BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari paparan yang telah penulis uraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan : 1. Konsep jual beli dengan hak membeli kembali tinjauan Kitab UndangUndang Hukum Perdata adalah menurut Pasal 1519 KUHPerdata menjelaskan: ’’Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang yang dijualnya, dengan mengembalikan harga pembelian asal yang disertai penggantian yang disebutkan dalam Pasal 1532 KUHPerdata”. Dalam jual beli ini ada suatu jangka waktu tertentu yang diperjanjikan untuk menebus kembali barang yang telah 73 74 dijual dan jangka waktu jual beli ini tidak boleh lebih dari lima tahun. Sedangkan bai’ al-wafâ menurut fikih Syafi’i yaitu jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang telah ditentukan tiba, sedangkan barang yang dijual tersebut bebas dipergunakan oleh pembeli. 2. Perbandingan jual beli dengan hak membeli kembali tinjauan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan bai’ al-wafâ tinjauan fiqh syafi’i adalah jika dalam jual beli dengan hak membeli kembali terdapat batasan waktu maksimal lima tahun sedangkan dalam bai’ al-wafâ tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai batasan waktu. Dalam jual beli dengan hak membeli kembali juga mengatur tentang penggantian biaya perawatan barang dan lain sebagainya, sedangkan bai’ al-wafâ tidak ada menyinggung tentang penggantian biaya perawatan, yang dibayarkan hanya harga awal pembelian, terakhir mengenai hukum dari jual beli dengan hak membeli kembali dalam KUHPerdata banyak dipertentangkan dalam putusan Mahkamah Agung diantaranya Putusan MA. No. 1729 K/Pdt/2004 yang menyatakan bahwa jual beli dengan hak membeli kembali tidak diperbolehkan, sedangkan bai’ al-wafâ hukumnya dalam fikih Syafi’i kitab Kanz al-Râghibin Fi Syarh Minhaj al-Thâlibin merupakan jual beli yang fasid. 75 B. Saran 1. Dalam menyikapi transaksi-transaksi yang telah banyak dimodifikasi disekitar masyarakat terutama tentang jual beli dengan hak membeli kembali yang dalam prakteknya seperti hutang piutang dengan jaminan, dengan modifikasi antara akad jual beli dan prakteknya seperti gadai sehingga menimbulkan penyalahgunaan dari salah satu pihak, yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Jika hal ini dibiarkan maka akan berdampak buruk bagi masyarakat. Adanya putusan Mahkamah Agung No 1729 K/Pdt/2004 yang tidak membolehkan transaksi ini, sehingga perlulah untuk mengkaji ulang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai jual beli dengan hak membeli kembali agar sesuai dan dimengerti oleh masyarakat. 2. Adanya putusan Mahkamah Agung No 1729 K/Pdt/2004 yang tidak membolehkan jual beli dengan hak membeli kembali yang telah diatur dalam KUHPerdata pasal 1519 sesuai dengan hukum bai’ al-wafâ yang menyatakan bahwa jual beli tersebut fasid. Maka perlulah adanya kajian dalam KUHPerdata sehingga sesuai dengan perkembangan masa. 3. Setelah diketahui tentang bai’ al-wafâ yang secara lahiriyah akadnya berupa jual beli akan tetapi tujuan maknanya adalah hutang piutang, maka terlalu menyusahkan apabila terjadi perbedaan akad dan praktek sehingga akan merusak akad itu sendiri, maka dari penulis menyarankan untuk memilih alternatif akad lain yang lebih tepat dan sesuai antara ijab kabul dan prakteknya.