuk membentuk bilangan-bilangan di atas seratus. Kata ratus dan ribu adalah kata Indonesia asli, kata juta diserap dari bahasa Sansekerta, sedangkan milyar, triliun, dan sebagainya diserap dari bahasa Barat. 16 b) Numeralia Tingkat (Numeralia Ordinalia) Numeralia tingkat (numeralia ordinalia) adalah numeralia yang menjelaskan dalam urutan keberapa sebuah benda berada. Numeralia tingkat dibentuk menggunakan numeralia utama yang diberi prefiks ke-, kecuali untuk urutan satu digunakan juga kata perutam yang diserap dari bahasa Sansekerta, misalnya: kesatu, pertama kedua puluh kedua ketiga puluh enam ketiga keseratus lima kesepuluh keseribu lima ratus tiga c) Numeralia Kumpulan (Numeralia Collectiva) Numeralia kumpulan (numeralia collectiva) adalah numeralia yang menjelaskan berapa satuan himpunan barang atau hal, yakni berapa banyak barang yang terdapat dalam satu himpunan. Ada dua bentuk kata bilangan himpunan dalam bahasa Indonesia, yaitu: (1) yang dibentuk dengan menambahkan prefiks ke- pada kata bilangan utama seperti halnya numeralia tingkat: kesatu, kedua, ketiga, keempat, kelima dan sebagainya. (2) yang dibentuk dengan menambahkah prefiks ber- pada kata bilangan utama: berdua, bertiga, berempat, berlima, dan sebagainya. 17 d) Numeralia Tak Tentu (Numeralia Indeterminativa) Numeralia tak tentu (numeralia indeterminativa) adalah numeralia yang menjelaskan jumlah barang atau hal yang tidak diketahui jumlahnya secara pasti, seperti contoh berikut ini. -beberapa anak tidak masuk sekolah hari ini. -kami telah menjelahi semua kota di Jawa. -segala kelakuannya menjengkelkan kami. Mees (1954:246-250) mengatakan bahwa numeralia digolongkan menjadi lima, yaitu(1) induk numeralia, misalnya satu, dua, tiga, seratus, dan sebagainya, (2) numeralia tak tentu, misalnya beberapa, segala, dan sebagainya, (3) numeralia kumpulan, misalnya ketiga, berlima, dan sebagainya, (4) numeralia tingkat, misalnya kesatu, kedua, ketiga, dan sebagainya, dan (5) numeralia pecahan, misalnya dua pertiga, seperdua, dan sebagainya. Hadidjaja (1965:72-79) menggolongkan kata bilangan menjadi tiga karena tidak mengakui numeralia kumpulan dan numeralia tingkat. Numeralia tak tentu masukkan ke dalam numeralia pokok. Ketiga golongan numeralia menurut Hadidjaja adalah (1) numeralia pokok, yang dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu numeralia pokok yang tentu misalnya satu, dua, sepuluh, seribu, sejuta dan numeralia pokok yang tak tentu, misalnya semua, segala, sekalian, banyak, sedikit, tiap-tiap, dan sebagainya, (2) numeralia tingkat yang digolongkan menjadi dua golongan numeralia tingkat yang tentu, misalnya kesatu, kedua, ketiga, kesepuluh, dan numeralia tak tentu, misalnya kesekian, dan (3) numeralia 18 pecehan, misalnya sepertiga, tiga perlima, dan tujuh perempat sembilan perseratus. Numeralia dapat dibedakan menjadi empat golongan, yaitu (1) numeralia bulat atau bilang biasa, misalnya satu, dua, (2) numeralia pecahan, misalnya dua pertiga, seperdua, (3) numeralia penujuk taraf atau tingkat, misalnya kesatu, kedua, (4) numeralia kurang tentu, misalnya semua, sedikit, beberapa (Lubis, 1950: 147-150). Menurut Zain (1943:109-118) numeralia dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu (1) nama bilangan yang menunjukkan banyak yang dapat digolongkan menjadi dua golongan, ialah yang menunjukkan banyak yang tentu, misalnya satu, tiga, empat, dan yang menunjukkan banyak yang tidak tentu, misalnya segala, sekalian, semua, banyak, sedikit, beberapa, dan (2) nama bilangan yang menunjukkan pangkat, yang dibentuk dengan menambahkah awalan ke- pada nama bilangan yang menunjukkan banyak yang tak tentu, misalnya kedua, ketiga, keempat, dan sebagainya. Poedjawijatna dan Zoetmulder (via Ramlan, 1985:37) mendefinisikan numeralia sebagai kata yang digunakan untuk menyatakan sejumlah individu dari kelompok semacam atau sejenis. Kata golongan ini dibedakan menjadi empat golongan, yaitu (1) numeralia tentu, misalnya satu dua, (2) numeralia tak tentu, misalnya beberapa, semua, tiap-tiap, (3) numeralia tingkat, misalnya, kedua, ketiga, dan (4) numeralia pecahan, misalnya sepertiga, dua perlima, dan sebagainya. 19 Batuah (via Ramlan, 1985:30) menggolongkan numeralia menjadi enam, yaitu (1) numeralia pokok, misalnya satu, dua, (2) numeralia pecahan, misalnya setengah, seperlima, (3) numeralia penunjuk tingkat, misalnya pertama, kesekian, (4) numeralia pengumpul adalah numeralia yang mengungkapkan sesuatu kumpulan benda yang sejenis atau seragam, misalnya kedua, ketiga, (5) numeralia pengganda, misalnya sekali,tiga kali, dan (6) numeralia penunjuk yang kurang tentu, misalnya segala, semua, banyak, sedikit. 1.7.4 Frasa Numeralia Frasa mempunyai dua sifat, yaitu frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih dan frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa, yaitu S, P, O, PEL, atau KEL (Ramlan, 2005:139). Frasa numeralia ialah frasa yang menpunyai distribusi yang sama dengan numeralia, misalnya frasa dua buah dalam dua buah rumah. Frasa ini mempunyai distribusi yang sama dengan kata dua (Ramlan, 1996:176). Persamaan distribusi itu dapat diketahui jelas dari jajaran: dua buah rumah, dua-rumah. Kata dua termasuk numeralia; karena itu, frasa dua buah termasuk golongan frasa numeralia. Frasa numeralia terdiri dari pembagian dua jenis, yaitu frasa numeralia yang terdiri atas unsur bilangan diikuti kata penyukat, misalnya tigo ekor kelinci, dan (2) frasa numeralia yang terdiri atas numeralia disertai kata tambah, misalnya hanya satu, cuma sepuluh, tiga saja, dan sebagainya. 20 1.8 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga tahap, yaitu (1) tahap penyediaan data, (2) tahap analasis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5-7). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa pemerian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1988:62). 1.8.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data Pada tahap penyediaan data dilakukan melalui tiga teknik, yaitu teknik wawancara, teknik introspektif, dan teknik simak dan catat. 1.8.1.1 Wawancara Wawancara yaitu kegiatan pengumpulan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada informan sehingga terjadi percakapan antara peneliti dengan informan. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur yaitu tidak didasarkan pada rincian pertanyaan yang kaku. Dalam penelitian, wawancara dilakukan dengan disertai teknik rekam dan catat. Peneliti melakukan wawancara secara informal. 1.8.1.2 Introspektif Sudaryanto (1993:121-125) mengatakan bahwa peran peneliti dimanfaatkan secara optimal sebagai penutur bahasa dalam menyediakan data dan pengontrol 21 data sahih. Metode introspektif digunakan untuk memperoleh dan mengumpulkan data dalam penelitian ini dikarenakan peneliti adalah penutur asli BMP. Selain menjadi objek dalam penelitian ini, peneliti dapat membangkit kembali pengetahuan penulis sendiri mengenai kata-kata penyukat dalam BMP yang masih berfungsi. 1.8.1.3 Simak dan Catat Subroto (2007:47) mengatakan bahwa metode simak adalah peneliti mengadakan penyimakan terhadap pemakain bahasa lisan yang bersifat spontan dan mengadakan pencatatan terhadap data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan peneliti. Metode simak dilakukan dengan menyimak pemakaian bahasa Patani dan diikuti dengan teknik pemakaiannya yang berupa teknik catat pada tahap pengumpulan data berupa semua bentuk yang digunakan untuk menyukat benda dalam BMP. Penyimakan dilakukan pada pemakaian bahasa Melayu Patani secara tertulis, misalnya pada buku-buku berbahasa Melayu Patani. Selain itu, dilakukan pula penyimakan terhadap pemakaian BMP secara lisan yang dilakukan oleh masyarakat Patani. Hasil perolehan data dicatat dalam kartu dan data diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan semestinya. 1.8.2 Metode dan Teknik Analisis Data Setelah menyediakan data, tahap berikutnya adalah menganalisis data. Data akan dianalisis menggunakan metode agih. Sudaryanto (1993:15) mengatakan bahwa metode agih adalah metode analisis yang alat penentunya ada di dalam dan 22 merupakan bagian dari bahasa yang diteliti. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur lansung dan teknik lanjutan. Teknik bagi unsur langsung adalah teknik analisis data dengan cara membagi suatu konstruksi menjadi beberapa bagian atau unsur (Sudaryanto, 1993:31-40). Teknik bagi unsur langsung ini bermanfaat untuk menentukan bagian-bagian fungsional suatu konstruksi. Alat penentu teknik bagi unsur langsung adalah intuisi kebahasaan peneliti terhadap bahasa yang diteliti. Intuisi kebahasaan adalah kesadaran penuh yang tak terumusan, tetapi terpercaya, terhadap apa dan bagaimana kenyataan yang bersifat kebahasaan (Sudaryanto, 1993:32). Selanjutnya, teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik lesap, teknik perluas, dan teknik balik (Sudaryanto, 1993:39). Teknik-teknik lanjutan ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1.8.2.1 Teknik Lesap Teknik lesap adalah teknik analisis data dengan cara melesapkan satuan kebahasaan yang dianalisis. Alat penentunya adalah satuan kebahasaan yang dilesapkan (Sudaryanto, 1993:40). Kegunaan teknik lesap adalah untuk membuktikan kadar keintian satuan kebahasaan dalam suatua konstruksi. Penerapkan teknik lesap menghasilkan dua kemungkinan, yaitu satuan kebahasaan inti dan bukan inti. Hasilnya berupa satuan kebahasaan inti apabila pelesapannya mengakibatkan konstruksi bagian sisanya tidak berterima dan berupa satuan kebahasaan bukan inti apabila konstruksi bagian sisanya tetap gramtikal (Kesuma, 2007:57). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini. 23 (1) lima buah jeruk (1a) lima jeruk (2) tiga kelompok anak (2a) tiga anak Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa ada kata penyukat yang dapat dilesapkan seperti contoh (1) dan (1a), tetapi contoh (2) dan (2a) tidak dapat dilesapkan karena kemungkinan akan mengubah kategori nominanya dari kolektif menjadi nonkolektif. 1.8.2.2 Teknik Perluas Teknik perluas adalah teknik analisis data dengan cara memperluas satuan kebahasaan yang dianalisis dengan menggunakan satuan kebahasaan tertentu. Perluas itu dapat dilakukan ke kiri ke kanan sehingga lahirlah dua subjenis (Kesuma, 2007:59). Teknik perluas digunakan untuk menentukan segi-segi kemaknaan satuan kebahasaan tertentu (Sudaryanto, 1993:55). Subroto (2007:82) mengatakan bahwa teknik perluas ini bermanfaat untuk mengetahui identitas satuan lingual tertentu, untuk mengetahui seberapa jauh satuan lingual dapat diperluas ke kiri maupun ke kanan, dan untuk mengtahui unsur pemerluas yang bersifat mengakhiri atau menutup. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini. (3) orang (3a) dua orang (3b) dua orang guru 24 Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa contoh (3) dapat diperluas ke kiri dengan kata bilangan sehingga menjadi contoh (3a) dan dapat diperluas lagi ke kanan dengan nomina sehingga menjadi contoh (3b). Dari contoh ini dapat juga diketahui jika perluasan ke kiri hanya dapat dilakukan dengan menambahkan kata bilangan. Sementara itu, perluasan ke kanan hanya dapat dilakukan dengan menambahkan nomina tertentu, yaitu nomina-nomina yang dapat dilekati kata penyukat tersebut. 1.8.2.3 Teknik Balik Teknik balik adalah teknik analisis data dengan cara mengubah atau membalik struktur satuan kebahasaan yang dianalisis. Kegunaan teknik balik itu adalah untuk mengtahui kadar ketegaran letak suatu satuan kebahasaan di dalam kalimat dan kadar kepositifan antara dua satuan kebahasaan yang sama informasinya (Sudaryanto, 1993:74-79). Kesuma (2007:61) mengatakan bahwa teknik balik dilaksanakan dengan mengubah struktur kalimat yang dianalisis. Dalam pengubahan itu, yang berubah bukanlah jumlah dan wujud satuan strukturnya. Caranya adalah dengan memindahkan letak suatu konstituen ke tempat lain dalam kalimat yang sama. Bila konstituen dapat dipindahkan letaknya, berarti letaknya tidak tegar, tetapi bila letaknya tidak dapat dipindahkan, berarti letaknya tegar. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini. (4) dua lozen botol kecap manis *berikut ini letaknya diubah sehingga menjadi: 25 (4a) *dua botol kecap manis lusin (4b) *botol kecap manis dua lusin Dari contoh-contoh diatas dapat disimpulkan bahwa konstituen botol kecap manis dapat dipindahkan letaknya sehingga letaknya tidak tegar, sementara itu, konstituen dua dan lusin letaknya tidak dapat dipindahkan, berarti letaknya tegar. Hal ini seperti yang terlihat pada contoh (4a) dan (4b), yang mana pemindahnya konstituen dua dan lusin menjadikan kalimat tersebut tidak gramatikal. 1.9 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Setelah dilakukan analisis data, hasil analisis yang diperoleh akan disajikan dengan menggunakan teknik penyajian informal, yaitu penyajian dengan menggunakan kata-kata biasa untuk mendeskripsikan hasil analisis data. 1.10 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dalam lima bab. Pada bab pertama diuraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistem penelitian. Bab II memaparkan sekilas perbedaan bunyi bahasa melayu patani dan bahasa Indonesia. Bab III memaparkan bentuk-buntuk dan klasifikasi kata penyukat dalam BMP. Bab IV memaparkan perilaku sintaksis kata penyukat dalam BMP. Bab V merupakan kesimpulan dan saran.