BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sesuai judul Bab ini yaitu tinjauan pustaka, berikut di bawah ini Penulis mengemukakan bagaimana pustaka atau literatur menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah Penelitian dan Penulisan Karya Tulis ini sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I. Adapun rumusan masalah tersebut adalah bagaimana Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain? Melalui uraian kepustakaan, diharapkan, Bab mengenai Tinjauan Kepustakaan ini akan memberikan gambaran, menurut kepustakaan, perspektif tentang Perjanjian Kerja dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, tentang bagaimana; misalnya, antara lain, hakikat dari PKWT; hakikat dari Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain; apakah ada kemungkinan, menurut kepustakaan yang ditinjau dapat dikemukakan bahwa sebetulnya PKWT dan Pemberian atau Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain tersebut pada hakikatnya adalah dua hal yang mirip antara satu dengan lainnya,27 dan terutama dapat menggambarkan bagaimana suatu pembenaran atau justifikasi mengenai apa yang Penulis kemukakan dalam Bab I dan merupakan thesis sentence Penulis bahwa Hubungan Kerja Berdasarkan 27 Atau, seperti telah Penulis kemukakan dalam Bab I, bahwa pada hakikatnya PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain tersebut adalah suatu kontrak sui generis (hybrid). Dus suatu kesatuan kontrak, dimana di dalamnya ada unsur-unsur PKWT dan juga ada unsur-unsur Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Lihat halaman 8 Bab I Skripsi ini. 21 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain adalah suatu kontrak yang dapat dilihat sebagai berdiri sendiri, sebagai suatu kesatuan, bukan hanya dua perjanjian yang berdiri sendirisendiri, yaitu Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) saja; atau Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain saja.28 2.1. Perikatan Suatu Sistem yang Terbuka Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda tetapi menurut Penulis apabila diteliti lebih mendalam maka perikatan itu sama dengan suatu perjanjian. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada Hubungan Hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak. Hubungan Hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam Hubungan Hukum tersebut.29 Perikatan sesuai dikte hukum (the dictate of the law) dalam KUHPerdata diatur dalam Buku III KUHPerdata. Buku III KUHPerdata dipaksa oleh Hukum supaya menganut sistem terbuka yang artinya bahwa dalam hukum perjanjian ada kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat mengadakan perjanjian yang 28 Lihat Catatan Kaki No. 10, supra. 29 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 1. 22 berisi apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum, kesusilaan dan undangundang.30 Eksistensi perjanjian yang juga adalah satu perikatan dapat ditemui pengakuannya oleh ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena UndangUndang.31 “Suatu perjanjian juga adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian adalah: suatu perbuatan, yang dapat dilakukan satu orang (bisa juga lebih dari satu orang). Perbuatan tersebut adalah perikatan diantara pihak-pihak yang mengucap janji (promises) tersebut. Perikatan yang adalah undang-undang diatur dalam Pasal 1352 sampai Pasal 1380 KUHPerdata. Perikatan yang adalah undang-undang terbagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan orang. Perikatan yang adalah perbuatan orang terdiri dari perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Perikatan yang adalah perbuatan yang sesuai dengan hukum ada dua yaitu wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming) diatur dalam Pasal 1354 sampai Pasal 1358 KUHPerdata dan pembayaran tanpa hutang (onverschulddigde betaling) diatur dalam Pasal 1359 sampai Pasal 1364 KUHPerdata. Sedangkan perikatan yang adalah perbuatan yang tidak seturut dengan kehendak hukum adalah perbuatan 30 Diktat Christiana Tri Budhayati, SH, M.Hum, Hukum Perdata, hlm. 38. 31 Ibid. 23 melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 sampai Pasal 1380 KUHPerdata. 2.2. Sumber – Sumber Perikatan Untuk memerjelas sumber-sumer perikatan sebagaimana dinyatakan dalam KUHPerdata, maka berikut di bawah ini Penulis akan menggambarkan sumbersumber itu dalam suatu Bagan. Dimana dalam Bagan 1., ada perikatan yang bersumber pada perjanjian dan juga ada perikatan yang bersumber pada Undangundang. Perikatan yang bersumber pada Undang-undang sebagaimana dapat dilihat dalam bagan tersebut masih dibagi lagi menjadi perikatan yang bersumber pada Undang-Undang karena perbuatan manusia dan perbuatan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sedangkan perikatan yang bersumber pada Undang-Undang karena perbuatan manusia dibagi lagi ke dalam perikatan yang bersumber pada perbuatan manusia menurut hukum dan perbuatan melawan hukum. Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa yang Penulis maksudkan dengan katakata “yang bersumber” adalah, maksud Penulis, “yang adalah” atau “yang identik” atau “yang sama dengan”. Artinya, contoh: Perikatan “yang bersumber” pada perjanjian seharusnya dibaca dalam perspektif Ilmu Hukum sebagai Perikatan yang adalah perjanjian, atau perikatan yang identik dengan Perjanjian atau Perikatan yang sama dengan Perjanjian. 24 Bagan 1. Sumber-sumber perikatan. 2.2.1. Perjanjian Secara Umum Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.32 Dalam membuat perjanjian, pada prinsipnya kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Artinya, ditinjau dari sudut pandang kaedah yang baru saja dikemukakan di atas, maka kedudukan Pengusaha atau Pemberi Kerja dengan Pekerja atau Buruh idealnya harus seimbang. 32 Djumadi, Loc. Cit., hlm. 9. Pasal 1313 KUHPerdata. 25 Apabila perjanjian pada umumnya tersebut dibandingkan dengan Perjanjian Kerja, maka suatu Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, Pekerja atau Buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain yaitu Pemberi Kerja, selama waktu tertentu dengan menerima upah.33 Perjanjian Kerja dapat dikatakan sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya. Perjanjian pada umumnya sesuai dikte hukum (the dictate of the law) diatur di dalam Buku III A KUHPerdata. 2.2.2. Asas-Asas Perjanjian Pada Umum Seperti telah Penulis kemukakan di depan, perjanjian menganut sistem terbuka yang nampak pada asas ini berada pada Pasal 1338 Ayat (1). “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas-asas perjanjian, yang harus diperhatikan dalam dalam membuat kontrak adalah: Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract). Suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian, 33 Lihat, Pasal 1601 (a) KUHPerdata. Demikian pula, seperti di-restate lagi dalam UU Ketenagakerjaan Republik Indonesia, sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I skripsi ini, Lihat Catatan Kaki Bab I No. 1, supra. 26 pelaksanaan, dan persyaratannya; menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan34 yang sebetulnya tertulis di mata Yuris. Asas Konsensualisme (concsensualism) berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda) perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu. Asas iktikad baik (good faith) yaitu, subyektif, kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang dalam perbuatan hukum. Iktikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. Namun, iktikad baik itu sebetulnya obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini merupakan dikte hukum kepada Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata, bahwa hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak 34 H.S. Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 70. 27 terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku. Asas Kepribadian (personality) berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1340 Ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana tuntutan hukum kepada Pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi pengertian bahwa seseorang dapat terikat dalam perikatan untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang telah ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. 2.2.3. Syarat-Syarat dalam Perjanjian Pada Umumnya Pasal 1320 KUHPerdata telah diatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat yang pertama, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan yang dimaksud dengan kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam jenis perjanjian tertentu. 28 Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Hal yang demikian itu adalah perikatan atau suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak. Pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sifat perjanjian seperti itu adalah para pihak saling berjanji (exchange of promises). Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu perikatan. Perjanjian adalah perikatan. Dalam perjanjian tidak boleh ada pihak yang dipaksa oleh satu pihak untuk membuat perjanjian, disamping perjanjian itu juga tidak boleh dibuat karena paksaan. Sedangkan syarat kedua adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, atau asas cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kecakapan adalah bahwa setiap orang yang hendak mengikatkan diri ke dalam perjanjian itu adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya dan tidak berada di bawah pengampuan. Sementara itu syarat ketiga adalah suatu hal tertentu. Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang sudah cukup jelas atau sudah tertentu. Misalnya saja, bahwa bagi pihak Pekerja, ia harus melakukan pekerjaan yang bukan merupakan suatu pekerjaan utama (core business) dari perusahaan si Pemberi Kerja. Lebih jauh, sudah ditentukan pula berapa harga yang harus dibayar oleh si Pemberi Kerja atas upah yang harus diterima oleh si Pekerja. 29 Sedangkan syarat yang keempat adalah; adanya sebab yang halal. Suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab atau kausa yang halal, atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Misalnya perjanjian jual beli narkoba atau jual beli senjata gelap.35 Dalam penelitian, Penulis menemukan, apabila keempat syarat dalam perjanjian pada umumnya sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas itu diperbandingkan dengan pengertian kerja, maka sebetulnya tidak ada perbedaan yang mendasar; baik syarat dalam perjanjian pada umumnya maupun syarat dalam Perjanjian Kerja. UU Ketenagakerjaan memuat pernyataan bahwa Perjanjian Kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.36 2.3. Perikatan yang Timbul Karena Undang-Undang dan Perbuatan Manusia Perikatan yang timbul karena undang-undang dan perbuatan manusia terdiri dalam tiga hal yaitu Perwakilan Sukarela (Zaakwarneming), Pembayaran yang Tidak Terutang (onverschulddigde betaling), dan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad). 35 Pasal 1335 KUHPerdata. 36 Lihat, Pasal 52 UU Ketenagakerjaan. 30 2.3.1. Perwakilan Sukarela (Zaakwarneming) Perwakilan sukarela adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara sukarela menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain dengan sepengetahuan maupun tanpa sepengetahuan dari pihak yang diurus kepentingannya. Perwakilan sukarela dapat terjadi biasanya apabila yang diurus kepentingannya itu tidak di tempat, sakit atau keadaan apapun dimana ia tidak dapat melakukan sendiri kepentingannya. Berdasarkan Pasal 1354 KUHPerdata jelas bahwa perwakilan sukarela sebagai suatu perbuatan atau perikatan dapat terjadi tanpa sepengetahuan orang yang diwakilinya, tetapi pada umumnya terjadi dengan sepengetahuannya. Syarat perwakilan sukarela adalah, kepentingan yang diurus adalah kepentingan orang lain; seorang wakil sukarela harus mengurus kepentingan orang yang diwakilinya secara sukarela. Maksudnya adalah bahwa ia berbuat atas inisiatif sendiri bukan berdasarkan kewajiban yang ditimbulkan oleh undang-undang atau persetujuan. Seorang wakil sukarela harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain, serta harus terdapat keadaan yang sedemikian rupa yang membenarkan inisiatifnya untuk bertindak sebagai wakil sukarela. Perwakilan sukarela meliputi perbuatan nyata dan perbuatan hukum. Sepanjang mengenai perbuatan nyata, perwakilan sukarela bagi kepentingan orang yang tidak cakap atau tidak wenang jelas masih mungkin. Sedangkan jika mengenai perbutan hukum hal itu masih mungkin, sepanjang perbuatan hukum tersebut 31 menurut sifatnya menurut ketentuan undang-undang tidak dilarang. Karena perikatan itu adalah undang-undang, maka hak dan kewajiban pihak-pihak juga diatur oleh undang-undang. 2.3.2. Pembayaran yang Tidak Terutang (onverschulddigde betaling) Seseorang kembali apa yang yang membayar telah tanpa dibayarkan. adanya Dan utang, yang berhak menerima menuntut tanpa hak berkewajiban untuk mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang didikte oleh hukum kepada Pasal 1359 KUHPerdata bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela namun karena ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang yang harus dibayarkan secara sukarela. Dalam perikatan pembayaran tanpa utang, tuntutan kembali atas pembayaran yang telah dilakukan itu disebut conditio indebiti. Tuntutan semacam ini dapat dilakukan badan-badan Pemerintah, misalnya pembayaran “pajak” yang kemudian ternyata tidak ada pajak sebaliknya pemungutan liar, maka pihak yang telah membayar bisa meminta kembali pembayaran tersebut melalui hakim. 2.3.3. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) Menurut ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata: ”setiap perbuatan melawan hukum, yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan 32 orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”. Pasal tersebut jelas mengandung tuntutan hukum untuk menghukum unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Perbuatan tersebut harus tidak boleh melawan hukum; harus tidak ada kesalahan; harus tidak ada kerugian yang ditimbulkan dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang dapat dihukum. Perbuatan melawan hukum yang ditujukan terhadap diri pribadi orang lain dapat menimbulkan kerugian fisik atau pun kerugian nama baik (martabat). Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabnya diatur oleh hukum pada Pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata. Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum pertanggungjawabnya dapat dipilih antara Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata. 2.4. Perjanjian Keagenan37 Keagenan memainkan peranan penting di dalam transaksi-transaksi komersial, khususnya dalam perusahaan modern, yang menurut hukum, dianggap memiliki pribadi dan dapat mengadakan transaksi atas namanya sendiri. Bahkan dengan individu sekalipun, seringkali dianggap lebih mudah bila bertransaksi melalui pihak perantara. Dengan demikian, banyak transaksi komersial sehari-hari yang dilakukan 37 Lihat Catatan Kaki No. 26 dalam Bab I Skripsi ini. 33 melalui pihak perantara yang dalam hal ini bertindak dalam lingkup kewenangan yang diberikan kepadanya baik secara tegas maupun tersirat namun tersurat. Pihak yang bertindak atas nama pihak lainnya disebut agen dan akibat hukum dari tindakan yang dilakukan oleh agen adalah pihak untuk siapa ia bertindak – yaitu prinsipal – akan terikat oleh tindakannya tersebut dan dapat menimbulkan kewajiban hukum kepada pihak ketiga yang berurusan dengan agennya. Dengan demikian, keagenan dapat memperluas pihak yang harus melakukan perikatan. Terhadap klasifikasi peraturan keagenan dalam Hukum yaitu, keagenan sebagai bentuk perjanjian khusus dan keagenan sebagai lembaga pedagang perantara selain komisioner dan makelar. Keagenan sebagai perjanjian khusus berarti bentuk khusus dari perjanjian pemberian kuasa. Sebagai bentuk perjanjian khusus, maka keagenan merupakan perjanjian bernama selain perjanjian khusus bernama lainnya yang merupakan tuntutan hukum kepada KUHPerdata. Dengan demikian ketentuanketentuan umum yang hanya merekam kembali dalam KUHPerdata dapat diberlakukan terhadap keagenan. Agency dalam hukum adalah suatu Hubungan Hukum atau perikatan dimana satu pihak yaitu agen bertindak atas nama pihak lain, yaitu prinsipal dan pihak itu tunduk pada pengawasan prinsipal. Sehingga hubungan antara agen dengan prinsipal adalah fiduciary relationship. Prinsipal mengijinkan agen bertindak atas nama prinsipal. Agen berada dibawah pengawasan prinsipal.38 38 Suharmoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa kasus, (Jakarta: Pranada Media,2004), hlm. 41. 34 Antara agency dengan pemberian kuasa terdapat persamaaan. Terjandinya, yaitu secara tegas adalah suatu perjajian atau secara diam-diam. Keagenan terdiri dari yang umum (general) dan yang khusus (special). Keagenan diam-diam berarti menjalankan kuasa yang telah diberikan atau tidak ada bantahan atau keberatan terhadap suatu penyerahan kuasa.39 Adapun bentuk khusus dari perjanjian pemberian kuasa adalah sebagai berikut: agen tunduk pada pengawasan prinsipalnya. Agen melakukan tugasnya dengan diberi upah atau komisi. Sedangkan dalam pemberian kuasa, penerima kuasa tidak selalu diberi upah walaupun dapat juga dilakukan dengan upah. Tanggung jawab agen terbatas dari apa yang diberikan oleh prinsipalnya yang dituangkan dalam perjanjian, termasuk pemberian hak substitusi. Dalam pemberian kuasa, dapat dilakuakn hak substitusi dan tanggung jawabnya tergantung dari ada tidaknya hak itu.40 Kekhususan pada keagenan tersebut, tidak menghilangkan prinsip dasar dari perjanjian perwakilan ini yaitu hubungan saling berjanji antara kedua belah pihak yang didasari dengan kesepakatan dan kepercayaan satu sama lain. 2.5. Perjanjian Kerja Hakikat Perjanjian Kerja dapat ditelusuri dengan melihat definisi Perjanjian Kerja sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003. Menurut UU 39 Pasal 1793 Ayat (2) KUHPerdata. 40 Subekti,S.H., Aneka Perjanjian, Cet. VIII, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 159. 35 Ketenagakerjaan itu, Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau Pemberi Kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Ada juga kepustakaan yang menyatakan bahwa Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang Pekerja dengan seorang Pemberi Kerja. Perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri: adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dienturhouding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (Pemberi Kerja) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain.41 Perjanjian Kerja dibuat secara tertulis ataupun lisan. Pada prinsipnya Perjanjian Kerja dibuat secara tertulis. Namun, memerhatikan kondisi masyarakat yang beragam, dimungkinkan Perjanjian Kerja dibuat secara lisan tetapi sebetulnya di mata yuris adalah tertulis. Perjanjian Kerja yang dibuat secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Antara lain perjanjian yang menjadi fokus kajian dan penulisan ini, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Sedangkan definisi Perjanjian Kerja yang ditentukan oleh Penulis dalam penelitian yaitu dalam UU Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau Pemberi Kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 41 Abdussalam, Loc. Cit., hlm 46. 36 Sedangkan menurut Pasal 1603 huruf (e) KUHPerdata, Perjanjian Kerja berakhir demi hukum jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau peraturan-peraturan atau dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan yang berlaku. Dari pengertian Perjanjian Kerja tersebut, perjanjian kerja dibedakan menjadi tiga, yaitu: Perjanjian Kerja waktu tertentu dimana sistem berlakunya ditentukan menurut perjanjian, misalnya 1 tahun. Perjanjian ini pada umumnya42 diberlakukan pada karyawan kontrak, dengan jangka waktu sepanjang kontrak tersebut. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dimana sistem berlakunya ditentukan menurut kebiasaan. Kepustakaan pada umumnya memberi ilustrasi, misalnya untuk proyek pembuatan jalan dan pemetik teh, untuk kedua pekerjaan ini perjanjian dianggap berakhir, ketika pekerjaan dinyatakan selesai. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dimana berlakunya ditentukan menurut Undang-Undang. Misalnya untuk perusahaan asing, maka jangka waktu perjanjian kerja sesuai dengan ketentuan tentang penempatan tenaga asing. 2.6. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pemborongan pekerjaan diatur dalam KUHPerdata Buku III Bab ke 6 (Pasal 1601 (b) dan Pasal 1604 sampai Pasal 1617). Perjanjian pemborongan pekerjaan di mana pihak yang satu (pihak pemborong) mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak 42 Pemahaman umum, bukan pemahaman Ilmu Hukum. Mengenai pemahaman Ilmu Hukum, dapat dilihat dalam Catatan Kaki Bab I No. 20. 37 yang lain (pihak yang memborongkan) dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Pemborongan kerja yang dalam bahasa Belanda disebut "aanneming van werk" ialah persetujuan/perjanjian (overeenkomst), dengan mana pihak yang satu yaitu pemborong (aannemer) mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain yang memborongkan (aanbesteder) dengan menerima suatu harga (prijs) yang ditentukan. Dalam kontrak pemborongan itu para pihak (yang memborongkan dan pemborong) dapat menjanjikan: bahwa pemborong hanya akan melakukan pekerjaan (arbeid) saja, atau bahwa pemborong selain dari melakukan pekerjaan akan menyediakan bahannya (stof) juga. Hal tersebut membawa akibat dalam pertanggungjawaban, yaitu pertama, jika hasil pekerjaan yang bersangkutan musnah (vergaat), maka pemborong hanya bertanggung jawab untuk/ karena kesalahannya saja. Sedangkan hal yang kedua, jika hasil pekerjaan yang bersangkutan dengan cara bagaimanapun juga musnah sebelum pekerjaan itu diserahkan kepada yang memborongkan, maka pemborong bertanggung jawab atas segala kerugian, kecuali bila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima pekerjaan itu. Pihak pemborong bertanggung jawab terhadap perbuatan dari para pekerja yang ia suruh untuk melakukan pekerjaan borongan yang bersangkutan. Namun demikian pertanggungjawaban itu dilakukan karena perikatan si Pemborong dengan 38 pihak yang memborongkan pekerjaan kepadanya dan juga karena tuntutan hukum dalam undang-undang. Borongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya pemborong yang bersangkutan, tanpa mengurangi kewajiban pihak yang memborongkan untuk membayar kepada ahli waris pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan dan atau harga bahan yang telah disediakan oleh pemborong, dengan mana pihak yang memborongkan memperoleh suatu manfaat. Hubungan kerja adalah hubungan antara Pekerja dan Pemberi Kerja setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak pertama, si Pekerja mengikatkan dirinya pada pihak lain, si Pemberi Kerja untuk bekerja dengan mendapat upah dan Pemberi Kerja menyatakan kesanggupan untuk mempekerjakan si Pekerja dengan membayar upah. Hubungan antara perusahaan pemakai jasa dengan perusahaan penyedia jasa adalah terjadinya hubungan kerja dimana adanya suatu ikatan dengan timbulnya suatu perjanjian. Hal ini diatur dalam Pasal 66 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Meskipun Pekerja tersebut bekerja pada perusahaan pemakai jasa atau perusahaan yang memborongkan atau menyerahkan sebagian pekerjaan untuk dikerjakan oleh si penerima pekerjaan, status dari Pekerja tersebut tetap sebagai Pekerja perusahaan yang memborongkan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa. Hak-hak yang wajib diterima oleh Pekerja tersebut juga harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia pekerjaan. 39 Hubungan yang tercipta antara perusahaan pemakai jasa dengan Pekerja diatur dalam Pasal 66 Ayat 4 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang berbunyi “dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) huruf (a), huruf (b), dan huruf (d) serta Ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara Pekerja/Buruh dan perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh beralih menjadi hubungan kerja antara Pekerja/Buruh dan perusahaan Pemberi pekerjaan”. Sedangkan hubungan antara perusahaan pemakai jasa dengan Pekerja/Buruh yang berasal dari perusahaan penyedia jasa atau perusahaan pemborong muncul Pekerja harus tunduk pada peraturan yang ada dalam perusahaan tersebut sepanjang pekerjaan itu ada, dan apabila terjadi kesalahan yang merugikan perusahaan pemakai jasa atau perusahaan yang memborongkan pekerjaan tersebut, perusahaan tersebut dapat menegur langsung pada Pekerja tersebut, begitu juga sebaliknya kepada perusahaan pemakai jasa yang harus tunduk pada perjanjian yang telah disepakati bersama. 2.7. Arti Penting Tinjauan Pustaka Uraian yang Penulis ambil dari beberapa kepustakaan atau Tinjauan Kepustakaan sebagaimana telah dikemukakan di atas tidak sama sekali menemukan Pustaka yang membicarakan apa yang disebut sebagai hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sebagai suatu kontrak atau suatu perjanjian yang berdiri sendiri. Yang ada adalah hanya penjelasan kepustakaan tentang perjanjian pada 40 umumnya, Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu, Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (outsourcing), Perjanjian Keagenan, Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang masing-masing merupakan jenisjenis perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Namun demikian, uraian tentang apa yang terdapat di dalam kepustakaan mengenai hal-hal sebagaimana telah Penulis kemukakan di depan mempunyai arti penting, dalam hal, mengarahkan suatu analisa yang pada akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan thesis sentence Penulis, yaitu bahwa Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain adalah suatu kontrak sui generis (hybrid) yang berdiri sendiri. Hal itu akan Penulis kemukakan dalam Bab III, setelah menguraikan hasil penelitian, baik terhadap peraturan perundang-undangan yang telah dikemukakan dalam satuan amatan (Bab I)43 maupun Putusan Pengadilan. 43 Satuan amatan Penelitian yang kemudian dirujuk dalam penulisan karya tulis ini diuraikan oleh Penulis dalam Bab I, Sub Judul Metode Penelitian, 1.5. 41