Persepsi Guru terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah

advertisement
HUBUNGAN KEPEDULIAN GURU TERHADAP INOVASI,
BUDAYA SEKOLAH, KOMPETENSI PROFESIONAL
DENGAN KEEFEKTIFAN SEKOLAH
Dwi Atmono*)
Abstract: This research is aim to reveal the influence of caring to innovation which reflected on
school culture, teachers professional competence with school effectiveness of teachers of
Elementary School in Banjarmasin.The survey methods is used in this study through questionnaire
as data collection with 216 teachers as respondents at SDN in Banjarmasin, while the data analysis
is done by SEM with AMOS program. The result of the research indicate that the level of on the
school innovation consisted of some the group; First, teacher who assuming that the innovation is
match with their wish and want to use it in instructional learning at school. Second is the group of
teachers who are still hesitate in the innovation, they know that the innovation is good but they
want to use it after there is formal decision from government, Third group, is the teachers who
refuse the innovation because assuming that the innovation will burden for them.
Keywords: innovation, school culture, professional competence, school effectiveness
Perubahan paradigma pendidikan yang berlangsung di Indonesia saat ini menuntut partisipasi
semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan. Karena, hal ini menyangkut tiga
tantangan besar yang sedang dihadapi dunia pendidikan Indonesia yaitu (1) sebagai akibat krisis
ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan
yang telah dicapai, (2) untuk mengantisipasi era
globalisasi, dunia pendidikan dituntut untuk
mempertahankan sumber daya manusia yang
kompeten agar mampu bersaing dalam pasar
global, (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut
untuk melakukan perubahan dan penyesuaian
sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan
yang demokratis, memperhatikan keberagaman,
serta mendorong partisipasi masyarakat.
Upaya yang paling strategis bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan. Pendidikan hanya akan berarti dan dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia
bila pendidikan tersebut memiliki sistem berkualitas dan relevan dengan pembangunan
(Depdiknas:2006). Lahirnya Undang-undang
Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
dan Peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pada
dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang
di dalamnya memuat usaha pemerintah untuk
mengadakan perubahan dalam rangka memperbaiki mutu guru di Indonesia.
Menurut Fullan (2001) pada umumnya
tekanan yang berkenaan dengan perubahan pendidikan adalah (1) faktor lingkungan yang semakin kompleks, (2) sekolah tidak dapat dipisahkan dengan dunia luar, (3) kepentingan akan
fleksibilitas, (4) informasi, komunikasi dan teknologi sudah memasuki lingkungan sekolah, (5)
sekolah merupakan benteng terakhir penyelamat
masyarakat, (6)guru pencetak generasi muda
mendatang, (7) pendidikan sebagai sarana demokrasi, (8) kompetisi, keluarga dan individu, (9)
lapangan kerja yang tersedia, dan (10) struktur
masyarakat yang senantiasa berubah terus.
Namun, menurut Suyanto (2004), dengan
banyaknya program baru tersebut justru menambah beban kerja guru. Hal ini disebabkan
guru belum atau tidak mengerti secara sempurna
terhadap berbagai inovasi pendidikan itu.
Bennie dan Newstead (1999) menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan terutama dikaitkan dengan kurikulum. Faktor
dimaksud mencakup antara lain waktu, harapanharapan dari pihak orangtua, ketidakberadaan
bahan pembelajaran termasuk buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum yang
baru, kekurangjelasan konsep kurikulum yang
baru, dan tenaga kependidikan yang kurang
*) Dwi Atmono adalah dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat
94
95
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
memiliki keterampilan dan pengetahuan dikaitkan dengan kurikulum baru tersebut. Kendala
yang lain menyangkut kemungkinan beban mengajar yang bertambah, peran guru yang berubah
sebagai fasilitator, dan sistem pelaporan (Nolder,
1990; Snyder dkk, 1992).
Suyanto (2004) mengemukakan, “educational change depends on what teachers do and
think.”. Pendapat tersebut mensyaratkan bahwa
perubahan dan pembaharuan sistem pen-didikan
sangat bergantung pada “what teachers do and
think”. Atau dengan kata lain bergantung pada
penguasaan kompetensi guru.
Utomo (2005) menyatakan bahwa guru
mengklaim mengetahui tentang kurikulum baru
tetapi dalam implementasi di kelas, kurikulum
tersebut tidak dilaksanakan dan kembali ke kurikulum lama dengan alasan lebih nyaman menggunakan kurikulum lama. Bafadal (1996) mengemukakan tentang perubahan di sekolah bahwa
sekolah tidak akan menjadi baik dengan sendiri
melainkan melalui perubahan yaitu proses pengimplementasian inovasi pendidikan secara kontinue. Rogers (2003) mengemukakan bahwa
tingkat penerimaan guru terhadap inovasi dipengaruhi oleh keuntungan relatif, kesesuaian/
kecocokan, kerumitan keterandalan dan teramati.
Menurut Charters dan Jones (dalam
Hendarman, 2002), setiap perubahan pada sektor
pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya
mengamati berbagai bentuk operasional di
lapangan sebagai tindak lanjut dan implikasi dari
ke-bijakan perubahan tersebut. Setiap kendala
atau hambatan harus segera diantisipasi sebelum
menimbulkan masalah yang besar dan kompleks.
Ketidakmampuan mengatasi kendala-kendala
tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam
implementasi kebijakan atau perubahan tersebut.
Cheng dan Wong (1996), berdasarkan hasil
penelitiannya di Zhejiang, Cina, melaporkan
empat karakteristik sekolah dasar yang efektif,
yaitu (1) adanya dukungan pendidikan yang
konsisten dari masyarakat, (2) tingginya derajat
profesionalismenya guru, (3) adanya tradisi
jaminan mutu, dan (4) adanya harapan yang
tinggi dari siswa untuk berprestasi. Meng-kaji
faktor-faktor yang mempengaruhi atau menentukan faktor-faktor keefektifan organisasi atau
keefektifan sekolah, tampak bahwa faktor
budaya organisasi, organisasi informal (karakteristik organisasi), dan iklim organisasi merupakan faktor-faktor yang diduga berpengaruh atau
menentukan. Misalnya, faktor-faktor budaya
organisasi, menurut Owens (1991), bahwa penelitian tentang budaya organisasi, baik organisasi perusahaan maupun organisasi pendidikan,
adalah berhubungan dengan keefektifan organisasi. Dikatakan pula keefektifan organisasi dalam
artian pembelajaran dan pengembangan siswa,
secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas dan
karakteristik budaya organisasi. Demikian juga
menurut Robbins (1998) bahwa budaya yang
kuat dimaksud ialah nilai-nilai yang dianut
dengan kuat, ditata dengan jelas, dan dirasakan
bersama secara luas. Selain itu juga, Owens
(1991) mengemukakan bahwa di samping
budaya organisasi berhubungan dengan keefektifan, budaya organisasi berpengaruh pula
pada pengembangan iklim organisasi. Faktor
organisasi informal menurut Davis dan Newstron
(1998), meskipun sistem informal dapat menimbulkan berbagai masalah, tetapi sistem itu
juga menimbulkan sejumlah manfaat, yang terpenting adalah bahwa sistem formal dapat
mengefektifkan sistem secara menyeluruh
(organisasi), organisasi informal dapat pula berpengaruh terhadap iklim sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis
mengadakan penelitian dengan menggunakan
teori-teori yang berhubungan dengan kepedulian
guru terhadap inovasi, budaya sekolah, kompetensi profesional dan keefektifan sekolah.
Adapun tujuan penelitian ini adalah menemukan
model penelitian yang memenuhi keselaras-an
sesuai dengan fakta empiris.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah explanatory survey method,
yaitu untuk memberikan gambaran secara cermat
dan utuh dan apa adanya tentang suatu objek
studi. Indikator yang diukur dalam kuesioner
terdiri dari (1) kepedulian guru terhadap inovasi
dengan menggunakan Concern Based Adoption
Models (CBAM) melalui Stage of Concern (SoC)
yang dikembangkan oleh Hall& Hord (2006), (2)
budaya sekolah dengan menggunakan School
Culture Elements Questionnaire (SCEQ) yang
dikembangkan oleh Cavanagh (1997), (3) kompetensi professional menggunakan Instrumen
Penilaian Kerja Guru (Depdiknas, 2006) dan (4)
keefektifan sekolah menggunakan School Effectiveness Questionnaire yang dikembangkan oleh
Baldwin (1993).
Sampel penelitian adalah guru-guru SDN
96
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Kota Banjarmasin sebanyak 261 guru yang ditentukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Cohran (2005). Alat pengumpul data utama adalah kuesioner yang telah diujicoba untuk mengetahui tingkat reliabilitas dan
validitasnya. Hasil uji coba menunjukan tingkat
reliabilitas yang tinggi yaitu sebesar 0,913
dengan hasil tersebut kuesioner layak untuk digunakan. Teknik analisis data menggunakan
Structural Equation Modelling (Hair, 2006)
dengan langkah-langkah pengembangan model
berbasis teori, menyusun diagram jalur, memilih
matrik model, pengujian dimensi konstruk,
menilai masalah identifikasi, evaluasi goodness
of fit, interpretasi dan modifikasi model.
Dalam pelaksanaan kurikulum baru di sekolah, persepsi guru terhadap hal tersebut menyangkut tujuan pendidikan, tantangan implementasi untuk guru, ketertarikan pembelajaran,
beban tugas, pendanaan, kologialitas, program
pengayaan dan pendidikan yang diperlukan. Sebagai gambaran persepsi guru terhadap pelaksanaan kurikulum baru pada SD Negeri di Kota
Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Persepsi Guru Tentang Pelaksanaan Kurikulum
Baru Di Sekolah
No
1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Secara demografis, profil hasil penelitian
pada sejumlah 261 guru Sekolah Dasar Negeri di
Kota Banjarmasin dipilah atas dasar jenis kelamin, umur, pendidikan, penugasan, golongan,
dan pengalaman kerja. Kondisi responden penelitian atas dasar klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Komposisi Karakteristik Responden
No
1
2
3
4
Karakteristik Responden
Jenis
Kelamin
Umur
Pendidikan
Tugas
Mengajar
5
Golongan
6
Pengalaman kerja
Jumlh
(%)
74
28,4
P
<35 thn
35 thn sd 44 thn
45 thn sd 54 thn
> 55 thn
KPG
SPG
D II
S1
S2
Guru Kelas
187
55,2
82
140
12
15
38
132
69
7
195
71,6
10,3
31,3
53,6
4,6
5,7
14,6
50,6
26,4
2,7
74,7
Guru Penjas
Guru Matpel
Guru Mulok
II
III
IV
< 5 thn
27
37
2
14
103
144
17
10,3
14,2
0,8
5,4
39,2
55,2
6,5
66
139
39
25,3
53,3
14,9
L
5 – 10 thn
11- 15 thn
> 15 thn
Sumber : Data Diolah (2007)
Pernyataan
KTSP tidak sekedar
menghasilkan siswa lulus
ujian.
2
KTSP menjadikan kegiatan
belajar lebih menantang dan
membuat guru lebih
menekuni profesi ini.
3
KTSP membuat siswa lebih
tertarik pada mata pelajaran
4
KTSP terlalu banyak
menuntut dan membebani
guru
5
KTSP tidak jauh berbeda
dengan kurikulum terdahulu
6
KTSP mensyaratkan sekolah
untuk mencari dana tambahan
7
KTSP membuat saya perlu
untuk secara kontinyu
bertukar pengalaman dengan
sesama guru
8
KTSP membuat saya semakin
merasa perlu untuk mengikuti
program pengayaan guru
9
KTSP menuntut kualifikasi
pendidikan guru lebih tinggi.
Sumber: Data primer diolah (2007).
Setuju
(%)
87
Tidak
Setuju
(%)
13
84
16
52
48
43
57
46
54
52
48
94
6
88
12
87
13
Hasil analisis identifikasi uji model konseptual ini sebagai model awal yang digunakan
sebagai dasar untuk mengeksplorasi indeks modifikasi maupun terjadinya kesalahan-kesalahan
korelasi antar kovarian, sehingga model dapat
diperbaiki dan pada akhirnya untuk mencari
model yang memiliki keselarasan terbaik
Kelayakan model model akhir memberikan
hasil lebih baik dengan nilai GFI sebesar 0,958
berarti 95,8% matriks kovarian populasi dapat
dijelaskan oleh matriks kovarian sampel, sehingga kelayakan model berdasarkan nilai GFI
adalah baik. Nilai RMSEA sebesar 0,022 telah
memenuhi kriteria rekomendasi yang disarankan
yaitu dibawah 0,080, sehingga kelayakan model
berdasarkan RMSEA adalah baik. Nilai AGFI
97
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
yang direkomendasikan adalah 0,90 dan dalam
analisis pada model evaluasi ini dihasilkan AGFI
sebesar 0,930. Hasil uji model dengan chi-square
menghasilkan penurunan nilai hingga menjadi
92,379 dengan probabilitas 0,203. Hasil uji ini
menjelaskan bahwa data empiris tidak berbeda
dengan model yang diajukan (prob>0,05). Indeks
kelayakan model dengan Tucker Lewis Index
(TLI) merekomendasikan nilai lebih dari 0,95,
dan hasil dari perhitungan model telah mencapai
0,993. Demikian pula dengan indeks kelayakan
dengan Comparative Fit Index (CFI) merekomendasikan nilai lebih dari 0,95 dan hasil
perhitungan telah mencapai 0,995. Hasil-hasil
analisis memberikan kesimpulan bahwa model
akhir memiliki kelayakan yang dapat diterima.
Penelitian ini memiliki dua bagian pengujian hipotesis yang berhubungan dengan model
pengukuran dan model struktural. Hubungan
kausalitas yang dikembangkan dalam hipotesis
pada model ini diuji dengan hipotesis nol yang
menyatakan bahwa koefisien regresi antara
hubungan adalah tidak berbeda dengan nol melalui uji-t seperti yang ada dalam analisis regresi.
Nilai statistik C.R akan berdistribusi t dengan
derajat bebas sebesar 82. Berikut ini adalah
uraian hasil uji terhadap 6 buah hipotesis pada
model struktural yang diajukan pada penelitian
ini. Pemakaian lambang lambda ( ) menunjukkan besar loading faktor, gamma ( ) menunjukkan besar hubungan dari konstruk eksogen terhadap endogen, sedangkan lambang beta ( )
menunjukkan besar hubungan dari konstruk
endogen terhadap endogen. Pengujian hipotesis
pada model struktural berhubungan dengan hasil
uji koefisien regresi pada setiap jalur yang dihasilkan yang dijelas-kan pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis Model Struktural
Hipotesis
Arah
jalur
Koef.
Reg
Salah
baku
C.R
pvalue
Koef.
Baku
H1
X1X2
0.120
0.041
2.929
0.003
0.212
H2
X1Y
0.144
0.024
5.932
0.000
0.352
H3
X1X3
0.226
0.092
2.472
0.013
0.190
H4
X2Y
0.122
0.048
2.568
0.010
0.168
H5
X3Y
0.107
0.026
4.117
0.000
0.312
H6
X2X3
0.797
0.175
4.558
0.000
0.378
Sumber : Data primer diolah (2007)
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dijelaskan
bahwa jumlah sampel penelitian yang berjenis
perempuan sebanyak 187 orang (71,6%) dan pria
sebanyak 74 Orang (28,4%). Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa jumlah guru
perempuan jauh lebih banyak jika dibandingkan
dengan jumlah guru. Hal ini besar pengaruhnya
terhadap proses pembelajaran, sebagaimana hasil
penelitian yang dikemukakan oleh Dunking,
Weiner dan McIntyre (dalam Cruickshank, 2006)
bahwa guru dengan jenis kelamin perempuan
dalam proses pembelajaran menunjukkan sifatsifat sebagai berikut: (1) lebih hangat, lebih suka
memuji, (3) lebih suka memberi tahu jawaban
yang benar, (4) siswa lebih suka mengajukan pertanyaan, (5) memberikan jawaban yang benar, (6)
menerima risiko dari jawaban yang diduga.
Sementara Coulter (dalam Cruickshank, 2006)
berpendapat bahwa guru perempuan cenderung
memberikan dorongan pada siswa dan tidak
otoriter.
Berdasarkan Tabel 2 dapat dibagi persepsi
guru tentang pelaksanaan inovasi di sekolah.
Pertama, guru yang menganggap bahwa inovasi
tersebut sesuai dengan keinginan mereka dan
ingin menggunakannya dalam pembelajaran di
sekolah. Kedua, kelompok yang masih ragu-ragu
dalam arti inovasi tersebut baik tetapi mereka
akan menggunakannya apabila ada ke-putusan
resmi dari pemerintah. Ketiga, adalah yang
menolak inovasi tersebut karena menjadi beban.
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 2
di atas, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan hubungan antar variabel laten baik langsung maupun tidak langsung menunjukkan
terdapat hubungan yang yang signifikan. Pemahaman kepedulian guru terhadap inovasi secara
positif dan yang signifikan terhadap budaya
sekolah adalah bahwa semakin baik kepedulian
guru terhadap inovasi maka akan semakin baik
pula budaya sekolah. Dalam penelitian ini
dimensi konstruk kepedulian guru terhadap inovasi yang terbukti merefleksikan personal (self),
tugas (task) dan dampak (impact). Personal
(self) dengan indikator yang terdiri dari kesadaran, informasi dan personal. Tugas (task) dengan
indikator manajemen, dan dampak (impact)
dengan indikator terdiri dari konsekuensi,
kolaborasi dan refocusing (Hall & Hord, 2006) .
Adapun dimensi konstruk yang terbukti membentuk konstruk budaya sekolah terdiri dari
orientasi profesional, struktur organisasi, kualitas
lingkungan belajar, dan fokus pada siswa. Secara
empiris telah terbukti bahwa kepedulian guru
98
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
terhadap berbagai dimensi konstruk berhubungan
terhadap budaya sekolah, maka para guru dapat
menciptakan kondisi bagi tumbuh dan berkembangnya dimensi konstruk tersebut.
Hasil penelitian sesungguhnya sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Fullan
(1991) yang hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan inovasi baru baik penggunaan bahan
ajar, metode maupun pendekatan strategi baru
berhubungan terhadap asumsi pedagogik dan
pemahaman menyangkut kebijakan-kebijakan
baru di sekolah. Bafadal (2006) mengemukakan
tentang perubahan di sekolah bahwa sekolah
tidak akan menjadi baik dengan sendirinya melainkan melalui perubahan yaitu proses
pengimplementasian inovasi pendidikan secara
kontinue. Pengimplementasian inovasi pendidikan yang baik terjadi dalam bentuk siklus kegiatan
yang meliputi pengenalan inovasi, penciptaan
kondisi, implementasi, perbaikan dan institusionalisasi. Hal ini didukung oleh Haywood (2006
) yang mengemukakan bahwa terdapat guru
dalam mengadaptasi kurikulum baru sesuai
dengan perhatian dan kebutuhan para guru.
Kebutuhan tersebut menyangkut peningkatan
professional guru yang harus dilakukan secara
kolaborasi.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin
tinggi kepedulian guru terhadap inovasi maka
semakin baik keefektifan sekolah. Nilai-nilai
kepedulian guru terhadap keefektifan berkaitan
dengan dampak (impact) akan lebih besar terhadap nilai-nilai keefektifan sekolah yang memiliki standar yang terdiri dari kejelasan misi,
iklim sekolah yang positif, harapan yang tinggi,
monitoring, kesempatan belajar dan keterlibatan
orangtua. Furqon dkk (2000) mengemukakan
untuk mengimplementasikan suatu inovasi sebagai landasan untuk peningkatan keefektifan
sekolah, maka sekolah harus membekali keluarannya dalam sejumlah kompetensi-kompetensi
yang meliputi keagamaan, ekonomi, sosial
pribadi melalui layanan-layanan yang seharusnya
ada dalam setiap sekolah seperti layanan pembelajaran, layanan manajemen dan iklim sekolah
yang positif, layanan bimbingan dan konseling,
layanan pembinan siswa dan ekstra kurikuler,
serta layanan kemitraan sekolah dengan masyarakat melalui komunikasi yang intensif.
DeEadra (2005) melakukan penelitian
tentang bagaimana guru, orangtua dan siswa melihat peraturan sekolah sebagai hal yang efektif.
Keefektifan sekolah didefinisikan dengan sebelas
karakteristik yaitu kepemimpinan pembelajaran,
misi yang jelas, lingkungan yang mendukung,
iklim sekolah yang positif, harapan yang tinggi,
monitoring, kesempatan untuk belajar, keterlibatan orang tua dan masyarakat, pengembangan
professional dan keterlibatan guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru, orangtua dan
siswa menyetujui lima karakteristik keefektifan
sekolah yaitu lingkungan yang mendukung, iklim
sekolah yang positif, harapaan siswa yang tinggi,
penilaian yang berkelanjutan dan monitoring
keberhasilan dan keterampilan dasar.
Pemahaman guru tentang konstruk kompetensi profesional guru secara positif dan yang
signifikan direfleksikan dengan perencanaan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan
penilaian pembelajaran. Kompetensi profesional
melibatkan kemampuan untuk berfungsi secara
efektif dalam tugas dengan mempertimbangkan
hal penting dalam profesi yang lebih mengkonsentrasikan pada organisasi secara khusus dan
pekerjaan. Kompetensi profesional dicerminkan
dalam kinerja profesional dan mengamati
kinerja profesioanal untuk mengakses tingkatan
kompetensi. Hal penting yang menyangkut hasil
suatu pemeliharaan kompetensi adalah vitalitas
profesional yang melibatkan kemampuan untuk
mendapatkan keberhasilan setelah menempuh
tantangan. Utomo (2005) mengemukakan bahwa
untuk peningkatan kompetensi profesional guru
perlu adanya persepsi tentang implementasi berkaitan dengan inovasi baru.
Membangun budaya sekolah harus selalu
berkesinambungan terutama berkenaan dengan
upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan
peningkatan keefektifan sekolah. Melalui pendalaman pemahaman tentang budaya sekolah,
akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang
penting guna meningkatkan stabilitas pemeliharaan lingkungan belajaranya. Penajaman tentang
nilai, keyakinan dan sikap harus diimplementasikan yaitu dengan cara memperluas meningkatkan
profesionalitas guru, pemahaman tentang
struktur organisasi, kualitas lingkungan belajar
dan fokus pada siswa. Hasil temuan ini sependapat dengan temuan yang dilakukan oleh
Stolp (1994) bahwa budaya sekolah berkorelasi
dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar
siswa serta kepuasan dan produktivitas guru.
Pengembangan kualitas budaya di sekolah menuntut para pemimpin untuk berkembang melalui pemahaman dan komitmen terhadap filosofi
99
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
kualitas sebagai cara untuk memperbaiki kinerja
organisasi, Kotter dan Hesket (1997) menghasilkan kesimpulan bahwa budaya organisasi
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
kinerja organisasi untuk jangka panjang dan
bermanfaat untuk meningkatkan kinerja organisasi serta penting dalam menentukan sukses dan
tidaknya organisasi di masa yang akan datang.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa guru yang
memiliki tingkat kompetensi yang tinggi mampu
meningkatkan keefektifan sekolah. Hasil penelitian ini dapat di-interpretasikan bahwa
sejalan dengan kehidupan global, peran dan
tanggung jawab guru di masa mendatang akan
semakin kompleks, sehingga menuntut guru
untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
Guru harus selalu dinamis dan kreatif dalam
mengembangkan proses pembela-jaran siswa. Di
masa mendatang guru tidak lagi menjadi satusatunya orang yang paling well informed
terhadap berbagai informasi dan pengetahuan
yang sedang berkembang dan berinterkasi
dengan manusia di sekitarnya. Selanjutnya, guru
bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di
tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran
informasi yang demikian cepat, maka ia akan
terpuruk secara profesional. Bila hal ini terjadi,
ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa,
orangtua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru
perlu berpikir antisipatif dan proaktif. Artinya
guru harus melakukan pembaharuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya
secara terus menerus. Guru harus paham
penelitian guna mendukung terhadap efektivitas
pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga
dengan dukungan hasil penelitian guru tidak
terjebak apada praktik pembelajaran yang
menurut asumsi mereka sudah efektif, namun
kenyataannya justru mematikan kreativitas para
siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil
penelitian yang mutakhir memungkinkan guru
untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi
dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sedang berlangsung. Keefetifan pembelajaran menunjukkan bahwa peran penting para
guru dalam meningkatkan pembelajaran yang
efektif dengan pembelajaran langsung melalui
penguatan, struktur tugas dan peningkatan monitoring pada siswa untuk melihat perkembangan
kemajuan siswa, kemudian waktu mengajar termasuk pemberian pekerjaan rumah dan kesempatan untuk belajar bagi para guru baik
menyangkut isi pembelajaran, dan pengukuran
prestasi siswa.
Menurut Cavanagh (1997) bahwa budaya
sekolah ditempatkan dalam konteks peningkatan
mutu sekolah. "Budaya suatu komunitas pembelajar dinyatakan dalam nilai-nilai dan norma
antar para guru yang menghasilkan penggunaan
komponen yang sama yang bertujuan dan
meningkatkan pembelajaran bagi siswa”. Budaya
sekolah ditandai dengan keikutsertaan dalam
proses interaktif sosial yang mengembangkan,
memelihara dan mengubah bentuk budaya
sekolah. Interaktif sosial ini menyangkut harapan
guru untuk siswanya , rasa percaya diri (sense of
self efficacy), keyakinan tentang kegagalan
akademis, motivasi, dan komitmen pada yang
telah dipelajari dan dikenali seperti karakteristik
sekolah efektif. Kebanyakan studi, sedikit sekali
yang menggunakan faktor organisasi formal, dan
secara umum sedikit yang menggunakan budaya
sekolah dalam sikap guru, persepsi, tujuan dan
lain-lain. Glickman (dalam Bafadal, 2006) menyatakan bahwa guru yang profesional adalah
guru yang komit terhadap pengembangan diri
secara terus menerus, pengembangan siswa, dan
sesama guru. Dia mampu memikirkan tugasnya,
mempertimbangkan alternatif yang ada, mampu
menentukan pilihan dengan rasional, dan mengembangkan serta melaksanakan perencanaan
yang matang. Dia dianggap sebagai pimpinan
informal, dan orang lain ingin minta bantuannya.
Tidak hanya karena memiliki banyak ide,
aktivitas, dan sumber daya, namun orang seperti
ini selalu terlibat aktif dalam merancang perencanaan dengan sempurna.
Keberhasilan pembaharuan sekolah sangat
ditentukan oleh gurunya, karena guru adalah
pemimpin pembelajaran, fasilitator, dan sekaligus merupakan pusat inisiatif pembelajaran.
Karena itu, guru harus senantiasa mengembangkan diri secara mandiri serta tidak bergantung
pada inisiatif kepala sekolah dan supervisor.
Mortimore (1994) dan Scheerens & Bosker
(1997) mengemukakan bahwa hasil penelitian
tentang keefektifan sekolah yang berprestasi
tinggi terdiri dari misi sekolah yang jelas,
harapan yang tinggi untuk mencapai sukses,
kepemimpinan pengajaran, frekuensi dalam
monitoring, kemajuan belajar siswa, kesempaan
dan waktu belajar, lingkungan yang sehat dan
100 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
tertib, serta hubungan antara sekolah dengan
orangtua. Penelitian Hoy dan Hanum (1997)
menunjukkan bahwa iklim sekolah yang tercermin dari lingkungan sekolah dimana rasa
kebersamaan sesama guru tinggi, dukungan
sarana yang memadai, target akademik yang
tinggi dan kemantapan integritas sekolah sebagai
suatu intitusi mendukung pencapaian prestasi
akademik siswa yang lebih baik. Faktor-faktor
yang digunakan untuk mencapai keefektifan
sekolah adalah dedikasi guru yang tinggi, pemantauan yang kontinyu terhadap kemajuan
siswa, iklim belajar yang positif, kesempatan
yang cukup untuk belajar, pelibatan orang tua
dan masyarakat dalam program sekolah.
Menurut Shepard (2005) penerimaan inovasi
harus didukung oleh guru, sekolah dan lingkungan pendidikan serta peningkatan pe-latihan
terhadap inovasi yang disampaikan kepada guru
yang bersangkutan. Penelitian ini didukung pula
oleh Ololube (2006) yang me-nunjukkan bahwa
para guru memerlukan pengetahuan tentang
kompetensi profesional dalam melaksanakan
proses pembelajaran. Hal tersebut semuanya bertujuan untuk melaksana-kan proses pembelajaran
secara efektif.
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan
penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan Wong
(1996) berhubungan dengan dukungan pendidikan yang konsisten dari masyarakat, tingginya
derajat profesionalisme guru, adanya tradisi penjaminan mutu dan adanya harapan yang tinggi
terhadap prestasi. Hal ini sesuai dengan
Mortimore (1993) dan Scheerens (1992) , bahwa
faktor kualitas pembelajaran memiliki hubungan
besar terhadap keefektifan sekolah. Kualitas
pembelajaran tersebut meliputi pengorganisasian
pembelajaran, metode belajar yang menantang
intelektual siswa, pembatasan fokus materi pembelajaran, dan komunikasi maksimum antara
guru dan siswa. Berdasarkan hasil temuan
Mortimore (1993) bahwa kualitas mengajar berhubungan terhadap keefektifan sekolah, kualitas
kinerja guru dalam kegiatan mengajar yang
meliputi: menjelaskan, mengajukan pertanyaan
tinggkat tinggi, menyusun materi, membimbing
belajar siswa, variasi dalam mengajar dan
komunikasi intens dengan siswa.
Maslowski (2001) menjelaskan dalam
bentuk formula peningkatan kompetensi profesional guru meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) perilaku guru di sekolah ditandai dengan rasa
hormat untuk semua yang terlibat di sekolah, (2)
hubungan dengan para rekan kerja ditandai oleh
saling kepercayaan timbal balik dan kolaborasi
yang aktif, (3) masing-masing guru diharapkan
untuk berperan untuk menciptakan lingkungan
yang positif secara tulus, (4) hubungan dengan
para siswa ditandai oleh kepedulian yang
ditopang dengan saling pengertian sebagai pola
asuh, (5) pembelajaran yang berkualitas meliputi
kesiapan guru mengevaluasi diri, memberikan
kontribusi pada peningkatan pembelajaran, dan
kesediaan untuk meningkatkan kompetensi guru
melalui pelatihan-pelatihan untuk men-dapatkan
informasi menyangkut inovasi pem-belajaran, (6)
peduli kepada para siswa dengan mendiskusikan
tentang kemajuan, kekurangan dan hambatan
yang dihadapi siswa, disamping mendorong
keterlibatan orang tua dalam pening-katan
pendidikan, (7) partisipasi guru dalam berperan
di sekolah baik intra kurikuler maupun ekstra
kurikuler, dan (8) para guru diharapkan untuk
dapat memberikan kontribusi terhadap setiap
perubahan yang dihadapi sistem sekolah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Secara keseluruhan pengaruh variabel
antara atau hubungan tidak langsung antar
variabel lemah. Lemahnya pengaruh tidak
langsung dari variabel antara tersebut tidak
mengurangi makna penelitian ini, karena pada
hakikatnya penelitian menggunakan model SEM
tidak bertujuan untuk menemukan besar kecilnya
hubungan atau pengaruh. Penelitian dengan pendekatan SEM bertujuan untuk menguji model
hubungan yang telah dikembangkan berdasarkan
pada justifikasi teoretik yang kuat (Hair,2006).
Situasi dan kondisi saat penelitian dilaksanakan
perlu mendapat perhatian sehubungan dengan
penentuan variabel penelitian. Misalnya perubahan kebijakan pemerintah menyangkut
sertifikasi guru dan pengelolaan kurikulum
tingkat satuan pendidikan. Lahirnya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) akan mengubah pola persepsi guru terhadap pengelolan
kurikulum. Misalnya, penerapan kurikulum yang
diserahkan kepada sekolah, juga penyusunan
kurikulum muatan lokal yang harus sesuai
dengan lingkungan tingkat satuan pendidikan
setempat.
Hasil penelitian ini memberikan implikasi
secara praktis terhadap upaya meningkatkan ke-
101 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
efektifan sekolah. Peningkatan keefektifan sekolah dapat dilakukan dengan meningkatkan
enam aspek yaitu misi yang jelas, iklim sekolah
yang positif, harapan yang tinggi, monitoring dan
asesmen, kesempatan belajar dan keterlibatan
orang tua.
Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian
ini, tingkat kepedulian guru terhadap inovasi
sekolah yang akan terdiri dari beberapa kelompok; Pertama, guru yang menganggap
inovasi tersebut sesuai dengan keinginan mereka
dan ingin meng-gunakannya dalam pembelajaran
di sekolah. Kedua, kelompok yang masih raguragu dalam arti inovasi tersebut baik tetapi
mereka akan menggunakannya apabila ada
keputusan resmi dari pemerintah, Kelompok
ketiga, adalah yang menolak inovasi tersebut
karena menganggap inovasi tersebut menjadi
beban. Maka pada kelompok ketiga ini yang
perlu mendapatkan perhatian secara khusus
karena guru pada kelompok akan berpengaruh
pada usaha pening-katan mutu pendidikan.
Untuk itu, kepala sekolah, pemerintah daerah,
dan LPMP dapat menindaklanjuti temuan dan
mengevaluasi tingkat kepedulian guru terhadap
inovasi, budaya sekolah, kompetensi profesional
dan keefektifan sekolah guru dalam rangka
meningkatkan
mutu pendidikan sekolah di
sekolah dasar.
DAFTAR RUJUKAN
Bafadal, I. 2006, Peningkatan Profesionalisme
Guru Sekolah Dasar, Dalam Kerangka
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah, Jakarta: PT Bumi Aksara
Bennie, K. & Newstead, K. 1999. “Obstacles to
implementing a new curriculum.” dalam
M.J. Smith & A.S. Jordaan (Eds.)
Proceedings of the National Subject
Didactics Symposium (pp. 150-157).
Stellenbosch: University of Stellenbosch.
(diunduh
dari:
www.academic.sun.ac.za/mathed/Malati/Fi
les/Statistics99.pdf)
Bosker,R. J. and Guldemond, H. 1991.
Interdepending of Performance Indicators
an Empirical Study in a Catarogical
School Systems. New York : Academic
Press, Inc.
Cavanagh .1997. The Culture and Improvement
of Western Austraian Senior Sconadry
School (diunduh dari www.adt.curtin.edu.
Au/theses/available/adt.WCU20030228.14
3818/unrestricted/13References.pdf)
Cheng, Eddie W.L., (2001), “SEM being more
effective than multiple regression in parsimonious model testing for management
development research”, Journal Management Development, Vol. 20, No. 7, pp.
650-667.
Cruickshank, & Donald, R. (Eds). 2006. The Act
of Teaching. New York: McGraw-Hill
Davis, K. & Newstrom. 1985. Human at work:
Organizational behavior, alih bahasa Agus
Dharma. Jakarta: Erlangga
DeEadra, A.G. 2005. Teachers’, Parents’, and
Students’ Perceptions of Effective School
Characteristics of Two Texas Urban
Exemplary Open- Enrollment Charter
Schools. (diunduh dari: www.xspace.tamu.
edu/bitsream/handle/1969.1/2566/etd-tamu
-2005B)
Depdiknas. 2006. Rencana strategis Depdiknas
2005-2025, Jakarta : Balitbang Depdiknas,
(downloaded from www.depdiknas.go.id).
Fullan. 2001. The Meaning of Educational
Change. New York: Teachers College
Press
Furqon. 2000. Pengembangan Model Penilaian
Sekolah Efektif. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan No_044 - September 2003.
(Diunduh dari www.depdiknas.go.id\Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan )
Hair, F.H. 2006. Multivariate Data Analysis With
Reading, Edisi keenam, Prentice-Hall
International, Inc, New Jersey.
Hall & Hord, 2006. Implementing Change:
patterns, principles and potholes. Albany,
NY: State University of New York Press
Haywood, Benyamin, 2006. Implementation
fidelity and facilitator concerns in the
process of disseminating a deliberate
psychological and professional education
innovation,
North
Carolina
State
University Diunduh dari: http://www.
ohiolink. edu/etd/viem.cgi)
Hendarman, 2002. Persepsi Guru dan Institusi
Pasangan tentang kendala-kendala Implementasi kurikulum Sekolah Menengah
Kejuruan Kelompok Pariwisata, (Diunduh
dari www.depdiknas.go.id/Jurnal/52/)
102 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Holt, C. 2002. Relationship between School
climate and student success, Arkansas
Educational Research & Policy Studies
Journal, Spring, 2002 Vol2, pp 52-64
Hoy, H.W., & Hanum,J.W. 1997. Middle School
climate: an empirical assesment of organizational health and student achievement.
Educational Adminsitration Quaterly,
33(3),-290-311
Kotter, John P. & James L Kotter, 1992. Corporate Culture & Performance, Jakarta,
Prenhallindo
MacBeath & Motimore. 2005. Improving School
Evectiveness, Jakarta : PT Grasindo Widya
Sarana
Nolder, R. 1990. “Accommodating curriculum
change
in mathematics: Teachers’
dilemmas.” dalam Booker, G., Cobb, P. &
de Mendicuti, T.N. (Eds.). Proceedings of
the Fourteent Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (pp. 167-174). Mexico
City, Mexico.
Ololube, N.P. 2006. Teacher Education, School
Effectiveness and Improvement A Study of
Academic and Professional Qualification
on Teachers’ Job Effectiveness in Nigerian
Secondary Schools (diunduh dari :
http:www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/kay/s
ovel/vk/ololube/ )
Owens, Robert, G.1991. Organizational Behavior in Education. New Jersey, USA,
Prentice Hal International Inc.
Robbins, Stephen. 1998. Perilaku Organisasi,
Jilid 1, Jakarta, Penerbit PT Prenhalindo.
Rogers, M.E. 2003. Diffusion of innovations
(5th.ed) New York: Free Press
Scheerens, J. 1992. Effective Schooling,
Research, Theory and Practice, New
York: Cassel
Scheerens & Bosker, 1997, The Foundations of
Educational Effectivenes, Pergamon,.
Sheppard,Bruce. 2005. Impelementing Change:
A Success Story, Faculty Education,
MUN,(diunduh:www.tipkinis.com/confere
ncen/CCEAM/wib/index/pdf)
Snyder, J.B.. & Zumwalt, K. 1992. Curriculum
innovation. Dalam Jackson, P.W. (ed.).
Handbook of research on curriculum (pp.
402-435). New York: United States:
MacMillan.
Stolp, Stephen.1994, Leadership for school
culture, (diunduh dari: http://www.ed.gove
/database/ERIC_Diggest/ed370198.htm)
Suyanto, 2004, Mobilitas Horizontal Bagi Guru
Bermutu, Suara Merdeka, kamis 30-122004. (Diunduh dari http:www.suaramerdeka.com/harian/0412/30/opi04.tm, tgl 25
Pebruari 2007)
Utomo, E. 2005, Challenges of Curriculum
Reform in the Context of Decentralization:
The Response of Teachers to a Competence-Based Curriculum (CBC) and Its
Implementation in Schools, University of
Pittsburgh.
Download