MENELAAH ULANG HUKUM ABORSI (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif) Oleh : Ahmad Suhendra *) Judul : Aborsi dan Hak-Hak Reproduksi dalam Islam Penulis : Istibsjaroh Penerbit : LKiS Tahun Terbit : I, 2012 Tebal : xx + 74 Halaman Kontroversi aborsi di Indonesia masih belum menemukan titik terang, apalagi memberikan solusi yang tepat terhadap problem masyarakat yang sudah semakin kompleks. Apabila menengok hukum positif di Indonesia, setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan aborsi tertera dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan Regulasi ini, maka terdapat kecenderungan mempidanakan tindakan aborsi, sehingga marak terjadi aborsi ilegal (illegal abortus atau Abortus Provocatus Criminali) yang tidak aman. Akibat pemidanaan aborsi, maka para pasien yang tidak ingin terkena hukuman akibat melanggar hukum, terpaksa merelakan mempertaruhkan nyawanya hanya untuk melakukan aborsi yang tidak aman. Negara, dalam hal ini, belum memberikan solusi yang tepat dan proporsional dalam menyikapi permasalahan aborsi. Permasalahan aborsi saat ini semakin berkembang, karena menyangkut kesehatan reproduksi. Permasalahan ini ditambah dengan, ketika ditelisik ulang, undang-undang itu masih terdapat kerancuan yang menimbulkan multitafsir. Begitu juga, ketika menengok hukum Islam (fiqh) klasik, pada dasarnya tindakan pengguguran janin ini dilarang. Hal ini disebabkan, para ulama hukum Islam (fiqh) memandang tindakan aborsi sebagai kejahatan kemanusiaan, karena mengacu pada QS. al-Baqarah ayat *) Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menelaah Ulang Hukum Aborsi ( Ahmad Suhendra ) 228, yang menerangkan bahwa manusia senantiasa tidak terjerumus ke dalam kerusakan dan kehancuran, sehingga manusia harus menjaga kehidupan. Ayat lain, yang biasanya menjadi dasar pengharaman aborsi, adalah QS. Al-An’am: 151, yang melarang untuk membunuh anak-anak kita karena takut miskin. Walaupun terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqh itu sendiri. Di sisi lain, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong tinggi di dunia. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, AKI di Indonesia mencapai angka tertinggi di ASEAN. Banyak yang melakukan aborsi secara sembunyi-sembunyi dan tidak aman menjadi salah satu penyebab AKI di Indonesia sangat tinggi mencapai 228/100.000 kelahiran hidup. Hal ini yang belum terjawab secara proporsional oleh hukum Islam klasik dan hukum positif di Indonesia. Aborsi bagi sebagian orang merupakan tindakan yang tidak bermoral, karena melakukan kejahatan dengan membunuh janin. Negara turut bercampur tangan dengan melarang perbuatan aborsi. Begitu juga dengan legitimasi hukum Islam (fiqh) yang mengharamkan tindakan aborsi. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana hukum Islam memberikan solusi, tidak hanya benar, tetapi juga tepat (proporsional) untuk masalah-masalah sosial di era globalisasi saat ini? Aborsi Dalam Lintasan Empat Mazhab Fiqh Ulasan dalam buku ini difokuskan pada kajian hukum Islam (fiqh) klasik, terutama empat mazhab fiqh, yakni Hanafiyah, Hambaliyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah. Secara umum, para ulama mazhab yang empat mengharamkan hukum aborsi setelah peniupan ruh. Tetapi mereka berbeda pendapat aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh. Perbedaan itu terletak pada kapan peniupan ruh kepada janin (calon bayi). Perbedaan itu berimplikasi pada penetapan hukum aborsi. Para ulama berbeda pendapat bahwa peniupan ruh pada janin pada 40 hari sampai usia 120 hari kehamilan. Istibsjaroh memberikan ringkasan perbedaan pendapat empat mazhab mengenai hukum aborsi, yaitu: 1. Ulama penganut mazhab al-Syafi’i (syafi’iyun) berbeda pendapat mengenai aborsi sebelum terjadinya peniupan ruh terbagi dua, yaitu membolehkan dan mengharamkan. Alasan dibolehkan, karena sebelum usia tersebut janin belum berbentuk manusia, sedangkan bagi yang mengharamkan, mereka beralasan bahwa proses kejadian manusia sudah dimulai sejak terjadinya bersatunya sperma dan ovum (konsepsi). 319 320 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012 2. Pandangan ulama mazhab Hanafi (Hanafiyun) tentang aborsi sebelum terjadinya peniupan ruh hukumnya makruh. Adapun yang dijadikan alasan untuk melakukan aborsi adalah harus berkaitan dengan kemaslahatan, baik untuk ibu maupun janinnya. 3. Ulama bermazhab Maliki (malikiyun) berpendapat hukum tindakan aborsi haram meskipun belum terjadi peniupan ruh, karena dianggap merampas hak hidup adam. 4. Ulama mazhab Hambali memberikan hukum aborsi lebih longgar, dibolehkan melakukan aborsi sebelum 40 hari, jika setelah itu hukumnya diharamkan. Di antara empat mazhab tersebut, ada yang memberikan hukum aborsi secara ketat, dan ada mazhab yang memberikan hukumnya dengan beberapa kelonggaran. Namun demikian, terdapat beberapa ulama yang sangat ketat dalam memberikan hukum atas tindakan aborsi di setiap mazhab yang empat tersebut. Para ulama yang berpendapat demikian, di antaranya, adalah imam al-Ghazali dari mazhab Syafi’iyun. Imam al-Ghazali berpendapat dalam Ihya ‘Ulum al-Din, “ketika sperma telah bercampur dengan ovum di dalam rahim itu sudah proses kehidupan, maka merusaknya dipandang sebagai tindakan melanggar hukum.” Para ulama yang ketat dalam memberikan hukum aborsi dari empat mazhab itu, baik ulama yang bermazhab Hanafiyun, Hambaliyun, Syafi’iyun, maupun Malikiyun, menyatakan aborsi adalah haram mutlak. Di sisi lain, Quraish Shihab memandang bahwa tindakan aborsi, setelah atau sebelum 120 hari (ditiupkannya ruh), tetap dilarang dengan alasan apapun. Aborsi tidak berkaitan dengan masalah dosa atau tidak, tetapi ia berkaitan dengan kadar dosa dan sanksi hukum yang harus dikenakan kepada para pelaku. Namun, di akhir tulisannya, Shihab menyatakan, Ciri ajaran Islam yang moderat adalah membenarkan aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu, dengan syarat para dokter yang terpercaya menduga keras bahwa kehamilan akan membahayakan jiwa ibu. Di kalangan sementara pemikir Muslim, terbetik pandangan untuk membenarkan aborsi, lebih-lebih jika kandungannya belum mencapai usia 120 hari, apabila diduga keras bahwa janin akan lahir dalam keadaan cacat amat berat, atau mengidap penyakit yang amat serius, sehingga kelak bila lahir dan dewasa dia tidak berfungsi sebagaimana layaknya seorang manusia (Shihab, 2007: 289). Menelaah Ulang Hukum Aborsi ( Ahmad Suhendra ) Keharaman aborsi menurut mereka tidak dilihat dari sebelum peniupan ruh atau sesudah peniupan ruh. Tetapi, aborsi merupakan tindakan membunuh manusia hal itu melanggar sunnatullah dan bertentangan dengan hukum agama. Pada umumnya, pendapat para ulama hukum Islam (fiqh) klasik saat ini cenderung bermuara pada pengharaman tindakan aborsi dengan alasan apapun. Sakralitas Islam dan Hukum Aborsi Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam selalu relevan di mana pun dan kapan pun (shalih likulli zaman wa makan). Begitu juga dengan hukum Islam (fiqh), yang begitu elastis dalam melihat realitas dengan maqashid al-syari’ah. Walaupun, tidak dapat dipungkiri, yang namanya hukum tidak dapat lepas dari hitam-putih. Akan tetapi, proses untuk menentukan hitam putih itulah yang tidak serta-merta mendeskriminatifkan nilai-nilai kemanusiaan, atau meminjam istilah Zuhairi Misrawi, terjadi dehumanisasi sosial keagamaan. Menurut Istibsjaroh, penulis buku, sakralitas Islam disebabkan oleh transendensitas sumber-sumber agama yang berbasis wahyu yaitu divinitas al-Qur’an dan sunnah (revealed religion) yang tidak dapat diamandemen. Kendati demikian, sakralitas Islam tersebut tidak lantas menjadikan Islam sebagai agama yang tidak berdimensi sosial (hal. 10-11). Al-Qur’an dan Hadis memang tidak dapat di-utakatik, bahkan diamandemen, tetapi turunan dari keduanya (produk penafsiran) dapat direkonstruksi, direinterpretasi, atau dapat dilakukan dekonstruksi. Produk penafsiran atau produk hukum klasik yang dipraktikkan sampai saat ini merupakan hasil perkawinan sosialbudaya-politik pada masanya dengan kitab suci. Dengan demikian, produk penafsiran maupun produk hukum (fiqh) klasik yang sudah termakan masa, sebagian, untuk tidak mengatakan semua, sudah tidak relevan apabila masih diterapkan pada masa saat ini. Perlu adanya produk penafsiran maupun hukum kontemporer yang lebih dinamis dan humanis. Hal di atas disebabkan, konsepsi Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman manusia untuk mencapai kesalehan individual maupun komunal, begitu juga kesalehan ritual dan sosial, dipastikan selalu bersinergi dengan realitas sosial. Di dalam hal ini, legal rulings (hukumhukum) menjadi point penting dalam konstruksi teks-teks keagamaan. Karena objek hukum menyambung mata rantai keterkaitan manusia secara vertikal dengan Tuhan, dan secara horizontal dengan sesama manusia dan makhluk lainnya (hal. 11). 321 322 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012 Tindakan aborsi, seharusnya, tidak dipandang sebelah mata sebatas dikaitkan dengan masalah moral, melanggar hukum, bertentangan dengan ajaran agama, dan sebagainya. Padahal, Islam sebagai salah satu agama dalam menghadapi elemen kehidupan sosial seperti hukum, mempunyai sikap dasar agree in disagreement dan competition in good. Aplikasi konkrit kedua sikap ini akan mewujudkan kehidupan sosial yang tidak sekadar penuh harmonis-progresif, tetapi juga kerjasama yang produktif dan dinamis (hal. 6). Apabila sikap seperti ini telah menjadi landasan etik dan moral, maka akan mengkondusifkan proses kontekstualisasi dalam mengatasi masalah kemanusiaan. Dengan konsepsi itu, aborsi tidak hanya menyangkut masalah moral maupun aturan agama, jika memang hendak dikaitkan dengan keduanya, tetapi juga erat kaitannya dengan masalah kesehatan. Alasan yang disebutkan terakhir seharusnya menjadi pertimbangan masalah aborsi, sebagaimana pendapat peresensi sebelumnya, untuk mendapatkan produk hukum yang proporsional atau tepat guna. Alasannya, dampak dari aborsi yang tidak aman sangat berbahaya bagi jiwa dan kesehatan ibu. Kehamilan yang tidak diinginkan, secara psikologis, mengakibatkan kondisi keterpurukan. Instabilitas psikologis dalam tingkat-tingkat tertentu, mengimplikasikan tindakan yang pada mulanya tidak terpikirkan, namun pada akhirnya dianggap sebagai solusi final (hal. 4). Dengan begitu, aborsi berdampak signifikan terhadap keselamatan fisikis maupun psikis baik ibu yang mengandung, maupun janin. Ketika perempuan/ibu mencoba melakukan pengguguran, tetapi gagal atau berhasil digagalkan, dampaknya akan mempengaruhi pertumbuhan dan psikologis anak tersebut. Istibsjaroh mengumpulkan ada beberapa alasan yang mengakibatkan perempuan melakukan aborsi, di antaranya, sebagai berikut. Pertama, pada perempuan yang belum atau tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya bagi yang masih berusia remaja, karena pacar tidak mau bertanggung jawab, takut kepada orang tua, sementara bagi yang berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan seseorang, mereka melakukan aborsi karena dilarang hamil oleh pasangannya. Kedua, pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, faktor sosial ekonomi, alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dirinya. (hal. 61-62) Menelaah Ulang Hukum Aborsi ( Ahmad Suhendra ) Dengan demikian, banyak faktor yang melatarbelakangi seorang perempuan/ibu melakukan aborsi, mulai dari faktor ekonomi, kehamilan tidak diinginkan, korban perkosaan, terlalu banyak anak, sampai penyakit yang mengganggu keselamatan dirinya dan janinnya. Setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk melakukan aborsi yang tidak dipahami orang lain. Peresensi meyakini, setiap perempuan atau ibu, secara psikologis dalam bawah alam sadarnya, tidak akan rela untuk menggugurkan janin yang ada di rahimnya, bahkan membunuh anak yang sudah dilahirkannya dengan susah payah. Namun, dorongan-dorongan eksternal itu yang memaksa perempuan/ibu untuk melakukan aborsi atau pengguguran secara sengaja. Perempuan hamil di luar nikah, misalnya, karena faktor dorongan sosial berupa mendapat stigma negatif atau bahkan didiskriminatifkan dari masyarakat, momok atau aib bagi keluarga, atau juga karena paksaan dari pasangannya yang enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Faktor-faktor eksternal itulah yang memiliki andil dalam membentuk alur pemikiran perempuan untuk menemukan jalan pintas dengan aborsi. Dan sekali lagi, yang menjadi korban dan tersiksa adalah perempuan. Akibat illegalitas abortus dalam hukum Indonesia dan kualifikasinya, sebagaimana disebutkan di atas, sebagai tindakan kriminal, maka calon ibu mencari pelaku pengguguran yang ilegal dan tidak aman, dan akhirnya menyebabkan kematian (hal. 4-5). Menurut Maria Ulfah Anshor (2006: 73), stigma negatif di atas diperparah dengan berkembangnya di masyarakat tentang aborsi bahwa perempuan yang melakukan aborsi merupakan perempuan yang hamil di luar nikah. Stigma itu justru menjadi beban berlipat bagi perempuan yang menjadi korban atas ‘kejahatan seksual’. Namun, menurut sebuah penelitian, justru prosentase terbanyak (76,6%) perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan yang sudah menikah. Ketidakadilan juga terjadi saat lelaki dari pasangan perempuan bersangkutan tidak terjerat hukum positif, agama, dan hukum sosial. Padahal, ketika pelaku kasus aborsi itu karena hamil di luar nikah, dorongan utama untuk melakukan aborsi adalah pasangan yang tidak bertanggung jawab. Menurut Istibsjaroh, upaya percobaan pengguguran janin bukan tidak mungkin melahirkan bayi yang justru mempunyai kualitas kesehatan dan intelegensia yang buruk. Dengan demikian, aborsi dan pengaturannya dari sudut pandang kesehatan dimaksudkan untuk melindungi kesehatan ibu dan bayi (hal. 5). Dengan demikian, perlu adanya upaya merubah sudut pandang masyarakat terhadap aborsi. Perlu juga adanya tindakan untuk mengatur aborsi yang lebih 323 324 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012 proporsional, terutama dalam aspek hukum. Karena hukum, baik itu hukum positif maupun hukum Islam, merupakan salah satu ‘produk’ yang begitu rentan dan sensitif bagi masyarakat Indonesia. Pengaturan aborsi tidak berarti perempuan/ibu lantas berbondong-bondong untuk melakukan aborsi. Namun, pengaturan itu justru untuk melindungi jiwa dan kesehatan ibu serta kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Merubah sudut pandang masyarakat dapat dimulai dari merubah pola budaya masyarakat itu sendiri. Perubahan pola budaya mencakup perubahan tata nilai tentang sesuatu yang dianggap baik atau buruk. Suatu perbuatan boleh jadi dianggap tidak sesuai hukum atau tradisi pada suatu masa, tetapi kemudian dapat diterima atau bahkan dianggap baik pada masa berikutnya. Perubahan struktur sosial berarti perubahan sistem pelapisan masyarakat, dari memberikan peran besar kepada kelompok tertentu pada suatu masa menjadi peran yang lebih kecil pada masa berikutnya (Jurnalis Uddin, 2007: 149). Dari aspek teknis-administratif, menurut Maria Ulfa (2006: 145146) solusi alternatif yang diberikan adalah merumuskan aborsi yang aman (pro-choiche) dari segi agama, kesehatan, maupun psikologis. Hal itu perlu dilakukan bersama antara pembuat hukum (legislatif dan eksekutif) dengan para pakar dan praktisi di bidangnya masingmasing mengenai batasan-batasan aman dari segi kesehatan, aman dari segi kejiwaan (psikologis), aman dari sosio-ekonomis, dan aman menurut agama. Begitu juga batasan-batasan darurat dan maslahat yang sesuai dengan kaidah agama harus mengacu pada situasi dan kondisi fisik maupun psikis, tempat dan kultur yang kontekstual. Melalui proses tersebut, diharapkan ada peraturan mengenai aborsi aman yang berorientasi pada solusi untuk penguatan hak reproduksi perempuan dan upaya pencegahan terhadap kematian ibu. Dengan demikian, perempuan akan mendapatkan hak-hak reproduksinya yang dijamin oleh negara dan didukung oleh ajaran agama. Hukum positif maupun hukum hukum Islam, terutama terkait aborsi, dapat memberikan produk hukum yang lebih adil dan tidak memarginalkan terhadap perempuan. Buku ini setidaknya memberikan sebuah titik terang atas terbelenggunya hukum aborsi di Indonesia. Memang, buku ini bukan yang pertama dalam mengulas aborsi, tetapi setidaknya dengan kehadiran buku ini dapat memperkaya wacana aborsi, terutama dilihat dari perspektif hukum. Yakni, ternyata UU pelarangan aborsi masih terdapat kerancuan, sehingga dapat memunculkan multi-tafsir. Sehingga, dapat melengkapi kekurangan buku-buku sebelumnya mengenai aborsi. Menelaah Ulang Hukum Aborsi ( Ahmad Suhendra ) Namun, uraian dan analisa yang ditawarkan terkait aborsi dalam buku ini kurang mendalam dan sangat minimalis. Dengan begitu, buku ini dapat dijadikan pengantar bagi para pemula yang hendak mengetahui atau mengkaji kompleksitas hukum aborsi. Kekurangan yang ada dalam buku ini, penulis buku ini, yang juga aktivis NU, tidak ‘berani’ mengkaji hukum aborsi secara komprehensif. Dan tidak ada pembahasan secara mendalam mengenai korelasi antara aborsi dan kesehatan reproduksi. Juga tidak menyertakan pendapat-pendapat para ulama atau sarjana muslim yang cenderung memandang aborsi sebagai sebuah pilihan (pro-choice). 325 326 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012 Ketentuan Penulisan Artikel 1. Artikel berkaitan dengan gender baik secara umum maupun keislaman dalam bentuk artikel konseptual, hasil penelitian dan resensi buku. 2. Panjang artikel 20-25 halaman kwarto/A4 dengan spasi 1,5. Ketentuan margin; atas 4 cm, bawah 3 cm, kiri 4 cm, kanan 3 cm. Diketik dengan font Book Antiqua ukuran font 11. 3. Naskah resensi buku panjang 5 - 10 halaman kwarto/A4 spasi tunggal di ketik dengan font Book Antiqua font 11. 4. Artikel dilengkapi dengan abstrak sebanyak 100 - 150 kata yang diketik dengan font Book Antiqua font 10 dengan spasi tunggal. Abstrak dilengkapi dengan 3 - 5 kata kunci yang mewakili ide dasar. Abstrak artikel bahasa Indonesia ditulis dalam bahasa Inggris dan sebaliknya. 5. Nama lengkap penulis ditulis lengkap tanpa tanda gelar, beserta lembaga. Harap menyertakan alamat pos lengkap. email, no telepon dan no rekening. 6. Rujukan menggunakan catatan perut (middle note) dengan sistem APA (nama akhir penulis, tahun terbut dan nomor halaman). 7. Format artikel konseptual dan laporan penelitian: Pendahuluan, Pembahasan dan Simpulan. Pendahuluan dalam laporan penelitian berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan metode penelitian. Pembahasan dibagi dalam beberapa sub bahasan dan diberi judul. Simpulan ditulis dalam bentyk naratif bukan pointer. 8. Transliterasi menggunakan transliterasi sebagai mana terlihat dalam transliterasi Palastren. 9. Penulisan sumber rujukan secara alfabetis. Contoh buku, Nur Said. (2005). Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogyakarta: Pilar Media. Contoh jurnal: T. Astuti. (2009). “Metodologi Penelitian berperspektif Gender“ dalam Jurnal studi gender “Palastren“ Vol. 2 No. 2. 10. Naskah diserahkan kepada redaksi dalam bentuk softcopy dan diserahkan ke kantor redaksi Palastren; Gedung lab. STAIN lt.2 atau via email ke [email protected] atau nurmahmudah@ymail. com 11. Naskah yang dimuat mendapatkan 2 jurnal dan 4 buah off-print (cetaklepas)