155.633 SUG g - Gambaran Proses

advertisement
11
2. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Penerimaan Diri
2. 1. 1. Definisi Penerimaan Diri ( Self Acceptance)
Anderson (1959 hlm. 153) menyebutkan bahwa penerimaan diri adalah :
”...that we have succeeded in accepting our assets and limitation without
becoming smug or defensive. ...to accept ourselves means that we have
drilled to the bedrock of our character and found the real foundation for
humility and integrity.”
diterjemahkan menjadi penerimaan diri berarti kita telah berhasil menerima kelebihan
dan kekurangan diri apa adanya. Menerima diri berarti kita telah menemukan karakter
diri dan dasar yang membentuk kerendahan hati dan integritas. Kemudian Hurlock
(1974 hlm. 434), mendefinisikan penerimaan diri sebagai:
”the degree to which an individual having considered his personal
characteristics, is able and willing to live with them”
diterjemahkan menjadi : derajat dimana seseorang telah mempertimbangkan
karakteristik
personalnya,
merasa
mampu
serta
bersedia
hidup
dengan
karakteristiknya tersebut.
Dari kedua definisi penerimaan diri di diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
penerimaan diri adalah derajat dimana seseorang telah menemukan karakteristik
personalnya termasuk kelebihan dan kekurangan diri serta mampu dan bersedia hidup
dengan karakteristik tersebut sehingga membentuk integritas diri.
2.1.2. Ciri-ciri Penerimaan Diri
Menurut Ryff & Schmutte (dalam Urim 2007), Penerimaan diri mencakup
penilaian positif terhadap diri sendiri dan masa lalu. termasuk segala keberhasilan,
juga mencakup rasa percaya diri, kematangan pribadi, dan keamanan emosional.
Menurut Carson dan Langer (dalam Urim, 2007), salah satu aspek penting
dalam penerimaan diri adalah mampu dan mau membiarkan orang lain melihat
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
12
dirinya yang sesungguhnya, melakukan evaluasi yang sesuai dan menerima kesalahan
di masa lalu.
Ryff (dalam Positive Psychology, 2004) mengatakan individu yang memiliki
penerimaan diri rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya, menyesali apa yang
terjadi di masa lalunya, sulit untuk terbuka, terisolasi dan frustrasi dalam hubungan
interpersonal sehingga tidak ada keinginan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang lain. sedangkan individu yang memiliki penerimaan diri dalam tingkat optimal
atau tinggi akan bersikap positif terhadap dirinya sendiri. mau menerima kualitas baik
dan buruk dirinya, serta memiliki sikap positif terhadap masa lalunya.
Menurut Hamacheck (dalam Sukmaningrum, 1998) bagi mereka keterbatasan
yang menyangkut hubungan dengan pasangan, kemunduran dalam pekerjaan serta
penurunan kondisi fisik tidak membuat penerimaan diri menjadi berkurang. mereka
mampu berpikir realistis sehingga dapat menciptakan rasa puas diri yang essensial
bagi penerimaan diri. mereka bisa menerima kelebihan dan kekurangannya. mereka
tetap puas terhadap diri sendiri, sekalipun mengetahui bahwa kondisi tubuhnya
mengalami perubahan. mereka juga tidak menyesali dan tetap memiliki keyakinan
dalam menghadapi kenyataan yang harus dihadapi. mereka yang memiliki
penerimaan diri tinggi mampu mengembangkan tingkah laku positif dan realistis serta
mempunyai pola pikir positif sehingga ia dapat lebih banyak merasakan kepuasan dan
kesenangan.
Jersild (1963) memberikan batasan-batasan dalam penerimaan diri. Batasanbatasan yang dikemukakan oleh Jersild adalah sebagai berikut:
“The self accepting person has a realistic appraisal of his resources combined
with appreciation of his own worth; assurance about standards an conviction
of his own without being a slave to the opinion of others; and realistic
assesment of limitations witout irrational self-reproach. Self accepting people
recognize their assets and are free to draw upon them even if they are not all
that could be desired. They also recognize their shortcomings without
needlesly blaming themselves”
seseorang yang menerima dirinya adalah seseorang yang memiliki penilaian
yang realistis terhadap kemampuannya yang berkesinambungan dengan penghargaan
terhadap keberhargaan dirinya, jaminan dari dirinya tentang batasan (standard)
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
13
pendiriannya tanpa merasa terendahkan oleh opini orang lain dan penilaian realistis
dari keterbatasan dirinya tanpa menyalahkan dirinya secara tidak rasional. Orang
yang menerima dirinya mengenali kemampuan dirinya, dan mereka dapat
menggunakan kemampuan dirinya dengan bebas walaupun tidak semua dari
kemampuannya tersebut diinginkan. Mereka juga mengenali kelemahan dirinya tanpa
menyalahkan diri sendiri.
Dari uraian diatas, peneliti menyimpulkan ciri-ciri orang yang menerima diri adalah:
•
Penilaian positif terhadap diri sendiri
•
Melakukan evaluasi yang sesuai, menerima kesalahan di masa lalu
•
Pola pikir positif
•
Realistis
terhadap
kemampuan
yang
dimilikinya
dan
mampu
memanfaatkannya
2.1.3. Faktor-faktor yang Membentuk Penerimaan Diri
Hurlock (1974) menyatakan ada beberapa kondisi yang dapat dijadikan
kriteria untuk melihat bahwa seseorang telah menerima dirinya, antara lain:
1. Pemahaman diri (self-understanding)
Pemahaman diri merupakan persepsi diri yang ditandai oleh
genuineness, realita, dan kejujuran. Pemahaman diri ini bukan berarti
mengenali kenyataan, akan tetapi menyadari fakta-fakta yang signifikan.
Kemampuan pemahaman diri seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh
kapasitas intelektual, tetapi juga oleh adanya kesempatan dalam penemuan
diri (self discovery). Kurangnya pemahaman diri dapat terjadi karena
kurangnya pengetahuan, kurangnya kesempatan dalam penemuan diri (self
discovery), atau karena hasrat seseorang untuk melihat dirinya menjadi seperti
cita-cita atau impiannya, bukan sebagai dirinya pada saat ini. Pemahaman diri
dan penerimaan diri merupakan merupakan dua hal yang beriringan. Semakin
seseorang memahami dirinya, semakin baik penerimaan dirinya.
2. Harapan realistis (realistic expectations)
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
14
Ketika seseorang memiliki harapan yang realistis dalam mencapai
sesuatu, maka tingkah lakunya akan tampil sesuai dengan harapannya itu. Hal
ini akan mempengaruhi kepuasan diri yang merupakan esensi dari penerimaan
diri.
Harapan akan menjadi realistis jika dibuat sendiri oleh seseorang dan
bukan hasil dari pengaruh orang lain. Harapan yang realistis juga akan
terwujud jika seseorang telah memiliki pemahaman diri yang baik sehingga ia
mampu mengenali kelemahan dan kekurangan dirinya.
Perbedaan antara konsep diri riil dengan konsep diri ideal yang
disebabkan harapan yang tidak realistis, menyebabkan kesulitan dalam
menerima diri. Semakin besar perbedaan antara konsep diri riil dengan konsep
diri ideal, semakin besar penolakan diri.
3. Tidak adanya hambatan dari lingkungan (absence of environment
obstacles)
Ketidakmampuan dalam mencapai tujuan yang realistis, dapat terjadi
karena hambatan dari lingkungan yang tidak mampu dikontrol oleh seseorang,
seperti diskriminasi ras, jenis kelamin, atau agama.
Wanita yang tidak memiliki anak dianggap salah atau mempunyai
kelainan. Mereka dinilai egois dan tidak mampu menyesuaikan diri dan tidak
sepenuhnya mendapat penerimaan dalam masyarakat (baruch dkk., dalam
Donelson, 1999). Hal ini dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan
untuk menerima dirinya karena dirinya mendapatkan tekanan yang tidak
mampu dikontrolnya. Namun, apabila hambatan-hambatan itu dihilangkan
dan jika keluarga, peer, atau orang-orang yang berada di sekelilingnya
memberikan motivasi dalam mencapai tujuan, maka seseorang akan mampu
memperoleh kepuasan terhadap pencapaiannya.
4. Sikap sosial yang positif (favourable social attitudes)
Sikap suatu kelompok sosial terhadap seseorang membentuk sikap diri
orang tersebut. Jika seseorang telah memperoleh sikap sosial yang positif,
maka ia akan lebih mampu menerima dirinya. Tiga kondisi utama yang
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
15
menghasilkan evaluasi positif antara lain adalah tidak adanya prasangka
terhadap seseorang, adanya penghargaan terhadap kemampuan-kemampuan
sosial, dan kesediaan individu mengikuti tradisi suatu kelompok sosial.
Wanita involuntary childless terkadang tidak mendapatkan sikap sosial
yang positif dari orang-orang di sekitarnya. Norma sosial di Indonesia yang
memandang kehadiran anak sebagai sesuatu yang sangat penting membuat
wanita yang belum memiliki anak mendapatkan prasangka akan kondisi
biologis dirinya. Sikap sosial yang negatif ini dapat membuat seorang wanita
involuntary childless sulit untuk menerima dirinya.
5. Tidak adanya stres (tekanan emosional) yang berat (absence of severe
emotional stress)
Stres emosional, bahkan yang ringan sekalipun dapat menyebabkan
kesedihan dan ketergangguan baik fisik maupun psikologis. Stres adalah
kondisi yang terjadi karena adanya discrepancy (kesenjangan) dalam
transakasi antara seseorang dengan lingkungannya, yaitu kesenjanganj antara
permintaan situasi dengan sumber atau kapasitas sistem biologis, psikologis,
dan sosial seseorang (Cox, 1978 et,al, dalam Savarino, 1998). Menurut
Sarafino, stres dapat disebabkan oleh beberapa sumber, antara lain keluarga,
lingkungan sosial, dan individu yang mengalaminya. Sumber stres yang
berasal dari keluarga antara lain penambahan anggota keluarga (anak),
perceraian, penyakit kronis, ketidakmampuan, dan kematian. Sumber stres
dari lingkungan antara lain, pekerjaan, kebisingan, dan lain-lain. Penyebab
munculnya stres pada individu adalah penyakit yang dialami dan adanya
konflik. Konflik merupakan sumber besar penyebab stres. Konflik muncul
ketika kita berada dibawah tekanan untuk merespon secara simultan dua atau
lebih kekuatan yang saling bertentangan (Atwater, 1983). Lazarus (1976),
mengategorikan konflik menjadi tiga tipe, yaitu konflik antar kebutuhankebutuhan internal (internal needs), konflik antar tuntutan lingkungan
(external demand), dan konflik antara internal needs dan external demand.
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
16
Stres mengakibatkan berbagai dampak terhadap emosi dan perilaku
sosial. Stres yang disertai kemarahan akan meningkatkan perilaku sosial yang
negatif (Sarafino, 1998). Donerstein dan Wilson (dalam sarafino, 1998)
menyatakan penelitian menunjukkan bahwa stres yang disertai kemarahan
akan meningkatkan perilaku agresif, dan efek ini akan berlanjut walaupun
kondisi stres telah berakhir.
Tidak adanya stres atau tekanan emosional yang berat mampu
membuat seseorang bekerja secara optimal dan lebih berorientasi lingkungan
daripada berorientasi diri. Tidak adanya stres juga memungkinkan seseorang
untuk lebih tenang dan bahagia. Kondisi ini dapat mengarahkan pada
positifnya sikap sosial yang akan membentuk evaluasi diri yang positif dan
penerimaan diri.
6. Pengaruh keberhasilan (preponderance of success)
Pengalaman gagal dapat menyebabkan penolakan diri, sedangkan
meraih kesuksesan akan menghasilkan penerimaan diri. Pengalaman sukses
dapat bersifat kuantitatif dan kualitatif. Pada suatu waktu, jumlah kesuksesan
dapat melebihi kegagalan. Di saat yang lain, kegagalan bisa lebih banyak
daripada kesuksesan, tetapi kesuksesan yang diraih sangat berarti sehingga
melebihi kegagalan yang pernah dialami. Kegagalan yang pernah dibuat akan
tertutup oleh penilaian sosial yang positif terhadap kesuksesannya. Kemudian
ia akan lebih menerima diri (self acceptance) karena penilaian positif itu.
7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik
(identification with well-adjusted people)
Sikap ini akan menghasilkan penilaian diri yang positif dan
penerimaan diri. Proses identifikasi bisa menjadi kuat dalam usia berapapun.
Namun, proses identifikasi yang paling kuat terjadi pada masa kanak-kanak.
Normalnya, orangtua yang merupakan sosok yang dipilih anak sebagai
sumber identifikasi. Oleh karena itu, cara penyesuaian diri ibu sangat
mempengaruhi pola kepribadian anak. Seseorang yang mengidentifikasikan
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
17
dirinya dengan orang lain yang mampu menyesuaikan diri dengan baik,
mampu mengembangkan sifat positif terhadap hidup.
8. Perspektif diri yang luas (self perspective)
Seseorang yang memandang dirinya sebagaimana orang lain
memandang dirinya akan mampu mengembangkan pemahaman diri daripada
seseorang yang perspektif dirinya sempit dan terbatas.
9. Pola asuh yang baik pada masa anak-anak (good childhood training)
Pendidikan di rumah dan sekolah sangat penting. Walaupun
penyesuaian yang dibuat oleh seseorang membawa banyak perubahan radikal
dalam hidup, konsep diri, yang menentukan penyesuaian terhadap hidup,
terbentuk pada masa kanak-kanak. Karena itulah pelatihan yang baik di rumah
maupun sekolah pada masa kanak-kanak sangatlah penting.
Pola pengasuhan demokratis akan menghasilkan kepribadian yang
lebih sehat dibandingkan authoritarian atau overpermissive. Anak yang
dibesarkan dalam pola pengasuhan demokratis terbiasa untuk menghormati
dirinya dan bertanggung jawab dalam berperilaku tanpa hal yang membatasi
secara ketat, seperti halnya dalam pola pengasuhan authoritarian.
10. Konsep diri yang stabil (stable self concept)
Menurut Papalia, dkk (2004), konsep diri adalah gambaran mental
seseorang secara deskriptif dan evaluatif mengenai kemampuan dan trait yang
dimiliknya. Evaluasi diri ini dipengaruhi oleh apa yang orang lain ketahui
tentang dirinya (Mirror image), karena tiap individu berhubungan dengan
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap mirror image, seperti orangtua,
guru, dan teman sebaya (hurlock, 1974).
Stabilnya konsep diri merupakan kestabilan seseorang dalam
memandang dan menilai dirinya dengan cara yang sama dari waktu ke waktu.
Hanya konsep diri positif yang mampu mengarahkan seseorang untuk
menerima dirinya. Konsep diri yang tidak stabil mengarahkan seseorang
untuk melihat dirinya secara tidak konsisten. Di suatu waktu ia memandang
dirinya secara positif, tetapi di waktu yang lain ia memandang dirinya secara
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
18
negatif. Hal ini menyebabkan seseorang akan mengalami kesulitan untuk
memiliki gambaran yang jelas mengenai dirinya sendiri. Seseorang yang
menerima dirinya akan mengembangkan konsep diri yang positif sehingga
penerimaan diri menjadi suatu yang biasa dilakukan.
2. 2. Belum Memiliki Anak Tanpa Direncanakan (Involuntary Childless)
2.2.1. Pengertian Involuntary Childless
Istilah Involuntary childless terkadang disamakan dengan istilah infertiitas.
Namun lebih lanjut Veevers (dalam Miall, 1986) menjelaskan bahwa tidak hadirnya
anak dalam pernikahan (childlessness) terbagi menjadi dua, yaitu tidak memiliki anak
dengan direncanakan (voluntary childless), dan tidak memiliki anak tanpa
direncanakan (Involuntary childless), kedua perbedaan ini tidak hanya berdasarkan
atas kemampuan fisik seseorang untuk memiliki anak. Dua hal terpisah yang terlibat
dalam perbedaan ini adalah “kemampuan fisik untuk memiliki anak (the physical
capacity to procreate) dan keinginan untuk memiliki anak (the psychic to do so)”
(Veevers, dalam Miall, 1986). Dari sudut pandang psikologi sosial, komponen
penting dalam mendefinisikan seseorang sebagai Involuntary childless adalah bukan
status mereka secara biologis (fertil atau infertil), tetapi keinginan psikologis mereka
untuk memiliki anak, namun kondisi mereka sekarang tidak memungkinkan untuk
memiliki anak. Sebagai contoh, walaupun hanya salah satu dari pasangan suami istri
yang didiagnosa mengalami infertilitas, keduanya dapat dikategorikan Involuntary
childless jika mereka secara sadar memiliki keinginan memiliki anak, namun tidak
mampu mendapatkannya. Sebaliknya, pasangan tersebut bisa disebut voluntary
childless jika secara psikologis mereka memilih untuk tidak memiliki anak, dan
menghindari peran sebagai orangtua.
Involuntary childlessness bisa diartikan dari bentuk ketidakmampuan
seseorang secara fisik, misalkan infertilitas. Sebagian besar kasus Involuntary
childless didiagnosa secara medis sebagai hasil dari ketidakmampuan fisik (Physical
impairment).
Bentuk
lain
dari
Involuntary
childless
selain
dikarenakan
ketidakmampuan seseorang secara fisik, tetapi juga disebabkan karena adanya
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
19
masalah psikologis, walaupun jumlahnya sangat sedikit (Weinstein, dalam Miall
1986). Selain itu, Involuntary childless juga bisa disebabkan peran dalam lingkungan
sosial, dimana pasangan suami istri tidak dapat memiliki anak karena tuntutan peran
sosial yang mereka jalankan (Nagi, dalam Miall 1986), salah satu contoh yang bisa
kita lihat adalah seorang pramugari yang masih terikat kontrak harus menaati
peraturan untuk menunda kehamilan, atau para model wanita yang harus selalu
menjaga bentuk tubuhnya, terpaksa menunda kehamilan pada masa puncak dalam
kariernya.
2.2.2. Pengaruh Involuntary Childless Pada Wanita
Involuntary childless dapat menjadi hal yang dirasakan sangat tidak
menyedihkan bagi seorang wanita, efek negatif dari involuntary childless ini
dipastikan memiliki hubungan dengan pandangan sosial yang sangat mendukung
kehadiran anak (Kraft dkk, dalam Miall 1986). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ketika
norma yang berlaku di lingkungan sosial dan nilai-nilai di masyarakat mendukung
kehadiran anak dan sangat menghargai peran sebagai orangtua, ketiadaan anak dapat
menjadi status yang dianggap memalukan (stigmatizing status). Hal ini dapat
mempengaruhi konsep diri dan hubungan interpersonal wanita menikah (Miall,
1986).
Berdasarkan penelitian dari Miall(1986), ditemukan bahwa sebagian besar
wanita involuntary childless lebih dulu merasakan kecemasan dari ketidakhadiran
anak, dan wanita pula yang pertama kali memeriksakan diri ke dokter, baru setelah
itu suami mereka. Dari temuan tersebut Miall (1986) menyimpulkan bahwa sebagian
besar wanita masih mempersepsikan bahwa kegagalan terjadinya konsepsi
merupakan masalah dari wanita.
Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa wanita yang mengalami
involuntary childless karena masalah infertilitas (baik dirinya maupun dari pihak
suami yang mempunyai masalah infertilitas) merasakan bahwa masalah tersebut
membuat mereka merasa tidak nyaman. Mereka merasa bahwa hal tersebut bukanlah
hal yang pantas untuk diketahui oleh orang lain selain dirinya dan suam. Bahkan
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
20
mereka terkadang menyembunyikan masalah tersebut dari keluarga mereka karena
mereka tidak ingin membuat keluarganya merasa cemas.
Para wanita involuntary childless merasa bahwa pengalaman mereka yang
gagal untuk memiliki anak membuat mereka merasa gagal, dan merasa bahwa ada
sesuatu yang salah dengan diri mereka. Hampir semua partisipan dalam penelitian
Miall (1986) mengatakan bahwa merasakan kecemasan (anxiety), isolasi (isolation),
dan mengalami konflik saat mereka mencoba mencari tahu masalah infertilitas pada
diri mereka (personal infertility).
2. 3. Infertilitas
2.3.1. Definisi Infertilitas
Infertilitas berarti kegagalan pembuahan setelah melakukan hubungan seksual
secara teratur tanpa alat kontrasepsi atau ketidakmampuan untuk mempertahankan
kehamilan.
Infertilitas
berbeda
dengan
dengan
sterilitas
(sterility),
yaitu
ketidakmampuan total untuk melakukan pembuahan (March banks et.al, dalam
Williams, Sawyer & Wahlstrom, 2006). Perbedaan infertilitas dengan sterilitas juga
dijelaskan oleh Mullen (dalam Astuti, 2005), yang menyebutkan bahwa infertilitas
berbeda dengan sterilitas, dimana sterilitas berarti ketidakmampuan yang absolut dan
permanen untuk terjadinya pembuahan.
Berbeda dengan sterilitas yang tidak memiliki kemungkinan untuk memiliki
anak, setengah pasangan infertil mampu melakukan pembuahan dan akhirnya
memiliki anak, sementara sisanya tetap infertil (Collins, dkk., dalam Abbey, Andrews
& Halman, 1992). Secara umum, para peneliti medis membedakan infertilitas
menjadi dua bagian, yaitu infertilitas primer (primary infertility) dan infertilitas
sekunder (secondary infertility). Pasangan yang mengalami infertilitas primer
mengalami kegagalan pembuahan setelah melakukan hubungan seksual secara teratur
tanpa alat kontrasepsi selama setahun, dan pembuahan sama sekali tidak pernah
terjadi. Pasangan disebut mengalami infertilitas sekunder bila telah terjadi
pembuahan, namun tidak berhasil mempertahankannya (dalam kasus ini termasuk
keguguran) (McFalls, dalam Miall, 1986).
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
21
Dalam penelitian ini yang dimaksud infertilitas adalah ketidakmampuan
seseorang untuk mendapatkan anak secara biologis pada pasangan yang telah
menikah paling sedikit satu tahun dan melakukan hubungan seksual secara rutin
tanpa menggunakan alat kontrasepsi apapun. Dalam hal ini tidak hanya pasangan
yang belum pernah mengalami konsepsi, tetapi juga wanita yang pernah mengalami
konsepsi, tetapi kehilangan kehamilannya dalam beberapa bulan.
2.3.2. Penyebab Infertilitas
Menurut Walker (1996) penyebab dari infertilitas dapat dikelompokkan
kedalam tiga bagian besar, yaitu 40% pasangan infertil karena adanya masalah pada
wanita, kemudian 40% karena masalah pada pria, dan 20% karena gaya hidup. Dua
masalah terbesar yang dapat menjadi penyebab infertilitas pada wanita adalah karena
adanya kegagalan dalam berovulasi dan penyumbatan pada tuba falopi.
Endometriosis juga dapat menjadi salah satu masalah pada wanita, karena adanya
cairan vagina yang tidak normal yang menghambat sperma untuk berenang di rahim
pada masa subur, sehingga tidak dapt membuahi sel elur. Penyebab kedua adalah
karena masalah pada pria. Penyebab terbesar pada pria adalah karena jumlah sperma
yang dihasilkan terlalu sedikit dan karena tingginya proporsi dari sperma yang tidak
baik (defective). Penyebab infertil lainnya yang bersumber pada pria adalah
abnormalitas dari kerja hormon, disfungsi seksual dan retrogade ejaculation. Gaya
hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan infertilitas. Bekerja terlalu lama, stres,
menurunnya berat badan hingga 10-15 persen dari berat badan ideal, dapat
menghambat terjadinya ovulasi. Selain hal-hal tersebut, konsumsi alkohol, obatobatan terlarang (narkoba), menggunakan celana dalam terlalu ketat, dan
menghabiskan waktu terlalu lama di sauna, atau olahraga berlebihan juga dapat
menyebabkan infertilitas.
Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2006) mengelompokkan penyebab
infertilitas ke dalam tiga bagian, yaitu penyebab yang berasal dari pria, dari wanita,
dan dari kedua belah pihak (pasangan).
Penyebab infertilitas yang berasal dari pria antara lain:
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
22
-
Kualitas sperma buruk (Low quality sperm).
Sperma yang berkualitas buruk tidak mampu mencapai indung telur,
sehingga tidak mampu terjadi pembuahan
-
Penyumbatan (Blockage)
Terkadang
terjadi
penyumbatan
pada
saluran
sperma
yang
mengakibatkan sperma tidak mampu dihasilkan dengan sempurna.
-
Masalah Ereksi atau ejakulasi(Erection or ejaculation problems)
Masalah Ereksi atau ejakulasi membuat sperma tidak mampu
mambuahi sel telur.
Penyebab Infertilitas yang berasal dri wanita, antara lain:
-
Usia (Age)
Wanita mulai mengalami penurunan infertilitas sejak usia tiga puluh
tahun, semakin bertambah usia wanita, tingkat kesuburan akan
semakin menurun. Bahkan wanita akan mengalami menopause dimana
wanita akan berhenti memproduksi sel telur.
-
Kegagalan berovulasi (Failure to ovulate)
-
Penyumbatan (Blockage)
Penyumbatan pada tuba falopi menghambat sperma untuk membuahi
sel telur
-
Ketdaknormalan rahim (Abnormalities of the uterus)
Rahim wanita terkadang mengalami berbagai penyakit, seperti
endometriosis, kista, kanker rahim
-
Lingkungan rahim yang tidak sehat bagi sperma (Inhospitable
environment for sperm)
Keadaan rahim cenderung memberikan perlawanan terhadap sperma.
Rahim seperti ini akan membunuh sperma yang masuk kedalam rahim
sebagai bentuk pertahanan.
Penyebab Infertilitas yang berasal dari pasangan:
-
Kurang melakukan hubungan seksual (Not enough sex)
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
23
Beberapa pasangan hanya melakukan hubungan seksual satu minggu
sekali,
bahkan
kurang.
Jarang
melakukan
hubungan
seksual
memperkecil kemungkinan terjadinya pembuahan.
-
Terlalu sering melakukan hubungan seksual (Too much sex)
Pasangan yang terlalu sering melakukan hubungan, misalnya beberapa
kali dalam satu hari, atau setiap hari juga akan sulit terjadi pembuahan
karena sperma yang dikeluarkan belum matang.
-
Melakukan hubungan seksual pada waktu yang kurang tepat (Sex at
wrong times of the month)
Untuk berhasil mencapai konsepsi (conception), hubungan seksual
sebaiknya dilakukan pada saat masa subur wanita. Bila dilakukan pada
waktu yang kurang tepat (bukan pada masa subur), konsepsi akan sulit
terjadi.
-
Penggunaan lubrikasi vagina (Use of vaginal lubricants)
Penggunaan lubrikasi vagina (vaginal lubricants) seperti vaseline
dapat menghambat masuknya sperma.
-
Masalah Kesehatan (Health problems)
Masalah kesehatan seperti anemia, kelelahan (fatigue), stres
(emotional stress), kurang gizi (poor nutrition), dan penyakit menular
seksual juga dapat menghambat pembuahan (conception)
2.4. Makna Anak
Perkawinan dan anak merupakan hal yang berkaitan. Keduanya saling
memberi pengesahan satu sama lain, dimana salah satu tujuan perkawinan adalah
untuk memiliki anak, dan perkawinan merupakan wadah untuk pengesahan kelahiran
anak (Woollet, 1991). Anak juga merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi
pasangan untuk menikah (Turner & Helms, 1995). Woolet, Phoenix, dan Lloyd
(1991) menjelaskan makna anak bagi orangtua antara lain sebagai berikut:
1. Primary group ties
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
24
Anak memberikan orangtua kesempatan untuk mengekspresikan dan
menerima afeksi, serta membangun hubungan yang kuat dengan orang lain;
beberapa orangtua menekankan, nilai anak dalam memperkuat hubungan
ayah-ibu serta dengan kerabat lainnya.
2. Enjoyment and fun
Anak dilihat sebagai pembawa kebahagiaan dan warna bagi kehidupan
orangtua
3. Expansion of self
Menjadi orangtua dapat dilihat sebagai suatu pertumbuhan, sebagai hal
yang dapat menambah arti bagi kehidupan, memastikan kelanjutan sebagi
orangtua.
4. Validation of adult status and identity
Menjadi orangtua dilihat sebagai kesatuan bagian dari seseorang,
mengizinkan seseorang untuk menerima dirinya sebagai orang yang
bertanggung jawab dan anggota yang dewasa dalam komunitasnya.
5. Achievement and creativity from helping children grow
Kuasa serta pengaruh orangtua atas anak dan prestige dari hal yang
telah dicapai anak merupakan hal yang berarti bagi orangtua.
6. Contribution to personal development
Memiliki anak membantu orangtua untuk menjadi tidak egois, dan
juga untuk berkontribusi dalam lingkungan masyarakat.
Alasan untuk memiliki anak menurut Campbell, dkk, Daniels & Weingarten, dan
Kaffman & Manis (dalam Matlin, 1987) adalah:
1. Peran sebagai orangtua terasa menantang (challenging), memberikan
kesempatan untuk mempelajari sejauh mana kemampuan mereka.
2. Menjadi orangtua terkadang dipandang sebagai simbol status orang dewasa
(adult status)
3. Peran sebagai orangtua memberikan kesempatan untuk membangun hubungan
yang lebih dekat dengan orang lain.
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
25
4. Orangtua memiliki kesempatan yang unik untuk bertanggung jawab terhadap
pendidikan dan pengembangan seseorang dan memperhatikan orang tersebut
tumbuh dewasa.
5. Beberapa orang memiliki anak untuk meneruskan garis keluarga (keturunan)
atau untuk memastikan bahwa sebagian dirinya bertahan dalam generasi masa
depan (future generations)
6. Anak bisa menjadi sumber kesenangan, kebanggaan dan kebahagiaan.
Sedangkan menurut Duvall dan Miller (1985) alasan-alasan lainnya mengapa
seseorang menginginkan anak di dalam perkawinannya, antara lain yaitu untuk
mendapatkan cinta, untuk mendapatkan kepuasan lewat cinta dan pengasuhan, untuk
garis keturunan, ekspresi orang dewasa, untuk mencapai tujuan personal, dan untuk
keamanan.
2.5 KERANGKA BERPIKIR
Wanita involuntary childless merasakan tekanan yang cukup besar baik dari
dalam dirinya yang menginginkan kehadiran anak, maupun dari luar dirinya yaitu
keluarga dan masyarakat yang seringkali memberikan tuntutan yang besar kepada
wanita yang menikah untuk bisa melahirkan anak. Tekanan yang cukup besar ini
dapat mempengaruhi seorang wanita involuntary childless dalam melihat dirinya,
karena mungkin mereka akan merasa gagal untuk memenuhi tuntutan di sekitarnya.
Perasaan gagal yang dialami wanita involuntary childless dapat mempengaruhi
penerimaan dirinya.
Ada sepuluh faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang. Faktorfaktor tersebut adalah pemahaman diri (self understandin), harapan realistis (realistic
expectations), tidak adanya hambatan dari lingkungan (absence of environment
obstacles), sikap sosial yang positif (favourable social attitudes), tidak adanya stres
(tekanan emosional) yang berat (absence of severe emotional stress), pengaruh
keberhasilan (preponderance of success), identifikasi dengan orang yang memiliki
penyesuaian diri yang baik (identification with well-adjusted people), perspektif diri
yang luas (self perspective), pola asuh yang baik pada masa anak-anak (good
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
26
childhood training), dan konsep diri yang stabil (stable self concept). Dari kesepuluh
faktor penerimaan diri, wanita involuntary childless diasumsikan tidak memiliki
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mungkin tidak dimiliki oleh wanita involuntary
childless adalah tidak adanya stres emosional yang berat, karena mendapatkan
tekanan yang cukup besar, wanita involuntary childless sangat mungkin mengalami
stres yang cukup berat. Selain itu, wanita involuntary childless juga tidak
mendapatkan sikap sosial yang positif dan juga mendapat hambatan dari lingkungan,
karena kehidupan sosial di Indonesia sangat mendukung kehadiran anak.
Dengan tidak adanya beberapa faktor penerimaan diri bagi wanita involuntary
childless, apakah penerimaan diri mereka menjadi terganggu, dan bagaimanakah
faktor-faktor lainnya mempengaruhi wanita involuntary childless dalam mencapai
penerimaan diri.
Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008
Universitas Indonesia
Download