PENDEKATAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI UNTUK MENANAMKAN NILAI-NILAI MORAL PADA REMAJA DALAM KELUARGA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Akademik Program Kualifikasi S1 Kependidikan dan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh: LESNI BOREZA NIM: 109011000008 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. Al-Baqarah: 286) Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk Rupa, yang mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Hasyr: 22-24) ABSTRAK Lesni Boreza (109011000008). Pendekatan Sosial dan Psikologi untuk Menanamkan Nilai-nilai Moral pada Remaja dalam Keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai moral apa saja yang penting dan perlu ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja, mengetahui pendekatan dalam penanaman nilai-nilai moral dan untuk mengetahui penerapan dari pendekatan yang dipakai untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi pustaka, adapun dalam analisisnya menggunakan teknik analisis isi (Content Analisys) yakni menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang di lakukan secara objektif dan sistematis yang berhubungan dengan pendektan sosial dan psikologi untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga. Setelah semua data telah dperoleh dan kumpulkan, maka tahap selanjutnya adalah penganalisaan secara cermat agar pembahasannya dapat tersusun secara sistematis menurut pokok pembahasannya masing-masing, ini memudahkan memberi arti terhadap data. Kemudian dirumuskan suatu kesimpulan yang dapat diuji kebenarannya. Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa nilai-nilai moral esensial merupakan nilai-nilai mendasarkan untuk membentuk akhlak mulia/karakter pribadi remaja, yang bisa dimulai dari dini bahkan sebelum remaja, ini bisa dilakukan oleh para orang tua melalui pendekatan sosial dan psikologi. Penanaman nilai-nilai ini tidak sebatas pada pengajaran, tetapi menyentuh perasaan remaja agar mereka sadar akan kebenaran dan kesediaan untuk mengamalkannya. Dalam penerapannya, pendekatan sosial menekankan remaja untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga perilaku yang dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat atau sesuai standar sosial. Kemudian dari segi pendekatan psikologi, lebih menekankan pada kesadaran diri remaja dalam melakukan suatu perbuatan, kesadaran yang tinggi terhadap nilainilai esensial dapat mengontrol dan mengendalikan remaja dari perilaku yang menyimpang dari standar sosial. Dalam hal ini orang tua hendaknya mampu menjadikan dirinya teladan bagi anak, karena kecendongan remaja masih tinggi untuk meniru tingkah laku, cara berpakaian, cara berbicara dan bersikap terhadap sesuatu akan banyak terpengaruhi oleh hal-hal yang terlihat, terdengar, dan terbaca olehnya. i KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Seluruh pujian hanya milik Allah, Pencipta, Pengatur, Pendidik alam semesta. Kasih sayang-Nya tidak pernah henti tercurah kepada kita setiap saat. Rasa syukur penulis sesungguhnya juga adalah bentuk kasih sayang-Nya, karena Allah memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik, sehingga sangat mustahil penulis mampu bersyukur secara sempurna, karena setiap syukur yang penulis ucapkan memerlukan syukur lainnya yang tak mungkin berakhir. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw yang senantiasa mampu menunjukkan bukti kehambaannya. Mudah-mudahan penulis dapat mengikuti jejak langkah beliau dalam mendekati Allah SWT sedekat-dekatnya. Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dan motivasi baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam, yang selalu memberikan masukan dan semangat kepada penulis. 3. Marhamah Sholeh, Lc. MA., selaku sekertaris jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dra. Djunaidatul Munawwarah, MA, Selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan semangat, bimbingan dan masukan dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan untuk ibu, amin. 5. Ahmad Irfan Mufid, MA., Selaku Dosen Penguji I dan Drs. Abd. Haris, M.Ag., selaku Dosen Penguji II. 6. Bapak dan ibu dosen dengan penuh keikhlasan telah memberikan pelajaran paling berharga bagi penulis. 7. Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan serta Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. ii 8. Terkhusus penulis persembahkan skripsi ini untuk ibunda tercinta Leswita dan ayahanda tercinta Supuan Cik, kakak tercinta Bogi Nopriansyah, keponakan tersayang Adelia Andini dan Chika Despi Idil Fitri. Dan terkhusus juga telah usainya kuliahku ini ku persembahkan untuk ayunda tercinta Almarhumah Nefi Hailes, salam rindu yang tak henti untukmu, serta seluruh keluarga besar lainnya, yang selalu memotivasi baik moril maupun materil, mendoakan, menyemangati, dan mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Doa penulis selalu, semoga Allah memberikan umur yang panjang, melimpahkan keberkahan dan kesehatan, serta senantiasa memuliakan keluarga kita di dunia dan di akhirat, amin. 9. Habibi tersayang Afrengki Sabta Roma beserta seluruh keluarga, atas cinta kasih, doa dan motivasinya untuk terus berjuang dalam menjalani dan melewati setiap proses studyku. Semoga Allah selalu melimpahkan kebahagiaan dan kesehatan untuk kalian, amin. 10. Untuk teman-temanku di rumah Al-Family; Amiroh Adilah, Sari Bunga, Santi Yuniartiningsih, Annisa, Sinta, Rina dan semuanya. Terima kasih banyak dalam kebersamaan kurang lebih 3 tahun ini, semoga tali persaudaraan kita terus terjaga & sukses selalu untuk menjalankan tantangan kehidupan ataupun pendidikan selanjutnya, amin. 11. Teman-teman PAI angkatan 2009 khususnya kelas A yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga persaudaraan yang terjalin selama ini membawa kebaikan untuk kita semua, sukses selalu untuk kita semua, amin. Akhirnya, penulis hanya bisa memanjatkan doa kepada Sang Pemberi Rahmatan Lil ‘Alamin Allah SWT, semoga segala doa, ilmu, motivasi, bantuan, serta masukan dari mereka dibalas oleh-Nya dengan beribu-ribu kebaikan dan dicatat menjadi amal ibadah. Amin. Jakarta, 11 Juni 2015 Penulis iii DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................. KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN i ii iv A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .................................................................. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... BAB II D. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8 E. Manfaat Penelitian .................................................................... 8 KAJIAN TEORI A. Nilai Moral Dalam Islam .......................................................... 9 1. Pengertian Nilai Moral ......................................................... 9 2. Sumber Nilai Moral.............................................................. 13 B. Konsep Keluarga dalam Islam .................................................. 15 1. Pengertian Keluarga ............................................................. 15 2. Fungsi dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga .. 16 3. Interaksi Harmonis dalam keluarga ..................................... 20 C. Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya ................................... 25 1. Pengertian Remaja ............................................................... 25 2. Ciri-ciri Masa dan Perkembangan Remaja ......................... 28 a. Perkembangan Fisik ......................................................... 29 b. Perkembangan Emosi ....................................................... 31 c. Perkembangan Kecerdasan .............................................. 32 d. Perkembangan Jiwa Sosial ............................................... 33 e. Perkembangan Keberagamaan ......................................... 34 1) Percaya turut-turutan. ............................................... 36 2) Percaya dengan kesadaran ......................................... 36 3) Kebimbangan Beragama ........................................... 37 4) Tidak Percaya Kepada Tuhan.................................... 38 D. Perkembangan Moral Remaja ................................................... 39 iv E. Penelitian yang Relevan ............................................................ 48 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktudan Objek Penelitian ...................................................... 50 B. Metode Penelitian ..................................................................... 53 C. Fokus Penelitian........................................................................ 55 D. Prosedur Penelitian ................................................................... 55 BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Nilai-nilai Moral Esensial Bagi Remaja ................................... 57 1. Jujur ...................................................................................... 57 2. Disiplin ................................................................................. 59 3. Percaya Diri .......................................................................... 61 4. Peduli.................................................................................... 63 5. Mandiri ................................................................................ 64 B. Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilainilai Moral bagi Remaja ........................................................... 66 1. Pendekatan Sosial................................................................. 66 a. Imitasi .............................................................................. 67 b. Sugesti ............................................................................. 68 c. Identifikasi ...................................................................... 69 2. Pendekatan Psikologi ........................................................... 70 a. Teori Penalaran................................................................ 71 b. Teori Perilaku Moral (behavior)...................................... 74 c. Teori Kata Hati ................................................................ 76 C. Penerapan Pendekatan Sosial dan Psikologi Untuk Penanaman Nilai-nilai Moral Remaja dalam Keluarga ............ 1. Peran hukum, kebiasaan dan peraturan 78 dalam perkembangan moral........................................................... 81 2. Peran hati nurani dalam perkembangan moral .................... 83 3. Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan moral .................................................................................... v 87 4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral .............. BAB V 89 KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................... 95 B. Saran ......................................................................................... 96 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 97 vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terdapat suatu pandangan “Tegaknya suatu bangsa tergantung pada moralnya, dan runtuhnya moral bangsa tergantung pada penghayatan dan pengamalan pada agama.” Paradigma di atas relevan dengan diutusnya para Nabi dan Rasul, dengan salah satu tugasnya untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. AlAhzab [33]:21)1 Dari generasi ke generasi masyarakat suatu bangsa akan mengalami pertumbuhan yang berbeda di mana kualitas masyarakatnya akan ditentukan oleh pengalaman dan pembelajaran yang berkualitas pula, begitu juga sebaliknya. Salah satu indikator yang menentukan kualitas suatu generasi masyarakat ditentukan oleh pendidikan yang diperoleh baik itu melalui pendidikan formal, informal maupun pendidikan non formal. Secara teoritik, penanaman akhlak atau pun moral pada anak juga harus diterapkan dalam berbagai lingkungan pendidikan. Dewasa ini pendidikan di Indonesia diarahkan pada pembinaan karakter bangsa, berkaitan dengan ini Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) 2010-2014 telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk seluruh jenjang pendidikan di Indonesia mulai tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan 1 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004), cet. 5, juz ke-21, h. 336 1 2 Tinggi (PT) dalam sistem pendidikan di Indonesia. 2 Dalam implementasinya pendidikan karakter merupakan upaya pembimbingan perilaku siswa agar mengetahui, mencintai dan melakukan kebaikan. Fokusnya pada tujuan-tujuan etika melalui proses pendalaman apresiasi dan pembiasaan. Kemudian setelah itu turunlah kurikulum 2013 yang selain berisi deskripsi Kompetensi Dasar, berisi pula Kompetensi Inti dan Struktur Kurikulum. “Kompetensi Dasar dikembangkan dari Kompetensi Inti, sedangkan 3 pengembangan Kompetensi Inti mengacu pada Struktur Kurikulum”. Kompetensi Inti merupakan kompetensi yang mengikat berbagai Kompetensi Dasar ke dalam aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran. Kompetensi Inti harus dimiliki peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa aktif. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas. Dari pernyataan di atas telah terlihat bahwa ini menandakan telah terjadinya krisis moral dan merosotnya nilai-nilai positif bangsa kita, yang pada akhirnya hal ini menjadi kekhawatiran untuk kita semua. Diantaranya masalahmasalah yang telah menggejala di tengah masyarakat, dapat dilihat pada problem tentang penanaman moral di instansi keluarga: Keluarga pada saat ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan anak agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.4 Kini hubungan orang tua dan remaja cenderung menjadi renggang, karena lingkungan makin luas dan kesibukan orang tuapun semakin tinggi. Hingga 2 Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012), h. 2 3 Kompas.com. oleh Mohammad Nuh, Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013 4 Kristi Wardani, Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, (Bandung: Indonesia, 8-10 November 2010), h. 231 3 hubungan remaja dengan lingkungan luarpun semakin luas pula. Hal ini menyebabkan pertemuan remaja dengan orang tua semakin berkurang, karena itu kesempatan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama dan norma pada remaja juga semakin berkurang. Dengan kata lain, peran institusi keluarga menjadi tidak kokoh lagi atau tidak solid. Kemudian cara yang memberikan kebebasan kepada anaknya, egois orang tua karena pandangan liberal telah menjamur di masyarakat, gaya hidup orang tua yang glamour, ketidaktauan tentang penanganan dalam penanaman moral pada remaja, juga tidak adanya keteladanan dari keluarga terutama kedua orangtua, hal inilah yang sering terjadi dalam suatu keluarga di tengah-tengah masyarakat. Kemudian dilihat pada problem kecenderungan remaja berprilaku yang melanggar nilai-nilai moral; Kurangnya sopan santun kepada orang tua dan yang lebih tua darinya, adab berpakaian, pergaulan antara laki-laki dan perempuan seolah-olah tidak ada lagi batasan-batasannya. Budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat dari remaja, dari mulai gaya hidup modern yang konsumeris-kapitalistik dan hedonis yang tidak didasari akhlak dan budi pekerti yang luhur dari bangsa ini cepat masuk dan mudah ditiru oleh generasi muda.5 Perilaku negatif yang lainnya, seperti tawuran, anarkis, sikap cepat marah, ikut dalam geng-geng motor, kemudian terbaru lagi belakangan ini ada yang namanya cabe-cabean menjadi budaya baru remaja yang dapat membuat resah masyarakat, bahkan pada taraf tertentu menjadi tindakan anarkis, sampai ada yang menjadi korban atau terbunuh, dan lain-lain. Premanisme ada di mana-mana, emosi meluap-luap, cepat tersinggung, serta ingin menang sendiri menjadi bagian hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat sendiri terutama di kalangan remaja. Tindak anti sosial dan peraturan, kejahatan mencuri ataupun menyakiti orang lain, menodong, bahkan membajak bus umum pelakunya adalah pelajar sekolah. Salah satu contoh; Puluhan pelajar SMA Negeri 46 Jakarta ditangkap aparat kepolisian karena membajak bus Kopaja untuk tawuran dikawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Aksi pembajakan tersebut gagal 5 Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, h. 160 4 dilakukan karena sopir Kopaja dengan berani membelokan kendaraannya kedalam kantor polisi. Tidak hanya membajak, mereka mempersenjatai diri dengan berbagai senjata yang mampu melukai dan melumpuhkan pelajar sekolah lain, misalnya sabuk gir motor.6 Entah apa yang ada di benak para pelajar SMA Negeri 46 Jakarta yang telah diamankan di Mapolsek Metro Kebayoran Baru ini. Waktu jam pelajaran yang harusnya berada di kelas, mereka manfaatkan justru untuk menyerang pelajar sekolah lain. Yang lebih parah lagi, penyerangan dilakukan dengan membajak sebuah bus Kopaja yang sedang beroperasi. Kenyataan lain yang juga menunjukkan adanya indikator kemerosotan moral yaitu banyaknya terjadi kasus peredaran narkoba dan kasus pelecehan seksual yang dilakukan juga oleh pelajar sekolah. Dalam hal ini, terjadinya pelaku pengedar dan pemakai narkoba di antaranya adalah kalangan pelajar, sementara pelecehan seksual juga terjadi di kalangan remaja, hal ini sebagai akibat dari pergaulan bebas. Di Indonesia pada tahun 1980-an hanya terdapat 80.000 sampai 130.000 kasus penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), namun pada tahun 2008 telah meningkat menjadi sekitar 5 juta kasus penyalahgunaan napza. Pemerintah melihat semakin berbahayanya persoalan napza ini. Hal ini dikemudian hari mendorong lembaga- lembaga swadaya masyarakat untuk ikut terlibat dalam menanggulangi masalah napza ini seperti Granat, kelompok No-Drugs, dan Lain-lain. Kelompok yang menjadi sasaran Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) adalah generasi muda yang merupakan calon-calon pemimpin bangsa. Apa jadinya jika generasi muda tidak sibuk untuk meraih prestasi tertinggi, tetapi malah asik dalam penyalahgunaan napza.7 Siti Alfiasih, Kasubdit Masyarakat BNN mengatakan “saat ini (tahun 2013) diperkirakan 4 juta orang yang menjadi penyalahguna narkoba di Indonesia. 6 Dedi Irawan. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajarbajak-kopaja-untuk-tawuran_111160.html) 7 Humanitas, Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2008),Vol. 5 No.1 h. 68 5 Pada tahun 2015, diproyeksikan angka ini akan meningkat sampai sekitar 5,1 juta orang. Bila tanpa ada kemampuan masyarakat untuk menolak, katanya, maka angka ini akan terlampaui dan menimbulkan dampak buruk yang lebih besar bagi Indonesia”.8 Kemudian berdasarkan beberapa data mengenai pergaulan bebas di kalangan remaja, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja kehilangan keperawanannya saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan 21,2 persen di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. Bagi mereka aborsi dilakukan sebagai jalan keluar akibat dari perilaku seks bebas. 9 Pergaulan seks bebas di kalangan remaja Indonesia saat ini sungguh sangat ironis dan memprihatinkan. Begitulah dalam kehidupan sekarang ini, generasi muda banyak berbuat sesuatu diluar pemikiran akal sehatnya karena tidak dilandasi iman yang kuat. Kasus peredaran narkoba melibatkan para remaja juga pelajar, demikian pula kasus tawuran antar pelajar tadi, penyimpangan yang dilakukan generasi muda tidak lepas dari pengaruh perkembangan kehidupan kejiwaannya yang sedang mengalami kegoncangan akibat perubahan atau berada pada masa transisi, baik dari segi jasmani maupun rohaninya yang berjalan begitu cepat. Kegoncangan pada jiwa tersebut menimbulkan berbagai keresahan yang menyebabkan labilnya pikiran, perasaan, dan kemauan begitu juga keyakinan terhadap Tuhan berubahubah sesuai dengan kondisi emosinya yang tidak stabil. Sebenarnya yang lebih berbahaya justru yang timbul pada diri dari masing- masing setiap orang itu sendiri.10 8 M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-JumlahPengguna-Narkotika-Capai-5) 9 Puspitawati Herien, Seks Bebas di Kalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa), Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02 Feb 2014), (http://sulegratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-di-kalangan-remaja-pelajar.html) 10 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Aksara Baru,1982), cet. 3, h. 237 6 Memperhatikan kasus-kasus tersebut di atas, jelas bahwa penanaman moral pada remaja tidak secara tiba-tiba ditanamkan di lingkungan sekolah (institut formal), tetapi jauh dari sebelumnya sudah harus ada penanaman nilainilai moral untuk bekal remaja pada lingkungan keluarga (institut informal). Untuk itu para pendidik khususnya para orang tua, perlu menguasai beberapa pendekatan dalam penanaman moral, baik secara persuasif mau pun normatif berdasarkan nilai-nilai agama Islam, melalui interaksi yang efektif, antara lain melalui pendekatan sosial dan pendekatan psikologi. Maka skripsi ini dimaksudkan untuk menjadi rambu-rambu teoritik penanaman nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga. Lebih jelasnya dengan skripsi yang berjudul: “PENDEKATAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI UNTUK MENANAMKAN NILAI-NILAI MORAL PADA REMAJA DALAM KELUARGA” B. Identifikasi Masalah Seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Masuknya budaya asing yang negatif, dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian remaja, terutama di kalangan mereka yang tidak dibekali dengan nilai-nilai moral agama yang kuat sebagai filter. 2. Kurangnya kepekaan orangtua terhadap emosi anak (remaja), yang mana di usia remaja mereka harus mendapatkan perhatian khusus dan arahan dalam membentuk kepribadian yang baik. 3. Banyaknya kasus-kasus pelanggaran nilai-nilai moral dan sosial yang terjadi pada usia remaja di Indonesia karena orang tua kurang memperhatikan pendidikan agama Islam untuk anak (remaja). 4. Terjadinya komunikasi yang kurang baik antara orangtua dan anak, mengakibatkan kurangnya pendekatan persuasif dan interaksi yang baik. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang menggambarkan luasnya persoalan moral remaja, penulis memberikan batasan masalah pada: 1. Nilai-nilai moral yang penting ditanamkan kepada anak khususnya usia remaja dalam keluarga yaitu meliputi: 7 a. Jujur b. Disiplin c. Percaya Diri d. Peduli e. Mandiri Kemudian yang dimaksud nilai moral di sini adalah tidak hanya yang dipandang oleh masyarakat, tetapi juga yang terkandung dalam ajaran Agama Islam seperti Al-Qur’an dan Hadis. 2. Analisis terhadap penanaman nilai-nilai moral di atas, yaitu ditinjau dari pendekatan sosial dan psikologi. a. Pendekatan sosial yang dimaksud adalah ditekankan pada interaksi dalam keluarga antara orangtua dan anak (remaja), baik berupa penciptaan kondisi dalam keluarga, sehingga terjadinya proses imitasi, sugesti hingga identifikasi pada anak (remaja). Ini akan dikembangkan melalui teori interaksi sosial. b. Pendekatan psikologi yang dimaksud adalah ditekankan pada persiapan mental remaja, dengan membina kondisi mentalnya melalui pembinaan secara rasional, pengendalian perilaku moral (behavior) dan pembentukkan kata hati, dalam membentuk sikap/perilaku, sehingga terlahirlah kepribadian. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, supaya tidak terjadi perbedaan interpretasi dan pemahaman, maka masalah ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Nilai-nilai moral apa saja yang penting ditanamkan pada anak dalam keluarga khususnya pada usia remaja? 2. Bagaimanakah cara menanamkan nilai-nilai moral pada anak dalam keluarga khususnya di usia remaja? 3. Bagaimana implementasi pendekatan sosial dalam penanaman nilai-nilai moral pada anak dalam keluarga khususnya di usia remaja? 4. Bagaimana implementasi pendekatan Psikologi dalam penanaman nilai-nilai moral pada anak dalam keluarga khususnya pada di usia remaja? 8 D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui nilai-nilai moral apa saja yang penting dan perlu ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja dalam keluarga. 2. Untuk mengetahui pendekatan dalam penanaman nilai-nilai moral pada anak khususnya untuk usia remaja. 3. Untuk mengetahui penerapan dari pendekatan yang dipakai dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak khususnya untuk usia remaja. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua hal, yakni secara teoritis dan secara praktis. 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan dikalangan akademis khususnya Ilmu Pendidikan Agama Islam untuk mengungkap kompleksitas terkait berbagai permasalahan perilaku menyimpang bermasyarakat pada remaja. (Teoritis). 2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi masyarakat umum terutama untuk para orangtua (keluarga) agar lebih memperhatikan keadaan serta perkembangan anak dengan memasukkan halhal yang bersifat positif untuk menjadi faktor terpenting dalam membantu memberikan arahan yang baik untuk remaja. (Praktis). 3. Sebagai bahan untuk menentukan pendekatan yang tepat dalam memberikan contoh yang baik untuk remaja. (Praktis). 4. Sebagai bahan bagi penelitian lanjutan. (Teoritis). BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai Moral Dalam Islam 1. Pengertian Nilai Moral “Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterkaitan maupun perilaku.”11 Mohammad Noor Syam menyatakan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, bahwa “nilai adalah suatu penetapan atau kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.”12 “Nilai merupakan implikasi hubungan yang diadakan manusia yang sedang memberi nilai antara satu benda dengan satu ukuran. Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai dirasakan dalam diri masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai pada suatu tingkat, dimana sementara orang-orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai.”13 Menurut Muhammad Djunaidi Ghony dalam bukunya “Nilai Pendidikan”, menyimpulkan bahwa nilai itu mempunyai 4 macam arti, antara lain: a. Bernilai, artinya berguna b. Merupakan nilai, artinya baik, benar atau indah c. Mengandung nilai, artinya merupakan objek atau keinginan atau sifat yang menimbulkan sikap setuju serta suatu predikat d. Memberi nilai, artinya memutuskan bahwa sesuatu itu diinginkan atau menunjukkan nilai.14 11 Zakiah Darajat, Ahmad Sajali, dkk, Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. 10, h. 260 12 Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 133 13 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 114115 14 Muhammad Djunaidi Ghony, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 9-12 9 10 Definisi nilai menurut M. Ali dan M. Asrori “nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu”. 15 Dalam perspektif ini, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan. Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan diyakini kebenarannya serta mendorong orang untuk mewujudkannya bagi kehidupan manusia sebagai acuan tingkah laku. Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Perilaku Moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Menurut Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “Perkembangan Anak”, “Moral berasal dari kata Latin mores, yang berarti tatacara, kebiasaan dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok”. 16 Sedangkan menurut Moh. Toriquddin, “moral berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan sesuatu perbuatan”.17 Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.18 Maksudnya adalah nilai dan norma moral yang bersumber dari adat istiadat dan budaya bermasyarakat. Misalnya perbuatan seseorang dikatakan tidak bermoral, maksudnya bahwa perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan normanorma etis yang berlaku dalam masyarakat. 15 Mohamad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja “Perkembangan Peserta didik”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet. 7, h. 134 16 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi ke6, h. 74 17 Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia modern”, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1, h. 11 18 Ibid., h. 12 11 Dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang memuat ajaran tentang baik buruknya suatu perbuatan, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Secara umum moral itu berasal dari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Masalah moral itu sendiri adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan moral seseorang mengganggu ketenteraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang rusak moralnya, maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu. Secara dinamis, nilai moral dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Jadi nilai moral merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai. Nilai moral dalam Islam disebut akhlak. “Akhlak ialah bentuk jamak dari khuluk (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at. Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika. Sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan asas-asas akhlak (moral)”. 19 Jadi khuluk merupakan gambaran sifat batin manusia, kondisi mental yang mendorong perbuatan dengan mudah, tanpa pemikiran dan alasan-alasan, dalam artian adalah spontanitas. “Akhlak adalah keadaan jiwa yang menyebabkan munculnya perbuatanperbuatan tanpa pertimbangan yang mendalam”. 20 Pada dasarnya akhlak merupakan tingkah laku dan gerak-gerik seseorang yang sering dilakukan. Misalnya, tingkah laku dan gerak-gerik seseorang ketika bertemu dengan orangtuanya, orang yang lebih tua, temannya baik laki-laki ataupun perempuan, saudaranya, Tuhannya, dirinya atau bahkan dengan lingkungannya. Karena, 19 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah, 2007), cet. 1, h. 2-3 20 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar Indonesia, 2006), cet 1, h. 55 12 memang objek akhlak itu bukan hanya dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya, akan tetapi juga dalam hubungannya dengan Tuhan, alam sekitar dan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini Abudin Nata berpendapat dalam bukunya “akhlak tasawuf” yaitu: Bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk. Tetapi tidak semua amal yang baik atau buruk itu dapat dikatakan perbuatan akhlak. Banyak perbuatan yang tidak dapat disebut perbuatan akhlaki, dan tidak dapat dikatakan perbuatan baik atau buruk. Perbuatan manusia yang dilakukan atas dasar kemauannya atau pilihannya seperti bernafas, berkedip, berbolak-baliknya hati dan terkejut ketika tiba-tiba terang sebelum gelap tidaklah disebut akhlak, karena perbuatan tersebut yang dilakukan tanpa pilihan.21 Akhlak dapat ditarik kesimpulan sebagai ilmu tata krama, yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila yang bersumber dari nilainilai ajaran Islam. Moral (akhlak) memiliki kaitan erat dengan keimanan (aqidah). Bahkan seringkali disebut bahwa akhlak itu buah dari iman, karena orang yang kuat imannya, akan terpelihara perbuatan-perbuatannya dari hal-hal yang keji dan rendah, dan sebaliknya juga orang yang buruk moralnya (berbuat keji dan rendah) menunjukkan ketidaksempurnaan imannya. Oleh sebab itu nilai-nilai moral dalam Islam adalah nilai-nilai yang bersumber dalam ajaran Islam itu sendiri. Bahkan menurut Islam akhlak merupakan tolak ukur dari nilai keimanan seseorang, semakin baik akhlak seseorang maka semakin sempurna pula imannya. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw: Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya (akhlaknya)”.22 21 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5, h. 6 Moh. Toriquddin, op. cit., h. 7 22 13 Bahkan kesempurnaan akhlak adalah sebagai tujuan dari diutusnya Nabi Muhammad saw. seperti dalam hadits: “Sesungguhnya aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (H.R Maliki).23 2. Sumber Nilai Moral Moral dalam Islam (akhlak), tidak terbatas pada adat istiadat dan budaya yang ada dalam masyarakat, akan tetapi mendahulukan nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Adapun M. Yatimin Abdullah menegaskan bahwa “sumber ajaran moral (akhlak) yang utama ialah Al-Qur’an dan hadis”.24 Tingkah laku Nabi Muhammad saw merupakan contoh suri teladan bagi umat manusia. Ini ditegaskan oleh Allah dalam A-Qur’an: Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. AlAhzab [33]: 21)25 Hadis Rasulullah saw meliputi perkataan dan tingkah laku beliau, merupakan sumber akhlak yang kedua setelah Al-Qur’an. Segala ucapan dan perilaku beliau senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm [53]: 3-4)26 23 Ibid., h. 7 Ibid., h. 4 25 Departemen Agama, loc. cit. 26 Ibid., h. 420 24 14 Dalam ayat lain Allah memerintahkan agar selalu mengikuti jejak Rasulullah saw dan tunduk kepada apa yang dibawa oleh beliau. Allah SWT berfirman: Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukuman-Nya”. (QS. AlHasyr [59]: 7)27 Kemudian Zakiyah Daradjat menegaskan bahwa sumber nilai yaitu: 1. Nilai yang Ilahi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. 2. Nilai yang duniawi yaitu ra’yu (pikiran), adat istiadat dan kejadian alam.28 Bagi umat Islam, “sumber nilai yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah hanya digunakan sepanjang tidak menyimpang atau yang menunjang sistem nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah”. 29 Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikauti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (QS. AlAn’am [6]:153)30 Dapat ditarik kesimpulan, bahwa sumber nilai moral bisa berasal dari hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks pendidikan Islam, maka sumber nilai moral yang paling utama adalah Al-Qur’an dan As-sunnah Nabi Muhammad saw, yang kemudian dikembangkan menjadi nilai-nilai hasil ijtihad para ulama, dan nilai-nilai yang terimplementasi dalam kehidupan budaya umat Islam. 27 Ibid., h. 436 Zakiah Darajat dan Ahmad Sajali, dkk, op. cit., h. 262 29 Ibid., h. 262 30 Departemen Agama, op. cit., h. 118 28 15 B. Konsep Keluarga dalam Islam 1. Pengertian Keluarga Keluarga merupakan suatu unit yang terdiri dari beberapa orang yang masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan tertentu. Keluarga itu dibina oleh sepasang manusia yang telah sepakat untuk mengarungi hidup bersama dengan tulus dan setia, didasari keyakinan yang dikukuhkan melalui pernikahan, dipateri dengan kasih sayang, ditujukan untuk saling melengkapi dan meningkatkan diri dalam menuju ridha Allah SWT.31 Menurut Abu Ahmad, “keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini, dalam hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan primary group, kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat”.32 “Keluarga adalah multibodied organism, organism yang terdiri dari banyak badan. Keluarga merupakan satu kesatuan (entity) atau orginisme, mempunyai komponen-komponen yang membentuk organisme keluarga itu”. 33 Komponen-komponen tersebut ialah anggota keluarga. Sedangkan menurut pandangan agama Islam, terbentuknya lembaga keluarga bermula pada saat seseorang membutuhkan orang lain, yang dapat mendampinginya, ikut memikul bebannya dan saling tolong menolong di dalam merealisasikan tugas-tugas pengabdiannya terhadap Allah SWT.34 Sebagaimana Firman Allah SWT yang berbunyi: Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu 31 Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), Cet. 1, h.19 32 Abu Ahmad, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 87 33 Ulfatmi, loc. cit., h. 19 34 Thaha Khiriah Husen, Konsep Ibu Teladan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h. 25 16 benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S ArRum [30]: 21)35 Keluarga dapat diterjemahkan juga ke dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit pengertian keluarga didasarkan pada hubungan darah yang terdiri atas ayah, ibu dan anak, yang disebut dengan keluarga inti. Sedangkan dalam arti yang luas, semua pihak yang ada hubungan darah sehingga tampil sebagai clan atau marga yang dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama kecil dan nama keluarga atau marga. Sementara itu arti keluarga dalam hubungan sosial tampil dalam berbagai jenis, ada yang kaitannya dengan silsilah, lingkungan kerja, mata pencaharian, profesi dan sebagainya.36 Ulfatmi menyebutkan lima ciri khas keluarga sebagai berikut: a. Adanya hubungan yang berpasangan antara kedua jenis (pria dan wanita) b. Dikukuhkan oleh suatu pernikahan c. Adanya pengakuan terhadap keturunan (anak) yang dilahirkan dalam rangka hubungan tersebut d. Adanya kehidupan ekonomis yang diselenggarakan bersama e. Dilaksanakannya kehidupan berumah tangga37 Dari keterangan di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat yang bersifat langsung, artinya oleh keturunan darah perkawinan. Sebagai kelompok primer yang penting dalam masyarakat serta kesatuan sosial yang utuh, maka disitulah tahap awal proses permasyarakatan serta penanaman nilai-nilai moral pada remaja, melalui interaksi tersebut maka didapatkan pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai emosi serta sikap dalam hidup dan dengan itu akan didapatkan ketenangan dan ketentraman. 2. Fungsi dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh keluarga dipengaruhi oleh kebudayaan sekitar dan intensitas keluarga dalam turut sertanya dengan kebudayaan dan lingkungannya, keyakinan, pandangan hidup dan sistem nilai 35 Departemen Agama, op. cit., h. 324 Ulfatmi, op.cit., h. 20 37 Ibid., h. 20 36 17 yang menggariskan tujuan hidup serta kebijaksanaan keluarga dalam rangka melaksanakan tata laksana fungsi dan tanggung jawabnya. Sebenarnya, keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan. Keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anaknya. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganya sendiri. Melihat unsur-unsur yang terkandung dalam keluarga, maka keluarga akan memiliki fungsi sebagai berikut: a. Fungsi Religius b. Fungsi Biologis c. Fungsi Edukasi d. Fungsi Sosialisasi e. Fungsi Afeksi dan Perasaan f. Fungsi Ekonomis g. Fungsi Rekreasi h. Fungsi proteksi atau Perlindungan38 “Dalam kajian tentang pendidikan dalam keluarga, fungsi edukatiflah yang paling menonjol. Tetapi dalam implementasinya, terlaksananya fungsi edukatif ini sangat dipengaruhi oleh terealisirnya fungsi-fungsi keluarga lainnya yaitu fungsi affeksi, proteksi, sosialisasi, religius dan sebagainya”. 39 Pelaksanaan edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipikul orang tua. Sebagai salah satu momen dari tri pusat pendidikan, keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Iklim lingkungan keluarga, sikap dan kebiasaan hidup semua anggota keluarga, keberagamaan dalam keluarga, akan memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian remaja kelak. Zakiah Daradjat menegaskan tentang peran keluarga sebagai lembaga pendidikan dalam salah satu tulisannya; 38 Ibid., h. 21 Ibid., h. 21 39 18 Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh baik pula. Jika tidak, maka akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan orang tua dalam keluarga amat penting. Dialah yang mengantarkan dan membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga. Menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya.40 Dalam membicarakan pasal tempat-tempat pendidikan, memang benar bahwa rumah tangga dan masyarakat termasuk dalam kategori wadah dilaksanakannya pendidikan. Rumah tangga, memiliki pengaruh yang lebih dalam pendidikan terutama dalam aspek pengaruh bahasa dan percakapan, moral dan perilaku, perasaan dan sebagainya. Sejalan dengan hal itu, maka sebagai wadah dimana pendidikan dilaksanakan, rumah tangga atau keluarga berfungsi dan mempunyai tanggung jawab dalam tiga hal penting: a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa. c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.41 Pendidikan anak secara umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa disadari oleh orang tua bahkan anggota keluarga lainnya, namun pengaruh dan akibatnya sangatlah besar. Terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupan anak atau pada masa balita (di bawah lima tahun). Pada umur tersebut pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait kepada panca inderanya dan belum bertumbuh pemikiran logis atau maknawinya (abstrak), atau dapat kita katakan bahwa anak masih berpikir inderawi. Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga terutama para orang tua untuk lebih memperhatikan dan memahami ciri-ciri anak pada umurumur tertentu dan mengetahui keperluan utama anak pada berbagai tahap umur, 40 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV Ruhama, 1994), h. 47 41 Ulfatmi, op.cit., h. 27 19 hal ini guna mencapai tujuan dan fungsi-fungsi pendidikan dalam keluarga, yang salah satunya adalah mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasanya yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa. Karena dalam kondisi apapun pada dasarnya manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan, dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya berjalan secara baik dan benar. Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih dan sayang para orang tua kepada anak-anaknya, hingga secara moral, keduanya merasa terkena beban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi dan membimbing keturunan mereka. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan anak. Perkembangan agama adalah terjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia sangat kompleks. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah, agama itu dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Rasul yang mulia menekankan tanggung jawab itu kepada kedua orang tua.42 Berkaitan dengan perkembangan agama, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya bergantung pada bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orangtuanya. Kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu, adalah nilai yang bersumber kepada agama. Karena itu dalam 42 Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), Cet. 1, h. 55 20 pembinaan anak khususnya generasi muda, perlulah kehidupan moral dan agama itu sejalan dan mendapat perhatian yang serius terutama bagi kedua orang tua.43 Dalam pendidikan dan pembinaan generasi muda, peranan wanita sangat penting, karena seorang ibulah biasanya yang paling lama berada di rumah di sisi anak-anaknya dan pembinaan itu berarti pembinaan segala aspek dari kehidupan mereka, terutama pembinaan pribadi yang mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Di samping itu perlu kita sadari bahwa pembinaan pribadi dan moral itu terjadi melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan, pendengaran dan pengalaman/perlakuan yang diterimanya. Atau melalui pendidikan dalam arti yang luas. Maka semakin besar umur si anak semakin banyak ia bergaul dengan ibunya dan semakin banyaklah ia menyerap pengalaman yang akan ikut membina pribadinya dari ibunya sendiri. Namun, tidak bisa kita pungkiri, bahwa peranan seorang bapak yang sebagai kepala rumah tangga (pemimpin) juga sangat penting peranannya bagi anak-anaknya. Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah SWT, dan setiap amanat wajib dipertanggung jawabkan. Karena itu kedua orang tua memiliki tanggung jawab yang besar bagi anak-anaknya, terutama dalam penyelenggaraan pendidikan dalam keluarga dan pembinaan pribadinya. Peran kedua orangtua dalam pendidikan anak menjadi dasar bagi perkembangan pola pikir, perilaku dan sikap anak yang terbentuk, dengan harapan anak-anak yang tumbuh nanti menjadi anak yang shaleh dan berbudi pekerti baik. 3. Interaksi Harmonis dalam keluarga Masyarakat merupakan ajang hidup anak remaja di samping keluarga dan lingkungan sekolah. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang sudah cukup lama mengadakan interaksi sosial dalam kehidupan bersama yang diliputi oleh struktur serta sistem yang mengatur kehidupan. Disamping itu di dalamnya terdapat pula kebudayaan dan salah satu unsur pokok masyarakat, yakni: Solidaritas sosial. Di dalam kehidupan manusia pastinya terjadi interaksi sosial di 43 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 131 21 antara individu dengan individu yang masing-masing mamiliki kesadaran dan pengertian tentang hubungan timbal balik tersebut.44 Adanya kesadaran dan pengertian akan tercerminnya dalam sifat kehidupan sehari-hari mereka yang satu sama lainnya merasa saling bergantung. Memang di dalam kehidupan sehari-hari seorang individu ternyata jarang sekali untuk mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara sendiri. Dengan demikian hubungan manusia dengan manusia lainnya di dalam masyarakat memerlukan perekat dan bekal agar hubungan tersebut terjalin dengan baik dan akrab. Agar dapat menjalin hubungan dengan baik antar sesama individu, maka peranan keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal individu sangat dibutuhkan. Seperti halnya yang telah kita ketahui sebelumnya, keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anaknya. Anak-anak inilah yang nantinya berkembang dan mulai bisa belajar melalui pengenalan itu. Apa yang dilihatnya, pada akhirnya akan memberinya suatu pengalaman individual. Dari situlah ia mulai dikenal sebagai individu. Individu ini pada tahap selanjutnya mulai merasakan bahwa telah ada individu-individu lainnya yang berhubungan secara fungsional. Individu-individu tersebut adalah keluarganyalah yang memelihara cara pandang dan cara menghadapi masalah-masalahnya, membinanya dengan cara menelusuri dan meramalkan hari esoknya untuk mempersiapkan pendidikan, keterampilan dan budi pekertinya. Akhirnya keluarga menjadi semacam model untuk mengidentifikasikan sebagai keluarga menjadi yang broken home, moderate atau keluarga yang harmonis. Keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal anak, sangat berpengaruh secara langsung terhadap perkembangannya sebelum maupun sesudah terjun langsung secara individual di masyarakat. Jadi sebagian besar anak dibesarkan oleh keluarga, di samping itu kenyataan menunjukkan bahwa di dalam keluargalah anak mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang pertamakali. Pada dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling kecil, akan 44 1, h. 16-17 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), cet. 22 tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan terkuat di dalam mendidik dan membina anak, dengan demikian seluk beluk kehidupan keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan anak dan remaja. Sudarsono menjelaskan, “sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan juga untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga, maka sepantasnyalah ketika kemungkinan adanya deviasi pada perkembangan anak khususnya remaja sebagian besar pula bisa berasal dari keluarga.”45 Dalam kenyataannya sering terjadi hubungan individu dengan individu atau bahkan hubungan individu dengan kelompok mengalami gangguan yang disebabkan karena terdapat seorang atau sebagian anggota kelompok di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain, gangguan-gangguan yang terjadi tidak jarang muncul dari perbuatanperbuatan anak remaja yang tidak terpuji serta mengancam hak-hak orang lain di tengah-tengah masyarakat, antara lain: a. Mengancam hak milik orang lain misalnya: pencurian, penipuan dan penggelapan. b. Mengancam hak-hak hidup dan kesehatan orang lain, seperti: pembunuhan dan penganiayaan. c. Mengancam kehormatan orang lain dan bersifat tidak susila, seperti: pemerkosaan dan perzinahan.46 Perbuatan-perbuatan anak remaja tersebut pada akhirnya akan menimbulkan keresahan sosial sehingga kehidupan di dalam keluarga karena perbuatan si remaja tadi dan dalam masyarakat tidak harmonis lagi, ikatan solidaritas menjadi runtuh. Secara yuridis formal perbuatan-perbuatan mereka jelas melawan hukum tertulis atau undang-undang. Kemudian jika ditinjau dari segi moral dan kesusilaan, perbuatan-perbuatan tersebut melanggar moral, menyalahi norma-norma sosial dan bersifat anti susila. Kenakalan remaja yang dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat, sebenarnya bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri, kenakalan remaja akan muncul karena beberapa 45 Ibid., h. 20 Ibid., h. 18-19 46 23 sebab, baik karena keadaan lingkungan masyarakat dan terlebih bisa juga karena keadaan keluarga si remaja. Pada hakikatnya, kondisi keluarga yang menyebabkan timbulnya kenakalan remaja itu bersifat kompleks. Di antaranya kondisi tersebut dapat terjadi karena kelahiran anak di luar perkawinan yang syah menurut hukum atau agama. Di samping itu kenakalan anak atau remaja juga dapat disebabkan keadaan keluarga yang tidak normal, yang mencakup keadaan ekonomi keluarga, terutama menyangkut keluarga miskin atau keluarga yang menderita kekurangan jika dibandingkan dengan keadaan ekonomi penduduk pada umumnya. Bahkan sering terjadi dalam keadaan mendesak seluruh anggota keluarga ikut mencari nafkah untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi keluarga seperti ini biasanya memiliki konsekuensi lebih lanjut dan kompleks terhadap anak-anak, antara lain: hampir setiap hari anak terlantar, biaya sekolah anak-anak tidak tercukupi, di samping itu biaya kebutuhan lainnya juga tidak tercukupi. Akibatnya akan kompleks pula, dalam kondisi yang serba sulit dapat mendorong anak atau remaja menjadi sembarangan bergaul, kemudian bisa terpengaruh gaya hidup temen sebayanya, sehingga bisa menjadi penyebab deviasi pada perkembangan anak dan remaja.47 Dalam perspektif teori sosial-psikologi memandang bahwa kebutuhankebutuhan remaja itu adalah berkaitan erat dengan pemuasan kebutuhan mereka dalam kelompoknya. Kebutuhan-kebutuhan psikologi yang pokok akan mengarahkan tercapainya rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, adalah sebagai berikut: a. Kebutuhan untuk menerima afeksi dari kelompok atau individu lain, meliputi: 1) Menerima rasa kasih sayang dari keluarga atau orang lain di luar kehidupan keluarga 2) Menerima pemujaan atau sambutan hangat dari teman-temannya 3) Menerima penghargaan dan apresiasi dari guru dan pendidik lainnya. b. Kebutuhan untuk memberikan sumbangan kepada kelompoknya, meliputi: 1) Menyatakan afeksi kepada kelompoknya 2) Turut serta memikul tanggung jawab kelompok 47 Ibid., h. 20-21 24 3) Menyatakan kesediaan dan kesetiaan kepada kelompok 4) Menghayati keberhasilan dalam kelompok c. Kebutuhan untuk memahami d. Kebutuhan untuk mempelajari dan menyelidiki sesuatu Jika dikaji lebih lanjut tentang interaksi dalam keluarga. Keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan remaja. Untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dalam keluarga, di antaranya memang diperlukan penciptaan suasana yang baik adalah usaha menciptakan terwujudnya saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling percaya dan saling menyayangi di antara suami isteri dan antara seluruh anggoata keluarga lainnya. 48 Untuk pencapaian tujuan tersebut maka setiap rumah tangga dituntut untuk memiliki pola pembinaan terencana untuk keluarga khususnya terhadap anak. Di antara pola pembinaan terencana tersebut ialah memberi suri tauladan yang baik kepada anak-anak dalam berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama dan akhlak yang mulia, menyediakan bagi anak-anak peluang-peluang dan suasana praktis di mana mereka mempraktekkan akhlak yang mulia yang diterimanya dari orang tuanya, memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anak supaya mereka merasa bebas memilih dalam tindak-tanduknya, menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana dalam sikap dan tingkah laku kehidupan sehari-hari mereka, menjaga mereka dari pergaulan teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan moral. Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga dengan anggota kelompoknya pada dasarnya dapat diidentifikasi sebagai sebuah kelas yang menjalankan proses transformasi perilaku, pengetahuan serta sikap, terutama sikap terampil dan mandiri. Selain itu sebagai sebuah lembaga pendidikan rumah tangga berkepentingan menyediakan pendidikan pra-nikah agar keharmonisan yang telah dicapai dapat diwariskan kepada generasi sesudahnya.49 Ada banyak problema yang bisa dijadikan bahan ajar terhadap remaja-remaja yang beranjak dewasa di dalam keluarga sebagai bekal bagi mereka ketika berumah tangga. 48 Zakiah Daradjat, op.cit., h. 47 Ulfatmi, op.cit., h. 27 49 25 Isyu-isyu kekerasan dalam rumah tangga, perilaku seks remaja dan akibatnya, ragam pesoalan suami isteri, pengaturan ekonomi dan pendidikan, perilaku berumah tangga serta memahami hubungan rumah tangga dengan masyarakat semuanya adalah bahan kajian yang bisa ditransfer kepada para remaja dalam rangka mempersiapkan diri mereka munuju gerbang pernikahan. C. Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya 1. Pengertian Remaja Remaja ada di dalam tempat marginal. Berhubung ada macam-macam persyaratan untuk dapat dikatakan dewasa, maka lebih mudah untuk dimasukkan kategori anak dari pada kategori dewasa. Baru pada akhir abad ke-18 maka masa remaja dipandang sebagai periode tertentu lepas dari periode kanak-kanak. Meskipun begitu kedudukan dan stasus remaja berbeda dari pada anak. “Remaja berasal dari kata latin adilenscere (kata bendanya, adolensecentia yang berarti remaja), yang berarti pula “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa”.50 Lazimnya masa remaja dianggap sebagai permulaan seorang anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Umur remaja dalam pandangan hukum dapat diketahui dari posisinya dimata hukum. Undang-Undang No. 22/ 2009 tentang lalu lintas, pasal 81 ayat 2 menetapkan syarat usia 17 tahun untuk SIM-A (Surat Izin Mengemudi Mobil) dan SIM-C (surat izin mengemudi Sepeda Motor). Undang-undang ini tidak mengecualikan mereka yang sudah menikah di bawah usia tersebut dan memperlakukan semua yang di bawah usia tersebut sebagai belum cukup usia, atau belum dewasa untuk mengemudi kendaraan bermotor. Sementara itu, Undang-Undang No. 10/ 2008, tentang Pemilu, pasal 1 angka 22 menetapkan usia 17 tahun atau sudah menikah sebagai batas usia seseorang berhak memilih dalam pemilihan umum.51 Dalam hubungannya dengan hukum, tampaknya hanya Undang-Undang Perkawinan saja yang mengenal konsep “remaja walaupun secara tidak terbuka. 50 Zakiah darajat, Psikologi, (Bandung: Teraju Mizan, 1974), h. 178 Sarlito W Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 14. 51 H. 7-8 26 Usia minimal untuk suatu perkawinan menurut undang-undang tersebut adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (pasal 7 UU No. 1/ 1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa undang-undang tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah. Dari segi ajaran Islam istilah remaja atau kata yang berarti remaja tidak ada dalam Islam. Di dalam Al-Quran ada kata (alfiyatu-fityatun) yang artinya orang muda. Seperti firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Kahfi : Artinya: “(ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)”. (QS. Al-Kahfi [18]: 10)52 Dan terdapat pula kata baligh yang menunjukkan seseorang tidak kanakkanak lagi, misalnya dalam surat An-Nuur: Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur [24]: 59)53 Pada kata baligh tersebut terdapat istilah kata baligh yang dikaitkan dengan mimpi. Kata baligh dalam istilah hukum Islam digunakan untuk penentuan umur awal kewajiban-kewajiban melaksanakan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. “Masa remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan. Masa ini dikenal sebagai suatu periode peralihan, suatu masa perubahan yang sangat pesat, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang 52 Departemen Agama, op. cit., h. 235 Ibid., h. 285 53 27 menakutkan, masa yang tidak realistic dan pada akhirnya mengalami masa ambang dewasa”.54 Kemudian mengenai perkembangan remaja. Para ahli psikologi pada umumnya menunjuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakterisitik psikis yang baru. Perubahan seperti itu tidak terlepas dari perubahan yang terjadi pada struktur biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis. Perubahan kemampuan dan karakterisitik psikis sebagai hasil dari perubahan dan kesiapan struktur biologis sering dikenal istilah “kematangan”.55 Perkembangan berkaitan erat dengan pertumbuhan. Berkat adanya pertumbuhan maka pada saatnya anak akan mencapai kematangan. Perbedaan antara pertumbuhan dan kematangan, pertumbuhan menunjukkan perubahan biologis yang bersifat kuantitatif, seperti bertambah panjang ukuran tungkai, bertambah lebarnya lingkar kepala, bertambah beratnya tubuh, dan semakin sempurnanya susunan tulang dan jaringan syaraf. Adapun tahapan fase perkembangan individu berdasarkan psikologis. Para ahli menggunakan aspek psikologis sebagai landasan menganalisa tahap perkembangan yang khas bagi individu pada umumnya dapat digunakan sebagai masa perpindahan dari fase yang satu ke fase yang lain dalam perkembangannya. Dalam hal ini para ahli berpendapat bahwa dalam perkembangan pada umumnya individu mengalami kegoncangan. Kegoncangan tersebut terjadi dua kali yaitu pada tahun ketiga dan keempat dan pada permulaan masa pubertas. Berdasarkan dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu: a. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang disebut masa kanak-kanak). b. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang disebut masa keserasian bersekolah. 54 M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3, h. 25 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op. cit., h. 11 55 28 c. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang disebut masa kematangan.56 Pendapat para ahli tentang pembagian fase atau rentangan usia adalah beragam, tetapi pada umumnya setiap fase melewati atau melalui proses perkembangan yang sama. Dan pada umumnya fase usia tersebut terdapat pada tiga fase usia yaitu masa kanak, masa remaja/puber, dan masa dewasa. Jika berbicara fase perkembangan remaja, maka batas usia remaja lebih banyak bergantung kepada keadaan masyarakat di mana remaja itu hidup. Yang dapat ditentukan dengan pasti adalah permulaannya yaitu puber pertama atau mulainya perubahan jasmani dari anak menjadi dewasa kira-kira umur akhir 12 atau permulaan 13 tahun.57 Atau disebut masa remaja pertama yaitu pada usia 1316 tahun dan masa remaja terakhir pada usia 17-21 tahun. 2. Ciri-ciri Masa dan Perkembangan Remaja “Perkembangan pribadi manusia menurut psikologi berlangsung sejak terjadinya konsepsi sampai mati yaitu sejak terjadinya sel bapak-ibu (konsepsi) sampai mati perkembangan”. individu 58 senantiasa mengalami perubahan-perubahan atau Perkembangan yang dimaksud adalah merupakan istilah perkembangan secara umum yang diartikan sebagai serangkaian perubahan dalam susunan yang berlangsung secara teratur, progresif, jalin menjalin dan terarah kepada kematangan atau kedewasaan. Masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat baik dalam perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Alisuf Sabri mengemukakan ada empat ciri perubahan yang bersifat universal selama masa remaja, yaitu: 1) Meningkatnya emosi, intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi; perubahan emosi ini banyak terjadi pada masa awal remaja. 56 Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), cet. 1, h. 75 57 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). Cet. 4. h. 109 58 M. Alisuf Sabri, op. cit., h. 10 29 2) Perubahan fisik, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah-masalah baru sehingga selama masa ini si remaja merasa ditimbuni masalah. 3) Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Apa yang dianggap penting/bernilai pada masa kanak-kanak sekarang tidak lagi. Kalau pada masa kanak-kanak segi kwantitas yang dipentingkan, sekarang segi kwalitas yang diutamakan. 4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.59 Menurut Zakiah Daradjat ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan remaja ditandai dengan: a. Perkembangan Fisik Pada remaja pertumbuhan jasmani menjadi cepat, badannya berubah dari kanak-kanak menjadi dewasa dalam masa empat tahun (usia 13-16 tahun). Perubahan tubuhnya tidak serentak dan kadang-kadang tidak seimbang, sehingga keserasian gerak hilang. Tanpa disengaja ia sering jatuh dan menjatuhkan barang yang dipegangnya, seperti piring, gelas, cangkir dan sebagainya. Hidungnya kelihatan besar, karena hidung lebih cepat tumbuh daripada bagian muka yang lainnya. Akibatnya, rupanya kurang cantik atau kurang gagah.60 Secara lengkap Sarlito menyebutkan urutan perubahan-perubahan fisik tersebut sebagai berikut; Pada anak perempuan: 1) Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-aanggota badan menjadi memanjang), 2) Pertumbuhan payudara, 3) Tumbuh bulu halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan, 4) Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya, 5) Bulu kemaluan menjadi keriting, 6) Haid, 7) Tumbuh bulu-bulu ketiak. Pada anak laki-laki: 1) Pertumbuhan tulang-tulang, 2) Testis (buah pelir) membesar, 3) Tumbuh bulu kemaluan yang halus, dan berwarna gelap, 4) Awal 59 M. Alisuf Sabri, op.cit., h. 26 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 87 60 30 perubahan suara, 5) Ejakulasi (keluarnya air mani), 6) Bulu kemaluan menjadi keriting, 7) Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya, 8) Tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot), 9) Tumbuh bulu ketiak, 10) Akhir perubahan suara, 11) Rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap, 12) Tumbuh bulu di dada. 61 Semua perubahan jasmani cepat itu, menimbulkan kecemasan pada remaja, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan kekuatiran bahkan kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya.62 Menurut Pustika Rucita, B.A., M. Psi. seperti dikutip Tribun Pontianak, Smart Mom, Minggu 29 April 2012, Psikolog dari personal Growth Counseling and Development Center, “proses kembang tumbuh anak usia ini (remaja) akan menjadi pesat. Pembentukan alat reproduksi mereka juga akan menjadi matang, yang berpengaruh pada kestabilan hormon. Masa remaja sering dianggap sebagai usia labil atau diistilahkan dengan: masa “ombak dan badai”, yang mana anakanak tengah mencari identitas diri”.63 Adanya proses hormonal yang yang terus berkembang itu menurut Pustika, kerap membuat emosi anak-anak menjadi tidak selalu stabil. Terkadang mereka mudah terganggu oleh hal-hal kecil dan cenderung menjadi sensitif. Zakiah Daradjat menambahkan pertumbuhan jasmani pada remaja membawa pula kepada timbulnya dorongan seks, yang memantul dalam tingkah laku dan perhatian terhadap jenis lain dan teman-temannya. kalau dulu waktu umur sekolah dasar, perhatian kepada teman lawan jenis itu kurang, tapi sekarang timbul rasa senang ingin mendekat dan bergaul dengan mereka. Akan tetapi keinginan itu mungkin akan dihalangi oleh perasaan yang goncang, karena ketidakserasian pertumbuhan jasmani. Maka sikapnya pun mundur maju dan kadang-kadang tampak kaku.64 61 Sarlito W Sarwono, op. cit., h. 62-63 Zakiah Daradjat, op. cit.,h. 133 63 Moh Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 118 64 Zakiah Daradjat op. cit.,h. 134 62 31 Perubahan cepat yang kurang menyenangkan itu,bila tidak dipahami oleh remaja, akan menjadi resah dan takut. Jangan-jangan ia akan bertumbuh menjadi manusia yang tidak cantik, tidak tampan dan mempunyai kelainan, begitu kirakira pendapatnya. Hal ini akan masuk akal, karena remaja mulai menapak menuju dewasa disertai oleh berbagai faktor yang jika tidak difahaminya, akan menyebabkannya cemas, takut dan menggoncangkan jiwanya. Perubahan cepat yang terjadi pada fisik remaja, membawa pula pada sikap dan perhatian terhadap dirinya sendiri yang telah menjadi seperti orang dewasa itu.Ia menuntut agar orang dewasa memperlakukannya tidak lagi seperti kanakkanak. Di lain pihak ia merasa belum mampu mandiri dan masih memerlukan bantuan orang tua untuk membiayai keperluan hidupnya. Dari penjelasan di penulis berkesimpulan bahwa perkembangan fisik remaja berkembang pesat karena dipengaruhi oleh perubahan hormon, yang berakibat timbulnya dorongan seksual disertai perubahan bagian tubuh antara laki-laki dan perempuan. Bagi perempuan akan mengalami menstruasi dan lakilaki mengalami mimpi basah. b. Perkembangan Emosi Keadaan emosi remaja yang goncang sering kali diungkapkan dengan cara yang tajam dan sungguh-sungguh. Kadang-kadang ia mudah meledak dan mudah tersinggung. Padahal ia juga mudah menyinggung perasaan orang tua atau orang lain tanpa disadarinya. Sementara itu ia mengalami perasaan aneh, ia mulai tertarik kepada temannya lawan jenis. Akan tetapi ia malu karena perkembangan tubuhnya kurang menarik. Kadang-kadang perasaannya galau tak menentu. Di satu pihak, emosi yang menggebu-gebu ini memang menyulitkan, terutama untuk orang lain (termasuk orang tua dan guru), dalam memahami jiwa si remaja. Namun dipihak lain, bagi Sarlito emosi yang menggebu ini bermanfaat untuk remaja itu terus mencari identitas dirinya. Emosi yang tak terkendali itu antara lain disebabkan oleh konflik peran yang sedang dialami remaja. Ia ingin bebas, tetapi ia masih bergantung kepada orang tua. Ia ingin dianggap dewasa, sementara ia masih diperlakukan seperti anak kecil. 32 Menurut Zakiah Daradjat sesungguhnya pengaruh perasaan (emosi) terhadap agama, jauh lebih besar daripada rasio (logika). Banyak orang yang mengerti agama dan agama itu dapat diterima oleh fikirannya, tetapi dalam pelaksanaannya ia sangat lemah, kadang-kadang tidak sanggup mengendalikan dirinya sesuai dengan pengertiannya itu.65 Remaja yang sedang mengalami perubahan cepat dalam tubuhnya, dimana ia harus mampu pula menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, sangat memerlukan perhatian dan bantuan dari berbagai pihak, baik dari pihak orang tuanya, guru, maupun orang dewasa lainnya. Orang tua yang memahami keadaan anaknya yang sedang berjuang menghadapi dirinya yang berubah cepat dengan kadar yang tidak seimbang itu, akan membantu menenangkan perasaan anaknya yang goncang itu dengan jalan tidak banyak mengkritiknya. Sebaliknya orang tua harus lebih banyak menghargai usahanya dan menyatakan bahwa semua orang melalui gelombang pertumbuhan dan perkembangan seperti itu dalam umur-umur remaja tersebut.66 Permasalahan diatas yang menyebabkan kegoncangan jiwa, biasanya tidak tampak dari luar secara langsung. Tapi remaja memperlihatkan diri dalam bidangbidang kehidupan lainnya. Misalnya menjadi pemalas, acuh tak acuh, sakitsakitan, nakal dan lainnya. Sehingga Peran orang tua untuk membimbing remaja dalam pendidikan agama di harapkan agar remaja tidak salah dalam bergaul, orang tua jangan sampai memungkiri perasaan yang mereka alami atau menanggapinya dengan hukum ketentuan dosa-pahala saja. Akan tetapi perlulah masalah itu ditanggapi dengan cara yang membuat remaja lega, dan dengan memberikan pendidikan-pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai positif (moral) kepada remaja. c. Perkembangan Kecerdasan Masa remaja adalah masa perkembangan kecerdasan yang akan mencapai puncaknya. Pada umur kira-kira 14 tahun mereka telah mengambil kesimpulan abstrak dari kenyataan yang ditemukannya. Pada umur antara 16-18 tahun 65 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 94 Ibid.,h. 89 66 33 perkembangan kecerdasan dapat dikatakan selesai. Masa remaja awal merupakan tahap penting yang mempersiapkannya memasuki tahap remaja akhir (17-21 tahun), yang akan menghadapi berbagai masalah yang lebih berat dan menentukan dimasa dewasanya nanti.67 Secara kognitif anak di usia ini akan lebih mampu berfikir abstrak dan mampu menalarkan penyebab dari suatu permasalahan. Walaupun cara berfikir mereka terkadang masih kekanak-kanakan. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana mereka menampilkan tingkah laku dalam keseharian.68 Pada usia ini seseorang telah mampu mengkritik orang tuanya, guru dan para pemimpin yang menurut penilaian obyektif kurang baik atau tidak bijaksana. Maka suasana demokrasi di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan akan membantu remaja menjadi orang yang kritis dan berfikiran matang. Masa dimana seseorang bertanggung jawab atas segala perbuatannya.69 Sepintas lalu peranan orang tua dalam pendidikan agama bagi remaja tidak ada, atau kurang, karena anak telah meninggalkan masa kanak-kanak dengan segala ketergantungannya kepada ibu-bapaknya. Ia telah melangkah menuju umur dewasa yang mandiri dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Allah Swt. Namun demikian remaja awal (13-16 tahun) belum dapat mandiri dalam banyak hal, terutama dalam bidang keuangan dan penghidupan sehari-hari. Dari paparan di atas dapat difahami bahwa perkembangan kecerdasan pada usia remaja belum mencapai sempurna sebelum usia 12 tahun. setelah masuk usia 14 tahun, barulah pemahaman mereka terhadap hal-hal yang abstrak sudah masuk mampu mengambil kesimpulan dari fakta-fakta yang ada. d. Perkembangan Sosial Zakiah Daradjat mengatakan perkembangan sosial pada masa remaja semakin meningkat, bahkan kebutuhan akan pengakuan teman lebih diutamakannya daripada perhatian orang tuanya, karena ia sedang mengalami 67 Ibid., h. 90-91 Moh Haitami Salim , loc. cit., h. 118 69 Zakiah Daradjat, op. cit., 92 68 34 proses pertumbuhan dan perkembangan cepat yang sering kali tidak difahaminya. Hubungan remaja dengan orangtuanya kadang-kadang renggang, apabila orangtuanya tidak memahami proses pertumbuhan jasmaninya yang amat cepat itu dan perkembangan kecerdasan yang menyebabkan berubah dari suka menerima menjadi menentang apabila tidak masuk akalnya. Namun demikian remaja memerlukan orang tua sebagai tempat mengeluh, bercerita tentang diri, pengalaman yang tidak dapat difahaminya.70 Dalam interaksinya di dalam keluarga dan pergaulannya di masyarakat, remaja akan sangat merasa sedih apabila diremehkan atau dikucilkan dari masyarakat atau teman-temannya. Karena itu mereka tak mau ketinggalan dari mode atau kebiasaan teman-temannya. Mereka sangat gelisah apabila dipandang rendah atau diejek oleh anggota keluarga lainnya ataupun teman-temannya, terutama teman dari lawan jenis. Kadang-kadang, mereka juga akan sangat marah kepada orang tuanya, apabila orang tuannya itu mencela teman-temannya. Merekapun sangat marah atau tak senang apabila ditegur, dikritik, atau dimarahi di depan teman-temannya.71 Menghadapi anak pada usia ini, orang tua memang memerlukan kesabaran yang ekstra dan bersikap lembut tapi tegas. Dengan begitu, orangtua dapat memainkan ritme arahan dan bimbingannya kepada anak agar tetap terjaga dalam koridor agama yang baik dan tidak terhanyut pada sikap anak yang labil dalam mencari identitas dirinya. Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa perkembangan sosial pada remaja awal mulai meningkat, walaupun peran mereka di masyarakat belum di akui karena sikap mereka yang terkadang masih labil. Dalam kondisi seperti inilah orang tua harus lebih ekstra memberikan perhatian kepada remaja. e. Perkembangan Agama Proses pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, sosial dan kejiwaan pada umumnya menyebabkan remaja goncang dan memerlukan bantuan 70 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 91 Bambang Syamsul Arifin, op. cit., h. 67 71 35 dari luar, misalnya orang tua, guru dan teman yang mampu memahaminya serta mau membantunya. Dalam suasana yang kurang jelas dan tidak menentu itulah remaja sangat membutuhkan Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang dan Penolong, yang selalu hadir dihatinya, kapan saja ia membutuhkannya. Disini pendidikan agama yang tepat sebelumnya dapat membantunya. Ide-ide dan pokok ajaran-ajaran agama yang diterimanya waktu kecil itu akan berkembang dan bertambah subur, apabila anak atau remaja dalam menganut kepercayaan itu tidak mendapat kritikan-kritikan dalam hal agama itu. Dan apa yang bertumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang dipeganginya melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.72 Pertumbuhan pengertian tentang ide-ide agama sejalan dengan pertumbuhan kecerdasan. Pengertian-pengertian hal-hal yang abstrak, yang tidak dapat dirasakan atau dilihat langsung seperti pengertian tentang akhirat, surga, neraka, dan lain-lainnya, baru dapat diterima oleh anak-anak apabila pertumbuhan kecerdasannya telah memungkinkannya untuk itu. Itulah sebabnya seharusnya pengertian-pengertian yang abstrak dikurangi, apabila umur remaja belum dicapai anak. Perasaan remaja terhadap Allah bukanlah perasaan yang tetap, tidak berubah-ubah, akan tetapi adalah perasaan yang bergantung pada perubahanperubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa-masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah kadang-kadang tidak terasa, apabila jiwa mereka dalam keadaan aman tentram dan tenang. Tetapi sebaliknya Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi bahaya yang mengancam, ketika ia takut akan gagal, atau mungkin juga karena merasa berdosa. Dalam hal ini remaja akan merasa bahwa sembahyang atau membaca kitab suci dan kegiatan-kegiatan agama lainnya dapat mengurangi kesedihan, ketakutan, dan rasa penyesalan lainnya.73 Menurut Zakiah Daradjat, sikap remaja terhadap agama berbeda-beda, sehingga terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:74 72 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 86-87 Zakiah Daradjat, op. cit., 97 74 Ibid., h. 106 73 36 1) Percaya turut-turutan. Sesungguhnya kebanyakan remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama, karena mereka terdidik dalam lingkungan keluarga yang beragama, teman-teman dan masyarakat, sekelilingnya rajin beribadah, maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup. Percaya yang seperti inilah yang dinamakan percaya turut-turutan. Mereka seolah-olah apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama, dan tidak mau aktif dalam kegiatan-kegiatan agama. Kepercayaan turut-turutan itu biasanya terjadi, apabila orang tua memberikan didikan agama dengan cara yang menyenangkan, jauh dari pengalaman-pengalaman pahit di waktu kecil, dan setelah menjadi remaja tidak mengalami pula peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang menggoncangkan jiwanya, sehingga cara kenakalan-kenakalan dalam beragama itu terus berjalan, tidak perlu ditinjaunya kembali. Akan tetapi apabila dalam usia remaja, ia menghadapi peristiwa-peristiwa yang mendorongnya untuk meneliti kembali pengalamanpengalaman waktu kecil, dan juga diarahkan oleh orang tuanya, maka ketika itu kesadarannya akan timbul, sehingga ia menjadi bersemangat sekali, tidak raguragu, atau anti agama. Percaya turut-turutan ini biasanya tidak lama, dan banyak terjadi pada masa-masa remaja pertama (umur 13-16 tahun). Sesudah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan lebih sadar. 2) Percaya dengan kesadaran Kesadaran agama atau semangat agama pada masa remaja itu, mulai dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya beragama di masa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya waktu kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Mereka ingin menjadikan agama, sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja. Menurut zakiah biasanya 37 semangat agama itu tidak terjadi sebelum umur 17 tahun atau 18 tahun.75 Tindakan dari sikap agama remaja atau orang-orang yang telah mempunyai semangat agama yang positif, akan terlihat perbedaan-perbedaannya sesuai dengan kecenderungan kepribadiannya, hal itu dapat terbagi kedalam dua macam. Pertama, ekstrover: berkpribadian terbuka, yaitu orang yang dengan mudah mengungkapkan perasaannya keluar (kepada orang lain). Kedua, introver: berkepribadian tertutup, yaitu orang-orang yang lebih cenderung kepada menyendiri dan menyimpan perasaannya. Remaja yang mempunyai sifat ekstrover terhadap semangat agama, maka praktik-praktik dan keyakinannya tidak saja untuk dirinya, akan tetapi ia akan mengajak orang untuk meyakini apa yang diyakininya. Sedangkan pada remaja yang mempunyai sifat kepribadian introvert maka ia tidak berusaha menarik orang mempercayai apa yang dipercayainya, tapi ia hanya tenggelam dalam praktik-praktik kebatinannya. 3) Kebimbangan Beragama Kebimbangan remaja terhadap ajaran agama yang pernah diterimanya tanpa kritik waktu kecilnya itu, merupakan pertanda bahwa keasadaran beragama telah terasa oleh remaja. Tentunya kemampuan untuk merasa ragu-ragu terhadap apa yang dulu diterimanya begitu saja, berhubungan erat dengan pertumbuhan kecerdasan yang dialaminya. Biasanya kebimbangan itu mulai menyerang remaja, setelah pertumbuhan kecerdasan mencapai kematangannya, sehingga ia dapat mengkritik, menerima atau menolak apa saja yang diterangkan kepadanya. Menurut Zakiah Daradjat kebimbangan remaja terhadap agama itu tidak sama, berbeda antara satu dengan lainnya, sesuai dengan kepribadiannya masingmasing. Ada yang mengalami kebimbangan ringan, yang dengan cepat dapat diatasi dan ada yang sangat berat sampai kepada berubah agama. Kebimbangan dan kegoncangan keyakinan yang terjadi sesudah perkembangan kecerdasan selesai itu, tidak dapat dipandang sebagai suatu kejadian yang berdiri sendiri akan tetapi berhubungan dengan segala pengalaman dan proses pendidikan yang 75 Ibid. h. 109 38 dilaluinya sejak kecil.76 Kebimbangan itu bergantung kepada dua faktor penting, yaitu keadaan jiwa orang yang bersangkutan dan keadaan sosial serta kebudayaan yang melingkupi remaja tersebut. Mungkin saja kebimbangan dan keingkaran kepada Tuhan itu, merupakan pantulan dari keadaan masyarakat, yang dipenuhi oleh penderitaan, kemorosotan moral, kekacauan, dan kebingungan. Atau mungkin juga merupakan pantulan dari kebebasan berfikir yang menyebabkan agama menjadi sasaran dan arus sekularisme. Kepercayaan agama dalam penuh kebimbangan dan goncangan itulah peranan orang tua sangat penting untuk membimbing dan membawa remaja ke jalan yang diridhai Allah, jauh dari perbuatan dan kelakuan yang tidak diridhaiNya. 4) Tidak Percaya Kepada Tuhan Perkembangan remaja ke arah tidak mempercayai adanya Tuhan itu, sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari kecilnya. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua kepadanya, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, dan selanjutnya kekuasaan terhadap siapapun. Setelah usia remaja dicapainya, maka tantangan itu akan berani menampakkan diri dalam bentuk menentang Tuhan bahkan menentang ujud-Nya. Kecuali pengalaman pahit di waktu kecil itu, juga ikut mempengaruhi keyakinan remaja-remaja, keadaan dan peristiwa-peristiwa yang sedang dialaminya, terutama kebudayaan dan filsafat yang melingkupinya. Mungkin dalam kehidupan masyarakat terdapat ide-ide dan keyakinan-keyakinan baru, yang dapat menggantikan ide-ide dan keyakinan agama bagi remaja. Proses yang membawa seseorang kepada anti Tuhan, bukanlah suatu proses sederhana, yang dapat dikatakan karena satu sebab tertentu. Akan tetapi, ia adalah proses perubahan kepribadian yang ikut bekerja di dalamnya bermacammacam faktor. 76 Ibid. h. 115 39 D. Perkembangan Moral Remaja “Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku mengenai standar tentang benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi sosial, dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik.”77 Ditinjau dari kesadaran moral yang berkaitan dengan perkembangan kognisi seseorang, perkembangan secara kognitif sebelumnya telah dikembangkan oleh Piaget, yang mengungkapkan bahwa “pada tahap operasional kongkret (8-12 tahun), anak sudah dapat memahami dan menghargai aturan-aturan. Mereka sudah dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, serta akibat-akibatnya”. 78 Jadi menurut Piaget, moral anak itu diturunkan dari perkembangan kognitifnya. Menurut Piaget, individu berkembang melalui empat tahap kognitif, di mana pada setiap tahap tahap yang terkait dengan usia ini mengandung cara-cara pemikiran yang berbeda-beda. Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget Tahap Sensorimotor Tahap Praoperasional Tahap Operasional Konkret Tahap Operasional Formal Bayi membangun pemahaman mengenai dunia dengan mengordinasikan pengalaman sensoris dengan tindakan fisik. Bayi mengalami kemajuan dari tindakan reflex sampai mulai menggunakan pikiran simbolis hingga akhir tahap. Lahir-2 tahun Anak mulai menjelaskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Katakata dan gambar ini mencerminkan peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensoris dan tindakan fisik. Anak saat ini dapat bernalar secara logis mengenai peristiwa-peristiwa konkret dan menghasilkan obyek-obyek ke dalam bentuk – bentuk yang berbeda. Remaja bernalar secara lebih abstrak, idealis, dan logis. 2-7 tahun 7-11 tahun 11 tahun-dewasa 77 John W. santrock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 2, Edisi ke-11, h. 117 78 Syamsul Bachri Thalib, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, h. 54 40 Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget: 1. Pemikiran Sensorimotor dan Praoperasional Tahap sensorimotor. Berlangsung mulai dari lahir hingga usia 2 tahun. Dalam tahap ini bayi mengonstruksikan suatu pemahaman mengenai dunia dengan cara mengordinasikan pengalaman sensoris (seperti melihat dan mendengar) melalui tindakan fisik-motorik-oleh karena itu dinamakan istilah sensorimotor. Pada awal dari tahap ini, bayi-bayi yang baru lahir memiliki lebih dari sekadar refleks-refleks. Pada akhir dari tahap sensorimotor, bayi berusia 2 tahun dapat menghasilkan pola-pola sensorimotor yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol. 2. Tahap Praoperasional. Yang berlangsung antara usia 2 hingga 7 tahun, meupakan tahap Piaget yang kedua. Dalam tahap ini anak-anak mulai mempresentasikan dunianya dalam bentuk kata-kata, bayangan, dan gambar. Pemikiran simbolis mereka tadi lebih dari sekadar koneksi antara informasi dan aksi. 3. Tahap Pemikiran Operasi Konkret. Yang berlangsung antara usia 7 hingga 11 tahun, adalah tahap ketiga menurut Piaget. Penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif selama penalaran dapat diterapkan ke contoh-contoh yang spesifik atau konkret. 4. Tahap Pemikiran Operasi Formal. Tahap keempat dan terakhir dari perkembangan kognitif menurut Piaget. Menurut Piaget, tahap ini muncul di usia antara 11 hingga 15 tahun. Perkembangan kekuatan berpikir remaja membuka cakrawala kognitif dan sosial yang baru. Karakteristik yang paling menonjol dari pemikiran operasi formal yang menurut Piaget berkembang di masa remaja adalah sifatnya yang lebih abstrak dibandingkan pemikiran operasi konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret sebagai titik tolak pemikirannya.79 Setiap tahap-tahap yang berkaitan dengan usia ini mengandung cara-cara pemikiran yang berbeda-beda. Cara yang berbeda dalam memahami dunia inilah yang membuat suatu tahap lebih maju dibandingkan tahap lainnya. Hanya sekadar 79 John W. Santrock, Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), edisi 11 jilid 1, h. 124-126Op.cit., h. 124-126 41 memiliki informasi lebih banyak tidak membuat pemkiran seorang remaja lebih maju. Dengan demikian, dalam teori Piaget, kognisi seseorang di tahap yang satu berbeda secara kualitatif dari tahap lainnya. Dalam bagian ini, penulis tidak akan menyebutkan secara menyeluruh, tetapi hanya akan disebutkan bagian tahap operasi konkrit dan operasi formal. Untuk tahap sensorimotor maupun praoperasional, lebih tepat dijelaskan pada bagian psikologi perkembangan anak. Ciri-ciri perkembangan kognitif tahap operasi konkret. Agoes dariyo mengemukakan bahwa ada 4 ciri-ciri individu yang masih dalam perkembangan pada tahap ini, yakni: Keinginan untuk memiliki penjelasan secara pasti dan detail, ketidakmampuan untuk beralih dari tugas satu ke tugas lain secara langsung, ketidakmampuan untuk mengetahui hubungan antar ide/gagasan, dan individu sering menginterpretasikan sesuatu hal secara harpiah (apa yang tertulis dalam bacaan yang ditemuinya). Sedangkan ciri-ciri perkembangan kognitif tahap operasi formal. Menurut Bracee dan Bracee dalam buku psikologi perkembangan remaja oleh Agoes dariyo, mengemukakan bahwa ciri-ciri perkembangan kognitif pada tahap ini yaitu: individu telah memiliki pengetahuan gagasan inderawi yang cukup baik, individu mampu memahami hubungan antara 2 ide atau lebih, individu dapat melaksanakan tugas tanpa perintah/instruksi dari gurunya, dan individu dapat menjawab secara praktis, menyeluruh, dan mengartikan suatu informasi yang dangkal.80 Secara ekstensif Piaget melakukan pengamatan dan wawancara terhadap anak-anak yang berusia antara 4 hingga 12 tahun. Salah satu pengamatan beliau, Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng untuk mempelajari mengenai bagaimana mereka menggunakan dan memikirkan aturan-aturan permainan. Ia juga mengajukan sejumlah pertanyaan kepada anak-anak itu mengenai isu-isu yang menyangkut etika-contohnya, pencurian, kebohongan, hukuman dan keadilan. 80 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2004), cet 1, h. 56-57 42 Piaget berkesimpulan bahwa anak-anak berpikir melalui dua cara yang berbeda mengenai moralitas, tergantung pada kematangan perkembangannya, yaitu: moralitas heteronom (heteronomous morality) adalah perkembangan moral dalam teori Piaget yang berlangsung antara usia 4 hingga 7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dipandang sebagai sifat-sifat mengenai dunia yang tidak dapat diubah dan dihilangkan dari control manusia. Moralitas otonom (autonomous morality) adalah perkembangan moral dalam teori Piaget yang diperlihatkan oleholeh anak-anak yang lebih besar (sekitar umur 10 tahun ke atas). Anak menjadi menyadari aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh orang, dan bahwa dalam memutuskan suatu tindakan, seseorang mempertimbangkan intensi aktor maupun konsekuensinya. seharusnya 81 Seorang pemikir heteronom menentukan benar atau baiknya perilaku dengan mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku tersebut, bukan intense dari aktor. Sebagai contoh, pemikir heteronom mengatakan bahwa memecahkan 12 piring secara tak sengaja ketika mencoba mencuri sepotong kue, itu lebih buruk dibandingkan apabila memecahkan sebuah piring secara sengaja. Bagi seorang otonomis moral, malah kebalikannyalah yang benar. Intensi aktor dianggap sebagai hal yang lebih penting. Pemikir heteronom juga berpendapat bahwa aturan-aturan itu tidak dapat diubah dan dibuat oleh otoritas yang memiliki kuasa penuh. Ketika Piaget memperkenalkan sebuah aturan baru dalam permainan kelereng kepada sekelompok anak kecil, mereka menolak. Sebaliknya anak-anak yang lebih besarseorang otonomis moral, bersedia menerima perubahan dan mengenali aturanaturan tersebut hanya sebagai suatu kesepakatan yang disetujui bersama secara sosial dan dapat diubah melalui consensus. Pemikir heteronom juga mempercayai immanent justice, gagasan bahwa apabila sebuah aturan dilanggar, maka hukuman akan segera diterima. Anak kecil berpendapat bahwa pelanggaran secara otomatis berkaitan dengan hukuman. Kemudian Lawrence Kohlberg mengembangkan pemikiran tersebut (Piaget), melalui penelitiannya untuk mengidentifikasi tahapan kognitif yang mendasari perkembangan pemikiran moral. Kemudian dari penelusuran teori yang 81 John W. Santrock, Remaja, Op.cit., h. 302 43 dicetuskan Kohlberg, perkembangan moral telah memberikan dasar bagi analisis dari banyak pertanyaan yang berkaitan dengan moralitas. Kohlberg mencoba untuk mengidentifikasi tahapan kognitif yang mendasari perkembangan pemikiran moral, melalui serangkaian penelitiannya. Dia menanyakan kepada responden (72 Remaja laki-laki berusia 10, 13 dan 16 tahun), tentang apa yang mereka pikirkan mengenai perbedaan “pilihan moral”. Pilihan moral tersebut antara lain adalah tentang kasus Heints yang menghadapi istrinya yang nyaris mati karena sakit kanker. Heints dihadapkan pada pilihan. Apakah harus membiarkan istrinya sampai mati lantaran tidak bisa membelikan obat yang harganya sangat mahal, atau harus mengambil obat tersebut secara paksa dari apoteker tersebut. Pada akhirnya Heints mengambil keputusan untuk masuk dengan paksa ke dalam toko obat tersebut guna mencuri obat untuk istrinya. Para remaja tadi diminta untuk mengomentari keputusan Heints serta mengidentifikasi alasan-alasannya. Kemudian berdasarkan tanggapan para remaja terhadap dilemma Heints tersebut, Kohlberg mengambil kesimpulan bahwa perkembangan setiap individu itu melalui tiga fase tingkatan dari perkembangan moral, yang masing-masing memiliki sub tahapan. Tahap-tahap Kohlberg Atas Perkembangan Moral Anak-anak dan Remaja Tingkat Perkembangan Karakteristik Perkembangan Moral Moral 1. Prakonvensional 1. Ketaatan terhadap hukuman: berupaya untuk menghindari hukuman. 2. Instrumental: aku akan melakukan itu jika kamu melakukan sesuatu untuk aku. 2. Konvensional 3. Persetujuan interpersonal: aku akan melakukan itu dengan baik, dan kamu juga melakukannya, sebagaimana aku melakukannya. 4. Hukum dan aturan: saya akan melakukan itu sebab adalah hukum. 3. Postkonvensional 5. Kontrak sosial: saya akan melakukan itu sebab hal itu adalah yang terbaik untuk semua orang. 6. Etika Universal: aku akan melakukan itu sebab adalah hak/kebenaran yang bersifat universal. 44 1. Tahap prakonvensional Pada level prakonvensional, individu-individu merespon perhatian personal dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan personal secara fisik dan hedonistik. Tahap pertama orientasi hukuman. Individu-individu pada tahap pertama penalaran moral melakukan penilaian (judgments) dalam terminologi konsekuensi secara fisik. Mereka menghindari hukuman dan bahkan kadang-kadang mereka mengalah untuk menghindari hukuman. Tahap kedua orientasi instrumental. Individu-individu pada tahap kedua perkembangan penalaran moral melakukan penilaian dalam cara atau aturan yang sesuai dengan kebutuhannya. Mereka tidak loyal terhadap orang lain. Meskipun demikian, unsur-unsur berbagi rasa dan hubungan persahabatan, dilakukan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan dan keuntungan pribadi, bukan diarahkan terhadap kepentingan dan loyalitas terhadap orang lain. 2. Tahap Konvensional Pada tahap konvensional. Kebutuhan egosentrik digantikan dengan harapan terhadap grup. Konformitas, loyalitas, dan identifikasi dengan grup berbasis pada penilaian moral. Tahap ketiga orientasi hubungan interpersonal. Berdasar penilaian moral, remaja pada tahap ini sering kali dikenal sebagai anak laki-laki yang baik, atau anak perempuan yang manis. Perilaku pada tahap ini ditandai dengan penerimaan perilaku oleh orang lain. Terutama dalam hal otoritas. Tahap keempat orientasi hukum dan aturan. Tugas, aturan, pemeliharaan norma-norma sosial dan rasa hormat untuk otoritas membentuk basis keputusan moral pada tahap keempat perkembangan moral. Apa yang benar adalah apa yang mendikte otoritas. 3. Postkonvensional Sebagaimana diketahui bahwa tahap otonomi dan prinsip pada tahap sebelumnya menjadi basis penilaian moral pada tahap postkonvensional. Pada tahap postkonvensional ketidaktaatan sosial masih dapat ditoleransi. Tahap kelima orientasi kontrak sosial. Pada tahap kelima ini, hakhak/kebenaran menggantikan otoritas individu. Demikian pula pengambilan keputusan, tergantung atau didasarkan pada kepentingan bersama. Penekanan pada consensus menjadi basis untuk mengembangkan kontrak sosial. 45 Tahap keenam orientasi prinsip etika universal. Kesadaran, perkembangan penalaran logis, kekomprehensifan, dan universalitas menjadi basis penilaian moral. Prinsip-prinsip abstrak menjadi basis keadilan. Pada tahap postkonvensional, individu mengikuti aturan sebagaimana adanya sesuai dengan asa hukum universal. Pada tahap ini, individu tidak memerlukan penguatan untuk mengikuti suatu aturan.82 Pada dasarnya “setiap tahapan dibedakan oleh alasan moral yang lebih kompleks, lebih konferhensif, lebih terintegrasi dan lebih membedakan dari pada alasan tahapan sebelumnya.”83 Secara umum, alur pengembangan moral adalah suatu pengampunan dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran alternatif kompetisi. Proses perkembangan remaja secara gradual mengalami perubahan dari perkembangan yang lebih otoritarian menjadi kurang otoriter seiring dengan perkembangan aspek-aspek kognitif dan kepribadian. Selain kasus Heints, Kohlberg juga mengidentifikasi isu dilema moral remaja dari kasus-kasus yang lain yang dapat menimbulkan konflik, diantaranya: termasuk hukuman, property, afiliasi, otoritas, karakter watak, norma atau aturan-aturan, kesepakatan (contrac), kebenaran, kebebasan, kehidupan dan seks. Sebagai contoh, jika seorang remaja berada pada posisi dilemma antara otoritas dan afiliasi, maka remaja dapat menggunakan pemikiran moral untuk mengambil keputusan, termasuk mengikuti standar moral, konsekuensi, kewajaran dan kesadaran moral dengan perspektif sosial untuk mendukung pilihan itu.84 Menurut perspektif psikoanalisa, Sigmund Freud sebagai tokoh dari aliran ini berasumsi bahwa mental dan kepribadian seseorang dipandang sebagai suatu struktur yang tediri dari tiga unsur atau sistem, yakni yang pertama “id” (Das Es) adalah sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Id merupakan sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi-operasi atau kegiatankegiatan yang dilakukannya, namun dalam soal energi ini id tidak bisa mentoleransi penumpukan energi yang bisa menyebabkan meningginya taraf 82 Ibid., h. 55-56 Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, op. cit., h. 83 84 Syamsul Bachri Thalib, loc. cit., h. 54-55 83 46 tegangan individu secara keseluruhan, degan demikian individu membutuhkan sistem lain yang bisa mengarahkannya kepada pengurangan-pengurangan ketegangan secara nyata atau sesuai dengan kenyataannya yaitu ego. Kedua, “ego” yang merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Menurut Freud, ego terbentuk pada struktur kepribadian individu sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Ketiga, “Superego” (das Ueberich) adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturanaturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik-buruk) sebagai pengendali dorongan-dorongan naluri id agar dorongan-dorongan tersebut disalurkan dalam cara dan bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.85 Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, kelengkapan, prinsipprinsip operasi, dinamisme dan mekanismenya masing-masing, ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas sebagai pemelihara kelangsuangan hidup individu. Dari pandangan psikoanalisa, “dorongan pembawaan (innate) terutama dorongan seksual dan agresif dikontrol oleh perkembangan superego, demikian pula perilaku moral yang muncul sebagai hasil dari kecemasan yang berasosiasi dengan pikiran dan perasaan bersalah, dikontrol oleh perkembangan superego yang sifatnya instintif”.86 Mengenai perkembangan kepribadian individu berlandaskan pada dua premis. Pertama, bahwa kepribadian individu dibentuk oleh berbagai jenis pengalaman masa kanak-kanak awal. Kedua, energi seksual (libido) ada sejak lahir, dan kemudian berkembang melalui serangkaian tahapan psikoseksual yang bersumber pada proses-proses naluriah organisme. Sigmund freud menegaskan serangkaian tahapan psikoseksual pada manusia terdapat empat fase yang kesemuanya menentukan bagi pembentukan kepribadian dan masing-masing fase berkaitan dengan daerah erogan tertentu. Adapun fase-fase tersebut adalah fase perkembangan yang berlangsung pada 85 86 E. Koswara, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2, h. 32-34 Syamsul Bachri Thalib, op. cit., h. 57 47 tahun pertama dari kehidupan individu dan daerah yang erogan pada fase ini adalah mulut (fase oral), yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan makanan atau air. (fase anal) yang dimulai dari tahun kedua sampai ketiga dan pada fase ini fokus kepada energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur, serta kesenangan atau kepuasan diperoleh dalam kaitannya dengan tindakan mempermainkan atau menahan faeces (kotoran). Dengan demikian pada fase ini disebut pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh orang tuanya. (fase falik) berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni fase ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin. Dan (fase genital) terjadi pada masa-masa memasuki pubertas, individu mengalami kebangkitan atau peningkatan dalam dorongan seksual, dan mulai menaruh perhatian terhadap lawan jenis.87 Secara psikologis kaitannya dengan perkembangan moral remaja, gangguan atau kekacauan jiwa dan pada akhirnya melahirkan tindakan devian (menyimpang) yang dialami oleh remaja ditimbulkan oleh karena frustasi kebutuhan seksual yang dialaminya pada masa kanak-kanak. Sigmund Freud meyakinkan mengenai demikian pentingnya perkembangan masa kanak-kanak, sehingga jika seorang anak tidak mengalami rangkaian tingkatan-tingkatan seksual secara wajar, maka ia akan mengalami tingkah laku yang menyimpang ketika ia memasuki usia dewasa. 88 Perkembangan moral berdasarkan perspektif ini menekankan pada disiplin pengasuhan sejak dini hingga dewasa. Perkembangan moralitas berdasarkan perspektif behavioristik adalah melalui model, proses imitasi, dan penguatan (reinforcement). Remaja mengalami perkembangan moral sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang menyediakan model perilaku moral. Syamsul Bachri Thalib menemukan bahwa gender, status sosial ekonomi, religiositas, intelegensi, fokus kendali, dan karakteristik kepribadian dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Sebagai contoh, ia menemukan bahwa faktor-faktor eksternal (orang tua, teman sebaya, dan tokoh-tokoh agama,dll) berpengaruh terhadap perkembangan remaja, 87 88 50 E. Koswara, Op.cit., h. 49-53 Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), h. 48 termasuk perkembangan moralnya. 89 Teori ini adalah teori pembentukan moral yang berangkat dari proses imitasi, modeling, latihan-latihan dan pembiasaan. Untuk mengokohkan perilaku-perilaku yang dibentuk harus dilakukan secara terus menerus dan diperlukan penguatan, sehingga menjadi kebiasaan. Kemudian berdasarkan perspektif kognitif, internalisasi peran masyarakat dan belajar sosial berperan penting dalam perkembangan moralitas remaja, tetapi keduanya bukan merupakan faktor tunggal yang cukup mengeksplanasi perkembangan moral dan perilaku remaja. Seperti halnya menurut Piaget, perkembangan moral berkaitan dengan kemampuan kognitif remaja. 90 Dengan perkataan lain, perkembangan moral menurut perspektif ini menekankan pada perkembangan penalaran rasional. Seseorang tersebut sadar secara moral, ketika ia sudah matang kognisinya. Secara khusus moral dapat dipahami, lebih kepada interaksi kepada orang lain. Teori sosialisasi menekankan interaksi manusia dalam perkembangan moral, sedangkan teori kognitif lebih menekankan peran kognisi, termasuk informasiinformasi yang relevan dengan proses perkembangan moral. Jadi perkembangan moral remaja merupakan hasil dari interaksi yang kompleks nilai-nilai dan perilaku pengasuhan, aktivitas pemrosesan pikiran, dan faktor-faktor lingkungan pada umumnya, termasuk lingkungan pergaulan/teman sebaya, sekolah, aktivitas dalam kehidupan keseharian remaja di dalam keluarga. E. Penelitian yang Relevan 1. Endang Erika, tahun 2010 dalam penelitiannya yang berjudul “Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak “ yang menyimpulkan bahwa dengan pendidikan akhlak yang telah ditanamkan dan diajarkan di dalam keluarga, dapat mengembangkan kecerdasan spiritual pada anak, karena kecerdasan spiritual sesungguhnya adalah potensi lahiriah yang telah dibuilt-in pada diri setiap anak. Dan orang tua adalah manhaj pendidikan pertama bagi anak, oleh karenanya 89 90 Syamsul Bachri Thalib, loc. cit., h. 57 Ibid., h. 57 49 orang tualah yang berkewajiban mendidik anak-anaknya menjadi anak yang baik yang memiliki akhlak yang mulia melalui pengajaran pendidikan akhlak yang diajarkan dalam keluarga.91 2. Siti Ruqoyah, tahun 2012 dalam penelitiannya yang berjudul “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Anak Usia Dini” yang menyimpulkan bahwa keluarga dalam pendidikan anak usia dini sangat berperan besar. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak. Kemudian dalam rangka penanaman nilai moral pada anak di dalam keluarga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu pertama, nilai yang ditanamkan harus jelas. Kedua, harus ada konsistensi. Ketiga, adanya keteladanan dari orang tua. Keempat, adanya konsekuensi terhadap aturan yang berlaku.92 3. Farida. HM, tahun 2012 dalam penelitiannya yang berjudul “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini”, studi penelitian di Raudhatul athfal (RA) Al-Hidayah Jakarta. Yang menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan dan pembentukan perilaku sosial anak usia dini di Raudhatul Athfal Al-Hidayah Lebak Lestari. Hal ini berdasarkan hasil dalam pengembangan perilaku sosial anak usia dini pada semua aspek, sehingga secara umum pendidikan agama Islam (PAI) sudah memiliki peranan sangat baik.93 91 Endang Erika, “Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), h. 68 92 Siti Ruqoyah, “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Anak Usia Dini”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012), h. 62 93 Farida. HM, “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini”, ( Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012), h. 60 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Objek Penelitian Penelitian yang berjudul Pendekatan Sosial dan Psikologi untuk Menanamkan Nilai-nilai Moral pada Anak dalam Keluarga dilaksanakan pada hari Sabtu 22 Februari 2014 sampai dengan 11 Juni 2015. Adapun objek kajiannya berupa literatur, diantaranya adalah yang dapat berisi bahan- bahan informasi yang dihasilkan dari persoalan atau lembaga sosial, buku, majalah, bulletin, jurnal ilmiah, surat kabar atau Koran dan tabloid, dan juga data-data dari dunia maya (internet). Objek tersebut pada dasarnya adalah sumber pengambilan data penelitian. Sumber data penelitian di sini dikelompokkan menjadi sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sumber rujukan utama. Di antaranya: 1. Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi ke-6 2. John W. santrock, Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 1 Edisi ke-11 3. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet. 4 4. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) 5. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Cet. 16 6. Zakiah Darajat, Ahmad Sadali, dkk., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet ke-10 7. Zakiah Daradjat, Pendidikan islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV Ruhama, 1994) 8. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). Cet. 4. 9. Abu Ahmad, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) 10. Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi remaja, (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2011) 50 51 11. Syamsul Bachri Thalib., Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1 12. Agus Sujanto, PsikologiPerkembangan, ( Jakarta: AksaraBaru,1982) cet. 3 13. Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. I 14. M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah, 2007), cet. 1, 15. Retno Listyarti., Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan kreatif, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012) 16. Moh. Toriquddin., Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia modern”, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1 17. Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5 18. Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), Cet. 1 19. Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), Cet. 1 20. Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, ((Jakarta: Rineka Cipta, 1989), cet. 1 21. Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007) 22. Sarlito W Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 14 23. M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3 24. Moh Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2013) 25. Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2011) 26. E. Koswara, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2 27. Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004) 52 28. W. A. Gerungan DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet. 7 29. Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet. 1 30. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004), cet. 5, juz ke-21 “Sumber data sekunder adalah buku-buku lain yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas, atau merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya melalui orang lain atau dokumen-dokumen”.94 Buku-buku yang relevan dengan penelitian ini antara lain: 1. Kompas.com. Mohammad Nuh., Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013 2. Kristi Wardani, “Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”, Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, (Bandung: Indonesia, 8-10 November 2010) 3. Dedi Irawan. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajar-bajak-kopaja-untuktawuran_111160.html) 4. Humanitas., Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2008),Vol. 5 No.1 5. M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-JumlahPengguna-Narkotika-Capai-5) 6. Puspitawati Herien, Seks Bebas dikalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa), Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02Feb 94 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11. h. 309. 53 2014), (http://sule-gratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-di-kalanganremaja-pelajar.html) 7. Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988) 8. Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) 9. Muhammad Djunaidi Ghony, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982) 10. Thaha Khiriah Husen, Konsep Ibu Teladan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994) 11. Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar Indonesia, 2006), cet 1 12. Mestika Zed, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), cet. 1 13. Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) cet. I 14. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11 B. Metode Penelitian Dalam hal ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan. “Studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan merode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penlitian”.95 Adapun dari segi pemaparan datanya adalah menggunakan metode deskriptif, dengan pemaparan melalui analisis secara induksi dan deduksi. Secara umum, pedoman yang digunakan dalam analisis data secara kualitatif berdasar pada pola pikir ilmiah, yang mempunyai ciri, sistematis, logis. Orang bisa mulai dari data- data konkrit, kemudian dihubungkan dengan dalildalil yang umum yang sudah dianggap benar, ini disebut analisis secara induksi. Sebaliknya orang bisa mulai dari dalil- dalil umum, paradigma tertentu, kemudian menghubungkan dengan data- data empiris, sebagai pangkal tolak mengambil 95 Mestika Zed, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), cet. 1, h. 3 54 kesimpulan, ini disebut analisis secara deduksi.96 Analisis data pada tahap ini dapat dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan. Analisis dalam penelitian merupakan bagian penting dalam proses penelitian, karena dengan analisis inilah data yang ada akan tampak manfaatnya, terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian. Bagi peneliti, analisis data merupakan kegiatan yang cukup berat guna menjawab suatu permasalahan. Perspektif yang dikembangkan dalam analisis ini adalah penanaman nilainilai moral. Penanaman nilai-nilai moral dilakukan melalui pendekatan sosial dan psikologi, dalam hal ini adalah upaya untuk menyiapkan anak-anak (remaja) dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral melalui berbagai macam kegiatan, bimbingan dan pengajaran. Teknik analisis pada tahap ini merupakan pengembangan dari metode analitis kritis. Adapun teknik analisa dari penulisan ini adalah content analysis atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh psikologi, sosial dan pendidikan yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada. Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan skripsi ini berupa untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai landasan teoritis) dan dikaitkan dengan masalah-masalah yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya dipaparkan secara obyektif dan sistematis. 96 Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) cet. I, h.136 55 C. Fokus Penelitian Adapun penelitian ini difokuskan pada tinjauan sosial dan psikologi yang digunakan untuk menunjang penanaman nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga. Pendidikan dalam konteks sosial adalah pewarisan sosial. Sehingga dalam penyesuaian diri individu dengan suatu lingkungan hidup yang asing baginya itu biasanya mengubah individu supaya sesuai dengan keadaan-keadaan baru di lingkungannya. Dari segi sosial, penulis menggunakan pendekatan interaksi sosial. Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. 97 Rumusan ini dengan tepatnya menggambarkan kelangsungan timbal balik daripada interaksi sosial antara dua atau lebih manusia. Dalam pada itu maka dari segi analisis sosiologis, penulis menggunakan pendekatan imitasi, sugesti, hingga kepada identifikasi, yang mendasari kelangsungan interaksi sosial tersebut. Dari segi psikologi, secara umum dilihat bahwa alur perkembangan moral remaja itu adalah suatu pengampunan dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran kompetisi. Maka penulis menggunakan teori penalaran, teori behavioristik, dan pembentukkan kata hati. Moral sebagaimana dalam konteks akhlakul karimah bukan semata-mata merupakan perilaku lahir, akan tetapi juga perilaku batin. Karena perilaku batinlah yang akan mengendalikan perilaku lahir. D. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian kualitatif memiliki perbedaan dengan penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif didesain secara longgar, tidak ketat sehingga dalam pelaksanaan penelitian berpeluang mengalami perubahan dari apa yang telah direncanakan. Meskipun demikian, penelitian ini mestilah tetap merancang langkah-langkah kegiatan penelitian. 97 W. A. Gerungan DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet. 7, h. 61 56 Dalam hal ini, pengumpulan data dilakukan penulis melalui intensitas pengamatan dari berbagai literatur. Diantaranya yang dilakukan oleh penulis yaitu berawal dari menyiapkan alat perlengkapan yang berupa alat tulis pensil dan pulpen, kertas, kartu atau buku catatan, dan sebuah kotak atau tempat untuk menyimpan kartu atau buku catatan serta berkas/bahan-bahan penelitian lainnya. Mengumpulkan berbagai literatur (berupa informasi yang dihasilkan dari persoalan atau lembaga sosial, buku, majalah, bulletin, jurnal, dan juga data- data dari dunia maya/internet), mengatur waktu seberapa lama mampu bertahan membaca dan mencatat, membaca dan mencatat bahan-bahan yang telah dibaca, menyeleksi, menela’ah sumber dengan melakukan pengodean, mengelompokkan, menulis data, mendiskusikan, menginterpretasi dan pengambilan kesimpulan. Secara tahap-tahap penelitian pada umumnya, prosedur yang dapat digunakan untuk penelitian kepustakaan seperti ini, bisa dilihat sebagai berikut: Strategi Dan Langkah-langkah Riset Kepustakaan: 1. Miliki ide umum tentang topik penelitian 2. Cari informasi pendukung. Bisa berupa buku standar di bidangnya, abstrak penelitian atau tesis, hubungi orang-orang (PA, Jurusan, Fakultas, pakar di bidangnya, pegawai pustaka atau apa dan siapa saja yang dapat membantu mendukung topik 3. Pertegas fokus. Perluas/persempit dan organisasikan bahan bacaan 4. Cari dan temukan bahan yang diperlukan 5. Reorganisasikan bahan dan membuat catatan penelitian (paling sentral) 6. Review dan perkaya lagi nahan bacaan, dan 7. Reorganisasikan lagi bahan/catatan dan mulailah menulis98 98 Mestika Zed, op. cit, h. 81 BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Nilai-nilai Moral Esensial Bagi Remaja Sebagaimana yang telah diuraikan di bab dua, nilai adalah yang dirasakan dalam diri masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan. Sesuatu yang bermanfaat dan diyakini kebenarannya serta mendorong orang untuk mewujudkannya bagi kehidupan manusia sebagai acuan tingkah laku. Dalam relasi individu kepada sesama, alam sekitar, sang pencipta dan terhadap dirinya sendiri, diatur oleh tata nilai moral yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagaimana telah diketahui nilai moral tersebut adalah nilai-nilai kebajikan yang disepakati oleh masyarakat. Kemudian jika nilai-nilai itu islami tentu sesuai dengan nilai-nilai akhlakul karimah yang diajarkan oleh Rasulullah saw., nilai moral dalam Islam (akhlak) dapat dilihat adanya sifat terpuji (mahmudah), maka nilai-nilai moral tidak terbatas pada adat istiadat dan budaya yang ada di dalam masyarakat, akan tetapi tetap mendahulukan nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Berikut akan dibahas tentang nilai-nilai moral yang penting ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja. Uraian ini penting karena suksesnya seseorang di dunia dan akhirat adalah terletak pada moralnya (akhlak). Melalui tela’ah berbagai literatur, penulis mengelompokkan beberapa nilai-nilai moral yang relevan ditanamkan kepada anak usia remaja, baik dari sisi agama maupun kemanusiaan. 1. Jujur Jujur berarti benar. “Jujur dapat diartikan adanya kesesuaian atau keselarasan antara apa yang disampaikan atau yang diucapkan dengan apa yang dilakukan atau kenyataan yang ada. Kejujuran memiliki arti kecocokan dengan kenyataan atau fakta yang ada.”99 Yang dimaksud di sini ialah berlaku benar dan 99 Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet. 1, h. 89 57 58 jujur baik dalam perkataan maupun perbuatan. “Jujur dapat diartikan juga “amanah”, yaitu dapat dipercaya, pribadi yang setia dan jujur dengan setulus hati dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya.”100 Bersifat dan bersikap jujur ini diperintahkan oleh Allah SWT di dalam QS. At-Taubah: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (Q.S. At-Taubah [9]: 119)101 Sebagai contoh, seseorang mengakui bahwa anak adalah milik Allah SWT yang dititipkan-Nya kepada orang tua untuk dididik dan dibesarkan sesuai kaidahkaidah agama, maka penerima amanah yaitu orang tua harus bertanggung jawab membesarkan anaknya hingga mencapai kedewasaan biologis-psikologis-spiritual, dan sudah tentu harus mendidik dengan baik dan benar. Contoh lain, jika seseorang menerima pekerjaan, tidak berhenti hanya sampai pekerjaan selesai, tetapi memiliki rasa tidak puas jika hasil kerjanya belum memenuhi standar profesional. Rasa tanggungjawab menghalanginya mengorbankan mutu pekerjaan, ia pantang bekerja sembarangan. Dari dua contoh di atas, terlihat bahwa tidak mungkin ada tanggung jawab tanpa konsep amanah. Dengan kata lain, amanah mendahului tanggungjawab, lebih tegasnya amanah melahirkan tanggungjawab. Dalam menunaikan amanah tersebut, yaitu ketika melaksanakan tanggungjawab, maka pelaksanaannya tidak boleh sekedar formalitas. Maksudnya tanggungjawab itu betul-betul harus dilaksanakan secara benar dan jujur, baik esensinya maupun spiritnya. Oleh karena itu seorang siswa/mahasiswa tidak cukup hanya sekedar lulus ujian, tetapi kelulusannya haruslah dengan proses belajar yang benar dan tidak menyontek. Di sini, amanah menuntut kesejatian, bukan hanya esensinya tetapi juga prosedurnya. 100 Sudarsono, op. cit, h. 42 Departemen Agama, op. cit., h. 164 101 59 Menegakkan prinsip kebenaran adalah salah satu sendi kemaslahatan dalam hubungan antara manusia dengan manusia atau satu golongan dengan golongan lainnya. Dalam pribahasa sering disebutkan: “Berani karena benar, takut karena salah.” Betapa kebenaran itu menimbulkan ketenangan daripadanya melahirkan keberanian. Berani membela kebenaran, kalaupun meninggal, maka orang tersebut akan termasuk mati syahid. 2. Disiplin “Disiplin berasal dari kata yang sama dengan disciple, yakni seseorang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Konsep popular dari disiplin adalah sama dengan “hukuman”. Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak melanggar peraturan dan perintah yang diberikan orang tua, guru atau orang dewasa yang berwenang mengatur kehidupan bermasyarakat, tempat anak itu tinggal”.102 Menipisnya atau bahkan hilangnya sikap disiplin pada remaja, memang merupakan masalah serius yang dihadapi. Dengan tiadanya disiplin, tentu saja proses penanaman moral kepada remaja tidak akan berjalan secara maksimal, sehingga keadaan itu akan menghambat tercapainya cita-cita pendidikan bangsa, untuk menghasilkan putra putri bangsa yang bermoral. Akibat lain yang akan ditimbulkan oleh remaja yang kedisiplinannya kurang terbangun dengan baik adalah terpupuknya kebiasaan dan kecenderungan untuk berani melakukan berbagai pelanggaran, baik di rumah, sekolah maupun luar sekolah dan luar rumah, kemudian cenderung menyia-nyiakan waktu dengan kegiatan yang tidak berguna, malas-malasan, atau membuang waktu dengan percuma. Hal ini dapat mendatangkan masalah tersendiri bagi remaja yang bersangkutan. Tidak heran apabila saat ini kita menyaksikan banyak yang terlibat narkoba, seks bebas, merampok, serta bentuk pelanggaran lainnya di usia remajanya bahkan hal ini juga terjadi pada usianya baru memasuki awal remaja (batas akhir usia kanak-kanak). Disiplin selalu dianggap perlu untuk perkembangan anak. Oleh sebab itu doronglah anak untuk dapat memanfaatkan waktunya secara optimal, juga 102 Elizabeth B. Hurlock., op. cit, h. 82 60 potensi-potensi yang tertanam di dalam dirinya. Menggunakan waktunya dalam ketaatan dan bergegas berlomba-lomba dalam kebaikan, diantaranya sungguhsungguh dalam menuntut ilmu, menghindari kegiatan yang tidak perlu, menaati dan patuh terhadap peraturan dan lain-lain. Tujuan seluruh disiplin ialah membentuk perilaku sedemikian rupa hingga akan sesuai dengan peran-peran yang ditetapkan kelompok budaya, tempat individu diidentifikasi. Orang hidup memang bukan untuk peraturan, tetapi setiap orang pasti membutuhkan peraturan guna memudahkan urusan hidupnya. Analoginya sederhana, bisa diperhatikan pentingnya peraturan itu dalam lampu lalu lintas. Ketaatan setiap pengendara terhadap isyarat lampu lintas jelas membuat kondisi jalan menjadi tertib dan aman. Bayangkan ketika masingmasing pengendara mengebaikan peraturan berupa syarat lampu lalu lintas itu, pasti kondisi jalan akan kacau, macet dan bahkan memicu terjadinya kecelakan. Contoh di atas tentu bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Disiplin sangat ditekankan dalam urusan dunia, dan lebih-lebih urusan akhirat. Tidak heran jika Allah memerintahkan kaum beriman untuk membiasakan disiplin. Perintah itu antara lain tersirat dalam Al-Qur’an: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumuah [62)]: 9-10).103 103 Departemen Agama., op. cit., h. 442 61 Menurut ayat di atas, keberuntungan akan diraih dengan disiplin memenuhi panggilan ibadah ketika datang waktunya dan kembali bekerja ketika sudah menunaikan ibadah. Bukan hanya urusan dagang yang harus ditinggalkan ketika sudah tiba waktu shalat. Ungkapan “tinggalkan jual beli” dalam ayat di atas berlaku untuk segala kesibukkan selain Allah. Dengan kata lain, ketika azan berkumandang, maka kaum beriman diserukan untuk bergegas memenuhi panggilan Allah itu. Meskipun demikian, bukan berarti kaum beriman harus terus menerus larut dalam urusan ibadah saja, ayat di atas juga memerintahkan supaya kaum beriman segera kembali bekerja setelah menunaikan ibadah. Dengan demikian, disiplin harus dilakukan secara seimbang antara urusan akhirat dan urusan dunia. Tidak dibenarkan mementingkan yang satu sambil mengabaikan yang lainnya. Jika sikap disiplin ditanamkan pada diri remaja, dan dilakukan oleh remaja secara seimbang antara urusan ibadahnya dan urusan pekerjaannya (sekolah, kerja, dan kegiatan lainnya), akhirat dan dunia, maka itulah yang akan mengantarkan mereka kepada kesuksesan. Membiasakan disiplin dalam segala urusan secara seimbang itulah yang akan menjadikan hidup kita indah, tertata, dan diliputi keberkahan. 3. Percaya Diri Percaya diri atau rendah hati tawadhu adalah merendahkan hati tanpa harus menghinakannya atau meremehkannya atas dasar persamaan. Karena rasa persamaan adalah sikap pribadi yang menganggap bahwa orang lain sama dengan kita. Namun, pribadi yang pecaya diri, harus mampu menunjukkan sesuatu yang unggul dari dirinya, baik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), maupun sikap atau perilaku (attitude).104 Lawan dari percaya diri yang jika berlebih adalah takabur. Seseorang yang takabur merasa dirinya lebih tinggi, lebih mampu, dan lebih sempurna daripada orang lain, padahal kenyataannya tidak. Ciri orang yang takabur adalah menganggap enteng orang lain, menjauhkan diri dari orang lain, mencela orang lain dan bisa juga bersikap sewenang-wenang. 104 Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 91 62 Percaya diri merupakan sebuah kekuatan luar biasa, laksana reaktor yang membangkitkan segala energi yang ada pada diri seseorang untuk melakukan aktivitas dan meraih sukses, sehingga ia meyakini bahwa dirinya layak dan bernilai di hadapan masyarakat pergaulannya. Sikap percaya diri penting bagi remaja, agar ia tumbuh menjadi sosok yang mampu mengembangkan potensi dirinya. Al-qur’an menjelaskan tentang percaya diri dengan jelas dalam beberapa ayat yang mengindikasikan percaya diri seperti; Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali-Imron [3]: 139).105 Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fusshilat [41]: 30)106 Dari ayat di atas nampak bahwa orang yang percaya diri dikategorikan dengan sifat dan sikap seorang mukmin yang memiliki nilai positif terhadap dirinya dan memiliki keyakinan yang kuat. Tak dapat disangkal, percaya diri hampir selalu dikaitkan dengan kesuksesan, karena ia memang bekal utama dalam menghadapi tantang hidup. 105 Departemen Agama, op. cit., h. 53 Ibid., h. 383 106 63 4. Peduli “Peduli dapat diartikan membuat atau menjaga hubungan persaudaraan. Islam mengajarkan kita untuk memelihara dan menyambung ikatan kekerabatan serta memperhatikan dan membantu kaum kerabat yang memerlukan pertolongan”.107 Kepedulian merupakan sikap empati terhadap kesulitan, musibah dan penderitaan yang dialami orang lain. Sikap ini diperlukan dalam hidup bermasyarakat, dari skala kecil maupun skala besar (di dalam keluarga, dunia kerja, masyarakat dan sebagainya). Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.(QS. Al-Maidah [05]:02)108 Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (QS. An-Nisa [04]: 36)109 107 Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 127 Departemen Agama, op. cit., h. 85 109 Ibid., h. 66 108 64 Di dalam rasa kepedulian terdapat unsur tolong menolong. Ketika seseorang ragu dalam memberikan rasa kepeduliannya terhadap orang lain yang membutuhkan, manusia harus ingat, bahwa tolong menolong merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendirian. Sejak manusia lahir sudah membutuhkan bantuan orang lain, begitu pula saat beranjak remaja, dewasa dan ketika sudah bekerja, bahkan saat mati, manusia membutuhkan orang lain karena manusia tidak dapat mengubur dirinya sendiri. Sebaik-baik manusia untuk manusia, ialah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. Dengan sikap peduli, paling tidak akan memberikan manfaat untuk tetap terpeliharanya rasa persaudaraan dan persatuan, saling mencintai dan bekerjasama satu sama lain, menimbulkan rasa damai dan menciptakan kemakmuran, juga memperoleh pahala, kemuliaan dan keridhaan dari Allah SWT. 5. Mandiri Setiap individu diberi potensi oleh Allah SWT, yang harus mampu menggali dan mengembangkan diri dengan baik sehingga hidup di dunia yang hanya satu kali ini tidak menjadi beban bagi orang lain, bahkan sering disebut, hidup seseorang akan terhormat jika ia dapat meringankan beban orang lain. “Manusia mandiri adalah manusia yang memiliki harga diri”.110 mandiri adalah sumber percaya diri, penilaian menyeluruh mengenai diri sendiri dan bagaimana ia menjaga kehormatan diri, sehingga orang lain tidak menghinakannya. Memiliki harga diri berarti seseorang mempunyai kemampuan untuk menjaga perilaku etis dan menjauhi perilaku nista. Pendidikan dalam Islam menghimbau para orang tua untuk mengajarkan, mendidik, mengatur, memelihara dan membimbing pendidikan anak remaja mereka menjadi pribadi yang mandiri. Islam tidak bermaksud memporak- porandakan jiwa remaja dalam jangka pendek maupun panjang. Sehingga hidup dan urusan anak-anaknya hanya dipikirkan, diatur dan dikelola oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah mengontrol peilaku remaja supaya 110 Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 101 65 tidak terbawa arus menyimpang dan keragu-raguan serta upaya membentuk kepribadian yang tidak terombang-ambing dalam kehidupan ini. Seperti Rasulullah saw. telah memberikan tauladan dalam mendidik anakanak, beliau sangat memperhatikan pertumbuhan potensi anak, baik di bidang sosial maupun ekonomi. Beliau membangun sifat percaya diri dan mandiri pada anak, agar ia bisa bergaul dengan berbagai unsur masyarakat yang selaras dengan kepribadiannya. Dengan demikian, si anak mengambil manfaat dari pengalamannya, menambah kepercayaan pada dirinya, sehingga hidupnya menjadi bersemangat dan keberaniannya bertambah. Karena pada akhirnya nanti, masing-masing individulah yang dimintai pertanggung jawaban atas apa yang di perbuatnya di dunia. Firman Allah yang termaktub dalm Al-Qur’an surat AlMudattsir ayat 38 menyebutkan: Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (QS. Al-Mudattsir [74]: 38)111 Selanjutnya dalam surat Al-Mukminun ayat 62 disebutkan: Artinya: “Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka telah dianiaya”. (QS. Al-Mukminun [23]: 62)112 Dari ayat di atas menjelaskan bahwa individu tidak akan mendapatkan suatu beban di atas kemampuannya sendiri, tetapi Allah Maha Tahu dengan tidak memberi beban individu melebihi batas kemampuan individu itu sendiri. Karena itu individu dituntut untuk mandiri dalam menyelesaikan persoalan dan pekerjaannya tanpa banyak tergantung pada orang lain. Ini dari pandangan Islam terhadap pendidikan remaja dengan di dukung oleh berbagai bukti dan argumentasi. Bahwa kemandirian dan kebebasan 111 Departemen Agama, op. cit., h. 460 Ibid, h. 276 112 66 merupakan dua unsur yang menciptakan generasi muda yang mandiri. Keduanya merupakan asas bangunan Islam. Rasulullah membiasakan anaknya untuk bersemangat dan mengemban tanggung. Jadi tidak mengapa remaja ketika di rumah disuruh mempersiapkan meja makannya sendirian. Ia akan menjadi pembantu dan penolong bagi yang lainnya. Dari pada anak menjadi pemalas dan beban bagi orang lain. Keuntungan menjadi pribadi mandiri adalah mempunyai wibawa (sehebathebatnya peminta, pasti tidak akan mempunyai wibawa), hidup akan lebih tenang karena bertumpu pada kekuatan sendiri, dan seseorang akan semakin percaya diri dalam menghadapi hidup ini karena telah terlatih menghadapi masalah sendiri. B. Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilai-nilai Moral bagi Remaja 1. Pendekatan Sosial Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai yang ada sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri, untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang. Pembentukan nilai-nilai ini dilakukan melalui pendekatan sosial dan yang akan dikembangkan melalui teori interaksi sosial. Berbicara interaksi sosial, berarti berbicara mengenai pergaulan dalam penyesuaian seseorang dengan lingkungannya. Untuk menggambarkan saling keterhubungan ini, penulis memberikan pengertian mengenai interaksi sosial, diambil dari buku Psychologi Sosial karangan Dr. W. A. Gerungan, “interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya”. 113 Rumusan ini menggambarkan kelangsungan hubungan timbal balik dari interaksi sosial antara dua atau lebih manusia itu. 113 Gerungan DIPL. Psych., Psychologi-sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet.7, h. 61 67 Kelangsungan interaksi sosial ini sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Awal interaksi sosial terjadi ada di dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain dari apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Dalam hal ini penulis mencoba mengemukakan beberapa faktor yang mendasari kelangsungan interaksi sosial dalam penanaman nilai-nilai moral, ialah: a. Imitasi Telah diuraikan dalam sejarah pendek ilmu jiwa sosial mengenai pendapat Gabriel tarde, yang beranggapan bahwa “seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Kemudian arti kata dari imitasi itu sendiri adalah suatu proses peniruan atau meniru”.114 Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidaklah kecil. Misalnya saja jika kita mengamati bagaiman seorang anak belajar berbahasa. Mula-mula ia seakan-akan mengimitasi dirinya sendiri, ia mengulang-ulangi bunyi kata seperti ma-ma-ma-ma atau ba-baba-ba, ini berguna melatih fungsi-fungsi lidah dan mulutnya untuk berbicara. Kemudian ia mengimitasi orang lain, biasanya ibunya terlebih dahulu dalam mempelajari mengucapkan kata-kata pertama dan selanjutnya. Alat komunikasi tidak sebatas berbahasa, termasuk di dalamnya ialah caracara lain untuk menyatakan diri yang dapat dipelajarinya melalui proses imitasi. Misalnya tingkah laku tertentu yang dilakukan seseorang atau orang dewasa, antara lain: cara memberi hormat kepada orang yang lebih tua, cara menyatakan terima kasih kepada orang lain,cara menyatakan ungkapan senang kepada orang lain, cara-cara memberi isyarat tanpa bahasa, juga cara-cara berpakaian (mode), dapat dipelajari remaja dengan jalan imitasi. Demikian pula halnya dengan perkembangan moral remaja. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di bab dua, bahwa nilai moral itu berasal dari 114 Ibid., h. 62 68 adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat, kemudian penulis menambahkan penjelasan lagi bahwa imitasi itu mempunyai peranannya dalam hal ini, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang digambarkan di atas, juga mempunyai segi-segi yang negatif antara lain ialah hal-hal yang diimitasi itu kemungkinan salah atau secara moril dan yuridis ditolak. “Proses imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang meliputi jumlah serba besar.”115 Adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan kebiasaan orang untuk mengimitasi sesuatu tanpa kritik, dalam artian meniru apa adanya tanpa seleksi, terutama pada anak-anak, sejalan dengan ini, bahwa imitasi seperti ini juga terjadi pada remaja. Hal ini dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir kritis. Akibatnya imitasi dalam interaksi sosial ini dapat menimbulkan kebiasaan malas berpikir kritis pada remaja. Bagi para orang tua yang bijak akan mengerti, mendukung, dan dirinya dapat menjadi model keteladanan yang dapat ditiru anaknya, akan tetapi, harus dengan pengarahan dan menyertakan alasan-alasannya, hikmah atau manfaat dari keteladanan itu, maka hal ini tidak akan menghambat perkembangan berpikir kritis pada remaja. Imitasi bukan menjadi dasar pokok dari semua interaksi sosial seperti yang diuraikan oleh Gabriel Tarde di atas, tetapi imitasi merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial, yang menyebabkan terjadinya keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku antara orang banyak. Dengan cara imitasi pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap, ide dan adat istiadat dari suatu kelompok masyarakat. Dengan berimitasi orang tersebut dapat lebih mudah menjalin hubungan sosial dengan orang lain secara lebih luas. b. Sugesti “Sugesti adalah suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku orang lain tanpa kritik terlebih dahulu”.116 115 Ibid., h. 63 Ibid., h. 64 116 69 Yang dimaksud sugesti di sini adalah pengaruh pysic, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik. Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial adalah hampir sama. Bedanya ialah bahwa pada imitasi, seseorang mengikuti orang lain, sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap kepada orang lain, lalu diterima oleh orang lain. Sugesti dapat dipahami pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak kepada pihak lain. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi akan tergerak mengikuti pengaruh atau pandangan itu dan akan menerimanya secara sadar atau tidak sadar tanpa berpikir panjang. Sugesti biasanya diperoleh dari orang-orang yang berwibawa dan memiliki pengaruh besar di lingkungan sosialnya. Akan tetapi, sugesti dapat pula berasal dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, ataupun orang dewasa terhadap anak-anak (bisa ayah, ibu atau kakak mau pun orang dewasa lainnya). c. Identifikasi “Identifikasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain”. 117 Dalam hal ini proses identifikasi dapat diperoleh melalui cara-cara seseorang belajar norma-norma sosial. Dalam garisgaris besarnya remaja itu belajar menyadari bahwa dalam kehidupan itu ada norma-norma dan peraturan-peraturan yang hendaknya dipenuhi. Hal ini dapat dipelajarinya melalui dua cara, pertama-tama remaja mempelajarinya karena didikan orangtuanya, yang menghargai tingkah laku wajarnya dan memenuhi citacita tertentunya dan menghukum tingkah lakunya ketika ia melanggar normanorma. Kemudian lambat laun remaja itu memperoleh pengetahuan mengenai apa yang disebut dengan perbuatan baik, dan apa yang disebut dengan perbuatan yang tidak baik, melalui didikan orangtuanya tersebut. Dalam artian dapat membedakan mana yang dan mana yang buruk. Identifikasi dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang dianggapnya ideal dalam suatu segi, untuk memperoleh sistem norma-norma, sikap dan nilai117 E. Koswara., op.cit, h. 71 70 nilai yang dianggapnya ideal atau yang masih kurang dalam dirinya. Pengalaman individu berhubungan dengan lingkungan sosial (teman, orangtua atau orang dewasa lainnya), akan membawa pengaruh pada penilaian atau kemampuan untuk mengevaluasi diri dan orang lain. Ia dapat menilai kemampuan dan kelemahan diri sendiri maupun orang lain. Dari situ seseorang akan belajar dari pengalaman orang lain untuk memperbaiki diri sendiri, tetapi bisa juga untuk membantu perkembangan orang lain.118 Dalam kaitannya dengan nilai moral dan perkembangan kepribadian remaja, pada interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan indentifikasi mempunyai fungsinya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Dari keteladanan melalui proses imitasi, dapat mendorong remaja ataupun suatu kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. Selanjutnya apabila remaja telah dididik dalam suatu “tradisi” tertentu yang melingkupi segala situasi-situasi sosialnya, melalui pengkondisian diri dengan terus berlatih dalam mengkondisikan sikap, perilaku dan mentalnya, sehingga timbullah suatu kemauan dari diri remaja sendiri untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik tersebut. Namun hal ini dilakukan tetap pada pembiasaan diri remaja melakukan latihan-latihan tersebut. Kemudian setelah itu secara otomatis remaja akan mencontoh keteladanan perbuatan- perbuatan yang baik itu untuk diidentifikasi olehnya. Dengan begitu, remaja akan memiliki suatu kerangka cara-cara bertingkah laku dan sikap-sikap moral yang dapat menjadi pokok pangkal untuk memperluas perkembangan moralnya dengan positif, sehingga terlahirlah kepribadian yang baik. 2. Pendekatan Psikologi Dalam pengembangan dan pembentukkan nilai-nilai moral sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk bagi remaja dalam mencari jalannya sendiri dan untuk menumbuhkan identitas dirinya menuju kepribadian yang semakin matang di tengah-tengah masyarakat (lingkungan sekitar mereka), selain melalui pendekatan sosial, penulis memilih pembentukkan nilai-nilai moral ini dilakukan 118 Agoes Dariyo, op. cit., h. 54 71 juga melalui pendekatan psikologi, ulasan yang akan dikembangkan berikut ini adalah teori penalaran, behavior dan kata hati. a. Teori Penalaran Pendekatan teori penalaran, seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan Lawrence Kohlberg. Keduanya mengemukakan tahapan perkembangan moral berdasarkan perkembangan kognitif. Menurut Piaget, “perkembangan moral seseorang terjadi dalam dua tahap yang jelas. Tahap pertama disebut Piaget “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh pembatasan.’ Tahap kedua disebutnya “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerja sama atau hubungan timbal balik”119 Dalam tahap pertama, “perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua dewasa yang berwenang sebagai yang berkuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan kepada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya”.120 Dalam tahap perkembangan moral ini, anak menilai tindakan sebagai “benar” atau “salah” atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakan tersebut. Sebagai contoh: suatu tindakan dianggap “salah” karena mengakibatkan hukuman dari orang lain. Dalam perkembangan moral menurut Piaget, hal ini terjadi pada tahapan sensorimotor, praoperasional dan operasional konkret. Namun, dalam perkembangan moral pada tahap operasional konkret, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 dan berlanjut hingga usia 11 atau lebih. Antara usia 6 ke 7 atau 8 tahun, konsep anak tentang keadilan mulai berubah. Gagasan yang kaku dan tindakan luwes mengenai benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, secara bertahap dimodifikasi. Akibatnya, anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia 5 tahun 119 120 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 79 Ibid., h. 79 72 berbohong itu selalu “buruk”, tetapi anak yang lebih besar menyadari bahwa berbohong dibenarkan dalam situasi tertentu dan kerenanya tidak selalu “buruk”. Tahap kedua, perkembangan moral ini bertepatan dengan “tahapan operasional formal” dari Piaget dalam perkembangan kognitif, pada tahap ini anak sudah mampu mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar hipotesis dan dalil. 121 Hal ini memungkinkan anak untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut pandangan dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkannya. Kemudian, Kohlberg telah melanjutkan penelitian Piaget dan telah menguraikan teori Piaget secara terinci dengan memberi tiga tingkatan perkembangan moral alih-alih dua tingkatan dari Piaget, dan masing-masing tingkat terdiri atas dua tahap. Pada tingkat 1, “Prakonvensional”, “perilaku anak tunduk pada kendali eksternal. Dalam tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, dan moralitas suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan.”122 Dalam hal ini, terdapat beberapa unsur resiprositas dan berbagi, tetapi hal itu lebih mempunyai dasar tukar-menukar daripada perasaan keadilan yang sesungguhnya. Tingkat 2, “Konvensional”, atau moralitas peraturan konvensional dan persesuaian. Dalam tahap pertama tingkat ini, “Anak menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapat persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubunganbaik dengan mereka. Kemudian dalam tahap kedua tingkat ini, anak meyakini bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial”.123 Tingkat 3, oleh Kohlberg diberi nama “Pascakonvensional”, dalam tahap pertama tingkat ini, “anak yakin bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinankeyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan perubahan standar moral 121 Ibid., h. 80 John W. Santrock., Op.cit., h. 55 123 Ibid., h. 56 122 73 bila ini terbukti akan menguntungkan kelompok sebagai suatu keseluruhan. Dalam tahap kedua tingkat ini, orang menyesuaikan dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan untuk menghindari dar kecaman sosial”. 124 Ia terutama merupakan moralitas yang lebih banyak berdasarkan penghargaan terhadap orang lain bukan pada keinginan pribadi. Menurut analisis penulis, Kohlberg berkeyakinan bahwa tingkat-tingkat dan tahap-tahap ini merupakan sebuah rangkaian dan berkaitan dengan usia. Sebelum usia 9 tahun, sebagian besar anak menggunakan cara prakonvensional ketika dihadapkan pada dilemma moral. Di masa awal remaja, mereka bernalar secara lebih konvensional. Sebagian besar remaja bernalar pada tahap 3, dengan beberapa indikasi pada tahap 2 dan 4. Di masa dewasa awal, sejumlah kecil individu bernalar di tahap pascakonvensional. Kohlberg berpendapat bahwa orientasi moral individu terbentang sebagai konsekuensi dari perkembangan kognitif. Anak-anak dan remaja menyusun pemikiran moralnya seiring dengan perkembangannya dari satu tahap ke tahap berikutnya. Secara umum, alur pengembangan moral adalah suatu pengampunan dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran alternatif kompetisi. Proses perkembangan remaja secara gradual mengalami perubahan dari perkembangan yang lebih otoritarian menjadi kurang otoriter seiring dengan perkembangan aspek-aspek kognitif dan kepribadian. “Remaja dalam perkembangan moralnya, tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret sebagai titik tolak pemikirannya.”125 Perkembangan moral remaja menurut Piaget mulai timbul pada tahap operasional formal di antara usia 11 hingga 15 tahun. Dan menurut Kohlberg mulai timbul pada tahap konvensional. Karakteristik yang paling menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah sifatnya yang lebih abstrak. 124 Elezabeth B. Hurlock., op. cit, h. 80 John W. Santrock, op. cit, h.126 125 74 Mereka sudah dapat menciptakan situasi-situasi fantasi, peristiwa-peristiwa yang murni berupa kemungkinan-kemungkinan hipotesis atau hanya berupa proposal abstrak dan mencoba bernalar secara logis mengenainya. Indikator lain yang memperlihatkan kualitas abstrak dari pemikiran remaja adalah meningkatnya tendensi untuk berpikir mengenai berpikir itu sendiri. Pemikiran yang menyertai abstrak dari pemikiran formal operasional adalah pemikiran yang banyak mengandung idealism dan kemungkinan. Sementara anakanak sering kali berpikir secara konkret mengenai hal-hal yang bersifat riil dan terbatas. Di samping berpikir abstrak dan idealistik, remaja juga sudah mulai bisa berpikir logis. b. Teori Perilaku Moral (behavior) Perilaku yang dapat disebut “moralitas yang sesungguhnya” tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing. Ia mencakup pemberian pertimbangan primer pada kesejahteraan kelompok dan penempatan keinginan atau keuntungan pribadi pada tempat kedua (kelompok). Moralitas yang sesungguhnya jarang ditemui pada anak-anak, tetapi ia harus muncul selama masa remaja.126 Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga masa remaja. Ia merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak. Sebelum anak memasuki usia remajanya, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan salah dalam situasi sederhana dan meletakkan dasar bagi perkembangan hati nurani. Sebelum masa kanak-kanak berakhir, anak diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing mereka bila harus mengambil keputusan moral. Pengetahuan moral atau penalaran moral, tidak menjamin tingkah laku moral karena dimotivasi oleh faktor yang lain dari pengetahuan. Tekanan sosial, 126 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75 75 bagaimana perasaan remaja tentang dirinya, bagaimana mereka diperlakukan oleh anggota keluarga dan teman sebayanya, keinginan-keinginan pada saat itu dan banyak faktor lain yang mempengaruhi bagaimana remaja akan bersikap bila suatu pilihan harus diambil. Di samping menekankan faktor dari pengaruh-pengaruh lingkungan, kesenjangan yang terdapat di antara pemikiran moral dengan tindakan moral dan faktor lainnya tadi, behavioris juga menekankan bahwa perilaku moral itu bersifat situasional. Dengan kata lain remaja tidak selalu memperlihatkan perilaku moralnya konsisten di berbagai situasi sosial. Teori kognisi sosial mengenai perkembangan moral, menekankan adanya perbedaan antara kompetensi moral remaja, kemampuan untuk menghasilkan perilaku moral, dan performa moral, penampilan perilaku-perilaku moral di situasi khusus. Kompetensi atau kemahiran terutama bertumbuh dari prosesproses kognitif. Kompotensi dapat meliputi hal-hal yang mampu dilakukan dan diketahui oleh remaja, keterampilan yang dimiliki, kesadaran remaja mengenai peraturan-peraturan moral, kemampuan kognitif mereka untuk menyusun perilakunya. Sebaliknya, peforma atau perilaku moral remaja ditentukan oleh motivasi yang diterapkan ketika mereka menampilkan suatu perilaku moral tertentu.127 Albert Bandura, juga berpendapat bahwa perkembangan moral paling baik dipahami apabila mempertimbangkan kombinasi dari faktor-faktor sosial dan kognitif. Khususnya yang melibatkan kontrol-diri. Ia menyatakan bahwa ketika mengembangkan “diri moral (moral self), individu mengadopsi standar mengenai benar dan salah yang dapat berfungsi sebagai pedoman dan larangan dalam berperilaku. Itulah sebabnya perilaku moral yang akan dicapai harus terjadi dalam fase konsep moral yang jelas.128 c. Teori Kata Hati Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala nilai. Akibatnya, setiap anak yang masih kecil dapat dianggap nonmoral ketika ia 127 John W. santrock., op. cip., h. 314 Ibid., h. 14 128 76 melakukan kesalahan. Dan tidak seorang anak pun dapat diharapkan mengembangkan kode moral sendiri. Sebaliknya, setiap anak harus diajarkan standar kelompok tentang yang benar dan yang salah. Perumusan mengenai teori kata hati/suara hati terhadap perkembangan moral, sama halnya membahas mengenai perkembangan perasaan moral. Di antaranya berbagai perumusan gagasan mengenai perkembangan moral adalah konsep-konsep yang sentral bagi teori psikoanalisis, sifat dasar dari empati dan peran emosi bagi perkembangan moral. Sebagaimana yang telah dibahas oleh penulis di bab dua sebelumnya, teori psikoanalisis Sigmund Freud meyakini bahwa demikian pentingnya perkembangan masa kanak-kanak, yang menurut Freud seorang anak harus mengalami rangkaian tingkatan-tingkatan seksual secara wajar, agar tidak mengalami tingkah laku yang menyimpang ketika ia memasuki usia dewasa. Freud juga mendeskripsikan superego sebagai salah satu dari tiga struktur utama kepribadian seseorang (dua struktur lainnya adalah id dan ego). Dalam teori psikoanalisis Freud, superego individu merupakan cabang moral dari kepribadian yang telah berkembang di masa kanak-kanak ketika anak-anak telah mampu menyelesaikan konflik Oedipud dan beridentifikasi dengan orang tua berjenis kelamin sama dengannya. Menurut Freud salah satu alasan yang membuat anak-anak menyelesaikan konflik Oedipus adalah untuk menghilangkan ketakutan kehilangan cinta orang tua dan dihukum karena memiliki harapan-harapan seksual yang tidak diinginkan terhadap orang tua dari jenis kelamin yang berbeda. Untuk mengurangi kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan afeksi orang tua, anakanak membentuk superego dengan cara beridentifikasi pada orang tua. Dalam pandangan Freud, melalui identifikasi inilah, anak-anak menginternalisasikan standar-standar orang tua mengenai benar dan salah yang merupakan cerminan dari larangan-larangan sosial. Pada waktu yang sama juga, anak-anak mengarahkan rasa permusuhannya yang sebelumnya diarahkan ke orang tua sesama jenis kelamin, ke dalam dirinya. Permusuhan yang diarahkan ke dalam dirinya secara langsung kemudian dialami 77 sebagai kecenderungan untuk menghukum diri sendiri yang sifatnya tidak disadari, dan dikenali sebagai perasaan bersalah. Dalam penjelasan psikoanalisis mengenai perkembangan moral, kecenderungan untuk menghukum diri sendiri dalam bentuk perasaan bersalah ini akan menjaga agar anak-anak dan kelak ia remaja, dari kecenderungan untuk melanggar hukum.129 Artinya, anak-anak dan remaja taat terhadap standar sosial untuk menghindari rasa bersalah. Kemudian, perasaan-perasan positif, seperti empati, juga berkontribusi terhadap perkembangan moral remaja. Perasaan empati berarti beraksi terhadap perasan orang lain yang disertai dengan respon emosional yang serupa dengan perasaan orang lain. Meskipun empati dialami sebagai kondisi emosional, perasaan empati memiliki komponen kognitif yang memiliki kemampuan untuk memahami kondisi psikologis dalam diri seseorang, atau yang biasa disebut sebagai pengambilan perspektif.130 Jika disimak, teori psikoanalisis menekankan bahwa pengaruh dari perasaan bersalah yang tidak disadari terhadap perkembangan moral. Namun pada perspektif kontemporer, teori lain seperti teori dari Damon menekankan selain peranan empati, perasaan-perasaan positif lainnya seperti simpati, kekaguman, harga diri, maupun perasan-perasaan negatif seperti kemarahan, perasaan malu, perasaan bersalah, juga dapat berkontribusi bagi perkembangan moral remaja. Ketika dialami secara kuat, emosi-emosi ini mempengaruhi remaja untuk bertindak menurut standar-standar benar dan salah.131 Emosi-emosi seperti empati, perasaan malu, perasaan bersalah, dan lainlain, sudah dialami sejak awal perkembangan dan akan terus mengalami perubahan sepanjang masa kanak-kanak dan remaja. Emosi-emosi ini memberikan suatu landasan yang alamiah bagi pemerolehan nilai-nilai moral remaja, mengarahkan para remaja pada peristiwa-peristiwa moral dan memotivasi mereka untuk memberikan atensi terhadap peristiwa-peristiwa semacam itu. 129 Ibid., h. 316 Ibid., h. 317 131 Ibid., h. 318 130 78 C. Penerapan Pendekatan Sosial dan Psikologi Untuk Penanaman Nilai-nilai Moral Remaja dalam Keluarga Cepat atau lambat, kebanyakan remaja akan belajar bahwa bagi diri mereka sendiri penyesuaian dengan kebiasaan kelompok tempat ia berada membawa keuntungan, walaupun mereka tidak selamanya menyetujui kebiasaan itu. Pada waktu perkembangan kecerdasan mencapai tingkat kematangannya, perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangannya. Bila hal ini tidak terjadi, maka individu dianggap sebagai orang yang tidak matang secara moral. Yakni seorang yang secara intelektual mampu berperilaku moral secara matang, namun berperilaku moral pada tingkat seorang anak. Dalam hal proses sosialisasi individu yang terjadi di sini, penulis lebih menekankan kepada lingkungan keluarganya, namun tidak berarti penulis mengucilkan proses sosialisasi dari segi lingkungan sekolah ataupun masyarakat. Karena walaubagaimanapun, dari ketiga lingkungan utama tersebut mempunyai saling keterkaitan. Misalnya dilihat dari segi kurikulum sekolah, nilai-nilai moral esensial yang sebelumnya telah dijelaskan oleh penulis, juga diterapkan di dalam pengajaran pendidikan agama islam di sekolah. Dalam lingkungan keluarga, “anak mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya.” 132 Proses sosialisasi ini turut mempengaruhi perkembangan sosial dan gaya hidupnya di hari-hari mendatang. Dalam proses perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah dan masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya. Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh remaja dalam proses perkembangan moralnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman 132 Mohammad Ali, Mohammad Asrori, op. cit., h. 93 79 meliputi perasaan aman secara material dan mental. Perasaan aman secara material berarti pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan dan sarana lain yang diperlukan, namun orangtuapun harus menekankan sejauh tidak berlebihan dan tidak berada di luar kemampuan orang tua. Perasaan aman secara mental berarti pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional, menjauhi ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, dan memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya. Manusia normal, membutuhkan penghargaan baik anak maupun orang dewasa, senantiasa atau dihargai oleh orang lain. Oleh karena itu, mempermalukan remaja di depan orang banyak (di depan orang lain) merupakan pukulan jiwa yang sangat berat baginya dan dapat berakibat buruk bagi perkembangana sosial remaja. Dalam aspek psikologi, remaja dapat terhambat atau bahkan tertekan, misalnya kemampuan dan kreativitasnya, sehingga mengakibatkan anak remajanya banyak berdiam diri. Sikap seperti ini muncul karena merasa bahwa sesuatu yang akan dikemukakannya tidak akan mungkin mendapat sambutan atau bahkan akan dipermalukan. Sebaliknya memberikan pujian ataupun teguran kepada remaja secara tepat adalah sangat baik. Cara ini akan dapat menimbulkan perasaan disayang pada diri remaja yang dinyatakan secara menyenangkan oleh orang tua. Menyatakan kasih sayang kepada remaja sampai anak remajanya menyadari bahwa dirinya disayang dan dibanggakan oleh orang tuanya adalah sesuatu yang penting. remaja harus mengetahui bahwa dirinya memang disayangi oleh orang tuanya. Seorang anak yang merasa dirinya disayangi akan memiliki kemudahan untuk dapat menyayangi orang tua dan keluarganya, sehingga akan merasakan bahwa dirinya dibutuhkan dalam keluarga. Dalam situasi demikian, remaja akan merasa aman, dihargai, dan disayangi. Remaja tidak merasa takut untuk menyatakan dirinya, pendapatnya, maupun mendiskusikan kesulitan yang dihadapinya karena merasa bahwa orang tua atau keluarganya ibarat sumber kekuatan yang selalu membantunya di mana pun dan kapan pun dirinya memerlukannya. Dengan kata lain, yang sangat dibutuhkan oleh remaja dalam perkembangan sosialnya adalah iklim kehidupan keluarga yang kondusif. Dikutip 80 oleh Mohammad Ali dan Mohammad Asrori dari Jay Kesler, mendefinisikan bahwa iklim kehidupan keluarga itu mengandung tiga unsur, yaitu 1. Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dari keluarga lainnya 2. Karakteristik khas itu dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga itu (termasuk remajanya) 3. Unsur kepemimpinan dan keteladanan di dalam keluarga, sikap, dan harapan individu dalam keluarga tersebut.133 Karena remaja hidup dalam suatu kelompok individu yang disebut keluarga, salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi perilaku remaja adalah interaksi antaranggota keluarga. Harmonis tidaknya, intensif tidaknya interaksi antaranggota keluarga akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja yang ada di dalam keluarga. Gardner dalam penelitiannya menemukan bahwa “interaksi antaranggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu korelat yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja”.134 Dari analisa penulis terhadap hal ini, wajar, jika iklim kehidupan keluarga memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan hubungan sosial remaja karena sebagian besar kehidupannya ada di dalam keluarga. Situasi interaksi antaranggota keluarga, perlakuan anggota keluarga terhadap remajanya, dan bahkan acara-acara TV dalam keluarga juga memiliki pengaruh kuat terhadap kondisi psikis anak remaja. Apalagi, perkembangan teknologi informasi melalui berbagai saluran TV yang setiap waktu dapat dinikmati remaja menghidangkan acara-acara yang bervariasi. Lebih-lebih jika ditambah dengan antena parabola berarti remaja dalm keluarga dapat menyaksikan sedikitnya 14 saluran dalam dan luar negeri. Jika demikian keadaannya, praktis remaja dapat menyaksikan acara TV selama 24 jam terus-menerus jika tidak ada pengendalian dari orang tua atau pengendalian diri sendiri. Betapa pentingnya peranan orang tua dalam pembentukkan pribadi anak. Lingkungan pertama yang memberikan pengaruh yang mendalam adalah lingkungan keluarganya sendiri. Dari anggota keluarganya itu, yaitu ayah, ibu dan 133 Ibid., h. 94 Ibid., h. 95 134 81 saudara-saudaranya, si anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota lain keluarganya.135 Albert Bandura dalam teori kognitif sosialnya, menjelaskan bahwa “suatu ransangan itu dipersepsi oleh individu kemudian diberi makna berdasarkan struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya. Jika sesuai, ransangan tersebut dihayati dan terbentuklah sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot kepada perilaku individu”. 136 Oleh sebab itulah, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk berperilaku. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya di bab dua. Perilaku yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing. Ia mencakup pemberian pertimbangan primer pada kesejahteraan kelompok dan penempatan keinginan atau keuntungan pribadi pada tempat kedua (kelompok). Moralitas yang sesungguhnya jarang ditemui pada anak-anak, tetapi ia harus muncul selama masa remaja.137 Melalui penerapan dari teori kognitif, behavior dan pembentukkan kata hati, dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama yang harus diterapkan oleh orang tua kepada remajanya: mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan. Mengembangkan hati nurani. Belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok. Dan mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial guna belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok.138 1. Peran hukum, kebiasaan dan peraturan dalam perkembangan moral Pokok pertama yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah latihlah mereka belajar apa yang diharapkan 135 Yulia Singgih D. Gunarsah dan Singgih D. Gunarsah, op.cit., h. 6 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op.cit., h. 95 137 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75 138 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75 136 82 kelompok dari anggotanya. Misalnya, berawal dari anggap saja kelompok dalam suatu keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, remajanya dan saudara/i-nya. Harapan tersebut diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk hokum, kebiasaan dan peraturan. Dalam setiap kelompok sosial, tindakan tertentu dianggap “benar” atau “salah” karena tindakan itu menunjang atau dianggap menunjang, atau pun dianggap menghalangi kesejahteraan anggota kelompok. Kebiasaan yang paling penting dibakukan menjadi peraturan hukum, dengan hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Sebagai contoh, mengambil harta milik orang lain, dianggap cukup serius karena mengganggu kesejahteraan kelompok. Karenanya ia merupakan pelanggar dan harus diberikan hukuman yang sesuai. Sudah merupakan kebiasaan untuk tidak menggunakan milik orang lain tanpa sepengetahuan dan izin si pemilik. Meskipun pelanggaran kebiasaan ini tidak akan mendatangkan tindakan hukum, namun ketidaksetujuan sosial akan merupakan hukuman seandainya terjadi suatu kerusakan. Pembuat hukum meletakkan pola perilaku moral bagi anggota kelompoknya. Di dalam keluarga, orang tualah yang bertanggung jawab membimbing anak dan harus membantu anak belajar menyesuaikan diri dengan pola yang setujui. Ini dilakukan dengan membuat peraturan, pola yang ditentukan untuk tingkah laku merupakan sebagai pedoman. Peraturan berbeda dengan hukum dalam beberapa hal yang penting. Pertama, peraturan dibuat oleh orang yang bertanggung jawab mengasuh anak, misalnya dalam keluarga adalah orang tua, hukum dibuat oleh pembuat hukum yang dipilih atau ditunjuk suatu Negara. Kedua, hukum menentukan hukuman menurut keinginan atau tingkah orang yang mengawasi anak tersebut. Ketiga, bila orang belajar tentang hukum, maka mereka juga belajar tentang hukum atas pelanggarannya. Keempat, beratnya hukuman atas pelanggaran hukum bervariasi dengan beratnya tindakan yang dilakukan. kelima, hukum lebih seragam dan konsisten dibandingkan dengan peraturan.139 139 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 76 83 Tidak semua remaja menyadari kenyataan bahwa mereka akan dihukum bila mereka melanggar peraturan, sampai saat mereka betul-betul melanggarnya. Mereka juga tidak mengetahui dengan jelas bentuk hukumannya sampai mereka menerimanya. Bila suatu peraturan dilanggar, beratnya hukuman bervariasi sesuai dengan jenis pelanggarannya. Sebagai contoh, di rumah mungkin terdapat peraturan berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuannya, dan bagi anak yang lebih kecil dan lebih besar. Anak kecil tidak dituntut tunduk pada hukum dan kebiasaan seperti dituntut dari anak yang lebih besar. Namun setelah mereka mencapai usia lebih besar dan terus bertambah besar, orang tua mengajari mereka mengenai hukum yang berlaku, misalnya tidak mengambil barang di toko, tidak merusak atau memegang-megang barang milik orang lain tanpa seizin dari pemiliknya sekalipun itu milik saudara-saudaranya di rumah, menunjukkan sikap sopan dan hormat terhadap orang yang lebih tua, dan sebagainya. secara bertahap anak akan mempelajari peraturan yang ditentukan berbagai kelompok, yaitu kelompok tempat mereka mengidentifikasi diri, yaitu melalui interaksi sosialnya baik di rumah, sekolah dan lingkungan. Hal ini, membentuk dasar pengetahuan remaja tentang harapan berbagai kelompok. remaja juga akan belajar bahwa mereka diharapkan untuk mematuhi peraturan ini itu dan kegagalan dalam melakukannya akan mendatangkan hukuman atau kurangnya penerimaan sosial. Jadi, peraturan berfungsi sebagai pedoman perilaku anak dan sebagai sumber motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan sosial, sebagaimana hukum dan kebiasaan menjadi pedoman dan sumber motivasi bagi anak remaja dan orang dewasa. 2. Peran hati nurani dalam perkembangan moral Pokok kedua yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah pengembangan hati nurani sebagai kendali internal bagi perilaku individu. Menurut tradisi, anak dilahirkan dengan “hati nurani” atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan yang salah. Sejalan dengan 84 tradisi tersebut, terdapat keyakinan bahwa perilaku yang salah merupakan akibat beberapa kelemahan bawaan, yang dianggap berasal dari pihak ibu atau ayah. Mereka yang menganut keyakinan ini berpendapat bahwa anak tidak dapat diperbaiki lagi. Akibatnya, mereka merasa tidak perlu mencurahkan waktu dan usaha untuk menerapkan penanaman pendidikan nilai moral di rumah. Padahal keyakinan seperti itu adalah hal yang sangat salah, bila kita tinjau lebih mendalam lagi, hati nurani seseorang tidak mungkin terbentuk tanpa usaha-usaha dari dirinya sendiri maupun dari luar (ransangan, keteladanan, latihan,dll dari keluarga). Sekarang telah diterima secara luas bahwa tidak seorang anak pun dilahirkan dengan hati nurani dan bahwa setiap anak tidak saja harus belajar apa yang benar dan yang salah, tetapi juga harus menggunakan hati nuraninya sebagai pengendali perilaku. Ini dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak, guna sebagai pedomannya berperilaku di masa ia beranjak dewasa.140 Membentuk standar tingkah laku internal terlalu rumit bagi remaja. Akibatnya, perilaku mereka, terutama harus dikendalikan oleh batas-batas yang ditentukan oleh lingkungan. Pembentukan kata hati seseorang tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai sensor atas perbuatannya, bila ia tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk mengambil isi dan arti dari segala hal yang dilihatnya di lingkungan keluarga serta dialaminya melalui ajaran agama, dan ajaran-ajaran lainnya. Jadi walaupun contoh dan teladan di sekitarnya patut ditiru dan dijadikan petunjuk bagi hidupnya, ia tidak akan dapat mengikutinya, karena kemampuan berpikirnya (nalar) terlalu rendah. Sebaliknya, sekalipun remaja cukup cerdas dan mampu mengambil inti sari dari segala rupa ajaran, ia belum tentu memiliki hati nurani yang dapat berfungsi sebagai pengarah bagi perbuatan-perbuatannya apabila dalam lingkungan hidupnya tidak terdapat contoh atau tokoh yang dapat dijadikan teladan olehnya. Itulah sebabnya, bagaimana mengarahkan remaja bernalar atau berpikir mengenai aturan-aturan yang menyangkut etika berperilaku itu adalah hal pertama yang penting dilakukan oleh orang tuanya dalam memberikan penanaman nilai-nilai moral pada remaja, dan diiringi melalui pemberian keteladan. 140 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 77 85 Dengan demikian, betapa pun tingginya taraf kemajuan teknologi yang dicapai dan kenikmatan hidup yang diperolehnya, taraf tersebut tidak dapat dipertahankan bila pribadi yang menjalaninya tidak memiliki kepribadian yang terbentuk sempurna. Artinya, tidak mempunyai kepribadian yang bertanggung jawab secara etis moral. Mengenai perkembangan remaja, sebelumnya penulis telah mendeskripsikan mengenai teori perkembangan kognitif menurut Jean Piaget. Yang menurutnya perkembangan moral seseorang berkaitan dengan kemampuan kognitifnya. Menurut Piaget remaja termotivasi untuk memahami dunianya secara aktif mengonstruksikan dunia kognitifnya sendiri. Ketika mengonstruksikan dunianya, remaja menggunakan skema. Skema adalah sebuah konsep atau kerangka kerja mental yang diperlukan untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi. bagaimana 141 Secara khusus tugas orang tua di sini adalah mengarahkan anak-anak dan remajanya menggunakan skemanya untuk mengorganisasikan dan memahami pengalaman yang mereka alami. Dalam penerapannya, “Piaget menemukan anak-anak dan remaja menggunakan dan mengadaptasikan skema-skema mereka melalui dua proses, yaitu: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah memasukkan informasiinformasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi adalah menyesuaikan sebuah skema yang sudah ada terhadap masuknya informasi baru”.142 Dengan kata lain proses asimilasi merupakan proses pemahaman dan penyerapan antara informasi-informasi yang baru, agar dapat menjadi satu dengan skema/kerangka informasi yang dimiliki sebelumnya. Dan proses akomodasi merupakan proses mental individu untuk dapat menyesuaikan diri agar sesuai dengan kondisi lingkungan di luar dirinya. Setelah melalui dua proses tadi, suatu waktu remaja mengalami konflik kognitif atau mengalami ketidakseimbangan (disequilibrium) ketika remaja itu 141 John W. Santrock, op.cit., h. 123 John W. Santrock, op.cit., h. 123 142 86 berusaha untuk memahami dunianya. Kemudian proses lain juga diidentifikasi oleh Piaget yaitu keseimbangan/ekuilibrium (equilibrium), di mana remaja mengubah pemikiran dari satu kondisi ke kondisi lain.143 Proses keseimbangan ini dapat terjadi jika individu memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi (penyesuaian diri) agar terjadi keseimbangan, keselarasan maupun keharmonisan antara diri individu dengan lingkungan hidupnya. Sebelum terjadinya ekuilibrium ini, berarti individu mengalami suatu kondisi yang tak seimbang , lalu disinilah proses asimilasi dan akomodasi itu berlangsung. Dalam hal ini, berarti hati nurani telah diterangkan sebagai keseimbangan yang terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum. Hati nurani juga dikenal dengan sebutan “kata hati” atau “superego” menurut perspektif psikoanalisa, yang merupakan sebagai pengendali dorongan-dorongan dari naluri id agar dorongan-dorongan tersebut disalurkan dalam cara dan bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.144 Dengan kata lain, hati nurani merupakan standar internal yang mengendalikan perilaku individu. Seiring terjadinya pengarahan disequilibrium kepada equilibrium melalui proses asimilasi dan akomodasi, terlebih dahulu harus diusahakan supaya pribadipribadi remaja dibimbing dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga dalam perkembangannya akan menjadi manusia yang bertanggung jawab penuh secara etis moral. Lingkungan yang optimal bagi perkembangan kepribadian yang wajar adalah sangat penting. Keutuhan keluarga dan keserasian yang mengusai suasana di rumah merupakan salah satu faktor penting. Demikian pula sosok ayah dan ibu sebagai pengisi hati nurani yang pertama harus melakukan tugas ini dengan penuh tanggung jawab dalam suasana kasih sayang. Bila lingkungan hidup si remaja bertambah luas, akan lebih banyak sosok yang akan menjadi objek peniruan baginya rangka pengisian hati nuraninya. Apabila suatu lingkungan sulit untuk dikendalikan pengaruhnya terhadap perkembangan remajanya, ayah dan ibu harus menciptakan lingkungan lain yang 143 144 Ibid., h. 124 E. Koswara, op.cit., h. 34 87 diperkirakan menguntungkan dan tidak akan menyesatkan remaja. Namun yang lebih efektif adalah dengan meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam pembentukan kata hati kepada remaja, melalui pengajaran dan ditanamkannya kepada remaja bahwa moral (akhlak) yang diajarkan di dalam Al-Qur’an bertumpu kepada aspek fitrah yang terdapat di dalam diri manusia, dan aspek wahyu (agama), kemauan dan tekad manusiawi. agar ia dapat menimbang dan menilai sendiri pengaruh suatu lingkungan dalam usahanya memilih sosok dan menentukan pandangan baru yang akan menjadi bagian dari hati nuraninya kelak. Maka pendidikan moral (akhlak) perlu dilakukan dengan cara: 1) Menumbuh-kembangkan dorongan dari dalam diri remaja, yang bersumber pada iman dan takwa. Untuk ini perlu pendidikan agama. 2) Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak melalui ilmu pengetahuan, pengalaman dan latihan, agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 3) Meningkatkan pendidikan kemauan remaja, yang menumbuhkan pada manusia kebebasan memilih yang baik dan melaksanakannya. Selanjutnya kemauan itu akan mempengaruhi pikiran dan perasaan. 4) Latihan untuk melakukan nilai-nilai esensial untuk remaja serta mengajak orang lain untuk bersama-sama melakukan perbuatan baik tanpa paksaan. 5) Pembiasaan dan pengulangan menanamkan nilai-nilai esensial bagi remaja, sehingga perbuatan yang baik itu menjadi keharusan moral dan perbuatan akhlak terpuji, yang menjadi kebiasaan mendalam, tumbuh dan berkembang secara wajar di dalam diri remaja.145 Dasar hati nurani yang kuat akan membimbing individu untuk menolak pandangan yang akan menghewankan remaja itu sendiri, dan memilih pandangan yang menganggap martabat manusialah sebagai makhluk yang berakhlak dan bertanggung jawab secara etis moral. 3. Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan moral Pokok ketiga yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu. 145 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 11-12 88 Setelah remaja mengembangkan hati nuraninya, hati nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Bila perilaku remaja tidak memenuhi standar yang ditetapkan hati nuraninya, maka anak merasa bersalah, malu atau kedua-duanya. Rasa bersalah dapat dijelaskan sebagai jenis evaluasi diri khusus yang negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. remaja yang merasa bersalah tentang apa yang telah dilakukannya, telah mengakui pada dirinya sendiri bahwa perilakunya jatuh di bawah standar yang ditetapkannya sendiri. Namun, sebelum rasa bersalah ini dialami, minimal ada empat kondisi yang harus diarahkan oleh orang tua kepada remajanya. Pertama, remaja harus menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan yang salah atau baik dan buruk sebagai standar perilaku mereka. Kedua, mereka harus menerima kewajiban untuk disiplin mengatur perilakunya agar sesuai dengan standar yang telah mereka terima sebelumnya. Ketiga, mereka harus merasa bertanggung jawab atas setiap penyelewengan dari standar tersebut, dan mengakui bahwa mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan. Keempat, mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup besar untuk menyadari bahwa suatu ketidaksesuaian antara perilaku mereka dengan standar internal mereka adalah perilaku yang telah terjadi.146 Kemudian, “rasa malu telah didefinisikan sebagai reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Penilaian ini, yang belum tentu benar-benar ada, mengakibatkan rasa rendah diri terhadap kelompoknya”. 147 Adapun penilaian negatif ini dapat berbentuk apabila seseorang berbuat kurang sopan, merasa malu, atau seperti apabila seseorang mendapat penilaian negatif karena perilakunya jatuh di bawah standar kelompok. Moralitas dalam arti kata sebenarnya, selalu mencakup rasa bersalah. Orang harus berbuat sesuai dengan adat istiadat kelompok, dibimbing oleh standar 146 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 77 Ibid., h. 77 147 89 yang lebih dikendalikan dari dalam ketimbang dari luar. Ausabel telah menjelaskannya sebagai berikut, rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikologi yang paling penting dalam proses sosialisasi. Ia juga merupakan unsur yang penting bagi kelangsungan hidup budaya karena ia merupakan penjaga yang paling efisien di dalam diri tiap individu, dan bertugas menjaga keselarasan perilaku individu dengan nilai moral masyarakatnya.148 Bila remaja tidak merasa bersalah dan malu atas perilaku negatif yang telah ia perbuat, ia tidak akan merasa terdorong untuk belajar apa yang diharapkan kelompok sosialnya atau untuk menyesuaikan perilakunya dengan harapan tersebut. 4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral Pokok keempat yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah memberikan kesempatan kepada remaja untuk melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Tanpa interaksi dengan orang lain, mereka tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara sosial, maupun memiliki sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hatinya. Prinsip paling penting yang harus dipelajari oleh orang tua adalah perilaku anak yang menyimpang itu merupakan akibat dari kurangnya dorongan semangat oleh orang tuanya sehingga anak merasa dirinya tidak baik. Akibat lain, mereka merasa putus asa dan kecewa karena merasa dirinya tidak berhasil memenuhi keinginan orang tuanya atau kelompoknya. Hilangnya kepercayaan diri pada kemampuan yang mereka miliki itulah yang mengembalikan mereka kepada perbuatan yang kurang baik untuk menyelamatkan rasa harga diri.149 Interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga. Remaja belajar dari orang tua, saudara kandung dan anggota keluarga lain, apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok tersebut. Dari penolakan sosial atau hukuman bagi perilaku yang salah, dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku 148 Ibid., h. 78 Maurice Balson, Bagaimana Menjadi Orang Tua yang Baik, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. 2, h. 84 149 90 yang benar, anak memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan anggota keluarga. “Interaksi sosial memegang peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, memberikan anak standar perilaku yang disetujui kelompok sosialnya. Kedua, memberikan mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut melalui persetujuan dan ketidaksetujuan sosial”. 150 Membantu remaja agar memiliki kepercayaan kepada diri sendiri menjadi tugas dan kewajiban orang tua. Seluruh perilaku anak yang salah dan menyimpang bersumber dari hilangnya rasa percaya diri dan rasa takut berbuat, keadaan demikian terjadi karena mereka tidak mendapatkan dorongan semangat atau motivasi dari orang tuanya dan disamping itu juga tiadanya suasana saling membantu dalam kehidupan keluarganya. Motivasi utama dibalik semua perilaku tersebut adalah keinginan untuk diberi peranan, untuk diterima dalam keluarga atau anggota kelompok lainnya, dan untuk dapat memainkan fungsi peranan tersebut dalam kelompoknya. Dengan bila mereka ikut berperan dalam keluarga atau suatu kelompok, dan mereka merasa menjadi anggota yang berguna dan penting, barulah mereka dapat berfungsi dengan baik, dapat membantu dan bekerja sama. Dengan meluasnya cakrawala sosial hingga kepada lingkungan luar rumah dan sekolah, anak remaja melalui permainan dan komunikasi dengan teman-teman sebayanya mulai belajar bahwa beberapa standar perilaku yang dipelajari mereka di rumah sama dengan standar mereka berteman dan beberapa yang lainnya berbeda. Karena pengaruh yang kuat dari kelompok sosial pada perkembangan moral remaja, penting sekali bagi orang tua dan anggota keluarga lainnya (saudara/i) untuk saling membantu dan tidak lengah mengarahkan mereka bahwa kelompok sosial tempat mereka mengidentifikasikan dirinya harus mempunyai standar moral yang sesuai dengan kelompok sosial yang lebih besar dalam masyarakat. Itulah sebabnya, orang tua harus mengontrol dan mengarahkan jenis teman bermain untuk anaknya jauh lebih penting dibandingkan dengan jumlahnya. 150 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 78 91 Kemudian berbicara fase perkembangan moral, bila moralitas yang sesungguhnya harus dicapai oleh remaja, maka perkembangan moral harus terjadi dalam dua fase yang jelas, yaitu: pertama, perkembangan perilaku moral. Kedua, perkembangan konsep moral.151 Sumber lain menyatakan, bila perilaku moral sesungguhnya harus dicapai, maka ada beberapa jenis perkembangan moral yang harus terjadi, yaitu 1. Sensitifitas moral (moral sensitifity). Kemampuan untuk menginterpretasikan dan menyadari akibat-akibat perilaku terhadap orang lain. Kemampuan ini berasal dari petimbangan kognitif maupun perasaan (afektif) 2. Kuputusan moral (moral judgment). Kemampuan individu untuk dapat memutuskan suatu tindakan benar-salahnya, dengan memiliki kesadaran tentang moral yang tinggi. 3. Motivasi moral (moral motivation). Kemampuan individu untuk melakukan tindakan moral di atas standar nilai-nilai diri sendiri. 4. Karakter moral (moral character). Suatu sifa-sifat yang tumbuh dan berkembang dalam diri individu, sehingga dengan keberanian moral dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral. Ia akan berupaya mematuhi aturan moral itu, walaupun dianggap merugikan diri sendiri. 152 Perkembangan moral remaja harus terjadi dalam dua fase yang jelas. Pertama, perkembangan perilaku moral. Remaja dapat belajar untuk berperilaku sesuai dengan cara yang disetujuinya. Salah satu prinsip dasar yang dapat digunakan orang tua sebagai pedoman untuk memahami perilaku anaknya adalah anggap bahwa anak berperilaku tertentu dengan tujuan untuk memperoleh tempat dalam keluarga. Salah satu kesalahan besar orang tua ialah terkadang lebih memusatkan pada perilaku itu sendiri daripada memahami tujuannya. Metode modeling bisa menjadi pilihan bagi orang tua untuk menunjang perkembangan perilaku moral remaja. Dengan cara menghadirkan sebuah model yang berargumen dengan menggunakan pemikiran moral satu tahap di atas tingkat 151 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op.cit., h. 80 Agoes dariyo., op.cit., h. 64 152 92 yang telah dicapai remaja. Metode modeling ini didasarkan pada konsep perkembangan kognitif mengenai ekuilibrium dan konflik. Dari sinilah terjadinya proses imitasi, sugesti dan identifikasi pada remaja. Dengan menyajikan informasi moral yang melampaui tingkat kognitif remaja, remaja akan mengalami disekuilibrium yang akan memotivasinya untuk melakukan restrukturisasi terhadap pemikiran moralnya. 153 modeling keteladanan oleh orang tuanya, dengan memberikan Melalui metode dalam menanamkan nilai-nilai esensial bagi remaja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh penulis. Kemudian dengan keteladanan yang disiplin, pada diri remaja akan terjadi proses imitasi. Remaja akan meniru segala kegiatan yang terjadi dalam keluarganya, bahkan mulai dari hal-hal yang kecil seperti gaya bahasa/berbicara orang tua kepada dirinya mau pun orang lain, cara-cara berpakaian, dan sebagainya. Teladan moral adalah orang yang hidupnya patut untuk dijadikan contoh. Di dalam konteks keluarga, yang menjadi panutan atau teladan bagi para remaja adalah Ibu dan Bapak. Hubungan orang tua dan anak memperkenalkan mereka pada kewajiban mutual dalam hubungan interpersonal yang erat. Kewajiban orang tua adalah terlibat dalam pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia yang kompeten dan berkepribadian baik. Di lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi mempunyai peranannya, sebab mengimitasi/mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Melalui dari apa yang dilihatnya/pelajarinya (proses modeling yang baik dari orang tua) melalui interaksi sosial, atau bisa juga dengan cara memberikan gambaran-gambaran keteladan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya para nabi dan sahabat), imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatanperbuatan yang baik. Namun peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang digambarkan di atas juga bisa menjadi negatif. Apabila hal-hal yang dicontohkan oleh orang tua atau pun anggota lainnya dari keluarga adalah pencontohan yang 153 John W. santrock., op. cip., h. 307 93 kurang baik, mungkin salah atau pun secara moril ditolak. Apabila contoh demikian diimitasi oleh anak, maka proses imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif pada remaja. Justru itulah sebagai orang tua hendaknya mengemas keteladanan kepada anak-anaknya secara baik dan juga berhati-hati. Dengan adanya teladan yang baik, maka akan menumbuhkan hasrat bagi remaja untuk meniru atau mengikutinya. Karena memang pada dasarnya dengan adanya contoh ucapan, perbuatan dan contoh tingkah laku yang baik dalam hal apapun, maka hal itu merupakan suatu amaliyah yang paling penting dan paling berkesan bagi pendidikan anak, maupun dalam kehidupan dan pergaulan mereka sehari-hari. Kemudian proses sugesti di sini terletak pada keterkaitannya dalam penalaran si remaja. Melalui metode persuasif, agar remaja tidak salah mengimitasi, orang tua tetap harus disiplin mengarahkan mereka dengan mengajak mereka merenungkan terlebih dahulu apa yang harus ia tiru dan apa yang tidak boleh ia tiru dengan memberinya standar perilaku yang disetujui kelompok sosial dan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut. Setelah mereka telah memiliki motivasi moral tersebut, maka orang tua bisa melanjutkan dengan metode pembiasaan dalam penanaman nilai-nilai moral pada remaja. Pada metode pembiasaan ini, orang tua melakukan pengkondisian diri remaja, diawali dengan memberikan mereka pelatihan-pelatihan melakukan beberapa nilai moral. Bila remaja belajar untuk bersikap sesuai dengan apa yang diterima secara sosial oleh anggota kelompoknya (keluarga atau pun masyarakat) dengan cara terus berlatih (tetap dibawah arahan atau pembinaan dari orang tua), maka mereka akan melakukannya dengan mencoba suatu jenis perilaku untuk melihat apakah itu memenuhi standar sosial dan memperoleh persetujuan sosial. Bila tidak, mereka bisa diarahkan untuk mencoba lagi dan melakukan dengan cara yang lain, dan seterusnya begitu hingga memenuhi dan memperoleh persetujuan sosial. Hingga suatu saat, secara kebetulan dan bukan karena direncanakan, mereka akan menemukan caranya sendiri yang memberi hasil yang diinginkan, 94 yaitu dengan cara pembiasaan. Metode ini memang cukup menghabiskan waktu dan tenaga, dan hasil akhirnya pun seringkali jauh dari memuaskan. Jadi melalui keteladanan dan pembiasaan, melalui proses asimilasi maka remaja akan berupaya untuk mengubah hal-hal yang berasal dari luar, untuk disesuaikan dengan apa yang sudah ada dalam dirinya. Dan melalui proses akomodasi, remaja akan termotivasi untuk mengubah konsep, pemahaman ataupun pengertian yang lama, agar sesuai dengan yang baru. Disadari atau tidak disadari, remaja sedang melakukan proses identifikasi pada dirinya. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan melalui studi pustaka dalam menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga, penulis mengemukakan kesimpulan, bahwa: 1. Nilai-nilai moral esensial yang penting ditanamkan pada remaja di antaranya adalah jujur, disiplin, percaya diri, peduli dan mandiri. Nilai-nilai moral esensial ini merupakan nilai-nilai mendasarkan untuk membentuk akhlak mulia/karakter pribadi remaja, yang bisa dimulai dari dini bahkan sebelum remaja. Penanaman nilai-nilai ini tidak sebatas pada pengajaran, tetapi menyentuh perasaan remaja agar mereka sadar akan kebenaran dan kesediaan untuk mengamalkannya. 2. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan pendekatan sosial yang dilakukan dengan cara interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan identifikasi. Pendekatan ini berfungsi untuk mempelajari contoh-contoh penerapan nilai-nilai moral secara konkrit dari keteladanan orang tua dan anggota keluarga lainnya secara praktis, dan tersedianya kondisi yang baik di dalam keluarga, ini memudahkan remaja untuk meniru. Selanjutnya orang tua membeiasakan dan mengontrol sikap dan perbuatan remaja. 3. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan juga pendekatan psikologi yang dilakukan dengan cara mempersiapkan mental remaja dengan membina kondisi mentalnya melalui pembinaan secara rasional, pengendalian perilaku moral dan pembentukkan kata hati. Pendekatan ini berfungsi membangun kesadaran remaja melalui pengetahuan dan kemampuan nalar dan hati nuraninya (intuisi) untuk meyakini bahwa nilai-nilai esensial itu memang merupakan nilai kebajikan dan bermanfaat yang harus diikuti atau diterapkan. 4. Dalam penerapannya, pendekatan sosial menekankan remaja untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga perilaku yang dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat atau sesuai standar sosial. Kemudian dari segi pendekatan psikologi, lebih menekankan pada kesadaran 95 96 diri remaja dalam melakukan suatu perbuatan, kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai esensial dapat mengontrol dan mengendalikan remaja dari perilaku yang menyimpang dari standar sosial. B. Saran 1. Bagi orang tua hendaknya mempelajari perkembangan ciri-ciri jiwa remaja, dekat dengan anak remajanya agar terjalin komunikasi, sehingga dengan lancarnya komunikasi akan ada keterbukaan diantara keduanya, dan nasehatnasehat orang tua akan lebih bisa didengar oleh remaja. Orang tua hendaknya juga melakukan keteladanan nilai-nilai moral esensial tadi (jujur, disiplin, percaya diri, peduli,dsb) baik dari segi perkataan dan perbuatan, karena apa saja yang dilihat maupun didengar oleh remaja, itulah yang akan mereka tiru. Orang tua juga hendaknya sadar akan tanggung jawab terhadap anak-anaknya agar mereka banyak memberikan perhatikan, pengawasan dan bimbingan yang sebaik-baiknya, ini dapat dilakukan melalui bacaan-bacaan seperti: koran, majalah, buku-buku. Atau penerangan TV, radio, mengikuti seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan, sebagainya. 2. Bagi masyarakat hendaknya ikut menertibkan perilaku-perilaku masyarakat sekitar yang kurang kondusif demi menghindari kerusakan moral remaja, begitupun untuk guru-guru di sekolah. Masyarakat dan guru juga hendaknya menjadi figur teladan yang baik. 3. Bagi remaja hendaknya mengerti perkembangan dirinya, menekan gejolak emosionalnya sehingga mampu untuk mengendalikan sikap atau perbuatannya. Remaja juga hendaknya bersikap kritis terhadap perilaku yang ada di sekelilingnya, sehingga tidak hanya asal meniru tetapi juga mampu membedakan mana perilaku yang buruk dan mana perilaku yang baik untuk ikuti. Sibukkan diri dengan menyalurkan bakat-bakat yang ada di dalam diri melalui organisasi-organisasi tertentu, misalnya: organisasi sport, organisasi kesenian, pramuka, dan sebagainya, hal ini agar remaja tidak mempunyai waktu terluang yang tidak berguna. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Abu, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) Azhari Akyas, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004 Agama Departemen, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004), cet. 5, juz ke-21 Ali Mohammad dan Asrori Mohammad, Psikologi remaja, (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2011) Alisuf Sabri M, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3 Abdullah M. Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah, 2007), cet. 1 Bachri Thalib syamsul., Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1 Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet. 4 Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Cet. 1 Darajat Zakiah, Ahmad Sadali, dkk., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet ke-10 Daradjat Zakiah, Pendidikan islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV Ruhama, 1994) Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). Cet. 4 Djunaidi Ghony Muhammad, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982) Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar Indonesia, 2006), cet 1 Erika Endang, “Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), skripsi 97 98 Farida. HM, “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini”, ( Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012), skripsi Gerungan W. A. DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet. 7 Herien Puspitawati, Seks Bebas dikalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa), Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02Feb 2014), (http://sule-gratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-dikalangan-remaja-pelajar.html) Humanitas., Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2008),Vol. 5 No.1 Haitami Salim Moh, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) Hurlock Elizabeth B, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi ke-6 Irawan Dedi. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajar-bajak-kopaja-untuktawuran_111160.html) Koswara E, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2 Kompas.com. Mohammad Nuh., Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013 Kasiram. Moh, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) cet. I Khiriah Husen Thaha, Konsep Ibu Teladan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994) Listyarti Retno, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan kreatif, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012) M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-JumlahPengguna-Narkotika-Capai-5) Nata Abudin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5 Narendrany Hidayati Heny dan Yudiantoro Andri, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007) 99 Noor Syam Mohammad, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988) Pramono Wahyudi, Srijanti dan Purwanto, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet. 1 Rosyadi Khoiron, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) Ruqoyah Siti, “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Anak Usia Dini”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012), Sujanto Agus, PsikologiPerkembangan, ( Jakarta: AksaraBaru,1982) cet. 3 Syamsul Arifin Bambang, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2011) Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, ((Jakarta: Rineka Cipta, 1989), cet. 1 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11 Toriquddin Moh., Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia modern”, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1 Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), Cet. 1 Wardani Kristi, “Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”, Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, (Bandung: Indonesia, 8-10 November 2010) W. Santrock John Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 1 Edisi ke-11 W. Sarwono Sarlito, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 14 Zed Mestika, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), cet. 1 Zuriah Nurul, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. I