hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang

advertisement
HUBUNGAN ANTARA ANXIETY DALAM
MENGHADAPI RESPON DARI ORANG
TERDEKAT DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING PADA PRIA GAY YANG TELAH
COMING OUT DI WILAYAH DKI JAKARTA
Alfikar Hakim, Rani Agias Fitri
[email protected]
ABSTRACT
This study aimed to examine the correlation between anxiety in facing the response of
closest people with psychological well-being among gay men who have been coming out in
DKI Jakarta. The method that used in this study is a quantitative research method. Using the
STAI (S-Anxiety) scale for measuring the anxiety and the RSPWB scale for measuring the
psychological well-being. The study involved 44 gay men participants aged 20-30 years who
have been declaring their sexual orientation (coming out) at least 1-6 months. These results
indicate that there is a negative and significant correlation between anxiety and psychological
well-being among gay men in DKI Jakarta (r = -0,321 and significance value at 0.034, p
<0.05). It means, the higher the level of anxiety, the less the level of the psychological wellbeing.(AH)
Keywords: Anxiety, Psychological Well-Being, Gay, Coming Out
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara anxiety dalam mengahadapi
respon dari orang terdekat dengan psychological well-being pada pria gay yang telah coming
out di DKI Jakarta. Metode yang digunakan untuk penelitian ini menggunakan metode
penelitian kuantitatif. Menggunakan alat ukur STAI (S-Anxiety) untuk mengukur
kecemasan (anxiety) state dan alat ukur RSPWB untuk mengukur psychological well-being.
Penelitian ini melibatkan 44 partisipan pria gay dengan usia 20-30 tahun yang telah
mendeklarasikan orientasi seksualnya (coming out) dalam kurun waktu 1-6 bulan. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara anxiety
dengan psychological well-being pada pria gay di DKI Jakarta (r = -0,321 dan nilai
signifikansi pada 0.034, p < 0.05). Artinya, semakin tinggi tingkat kecemasan state, maka
semakin rendah tingkat psychological well-being.(AH)
Kata kunci: Anxiety, Psychological Well-Being, Gay, Coming Out
PENDAHULUAN
Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada
satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang yang memiliki jenis kelamin
dan gender yang berbeda, yaitu wanita dengan pria, namun pada kenyataannya orientasi seksual yang
berkembang di masyarakat luas dunia bukan hanya heteroseksual, namun ada juga yang disebut
homoseksual. Kenyataannya sudah banyak literatur-literatur yang membahas dengan jelas mengenai
keberadaan homoseksual di seluruh bagian dunia sejak berabad-abad lamanya, dan homoseksual sendiri
bukanlah suatu hal yang tabu dan bahkan suatu hal yang dianggap lumrah dan legal pada masanya.
Orientasi seksual disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif, dan
biologis. Pada sebagian besar individu, orientasi seksual terbentuk sejak masa kecil. Hasil penelitianpenelitian sebelumnya menganggap bahwa ada kombinasi antara faktor biologis dan lingkungan sebagai
penyebab orientasi seksual homoseksual (Money dalam Feldmen, 1990, hal.360). Homoseksualitas
merupakan salah satu dari orientasi seksual, yang juga merupakan lawan dari heteroseksual, dimana
seorang individu, pria maupun wanita, lebih menyukai serta tertarik pada orang lain yang memiliki jenis
kelamin yang sama dengan mereka.
Menurut Wierenga (2010) dalam Reksodirdjo (2011) menyatakan bahwa pernikahan yang paling
baik di dunia ini sesungguhnya adalah pernikahan antara dua insan yang berbeda jenis kelamin, yaitu
perempuan yang memiliki vagina dan laki-laki yang memiliki penis, dengan tujuan prokreasi atau
menghasilkan seorang anak. Pandangan ini disebut bimorfis dimana hanya, dan hanya, laki-laki tulen dan
perempuan tulen (yang) dapat menikah. Maka dari itu masyarakat menganggap hal ini tabu dan
merupakan suatu hal yang salah, salah bukan hanya dari satu aspek kehidupan, namun juga beberapa.
Norma tentang keintiman yang dijalin antara feminin dengan maskulin sudah melekat di masyarakat
membuat keberadaan homoseksual dianggap hal yang menyimpang di Indonesia. Budaya timur yang
melekat di masyarakat membuat hal ini menjadi sebuah masalah yang besar. Berbeda dengan di negara
barat, khususnya negara Belanda, masyarakatnya telah menerima keberadaan kaum homoseksual dan
menghalalkan pernikahan sesama jenis (Rakhmahappin & Prabowo, 2014).
Menurut Boellstorff (2006) negara, termasuk Indonesia, mengajarkan kita nilai heteronormatif—
asumsi bahwa heteroseksualitas merupakan satu-satunya norma yang normal dan pantas—berperan
penting dalam pembentukan negara-bangsa sebagai ‘komuniti yang diimajinasikan’ (imagined
communities). Hal ini yang menyebabkan munculnya sebuah istilah homophobic yang memiliki definisi
yakni rasa takut untuk berada dalam jarak dekat dengan pria maupun wanita homoseksual diikuti dengan
perasaan takut, kebencian, dan ketidaktoleranan yang irasional dari individu heteroseksual kepada pria
maupun wanita homoseksual (Adams; Wright; Lohr, 1996).
Pada umumnya, homoseksual diartikan sebagai tertarik secara seksual dengan sesama jenis
(Santrock, 2000). Homoseksualitas mengacu pada perasaan tertarik, secara perasaan atau erotik, baik
secara predominan maupun eksklusif terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau
tanpa adanya hubungan fisik (Oetomo, 2001).
Kaum homoseksual lain justru dapat menerima apa yang ada di dirinya sebagai suatu bentuk hal
yang hakiki. Pribadi semacam ini berani coming out atau menyatakan identitas dirinya yang
sesungguhnya sehingga konflik internal dalam dirinya lepas. Coming out itu sendiri dapat diartikan
sebagai kesadaran diri atau pengakuan seseorang kepada publik atau orang lain mengenai orientasi
seksual yang dimiliki (Fransisca, M., 2009). Kaum homoseksual ini dinamakan egosintonik, tidak
dikatakan sebagai kelompok gangguan jiwa karena mereka tidak mengalami distress maupun disability
dalam kehidupan mereka. Bahkan mereka yang sukses dengan coming out seperti demikian seringkali
lebih produktif dan sukses dalam profesi mereka seperti misalnya perancang baju, penata rias dan rambut,
dll. (Manullang, 2014). Namun dalam melewati tahap coming out ini bukanlah merupakan hal yang
mudah dan dapat dilewati begitu saja, banyak dampak-dampak yang kemungkinan besar muncul dan
dapat mengubah kehidupan seorang gay di kehidupan yang akan datang. Dampak positif yang didapatkan
oleh seorang gay yakni berpengaruh pada psychological well-being mereka dengan meningkatnya self
esteem serta berkurangnya tingkat distress, mengurangi perilaku yang berisiko, memfasilitasi hubungan
pribadi, dan meningkatkan keterikatan dengan lembaga tempat kita bekerja, sekolah atau lainnya (seperti
lebih aktif atau rajin mengikuti kegiatan di institusi tersebut). Sedangkan dampak buruk atau kerugian dari
coming out jika ternyata lingkungan tidak mendukung adalah kemungkinan besar untuk melakukan
aktivitas menyakiti diri sendiri, dijauhi atau diabaikan dari lingkungan sosial, tidak diterimanya di dalam
lingkungan sosial, dan berkurangnya self-consciousness serta self-fulfilling (Corrigan dan Matthews,
2003).
Banyak peneliti dan advokasi setuju bahwa pokok penting dari psychological well-being pada
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender/Transexual) adalah dengan menerima dan meyakini diri
mereka yang sebenarnya (Besner & Spungin, 1995). Hal itu terkait dengan bagaimana dampak positif
yang mereka dapatkan setelah proses tersebut. Psychological well-being sendiri pertama kali dicetuskan
oleh Ryff pada tahun 1989 dan kemudian dikembangkan oleh Ryff dan Keyes pada tahun 1995. PWB
memiliki enam unsur atau dimensi penting yang memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan
yang lainnya, enam dimensi tersebut yakni autonomy, self-acceptance, personal growth, purpose in life,
positive relation with others, dan environmental mastery (Springer & Hauser, 2003).
Enam dimensi tersebut memiliki keterikatan yang sangat erat sehingga tidak mudah untuk
menilai PWB seseorang jika berdasarkan dua atau tiga dimensi saja. Jika seseorang sudah mencapai
tahapan dimana PWB individu tersebut sudah cukup tinggi, maka individu dapat membangun kualitas
hidup yang sangat baik di kehidupan bermasyarakat, bukan hanya mereka yang homoseksual, melainkan
untuk mereka yang heteroseksual pun begitu, karena jika seorang individu telah menguasai dan
memahami ke-enam dimensi tersebut, maka individu tersebut akan dengan sangat mudah dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, bersosialisasi serta membangun relasi dengan banyak orang. Namun
jika seseorang belum mencapai tingkat PWB yang mumpuni, maka individu tersebut dapat memunculkan
negative health seperti depression dan anxiety (Springer & Hauser, 2003).
Kali ini peneliti lebih berfokus pada anxiety, dimana hal ini merupakan sebuah emosi negatif
yang dimiliki setiap manusia namun dengan porsi yang berbeda-beda. Merujuk pada PWB, anxiety
memilliki kaitan yang erat karena jika seseorang tidak memiliki salah satu dari enam dimensi tersebut,
maka emosi negatif ini otomatis akan muncul, seperti contoh, seseorang akan merasa resah dan gelisah
jika harus berhadapan dengan orang banyak, merasa cemas karena takut akan penolakan dari orang lain
atas pendapat yang mereka miliki, merasa cemas jika harus berhadapan dengan banyak orang di
lingkungan yang relatif baru, dsb. Seperti yang dikemukakan Bradburn (2003) bahwa tinggi rendahnya
psychological well-being berkaitan erat dengan kecemasan (anxiety), kesehatan, dan afek-afek negatif
seseorang. Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul dari kecemasan dan dikategorikan dari beberapa
simtom menurut Semiun (2012) yakni antara lain simtom suasana hati dengan penjelasan bahwa individu
yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari
suatu sumber tertentu yang tidak di ketahui. Kemudian dari simtom kognitif yakni kecemasan dapat
menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan pada individu mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan
yang mungkin terjadi. Selain itu ada simtom motor dengan kriteria yakni orang-orang yang mengalami
kecemasan sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motor menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya
jari-jari kaki mengetuk-ngetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan teknik nonprobability purposive sampling. Nonprobability sampling
adalah teknik yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi
untuk dipilih menjadi sampel. Cara pengambilan sampel menggunakan sampling purposive yang artinya
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012).
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada pertengahan hingga akhir bulan Mei, peneliti melakukan
penyebaran kuesioner menggunakan sebuah program online yakni Google Form, sehingga peneliti
dengan responden tidak perlu bertatap muka untuk menjaga kerahasiaan diri dari para responden. Peneliti
memasuki sebuah grup pertemanan di sebuah messenger yang beranggotakan pria-pria gay, kemudian
peneliti menanyakan secara langsung dalam grup tersebut perihal status coming out mereka. Setelah
diketahui, dari 70 anggota terdapat 50 responden yang menyatakan dirinya telah coming out, kemudian
peneliti menanyakan secara langsung melalui personal chat pada masing-masing ruang obrolan untuk
menanyakan lebih lanjut perihal sudah berapa lama coming out, jika telah dirasa cocok dengan kriteria,
maka peneliti langsung memberikan link untuk mengisi kuesioner.
Jumlah subjek yang diperoleh sebanyak 44 orang responden, dengan kriteria yakni pria gay yang
telah coming out kurang dari 6 bulan, dengan kisaran usia 20-30 tahun, serta bertempat tinggal atau
berdomisili di wilayah DKI Jakarta.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kecemasan situasional menggunakan alat ukur STAI
(State-Trait Anxiety Inventory) yang dikembangkan oleh Spielberg (1968, 1977), dengan validitas sebesar
0,38 sampai 0,76 sedangkan untuk reliabilitas dari alat ukur kecemasan didapatkan hasil senilai 0,75.
Kemudian untuk mengukur kesejahteraan psikologis atau psychological well-being menggunakan alat
ukur RSPWB (Ryff’s Scale Psychological Well-Being) yang dikembangkan oleh Ryff (1989), dengan
validitas alat ukur sebesar -0,41 – 0,64 sedangkan untuk reliabilitas dari skor total alat ukur RSPWB
didapatkan nilai 0,73.
HASIL DAN BAHASAN
Berikut ini adalah hasil uji korelasi antara state anxiety dengan psychological well-being dan
keenam dimensi lainnya:
Tabel 1
Hasil Uji Korelasi antara State Anxiety dengan Psychological Well-Being
STAI
STAI
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
PWB
-.321
.034
N
44
44
Pearson Correlation
-.321
1
Sig. (2-tailed)
.034
N
44
44
Berdasarkan hasil uji korelasi antara state anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan
psychological well-being pada pria gay yang telah coming out, ditemukan koefisien korelasi yang sedang
dengan nilai r=-0,321 dan nilai signifikansi sebesar 0,034 dimana p<0,05 yang berarti terdapat hubungan
signifikan yang sedang dan negatif antara kedua variabel tersebut. Berarti bahwa terdapat hubungan yang
sedang dan negatif antara anxiety (s-anxiety) dalam menghadapi respon dari orang orang terdekat dengan
psychological well-being pada pria gay yang telah coming out, atau dengan kata lain semakin tinggi
kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat maka semakin rendah tingkat psychological
well-being pria gay yang telah coming out. Begitupun sebaliknya, jika semakin rendah kecemasan dalam
menghadapi respon dari orang terdekat, maka semakin tinggi tingkat psychological well-being pada pria
gay yang telah coming out. Kenyataannya hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh
Bradburn (1969) yang menyatakan bahwa tinggi atau rendahnya psychological well-being berkaitan erat
dengan kecemasan, kesehatan, dan juga afek-afek negatif seseorang.
PWB
Tabel 2
Hasil Uji Korelasi antara State Anxiety dengan Dimensi Autonomy
STAI
Autonomy
STAI
Pearson Correlation
1
-.454*
Sig. (2-tailed)
.002
N
44
44
Autonomy
Pearson Correlation
-.454*
1
Sig. (2-tailed)
.002
N
44
44
Berdasarkan hasil uji korelasi antara state anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan
dimensi autonomy dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out ditemukan hasil
koefisien korelasi yang sedang dengan nilai r=-0,454 dan nilai signifikansi sebesar 0,002 dimana p<0,05
yang berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan yang sedang dan negatif antara
variabel dan dimensi tersebut. Berarti bahwa terdapat hubungan atau korelasi yang sedang dan negatif
antara kedua variabel tersebut, yang artinya semakin tinggi tingkat kecemasan dalam menghadapi respon
dari orang terdekat maka semakin rendah rasa kemandirian seorang pria gay yang telah coming out untuk
mengemukakan pendapat dalam publik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Corrigan &
Matthews (2003) yang menyatakan bahwa banyak anggota masyarakat mungkin lebih memilih untuk
menghindari pria gay yang telah coming out. Pengalaman dari diacuhkannya mereka dalam lingkungan
sosial yang akhirnya memberikan efek negatif terhadap self-esteem bagi mereka yang telah mengakui
orientasi seksualnya. Kemudian juga akan berpengaruh dalam kemandirian pria gay untuk menyampaikan
pendapat di khalayak publik.
Tabel 3
Hasil Uji Korelasi antara State Anxiety dengan Dimensi Environmental Mastery
STAI
Environmental Mastery
STAI
Pearson Correlation
1
-.105
Sig. (2-tailed)
.498
N
44
44
Environmental Mastery
Pearson Correlation
-.105
1
Sig. (2-tailed)
.498
N
44
44
Berdasarkan hasil uji korelasi antara state anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan
dimensi environmental mastery dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out
ditemukan hasil koefisien korelasi yang rendah dengan nilai r=-0,105 dan nilai signifikansi sebesar
0,0498 dimana p>0,05 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel dan dimensi
tersebut. Kesimpulannya adalah tidak terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari
orang terdekat dengan dimensi environmental mastery dalam psychological well-being pada pria gay yang
telah coming out. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tinggi atau rendahnya anxiety dalam menghadapi
respon dari orang terdekat tidak akan berkaitan dengan dimensi environmental mastery pada pria gay
yang telah coming out. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Corrigan & Matthew (2003) yang
menyatakan bahwa salah satu keuntungan dalam melakukan coming out yakni meningkatkan keterikatan
dengan lembaga tempat kita bekerja, sekolah atau lainnya (seperti lebih aktif atau rajin mengikuti
kegiatan di institusi tersebut). Jadi dengan kata lain jika seorang pria gay telah coming out maka individu
tersebut dapat mengelola lingkungannya dengan baik jadi tidak terkait dengan kecemasan dalam
menghadapi respon dari orang terdekat terhadap individu itu sendiri.
Tabel 3
Hasil Uji Korelasi antara State Anxiety dengan Dimensi Personal Growth
STAI
Personal Growth
STAI
Pearson Correlation
1
-.243
Sig. (2-tailed)
.111
N
44
44
Personal Growth
Pearson Correlation
-.243
1
Sig. (2-tailed)
.111
N
44
44
Berdasarkan hasil uji korelasi antara state anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat
dengan dimensi personal growth dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out
ditemukan hasil koefisien korelasi yang rendah dengan nilai r=-0,243 dan nilai signifikansi sebesar 0,111
dimana p>0,05 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel dan dimensi tersebut.
Berarti tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut, atau dengan kata lain tinggi atau
rendahnya anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat tidak akan berkaitan dengan dimensi
personal growth dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out. Corrigan &
Matthews (2003) mengemukakan bahwa salah satu keuntungan dari melakukan coming out yakni dapat
meningkatkan self esteem. Sehingga dengan meningkatnya self esteem kemudian dapat membuat individu
tersebut sadar akan pertumbuhan dan perkembangan dirinya sendiri.
Tabel 4
Hasil Uji Korelasi antara State Anxiety dengan Dimensi Positive Relation with Others
STAI
Positive Relation
STAI
Pearson Correlation
1
-.390*
Sig. (2-tailed)
.009
N
44
44
Positive Relation
Pearson Correlation
-.390*
1
Sig. (2-tailed)
.009
N
44
44
Berdasarkan hasil uji korelasi antara state anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat
dengan dimensi positive relation with others dalam psychological well-being pada pria gay yang telah
coming out ditemukan hasil uji korelasi yang sedang dengan nilai r=-0,390 dan nilai signifikansi sebesar
0,009 yang berarti terdapat hubungan signifikan yang sedang dan negatif antara variabel dan dimensi
tersebut. Pada hasil uji korelasi yang peneliti lakukan menunjukan adanya hubungan yang negatif antara
kedua variabel tersebut, sehingga dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kecemasan dalam menghadapi
respon dari orang terdekat, maka semakin rendah kualitas hubungan seorang pria gay yang telah coming
out dengan orang lain disekitarnya. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecemasan dalam menghadapi
respon dari orang terdekat maka semakin tinggi kualitas hubungan seorang pria gay yang telah coming
out dengan orang lain. Seperti yang dikemukakan Corrigan & Matthews (2003) yang menyatakan bahwa
salah satu keuntungan dalam melakukan coming out yakni dapat memfasilitasi hubungan interpersonal.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Beals & Peplau, 2001 (dalam Corrigan &
Matthewss, 2003) yang menyatakan bahwa kaum minoritas yang mendeklarasikan dirinya dapat
mengurangi stress yang membawa individu tersebut kepada hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
Tabel 5
Hasil Uji Korelasi antara State Anxiety dengan Dimensi Purpose in Life
STAI
Spearman's rho
STAI
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (2-tailed)
.
N
44
Purpose in Life
Correlation Coefficient
-.178
Sig. (2-tailed)
.247
Purpose in Life
-.178
.247
44
1.000
.
N
44
44
Berdasarkan hasil uji korelasi antara state anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat
dengan dimensi purpose in life dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out
didapatkan hasil koefisien korelasi yang rendah dengan nilai r=-0,178 dan nilai signifikansi sebesar 0,247
dimana p>0,05 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel dan dimensi tersebut.
Berarti Ho diterima sedangkan Ha ditolak, atau dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara kedua
variabel tersebut yang berarti tinggi atau rendahnya kecemasan dalam menghadapi respon dari orang
terdekat tidak akan berkaitan dengan tujuan hidup pria gay yang telah coming out. Menurut Corrigan &
Matthews (2003), sebagai kelompok, kaum minoritas (dalam hal ini gay) menganggap coming out sebagai
suatu keuntungan bagi kebutuhan politis dan sosio-ekonomis dalam kelompoknya sendiri.
Tabel 6
Hasil Uji Korelasi antara State Anxiety dengan Dimensi Self-Acceptance
STAI
Self-Acceptance
STAI
Pearson Correlation
1
-.246
Sig. (2-tailed)
.108
N
44
44
Self-Acceptance
Pearson Correlation
-.246
1
Sig. (2-tailed)
.108
N
44
44
Berdasarkan hasil uji korelasi antara state anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat
dengan dimensi self-acceptance dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out
ditemukan hasil koefisien korelasi yang rendah dengan nilai r=-0,246 dan nilai signifikansi sebesar 0,108
dimana p>0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
variabel dengan dimensi tersebut. Artinya tidak terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi
respon dari orang terdekat dengan dimensi self-acceptance dalam psychological well-being pada pria gay
yang telah coming out. Dengan kata lain, tinggi atau rendahnya kecemasan dalam menghadapi respon dari
orang terdekat tidak akan berkaitan dengan penerimaan diri pada pria gay yang telah coming out. Menurut
Kadushin, 2000 (dalam Corrigan & Matthews, 2003) keluarga memberikan dukungan yang lebih kepada
mereka yang telah coming out. Sehingga dengan adanya dukungan dari keluarga membuat penerimaan
diri pria gay yang telah coming out menjadi lebih besar.
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari
orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological well-being pada pria gay yang telah
coming out di wilayah DKI Jakarta. Untuk korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang
terdekat dengan psychological well-being pada pria gay yang telah coming out secara umum
menunjukkan hasil dengan nilai r=-0,321 (p<0,05), yang berarti terdapat hubungan yang negatif sehingga
dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat maka
semakin rendah kesejahteraan psikologis pria gay yang telah coming out, atau dengan kata lain Ho ditolak
sedangkan Ha diterima. Berdasarkan hasil uji korelasi dapat disimpulkan bahwa hubungan antara anxiety
dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi autonomy dalam psychological well-being
pada pria gay yang telah coming out, mendapatkan hasil uji dengan nilai r=-0,454 (p<0,05) yang berarti
terdapat hubungan yang negatif, sehingga semakin tinggi kecemasan dalam menghadapi respon dari
orang terdekat maka semakin rendah kemandirian pria gay yang telah coming out, atau semakin rendah
kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat maka semakin tinggi kemandirian pria gay yang
telah coming out. Hasil uji korelasi kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan
dimensi environmental mastery pada pria gay yang telah coming out didapatkan hasil r=--0,105 (p>0,05)
yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut atau dengan kata lain
tinggi atau rendahnya kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat tidak berkaitan dengan
penguasaan lingkungan seorang pria gay yang telah coming out.
Hasil uji korelasi antara kecemasan dengan dimensi personal growth pada psychological wellbeing menunjukkan nilai r=-0,243 (p>0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua
variabel tersebut, atau dengan kata lain tinggi atau rendahnya kecemasan dalam menghadapi respon dari
orang terdekat tidak akan berkaitan langsung dengan pertumbuhan personal pria gay yang telah coming
out. Hasil uji korelasi kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi positive
relation with others dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out menunjukan
hasil r=-0,390 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan yang negatif antara kedua variabel tersebut,
sehingga dapat dikatakan semakin tinggi kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat maka
semakin rendah kualitas hubungan seorang pria gay yang telah coming out dengan orang lain, begitu juga
jika semakin rendah kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat maka semakin tinggi
kualitas hubungan seorang pria gay yang telah coming out dengan orang lain.
Hasil uji korelasi antara kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan
dimensi purpose in life pada pria gay yang telah coming out menunjukan hasil dengan nilai r=-0,178
(p>0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut, atau dengan kata lain tinggi atau
rendahnya kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat tidak akan berkaitan dengan tujuan
hidup pria gay yang telah coming out. Hasil korelasi antara kecemasan dalam menghadapi respon dari
orang terdekat dengan dimensi self-acceptance pada pria gay yang telah coming out menunjukan nilai r=0,246 (p>0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut, atau dengan kata lain
tinggi atau rendahnya kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat tidak akan berkaitan
langsung dengan rasa penerimaan diri pada pria gay yang telah coming out.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, masih banyak kekurangan serta kelemahan
yang peneliti sadari, sehingga ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan demi kelancaran
penelitian-penelitian selanjutnya yang akan dilakukan oleh peneliti yang akan datang, beberapa
diantaranya yakni sebaiknya diadakan survei lapangan yang lebih teliti lagi dalam menentukan target
responden, pastikan bahwa akan ada banyak responden yang nantinya akan membantu mengisi kuesioner
yang peneliti selanjutnya akan sebarkan, untuk penelitian selanjutnya, diharapkan menggunakan metode
penelitian yang bervariasi, agar lebih menguatkan hasil yang peneliti selanjutnya dapatkan, seperti
menggabungkan dua metode penelitian yakni kualitatif dan kuantitatif. Hal ini juga bertujuan untuk
memberikan kepastian data bagi responden yang akan peneliti selanjutnya gunakan.
Beberapa hal juga ingin peneliti sampaikan demi kepentingan pribadi peneliti maupun pembaca
dari hasil penelitian ini, selain itu juga untuk pria gay yang telah coming out yang memiliki tingkat
kecemasan yang tinggi, antara lain pada saat coming out sebaiknya tingkatkan kepercayaan diri, jangan
terlalu terbawa perasaan dengan apa yang akan dikatakan lawan bicara. Terima dengan lapang dada dan
tidak perlu terlalu dipikirkan. Fokuskan pikiran pada masa yang akan datang. Ambil saran dan masukan
yang positif dan buang jauh-jauh perkataan yang negatif. Ingat, tujuan mendeklarasikan diri yakni agar
lebih lega dan tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi, jadi biarkan orang lain berkata apa, jalani hidup
masing-masing selain itu tingkatkan hubungan dengan komunitas atau mungkin kelompok-kelompok
tertentu demi membangun hubungan yang lebih positif dengan lingkungan sosial, selain itu ikuti banyak
kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi dan berdiskusi, seperti kegiatan
diskusi panel, cerdas cermat, debat, dan sebagainya.
REFERENSI
Adams, H. E., Wright L. W., & Lohr, B. A. (1996). Is Homophobia Associated with Homosexual
Arousal? University of Georgia.
Asmoro, D. D. (2013). Potret Identitas Seksualitas dan Keberadaan Kaum Gay di Indonesia dalam
Mengonstruksikan Relasi melalui Situs Jaringan Komunitas Online. Retrieved from
http://sosbud.kompasiana.com/2013/08/14/potret-identitas-seksualitas-dan-keberadaan-kaumgay-di-indonesia-dalam-situs-jaringan-komunitas-online-583736.html
Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan validitas (edisi ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Blanco, A., Carvajal, R. R., Diaz, D., Dierendonck, D. V., & Jimenez, B. M. (2007). Ryff’s Six-factor
Model of Psychological Well-being, a Spanish Exploration. Autonoma University, Madrid,
Spain.
Bradburn, N. M. (1969). The Structure of Psychological Well-Being. Chicago: Aldine Publishing
Company.
Boellstorff, T. (2006). Gay dan Lesbian Indonesia serta Gagagasan Nasionalisme. University of
California, Irvine.
Corrigan P. W. & Matthews, A. K. (2003). Stigma and Disclosure: Implications for Coming Out of the
Closet. University of Chicago, Illinois.
Geerhan, A. M. T. H. (2014). Hubungan antara Kecemasan State dengan Psychological Well Being pada
Isteri TNI Angkatan Darat yang Suaminya Bertugas di Daerah Konflik. Universitas Bina
Nusantara, Jakarta.
Geerhan, A. M. T. H., & Fitri, R. A. (2014). Hubungan antara Kecemasan State dengan Psychological
Well-Being pada Isteri TNI Angkatan Darat yang Suaminya Bertugas di Daerah Konflik.
Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
Irawan, M. R., Kartasasmita, S. (2010). Hubungan Seksual dalam Kencan Laki-laki Homoseksual.
Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Kristina, S. (2013). Informasi dan Homoseksual – Gay (Studi Etnometodologi Mengenai Informasi dan
Gay pada Komunitas GAYa Nusantara Surabaya). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Airlangga, Surabaya.
Lahey, B. B. (2009). Psychology : An Introduction (10th ed.). New York: McGraw-Hill.
Manullang, R. (2014). Apa Itu Homoseksual? Retrieved from
http://www.academia.edu/1919853/Apa_itu_Homoseksual#
Nugroho, S. C., Siswati; Sakti, H. (2010). Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-laki
Usia Dewasa Awal. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.
Priyatno, D. (2014). SPSS 22: Pengolah Data Praktis. Jakarta: Penerbit Andi.
Rakhmahappin, Y. & Prabowo, A. (2014). Kecemasan Sosial Kaum Homoseksual Gay dan Lesbian.
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang.
Ramaiah, S. (2003). Kecemasan Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Reksodirdjo, W. A. (2011). Homosekusalitas di Indonesia: Antara Kenyataan dan Hipokritas.
Ryff, C. D., Keyes, C. L. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. University of
Wisconsin, Madison.
Seiffert, T. A. (2005). The Ryff Scale of Psychological Well-Being. University of Iowa, United States.
Retrieved from http://www.liberalarts.wabash.edu/ryff-scales/
Semiun, Y. (2006). Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yoyakarta: Kanisius.
Strongman, K. T. (1995). Theories of Anxiety. University of Canterbury, New Zealand.
Sugiyono. (2012). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Unaradjan, D. D. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Universitas Atma Jaya: Jakarta.
Wilt, J., Oehlberg, K., & Revelle, W. (2010). Anxiety in Personality. Northwestern University, Illinois.
RIWAYAT PENULIS
Alfikar Hakim, lahir di kota Jakarta pada tanggal 30 Agustus 1993. Penulis menamatkan S1 di
Universitas Bina Nusantara dalam bidang Psikologi pada tahun 2015.
Download