SKRIPSI KEDUDUKAN AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA TERHADAP TANAH WARIS MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI (Studi Kasus Terhadap Ahli Waris Berpindah Agama dari Hindu ke Kristen di Desa Pekraman Kesiman) I MADE RISKY PUTRA JAYA ARDHANA NIM : 0903005155 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 SKRIPSI KEDUDUKAN AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA TERHADAP TANAH WARIS MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI (Studi Kasus Terhadap Ahli Waris Berpindah Agama dari Hindu ke Kristen di Desa Pekraman Kesiman) 2 Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana I MADE RISKY PUTRA JAYA ARDHANA NIM : 0903005155 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 2 3 LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 25 November 2014 6 Juli 2012 Pembimbing I Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi, SH , MH NIP. 19540720 198303 2 001 Pembimbing II Marwanto, SH. M.Hum. NIP. 19600101 198602 1 001 3 4 SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 13 Agustus 2015 17 Juli 2012 Panitia Penguji Skripsi Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 331 /UN14.1.11/PP.05.02/2015 Ketua : A.A Sagung Wiratni Darmadi , SH.,MH (…………) Sekretaris : Marwanto, SH.,M.Hum (…………) Anggota : 1. Dr. I Ketut Westra, SH.,MH (…………) 2. I Gst. Nyoman Agung, SH.,M.Hum (…………) 3. Dr. I Wayan Novy Purwanto, SH.,M.Kn (…………) 4 5 KATA PENGANTAR Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta nugraha-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “KEDUDUKAN AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA TERHADAP TANAH WARIS MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI (Studi Kasus Terhadap Ahli Waris Berpindah Agama Dari Hindu ke Kristen Di Desa Pekraman Kesiman)” tepat pada waktunya. Adapun skripsi ini adalah tugas akhir yang sekaligus merupakan prasyarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan moral dari berbagai pihak, baik yang berupa materiil maupun moril. Untuk itu melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana ; 2. Bapak I Ketut Sudiartha, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana ; 3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana ; 4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana ; 5 6 5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ; 6. Ibu Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi, SH, MH. Pembimbing I yang dengan kesabarannya memberikan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini ; 7. Bapak Marwanto, SH. M.Hum.., Pembimbing II yang dengan kesabarannya memberikan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini ; 8. Bapak I Ketut Markeling, S.H., M.H., Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak mengarahkan dalam penyusunan mata kuliah selama mengikuti perkulihan di Fakultas Hukum Universitas Udayana ; 9. Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama masa Studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 10. Bapak/Ibu Pegawai Tata Usaha, Laboratorium, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam hal administrasi selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan skripsi ini ; 11. Almarhum Orang tua tercinta beserta seluruh keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan baik moral maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Para Sahabat, I Wyn Adi Purnama Sriada SH, M.Kn, Agus Darma Putra SH, Bagus Jaya Winangun, I Wayan Nekayasa ST, Anak Agung Krisna 6 7 Putra SH, Ketut Adi Saputra, Manik Yogiartha SH, yang selalu memberikan dukungan moril untuk segera menyelesaikan skripsi ini ; Semoga segala kebaikan dan jasa yang telah diberikan mendapatkan imbalan yang sepantasnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Menyadari kelemahankelemahan dan keterbatasan penulis, tentu yang tersaji dalam karya tulis ini banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik, saran, dan pendapat yang sifatnya konstruktif sangat diperlukan guna kesempurnaan dari skripsi ini. Om Shanti, Shanti, Shanti Om. Denpasar, November 2014 Penulis 7 8 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN HALAMAN SAMPUL DALAM .................................................................... i HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM............................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ............................ KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... ..................................................................................................................... v DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ..................................................................................................................... viii ..................................................................................................................... SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................................................................... ..................................................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN 1 8 iv 9 1. Latar Belakang 1 2. Rumusan Masalah 6 3. Ruang Lingkup Masalah 6 4. Tujuan Penelitian 7 1.4.1 Tujuan Umum 7 1.4.2 Tujuan Khusus 7 5. Manfaat Penelitian 8 1.5.1 Manfaat Teoritis 8 1.5.2 Manfaat Praktis 8 6. Orisinalitas Penelitian 9 7. Definisi Variabel 11 9 Penelitian 10 1.8 Landasan Teori 11 1.9 Metode Penelitian 15 1.9.1 Jenis Penelitian 16 1.9.2 Jenis Pendekatan 17 1.9.3 Sifat Penelitian 17 1.9.4 Data dan Sumber data 18 1.9.5 Teknik Pengumpulan Data 19 1.9.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian 19 1.9.7 Pengolahan dan Analisis Data 20 BAB II TINJUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT BALI 21 10 11 2.1 Pengertian Hukum Waris Adat 21 2.1.1 Pengertian Hukum Waris Adat Bali Menurut Para Ahli 22 2.2 Pengertian Hukum Keluarga 23 2.2.1 Pengertian Hukum Keluarga Secara Umum di Bali 24 2.3 Prinsip Keturunan Dalam Hukum Keluarga ............................................................................. ............................................................................. 25 2.3.1 Prinsip Keturunan Dalam Hukum Keluarga di Bali 26 11 12 2.4 Unsur Pewarisan Dalam Hukum Adat Bali 28 2.5 Syarat-Syarat Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum Waris Adat Bali ........................................................................................ ........................................................................................ 32 2.6 Cara Pembagian Harta Warisan ............................................................................. ............................................................................. 30 BAB III STATUS HUKUM AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA 37 3.1 Ahli Waris Berpindah Agama Tidak Lagi Berstatus Sebagai Ahli Waris ........................................................................................ ........................................................................................ 38 3.2 Hubungan Antara Hukum Waris Perdata dengan Hukum Waris Adat ........................................................................................ 12 13 ........................................................................................ 38 3.3 Hubungan Antara Hukum Kekeluargaan, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris Adat ........................................................................................ ........................................................................................ 39 3.4 Hak dan Kewajiban Ahli Waris Berpindah Agama Terhadap Pewaris, Keluarga dan Masyarakat ........................................................................................ ........................................................................................ 42 3.5 Terputusnya Hubungan Kekeluargaan Antara Pewaris dengan Ahli Waris Berpindah Agama ........................................................................................ ........................................................................................ 45 3.6 Hilangnya Hak Mewaris ........................................................................................ ........................................................................................ 50 BAB IV HAK AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA MENERIMA TANAH DI LUAR WARISAN 13 DARI PEWARIS 14 52 4.1 Faktor Pendukung Ahli Waris Berpindah Agama Masih Boleh Menerima Tanah Pemberian Orang Tuanya ........................................................................................ ........................................................................................ 52 4.2 Sumber Harta Warisan yang Tidak Boleh Diwariskan Kepada Ahli Waris Berpindah Agama ........................................................................................ ........................................................................................ 53 4.3 Sumber Harta Warisan yang Boleh Diwariskan Kepada Ahli Waris Berpindah Agama ........................................................................................ ........................................................................................ 54 4.4 Hibah Menurut Hukum Waris Adat Bali ........................................................................................ ........................................................................................ 55 4.5 Tujuan Pemberian Hibah Berupa Tanah Menurut Hukum Waris 14 Adat Bali 15 ........................................................................................ ........................................................................................ 56 BAB V PENUTUP ........................................................................................ ........................................................................................ 58 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ ........................................................................................ 58 5.2 Saran ........................................................................................ ........................................................................................ 58 DAFTAR BACAAN LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RESPONDEN DAFTAR INFORMAN 15 16 SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah / Penulisan Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila Karya Ilmiah / Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku. Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga. Denpasar, Nopember 2014 Yang menyatakan, (I Made Risky Putra Jaya Ardhana) NIM. 0903005155 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 telah dinyatakan bahwa tujuan dari pembangunan adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pembangunan di Indonesia tidak hanya mencakup pembangunan fisik tetapi juga pembangunan spiritual yang dilaksanakan secara gigih, tekun dan ulet. Negara telah memberikan kebebasan bagi setiap warganegaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing seperti yang tercantum dalam sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa serta dipertegas dalam pasal 29 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Oleh karenanya tidak ada pilihan lain bagi Bangsa Indonesia di dalam mengejar dan mencapai tujuannya itu dengan melaksanakan pembangunan nasional secara gigih, tekun dan ulet serta dilaksanakan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun spiritual. Selain itu, Negara juga membantu dalam memfasilitasi pembangunan spiritual masyarakatnya dengan cara menyediakan sarana persembahyangan bagi masing-masing umat beragama, antara lain Pura bagi umat Hindu, pembangunan Gereja bagi umat Kristen Protestan dan Katolik, Masjid bagi umat Islam dan pembangunan Wihara bagi umat Budha. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam Bab II angka I Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR No. II/MPR/1978) yaitu : “Kebebasan agama adalah salah satu hak yang paling asasi diantara hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau pemberian golongan.”1 Dalam kenyataan, kebebasan beragama juga dapat menimbulkan permasalahan antara lain terjadinya peralihan agama dari satu agama ke agama lain yang diyakini, sehingga terkadang dalam suatu keluarga terjadi perbedaan agama yang dianut. Adanya perbedaan ini kemungkinan besar berpengaruh kepada sistem pembagian warisan dimana sebagian besar masyarakat di Indonesia masih menganut sistem patrilineal atau sistem pembagian warisan dari garis keturunan laki-laki. Para ahli berpendapat hukum adat waris masih dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. V. E. Korn dalam perspektif hukum adat Bali menyatakan bahwa hukum pewarisan adalah bagian paling sulit dari hukum adat Bali dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah hukum Bali (Desa Kala Patra), baik mengenaibanyaknya barang-barang yang boleh diwariskan atau mengenai 1I Gede Pudja. 1982. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran 1 Hindu Dharma. Cet. IV. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama RI. h. 68. banyaknyabagian masing-masing ahli waris, maupun mengenai putusan-putusan pengadilan adat.2 Perkembangan hukum adat waris dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai pembawa perubahan dan perkembangan hukum adatnya, salah satunya adalah faktor agama. I Gusti Ketut Sutha menyatakan bahwa : “Dalam lapangan hukum waris juga dipengaruhi oleh faktor agama yaitu dalam pembagian yang erat hubungannya dengan masalah pengabenan (kematian) dan harta warisan yang diperuntukkan untuk tujuan keagamaan.”3 Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang kearah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat itu meninggal dunia. Seorang manusia selaku anggota masyarakat, selama masih hidup mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang anggota lain dari masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat rakyat itu. Dengan lain perkataan, ada berbagai perhubungan hukum antara seorang manusia itu disuatu pihak dan dunia luar disekitarnya dilain pihak sedemikian rupa bahwa ada saling mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Ketika seorang manusia itu meninggal dunia, apakah yang terjadi dengan hubungan-hubungan hukum tadi? Tidak cukup dikatakan, bahwa perhubunganperhubungan hukum itu lenyap seketika itu. Oleh karena itu biasanya pihak yang 2Gede Penetje. 2004. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. CV. Kayumas Agung. 2 Denpasar. h 101. (selanjutya disebut Gede Penetje I) 3I Gusti Ketut Sutha. 1987. Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat. Liberty. 3 Yogyakarta. h. 105 ditinggalkan oleh pihak yang lenyap itu, tidak merupakan seorang manusia saja atau sebuah barang saja, dan juga oleh karena hidupnya seorang manusia yang meninggal dunia itu berpengaruh langsung pada kepentingan-kepentingan beraneka warna dari berbagai orang anggota lain dari masyarakat dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup seorang itu membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian oleh orang lain. Maka dari itu, pada setiap masyarakat dibutuhkan suatu peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara kepentingan dalam masyarakat itu diselamatkan. Jika beralih agama dihubungkan dengan hukum adat waris khususnya mengenai harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, maka akan timbul berbagai pendapat diantara para sarjana. Salah satu pihak mengatakan bahwa perpindahan agama tidak mengakibatkan hilangnya bagian dari ahli waris sedangkan pihak lain berpendapat sebaliknya. Peralihan agama dalam hal ini dari agama Hindu ke agama Kristen, dapat menimbulkan perbedaan dalam pembagian warisan. Hal tersebut berkaitan dengan konsep Desa Kala Patra sehingga memungkinkan ahli waris bisa tetap mendapatkan kewarisannya, dikarenakan kebijaksanaan yang diberikan oleh orang tua kepada anak ataupun karena perbedaan adat dalam wilayah hukum Bali, sedangkan di sisi lain peralihan agama menyebabkan hilangnya hak mewaris oleh ahli waris. Walaupun secara tegas telah dijamin oleh Pancasila dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, tetapi jika beralih agama ini dihubungkan dengan hukum adat waris di Bali dimana yang diwariskan adalah harta yang berwujud benda dan harta yang tidak berwujud benda yaitu berupa kewajiban-kewajiban yang bersifat immaterial, yang kesemuanya dibebankan kepada ahli warisnya. Dari hal tersebut diatas akan menimbulkan persoalan dari keturunan yang seharusnya sebagai ahli waris tetapi karena beralih agama maka perlu dipertanyakan apakah ahli waris beralih agama masih mempunyai hak dan kewajiban sebagai ahli waris sebagaimana sebelum ahli waris tersebut berpindah agama. Maka berdasarkan uraian diatas kami tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kedudukan ahli waris yang berpindah agama terhadap harta warisan orang tuanya menurut hukum perjanjian, hukum waris dan fenomena adanya perpindahan agama dimana fenomena tersebut berkaitan dengan hak atas tanah waris individu yang melakukan perpindahan agama tersebut. Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, melatar belakangi penulisan skripsi ini dengan mengangkat judul “Kedudukan Ahli Waris Berpindah Agama Terhadap Tanah Waris Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi Kasus Terhadap Ahli Waris Berpindah Agama Di Desa Pekraman Kesiman).” 1.2. Rumusan Masalah Dengan bertitik tolak pada latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya diteliti dan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut: 1) Bagaimanakah kedudukan ahli waris yang berpindah agama dari Hindu ke Kristen menurut hukum waris adat Bali? 2) Apakah ahli waris berpindah agama dari Hindu ke Kristen masih boleh menerima suatu pemberian berupa tanah dari orang tuanya? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan ilmiah menentukan ruang lingkup masalah merupakan hal yang sangat penting, agar permasalahan yang dibahas jelas dan terfokus pada hal tertentu. Ruang lingkup juga dibutuhkan untuk menjamin adanya keutuhan dan ketegasan serta mencegah kekaburan permasalahan. Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks dan keluar jalur, serta agar penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam, maka diperlukan suatu pembahasan masalah. Untuk memudahkan dalam penyusunan dan pencarian data serta menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan dalam penulisan, maka ruang lingkup yang akan dibahas adalah mengenai : 1) Kedudukan ahli waris berpindah agama dari Hindu ke Kristen berdasarkan hukum waris adat Bali. 2) Kedudukan ahli waris berpindah agama dari Hindu ke Kristen dalam kaitannya dengan penerimaan suatu pemberian berupa tanah dari orang tuanya. 1.4 Tujuan Penelitian Dalam membahas mengenai sesuatu masalah ataupun objek tertentu mempunyai tujuan-tujuan yang sesuai dengan apa yang menjadi objek penyusunan skripsi tersebut. Adapun tujuan disusunnya skripsi ini secara garis besarnya dapat diperinci sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui dan memahami secara lebih dalam tentang kedudukan ahli waris berpindah agama terhadap hak atas tanah waris di Desa Pekraman Kesiman. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris berpindah agama dari Hindu ke Kristen menurut hukum waris adat Bali 2. Untuk mengetahui apakah ahli waris berpindah agama dari Hindu ke Kristen masih boleh menerima suatu pemberian berupa tanah dari orang tuanya. 1.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 5.1. Manfaat Teoritis 1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan ahli waris yang berpindah agama, serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan. 2. Untuk mendalami dan mempraktekkan teori-teori yang telah diperoleh selama menjalani proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 5.2. Manfaat Praktis 1. Bagi pihak-pihak yang mempunyai kasus yang sama yaitu ahli waris berpindah agama skripsi ini dapat digunakan sebagai perbandingan dalam membuat suatu perjanjian. 2. Bagi hakim dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat keputusan bilamana ditemukan kasus yang menyerupai permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. 3. Bagi pengacara dapat digunakan sebagai bahan pembelaan bilamana mendapat kasus yang menyerupai permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. 4. Bagi aparat desa dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat perjanjian bilamana mendapati warga yang berpindah agama. 1.6 Orisinalitas Penelitian Adapun penelitian terdahulu yang digunakan adalah sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini yaitu Kedudukan Ahli Waris Berpindah Agama Terhadap Harta Warisan Orang Tua yang Terjadi di Desa Panjer yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Bayu Krisna, (2007) yang digunakan untuk memenuhi syarat kelulusan Program Studi Kenotariatan pembedanya adalah: Universitas Diponegoro. Adapun indikator 1. Tempat penelitian yang digunakan oleh peneliti sebelumnya adalah di Desa Pekraman Panjer sedangkan Penelitian ini mengambil tempat di Desa Pekraman Kesiman. 2. Tahun penelitian sebelumnya adalah pada tahun 2007 dan tahun penelitian ini adalah pada tahun 2013. 3. Permasalahan yang membedakan adalah bila penelitian sebelumnya hanya tentang kedudukan ahli waris berpindah agama terhadap harta warisan orang tua sedangkan penelitian ini adalah tentang kedudukan ahli waris berpindah agama terhadap hak atas tanah waris yang dimiliki oleh orang tuanya dimana penelitian sebelumnya lebih abstrak sedangkan penelitian ini lebih spesifik tentang hak atas tanah waris. Contoh Orisinalitas penelitian : 1. Dimana peneliti sebelumnya memuat rumusan masalah tentang apakah ahli waris berpindah agama dapat mewaris dalam hukum adat Bali, dikarenakan peneliti sebelumnya membuat penelitian apakah seseorang yang berpindah agama dapat mewaris atau tidak ditinjau dari Hukum Adat Bali, sedangkan dalam penelitian ini ahli waris berpindah agama masih dapat atau tidak mewaris ditinjau dari hukum perdata mengingat hukum waris berada ditengah-tengah antara hukum adat, hukum keluarga dan hukum perdata. Selain itu, dasar penelitian ini untuk melindungi hak-hak waris seseorang yang berpindah agama, karena perpindahan agama seseorang tidak bisa mencabut hak keperdataan seseorang terhadap warisannya karena ahli waris berpindah agama masih tetap memiliki hubungan darah dengan pewaris. 2. Dimana peneliti sebelumnya membuat rumusan masalah tentang hak mewaris seseorang yang berpindah agama, dimana hasil penelitian sebelumnya sangat abstrak mengingat warisan yang diwariskan bisa berasal dari harta gono gini, warisan turun temurun dll dalam penelitian ini peneliti membuat penelitian yang lebih spesifik dimana adanya suatu perjanjian keperdataan antara ahli waris yang berpindah agama dan pewaris untuk memberikan sebuah kedudukan dan hak atas tanah waris, dimana sudah sangat jelas yang diteliti ini adalah hak atas tanah waris. Peneliti membuat penelitian ini lebih spesifik mengingat fakta yang terjadi dimasyarakat yang sering menjadi kasus adalah warisan mengenai tanah dikarenakan tanah biasanya merupakan warisan turun temurun dan bilamana terjadi perpindahan agama seorang ahli waris maka hal itu harus dibuat suatu perjanjian. 1.7 Definisi Operasional Variabel Penelitian - Waris adalah peralihan harta kekayaan maupun hutang piutang yang ditinggalkan seseorang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. - Ahli Waris adalah yang berhak menerima warisan yaitu para keluarga sedarah, baik sah maupun diluar kawin, dan suami istri (ab intestato) dan ataupun yang ditunjuk karena surat wasiat (testameinteir). - Perpindahan agama adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perpindahan agama dimana dikarenakan karena banyak hal seperti perkawinan ataupun yang lainnya. - Kedudukan adalah suatu posisi dimana seseorang mendapatkan hak setelah menunaikan kewajibannya ataupun telah melewati suatu proses tertentu. - Tanah Waris adalah tanah yang mengalami peralihan kepemilikan / pewarisan dari pewaris terhadap ahli warisnya. 1.8 Landasan Teori Pengertian hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kedudukan hukum harta kekayaan atau yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia. Hilman Hadikusuma memberikan pengertian hukum waris adalah hukum yang memuat ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum tentang warisan, pewaris dan cara-cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.4 Hukum waris adat menurut R. Soepomo adalah memuat peraturanperaturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan harta benda dan barang-barang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia pada turunannya.5 Hukum waris adat memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud ataupun tidak berwujud) dari 4Hilman Hadikusuma. 1980. Pokok Pokok Pengertian Hukum Adat. Bandung: Alumni. 4 h.67 (selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma I 5R. Soepomo. 1986. Bab Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. h.35 5 (selanjutnya disebut R. Soepomo I) pewaris kepada ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Sedangkan pengertian hukum waris adat Bali menurut Ayu Putu Nantri adalah suatu proses penerusan dari pewaris kepada ahli waris tentang barangbarang materiil maupun barang-barang immateriil yang mana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut penerusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.6 Hubungan hukum antara individu sebagai warga adat dalam kekerabatan meliputi hubungan hukum antara orang tua dengan anak, antara anak dengan anggota keluarga pihak bapak dan ibu serta tanggungjawab mereka secara timbal balik dengan keluarga. Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia terdapat keanekaragaman sifat sistem kekeluargaan yang dianut. Sistem kekeluargaan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu : 1. Sistem kekeluargaan patrilinial 2. Sistem kekeluargaan matrilinial 3. Sistem kekeluargaan parental atau bilateral Dalam sistem kekeluargaan patrilineal dalam suatu masyarakat hukum adat, dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak terus keatas sehingga kemudian dijumpai seorang lakilaki sebagai moyang. Adapun daerah di Indonesia yang menganut sistem ini antara lain Batak, Bali, Seram, Nias dan Ambon. 6Ayu Putu Nantri. 1982. Kedudukan Ahli Waris Yang Beralih Agama Menurut Hukum Adat 6 Waris di Kabupaten Badung. Laporan Penelitian. Denpasar h. 34 (selanjutnya disebut R. Soepomo I) Sistem kekeluargaan matrilinial yaitu sistem dimana para anggotanya menarik garis keatas melalui ibu, ibu dari ibu terus keatas sehingga kemudian dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Contoh daerah yang menganut sistem matrilinial di Indonesia adalah Minangkabau dan Enggano. Pada sistem kekeluargaan parental atau bilateral yakni suatu sistem dimana para anggotanya menarik garis keturunan keatas melalui garis bapak dan ibu, terus keatas sehingga kemudian dijumpai seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai moyangnya. Sistem ini dapat ditemui pada daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Aceh, Sulawesi dan Kalimantan. Pada masyarakat adat Bali umumnya anak laki-laki mempunyai kedudukan lebih utama karena semua kewajiban dari orang tuanya akan beralih pada anaknya dan anak laki-laki itu akan mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Namun hal tersebut tidak berarti hubungan si anak dengan keluarga ibu tidak ada artinya sama sekali. Berlangsungnya proses pewarisan harus memenuhi tiga unsur menurut hukum adat yaitu : 1. Pewaris 2. Harta warisan 3. Ahli waris Pewaris adalah orang-orang yang mempunyai harta peninggalan selagi ia masih hidup atau sudah wafat, yang mana harta peninggalan tersebut akan diteruskan pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi atau terbagi-bagi. Harta warisan adalah suatu peninggalan yang berupa harta benda yang dimiliki oleh seseorang setelah pewaris meninggal dunia. Ahli waris adalah orangorang yang berhak mewaris dimana orang tersebut berhak untuk meneruskan penguasaan dan pemilikan harta warisan atau berhak memiliki bagian yang telah ditentukan dalam pembagian harta warisan diantara ahli waris tersebut. Dalam hukum adat waris, anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting dibandingkan dengan golongan ahli waris pengganti lainnya, karena apabila si peninggal harta warisan meninggalkan anak maka anaknya itulah sebagai ahli waris utama. Secara umum terdapat empat golongan hak mewaris menurut undang-undang yaitu : 1. Golongan pertama yaitu anak-anak beserta keturunan dalam garis lancang ke bawah dengan tidak membedakan urutan kelahiran. 2. Golongan kedua yaitu orang tua dan saudara dari si pewaris. 3. Golongan ketiga yaitu ahli waris dimana sama sekali tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama maupun golongan kedua. 4. Golongan keempat yaitu ahli waris dari harta yang ditinggalkan apabila tidak terdapat golongan pertama, kedua maupun ketiga. Pada penganut susunan kekeluargaan patrilinial, syarat yang harus dipenuhi sebagai ahli waris adalah : 1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri. 2. Anak itu harus laki-laki. 3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat. 4. Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat. Dari persyaratan tersebut jelaslah bahwa anak laki-laki lebih diutamakan sebagai ahli waris. Jika tidak ada anak laki-laki maupun anak angkat maka dimungkinkan adanya penggantian ahli waris. 1.9 Metode Penelitian 1.9.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris. Dimana dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati didalam kehidupan nyata. Dalam konteks ini hukum tidak semata-semata dikonsepkan sebagai suatu gejala normatif yang otonom, sebagai ius constisuendum (law as what ought to be), dan tidak semata-semata sebagai iusconstitutum (law as what it’s in the book), akan tetapi secara empiris sebagai ius operatum (law as what it’s in society). Hukum sebagai ”law as what it’s in society”, hukum sebagai gejala sosio empirik dapat dipelajari di satu sisi sebagai independent variable yang menimbulkan efek-efek pada berbagai kehidupan sosial, dan di lain sisi sebagai suatu dependent variable yang muncul sebagai akibat berbagai ragam kekuatan dalam proses sosial (studi mengenai law in process). Pada intinya, penelitian hukum empiris berbeda dengan penelitian sosial pada umumnya yang berobyek hukum (misalnya seorang sosiolog yang sedang meneliti hukum). Perbedaan tersebut dapat dicermati dari karakteristik data yang digunakan. Dalam penelitian hukum empiris digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian hukum empiris merupakan bahan hukum. Data sekunder tersebut diatas digunakan sebagai data awal dan kemudian secara terus-menerus digunakan dengan data primer. Setelah data primer diperoleh dari penelitian di lapangan, kedua data tersebut digabung, ditelaah dan dianalisis. 1.9.2. Jenis Pendekatan Dalam penulisian skripsi ini menggunakan 3 jenis pendekatan yaitu : a. Pendekatan Kasus (The Case Approach) b. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) c. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) 1.9.3. Sifat Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak menggunakan hipotesis karena teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin serta laporan penelitian terdahulu cukup memadai. 1.9.4. Data dan Sumber Data a. Data Primer Untuk mendapatkan data primer dilakukan penelitian di Kecamatan Denpasar Timur Desa Kesiman tepatnya di Banjar Kebonkuri Tengah atas nama warga, Ir. Ngakan Sang Made Jati Mancika. Adapun pertimbangan melakukan penelitian ditempat tersebut adalah: 1. Ir Ngakan Sang Made Jati Mancika melakukan perkawinan perpindahan agama dari Hindu ke Kristen. 2. Akses untuk mendapatkan data penelitian lebih mudah dikarenakan ahli tersebut adalah merupakan seorang sarjana . b. Data Sekunder Bahan hukum primer meliputi KUHPerdata, bahan-bahan kepustakan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar.Selain itu dilakukan pula penelitian lapangan yang dilakukan untuk menunjang data primer. 1.9.5.Teknik Pengumpulan Data a. Teknik pengumpulan data primer Teknik pengumpulan data primer adalah dengan melakukan wawancara, karena wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penulisan hukum empiris. Wawancara ini bukan sekedar bertanya pada seseorang , melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada informan. Agar hasil wawancara nanti memiliki nilai validitas dan realibitas, dalam berwawancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide. Melalui hasil wawancara yang dilakukan dengan Ir Sang Made Jati Mancika yang melakukan pernikahan sehingga mengalami perpindahan agama b. Teknik pengumpulan data sekunder Teknik pengumpulan data sekunder yang digunakan adalah dengan mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sehubungan dengan permasalahan, yang diharapkan bisa menjawab permasalahan yang ada. 1.9.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel penelitian ini bersifat non probability sampling yang dipilih penulis menggunakan bentuk snowball sampling dimana sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh si peneliti yaitu dengan mencari key informan (informan kunci). Dimana informan kunci ini terlibat dan mengalami langsung dalam penelitian ini sehingga membanttu penulis dalam meneliti permasalahan yang ada dalam penelitian ini dimana yang dimaksud penulis adalah Dewa Nyoman Putra yang melakukan perpindahan agama. 1.9.7. Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini penulis mendapat jawaban-jawaban dari narasumber yang selanjutnya oleh penulis dikaitkan dengan teori-teori ilmu hukum yang didapat dari dosen pembimbing dan selanjutnya dirumuskan oleh penulis menjadi jawaban-jawaban yang memecahkan rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT BALI 2.1 Pengertian Hukum Waris Adat Secara umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-Undang hukum perdata dapat dirumuskan sebagai berikut: Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga. Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garisgaris ketentuan tentang sistem dan azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Adapun pendapat para ahli hukum adat tentang hukum waris adat adalah sebagai berikut: R. Soepomo berpendapat bahwa hukum waris adat memuat peraturanperaturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) pada turunannya.7Sedangkan menurut Ter Haar Bzn seperti dikutip oleh Soebakti Poesponoto menyatakan 77 R. Soepomo I Op Cit h. 135 bahwahukum waris adat merupakan aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materieel dan immaterieel dari turunan ke turunan.8 Hukum waris adat memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. 2.1.1 Pengertian Hukum Waris Adat Bali Menurut Para Ahli Pengertian Hukum Waris Adat Bali menurut Korn mengatakan dalam bukunya Panetje hukum pewarisan adalah bagian yang paling sulit dari hukum adat di Bali. Hal ini karena perbedaan-perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah Hukum Bali, baik mengenai banyaknya barang-barang yang boleh diwariskan atau mengenai banyaknya bagian masing-masing ahli waris, maupun mengenai putusan-putusan pengadilan adat9. Paswara Residen Bali dan Lombok tahun 1900, mengenai pewarisan menentukan bahwa harta warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan pewaris yang telah dipotong hutangnya, termasuk juga hutang yang dibuat untuk ongkos menyelenggarakan pewaris.Pembagian harta warisan dibagi antara ahli waris 8Ter Haar Bzn. 1985.Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti 8 Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita h. 90 99 I Gede Panetje I Op. Cit h. 88 sama rata, sedangkan untuk kepentingan biaya puri atau merajan dan kepentingan adat lainnya mereka keluarkan sama rata juga. Sedangkan pengertian hukum waris adat Bali menurut Ayu Putu Nantri adalah suatu proses penerusan dari pewaris kepada ahli waris tentang barangbarang materiil maupun barang-barang immateriil yang mana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut penerusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.10 Proses penerusan ini dilakukan oleh pewaris kepada ahli warisnya, dimana penerusan atau pengalihan atas harta yang berwujud benda dan tidak berwujud benda, yang kesemuanya itu menyangkut hak dan kewajiban berupa kewajiban keagamaan. Dengan pengertian yang telah disebutkan di atas, maka dapatlah dikemukakan bahwa hukum waris adat itu mengandung beberapa unsur yaitu : 1. Hukum waris adat adalah merupakan aturan hukum 2. Aturan hukum tersebut mengandung proses penerusan harta warisan 3. Harta warisan yang diperoleh atau diteruskan dapat berupa harta benda yangberwujud dan yang tak berwujud 4. Penerusan atau pengoperan harta warisan ini berlangsung antara satu generasi atau pewaris kepada generasi berikutnya atau ahli waris 2.2 Pengertian Hukum Keluarga Belum adanya keseragaman tentang istilah hukum kekeluargaan membuat para ahli memiliki definisi masing-masing. Hilman Hadikusuma menggunakan 1 10 Ayu Putu Nantri I. Op. Cit h. 60 istilah hukum kekerabatan yakni hukum yang menunjukkan hubungan-hubungan hukum dalam ikatan kekerabatan termasuk kegudukan orang seorang sebagai anggota warga kerabat atau warga adat kekerabatan.11 Sedangkan menurut Djaren Saragih hukum kekeluargaan adalah kumpulan kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hokum yang ditimbulkan oleh hubungan biologis.12 Hubungan-hubungan hukum antara orang seorang sebagai warga adat dalam ikatan kekerabatan meliputi hubungan hukum antara orang tua dengan anak, antaraanak dengan anggota keluarga pihak bapak dan ibu serta tanggung jawab merekasecara timbal balik dengan orang tua dan keluarga. 2.2.1. Pengertian Hukum Keluarga Secara Umum di Bali Hukum Keluarga di Bali lebih dikenal dengan sistem kepurusa sama dengan sistem kekeluargaan yang dianut dalam kitab Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab Hukum Hindu13. Hal ini tidak terlepas dari agama yang dianut mayoritas penduduk masyarakat Bali. Sistem kekeluargaan ini dalam ilmu hukum disebut sistem kekeluargaan patrilineal, sistem kekeluargaan ini dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba dan beberapa daerah lainnya. demikian juga halnya dalam pewarisan ternyata prinsip-prinsip pewarisan hampir serupa dengan ketentuan kitab Manawa Dharmasastra, hanya saja sedikit terjadi 1 11 Hilman Hadikusuma. Op. cit. h. 140 1 12 Djaren Saragih. 1984. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Tarsito 13Wayan P. Windya. 2006. Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan 1 Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 25 penyimpangan, dimana dalam Hukum Hindu perempuan mendapat seperempat, sedangkan di Bali perempuan tidak mendapat warisan. Menurut Gde Penetje hukum kekeluargaan di Bali adalah berdasarkan patriarchaat yakni hubungan seorang anak dengan keluarga (clan) bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan keluarganya.14 Hubungan seorang anak dengan keluarga bapaknya adalah paling penting dalam kehidupannya, keluarga dari pihak laki-laki ini harus mendapat dahulu daripada keluarga dari pihak perempuan. Tetapi disini bukan berarti hubungan si anak dengan keluarga ibu tidak ada artinya sama sekali. 2.3 Prinsip Keturunan Dalam Hukum Kekeluargaan Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia terdapat keanekaragaman sifat sistem kekeluargaan yang dianut. Sistem kekeluargaan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu : 1. Sistem kekeluargaan patrilinial 2. Sistem kekeluargaan matrilinial 3. Sistem kekeluargaan parental atau bilateral. Dalam sistem kekeluargaan patrilineal pada suatu masyarakat hukum adat, para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak terus keatas sehingga kemudian dijumpai seorang laki-laki sebagai moyang. Adapun daerah di Indonesia yang menganut sistem ini antara lain Batak, Bali, Seram, Nias dan Ambon. 1 14 Gde Penetje I Op. Cit. h. 23 Sistem kekeluargaan matrilinial yaitu sistem dimana para anggotanya menarik garis keatas melalui ibu, ibu dari ibu terus ke atas sehingga kemudian dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Contoh daerah yang menganut sistem matrilinial di Indonesia adalah Minangkabau dan Enggano. Pada sistem kekeluargaan parental atau bilateral yakni suatu sistem dimana para anggotanya menarik garis keturunan keatas melalui garis bapak dan ibu, terus keatas sehingga kemudian dijumpai seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai moyangnya. Sistem ini dapat ditemui pada daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Aceh, Sulawesi dan Kalimantan. 2.3.1. Prinsip Keturunan Dalam Hukum Keluarga di Bali Pada masyarakat adat Bali umumnya anak laki-laki mempunyai kedudukan lebih utama karena semua kewajiban dari orang tuanya akan beralih pada anaknya dan anak laki-laki itu akan mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan pewaris.Namun, apabila diamati dalam kehidupan masyarakat adat di Bali ternyata tidaksemua masyarakatnya menganut susunan kekeluargaan patrilinial. Hal ini dibuktikan oleh Soeripto bahwa di desa Tenganan Pegringsingan menganut susunan kekeluargaan parental dimana susunan kekeluargaan ini sama dengan yang dianut oleh masyarakat di Jawa.15 Hal yang diuraikan di atas membuktikan bahwa dalam wilayah hukum Bali belum tentu memiliki adat istiadat yang sama. Hal ini disebabkan oleh 15Soeripto. 1983. Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Waris. Fakultas Hukum Universitas 1 Negeri Jember. h 45. perkembangan dalam penyesuaian kehidupan masyarakat sehari-haridalam mengikuti perubahan kebutuhan perkembangan jaman. Prinsip warisan dalam hukum adat Bali memiliki beda makna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang selalu merupakan hak dan bersifat materiil atau memiliki nilai uang. Di Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil maupun inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa: 1) Kewajiban terhadap Desa Adat 2) Kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya 3) Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga, orang tua maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis. 4) Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat 5) Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang. 6) Memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudari-saudari yang menjadi tanggungjawabnya. Dari 6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban dan hanya satu hak mewaris harta kekayaan. Akan sangat beruntung anak laki-laki bila orang tua kaya, tetapi lebih banyak yang apes/tidak beruntung bila hidup mereka pas-pasan dan bahkan bila sangat miskin seperti itu, tanggungjawab tetap harus dipikulnya. 2.4 Unsur Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat Bali Berlangsungnya proses pewarisan harus memenuhi tiga unsur yaitu: 1. Pewaris 2. Harta warisan 3. Ahli waris Pengertian pewaris menurut Hilman Hadikusuma adalah orang yang mempunyai harta peninggalan selagi ia masih hidup atau sudah wafat dimana harta peninggalannya akan diteruskan penguasaan atau pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi atau terbagi-bagi.16 Sedangkan pewaris menurut Cokorda Istri Putra Astiti dkk adalah orang ketika meninggalnya meninggalkan harta warisan atau harta peninggalan yang akan beralih atau diteruskan kepada ahli warisnya.17 Dengan kata lain pewarisadalah orang yang akan meninggalkan harta warisan di kemudian hari. Pada masyarakat adat Bali, umumnya yang dipandang sebagai pewaris adalah laki-laki yang telah meninggal dunia. Dengan demikian persoalan pewarisan baru akan muncul dalam satu keluarga apabila si bapak yang meninggal dunia sedangkan jika si ibu yang meninggal dunia tidaklah timbul persoalan pewarisan karena selama bapak masih hidup kekuasaan atas harta kekayaan 16Hilman Hadikusuma. 1991. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan, 1 Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. h 29. (selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma II) 17Cokorda Istri Putra Astiti, I Wayan Beni, Ni Nyoman Sukerti. 1984. Hukum Adat Dua 1 (Bagian Dua). Denpasar: Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana. h. 23 keluarga ada di tangannya. Hal inisesuai dengan susunan kekeluargaan patrilinial yang umumnya dianut oleh masyarakat adat Bali. Pengertian harta warisan atau disebut juga harta peninggalan menurut Hilman Hadikusuma adalah semua harta berupa hak-hak dan kewajibankewajiban yang beralih penguasaan atau pemilikannya setelah pewaris meninggal dunia kepada ahliwaris.18 Wujud harta warisan menurut hukum waris adat di Bali adalah : 1. Harta pusaka yaitu merupakan harta warisan yang memiliki nilai magis religius. Jenis harta pusaka ini dibedakan menjadi dua yaitu : a. Harta pusaka yang tidak dapat dibagi-bagi ialah harta warisan yang mempunyai nilai magis religius. Contohnya berupa keris yang bertuah dan lain-lain. b. Harta pusaka yang dapat dibagi-bagi ialah harta warisan yang tidak mempunyai nilai magis religius. Harta ini dapat berupa sawah, ladang dan lain-lain. 2. Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh mempelai wanita maupun pria ke dalam perkawinan. Adapun sifat dari harta bawaan ini adalah : a. Tetap menjadi hak masing-masing (suami/istri) b. Setelah lampau beberapa waktu (3/5 tahun) menjadi milik bersama. 3. Harta perkawinan yaitu berupa harta yang diperoleh dalam perkawinan (guna kaya). 1 Hilman Hadikusuma II. Op. Cit. h. 33. 18 4. Hak yang didapat dari masyarakat, contohnya adalah hak untuk mempergunakan kuburan. Dalam wujud harta warisan seperti tersebut di atas ada harta yang memang tidak dapat dibagi-bagikan karena penguasaan dan pemilikannya, sifat benda serta kegunaannya. Sehingga harta warisan itu dipelihara, digunakan dan menjadi milik bersama diantara para ahli warisnya dalam suatu keturunan. Pengertian ahli waris menurut Hilman Hadikusuma adalah orang-orang yang berhak mewarisi harta warisan.19 Hal ini berarti bahwa orang tersebut berhak untuk meneruskan penguasaan dan pemilikan harta warisan atau berhak memiliki bagian-bagian yang telah ditentukan dalam pembagian harta warisan diantara ahli waris tersebut. Ahli waris itu bisa anak, cucu, bapak, ibu, paman, kakek dan nenek. Pada dasarnya semua ahli waris berhak mewaris kecuali karena tingkah laku atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh ahli waris sangat merugikan si pewaris. Sedangkan yang disebut dengan ahli waris menurut hasil-hasil diskusi Hukum Waris Adat di Bali20 adalah : 1. Setiap laki-laki dalam hubungan purusa selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan 2. Setiap sentana rajeg selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan. 1 Hilman Hadikusuma II. Op. Cit. h .53. 19 20 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional. 1997. Kedudukan Wanita Dalam Hukum Waris 2 Menurut Hukum Adat Bali. Hasil-Hasil Diskusi Hukum Adat Waris di Bali. Sekretariat Panitia Diskusi Hukum Adat Waris di Denpasar. h. 57 Anak yang dikatakan sebagai ahli waris adalah anak kandung dan anak angkat. Anak kandung pada prinsipnya mempunyai hak penuh terhadap harta warisan orang tuanya. Anak kandung disini adalah anak kandung laki-laki yakni anak yang lahir dari perkawinan sah orang tuanya. Anak laki-laki itu berhak mewaris apabila : 1. Tidak melakukan perkawinan nyeburin 2. Melaksanakan dharmanya sebagai anak atau tidak durhaka terhadap orang tuadan leluhurnya. Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil laki. Sehingga anak perempuan tersebut dapat sebagai ahli waris dari harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum adat waris di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan. Sebagai penerus keturunan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara “pemerasan” dan diumumkan dihadapan masyarakat. Upacara pengangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya. Anak angkat di Bali mempunyai hak penuh sama seperti anak kandung terhadap harta warisan orang tuanya dan mempunyai kewajiban yang sama sebagaimana berlaku sebagai anak kandung sendiri. 2.5 Syarat - Syarat Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum Waris Adat Bali Dalam hukum waris adat Bali, anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting dibandingkan dengan golongan ahli waris pengganti lainnya, karena apabila si peninggal harta warisan meninggalkan anak maka anaknya itulah sebagai ahli waris utama. Dalam hukum adat waris, anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting dibandingkan dengan golongan ahli waris pengganti lainnya, karena apabila si peninggal harta warisan meninggalkan anak maka anaknya itulah sebagai ahli waris utama.Secara umum terdapat empat golongan hak mewaris menurut undang-undang yaitu : a. Golongan pertama yaitu anak-anak beserta keturunan dalam garis lancang ke bawah dengan tidak membedakan urutan kelahiran. b. Golongan kedua yaitu orang tua dan saudara dari si pewaris. c. Golongan ketiga yaitu ahli waris dimana sama sekali tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama maupun golongan kedua. d. Golongan keempat yaitu ahli waris dari harta yang ditinggalkan apabila tidak terdapat golongan pertama, kedua maupun ketiga. Pada penganut susunan kekeluargaan patrilinial, syarat yang harus dipenuhi sebagai ahli waris adalah :21 a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri. b. Anak itu harus laki-laki. 2 21 I Gde Pudja. Op. cit. h. 42 c. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat. d. Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat. Dari persyaratan tersebut jelaslah bahwa anak laki-laki lebih diutamakan sebagai ahli waris. Jika tidak ada anak laki-laki maupun anak angkat maka dimungkinkan adanya penggantian ahli waris. 2.6 Cara Pembagian Harta Warisan Cara pembagian harta warisan menurut hukum waris di Indonesia dibedakan menjadi tiga bagian yaitu :22 1. Sistem kewarisan individual yaitu sistem kewarisan dimana hartapeninggalan akan diwarisi bersama-sama dibagi-bagi kepada semua ahli waris (individual). Sistem ini dapat dilihat pada masyarakatbilateral di Jawa 2. Sistem kewarisan kolektif, dimana harta peninggalan akan diwarisisecara kolektif (bersama-sama) oleh sekumpulan ahli waris, dimanaharta warisan tersebut tidak akan dibagi-bagikan seperti pada sistemkewarisan individual. Pada sistem ini harta warisan akan dinikmatisecara bersamasama. Ahli waris hanya mempunyai hak pakai atauboleh menikmati saja 22IGN Sugangga. 2005. Diktat Hukum Waris Adat. Magister Kenotariatan Universitas 2 Diponegoro. h.8 dari harta warisan dan tidak mempunyai atautidak dapat memiliki harta warisan dan tidak mempunyai atau tidakdapat memiliki harta warisan tersebut. Hal seperti ini dapat dilihat pada pewarisan harta pusaka. 3. Sistem kewarisan mayorat yaitu sistem kewarisan dimana harta peninggalan secara keseluruhan atau sebagian besar akan diwarisi olehseorang ahli waris. Hal pada pewarisan terhadap karang desa pada masyarakat Bali seperti ini dapat dijumpai. Pada masyarakat adat Bali, umumnya menganut sistem kekeluargaan patrilinial, di dalam sistem kewarisannya menganut sistem kewarisan individual,dimana ahli waris akan mewarisi secara perorangan harta warisan berupa tanah,sawah dan ladang tersebut setelah orang tuanya wafat. Tetapi dalam kaitannya dengan kepemimpinan harta warisan oleh anak laki-laki tertua barulah sistem kewarisan mayorat sebab anak laki-laki tertua inilah yang akan menguasai hartawarisan dengan kewajiban mengasuh adik-adiknya sampai dewasa. Kemudian terhadap harta pusaka seperti keris bertuah, sanggah/merajan dan alat-alat persembahyangan adalah berlaku sistem kewarisan kolektif yakni ahli waris akan mewarisi harta warisan secara bersama-sama dan harta warisan tersebut tidak dibagikan diantara para ahli warisnya. Berdasarkan hal tersebut, maka sistem kewarisan yang dianut oleh masyarakat adat Balimenurut Cokorda Istri Putra Astiti adalah sistem kewarisan individual, kolektif danmayorat.23 2 Cokorda Istri Putra Astiti, I Wayan Beni, Ni Nyoman Sukerti. Op. Cit. h.51. 23 Ketiga sistem kewarisan tersebut dalam pembagian harta warisannya sering menimbulkan sengketa, dimana sengketa itu terjadi setelah pewaris meninggal dunia, tidak saja di kalangan masyarakat yang parental tetapi juga terjadi pada masyarakat patrilinial dan matrilinial. Dalam mencapai penyelesaian sengketa pembagian warisan pada umumnya masyarakat hukum adat menghendaki adanya penyelesaian yang rukun dan damai tidak saja terbatas pada para pihak yang berselisih tetapi juga termasuk semua anggota almarhum pewaris. Jalan penyelesaian atau cara pembagian harta warisan menurut Hilman Hadikusuma adalah : “Dapat ditempuh dengan cara bermusyawarah, baik musyawarah terbatas dalam lingkungan anggota keluarga sendiri yakni antara anak-anak pewaris yang sebagai ahli waris, atau dapat juga dengan musyawarah keluarga. Jika perselisihan pembagian itu tak juga dapat diselesaikan maka dipandang perlu dimusyawarahkan di dalam musyawarah perjanjian adat yang disaksikan oleh petua-petua adat. Apabila segala usaha telah ditempuh dengan jalan damai dimuka keluarga dan peradilan adat mengalami kegagalan maka barulah perkara itu dibawa ke pengadilan.”24 Selaras dengan pendapat tersebut, Soerojo Wignjodipoero mengungkapkan bahwa: “Pembagian harta peninggalan merupakan suatu perbuatan daripada para ahli waris bersama, dimana pembagian ini diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama para ahli warisnya. Pembagian 2 Hilman Hadikusuma I. Op. Cit. Hal 116 - 117 24 itu biasanya dilaksanakan dengan kerukunan diantara ahli waris, apabila tidak terdapat permufakatan dalam menyelesaikan pembagian harta peningalan ini, maka hakim (hakim adat/ hakim perdamaian desa atau hakim pengadilan negeri) berwenang atas permohonan ahli waris untuk menetapkan cara pembagiannya.”25 Berdasarkan penelitian tentang masalah warisan yang beralih agama penyelesaian sementara dapat dilakukan dengan musyawarah diantara ahli waris di dalam keluarganya. Bilamana terjadi perbedaan pendapat karena ketidakrukunan dalam keluarga maka musyawarah itu dapat diajukan kepada ketua adat. Apabila usaha ketua adat tidak mendatangkan hasil maka perselisihan pembagian harta warisan dapat dimusyawarahkan dengan kepala desa untuk dapat dimintakan petuah-petuah sesuai dengan aturan-aturan atau hukum adat yang berlaku. Jika masih juga terdapat perdebatan maka langkah terakhir adalah mengajukan ke pengadilan. 25Soerojo Wignjodipoero. 1988. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: CV. Haji 2 Masagung. h. 70 BAB III STATUS HUKUM AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA 3.1 Ahli Waris Berpindah Agama Tidak Lagi Berstatus Sebagai Ahli Waris Dengan beralihnya agama ahli waris dari agama Hindu ke agama Kristen, maka ahli waris tersebut tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban terhadap pewaris, keluarga dan masyarakat. Karena peralihan agama ini, terputus hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris, dan akibat hukum, ahli waris itu akan kehilangan hak mewaris atas harta warisan pusaka orang tuanya. Ini disebabkan apabila ahli waris berpindah agama, maka ahli waris tersebut dianggap sudah tidak mampu lagi untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban adat maupun agama terhadap pewaris, keluarga dan masyarakat. Dalam kenyataan, terdapat pengecualian dalam hal pewarisan yang berpindah agama dimana ahli waris yang berpindah agama tetap mendapatkan harta warisan pusaka orang tuanya. Hal tersebut disebabkan rasa belas kasih dan sayang orang tua (pewaris) kepada anaknya (ahli waris). Namun hal ini dapat menimbulkan resiko di masa mendatang apabila terjadi masalah dalam pembagian warisan keluarga. Hanya harta warisan bawaan dan harta yang dihasilkan oleh orang tua selama masa perkawinan berlangsung yang dapat diberikan kepada ahli waris yang berpindah agama tersebut apabila pengecualian ituterjadi. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber, yaitu Bendesa Desa Adat Kesiman, I Made Karim, dalam periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2013 telah terjadi dua kali peralihan agama pada warga desanya. Narasumber menyatakan bahwa ahli waris yang beralih agama pada dasarnya tidak berhak lagi untuk menerima harta warisanberbentuk apapun dari pewaris, karena telah meninggalkan agama aslinya dan tidak dapat melaksanakan kewajibannya terhadap leluhur, pewaris dan masyarakat adatnya (Wawancara hari Senin 18 Agustus 2014) Begitu juga dengan hasil penelitian langsung yang dilakukan peneliti terhadap ahli waris berpindah agama dimana semua ahli waris berpindah agama yang berhasil di temui di Desa Pekraman Kesiman tidak lagi berstatus sebagai ahli waris dikarenakan sudah tidak lagi menjalankan swadarma nya sebagai anak , memang keputusan desa tidak ada jelas mengatur tetapi warga masyarakat menganggap tidak lagi sebagai ahli waris. 3.2 Hubungan Antara Hukum Waris Perdata dengan Hukum Waris Adat Terdapat beberapa persamaan dalam hukum waris adat dengan hukum waris perdata yaitu dalam hal harta warisan, pewaris dan ahli warisnya.Namun terdapat pula perbedaan dalam pembagian harta warisan pewaris, dimana ahli waris menurut hukum waris adat Bali adalah mengikuti garis keturunan patrilinial sedangkan menurut hukum waris perdata adalah mengikuti garis keturunan parental. Dalam permasalahan ahli waris berpindah agama, ditinjau dari hukum waris adat Bali maka orang yang beralih agama tersebut sebenarnya tidak mendapatkan bagian warisan, karena sudah dianggap putus hubungan dengan keluarganya dan tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya. Tetapi apabila ditinjau dari hukum waris perdata maka ahli waris yang berpindah agama tersebut tetap mendapatkan harta warisan karena merupakan ahli waris yang sah menurut garis keturunan dengan pewaris. Erman Suparman mengemukakan pendapatnya bahwa undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, jugatidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluargalainnya dalam garis lurus keatas maupun kesamping.26 Apabila terjadi masalah dalam pembagian harta warisan yang diakibatkan karena ahli waris berpindah agama dan permasalahan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri setempat, hal tersebut kemungkinan akan ditinjau dari sisi hukum waris perdata yang berlaku secara nasional di Indonesia. Tidak digunakannya hukum waris adat dikarenakan hal tersebut hanya berlaku secara kedaerahan saja. Selain itu hukum waris perdata ini lebih banyak digunakan oleh orang yang mengesampingkan hukum adat waris dalam mendapatkan penyelesaian pembagian harta warisan. 26Erman Suparman.2005. Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW). 2 Bandung: PT. Refika Aditama h. 39 3.3 Hubungan Antara Hukum Kekeluargaan, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris Adat Hukum kekeluargaan ini merupakan hukum yang mengatur hubunganhubungan hukum antara orang seorang dalam suatu ikatan kekeluargaan yakni antara orang tua dengan anak-anaknya dan juga ada akibat-akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan, dimana akibat hukum ini tidak semuanya sama untuk masing-masing masyarakat. Walaupun demikian terdapat suatu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan adalah merupakan unsur yang pokok bagi sesuatu keluarga menghendaki agar ada generasi penerusnya. Hukum kekeluargaan mengenal tiga macam sistem yakni patrilinial, matrilinial dan parental. Untuk masing-masing sistem kekeluargaan yangdianut oleh masyarakat yang bersangkutan mempunyai cara tersendiri dalam mengatur hubungan kekeluargaan antara anak dan orang tua dan anak dengan pihak keluarga orang tuanya. Tidak hanya itu saja yang diatur dalam hukum kekeluargaan tetapi juga meliputi masalah perkawinan dan pewarisan. Hukum perkawinan adat mengatur bagaimana suatu perkawinan itu terjadi dan berakhir serta akibat-akibat hukumnya terhadap hukum kekeluargaan. Perkawinan bukan hanya merupakan urusan pribadi antara pihak mempelai saja tetapi menyangkut nilai hidup, kehormatan keluarga dan soal kebendaan. Ter Haar Bzn mengatakan bahwa perkawinan menurut hukum adat bersangkut-paut dengan urusan kerabat, masyarakat, martabat dan urusan pribadi.27 2 Ter Haar Bzn. Op. Cit. h. 158 27 Soerojo Wignjodipoero berpendapat bahwa antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat, bahkan suatu peraturan hukum perkawinan sukar untuk dipahami tanpa dibarengi dengan peminjaman hukum kekeluargaan yang bersangkutan.28 Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa hukum perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan hukum kekeluargaan, walaupun bentuk perkawinan dalam masing-masing susunan atau sistem kekeluargaan pada suatu masyarakat berbeda-beda. Bentuk perkawinan pada masyarakat patrilinial yaitu perkawinan jujur dimana pemberian jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan adalah lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Setelah berlangsungnya perkawinan itu si istri berada dalam lingkungan keluarga suaminya. Begitu pula dengan anak-anaknya yang dilahirkannya dari perkawinan itu. Di Bali terdapat bentuk perkawinan sebaliknya yang disebut dengan perkawinan nyeburin, yakni si suami setelah kawin tinggal pada keluarga istrinya dan melepaskan hubungan dengan keluarga orang tua serta saudara-saudaranya, yang mengakibatkan anak yang diperoleh dari perkawinan itu berada dalam lingkungan keluarga ibunya. Hubungan kekeluargaan antara seorang anak dengan bapaknya dapat dianggap ada, apabila anak tersebut dilahirkan dari perkawinan bapak dan ibunya yang sah. Jika ada anak yang lahir dari perkawinan itu maka anak itu dapat mewarisi harta warisan orang tuanya. Van Apeldoorn mengatakan bahwa 2 Soerojo Wignjodipoero. Op. Cit. h. 127 28 hubungan antara hukum kekeluargaan dengan hukum waris adalah apabila seseorang meninggal dunia, maka keluarga yang ditinggalkan tersangkut dengan harta peninggalan.29 Jadi hukum waris mengatur akibat-akibat hubungan keluarga mengenai peninggalan seseorang. I Gde Pudja mengatakan bahwa perkawinan mempengaruhi hukum waris dimana sah atau tidaknya suatu perkawinan dapat mempengaruhi status seorang anak sebagai ahli waris.30 Pengesahan perkawinan dianggap penting untuk menentukan ahli waris karena seorang anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah dari kedua orang tuanya tidak akan berhak mewarisiharta warisan orang tuanya. Dari hal tersebut di atas jelaslah bahwa antara hukum kekeluargaan, hukum perkawinan dan hukum waris berhubungan erat. Apabila tidak ada hukum kekeluargaan maka sudah tentu tidak ada batasan mengenai bentuk perkawinan yang berlaku pada masyarakat dan orang-orang yang berhak sebagai ahli waris sebab harta warisan berfungsi sebagai modal kehidupan anggota keluarganya. 3.4 Hak dan Kewajiban Ahli Waris Berpindah Agama Terhadap Pewaris, Keluarga dan Masyarakat Dalam kehidupan masyarakat Bali yang lebih mengutamakan kebersamaan, kekeluargaan dan persatuan guna terciptanya kerukunan hidup bersama menyebabkan masing-masing orang lebih mengutamakan kewajibannya 2 29 Van Apeldoorn. 1990. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pradnya Paramita h. 56 3 I Gde Pudja.Op. Cit. h. 67 30 daripada haknya. Hal ini dikarenakan bahwa landasan dari pada hukum adat adalah landasan hidup bersama dan bukan untuk kepentingan individu. Dalam hukum adat waris di Bali hak adalah perlekatan yang ada pada individu untuk mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris, sedangkan kewajiban adalah serentetan kegiatan yang harus dilakukan oleh para ahli waris baik itu kewajiban terhadap orang tua (pewaris), keluarga maupun masyarakatnya. Kewajiban itu berupa kewajiban keagamaan dan kewajiban sehari-hari dalam masyarakat yang ditujukan kepada orang tua (pewaris) dan nama baik keluarga. Selain itu terdapat juga kewajiban kemasyarakatan yang berhubungan dengan desa adat yang sering kali berupa pelaksanaan kegiatan gotong royong dalam upacara keagamaan. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa masyarakat adat di Bali umumnya menganut sistem kekeluargaan patrilinial sehingga anak laki-laki pada masyarakat adat di Bali memiliki kedudukan penting sebagai ahli waris. Anak laki-laki sebagai ahli waris adalah merupakan penerus keturunan, sebagai penyelamat keturunan keluarga dan juga harapan orangtuanya di masa depan. Anak laki-laki yang dimaksud yakni anak laki-laki yang lahir dari perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya. Selain itu, yang dapat ditunjuk sebagai ahli waris yakni anak perempuan yang diangkat statusnya sebagai anak laki-laki yang disebut sentana rajeg. Mereka inilah mempunyai tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan kewaiiban-kewajiban yang ada, yang diberikan pewaris kepada ahli warisnya. Dengan meninggalnya seorang pewaris maka seketika itu juga segala kewajibannya beralih kepada ahli warisnya. Kewajiban tersebut berupa melunasi hutang-hutang pewaris baik berupa materiil maupun hutangin materiil. Di dalam kenyataan hidup masyarakat adat Bali selain kewajiban tersebut di atas terdapat kewajiban lain yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang ahli waris yaitu untuk melaksanakan upacara keagamaan yang dilakukan dirumah maupun di tempat persembahyangan, kemudian melaksanakan kewajiban yang berlaku dalam masyarakat yang sebelumnya dilaksanakan juga oleh pewaris sebelum meninggal. Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di Desa Pakraman Kesiman, sangat sedikit warganya yang beralih agama baik beralih agama dari Hindu ke Kristen maupun ke agama lain. Faktor penyebab beralih agama lebih banyak dikarenakan oleh perkawinan.Anak perempuan pada masyarakat desa Adat/Pekraman Kesiman tidak disebut sebagai ahli waris dikarenakan yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki. Anak perempuan hanya berhak menikmati harta warisan orang tuanya bukan untuk memilikinya selama anak perempuan itu tinggal dirumah orang tuanya dan belum kawin keluar. Mereka yang beralih agama tidak lagi bertempat tinggal di tempat orang tuanya atau di rumah aslinya melainkan pindah atau bertempat tinggal ditempat yang lain jika ia sudah kawin, melainkan ia akan tinggal pada kelompok persekutuannya atau ditempat yang baru, karena biasanya orang yang menganut agama Hindu terutama laki-laki apabila ia melakukan suatu perkawinan maka ia mempunyai hak untuk tetap tinggal dirumah keluarga aslinya atau dirumah orang tuanya. Mengenai kuburan maka ahli waris beralih agama ini tidak diperkenankan menggunakan kuburan masyarakat adat yang beragama Hindu karena mereka sudah ada kuburan khusus untuknya. Seorang laki-laki (ahli waris) dapat saja tidak melaksanakan kewajibankewajiban di atas, apabila ahli waris itu beralih agama Hindu menjadi Kristen. Bendesa Adat Desa Pekraman Kesiman mengatakan bahwa apabila seorang ahli waris tidak diberikan harta warisan karena orang tuanya tidak mempunyai harta yang ditinggalkan maka ahli waris tersebut tetap berkewajiban untuk melaksanakan dan menyelesaikan kewajiban-kewajibannya sebagai ahli waris, dimana ahli waris yang utama di Desa Pekraman Kesiman adalah seorang lakilaki. 3.5 Terputusnya Hubungan Kekeluargaan Antara Pewaris dengan Ahli Waris Berpindah Agama Dalam pandangan hukum waris adat Bali, seorang ahli waris tidaklah semata-mata hanya mempunyai hak untuk mewarisi harta yang ditinggalkan oleh pewaris tetapi seorang ahli waris juga dibebankan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan.Bahkan lebih lanjut kewajiban-kewajiban inilah yang lebih diutamakan dan setelah kewajiban itu terlaksana barulah seorang ahli waris akan memperhatikan apa yang menjadi haknya sebagai ahli waris, yakni mewarisi harta yang ditinggalkan orangtuanya baik harta yang berwujud benda (materiil) maupun harta yang tidak berwujud benda (immateriil). Harta warisan yang berwujud benda adalah harta yang dapat dibagi-bagikan dan harta yang tidak berwujud adalah harta yang tidak dapat di bagikan diantara para ahli warisnya karena harta ini adalah milik bersama atau dibebankan bersama. Di Bali harta tidak berwujud ini disebut dengan harta pusaka berupa tempat persembahyangan keluarga, alatalat pusaka dan alat-alat persembahyangan. Semua ini termasuk harta berupa kewajiban-kewajiban keagamaan atau kewajiban yang bersifat religius magis. Di dalam kenyataan hidup di masyarakat terjadi bahwa ahli waris dapat sajamelakukan perbuatan-perbuatan yang kurang baik terhadap pewaris sehingga akan membawa dampak terhadap terhadap penerimaan harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris itu sendiri. Hal ini disebabkan ahli waris tidak hanya mempunyai hak untuk mewarisi harta warisan orang tuanya tetapi hukum adat waris Bali juga jelas menentukan bahwa ahli waris untuk dapat menerima haknya haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti tidak melakukan perbuatanperbuatan durhaka terhadaporang tua serta juga harus melaksanakan kewajibankewajiban keagamaan terhadap pewaris itu sendiri meskipun seorang anak itu adalah anak sah dari hasil perkawinan pewaris akan tetapi karena melakukan perbuatan durhaka terhadap orang tuanya seperti : 1. Membunuh atau mencoba membunuh orang tuanya 2. Menganiaya orang tuanya 3. Memaki-maki dengan kata yang kasar yang tidak patut dikeluarkan untukorang tuanya. Dari hal tersebut di atas, dapat saja seorang ahli waris dibatalkan haknya untuk mewaris harta warisan orang tuanya. Disamping itu seorang ahli waris dapat juga kehilangan hak mewarisnya, apabila ahli waris tersebut beralih agama dari agama Hindu ke agama lainnya dalamhal ini ke agama Kristen, seperti yang dikemukakan oleh I Gde Pudja yaitu : “Meninggalkan agama leluhur dianggap juga sebagai sebab lenyapnya kedudukan mereka sebagai ahli waris. Kejadian ini pun dapat dianggap sebagai kejadian durhaka terhadap leluhur karena sebagai akibat dari meninggalkan agama yang dianut oleh leluhurnya, jelas mereka tidak akan dapat melakukan kewajiban-kewajiban sebagai kewajiban seorang anak (putra) terhadap leluhurnya.”31 Dengan demikian perbedaan agama ahli waris dengan agama yang dianut oleh pewaris, maka ahli waris beralih agama tersebut tidak lagi melaksanakan kewajibannya karena masalah waris erat kaitannya dengan hak dankewajiban, serta menurut agama yang dianut sebelum pindah agama yaitu agama Hindu, dimana tanggung jawab seorang anak laki-laki terhadap orang tuanya tidak saja menyangkut tanggung jawab kebendaan pada waktu orang tua masih hidup, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk melakukan upacara kematian pewaris dantanggung jawab terhadap tempat persembahyangan. Dari uraian di atas, dapatlah dikatakan walaupun ahli waris beralih agama berusaha untuk melaksanakan upacara kematian pewaristidaklah dianggap benar diberikan hak untuk mewarisi harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Sehingga secara hukum sesuai dengan hukum adat Bali, ahli waris tersebut dilenyapkan haknya untuk menerima harta warisan. 31I Gde Pudja.1977. Hukum Kewarisan Hindu yang Diresepir Kedalam Hukum Adat di 3 Bali dan Lombok. Jakarta: CV. Junasco, h 97 – 98 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Pekraman Kesiman, menurut keterangan I Bagus Raka sebagai Sesepuh Adat Desa Pekraman Kesiman mengatakan bahwa : “Apabila ada seorang yang beralih agama dari agama Hindu menjadi agamayang lain, maka terputuslah hubungan kekeluargaannya, walaupun peralihan agamatersebut dilakukan sebelum maupun sesudah pewaris meninggal dunia maka ia tidakakan berhak mendapatkan bagian harta warisan si pewaris sedikitpun karena ahliwaris yang beralih agama tersebut sudah dianggap tidak ada lagi.” (Wawancara hari Senin Tanggal 25 Agustus 2014). Adapun keterangan yang diberikan oleh I Made Karim, sebagai Bendesa Adat Desa Pekraman Kesiman : “Bahwa orang yang melakukan peralihan agama, maka segala kedudukan yang dulu dimilikinya akan berubah, dari kedudukan segera hilang pada saat orang itu beralih agama walaupun orang beralih agamatersebut telah melaksanakan kewajiban sebagai ahli waris berupa ikut menanggung upacara kematian atau mengabenkan orang tuanya dan untuk kedudukan dimasyarakat ia tidak lagi dianggap ada sebagai salah satu anggota masyarakat adat tersebut.” (Wawancara hari senin tanggal 18 agustus 2014) Menurut keterangan Ir. Ngakan Sang Made Jati Mancika sebagai responden mengenai kasus yang terjadi akibat perpindahan agama di Desa Pekraman Kesiman yaitu pada waktu pembagian warisan orang tuanya, terjadi perselisihan antara dia dan saudara-saudaranya yang masih tetap beragama Hindu. Hal ini selaras dengan pendapat Gde Penetje yakni hak waris seorang calon ahli waris gugur, jika ia sebelum kematian atau pengabenan dilakukan menanggalkan agama Hindu dan mengalih ke agama lain.32 Sesuai dengan pendapat tersebut, jika seorang ahli waris berpindah agama sebelum pengabenan orang tuanya, maka hak untuk mewarisi harta warisanorang tuanya akan hilang, karena hukum adat waris mempunyai hubungan yang erat dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat Bali yang beragama Hindu yakni pelaksanaan agama dalam segala aspek penuangannya terwujud dalam pancayadnya atau tata cara kehidupan sehari-hari. Dalam awigawig atau hukum adat Desa Pekraman Kesiman, adakalanya ahli waris tidak mendapat warisan, apabila ia meninggalkan agama leluhurnya yaitu agama Hindu. Pada dasarnya apabila melihat awig-awig atau hukum adat yang berlaku di Desa Pekraman Kesiman terhadap ahli waris beralih agama, tidak akan diberikan haknya atas harta warisan yang ditinggalkan pewarisnya. Sehingga ahli waris berpindah agama tidak berkedudukan sebagai ahli waris lagi karena mereka sudah tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai ahli waris dan terputusnya hubungan kekeluargaan si berpindah agama dengan keluarga pewaris dan leluhurnya. 3.6 Hilangnya Hak Mewaris 3 Gede Penetje. Op. Cit. h 142 32 Hilangnya hak mewaris dari seseorang ahli waris apabila dia melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan terhadap pewaris misalnya ahli waris pernah mencoba membunuh, menganiaya, membiarkan atau tidak menghiraukan pewaris dalam keadaan sakit. Pada dasarnya seorang ahli waris apabila melakukan perbuatan tidak menyenangkan seperti yang tersebut diatas terhadap pewaris akan kehilangan haknya atas harta warisan pewaris. Dalam pertimbangan hukum atas juga disebutkan mengenai beralih agama ini dihubungkan dengan pasal 29 UndangUndang Dasar1945 yakni memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara Indonesia untuk memeluk agama yang diakui sesuai dengan keyakinan masing-masing. Disamping itu negara Indonesia mengenal Bhineka Tunggal Ika, yang terdiri dari adat istiadat yang berbeda-beda. Adat dan agama di Bali saling terjalin dan saling mempengaruhi.Hukum adat merupakan hukum tertulis dan tidak tertulis, dalam perbuatannya telah menjunjung tinggi Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, yang dipergunakan sebagai dasar dalam pembuatan hukum adat tersebut karena Pancasila menjadi falsafah negara dimana setiap orang bebas memilih agama maka dianggap tidak tepatkalau masih membatasi apalagi menghapus hak mewaris seseorang. Menurut pertimbangan hukum dari hakim pengadilan negeri tentang seseorang beralih agama dianggap tidak berhak atas harta warisan orang tuanya dianggap bertentangan dengan Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945. Hal ini apabila dihubungkan dengan ketentuan hukum waris adat di Bali, bahwa hak dan kewajiban ahli waris itu bukan saja hak kebendaan melainkan pelaksanaan keagamaan sehingga karena ahli waris beralih agama dari agama Hindu ke agama Kristen, makadia tidak akan dapat melaksanakan kewajiban keagamaan itu, maka haknya sebagai ahli warispun lenyap. BAB IV HAK AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA MENERIMA TANAH DI LUAR WARISAN DARI PEWARIS 4.1 Faktor Pendukung Ahli Waris Berpindah Agama Masih Boleh Menerima Tanah Pemberian Orang Tuanya Kemungkinan ahli waris yang beralih agama tetap mendapatkan harta warisan orang tuanya dapat saja terjadi. Dalam hal ini pengecualian tetap ada, dimana pewaris tetap memberikan harta warisan yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris yang beralih agama, ini disebabkan oleh rasa belas kasih dan sayang orang tua kepada anak. Hal ini sering menimbulkan masalah dengan ahli waris lainnya, karena ahli waris yang telah beralih agama dianggap sudah tidak lagi memliki hubungan kekeluargaan dengan pewaris maupun dengan saudara kandungnya, dan pemberian harta warisan seperti ini dapat digolongkan melanggar hukum adat waris Bali. Apabila pewaris tetap memberikan bagian warisan kepada ahli waris yang beralih agama, maka untuk sanksi adat tidak dikenakan, karena pada dasarnya sanksi adat yang berlaku di Bali telah mengalami perubahan yang dulunya berupa pengasingan sampai pada kekerasan fisik kini hanya sebatas pada sanksi denda. Pembagian warisan adalah bersifat kekeluargaan, dan hal ini merupakan urusan dalam rumah tangga seseorang, dimana orang di luar anggota keluarga tidak berhak untuk ikut campur dalam pembagian harta warisan. Tentang banyaknya Pembagian Tanah yang diberikan Menurut hasil penelitian adalah berupa 1 kecoran, dimana 1 kecoran itu adalah sebagai berikut: 1 Kecoran adalah mengairi 3-4 petak sawah yang luasnya beragam jadi kurang lebih 1 kecoran itu adalah 15 are. 4.2 Sumber Harta Warisan yang Tidak Boleh Diwariskan Kepada Ahli Waris Berpindah Agama Sumber harta warisan dapat yang sama sekali tidak boleh diwariskan kepada ahli waris yang berpindah agama dari Hindu ke Kristen antara lain : 1. Harta Pusaka a. Harta pusaka yang tidak dapat dibagi-bagi ialah harta warisan yang mempunyai nilai magis religius. Contoh : keris yang bertuah, tanah ayahan, tanah duwe merajan. 2. Tanah yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris berpindah agama menurut hukum adat Bali a. Tanah druwe atau sering disebut juga druwe desa adalah tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh desa pakraman seperti tanah pasar, tanah lapang, tanah kuburan dan tanah bukti b. Tanah pelaba pura adalah tanah yang dulu milik desa yang khusus dipergunakan untuk keperluan Pura yaitu tempat bangunan Pura dan yang dipergunakan guna pembiayaan keperluan Pura seperti pembiayaan upacara-upacara rutin, hingga perbaikan pura. c. Tanah pekarangan desa merupakan tanah yang dikuasai oleh desa pakraman yang diberikan kepada krama negak untuk tempat tinggal dengan ayahan yang melekat, d. Tanah ayahan merupakan tanah yang dikuasai desa pakraman yang penggarapannya diserahkan kepada krama desa setempat dengan hak untuk dinikmati dengan perjanjian tertentu serta kewajiban memberikan ayahan. 4.3 Sumber Harta Warisan Yang Boleh Diwariskan Ahli Waris Berpindah Agama Sumber harta warisan yang masih boleh diwariskan oleh ahli waris yang berpindah agama dari Hindu ke Kristen antara lain : 1. Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh mempelai wanita maupun pria ke dalam perkawinan. a. Tetap menjadi hak masing-masing (suami/istri) b. Setelah lampau beberapa waktu (3/5 tahun) menjadi milik bersama. 2. Harta perkawinan yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan (guna kaya). 3. Harta pusaka yang dapat dibagi-bagi ialah harta warisan yang tidak mempunyai nilai magis religius. Contoh : sawah, ladang, tanah dan lain-lain. Apabila tanah yang diterima ahli waris adalah bukan berupa warisan hal itu diperbolehkan menurut hukum adat Bali, dan dalam hukum perdata itu dikenal sebagai hibah. Adapun pengertian adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barangsecara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup. 4.4 Hibah Menurut Hukum Waris Adat Bali Hilman Hadikusuma menyatakan hibah menurut hukum waris adat bali adalah dhana yaitu harta yang berupa pemberian harta kepada seorang lain oleh seorang bapak yang berhak atas harta peninggalannya. Harta yang dapat dihibahkan adalah harta tertentu yang bukan harta pusaka.33 Menurut Gde Puja dalam penghibahan terdapat 3 unsur yaitu : 1. Pemberian hibah atau yang menyerahkan hak. Menurut Hukum Hindu yang membuat hibah adalah ayah, karena istri dan anak dianggap tidak mempunyai hak tanpa didampingi oleh ayah sebagai kepala keluarga. 3 33 Hilman Hadikusuma II . Op . Cit . h. 302 2. Penerima hibah adalah penerima hak yang baru atas harta yang dilimpahkan. 3. Suatu benda atau hak yang akan dilimpahkan mengatur tentang pembatasan-pembatasan tentang penghibahan supaya tidak terjadi permasalahan dengan ahli waris lainnya.34 Dalam pelaksaannya penghibahan ada 2 macam yaitu penghibahan bersyarat dan tidak bersayarat. Dalam penghibahan bersyarat, penghibahan ini dapat dituntut kembali kalau tidak sesuai, oleh karena itu penghibahan dan penggunaanya harus jelas. Penghibahan ini biasanya hanya berlangsung secara lisan sehingga bila sudah lewat masanya atau sudah bertahun-tahun sangat susah melakukan pembuktian tentang penghibahan ini. Beda halnya dengan penghibahan tanpa syarat, bilamana terjadi saat penghibahan itu maka saat proses penghibahan selesai dan perpindahan hak telah terjadi maka berakhirlah kekuasaan pemberi hibah yang telah beralih kepada penerima hibah. Dalam hal ini menurut hukum waris adat Bali memang tidak mungkin seorang ahli waris yang berpindah agama mendapatkan tanah sebagai warisan akan tetapi sangat mungkin dia menerima tanah dalam bentuk hibah dari orang tuanya ketika orang tuanya masih hidup.Lebih lanjut tentang hibah di Bali ini dalam yurisprudensi peradilan adalah tertuang dalam Putusan MARI tanggal 19 September 1970 No.123/K/Sip/1970 yang mengatakan bahwa hukum adat Bali tidak melarang adanya penghibahan sepanjang hal itu tidak mengenai harta pusaka. 3 34 Gde Puja. Op . Cit h. 78 Dan juga berikut contoh lain berupa putusan pengadilan tentang ahli waris berpindah agama : Dalam permasalahan ahli waris yang beralih agama, terjadi di Desa Adat/Pekraman Panjer, Kelurahan Panjer, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, dimana salah satu dari lima bersaudara yang melakukan peralihan agama dari agama Hindu menjadi agama Kristen Protestan, melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Denpasar. Saudara yang beralih agama tersebut menuntut haknya dalam pembagian harta warisan berupa sebidang tanah yang mana telah dijual oleh ahli waris lainnya. Karena peralihan agama tersebut maka menurut Hukum Waris Adat Bali mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan antara pewaris (orang tua) dan dengan saudara-saudara kandungnya, dan putusnya hak mewaris dari ahli waris yang beralih agama tersebut. Putusan dari gugatan tersebut telah mendapatkan kekuatan hukum tetap, No.19/Pdt/G/1990/PN.DPS. 4.5 Tujuan Pemberian Hibah Berupa Tanah Menurut Hukum Waris Adat Bali Tujuan pemberian hibah menurut hukum waris adat bali adalah sebagai sarana agar para ahli waris tidak merebutkan harta warisan peninggalannya, dikarenakan hibah yang diberikan dalam masalah ini adalah hibah berupa tanah. Adapun tujuan dari pewaris menghibahkan tanahnya kepada ahli waris yang berpindah agama adalah sebagai berikut : 1. Untuk menghindari percekcokkan yang terjadi antara ahli warisnya bilamana pewaris meninggal dunia. 2. Untuk mengadakan suatu pembagian yang adil menurut pertimbangan atau pendapat pewaris sendiri. 3. Sebagai pernyataan kasih sayang kepada penerima hibah. 4. Sebagai bekal dikemudian hari kepada anaknya. 5. Karena pewaris memang suka memberi / beramal. 6. Unsur religius sebagai sarana penyempurnaan arwah pewaris dikemudian hari. BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai intisari dari uraian permasalahan tersebut sebagai berikut : 1. Status Hukum dengan adanya ahli waris berpindah agama di Desa Adat/Pekraman Kesiman, tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban terhadap pewaris, keluarga dan masyarakat adatnya. Sebab ahli waris beralih agama dianggap tidak mungkin lagi melaksanakan kewajiban yang khususnya bersifat keagamaan dan adat. Dan tidak lagi berstatus sebagai ahli waris 2. Ahli waris berpindah agama masih boleh menerima tanah dari orang tuanya dikarenakan pemberian tanah tersebut adalah berupa hibah bukan sebagai tanah warisan. Hal itu bertujuan untuk menghindari perselisihan dengan ahli waris lainnya dikemudian hari. 5.2. Saran Sebagai sumbangan pemikiran dalam menhadapi dan memecahkan permasalahan hukum di masyarakat khususnya masalah tentang kedudukan ahli waris beralih agama terhadap hak atas tanah waris di Desa Pekraman Kesiman, maka penulis disarankan sebagai berikut : 1. Apabila ada sengketa tentang ahli waris beralih agama dari agama Hindu ke agama yang lain, disarankan kepada hakim agar mendasarkan putusannya berdasarkan awig-awig/ peraturan hukum adat yang berlaku di Desa Adat Pekraman Kesiman, sehingga apa yang diputuskan oleh hakim lebih dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat karena sesuai dengan hukum yang berlaku di desa tersebut. 2. Apabila ada sengketa tentang ahli waris berpindah agama diharapkan hakim mengambil posisi tengah dengan mempertimbangkan hukum waris adat bali dan hukum keluarga sehingga nantinya keputusan yang dihasilkan tidak mengalami permasalahan dan bisa diterima di masyarakat. Dan Perlu adanya hukum waris nasional, yang berlandaskan asas-asas hukum waris adat sehingga hakim dalam memutuskan perkara waris khususnya ahli waris beralih agama dapat langsung mempergunakan hukum waris nasional tersebut. DAFTAR BACAAN A. BUKU-BUKU Ayu Putu Nantri,1982, Kedudukan Ahli Waris Yang Beralih Agama Menurut Hukum Adat Waris di Kabupaten Badung,Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Cokorda Istri Putra Astiti, 1984, Hukum Adat Dua (Bagian Dua), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Udaya, Denpasar Effendi Perangin,2012, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Elisabeth Nurhaini ButarButar, 2012, Hukum Harta Kekayaan, Refika Aditama, Medan Erman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia ( Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), PT Refika Aditama, Bandung Hilman Hadikusuma,1980, Pokok Pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung ________________,1991, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangundangan Hukum Adat Hukum Agama Hindu, Islam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung ________________, 2003, Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung ________________, 2005, Bahasa Hukum Indonesia, Cet. III. PT Alumni, Bandung Mooleong Lexy, 1990, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung Mulyadi, 2005, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1997, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Waris Menurut Hukum Adat Bali. Sekretariat Panitia Diskusi Hukum Adat Waris, Denpasar Penetje Gede, 1986, Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar ___________, 2004, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV. Kayumas Agung, Denpasar Pitlo, 1986, Hukum Waris Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Belanda. Cet. II. PT Intermasa. Jakarta Pudja, I Gede, 1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat di Bali dan Lombok, CV Junasco, Jakarta ____________, 1982, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cet. IV, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama RI Salim, 2008, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta Saragih Djaren, 1984,Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Jakarta Soepomo, R.1986,Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta Soeripto, 1983, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Waris, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember Soerjono Soekanto dan Soelaeman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta Soerojo Wignjodipoero, 1988, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,CV. Haji Masagung, Jakarta Sugangga IGN, 2005, Diktat Hukum Waris Adat. Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang Sukerti Nyoman, 2012, Hak Mewaris Perempuan dalam Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar Sutha I Gusti Ketut 1987, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta TerHaar, 1976, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta Van Apeldoorn, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta Windya P Wayan, 2005, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana Wirjono Prodjodikoro, R, 2000, Azas- Azas Hukum Perjanjian, Cet VIII, CV. Mandar Maju. Bandung B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang Undang Hukum Perdata, 2007, (Terjemahan R Subekti, Kata Pengantar Bismar Siregar), Sinar Grafika, Jakarta. DAFTAR RESPONDEN 1. Nama : Ir. Ngakan Sang Made Jati Mancika Umur : 75 tahun Alamat : Jalan Sedap Malam, Banjar Kebonkuri Tengah, Kesiman Pekerjaan : Pensiunan PNS Status : Responden Utama DAFTAR INFORMAN 1. Nama : I Made Karim Umur : 70 tahun Pekerjaan : Bendesa Adat Kesiman Alamat : Banjar Kedaton Kesiman 2. Nama : I Bagus Made Raka Umur : 63 tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS Alamat : Banjar Batan Buah Kesiman KEDUDUKAN AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA TERHADAP TANAH WARIS MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI (Studi Kasus Terhadap Ahli Waris Berpindah Agama Dari Hindu ke Kristen di Desa Pekraman Kesiman) Abstrak: Negara Indonesia merupakan Negara yang pluralisme, terdiri dari berbagai macam suku dan agama serta budaya yang beragam, di setiap daerah sangat menjunjung tinggi nilai budaya adat dan istiadat, baik dalam kehidupan sehari hari maupun dalam perkawinan. Di bali menganut system perkawinan patrilineal yang dimana menarik garis keturunan dari pihak laki laki, begitu pula system pewarisanya, tetapi dalam kenyataanya agama juga mempengaruhi system pewarisan tersebut, dibali khususnya jika ada ahli waris yang pindah agama maka warisan yang diperoleh tersebut akan hapus secara adat tetapi masih memungkinkan untuk mendapatkan warisan tersebut melalui proses hibah kepada ahli waris yang pindah agama tersebut. Kata kunci Budaya, Adat, Perkawinan, Waris BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 telah dinyatakan bahwa tujuan dari pembangunan adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pembangunan di Indonesia tidak hanya mencakup pembangunan fisik tetapi juga pembangunan spiritual yang dilaksanakan secara gigih, tekun dan ulet. “Kebebasan agama adalah salah satu hak yang paling asasi diantara hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau pemberian golongan.”35 Dalam kenyataan, kebebasan beragama juga dapat menimbulkan permasalahan antara lain terjadinya peralihan agama dari satu agama ke agama lain yang diyakini, sehingga terkadang dalam suatu keluarga terjadi perbedaan agama yang dianut. Adanya perbedaan ini kemungkinan besar berpengaruh kepada sistem pembagian warisan dimana sebagian besar masyarakat di Indonesia masih menganut sistem patrilineal atau sistem pembagian warisan dari garis keturunan laki-laki. 1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui dan memahami secara lebih dalam tentang kedudukan ahli waris berpindah agama terhadap hak atas tanah waris di Desa Pekraman Kesiman. 1.2.2. Tujuan Khusus 3. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris berpindah agama dari Hindu ke Kristen menurut hukum Waris Adat Bali 35I Gede Pudja. 1982. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran 3 Hindu Dharma. Cet. IV. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama RI. h. 68. 4. Untuk mengetahui apakah ahli waris berpindah agama dari Hindu ke Kristen masih boleh menerima suatu pemberian berupa tanah dari orang tuanya. 1.3. Jenis Pendekatan Dalam penulisian skripsi ini menggunakan 3 jenis pendekatan yaitu : a. Pendekatan Kasus (The Case Approach) b. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) c. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT BALI 2.1.Pengertian Hukum Waris Adat Secara umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-Undang hukum perdata dapat dirumuskan sebagai berikut: Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga. Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garisgaris ketentuan tentang sistem dan azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.36 3 Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, H. 88 36 2.1.1 Pengertian Hukum Waris Adat Bali Menurut Para Ahli Pengertian Hukum Waris Adat Bali menurut Korn mengatakan dalam bukunya Panetje hukum pewarisan adalah bagian yang paling sulit dari hukum adat di Bali. Hal ini karena perbedaan-perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah Hukum Bali, baik mengenai banyaknya barang- barang yang boleh diwarisan atau mengenai banyaknya bagian masing-masingahli waris, maupun mengenai putusan-putusan pengadilan adat37. Paswara Residen Bali dan Lombok tahun 1900, mengenai pewarisan menentukan bahwa harta warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan pewaris yang telah dipotong hutangnya, termasuk juga hutang yang dibuat untuk ongkos menyelenggarakan pewaris. Sedangkan pengertian hukum waris adat Bali menurut Ayu Putu Nantri adalah suatu proses penerusan dari pewaris kepada ahli waris tentang barang-barang materiil maupun barang-barang immateriil yang mana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut penerusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.38 BAB III STATUS HUKUM AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA 3.1. Hilangnya Status Hukum Ahli Waris Berpindah Agama Dengan beralihnya agama ahli waris dari agama Hindu ke agama Kristen, maka ahli waris tersebut tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban terhadap pewaris, keluarga dan masyarakat. Karena peralihan agama ini, terputus hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris, dan akibat hukum, ahli waris itu akan kehilangan hak mewaris atas harta warisan pusaka orang tuanya. 3.2. Hubungan Antara Hukum Waris Perdata dengan Hukum Waris Adat 3 I Gede Panetje I . 2004. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. CV. Kayumas Agung Denpasar. H. 101. 37 3 38 Ayu Putu Nantri,1982, Kedudukan Ahli Waris Yang Beralih Agama Menurut Hukum Adat Waris di Kabupaten Badung,Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. H. 38 Terdapat beberapa persamaan dalam hukum waris adat dengan hukum waris perdata yaitu dalam hal harta warisan, pewaris dan ahli warisnya.Namun terdapat pula perbedaan dalam pembagian harta warisan pewaris, dimana ahli waris menurut hukum waris adat Bali adalah mengikuti garis keturunan patrilinial sedangkan menurut hukum waris perdata adalah mengikuti garis keturunan parental. Erman Suparman mengemukakan pendapatnya bahwa undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluargalainnya dalam garis lurus keatas maupun kesamping.39 BAB IV HAK AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA MENERIMA TANAH DI LUAR WARISAN DARI PEWARIS 4.1. Faktor Pendukung Ahli Waris Berpindah Agama Masih Boleh Menerima Tanah Pemberian Orang Tuanya Kemungkinan ahli waris yang beralih agama tetap mendapatkan harta warisan orang tuanya dapat saja terjadi. Dalam hal ini pengecualian tetap ada, dimana pewaris tetap memberikan harta warisan yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris yang beralih agama, ini disebabkan oleh rasa belas kasih dan sayang orang tua kepada anak. Hal ini sering menimbulkan masalah dengan ahli waris lainnya, karena ahli waris yang telah beralih agama dianggap sudah tidak lagi memliki hubungan kekeluargaan dengan pewaris maupun dengan saudara kandungnya, dan pemberian harta warisan seperti ini dapat digolongkan melanggar hukum adat waris Bali. 4.2. Sumber Harta Warisan Yang Boleh Diwariskan Ahli Waris Berpindah Agama 39Erman Suparman.2005. HukumWaris Indonesia (DalamPerspektif Islam, Adatdan BW). 3 Bandung: PT. Refika Aditama h. 39 Sumber harta warisan yang masih boleh diwariskan oleh ahli waris yang berpindah agama dari Hindu ke Kristen antara lain : 1. Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh mempelai wanita maupun pria ke dalam perkawinan. a. Tetap menjadi hak masing-masing (suami/istri) b. Setelah lampau beberapa waktu (3/5 tahun) menjadi milik bersama. 2. Harta perkawinan yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan (guna kaya). 3. Harta pusaka yang dapat dibagi-bagi ialah harta warisan yang tidak mempunyai nilai magis religius. BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai intisari dari uraian permasalahan tersebut sebagai berikut : 1. Status Hukum dengan adanya ahli waris berpindah agama di Desa Adat/Pekraman Kesiman, tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban terhadap pewaris, keluarga dan masyarakat adatnya. Sebab ahli waris beralih agama dianggap tidak mungkin lagi melaksanakan kewajiban yang khususnya bersifat keagamaan dan adat. Dan tidak lagi berstatus sebagai ahli waris 2. Ahli waris berpindah agama masih boleh menerima tanah dari orang tuanya dikarenakan pemberian tanah tersebut adalah berupa hibah bukan sebagai tanah warisan. Hal itu bertujuan untuk menghindari perselisihan dengan ahli waris lainnya dikemudian hari. 5.2. Saran Sebagai sumbangan pemikiran dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan hukum maka penulis menyarankan sebagai berikut : 1. Apabila ada sengketa tentang ahli waris beralih agama dari agama Hindu ke agama yang lain, disarankan kepada hakim agar mendasarkan putusannya berdasarkan awig-awig/peraturan hukum adat yang berlaku di Desa Adat Pekraman Kesiman, sehingga apa yang diputuskan oleh hakim lebih dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat karena sesuai dengan hukum yang berlaku di desa tersebut. 2. Apabila ada sengketa tentang ahli waris berpindah agama diharapkan hakim mengambil posisi tengah dengan mempertimbangkan hukum waris adat bali dan hukum keluarga sehingga nantinya keputusan yang dihasilkan tidak mengalami permasalahan dan bisa diterima di masyarakat dan perlu adanya hukum waris nasional, yang berlandaskan asas-asas hukum waris adat sehingga hakim dalam memutuskan perkara waris khususnya ahli waris beralih agama dapat langsung mempergunakan hukum waris nasional tersebut. DAFTAR PUSTAKA Ayu Putu Nantri,1982, Kedudukan Ahli Waris Yang Beralih Agama Menurut Hukum Adat Waris di Kabupaten Badung,Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Erman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia ( Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), PT Refika Aditama, Bandung Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Penetje Gede, 2004, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV. Kayumas Agung, Denpasar Pudja I Gede, 1982, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cet. IV, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama RI