BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Hotel Butik

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Hotel Butik
Telah bertahun-tahun banyak yang ingin mendefinisikan hotel butik
secara universal, namun hingga kini belum tercapai. Tapi secara garis besar
hotel butik adalah hotel kecil namun memiliki kualitas mewah atau kelas atas
dengan pelayanan yang sangat pribadi di lingkungan yang nyaman dan intim,
biasanya memiliki desain yang unik dan unsur kebudayaan, dan pemilihan
lokasi untuk hotel ini menjadi sangat penting untuk keberhasilan suatu hotel
dan kemampuan untuk memberikan pengalaman unik kepada pengunjung.
(McIntosh & Siggs, 2005; Aggett, 2007; Lim & Endean, 2007; van
Hartesvelt, 2006; Sarheim, 2010; oleh Clarissa Chan, 2012).
Yang paling ditekankan dalam hotel butik adalah karakteristiknya
konsisten, unik atau memiliki unsur budaya. Sehingga, hotel butik adalah
hotel yang unik yang berbeda dengan hotel-hotel pada umumnya, perbedaan
hotel ini biasanya terkait dengan desain, artistik, budaya atau sejarah, prestis,
dan eksklusif dari segi propertinya. (Lim & Endean, 2007; Sarheim, 2010;
oleh Clarissa Chan, 2012).
Karakteristik lain dari hotel butik adalah lokasinya. Butik hotel
diklasifikasikan hotel yang berada di kota dan juga untuk tujuan wisata.
Namun secara umum butik hotel terletak di pusat kota. (Chan, 2012)
Menurut HVS Global Hospitality Services yaitu perusahaan konsultan
yang mengkhususkan diri dalam memberikan pelayanan terhadap industry
13
14
perhotelan, dalam risetnya memperlihatkan beberapa perbedaan butik hotel
dengan hotel lainnya yaitu:
Tabel 2.1 Perbedaan Hotel Butik dengan Hotel Lainnya
Sumber: HVS Research (2011)
Dan dalam artikel “Boutique and Lifeestyle Hotels: Emerging
Definitions” hotel butik didefinisikan sebagai:
-
Budaya/bersejarah/original
-
Individual Hotel/bukan franchise dengan hotel lain
-
Menarik, service yang unik
-
Memiliki kamar yang berkualitas tinggi
-
Memiliki area social seperti living room atau perpustakaan untuk acara sosial.
Kesimpulannya hotel butik adalah hotel yang memiliki ciri khas yang
unik dari segi desain, biasanya memiliki unsur budaya dan sejarah juga, hotel
ini terletak di pusat kota yang berperan sebagai hotel bisnis sekaligus hotel
wisata dengan target pengguna adalah pebisnis atau wisatawan kalangan atas.
Hotel ini memiliki ukuran standar ruang kamar yang lebih besar dari hotel
pada umumnya dan fasilitas yang lengkap untuk memanjakan penghuninya.
15
2.1.1 Penerapan Unsur Budaya
Hotel butik identik dengan keunikan dari segi desain hotelnya dan
juga biasanya memiliki unsur budaya yang cukup kental terhadap lokasi
tempat hotel butik tersebut berada. Lokasi tapak berada di daerah Jakarta
Selatan, budaya Jakarta identik dengan budaya betawi. Unsur budaya yang
ingin penulis tonjolkan adalah batik betawi, yang biasanya muncul dalam
pakaian-pakaian adat betawi yaitu batik jenis pucuk rebung atau batik jenis
tumpal. Batik tersebut berbentuk dasar segitiga-segitiga.
Gambar 2.1 Contoh Batik Betawi
Sumber: http://sewabusanabetawi.blogspot.com, http://islamic-center.or.id, dan
http://babyhanade.com (diakses tanggal 17-06-2013)
Latar belakang penggunaan unsur budaya ini, karena batik betawi
masih cenderung tidak dikenal masyarakat luas, masyarakat cenderung
mengetahui batik dari Solo, Pekalongan dan lain-lain. Dengan mengambil
unsur budaya batik betawi yang di padukan dalam desain bangunan,
16
diharapkan bangunan hotel butik ini memiliki ciri khas budaya betawi
tersebut, sehingga bangunan ini juga bisa memiliki identitas sekaligus
memperkenalkan kepada masyarakat luas batik betawi tersebut.
Budaya batik betawi dalam desain bangunan hotel butik ini diterapkan
dari segi bentuk bangunan yang meruncing pada bagian-bagian tertentu dan
permainan bentuk-bentuk segitiga pada fasade.
2.2
Klasifikasi Hotel Bintang 5
Klasifikasi hotel bintang menurut Keputusan Direktur Jendral
Pariwisata (1988) berdasarkan fasilitas dan jumlah kamar hotel:
Tabel 2.2 Pengelompokan Hotel Berdasarkan Kelas Bintang
Jenis
*
**
***
****
*****
Fasilitas
Kamar
Min 100
Min 15
Min 20
Min 30
Min 50
Tidur
Kamar
Suite
Luas
Kamar
Ruang
Makan
-
1 kamar
2 kamar
3 kamar
4 kamar
18-20
m2
Min 1
18-24 m2
18-26 m2
18-28 m2
20-28 m2
Min 2
Min 2
Min 2
Min 2
Restoran
dan bar
Function
room
Tidak
wajib
-
Min 1
Min 1
Min 1
Min 1
Rekreasi
dan
olahraga
Min 1
sarana
Ruang
yang
disewakan
Min 1
ruangan
Kolam
renang
dan
dianjurka
n
ditambah
2 sarana
lain
Min 1
ruangan
-
Min 1
Min 1 dan Min 1 dan
dan pre
pre
pre
function
function
function
room
room
room
Kolam
Kolam
Kolam
renang renang dan renang dan
dan
dianjurkan di tambah
dianjurka ditambah
dengan 2
sarana lain
n
2 sarana
ditambah
lain
2 sarana
lain
Min 1
Min 3
Min 3
ruangan
ruangan
ruangan
17
Lounge
Taman
Wajib
Wajib
Wajib
Wajib
Wajib
Wajib
Wajib
Wajib
Sumber: Keputusan Direktur Jendral Pariwisata (1988)
Berdasarkan Keputusan Menteri Parpostel nomor KM.37/PW/MPPT86, buku Panduan Perancangan Bangunan Komersial (2008), berikut adalah
klasifikasi hotel bintang 5:
1) UMUM
a. Lokasi
Memenuhi persyaratan dinas tata kota/pekerjaan umum dan mudah dicapai.
Untuk menghindari pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh suara
bising, bau tak sedap, asap dan debu.
b. Arsitektur
Dekorasi pada lobby, kamar tidur, restaurant, function room, dan sebagian
atau keseluruhan bentuk bangunan mencerminkan seni budaya Indonesia.
c. Jumlah kamar
Minimal 100 kamar, dengan 10 kamar single dan 4 kamar suite.
d. Ruangan umum
- Ruang yang termasuk ruangan umum adalah: lobby, lounge, bar, dan ruang
makan.
- Luas ruangan umum adalah 2.5 m² kali jumlah kamar tidur.
e. Ruangan fungsional
- Minimal terdapat 1 buah pintu masuk yang terpisah dari lobby dengan
kapasitas minimum 2,5 kali jumlah kamar
- Terdapat toilet bila tidak satu lantai dengan lobby
- Terdapat pre-function room
f. Fasilitas parkir
18
Setiap 5 kamar sama dengan 1 parkir mobil.
g. Taman
h. Area masuk (entrance)
Tersedia pintu masuk terpisah untuk tamu dan barang-barang keperluan hotel
i. Lobby lounge
- Mempunyai luasan minimum 100 m²
- Lebar koridor minimum 1,6 m
- Tersedia sekurang-kurangnya 20 tempat duduk
- Toilet umum minimum 1 buah dengan perlengkapan
j. Kantor depan/ Front office
k. Toilet Umum/Restroom
Minimal terdapat 6 toilet umum untuk pria dan 4 toilet untuk wanita.
l. Terdapat drugstore, biro perjalanan, money changer, bank, souvenir shop,
butik, salon, dan perkantoran.
2) Akomodasi
a. Kamar tidur
b. Memiliki minimal 100 kamar standar dengan luasan minimal 26 m²
c. Memiliki minimal 4 kamar suite dengan luasan minimal 52m²
d. Terdapat kamar mandi di dalam
e. Terdapat pengatur suhu kamar di dalam kamar
3) Makanan dan Minuman
a. Ruang makan
- Lebar minimal ruang kerja bartender 1 m.
- Memiliki minimal 4 buah dining room yang terbagi atas berbagai jenis
restoran yang masakannya berbeda satu dan lainnya.
19
- Diperlukan kamar mandi bila dining room tidak berdampingan dengan lobby.
- Minimal luas lantai adalah 135 m2.
b. Bar
- Minimal luas lantai 75 m2.
- Harus dilengkapi pendingin ruangan dengan suhu 24°C bila berada dalam
ruangan tertutup.
- Lebar minimal ruang kerja bartender 1 m.
4) Sarana rekreasi dan olahraga
- Terdapat kolam renang dewasa yang terpisah dari kolam renang anak.
- Terdapat minimal 1 buah jenis sarana rekreasi lainnya dengan pilihan
diskotik, billiard, tenis, bowling, golf, fitness, sauna, taman bermain anak,
atau tempat jogging
5) Fasilitas Penunjang
a. Ruangan perkantoran untuk administrasi hotel
Terdapat ruang kantor pimpinan hotel dan bagian kantor lainnya.
b. Kamar pelayanan (roomboy station)
c. Ruang laundry
Bila terdapat laundry luas ruangan minimal adalah 60 m2
d. Dry cleaning
Minimal luas ruangnya 30 m2
e. Dapur
Luas dapur minimal 40% dari seluruh luas lantai ruang makan.
f. Tempat penyimpanan makanan dan minuman
- Gudang basah
- Gudang kering
20
- Gudang dingin
6) Business center
Menyediakan fasilitas business center dimana terdapat beberapa staf yang
bertindak sebagai co-secretary para tamu yang ingin berkomunikasi dengan
relasi bisnisnya. Selain itu terdapat fasilitas lain seperti faksimili, teleks, dan
akses internet (wi-fi).
Dengan demikian, berdasarkan panduan kriteria hotel bintang lima
dari Keputusan Menteri Parpostel nomor KM.37/PW/MPPT-86, panduan
tersebut dapat dijadikan pedoman untuk membuat hotel butik bintang lima,
semua fasilitas yang telah disebutkan harus ada di dalam hotel butik yang
akan di rancang.
2.3
Data Okupansi Hotel di Jakarta
Tabel 2.3 Okupansi Hotel di Jakarta
Jakarta
Top Tier
Mid Tier
Combined
2010 YTD Dec.
2011 YTD Dec.
Occ ADR RevPAR Occ ADR RevPAR
66% $86
$56
65% $93
$63
75% $56
$42
74% $61
$45
70% $72
$50
71% $78
$55
Sumber: JIHA, Horwath HTL (2011)
2012 YTD Sep.
Occ ADR RevPAR
67% $108 $73
71% $65
$46
69% $89
$61
Tabel di atas merupakan data okupansi yang dikeluarkan oleh
Horwath HTL yaitu suatu badan konsultasi perhotelan dunia. Berdasarkan
tabel tersebut dapat terlihat persentasi okupansi penghuni hotel naik dan turun
seiring tahun. Untuk hotel kalangan atas meningkat dari tahun 2010 ke 2011
dan menurun 1% di tahun 2012, namun walaupun tingkat okupansinya
menurun 1%, tapi rata-rata tarif kamar harian (ADR/Average Daily Room
rate) dan pendapatan per kamar (RevPAR/Revenue Per Available Room)
21
tetap meningkat. Hal ini menunjukan bahwa bisnis hotel di Jakarta terus
mengalami peningkatan.
2.4
Pengertian Fasade
Fasade berasal dari kata facies yaitu bahasa latin yang memiliki arti
wajah, sehingga yang dimaksud dengan fasade adalah wajah dari suatu
bangunan, atau sering di sebut sebagai tampak bangunan. Fasade merupakan
bagian bangunan yang pertama kali dilihat oleh manusia yang melewati
bangunan tersebut. Dengan melihat fasade suatu bangunan bisa memberikan
gambaran tentang fungsi, karkateristik dan kesan dari bangunan tersebut
sekaligus sebagai elemen estetika. Karena itulah fasade merupakan salah satu
bagian yang paling penting dari suatu bangunan.
Fasade tersusun dari berbagai elemen seperti struktur, ornamentasi,
pengaturan bukaan dan permukaan dinding. Walaupun tidak ada parameter
yang pasti tentang bagaimana cara mengolah fasade, namun fasade suatu
bangunan harus berkesinambungan antara fungsi dan estetikanya (Sahril,
2008). Jangan sampai suatu fasade bangunan hanya memperhitungkan
estetika yang ingin ditampilkan tanpa merperhitungkan fungsi, dan
sebaliknya.
Beberapa fungsi fasade yaitu (Knaack, 2007):
- Pemisah ruang dalam dan ruang luar
- Memasukkan cahaya sekaligus melindungi dari panas matahari di saat yang
sama
- Sebagai akses view ke dalam dan ke luar bangunan
- Sebagai isolator terhadap panas, dingin, dan kebisingan
- Bisa menyerap, mendorong, atau membelokkan angin
22
- Sebagai sirkulasi udara
- Perlindungan dari hujan
- Menangani kelembaban dari dalam dan luar bangunan
Untuk bisa menghasilkan fasade yang bisa berfungsi seperti yang telah
disebutkan di atas, banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti
orientasi bangunan, kondisi lingkungan sekitar, serta jenis dan besaran
bukaan pada bangunan. Orientasi terbaik adalah menghadap ke utara-selatan,
supaya tidak terkena panas atau radiasi matahari langsung. Kondisi
lingkungan sekitar mempengaruhi dari segi pembayangan dan pemantulan
cahaya ke dalam bangunan. Sedangkan jenis dan besaran bukaan
mempengaruhi, karena ada berbagai jenis jendela yang di betuk sedemikian
rupa agar dapat memasukkan cahaya tidak langsung, sehingga panas dari
cahaya tersebut tidak ikut masuk. Besarnya bukaan juga ikut mempengaruhi
seberapa besar intensitas cahaya yang ingin di masukkan ke dalam bangunan
supaya intensitasnya cukup sesuai kegiatan yang berlangsung dalam suatu
ruangan dan tidak menyebabkan silau.
2.5
Pencahayaan Alami
Cahaya alami merupakan cahaya yang didapatkan dari sinar matahari
secara langsung dari awal matahari terbit hingga terbenam (Satwiko: 2004).
Pencahayaan matahari adalah proses lengkap dalam mendesain
bangunan untuk memanfaatkan cahaya alami secara maksimal. Hal itu
meliputi aktifitas berikut: (Karlen, 2007:31)
1) Penempatan bangunan, yaitu mengorientasikan bangunan untuk memperoleh
cahaya matahari secara optimal.
23
2) Pembentukan massa bangunan, menampilkan permukaan bangunan yang
secara optimum menghadap ke arah matahari.
3) Memilih bukaan bangunan yang memungkinkan jumlah cahaya yang cukup
masuk ke dalam bangunan, dengan memperhitungkan siklus matahari,
musim, dan cuaca.
4) Melindungi fasade dan bukaan bangunan dari radiasi matahari yang tidak
diinginkan.
5) Menambahkan peralatan pelindung yang tepat dan dapat diatur, seperti kerai
atau tirai, untuk memungkinkan penghuni bangunan untuk mengontrol cahaya
matahari yang masuk ke dalam bangunan.
6) Mendesain control pencahayaan lampu listrik yang memungkinkan
penghematan energi dengan memanfaatkan cahaya matahari pada siang hari.
Menurut
Darmasetiawan
dan
Puspakesuma
(1991)
dalam
merencanakan pencahayaan yang baik, ada 5 kriteria yang harus diperhatikan,
yaitu:
1) Kuantitas cahaya (lighting level) atau tingkat kuat penerangan
2) Distribusi kepadatan cahaya (luminance distribution)
3) Pembatasan agar cahaya tidak menyilaukan (limitation of glare)
4) Arah pencahayaan dan pembentukan bayangan (light directionality and
shadows)
5) Kondisi dan iklim ruang
6) Warna cahaya dan refleksi warna (light colour and colour rendering)
Ada beberapa alasan utama untuk mempertimbangkan cahaya alami
dalam bidang arsitektur (Robbins, 1986):
- Kualitas cahaya
24
- Pentingnya cahaya alami sebagai elemen desain
- View dari bukaan yang menyediakan komunikasi visual dari dalam bangunan
ke luar bangunan
- Penggunaan cahaya alami untuk area darurat (tangga darurat)
- Penghematan energi dan penghematan biaya energy
- Tidak ada perubahan biaya dalam konstruksi
- Manfaat psikologis dan fisiologis yang tidak bisa di dapatkan dengan
penggunaan lampu
Dikatakan dalam buku Sunlighting as Formgiver for Architecture
karya William M.C.Lam :
“ the best use of sunlighting is not only to save energy and guard against
rising energy prices but, more important, to create more pleasant, delightful
luminous environment for the occupants. To achieve these objectives,
sunlighting must be given the highest priority.”
Yang dapat diartikan sebagai berikut, pemanfaatan cahaya matahari
yang terbaik bukanlah untuk menghemat energi dan menjaga agar biaya
penggunaan energi tidak meningkat, tetapi yang lebih penting adalah untuk
membuat lingkungan bercahaya yang terasa menyenangkan bagi penghuni.
Untuk mencapai tujuan tersebut pencahayaan alami harus dijadikan prioritas
tertinggi.
Tingkat pencahayaan rata-rata, renderansi dan temperature warna
yang direkomendasikan untuk hotel adalah (SNI 03-6197-2000):
Tabel 2.4 Standar Tingkatan Pencahayaan
Fungsi Ruangan
Rumah Tinggal:
Teras
Ruang Tamu
Ruang Makan
Tingkat Pencahayaan (Lux)
60
120-150
120-250
25
Ruang Kerja
120-250
Fungsi Ruangan
Tingkat Pencahayaan (Lux)
Kamar Tidur
120-250
Kamar Mandi
250
Dapur
250
Garasi
60
Perkantoran:
Ruang Direktur
350
Ruang Kerja
350
Ruang Komputer
350
Ruang Rapat
300
Ruang Gambar
750
Gudang arsip
150
Ruang arsip aktif
300
Lembaga Pendidikan:
Ruang Kelas
250
Perpustakaan
300
Laboratorium
500
Ruang Gambar
750
Kantin
200
Hotel dan Restaurant:
Lobi, koridor
100
Ruang serba guna
200
Ruang makan
250
Kafetaria
200
Kamar Tidur
150
Dapur
300
Rumah sakit/Balai Pengobatan:
Ruang rawat inap
250
Ruang operasi
300
Laboratorium
500
Ruang rekreasi
250
dan rehabilitasi
Pertokoan dan Ruang Pamer:
500
Ruang pamer
objek besar
Toko kue
250
toko bunga
250
Toko buku
300
Toko perhiasan
500
Toko sepatu
500
Toko pakaian
500
Pasar swalayan
500
Toko mainan
500
Toko alat listrik
250
26
Toko alat musik
250
Fungsi Ruangan
Tingkat Pencahayaan (Lux)
Industri (umum):
Gudang
100
Pekerjaan kasar
100-200
Pekerjaan menengah
200-500
Pekerjaan halus
500-1000
Pekerjaan amat halus
1000-2000
Pemeriksaan warna
750
Sumber: SNI 03-6197-2000 (2000)
Strategi dasar pencahayaan alami menurut buku Heating, Cooling,
Lighting karya Norbert Lechner yaitu:
1. Orientasi, orientasi terbaik adalah ke selatan dan utara, dan orientasi terburuk
adalah ke barat dan timur.
2. Bentuk, bentuk bangunan tidak hanya ditentukan oleh kombinasi bukaan
horizontal dan vertikal, tetapi juga oleh berapa banyak area lantai yang
memiliki akses terhadap cahaya alami. Umumnya pada bangunan bertingkat
banyak, 15 kaki zona perimeter sepenuhnya mendapat cahaya alami, dan 15
kaki di atasnya secara parsial.
3. Gunakan bukaan terpisah untuk pemandangan dan pencahayaan alami.
Gunakan jendela tinggi, clerestory, atau skylight untuk pencahayaan alami
yang baik, dan gunakan jendela rendah untuk pemandangan.
4. Warna, Interior dengan warna terang dapat mengurangi silau, bayangan gelap
dan rasio tingkat terang berlebih, dan juga dapat memantulkan cahaya lebih
jauh ke dalam ruang. Plafon harus memiliki faktor pemantul semaksimal
mungkin. Urutan tingkatan pentingnya permukaan pantulan adalah plafon,
dinding belakang, dinding samping, lantai, dan mebel kecil.
5. Pencahayaan melalui atap, ada dua keuntungan bila menggunakan bukaan
horizontal yaitu: pertama, mereka membiarkan iluminasi tidak seragam
27
secara adil pada area interior yang sangat luas, sementara cahaya alami dari
jendela terbatas pada kedalaman 15 kaki, kedua, bukaan horizontal juga
menerima lebih banyak cahaya daripada bukaan vertikal. Berikut adalah
contoh bukaan pada atap.
Gambar 2.2 Berbagai macam kemungkinan bukaan pada atap untuk pencahayaan alami
Sumber: buku Heating, Cooling, Lighting (1986)
6. Perencanaan ruang, sangat menguntungkan untuk membawa cahaya ke dalam
interior.
Tujuan penggunaan optimal dari pencahayaan alami adalah untuk
visualisasi dan kenyaman thermal dalam bangunan. Untuk dapat mencapai
hal tersebut banyak hal yang harus diatur agar saat pencahayaan alami ingin
dimasukkan ke dalam bangunan tidak menimbulkan efek silau, cahaya yang
berlebihan, panas dan efek-efek lainnya yang tidak menguntungkan. Untuk
itu terdapat beberapa strategi dasar pencahayaan alami, kenyamanan dan cara
pencapaiannya menurut buku “Sunlighting as Formgiver for Architecture”
karangan William M. C. Lam yaitu:
1. Shading/Pembayangan
Penggunaan orientasi yang maksimal yaitu ke arah utara dan selatan untuk
membuat pembayangan dan pengalihan cahaya matahari lebih efisien dan
lebih mudah dibandingkan dengan penggunaan kaca rendah tranmisi (low
transmission glass). Dikarenakan dengan menggunakan kaca rendah tranmisi
tidak dapat menghilangkan kebutuhan pembayangan dikarenakan 10 persen
28
dari penerangan matahari dari kaca rendah transmisi masih terlalu besar.
Orientasi ke timur dan barat pembayangan yang permanen tidak dapat
mengontrol silau saat fajar dan saat senja.
Gambar 2.3 Pembayangan vs kaca tranmisi rendah
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
2. Redirection/Pengalihan Pencahayaan Alami
Penyebaran cahaya di tempat yang dibutuhkan untuk meminimalisir
kebutuhan cahaya buatan. Tingkat pencahayaan yang tinggi tidak efisien bila
tidak di sebar atau didistribusikan dengan baik.
Gambar 2.4 Pendistribusian cahaya ke tempat yang dibutuhkan
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
3. Framing of View/Pengambilan View
Maksimalkan view ke luar bangunan dan blok view yang tidak bagus dengan
penggunaan elemen pembayangan yang sangat besar atau kecil, tergantung
view yang ingin di perlihatkan. Maksimalkan juga view ke dalam/interior
dengan menciptakan pemandangan yang indah untuk dilihat.
29
Gambar 2.5 Optimalisasi view
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
2.5.1 Penggunaan Langit-langit (Ceiling) Sebagai Sumber Utama Pemantulan
Cahaya
Dalam suatu bangunan langit-langit dan dinding bagian atas
merupakan daerah permukaan yang dapat diandalkan untuk memantulkan
cahaya atau cahaya tidak langsung. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemanfaatan langit-langit sebagai pantulan cahaya yaitu:
1. Letakan sumber cahaya sejauh mungkin dari langit-langit, hal ini dapat
dilakukan dengan menaikkan langit-langit atau menurunkan sumber cahaya,
atau keduanya.
Gambar 2.6 Teknik Pemantulan cahaya
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Gambar 2.7 Teknik Pemantulan cahaya
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
30
2. Bentuk dan letak elemen pemantul untuk mengarahkan cahaya, supaya silau
cahaya matahari tidak masuk maka bentuk dan letak elemen pemantul perlu
di perhatikan agar tepat dipantulkan langit-langit.
3. Gunakan rongga langit-langit yang daya pantulnya tinggi
Penggunaan material pada langit-langit yang memiliki daya pantul yang
tinggi diperlukan dalam kasus ini, contohnya penggunaan material logam
atau berkilau dan berwarna cerah. Dapat terlihat perbedaannya dari gambar.
Gambar 2.8 Daya pantul langit-langit
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
4. Memaksimalkan efektifitas pantulan langit-langit
Ini
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
sistem
bangunan
yang
meminimalkan jumlah luas permukaan yang membentuk rongga langit-langit.
Langit-langit yang memiliki banyak area permukaan justru menjadi
perangkap cahaya, sedangkan langit-langit sederhana dengan luas permukaan
yang lebih sedikit dapat mendistribusikan cahaya lebih efisien.
Gambar 2.9 Permukaan area langit-langit
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
31
2.5.2 Letak Sumber Cahaya (Jendela)
Bentuk bangunan dan massa bangunan mempengaruhi bagaimana cara
cahaya matahari dapat masuk ke dalam bangunan. Bukaan bangunan adalah
faktor utama dalam element fasade yang membentuk komposisi tampak suatu
bangunan, dan bukaan tersebut menjadi faktor penting untuk membuat cahaya
matahari masuk ke dalam bangunan, salah satu contohnya adalah jendela.
Jendela dibagi menjadi tiga area yaitu rendah, tengah dan tinggi.
Untuk orientasi, sudut pemantulan cahaya dan bentuk langit-langit
diasumsikan sama dalam kasus ini.
1. Jendela Rendah
Jendela rendah menghasilkan bentuk pencahayaan yang paling merata
dengan mendistribusikan pantulan cahaya ke dalam bangunan. Namun
jendela rendah juga memiliki kekurangan: jendela rendah efektif bila
ditempatkan di dekat atau di bawah ketinggian mata manusia sehingga
memaksimalkan potensial silau untuk pekerjaan yang dilakukan di atas meja.
Ini bukan masalah untuk ruangan dengan tugas yang tidak spesifik atau
pekerjaan
yang
dapat
diterangi
dengan
cahaya
matahari.
Dengan
menggunakan jendela rendah memungkinkan dinding bagian atas dan langitlangit akan terkesan gelap. Hal tersebut dapat diatasi dengan meminimalisir
daerah depan dengan memiringkan langit-langit ke bawah menuju kepala
jendela dan meletakan jendela rendah berdekatan dengan dinding tegak lurus.
32
Gambar 2.10 Peletakan jendela dekat dengan dinding
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Dari segi view, jendela rendah dapat memiliki view tergantung
besarnya jendela rendah tersebut, terlihat pada contoh gambar, dimana
gambar kedua dengan skala jendela rendah yang kecil ruangan tersebut tidak
memiliki view yang memuaskan.
Gambar 2.11 Jendela rendah
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Dengan
demikian
unsur
privasi
merupakan
masalah
untuk
penggunaan jendela rendah, sulit mengkombinasikan unsur privasi dengan
beberapa view dan cahaya di bangunan bertingkat rendah dan dengan jendela
rendah pula.
2. Jendela Tinggi
Keuntungan dari jendela tinggi adalah menghasilkan penyebaran
cahaya terbaik saat langit mendung, selain itu jendela tinggi dapat
33
menghasilkan cahaya dengan tingkat privasi dan keamanan yang lebih baik
dari jendela lainnya.
Gambar 2.12 Contoh Jendela tinggi
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Kerugian utama dari jendela tinggi adalah pendistribusian cahayanya
kurang menguntungkan untuk langit-langit dari pantulan cahaya bawah tanah.
Jendela tinggi memaksimalkan potensial silau dari langit dan matahari dan
pasti membingungkan atau tidak pasti. Dari segi view jendela atas juga
kurang memuaskan.
Gambar 2.13 Contoh Jendela tinggi
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
3. Jendela Tengah
Jendela tengah tidak sebaik jendela rendah dalam hal pendistribusian
cahaya dari pantulan tanah, dan tidak sebaik jendela tinggi dalam
pendistribusian cahaya dari langit mendung.
Gambar 2.14 Contoh Jendela tengah
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
34
Tetapi, bila jendela tengah menghasilkan pencahayaan yang cukup
untuk kegunaan ruangannya, ini merupakan pilihan yang cukup disukai
karena jendela ini menghasilkan view terbaik. Kesilauan dari jendela tengah
dengan pemantulan cahaya maksimal dapat di kurangi dengan memiringkan
jendela tengah menjadi di bawah pandangan mata dari posisi pekerjaan yang
paling penting, namun belum memungkinkan mereka terlihat oleh langitlangit. Jika jendela tengah dapat memantulkan cahaya sama dengan tanah
maka jendela tengah dapat dikatakan setara dalam hal pencerahan dan dapat
dipercaya sebagai sumber utama cahaya.
2.5.3 Penggunaan Lightshelf Dalam Pemasukan Cahaya
Lightshelf adalah salah satu strategi memasukan cahaya secara tidak
langsung dengan pemantulan dengan cara membentuk 2 buah kanopi yang
membantu pembayangan pada bukaan tanpa menghalangi view. Penggunaan
lightshelft minim perawatan apabila dibandingkan dengan elemen pelindung
matahari yang lain, misalnya kisi-kisi, namun dalam konstruksinya
cenderung lebih mahal. Jenis-jenis lightshelf yang dapat diterapkan pada
bangunan adalah sebagai berikut:
1.
Meletakan elemen horizontal seperti kanopi yang menerus hingga ke dalam
bangunan pada jendela sehingga dapat terjadi pemantulan cahaya dan tetap
dapat melihat view ke luar jendela.
Gambar 2.15 Contoh teknik lightshelf
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986) dan Madros (2001)
35
2. Meletakan elemen horizontal yang berbentuk seperti kanopi pada bagian atas
jendela namun di buat miring menurun untuk memantulkan cahaya ke luar.
Bentuk lightshelf yang seperti ini digunakan untuk ruangan yang tidak
membutuhkan banyak cahaya namun menginginkan bentuk dan besaran
bukaan yang sama pada fasade.
Gambar 2.16 Contoh teknik lightshelf
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
3.
Sama dengan nomor dua, namun kanopinya dimiringkan ke dalam, dengan
tujuan memantulkan cahaya lebih banyak dengan bentuk dan besaran bukaan
yang sama pada fasade.
Gambar 2.17 Contoh teknik lightshelf
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
4.
Sama seperti bentuk di atas namun terdapat tambahan elemen vertikal untuk
menambah pantulan cahaya ke dalam bangunan. Tipe lightshelf ini biasanya
digunakan pada bangunan yang menghadap utara-selatan dan biasanya
digunakan untuk bangunan yang sulit mendapatkan cahaya dari luar
bangunan.
36
Gambar 2.18 Contoh teknik lightshelf
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
5.
Bangunan yang berdekatan pun bisa berfungsi sebagai lightshelf, baik sebagai
podium maupun bagian atap bangunan.
Gambar 2.19 Contoh teknik lightshelf
Sumber : Madros (2001)
2.5.4 Penggunaan Cahaya Matahari dari Atas Bangunan
Bukaan dari atas bangunan lebih efisien menjangkau area gelap dalam
bangunan daripada bukaan dari badan bangunan, namun dapat menyebabkan
panas berlebih karena masuknya cahaya langsung, hal tersebut dapat diatasi
dengan di buat area-area pemantul pada dinding bangunan agar cahaya yang
masuk tidak langsung.
Gambar 2.20 Contoh skylight
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
37
Selain memantulkan dari dinding samping bangunan, dapat juga
dipantulkan dari elemen estetika dalam bangunan, seperti sculpture dan
kolam.
Gambar 2.21 Contoh skylight
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Ada beberapa jenis bukaan atas yaitu:
Gambar 2.22 Penchayaan dari atas
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
38
Keterangan:
1.
Court, sebuah area terbuka keatas yang dikelilingi dinding bangunan.
2.
Atrium, adalah bukaan atas pada bagian tengah ruangan atau bangunan
yang dibuka hingga atap.
3.
Lightcourt, sebuah area kosong untuk memaksimalkan cahaya pada
bangunan yang berdekatan.
4.
Litrium, sama seperti atrium namun bertujuan untuk memaksimalkan
cahaya pada bangunan yang berdekatan.
5.
Lightwell, bukaan atas untuk menyalurkan cahaya alami pada area yang
berdekatan dengan melewati satu atau beberapa lantai dalam bangunan.
6.
Pemberian elemen vertikal untuk memantulkan cahaya ke dalam
bangunan.
2.6
Kriteria GBCI Untuk Pencahayaan Alami
GBCI adalah kepanjangan dari Green Building Council Indonesia atau
Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia yaitu lembaga mandiri (non
government) dan nirlaba (non-for profit) yang berkomitmen penuh terhadap
pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik
lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang
berkelanjutan. (http://www.gbcindonesia.org/)
Adapun beberapa kriteria dan tolak ukur Greenship yang dibuat oleh
GBCI di segi pencahayaan alami adalah:
39
Tabel 2.5 Kriteria Greenship Pencahayaan GBCI
Sumber: http://www.gbcindonesia.org/ (tanggal akses 03-18-2013 )
2.7
Ecotect
Ecotect adalah software
yang digunakan untuk menganalisa
lingkungan terhadap suatu bangunan untuk mengetahui simulasi kinerja
bangunan tersebut, dengan menghasilkan analisa dan visualisasi yang rinci
berdasarkan
input
lokasi,
tanggal
dan
waktu.
Beberapa
contoh
penggunaannya yaitu:
1) Untuk menghitung intensitas pencahayaan yang terjadi di suatu bangunan
2) Menampilkan pembayangan dan refleksi sinar matahari
3) Untuk menghitung energi yang di gunakan dalam suatu bangunan
40
4) Untuk menghitung radiasi terhadap suatu bangunan
5) Menghitung beban pemanasan dan pendinginan suatu bangunan
Dalam penelitian ini simulasi yang digunakan adalah perhitungan
intensitas cahaya dengan menggunakan Daylight Factor, yaitu analisis dalam
software Ecotect yang menyatakan rasio non-dimensional antara kuantitas
cahaya alami dalam ruangan dengan kuantitas area eksterior yang terkena
cahaya alami dalam keadaan langit mendung. Dengan langit mendung dapat
memberikan ukuran pencahayaan alami dengan keadaan terburuk dalam suatu
ruangan dan pada akhirnya dapat dinilai kenyamanan visual dalam proyek
tersebut.
Berikut ini merupakan contoh gambar hasil pengukuran Daylight
Factor pada suatu hunian bertingkat di Paris, ada dua jenis yaitu bukaan
dengan jendela tanpa shading dan bukaan jendela dengan menggunakan
shading.
Gambar 2.23 Pengukuran Daylight Factor tanpa (kiri) dan dengan (kanan) shading
Sumber: Sustainable Building Design with Autodesk Ecotect (Raphaël BARRY, 2010)
Berdasarkan gambar hasil analisa Daylight Factor tersebut, dapat
dilihat area-area paling terang adalah area yang paling dekat dengan bukaan
jendela, terlihat dengan warna kuning, semakin ke dalam semakin gelap
ditandai dengan warna biru.
41
Berdasarkan gambar tersebut juga, ruangan yang menggunakan
shading mengurangi pencahayaan hingga sekitar 50%, hal ini menunjukkan
bahwa penggunaan shading bisa menjadi solusi untuk pengurangan intensitas
cahaya agar tidak silau dan sesuai dengan kebutuhan ruangan tersebut, yaitu
tidak kekurangan atau kelebihan cahaya. Penggunaan shading juga
merupakan salah satu cara untuk memasukkan cahaya tidak langsung agar
cahaya yang masuk ke dalam ruangan tidak memasukan panas ke dalam
ruang melainkan hanya cahayanya saja.
Namun pengurangan yang terjadi pada contoh gambar diatas sekitar
50% itu tergantung dari penggunaan jenis shading dan ukuran dari shading
tersebut.
2.8
Studi Banding
2.8.1 Studi Banding Hotel Butik Indonesia
a.
Akmani Botique Hotel (Bintang 4)
Hotel yang dirancang oleh “TWS & Partners” yang berlokasi di Pusat
Jakarta di Jalan Wahid Hasyim. Digunakan sebagai hotel untuk bisnis
maupun untuk liburan, yang terdiri atas 117 kamar, yaitu 84 kamar jenis
deluxe,24 kamar grand deluxe, 5 kamar suite, 2 kamar grand suite, dan 1
kamar presidential suite. Terdapat ballroom untuk kapasitas 500 orang dan 7
buah ruang meeting.
Konsep arsitekturnya, bagian lobby dan teras café sebagai area
penerima utama diangkat 3 meter di atas tanah untuk menghalangi pandangan
dari dan ke arah sekitarnya. Masa bangunan di bagi menjadi beberapa kotak
42
yang melayang yang merupakan strategi untuk berkomunikasi dengan skala
bangunan sekitar dan jalan.
Tema khusus bangunan ini adalah penggunaan kaca, kulit bangunan
dan pola jendela. Fasade bangunannya cenderung menggunakan kaca-kaca
dan transparan dengan kulit bangunan dan modern.
Gambar 2.24 –Eksterior dan Interior Akmani Hotel
Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013)
Gambar 2.25 – Tampak Akmani Hotel
Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013)
43
b. Grand Aston Yogyakarta (Bintang 5)
Hotel yang terlrtak di pusat kota dan dekat dengan jalan utama di
Yogyakarta. Memiliki total 141 kamar dengan 9 lantai, dengan ciri khas
nuansa jawa dan ornament-ornamen batik.
Gambar 2.26 Eksteror dan Interior Grand Aston Yogyakarta
Sumber : http://www.aston-international.com (tanggal akses 04-05-2013)
Fasade bangunannya cenderung menggunakan kaca-kaca, bergaya
modern dengan permainan garis-garis pada fasade. Terdapat permainan
ornamen pada fasade depan yang bercorak seperti batik
berfungsi sebagai kulit bangunan.
yang sekaligus
44
Gambar 2.27 Fasade Grand Aston Yogyakarta
Sumber : www.prontohotel.com (diakses tanggal 04-05-2013)
c.
The Dharmawangsa (bintang 5)
Hotel ini terletak di Jalan Brawijaya Raya, Kebayoran Baru Jakarta
Selatan. Konsep hotel ini adalah ingin menciptakan hotel yang benar-benar
modern sekaligus benar-benar memiliki budaya Indonesia. Untuk desain
interiornya menggunakan budaya Majapahit, baik dari segi dekoratif, hingga
furnitur-furnitur ruangan dalam hotel tersebut.
45
Gambar 2.28 Interior Hotel Dharmawangsa
Sumber : http://www.the-dharmawangsa.com/ (tanggal akses 04-05-2013)
Nama Dharmawangsa bukan semata-mata karena dekat dengan Jalan
Dharmawangsa tetapi karena ingin mencerminkan Raja Hindu abad ke-14
yang bernama Dharmawangsa yang meletakan dasar-dasar kerajaan
Majapahit, yaitu masa di mana Negara bangga akan kecakapan politik,
peradaban, seni dan budaya, demikian hotel ini di rancang untuk
menyongsong masa depan besar Indonesia dan awal dari peiode emas baru.
Target hotel ini adalah untuk pebisnis yang menginginkan wisata dengan
standar tertinggi keramahan Indonesia. Tujuan yang paling penting adalah
ingin menciptakan nuansa perumahan dalam properti.
Fasadenya cenderung bergaya colonial dan formal, dengan iramairama kolom yang simetris dengan jendela-jendela mendominasi pada
fasadenya dan terdapat balkon.
Gambar 2.29 Fasade Hotel Dharmawangsa
Sumber : www.asiarooms.com (tanggal akses 04-05-2013)
2.8.2 Studi Banding Hotel Terhadap Pencahayaan Alami dan Bentuk Fasade
a.
Hotel Hilton Bandung
Hotel ini terletak di pusat kota Bandung, merupakan hotel bintang
lima dengan jumlah kamar 186 kamar. Hotel ini terinspirasi dari topografi
46
Bandung yang memiliki pegunungan berapi dan mengintegrasikan budaya
Jawa.
Fasade hotel ini cenderung transparan dengan perpaduan balok-balok
kaca yang berbingkai dengan penambahan material aluminium komposit
sebagai tambahan elemen masif supaya fasade tidak monoton. Beberapa sisi
fasade juga menggunakan ornament di bidang transparannya yang
membentuk pola batik geometris Jawa.
Gambar 2.30 Fasade Hilton Hotel
Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013)
Penggunaan double height (ada void di lantai 2 hingga ke lantai 1)
memberikan kesan meluas ke atas sebagai kesan penerimaan tamu di lobby,
ballroom pusat bisnis, dan spa. Dengan adanya double height dipadukan
dengan fasade yang transparan dan adanya skylight membuat area penerimaan
ini kaya akan cahaya dan kualitas ruang yang berkesan megah.
Untuk area kamarnya juga didominasi dengan penggunaan kaca
transparan, sehingga pada siang hari cahaya matahari dapat masuk.
47
Gambar 2.31 Area kamar hotel Hilton
Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013)
Gambar 2.32 Pemasukkan cahaya alami pada hotel Hilton
Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013)
b. Hotel Morrissey Jakarta
Morrissey Hotel termasuk hotel bintang 4 yang juga merupakan
service apartment. Hotel ini terletak di Wahid Hasyim yang berada di antara
daerah Menteng dan CBD Jakarta. Pendekatan bentuk massa hotel ini
merespon konteks perkotaan dan urban life style. Bangunan ini terdiri dari
dua blok, yaitu 10 lantai di bagian belakang dan 5 lantai di blok depan.
Gambar 2.33 Eksterior Morrissey Hotel
Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013)
Pada blok depan di bagian bawah di buat kantilever melayang 7 meter
sepanjang 20 meter, untuk memberikan kesan menyambut dan terbuka bagi
48
tamu yang datang. Sedangkan pada blok belakang terdapat void besar yang
memakan 16 unit kamar hotel dengan tujuan mengurangi kemasifan
bangunan
di
blok
belakang,
dengan
adanya
void
tersebut
dapat
memungkinkan terjadinya ventilasi silang yang orientasinya barat timur,
sekaligus sebagai frame sudut pandang dari luar ke dalam ataupun sebaliknya.
Setiap ruang di atur sedemikian rupa sesuai dengan aktivitas penghuni
dan pertimbangan pencahaaan, sehingga pada siang hari tidak perlu
menggunakan pencahayaan buatan, dan dengan pencahayaan alami
memberikan atmosfer tersendiri, contohnya pada kamar, lobby, area sarapan,
pada koridor, business center, lounge pada roof garden, dsb.
Gambar 2.34 Ruang-ruang yang mendapatkan cahaya alami
Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 04-05-2013)
Untuk menyatukan kedua blok tersebut, fasade hotel ini dibuat
menekuk ke dalam, menebal dan menipis sesuai dengan order bukaan,
49
sehingga menghasilkan fasade yang dinamis. Di bagian massa lainnya
fasadenya cenderung menggunakan kaca dan transparan.
Gambar 2.35 Fasade Hotel Morrissey
Sumber : www.archdaily.com (diakses tanggal 5 April 2013)
c.
Hotel Hyatt Regency San Francisco
-
Merupakan hotel bintang 4 yang berada di San Francisco, memiliki
802 kamar dengan jumlah lantai 20 lantai. Yang menarik dari hotel ini adalah
pada bagian atriumnya, yang menghasilkan pencahayaan langsung dari paling
atas bangunan tersebut, yang memberikan kualitas ruang yang megah untuk
area lantai-lantai terbawah yang jusru banyak digunakan oleh pengunjung
hotel.
50
Gambar 2.36 Eksterior Hotel Hyatt Regency San Francisco
Sumber : www.google.co.id (diakses tanggal 04-05-2013)
Gambar 2.37 Atrium Hotel Hyatt Regency
Sumber : www.google.co.id (diakses tanggal 04-05-2013)
Pemasukan cahaya pada hotel ini juga digunakan untuk tumbuhnya
tanaman-tanaman yang berada di dalam hotel tersebut. Bentuk denah
bangunan ini segitiga.
Gambar 2.38 Denah Hotel Hyatt Regancy
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Terlihat pada gambar, bahwa sebelum menggunakan kisi-kisi pemantul
cahaya masuk ke dalam bangunan hanya pada jam-jam tertentu, sekitar
jam 10-12 saja. Sedangkan pada diagram yang menggunakan kisi-kisi
pemantul dapat menerangi area pohon dari jam 9 hingga jam 2 sore.
51
Gambar 2.39 Potongan dan cahaya pantul Hotel Hyatt Regancy
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Karena sudut datangnya sinar matahari berbeda-beda tiap bulannya,
bangunan harus dirancang sedemikian rupa agar cahaya matahari dalam
bangunan masuk sepanjang tahun.
Gambar 2.40 Potongan dan cahaya pantul Hotel Hyatt Regancy
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Gambar 2.41 Detail kisi-kisi pemantul
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
52
d. Hotel Atlanta Marriott Marquis
Merupakan hotel bintang 4 yang terlrtak di Atlanta, dengan jumlah
kamar 1663 kamar dalam 52 lantai. Yang menarik dari hotel ini, sama seperti
penjelasan sebelumnya yaitu pada hotel ini terdapat atrium yang merupakan
bukaan pada bagian atas bangunan yang menghasilkan pencahayaan langsung
yang memberikan efek kualitas ruang yang megah untuk area-area lantai
terbawahnya.
Gambar 2.42 Eksterior Hotel Atlanta Marriott Marquis
Sumber : www.google.co.id (diakses tanggal 04-05-2013)
Gambar 2.43 Atrium pada Hotel Atlanta Marriott Marquis
Sumber : www.google.co.id (diakses tanggal 04-05-2013)
Pembuatan atrium tanpa perhitungan yang matang bisa menyebabkan
cahaya yang masuk hanya saat jam-jam tertentu dan dengan penyinaran
hingga area tertentu saja. Pada gambar di bawah merupakan gambar sebelum
dan sesudah penggunaan kisi-kisi pantul. Sangat kontras sekali perbedaannya.
53
Gambar 2.44 Potongan dan pemasukkan cahaya pada 21 Desember
Sumber : buku Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
2.8.3 Studi Banding Hotel Di Jakarta Selatan (Survey Pencahayaan)
Studi banding di lakukan di daerah Jakarta Selatan, pada tanggal 3
April 2013 pada pukul 12.00-13.00 WIB. Kendala yang terjadi adalah penulis
tidak diperbolehkan memfoto ruang-ruangan di dalam hotel tersebut.
Tabel 2.6 Hasil Survey Pencahayaan Hotel di Jakarta Selatan
No.
1.
Nama Hotel
Hotel Amoz Cozy (Bintang 1.
4) – Hotel
2.
Bisnis
Lokasi Melawai Raya
street 83 - 85, Blok M
south Jakarta, Kebayoran
Baru, Jakarta
2.
Nama Ruang
Golden Boutique Hotel
Lobi- resepsionis
Ruang
Tunggu
Lift
3. Koridor kamar
4. Kamar (diamond)
5. Kamar (family)
6. Kamar mandi
7. Kamar (single tanpa jendela)
8. Koridor
dekat
jendela
9. Kamar (deluxe)
10. Ballroom (lampu
mati)
11. Restoran
12. Lounge
1. Lobby
Besar lux
80 lux
20 lux
Standar
Lux
100 lux
100 lux
26 lux
600 lux
600 lux
26 lux
30 lux
100 lux
150 lux
150 lux
250 lux
100 lux
35 lux
100 lux
480 lux
2 lux
150 lux
200 lux
45-60 lux
1000 lux
250 lux
100 lux
33-247 lux
(33
lux
cahaya
redup
lampu; 247
lux berasal
dari cahaya
alami)
100 lux
Gaya
Fasade
Modern
minima
lis
renaiss
ance
54
3.
Jl. Angkasa No.1, Jakarta,
Indonesia
Jakarta 10720, Indonesia
The Dharmawangsa (Hotel 1.
Butik)
2.
3.
4.
5.
Lobby
Lounge
Resepsionis
Koridor
Kamar
(exclusive)
9 lux
77 lux
9-14 lux
65-107 lux
208-328
lux
100 lux
100 lux
100 lux
100 lux
150 ;ux
Bergaya
bangun
an kolonial
Jl. Brawijawa Raya No.26,
Kebayoran Baru Jakarta
Sumber : Hasil olahan pribadi (2013)
Kesimpulannya yaitu, berdasarkan hasil survey, penulis melihat
bahwa hampir semua ruangan hotel menggunakan cahaya buatan bahkan di
siang hari, hanya beberapa area tertentu yang mendapatkan cahaya alami,
seperti bagian depan lobby, sedikit area di koridor, dan sedikit area restoran.
Karena itu banyak area yang sangat gelap dan tidak sesuai dengan standar
intensitas pencahayaan SNI. Hal itu disebabkan karena banyak area yang
berpotensi menggunakan pencahayaan alami tidak digunakan semaksimal
mungkin dengan contoh tidak diberikan bukaan yang memadai, sehingga
akhirnya menyebabkan ruangan-ruangan gelap dan akhirnya diatasi dengan
penggunaan cahaya buatan.
2.9
Hipotesis
Berdasarkan studi literatur dan studi banding yang telah dilakukan
dapat ditarik suatu hipotesa bahwa, untuk bisa memanfaatkan pencahayaan
alami dalam suatu bangunan perlu mengetahui orientasi bangunan, bentuk
bangunan, jenis-jenis kegiatan apa saja yang dilakukan di ruang-ruang
tersebut, serta jenis dan besar bukaan yang efisien untuk ruangan tersebut.
Tidak cukup hanya dengan mengatur besarnya bukaan tetapi juga perlu di
55
atur jenis bukaan dan bagaimana cara memasukkan cahaya alami tidak
langsung agar panasnya tidak ikut masuk ke dalam bangunan, yaitu dengan
berbagai macam cara pemantulan cahaya, seperti penggunaan kanopi, sirip,
kisi-kisi pemantul, dll.
Dalam
penggunaan kanopi, variabel yang digunakan adalah
panjangnya kanopi untuk menentukan panjang pembayangan yang akan
digunakan. Pada penggunaan sirip variabel, yang perlu diperhatikan adalah
letak sirip itu diletakan dan panjang siripnya agar dapat memantulkan cahaya
ke dalam ruangan secara efisien. Untuk penggunaan kisi-kisi pemantul di
skylight, variabel yang perlu diperhatikan adalah panjang kisi-kisi dan sudut
kemiringan kisi-kisi yang efisien, agar bisa memantulkan cahaya ke seluruh
area ruang.
Dalam Penelitian ini, penulis akan mencoba jenis-jenis bukaan
tersebut dan dibandingkan sehingga akan diketahui jenis bukaan yang paling
efisien. Unsur pembaharuan dalam penelitian ini penggunaan jenis bukaan
yang memiliki sudut-sudut kemiring tertentu sesuai orientasi massa bangunan
yang menghadap utara dan selatan yang diterapkan di bangunan hotel, yang
mana diketahui bahwa penerapan cahaya alami pada hotel masih cukup
jarang dilakukan.
56
2.10
Kerangka Berpikir
57
Gambar 2.45 Kerangka Berpikir
Sumber : Hasil olahan pribadi (2013)
Download