BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Hotel Butik Telah bertahun-tahun banyak yang ingin mendefinisikan hotel butik secara universal, namun hingga kini belum tercapai. Tapi secara garis besar hotel butik adalah hotel kecil namun memiliki kualitas mewah atau kelas atas dengan pelayanan yang sangat pribadi di lingkungan yang nyaman dan intim, biasanya memiliki desain yang unik dan unsur kebudayaan, dan pemilihan lokasi untuk hotel ini menjadi sangat penting untuk keberhasilan suatu hotel dan kemampuan untuk memberikan pengalaman unik kepada pengunjung. (McIntosh & Siggs, 2005; Aggett, 2007; Lim & Endean, 2007; van Hartesvelt, 2006; Sarheim, 2010; oleh Clarissa Chan, 2012). Yang paling ditekankan dalam hotel butik adalah karakteristiknya konsisten, unik atau memiliki unsur budaya. Sehingga, hotel butik adalah hotel yang unik yang berbeda dengan hotel-hotel pada umumnya, perbedaan hotel ini biasanya terkait dengan desain, artistik, budaya atau sejarah, prestis, dan eksklusif dari segi propertinya. (Lim & Endean, 2007; Sarheim, 2010; oleh Clarissa Chan, 2012). Karakteristik lain dari hotel butik adalah lokasinya. Butik hotel diklasifikasikan hotel yang berada di kota dan juga untuk tujuan wisata. Namun secara umum butik hotel terletak di pusat kota. (Chan, 2012) Menurut HVS Global Hospitality Services yaitu perusahaan konsultan yang mengkhususkan diri dalam memberikan pelayanan terhadap industry 13 14 perhotelan, dalam risetnya memperlihatkan beberapa perbedaan butik hotel dengan hotel lainnya yaitu: Tabel 2.1 Perbedaan Hotel Butik dengan Hotel Lainnya Sumber: HVS Research (2011) Dan dalam artikel “Boutique and Lifeestyle Hotels: Emerging Definitions” hotel butik didefinisikan sebagai: - Budaya/bersejarah/original - Individual Hotel/bukan franchise dengan hotel lain - Menarik, service yang unik - Memiliki kamar yang berkualitas tinggi - Memiliki area social seperti living room atau perpustakaan untuk acara sosial. Kesimpulannya hotel butik adalah hotel yang memiliki ciri khas yang unik dari segi desain, biasanya memiliki unsur budaya dan sejarah juga, hotel ini terletak di pusat kota yang berperan sebagai hotel bisnis sekaligus hotel wisata dengan target pengguna adalah pebisnis atau wisatawan kalangan atas. Hotel ini memiliki ukuran standar ruang kamar yang lebih besar dari hotel pada umumnya dan fasilitas yang lengkap untuk memanjakan penghuninya. 15 2.1.1 Penerapan Unsur Budaya Hotel butik identik dengan keunikan dari segi desain hotelnya dan juga biasanya memiliki unsur budaya yang cukup kental terhadap lokasi tempat hotel butik tersebut berada. Lokasi tapak berada di daerah Jakarta Selatan, budaya Jakarta identik dengan budaya betawi. Unsur budaya yang ingin penulis tonjolkan adalah batik betawi, yang biasanya muncul dalam pakaian-pakaian adat betawi yaitu batik jenis pucuk rebung atau batik jenis tumpal. Batik tersebut berbentuk dasar segitiga-segitiga. Gambar 2.1 Contoh Batik Betawi Sumber: http://sewabusanabetawi.blogspot.com, http://islamic-center.or.id, dan http://babyhanade.com (diakses tanggal 17-06-2013) Latar belakang penggunaan unsur budaya ini, karena batik betawi masih cenderung tidak dikenal masyarakat luas, masyarakat cenderung mengetahui batik dari Solo, Pekalongan dan lain-lain. Dengan mengambil unsur budaya batik betawi yang di padukan dalam desain bangunan, 16 diharapkan bangunan hotel butik ini memiliki ciri khas budaya betawi tersebut, sehingga bangunan ini juga bisa memiliki identitas sekaligus memperkenalkan kepada masyarakat luas batik betawi tersebut. Budaya batik betawi dalam desain bangunan hotel butik ini diterapkan dari segi bentuk bangunan yang meruncing pada bagian-bagian tertentu dan permainan bentuk-bentuk segitiga pada fasade. 2.2 Klasifikasi Hotel Bintang 5 Klasifikasi hotel bintang menurut Keputusan Direktur Jendral Pariwisata (1988) berdasarkan fasilitas dan jumlah kamar hotel: Tabel 2.2 Pengelompokan Hotel Berdasarkan Kelas Bintang Jenis * ** *** **** ***** Fasilitas Kamar Min 100 Min 15 Min 20 Min 30 Min 50 Tidur Kamar Suite Luas Kamar Ruang Makan - 1 kamar 2 kamar 3 kamar 4 kamar 18-20 m2 Min 1 18-24 m2 18-26 m2 18-28 m2 20-28 m2 Min 2 Min 2 Min 2 Min 2 Restoran dan bar Function room Tidak wajib - Min 1 Min 1 Min 1 Min 1 Rekreasi dan olahraga Min 1 sarana Ruang yang disewakan Min 1 ruangan Kolam renang dan dianjurka n ditambah 2 sarana lain Min 1 ruangan - Min 1 Min 1 dan Min 1 dan dan pre pre pre function function function room room room Kolam Kolam Kolam renang renang dan renang dan dan dianjurkan di tambah dianjurka ditambah dengan 2 sarana lain n 2 sarana ditambah lain 2 sarana lain Min 1 Min 3 Min 3 ruangan ruangan ruangan 17 Lounge Taman Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Sumber: Keputusan Direktur Jendral Pariwisata (1988) Berdasarkan Keputusan Menteri Parpostel nomor KM.37/PW/MPPT86, buku Panduan Perancangan Bangunan Komersial (2008), berikut adalah klasifikasi hotel bintang 5: 1) UMUM a. Lokasi Memenuhi persyaratan dinas tata kota/pekerjaan umum dan mudah dicapai. Untuk menghindari pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh suara bising, bau tak sedap, asap dan debu. b. Arsitektur Dekorasi pada lobby, kamar tidur, restaurant, function room, dan sebagian atau keseluruhan bentuk bangunan mencerminkan seni budaya Indonesia. c. Jumlah kamar Minimal 100 kamar, dengan 10 kamar single dan 4 kamar suite. d. Ruangan umum - Ruang yang termasuk ruangan umum adalah: lobby, lounge, bar, dan ruang makan. - Luas ruangan umum adalah 2.5 m² kali jumlah kamar tidur. e. Ruangan fungsional - Minimal terdapat 1 buah pintu masuk yang terpisah dari lobby dengan kapasitas minimum 2,5 kali jumlah kamar - Terdapat toilet bila tidak satu lantai dengan lobby - Terdapat pre-function room f. Fasilitas parkir 18 Setiap 5 kamar sama dengan 1 parkir mobil. g. Taman h. Area masuk (entrance) Tersedia pintu masuk terpisah untuk tamu dan barang-barang keperluan hotel i. Lobby lounge - Mempunyai luasan minimum 100 m² - Lebar koridor minimum 1,6 m - Tersedia sekurang-kurangnya 20 tempat duduk - Toilet umum minimum 1 buah dengan perlengkapan j. Kantor depan/ Front office k. Toilet Umum/Restroom Minimal terdapat 6 toilet umum untuk pria dan 4 toilet untuk wanita. l. Terdapat drugstore, biro perjalanan, money changer, bank, souvenir shop, butik, salon, dan perkantoran. 2) Akomodasi a. Kamar tidur b. Memiliki minimal 100 kamar standar dengan luasan minimal 26 m² c. Memiliki minimal 4 kamar suite dengan luasan minimal 52m² d. Terdapat kamar mandi di dalam e. Terdapat pengatur suhu kamar di dalam kamar 3) Makanan dan Minuman a. Ruang makan - Lebar minimal ruang kerja bartender 1 m. - Memiliki minimal 4 buah dining room yang terbagi atas berbagai jenis restoran yang masakannya berbeda satu dan lainnya. 19 - Diperlukan kamar mandi bila dining room tidak berdampingan dengan lobby. - Minimal luas lantai adalah 135 m2. b. Bar - Minimal luas lantai 75 m2. - Harus dilengkapi pendingin ruangan dengan suhu 24°C bila berada dalam ruangan tertutup. - Lebar minimal ruang kerja bartender 1 m. 4) Sarana rekreasi dan olahraga - Terdapat kolam renang dewasa yang terpisah dari kolam renang anak. - Terdapat minimal 1 buah jenis sarana rekreasi lainnya dengan pilihan diskotik, billiard, tenis, bowling, golf, fitness, sauna, taman bermain anak, atau tempat jogging 5) Fasilitas Penunjang a. Ruangan perkantoran untuk administrasi hotel Terdapat ruang kantor pimpinan hotel dan bagian kantor lainnya. b. Kamar pelayanan (roomboy station) c. Ruang laundry Bila terdapat laundry luas ruangan minimal adalah 60 m2 d. Dry cleaning Minimal luas ruangnya 30 m2 e. Dapur Luas dapur minimal 40% dari seluruh luas lantai ruang makan. f. Tempat penyimpanan makanan dan minuman - Gudang basah - Gudang kering 20 - Gudang dingin 6) Business center Menyediakan fasilitas business center dimana terdapat beberapa staf yang bertindak sebagai co-secretary para tamu yang ingin berkomunikasi dengan relasi bisnisnya. Selain itu terdapat fasilitas lain seperti faksimili, teleks, dan akses internet (wi-fi). Dengan demikian, berdasarkan panduan kriteria hotel bintang lima dari Keputusan Menteri Parpostel nomor KM.37/PW/MPPT-86, panduan tersebut dapat dijadikan pedoman untuk membuat hotel butik bintang lima, semua fasilitas yang telah disebutkan harus ada di dalam hotel butik yang akan di rancang. 2.3 Data Okupansi Hotel di Jakarta Tabel 2.3 Okupansi Hotel di Jakarta Jakarta Top Tier Mid Tier Combined 2010 YTD Dec. 2011 YTD Dec. Occ ADR RevPAR Occ ADR RevPAR 66% $86 $56 65% $93 $63 75% $56 $42 74% $61 $45 70% $72 $50 71% $78 $55 Sumber: JIHA, Horwath HTL (2011) 2012 YTD Sep. Occ ADR RevPAR 67% $108 $73 71% $65 $46 69% $89 $61 Tabel di atas merupakan data okupansi yang dikeluarkan oleh Horwath HTL yaitu suatu badan konsultasi perhotelan dunia. Berdasarkan tabel tersebut dapat terlihat persentasi okupansi penghuni hotel naik dan turun seiring tahun. Untuk hotel kalangan atas meningkat dari tahun 2010 ke 2011 dan menurun 1% di tahun 2012, namun walaupun tingkat okupansinya menurun 1%, tapi rata-rata tarif kamar harian (ADR/Average Daily Room rate) dan pendapatan per kamar (RevPAR/Revenue Per Available Room) 21 tetap meningkat. Hal ini menunjukan bahwa bisnis hotel di Jakarta terus mengalami peningkatan. 2.4 Pengertian Fasade Fasade berasal dari kata facies yaitu bahasa latin yang memiliki arti wajah, sehingga yang dimaksud dengan fasade adalah wajah dari suatu bangunan, atau sering di sebut sebagai tampak bangunan. Fasade merupakan bagian bangunan yang pertama kali dilihat oleh manusia yang melewati bangunan tersebut. Dengan melihat fasade suatu bangunan bisa memberikan gambaran tentang fungsi, karkateristik dan kesan dari bangunan tersebut sekaligus sebagai elemen estetika. Karena itulah fasade merupakan salah satu bagian yang paling penting dari suatu bangunan. Fasade tersusun dari berbagai elemen seperti struktur, ornamentasi, pengaturan bukaan dan permukaan dinding. Walaupun tidak ada parameter yang pasti tentang bagaimana cara mengolah fasade, namun fasade suatu bangunan harus berkesinambungan antara fungsi dan estetikanya (Sahril, 2008). Jangan sampai suatu fasade bangunan hanya memperhitungkan estetika yang ingin ditampilkan tanpa merperhitungkan fungsi, dan sebaliknya. Beberapa fungsi fasade yaitu (Knaack, 2007): - Pemisah ruang dalam dan ruang luar - Memasukkan cahaya sekaligus melindungi dari panas matahari di saat yang sama - Sebagai akses view ke dalam dan ke luar bangunan - Sebagai isolator terhadap panas, dingin, dan kebisingan - Bisa menyerap, mendorong, atau membelokkan angin 22 - Sebagai sirkulasi udara - Perlindungan dari hujan - Menangani kelembaban dari dalam dan luar bangunan Untuk bisa menghasilkan fasade yang bisa berfungsi seperti yang telah disebutkan di atas, banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti orientasi bangunan, kondisi lingkungan sekitar, serta jenis dan besaran bukaan pada bangunan. Orientasi terbaik adalah menghadap ke utara-selatan, supaya tidak terkena panas atau radiasi matahari langsung. Kondisi lingkungan sekitar mempengaruhi dari segi pembayangan dan pemantulan cahaya ke dalam bangunan. Sedangkan jenis dan besaran bukaan mempengaruhi, karena ada berbagai jenis jendela yang di betuk sedemikian rupa agar dapat memasukkan cahaya tidak langsung, sehingga panas dari cahaya tersebut tidak ikut masuk. Besarnya bukaan juga ikut mempengaruhi seberapa besar intensitas cahaya yang ingin di masukkan ke dalam bangunan supaya intensitasnya cukup sesuai kegiatan yang berlangsung dalam suatu ruangan dan tidak menyebabkan silau. 2.5 Pencahayaan Alami Cahaya alami merupakan cahaya yang didapatkan dari sinar matahari secara langsung dari awal matahari terbit hingga terbenam (Satwiko: 2004). Pencahayaan matahari adalah proses lengkap dalam mendesain bangunan untuk memanfaatkan cahaya alami secara maksimal. Hal itu meliputi aktifitas berikut: (Karlen, 2007:31) 1) Penempatan bangunan, yaitu mengorientasikan bangunan untuk memperoleh cahaya matahari secara optimal. 23 2) Pembentukan massa bangunan, menampilkan permukaan bangunan yang secara optimum menghadap ke arah matahari. 3) Memilih bukaan bangunan yang memungkinkan jumlah cahaya yang cukup masuk ke dalam bangunan, dengan memperhitungkan siklus matahari, musim, dan cuaca. 4) Melindungi fasade dan bukaan bangunan dari radiasi matahari yang tidak diinginkan. 5) Menambahkan peralatan pelindung yang tepat dan dapat diatur, seperti kerai atau tirai, untuk memungkinkan penghuni bangunan untuk mengontrol cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan. 6) Mendesain control pencahayaan lampu listrik yang memungkinkan penghematan energi dengan memanfaatkan cahaya matahari pada siang hari. Menurut Darmasetiawan dan Puspakesuma (1991) dalam merencanakan pencahayaan yang baik, ada 5 kriteria yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Kuantitas cahaya (lighting level) atau tingkat kuat penerangan 2) Distribusi kepadatan cahaya (luminance distribution) 3) Pembatasan agar cahaya tidak menyilaukan (limitation of glare) 4) Arah pencahayaan dan pembentukan bayangan (light directionality and shadows) 5) Kondisi dan iklim ruang 6) Warna cahaya dan refleksi warna (light colour and colour rendering) Ada beberapa alasan utama untuk mempertimbangkan cahaya alami dalam bidang arsitektur (Robbins, 1986): - Kualitas cahaya 24 - Pentingnya cahaya alami sebagai elemen desain - View dari bukaan yang menyediakan komunikasi visual dari dalam bangunan ke luar bangunan - Penggunaan cahaya alami untuk area darurat (tangga darurat) - Penghematan energi dan penghematan biaya energy - Tidak ada perubahan biaya dalam konstruksi - Manfaat psikologis dan fisiologis yang tidak bisa di dapatkan dengan penggunaan lampu Dikatakan dalam buku Sunlighting as Formgiver for Architecture karya William M.C.Lam : “ the best use of sunlighting is not only to save energy and guard against rising energy prices but, more important, to create more pleasant, delightful luminous environment for the occupants. To achieve these objectives, sunlighting must be given the highest priority.” Yang dapat diartikan sebagai berikut, pemanfaatan cahaya matahari yang terbaik bukanlah untuk menghemat energi dan menjaga agar biaya penggunaan energi tidak meningkat, tetapi yang lebih penting adalah untuk membuat lingkungan bercahaya yang terasa menyenangkan bagi penghuni. Untuk mencapai tujuan tersebut pencahayaan alami harus dijadikan prioritas tertinggi. Tingkat pencahayaan rata-rata, renderansi dan temperature warna yang direkomendasikan untuk hotel adalah (SNI 03-6197-2000): Tabel 2.4 Standar Tingkatan Pencahayaan Fungsi Ruangan Rumah Tinggal: Teras Ruang Tamu Ruang Makan Tingkat Pencahayaan (Lux) 60 120-150 120-250 25 Ruang Kerja 120-250 Fungsi Ruangan Tingkat Pencahayaan (Lux) Kamar Tidur 120-250 Kamar Mandi 250 Dapur 250 Garasi 60 Perkantoran: Ruang Direktur 350 Ruang Kerja 350 Ruang Komputer 350 Ruang Rapat 300 Ruang Gambar 750 Gudang arsip 150 Ruang arsip aktif 300 Lembaga Pendidikan: Ruang Kelas 250 Perpustakaan 300 Laboratorium 500 Ruang Gambar 750 Kantin 200 Hotel dan Restaurant: Lobi, koridor 100 Ruang serba guna 200 Ruang makan 250 Kafetaria 200 Kamar Tidur 150 Dapur 300 Rumah sakit/Balai Pengobatan: Ruang rawat inap 250 Ruang operasi 300 Laboratorium 500 Ruang rekreasi 250 dan rehabilitasi Pertokoan dan Ruang Pamer: 500 Ruang pamer objek besar Toko kue 250 toko bunga 250 Toko buku 300 Toko perhiasan 500 Toko sepatu 500 Toko pakaian 500 Pasar swalayan 500 Toko mainan 500 Toko alat listrik 250 26 Toko alat musik 250 Fungsi Ruangan Tingkat Pencahayaan (Lux) Industri (umum): Gudang 100 Pekerjaan kasar 100-200 Pekerjaan menengah 200-500 Pekerjaan halus 500-1000 Pekerjaan amat halus 1000-2000 Pemeriksaan warna 750 Sumber: SNI 03-6197-2000 (2000) Strategi dasar pencahayaan alami menurut buku Heating, Cooling, Lighting karya Norbert Lechner yaitu: 1. Orientasi, orientasi terbaik adalah ke selatan dan utara, dan orientasi terburuk adalah ke barat dan timur. 2. Bentuk, bentuk bangunan tidak hanya ditentukan oleh kombinasi bukaan horizontal dan vertikal, tetapi juga oleh berapa banyak area lantai yang memiliki akses terhadap cahaya alami. Umumnya pada bangunan bertingkat banyak, 15 kaki zona perimeter sepenuhnya mendapat cahaya alami, dan 15 kaki di atasnya secara parsial. 3. Gunakan bukaan terpisah untuk pemandangan dan pencahayaan alami. Gunakan jendela tinggi, clerestory, atau skylight untuk pencahayaan alami yang baik, dan gunakan jendela rendah untuk pemandangan. 4. Warna, Interior dengan warna terang dapat mengurangi silau, bayangan gelap dan rasio tingkat terang berlebih, dan juga dapat memantulkan cahaya lebih jauh ke dalam ruang. Plafon harus memiliki faktor pemantul semaksimal mungkin. Urutan tingkatan pentingnya permukaan pantulan adalah plafon, dinding belakang, dinding samping, lantai, dan mebel kecil. 5. Pencahayaan melalui atap, ada dua keuntungan bila menggunakan bukaan horizontal yaitu: pertama, mereka membiarkan iluminasi tidak seragam 27 secara adil pada area interior yang sangat luas, sementara cahaya alami dari jendela terbatas pada kedalaman 15 kaki, kedua, bukaan horizontal juga menerima lebih banyak cahaya daripada bukaan vertikal. Berikut adalah contoh bukaan pada atap. Gambar 2.2 Berbagai macam kemungkinan bukaan pada atap untuk pencahayaan alami Sumber: buku Heating, Cooling, Lighting (1986) 6. Perencanaan ruang, sangat menguntungkan untuk membawa cahaya ke dalam interior. Tujuan penggunaan optimal dari pencahayaan alami adalah untuk visualisasi dan kenyaman thermal dalam bangunan. Untuk dapat mencapai hal tersebut banyak hal yang harus diatur agar saat pencahayaan alami ingin dimasukkan ke dalam bangunan tidak menimbulkan efek silau, cahaya yang berlebihan, panas dan efek-efek lainnya yang tidak menguntungkan. Untuk itu terdapat beberapa strategi dasar pencahayaan alami, kenyamanan dan cara pencapaiannya menurut buku “Sunlighting as Formgiver for Architecture” karangan William M. C. Lam yaitu: 1. Shading/Pembayangan Penggunaan orientasi yang maksimal yaitu ke arah utara dan selatan untuk membuat pembayangan dan pengalihan cahaya matahari lebih efisien dan lebih mudah dibandingkan dengan penggunaan kaca rendah tranmisi (low transmission glass). Dikarenakan dengan menggunakan kaca rendah tranmisi tidak dapat menghilangkan kebutuhan pembayangan dikarenakan 10 persen 28 dari penerangan matahari dari kaca rendah transmisi masih terlalu besar. Orientasi ke timur dan barat pembayangan yang permanen tidak dapat mengontrol silau saat fajar dan saat senja. Gambar 2.3 Pembayangan vs kaca tranmisi rendah Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 2. Redirection/Pengalihan Pencahayaan Alami Penyebaran cahaya di tempat yang dibutuhkan untuk meminimalisir kebutuhan cahaya buatan. Tingkat pencahayaan yang tinggi tidak efisien bila tidak di sebar atau didistribusikan dengan baik. Gambar 2.4 Pendistribusian cahaya ke tempat yang dibutuhkan Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 3. Framing of View/Pengambilan View Maksimalkan view ke luar bangunan dan blok view yang tidak bagus dengan penggunaan elemen pembayangan yang sangat besar atau kecil, tergantung view yang ingin di perlihatkan. Maksimalkan juga view ke dalam/interior dengan menciptakan pemandangan yang indah untuk dilihat. 29 Gambar 2.5 Optimalisasi view Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 2.5.1 Penggunaan Langit-langit (Ceiling) Sebagai Sumber Utama Pemantulan Cahaya Dalam suatu bangunan langit-langit dan dinding bagian atas merupakan daerah permukaan yang dapat diandalkan untuk memantulkan cahaya atau cahaya tidak langsung. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan langit-langit sebagai pantulan cahaya yaitu: 1. Letakan sumber cahaya sejauh mungkin dari langit-langit, hal ini dapat dilakukan dengan menaikkan langit-langit atau menurunkan sumber cahaya, atau keduanya. Gambar 2.6 Teknik Pemantulan cahaya Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) Gambar 2.7 Teknik Pemantulan cahaya Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 30 2. Bentuk dan letak elemen pemantul untuk mengarahkan cahaya, supaya silau cahaya matahari tidak masuk maka bentuk dan letak elemen pemantul perlu di perhatikan agar tepat dipantulkan langit-langit. 3. Gunakan rongga langit-langit yang daya pantulnya tinggi Penggunaan material pada langit-langit yang memiliki daya pantul yang tinggi diperlukan dalam kasus ini, contohnya penggunaan material logam atau berkilau dan berwarna cerah. Dapat terlihat perbedaannya dari gambar. Gambar 2.8 Daya pantul langit-langit Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 4. Memaksimalkan efektifitas pantulan langit-langit Ini dapat dilakukan dengan menggunakan sistem bangunan yang meminimalkan jumlah luas permukaan yang membentuk rongga langit-langit. Langit-langit yang memiliki banyak area permukaan justru menjadi perangkap cahaya, sedangkan langit-langit sederhana dengan luas permukaan yang lebih sedikit dapat mendistribusikan cahaya lebih efisien. Gambar 2.9 Permukaan area langit-langit Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 31 2.5.2 Letak Sumber Cahaya (Jendela) Bentuk bangunan dan massa bangunan mempengaruhi bagaimana cara cahaya matahari dapat masuk ke dalam bangunan. Bukaan bangunan adalah faktor utama dalam element fasade yang membentuk komposisi tampak suatu bangunan, dan bukaan tersebut menjadi faktor penting untuk membuat cahaya matahari masuk ke dalam bangunan, salah satu contohnya adalah jendela. Jendela dibagi menjadi tiga area yaitu rendah, tengah dan tinggi. Untuk orientasi, sudut pemantulan cahaya dan bentuk langit-langit diasumsikan sama dalam kasus ini. 1. Jendela Rendah Jendela rendah menghasilkan bentuk pencahayaan yang paling merata dengan mendistribusikan pantulan cahaya ke dalam bangunan. Namun jendela rendah juga memiliki kekurangan: jendela rendah efektif bila ditempatkan di dekat atau di bawah ketinggian mata manusia sehingga memaksimalkan potensial silau untuk pekerjaan yang dilakukan di atas meja. Ini bukan masalah untuk ruangan dengan tugas yang tidak spesifik atau pekerjaan yang dapat diterangi dengan cahaya matahari. Dengan menggunakan jendela rendah memungkinkan dinding bagian atas dan langitlangit akan terkesan gelap. Hal tersebut dapat diatasi dengan meminimalisir daerah depan dengan memiringkan langit-langit ke bawah menuju kepala jendela dan meletakan jendela rendah berdekatan dengan dinding tegak lurus. 32 Gambar 2.10 Peletakan jendela dekat dengan dinding Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) Dari segi view, jendela rendah dapat memiliki view tergantung besarnya jendela rendah tersebut, terlihat pada contoh gambar, dimana gambar kedua dengan skala jendela rendah yang kecil ruangan tersebut tidak memiliki view yang memuaskan. Gambar 2.11 Jendela rendah Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) Dengan demikian unsur privasi merupakan masalah untuk penggunaan jendela rendah, sulit mengkombinasikan unsur privasi dengan beberapa view dan cahaya di bangunan bertingkat rendah dan dengan jendela rendah pula. 2. Jendela Tinggi Keuntungan dari jendela tinggi adalah menghasilkan penyebaran cahaya terbaik saat langit mendung, selain itu jendela tinggi dapat 33 menghasilkan cahaya dengan tingkat privasi dan keamanan yang lebih baik dari jendela lainnya. Gambar 2.12 Contoh Jendela tinggi Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) Kerugian utama dari jendela tinggi adalah pendistribusian cahayanya kurang menguntungkan untuk langit-langit dari pantulan cahaya bawah tanah. Jendela tinggi memaksimalkan potensial silau dari langit dan matahari dan pasti membingungkan atau tidak pasti. Dari segi view jendela atas juga kurang memuaskan. Gambar 2.13 Contoh Jendela tinggi Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 3. Jendela Tengah Jendela tengah tidak sebaik jendela rendah dalam hal pendistribusian cahaya dari pantulan tanah, dan tidak sebaik jendela tinggi dalam pendistribusian cahaya dari langit mendung. Gambar 2.14 Contoh Jendela tengah Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 34 Tetapi, bila jendela tengah menghasilkan pencahayaan yang cukup untuk kegunaan ruangannya, ini merupakan pilihan yang cukup disukai karena jendela ini menghasilkan view terbaik. Kesilauan dari jendela tengah dengan pemantulan cahaya maksimal dapat di kurangi dengan memiringkan jendela tengah menjadi di bawah pandangan mata dari posisi pekerjaan yang paling penting, namun belum memungkinkan mereka terlihat oleh langitlangit. Jika jendela tengah dapat memantulkan cahaya sama dengan tanah maka jendela tengah dapat dikatakan setara dalam hal pencerahan dan dapat dipercaya sebagai sumber utama cahaya. 2.5.3 Penggunaan Lightshelf Dalam Pemasukan Cahaya Lightshelf adalah salah satu strategi memasukan cahaya secara tidak langsung dengan pemantulan dengan cara membentuk 2 buah kanopi yang membantu pembayangan pada bukaan tanpa menghalangi view. Penggunaan lightshelft minim perawatan apabila dibandingkan dengan elemen pelindung matahari yang lain, misalnya kisi-kisi, namun dalam konstruksinya cenderung lebih mahal. Jenis-jenis lightshelf yang dapat diterapkan pada bangunan adalah sebagai berikut: 1. Meletakan elemen horizontal seperti kanopi yang menerus hingga ke dalam bangunan pada jendela sehingga dapat terjadi pemantulan cahaya dan tetap dapat melihat view ke luar jendela. Gambar 2.15 Contoh teknik lightshelf Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) dan Madros (2001) 35 2. Meletakan elemen horizontal yang berbentuk seperti kanopi pada bagian atas jendela namun di buat miring menurun untuk memantulkan cahaya ke luar. Bentuk lightshelf yang seperti ini digunakan untuk ruangan yang tidak membutuhkan banyak cahaya namun menginginkan bentuk dan besaran bukaan yang sama pada fasade. Gambar 2.16 Contoh teknik lightshelf Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 3. Sama dengan nomor dua, namun kanopinya dimiringkan ke dalam, dengan tujuan memantulkan cahaya lebih banyak dengan bentuk dan besaran bukaan yang sama pada fasade. Gambar 2.17 Contoh teknik lightshelf Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 4. Sama seperti bentuk di atas namun terdapat tambahan elemen vertikal untuk menambah pantulan cahaya ke dalam bangunan. Tipe lightshelf ini biasanya digunakan pada bangunan yang menghadap utara-selatan dan biasanya digunakan untuk bangunan yang sulit mendapatkan cahaya dari luar bangunan. 36 Gambar 2.18 Contoh teknik lightshelf Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 5. Bangunan yang berdekatan pun bisa berfungsi sebagai lightshelf, baik sebagai podium maupun bagian atap bangunan. Gambar 2.19 Contoh teknik lightshelf Sumber : Madros (2001) 2.5.4 Penggunaan Cahaya Matahari dari Atas Bangunan Bukaan dari atas bangunan lebih efisien menjangkau area gelap dalam bangunan daripada bukaan dari badan bangunan, namun dapat menyebabkan panas berlebih karena masuknya cahaya langsung, hal tersebut dapat diatasi dengan di buat area-area pemantul pada dinding bangunan agar cahaya yang masuk tidak langsung. Gambar 2.20 Contoh skylight Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 37 Selain memantulkan dari dinding samping bangunan, dapat juga dipantulkan dari elemen estetika dalam bangunan, seperti sculpture dan kolam. Gambar 2.21 Contoh skylight Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) Ada beberapa jenis bukaan atas yaitu: Gambar 2.22 Penchayaan dari atas Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 38 Keterangan: 1. Court, sebuah area terbuka keatas yang dikelilingi dinding bangunan. 2. Atrium, adalah bukaan atas pada bagian tengah ruangan atau bangunan yang dibuka hingga atap. 3. Lightcourt, sebuah area kosong untuk memaksimalkan cahaya pada bangunan yang berdekatan. 4. Litrium, sama seperti atrium namun bertujuan untuk memaksimalkan cahaya pada bangunan yang berdekatan. 5. Lightwell, bukaan atas untuk menyalurkan cahaya alami pada area yang berdekatan dengan melewati satu atau beberapa lantai dalam bangunan. 6. Pemberian elemen vertikal untuk memantulkan cahaya ke dalam bangunan. 2.6 Kriteria GBCI Untuk Pencahayaan Alami GBCI adalah kepanjangan dari Green Building Council Indonesia atau Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia yaitu lembaga mandiri (non government) dan nirlaba (non-for profit) yang berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang berkelanjutan. (http://www.gbcindonesia.org/) Adapun beberapa kriteria dan tolak ukur Greenship yang dibuat oleh GBCI di segi pencahayaan alami adalah: 39 Tabel 2.5 Kriteria Greenship Pencahayaan GBCI Sumber: http://www.gbcindonesia.org/ (tanggal akses 03-18-2013 ) 2.7 Ecotect Ecotect adalah software yang digunakan untuk menganalisa lingkungan terhadap suatu bangunan untuk mengetahui simulasi kinerja bangunan tersebut, dengan menghasilkan analisa dan visualisasi yang rinci berdasarkan input lokasi, tanggal dan waktu. Beberapa contoh penggunaannya yaitu: 1) Untuk menghitung intensitas pencahayaan yang terjadi di suatu bangunan 2) Menampilkan pembayangan dan refleksi sinar matahari 3) Untuk menghitung energi yang di gunakan dalam suatu bangunan 40 4) Untuk menghitung radiasi terhadap suatu bangunan 5) Menghitung beban pemanasan dan pendinginan suatu bangunan Dalam penelitian ini simulasi yang digunakan adalah perhitungan intensitas cahaya dengan menggunakan Daylight Factor, yaitu analisis dalam software Ecotect yang menyatakan rasio non-dimensional antara kuantitas cahaya alami dalam ruangan dengan kuantitas area eksterior yang terkena cahaya alami dalam keadaan langit mendung. Dengan langit mendung dapat memberikan ukuran pencahayaan alami dengan keadaan terburuk dalam suatu ruangan dan pada akhirnya dapat dinilai kenyamanan visual dalam proyek tersebut. Berikut ini merupakan contoh gambar hasil pengukuran Daylight Factor pada suatu hunian bertingkat di Paris, ada dua jenis yaitu bukaan dengan jendela tanpa shading dan bukaan jendela dengan menggunakan shading. Gambar 2.23 Pengukuran Daylight Factor tanpa (kiri) dan dengan (kanan) shading Sumber: Sustainable Building Design with Autodesk Ecotect (Raphaël BARRY, 2010) Berdasarkan gambar hasil analisa Daylight Factor tersebut, dapat dilihat area-area paling terang adalah area yang paling dekat dengan bukaan jendela, terlihat dengan warna kuning, semakin ke dalam semakin gelap ditandai dengan warna biru. 41 Berdasarkan gambar tersebut juga, ruangan yang menggunakan shading mengurangi pencahayaan hingga sekitar 50%, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan shading bisa menjadi solusi untuk pengurangan intensitas cahaya agar tidak silau dan sesuai dengan kebutuhan ruangan tersebut, yaitu tidak kekurangan atau kelebihan cahaya. Penggunaan shading juga merupakan salah satu cara untuk memasukkan cahaya tidak langsung agar cahaya yang masuk ke dalam ruangan tidak memasukan panas ke dalam ruang melainkan hanya cahayanya saja. Namun pengurangan yang terjadi pada contoh gambar diatas sekitar 50% itu tergantung dari penggunaan jenis shading dan ukuran dari shading tersebut. 2.8 Studi Banding 2.8.1 Studi Banding Hotel Butik Indonesia a. Akmani Botique Hotel (Bintang 4) Hotel yang dirancang oleh “TWS & Partners” yang berlokasi di Pusat Jakarta di Jalan Wahid Hasyim. Digunakan sebagai hotel untuk bisnis maupun untuk liburan, yang terdiri atas 117 kamar, yaitu 84 kamar jenis deluxe,24 kamar grand deluxe, 5 kamar suite, 2 kamar grand suite, dan 1 kamar presidential suite. Terdapat ballroom untuk kapasitas 500 orang dan 7 buah ruang meeting. Konsep arsitekturnya, bagian lobby dan teras café sebagai area penerima utama diangkat 3 meter di atas tanah untuk menghalangi pandangan dari dan ke arah sekitarnya. Masa bangunan di bagi menjadi beberapa kotak 42 yang melayang yang merupakan strategi untuk berkomunikasi dengan skala bangunan sekitar dan jalan. Tema khusus bangunan ini adalah penggunaan kaca, kulit bangunan dan pola jendela. Fasade bangunannya cenderung menggunakan kaca-kaca dan transparan dengan kulit bangunan dan modern. Gambar 2.24 –Eksterior dan Interior Akmani Hotel Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013) Gambar 2.25 – Tampak Akmani Hotel Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013) 43 b. Grand Aston Yogyakarta (Bintang 5) Hotel yang terlrtak di pusat kota dan dekat dengan jalan utama di Yogyakarta. Memiliki total 141 kamar dengan 9 lantai, dengan ciri khas nuansa jawa dan ornament-ornamen batik. Gambar 2.26 Eksteror dan Interior Grand Aston Yogyakarta Sumber : http://www.aston-international.com (tanggal akses 04-05-2013) Fasade bangunannya cenderung menggunakan kaca-kaca, bergaya modern dengan permainan garis-garis pada fasade. Terdapat permainan ornamen pada fasade depan yang bercorak seperti batik berfungsi sebagai kulit bangunan. yang sekaligus 44 Gambar 2.27 Fasade Grand Aston Yogyakarta Sumber : www.prontohotel.com (diakses tanggal 04-05-2013) c. The Dharmawangsa (bintang 5) Hotel ini terletak di Jalan Brawijaya Raya, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Konsep hotel ini adalah ingin menciptakan hotel yang benar-benar modern sekaligus benar-benar memiliki budaya Indonesia. Untuk desain interiornya menggunakan budaya Majapahit, baik dari segi dekoratif, hingga furnitur-furnitur ruangan dalam hotel tersebut. 45 Gambar 2.28 Interior Hotel Dharmawangsa Sumber : http://www.the-dharmawangsa.com/ (tanggal akses 04-05-2013) Nama Dharmawangsa bukan semata-mata karena dekat dengan Jalan Dharmawangsa tetapi karena ingin mencerminkan Raja Hindu abad ke-14 yang bernama Dharmawangsa yang meletakan dasar-dasar kerajaan Majapahit, yaitu masa di mana Negara bangga akan kecakapan politik, peradaban, seni dan budaya, demikian hotel ini di rancang untuk menyongsong masa depan besar Indonesia dan awal dari peiode emas baru. Target hotel ini adalah untuk pebisnis yang menginginkan wisata dengan standar tertinggi keramahan Indonesia. Tujuan yang paling penting adalah ingin menciptakan nuansa perumahan dalam properti. Fasadenya cenderung bergaya colonial dan formal, dengan iramairama kolom yang simetris dengan jendela-jendela mendominasi pada fasadenya dan terdapat balkon. Gambar 2.29 Fasade Hotel Dharmawangsa Sumber : www.asiarooms.com (tanggal akses 04-05-2013) 2.8.2 Studi Banding Hotel Terhadap Pencahayaan Alami dan Bentuk Fasade a. Hotel Hilton Bandung Hotel ini terletak di pusat kota Bandung, merupakan hotel bintang lima dengan jumlah kamar 186 kamar. Hotel ini terinspirasi dari topografi 46 Bandung yang memiliki pegunungan berapi dan mengintegrasikan budaya Jawa. Fasade hotel ini cenderung transparan dengan perpaduan balok-balok kaca yang berbingkai dengan penambahan material aluminium komposit sebagai tambahan elemen masif supaya fasade tidak monoton. Beberapa sisi fasade juga menggunakan ornament di bidang transparannya yang membentuk pola batik geometris Jawa. Gambar 2.30 Fasade Hilton Hotel Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013) Penggunaan double height (ada void di lantai 2 hingga ke lantai 1) memberikan kesan meluas ke atas sebagai kesan penerimaan tamu di lobby, ballroom pusat bisnis, dan spa. Dengan adanya double height dipadukan dengan fasade yang transparan dan adanya skylight membuat area penerimaan ini kaya akan cahaya dan kualitas ruang yang berkesan megah. Untuk area kamarnya juga didominasi dengan penggunaan kaca transparan, sehingga pada siang hari cahaya matahari dapat masuk. 47 Gambar 2.31 Area kamar hotel Hilton Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013) Gambar 2.32 Pemasukkan cahaya alami pada hotel Hilton Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013) b. Hotel Morrissey Jakarta Morrissey Hotel termasuk hotel bintang 4 yang juga merupakan service apartment. Hotel ini terletak di Wahid Hasyim yang berada di antara daerah Menteng dan CBD Jakarta. Pendekatan bentuk massa hotel ini merespon konteks perkotaan dan urban life style. Bangunan ini terdiri dari dua blok, yaitu 10 lantai di bagian belakang dan 5 lantai di blok depan. Gambar 2.33 Eksterior Morrissey Hotel Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013) Pada blok depan di bagian bawah di buat kantilever melayang 7 meter sepanjang 20 meter, untuk memberikan kesan menyambut dan terbuka bagi 48 tamu yang datang. Sedangkan pada blok belakang terdapat void besar yang memakan 16 unit kamar hotel dengan tujuan mengurangi kemasifan bangunan di blok belakang, dengan adanya void tersebut dapat memungkinkan terjadinya ventilasi silang yang orientasinya barat timur, sekaligus sebagai frame sudut pandang dari luar ke dalam ataupun sebaliknya. Setiap ruang di atur sedemikian rupa sesuai dengan aktivitas penghuni dan pertimbangan pencahaaan, sehingga pada siang hari tidak perlu menggunakan pencahayaan buatan, dan dengan pencahayaan alami memberikan atmosfer tersendiri, contohnya pada kamar, lobby, area sarapan, pada koridor, business center, lounge pada roof garden, dsb. Gambar 2.34 Ruang-ruang yang mendapatkan cahaya alami Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013) Untuk menyatukan kedua blok tersebut, fasade hotel ini dibuat menekuk ke dalam, menebal dan menipis sesuai dengan order bukaan, 49 sehingga menghasilkan fasade yang dinamis. Di bagian massa lainnya fasadenya cenderung menggunakan kaca dan transparan. Gambar 2.35 Fasade Hotel Morrissey Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 5 April 2013) c. Hotel Hyatt Regency San Francisco - Merupakan hotel bintang 4 yang berada di San Francisco, memiliki 802 kamar dengan jumlah lantai 20 lantai. Yang menarik dari hotel ini adalah pada bagian atriumnya, yang menghasilkan pencahayaan langsung dari paling atas bangunan tersebut, yang memberikan kualitas ruang yang megah untuk area lantai-lantai terbawah yang jusru banyak digunakan oleh pengunjung hotel. 50 Gambar 2.36 Eksterior Hotel Hyatt Regency San Francisco Sumber : www.google.co.id (diakses tanggal 04-05-2013) Gambar 2.37 Atrium Hotel Hyatt Regency Sumber : www.google.co.id (diakses tanggal 04-05-2013) Pemasukan cahaya pada hotel ini juga digunakan untuk tumbuhnya tanaman-tanaman yang berada di dalam hotel tersebut. Bentuk denah bangunan ini segitiga. Gambar 2.38 Denah Hotel Hyatt Regancy Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) Terlihat pada gambar, bahwa sebelum menggunakan kisi-kisi pemantul cahaya masuk ke dalam bangunan hanya pada jam-jam tertentu, sekitar jam 10-12 saja. Sedangkan pada diagram yang menggunakan kisi-kisi pemantul dapat menerangi area pohon dari jam 9 hingga jam 2 sore. 51 Gambar 2.39 Potongan dan cahaya pantul Hotel Hyatt Regancy Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) Karena sudut datangnya sinar matahari berbeda-beda tiap bulannya, bangunan harus dirancang sedemikian rupa agar cahaya matahari dalam bangunan masuk sepanjang tahun. Gambar 2.40 Potongan dan cahaya pantul Hotel Hyatt Regancy Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) Gambar 2.41 Detail kisi-kisi pemantul Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 52 d. Hotel Atlanta Marriott Marquis Merupakan hotel bintang 4 yang terlrtak di Atlanta, dengan jumlah kamar 1663 kamar dalam 52 lantai. Yang menarik dari hotel ini, sama seperti penjelasan sebelumnya yaitu pada hotel ini terdapat atrium yang merupakan bukaan pada bagian atas bangunan yang menghasilkan pencahayaan langsung yang memberikan efek kualitas ruang yang megah untuk area-area lantai terbawahnya. Gambar 2.42 Eksterior Hotel Atlanta Marriott Marquis Sumber : www.google.co.id (diakses tanggal 04-05-2013) Gambar 2.43 Atrium pada Hotel Atlanta Marriott Marquis Sumber : www.google.co.id (diakses tanggal 04-05-2013) Pembuatan atrium tanpa perhitungan yang matang bisa menyebabkan cahaya yang masuk hanya saat jam-jam tertentu dan dengan penyinaran hingga area tertentu saja. Pada gambar di bawah merupakan gambar sebelum dan sesudah penggunaan kisi-kisi pantul. Sangat kontras sekali perbedaannya. 53 Gambar 2.44 Potongan dan pemasukkan cahaya pada 21 Desember Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) 2.8.3 Studi Banding Hotel Di Jakarta Selatan (Survey Pencahayaan) Studi banding di lakukan di daerah Jakarta Selatan, pada tanggal 3 April 2013 pada pukul 12.00-13.00 WIB. Kendala yang terjadi adalah penulis tidak diperbolehkan memfoto ruang-ruangan di dalam hotel tersebut. Tabel 2.6 Hasil Survey Pencahayaan Hotel di Jakarta Selatan No. 1. Nama Hotel Hotel Amoz Cozy (Bintang 1. 4) – Hotel 2. Bisnis Lokasi Melawai Raya street 83 - 85, Blok M south Jakarta, Kebayoran Baru, Jakarta 2. Nama Ruang Golden Boutique Hotel Lobi- resepsionis Ruang Tunggu Lift 3. Koridor kamar 4. Kamar (diamond) 5. Kamar (family) 6. Kamar mandi 7. Kamar (single tanpa jendela) 8. Koridor dekat jendela 9. Kamar (deluxe) 10. Ballroom (lampu mati) 11. Restoran 12. Lounge 1. Lobby Besar lux 80 lux 20 lux Standar Lux 100 lux 100 lux 26 lux 600 lux 600 lux 26 lux 30 lux 100 lux 150 lux 150 lux 250 lux 100 lux 35 lux 100 lux 480 lux 2 lux 150 lux 200 lux 45-60 lux 1000 lux 250 lux 100 lux 33-247 lux (33 lux cahaya redup lampu; 247 lux berasal dari cahaya alami) 100 lux Gaya Fasade Modern minima lis renaiss ance 54 3. Jl. Angkasa No.1, Jakarta, Indonesia Jakarta 10720, Indonesia The Dharmawangsa (Hotel 1. Butik) 2. 3. 4. 5. Lobby Lounge Resepsionis Koridor Kamar (exclusive) 9 lux 77 lux 9-14 lux 65-107 lux 208-328 lux 100 lux 100 lux 100 lux 100 lux 150 ;ux Bergaya bangun an kolonial Jl. Brawijawa Raya No.26, Kebayoran Baru Jakarta Sumber : Hasil olahan pribadi (2013) Kesimpulannya yaitu, berdasarkan hasil survey, penulis melihat bahwa hampir semua ruangan hotel menggunakan cahaya buatan bahkan di siang hari, hanya beberapa area tertentu yang mendapatkan cahaya alami, seperti bagian depan lobby, sedikit area di koridor, dan sedikit area restoran. Karena itu banyak area yang sangat gelap dan tidak sesuai dengan standar intensitas pencahayaan SNI. Hal itu disebabkan karena banyak area yang berpotensi menggunakan pencahayaan alami tidak digunakan semaksimal mungkin dengan contoh tidak diberikan bukaan yang memadai, sehingga akhirnya menyebabkan ruangan-ruangan gelap dan akhirnya diatasi dengan penggunaan cahaya buatan. 2.9 Hipotesis Berdasarkan studi literatur dan studi banding yang telah dilakukan dapat ditarik suatu hipotesa bahwa, untuk bisa memanfaatkan pencahayaan alami dalam suatu bangunan perlu mengetahui orientasi bangunan, bentuk bangunan, jenis-jenis kegiatan apa saja yang dilakukan di ruang-ruang tersebut, serta jenis dan besar bukaan yang efisien untuk ruangan tersebut. Tidak cukup hanya dengan mengatur besarnya bukaan tetapi juga perlu di 55 atur jenis bukaan dan bagaimana cara memasukkan cahaya alami tidak langsung agar panasnya tidak ikut masuk ke dalam bangunan, yaitu dengan berbagai macam cara pemantulan cahaya, seperti penggunaan kanopi, sirip, kisi-kisi pemantul, dll. Dalam penggunaan kanopi, variabel yang digunakan adalah panjangnya kanopi untuk menentukan panjang pembayangan yang akan digunakan. Pada penggunaan sirip variabel, yang perlu diperhatikan adalah letak sirip itu diletakan dan panjang siripnya agar dapat memantulkan cahaya ke dalam ruangan secara efisien. Untuk penggunaan kisi-kisi pemantul di skylight, variabel yang perlu diperhatikan adalah panjang kisi-kisi dan sudut kemiringan kisi-kisi yang efisien, agar bisa memantulkan cahaya ke seluruh area ruang. Dalam Penelitian ini, penulis akan mencoba jenis-jenis bukaan tersebut dan dibandingkan sehingga akan diketahui jenis bukaan yang paling efisien. Unsur pembaharuan dalam penelitian ini penggunaan jenis bukaan yang memiliki sudut-sudut kemiring tertentu sesuai orientasi massa bangunan yang menghadap utara dan selatan yang diterapkan di bangunan hotel, yang mana diketahui bahwa penerapan cahaya alami pada hotel masih cukup jarang dilakukan. 56 2.10 Kerangka Berpikir 57 Gambar 2.45 Kerangka Berpikir Sumber : Hasil olahan pribadi (2013)