II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Lingkungan Ikan Nila Gift Ikan nila gift merupakan golongan ikan euryhalien, pada salinitas > 29 ppt ikan ini masih dapat bertumbuh dengan baik tetapi tidak dapat berkembang biak. Ikan ini tumbuh baik pada lingkungan perairan bersuhu antara 27 - 33ºC, dengan kadar oksigen terlarut > 2 mg/L, pH 6 – 8,3, alkalinitas 90 – 190 mg/L, kesadahan 62 – 79 mg/L CaCO 3 (Anggarwati 1991). 2.2 Distribusi dan Akumulasi Pencemar Logam oleh Hewan Air Logam berat yang mencemari perairan akan mencemari juga biota air yang hidup didalamnya. Logam yang esensial maupun yang tidak esensial yang masuk ke dalam tubuh makhluk hidup akan terserap dan terdistribusi ke dalam jaringan serta tertimbun dalam jaringan tertentu. Logam yang esensial diperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang sedikit untuk proses enzimatik. Tubuh makhluk hidup biasanya memiliki kemampuan mentoleransi logam yang tidak diperlukan tubuh (racun) melalui proses ekskresi tubuh, namun kelebihannya akan berakibat toksik bagi makhluk hidup itu sendiri (Darmono 1995). Distribusi dan akumulasi logam berbeda-beda untuk setiap organisme air, hal ini dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi logam dalam air, pH, dan fase pertumbuhan. Dengan adanya bahan beracun dalam perairan akan mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah jenis dan populasi organisme yang peka, dan akan meningkatkan jumlah populasi organisme yang tahan terhadap tingkat pencemaran yang telah terjadi. Suatu pencemar yang memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penghancuran dan pembuangan dalam suatu makhluk hidup akan cenderung terakumulasi mencapai kepekatan yang relatif tinggi (Palar 1994). Selanjutnya Hutagalung (1991) menyatakan bahwa akumulasi terjadi karena logam berat dalam tubuh organisme cenderung membentuk senyawa kompleks dengan zat-zat organik yang terdapat dalam tubuh organisme, sehingga logam berat terfiksasi dan tidak diekskresikan oleh organisme yang bersangkutan. 6 2.3 Toksisitas Tembaga (Cu) Logam dalam jaringan organisme akuatik menurut Simkiss dan Mason (1984) dibagi menjadi dua tipe utama, yaitu logam tipe klas A seperti Na, K, Ca, dan Mg yang pada dasarnya bersifat elektrostatik dan pada larutan garam berbentuk ion hidrofilik, dan logam tipe klas B seperti Cu, Zn, dan Ni yang merupakan komponen kovalen dan jarang berbentuk ion bebas. Logam klas B ini, bila masuk ke dalam sel hewan biasanya selalu proposional dengan tingkat konsentrasi logam dalam air sekitarnya, sehingga logam dapat terikat dengan adanya ligan dalam sel. Tembaga dengan nama kimia Cupprum dilambangkan dengan Cu. Dalam tabel periodik unsur-unsur kimia tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dan mempunyai bobot atom (BA) 63,546. Cu merupakan unsur tambahan yang terdapat di alam dan dapat ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau dalam senyawa padat dalam bentuk mineral. Tembaga merupakan suatu unsur yang sangat penting dan berguna untuk metabolisme. Batas konsentrasi dari unsur ini yang berpengaruh terhadap air berkisar antara 1 – 5 mg/L yang merupakan konsentrasi tertinggi. Dalam industri, tembaga banyak digunakan dalam industri cat, industri fungisida serta dapat digunakan sebagai katalis, baterai elektroda, sebagai pencegah pertumbuhan lumut. Bagi makhluk hidup, tembaga berperan khususnya dalam beberapa kegiatan seperti enzim pernapasan sebagai tirosinase dan silokron oksidasi. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam perairan tempat hidupnya. Konsentrasi Cu terlarut yang mencapai 0,01 ppm dapat menyebabkan kematian bagi fitoplankton. Jenis-jenis yang termasuk keluarga krustase akan mengalami kematian dalam waktu 96 jam, bila konsentrasi Cu terlarut berada dalam kisaran 0,17-1,00 ppm. Dalam waktu yang sama, biota yang tergolong ke dalam keluarga moluska akan mengalami kematian bila Cu yang terlarut dalam badan perairan berada dalam kisaran 0,16-0,5 ppm. Konsentrasi Cu yang berada dalam kisaran 2,5–3,0 ppm dalam badan perairan dapat membunuh ikan-ikan (Palar 1994). Moore (1991) menyatakan bahwa toksisitas tembaga (EC 50 ) bagi mikroalgae Scenedesmus quadricauda berkisar antara 0,1 – 0,3 mg/L. Nilai LC 50 7 tembaga bagi avertebrata air tawar dan laut biasanya < 0,5 mg/L, sedangkan terhadap ikan-ikan air tawar biasanya berkisar antara 0,02 – 1,0 mg/L. Kehadiran Cu di suatu perairan dalam konsentrasi tertentu sangat penting bagi fungsi-fungsi fisiologis dari jaringan kehidupan dan proses-proses biokimia lainnya (Chapman 1992). Pada tumbuhan air, termasuk algae, tembaga berperan sebagai penyusun plastocyanin yang berfungsi dalam transpor elektron dalam proses fotosintesis. Selain itu juga tembaga ditemukan dalam protein plasma seperti seruloplasmin yang berperan dalam pembebasan Fe (besi) dari sel plasma. Apabila masuk dalam perairan yang alkalis, ion tembaga akan mengalami presipitasi dan mengendap sebagai tembaga hidroksida dan tembaga karbonat (Wedemeyer 1996). Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan logam diabsorpsi darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi logam berat dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktifitas fisiologis (Connel dan Miller 1995). 2.4 Kualitas Air 2.4.1 Karbondioksida Sebagian besar permukaan air memiliki konsentrasi karbondioksida yang sangat sedikit (1-2 mg/L) yang berasal dari atmosfer, proses dekomposisi mikroba, atau dari proses respirasi yang dilakukan oleh mikroorganisme, algae, dan tanaman air lainnya. Level CO 2 dapat meningkat ketika terjadi hujan asam atau masuknya aliran air yang bercampur dengan mineral-mineral karbonat. Namun, sumber utama CO 2 dalam kolam adalah berasal dari hasil metabolisme ikan. Karbondioksida sangat mudah larut dalam suatu larutan. Pada umumnya, perairan alami mengandung karbondioksida sebesar 2 mg/liter. Pada konsentrasi yang tinggi (> 12 mg/liter), karbondioksida dapat beracun, karena keberadaannya dalam darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh hemoglobin (Boyd 8 1990). Selanjutnya dinyatakan bahwa, kebanyakan spesies budidaya dapat bertahan pada air yang memiliki konsentrasi CO 2 lebih dari 60 mg/L apabila masih terdapat DO dalam jumlah tinggi. Lingkungan perairan dengan konsentrasi CO 2 yang tinggi, dapat menghalangi respirasi CO 2 pada insang ikan sehingga dapat menyebabkan kekurangan O 2 , hal ini disebabkan karena insang ikan sangat tergantung pada perbedaan kadar konsentrasi CO 2 di dalam darah dengan air untuk memindahkan gas. Kadar CO 2 yang tinggi dapat mengurangi jumlah CO 2 yang dapat dipindahkan. Nilai pH menentukan batas toksisitas CO 2 terlarut. Pada pH di bawah 5, sebagian besar karbondioksida terlarut berada dalam bentuk CO 2 , pada nilai pH antara 7-9 berbentuk sebagai HCO 3 -, dan pada pH diatas 11 sebagai ion CO 3 2-. 2.4.2 Oksigen Terlarut (DO) Konsentrasi DO yang terlalu rendah dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada ikan, seperti hypoxia, anorexia, respiratori stres, pingsan, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Beberapa spesies tilapia menunjukkan kemampuan bertahan hidup dengan baik pada konsentrasi DO 1 mg/L (Uchida dan King 1962; Denzer 1968, diacu dalam Stickney 1979). Masuknya oksigen kedalam perairan melalui difusi pasif dari atmosfer, suatu proses yang terjadi akibat perbedaan tekanan parsial oksigen dalam air dan udara (Wedemeyer 1996). Selanjutnya Boyd (1982) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu, salinitas, agitasi dan tekanan. Pengaruh tekanan udara terhadap oksigen terlarut yaitu mempercepat proses kelarutan dan pelepasan oksigen. 2.4.3 Suhu Suhu berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap aktifitas enzim, tingkat metabolisme dan kadar oksigen. Tingkat penyerapan racun dapat lebih tinggi dengan adanya kenaikan suhu. Kenaikan suhu di atas kisaran toleransi organisme dapat meningkatkan laju metabolisme, seperti pertumbuhan, 9 reproduksi dan aktifitas organisme. Pada spesies perairan tropis memiliki suhu optimal >25ºC (Stickney 1979). 2.4.4 Nilai pH Nilai pH merupakan suatu ekspresi dari konsentrasi ion hidrogen (H+) dan menjelaskan logaritma negatif (-log [H+]) dari aktifitas ion hidrogen . Jika terjadi penurunan pH dari 6 ke 5 artinya terjadi peningkatan kepekatan ion H+ sebanyak 10 kali lipat. Kisaran pH di bawah 4,0 menyebabkan ikan mengalami kematian, dan pada pH 2,0-5,0 tidak dapat memijah. Swingle 1961; Mount 1973, diacu dalam Boyd 1988 menyatakan, bahwa titik mati asam dan basa untuk ikan masing-masing antara pH 4 dan pH 9. Namun demikian, jika perairan lebih asam dari pH 6,5 atau lebih basa dari pH 9,5 untuk waktu yang lama, maka pertumbuhan dan reproduksi akan menurun. Nilai pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan dan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka dapat diketahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan organisme akuatik. Perubahan nilai pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia dan juga tembaga (Cu). Nilai pH 7 merupakan nilai pH optimum yang baik bagi pertumbuhan dan reproduksi ikan, pada kondisi ini perairan berada dalam keadaan stabil. 2.4.5 Total Amonia Nitrogen (TAN) Amonia yang terkandung di perairan berasal dari perombakan bahan organik dan pengeluaran hasil metabolisme ikan maupun biota akuatik lainnya melalui ginjal dan insang. Kadar total amonia (TAN) dalam bentuk NH 3 maupun NH 4 + di dalam suatu perairan dipengaruhi juga oleh pH dari perairan tersebut. Pada pH 7 atau kurang dari 7, nilai TAN di perairan lebih banyak dalam bentuk terionisasi yang bersifat kurang toksik. Sebaliknya pada pH lebih dari 7, TAN lebih banyak dalam bentuk yang tidak terionisasi (bebas) yang bersifat toksik. Selain pH, suhu juga mempengaruhi kadar amonia (NH 3 ). Dengan meningkatnya 10 suhu maka akan meningkatkan kadar amonia dalam perairan. Amonia yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuhnya sehingga akan mempengaruhi tekanan osmotik tubuh, dengan demikian konsumsi oksigen pada jaringan insang meningkat sehingga mengurangi kemampuan darah dalam mengedarkan oksigen. Kadar amonia (NH 3 ) yang dapat ditoleransi oleh ikan adalah 0,098 ppm (Boyd 1990). 2.4.6 Hidrogen Sulfida (H 2 S) Hidrogen sulfida (H 2 S) merupakan gas hasil uraian bahan organik yang diuraikan oleh bakteri dalam kondisi anaerob. Perubahan pH mendistribusikan asam sulfida menjadi bentuk-bentuk yang lain (H 2 S, HS-, dan S2-). Sulfida dihasilkan oleh beberapa bakteri heterotrofik, misalnya Desulfovibrio yang memanfaatkan sulfat dan senyawa sulfur lainnya sebagai akseptor akhir elektron dalam proses metabolisme dan menghasilkan gas belerang. Hidrogen sulfida yang tidak terionisasi sangat berbahaya bagi organisme perairan (Boyd 1989). Sifat yang ditimbulkan H 2 S yaitu mudah larut, toksik dan menimbulkan bau telur busuk. Konsentrasi maksimum H 2 S di perairan adalah sebesar 0,02 mg/L. 2.5 Histopatologi dan Gambaran Darah Ikan 2.5.1 Histopatologi ikan Histopatologi adalah metode yang sensitif dan secara biologis bernilai untuk mengukur efek stres hewan terhadap lingkungan. Perubahan histopatologi sebagai indikator penting faktor stres dimana perubahannya dapat terjadi secara biokimia dan fisiologis. Perubahan ini biasa digunakan untuk meramal efek yang mungkin terjadi pada organisme seperti respon pertumbuhan, reproduksi, menghindarkan diri dari predator, dan stabilisasi populasi yang terjadi pada tingkat yang lebih tinggi (Mackim 1985; Meyer dan Hendricks 1985, diacu dalam Hinton dan Laurtn 1990). Untuk melihat perubahan yang ditimbulkan akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh ikan terutama pada organ pernafasan (insang), dan ginjal maka dilakukan pengamatan secara histopatologi. Histologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan. Patologi adalah kajian tentang 11 penyakit atau kajian tentang adaptasi yang tidak cukup terhadap perubahanperubahan lingkungan eksternal dan internal. Insang adalah organ yang berhubungan dengan pernapasan utama dari ikan. Epithelium insang dari ikan adalah lokasi pertukaran gas yang utama, keseimbangan asam basa, dan regulasi ion. Fungsi organ pernafasan ini adalah hal yang penting bagi kehidupan ikan, dan untuk seluruh keberadaan ikan. Oleh karena itu, jika ikan diekspos ke lingkungan yang tercemar, akan membahayakan fungsi utama dari organ pernafasan ikan tersebut. Toksisitas logam-logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernapasan yakni sirkulasi dan eksresi dari insang. Unsurunsur logam berat yang mempunyai pengaruh terhadap insang adalah timah, seng, besi, tembaga, kadmium dan merkuri (Widodo 1980). Ginjal berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, termasuk polutan seperti logam berat yang toksik. Hal tersebut menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan oleh daya toksik logam. Ginjal berperan utama dalam ekskresi metabolisme, pencernaan dan tempat penyimpanan berbagai unsur, termasuk bahan racun. Histopatologi ginjal adalah suatu kunci indikator dari toksisitas bahan kimia. 2.5.2 Gambaran darah ikan Sel darah tersusun atas sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit), dan kedua tipe sel ini terbentuk pada jaringan hematopoetik ginjal. Volume darah pada ikan lebih sedikit dibandingkan dengan vertebrata lainnya, yaitu sekitar 3% dari berat tubuhnya. Darah mempunyai fungsi vital diantaranya adalah mengedarkan nutrien ke seluruh sel-sel tubuh, membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh serta membawa hormon dan enzim ke organ yang memerlukannya (Wedemeyer 1996). Darah mengalir dengan membawa oksigen dari insang ke jaringan, karbondioksida ke kulit dan insang, serta produk pencernaan dari hati ke jaringan dan ion seperti Na+ dan Cl- yang berperan dalam osmoregulasi. Sedangkan bahan-bahan asing atau yang tidak dibutuhkan oleh tubuh diangkut ke ginjal dan dikeluarkan melalui urin atau dipagositasi. 12 Parameter darah merupakan suatu indikator adanya perubahan kondisi kesehatan ikan, baik karena faktor infeksi (mikroorganisme) maupun karena faktor non infeksi oleh lingkungan, genetik, dan nutrisi. Menurut Amlacher (1970), darah mengalami perubahan-perubahan yang serius khususnya bila terkena infeksi oleh bakteri, dalam hal ini Bacterial Haemorragic Septicemia. Selain itu, kelebihan dan kekurangan makanan juga mempengaruhi komposisi darah (perubahan pada level total protein, hemoglobin, dan total eritrosit). Eritrosit pada ikan merupakan sel yang terbanyak yang berfungsi sebagai transpor oksigen. Pada ikan air tawar berjumlah sekitar 1-2 juta sel/mm3 (Bowser 1993, diacu dalam Wedemeyer 1996). Sedangkan menurut Roberts (1978), pada ikan normal (yang tidak terkena penyakit atau gangguan-gangguan lainnya) jumlah sel darah merah berkisar 1,05-3,00 x 106 sel/mm3. Rendahnya jumlah eritrosit menandakan ikan mengalami anemia dan kerusakan organ ginjal. Sedangkan tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stres dan terserang patogen (Wedemeyer dan Yasutake 1977; Nabib dan Pasaribu 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies, perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktifitas fisik, dan umur (Dellman dan Brown 1989). Leukosit berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit, pada ikan Chanel catfish total leukosit berjumlah 64,75 x 103 sel/mm3 (Wedemeyer 1996). Menurut Rastogi (1977), jumlah sel darah putih pada ikan air tawar berkisar antara 20.000-150.000 sel/mm3 darah. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinis penting untuk evaluasi proses penyakit (Dellman dan Brown 1989). Leukosit berdiferensiasi di ginjal menjadi beberapa tipe khusus seperti limposit, netrofil, dan trombosit. Jumlah limposit pada ikan salmon adalah 90-98%, netrofil 1-9%, dan trombosit 1-6% sedangkan monosit sekitar 0,1% dari total leukosit. Trombosit berfungsi utama dalam pembekuan darah apabila terjadi luka pada tubuh ikan serta mengaktifkan protrombin menjadi trombin dengan bantuan kalsium. Trombosit merupakan nukleat dan berukuran lebih kecil daripada limposit tetapi sering tidak ditemukan pada darah ikan yang tidak mengalami stres (Wedemeyer 1996). Monosit beredar melalui peredaran darah dan mampu 13 menembus dinding kapiler, masuk ke dalam jaringan penyambung dan berdiferensiasi menjadi sel-sel fagositik (Rastogi 1977). Netrofil berfungsi melawan penyakit bersama-sama dengan eosinofil yang disebabkan oleh organisme mikroseluler seperti bakteri dan virus. Sifat melawan penyakit ini disebut sifat fagositik yaitu memakan dan menghancurkan sel penyebab penyakit (Lagler et al. 1977). Hematokrit merupakan perbandingan antara sel darah merah dan plasma darah, serta berpengaruh terhadap pengaturan sel darah merah (Hesser 1960). Peningkatan kadar hematokrit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama suhu perairan serta keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan (Jawad et al. 2004). Menurut Snieszko (1960) ikan rainbow trout yang normal, nilai hematokrit berkisar antara 23-33%. Apabila ikan terserang penyakit atau kehilangan nafsu makan karena sebab-sebab yang tidak jelas, maka nilai hematokrit menjadi lebih rendah (Snieszko 1960). Hal ini sesuai dengan Angka et al. (1985) yang menyatakan bahwa apabila ikan terkena penyakit atau nafsu makannya menurun, maka nilai hematokrit akan menjadi rendah. Menurut Angka et al. (1985) hematokrit ikan bervariasi tergantung pada faktor nutrisi dan umur ikan. Anak ikan dengan nutrisi baik mempunyai kadar hematokrit lebih tinggi daripada ikan dewasa atau anak ikan dengan nutrisi rendah. Nabib dan Pasaribu (1989) menyatakan bahwa nilai hematokrit di bawah 30% menunjukkan defisiensi eritrosit. Sedangkan Gallaugher et al. (1995) menyatakan bahwa nilai hematokrit yang lebih kecil dari 22% menunjukkan ikan mengalami anemia. Hemoglobin adalah protein dalam eritrosit yang tersusun atas protein globin tidak berwarna dan pigmen heme yang dihasilkan dalam eritrosit. Kemampuan darah untuk mengangkut oksigen bergantung pada kadar Hb dalam darah (Lagler et al. 1977). Disebutkan juga oleh Siakpere et al. (2005) bahwa secara fisiologis, hemoglobin menentukan tingkat ketahanan tubuh ikan dikarenakan hubungannya yang sangat erat dengan daya ikat oksigen oleh darah. Wells et al. (2005) menyatakan bahwa 1 gram hemoglobin dapat mengikat kira-kira 1,34 mL oksigen. Hemoglobin dalam darah ikan teleostei berkisar antara 37-70% (Lagler et al. 1977). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ogbulie dan 14 Okpokwasili (1999) diperoleh bahwa Clarias garipienus yang sehat memiliki nilai hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang sakit. Molekul hemoglobin adalah suatu protein dalam eritrosit yang terdiri dari protoporfirin, globin dan besi (Fe) bervalensi. Hemoglobin darah merupakan alat transportasi oksigen dan karbondioksida. Di dalam kapiler-kapiler insang, hemoglobin bergabung dengan oksigen membentuk oksihemoglobin. Menurut Angka et al. (1985) kadar hemoglobin dalam darah ikan mas dewasa normal adalah 8,61±0,43 - 10,86±0,48 g/100mL, sedangkan menurut Blaxhall (1972) bahwa kadar hemoglobin dibawah kisaran kadar hemoglobin ikan normal mengindikasikan ikan mengalami anemia. Meningkatnya kadar hemoglobin menunjukkan ikan berada dalam keadaan stres (Anderson dan Swicki 1993). 2.6 Toksisitas Cu Terhadap Konsumsi Oksigen dan Respon Hematologi Laju konsumsi oksigen dalam tubuh biota air dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor-faktor lingkungan (eksternal) dan faktor-faktor dalam biota itu sendiri (internal). Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan, yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Insang sebagai alat pernapasan ikan, juga digunakan sebagai alat pengatur tekanan antara air (lingkungan) dengan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Oleh sebab itu, insang merupakan organ yang penting pada ikan, yang juga sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Sel epitel insang merupakan tempat beberapa macam logam klas B terikat. Keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi sistem respirasi organisme akuatik.