kertas kerja majlis muzakarah ulama mabims bioetika dan

advertisement
KERTAS KERJA MAJLIS MUZAKARAH ULAMA MABIMS
BIOETIKA DAN PEMBANGUNAN PERUNDANGAN ISLAM SERANTAU
FATWA-FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI)
MENGENAI MASALAH-MASALAH BIOETIKA TAHUN 1975 – 20111
2
- Mohamad Atho Mudzhar , Indonesia
Bismillahirrohmanirrohim.
PENDAHULUAN
Bioetika adalah studi mengenai implikasi etik dan moral daripada temuan-temuan
baru dalam ilmu biologi dan kemajuan-kemajuan baru dalam ilmu biomedika, seperti
dalam hal rekayasa genetika dan penelitian obat-obatan (Bioethics is the study of
ethical and moral implications of new biological discoveries and biomedical
advances, as in the fields of genetic engineering and drug research). Definisi lain
mengatakan bahwa bioetika ialah studi mengenai problem-problem etika yang
muncul dari penelitian-penelitian biologi dan penerapannya dalam bidang-bidang
seperti transplantasi organ tubuh manusia, rekayasa genetika, atau inseminasi
buatan (Bioethics is the study of ethical problems arising from biological research
and its application in such fields as organ transplantation, genetic engineering or
artificial insemination). Dikatakan bahwa bioetika itu berkaitan erat dengan isu-isu
social, agama, ekonomi, dan hukum, bahkan juga politik.
Biasanya ada tiga bidang kajian bioetika, yaitu: pertama, bidang medis seperti soal
aborsi, eutanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi buatan, dan rekayasa
genetika; kedua, bidang pemeliharaan kesehatan manusia seperti hak-hak pasien,
budaya kesehatan masyarakat, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan
kerja, demografi, dan lain-lain; dan ketiga, bidang yang terkait dengan hak-hak hidup
hewan terutama yang dijadikan obyek penelitian. Dalam ilmu kedokteran biasanya
dikenal ada empat kaedah dasar moral dan etika kedokteran yaitu beneficence
1
Makalah ini disajikan pada Muzakarah Ulama MABIMS dengan tema Bioetika dan Pembangunan
Perundangan Islam Serantau, diselenggarakan oleh Majlis Ugama Islam Singapura, tanggal 17
Nopember 2012 di Singapura.
2
Professor of Sociology of Islamic Law at the Faculty of Shariah and Law, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia juga menjabat sebagai ketua Program Studi Magister Ilmu
Ekonomi Syariah pada Fakultas yang sama.
1
(dokter berbuat untuk kesembuhan maksimal pasien), non-maleficence (tidak boleh
ada perbuatan dokter yang merugikan kesehatan pasien), justice (berlaku adil
terhadap semua pasien yang ada), dan outonomy (pasien diberi kesempatan untuk
mempertimbangkan dan memutuskan mengenai tindakan medic terbaik bagi
dirinya).
Majlis Ulama Indonesia (MUI) sejak berdirinya pada tahun 1975 hingga tahun 2011
telah mengeluarkan kurang lebih delapan fatwa yang dapat dikategorikan sebagai
fatwa diseputar persoalan bioetika yaitu fatwa-fatwa tentang wasiat menghibahkan
kornea mata, bayi tabung atau inseminasi buatan, pengambilan dan penggunaan
katup jantung, cloning, penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obatobatan dan kosmetika, penggunaan mikroba dan produk mikorobial dalam produk
pangan, transfer embrio ke rahim titipan, serta bank mata dan organ tubuh lain.3
Makalah ini hendak mencoba menganalisis dua saja diantara fatwa-fatwa itu yaitu
fatwa mengenai pengambilan dan penggunaan katup jantung dan fatwa mengenai
aborsi. Analisis itu akan melihat kekuatan dalil-dalil hukum agama Islam yang
digunakan
dalam
fatwa-fatwa
tersebut
dan
bagaimana
serta
sejauhmana
masyarakat dan pemerintah Indonesia telah meresponi masalah-masalah itu dalam
perundangan-undangan Indonesia.
SEKILAS SEJARAH MAJLIS ULAMA INDONESIA
Majlis Ulama Indonesia (MUI) dideklarasikan pendiriannya oleh sebanyak 53 orang
ulama dari seluruh Indonesia pada tanggal 27 Juli 1975. Para ulama itu baru saja
selesai menghadiri sebuah Muktamar Ulama di Jakarta yang disponsori oleh
pemerintah Suharto dengan bekerjasama dengan tiga orang tokoh ulama Indonesia
terkemuka yaitu H. Sudirman, Buya Hamka, dan KH Abdullah Syafi’i. Para ulama
yang duduk dalam kepemimpinan MUI Pusat itu mewakili kelompok ulama
konservatif yang biasa tergabung dalam Nahdatul Ulama (NU) dan ulama modernis
yang biasa tergabung dalam Muhammadiyah, disamping perwakilan ulama
independen (non-Ormas) dan Ormas lainnya seperti Persis dan Al-Washliyah.
3
Lihat K.H. Makruf Amin, et al, HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975, diterbitkan oleh Sekretariat
Majlis Ulama Indonesia, Jakarta, 2011.
2
Pada awalnya ide pendirian MUI itu ditentang oleh masyarakat Islam, karena
dikhawatirkan akan digunakan oleh pemerintah Suharto untuk “mengebiri”
(“castratory”) umat Islam. Tetapi kemudian masyarakat Islam menerima saran
pendirian MUI itu dan Buya Hamka bersedia menjadi ketua Umum pertama MUI
dengan pertimbangan untuk mempersatukan umat Islam dan untuk bekerjasama
dengan pemerintah untuk melawan ideologi-ideologi yang bertentangan dengan
Islam dan menjaga ideologi bangsa Indonesia Pancasila (Five Principles). Dalam
bentuknya sekarang, terdapat MUI Pusat pada tingkat nasional di Jakarta, kemudian
terdapat
cabang-cabangnya
di
setiap
propinsi
(provinces),
kabupaten/kota
(districts/manucipalities), dan kecamatan (sub-districts) di seluruh Indonesia.
MUI Pusat memiliki sebuah unit organisasi bernama Komisi Fatwa (Fatwa
Committee) yang tugasnya ialah membahas masalah-masalah hukum Islam aktual
dalam masyarakat atau merespon pertanyaan-pertanyaan hukum Islam dari
masyarakat. Setelah masalah itu dikaji dan ditemukan hukumnya menurut hukum
Islam, lalu hasil istinbat hukum Komisi Fatwa itu diumumkan oleh MUI sebagai fatwa
MUI. Terkadang sebagian fatwa MUI juga bukanlah hasil keputusan Komisi Fatwa
MUI melainkan keputusan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) tahunan MUI
yang pesertanya lebih luas yang terdiri atas seluruh perwakilan MUI di Indonesia.
Kemudian sejak tahun 1999 MUI juga membentuk sebuah unit bernama Dewan
Syariah Nasional (DSN) MUI yang tugasnya khusus mempelajari dan menjawab
pertanyaan masalah-masalah hukum Islam yang berhubungan dengan ekonomi
Islam atau di Indonesia disebut ekonomi Syariah). Hasil istinbat hukum DSN ini
kemudian diumumkan juga sebagai fatwa MUI. Sejak berdirinya pada tahun 1975 itu
hingga tahun 2011 (melalui Komisi Fatwa dan Mukernas) MUI telah mengeluarkan
sebanyak 180 fatwa, kemudian melalui DSN sebanyak 80 fatwa. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, kurang lebih delapan dari fatwa-fatwa itu dapat dikategorikan ke
dalam fatwa mengenai masalah-masalah bioetika. 4
4
Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah MUI, lihat Mohamad Atho Mudzhar, FATWA-FATWA
MAJLIS ULAMA INDONESIA; SEBUAH STUDI TENTANG PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA, 1975-1988, Penterbit Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS),
Jakarta, 1993. Untuk daftar fatwa DSN-MUI, lihat H. M. Ichwan Sam, et al, HIMPUNAN FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL INDONESIA, edisi revisi, diterbitkan atas kerjasama Dewan Syariah
Nasional Majlis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia, Jakarta, 2006.
3
FATWA PENGAMBILAN DAN PENGGUNAAN KATUP JANTUNG
Fatwa mengenai pengambilan dan penggunaan katup jantung (heart-valve
transplantation) dikeluarkan oleh MUI pada tanggal 29 Juni 1987. Fatwa itu
mengatakan bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik,
pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal dunia untuk kepentingan
orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin
dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli
warisnya. Fatwa ini berisi dua hal, pertama pengambilan katup jantung orang yang
telah mati (berarti berhubungan dengan hukum pembedahan mayat atau outopsi),
dan kedua penanaman katup jantung itu kepada orang lain yang masih hidup
(transplantation). Fatwa ini secara konsisten menggunakan kata-kata “katup jantung”
(heart valve) dan tidak menggunakan kata “jantung” (heart) saja.
Fatwa itu dikeluarkan MUI sebagai respon terhadap surat yang berisi pertanyaan
dari seorang kepala Bagian Bedah Jantung dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita
di Jakarta Nomor 03/BJ/85 tertanggal 11 Desember 1985. Fatwa itu dikeluarkan
setelah Komisi Fatwa MUI mendengarkan uraian Dr. Tarmizi Hakim, Kepala Bagian
Bedah Jantung Rumah Sakit “Harapan Kita” Jakarta mengenai teknis pengambilan
dan penggunaan katup jantung pada tanggal 16 Mei 1987; dan juga setelah
mendengarkan pembahasan para anggota Komisi Fatwa dalam beberapa kali
sidangnya, terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.
Ada tiga macam dalil yang menjadi landasan MUI untuk mengeluarkan fatwa itu
yaitu dalil Al-Quran, Al-Sunnah, dan pendapat-pendapat ulama dalam kitab-kitab
yang dianggap mu’tabarah. Adapun dalil dari ayat Al-Quran yang dijadikan landasan
fatwa itu ialah ayat-ayat Al-Quran yang secara umum menyuruh berbuat baik
terhadap sesama manusia dan saling tolong menolong dalam hal kebaikan, antara
lain yaitu Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya: “... Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa. Dan janganlah tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran ...”(QS Al-Maidah ayat 2). Juga Al-Quran
Surat Al-Baqarah ayat 195 yang artinya: “...Dan berbuat
baiklah karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(QS Al-Baqarah ayat
195).
4
Adapun dalil dari hadis Nabi ialah berupa tuntunan Nabi Muhammad SAW yang
menganjurkan umatnya untuk mencari kesembuhan atau berobat apabila sedang
ditimpa sakit. Dalam sebuah hadis Riwayat Hakim Nabi Muhammad SAW bersabda
yang artinya: “Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan (pula) obat
untuknya.”(HR Al-Hakim). Hadis lainnya yang dikutip ialah sabda Nabi Muhammad
SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya mengatakan: “Setiap
penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat maka penyakit tersebut akan sembuh
dengan izin Allah SWT.”(HR Muslim).
Setelah itu fatwa tersebut mendasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis
Nabi Muhammad SAW yang menegaskan kemuliaan
kedudukan manusia yang
wajib dihormati dan diperlakukan secara baik dan terhormat, baik sewaktu manusia
itu masih hidup mapun setelah mati. Ayat Al-Quran yang dikutip itu ialah Surat AlIsra ayat 70 yang artinya: “Sesungguhnya kami (Allah) telah memuliakan keturunan
Adam (umat manusia). Kami telah angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami memberi kelebihan kepada mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS
Al-Isra ayat 70). Fatwa itu kemudian merujuk kepada hadis Nabi Muhammad SAW
yang
diriwayatkan
“Memecahkan/merusak
oleh
Abu
tulang
Dawud
orang
yang
yang
telah
mengatakan
mati
sama
(artinya):
dengan
memecahkan/merusaknya sewaktu manusia itu masih hidup.” (HR Abu Dawud).
Selepas itu fatwa tersebut merujuk kepada sebuah kaidah hukum (kaidah fiqhiyah)
yang mangatakan (artinya): “Kehormatan orang yang masih hidup diutamakan
daripada kehormatan orang yang telah meninggal dunia.” Selepas itu lagi fatwa
tersebut merujuk kepada pendapat para ulama mengenai hukum bolehnya
melakukan pembedahan terhadap perut jenazah/orang yang telah meninggal dunia
dengan tujuan untuk menyelamatkan harta atau jiwa orang lain, seperti disebutkan
dalam kitab SHARH AL-MUHADHDHAB (Juz V halaman 300) yang berbunyi:
“Apabila ada mayit sewaktu masih hidup menelan permata milik orang lain dan
pemilik permata memintanya (kepada ahli waris mayit) maka perut mayit tersebut
harus dibedah untuk mengambil permatanya.” Kemudian fatwa itu juga mungutip
pendapat ulama yang sama dalam buku yang sama (Juz V halaman 301) yang
mengatakan (artinya): “Apabila ada seorang wanita meninggal dunia dan di dalam
perutnya terdapat janin/bayi yang hidup, maka perut wanita tersebut harus dibedah.
5
Karena hal itu berarti upaya menyelamatkan orang yang masih hidup dengan
merusak bagian/organ orang yang telah meninggal dunia. Dengan demikian
kebolehannya itu sama dengan (kebolehan) memakan daging mayit dalam keadaan
darurat.”5
Setelah menguraikan semua dalil tersebut di atas maka sampailah fatwa itu kepada
kesimpulannya atau hasil ketetapan hukumnya sebagaimana telah disebutkan
dimuka yaitu bahwa pengambilan katup jantung dari orang yang sudah mati untuk
digunakan kepada orang yang masih hidup itu boleh hukumnya, jika tidak ada cara
lain yang lebih baik daripada cara itu dan jika telah diwasiatkan oleh si mayit semasa
hidupnya serta disaksikan oleh ahli waris terdekatnya. Dari segi tariqah al-istinbat,
fatwa itu telah menggunakan ayat-ayat Al-Quran, hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW, kemudian kaedah hukum, dan terakhir pendapat ulama terdahulu. Meskipun
fatwa itu tidak menerangkannya secara khusus, wajh al-dilalah ayat-ayat Al-Quran
dan hadis-hadis Nabi yang dikutip itu kiranya cukuplah jelas. Adapun mengenai Ijma’
dan Qiyas, tidaklah disebutkan secara explicit dalam fatwa itu. Fatwa itu hanya
menyebutkan sebuah kaedah hukum (legal theory) yang biasanya digunakan oleh
kebanyakan ulama. Di sini mungkin dapat pula dikatakan bahwa Ijma yang dirujuk
oleh fatwa itu bukanlah Ijma’ tentang hukum sesuatu (hukum fiqh), tetapi Ijma’
mengenai prinsip atau teori hukum yang digunakan. Demikian pula prosedur Qiyas
tidak diuraikan dan tidak dilakukan dalam fatwa ini, karena persyaratan qiyas adalah
menganalogikan sesuatu masalah yang belum ada hukumnya kepada masalah lain
yang telah disebutkan hukumnya dalam nass. Adapun apa yang dilakukan oleh
fatwa ini ialah menganalogikan sesuatu hukum yang belum jelas kepada masalah
lain yang telah diijtihadkan hukumnya oleh ulama terdahulu. Ini tidaklah disebut
Qiyas, tetapi dalam wacana hukum MUI disebut Ilhaq, suatu konsep yang diambil
dari tradisi NU di Indonesia. Dalam tradisi NU yang kemudian juga diadopsi oleh
MUI, ada tiga cara berijtihad yaitu Qauli (dengan mengutip pendapat ulama
terdahulu
yang
disebutkan
dalam
sebuah
buku/kitab),
Ilhaqi
(dengan
menganalogikan hukum masalah baru yang belum ada hukumnya dengan hukum
hasil ijtihad ulama terdahulu, bukan nass, mengenai soal lain yang mirip
karaktristiknya), dan Manhaji (bersifat metodologis dengan mengikuti urut-urutan
langkah dimulai dengan mencari jawaban masalah itu dalam Al-Quran, dalam hadis
5
Lihat K. H. Makruf Amin, et al, HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975, pp. 619-622.
6
Nabi, kemudian dalam Ijma’, dan Qiyas). Kebanyakan fatwa ulama NU dan MUI
bersifat Qauli dan Ilhaqi.
FATWA PENGGUGURAN KANDUNGAN ATAU ABORSI
Fatwa MUI mengenai aborsi sudah tiga kali dikeluarkan. Fatwa yang satu
menyempurnakan atau menjelaskan fatwa yang lainnya. Fatwa aborsi yang pertama
dikeluarkan pada tanggal 28 Oktober 1983. Ketika itu MUI menyelenggarakan
Musyawarah Nasional (Munas) Ulama khusus membahas masalah-masalah
kependudukan (demographic issues), kesehatan (health), dan pembangunan
(development). Salah satu bahagian dari keputusan Musyawarah itu mengenai
kesehatan ialah mengenai keluarga berencana (family planning) yang antara lain
mengatakan bahwa penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim atau Internal Utarine
Devices (IUD) dapat dibenarkan jika pemasangan dan pengontrolannya dilakukan
oleh tenaga medis atau paramedis wanita atau bila terpaksa dapat dilakukan oleh
tenaga medis pria dengan didampingi oleh suami atau wanita lain, sedangkan family
planning dengan vasektomi dan tubektomi adalah haram hukumnya. Haram pula
hukumnya melakukan pengguguran kandungan atau aborsi dengan cara apaun,
termasuk MR (menstrual regulation), baik dikala bayi sudah bernyawa ataupun
belum bernyawa, karena perbuatan itu merupakan pembunuhan manusia secara
terselubung kecuali dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawa si ibu. Banyak ayat
Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad telah dikutip sebagai landasan bagi fatwa itu,
tetapi isinya bersifat umum saja karena tema Munas itu memang amat luas yaitu
tentang kependudukan, kesehatan, dan pembangunan.6
Fatwa aborsi yang kedua dikeluarkan pada tanggal 29 Juli 2000, diputuskan dalam
Musyawarah Nasional (Munas) MUI keenam tahun 2000. Fatwa itu dikeluarkan
dengan alasan karena di tengah-tengah masyarakat muncul pro dan kontra
mengenai hukum melakukan aborsi sebelum peniupan ruh (nafkh al-ruh). Fatwa itu
mengatakan mengukuhkan keputusan Munas Ulama Indonesia tanggal 28 Oktober
tahun 1983 dan menegaskan lagi bahwa melakukan aborsi sesudah nafkh al-ruh
hukumnya ialah haram, kecuali apabila ada alasan medis seperti untuk
6
K.H. Makruf Amin, et al, HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975, pp. 318-330.
7
menyelamatkan nyawa si ibu. Fatwa itu selanjutnya mengatakan bahwa melakukan
aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkh al-ruh, adalah
juga haram, terkecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh
Syariat Islam. Fatwa itu juga mengharamkan semua pihak yang terlibat untuk
melakukan, membantu, atau mengizinkan aborsi.7
Fatwa aborsi kedua ini mengutip beberapa ayat Al-Quran yang menerangkan
mengenai proses dan tahapan-tahapan penciptaan manusia yaitu Surat AlMukminun ayat 12-14, Surat Al-Hajj ayat 5, dan Surat Al-Isra ayat 33). Fatwa itu
juga mengutip hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim yang menerangkan tentang waktu peniupan ruh (nafkh alruh) bagi si janin. Kemudian fatwa itu mengutip pendapat ulama yang bermacammacam mengenai hukum aborsi sebelum nafkh al-ruh, ada yang membolehkannya
secara mutlak, ada yang membolehkannya karena ada alasan medis (uzur) , ada
yang mengatakan makruh, dan ada pula yang mengatakan haram secara mutlak.
Fatwa itu pun mengutip pendapat Imam Al-Ghazali bahwa jika sperma (nuthfah)
telah bercampur (ikhtilat) dengan ovum dan siap menerima kehidupan (ist’idad li
qabul al-hayah), maka merusaknya adalah haram hukumnya dan merupakan
tindakan pidana. Akhirnya fatwa itu mengutip dua kaidah fiqhiyah, kesatu yang
mengatakan: “Menghindarkan kerusakan diutamakan daripada mendatangkan
kemaslahatan,” dan kedua yang mengatakan: “Keadaan darurat membolehkan halhal yang dilarang.”
Adapun fatwa aborsi yang ketiga dikeluarkan pada tanggal 21 Mei 2005, dengan
alasan karena di dalam masyarakat ketika itu semakin banyak orang melakukan
aborsi tanpa mengikuti tuntutan agama dan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki
kompetensi sehingga dapat membahayakan ibu yang mengandungnya dan
masyarakat secara umum. Fatwa itu mengatakan bahwa aborsi haram hukumnya
semenjak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Aborsi
hanya dibolehkan karena uzur, baik uzur yang bersifat darurat ataupun uzur hajat.
Uzur yang bersifat darurat yaitu apabila perempuan yang hamil menderita sakit fisik
berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna, dan penyakit-penyakit fisik
berat lainnya yang ditetapkan oleh Tim dokter, atau kehamilan itu mengancam
7
K. H. Makruf Amin, et al, HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975, PP. 395-399.
8
nyawa si ibu. Adapun uzur hajat yaitu apabila janin yang dikandung dideteksi
menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan, atau kehamilan
akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang yang di dalamnya
antara lain terdapat keluarga korban, dokter, dan ulama. Fatwa itu menegaskan
kebolehan semua aborsi yang dikecualikan itu hanya untuk dilakukan sebelum janin
berusia 40 hari. Fatwa itu juga menegaskan bahwa aborsi haram hukumnya bagi
kehamilan yang terjadi akibat perbuatan zina.8
Fatwa aborsi ketiga ini mengutip beberapa ayat Al-Quran tentang larangan
membunuh anak karena takut kemiskinan (QS Al-An’am ayat 151 dan Isra’ayat 13)
dan ayat-ayat Al-Quran mengenai tahapan penciptaan manusia (QS Al-Hajj ayat 5
dan Al-Mukminun ayat 12-14). Fatwa itu juga mengutipkan hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW tentang proses penciptaan manusia dalam perut ibunya dan saat
ditiupkan ruh kepada janin. Dikutipkan juga hadis mengenai diat janin atas
pembunuhan wanita yang sedang hamil. Setelah itu dikutipkan empat buah kaidah
fiqhiyah yang masing-masingnya mengatakan: “Tidak boleh membahayakan diri
sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”; ”Menghindarkan kerusakan
diutamakan
daripada
mendatangkan
kemaslahatan;”
“Keadaan
darurat
membolehkan hal-hal yang dilarang;” dan “Hajat terkadang menduduki keadaan
darurat.” Pada bagian akhir uraian mengenai landasan fatwa kemudian dikutipkan
bahwa ulama sepakat haram hukumnya bila aborsi dilakukan setelah nafkh al-ruh,
tetapi ulama berbeda pendapat apabila aborsi dilakukan sebelum nafkh al-ruh.
Dikutipkan pula pendapat Syaikh Atiyyah Shaqr, Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar, yang
mengatakan bahwa kehamilan karena zina tidak boleh digugurkan kandungannya,
tetapi kehamilan karena diperkosa boleh digugurkan kandungannya.
Sungguh sangat menarik untuk memperhatikan fatwa MUI mengenai aborsi itu.
Pertama, fatwa itu dikeluarkan berulang-ulang karena katanya semakin banyak
orang melakukan aborsi tanpa mengikuti aturan agama Islam. Kedua, dari segi dalil
yang dikemukakan selalu mengulang dalil-dalil dalam fatwa lama seraya
menambahkan dalil-dalil baru baik berupa ayat Al-Quran, hadis Nabi, pendapat
ulama, maupun kaedah-kaedah hukum yang digunakan. Fatwa kedua lebih lengkap
dan lebih kuat dalilnya daripada fatwa pertama dan fatwa ketiga lebih lengkap dan
8
K. H. Makruf Amin, et al, HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975, PP. 455-463.
9
lebih kuat dalilnya daripada fatwa kedua. Ketiga, dari segi aborsi yang boleh
dilakukan selalu terjadi perluasan dan penambahan. Aborsi sesudah nafkh al-ruh
semua
ulama
sepakat
mengharamkannya,
kecuali
apabila
kehamilan
itu
membahayakan nyawa si ibu. Hal itu dikatakan oleh fatwa pertama, kedua dan
ketiga. Adapun aborsi yang dikecualikan sebelum nafkh al-ruh, diperluas oleh fatwa
kedua dengan menambahkan adanya alasan medis lain atau alasan Syariat, selain
untuk menyelamatkan nyawa si ibu, meskipun tidak dijelaskan contohnya. Dalam
fatwa ketiga, aborsi yang dikecualikan sebelum nafkh al-ruh itu lebih diperketat
definisinya, tetapi diperluas lagi cakupannya dengan memasukkan konsep uzur
darurat dan uzur hajat. Dikatakan bahwa aborsi itu haram sebelum nafkh al-ruh,
maksudnya ialah haram semenjak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim
ibu (nidasi). Adapun pengecualiannya atas dasar uzur darurat ialah apabila
kehamilan itu mengancam nyawa si ibu atau si ibu menderita sakit fisik berat dalam
stadium lanjut. Kemudian pengecualiannya atas dasar uzur hajat ialah apabila tim
dokter mendeteksi adanya cacat genetika pada si janin atau kehamilan itu terjadi
akibat perkosaan yang menimbulkan trauma berat bagi si ibu. Dengan kata lain,
fatwa ketiga itu semakin merinci dan menambahi bentuk-bentuk aborsi pengecualian
itu. Pertanyaannya ialah apakah pengeluaran fatwa yang berulang-ulang itu berarti
telah semakin melonggarkan larangan aborsi ataukah sekedar menambahkan
kejelasan (rincian dan precision) dari maksud fatwa-fatwa sebelumnya? Mungkin
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.9
ADOPSI
FATWA-FATWA
MUI
DALAM
PERATURAN-PERUNDANGAN
INDONESIA
Terdapat beberapa studi yang menyimpulkan bahwa fatwa-fatwa MUI mempunyai
pengaruh kuat dalam proses legislasi di Indonesia. Pertama-tama, Mudzhar dalam
penelitiannya mengenai fatwa MUI periode 1975-1989 menemukan bahwa fatwafatwa MUI mengenai soal-soal kedokteran perumusannya dinilai netral, dilakukan
secara independen, tidak dipengaruhi oleh politik pemerintah, melainkan semata9
Sebelum fatwa ketiga ini dikeluarkan oleh MUI, sebuah studi yang komprehensif mengenai aborsi
ditinjau dari hukum Islam telah dilakukan oleh sebuah tim yang dipimpin oleh Jurnalis Uddin, seorang
gurubesar pada Universitas Yarsi, Jakarta. Lihat Jurnalis Uddin, et al, REINTERPRETASI HUKUM
ISLAM TENTANG ABORSI, penerbit Universitas Yarsi, 2006.
10
mata karena keinginan untuk meresponi perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemajuan zaman.10 Selanjutnya, Barlinti dalam penelitiannya mengenai fatwa-fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menemukan bahwa fatwa MUI dalam bidang
ekonomi Syariah mempunyai kedudukan khusus dan telah diadopsi ke dalam UU
Perbankan Syariah Nomor 9 Tahun 2008 dan ke dalam sejumlah regulasi
pemerintah mengenai perbankan, asuransi, pasar modal, dan pembiayaan.11
Sebelumnya, Adam juga telah menyimpulkan hal yang sama bahwa fatwa-fatwa MUI
telah diserap ke dalam berbagai peraturan perundangan Indonesia, seperti ke dalam
UU Sisitim Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989, UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003, dan peraturan perundangan lainnya.12 Pertanyaannya sekarang ialah,
apakah fatwa-fatwa MUI tentang bioetika juga telah diserap oleh peraturan
perundangan Indonesia?
Sebagai landasan pengaturan, dalam UUD 1945 (hasil amandemen) Pasal 31 ayat
(5) dinyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan
peradaban serta kesejahteraan manusia. Kemudian dalam UU Nomor 18 Tahun
2002 tentang Sistim Nasional Penelitian dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) Pasal 22 dinyatakan bahwa pemerintah menjamin kepentingan
masyarakat, bangsa, dan Negara serta keseimbangan tata kehidupan manusia
dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain daripada itu, UU Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan Pasal 13 juga telah mengantisipasi produk pangan yang
dihasilkan melalui rekayasa genetika. Pada tataran pelaksanaan, telah dikeluarkan
sebuah Surat Keputusan Bersama antara tiga menteri yaitu Menteri Riset dan
Teknologi, Menteri Kesehatan, dan Menteri Pertanian untuk membentuk dan
mendirikan Komisi Bioetika Nasional.
10
Mohamad Atho Mudzhar, FATWA-FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA ..., PP. 142-143.
Yeni Salma Barlinti, KEDUDUKAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL DALAM SISTEM
HUKUM NASIONAL INDONESIA, penerbit Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Jakarta,
2010, p. 556. Lihat juga H.M. Atho Mudzhar, “K.H. Ma’ruf Amin: Seorang Ulama Yang Cemerlang
Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Syariah Dan Motor Penggerak Ekonomi Syariah Indonesia,” Pidato
Promotor I, disampaikan pada Upacara Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan Dalam Bidang
Hukum Ekonomi Syariah kepada K.H. Ma’ruf Amin Dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Mei 2012 di Jakarta.
12
Wahiduddin Adam, “Fatwa-fatwa Hukum Majlis Ulama Indonesia (MUI): Pola Terserapnya Dalam
Peraturan Perundangan 1975-1997,” disertasi doctor pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2002.
11
11
Sejauh ini terdapat dua UU kesehatan
yang mengatur masalah-masalah terkait
bioetika, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan UU Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Terkait transplantasi, dalam UU No. 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan disebutkan pada Pasal 33 bahwa dalam penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ atau jaringan
tubuh, tranfusi darah, implant obat, dan atau alat kesehatan bedah plastic dan
rekonstruksi. Pada pasal itu juga ditegaskan bahwa transplantasi organ dan jaringan
tubuh serta transfusi darah dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang
untuk tujuan komersial. Kemudian pada Pasal 34 UU itu diatur bahwa transplantasi
organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki keahlian dan kewenangan, serta dilakukan di sarana kesehatan tertentu
dan dengan persetujuan donor atau ahli warisnya.
Mengenai aborsi, UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan pada Pasal 15
mengatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan
jiwa ibu atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Tindakan medis
tertentu itu dapat dilakukan berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan
diambilnya tindakan tersebut, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli, dilakukan pada sarana kesehatan tertentu, dan dengan
perstujuan ibu hamil yang bersangkutan.
Dalam UU Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 terdapat beberapa
pasal yang mengatur masalah-masalah bioetika yang telah dikeluarkan fatwanya
oleh MUI. Pasal 64 ayat (1), (2), dan (3) dan Pasal 65 ayat (1) dan (2) UU itu
mengatur mengenai transplantasi. Pasal-pasal itu mengatakan bahwa penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh, implant obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastic dan
rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.Transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh itu dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersialkan. Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan
dalih apapun juga. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan dilakukan di tempat pelayanan kesehatan tertentu. Pengambilan organ
dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus (wajib) memperhatikan kesehatan
12
pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli
waris keluarganya. Demikianlah pokok-pokok isi kedua pasal itu. Jelas sekali di situ
diatur bahwa untuk pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh itu harus mendapat
persetujuan
pendonor dan/atau
ahli
waris
keluarganya
sebagaimana
juga
dinyatakan oleh fatwa MUI mengenai hukum transplantasi tersebut di atas.
Perbedaan antara fatwa MUI dan UU itu ialah bahwa MUI hanya mengasumsikan si
pendonor itu telah wafat, sedangkan UU itu nampaknya memungkinkan si pendonor
itu masih hidup seperti tersirat dari kata-kata “harus memperhatikan kesehatan
pendonor.”
Adapun mengenai aborsi pertama-tama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 346 hingga Pasal 350. Pada Pasal 346 dikatakan bahwa
seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun. Pada pasal-pasal berikutnya diatur bahwa orang yang membantu seorang
wanita melakukan pengguguran atau mematikan kandungannya dengan izin si
wanita itu juga adalah tindakan pidana dan diancam dengan hukuman penjara paling
lama lima tahun enam bulan, dan apabila tanpa izin si wanita itu maka ancaman
hukumannya lebih berat yaitu paling lama duabelas tahun penjara. Pasal-pasal itu
berlaku umum dan tidak menyebutkan sesuatu pengecualian, baik untuk
menyelamatakan nyawa si ibu ataupun pertimbangan medis umpamanya.
Kemudian dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan aborsi diatur lagi
yang isinya bahwa selain tetap melarang aborsi, tetapi juga memperkenalkan
konsep pengecualian, sebagaimana termuat pada Pasal 75 dan 76. Pada Pasal 75
UU itu dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan itu dapat
dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita
penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat
perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Tindakan aborsi yang dikecualikan itu hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra-tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konseler yang kompeten dan berwenang. Ketentuan
lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan itu akan diatur lebih
13
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian pada Pasal 76 diberikan catatan
bahwa aborsi-aborsi yang dikecualikan itu hanya dapat dilakukan sebelum
kehamilan berumur enam minggu dihitung mulai dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis. Juga dipersyaratkan bahwa aborsi yang
dikecualikan itu dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang sah, dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan, dengan izin suaminya kecuali dalam hal korban perkosaan, dan di
tempat penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan.
Kalau kita perhatikan persamaan dan perbedaan antara fatwa MUI terakhir tentang
aborsi tahun 2005 dan bunyi Pasal 75 dan 76 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan tersebut ternyata hampir seluruh persyaratan bagi aborsi yang
dikecualikan itu sama dengan apa yang telah difatwakan oleh MUI, sehingga dapat
dikatakan bahwa bunyi Pasal 75 dan 76 itu memang dipengaruhi oleh fatwa MUI
yang terbit lebih dahulu dari UU tersebut. Perbedaannya terdapat pada pengaturan
dua hal, yaitu bahwa MUI meminta kebolehan aborsi yang dikecualikan itu dilakukan
sebelum kehamilan berusia 40 (empat puluh) hari (sesuai hadis Nabi), sedangkan
UU itu mengaturnya dengan istilah “sebelum usia kehamilan enam minggu” yang
berarti 42 (empat puluh dua) hari karena penggunaan bilangan minggu memang
adalah kelaziman dalam penghitungan usia kehamilan dalam dunia kedokteran.
Perbedaan lainnya ialah dalam pengaturan tim konseling, fatwa MUI secara jelas
meminta agar dalam hal korban perkosaan tim konseling itu terdiri atas keluarga
korban, dokter, dan ulama, sedangkan Pasal 76 UU itu hanya menyebutkan kata
“tim konseling” tanpa menyebutkan unsur-unsurnya meskipun masih dijanjikan akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang harus kita kaji lebih lanjut.
Perlu dicatat bahwa tidak semua masalah bioetika diatur dalam peraturan
perundangan, melalui parlemen atau peraturan oleh pemerintah. Sebagian masalah
itu juga diserahkan pengaturannya kepada organisasi-organisasi profesi dan
dituangkan dalam bentuk kode etik (Code of Conduct) dan standard profesi,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Dikatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan Kode
Etik dan Standard Profesi yang perumusannya dibuat oleh organisasi profesi, seperti
Kode Etik Dokter yang disusun dan disahklan oleh organisasi perhimpunan dokter
Indonesia bernama Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Demikian pula Kode Etik bagi
14
tenaga kesehatan lainnya, seperti bidan dan perawat. Kode Etik dan Standard
Profesi adalah seperti halnya hukum adat (customary law) yang memiliki sifat
mengatur, menuntut ketaatan, dan memberikan sanksi, hanya saja sanksinya
berbeda dengan sanksi hukum positif. Ketaatan kepada Kode Etik dan Standard
Profesi bersumber dari dalam hati, karena nilai dan norma yang dianut. Apabila
terjadi pelanggaran, maka penyelesaian pelanggaran Kode Etik dan Standard
Profesi biasanya dilakukan dengan mediasi yang tidak menuntut pembuktian,
sedangkan
pemberian
sanksinya
bersifat
social
seperti
dikeluarkan
dari
keanggotaan asosiasi dan sebagainya. Adapun peraturan perundangan, sifatnya
mengatur dan memaksa, serta sanksinya dapat berupa kurungan badan atau denda.
Meskipun demikian, sebuah pelanggaran yang pada awalnya dipersepsikan sebagai
pelanggaran Kode Etik dan Standard Profesi, dapat juga berujung menjadi
pelanggaran peraturan perundangan atau tindakan pidana apabila terdapat buktibukti yang mendukungnya.
CATATAN PENUTUP
Demikianlah beberapa catatan tentang dua fatwa MUI yang terkait masalah bioetika,
yaitu mengenai transplantasi dan aborsi. Dari uraian di atas nampaklah bahwa MUI
telah memberikan respon terhadap sejumlah masalah bioetika sebagai upayanya
untuk menjawab tantangan kemajuan zaman dan memberikan bimbingan kepada
umat Islam.
Sebagian fatwa bioetika MUI itu ternyata telah direspon oleh
masyarakat dan pemerintah dan diadopsi dengan berbagai modifikasi dalam
legislasi di Indonesia. Tentulah MUI masih perlu terus mengeluarkan fatwa-fatwa
berikutnya di bidang bioetika pada masa yang akan datang. Kedepan analisis seperti
inipun perlu diteruskan, karena uraian ini barulah membahas dua fatwa dari delapan
fatwa MUI yang sudah terbit mengenai hal ini. Insya Allah. ***
15
Download