pendekatan sosial dan psikologi untuk menanamkan nilai

advertisement
PENDEKATAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI UNTUK
MENANAMKAN NILAI-NILAI MORAL PADA REMAJA
DALAM KELUARGA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Akademik Program Kualifikasi S1 Kependidikan
dan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
LESNI BOREZA
NIM: 109011000008
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. "Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
beri ma'aflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.
Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir."
(Q.S. Al-Baqarah: 286)
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada
Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang
Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa,
yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan,
yang Mengadakan, yang Membentuk Rupa,
yang mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadanya apa
yang di langit dan bumi.
dan Dialah yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
(Q.S. Al-Hasyr: 22-24)
ABSTRAK
Lesni Boreza (109011000008). Pendekatan Sosial dan Psikologi untuk
Menanamkan Nilai-nilai Moral pada Remaja dalam Keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai moral apa saja yang
penting dan perlu ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja,
mengetahui pendekatan dalam penanaman nilai-nilai moral dan untuk mengetahui
penerapan dari pendekatan yang dipakai untuk menanamkan nilai-nilai moral pada
remaja dalam keluarga.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi pustaka, adapun
dalam analisisnya menggunakan teknik analisis isi (Content Analisys) yakni
menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang di lakukan
secara objektif dan sistematis yang berhubungan dengan pendektan sosial dan
psikologi untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga.
Setelah semua data telah dperoleh dan kumpulkan, maka tahap selanjutnya adalah
penganalisaan secara cermat agar pembahasannya dapat tersusun secara sistematis
menurut pokok pembahasannya masing-masing, ini memudahkan memberi arti
terhadap data. Kemudian dirumuskan suatu kesimpulan yang dapat diuji
kebenarannya.
Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa nilai-nilai moral
esensial
merupakan nilai-nilai mendasarkan untuk membentuk akhlak
mulia/karakter pribadi remaja, yang bisa dimulai dari dini bahkan sebelum remaja,
ini bisa dilakukan oleh para orang tua melalui pendekatan sosial dan psikologi.
Penanaman nilai-nilai ini tidak sebatas pada pengajaran, tetapi menyentuh
perasaan remaja agar mereka sadar akan kebenaran dan kesediaan untuk
mengamalkannya. Dalam penerapannya, pendekatan sosial menekankan remaja
untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga perilaku yang
dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat atau sesuai standar sosial.
Kemudian dari segi pendekatan psikologi, lebih menekankan pada kesadaran diri
remaja dalam melakukan suatu perbuatan, kesadaran yang tinggi terhadap nilainilai esensial dapat mengontrol dan mengendalikan remaja dari perilaku yang
menyimpang dari standar sosial. Dalam hal ini orang tua hendaknya mampu
menjadikan dirinya teladan bagi anak, karena kecendongan remaja masih tinggi
untuk meniru tingkah laku, cara berpakaian, cara berbicara dan bersikap terhadap
sesuatu akan banyak terpengaruhi oleh hal-hal yang terlihat, terdengar, dan
terbaca olehnya.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Seluruh pujian hanya milik Allah,
Pencipta, Pengatur, Pendidik alam semesta. Kasih sayang-Nya tidak pernah henti
tercurah kepada kita setiap saat. Rasa syukur penulis sesungguhnya juga adalah
bentuk
kasih
sayang-Nya,
karena
Allah
memudahkan
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini dengan baik, sehingga sangat mustahil penulis mampu
bersyukur secara sempurna, karena setiap syukur yang penulis ucapkan
memerlukan syukur lainnya yang tak mungkin berakhir.
Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw yang senantiasa mampu
menunjukkan bukti kehambaannya. Mudah-mudahan penulis dapat mengikuti
jejak langkah beliau dalam mendekati Allah SWT sedekat-dekatnya.
Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa
adanya dukungan dan motivasi baik moril maupun materil dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku ketua jurusan Pendidikan Agama
Islam, yang selalu memberikan masukan dan semangat kepada penulis.
3. Marhamah Sholeh, Lc. MA., selaku sekertaris jurusan Pendidikan Agama
Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dra. Djunaidatul Munawwarah, MA, Selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa memberikan semangat, bimbingan dan masukan dengan penuh
kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa
melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan untuk ibu, amin.
5. Ahmad Irfan Mufid, MA., Selaku Dosen Penguji I dan Drs. Abd. Haris,
M.Ag., selaku Dosen Penguji II.
6. Bapak dan ibu dosen dengan penuh keikhlasan telah memberikan pelajaran
paling berharga bagi penulis.
7. Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan serta Pimpinan dan seluruh
staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut memberikan
pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
ii
8. Terkhusus penulis persembahkan skripsi ini untuk ibunda tercinta Leswita dan
ayahanda tercinta Supuan Cik, kakak tercinta Bogi Nopriansyah, keponakan
tersayang Adelia Andini dan Chika Despi Idil Fitri. Dan terkhusus juga telah
usainya kuliahku ini ku persembahkan untuk ayunda tercinta Almarhumah
Nefi Hailes, salam rindu yang tak henti untukmu, serta seluruh keluarga besar
lainnya, yang selalu memotivasi baik moril maupun materil, mendoakan,
menyemangati, dan mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya, sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Doa penulis selalu, semoga Allah
memberikan umur yang panjang, melimpahkan keberkahan dan kesehatan,
serta senantiasa memuliakan keluarga kita di dunia dan di akhirat, amin.
9. Habibi tersayang Afrengki Sabta Roma beserta seluruh keluarga, atas cinta
kasih, doa dan motivasinya untuk terus berjuang dalam menjalani dan
melewati setiap proses studyku. Semoga Allah selalu melimpahkan
kebahagiaan dan kesehatan untuk kalian, amin.
10. Untuk teman-temanku di rumah Al-Family; Amiroh Adilah, Sari Bunga, Santi
Yuniartiningsih, Annisa, Sinta, Rina dan semuanya. Terima kasih banyak
dalam kebersamaan kurang lebih 3 tahun ini, semoga tali persaudaraan kita
terus terjaga & sukses selalu untuk menjalankan tantangan kehidupan ataupun
pendidikan selanjutnya, amin.
11. Teman-teman PAI angkatan 2009 khususnya kelas A yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, semoga persaudaraan yang terjalin selama ini
membawa kebaikan untuk kita semua, sukses selalu untuk kita semua, amin.
Akhirnya, penulis hanya bisa memanjatkan doa kepada Sang Pemberi Rahmatan
Lil ‘Alamin Allah SWT, semoga segala doa, ilmu, motivasi, bantuan, serta
masukan dari mereka dibalas oleh-Nya dengan beribu-ribu kebaikan dan dicatat
menjadi amal ibadah. Amin.
Jakarta, 11 Juni 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
i
ii
iv
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................
BAB II
D. Tujuan Penelitian ......................................................................
8
E. Manfaat Penelitian ....................................................................
8
KAJIAN TEORI
A. Nilai Moral Dalam Islam ..........................................................
9
1. Pengertian Nilai Moral .........................................................
9
2. Sumber Nilai Moral..............................................................
13
B. Konsep Keluarga dalam Islam ..................................................
15
1. Pengertian Keluarga .............................................................
15
2. Fungsi dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga ..
16
3. Interaksi Harmonis dalam keluarga .....................................
20
C. Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya ...................................
25
1. Pengertian Remaja ...............................................................
25
2. Ciri-ciri Masa dan Perkembangan Remaja .........................
28
a. Perkembangan Fisik .........................................................
29
b. Perkembangan Emosi .......................................................
31
c. Perkembangan Kecerdasan ..............................................
32
d. Perkembangan Jiwa Sosial ...............................................
33
e. Perkembangan Keberagamaan .........................................
34
1) Percaya turut-turutan. ...............................................
36
2) Percaya dengan kesadaran .........................................
36
3) Kebimbangan Beragama ...........................................
37
4) Tidak Percaya Kepada Tuhan....................................
38
D. Perkembangan Moral Remaja ...................................................
39
iv
E. Penelitian yang Relevan ............................................................
48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktudan Objek Penelitian ......................................................
50
B. Metode Penelitian .....................................................................
53
C. Fokus Penelitian........................................................................
55
D. Prosedur Penelitian ...................................................................
55
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Nilai-nilai Moral Esensial Bagi Remaja ...................................
57
1. Jujur ......................................................................................
57
2. Disiplin .................................................................................
59
3. Percaya Diri ..........................................................................
61
4. Peduli....................................................................................
63
5. Mandiri ................................................................................
64
B. Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilainilai Moral bagi Remaja ...........................................................
66
1. Pendekatan Sosial.................................................................
66
a. Imitasi ..............................................................................
67
b. Sugesti .............................................................................
68
c. Identifikasi ......................................................................
69
2. Pendekatan Psikologi ...........................................................
70
a. Teori Penalaran................................................................
71
b. Teori Perilaku Moral (behavior)......................................
74
c. Teori Kata Hati ................................................................
76
C. Penerapan
Pendekatan
Sosial
dan
Psikologi
Untuk
Penanaman Nilai-nilai Moral Remaja dalam Keluarga ............
1. Peran
hukum,
kebiasaan
dan
peraturan
78
dalam
perkembangan moral...........................................................
81
2. Peran hati nurani dalam perkembangan moral ....................
83
3. Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan
moral ....................................................................................
v
87
4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral ..............
BAB V
89
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...............................................................................
95
B. Saran .........................................................................................
96
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
97
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terdapat suatu pandangan “Tegaknya suatu bangsa tergantung pada
moralnya, dan runtuhnya moral bangsa tergantung pada penghayatan dan
pengamalan pada agama.” Paradigma di atas relevan dengan diutusnya para Nabi
dan Rasul, dengan salah satu tugasnya untuk menyempurnakan akhlak.
Sebagaimana yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
               
 
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. AlAhzab [33]:21)1
Dari generasi ke generasi masyarakat suatu bangsa akan mengalami
pertumbuhan yang berbeda di mana kualitas masyarakatnya akan ditentukan oleh
pengalaman dan pembelajaran yang berkualitas pula, begitu juga sebaliknya.
Salah satu indikator yang menentukan kualitas suatu generasi masyarakat
ditentukan oleh pendidikan yang diperoleh baik itu melalui pendidikan formal,
informal maupun pendidikan non formal. Secara teoritik, penanaman akhlak atau
pun moral pada anak juga harus diterapkan dalam berbagai lingkungan
pendidikan.
Dewasa ini pendidikan di Indonesia diarahkan pada pembinaan karakter
bangsa, berkaitan dengan ini Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Pendidikan
Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) 2010-2014 telah
mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk seluruh jenjang pendidikan
di Indonesia mulai tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan
1
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004), cet. 5,
juz ke-21, h. 336
1
2
Tinggi (PT) dalam sistem pendidikan di Indonesia. 2 Dalam implementasinya
pendidikan karakter merupakan upaya pembimbingan perilaku siswa agar
mengetahui, mencintai dan melakukan kebaikan. Fokusnya pada tujuan-tujuan
etika melalui proses pendalaman apresiasi dan pembiasaan.
Kemudian setelah itu turunlah kurikulum 2013 yang selain berisi deskripsi
Kompetensi Dasar, berisi pula Kompetensi Inti dan Struktur Kurikulum.
“Kompetensi
Dasar
dikembangkan
dari
Kompetensi
Inti,
sedangkan
3
pengembangan Kompetensi Inti mengacu pada Struktur Kurikulum”. Kompetensi
Inti merupakan kompetensi yang mengikat berbagai Kompetensi Dasar ke dalam
aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik
untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran. Kompetensi Inti harus
dimiliki peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran dengan pendekatan
pembelajaran siswa aktif. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata
pelajaran untuk setiap kelas.
Dari pernyataan di atas telah terlihat bahwa ini menandakan telah
terjadinya krisis moral dan merosotnya nilai-nilai positif bangsa kita, yang pada
akhirnya hal ini menjadi kekhawatiran untuk kita semua. Diantaranya masalahmasalah yang telah menggejala di tengah masyarakat, dapat dilihat pada problem
tentang penanaman moral di instansi keluarga: Keluarga pada saat ini dihadapkan
pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan anak agar
mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat.
Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran
aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.4
Kini hubungan orang tua dan remaja cenderung menjadi renggang, karena
lingkungan makin luas dan kesibukan orang tuapun semakin tinggi. Hingga
2
Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif, (Jakarta:
Esensi Erlangga Group, 2012), h. 2
3
Kompas.com. oleh Mohammad Nuh, Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret
2014), http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013
4
Kristi Wardani, Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan
Ki Hadjar Dewantara, Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education;
Join Conference UPI & UPSI, (Bandung: Indonesia, 8-10 November 2010), h. 231
3
hubungan remaja dengan lingkungan luarpun semakin luas pula. Hal ini
menyebabkan pertemuan remaja dengan orang tua semakin berkurang, karena itu
kesempatan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama dan norma pada
remaja juga semakin berkurang. Dengan kata lain, peran institusi keluarga
menjadi tidak kokoh lagi atau tidak solid. Kemudian cara yang memberikan
kebebasan kepada anaknya, egois orang tua karena pandangan liberal telah
menjamur di masyarakat, gaya hidup orang tua yang glamour, ketidaktauan
tentang penanganan dalam penanaman moral pada remaja, juga tidak adanya
keteladanan dari keluarga terutama kedua orangtua, hal inilah yang sering terjadi
dalam suatu keluarga di tengah-tengah masyarakat.
Kemudian dilihat pada problem kecenderungan remaja berprilaku yang
melanggar nilai-nilai moral;
Kurangnya sopan santun kepada orang tua dan yang lebih tua darinya,
adab berpakaian, pergaulan antara laki-laki dan perempuan seolah-olah
tidak ada lagi batasan-batasannya. Budaya luar yang negatif mudah
terserap tanpa ada filter yang cukup kuat dari remaja, dari mulai gaya
hidup modern yang konsumeris-kapitalistik dan hedonis yang tidak
didasari akhlak dan budi pekerti yang luhur dari bangsa ini cepat masuk
dan mudah ditiru oleh generasi muda.5
Perilaku negatif yang lainnya, seperti tawuran, anarkis, sikap cepat marah,
ikut dalam geng-geng motor, kemudian terbaru lagi belakangan ini ada yang
namanya cabe-cabean menjadi budaya baru remaja yang dapat membuat resah
masyarakat, bahkan pada taraf tertentu menjadi tindakan anarkis, sampai ada yang
menjadi korban atau terbunuh, dan lain-lain. Premanisme ada di mana-mana,
emosi meluap-luap, cepat tersinggung, serta ingin menang sendiri menjadi bagian
hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat sendiri terutama
di kalangan remaja. Tindak anti sosial dan peraturan, kejahatan mencuri ataupun
menyakiti orang lain, menodong, bahkan membajak bus umum pelakunya adalah
pelajar sekolah. Salah satu contoh; Puluhan pelajar SMA Negeri 46 Jakarta
ditangkap aparat kepolisian karena membajak bus Kopaja untuk tawuran
dikawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Aksi pembajakan tersebut gagal
5
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, h. 160
4
dilakukan karena sopir Kopaja dengan berani membelokan kendaraannya kedalam
kantor polisi. Tidak hanya membajak, mereka mempersenjatai diri dengan
berbagai senjata yang mampu melukai dan melumpuhkan pelajar sekolah lain,
misalnya sabuk gir motor.6 Entah apa yang ada di benak para pelajar SMA Negeri
46 Jakarta yang telah diamankan di Mapolsek Metro Kebayoran Baru ini. Waktu
jam pelajaran yang harusnya berada di kelas, mereka manfaatkan justru untuk
menyerang pelajar sekolah lain. Yang lebih parah lagi, penyerangan dilakukan
dengan membajak sebuah bus Kopaja yang sedang beroperasi.
Kenyataan lain yang juga menunjukkan adanya indikator kemerosotan
moral yaitu banyaknya terjadi kasus peredaran narkoba dan kasus pelecehan
seksual yang dilakukan juga oleh pelajar sekolah. Dalam hal ini, terjadinya pelaku
pengedar dan pemakai narkoba di antaranya adalah kalangan pelajar, sementara
pelecehan seksual juga terjadi di kalangan remaja, hal ini sebagai akibat dari
pergaulan bebas.
Di Indonesia pada tahun 1980-an hanya terdapat 80.000 sampai 130.000
kasus penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA), namun pada tahun 2008 telah meningkat menjadi sekitar 5 juta kasus
penyalahgunaan napza. Pemerintah melihat semakin berbahayanya persoalan
napza ini. Hal ini dikemudian hari mendorong lembaga- lembaga swadaya
masyarakat untuk ikut terlibat dalam menanggulangi masalah napza ini seperti
Granat, kelompok No-Drugs, dan Lain-lain. Kelompok yang menjadi sasaran
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) adalah generasi muda
yang merupakan calon-calon pemimpin bangsa. Apa jadinya jika generasi muda
tidak sibuk untuk meraih prestasi tertinggi, tetapi malah asik dalam
penyalahgunaan napza.7
Siti Alfiasih, Kasubdit Masyarakat BNN mengatakan “saat ini (tahun
2013) diperkirakan 4 juta orang yang menjadi penyalahguna narkoba di Indonesia.
6
Dedi Irawan. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk
Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajarbajak-kopaja-untuk-tawuran_111160.html)
7
Humanitas, Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan, 2008),Vol. 5 No.1 h. 68
5
Pada tahun 2015, diproyeksikan angka ini akan meningkat sampai sekitar 5,1 juta
orang. Bila tanpa ada kemampuan masyarakat untuk menolak, katanya, maka
angka ini akan terlampaui dan menimbulkan dampak buruk yang lebih besar bagi
Indonesia”.8
Kemudian berdasarkan beberapa data mengenai pergaulan bebas di
kalangan remaja, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota
besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks.
Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan
hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja kehilangan
keperawanannya saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan 21,2 persen di
antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. Bagi mereka aborsi
dilakukan sebagai jalan keluar akibat dari perilaku seks bebas. 9 Pergaulan seks
bebas di kalangan remaja Indonesia saat ini sungguh sangat ironis dan
memprihatinkan.
Begitulah dalam kehidupan sekarang ini, generasi muda banyak berbuat
sesuatu diluar pemikiran akal sehatnya karena tidak dilandasi iman yang kuat.
Kasus peredaran narkoba melibatkan para remaja juga pelajar, demikian pula
kasus tawuran antar pelajar tadi, penyimpangan yang dilakukan generasi muda
tidak lepas dari pengaruh perkembangan kehidupan kejiwaannya yang sedang
mengalami kegoncangan akibat perubahan atau berada pada masa transisi, baik
dari segi jasmani maupun rohaninya yang berjalan begitu cepat. Kegoncangan
pada jiwa tersebut menimbulkan berbagai keresahan yang menyebabkan labilnya
pikiran, perasaan, dan kemauan begitu juga keyakinan terhadap Tuhan berubahubah sesuai dengan kondisi emosinya yang tidak stabil. Sebenarnya yang lebih
berbahaya justru yang timbul pada diri dari masing- masing setiap orang itu
sendiri.10
8
M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta, (diakses
pada tanggal 20 Maret 2014), (http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-JumlahPengguna-Narkotika-Capai-5)
9
Puspitawati Herien, Seks Bebas di Kalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa),
Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02 Feb 2014), (http://sulegratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-di-kalangan-remaja-pelajar.html)
10
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Aksara Baru,1982), cet. 3, h. 237
6
Memperhatikan kasus-kasus tersebut di atas, jelas bahwa penanaman
moral pada remaja tidak secara tiba-tiba ditanamkan di lingkungan sekolah
(institut formal), tetapi jauh dari sebelumnya sudah harus ada penanaman nilainilai moral untuk bekal remaja pada lingkungan keluarga (institut informal).
Untuk itu para pendidik khususnya para orang tua, perlu menguasai beberapa
pendekatan dalam penanaman moral, baik secara persuasif mau pun normatif
berdasarkan nilai-nilai agama Islam, melalui interaksi yang efektif, antara lain
melalui pendekatan sosial dan pendekatan psikologi. Maka skripsi ini
dimaksudkan untuk menjadi rambu-rambu teoritik penanaman nilai-nilai moral
pada remaja dalam keluarga. Lebih jelasnya dengan skripsi yang berjudul:
“PENDEKATAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI UNTUK MENANAMKAN
NILAI-NILAI MORAL PADA REMAJA DALAM KELUARGA”
B. Identifikasi Masalah
Seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka
penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Masuknya budaya asing yang negatif, dapat mempengaruhi perilaku dan
kepribadian remaja, terutama di kalangan mereka yang tidak dibekali dengan
nilai-nilai moral agama yang kuat sebagai filter.
2. Kurangnya kepekaan orangtua terhadap emosi anak (remaja), yang mana di
usia remaja mereka harus mendapatkan perhatian khusus dan arahan dalam
membentuk kepribadian yang baik.
3. Banyaknya kasus-kasus pelanggaran nilai-nilai moral dan sosial yang terjadi
pada usia remaja di Indonesia karena orang tua kurang memperhatikan
pendidikan agama Islam untuk anak (remaja).
4. Terjadinya komunikasi yang kurang baik antara orangtua dan anak,
mengakibatkan kurangnya pendekatan persuasif dan interaksi yang baik.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang menggambarkan luasnya
persoalan moral remaja, penulis memberikan batasan masalah pada:
1. Nilai-nilai moral yang penting ditanamkan kepada anak khususnya usia
remaja dalam keluarga yaitu meliputi:
7
a. Jujur
b. Disiplin
c. Percaya Diri
d. Peduli
e. Mandiri
Kemudian yang dimaksud nilai moral di sini adalah tidak hanya yang
dipandang oleh masyarakat, tetapi juga yang terkandung dalam ajaran Agama
Islam seperti Al-Qur’an dan Hadis.
2. Analisis terhadap penanaman nilai-nilai moral di atas, yaitu ditinjau dari
pendekatan sosial dan psikologi.
a. Pendekatan sosial yang dimaksud adalah ditekankan pada interaksi dalam
keluarga antara orangtua dan anak (remaja), baik berupa penciptaan
kondisi dalam keluarga, sehingga terjadinya proses imitasi, sugesti hingga
identifikasi pada anak (remaja). Ini akan dikembangkan melalui teori
interaksi sosial.
b. Pendekatan psikologi yang dimaksud adalah ditekankan pada persiapan
mental remaja, dengan membina kondisi mentalnya melalui pembinaan
secara
rasional,
pengendalian
perilaku
moral
(behavior)
dan
pembentukkan kata hati, dalam membentuk sikap/perilaku, sehingga
terlahirlah kepribadian.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, supaya tidak terjadi perbedaan
interpretasi dan pemahaman, maka masalah ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Nilai-nilai moral apa saja yang penting ditanamkan pada anak dalam keluarga
khususnya pada usia remaja?
2. Bagaimanakah cara menanamkan nilai-nilai moral pada anak dalam keluarga
khususnya di usia remaja?
3. Bagaimana implementasi pendekatan sosial dalam penanaman nilai-nilai
moral pada anak dalam keluarga khususnya di usia remaja?
4. Bagaimana implementasi pendekatan Psikologi dalam penanaman nilai-nilai
moral pada anak dalam keluarga khususnya pada di usia remaja?
8
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui nilai-nilai moral apa saja yang penting dan perlu
ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja dalam keluarga.
2. Untuk mengetahui pendekatan dalam penanaman nilai-nilai moral pada anak
khususnya untuk usia remaja.
3. Untuk mengetahui penerapan dari pendekatan yang dipakai dalam
menanamkan nilai-nilai moral pada anak khususnya untuk usia remaja.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua hal, yakni secara teoritis dan
secara praktis.
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan
dikalangan akademis khususnya Ilmu Pendidikan Agama Islam untuk
mengungkap
kompleksitas
terkait
berbagai
permasalahan
perilaku
menyimpang bermasyarakat pada remaja. (Teoritis).
2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi
masyarakat umum terutama untuk para orangtua (keluarga) agar lebih
memperhatikan keadaan serta perkembangan anak dengan memasukkan halhal yang bersifat positif untuk menjadi faktor terpenting dalam membantu
memberikan arahan yang baik untuk remaja. (Praktis).
3. Sebagai bahan untuk menentukan pendekatan yang tepat dalam memberikan
contoh yang baik untuk remaja. (Praktis).
4. Sebagai bahan bagi penelitian lanjutan. (Teoritis).
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Nilai Moral Dalam Islam
1. Pengertian Nilai Moral
“Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini
sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola
pemikiran, perasaan, keterkaitan maupun perilaku.”11
Mohammad Noor Syam menyatakan dalam bukunya yang berjudul
Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, bahwa “nilai
adalah suatu penetapan atau kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis
apresiasi atau minat.”12
“Nilai merupakan implikasi hubungan yang diadakan manusia yang
sedang memberi nilai antara satu benda dengan satu ukuran. Nilai merupakan
realitas abstrak. Nilai dirasakan dalam diri masing-masing sebagai daya
pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai
pada suatu tingkat, dimana sementara orang-orang lebih siap untuk mengorbankan
hidup mereka dari pada mengorbankan nilai.”13
Menurut Muhammad Djunaidi Ghony dalam bukunya “Nilai Pendidikan”,
menyimpulkan bahwa nilai itu mempunyai 4 macam arti, antara lain:
a. Bernilai, artinya berguna
b. Merupakan nilai, artinya baik, benar atau indah
c. Mengandung nilai, artinya merupakan objek atau keinginan atau sifat yang
menimbulkan sikap setuju serta suatu predikat
d. Memberi nilai, artinya memutuskan bahwa sesuatu itu diinginkan atau
menunjukkan nilai.14
11
Zakiah Darajat, Ahmad Sajali, dkk, Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. 10, h. 260
12
Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 133
13
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 114115
14
Muhammad Djunaidi Ghony, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h.
9-12
9
10
Definisi nilai menurut M. Ali dan M. Asrori “nilai diartikan sebagai suatu
tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih
alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu”.
15
Dalam perspektif ini,
kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan
kesejarahan.
Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa nilai adalah
sesuatu yang bermanfaat dan diyakini kebenarannya serta mendorong orang untuk
mewujudkannya bagi kehidupan manusia sebagai acuan tingkah laku. Secara
filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut
dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan
dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.
Perilaku Moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
sosial. Menurut Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “Perkembangan Anak”,
“Moral berasal dari kata Latin mores, yang berarti tatacara, kebiasaan dan adat.
Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan perilaku yang telah
menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku
yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok”. 16 Sedangkan menurut Moh.
Toriquddin, “moral berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk
melakukan sesuatu perbuatan”.17
Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.18 Maksudnya
adalah nilai dan norma moral yang bersumber dari adat istiadat dan budaya
bermasyarakat. Misalnya perbuatan seseorang dikatakan tidak bermoral,
maksudnya bahwa perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan normanorma etis yang berlaku dalam masyarakat.
15
Mohamad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja “Perkembangan Peserta
didik”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet. 7, h. 134
16
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi ke6, h. 74
17
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia modern”,
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1, h. 11
18
Ibid., h. 12
11
Dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang
memuat ajaran tentang baik buruknya suatu perbuatan, perbuatan itu dinilai
sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Secara umum moral itu
berasal dari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Masalah moral itu sendiri adalah suatu masalah yang menjadi perhatian
orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam
masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan moral seseorang
mengganggu ketenteraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang
yang rusak moralnya, maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu.
Secara dinamis, nilai moral dipelajari dari produk sosial dan secara
perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama
dengan kelompoknya. Jadi nilai moral merupakan sesuatu yang memungkinkan
individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan
atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
Nilai moral dalam Islam disebut akhlak. “Akhlak ialah bentuk jamak dari
khuluk (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.
Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau
ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk
melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika. Sedangkan etika
adalah ilmu pengetahuan asas-asas akhlak (moral)”. 19 Jadi khuluk merupakan
gambaran sifat batin manusia, kondisi mental yang mendorong perbuatan dengan
mudah, tanpa pemikiran dan alasan-alasan, dalam artian adalah spontanitas.
“Akhlak adalah keadaan jiwa yang menyebabkan munculnya perbuatanperbuatan tanpa pertimbangan yang mendalam”.
20
Pada dasarnya akhlak
merupakan tingkah laku dan gerak-gerik seseorang yang sering dilakukan.
Misalnya, tingkah laku dan gerak-gerik
seseorang ketika bertemu dengan
orangtuanya, orang yang lebih tua, temannya baik laki-laki ataupun perempuan,
saudaranya, Tuhannya, dirinya atau bahkan dengan lingkungannya. Karena,
19
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah,
2007), cet. 1, h. 2-3
20
Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar Indonesia,
2006), cet 1, h. 55
12
memang objek akhlak itu bukan hanya dalam hubungan manusia dengan manusia
lainnya, akan tetapi juga dalam hubungannya dengan Tuhan, alam sekitar dan
dirinya sendiri.
Dalam hubungan ini Abudin Nata berpendapat dalam bukunya “akhlak
tasawuf” yaitu:
Bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan
manusia yang dapat dinilai baik atau buruk. Tetapi tidak semua amal yang
baik atau buruk itu dapat dikatakan perbuatan akhlak. Banyak perbuatan
yang tidak dapat disebut perbuatan akhlaki, dan tidak dapat dikatakan
perbuatan baik atau buruk. Perbuatan manusia yang dilakukan atas dasar
kemauannya atau pilihannya seperti bernafas, berkedip, berbolak-baliknya
hati dan terkejut ketika tiba-tiba terang sebelum gelap tidaklah disebut
akhlak, karena perbuatan tersebut yang dilakukan tanpa pilihan.21
Akhlak dapat ditarik kesimpulan sebagai ilmu tata krama, yang berusaha
mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik
atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila yang bersumber dari nilainilai ajaran Islam.
Moral (akhlak) memiliki kaitan erat dengan keimanan (aqidah). Bahkan
seringkali disebut bahwa akhlak itu buah dari iman, karena orang yang kuat
imannya, akan terpelihara perbuatan-perbuatannya dari hal-hal yang keji dan
rendah, dan sebaliknya juga orang yang buruk moralnya (berbuat keji dan rendah)
menunjukkan ketidaksempurnaan imannya. Oleh sebab itu nilai-nilai moral dalam
Islam adalah nilai-nilai yang bersumber dalam ajaran Islam itu sendiri.
Bahkan menurut Islam akhlak merupakan tolak ukur dari nilai keimanan
seseorang, semakin baik akhlak seseorang maka semakin sempurna pula imannya.
Sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw:
Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: orang mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya
(akhlaknya)”.22
21
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5, h. 6
Moh. Toriquddin, op. cit., h. 7
22
13
Bahkan kesempurnaan akhlak adalah sebagai tujuan dari diutusnya Nabi
Muhammad saw. seperti dalam hadits:
“Sesungguhnya aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak.” (H.R Maliki).23
2. Sumber Nilai Moral
Moral dalam Islam (akhlak), tidak terbatas pada adat istiadat dan budaya
yang ada dalam masyarakat, akan tetapi mendahulukan nilai-nilai yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadist. Adapun M. Yatimin Abdullah menegaskan bahwa
“sumber ajaran moral (akhlak) yang utama ialah Al-Qur’an dan hadis”.24 Tingkah
laku Nabi Muhammad saw merupakan contoh suri teladan bagi umat manusia. Ini
ditegaskan oleh Allah dalam A-Qur’an:
               
 
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. AlAhzab [33]: 21)25
Hadis Rasulullah saw meliputi perkataan dan tingkah laku beliau,
merupakan sumber akhlak yang kedua setelah Al-Qur’an. Segala ucapan dan
perilaku beliau senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah SWT. Allah SWT
berfirman:
          
Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm [53]: 3-4)26
23
Ibid., h. 7
Ibid., h. 4
25
Departemen Agama, loc. cit.
26
Ibid., h. 420
24
14
Dalam ayat lain Allah memerintahkan agar selalu mengikuti jejak
Rasulullah saw dan tunduk kepada apa yang dibawa oleh beliau. Allah SWT
berfirman:
                
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukuman-Nya”. (QS. AlHasyr [59]: 7)27
Kemudian Zakiyah Daradjat menegaskan bahwa sumber nilai yaitu:
1. Nilai yang Ilahi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Nilai yang duniawi yaitu ra’yu (pikiran), adat istiadat dan kejadian alam.28
Bagi umat Islam, “sumber nilai yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan
Sunnah hanya digunakan sepanjang tidak menyimpang atau yang menunjang
sistem nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah”. 29 Allah SWT
berfirman:
             
     
Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikauti jalan-jalan
(yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (QS. AlAn’am [6]:153)30
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa sumber nilai moral bisa berasal dari hasil
pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks
pendidikan Islam, maka sumber nilai moral yang paling utama adalah Al-Qur’an
dan As-sunnah Nabi Muhammad saw, yang kemudian dikembangkan menjadi
nilai-nilai hasil ijtihad para ulama, dan nilai-nilai yang terimplementasi dalam
kehidupan budaya umat Islam.
27
Ibid., h. 436
Zakiah Darajat dan Ahmad Sajali, dkk, op. cit., h. 262
29
Ibid., h. 262
30
Departemen Agama, op. cit., h. 118
28
15
B. Konsep Keluarga dalam Islam
1. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan suatu unit yang terdiri dari beberapa orang yang
masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan tertentu. Keluarga itu dibina
oleh sepasang manusia yang telah sepakat untuk mengarungi hidup bersama
dengan tulus dan setia, didasari keyakinan yang dikukuhkan melalui pernikahan,
dipateri dengan kasih sayang, ditujukan untuk saling melengkapi dan
meningkatkan diri dalam menuju ridha Allah SWT.31
Menurut Abu Ahmad, “keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil
yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok
ini, dalam hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan
sebutan primary group, kelompok inilah yang melahirkan individu dengan
berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat”.32
“Keluarga adalah multibodied organism, organism yang terdiri dari
banyak badan. Keluarga merupakan satu kesatuan (entity) atau orginisme,
mempunyai komponen-komponen yang membentuk organisme keluarga itu”. 33
Komponen-komponen tersebut ialah anggota keluarga.
Sedangkan menurut pandangan agama Islam, terbentuknya lembaga
keluarga bermula pada saat seseorang membutuhkan orang lain, yang dapat
mendampinginya, ikut memikul bebannya dan saling tolong menolong di dalam
merealisasikan tugas-tugas pengabdiannya terhadap Allah SWT.34
Sebagaimana Firman Allah SWT yang berbunyi:
            
        
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu
31
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI,
2011), Cet. 1, h.19
32
Abu Ahmad, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 87
33
Ulfatmi, loc. cit., h. 19
34
Thaha Khiriah Husen, Konsep Ibu Teladan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h. 25
16
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S ArRum [30]: 21)35
Keluarga dapat diterjemahkan juga ke dalam arti sempit dan dalam arti
luas. Dalam arti sempit pengertian keluarga didasarkan pada hubungan
darah yang terdiri atas ayah, ibu dan anak, yang disebut dengan keluarga
inti. Sedangkan dalam arti yang luas, semua pihak yang ada hubungan
darah sehingga tampil sebagai clan atau marga yang dalam berbagai
budaya setiap orang memiliki nama kecil dan nama keluarga atau marga.
Sementara itu arti keluarga dalam hubungan sosial tampil dalam berbagai
jenis, ada yang kaitannya dengan silsilah, lingkungan kerja, mata
pencaharian, profesi dan sebagainya.36
Ulfatmi menyebutkan lima ciri khas keluarga sebagai berikut:
a. Adanya hubungan yang berpasangan antara kedua jenis (pria dan wanita)
b. Dikukuhkan oleh suatu pernikahan
c. Adanya pengakuan terhadap keturunan (anak) yang dilahirkan dalam rangka
hubungan tersebut
d. Adanya kehidupan ekonomis yang diselenggarakan bersama
e. Dilaksanakannya kehidupan berumah tangga37
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa keluarga
adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat yang bersifat
langsung, artinya oleh keturunan darah perkawinan. Sebagai kelompok primer
yang penting dalam masyarakat serta kesatuan sosial yang utuh, maka disitulah
tahap awal proses permasyarakatan serta penanaman nilai-nilai moral pada
remaja, melalui interaksi tersebut maka didapatkan pengetahuan, keterampilan,
minat, nilai-nilai emosi serta sikap dalam hidup dan dengan itu akan didapatkan
ketenangan dan ketentraman.
2. Fungsi dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga
Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh keluarga dipengaruhi
oleh kebudayaan sekitar dan intensitas keluarga dalam turut sertanya dengan
kebudayaan dan lingkungannya, keyakinan, pandangan hidup dan sistem nilai
35
Departemen Agama, op. cit., h. 324
Ulfatmi, op.cit., h. 20
37
Ibid., h. 20
36
17
yang menggariskan tujuan hidup serta kebijaksanaan keluarga dalam rangka
melaksanakan tata laksana fungsi dan tanggung jawabnya.
Sebenarnya, keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku
penerus keturunan. Keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anaknya. Dalam
bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala
pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari
orang tua dan anggota keluarganya sendiri.
Melihat unsur-unsur yang terkandung dalam keluarga, maka keluarga akan
memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi Religius
b. Fungsi Biologis
c. Fungsi Edukasi
d. Fungsi Sosialisasi
e. Fungsi Afeksi dan Perasaan
f. Fungsi Ekonomis
g. Fungsi Rekreasi
h. Fungsi proteksi atau Perlindungan38
“Dalam kajian tentang pendidikan dalam keluarga, fungsi edukatiflah yang
paling menonjol. Tetapi dalam implementasinya, terlaksananya fungsi edukatif ini
sangat dipengaruhi oleh terealisirnya fungsi-fungsi keluarga lainnya yaitu fungsi
affeksi, proteksi, sosialisasi, religius dan sebagainya”. 39 Pelaksanaan edukasi
keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipikul orang tua.
Sebagai salah satu momen dari tri pusat pendidikan, keluarga merupakan
pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Iklim lingkungan keluarga, sikap
dan kebiasaan hidup semua anggota keluarga, keberagamaan dalam keluarga,
akan memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan dan pembentukan
kepribadian remaja kelak.
Zakiah Daradjat menegaskan tentang peran keluarga sebagai lembaga
pendidikan dalam salah satu tulisannya;
38
Ibid., h. 21
Ibid., h. 21
39
18
Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan
menyenangkan, maka anak akan tumbuh baik pula. Jika tidak, maka akan
terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan orang tua dalam
keluarga amat penting. Dialah yang mengantarkan dan membuat rumah
tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga. Menjadi mitra sejajar
yang saling menyayangi dengan suaminya.40
Dalam membicarakan pasal tempat-tempat pendidikan, memang benar
bahwa rumah tangga dan masyarakat termasuk dalam kategori wadah
dilaksanakannya pendidikan. Rumah tangga, memiliki pengaruh yang lebih dalam
pendidikan terutama dalam aspek pengaruh bahasa dan percakapan, moral dan
perilaku, perasaan dan sebagainya.
Sejalan dengan hal itu, maka sebagai wadah dimana pendidikan
dilaksanakan, rumah tangga atau keluarga berfungsi dan mempunyai tanggung
jawab dalam tiga hal penting:
a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan
membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.
b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam
memenuhi perannya sebagai orang dewasa.
c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.41
Pendidikan anak secara umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah,
tanpa disadari oleh orang tua bahkan anggota keluarga lainnya, namun pengaruh
dan akibatnya sangatlah besar. Terutama pada tahun-tahun pertama dari
kehidupan anak atau pada masa balita (di bawah lima tahun). Pada umur tersebut
pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait kepada panca inderanya dan belum
bertumbuh pemikiran logis atau maknawinya (abstrak), atau dapat kita katakan
bahwa anak masih berpikir inderawi.
Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga terutama para
orang tua untuk lebih memperhatikan dan memahami ciri-ciri anak pada umurumur tertentu dan mengetahui keperluan utama anak pada berbagai tahap umur,
40
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV
Ruhama, 1994), h. 47
41
Ulfatmi, op.cit., h. 27
19
hal ini guna mencapai tujuan dan fungsi-fungsi pendidikan dalam keluarga, yang
salah satunya adalah mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasanya yang akan
datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa. Karena dalam kondisi
apapun pada dasarnya manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan, dan
bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya
berjalan secara baik dan benar.
Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya
adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati.
Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati ibu dan bapak
diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri
ini, timbul rasa kasih dan sayang para orang tua kepada anak-anaknya, hingga
secara moral, keduanya merasa terkena beban tanggung jawab untuk memelihara,
mengawasi, melindungi dan membimbing keturunan mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan anak. Perkembangan agama adalah terjalin dengan unsur-unsur
kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah
yang menyangkut kejiwaan manusia sangat kompleks. Namun demikian,
melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama
terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga
kejiwaan ini pulalah, agama itu dalam menanamkan jiwa keagamaan pada
anak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Rasul yang mulia
menekankan tanggung jawab itu kepada kedua orang tua.42
Berkaitan dengan perkembangan agama, fungsi dan peran orang tua
bahkan mampu membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Setiap bayi yang
dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan
agama yang akan dianut anak sepenuhnya bergantung pada bimbingan,
pemeliharaan dan pengaruh kedua orangtuanya.
Kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Karena
nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat
dan waktu, adalah nilai yang bersumber kepada agama. Karena itu dalam
42
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), Cet.
1, h. 55
20
pembinaan anak khususnya generasi muda, perlulah kehidupan moral dan agama
itu sejalan dan mendapat perhatian yang serius terutama bagi kedua orang tua.43
Dalam pendidikan dan pembinaan generasi muda, peranan wanita sangat
penting, karena seorang ibulah biasanya yang paling lama berada di rumah di sisi
anak-anaknya dan pembinaan itu berarti pembinaan segala aspek dari kehidupan
mereka, terutama pembinaan pribadi yang mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak
dalam kandungan. Di samping itu perlu kita sadari bahwa pembinaan pribadi dan
moral itu terjadi melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan,
pendengaran dan pengalaman/perlakuan yang diterimanya. Atau melalui
pendidikan dalam arti yang luas. Maka semakin besar umur si anak semakin
banyak ia bergaul dengan ibunya dan semakin banyaklah ia menyerap
pengalaman yang akan ikut membina pribadinya dari ibunya sendiri. Namun,
tidak bisa kita pungkiri, bahwa peranan seorang bapak yang sebagai kepala rumah
tangga (pemimpin) juga sangat penting peranannya bagi anak-anaknya.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah SWT, dan setiap
amanat wajib dipertanggung jawabkan. Karena itu kedua orang tua memiliki
tanggung jawab yang besar bagi anak-anaknya, terutama dalam penyelenggaraan
pendidikan dalam keluarga dan pembinaan pribadinya. Peran kedua orangtua
dalam pendidikan anak menjadi dasar bagi perkembangan pola pikir, perilaku dan
sikap anak yang terbentuk, dengan harapan anak-anak yang tumbuh nanti menjadi
anak yang shaleh dan berbudi pekerti baik.
3. Interaksi Harmonis dalam keluarga
Masyarakat merupakan ajang hidup anak remaja di samping keluarga dan
lingkungan sekolah. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang sudah cukup
lama mengadakan interaksi sosial dalam kehidupan bersama yang diliputi oleh
struktur serta sistem yang mengatur kehidupan. Disamping itu di dalamnya
terdapat pula kebudayaan dan salah satu unsur pokok masyarakat, yakni:
Solidaritas sosial. Di dalam kehidupan manusia pastinya terjadi interaksi sosial di
43
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 131
21
antara individu dengan individu yang masing-masing mamiliki kesadaran dan
pengertian tentang hubungan timbal balik tersebut.44
Adanya kesadaran dan pengertian akan tercerminnya dalam sifat
kehidupan sehari-hari mereka yang satu sama lainnya merasa saling bergantung.
Memang di dalam kehidupan sehari-hari seorang individu ternyata jarang sekali
untuk mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara sendiri. Dengan
demikian hubungan manusia dengan manusia lainnya di dalam masyarakat
memerlukan perekat dan bekal agar hubungan tersebut terjalin dengan baik dan
akrab. Agar dapat menjalin hubungan dengan baik antar sesama individu, maka
peranan keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal individu sangat
dibutuhkan.
Seperti halnya yang telah kita ketahui sebelumnya, keluarga terdiri dari
suami, isteri dan anak-anaknya. Anak-anak inilah yang nantinya berkembang dan
mulai bisa belajar melalui pengenalan itu. Apa yang dilihatnya, pada akhirnya
akan memberinya suatu pengalaman individual. Dari situlah ia mulai dikenal
sebagai individu. Individu ini pada tahap selanjutnya mulai merasakan bahwa
telah ada individu-individu lainnya yang berhubungan secara fungsional.
Individu-individu tersebut adalah keluarganyalah yang memelihara cara pandang
dan cara menghadapi masalah-masalahnya, membinanya dengan cara menelusuri
dan meramalkan hari esoknya untuk mempersiapkan pendidikan, keterampilan
dan budi pekertinya. Akhirnya keluarga menjadi semacam model untuk
mengidentifikasikan sebagai keluarga menjadi yang broken home, moderate atau
keluarga yang harmonis.
Keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal anak, sangat
berpengaruh secara langsung terhadap perkembangannya sebelum maupun
sesudah terjun langsung secara individual di masyarakat. Jadi sebagian besar anak
dibesarkan oleh keluarga, di samping itu kenyataan menunjukkan bahwa di dalam
keluargalah anak mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang pertamakali. Pada
dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling kecil, akan
44
1, h. 16-17
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), cet.
22
tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan terkuat di dalam mendidik dan
membina anak, dengan demikian seluk beluk kehidupan keluarga memiliki
pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan anak dan remaja.
Sudarsono menjelaskan, “sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan
juga untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga, maka
sepantasnyalah ketika kemungkinan adanya deviasi pada perkembangan anak
khususnya remaja sebagian besar pula bisa berasal dari keluarga.”45
Dalam kenyataannya sering terjadi hubungan individu dengan individu
atau bahkan hubungan individu dengan kelompok mengalami gangguan yang
disebabkan karena terdapat seorang atau sebagian anggota kelompok di dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang
lain, gangguan-gangguan yang terjadi tidak jarang muncul dari perbuatanperbuatan anak remaja yang tidak terpuji serta mengancam hak-hak orang lain di
tengah-tengah masyarakat, antara lain:
a. Mengancam hak milik orang lain misalnya: pencurian, penipuan dan
penggelapan.
b. Mengancam hak-hak hidup dan kesehatan orang lain, seperti: pembunuhan
dan penganiayaan.
c. Mengancam kehormatan orang lain dan bersifat tidak susila, seperti:
pemerkosaan dan perzinahan.46
Perbuatan-perbuatan
anak
remaja
tersebut
pada
akhirnya
akan
menimbulkan keresahan sosial sehingga kehidupan di dalam keluarga karena
perbuatan si remaja tadi dan dalam masyarakat tidak harmonis lagi, ikatan
solidaritas menjadi runtuh. Secara yuridis formal perbuatan-perbuatan mereka
jelas melawan hukum tertulis atau undang-undang. Kemudian jika ditinjau dari
segi moral dan kesusilaan, perbuatan-perbuatan tersebut melanggar moral,
menyalahi norma-norma sosial dan bersifat anti susila. Kenakalan remaja yang
dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat, sebenarnya bukanlah suatu
keadaan yang berdiri sendiri, kenakalan remaja akan muncul karena beberapa
45
Ibid., h. 20
Ibid., h. 18-19
46
23
sebab, baik karena keadaan lingkungan masyarakat dan terlebih bisa juga karena
keadaan keluarga si remaja.
Pada hakikatnya, kondisi keluarga yang menyebabkan timbulnya
kenakalan remaja itu bersifat kompleks. Di antaranya kondisi tersebut dapat
terjadi karena kelahiran anak di luar perkawinan yang syah menurut hukum atau
agama. Di samping itu kenakalan anak atau remaja juga dapat disebabkan keadaan
keluarga yang tidak normal, yang mencakup keadaan ekonomi keluarga, terutama
menyangkut keluarga miskin atau keluarga yang menderita kekurangan jika
dibandingkan dengan keadaan ekonomi penduduk pada umumnya. Bahkan sering
terjadi dalam keadaan mendesak seluruh anggota keluarga ikut mencari nafkah
untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi keluarga seperti ini biasanya memiliki
konsekuensi lebih lanjut dan kompleks terhadap anak-anak, antara lain: hampir
setiap hari anak terlantar, biaya sekolah anak-anak tidak tercukupi, di samping itu
biaya kebutuhan lainnya juga tidak tercukupi. Akibatnya akan kompleks pula,
dalam kondisi yang serba sulit dapat mendorong anak atau remaja menjadi
sembarangan bergaul, kemudian bisa terpengaruh gaya hidup temen sebayanya,
sehingga bisa menjadi penyebab deviasi pada perkembangan anak dan remaja.47
Dalam perspektif teori sosial-psikologi memandang bahwa kebutuhankebutuhan remaja itu adalah berkaitan erat dengan pemuasan kebutuhan mereka
dalam kelompoknya.
Kebutuhan-kebutuhan
psikologi
yang pokok
akan
mengarahkan tercapainya rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, adalah sebagai berikut:
a. Kebutuhan untuk menerima afeksi dari kelompok atau individu lain, meliputi:
1) Menerima rasa kasih sayang dari keluarga atau orang lain di luar
kehidupan keluarga
2) Menerima pemujaan atau sambutan hangat dari teman-temannya
3) Menerima penghargaan dan apresiasi dari guru dan pendidik lainnya.
b. Kebutuhan untuk memberikan sumbangan kepada kelompoknya, meliputi:
1) Menyatakan afeksi kepada kelompoknya
2) Turut serta memikul tanggung jawab kelompok
47
Ibid., h. 20-21
24
3) Menyatakan kesediaan dan kesetiaan kepada kelompok
4) Menghayati keberhasilan dalam kelompok
c. Kebutuhan untuk memahami
d. Kebutuhan untuk mempelajari dan menyelidiki sesuatu
Jika dikaji lebih lanjut tentang interaksi dalam keluarga. Keluarga
memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan remaja. Untuk
mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dalam keluarga, di antaranya memang
diperlukan penciptaan suasana yang baik adalah usaha menciptakan terwujudnya
saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling percaya dan saling
menyayangi di antara suami isteri dan antara seluruh anggoata keluarga lainnya. 48
Untuk pencapaian tujuan tersebut maka setiap rumah tangga dituntut untuk
memiliki pola pembinaan terencana untuk keluarga khususnya terhadap anak. Di
antara pola pembinaan terencana tersebut ialah memberi suri tauladan yang baik
kepada anak-anak dalam berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama dan akhlak
yang mulia, menyediakan bagi anak-anak peluang-peluang dan suasana praktis di
mana mereka mempraktekkan akhlak yang mulia yang diterimanya dari orang
tuanya, memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anak supaya mereka
merasa bebas memilih dalam tindak-tanduknya, menunjukkan bahwa keluarga
selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana dalam sikap dan tingkah
laku kehidupan sehari-hari mereka, menjaga mereka dari pergaulan teman-teman
yang menyeleweng dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan moral.
Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga dengan
anggota kelompoknya pada dasarnya dapat diidentifikasi sebagai sebuah kelas
yang menjalankan proses transformasi perilaku, pengetahuan serta sikap, terutama
sikap terampil dan mandiri. Selain itu sebagai sebuah lembaga pendidikan rumah
tangga berkepentingan menyediakan pendidikan pra-nikah agar keharmonisan
yang telah dicapai dapat diwariskan kepada generasi sesudahnya.49 Ada banyak
problema yang bisa dijadikan bahan ajar terhadap remaja-remaja yang beranjak
dewasa di dalam keluarga sebagai bekal bagi mereka ketika berumah tangga.
48
Zakiah Daradjat, op.cit., h. 47
Ulfatmi, op.cit., h. 27
49
25
Isyu-isyu kekerasan dalam rumah tangga, perilaku seks remaja dan akibatnya,
ragam pesoalan suami isteri, pengaturan ekonomi dan pendidikan, perilaku
berumah tangga serta memahami hubungan rumah tangga dengan masyarakat
semuanya adalah bahan kajian yang bisa ditransfer kepada para remaja dalam
rangka mempersiapkan diri mereka munuju gerbang pernikahan.
C. Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya
1. Pengertian Remaja
Remaja ada di dalam tempat marginal. Berhubung ada macam-macam
persyaratan untuk dapat dikatakan dewasa, maka lebih mudah untuk dimasukkan
kategori anak dari pada kategori dewasa. Baru pada akhir abad ke-18 maka masa
remaja dipandang sebagai periode tertentu lepas dari periode kanak-kanak.
Meskipun begitu kedudukan dan stasus remaja berbeda dari pada anak.
“Remaja berasal dari kata latin adilenscere (kata bendanya, adolensecentia
yang berarti remaja), yang berarti pula “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa”.50
Lazimnya masa remaja dianggap sebagai permulaan seorang anak secara seksual
menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.
Umur remaja dalam pandangan hukum dapat diketahui dari posisinya
dimata hukum. Undang-Undang No. 22/ 2009 tentang lalu lintas, pasal 81 ayat 2
menetapkan syarat usia 17 tahun untuk SIM-A (Surat Izin Mengemudi Mobil) dan
SIM-C (surat izin mengemudi Sepeda Motor). Undang-undang ini tidak
mengecualikan mereka yang sudah menikah di bawah usia tersebut dan
memperlakukan semua yang di bawah usia tersebut sebagai belum cukup usia,
atau belum dewasa untuk mengemudi kendaraan bermotor. Sementara itu,
Undang-Undang No. 10/ 2008, tentang Pemilu, pasal 1 angka 22 menetapkan usia
17 tahun atau sudah menikah sebagai batas usia seseorang berhak memilih dalam
pemilihan umum.51
Dalam hubungannya dengan hukum, tampaknya hanya Undang-Undang
Perkawinan saja yang mengenal konsep “remaja walaupun secara tidak terbuka.
50
Zakiah darajat, Psikologi, (Bandung: Teraju Mizan, 1974), h. 178
Sarlito W Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 14.
51
H. 7-8
26
Usia minimal untuk suatu perkawinan menurut undang-undang tersebut adalah 16
tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (pasal 7 UU No. 1/ 1974 tentang
perkawinan). Jelas bahwa undang-undang tersebut menganggap orang di atas usia
tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah.
Dari segi ajaran Islam istilah remaja atau kata yang berarti remaja tidak
ada dalam Islam. Di dalam Al-Quran ada kata (alfiyatu-fityatun) yang artinya
orang muda. Seperti firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Kahfi :
                
Artinya: “(ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung
ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah
rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami
petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)”. (QS. Al-Kahfi [18]: 10)52
Dan terdapat pula kata baligh yang menunjukkan seseorang tidak kanakkanak lagi, misalnya dalam surat An-Nuur:
           
         
Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka
hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum
mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur [24]: 59)53
Pada kata baligh tersebut terdapat istilah kata baligh yang dikaitkan
dengan mimpi. Kata baligh dalam istilah hukum Islam digunakan untuk
penentuan umur awal kewajiban-kewajiban melaksanakan hukum Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
“Masa remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan.
Masa ini dikenal sebagai suatu periode peralihan, suatu masa perubahan yang
sangat pesat, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang
52
Departemen Agama, op. cit., h. 235
Ibid., h. 285
53
27
menakutkan, masa yang tidak realistic dan pada akhirnya mengalami masa
ambang dewasa”.54
Kemudian mengenai perkembangan remaja. Para ahli psikologi pada
umumnya menunjuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses
perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan
karakterisitik psikis yang baru. Perubahan seperti itu tidak terlepas dari perubahan
yang terjadi pada struktur biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan
dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis. Perubahan
kemampuan dan karakterisitik psikis sebagai hasil dari perubahan dan kesiapan
struktur biologis sering dikenal istilah “kematangan”.55
Perkembangan berkaitan erat dengan pertumbuhan. Berkat adanya
pertumbuhan maka pada saatnya anak akan mencapai kematangan. Perbedaan
antara pertumbuhan dan kematangan, pertumbuhan menunjukkan perubahan
biologis yang bersifat kuantitatif, seperti bertambah panjang ukuran tungkai,
bertambah lebarnya lingkar kepala, bertambah beratnya tubuh, dan semakin
sempurnanya susunan tulang dan jaringan syaraf.
Adapun tahapan fase perkembangan individu berdasarkan psikologis. Para
ahli menggunakan aspek psikologis sebagai landasan menganalisa tahap
perkembangan yang khas bagi individu pada umumnya dapat digunakan sebagai
masa perpindahan dari fase yang satu ke fase yang lain dalam perkembangannya.
Dalam hal ini para ahli berpendapat bahwa dalam perkembangan pada umumnya
individu mengalami kegoncangan. Kegoncangan tersebut terjadi dua kali yaitu
pada tahun ketiga dan keempat dan pada permulaan masa pubertas.
Berdasarkan dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu
dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu:
a. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang
disebut masa kanak-kanak).
b. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang
disebut masa keserasian bersekolah.
54
M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3, h. 25
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op. cit., h. 11
55
28
c. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang disebut masa
kematangan.56
Pendapat para ahli tentang pembagian fase atau rentangan usia adalah
beragam, tetapi pada umumnya setiap fase melewati atau melalui proses
perkembangan yang sama. Dan pada umumnya fase usia tersebut terdapat pada
tiga fase usia yaitu masa kanak, masa remaja/puber, dan masa dewasa.
Jika berbicara fase perkembangan remaja, maka batas usia remaja lebih
banyak bergantung kepada keadaan masyarakat di mana remaja itu hidup. Yang
dapat ditentukan dengan pasti adalah permulaannya yaitu puber pertama atau
mulainya perubahan jasmani dari anak menjadi dewasa kira-kira umur akhir 12
atau permulaan 13 tahun.57 Atau disebut masa remaja pertama yaitu pada usia 1316 tahun dan masa remaja terakhir pada usia 17-21 tahun.
2. Ciri-ciri Masa dan Perkembangan Remaja
“Perkembangan pribadi manusia menurut psikologi berlangsung sejak
terjadinya konsepsi sampai mati yaitu sejak terjadinya sel bapak-ibu (konsepsi)
sampai
mati
perkembangan”.
individu
58
senantiasa
mengalami
perubahan-perubahan
atau
Perkembangan yang dimaksud adalah merupakan istilah
perkembangan secara umum yang diartikan sebagai serangkaian perubahan dalam
susunan yang berlangsung secara teratur, progresif, jalin menjalin dan terarah
kepada kematangan atau kedewasaan.
Masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat baik dalam
perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Alisuf Sabri
mengemukakan ada empat ciri perubahan yang bersifat universal selama masa
remaja, yaitu:
1) Meningkatnya emosi, intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik
dan psikologis yang terjadi; perubahan emosi ini banyak terjadi pada masa
awal remaja.
56
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007), cet. 1, h. 75
57
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1977). Cet. 4. h. 109
58
M. Alisuf Sabri, op. cit., h. 10
29
2) Perubahan fisik, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok
sosial menimbulkan masalah-masalah baru sehingga selama masa ini si remaja
merasa ditimbuni masalah.
3) Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Apa
yang dianggap penting/bernilai pada masa kanak-kanak sekarang tidak lagi.
Kalau pada masa kanak-kanak segi kwantitas yang dipentingkan, sekarang
segi kwalitas yang diutamakan.
4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan.
Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut
bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk
melaksanakan tanggung jawab tersebut.59
Menurut Zakiah Daradjat ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan remaja
ditandai dengan:
a. Perkembangan Fisik
Pada remaja pertumbuhan jasmani menjadi cepat, badannya berubah dari
kanak-kanak menjadi dewasa dalam masa empat tahun (usia 13-16 tahun).
Perubahan tubuhnya tidak serentak dan kadang-kadang tidak seimbang, sehingga
keserasian gerak hilang. Tanpa disengaja ia sering jatuh dan menjatuhkan barang
yang dipegangnya, seperti piring, gelas, cangkir dan sebagainya. Hidungnya
kelihatan besar, karena hidung lebih cepat tumbuh daripada bagian muka yang
lainnya. Akibatnya, rupanya kurang cantik atau kurang gagah.60
Secara lengkap Sarlito menyebutkan urutan perubahan-perubahan fisik
tersebut sebagai berikut; Pada anak perempuan: 1) Pertumbuhan tulang-tulang
(badan menjadi tinggi, anggota-aanggota badan menjadi memanjang), 2)
Pertumbuhan payudara, 3) Tumbuh bulu halus dan lurus berwarna gelap di
kemaluan, 4) Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap
tahunnya, 5) Bulu kemaluan menjadi keriting, 6) Haid, 7) Tumbuh bulu-bulu
ketiak. Pada anak laki-laki: 1) Pertumbuhan tulang-tulang, 2) Testis (buah pelir)
membesar, 3) Tumbuh bulu kemaluan yang halus, dan berwarna gelap, 4) Awal
59
M. Alisuf Sabri, op.cit., h. 26
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 87
60
30
perubahan suara, 5) Ejakulasi (keluarnya air mani), 6) Bulu kemaluan menjadi
keriting, 7) Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap
tahunnya, 8) Tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot), 9) Tumbuh
bulu ketiak, 10) Akhir perubahan suara, 11) Rambut-rambut di wajah bertambah
tebal dan gelap, 12) Tumbuh bulu di dada. 61
Semua perubahan jasmani cepat itu, menimbulkan kecemasan pada
remaja, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan
kekuatiran bahkan kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur
sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap
dirinya.62
Menurut Pustika Rucita, B.A., M. Psi. seperti dikutip Tribun Pontianak,
Smart Mom, Minggu 29 April 2012, Psikolog dari personal Growth Counseling
and Development Center, “proses kembang tumbuh anak usia ini (remaja) akan
menjadi pesat. Pembentukan alat reproduksi mereka juga akan menjadi matang,
yang berpengaruh pada kestabilan hormon. Masa remaja sering dianggap sebagai
usia labil atau diistilahkan dengan: masa “ombak dan badai”, yang mana anakanak tengah mencari identitas diri”.63 Adanya proses hormonal yang yang terus
berkembang itu menurut Pustika, kerap membuat emosi anak-anak menjadi tidak
selalu stabil. Terkadang mereka mudah terganggu oleh hal-hal kecil dan
cenderung menjadi sensitif.
Zakiah Daradjat menambahkan pertumbuhan jasmani pada remaja
membawa pula kepada timbulnya dorongan seks, yang memantul dalam tingkah
laku dan perhatian terhadap jenis lain dan teman-temannya. kalau dulu waktu
umur sekolah dasar, perhatian kepada teman lawan jenis itu kurang, tapi sekarang
timbul rasa senang ingin mendekat dan bergaul dengan mereka. Akan tetapi
keinginan itu mungkin akan dihalangi oleh perasaan yang goncang, karena
ketidakserasian pertumbuhan jasmani. Maka sikapnya pun mundur maju dan
kadang-kadang tampak kaku.64
61
Sarlito W Sarwono, op. cit., h. 62-63
Zakiah Daradjat, op. cit.,h. 133
63
Moh Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2013), h. 118
64
Zakiah Daradjat op. cit.,h. 134
62
31
Perubahan cepat yang kurang menyenangkan itu,bila tidak dipahami oleh
remaja, akan menjadi resah dan takut. Jangan-jangan ia akan bertumbuh menjadi
manusia yang tidak cantik, tidak tampan dan mempunyai kelainan, begitu kirakira pendapatnya. Hal ini akan masuk akal, karena remaja mulai menapak menuju
dewasa disertai oleh berbagai faktor yang jika tidak difahaminya, akan
menyebabkannya cemas, takut dan menggoncangkan jiwanya.
Perubahan cepat yang terjadi pada fisik remaja, membawa pula pada sikap
dan perhatian terhadap dirinya sendiri yang telah menjadi seperti orang dewasa
itu.Ia menuntut agar orang dewasa memperlakukannya tidak lagi seperti kanakkanak. Di lain pihak ia merasa belum mampu mandiri dan masih memerlukan
bantuan orang tua untuk membiayai keperluan hidupnya.
Dari penjelasan di penulis berkesimpulan bahwa perkembangan fisik
remaja berkembang pesat karena dipengaruhi oleh perubahan hormon, yang
berakibat timbulnya dorongan seksual disertai perubahan bagian tubuh antara
laki-laki dan perempuan. Bagi perempuan akan mengalami menstruasi dan lakilaki mengalami mimpi basah.
b. Perkembangan Emosi
Keadaan emosi remaja yang goncang sering kali diungkapkan dengan cara
yang tajam dan sungguh-sungguh. Kadang-kadang ia mudah meledak dan mudah
tersinggung. Padahal ia juga mudah menyinggung perasaan orang tua atau orang
lain tanpa disadarinya. Sementara itu ia mengalami perasaan aneh, ia mulai
tertarik kepada temannya lawan jenis. Akan tetapi ia malu karena perkembangan
tubuhnya kurang menarik. Kadang-kadang perasaannya galau tak menentu.
Di satu pihak, emosi yang menggebu-gebu ini memang menyulitkan,
terutama untuk orang lain (termasuk orang tua dan guru), dalam memahami jiwa
si remaja. Namun dipihak lain, bagi Sarlito emosi yang menggebu ini bermanfaat
untuk remaja itu terus mencari identitas dirinya. Emosi yang tak terkendali itu
antara lain disebabkan oleh konflik peran yang sedang dialami remaja. Ia ingin
bebas, tetapi ia masih bergantung kepada orang tua. Ia ingin dianggap dewasa,
sementara ia masih diperlakukan seperti anak kecil.
32
Menurut Zakiah Daradjat sesungguhnya pengaruh perasaan (emosi)
terhadap agama, jauh lebih besar daripada rasio (logika). Banyak orang
yang mengerti agama dan agama itu dapat diterima oleh fikirannya, tetapi
dalam pelaksanaannya ia sangat lemah, kadang-kadang tidak sanggup
mengendalikan dirinya sesuai dengan pengertiannya itu.65
Remaja yang sedang mengalami perubahan cepat dalam tubuhnya, dimana
ia harus mampu pula menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, sangat
memerlukan perhatian dan bantuan dari berbagai pihak, baik dari pihak orang
tuanya, guru, maupun orang dewasa lainnya. Orang tua yang memahami keadaan
anaknya yang sedang berjuang menghadapi dirinya yang berubah cepat dengan
kadar yang tidak seimbang itu, akan membantu menenangkan perasaan anaknya
yang goncang itu dengan jalan tidak banyak mengkritiknya. Sebaliknya orang tua
harus lebih banyak menghargai usahanya dan menyatakan bahwa semua orang
melalui gelombang pertumbuhan dan perkembangan seperti itu dalam umur-umur
remaja tersebut.66
Permasalahan diatas yang menyebabkan kegoncangan jiwa, biasanya tidak
tampak dari luar secara langsung. Tapi remaja memperlihatkan diri dalam bidangbidang kehidupan lainnya. Misalnya menjadi pemalas, acuh tak acuh, sakitsakitan, nakal dan lainnya. Sehingga Peran orang tua untuk membimbing remaja
dalam pendidikan agama di harapkan agar remaja tidak salah dalam bergaul,
orang tua jangan sampai memungkiri perasaan yang mereka alami atau
menanggapinya dengan hukum ketentuan dosa-pahala saja. Akan tetapi perlulah
masalah itu ditanggapi dengan cara yang membuat remaja lega, dan dengan
memberikan pendidikan-pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai positif (moral)
kepada remaja.
c. Perkembangan Kecerdasan
Masa remaja adalah masa perkembangan kecerdasan yang akan mencapai
puncaknya. Pada umur kira-kira 14 tahun mereka telah mengambil kesimpulan
abstrak dari kenyataan yang ditemukannya. Pada umur antara 16-18 tahun
65
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 94
Ibid.,h. 89
66
33
perkembangan kecerdasan dapat dikatakan selesai. Masa remaja awal merupakan
tahap penting yang mempersiapkannya memasuki tahap remaja akhir (17-21
tahun), yang akan menghadapi berbagai masalah yang lebih berat dan menentukan
dimasa dewasanya nanti.67
Secara kognitif anak di usia ini akan lebih mampu berfikir abstrak dan
mampu menalarkan penyebab dari suatu permasalahan. Walaupun cara berfikir
mereka terkadang masih kekanak-kanakan. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana
mereka menampilkan tingkah laku dalam keseharian.68
Pada usia ini seseorang telah mampu mengkritik orang tuanya, guru dan
para pemimpin yang menurut penilaian obyektif kurang baik atau tidak bijaksana.
Maka suasana demokrasi di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan akan
membantu remaja menjadi orang yang kritis dan berfikiran matang. Masa dimana
seseorang bertanggung jawab atas segala perbuatannya.69
Sepintas lalu peranan orang tua dalam pendidikan agama bagi remaja tidak
ada, atau kurang, karena anak telah meninggalkan masa kanak-kanak dengan
segala ketergantungannya kepada ibu-bapaknya. Ia telah melangkah menuju umur
dewasa yang mandiri dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya
kepada Allah Swt. Namun demikian remaja awal (13-16 tahun) belum dapat
mandiri dalam banyak hal, terutama dalam bidang keuangan dan penghidupan
sehari-hari.
Dari paparan di atas dapat difahami bahwa perkembangan kecerdasan pada
usia remaja belum mencapai sempurna sebelum usia 12 tahun. setelah masuk usia
14 tahun, barulah pemahaman mereka terhadap hal-hal yang abstrak sudah masuk
mampu mengambil kesimpulan dari fakta-fakta yang ada.
d. Perkembangan Sosial
Zakiah Daradjat mengatakan perkembangan sosial pada masa remaja
semakin
meningkat,
bahkan
kebutuhan
akan
pengakuan
teman
lebih
diutamakannya daripada perhatian orang tuanya, karena ia sedang mengalami
67
Ibid., h. 90-91
Moh Haitami Salim , loc. cit., h. 118
69
Zakiah Daradjat, op. cit., 92
68
34
proses pertumbuhan dan perkembangan cepat yang sering kali tidak difahaminya.
Hubungan remaja dengan orangtuanya kadang-kadang renggang, apabila
orangtuanya tidak memahami proses pertumbuhan jasmaninya yang amat cepat
itu dan perkembangan kecerdasan yang menyebabkan berubah dari suka
menerima menjadi menentang apabila tidak masuk akalnya. Namun demikian
remaja memerlukan orang tua sebagai tempat mengeluh, bercerita tentang diri,
pengalaman yang tidak dapat difahaminya.70
Dalam interaksinya di dalam keluarga dan pergaulannya di masyarakat,
remaja akan sangat merasa sedih apabila diremehkan atau dikucilkan dari
masyarakat atau teman-temannya. Karena itu mereka tak mau ketinggalan dari
mode atau kebiasaan teman-temannya. Mereka sangat gelisah apabila dipandang
rendah atau diejek oleh anggota keluarga lainnya ataupun teman-temannya,
terutama teman dari lawan jenis. Kadang-kadang, mereka juga akan sangat marah
kepada orang tuanya, apabila orang tuannya itu mencela teman-temannya.
Merekapun sangat marah atau tak senang apabila ditegur, dikritik, atau dimarahi
di depan teman-temannya.71
Menghadapi anak pada usia ini, orang tua memang memerlukan kesabaran
yang ekstra dan bersikap lembut tapi tegas. Dengan begitu, orangtua dapat
memainkan ritme arahan dan bimbingannya kepada anak agar tetap terjaga dalam
koridor agama yang baik dan tidak terhanyut pada sikap anak yang labil dalam
mencari identitas dirinya.
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa perkembangan sosial
pada remaja awal mulai meningkat, walaupun peran mereka di masyarakat belum
di akui karena sikap mereka yang terkadang masih labil. Dalam kondisi seperti
inilah orang tua harus lebih ekstra memberikan perhatian kepada remaja.
e. Perkembangan Agama
Proses pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, sosial dan
kejiwaan pada umumnya menyebabkan remaja goncang dan memerlukan bantuan
70
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 91
Bambang Syamsul Arifin, op. cit., h. 67
71
35
dari luar, misalnya orang tua, guru dan teman yang mampu memahaminya serta
mau membantunya. Dalam suasana yang kurang jelas dan tidak menentu itulah
remaja sangat membutuhkan Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang dan
Penolong, yang selalu hadir dihatinya, kapan saja ia membutuhkannya. Disini
pendidikan agama yang tepat sebelumnya dapat membantunya.
Ide-ide dan pokok ajaran-ajaran agama yang diterimanya waktu kecil itu
akan berkembang dan bertambah subur, apabila anak atau remaja dalam menganut
kepercayaan itu tidak mendapat kritikan-kritikan dalam hal agama itu. Dan apa
yang bertumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang dipeganginya
melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.72
Pertumbuhan
pengertian
tentang
ide-ide
agama
sejalan
dengan
pertumbuhan kecerdasan. Pengertian-pengertian hal-hal yang abstrak, yang tidak
dapat dirasakan atau dilihat langsung seperti pengertian tentang akhirat, surga,
neraka, dan lain-lainnya, baru dapat diterima oleh anak-anak apabila pertumbuhan
kecerdasannya telah memungkinkannya untuk itu. Itulah sebabnya seharusnya
pengertian-pengertian yang abstrak dikurangi, apabila umur remaja belum dicapai
anak.
Perasaan remaja terhadap Allah bukanlah perasaan yang tetap, tidak
berubah-ubah, akan tetapi adalah perasaan yang bergantung pada perubahanperubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa-masa remaja pertama.
Kebutuhan akan Allah kadang-kadang tidak terasa, apabila jiwa mereka dalam
keadaan aman tentram dan tenang. Tetapi sebaliknya Allah sangat dibutuhkan
apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi bahaya yang
mengancam, ketika ia takut akan gagal, atau mungkin juga karena merasa
berdosa. Dalam hal ini remaja akan merasa bahwa sembahyang atau membaca
kitab suci dan kegiatan-kegiatan agama lainnya dapat mengurangi kesedihan,
ketakutan, dan rasa penyesalan lainnya.73
Menurut Zakiah Daradjat, sikap remaja terhadap agama berbeda-beda,
sehingga terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:74
72
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 86-87
Zakiah Daradjat, op. cit., 97
74
Ibid., h. 106
73
36
1) Percaya turut-turutan.
Sesungguhnya
kebanyakan
remaja
percaya
kepada
Tuhan
dan
menjalankan ajaran agama, karena mereka terdidik dalam lingkungan keluarga
yang beragama, teman-teman dan masyarakat, sekelilingnya rajin beribadah, maka
mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar
mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup. Percaya yang seperti inilah yang
dinamakan percaya turut-turutan. Mereka seolah-olah apatis, tidak ada perhatian
untuk meningkatkan agama, dan tidak mau aktif dalam kegiatan-kegiatan agama.
Kepercayaan turut-turutan itu biasanya terjadi, apabila orang tua
memberikan didikan agama dengan cara yang menyenangkan, jauh dari
pengalaman-pengalaman pahit di waktu kecil, dan setelah menjadi remaja tidak
mengalami pula peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang menggoncangkan jiwanya,
sehingga cara kenakalan-kenakalan dalam beragama itu terus berjalan, tidak perlu
ditinjaunya kembali. Akan tetapi apabila dalam usia remaja, ia menghadapi
peristiwa-peristiwa yang mendorongnya untuk meneliti kembali pengalamanpengalaman waktu kecil, dan juga diarahkan oleh orang tuanya, maka ketika itu
kesadarannya akan timbul, sehingga ia menjadi bersemangat sekali, tidak raguragu, atau anti agama.
Percaya turut-turutan ini biasanya tidak lama, dan banyak terjadi pada
masa-masa remaja pertama (umur 13-16 tahun). Sesudah itu biasanya berkembang
kepada cara yang lebih kritis dan lebih sadar.
2) Percaya dengan kesadaran
Kesadaran agama atau semangat agama pada masa remaja itu, mulai
dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya
beragama di masa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya
waktu kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa
komentar atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Mereka ingin menjadikan
agama, sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia
tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja. Menurut zakiah biasanya
37
semangat agama itu tidak terjadi sebelum umur 17 tahun atau 18 tahun.75
Tindakan dari sikap agama remaja atau orang-orang yang telah
mempunyai semangat agama yang positif, akan terlihat perbedaan-perbedaannya
sesuai dengan kecenderungan kepribadiannya, hal itu dapat terbagi kedalam dua
macam. Pertama, ekstrover: berkpribadian terbuka, yaitu orang yang dengan
mudah mengungkapkan perasaannya keluar (kepada orang lain). Kedua, introver:
berkepribadian tertutup, yaitu orang-orang yang lebih cenderung kepada
menyendiri dan menyimpan perasaannya.
Remaja yang mempunyai sifat ekstrover terhadap semangat agama, maka
praktik-praktik dan keyakinannya tidak saja untuk dirinya, akan tetapi ia akan
mengajak orang untuk meyakini apa yang diyakininya. Sedangkan pada remaja
yang mempunyai sifat kepribadian introvert maka ia tidak berusaha menarik
orang mempercayai apa yang dipercayainya, tapi ia hanya tenggelam dalam
praktik-praktik kebatinannya.
3) Kebimbangan Beragama
Kebimbangan remaja terhadap ajaran agama yang pernah diterimanya
tanpa kritik waktu kecilnya itu, merupakan pertanda bahwa keasadaran beragama
telah terasa oleh remaja. Tentunya kemampuan untuk merasa ragu-ragu terhadap
apa yang dulu diterimanya begitu saja, berhubungan erat dengan pertumbuhan
kecerdasan yang dialaminya. Biasanya kebimbangan itu mulai menyerang remaja,
setelah pertumbuhan kecerdasan mencapai kematangannya, sehingga ia dapat
mengkritik, menerima atau menolak apa saja yang diterangkan kepadanya.
Menurut Zakiah Daradjat kebimbangan remaja terhadap agama itu tidak
sama, berbeda antara satu dengan lainnya, sesuai dengan kepribadiannya masingmasing. Ada yang mengalami kebimbangan ringan, yang dengan cepat dapat
diatasi dan ada yang sangat berat sampai kepada berubah agama. Kebimbangan
dan kegoncangan keyakinan yang terjadi sesudah perkembangan kecerdasan
selesai itu, tidak dapat dipandang sebagai suatu kejadian yang berdiri sendiri akan
tetapi berhubungan dengan segala pengalaman dan proses pendidikan yang
75
Ibid. h. 109
38
dilaluinya sejak kecil.76
Kebimbangan itu bergantung kepada dua faktor penting, yaitu keadaan
jiwa orang yang bersangkutan dan keadaan sosial serta kebudayaan yang
melingkupi remaja tersebut. Mungkin saja kebimbangan dan keingkaran kepada
Tuhan itu, merupakan pantulan dari keadaan masyarakat, yang dipenuhi oleh
penderitaan, kemorosotan moral, kekacauan, dan kebingungan. Atau mungkin
juga merupakan pantulan dari kebebasan berfikir yang menyebabkan agama
menjadi sasaran dan arus sekularisme.
Kepercayaan agama dalam penuh kebimbangan dan goncangan itulah
peranan orang tua sangat penting untuk membimbing dan membawa remaja ke
jalan yang diridhai Allah, jauh dari perbuatan dan kelakuan yang tidak diridhaiNya.
4) Tidak Percaya Kepada Tuhan
Perkembangan remaja ke arah tidak mempercayai adanya Tuhan itu,
sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari kecilnya. Apabila seorang anak
merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua kepadanya, maka ia
telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, dan selanjutnya
kekuasaan terhadap siapapun. Setelah usia remaja dicapainya, maka tantangan itu
akan berani menampakkan diri dalam bentuk menentang Tuhan bahkan
menentang ujud-Nya.
Kecuali pengalaman pahit di waktu kecil itu, juga ikut mempengaruhi
keyakinan remaja-remaja, keadaan dan peristiwa-peristiwa yang sedang
dialaminya, terutama kebudayaan dan filsafat yang melingkupinya. Mungkin
dalam kehidupan masyarakat terdapat ide-ide dan keyakinan-keyakinan baru,
yang dapat menggantikan ide-ide dan keyakinan agama bagi remaja.
Proses yang membawa seseorang kepada anti Tuhan, bukanlah suatu
proses sederhana, yang dapat dikatakan karena satu sebab tertentu. Akan tetapi, ia
adalah proses perubahan kepribadian yang ikut bekerja di dalamnya bermacammacam faktor.
76
Ibid. h. 115
39
D. Perkembangan Moral Remaja
“Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku
mengenai standar tentang benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi
intrapersonal yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak terlibat dalam
interaksi sosial, dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan
penyelesaian konflik.”77
Ditinjau dari kesadaran moral yang berkaitan dengan perkembangan
kognisi seseorang, perkembangan secara kognitif sebelumnya telah dikembangkan
oleh Piaget, yang mengungkapkan bahwa “pada tahap operasional kongkret (8-12
tahun), anak sudah dapat memahami dan menghargai aturan-aturan. Mereka sudah
dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, serta
akibat-akibatnya”.
78
Jadi menurut Piaget, moral anak itu diturunkan dari
perkembangan kognitifnya.
Menurut Piaget, individu berkembang melalui empat tahap kognitif, di
mana pada setiap tahap tahap yang terkait dengan usia ini mengandung cara-cara
pemikiran yang berbeda-beda.
Tahap-tahap Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget
Tahap
Sensorimotor
Tahap
Praoperasional
Tahap
Operasional
Konkret
Tahap
Operasional
Formal
Bayi membangun
pemahaman
mengenai dunia
dengan
mengordinasikan
pengalaman sensoris
dengan tindakan
fisik. Bayi
mengalami kemajuan
dari tindakan reflex
sampai mulai
menggunakan pikiran
simbolis hingga akhir
tahap.
Lahir-2 tahun
Anak mulai
menjelaskan dunia
dengan kata-kata
dan gambar. Katakata dan gambar ini
mencerminkan
peningkatan
pemikiran simbolis
dan melampaui
hubungan informasi
sensoris dan
tindakan fisik.
Anak saat ini dapat
bernalar secara
logis mengenai
peristiwa-peristiwa
konkret dan
menghasilkan
obyek-obyek ke
dalam bentuk –
bentuk yang
berbeda.
Remaja bernalar
secara lebih
abstrak, idealis, dan
logis.
2-7 tahun
7-11 tahun
11 tahun-dewasa
77
John W. santrock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 2, Edisi ke-11,
h. 117
78
Syamsul Bachri Thalib, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif,
(Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, h. 54
40
Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget:
1. Pemikiran Sensorimotor dan Praoperasional Tahap sensorimotor. Berlangsung
mulai dari lahir hingga usia 2 tahun. Dalam tahap ini bayi mengonstruksikan
suatu pemahaman mengenai dunia dengan cara mengordinasikan pengalaman
sensoris (seperti melihat dan mendengar) melalui tindakan fisik-motorik-oleh
karena itu dinamakan istilah sensorimotor. Pada awal dari tahap ini, bayi-bayi
yang baru lahir memiliki lebih dari sekadar refleks-refleks. Pada akhir dari
tahap sensorimotor, bayi berusia 2 tahun dapat menghasilkan pola-pola
sensorimotor yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol.
2. Tahap Praoperasional. Yang berlangsung antara usia 2 hingga 7 tahun,
meupakan tahap Piaget yang kedua. Dalam tahap ini anak-anak mulai
mempresentasikan dunianya dalam bentuk kata-kata, bayangan, dan gambar.
Pemikiran simbolis mereka tadi lebih dari sekadar koneksi antara informasi
dan aksi.
3. Tahap Pemikiran Operasi Konkret. Yang berlangsung antara usia 7 hingga 11
tahun, adalah tahap ketiga menurut Piaget. Penalaran logis menggantikan
pemikiran intuitif selama penalaran dapat diterapkan ke contoh-contoh yang
spesifik atau konkret.
4. Tahap Pemikiran Operasi Formal. Tahap keempat dan terakhir dari
perkembangan kognitif menurut Piaget. Menurut Piaget, tahap ini muncul di
usia antara 11 hingga 15 tahun. Perkembangan kekuatan berpikir remaja
membuka cakrawala kognitif dan sosial yang baru. Karakteristik yang paling
menonjol dari pemikiran operasi formal yang menurut Piaget berkembang di
masa remaja adalah sifatnya yang lebih abstrak dibandingkan pemikiran
operasi konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman
yang aktual atau konkret sebagai titik tolak pemikirannya.79
Setiap tahap-tahap yang berkaitan dengan usia ini mengandung cara-cara
pemikiran yang berbeda-beda. Cara yang berbeda dalam memahami dunia inilah
yang membuat suatu tahap lebih maju dibandingkan tahap lainnya. Hanya sekadar
79
John W. Santrock, Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), edisi 11 jilid 1, h. 124-126Op.cit.,
h. 124-126
41
memiliki informasi lebih banyak tidak membuat pemkiran seorang remaja lebih
maju. Dengan demikian, dalam teori Piaget, kognisi seseorang di tahap yang satu
berbeda secara kualitatif dari tahap lainnya.
Dalam bagian ini, penulis tidak akan menyebutkan secara menyeluruh,
tetapi hanya akan disebutkan bagian tahap operasi konkrit dan operasi formal.
Untuk tahap sensorimotor maupun praoperasional, lebih tepat dijelaskan pada
bagian psikologi perkembangan anak.
Ciri-ciri perkembangan kognitif tahap operasi konkret. Agoes dariyo
mengemukakan bahwa ada 4 ciri-ciri individu yang masih dalam perkembangan
pada tahap ini, yakni: Keinginan untuk memiliki penjelasan secara pasti dan
detail, ketidakmampuan untuk beralih dari tugas satu ke tugas lain secara
langsung, ketidakmampuan untuk mengetahui hubungan antar ide/gagasan, dan
individu sering menginterpretasikan sesuatu hal secara harpiah (apa yang tertulis
dalam bacaan yang ditemuinya). Sedangkan ciri-ciri perkembangan kognitif tahap
operasi formal. Menurut Bracee dan Bracee dalam buku psikologi perkembangan
remaja oleh Agoes dariyo, mengemukakan bahwa ciri-ciri perkembangan kognitif
pada tahap ini yaitu: individu telah memiliki pengetahuan gagasan inderawi yang
cukup baik, individu mampu memahami hubungan antara 2 ide atau lebih,
individu dapat melaksanakan tugas tanpa perintah/instruksi dari gurunya, dan
individu dapat menjawab secara praktis, menyeluruh, dan mengartikan suatu
informasi yang dangkal.80
Secara ekstensif Piaget melakukan pengamatan dan wawancara terhadap
anak-anak yang berusia antara 4 hingga 12 tahun. Salah satu pengamatan beliau,
Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng untuk mempelajari mengenai
bagaimana mereka menggunakan dan memikirkan aturan-aturan permainan. Ia
juga mengajukan sejumlah pertanyaan kepada anak-anak itu mengenai isu-isu
yang menyangkut etika-contohnya, pencurian, kebohongan, hukuman dan
keadilan.
80
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2004), cet
1, h. 56-57
42
Piaget berkesimpulan bahwa anak-anak berpikir melalui dua cara yang
berbeda mengenai moralitas, tergantung pada kematangan perkembangannya,
yaitu: moralitas heteronom (heteronomous morality) adalah perkembangan moral
dalam teori Piaget yang berlangsung antara usia 4 hingga 7 tahun. Keadilan dan
aturan-aturan dipandang sebagai sifat-sifat mengenai dunia yang tidak dapat
diubah dan dihilangkan dari control manusia. Moralitas otonom (autonomous
morality) adalah perkembangan moral dalam teori Piaget yang diperlihatkan oleholeh anak-anak yang lebih besar (sekitar umur 10 tahun ke atas). Anak menjadi
menyadari aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh orang, dan
bahwa
dalam
memutuskan
suatu
tindakan,
seseorang
mempertimbangkan intensi aktor maupun konsekuensinya.
seharusnya
81
Seorang pemikir heteronom menentukan benar atau baiknya perilaku
dengan mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku tersebut, bukan intense dari
aktor. Sebagai contoh, pemikir heteronom mengatakan bahwa memecahkan 12
piring secara tak sengaja ketika mencoba mencuri sepotong kue, itu lebih buruk
dibandingkan apabila memecahkan sebuah piring secara sengaja. Bagi seorang
otonomis moral, malah kebalikannyalah yang benar. Intensi aktor dianggap
sebagai hal yang lebih penting.
Pemikir heteronom juga berpendapat bahwa aturan-aturan itu tidak dapat
diubah dan dibuat oleh otoritas yang memiliki kuasa penuh. Ketika Piaget
memperkenalkan sebuah aturan baru dalam permainan kelereng kepada
sekelompok anak kecil, mereka menolak. Sebaliknya anak-anak yang lebih besarseorang otonomis moral, bersedia menerima perubahan dan mengenali aturanaturan tersebut hanya sebagai suatu kesepakatan yang disetujui bersama secara
sosial dan dapat diubah melalui consensus.
Pemikir heteronom juga mempercayai immanent justice, gagasan bahwa
apabila sebuah aturan dilanggar, maka hukuman akan segera diterima. Anak kecil
berpendapat bahwa pelanggaran secara otomatis berkaitan dengan hukuman.
Kemudian Lawrence Kohlberg mengembangkan pemikiran tersebut
(Piaget), melalui penelitiannya untuk mengidentifikasi tahapan kognitif yang
mendasari perkembangan pemikiran moral. Kemudian dari penelusuran teori yang
81
John W. Santrock, Remaja, Op.cit., h. 302
43
dicetuskan Kohlberg, perkembangan moral telah memberikan dasar bagi analisis
dari banyak pertanyaan yang berkaitan dengan moralitas.
Kohlberg mencoba untuk mengidentifikasi tahapan kognitif yang
mendasari perkembangan pemikiran moral, melalui serangkaian penelitiannya.
Dia menanyakan kepada responden (72 Remaja laki-laki berusia 10, 13 dan 16
tahun), tentang apa yang mereka pikirkan mengenai perbedaan “pilihan moral”.
Pilihan moral tersebut antara lain adalah tentang kasus Heints yang menghadapi
istrinya yang nyaris mati karena sakit kanker. Heints dihadapkan pada pilihan.
Apakah harus membiarkan istrinya sampai mati lantaran tidak bisa membelikan
obat yang harganya sangat mahal, atau harus mengambil obat tersebut secara
paksa dari apoteker tersebut. Pada akhirnya Heints mengambil keputusan untuk
masuk dengan paksa ke dalam toko obat tersebut guna mencuri obat untuk
istrinya.
Para remaja tadi diminta untuk mengomentari keputusan Heints serta
mengidentifikasi alasan-alasannya. Kemudian berdasarkan tanggapan para remaja
terhadap dilemma Heints tersebut, Kohlberg mengambil kesimpulan bahwa
perkembangan setiap individu itu melalui tiga fase tingkatan dari perkembangan
moral, yang masing-masing memiliki sub tahapan.
Tahap-tahap Kohlberg Atas Perkembangan Moral Anak-anak
dan Remaja
Tingkat Perkembangan
Karakteristik Perkembangan Moral
Moral
1. Prakonvensional
1. Ketaatan terhadap hukuman: berupaya untuk
menghindari hukuman.
2. Instrumental: aku akan melakukan itu jika kamu
melakukan sesuatu untuk aku.
2. Konvensional
3. Persetujuan interpersonal: aku akan melakukan
itu dengan baik, dan kamu juga melakukannya,
sebagaimana aku melakukannya.
4. Hukum dan aturan: saya akan melakukan itu
sebab adalah hukum.
3. Postkonvensional
5. Kontrak sosial: saya akan melakukan itu sebab
hal itu adalah yang terbaik untuk semua orang.
6. Etika Universal: aku akan melakukan itu sebab
adalah hak/kebenaran yang bersifat universal.
44
1. Tahap prakonvensional
Pada level prakonvensional, individu-individu merespon perhatian
personal dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan personal secara fisik dan
hedonistik.
Tahap pertama orientasi hukuman. Individu-individu pada tahap pertama
penalaran moral melakukan penilaian (judgments) dalam terminologi
konsekuensi secara fisik. Mereka menghindari hukuman dan bahkan
kadang-kadang mereka mengalah untuk menghindari hukuman.
Tahap kedua orientasi instrumental. Individu-individu pada tahap kedua
perkembangan penalaran moral melakukan penilaian dalam cara atau
aturan yang sesuai dengan kebutuhannya. Mereka tidak loyal terhadap
orang lain. Meskipun demikian, unsur-unsur berbagi rasa dan hubungan
persahabatan, dilakukan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan dan
keuntungan pribadi, bukan diarahkan terhadap kepentingan dan loyalitas
terhadap orang lain.
2. Tahap Konvensional
Pada tahap konvensional. Kebutuhan egosentrik digantikan dengan
harapan terhadap grup. Konformitas, loyalitas, dan identifikasi dengan grup
berbasis pada penilaian moral.
Tahap ketiga orientasi hubungan interpersonal. Berdasar penilaian moral,
remaja pada tahap ini sering kali dikenal sebagai anak laki-laki yang baik,
atau anak perempuan yang manis. Perilaku pada tahap ini ditandai dengan
penerimaan perilaku oleh orang lain. Terutama dalam hal otoritas.
Tahap keempat orientasi hukum dan aturan. Tugas, aturan, pemeliharaan
norma-norma sosial dan rasa hormat untuk otoritas membentuk basis
keputusan moral pada tahap keempat perkembangan moral. Apa yang
benar adalah apa yang mendikte otoritas.
3. Postkonvensional
Sebagaimana diketahui
bahwa tahap otonomi dan prinsip pada tahap
sebelumnya menjadi basis penilaian moral pada tahap postkonvensional. Pada
tahap postkonvensional ketidaktaatan sosial masih dapat ditoleransi.
Tahap kelima orientasi kontrak sosial. Pada tahap kelima ini, hakhak/kebenaran menggantikan otoritas individu. Demikian pula
pengambilan keputusan, tergantung atau didasarkan pada kepentingan
bersama. Penekanan pada consensus menjadi basis untuk mengembangkan
kontrak sosial.
45
Tahap keenam orientasi prinsip etika universal. Kesadaran, perkembangan
penalaran logis, kekomprehensifan, dan universalitas menjadi basis
penilaian moral. Prinsip-prinsip abstrak menjadi basis keadilan. Pada tahap
postkonvensional, individu mengikuti aturan sebagaimana adanya sesuai
dengan asa hukum universal. Pada tahap ini, individu tidak memerlukan
penguatan untuk mengikuti suatu aturan.82
Pada dasarnya “setiap tahapan dibedakan oleh alasan moral yang lebih
kompleks, lebih konferhensif, lebih terintegrasi dan lebih membedakan dari pada
alasan tahapan sebelumnya.”83
Secara umum, alur pengembangan moral adalah suatu pengampunan
dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar
atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran alternatif kompetisi.
Proses perkembangan remaja secara gradual mengalami perubahan dari
perkembangan yang lebih otoritarian menjadi kurang otoriter seiring dengan
perkembangan aspek-aspek kognitif dan kepribadian.
Selain kasus Heints, Kohlberg juga mengidentifikasi isu dilema moral
remaja dari kasus-kasus yang lain yang dapat menimbulkan konflik,
diantaranya: termasuk hukuman, property, afiliasi, otoritas, karakter
watak, norma atau aturan-aturan, kesepakatan (contrac), kebenaran,
kebebasan, kehidupan dan seks. Sebagai contoh, jika seorang remaja
berada pada posisi dilemma antara otoritas dan afiliasi, maka remaja dapat
menggunakan pemikiran moral untuk mengambil keputusan, termasuk
mengikuti standar moral, konsekuensi, kewajaran dan kesadaran moral
dengan perspektif sosial untuk mendukung pilihan itu.84
Menurut perspektif psikoanalisa, Sigmund Freud sebagai tokoh dari aliran
ini berasumsi bahwa mental dan kepribadian seseorang dipandang sebagai suatu
struktur yang tediri dari tiga unsur atau sistem, yakni yang pertama “id” (Das Es)
adalah sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat
naluri-naluri bawaan. Id merupakan sistem yang bertindak sebagai penyedia atau
penyalur energi oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi-operasi atau kegiatankegiatan yang dilakukannya, namun dalam soal energi ini id tidak bisa
mentoleransi penumpukan energi yang bisa menyebabkan meningginya taraf
82
Ibid., h. 55-56
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, op. cit., h. 83
84
Syamsul Bachri Thalib, loc. cit., h. 54-55
83
46
tegangan individu secara keseluruhan, degan demikian individu membutuhkan
sistem lain yang bisa mengarahkannya kepada pengurangan-pengurangan
ketegangan secara nyata atau sesuai dengan kenyataannya yaitu ego. Kedua,
“ego” yang merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah
individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya
berdasarkan prinsip kenyataan. Menurut Freud, ego terbentuk pada struktur
kepribadian individu sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Ketiga, “Superego”
(das Ueberich) adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturanaturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik-buruk) sebagai pengendali
dorongan-dorongan naluri id agar dorongan-dorongan tersebut disalurkan dalam
cara dan bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.85
Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, kelengkapan, prinsipprinsip operasi, dinamisme dan mekanismenya masing-masing, ketiga sistem
kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas
sebagai pemelihara kelangsuangan hidup individu.
Dari pandangan psikoanalisa, “dorongan pembawaan (innate) terutama
dorongan seksual dan agresif dikontrol oleh perkembangan superego, demikian
pula perilaku moral yang muncul sebagai hasil dari kecemasan yang berasosiasi
dengan pikiran dan perasaan bersalah, dikontrol oleh perkembangan superego
yang sifatnya instintif”.86
Mengenai perkembangan kepribadian individu berlandaskan pada dua
premis. Pertama, bahwa kepribadian individu dibentuk oleh berbagai jenis
pengalaman masa kanak-kanak awal. Kedua, energi seksual (libido) ada sejak
lahir, dan kemudian berkembang melalui serangkaian tahapan psikoseksual yang
bersumber pada proses-proses naluriah organisme.
Sigmund freud menegaskan serangkaian tahapan psikoseksual pada
manusia terdapat empat fase yang kesemuanya menentukan bagi pembentukan
kepribadian dan masing-masing fase berkaitan dengan daerah erogan tertentu.
Adapun fase-fase tersebut adalah fase perkembangan yang berlangsung pada
85
86
E. Koswara, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2, h. 32-34
Syamsul Bachri Thalib, op. cit., h. 57
47
tahun pertama dari kehidupan individu dan daerah yang erogan pada fase ini
adalah mulut (fase oral), yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan
makanan atau air. (fase anal) yang dimulai dari tahun kedua sampai ketiga dan
pada fase ini fokus kepada energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur,
serta kesenangan atau kepuasan diperoleh dalam kaitannya dengan tindakan
mempermainkan atau menahan faeces (kotoran). Dengan demikian pada fase ini
disebut pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh
orang tuanya. (fase falik) berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni fase
ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat
kelamin. Dan (fase genital) terjadi pada masa-masa memasuki pubertas, individu
mengalami kebangkitan atau peningkatan dalam dorongan seksual, dan mulai
menaruh perhatian terhadap lawan jenis.87
Secara psikologis kaitannya dengan perkembangan moral remaja,
gangguan atau kekacauan jiwa dan pada akhirnya melahirkan tindakan devian
(menyimpang) yang dialami oleh remaja ditimbulkan oleh karena frustasi
kebutuhan seksual yang dialaminya pada masa kanak-kanak. Sigmund Freud
meyakinkan mengenai demikian pentingnya perkembangan masa kanak-kanak,
sehingga jika seorang anak tidak mengalami rangkaian tingkatan-tingkatan
seksual secara wajar, maka ia akan mengalami tingkah laku yang menyimpang
ketika ia memasuki usia dewasa. 88 Perkembangan moral berdasarkan perspektif
ini menekankan pada disiplin pengasuhan sejak dini hingga dewasa.
Perkembangan moralitas berdasarkan perspektif behavioristik adalah
melalui model, proses imitasi, dan penguatan (reinforcement). Remaja mengalami
perkembangan
moral
sebagai
hasil
interaksi
dengan
lingkungan
yang
menyediakan model perilaku moral. Syamsul Bachri Thalib menemukan bahwa
gender, status sosial ekonomi, religiositas, intelegensi, fokus kendali, dan
karakteristik kepribadian dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Sebagai
contoh, ia menemukan bahwa faktor-faktor eksternal (orang tua, teman sebaya,
dan tokoh-tokoh agama,dll) berpengaruh terhadap perkembangan remaja,
87
88
50
E. Koswara, Op.cit., h. 49-53
Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), h.
48
termasuk perkembangan moralnya. 89 Teori ini adalah teori pembentukan moral
yang berangkat dari proses imitasi, modeling, latihan-latihan dan pembiasaan.
Untuk mengokohkan perilaku-perilaku yang dibentuk harus dilakukan secara terus
menerus dan diperlukan penguatan, sehingga menjadi kebiasaan.
Kemudian berdasarkan perspektif kognitif, internalisasi peran masyarakat
dan belajar sosial berperan penting dalam perkembangan moralitas remaja, tetapi
keduanya bukan merupakan faktor tunggal yang cukup mengeksplanasi
perkembangan moral dan perilaku remaja. Seperti halnya menurut Piaget,
perkembangan moral berkaitan dengan kemampuan kognitif remaja. 90 Dengan
perkataan lain, perkembangan moral menurut perspektif ini menekankan pada
perkembangan penalaran rasional. Seseorang tersebut sadar secara moral, ketika
ia sudah matang kognisinya.
Secara khusus moral dapat dipahami, lebih kepada interaksi kepada orang
lain. Teori sosialisasi menekankan interaksi manusia dalam perkembangan moral,
sedangkan teori kognitif lebih menekankan peran kognisi, termasuk informasiinformasi yang relevan dengan proses perkembangan moral. Jadi perkembangan
moral remaja merupakan hasil dari interaksi yang kompleks nilai-nilai dan
perilaku pengasuhan, aktivitas pemrosesan pikiran, dan faktor-faktor lingkungan
pada umumnya, termasuk lingkungan pergaulan/teman sebaya, sekolah, aktivitas
dalam kehidupan keseharian remaja di dalam keluarga.
E. Penelitian yang Relevan
1. Endang Erika, tahun 2010 dalam penelitiannya yang berjudul “Peranan
Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak “
yang menyimpulkan bahwa dengan pendidikan akhlak yang telah
ditanamkan dan diajarkan di dalam keluarga, dapat mengembangkan
kecerdasan spiritual pada anak, karena kecerdasan spiritual sesungguhnya
adalah potensi lahiriah yang telah dibuilt-in pada diri setiap anak. Dan
orang tua adalah manhaj pendidikan pertama bagi anak, oleh karenanya
89
90
Syamsul Bachri Thalib, loc. cit., h. 57
Ibid., h. 57
49
orang tualah yang berkewajiban mendidik anak-anaknya menjadi anak
yang baik yang memiliki akhlak yang mulia melalui pengajaran
pendidikan akhlak yang diajarkan dalam keluarga.91
2. Siti Ruqoyah, tahun 2012 dalam penelitiannya yang berjudul “Peranan
Keluarga dalam Pendidikan Anak Usia Dini” yang menyimpulkan bahwa
keluarga dalam pendidikan anak usia dini sangat berperan besar.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan
anak. Kemudian dalam rangka penanaman nilai moral pada anak di dalam
keluarga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu pertama, nilai
yang ditanamkan harus jelas. Kedua, harus ada konsistensi. Ketiga, adanya
keteladanan dari orang tua. Keempat, adanya konsekuensi terhadap aturan
yang berlaku.92
3. Farida. HM, tahun 2012 dalam penelitiannya yang berjudul “Peranan
Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku Sosial Anak
Usia Dini”, studi penelitian di Raudhatul athfal (RA) Al-Hidayah Jakarta.
Yang menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam memiliki peranan
yang sangat penting dalam pengembangan dan pembentukan perilaku
sosial anak usia dini di Raudhatul Athfal Al-Hidayah Lebak Lestari. Hal
ini berdasarkan hasil dalam pengembangan perilaku sosial anak usia dini
pada semua aspek, sehingga secara umum pendidikan agama Islam (PAI)
sudah memiliki peranan sangat baik.93
91
Endang Erika, “Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap Kecerdasan
Spiritual Anak”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), h. 68
92
Siti Ruqoyah, “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Anak Usia Dini”, (Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012), h. 62
93
Farida. HM, “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku Sosial
Anak Usia Dini”, ( Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012), h. 60
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Objek Penelitian
Penelitian yang berjudul Pendekatan Sosial dan Psikologi untuk
Menanamkan Nilai-nilai Moral pada Anak dalam Keluarga dilaksanakan pada hari
Sabtu 22 Februari 2014 sampai dengan 11 Juni 2015.
Adapun objek kajiannya berupa literatur, diantaranya adalah yang dapat
berisi bahan- bahan informasi yang dihasilkan dari persoalan atau lembaga sosial,
buku, majalah, bulletin, jurnal ilmiah, surat kabar atau Koran dan tabloid, dan
juga data-data dari dunia maya (internet). Objek tersebut pada dasarnya adalah
sumber
pengambilan
data
penelitian.
Sumber
data
penelitian
di
sini
dikelompokkan menjadi sumber data primer dan sekunder.
Sumber data primer merupakan sumber rujukan utama. Di antaranya:
1. Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2
Edisi ke-6
2. John W. santrock, Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 1
Edisi ke-11
3. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), cet. 4
4. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
5. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Cet. 16
6. Zakiah Darajat, Ahmad Sadali, dkk., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), cet ke-10
7. Zakiah Daradjat, Pendidikan islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung,
CV Ruhama, 1994)
8. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977). Cet. 4.
9. Abu Ahmad, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
10. Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi remaja, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara 2011)
50
51
11. Syamsul Bachri Thalib., Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris
Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1
12. Agus Sujanto, PsikologiPerkembangan, ( Jakarta: AksaraBaru,1982) cet. 3
13. Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif
Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. I
14. M.
Yatimin
Abdullah,
Studi
Akhlak
dalam
Perspektif
Al-Qur’an,
(Jakarta:Amzah, 2007), cet. 1,
15. Retno Listyarti., Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan
kreatif, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012)
16. Moh. Toriquddin., Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia
modern”, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1
17. Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet.
5
18. Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian
Agama RI, 2011), Cet. 1
19. Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2008), Cet. 1
20. Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, ((Jakarta: Rineka Cipta,
1989), cet. 1
21. Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2007)
22. Sarlito W Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011), Cet. 14
23. M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007),
cet. 3
24. Moh Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2013)
25. Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2011)
26. E. Koswara, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2
27. Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan,
2004)
52
28. W. A. Gerungan DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981),
cet. 7
29. Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat
Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet. 1
30. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro,
2004), cet. 5, juz ke-21
“Sumber data sekunder adalah buku-buku lain yang sesuai dengan
permasalahan yang dibahas, atau merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya melalui orang lain atau
dokumen-dokumen”.94 Buku-buku yang relevan dengan penelitian ini antara lain:
1. Kompas.com. Mohammad Nuh., Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20
Maret
2014),
http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013
2. Kristi Wardani, “Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”, Proceedings of The 4th International
Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, (Bandung:
Indonesia, 8-10 November 2010)
3. Dedi Irawan. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja
Untuk Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014),
(http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajar-bajak-kopaja-untuktawuran_111160.html)
4. Humanitas., Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2008),Vol. 5 No.1
5. M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta,
(diakses pada tanggal 20 Maret 2014),
(http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-JumlahPengguna-Narkotika-Capai-5)
6. Puspitawati Herien, Seks Bebas dikalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa),
Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02Feb
94
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11. h. 309.
53
2014), (http://sule-gratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-di-kalanganremaja-pelajar.html)
7. Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988)
8. Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
9. Muhammad Djunaidi Ghony, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional,
1982)
10. Thaha Khiriah Husen, Konsep Ibu Teladan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994)
11. Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar
Indonesia, 2006), cet 1
12. Mestika Zed, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004), cet. 1
13. Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008)
cet. I
14. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11
B. Metode Penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan. “Studi
pustaka ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan merode pengumpulan
data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penlitian”.95 Adapun
dari segi pemaparan datanya adalah menggunakan metode deskriptif, dengan
pemaparan melalui analisis secara induksi dan deduksi.
Secara umum, pedoman yang digunakan dalam analisis data secara
kualitatif berdasar pada pola pikir ilmiah, yang mempunyai ciri, sistematis, logis.
Orang bisa mulai dari data- data konkrit, kemudian dihubungkan dengan dalildalil yang umum yang sudah dianggap benar, ini disebut analisis secara induksi.
Sebaliknya orang bisa mulai dari dalil- dalil umum, paradigma tertentu, kemudian
menghubungkan dengan data- data empiris, sebagai pangkal tolak mengambil
95
Mestika Zed, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004), cet. 1, h. 3
54
kesimpulan, ini disebut analisis secara deduksi.96
Analisis data pada tahap ini dapat dikerjakan dan dimanfaatkan
sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar
dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan.
Analisis dalam penelitian merupakan bagian penting dalam proses
penelitian, karena dengan analisis inilah data yang ada akan tampak manfaatnya,
terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir
penelitian. Bagi peneliti, analisis data merupakan kegiatan yang cukup berat guna
menjawab suatu permasalahan.
Perspektif yang dikembangkan dalam analisis ini adalah penanaman nilainilai moral. Penanaman nilai-nilai moral dilakukan melalui pendekatan sosial dan
psikologi, dalam hal ini adalah upaya untuk menyiapkan anak-anak (remaja)
dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral
melalui berbagai macam kegiatan, bimbingan dan pengajaran.
Teknik analisis pada tahap ini merupakan pengembangan dari metode
analitis kritis. Adapun teknik analisa dari penulisan ini adalah content analysis
atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan
dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh psikologi,
sosial dan pendidikan yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik.
Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan
dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan
memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil
kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.
Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah berupa
obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan skripsi ini
berupa untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai landasan
teoritis) dan dikaitkan dengan masalah-masalah yang masih aktual untuk dibahas,
yang selanjutnya dipaparkan secara obyektif dan sistematis.
96
Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) cet. I, h.136
55
C. Fokus Penelitian
Adapun penelitian ini difokuskan pada tinjauan sosial dan psikologi yang
digunakan untuk menunjang penanaman nilai-nilai moral pada remaja dalam
keluarga. Pendidikan dalam konteks sosial adalah pewarisan sosial. Sehingga
dalam penyesuaian diri individu dengan suatu lingkungan hidup yang asing
baginya itu biasanya mengubah individu supaya sesuai dengan keadaan-keadaan
baru di lingkungannya. Dari segi sosial, penulis menggunakan pendekatan
interaksi sosial. Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih
individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah
atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. 97 Rumusan ini
dengan tepatnya menggambarkan kelangsungan timbal balik daripada interaksi
sosial antara dua atau lebih manusia. Dalam pada itu maka dari segi analisis
sosiologis, penulis menggunakan
pendekatan imitasi, sugesti, hingga kepada
identifikasi, yang mendasari kelangsungan interaksi sosial tersebut.
Dari segi psikologi, secara umum dilihat bahwa alur perkembangan moral
remaja itu adalah suatu pengampunan dalam pertimbangan moral yang
menggambarkan dengan jelas sikap yang benar atau salah terhadap komitmen
personal dalam kesadaran kompetisi. Maka penulis menggunakan teori penalaran,
teori behavioristik, dan pembentukkan kata hati. Moral sebagaimana dalam
konteks akhlakul karimah bukan semata-mata merupakan perilaku lahir, akan
tetapi juga perilaku batin. Karena perilaku batinlah yang akan mengendalikan
perilaku lahir.
D. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian kualitatif memiliki perbedaan dengan penelitian
kuantitatif. Penelitian kualitatif didesain secara longgar, tidak ketat sehingga
dalam pelaksanaan penelitian berpeluang mengalami perubahan dari apa yang
telah direncanakan. Meskipun demikian, penelitian ini mestilah tetap merancang
langkah-langkah kegiatan penelitian.
97
W. A. Gerungan DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet. 7, h.
61
56
Dalam hal ini, pengumpulan data dilakukan penulis melalui intensitas
pengamatan dari berbagai literatur. Diantaranya yang dilakukan oleh penulis
yaitu berawal dari menyiapkan alat perlengkapan yang berupa alat tulis pensil dan
pulpen, kertas, kartu atau buku catatan, dan sebuah kotak atau tempat untuk
menyimpan kartu atau buku catatan serta berkas/bahan-bahan penelitian lainnya.
Mengumpulkan berbagai literatur (berupa informasi yang dihasilkan dari
persoalan atau lembaga sosial, buku, majalah, bulletin, jurnal, dan juga data- data
dari dunia maya/internet), mengatur waktu seberapa lama mampu bertahan
membaca dan mencatat, membaca dan mencatat bahan-bahan yang telah dibaca,
menyeleksi, menela’ah sumber dengan melakukan pengodean, mengelompokkan,
menulis data, mendiskusikan, menginterpretasi dan pengambilan kesimpulan.
Secara tahap-tahap penelitian pada umumnya, prosedur yang dapat
digunakan untuk penelitian kepustakaan seperti ini, bisa dilihat sebagai berikut:
Strategi Dan Langkah-langkah Riset Kepustakaan:
1. Miliki ide umum tentang topik penelitian
2. Cari informasi pendukung. Bisa berupa buku standar di bidangnya, abstrak
penelitian atau tesis, hubungi orang-orang (PA, Jurusan, Fakultas, pakar di
bidangnya, pegawai pustaka atau apa dan siapa saja yang dapat membantu
mendukung topik
3. Pertegas fokus. Perluas/persempit dan organisasikan bahan bacaan
4. Cari dan temukan bahan yang diperlukan
5. Reorganisasikan bahan dan membuat catatan penelitian (paling sentral)
6. Review dan perkaya lagi nahan bacaan, dan
7. Reorganisasikan lagi bahan/catatan dan mulailah menulis98
98
Mestika Zed, op. cit, h. 81
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Nilai-nilai Moral Esensial Bagi Remaja
Sebagaimana yang telah diuraikan di bab dua, nilai adalah yang dirasakan
dalam diri masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang
menjadi penting dalam kehidupan. Sesuatu yang bermanfaat dan diyakini
kebenarannya serta mendorong orang untuk mewujudkannya bagi kehidupan
manusia sebagai acuan tingkah laku.
Dalam relasi individu kepada sesama, alam sekitar, sang pencipta dan
terhadap dirinya sendiri, diatur oleh tata nilai moral yang berlaku di dalam
masyarakat. Sebagaimana telah diketahui nilai moral tersebut adalah nilai-nilai
kebajikan yang disepakati oleh masyarakat. Kemudian jika nilai-nilai itu islami
tentu sesuai dengan nilai-nilai akhlakul karimah yang diajarkan oleh Rasulullah
saw., nilai moral dalam Islam (akhlak) dapat dilihat adanya sifat terpuji
(mahmudah), maka nilai-nilai moral tidak terbatas pada adat istiadat dan budaya
yang ada di dalam masyarakat, akan tetapi tetap mendahulukan nilai-nilai yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.
Berikut akan dibahas tentang nilai-nilai moral yang penting ditanamkan
kepada anak khususnya pada usia remaja. Uraian ini penting karena suksesnya
seseorang di dunia dan akhirat adalah terletak pada moralnya (akhlak). Melalui
tela’ah berbagai literatur, penulis mengelompokkan beberapa nilai-nilai moral
yang relevan ditanamkan kepada anak usia remaja, baik dari sisi agama maupun
kemanusiaan.
1. Jujur
Jujur berarti benar. “Jujur dapat diartikan adanya kesesuaian atau
keselarasan antara apa yang disampaikan atau yang diucapkan dengan apa yang
dilakukan atau kenyataan yang ada. Kejujuran memiliki arti kecocokan dengan
kenyataan atau fakta yang ada.”99 Yang dimaksud di sini ialah berlaku benar dan
99
Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam
Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet. 1, h. 89
57
58
jujur baik dalam perkataan maupun perbuatan. “Jujur dapat diartikan juga
“amanah”, yaitu dapat dipercaya, pribadi yang setia dan jujur dengan setulus hati
dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya.”100
Bersifat dan bersikap jujur ini diperintahkan oleh Allah SWT di dalam QS.
At-Taubah:
        
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (Q.S. At-Taubah [9]:
119)101
Sebagai contoh, seseorang mengakui bahwa anak adalah milik Allah SWT
yang dititipkan-Nya kepada orang tua untuk dididik dan dibesarkan sesuai kaidahkaidah agama, maka penerima amanah yaitu orang tua harus bertanggung jawab
membesarkan anaknya hingga mencapai kedewasaan biologis-psikologis-spiritual,
dan sudah tentu harus mendidik dengan baik dan benar.
Contoh lain, jika seseorang menerima pekerjaan, tidak berhenti hanya
sampai pekerjaan selesai, tetapi memiliki rasa tidak puas jika hasil kerjanya belum
memenuhi
standar
profesional.
Rasa
tanggungjawab
menghalanginya
mengorbankan mutu pekerjaan, ia pantang bekerja sembarangan.
Dari dua contoh di atas, terlihat bahwa tidak mungkin ada tanggung jawab
tanpa konsep amanah. Dengan kata lain, amanah mendahului tanggungjawab,
lebih tegasnya amanah melahirkan tanggungjawab. Dalam menunaikan amanah
tersebut, yaitu ketika melaksanakan tanggungjawab, maka pelaksanaannya tidak
boleh sekedar formalitas. Maksudnya tanggungjawab itu betul-betul harus
dilaksanakan secara benar dan jujur, baik esensinya maupun spiritnya. Oleh
karena itu seorang siswa/mahasiswa tidak cukup hanya sekedar lulus ujian, tetapi
kelulusannya haruslah dengan proses belajar yang benar dan tidak menyontek. Di
sini, amanah menuntut kesejatian, bukan hanya esensinya tetapi juga prosedurnya.
100
Sudarsono, op. cit, h. 42
Departemen Agama, op. cit., h. 164
101
59
Menegakkan prinsip kebenaran adalah salah satu sendi kemaslahatan
dalam hubungan antara manusia dengan manusia atau satu golongan dengan
golongan lainnya. Dalam pribahasa sering disebutkan: “Berani karena benar,
takut karena salah.” Betapa kebenaran itu menimbulkan ketenangan daripadanya
melahirkan keberanian. Berani membela kebenaran, kalaupun meninggal, maka
orang tersebut akan termasuk mati syahid.
2. Disiplin
“Disiplin berasal dari kata yang sama dengan disciple, yakni seseorang
yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Konsep
popular dari disiplin adalah sama dengan “hukuman”. Menurut konsep ini,
disiplin digunakan hanya bila anak melanggar peraturan dan perintah yang
diberikan orang tua, guru atau orang dewasa yang berwenang mengatur kehidupan
bermasyarakat, tempat anak itu tinggal”.102
Menipisnya atau bahkan hilangnya sikap disiplin pada remaja, memang
merupakan masalah serius yang dihadapi. Dengan tiadanya disiplin, tentu saja
proses penanaman moral kepada remaja tidak akan berjalan secara maksimal,
sehingga keadaan itu akan menghambat tercapainya cita-cita pendidikan bangsa,
untuk menghasilkan putra putri bangsa yang bermoral.
Akibat lain yang akan ditimbulkan oleh remaja yang kedisiplinannya
kurang terbangun dengan baik adalah terpupuknya kebiasaan dan kecenderungan
untuk berani melakukan berbagai pelanggaran, baik di rumah, sekolah maupun
luar sekolah dan luar rumah, kemudian cenderung menyia-nyiakan waktu dengan
kegiatan yang tidak berguna, malas-malasan, atau membuang waktu dengan
percuma. Hal ini dapat mendatangkan masalah tersendiri bagi remaja yang
bersangkutan. Tidak heran apabila saat ini kita menyaksikan banyak yang terlibat
narkoba, seks bebas, merampok, serta bentuk pelanggaran lainnya di usia
remajanya bahkan hal ini juga terjadi pada usianya baru memasuki awal remaja
(batas akhir usia kanak-kanak).
Disiplin selalu dianggap perlu untuk perkembangan anak. Oleh sebab itu
doronglah anak untuk dapat memanfaatkan waktunya secara optimal, juga
102
Elizabeth B. Hurlock., op. cit, h. 82
60
potensi-potensi yang tertanam di dalam dirinya. Menggunakan waktunya dalam
ketaatan dan bergegas berlomba-lomba dalam kebaikan, diantaranya sungguhsungguh dalam menuntut ilmu, menghindari kegiatan yang tidak perlu, menaati
dan patuh terhadap peraturan dan lain-lain. Tujuan seluruh disiplin ialah
membentuk perilaku sedemikian rupa hingga akan sesuai dengan peran-peran
yang ditetapkan kelompok budaya, tempat individu diidentifikasi. Orang hidup
memang bukan untuk peraturan, tetapi setiap orang pasti membutuhkan peraturan
guna memudahkan urusan hidupnya.
Analoginya sederhana, bisa diperhatikan pentingnya peraturan itu dalam
lampu lalu lintas. Ketaatan setiap pengendara terhadap isyarat lampu lintas jelas
membuat kondisi jalan menjadi tertib dan aman. Bayangkan ketika masingmasing pengendara mengebaikan peraturan berupa syarat lampu lalu lintas itu,
pasti kondisi jalan akan kacau, macet dan bahkan memicu terjadinya kecelakan.
Contoh di atas tentu bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih
luas. Disiplin sangat ditekankan dalam urusan dunia, dan lebih-lebih urusan
akhirat. Tidak heran jika Allah memerintahkan kaum beriman untuk membiasakan
disiplin. Perintah itu antara lain tersirat dalam Al-Qur’an:
            
            
           

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumuah
[62)]: 9-10).103
103
Departemen Agama., op. cit., h. 442
61
Menurut ayat di atas, keberuntungan akan diraih dengan disiplin
memenuhi panggilan ibadah ketika datang waktunya dan kembali bekerja ketika
sudah menunaikan ibadah. Bukan hanya urusan dagang yang harus ditinggalkan
ketika sudah tiba waktu shalat. Ungkapan “tinggalkan jual beli” dalam ayat di atas
berlaku untuk segala kesibukkan selain Allah. Dengan kata lain, ketika azan
berkumandang, maka kaum beriman diserukan untuk bergegas memenuhi
panggilan Allah itu.
Meskipun demikian, bukan berarti kaum beriman harus terus menerus
larut dalam urusan ibadah saja, ayat di atas juga memerintahkan supaya kaum
beriman segera kembali bekerja setelah menunaikan ibadah. Dengan demikian,
disiplin harus dilakukan secara seimbang antara urusan akhirat dan urusan dunia.
Tidak dibenarkan mementingkan yang satu sambil mengabaikan yang lainnya.
Jika sikap disiplin ditanamkan pada diri remaja, dan dilakukan oleh remaja
secara seimbang antara urusan ibadahnya dan urusan pekerjaannya (sekolah,
kerja, dan kegiatan lainnya), akhirat dan dunia, maka itulah yang akan
mengantarkan mereka kepada kesuksesan. Membiasakan disiplin dalam segala
urusan secara seimbang itulah yang akan menjadikan hidup kita indah, tertata, dan
diliputi keberkahan.
3. Percaya Diri
Percaya diri atau rendah hati tawadhu adalah merendahkan hati tanpa
harus menghinakannya atau meremehkannya atas dasar persamaan. Karena rasa
persamaan adalah sikap pribadi yang menganggap bahwa orang lain sama dengan
kita. Namun, pribadi yang pecaya diri, harus mampu menunjukkan sesuatu yang
unggul dari dirinya, baik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
maupun sikap atau perilaku (attitude).104
Lawan dari percaya diri yang jika berlebih adalah takabur. Seseorang yang
takabur merasa dirinya lebih tinggi, lebih mampu, dan lebih sempurna daripada
orang lain, padahal kenyataannya tidak. Ciri orang yang takabur adalah
menganggap enteng orang lain, menjauhkan diri dari orang lain, mencela orang
lain dan bisa juga bersikap sewenang-wenang.
104
Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 91
62
Percaya diri merupakan sebuah kekuatan luar biasa, laksana reaktor yang
membangkitkan segala energi yang ada pada diri seseorang untuk melakukan
aktivitas dan meraih sukses, sehingga ia meyakini bahwa dirinya layak dan
bernilai di hadapan masyarakat pergaulannya. Sikap percaya diri penting bagi
remaja, agar ia tumbuh menjadi sosok yang mampu mengembangkan potensi
dirinya.
Al-qur’an menjelaskan tentang percaya diri dengan jelas dalam beberapa
ayat yang mengindikasikan percaya diri seperti;
         
Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali-Imron [3]:
139).105
           
       
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami
ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka
malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah
kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka
dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fusshilat
[41]: 30)106
Dari ayat di atas nampak bahwa orang yang percaya diri dikategorikan
dengan sifat dan sikap seorang mukmin yang memiliki nilai positif terhadap
dirinya dan memiliki keyakinan yang kuat. Tak dapat disangkal, percaya diri
hampir selalu dikaitkan dengan kesuksesan, karena ia memang bekal utama dalam
menghadapi tantang hidup.
105
Departemen Agama, op. cit., h. 53
Ibid., h. 383
106
63
4. Peduli
“Peduli dapat diartikan membuat atau menjaga hubungan persaudaraan.
Islam mengajarkan kita untuk memelihara dan menyambung ikatan kekerabatan
serta
memperhatikan
dan
membantu
kaum
kerabat
yang
memerlukan
pertolongan”.107
Kepedulian merupakan sikap empati terhadap kesulitan, musibah dan
penderitaan yang dialami orang lain. Sikap ini diperlukan dalam hidup
bermasyarakat, dari skala kecil maupun skala besar (di dalam keluarga, dunia
kerja, masyarakat dan sebagainya).
              
   
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya”.(QS. Al-Maidah [05]:02)108
          
        
             

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri”. (QS. An-Nisa [04]: 36)109
107
Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 127
Departemen Agama, op. cit., h. 85
109
Ibid., h. 66
108
64
Di dalam rasa kepedulian terdapat unsur tolong menolong. Ketika
seseorang ragu dalam memberikan rasa kepeduliannya terhadap orang lain yang
membutuhkan, manusia harus ingat, bahwa tolong menolong merupakan bagian
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia tidak
dapat hidup sendirian. Sejak manusia lahir sudah membutuhkan bantuan orang
lain, begitu pula saat beranjak remaja, dewasa dan ketika sudah bekerja, bahkan
saat mati, manusia membutuhkan orang lain karena manusia tidak dapat
mengubur dirinya sendiri.
Sebaik-baik manusia untuk manusia, ialah yang paling bermanfaat bagi
sesama manusia. Dengan sikap peduli, paling tidak akan memberikan manfaat
untuk tetap terpeliharanya rasa persaudaraan dan persatuan, saling mencintai dan
bekerjasama satu sama lain, menimbulkan rasa damai dan menciptakan
kemakmuran, juga memperoleh pahala, kemuliaan dan keridhaan dari Allah SWT.
5. Mandiri
Setiap individu diberi potensi oleh Allah SWT, yang harus mampu
menggali dan mengembangkan diri dengan baik sehingga hidup di dunia yang
hanya satu kali ini tidak menjadi beban bagi orang lain, bahkan sering disebut,
hidup seseorang akan terhormat jika ia dapat meringankan beban orang lain.
“Manusia mandiri adalah manusia yang memiliki harga diri”.110 mandiri
adalah sumber percaya diri, penilaian menyeluruh mengenai diri sendiri dan
bagaimana
ia
menjaga
kehormatan
diri,
sehingga
orang
lain
tidak
menghinakannya. Memiliki harga diri berarti seseorang mempunyai kemampuan
untuk menjaga perilaku etis dan menjauhi perilaku nista.
Pendidikan dalam Islam menghimbau para orang tua untuk mengajarkan,
mendidik, mengatur, memelihara dan membimbing pendidikan anak remaja
mereka menjadi pribadi
yang mandiri. Islam tidak bermaksud memporak-
porandakan jiwa remaja dalam jangka pendek maupun panjang. Sehingga hidup
dan urusan anak-anaknya hanya dipikirkan, diatur dan dikelola oleh kedua orang
tuanya. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah mengontrol peilaku remaja supaya
110
Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 101
65
tidak terbawa arus menyimpang dan keragu-raguan serta upaya membentuk
kepribadian yang tidak terombang-ambing dalam kehidupan ini.
Seperti Rasulullah saw. telah memberikan tauladan dalam mendidik anakanak, beliau sangat memperhatikan pertumbuhan potensi anak, baik di bidang
sosial maupun ekonomi. Beliau membangun sifat percaya diri dan mandiri pada
anak, agar ia bisa bergaul dengan berbagai unsur masyarakat yang selaras dengan
kepribadiannya.
Dengan
demikian,
si
anak
mengambil
manfaat
dari
pengalamannya, menambah kepercayaan pada dirinya, sehingga hidupnya
menjadi bersemangat dan keberaniannya bertambah. Karena pada akhirnya nanti,
masing-masing individulah yang dimintai pertanggung jawaban atas apa yang di
perbuatnya di dunia. Firman Allah yang termaktub dalm Al-Qur’an surat AlMudattsir ayat 38 menyebutkan:
     
Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya”. (QS. Al-Mudattsir [74]: 38)111
Selanjutnya dalam surat Al-Mukminun ayat 62 disebutkan:
              
Artinya: “Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan
kebenaran, dan mereka telah dianiaya”. (QS. Al-Mukminun [23]: 62)112
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa individu tidak akan mendapatkan
suatu beban di atas kemampuannya sendiri, tetapi Allah Maha Tahu dengan tidak
memberi beban individu melebihi batas kemampuan individu itu sendiri. Karena
itu individu dituntut untuk mandiri dalam menyelesaikan persoalan dan
pekerjaannya tanpa banyak tergantung pada orang lain.
Ini dari pandangan Islam terhadap pendidikan remaja dengan di dukung
oleh berbagai bukti dan argumentasi. Bahwa kemandirian dan kebebasan
111
Departemen Agama, op. cit., h. 460
Ibid, h. 276
112
66
merupakan dua unsur yang menciptakan generasi muda yang mandiri. Keduanya
merupakan asas bangunan Islam. Rasulullah membiasakan anaknya untuk
bersemangat dan mengemban tanggung. Jadi tidak mengapa remaja ketika di
rumah disuruh mempersiapkan meja makannya sendirian. Ia akan menjadi
pembantu dan penolong bagi yang lainnya. Dari pada anak menjadi pemalas dan
beban bagi orang lain.
Keuntungan menjadi pribadi mandiri adalah mempunyai wibawa (sehebathebatnya peminta, pasti tidak akan mempunyai wibawa), hidup akan lebih tenang
karena bertumpu pada kekuatan sendiri, dan seseorang akan semakin percaya diri
dalam menghadapi hidup ini karena telah terlatih menghadapi masalah sendiri.
B. Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilai-nilai Moral bagi
Remaja
1. Pendekatan Sosial
Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan
nilai adalah bahwa remaja sudah merasakan pentingnya tata nilai dan
mengembangkan nilai-nilai yang ada sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk
dalam mencari jalannya sendiri, untuk menumbuhkan identitas diri menuju
kepribadian yang semakin matang. Pembentukan nilai-nilai ini dilakukan melalui
pendekatan sosial dan yang akan dikembangkan melalui teori interaksi sosial.
Berbicara interaksi sosial, berarti berbicara mengenai pergaulan dalam
penyesuaian seseorang dengan lingkungannya. Untuk menggambarkan saling
keterhubungan ini, penulis memberikan pengertian mengenai interaksi sosial,
diambil dari buku Psychologi Sosial karangan Dr. W. A. Gerungan, “interaksi
sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki
kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya”. 113 Rumusan ini menggambarkan
kelangsungan hubungan timbal balik dari interaksi sosial antara dua atau lebih
manusia itu.
113
Gerungan DIPL. Psych., Psychologi-sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet.7, h. 61
67
Kelangsungan interaksi sosial ini sekalipun dalam bentuknya yang
sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks. Interaksi sosial memegang
peranan penting dalam perkembangan moral. Awal interaksi sosial terjadi ada di
dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orangtua, saudara kandung, dan
anggota keluarga lain dari apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok
sosial tersebut. Dalam hal ini penulis mencoba mengemukakan beberapa faktor
yang mendasari kelangsungan interaksi sosial dalam penanaman nilai-nilai moral,
ialah:
a. Imitasi
Telah diuraikan dalam sejarah pendek ilmu jiwa sosial mengenai pendapat
Gabriel tarde, yang beranggapan bahwa “seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya
berdasarkan faktor imitasi saja. Kemudian arti kata dari imitasi itu sendiri adalah
suatu proses peniruan atau meniru”.114
Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, namun peranan imitasi
dalam interaksi sosial itu tidaklah kecil. Misalnya saja jika kita mengamati
bagaiman seorang anak belajar berbahasa. Mula-mula ia seakan-akan mengimitasi
dirinya sendiri, ia mengulang-ulangi bunyi kata seperti ma-ma-ma-ma atau ba-baba-ba, ini berguna melatih fungsi-fungsi lidah dan mulutnya untuk berbicara.
Kemudian ia mengimitasi orang lain, biasanya ibunya terlebih dahulu dalam
mempelajari mengucapkan kata-kata pertama dan selanjutnya.
Alat komunikasi tidak sebatas berbahasa, termasuk di dalamnya ialah caracara lain untuk menyatakan diri yang dapat dipelajarinya melalui proses imitasi.
Misalnya tingkah laku tertentu yang dilakukan seseorang atau orang dewasa,
antara lain: cara memberi hormat kepada orang yang lebih tua, cara menyatakan
terima kasih kepada orang lain,cara menyatakan ungkapan senang kepada orang
lain, cara-cara memberi isyarat tanpa bahasa, juga cara-cara berpakaian (mode),
dapat dipelajari remaja dengan jalan imitasi.
Demikian pula halnya dengan perkembangan moral remaja. Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya di bab dua, bahwa nilai moral itu berasal dari
114
Ibid., h. 62
68
adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat, kemudian penulis menambahkan
penjelasan lagi bahwa imitasi itu mempunyai peranannya dalam hal ini, sebab
mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak
seseorang.
Peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang digambarkan di
atas, juga mempunyai segi-segi yang negatif antara lain ialah hal-hal yang
diimitasi itu kemungkinan salah atau secara moril dan yuridis ditolak. “Proses
imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang meliputi jumlah
serba besar.”115
Adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan
kebiasaan orang untuk mengimitasi sesuatu tanpa kritik, dalam artian meniru apa
adanya tanpa seleksi, terutama pada anak-anak, sejalan dengan ini, bahwa imitasi
seperti ini juga terjadi pada remaja. Hal ini dapat menghambat perkembangan
kebiasaan berpikir kritis. Akibatnya imitasi dalam interaksi sosial ini dapat
menimbulkan kebiasaan malas berpikir kritis pada remaja. Bagi para orang tua
yang bijak akan mengerti, mendukung, dan dirinya dapat menjadi model
keteladanan yang dapat ditiru anaknya, akan tetapi, harus dengan pengarahan dan
menyertakan alasan-alasannya, hikmah atau manfaat dari keteladanan itu, maka
hal ini tidak akan menghambat perkembangan berpikir kritis pada remaja.
Imitasi bukan menjadi dasar pokok dari semua interaksi sosial seperti yang
diuraikan oleh Gabriel Tarde di atas, tetapi imitasi merupakan suatu segi dari
proses interaksi sosial, yang menyebabkan terjadinya keseragaman dalam
pandangan dan tingkah laku antara orang banyak. Dengan cara imitasi pandangan
dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap, ide dan adat istiadat dari suatu
kelompok masyarakat. Dengan berimitasi orang tersebut dapat lebih mudah
menjalin hubungan sosial dengan orang lain secara lebih luas.
b. Sugesti
“Sugesti adalah suatu proses di mana seorang individu menerima suatu
cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku orang lain tanpa kritik
terlebih dahulu”.116
115
Ibid., h. 63
Ibid., h. 64
116
69
Yang dimaksud sugesti di sini adalah pengaruh pysic, baik yang datang
dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa
adanya kritik. Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial
adalah hampir sama. Bedanya ialah bahwa pada imitasi, seseorang mengikuti
orang lain, sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap
kepada orang lain, lalu diterima oleh orang lain.
Sugesti dapat dipahami pemberian pengaruh atau pandangan dari satu
pihak kepada pihak lain. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi akan tergerak
mengikuti pengaruh atau pandangan itu dan akan menerimanya secara sadar atau
tidak sadar tanpa berpikir panjang. Sugesti biasanya diperoleh dari orang-orang
yang berwibawa dan memiliki pengaruh besar di lingkungan sosialnya. Akan
tetapi, sugesti dapat pula berasal dari kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas, ataupun orang dewasa terhadap anak-anak (bisa ayah, ibu atau kakak
mau pun orang dewasa lainnya).
c. Identifikasi
“Identifikasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk menjadi
identik (sama) dengan orang lain”. 117 Dalam hal ini proses identifikasi dapat
diperoleh melalui cara-cara seseorang belajar norma-norma sosial. Dalam garisgaris besarnya remaja itu belajar menyadari bahwa dalam kehidupan itu ada
norma-norma dan peraturan-peraturan yang hendaknya dipenuhi. Hal ini dapat
dipelajarinya melalui dua cara, pertama-tama remaja mempelajarinya karena
didikan orangtuanya, yang menghargai tingkah laku wajarnya dan memenuhi citacita tertentunya dan menghukum tingkah lakunya ketika ia melanggar normanorma. Kemudian lambat laun remaja itu memperoleh pengetahuan mengenai apa
yang disebut dengan perbuatan baik, dan apa yang disebut dengan perbuatan yang
tidak baik, melalui didikan orangtuanya tersebut. Dalam artian dapat membedakan
mana yang dan mana yang buruk.
Identifikasi dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang dianggapnya
ideal dalam suatu segi, untuk memperoleh sistem norma-norma, sikap dan nilai117
E. Koswara., op.cit, h. 71
70
nilai yang dianggapnya ideal atau yang masih kurang dalam dirinya.
Pengalaman individu berhubungan dengan lingkungan sosial (teman,
orangtua atau orang dewasa lainnya), akan membawa pengaruh pada penilaian
atau kemampuan untuk mengevaluasi diri dan orang lain. Ia dapat menilai
kemampuan dan kelemahan diri sendiri maupun orang lain. Dari situ seseorang
akan belajar dari pengalaman orang lain untuk memperbaiki diri sendiri, tetapi
bisa juga untuk membantu perkembangan orang lain.118
Dalam kaitannya dengan nilai moral dan perkembangan kepribadian
remaja, pada interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan indentifikasi
mempunyai fungsinya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat
merangsang perkembangan watak seseorang. Dari keteladanan melalui proses
imitasi, dapat mendorong remaja ataupun suatu kelompok untuk melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik. Selanjutnya apabila remaja telah dididik dalam
suatu “tradisi” tertentu yang melingkupi segala situasi-situasi sosialnya, melalui
pengkondisian diri dengan terus berlatih dalam mengkondisikan sikap, perilaku
dan mentalnya, sehingga timbullah suatu kemauan dari diri remaja sendiri untuk
melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik tersebut. Namun hal ini dilakukan
tetap pada pembiasaan diri remaja melakukan latihan-latihan tersebut. Kemudian
setelah itu secara otomatis
remaja akan mencontoh keteladanan perbuatan-
perbuatan yang baik itu untuk diidentifikasi olehnya. Dengan begitu, remaja akan
memiliki suatu kerangka cara-cara bertingkah laku dan sikap-sikap moral yang
dapat menjadi pokok pangkal untuk memperluas perkembangan moralnya dengan
positif, sehingga terlahirlah kepribadian yang baik.
2. Pendekatan Psikologi
Dalam pengembangan dan pembentukkan nilai-nilai moral sebagai
pedoman, pegangan atau petunjuk bagi remaja dalam mencari jalannya sendiri dan
untuk menumbuhkan identitas dirinya menuju kepribadian yang semakin matang
di tengah-tengah masyarakat (lingkungan sekitar mereka), selain melalui
pendekatan sosial, penulis memilih pembentukkan nilai-nilai moral ini dilakukan
118
Agoes Dariyo, op. cit., h. 54
71
juga melalui pendekatan psikologi, ulasan yang akan dikembangkan berikut ini
adalah teori penalaran, behavior dan kata hati.
a. Teori Penalaran
Pendekatan teori penalaran, seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan
Lawrence Kohlberg. Keduanya mengemukakan tahapan perkembangan moral
berdasarkan perkembangan kognitif.
Menurut Piaget, “perkembangan moral seseorang terjadi dalam dua tahap
yang jelas. Tahap pertama disebut Piaget “tahap realisme moral” atau “moralitas
oleh pembatasan.’ Tahap kedua disebutnya “tahap moralitas otonomi” atau
“moralitas oleh kerja sama atau hubungan timbal balik”119
Dalam tahap pertama, “perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis
terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua
dan semua dewasa yang berwenang sebagai yang berkuasa dan mengikuti
peraturan
yang
diberikan
kepada
mereka
tanpa
mempertanyakan
kebenarannya”.120
Dalam tahap perkembangan moral ini, anak menilai tindakan sebagai
“benar” atau “salah” atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi
di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakan tersebut.
Sebagai contoh: suatu tindakan dianggap “salah” karena mengakibatkan hukuman
dari orang lain. Dalam perkembangan moral menurut Piaget, hal ini terjadi pada
tahapan sensorimotor, praoperasional dan operasional konkret.
Namun, dalam perkembangan moral pada tahap operasional konkret, anak
menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai
antara usia 7 atau 8 dan berlanjut hingga usia 11 atau lebih. Antara usia 6 ke 7
atau 8 tahun, konsep anak tentang keadilan mulai berubah. Gagasan yang kaku
dan tindakan luwes mengenai benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua,
secara bertahap dimodifikasi.
Akibatnya, anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang
berkaitan dengan suatu pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia 5 tahun
119
120
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 79
Ibid., h. 79
72
berbohong itu selalu “buruk”, tetapi anak yang lebih besar menyadari bahwa
berbohong dibenarkan dalam situasi tertentu dan kerenanya tidak selalu “buruk”.
Tahap kedua, perkembangan moral ini bertepatan dengan “tahapan
operasional formal” dari Piaget dalam perkembangan kognitif, pada tahap ini anak
sudah mampu mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan
masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar hipotesis dan dalil. 121 Hal ini
memungkinkan anak untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut pandangan
dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkannya.
Kemudian, Kohlberg telah melanjutkan penelitian Piaget dan telah
menguraikan teori Piaget secara terinci dengan memberi tiga tingkatan
perkembangan moral alih-alih dua tingkatan dari Piaget, dan masing-masing
tingkat terdiri atas dua tahap.
Pada tingkat 1, “Prakonvensional”, “perilaku anak tunduk pada kendali
eksternal. Dalam tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan
hukuman, dan moralitas suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Pada
tahap kedua tingkat ini, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial untuk
memperoleh penghargaan.”122 Dalam hal ini, terdapat beberapa unsur resiprositas
dan berbagi, tetapi hal itu lebih mempunyai dasar tukar-menukar daripada
perasaan keadilan yang sesungguhnya.
Tingkat 2, “Konvensional”, atau moralitas peraturan konvensional dan
persesuaian. Dalam tahap pertama tingkat ini, “Anak menyesuaikan dengan
peraturan untuk mendapat persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan
hubunganbaik dengan mereka. Kemudian dalam tahap kedua tingkat ini, anak
meyakini bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi
seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar
terhindar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial”.123
Tingkat 3, oleh Kohlberg diberi nama “Pascakonvensional”, dalam tahap
pertama tingkat ini, “anak yakin bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinankeyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan perubahan standar moral
121
Ibid., h. 80
John W. Santrock., Op.cit., h. 55
123
Ibid., h. 56
122
73
bila ini terbukti akan menguntungkan kelompok sebagai suatu keseluruhan.
Dalam tahap kedua tingkat ini, orang menyesuaikan dengan standar sosial dan
cita-cita internal terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri
dan bukan untuk menghindari dar kecaman sosial”. 124 Ia terutama merupakan
moralitas yang lebih banyak berdasarkan penghargaan terhadap orang lain bukan
pada keinginan pribadi.
Menurut analisis penulis, Kohlberg berkeyakinan bahwa tingkat-tingkat
dan tahap-tahap ini merupakan sebuah rangkaian dan berkaitan dengan usia.
Sebelum usia 9 tahun, sebagian besar anak menggunakan cara prakonvensional
ketika dihadapkan pada dilemma moral. Di masa awal remaja, mereka bernalar
secara lebih konvensional. Sebagian besar remaja bernalar pada tahap 3, dengan
beberapa indikasi pada tahap 2 dan 4. Di masa dewasa awal, sejumlah kecil
individu bernalar di tahap pascakonvensional.
Kohlberg berpendapat bahwa orientasi moral individu terbentang sebagai
konsekuensi dari perkembangan kognitif. Anak-anak dan remaja menyusun
pemikiran moralnya seiring dengan perkembangannya dari satu tahap ke tahap
berikutnya.
Secara umum, alur pengembangan moral adalah suatu pengampunan
dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar
atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran alternatif kompetisi.
Proses perkembangan remaja secara gradual mengalami perubahan dari
perkembangan yang lebih otoritarian menjadi kurang otoriter seiring dengan
perkembangan aspek-aspek kognitif dan kepribadian.
“Remaja dalam perkembangan moralnya, tidak lagi terbatas pada
pengalaman-pengalaman
yang
aktual
atau
konkret
sebagai
titik
tolak
pemikirannya.”125 Perkembangan moral remaja menurut Piaget mulai timbul pada
tahap operasional formal di antara usia 11 hingga 15 tahun. Dan menurut
Kohlberg mulai timbul pada tahap konvensional. Karakteristik yang paling
menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah sifatnya yang lebih abstrak.
124
Elezabeth B. Hurlock., op. cit, h. 80
John W. Santrock, op. cit, h.126
125
74
Mereka sudah dapat menciptakan situasi-situasi fantasi, peristiwa-peristiwa yang
murni berupa kemungkinan-kemungkinan hipotesis atau hanya berupa proposal
abstrak dan mencoba bernalar secara logis mengenainya.
Indikator lain yang memperlihatkan kualitas abstrak dari pemikiran remaja
adalah meningkatnya tendensi untuk berpikir mengenai berpikir itu sendiri.
Pemikiran yang menyertai abstrak dari pemikiran formal operasional adalah
pemikiran yang banyak mengandung idealism dan kemungkinan. Sementara anakanak sering kali berpikir secara konkret mengenai hal-hal yang bersifat riil dan
terbatas. Di samping berpikir abstrak dan idealistik, remaja juga sudah mulai bisa
berpikir logis.
b. Teori Perilaku Moral (behavior)
Perilaku yang dapat disebut “moralitas yang sesungguhnya” tidak saja
sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia
muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri
atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung jawab
pribadi untuk tindakan masing-masing. Ia mencakup pemberian pertimbangan
primer pada kesejahteraan kelompok dan penempatan keinginan atau keuntungan
pribadi pada tempat kedua (kelompok). Moralitas yang sesungguhnya jarang
ditemui pada anak-anak, tetapi ia harus muncul selama masa remaja.126
Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan
proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga masa remaja. Ia
merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak.
Sebelum
anak
memasuki
usia
remajanya,
mereka
diharapkan
mampu
membedakan yang benar dan salah dalam situasi sederhana dan meletakkan dasar
bagi perkembangan hati nurani. Sebelum masa kanak-kanak berakhir, anak
diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing
mereka bila harus mengambil keputusan moral.
Pengetahuan moral atau penalaran moral, tidak menjamin tingkah laku
moral karena dimotivasi oleh faktor yang lain dari pengetahuan. Tekanan sosial,
126
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75
75
bagaimana perasaan remaja tentang dirinya, bagaimana mereka diperlakukan oleh
anggota keluarga dan teman sebayanya, keinginan-keinginan pada saat itu dan
banyak faktor lain yang mempengaruhi bagaimana remaja akan bersikap bila
suatu pilihan harus diambil.
Di samping menekankan faktor dari pengaruh-pengaruh lingkungan,
kesenjangan yang terdapat di antara pemikiran moral dengan tindakan moral dan
faktor lainnya tadi, behavioris juga menekankan bahwa perilaku moral itu bersifat
situasional. Dengan kata lain remaja tidak selalu memperlihatkan perilaku
moralnya konsisten di berbagai situasi sosial.
Teori kognisi sosial mengenai perkembangan moral, menekankan adanya
perbedaan antara kompetensi moral remaja, kemampuan untuk menghasilkan
perilaku moral, dan performa moral, penampilan perilaku-perilaku moral di
situasi khusus. Kompetensi atau kemahiran terutama bertumbuh dari prosesproses kognitif. Kompotensi dapat meliputi hal-hal yang mampu dilakukan dan
diketahui oleh remaja, keterampilan yang dimiliki, kesadaran remaja mengenai
peraturan-peraturan moral, kemampuan kognitif mereka untuk menyusun
perilakunya. Sebaliknya, peforma atau perilaku moral remaja ditentukan oleh
motivasi yang diterapkan ketika mereka menampilkan suatu perilaku moral
tertentu.127
Albert Bandura, juga berpendapat bahwa perkembangan moral paling baik
dipahami apabila mempertimbangkan kombinasi dari faktor-faktor sosial dan
kognitif. Khususnya yang melibatkan kontrol-diri. Ia menyatakan bahwa ketika
mengembangkan “diri moral (moral self), individu mengadopsi standar mengenai
benar dan salah yang dapat berfungsi sebagai pedoman dan larangan dalam
berperilaku. Itulah sebabnya perilaku moral yang akan dicapai harus terjadi dalam
fase konsep moral yang jelas.128
c. Teori Kata Hati
Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala nilai.
Akibatnya, setiap anak yang masih kecil dapat dianggap nonmoral ketika ia
127
John W. santrock., op. cip., h. 314
Ibid., h. 14
128
76
melakukan kesalahan. Dan tidak seorang anak pun dapat diharapkan
mengembangkan kode moral sendiri. Sebaliknya, setiap anak harus diajarkan
standar kelompok tentang yang benar dan yang salah.
Perumusan mengenai teori kata hati/suara hati terhadap perkembangan
moral,
sama halnya membahas mengenai perkembangan perasaan moral. Di
antaranya berbagai perumusan gagasan mengenai perkembangan moral adalah
konsep-konsep yang sentral bagi teori psikoanalisis, sifat dasar dari empati dan
peran emosi bagi perkembangan moral.
Sebagaimana yang telah dibahas oleh penulis di bab dua sebelumnya, teori
psikoanalisis
Sigmund
Freud
meyakini
bahwa
demikian
pentingnya
perkembangan masa kanak-kanak, yang menurut Freud seorang anak harus
mengalami rangkaian tingkatan-tingkatan seksual secara wajar, agar tidak
mengalami tingkah laku yang menyimpang ketika ia memasuki usia dewasa.
Freud juga mendeskripsikan superego sebagai salah satu dari tiga struktur utama
kepribadian seseorang (dua struktur lainnya adalah id dan ego). Dalam teori
psikoanalisis Freud, superego individu merupakan cabang moral dari kepribadian
yang telah berkembang di masa kanak-kanak ketika anak-anak telah mampu
menyelesaikan konflik Oedipud dan beridentifikasi dengan orang tua berjenis
kelamin sama dengannya.
Menurut Freud salah satu alasan yang membuat anak-anak menyelesaikan
konflik Oedipus adalah untuk menghilangkan ketakutan kehilangan cinta orang
tua dan dihukum karena memiliki harapan-harapan seksual yang tidak diinginkan
terhadap orang tua dari jenis kelamin yang berbeda. Untuk mengurangi
kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan afeksi orang tua, anakanak membentuk superego dengan cara beridentifikasi pada orang tua. Dalam
pandangan Freud, melalui identifikasi inilah, anak-anak menginternalisasikan
standar-standar orang tua mengenai benar dan salah yang merupakan cerminan
dari larangan-larangan sosial.
Pada waktu yang sama juga, anak-anak mengarahkan rasa permusuhannya
yang sebelumnya diarahkan ke orang tua sesama jenis kelamin, ke dalam dirinya.
Permusuhan yang diarahkan ke dalam dirinya secara langsung kemudian dialami
77
sebagai kecenderungan untuk menghukum diri sendiri yang sifatnya tidak
disadari, dan dikenali sebagai perasaan bersalah. Dalam penjelasan psikoanalisis
mengenai perkembangan moral, kecenderungan untuk menghukum diri sendiri
dalam bentuk perasaan bersalah ini akan menjaga agar anak-anak dan kelak ia
remaja, dari kecenderungan untuk melanggar hukum.129 Artinya, anak-anak dan
remaja taat terhadap standar sosial untuk menghindari rasa bersalah.
Kemudian, perasaan-perasan positif, seperti empati, juga berkontribusi
terhadap perkembangan moral remaja. Perasaan empati berarti beraksi terhadap
perasan orang lain yang disertai dengan respon emosional yang serupa dengan
perasaan orang lain. Meskipun empati dialami sebagai kondisi emosional,
perasaan empati memiliki komponen kognitif yang memiliki kemampuan untuk
memahami kondisi psikologis dalam diri seseorang, atau yang biasa disebut
sebagai pengambilan perspektif.130
Jika disimak, teori psikoanalisis menekankan bahwa pengaruh dari
perasaan bersalah yang tidak disadari terhadap perkembangan moral. Namun pada
perspektif kontemporer, teori lain seperti teori dari Damon menekankan selain
peranan empati, perasaan-perasaan positif lainnya seperti simpati, kekaguman,
harga diri, maupun perasan-perasaan negatif seperti kemarahan, perasaan malu,
perasaan bersalah, juga dapat berkontribusi bagi perkembangan moral remaja.
Ketika dialami secara kuat, emosi-emosi ini mempengaruhi remaja untuk
bertindak menurut standar-standar benar dan salah.131
Emosi-emosi seperti empati, perasaan malu, perasaan bersalah, dan lainlain, sudah dialami sejak awal perkembangan dan akan terus mengalami
perubahan sepanjang masa kanak-kanak dan remaja. Emosi-emosi
ini
memberikan suatu landasan yang alamiah bagi pemerolehan nilai-nilai moral
remaja, mengarahkan para remaja pada peristiwa-peristiwa moral dan memotivasi
mereka untuk memberikan atensi terhadap peristiwa-peristiwa semacam itu.
129
Ibid., h. 316
Ibid., h. 317
131
Ibid., h. 318
130
78
C. Penerapan Pendekatan Sosial dan Psikologi Untuk Penanaman Nilai-nilai
Moral Remaja dalam Keluarga
Cepat atau lambat, kebanyakan remaja akan belajar bahwa bagi diri
mereka sendiri penyesuaian dengan kebiasaan kelompok tempat ia berada
membawa keuntungan, walaupun mereka tidak selamanya menyetujui kebiasaan
itu. Pada waktu perkembangan kecerdasan mencapai tingkat kematangannya,
perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangannya. Bila hal ini
tidak terjadi, maka individu dianggap sebagai orang yang tidak matang secara
moral. Yakni seorang yang secara intelektual mampu berperilaku moral secara
matang, namun berperilaku moral pada tingkat seorang anak.
Dalam hal proses sosialisasi individu yang terjadi di sini, penulis lebih
menekankan kepada lingkungan keluarganya, namun tidak berarti penulis
mengucilkan proses sosialisasi dari segi lingkungan sekolah ataupun masyarakat.
Karena walaubagaimanapun, dari ketiga lingkungan utama tersebut mempunyai
saling keterkaitan. Misalnya dilihat dari segi kurikulum sekolah, nilai-nilai moral
esensial yang sebelumnya telah dijelaskan oleh penulis, juga diterapkan di dalam
pengajaran pendidikan agama islam di sekolah.
Dalam lingkungan keluarga, “anak mengembangkan pemikiran tersendiri
yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui
frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya.” 132
Proses sosialisasi ini turut mempengaruhi perkembangan sosial dan gaya
hidupnya di hari-hari mendatang.
Dalam proses perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya
mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan
keluarga maupun sekolah dan masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat
tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya.
Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh
remaja dalam proses perkembangan moralnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman,
dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman
132
Mohammad Ali, Mohammad Asrori, op. cit., h. 93
79
meliputi perasaan aman secara material dan mental. Perasaan aman secara
material berarti pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan dan sarana lain yang
diperlukan, namun orangtuapun harus menekankan sejauh tidak berlebihan dan
tidak berada di luar kemampuan orang tua. Perasaan aman secara mental berarti
pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional, menjauhi ketegangan,
membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, dan
memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya.
Manusia
normal,
membutuhkan penghargaan
baik
anak
maupun
orang
dewasa,
senantiasa
atau dihargai oleh orang lain. Oleh karena itu,
mempermalukan remaja di depan orang banyak (di depan orang lain) merupakan
pukulan jiwa yang sangat berat baginya dan dapat berakibat buruk bagi
perkembangana sosial remaja. Dalam aspek psikologi, remaja dapat terhambat
atau bahkan tertekan, misalnya kemampuan dan kreativitasnya, sehingga
mengakibatkan anak remajanya banyak berdiam diri. Sikap seperti ini muncul
karena merasa bahwa sesuatu yang akan dikemukakannya tidak akan mungkin
mendapat sambutan atau bahkan akan dipermalukan.
Sebaliknya memberikan pujian ataupun teguran kepada remaja secara
tepat adalah sangat baik. Cara ini akan dapat menimbulkan perasaan disayang
pada diri remaja yang dinyatakan secara menyenangkan oleh orang tua.
Menyatakan kasih sayang kepada remaja sampai anak remajanya menyadari
bahwa dirinya disayang dan dibanggakan oleh orang tuanya adalah sesuatu yang
penting. remaja harus mengetahui bahwa dirinya memang disayangi oleh orang
tuanya. Seorang anak yang merasa dirinya disayangi akan memiliki kemudahan
untuk dapat menyayangi orang tua dan keluarganya, sehingga akan merasakan
bahwa dirinya dibutuhkan dalam keluarga. Dalam situasi demikian, remaja akan
merasa aman, dihargai, dan disayangi. Remaja tidak merasa takut untuk
menyatakan dirinya, pendapatnya, maupun mendiskusikan kesulitan yang
dihadapinya karena merasa bahwa orang tua atau keluarganya ibarat sumber
kekuatan yang selalu membantunya di mana pun dan kapan pun dirinya
memerlukannya.
Dengan kata lain, yang sangat dibutuhkan oleh remaja dalam
perkembangan sosialnya adalah iklim kehidupan keluarga yang kondusif. Dikutip
80
oleh Mohammad Ali dan Mohammad Asrori dari Jay Kesler, mendefinisikan
bahwa iklim kehidupan keluarga itu mengandung tiga unsur, yaitu
1. Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dari keluarga lainnya
2. Karakteristik khas itu dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga
itu (termasuk remajanya)
3. Unsur kepemimpinan dan keteladanan di dalam keluarga, sikap, dan harapan
individu dalam keluarga tersebut.133
Karena remaja hidup dalam suatu kelompok individu yang disebut
keluarga, salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi perilaku remaja
adalah interaksi antaranggota keluarga. Harmonis tidaknya, intensif tidaknya
interaksi antaranggota keluarga akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja
yang ada di dalam keluarga. Gardner dalam penelitiannya menemukan bahwa
“interaksi antaranggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu korelat
yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja”.134
Dari analisa penulis terhadap hal ini, wajar, jika iklim kehidupan keluarga
memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan hubungan sosial remaja karena
sebagian besar kehidupannya ada di dalam keluarga. Situasi interaksi
antaranggota keluarga, perlakuan anggota keluarga terhadap remajanya, dan
bahkan acara-acara TV dalam keluarga juga memiliki pengaruh kuat terhadap
kondisi psikis anak remaja. Apalagi, perkembangan teknologi informasi melalui
berbagai saluran TV yang setiap waktu dapat dinikmati remaja menghidangkan
acara-acara yang bervariasi. Lebih-lebih jika ditambah dengan antena parabola
berarti remaja dalm keluarga dapat menyaksikan sedikitnya 14 saluran dalam dan
luar negeri. Jika demikian keadaannya, praktis remaja dapat menyaksikan acara
TV selama 24 jam terus-menerus jika tidak ada pengendalian dari orang tua atau
pengendalian diri sendiri.
Betapa pentingnya peranan orang tua dalam pembentukkan pribadi anak.
Lingkungan pertama yang memberikan pengaruh yang mendalam adalah
lingkungan keluarganya sendiri. Dari anggota keluarganya itu, yaitu ayah, ibu dan
133
Ibid., h. 94
Ibid., h. 95
134
81
saudara-saudaranya, si anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik
intelektual maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru dan
dipelajarinya dari anggota-anggota lain keluarganya.135
Albert Bandura dalam teori kognitif sosialnya, menjelaskan bahwa “suatu
ransangan itu dipersepsi oleh individu kemudian diberi makna berdasarkan
struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya. Jika sesuai, ransangan tersebut
dihayati dan terbentuklah sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot
kepada perilaku individu”.
136
Oleh sebab itulah, sikap diartikan sebagai
kecenderungan untuk berperilaku.
Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya di bab dua.
Perilaku yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya tidak saja sesuai dengan
standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia muncul bersamaan
dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku
yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk
tindakan masing-masing. Ia mencakup pemberian pertimbangan primer pada
kesejahteraan kelompok dan penempatan keinginan atau keuntungan pribadi pada
tempat kedua (kelompok). Moralitas yang sesungguhnya jarang ditemui pada
anak-anak, tetapi ia harus muncul selama masa remaja.137
Melalui penerapan dari teori kognitif, behavior dan pembentukkan kata
hati, dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama yang harus
diterapkan oleh orang tua kepada remajanya: mempelajari apa yang diharapkan
kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum,
kebiasaan, dan peraturan. Mengembangkan hati nurani. Belajar mengalami
perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan
harapan kelompok. Dan mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial guna
belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok.138
1. Peran hukum, kebiasaan dan peraturan dalam perkembangan moral
Pokok pertama yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi
bermoral kepada remaja ialah latihlah mereka belajar apa yang diharapkan
135
Yulia Singgih D. Gunarsah dan Singgih D. Gunarsah, op.cit., h. 6
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op.cit., h. 95
137
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75
138
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75
136
82
kelompok dari anggotanya. Misalnya, berawal dari anggap saja kelompok dalam
suatu keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, remajanya dan saudara/i-nya. Harapan
tersebut diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk hokum, kebiasaan
dan peraturan.
Dalam setiap kelompok sosial, tindakan tertentu dianggap “benar” atau
“salah” karena tindakan itu menunjang atau dianggap menunjang, atau pun
dianggap menghalangi kesejahteraan anggota kelompok. Kebiasaan yang paling
penting dibakukan menjadi peraturan hukum, dengan hukuman tertentu bagi yang
melanggarnya.
Sebagai contoh, mengambil harta milik orang lain, dianggap cukup serius
karena mengganggu kesejahteraan kelompok. Karenanya ia merupakan pelanggar
dan harus diberikan hukuman yang sesuai. Sudah merupakan kebiasaan untuk
tidak menggunakan milik orang lain tanpa sepengetahuan dan izin si pemilik.
Meskipun pelanggaran kebiasaan ini tidak akan mendatangkan tindakan hukum,
namun ketidaksetujuan sosial akan merupakan hukuman seandainya terjadi suatu
kerusakan.
Pembuat hukum
meletakkan pola perilaku moral
bagi
anggota
kelompoknya. Di dalam keluarga, orang tualah yang bertanggung jawab
membimbing anak dan harus membantu anak belajar menyesuaikan diri dengan
pola yang setujui. Ini dilakukan dengan membuat peraturan, pola yang ditentukan
untuk tingkah laku merupakan sebagai pedoman.
Peraturan berbeda dengan hukum dalam beberapa hal yang penting.
Pertama, peraturan dibuat oleh orang yang bertanggung jawab mengasuh
anak, misalnya dalam keluarga adalah orang tua, hukum dibuat oleh
pembuat hukum yang dipilih atau ditunjuk suatu Negara. Kedua, hukum
menentukan hukuman menurut keinginan atau tingkah orang yang
mengawasi anak tersebut. Ketiga, bila orang belajar tentang hukum, maka
mereka juga belajar tentang hukum atas pelanggarannya. Keempat,
beratnya hukuman atas pelanggaran hukum bervariasi dengan beratnya
tindakan yang dilakukan. kelima, hukum lebih seragam dan konsisten
dibandingkan dengan peraturan.139
139
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 76
83
Tidak semua remaja menyadari kenyataan bahwa mereka akan dihukum
bila mereka melanggar peraturan, sampai saat mereka betul-betul melanggarnya.
Mereka juga tidak mengetahui dengan jelas bentuk hukumannya sampai mereka
menerimanya. Bila suatu peraturan dilanggar, beratnya hukuman bervariasi sesuai
dengan jenis pelanggarannya. Sebagai contoh, di rumah mungkin terdapat
peraturan berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuannya, dan bagi anak
yang lebih kecil dan lebih besar.
Anak kecil tidak dituntut tunduk pada hukum dan kebiasaan seperti
dituntut dari anak yang lebih besar. Namun setelah mereka mencapai usia lebih
besar dan terus bertambah besar, orang tua mengajari mereka mengenai hukum
yang berlaku, misalnya tidak mengambil barang di toko, tidak merusak atau
memegang-megang barang milik orang lain tanpa seizin dari pemiliknya
sekalipun itu milik saudara-saudaranya di rumah, menunjukkan sikap sopan dan
hormat terhadap orang yang lebih tua, dan sebagainya. secara bertahap anak akan
mempelajari peraturan yang ditentukan berbagai kelompok, yaitu kelompok
tempat mereka mengidentifikasi diri, yaitu melalui interaksi sosialnya baik di
rumah, sekolah dan lingkungan.
Hal ini, membentuk dasar pengetahuan remaja tentang harapan berbagai
kelompok. remaja juga akan belajar bahwa mereka diharapkan untuk mematuhi
peraturan ini itu dan kegagalan dalam melakukannya akan mendatangkan
hukuman atau kurangnya penerimaan sosial.
Jadi, peraturan berfungsi sebagai pedoman perilaku anak dan sebagai
sumber motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan sosial, sebagaimana
hukum dan kebiasaan menjadi pedoman dan sumber motivasi bagi anak remaja
dan orang dewasa.
2. Peran hati nurani dalam perkembangan moral
Pokok kedua yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi
bermoral kepada remaja ialah pengembangan hati nurani sebagai kendali internal
bagi perilaku individu. Menurut tradisi, anak dilahirkan dengan “hati nurani” atau
kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan yang salah. Sejalan dengan
84
tradisi tersebut, terdapat keyakinan bahwa perilaku yang salah merupakan akibat
beberapa kelemahan bawaan, yang dianggap berasal dari pihak ibu atau ayah.
Mereka yang menganut keyakinan ini berpendapat bahwa anak tidak dapat
diperbaiki lagi. Akibatnya, mereka merasa tidak perlu mencurahkan waktu dan
usaha untuk menerapkan penanaman pendidikan nilai moral di rumah. Padahal
keyakinan seperti itu adalah hal yang sangat salah, bila kita tinjau lebih mendalam
lagi, hati nurani seseorang tidak mungkin terbentuk tanpa usaha-usaha dari dirinya
sendiri maupun dari luar (ransangan, keteladanan, latihan,dll dari keluarga).
Sekarang telah diterima secara luas bahwa tidak seorang anak pun
dilahirkan dengan hati nurani dan bahwa setiap anak tidak saja harus belajar apa
yang benar dan yang salah, tetapi juga harus menggunakan hati nuraninya sebagai
pengendali perilaku. Ini dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan yang
penting di masa kanak-kanak, guna sebagai pedomannya berperilaku di masa ia
beranjak dewasa.140
Membentuk standar tingkah laku internal terlalu rumit bagi remaja.
Akibatnya, perilaku mereka, terutama harus dikendalikan oleh batas-batas yang
ditentukan oleh lingkungan. Pembentukan kata hati seseorang tidak dapat
berfungsi dengan baik sebagai sensor atas perbuatannya, bila ia tidak mempunyai
kemampuan intelektual untuk mengambil isi dan arti dari segala hal yang
dilihatnya di lingkungan keluarga serta dialaminya melalui ajaran agama, dan
ajaran-ajaran lainnya. Jadi walaupun contoh dan teladan di sekitarnya patut ditiru
dan dijadikan petunjuk bagi hidupnya, ia tidak akan dapat mengikutinya, karena
kemampuan berpikirnya (nalar) terlalu rendah.
Sebaliknya, sekalipun remaja cukup cerdas dan mampu mengambil inti
sari dari segala rupa ajaran, ia belum tentu memiliki hati nurani yang dapat
berfungsi sebagai pengarah bagi perbuatan-perbuatannya apabila dalam
lingkungan hidupnya tidak terdapat contoh atau tokoh yang dapat dijadikan
teladan olehnya. Itulah sebabnya, bagaimana mengarahkan remaja bernalar atau
berpikir mengenai aturan-aturan yang menyangkut etika berperilaku itu adalah hal
pertama yang penting dilakukan oleh orang tuanya dalam memberikan penanaman
nilai-nilai moral pada remaja, dan diiringi melalui pemberian keteladan.
140
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 77
85
Dengan demikian, betapa pun tingginya taraf kemajuan teknologi yang
dicapai dan kenikmatan hidup yang diperolehnya, taraf tersebut tidak dapat
dipertahankan bila pribadi yang menjalaninya tidak memiliki kepribadian yang
terbentuk sempurna. Artinya, tidak mempunyai kepribadian yang bertanggung
jawab secara etis moral.
Mengenai
perkembangan
remaja,
sebelumnya
penulis
telah
mendeskripsikan mengenai teori perkembangan kognitif menurut Jean Piaget.
Yang menurutnya perkembangan moral seseorang berkaitan dengan kemampuan
kognitifnya.
Menurut Piaget remaja termotivasi untuk memahami dunianya secara aktif
mengonstruksikan dunia kognitifnya sendiri. Ketika mengonstruksikan dunianya,
remaja menggunakan skema. Skema adalah sebuah konsep atau kerangka kerja
mental yang diperlukan untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan
informasi.
bagaimana
141
Secara khusus tugas orang tua di sini adalah mengarahkan
anak-anak
dan
remajanya
menggunakan
skemanya
untuk
mengorganisasikan dan memahami pengalaman yang mereka alami.
Dalam penerapannya, “Piaget menemukan anak-anak dan remaja
menggunakan dan mengadaptasikan skema-skema mereka melalui dua proses,
yaitu: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah memasukkan informasiinformasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi adalah
menyesuaikan sebuah skema yang sudah ada terhadap masuknya informasi
baru”.142
Dengan kata lain proses asimilasi merupakan proses pemahaman dan
penyerapan antara informasi-informasi yang baru, agar dapat menjadi satu dengan
skema/kerangka informasi yang dimiliki sebelumnya. Dan proses akomodasi
merupakan proses mental individu untuk dapat menyesuaikan diri agar sesuai
dengan kondisi lingkungan di luar dirinya.
Setelah melalui dua proses tadi, suatu waktu remaja mengalami konflik
kognitif atau mengalami ketidakseimbangan (disequilibrium) ketika remaja itu
141
John W. Santrock, op.cit., h. 123
John W. Santrock, op.cit., h. 123
142
86
berusaha untuk memahami dunianya. Kemudian proses lain juga diidentifikasi
oleh Piaget yaitu keseimbangan/ekuilibrium (equilibrium), di mana remaja
mengubah pemikiran dari satu kondisi ke kondisi lain.143 Proses keseimbangan ini
dapat terjadi jika individu memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi
(penyesuaian diri) agar terjadi keseimbangan, keselarasan maupun keharmonisan
antara diri individu dengan lingkungan hidupnya. Sebelum terjadinya ekuilibrium
ini, berarti individu mengalami suatu kondisi yang tak seimbang , lalu disinilah
proses asimilasi dan akomodasi itu berlangsung.
Dalam hal ini, berarti hati nurani telah diterangkan sebagai keseimbangan
yang terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan tindakan
tertentu, yang telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif
dengan hukum. Hati nurani juga dikenal dengan sebutan “kata hati” atau
“superego” menurut perspektif psikoanalisa, yang merupakan sebagai pengendali
dorongan-dorongan dari naluri id agar dorongan-dorongan tersebut disalurkan
dalam cara dan bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.144 Dengan kata lain,
hati nurani merupakan standar internal yang mengendalikan perilaku individu.
Seiring terjadinya pengarahan disequilibrium kepada equilibrium melalui
proses asimilasi dan akomodasi, terlebih dahulu harus diusahakan supaya pribadipribadi remaja dibimbing dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga dalam
perkembangannya akan menjadi manusia yang bertanggung jawab penuh secara
etis moral. Lingkungan yang optimal bagi perkembangan kepribadian yang wajar
adalah sangat penting. Keutuhan keluarga dan keserasian yang mengusai suasana
di rumah merupakan salah satu faktor penting. Demikian pula sosok ayah dan ibu
sebagai pengisi hati nurani yang pertama harus melakukan tugas ini dengan penuh
tanggung jawab dalam suasana kasih sayang.
Bila lingkungan hidup si remaja bertambah luas, akan lebih banyak sosok
yang akan menjadi objek peniruan baginya rangka pengisian hati nuraninya.
Apabila suatu lingkungan sulit untuk dikendalikan pengaruhnya terhadap
perkembangan remajanya, ayah dan ibu harus menciptakan lingkungan lain yang
143
144
Ibid., h. 124
E. Koswara, op.cit., h. 34
87
diperkirakan menguntungkan dan tidak akan menyesatkan remaja. Namun yang
lebih efektif adalah dengan meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam pembentukan
kata hati kepada remaja, melalui pengajaran dan ditanamkannya kepada remaja
bahwa moral (akhlak) yang diajarkan di dalam Al-Qur’an bertumpu kepada aspek
fitrah yang terdapat di dalam diri manusia, dan aspek wahyu (agama), kemauan
dan tekad manusiawi. agar ia dapat menimbang dan menilai sendiri pengaruh
suatu lingkungan dalam usahanya memilih sosok dan menentukan pandangan
baru yang akan menjadi bagian dari hati nuraninya kelak.
Maka pendidikan moral (akhlak) perlu dilakukan dengan cara:
1) Menumbuh-kembangkan dorongan dari dalam diri remaja, yang bersumber
pada iman dan takwa. Untuk ini perlu pendidikan agama.
2) Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak melalui ilmu pengetahuan,
pengalaman dan latihan, agar dapat membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk.
3) Meningkatkan pendidikan kemauan remaja, yang menumbuhkan pada
manusia kebebasan memilih yang baik dan melaksanakannya. Selanjutnya
kemauan itu akan mempengaruhi pikiran dan perasaan.
4) Latihan untuk melakukan nilai-nilai esensial untuk remaja serta mengajak
orang lain untuk bersama-sama melakukan perbuatan baik tanpa paksaan.
5) Pembiasaan dan pengulangan menanamkan nilai-nilai esensial bagi remaja,
sehingga perbuatan yang baik itu menjadi keharusan moral dan perbuatan
akhlak terpuji, yang menjadi kebiasaan mendalam, tumbuh dan berkembang
secara wajar di dalam diri remaja.145
Dasar hati nurani yang kuat akan membimbing individu untuk menolak
pandangan yang akan menghewankan remaja itu sendiri, dan memilih pandangan
yang menganggap martabat manusialah sebagai makhluk yang berakhlak dan
bertanggung jawab secara etis moral.
3. Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan moral
Pokok ketiga yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi
bermoral kepada remaja ialah pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu.
145
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 11-12
88
Setelah remaja mengembangkan hati nuraninya, hati nurani mereka dibawa dan
digunakan sebagai pedoman perilaku. Bila perilaku remaja tidak memenuhi
standar yang ditetapkan hati nuraninya, maka anak merasa bersalah, malu atau
kedua-duanya.
Rasa bersalah dapat dijelaskan sebagai jenis evaluasi diri khusus yang
negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui bahwa perilakunya berbeda
dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. remaja yang merasa
bersalah tentang apa yang telah dilakukannya, telah mengakui pada dirinya sendiri
bahwa perilakunya jatuh di bawah standar yang ditetapkannya sendiri.
Namun, sebelum rasa bersalah ini dialami, minimal ada empat kondisi
yang harus diarahkan oleh orang tua kepada remajanya. Pertama, remaja harus
menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan yang salah atau baik dan
buruk sebagai standar perilaku mereka. Kedua, mereka harus menerima kewajiban
untuk disiplin mengatur perilakunya agar sesuai dengan standar yang telah mereka
terima sebelumnya. Ketiga, mereka harus merasa bertanggung jawab atas setiap
penyelewengan dari standar tersebut, dan mengakui bahwa mereka, dan bukan
orang lain yang harus disalahkan. Keempat, mereka harus memiliki kemampuan
mengkritik diri yang cukup besar untuk menyadari bahwa suatu ketidaksesuaian
antara perilaku mereka dengan standar internal mereka adalah perilaku yang telah
terjadi.146
Kemudian, “rasa malu telah didefinisikan sebagai reaksi emosional yang
tidak menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif
terhadap dirinya. Penilaian ini, yang belum tentu benar-benar ada, mengakibatkan
rasa rendah diri terhadap kelompoknya”. 147 Adapun penilaian negatif ini dapat
berbentuk apabila seseorang berbuat kurang sopan, merasa malu, atau seperti
apabila seseorang mendapat penilaian negatif karena perilakunya jatuh di bawah
standar kelompok.
Moralitas dalam arti kata sebenarnya, selalu mencakup rasa bersalah.
Orang harus berbuat sesuai dengan adat istiadat kelompok, dibimbing oleh standar
146
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 77
Ibid., h. 77
147
89
yang lebih dikendalikan dari dalam ketimbang dari luar. Ausabel telah
menjelaskannya sebagai berikut, rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme
psikologi yang paling penting dalam proses sosialisasi. Ia juga merupakan unsur
yang penting bagi kelangsungan hidup budaya karena ia merupakan penjaga yang
paling efisien di dalam diri tiap individu, dan bertugas menjaga keselarasan
perilaku individu dengan nilai moral masyarakatnya.148
Bila remaja tidak merasa bersalah dan malu atas perilaku negatif yang
telah ia perbuat, ia tidak akan merasa terdorong untuk belajar apa yang diharapkan
kelompok sosialnya atau untuk menyesuaikan perilakunya dengan harapan
tersebut.
4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral
Pokok keempat yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi
bermoral kepada remaja ialah memberikan kesempatan kepada remaja untuk
melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Tanpa interaksi dengan
orang lain, mereka tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara sosial,
maupun memiliki sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat
sesuka hatinya.
Prinsip paling penting yang harus dipelajari oleh orang tua adalah perilaku
anak yang menyimpang itu merupakan akibat dari kurangnya dorongan semangat
oleh orang tuanya sehingga anak merasa dirinya tidak baik. Akibat lain, mereka
merasa putus asa dan kecewa karena merasa dirinya tidak berhasil memenuhi
keinginan orang tuanya atau kelompoknya. Hilangnya kepercayaan diri pada
kemampuan yang mereka miliki itulah yang mengembalikan mereka kepada
perbuatan yang kurang baik untuk menyelamatkan rasa harga diri.149
Interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga. Remaja belajar
dari orang tua, saudara kandung dan anggota keluarga lain, apa yang dianggap
benar dan salah oleh kelompok tersebut. Dari penolakan sosial atau hukuman bagi
perilaku yang salah, dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku
148
Ibid., h. 78
Maurice Balson, Bagaimana Menjadi Orang Tua yang Baik, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), cet. 2, h. 84
149
90
yang benar, anak memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar
perilaku yang ditetapkan anggota keluarga.
“Interaksi sosial memegang peran penting dalam perkembangan moral
anak. Pertama, memberikan anak standar perilaku yang disetujui kelompok
sosialnya. Kedua, memberikan mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar
tersebut melalui persetujuan dan ketidaksetujuan sosial”. 150 Membantu remaja
agar memiliki kepercayaan kepada diri sendiri menjadi tugas dan kewajiban orang
tua. Seluruh perilaku anak yang salah dan menyimpang bersumber dari hilangnya
rasa percaya diri dan rasa takut berbuat, keadaan demikian terjadi karena mereka
tidak mendapatkan dorongan semangat atau motivasi dari orang tuanya dan
disamping itu juga tiadanya suasana saling membantu dalam kehidupan
keluarganya.
Motivasi utama dibalik semua perilaku tersebut adalah keinginan untuk
diberi peranan, untuk diterima dalam keluarga atau anggota kelompok lainnya,
dan untuk dapat memainkan fungsi peranan tersebut dalam kelompoknya. Dengan
bila mereka ikut berperan dalam keluarga atau suatu kelompok, dan mereka
merasa menjadi anggota yang berguna dan penting, barulah mereka dapat
berfungsi dengan baik, dapat membantu dan bekerja sama.
Dengan meluasnya cakrawala sosial hingga kepada lingkungan luar rumah
dan sekolah, anak remaja melalui permainan dan komunikasi dengan teman-teman
sebayanya mulai belajar bahwa beberapa standar perilaku yang dipelajari mereka
di rumah sama dengan standar mereka berteman dan beberapa yang lainnya
berbeda.
Karena pengaruh yang kuat dari kelompok sosial pada perkembangan
moral remaja, penting sekali bagi orang tua dan anggota keluarga lainnya
(saudara/i) untuk saling membantu dan tidak lengah mengarahkan mereka bahwa
kelompok sosial tempat mereka mengidentifikasikan dirinya harus mempunyai
standar moral yang sesuai dengan kelompok sosial yang lebih besar dalam
masyarakat. Itulah sebabnya, orang tua harus mengontrol dan mengarahkan jenis
teman bermain untuk anaknya jauh lebih penting dibandingkan dengan
jumlahnya.
150
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 78
91
Kemudian berbicara fase perkembangan moral, bila moralitas yang
sesungguhnya harus dicapai oleh remaja, maka perkembangan moral harus terjadi
dalam dua fase yang jelas, yaitu: pertama, perkembangan perilaku moral. Kedua,
perkembangan konsep moral.151
Sumber lain menyatakan, bila perilaku moral sesungguhnya harus dicapai,
maka ada beberapa jenis perkembangan moral yang harus terjadi, yaitu
1. Sensitifitas moral (moral sensitifity). Kemampuan untuk menginterpretasikan
dan menyadari akibat-akibat perilaku terhadap orang lain. Kemampuan ini
berasal dari petimbangan kognitif maupun perasaan (afektif)
2. Kuputusan moral (moral judgment). Kemampuan individu untuk dapat
memutuskan suatu tindakan benar-salahnya, dengan memiliki kesadaran
tentang moral yang tinggi.
3. Motivasi moral (moral motivation). Kemampuan individu untuk melakukan
tindakan moral di atas standar nilai-nilai diri sendiri.
4. Karakter moral (moral character). Suatu sifa-sifat yang tumbuh dan
berkembang dalam diri individu, sehingga dengan keberanian moral dapat
melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral. Ia akan
berupaya mematuhi aturan moral itu, walaupun dianggap merugikan diri
sendiri. 152
Perkembangan moral remaja harus terjadi dalam dua fase yang jelas.
Pertama, perkembangan perilaku moral. Remaja dapat belajar untuk berperilaku
sesuai dengan cara yang disetujuinya. Salah satu prinsip dasar yang dapat
digunakan orang tua sebagai pedoman untuk memahami perilaku anaknya adalah
anggap bahwa anak berperilaku tertentu dengan tujuan untuk memperoleh tempat
dalam keluarga. Salah satu kesalahan besar orang tua ialah terkadang lebih
memusatkan pada perilaku itu sendiri daripada memahami tujuannya.
Metode modeling bisa menjadi pilihan bagi orang tua untuk menunjang
perkembangan perilaku moral remaja. Dengan cara menghadirkan sebuah model
yang berargumen dengan menggunakan pemikiran moral satu tahap di atas tingkat
151
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op.cit., h. 80
Agoes dariyo., op.cit., h. 64
152
92
yang telah dicapai remaja. Metode modeling ini didasarkan pada konsep
perkembangan kognitif mengenai ekuilibrium dan konflik. Dari sinilah terjadinya
proses imitasi, sugesti dan identifikasi pada remaja.
Dengan menyajikan informasi moral yang melampaui tingkat kognitif
remaja, remaja akan mengalami disekuilibrium yang akan memotivasinya untuk
melakukan restrukturisasi terhadap pemikiran moralnya.
153
modeling
keteladanan
oleh
orang
tuanya,
dengan
memberikan
Melalui metode
dalam
menanamkan nilai-nilai esensial bagi remaja seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya oleh penulis. Kemudian dengan keteladanan yang disiplin, pada diri
remaja akan terjadi proses imitasi. Remaja akan meniru segala kegiatan yang
terjadi dalam keluarganya, bahkan mulai dari hal-hal yang kecil seperti gaya
bahasa/berbicara orang tua kepada dirinya mau pun orang lain, cara-cara
berpakaian, dan sebagainya.
Teladan moral adalah orang yang hidupnya patut untuk dijadikan contoh.
Di dalam konteks keluarga, yang menjadi panutan atau teladan bagi para remaja
adalah Ibu dan Bapak. Hubungan orang tua dan anak memperkenalkan mereka
pada kewajiban mutual dalam hubungan interpersonal yang erat. Kewajiban orang
tua adalah terlibat dalam pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia
yang kompeten dan berkepribadian baik.
Di lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi
mempunyai peranannya, sebab mengimitasi/mengikuti suatu contoh yang baik itu
dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Melalui dari apa yang
dilihatnya/pelajarinya (proses modeling yang baik dari orang tua) melalui
interaksi sosial, atau bisa juga dengan cara memberikan gambaran-gambaran
keteladan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya para nabi dan sahabat),
imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatanperbuatan yang baik.
Namun peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang
digambarkan di atas juga bisa menjadi negatif. Apabila hal-hal yang dicontohkan
oleh orang tua atau pun anggota lainnya dari keluarga adalah pencontohan yang
153
John W. santrock., op. cip., h. 307
93
kurang baik, mungkin salah atau pun secara moril ditolak. Apabila contoh
demikian diimitasi oleh anak, maka proses imitasi itu dapat menimbulkan
terjadinya kesalahan kolektif pada remaja. Justru itulah sebagai orang tua
hendaknya mengemas keteladanan kepada anak-anaknya secara baik dan juga
berhati-hati.
Dengan adanya teladan yang baik, maka akan menumbuhkan hasrat bagi
remaja untuk meniru atau mengikutinya. Karena memang pada dasarnya dengan
adanya contoh ucapan, perbuatan dan contoh tingkah laku yang baik dalam hal
apapun, maka hal itu merupakan suatu amaliyah yang paling penting dan paling
berkesan bagi pendidikan anak, maupun dalam kehidupan dan pergaulan mereka
sehari-hari.
Kemudian proses sugesti di sini terletak pada keterkaitannya dalam
penalaran si remaja. Melalui metode persuasif,
agar remaja tidak salah
mengimitasi, orang tua tetap harus disiplin mengarahkan mereka dengan
mengajak mereka merenungkan terlebih dahulu apa yang harus ia tiru dan apa
yang tidak boleh ia tiru dengan memberinya standar perilaku yang disetujui
kelompok sosial dan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar
tersebut. Setelah mereka telah memiliki motivasi moral tersebut, maka orang tua
bisa melanjutkan dengan metode pembiasaan dalam penanaman nilai-nilai moral
pada remaja.
Pada metode pembiasaan ini, orang tua melakukan pengkondisian diri
remaja, diawali dengan memberikan mereka pelatihan-pelatihan melakukan
beberapa nilai moral. Bila remaja belajar untuk bersikap sesuai dengan apa yang
diterima secara sosial oleh anggota kelompoknya (keluarga atau pun masyarakat)
dengan cara terus berlatih (tetap dibawah arahan atau pembinaan dari orang tua),
maka mereka akan melakukannya dengan mencoba suatu jenis perilaku untuk
melihat apakah itu memenuhi standar sosial dan memperoleh persetujuan sosial.
Bila tidak, mereka bisa diarahkan untuk mencoba lagi dan melakukan dengan cara
yang lain, dan seterusnya begitu hingga memenuhi dan memperoleh persetujuan
sosial. Hingga suatu saat, secara kebetulan dan bukan karena direncanakan,
mereka akan menemukan caranya sendiri yang memberi hasil yang diinginkan,
94
yaitu dengan cara pembiasaan. Metode ini memang cukup menghabiskan waktu
dan tenaga, dan hasil akhirnya pun seringkali jauh dari memuaskan.
Jadi melalui keteladanan dan pembiasaan, melalui proses asimilasi maka
remaja akan berupaya untuk mengubah hal-hal yang berasal dari luar, untuk
disesuaikan dengan apa yang sudah ada dalam dirinya. Dan melalui proses
akomodasi, remaja akan termotivasi untuk mengubah konsep, pemahaman
ataupun pengertian yang lama, agar sesuai dengan yang baru. Disadari atau tidak
disadari, remaja sedang melakukan proses identifikasi pada dirinya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan melalui studi pustaka dalam menanamkan nilai-nilai moral
pada remaja dalam keluarga, penulis mengemukakan kesimpulan, bahwa:
1. Nilai-nilai moral esensial yang penting ditanamkan pada remaja di antaranya
adalah jujur, disiplin, percaya diri, peduli dan mandiri. Nilai-nilai moral
esensial ini merupakan nilai-nilai mendasarkan untuk membentuk akhlak
mulia/karakter pribadi remaja, yang bisa dimulai dari dini bahkan sebelum
remaja. Penanaman nilai-nilai ini tidak sebatas pada pengajaran, tetapi
menyentuh perasaan remaja agar mereka sadar akan kebenaran dan kesediaan
untuk mengamalkannya.
2. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan pendekatan sosial
yang dilakukan dengan cara interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan
identifikasi. Pendekatan ini berfungsi untuk mempelajari contoh-contoh
penerapan nilai-nilai moral secara konkrit dari keteladanan orang tua dan
anggota keluarga lainnya secara praktis, dan tersedianya kondisi yang baik di
dalam keluarga, ini memudahkan remaja untuk meniru. Selanjutnya orang tua
membeiasakan dan mengontrol sikap dan perbuatan remaja.
3. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan juga pendekatan
psikologi yang dilakukan dengan cara mempersiapkan mental remaja dengan
membina kondisi mentalnya melalui pembinaan secara rasional, pengendalian
perilaku moral dan pembentukkan kata hati. Pendekatan ini berfungsi
membangun kesadaran remaja melalui pengetahuan dan kemampuan nalar dan
hati nuraninya (intuisi) untuk meyakini bahwa nilai-nilai esensial itu memang
merupakan nilai kebajikan dan bermanfaat yang harus diikuti atau diterapkan.
4. Dalam penerapannya, pendekatan sosial menekankan remaja untuk mampu
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya,
sehingga
perilaku
yang
dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat atau sesuai standar sosial.
Kemudian dari segi pendekatan psikologi, lebih menekankan pada kesadaran
95
96
diri remaja dalam melakukan suatu perbuatan, kesadaran yang tinggi terhadap
nilai-nilai esensial dapat mengontrol dan mengendalikan remaja dari perilaku
yang menyimpang dari standar sosial.
B. Saran
1. Bagi orang tua hendaknya mempelajari perkembangan ciri-ciri jiwa remaja,
dekat dengan anak remajanya agar terjalin komunikasi, sehingga dengan
lancarnya komunikasi akan ada keterbukaan diantara keduanya, dan nasehatnasehat orang tua akan lebih bisa didengar oleh remaja. Orang tua hendaknya
juga melakukan keteladanan nilai-nilai moral esensial tadi (jujur, disiplin,
percaya diri, peduli,dsb) baik dari segi perkataan dan perbuatan, karena apa
saja yang dilihat maupun didengar oleh remaja, itulah yang akan mereka tiru.
Orang tua juga hendaknya sadar akan tanggung jawab terhadap anak-anaknya
agar mereka banyak memberikan perhatikan, pengawasan dan bimbingan yang
sebaik-baiknya, ini dapat dilakukan melalui bacaan-bacaan seperti: koran,
majalah, buku-buku. Atau penerangan TV, radio, mengikuti seminar-seminar
atau pelatihan-pelatihan, sebagainya.
2. Bagi masyarakat hendaknya ikut menertibkan perilaku-perilaku masyarakat
sekitar yang kurang kondusif demi menghindari kerusakan moral remaja,
begitupun untuk guru-guru di sekolah. Masyarakat dan guru juga hendaknya
menjadi figur teladan yang baik.
3. Bagi remaja hendaknya mengerti perkembangan dirinya, menekan gejolak
emosionalnya
sehingga
mampu
untuk
mengendalikan
sikap
atau
perbuatannya. Remaja juga hendaknya bersikap kritis terhadap perilaku yang
ada di sekelilingnya, sehingga tidak hanya asal meniru tetapi juga mampu
membedakan mana perilaku yang buruk dan mana perilaku yang baik untuk
ikuti. Sibukkan diri dengan menyalurkan bakat-bakat yang ada di dalam diri
melalui organisasi-organisasi tertentu, misalnya: organisasi sport, organisasi
kesenian, pramuka, dan sebagainya, hal ini agar remaja tidak mempunyai
waktu terluang yang tidak berguna.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Abu, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
Azhari Akyas, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004
Agama Departemen, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004),
cet. 5, juz ke-21
Ali Mohammad dan Asrori Mohammad, Psikologi remaja, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara 2011)
Alisuf Sabri M, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3
Abdullah M. Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah,
2007), cet. 1
Bachri Thalib syamsul., Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif,
(Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1
Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), cet. 4
Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Cet. 1
Darajat Zakiah, Ahmad Sadali, dkk., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), cet ke-10
Daradjat Zakiah, Pendidikan islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV
Ruhama, 1994)
Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977). Cet. 4
Djunaidi Ghony Muhammad, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional,
1982)
Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar
Indonesia, 2006), cet 1
Erika Endang, “Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap
Kecerdasan Spiritual Anak”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2010), skripsi
97
98
Farida. HM, “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku
Sosial Anak Usia Dini”, ( Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2012), skripsi
Gerungan W. A. DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet.
7
Herien Puspitawati, Seks Bebas dikalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa),
Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal
02Feb 2014), (http://sule-gratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-dikalangan-remaja-pelajar.html)
Humanitas., Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan, 2008),Vol. 5 No.1
Haitami Salim Moh, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013)
Hurlock Elizabeth B, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi
ke-6
Irawan Dedi. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk
Tawuran,
(diakses
pada
tanggal
20
Maret
2014),
(http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajar-bajak-kopaja-untuktawuran_111160.html)
Koswara E, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2
Kompas.com. Mohammad Nuh., Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret
2014),
http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013
Kasiram. Moh, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) cet. I
Khiriah Husen Thaha, Konsep Ibu Teladan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994)
Listyarti Retno, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan kreatif,
(Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012)
M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta,
(diakses
pada
tanggal
20
Maret
2014),
(http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-JumlahPengguna-Narkotika-Capai-5)
Nata Abudin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5
Narendrany Hidayati Heny dan Yudiantoro Andri, Psikologi Agama, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2007)
99
Noor Syam Mohammad, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988)
Pramono Wahyudi, Srijanti dan Purwanto, Etika Membangun Masyarakat Islam
Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet. 1
Rosyadi Khoiron, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Ruqoyah Siti, “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Anak Usia Dini”, (Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012),
Sujanto Agus, PsikologiPerkembangan, ( Jakarta: AksaraBaru,1982) cet. 3
Syamsul Arifin Bambang, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2011)
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, ((Jakarta: Rineka Cipta,
1989), cet. 1
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11
Toriquddin Moh., Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia
modern”, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama
RI, 2011), Cet. 1
Wardani Kristi, “Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”, Proceedings of The 4th International
Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI,
(Bandung: Indonesia, 8-10 November 2010)
W. Santrock John Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 1 Edisi
ke-11
W. Sarwono Sarlito, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),
Cet. 14
Zed Mestika, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004), cet. 1
Zuriah Nurul, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. I
Download