GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT MANTAN PENYANDANG KUSTA YANG TELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS DI WISMA REHABILITASI SOSIAL KATOLIK WIRESKAT BLORA OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 2 3 4 GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT MANTAN PENYANDANG KUSTA YANG TELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS DI WISMA REHABILITASI SOSIAL KATOLIK WIRESKAT BLORA Ayu Okky Lianawati Rudangta Anti Sembiring K.D Ambarwati Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 ABSTRAK Social Adjustment menekankan pada pentingnya kemampuan individu dalam berelasi dengan lingkungan sosial. Adapun mantan penderita kusta yang mengalami penolakan akan memiliki beberapa penyebab timbulnya permasalahan dalam social adjustment nya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses social adjustment pada mantan penderita kusta yang tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik Wireskat Blora. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan partisipan dalam penelitian ini berjumlah dua orang. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan kedua partisipan mantan penyandang kusta sudah mampu menjalin relasi dengan cara ikut berpartisipasi dan menolong orang lain. Walaupun ada perbedaan cara dari kedua partisipan dalam berpartisipasi dan menolong orang lain. Selain itu mereka dapat menerima hasil keputusan dengan kerendahan hati jika mereka ditolak. Kedua partisipan juga dapat menghormati kebudayaan yang berlaku di Wireskat. Temuan lain yang di dapati dari proses penelitian adalah adanya penolakan sosial (social rejection) yang berpengaruh kepada proses penerimaan dirinya (self-acceptance), perlunya dukungan dari orang lain (social support) sehingga mereka dapat menerima sendiri (self-acceptance) dan sikap untuk bertahan dalam situasi sulit (resilience). Kata Kunci: Social Adjustment, Mantan Penderita Kusta yang tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik Wireskat Blora i ii ABSTRACT Social adjustment emphasis on the importance of the ability of individuals in relationship with a social environment. The former leprosy who had the disease will ever suffered because has several causes the social problem in it‟s social adjustment. This research aims to understand how the process of social adjustment to a former leprosy patients who lived in Social Rehabilitation Catholic Guestthouse Wireskat Blora. Research methods used is qualitative methods and participant in this study consisted of two people. Method of the collection of the data used in this research was interviews and observation. The result of research shows the two participating former people with leprosy are able to establish relationship with the use of the way to participate and help others. Although there is a difference means both the participants to participate and help others. Beside that they were received the results of the decisions with humility if they had a rejection and honor the prevailing culture in Wireskat. Other findings in that sudy of the process of social adjustment is the social rejection of influential to process of receiving her self (self-acceptance), the neef of support from others (social support) to get her self and the attitude to survive in a difficult situations (resilience). Keywords : Social Adjustment, former people with leprosy who found to be healed medically at Social Rehabilitation Catholic Guesthouse Wireskat Blora ii 1 PENDAHULUAN Penyakit kusta atau lepra adalah penyakit kulit menular yang diakibatkan oleh bakteri kusta (Mycobacterium leprae). Bakteri kusta (Mycobacterium leprae) ini sebagian besar menyerang pada bagian kulit, saraf perifer, selaput lendir dari saluran pernapasan bagian atas dan rongga mulut (Ana, 2011). Di seluruh dunia dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita penyakit kusta atau lepra. Pada tahun 1999 insiden penyakit lepra diperkirakan 640.000 kasus dengan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Sedangkan tahun 2000 ditemukan 738.284 kasus (Penyakit Hansen, 2013). Indonesia masih menjadi penyumbang kasus baru kusta nomor 3 di dunia setelah India dan Brasil. Pada tahun 2010, Indonesia melaporkan 17.012 kasus baru dan 1.822 atau 10,71% di antaranya ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat 2 (cacat yang tampak), selanjutnya 1904 kasus (11,2%) adalah anak-anak. Keadaan ini menunjukkan bahwa penularan penyakit kusta masih ada di masyarakat dan keterlambatan penemuan kasus masih terjadi (Depkes, 2012). Kusta tidak hanya merupakan masalah kesehatan akan tetapi juga merupakan masalah sosial. Orang yang terkena infeksi kusta di Indonesia biasa disebut dengan “orang kusta” bahkan sebutan ini akan terus melekat walaupun individu telah dinyatakan sembuh secara medis. Selain itu di dunia Internasional, individu yang terkena kusta akan disebut dengan “leper”. Berdasarkan tulisan yang dikutip (dalam Mirza, 2011) menyatakan bahwa WHO Goodwill Ambassador for the Elimination of Leprorsy and Japanese Government Goodwill Ambassador for The Human Rights of People Affected by Leporsy meminta untuk menghentikan penggunaan kata “leper” untuk menyebut orang-orang yang terinfeksi bakteri kusta maupun yang telah 2 dinyatakan sembuh secara medis dan menggantinya dengan kata “people affected by leprosy”. Susanto (dalam Sari, 2006) menceritakan bahwa banyak masyarakat umum tidak punya pengetahuan cukup tentang lepra sehingga mengakibatkan munculnya stigma dan tindakan diskriminatif terhadap penderita lepra di dalam masyarakat. Survei masyarakat di Singapura pada tahun 2002 menemukan bahwa sekitar 41,3% dari orang dewasa masih percaya bahwa orang–orang selalu memiliki cacat dan bahwa lepra mudah menular dan sekitar 32,3% percaya bahwa lepra tidak dapat disembuhkan (Wong dalam Sari, 2006). Kalaupun sudah berhasil disembuhkan, tidak mudah bagi petugas kesehatan atau rumah sakit memulangkan kembali pasien lepra ke tempat asalnya karena takut ditolak penduduk setempat (Kristanti & Adiati, 2009). Lawn dan Lockwond (dalam Mirza, 2011) mengatakan bahwa orang yang terinfeksi kusta, sama seperti penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit yang sangat tinggi dengan stigma dan menyebabkan distress pada penyandangnya. Hal ini dibenarkan oleh Raffety (2005) dengan mengemukakan pendapat bahwa banyak penderita lepra yang terkena dampak mental bukan karena penyakit lepra yang mereka alami akan tetapi penolakan dari masyarakat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Barrett (2005) mengenai dinamika biokultur diskriminasi sosial dan cacat fisik orang-orang yang terkena kusta di Banaras India Utara mendapatkan hasil bahwa orang-orang di Banaras India Utara tidak dapat mengatasi penyebaran penyakit kusta yang dideritanya oleh karena keterbatasan biaya sehingga banyak orang mengabaikan diri dan membiarkan penyakit kusta itu membuat bagian dari dirinya mengalami kecacatan. Selain itu Barret (2005) menjelaskan bahwa dari hasil kecacatan yang dialami oleh orang-orang ini, maka banyak didapati bahwa 3 mereka merasa malu dan mendapatkan prasangka yang buruk akibat penyakit maupun kecacatan yang dialaminya. Hasil penelitian Mehendale (2011) mengenai kesadaran, penerimaan sosial dan masyarakat akan pandangan mengenai kusta di Tamil Nadu India juga menjelaskan bahwa hampir sepertiga dari pasien tidak pernah mengungkapkan penyakit yang dialaminya kepada pasangan, anggota keluarga, kerabat atau teman-teman karena mereka merasa takut jika mengalami penolakan sosial, diskriminasi dan perlakuan buruk. Selain itu Mehendale (2011) menceritakan bahwa setengah dari kebanyakkan mereka melakukan deformitas menghadapi stigma yang dialaminya dengan cara memungkiri atau mengisolasi diri dari lingkungan sosialnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mirza (2011) di lingkungan pemukiman kusta Sitanala, Tangerang mendapatkan hasil bahwa sebagian besar dari para mantan penyandang kusta mengalami kesulitan untuk mengubah atau memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keadaan dirinya. Selain itu Menaldi (2008) menambahkan bahwa sebenarnya mereka ingin hidup normal lagi seperti masyarakat pada umumnya, tetapi bayangan cacat yang dialami membuat mereka khawatir akan dikucilkan oleh masyarakat di tempat tinggalnya. Berbeda dengan hasil penelitian Sari (2011), yang mendapatkan hasil akan minat sosial mantan penyandang kusta usia dewasa muda cukup berkembang baik dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerja meskipun masih ada kecenderungan menyembunyikan riwayat penyakit kusta, khususnya kepada orang lain yang belum mengetahui bahwa mereka pernah menderita kusta dan dirasa memiliki informasi yang terbatas mengenai kusta. Sebagai makhluk sosial, penyandang kusta dan mantan penyandang kusta tidak dapat hidup sendirian tanpa orang lain. Mereka dituntut untuk mampu mengatasi segala 4 permasalahan yang timbul, sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sosial. Seharusnya dengan para penyandang kusta yang telah melakukan pengobatan dan telah dinyatakan sembuh secara medis, masyarakat tidak perlu takut lagi untuk tertular dan dapat menerima para mantan penyandang kusta sebagai bagian dari masyarakat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, para mantan penyadang kusta yang telah sembuh tetap mengalami penolakan dan diskriminasi dari masyarakat serta mengalami kesulitan untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Mirza, 2011). Penyesuaian diri terhadap lingkungan sangat diperlukan agar mereka dapat terus hidup (survive) dalam lingkungan yang “tidak ramah” atau menolak kehidupan para penyandang kusta. Doby (dalam Mirza, 2011) mengatakan usaha manusia untuk dapat bertahan hidup dalam lingkungan dimana mereka tinggal dapat dikatakan sebagai social adjustment. Schneiders (1964) mendefinisikan bahwa social adjustment merupakan proses yang meliputi respons mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, frustrasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat ia tinggal. Selain itu Schneiders (1964), mengkonstruksikan aspek-aspek social adjustement antara lain menghargai dan menghormati hak orang lain (The need to recognize and respect), berteman dan pengembangan persahabatan dengan orang lain (To get along with other persons and to foster the development of lasting friendship are both necessary), minat dan simpati terhadap kesejahteraan orang lain (Intrest in and sympathy for the welfare of other people), altruism (The virtues of charity and altruism), penghormatan terhadap 5 nilai dan integritas hukum, tradisi dan kebudayaan masyarakat (Respect for the value and integrity of the laws, tradision and customs of society). Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti, para mantan penyandang kusta yang bertempat tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik (Wireskat) Blora merupakan orang-orang yang telah dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi sebagian besar dari mereka tidak dapat kembali ke lingkungan mereka. Di dalam Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik (Wireskat) Blora menampung 38 orang mantan penyandang kusta dengan kriteria 18 orang merupakan pasangan suami istri yang sama-sama memiliki kekurangan fisik setelah terkena kusta dan 20 orang lainnya merupakan orang yang masih lajang dan janda. Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik (Wireskat) Blora ini, memberikan fasilitas berupa rumah-rumah yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal para mantan penyandang kusta. Selain diberikan tempat tinggal, para mantan penyandang kusta juga diberikan pelatihan keterampilan untuk menambah kesibukan mereka atau sebagai bekal keterampilan. Dari hasil wawancara dengan salah satu pengurus Wireskat ini mendapatkan hasil bahwa ada salah satu anggota dari mantan penyandang kusta yang bernama “R” pernah memutuskan untuk keluar dari wisma rehabilitasi ini. “R” ini adalah seorang bapak yang berusia 40 tahunan dan mempunyai keluarga. Sebelum dia terkena kusta, dia dapat berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan rumahnya. Akan tetapi setelah dia dinyatakan positif terkena kusta oleh dokter, maka dia dikucilkan oleh lingkungannya. “R” dibawa keluarganya untuk berobat di salah satu tempat kesehatan yang menangani kusta. Setelah beberapa lama dia dirawat hingga sembuh dari penyakit kusta yang dideritanya, “R” dibawa pulang oleh keluarganya. Tetapi kenyataan 6 berbeda, lingkungan masyarakatnya tidak menerimanya sehingga dia ditempatkan di wisma rehabilitasi sosial katolik (Wireskat). Setelah beberapa lama “R” tinggal di wisma dan mendapatkan pelatihan dia merasa cukup mampu untuk dapat bertahan hidup di tengah masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap dirinya. Kenyataan yang dia dapat berbeda, dia tidak dapat bertahan hidup di luar lingkungan wisma rehabilitas sosial katolik (Wireskat). “R” mengalami penolakan pada saat dirinya menawarkan jasa pekerjaan sebagai buruh kasar seperti tukang batu maupun petugas kebersihan jalan. Oleh karena perlakuan yang membuat dirinya tertolak sehingga “R” memutuskan untuk kembali di wisma rehabilitasi sosial katolik (Wireskat) ini. Peneliti juga mengambil sebuah artikel tahun 2003 yang menceritakan kehidupan seorang mantan penyandang kusta yang ditulis dalam website resmi Wireskat Blora. Dalam artikel ini diceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang bernama Pairin (bukan nama sesungguhnya) yang terkena kusta pada masa lalunya. Pada saat itu dia sedang mampir ke warung pojok sebelah terminal bus, dan pada saat itu pula pemilik warung mengetahui bahwa Pairin pernah terkena kusta sehingga pemilik warung tersebut mengambil seluruh penganan yang dipajang di meja dan menyembunyikannya (Muria, 2003). Berdasarkan dari penjelasan di atas, terlihatlah bahwa mantan penyandang kusta masih mendapat stigma yang negatif dari masyarakat sehingga mereka memutuskan untuk kembali ke wisma rehabilitasi sosial katolik (Wireskat) Blora. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini peneliti tertarik untuk melihat mengenai gambaran social adjustment para mantan penyandang kusta yang telah sembuh secara medis dengan 7 memberikan wawancara mendalam oleh beberapa orang yang tinggal di wisma rehabiltasi sosial katolik (Wireskat) Blora. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan ini adalah metode penelitian kualitatif sehingga hal ini disesuaikan dengan sifat masalah yang akan diteliti karena tidak bisa diungkap dengan menggunakkan kuantitatif atau angka. Selain itu tujuan penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan mengenai gambaran social adjustment mantan penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik WIRESKAT Blora. Partisipan Dalam penelitan ini, peneliti menggunakan sumber data dengan karakteristik seperti : 1. Individu sebagai mantan penyandang kusta yang sudah dinyatakan sembuh secara medis dan tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik WIRESKAT Blora. 2. Individu yang bersedia menjadi partisipan dan memiliki latar belakang yang berbeda seperti : a. Partisipan pertama terkena penyakit kusta pada saat dirinya sudah menginjak masa dewasa. Ia tidak pernah mengetahui bagaimana proses penularan kusta itu. Pada saat mengetahui bahwa dirinya terkena kusta, ia langsung berobat dan mendapatkan pengobatan secara intensif di rumah sakit kusta Tugu. Pada saat terkena kusta, ia mendapat penolakan dari pihak keluarga, lingkungan pekerjaan dan lingkungan sosial. Dampak penyakit kusta itu sempat membuat kedua anaknya mengalami penolakan oleh warga 8 sekitar Wireskat. Selain itu dampak penyakit kusta juga meninggalkan bekas kecacatan seperti tidak memiliki bulu-bulu halus di wajah (alis mata) dan di bagian tubuh lainnya. b. Partisipan kedua terkena penyakit kusta pada saat dirinya menginjak masa anak-anak. Ia tidak mengetahui bagaimana proses penularan itu. Ia terlambat mengetahui bahwa dirinya terkena kusta sehingga terlambat mendapatkan pengobatan secara intensif. Dampak penyakit kusta ini mengakibatkan kecacatan fisik seperti semua jari tangan yang mengecil akibat pengobatan yang terlambat. Selain itu dampak penyakit kusta juga membuat ia mendapat penolakan dari pihak teman dan tetangga. Dalam berjalannya waktu dan semakin tua, ia juga harus mengalami pengamputasian kaki oleh karena penyakit gula yang dideritanya. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang menunjang dalam penelitian kualitatif ini adalah dengan menggunakan observasi dan wawancara. Observasi digunakan peneliti untuk mengamati kebiasaan dan perilaku dari kedua partisipan. Sedangkan metode wawancara digunakan untuk memperoleh data yang dapat diaplikasikan ke dalam bentuk naskah wawancara atau verbatim. Kedua metode pengumpulan data ini digunakan dengan tujuan dapat mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada secara mendalam, rinci dan tuntas. Instrumen yang digunakan Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah interview guide. Interview guide ini digunakkan sebagai pengumpul data berupa panduan wawancara. Selain itu media elektronik seperti handphone dapat digunakan sebagai alat untuk merekam semua 9 hasil wawancara peneliti dengan kedua partisipan. Peneliti juga menggunakkan media tulis seperti kertas dan bolpoint untuk menulis semua aktifitas kedua partisipan dalam berperilaku. Proses Pengambilan Data Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengurus surat perizinan secara formal agar dapat melakukan penelitian dan pengambilan data dari pihak fakultas Psikologi dengan persetujuan dari kedua dosen pembimbing dan kaprogdi. Surat izin yang diberikan oleh pihak fakultas, dipergunakkan peneliti untuk meminta izin kepada kepala yayasan Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik (WIRESKAT) untuk melakukan penelitian. Setelah mendapatkan izin dari pihak kepala yayasan, maka peneliti langsung menuju ke Wireskat dan mencari pihak pengurus Wireskat untuk mendapatkan izin agar dapat mewawancarai dan mengambil data partisipan mantan penyandang kusta. Awal mula peneliti membangun rapport kepada kedua partisipan dan kemudian dilanjutkan proses wawancara mendalam mengenai topik yang peneliti akan teliti. Proses pengambilan data melalui wawancara dan observasi dilakukan sebanyak lima kali terhadap pasangan partisipan pertama dan tiga kali terhadap pasangan partisipan kedua. Pelaksanaan wawancara kepada para partisipan dilakukan pada bulan Mei 2014 hingga September 2014. Peneliti juga melakukan wawancara dengan anak dari kedua partisipan. Analisis Data Proses analisis data dimulai dari pengetikan transkrip wawancara dalam bentuk verbatim dengan mendengarkan hasil rekaman wawancara. Selanjutnya peneliti melakukan proses pengkodean pada transkrip wawancara agar memudahkan dalam 10 proses analisis data. Hasil wawancara ini di analisis menggunakkan teknik analisis tematik yaitu dengan mencari tema-tema penting untuk mendeskripsikan fenomena yang muncul serta memberikan makna dari hasil pernyataan yang diungkapkan oleh partisipan (Daly, Kellehear, & Gliksman, 1997, dalam Fereday & Muir-Cochrane, 2006). Langkah terakhir yang akan dilakukan adalah mengelompokkan data ke dalam aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini. HASIL Hasil analisis data memunculkan beberapa tema seperti dampak penyakit kusta yang mengakibatkan partisipan dan anaknya mendapat penolakan sosial, efek penolakan dengan penerimaan diri, pengaruh dukungan sosial dengan penerimaan diri, partisipan dapat menghargai keputusan orang lain, cara partisipan membangun relasi dengan lingkungan, keinginan untuk membantu orang lain, menghargai kebudayaan di Wireskat, dan kemampuan untuk bertahan dalam situasi yang sulit. Dampak penyakit kusta yang mengakibatkan partisipan dan anaknya mendapat penolakan sosial Kedua partisipan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa dirinya dan kedua anaknya pernah mendapat penolakan sosial. Hal ini digambarkan oleh kedua partisipan dalam beberapa kutipan berikut : No.1 : Dampak Penyakit Kusta Partisipan pertama Penolakan oleh saudara perempuan : “Iya, seperti saudara dari bapak yang nda menerima” Partisipan kedua Penolakan oleh tetangga : “Tonggo ne ono sing jijik ono sing ora.”. “Tidak boleh datang kerumah selain itu tingkah lakunya acuh tak acuhlah gitu, seakan-akan takutlah nanti “Yo kae, penyakiten kusta, ojo awur mengko nak ketularan, ra sah moro.”. 11 kalau kejadian satu rumah ada yang sakit lagi gitu. Kan dianggapnya sakit kutukan namanya lepra gitu” “Saudara perempuan yang menolak, nek yang laki-laki semuanya itu baik-baik semua” Penolakan oleh teman-teman : “Ya saya sendiri nda mau di ejek sama teman-teman.. bapak saya ya katakan sekolah.. tapi kan saya di ejek sama teman-teman saya.. saya ya nda mau sekolah..” Penolakan oleh kakak pertamanya : “Ya gimana, gimananya itu kakak kan kelihatan sikapnya kalau gak suka istilahan e jijik lah mau menerima saya gitu” Penolakan yang dialami anaknya : “Cuma waktu sekolah di Sendangharjo waktu TKnya sama SDnya itu yang banyak mengalami penolakan” Penolakan yang dialami anaknya : “Yo pernah, waktu dia sekolah kelas 1 SD di Sendang” Efek penolakan dengan penerimaan diri Selama terkena penyakit kusta mereka mendapat penolakan dari berbagai pihak. Dampak penolakan yang diterima sangat mempengaruhi penerimaan diri kedua partisipan. Hal ini digambarkan oleh kedua partisipan dalam kutipan berikut : No.2 : Efek Penolakan Dengan Penerimaan Diri Partisipan pertama “ah saya sudah merasa diri saya memang hina dan jelek tidak seperti yang lain-lain istilahnya tidak sempurna..” Partisipan kedua “Susah sekali,.. pengen nangis.. lha bagaimana lha wong sehat-sehat saya dibeginiin, sendirian.. saya merasa menyesal..” Dukungan sosial yang ditujukan kepada kedua partisipan Dukungan sosial dari bapak membuat partisipan pertama percaya bahwa ia dapat sembuh dari penyakitnya. Sedangkan dukungan sosial yang didapat dari saudara lakilaki, suster dan Romo dengan memberikan motivasi maupun dibantu untuk memperoleh kepercayaan diri sangat menolong partisipan pertama agar dapat bangkit dari keterpurukannya. Sedangkan untuk partisipan kedua, ia mendapatkan semangat 12 agar percaya diri untuk sembuh dari penyakit kustanya. Hal ini digambarkan oleh kedua partisipan dalam kutipan berikut : No.3 : Bentuk Dukungan Sosial Partisipan pertama Saudara laki-laki : “saudara laki-laki itu merangkul, memberi semangat.. wes gak sah sungkan-sungkan, gak sah isin-isin ibarate ini ada pertemuan keluarga yo kita kumpul” Pihak Keluarga : “keluarga bilang “koe iso mari iso wong penyakit kok gag iso mari mesti ono obate mesti mari mengko nek mari lak koyo wong-wong neh ibarate kan nek njowo ngotenleh”. Pihak Suster : “saya dibina disitu seperti pekerjaan ya pertanian, masak ya keterampilan macam-macam agar kami mempunyai jatidirilah” “memberikan penyuluhan tentang kepercayaan agar punya kepercayaan diri dan memiliki siap mental..” Pihak Romo: “..diberi kepercayaan sama Romo untuk pelayanan misal ada warga sakit saya mengantar kerumah sakit, trus ngurusi toko, trus ngurusi konsumsi untuk warga setiap hari dapet jatah sayur. Terkadang ada tamu untuk pesanan makanan. Lha itu karena saya dapet kepercayaan dari Romo ya saya mulai percaya diri gitu. Ternyata tidak semua orang menghina saya istilahnya seperti itu. Dalam hati saya bilang berarti semua orang itu tidak semuanya jelek kepada saya mereka masih banyak yang mau menerima saya” Partisipan kedua Pihak Bapak: “eh bapakku muring-muring yo peh masio ngono, ngono di anuni Gusti Allah.. Pakku muring-muring gak terimo..” “y awes ben, nek ono sing nganu koe.. koe ra usah wedhi, bapak percoyo koe iso mari..iso koyo wong liyone neh..” 13 Bentuk Penerimaan Diri Penerimaan diri diperlukan oleh kedua partisipan agar mereka dapat menyadari bahwa tidak selamanya penyakit kusta yang diderita membuatnya terpuruk. Hal ini dapat digambarkan oleh kedua partisipan dalam kutipan berikut : No.4 : Bentuk Penerimaan Diri Kedua Partisipan Partisipan pertama “Ya namanya orang dihina, ya saya jengkel kesal ya. tapi sadarlah ya.. memang aku tidak sempurna seperti orang-orang lain ya.. tetap diterima tapi dengan ucapan marah namanya orang ya tetap jengkel, yo sopo sing gelem loro kaya gini” “Ya saya terimalah kalau memang saya diberi kesembuhan mungkin yo Tuhan punya rencana lain istilahnya kan gitu. Jadi saya tetap menerima dengan keadaan bagaimanapun“ Partisipan kedua “Ya bersyukur, ya orang itu nda bisa menolak kalau dikasih pecobaan.. ya saya masih bersyukur yang penting saya sekarang diberi kesehatan, masih panjang umur..” “lha bagaimana wong sudah di takdirkan saya” Menghargai keputusan orang lain Setelah kedua partisipan dapat menerima keadaan diri sendiri, barulah mereka belajar untuk dapat memahami orang lain yang berbeda dengan diri mereka. Namun ada perbedaan hasil respon dalam menghargai dan memahami orang lain di dalam kedua partisipan. Partisipan pertama dapat menghargai dan berelasi dengan orang lain. Sedangkan untuk partisipan kedua dapat menghargai akan tetapi tidak bisa berelasi dengan orang lain. Pernyataan tersebut dinyatakan sebagai berikut : No.5 : Menghargai Keputusan Orang Lain Partisipan pertama “Jadi ya saya tidak merasa jengkel atau dendam nda.. Saya terima apa adanya..Ya agar saya tidak merasa sakit, ya harus sadar diri bahwa memang keadaan saya begini kalau mereka nda mau menerima ya sudah, saya yang menjauhi mereka Partisipan kedua “Ya saya terima nanti nek marahmarah ya gunanya apa, ya sudah saya pasrah kepada Tuhan” 14 dari pada saya dijauhi malah lebih sakit” “Ya pokok e prinsip saya, walaupun mereka jahat sama saya.. menolak saya.. saya tetap berbuat baik dengan mereka” “Ya nda mau, saya nek sudah di tolak ya saya nda mau..” Cara membangun relasi Kedua partisipan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah mau berelasi namun ada perbedaan seperti halnya partisipan pertama sudah mampu membangun relasi dengan saudara dan lingkungan sekitar. Untuk partsipan kedua sudah mampu membangun relasi dengan orang yang menolaknya, akan tetapi masih ada perasaan takut jika mengikuti kegiatan dengan lingkungan sekitar. Hal itu dapat terungkap dari beberapa pernyataan kedua partisipan sebagai berikut: No.6 : Cara Membangun Relasi Partisipan pertama “Lha pertama mau silahturahmi kan saya berpikirnya seperti ini, “eh ya biarinlah orang menghina diri saya, yang penting saya berbuat baik sama mereka”. Lama-kelamaan mereka juga hatinya luluh sendiri, kan namanya sakit kaya gini sapa yang mau saya bilang gitu. Semua orang kalau ditari kan nda mau gitu.” “Ya hampir setengah tahunan, mereka memang jengkel sama saya, tapi saya dekati terus” “Ya pertama, saya harus sembuh dulu dari sakit, dan yang kedua saya bisa mandiri dan tidak perlu bantuan mereka lagi seperti yang waktu saya sakit tergantung pada mereka” “Teman dekat, ya wong seringnya pergi kepasar ya teman dekatnya ya teman-teman dari pasar itu makin baik kalau bertemu setiap hari gitu. Mereka kalau ada acara saya juga Partisipan kedua “Tangga ne saiki yo wes apik wong ketoro nek awakku saiki wes resik, nek biyen kan putih-putih abangabang,. Mereka wedhi..” “Yo nduwe, kancane sampe saiki sek apik angger aku loro yo ditiliki.. ngantek saiki koyo dulur..padahal yo tonggo” “Ya pernah, di Polaman seperti melayat, di rumah mba Sumiyati untuk syukuran, di Bronorojo Jepara anak teman saya Bu Karti untuk nikahan” “Tapi saya itu mengikuti kegiatan pada waktu kaki saya masih utuh belum di potong” “Nda pernah, lha pie nda ada yang ngajak..” “Ya nda mau, seandainya ada yang ngajakpun saya nda mau, saya kadang masih takut..” 15 diundang” “ya istilahnya semuanya hampir saya dekati” “..nek musoh wong kampung yo wedhi.”. Keinginan untuk membantu orang lain Walaupun pernah mendapat penolakan, kedua partisipan tetap peduli dengan keadaan orang lain yang membutuhkan pertolongan. Namun ada perbedaan dari cara mereka menolong orang lain. Partisipan pertama dapat menolong warga yang didalam Wireskat maupun orang lain yang berada diluar lingkungan Wireskat. Berbeda dengan partisipan kedua yang hanya dapat menolong warga Wireskat oleh karena ia memiliki keterbatasan fisik. Hal ini dapat terlihat dari beberapa pernyataan kedua partisipan yaitu: No.7 : Keinginan Untuk Membantu Orang Lain Partisipan pertama “Pernah satu kali yaitu mengantar ke rumah sakit waktu itu orang itu dari desa mana gitu pembantunya Tante Diah Laris itu mengalami gejala kusta. Saya langsung mengantar kerumah sakit..” “..semisal orang luar yang diluar Wireskat ini yang bertemu dipasar bertanya “lho kok mba koe tinggal e nang kono, koe ya wong loro?‟ lha ta jawab “yo mas” ada apa mas trus biasa e orang e ngomong kok dulurku kok koyo ngene-ngene trus ya biasa e kaya kasih saran buat pergi kerumah sakit” “Kalau di lingkungan sini ya saya lebih dekatnya dengan tetanggga sebelah ya sama bu Mus yang setiap hari menemani saya di dapur, ya istilahnya semuanya hampir saya dekati wong terkadang mereka istilahnya ya butuh bantuan lha saya yang bisa ya tetap saya layani” Partisipan kedua “Yo, tetep mesti ditolong penggawean e ditinggal yo ditolong.. wong dijaluki tolong misal e njaluk kerok “koe repot Kr..?” ”repot mba..” “aku njaluk kerok..” wes tak kerok i sek penggawean ku keri “ “Ya nda ada.. saya ya cuma menolong orang-orang yang di Wireskat ini..” 16 Menghargai kegiatan keagamaan di Wireskat Sebagai mantan penyandang kusta, kedua partisipan tetap dapat menghargai kebudayaan yang ada di dalam Wireskat. Kebudayaan yang dimaksudkan di sini seperti mengikuti kegiatan kerohanian. Partisipan pertama beragama Islam tetap mau mengikuti kegiatan kerohanian Katolik. Sedangkan partisipan kedua beragama Katolik tetap mau mengikuti kerohanian Katolik, walaupun secara fisik ia mengalami keterbatasan. Hal tersebut dapat ditemukan dari paparan kedua partisipan sebagai berikut: No.8 : Menghargai Kegiatan Keagamaan Di Wireskat Partisipan pertama “Pada waktu pertama kali, goa diadakan memang semua warga diharuskan mengikuti misa jum‟at kliwon, jadi semua muslim atau orang katolik semua ikut dengan permintaan apa nanti setelah itu dikumpulkan dan dibakar sama Romo dan diberkati sama Romo..” Partisipan kedua “Iya, mengikuti kegiataan berdoa di Kapel setiap rabu sama sabtu, misa jumat kedua walaupun susah untuk berjalan ya saya berusaha untuk ikut dengan jalan pelan-pelan.. hehe.. di bantu teman-teman saya.. “ Kemampuan untuk bertahan dalam situasi yang sulit Di Wireskat ini, seluruh warga Wireskat yang merupakan mantan penyandang kusta diberi kebebasan untuk memilih agar dapat hidup di luar lingkungan Wireskat atau memutuskan untuk mencoba hidup di luar lingkungan Wireskat. Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa ada perbedaan hasil dari kedua partisipan dalam menanggapi kebebasan itu. Partisipan pertama sudah merasa percaya diri agar dapat hidup diluar lingkungan Wireskat, sedangkan untuk partisipan kedua tidak memiliki keinginan untuk keluar dari lingkungan Wireskat karena kaki yang telah diamputasi membuat dirinya kesusahan untuk bekerja. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan yang dikemukakan sebagai berikut: 17 No.9 : Kemampuan Untuk Bertahan Dalam Situasi Yang Sulit Partisipan pertama “Kalau sekarang saya sudah nda marah, sudah percaya diri ternyata kusta juga bisa disembuhkan tidak seperti orang-orang kampung kalau ngomong katanya kutukan, katanya lepra menakutkan tapi sekarang saya percaya diri” “Mental yang siap itu ibaratnya menghadapi segala tantangan sudah berani, berani untuk mencari nafkah nda tanggung-tanggung..ibaratnya saya keluar ya saya sudah berani untuk cari nafkah diluar.. istilahnya bekerja apa saja bisa dijalani yang penting halal.. lha terus tidak mencari pekerjaan dilingkungan penderita..” Partisipan kedua “Ya tetap di sini, mau keluar-keluar di mana.. kakinya sudah tidak ada, lha di rumah mau kerja apa.. sulit.. kalau di sini kerja sedikit-sedikit di beri makanan sama Romo.. Lha kalau di rumah ya, mau kerja apa… kemana-mana ya desa mau kerja sawah ya nda bisa kan kakinya sudah tidak ada.. Saya tu ya senang di sini ayem, tentram di sini” PEMBAHASAN Kedua partisipan dalam penelitian ini merupakan ibu rumah tangga yang tinggal di Wireskat dan sama-sama pernah terkena penyakit kusta. Kedua partisipan ini tidak pernah mengetahui bagaimana mereka dapat tertular penyakit kusta. Awal kedua partisipan mengetahui bahwa dirinya terkena penyakit kusta yaitu ada bercak-bercak putih tidak terasa seperti panu dan merasakan panas juga gatal di telinga maupun tangan. Setelah kedua partisipan ini mengetahui bahwa ada gejala seperti terkena kusta mereka berobat di rumah sakit kusta hingga akhirnya mereka dinyatakan sembuh total. Walaupun secara medis mereka telah dinyatakan sembuh total, akan tetapi penyakit kusta yang pernah diderita memberikan dampak penolakan sosial (social rejection) pada kedua mantan penyandang kusta. Penolakan sosial (social rejection) merupakan penolakan yang dilakukan oleh orang lain dan kelompok sosial yang mempunyai dampak besar terhadap perasaan dan perilaku individu (Williams dalam 18 Wiley, 2010). Pada partisipan pertama (K) pernah mendapat penolakan dari tempat ia bekerja yang membuat dirinya merasa kecewa. Selain itu penolakan dari saudara perempuan dan kakak kedua yang membuat dirinya merasa kecewa sehingga ia mengurung diri selama 1,5 tahun. Sedangkan pada partisipan kedua (Kr) yang mendapat penolakan dari tetangga dan teman membuat dirinya merasa takut dan rendah diri sehingga mengurungkan niat untuk menjalin relasi. Dampak penolakan akibat pernah terkena kusta dapat mempengaruhi penerimaan diri (self-acceptance) kedua partisipan. Ryff (1995) menjelaskan bahwa Selfacceptance merupakan bentuk penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya dengan melihat sikap positif terhadap diri sendiri. Pada partisipan pertama (K) merasakan kekecewaan dan penolakan pada dirinya sendiri karena merasa jelek dan tidak sempurna. Penyakit kusta yang pernah diderita K membuat bulu-bulu halus di wajah dan di tubuh tidak tumbuh. Sedangkan partisipan kedua (Kr) merasakan kesedihan dan penyesalan oleh karena ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa pernah terkena kusta. Penyakit kusta yang pernah dideritanya juga membuat ia merasa rendah diri karena jari-jari tangannya mengecil akibat pengobatan yang terlambat. Kedua hal ini menunjukkan cara negatif untuk memahami diri sendiri sehingga merasa tidak layak untuk diterima (Menesini dalam Young Han, 2012). Dalam keterpurukannya, kedua partisipan memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak dan mau menerima keberadaan mereka seperti di Wireskat ini. Pada saat awal tinggal di Wireskat kedua partisipan dan anaknya juga sempat mendapat penolakan. Anak dari kedua partisipan (K dan Kr) mendapat penolakan pada saat duduk di bangku TK hingga SD oleh karena orang tua mereka yang pernah menyandang penyakit kusta. Hal ini memperjelas pernyataan bahwa stigma yang buruk 19 akibat penyakit yang pernah diderita membuat orang lain memberikan perilaku diskriminasi (Cechincki, 2011). Pada saat kedua partisipan sudah menemukan tempat yang dapat menerima keberadaannya. Kedua partisipan mulai belajar untuk bangkit dari keterpurukan dan menerima dirinya (self-acceptance) dengan mendapat dukungan sosial (social support) dari orang lain. Gottlieb (dalam Smet, 1981) menjelaskan bahwa dukungan sosial (social support) terdiri dari nasehat verbal atau non-verbal, bantuan nyata yang diberikan oleh keakraban sosial dan mempunyai manfaat emosional maupun efek perilaku bagi pihak penerima. Pada partisipan pertama (K) selalu diberi semangat oleh kakak pertamanya untuk tidak terpuruk. K juga mendapat penyuluhan dari Suster Giovani mengenai kesiapan mental dan kepercayaan diri. Selain itu K diberi tanggung jawab oleh Romo untuk membantu mengelola toko, dan menyambut tamu yang datang berziarah. Sedangkan untuk partisipan kedua (Kr) diberi pengertian oleh ayahnya agar berbesar hati jika ada yang menolak dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Selain itu Gottlieb (dalam Smet, 1981) juga mengatakan bahwa setiap informasi apapun dari lingkungan sosial yang mempersiapkan persepsi subjek bahwa ia penerima positif dalam bentuk penegasan, bantuan merupakan ungkapan dukungan sosial. Mendapat dukungan sosial (social support) membuat kedua partisipan siap belajar untuk dapat menerima keadaan dan diri mereka yang sebenarnya. Pada partisipan pertama (K) belajar untuk sadar diri bahwa dirinya memang tidak sempurna dan harus menerima keadaan karena semua yang dijalani merupakan kehendak dari Tuhan. Begitu pula dengan partisipan kedua (Kr), ia belajar untuk menerima diri sendiri dan bersyukur bahwa penyakit yang pernah dideritanya merupakan takdir yang sudah ditetapkan bagi dirinya. Seperti yang dikemukakan oleh Kilicci (dalam Ceyhan 20 2011) mengatakan penerimaan diri (self-acceptance) yang sehat akan membantu individu mengevaluasi semua kemampuan dan ketidakmampuan mereka dengan cara yang tepat agar dapat menerima kenyataan bahwa hal itu merupakan bagian dari kepribadian mereka. Setelah dapat menerima keadaan diri sendiri (self-acceptance), mereka mulai belajar untuk memahami keadaan orang lain yang pernah menolak akibat penyakit kusta yang dideritanya. Mereka belajar agar tidak memaksakan kehendak kepada orang lain untuk dapat menerima keadaan mereka sebagai mantan penyandang kusta, walaupun sebenarnya mereka mempunyai keinginan untuk diterima seperti orang lain pada umumnya. Namun jika ada perilaku orang lain yang menjauh karena merasa jijik atau takut jika tertular, mereka dapat menerima dengan tidak sakit hati. Mereka belajar menyadari bahwa setiap orang berhak untuk memilih dalam berelasi. Hal ini berkaitan dengan pengertian Schneiders (1964) bahwa setiap individu akan dapat berelasi dengan baik jika tidak melanggar hak-hak orang lain yang berbeda dengan dirinya. Kedua partisipan yang sudah dapat memahami keadaan orang lain mulai belajar untuk dapat berelasi dengan lingkungannya. Awal kedua partisipan menjalin relasi yaitu dengan membuktikan bahwa penyakit yang mereka derita sudah sembuh dan tidak menular. Namun latar belakang penolakan yang berbeda mempengaruhi cara kedua partisipan dalam menjalin relasi. Pada partisipan pertama (K) yang pernah mendapat penolakan oleh saudara perempuan dan kakak keduanya membuat ia ingin menunjukkan bahwa ia sudah dapat mandiri serta tidak tergantung secara finansial. Selain itu ia belajar untuk mendekatkan diri selama hampir setengah tahun walaupun pihak saudara perempuan dan kakak kedua merasa jengkel dan marah. Ia tidak putus asa dan selalu mencoba untuk berkomunikasi dengan mereka. Hal serupa juga ia 21 lakukan di lingkungan sekitar Wireskat dengan mencoba berkomunikasi dan ikut berpartisipasi dalam acara yang diselenggarakan oleh teman pasarnya. Hal ini berkaitan dengan pengertian Schneiders (1964) bahwa setiap individu sangat ditekankan untuk memiliki hubungan dengan lingkungannya. Dampak penolakan yang dialami partisipan kedua (Kr) membuat ia mau mencoba untuk berkomunikasi secara dekat dengan tetangganya. Dalam berjalannya waktu tetangga yang pernah menolaknya dapat menjadi teman yang akrab. Namun di sekitar lingkungan sekitar Wireskat, ia tidak pernah mengikuti kegiatan sosial karena masih merasa takut jika ditolak dan tidak ada warga yang mengajaknya untuk berinteraksi. Kr juga mengatakan bahwa ia lebih senang untuk berinteraksi dengan orang yang dikenalnya. Hal ini menjelaskan bahwa individu yang pernah menderita penyakit kusta dan ditolak oleh lingkungan akan memberikan dampak pada mental penderita bukan karena penyakit kusta yang mereka alami akan tetapi penolakan dari masyarakat (Raffety, 2005). Selain itu hasil yang didapati untuk partisipan kedua bertolak belakang dengan pengertian Schneiders (1964) yang menekankan pada pentingnya setiap individu untuk memiliki hubungan dengan lingkungan. Walaupun pernah mendapat penolakan, kedua partisipan tidak melupakan keadaan orang lain yang membutuhkan bantuan. Kedua partisipan masih mau memberikan bantuan kepada orang lain, namun ada perbedaan di kedua partisipan yang terletak pada cara mereka memberikan pertolongan. Partisipan pertama (K) bukan hanya mau menolong warga Wireskat akan tetapi ia juga mau menolong orang lain yang bukan warga Wireskat. K pernah menolong orang yang bukan warga Wireskat untuk periksa dan berobat karena ada tanda-tanda terkena kusta. Sedangkan untuk menolong Warga Wireskat, K pernah membantu untuk memasak dan mengobati warga 22 jika ada yang sakit. Partisipan kedua (Kr) hanya membatasi dirinya untuk menolong orang lain dalam lingkup lingkungan Wireskat. Ia membatasi dirinya karena masih mempunyai perasaan takut jika ditolak dan kaki yang telah diamputasi membuatnya terbatas dalam bergerak. Kr hanya mau menolong jika ada warga yang meminta tolong seperti untuk memasak atau „mengeroki‟. Hal ini menunjukkan bahwa kedua partisipan masih peka dengan masalah maupun kesulitan orang lain sehingga membantu meringankan masalahnya Schneiders (1964). Selama menjadi mantan penyandang kusta yang tinggal di Wireskat, kedua partisipan juga dapat menghormati tradisi keagamaan yang ada. Pada partisipan pertama (K) yang walaupun ia beragama Islam, ia tetap mengikuti kegiatan keagamaan orang Katolik seperti misa besar. Misa besar itu diadakan pada saat pertama gua doa dibangun. Begitu pula dengan partisipan kedua (Kr) yang walaupun secara fisik tidak dapat ikut akan tetapi ia tetap berusaha mengikuti kegiatan berdoa di kapel setiap hari Rabu dan Sabtu. Selain itu ia juga mengikuti kegiatan misa Jumat. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesadaran untuk mematuhi dan menghormati nilai, integritas hukum dan kebudayaan yang berlaku di lingkungan akan membuat individu dapat diterima dengan baik di lingkungannya Schneiders (1964). Wireskat ini memberikan kebebasan kepada para mantan penyandang kusta yang ingin mencoba untuk hidup di luar lingkungan Wireskat. Sebelum para mantan penyandang kusta mencoba untuk hidup di luar lingkungan Wireskat maka diperlukan social adjustment yang lebih baik sehingga mereka akan lebih mudah untuk beradaptasi dalam situasi yang sulit. Kemampuan individu agar dapat bangkit dan tetap teguh dalam situasi yang sulit merupakan pengertian dari resiliensi (Wolin dalam Taylor 2003). Resiliensi akan dapat berfungsi secara maksimal jika individu dapat 23 mengelola keadaan emosi, pengendalian impuls, optimisme dan empati (Reivich dan Shatte, 2002). Hal tersebut dapat ditemukan pada partisipan pertama (K) yang ingin keluar dari lingkungan Wireskat karena memikirkan masa depan anaknya. K sudah mempersiapkan mental untuk menerima cacian dan hinaan dari orang lain. K juga percaya diri bahwa ia akan dapat mencari nafkah di luar lingkungan Wireskat. Namun pada partisipan kedua (Kr) ditemukan perbedaan hasil sebagai mantan penyandang kusta yang hanya berupaya untuk tidak peduli jika dipandang aneh dan memasrahkannya kepada Tuhan. Selain itu ia tidak ingin keluar dari lingkungan Wireskat karena kakinya telah diamputasi dan akan mengalami kesulitan jika bekerja di sawah dengan kaki yang tidak sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan kedua tidak mampu jika hidup di luar lingkungan Wireskat. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan mengenai gambaran social adjustment mantan penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik Wireskat Blora adalah dampak penolakan yang pernah diterima berpengaruh pada cara kedua partisipan dalam menjalin relasi sebagai mantan penyandang kusta. Penolakan yang diterima oleh partisipan pertama dari saudara dan kakak keduanya justru memacunya untuk menjalin relasi dengan lingkungan. Sedangkan penolakan yang diterima oleh partisipan kedua dari tetangga maupun temannya membuat ia sulit untuk menjalin relasi dengan lingkungan karena masih memiliki perasaan takut jika ditolak. Sebagai mantan penyandang kusta mereka memiliki keinginan agar dapat diterima orang lain seperti pada orang umumnya. Namun mereka tidak memaksakan 24 keinginannya itu kepada orang lain. Mereka belajar untuk menerima dan tidak sakit hati oleh karena mereka belajar bagaimana tetap menghargai hak orang lain. Selain itu sebagai mantan penyandang kusta mereka tetap ingin memberikan pertolongan kepada orang lain akan tetapi karena keterbatasan fisik yang dimiliki, mempengaruhi kemampuannya dalam memberikan pertolongan. Mereka juga dapat menghormati kebudayaan yang ada di dalam Wireskat seperti halnya kegiatan kerohanian yang sering dilaksanakan di Wireskat. Setelah mengalami pemulihan untuk menerima diri sendiri dengan bantuan orang lain hingga akhirnya mereka dapat berelasi kembali. Kedua partisipan terlihat bahwa ada perbedaan dalam merespons keinginan untuk hidup di luar lingkungan Wireskat. Partisipan pertama sudah merasa yakin bahwa dirinya dapat hidup di luar lingkungan Wireskat, sedangkan partisipan kedua merasa tidak yakin untuk dapat hidup di luar lingkungan Wireskat karena keterbatasan fisik yang dimilikinya. Setelah melakukan penelitian ini, peneliti juga ingin memberikan saran terutama kepada peneliti selanjutnya bahwa dalam melakukan penelitian harus dapat melihat bagaimana sikap atau pandangan yang diberikan oleh lingkungan sekitar Wireskat kepada para mantan penyandang kusta. Selain itu kepada mantan penyandang kusta agar tidak merasa takut untuk mencoba berelasi dengan lingkungan luar Wireskat. Untuk masyarakat umum agar tidak menilai mereka sebagai individu yang harus dijauhi oleh karena mereka memiliki keinginan agar dapat diterima selayaknya orang umum. Pemberian stigma yang negatif sangat berpengaruh bagi pemulihan social adjustment para mantan penyandang kusta. Sedangkan untuk Wireskat sendiri disarankan untuk dapat mengajak para warga Wireskat mengikuti kegiatan di luar Wireskat agar semua para mantan penyandang kusta tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi dari warga 25 sekitar Wireskat dan menggalakan suatu usaha seperti memberikan informasi edukasi mengenai penyakit kusta kepada masyarakat. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengalami keterbatasan riset seperti kurang dapat menggali kebenaran (observasi secara langsung) yang dikemukkan oleh kedua partisipan dalam menjalin relasi dengan lingkungan sekitar Wireskat. DAFTAR PUSTAKA Ana, B. dan Rosanda, M. (2011). Reminiscence The history of leprosy in Dubrovnik: an overview. International Journal of Dermatology. Barrett, R. (2005). Self Mortification and Stigma of Leprosy In Nothern India. Journal Article Medical Anthropology Quarterly. Cechnicki, A. Matthias, C. Angermeyer, & Bielanska, A. (2011). Anticipated and experienced stigma among people with schizophrenia: its nature and correlates. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol 46, 643–650. Ceyhan, A. (2011). Investigation of university student‟s self-acceptanceand learned resourcefulness: a longitudinal study. Higher Education: 649–661. Fereday, J. dan Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic analysis: A hybrid approach of inductive and deductive coding and theme development. International Journal of Qualitative Methods 51, 1-11. Hardonohadi, P. (1996). Jati diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta : Kanisius. Lundberg, B. Lars, H. dkk. (2007). Sociodemographic and clinical factors related to devaluation/discrimination and rejection experiences among users of mental health services. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol, 42, 295–300. Maharani, P.J. (2010). Konsep Diri Mantan Penderita Kusta Di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik (Wireskat) Blora (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA), Semarang. Mehendele, dkk. (2011). Awareness, social acceptance and community views on leprosy and its relevance for leprosy control, Tamil Nadu (Case Report). Retrieved from http://www.ijl.org.in/jul-sep/7%20S%20Thilakavathi%20(7).pdf. Mirza, M. (2011). Gambaran Social Adjusment Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis (Studi Di Lingkungan Pemukiman Kusta Sitanala Tangerang) (Skripsi Tersedia (Online): 26 http://www.scribd.com/doc/68650463/Gambaran-Social-Adjustment-Pada-MantanPenyandang-Kusta-Setelah-Dinyatakan-Sembuh-Secara-Medis. Peringatan Hari Kusta Sedunia Kemenkes dan 11 Organisasi Tandatangani Piagam Seruan Nasional Mengatasi Kusta 2012. (2012, Januari). Depkes. Terambil dari http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=1835. Raffety, J. (2005). Curing The Stigma Of Leprosy. Lepr Rev, 76, 199-126. Ryff, C.D., &Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological well being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727. Young Sae, H. & Yeon Hwa, K. (2012). Interpersonal rejection experience and shame as predictors of susceptibility to peer pressure among Korean children. Journal Social Behaviour and Personality, 40, 1213-1232. Sari, M. (2006). Minat Sosial Mantan Penderita Lepra Usia Dewasa Muda (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Schneiders, AA. (1964). Personal Adjusment and Mental Health (pp. 454-458). New York : Holt, Reinhart and Wiston INC. Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan (pp 56-65). Jakarta : PT Grasindo. Simanjuntak, NM. (2010). Studi Kasus Penyesuaian Sosial Pada Pasien Yang Mengalami Depresi Pasca Stroke (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Negeri Malang (UNM). Malang. Taylor, E. Michael, K. Patricia, & J. Smaranda, V. (2003). Resiliency, Risk, and Substance Use Among Hispanic Urban Juvenile Detainees. Journal of Addictions and Offender Counseling. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. (2013). http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen Penyakit Hansen.