BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana pidato

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wacana pidato pengunduran diri merupakan wacana yang bertujuan untuk
menyampaikan informasi tentang pengunduran diri seseorang dan faktor-faktor
yang menyertainya. Pidato secara umum bersifat informatif dan bertujuan untuk
menanamkan pengertian. Khalayak diharapkan mengetahui, mengerti, dan
menerima informasi tersebut. Pengunduran diri dalam bidang politik banyak
diekspos karena bersifat nasional. Jabatan seseorang dalam bidang politik
memiliki pengaruh yang besar terhadap khalayak secara nasional. Hal ini berbeda
dengan pengunduran diri dari jabatan dalam ranah tertentu yang hanya diketahui
oleh khalayak ranah tertentu pula dan tidak diketahui khalayak secara nasional.
Misalnya dalam bidang pendidikan, informasi pengunduran diri seseorang dari
jabatannya sebagai kepala sekolah secara khusus disampaikan di lingkungan
sekolah bersangkutan.
Bertolak dari model pidato, yang menarik dari wacana pidato pengunduran
diri pertama adalah tema pidato dan bagaimana pidato disampaikan. Kedua adalah
penggunaan bahasa dalam pidato. Seni penggunaan bahasa dalam pidato dikenal
sebagai retorika. Penggunaan bahasa berkaitan dengan pemilihan kosa kata dan
kontruksi kalimat. Selain itu, penggunaan bahasa yang menarik adalah gaya
bahasa yang digunakan dalam pidato pengunduran diri. Gaya bahasa yang banyak
digunakan adalah gaya bahasa yang bertujuan untuk selain menyampaikan
1
2
informasi juga untuk meyakinkan dan mempengaruhi. Hal tersebut menjadi hal
menarik ketiga dari pidato pengunduran diri, yaitu maksud tuturan (pragmatik)
pidato pengunduran diri. Hal keempat yang menarik adalah konteks yang
melatarbelakangi terwujudnya teks pidato pengunduran diri. Konteks pidato
pengunduran diri di bidang politik yang paling menonjol ialah keadaan politik
pada saat itu yang memiliki permasalahan sangat kompleks.
Dari pemaparan di atas, pidato pengunduran diri yang berfungsi untuk
menyampaikan informasi pengunduran diri seseorang dan faktor-faktor yang
menyertainya akan tepat bila dianalisis dengan pendekatan analisis wacana
pragmatik. Analisis wacana berbicara tentang keutuhan wacana dengan melihat
strukturnya, sementara pragmatik merupakan kajian mengenai maksud tuturan
dengan melihat konteksnya. Penggunaan dua pendekatan ini melihat hal yang
menarik dari pidato pengunduran diri, yaitu topik dan bagaimana pidato
disampaikan, pemilihan kosakata, kontruksi kalimat, dan gaya bahasa, maksud
implisit, dan konteks yang terkandung dalam wacana.
1.2. Ruang Lingkup
Penelitian ini berada pada tataran pragmatik tentang analisis wacana.
Analisis dalam penelitian ini dibatasi pada struktur wacana. Di dalam struktur
wacana terdapat tiga tingkatan, yaitu makro struktur, superstruktur, dan mikro
struktur. Mikro struktur merupakan makna lokal dalam wacana yang sangat
bergantung pada latar/konteks. Bagian mikro struktur akan dibatasi pada konteks
dan fungsi wacana yang berkaitan dengan pragmatik. Objek kajian dalam
3
penelitian ini ialah wacana pengunduruan diri tiga tokoh politik, yaitu pidato
pengunduran
diri
Anas
Urbaningrum,
pidato
pengunduran
diri
Andi
Mallarangeng, dan pidato pengunduran diri Soeharto Dengan demikian, penelitian
ini membatasi kajiannya pada (a.) struktur wacana pidato pengunduran diri, (b.)
konteks yang terkadung dalam wacana pidato dan (c.) fungsi pidato tersebut
disampaikan.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Seperti apakah struktur wacana pidato pengunduran diri tersebut?
2. Konteks apa saja yang terkandung dalam wacana pidato pengunduran diri
tersebut?
3. Bagaimana fungsi pidato diaplikasikan dalam pengunduran diri tersebut?
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1.Mendeskripsikan
struktur
wacana
yang
ditunjukkan
dalam
pidato
pengunduran diri.
2.Menguraikan konteks yang terkandung dalam wacana pidato pengunduran
diri.
4
3. Menjelaskan fungsi tuturan pidato pengunduran diri.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini mencakup dua hal, yaitu manfaat teoretis dan
praktis. Secara teoretis, penelitian ini dapat mengaplikasikan teori pragmatik Yule
dan Van Djik tentang analisis wacana untuk menganalisis objek penelitian. Secara
praktis, penelitian dapat menguraikan struktur wacana, konteks, dan fungsi pidato
pengunduran diri tiga tokoh politik tersebut.
1.6. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan penulis, penelitian tentang analisis
wacana
pidato atau di bidang politik sudah banyak ditemukan, baik dengan kajian
pragmatik maupun lainnya. Nurhidayati (2002) dalam skripsinya berjudul “Pidato
Alua Pasambahan, Ritual Antar Jemput dalam Perkawinan Masyarakat
Minangkabau: Analisis Wacana” menyimpulkan bahwa wacana Pidato Alua
Pasambahan merupakan wacana yang sistematis atau teratur. Keteraturan ini bisa
dilihat dari hubungan yang kohesif dan hubungan paralelisme yang saling
berurutan, sambung menyambung, sahut bersahutan, yang disampaikan dalam
tatanan kata-kata kalimat yang tersusun dengan baik sehingga membentuk sebuah
wacana yang baik dan utuh. Sedangkan hubungan paralelisme dilihat dari
paralelisme leksikal berdasarkan hubungan sinonimi, hiponimi, dan antonimi,
paralelisme frase dan paralelisme klausa, dalam suatu wacana atau antar wacana.
Saddhono (2011) dalam disertasinya yang berjudul “Wacana Khotbah
Jumat di Kota Surakarta (Sebuah Kajian Sosiopragmatik)” memaparkan bahwa
5
kekhasan khotbah Jumat dapat dilihat dari struktur wacana, bentuk beserta fungsi
kode dan alih kode, tindak tutur, dan karakteristik bahasa dan diksi. Pengolahan
topik dalam khotbah jumat dapat berupa 1) pengutipan yang terdiri dari firman
Allah, sabda nabi, kisah dialog, perkataan seseorang, 2) penceritaan yang terdiri
dari kisah nabi, kisah sahabat nabi, kisah sejarah lain, kisah masa kini, dan 3)
pemanfaatan ungkapan populer yang terdiri dari Bahasa Arab Bahasa Indonesia,
Bahasa Jawa, dan Bahasa Inggris. Adapun pemilihan topik berdasarkan
lingkungan masjid.
Ekawati (2002) dalam skripsi berjudul “Wacana Humor Politik”
menyimpulkan bahwa Wacana humor politik mempunyai beberapa fungsi yaitu
sebagai sarana protes sosial atau sindiran terhadap subjek-subjek politik maupun
kebijakan-kebijakan politik, sebagai peredam konflik antar elite politik atau antara
elite politik dengan rakyat yang mempunyai aspirasi berbeda, sebagai alat
propaganda politik dan sebagai wahana katarsis atau pencucian jiwa bagi elite
politik dan rakyat.
Munazharoh (2011) dalam skripsinya berjudul “Humor Politik: Kajian
Wacana Pragmatik pada Tayangan Sentilan Sentilun” memaparkan bahwa
berdasarkan aspek wacana, struktur wacana humor politik Sentilan Sentilun tidak
berbeda dengan wacana pada umumnya. Adapun perbedaan struktur bagianbagian wacana disebabkan oleh pengembangan alur permasalahan yang
dikemukakan pada bagian pengantar, sentilan politik, maupun isi wacana.
Pengembangan ini berkaitan dengan permasalahan-permasalahan politik yang
marak diberitakan media, baik berkaitan dengan subjek politik, kebijakan politik,
6
maupun sasaran kebijakan politik. Aspek politik sebagai latar belakang humor dan
latar belakang penutur sebagai pelaku seni dan budaya menjadi kekhasan dalam
wacana ini. Pemanfaatan nama-nama seniman, budayawan, dan paranormal lebih
dekat dengan latar belakang penutur Sentilan Sentilun sebagai pelaku seni dan
budaya.
Kusumawati (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Wacana
Naskah Pidato Internasional SBY: Tinjauan Linguistik Kritis” menyimpulkan
bahwa penelitian ini telah membahas struktur naskah pidato internasional SBY,
yang secara umum dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, pembukaan
pidato, terdiri dari salam, penghormatan kepada yang hadir, dan pengantar pidato.
Bagian kedua, isi pidato, terdiri dari tahapan argumentasi, yang panjang dan
detail, yang terdiri dari argumentasi, deskripsi, narasi, dan persuasi. Bagian ketiga,
penutup pidato, terdiri dari kesimpulan, penegasan kembali isi pidato, ucapan
salam dan terima kasih, ditambah dengan persuasi, argumentasi, dan harapan
sebagai pelengkap. Dalam penelitian ini, struktur, tata naskah, dan tata bahasa
menjadi fokus dalam mengungkapkan usaha pencitraan diri yang memiliki
kemahiran berbahasa.
Penelitian-penelitian di atas kurang dilakukan secara mendalam. Hal itu
ditunjukkan dengan penelitian yang lebih fokus pada struktur wacana, bukan
maksud dari wacana tersebut dibuat. Penelitian pidato pengunduran diri ini
diharapkan dapat menyeimbangkan antara struktur wacana dan maksud wacana
itu dibuat. Selain itu, penelitian tentang wacana pidato dalam bidang politik,
penulis hanya menemukan penelitian Kusumawati (2002). Penelitian Nurhidayati
7
(2002) dan Suddhono (2011) tentang wacana pidato/khotbah sementara penelitian
Ekawati(2002) dan Munazharoh (2011) tentang wacana humor di bidang politik.
Pidato yang diteliti Kusumawati merupakan pidato internasional SBY. Dengan
demikian, wacana pidato tersebut digunakan dalam ranah internasional.
Sementara itu, penulis belum menemukan penelitian mengenai wacana
pengunduran diri dalam ranah nasional. Padahal, pengunduran diri seseorang
dalam bidang politik secara nasional banyak dibicarakan oleh masyarakat
Indonesia secara luas.
1.7. Landasan Teori
Penelitian ini akan menggunakan teori analisis wacana dan memanfaatkan
kajian pragmatik sebagai tuntunan kerja. Pragmatik (Yule, 2006: 3) adalah studi
tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh
pendengar (atau pembaca). Mengenai sebab dan akibat pragmatik, studi ini lebih
banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan
tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang
digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah studi tentang maksud
penutur.
Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam
pengertian yang lebih luas) yang disampaikan melalui bahasa yang dikodekan
oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang
digunakan, tetapi yang juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada
8
makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat
penggunaan bentuk-bentuk tersebut (Cruise dalam Ibrahim, 2007:2).
Menurut Cummings (dalam Ibrahim, 2007:3), dalam enkoding linguistik,
yaitu bagaimana bahasa diproduksi, pikiran diubah menjadi bentuk linguistik yang
kemudian dapat menjalankan komunikasi. Proses enkoding ini hanya dapat
dipahami bila ada konteks komunikasi yang lebih luas, ada seorang penerima
yang dapat mendekodekan bentuk linguistik yang dikomunikasikan tersebut.
Enkoding berkaitan dengan dekoding. Dekoding adalah proses bagaimana bahasa
dipahami. Dekoding merupakan aktivitas psikolinguistik yang kompleks dan
melibatkan sejumlah proses yang saling berhubungan. Selain itu, sebagian proses
ini memanfaatkan pengetahuan tentang makna kata-kata agar dapat memperoleh
makna semantik bentuk linguistik.
Gagasan
tentang
konteks
dalam
pragmatik
berada
di
luar
pengejawantahannya, seperti latar fisik tempat dihasilkannya suatu ujaran yang
mencakup faktor-faktor linguistik dan sosial. Menurut Keraf (1980:32) bahasa
dipengaruhi oleh konteks linguistis dan nonlinguistis. Konteks nonlinguis
mencakup dua hal, yaitu hubungan antara kata dan barang atau hal dan hubungan
antara bahasa dan masyarakat atau disebut konteks sosial. Sementara konteks
dalam pragmatik menurut Wijana dan Muhammad (2011: 15) pada hakikatnya
ialah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami
bersama oleh penutur dan lawan tutur sehingga maksud dan tujuan tuturan
tercapai.
9
Menurut Tarigan (1987: 25), wacana adalah rentetan kalimat yang
berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang
lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di
antara kalimat-kalimat itu. Selain itu, masih menurut Tarigan, wacana adalah
kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau
klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang
mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau
tertulis.
Van Dijk (dalam Eriyanto, 20012: 227) melihat suatu teks atau wacana
terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling
mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama ialah struktur
makro, yaitu makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan
melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu wacana. Kedua adalah
superstruktur, yaitu struktur yang berhubungan dengan kerangka suatu teks,
bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam wacana secara utuh. Ketiga
adalah struktur mikro, yaitu makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil
dari suatu teks, yaitu kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, dan parafrase. Ketiga
tingkatan ini dapat dijabarkan sebagai berikut (Eriyanto, 2012: 228-229):
Tabel 1. Struktur Wacana
STRUKTUR WACANA
Struktur Makro
Superstruktur
HAL YANG DIAMATI
Tematik
Tema atau topik yang
dikedepankan dalam suatu wacana.
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan
wacana diskemakan dalam wacana
utuh.
ELEMEN
Topik
Skema
10
Struktur Mikro
Semantik
Makna yang ingin ditekankan
dalam wacana. Misal dengan
memberi detail pada satu sisi atau
membuat ekplisit satu sisi dan
mengurangi detail sisi lain
Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk,
susunan) yang dipilih.
Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang
dipakai dalam wacana.
Retoris
Bagaimana dan dengan cara apa
penekanan dilakukan
Latar, Detail,
Maksud,
Praanggapan,
Bentuk Kalimat,
Koherensi, Kata
Ganti
Leksikon
Gaya bahasa,
Ekspresi
Selain itu, dalam analisis wacana juga menggunkan ilmu sintaksis sebagai
tuntunan kerja. Satuan wacana terdiri dari unsur-unsur yang berupa kalimat;
satuan kalimat terdiri dari unsur atau unsur-unsur yang berupa klausa; satuan
klausa terdiri dari unsur-unsur yang berupa frasa; dan frasa terdiri dari unsurunsur yang berupa kata. Sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa berusaha
menjelaskan unsur-unsur suatu satuan serta hubungan antara unsur-unsur itu
dalam suatu satuan, baik hubungan fungsional maupun hubungan maknawi
(Ramlan, 1986:22).
Dengan demikian, penelitian ini menggunakan teori analisis wacana yang
nantinya berkaitan dengan struktur wacana dan kajian pragmatik yang nantinya
berkaitan dengan konteks dan maksud tuturan pidato pengunduran diri.
1.8. Data dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyediaan data, analisis
data, dan penyajian data (Sudaryanto, 1993:5). Pada tahap penentuan objek
11
penelitian, karena keterbatasan penulis, pencarian data hanya dilakukan dengan
media internet, yaitu browsing dengan kata kunci “pidato pengunduran diri”.
Pencarian data dilakukan di perpustakaan FIB UGM pada bulan September—
Oktober 2013. Dari hasil browsing tersebut ditemukan dua belas pidato
pengunduran diri. Akan tetapi, penulis hanya mengambil lima pidato pengunduran
diri dalam bidang politik. Pidato-pidato pengunduran diri tersebut meliputi: (1)
Pidato pengunduran diri Andi Malarangeng sebagai Menteri Pemuda dan
Olahraga (Menpora). (2) Pidato pengunduran diri Soeharto sebagai presiden
Rebublik Indonesia. (3) Pidato pengunduran diri Anas Urbaningrum sebagai ketua
umum Partai Demokrat. (4) Pidato pengunduran diri Lutfi Hasan Ishaq sebagai
ketua umum Partai Keadilan Sejahtera. (5) Pidato pengunduran diri Hari
Tanoesudibyo sebagai dewan pakar partai Nasional Demokrat. Dari kelima pidato
pengunduran diri tersebut, pidato tiga pidato pengunduran diri dijadikan objek
penelitian berdasarkan kelengkapan struktur, yaitu pidato (1), pidato (2), dan
pidato (3).
Dalam penyediaan data teknik penjaringan dilakukan dengan teknik simak
bebas libat cakap, yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut
berpartisipasi dalam proses pembicaraan. Data yang diambil adalah data lisan
yang telah diunduh dari internet tadi (dalam bentuk video). Dalam video tersebut,
panjang pidato (1) ialah 31 menit 2 detik, pidato (2) ialah 6 menit 30 detik, dan
pidato (3) ialah 4 menit 53 detik. Data lisan kemudian ditranskipsi dalam bentuk
tulisan. Data yang telah diperoleh kemudian diklasifikasi menurut kebutuhan,
seperti fungsi tindak tutur, konteks bersangkutan, dan bagian lain dalam pidato.
12
Pengklasifikasian ini dilakukan per pidato pengunduran diri. Pengelompokan
klasifikasi per pidato pengunduran diri diperlukan untuk menjaga keutuhan
wacana dalam tahap analisis. Dari hasil klasifikasi ditemukan populasi berjumlah
110 dan yang digunakan sampel berjumlah 80.
Pada tahap analisis metode yang digunakan ialah metode padan pragmatis.
Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya merupakan
lawan atau mitra wicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya,
satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan
atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara.
Teknik yang digunakan kebanyakan ialah teknik baca markah. Teknik baca
markah adalah teknik analasis data dengan cara “membaca pemarkah” dalam
suatu konstruksi. Pemarkah/penanda itu adalah alat seperti imbuhan, kata
penghubung, kata depan, dan artikel yang menyatakan ciri ketatabahasaan, fungsi
kata, atau konstruksi.
Pada tahap penyajian data, hasil analisis yang telah diperoleh kemudian
disajikan dengan metode penyajian formal (perumusan dengan tabel, dan bagan)
dan informal (perumusan dengan kata-kata biasa).
1.9. Sistematika Penyajian
Penelitian ini dibagi menjadi lima bab. Bab pertama berupa pendahuluan
yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, cara
penelitian, jadwal penelitian, dan sitematika penyajian.
13
Bab kedua berisi tentang struktur wacana dalam pidato pengunduran diri.
Bab ketiga berisi konteks yang terkandung dalam pidato pengunduran diri
tersebut. Bab keempat berisi pembahasan mengenai fungsi pidato pengunduran
diri. Bab kelima adalah penutup yang berisi simpulan dan saran.
Sementara itu, penomoran data, tabel, dan bagan disajikan berulang setiap
pergantian subbab.
Download