11 2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Penerimaan Diri 2. 1. 1. Definisi Penerimaan Diri ( Self Acceptance) Anderson (1959 hlm. 153) menyebutkan bahwa penerimaan diri adalah : ”...that we have succeeded in accepting our assets and limitation without becoming smug or defensive. ...to accept ourselves means that we have drilled to the bedrock of our character and found the real foundation for humility and integrity.” diterjemahkan menjadi penerimaan diri berarti kita telah berhasil menerima kelebihan dan kekurangan diri apa adanya. Menerima diri berarti kita telah menemukan karakter diri dan dasar yang membentuk kerendahan hati dan integritas. Kemudian Hurlock (1974 hlm. 434), mendefinisikan penerimaan diri sebagai: ”the degree to which an individual having considered his personal characteristics, is able and willing to live with them” diterjemahkan menjadi : derajat dimana seseorang telah mempertimbangkan karakteristik personalnya, merasa mampu serta bersedia hidup dengan karakteristiknya tersebut. Dari kedua definisi penerimaan diri di diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah derajat dimana seseorang telah menemukan karakteristik personalnya termasuk kelebihan dan kekurangan diri serta mampu dan bersedia hidup dengan karakteristik tersebut sehingga membentuk integritas diri. 2.1.2. Ciri-ciri Penerimaan Diri Menurut Ryff & Schmutte (dalam Urim 2007), Penerimaan diri mencakup penilaian positif terhadap diri sendiri dan masa lalu. termasuk segala keberhasilan, juga mencakup rasa percaya diri, kematangan pribadi, dan keamanan emosional. Menurut Carson dan Langer (dalam Urim, 2007), salah satu aspek penting dalam penerimaan diri adalah mampu dan mau membiarkan orang lain melihat Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 12 dirinya yang sesungguhnya, melakukan evaluasi yang sesuai dan menerima kesalahan di masa lalu. Ryff (dalam Positive Psychology, 2004) mengatakan individu yang memiliki penerimaan diri rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya, menyesali apa yang terjadi di masa lalunya, sulit untuk terbuka, terisolasi dan frustrasi dalam hubungan interpersonal sehingga tidak ada keinginan untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain. sedangkan individu yang memiliki penerimaan diri dalam tingkat optimal atau tinggi akan bersikap positif terhadap dirinya sendiri. mau menerima kualitas baik dan buruk dirinya, serta memiliki sikap positif terhadap masa lalunya. Menurut Hamacheck (dalam Sukmaningrum, 1998) bagi mereka keterbatasan yang menyangkut hubungan dengan pasangan, kemunduran dalam pekerjaan serta penurunan kondisi fisik tidak membuat penerimaan diri menjadi berkurang. mereka mampu berpikir realistis sehingga dapat menciptakan rasa puas diri yang essensial bagi penerimaan diri. mereka bisa menerima kelebihan dan kekurangannya. mereka tetap puas terhadap diri sendiri, sekalipun mengetahui bahwa kondisi tubuhnya mengalami perubahan. mereka juga tidak menyesali dan tetap memiliki keyakinan dalam menghadapi kenyataan yang harus dihadapi. mereka yang memiliki penerimaan diri tinggi mampu mengembangkan tingkah laku positif dan realistis serta mempunyai pola pikir positif sehingga ia dapat lebih banyak merasakan kepuasan dan kesenangan. Jersild (1963) memberikan batasan-batasan dalam penerimaan diri. Batasanbatasan yang dikemukakan oleh Jersild adalah sebagai berikut: “The self accepting person has a realistic appraisal of his resources combined with appreciation of his own worth; assurance about standards an conviction of his own without being a slave to the opinion of others; and realistic assesment of limitations witout irrational self-reproach. Self accepting people recognize their assets and are free to draw upon them even if they are not all that could be desired. They also recognize their shortcomings without needlesly blaming themselves” seseorang yang menerima dirinya adalah seseorang yang memiliki penilaian yang realistis terhadap kemampuannya yang berkesinambungan dengan penghargaan terhadap keberhargaan dirinya, jaminan dari dirinya tentang batasan (standard) Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 13 pendiriannya tanpa merasa terendahkan oleh opini orang lain dan penilaian realistis dari keterbatasan dirinya tanpa menyalahkan dirinya secara tidak rasional. Orang yang menerima dirinya mengenali kemampuan dirinya, dan mereka dapat menggunakan kemampuan dirinya dengan bebas walaupun tidak semua dari kemampuannya tersebut diinginkan. Mereka juga mengenali kelemahan dirinya tanpa menyalahkan diri sendiri. Dari uraian diatas, peneliti menyimpulkan ciri-ciri orang yang menerima diri adalah: • Penilaian positif terhadap diri sendiri • Melakukan evaluasi yang sesuai, menerima kesalahan di masa lalu • Pola pikir positif • Realistis terhadap kemampuan yang dimilikinya dan mampu memanfaatkannya 2.1.3. Faktor-faktor yang Membentuk Penerimaan Diri Hurlock (1974) menyatakan ada beberapa kondisi yang dapat dijadikan kriteria untuk melihat bahwa seseorang telah menerima dirinya, antara lain: 1. Pemahaman diri (self-understanding) Pemahaman diri merupakan persepsi diri yang ditandai oleh genuineness, realita, dan kejujuran. Pemahaman diri ini bukan berarti mengenali kenyataan, akan tetapi menyadari fakta-fakta yang signifikan. Kemampuan pemahaman diri seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh kapasitas intelektual, tetapi juga oleh adanya kesempatan dalam penemuan diri (self discovery). Kurangnya pemahaman diri dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan, kurangnya kesempatan dalam penemuan diri (self discovery), atau karena hasrat seseorang untuk melihat dirinya menjadi seperti cita-cita atau impiannya, bukan sebagai dirinya pada saat ini. Pemahaman diri dan penerimaan diri merupakan merupakan dua hal yang beriringan. Semakin seseorang memahami dirinya, semakin baik penerimaan dirinya. 2. Harapan realistis (realistic expectations) Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 14 Ketika seseorang memiliki harapan yang realistis dalam mencapai sesuatu, maka tingkah lakunya akan tampil sesuai dengan harapannya itu. Hal ini akan mempengaruhi kepuasan diri yang merupakan esensi dari penerimaan diri. Harapan akan menjadi realistis jika dibuat sendiri oleh seseorang dan bukan hasil dari pengaruh orang lain. Harapan yang realistis juga akan terwujud jika seseorang telah memiliki pemahaman diri yang baik sehingga ia mampu mengenali kelemahan dan kekurangan dirinya. Perbedaan antara konsep diri riil dengan konsep diri ideal yang disebabkan harapan yang tidak realistis, menyebabkan kesulitan dalam menerima diri. Semakin besar perbedaan antara konsep diri riil dengan konsep diri ideal, semakin besar penolakan diri. 3. Tidak adanya hambatan dari lingkungan (absence of environment obstacles) Ketidakmampuan dalam mencapai tujuan yang realistis, dapat terjadi karena hambatan dari lingkungan yang tidak mampu dikontrol oleh seseorang, seperti diskriminasi ras, jenis kelamin, atau agama. Wanita yang tidak memiliki anak dianggap salah atau mempunyai kelainan. Mereka dinilai egois dan tidak mampu menyesuaikan diri dan tidak sepenuhnya mendapat penerimaan dalam masyarakat (baruch dkk., dalam Donelson, 1999). Hal ini dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk menerima dirinya karena dirinya mendapatkan tekanan yang tidak mampu dikontrolnya. Namun, apabila hambatan-hambatan itu dihilangkan dan jika keluarga, peer, atau orang-orang yang berada di sekelilingnya memberikan motivasi dalam mencapai tujuan, maka seseorang akan mampu memperoleh kepuasan terhadap pencapaiannya. 4. Sikap sosial yang positif (favourable social attitudes) Sikap suatu kelompok sosial terhadap seseorang membentuk sikap diri orang tersebut. Jika seseorang telah memperoleh sikap sosial yang positif, maka ia akan lebih mampu menerima dirinya. Tiga kondisi utama yang Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 15 menghasilkan evaluasi positif antara lain adalah tidak adanya prasangka terhadap seseorang, adanya penghargaan terhadap kemampuan-kemampuan sosial, dan kesediaan individu mengikuti tradisi suatu kelompok sosial. Wanita involuntary childless terkadang tidak mendapatkan sikap sosial yang positif dari orang-orang di sekitarnya. Norma sosial di Indonesia yang memandang kehadiran anak sebagai sesuatu yang sangat penting membuat wanita yang belum memiliki anak mendapatkan prasangka akan kondisi biologis dirinya. Sikap sosial yang negatif ini dapat membuat seorang wanita involuntary childless sulit untuk menerima dirinya. 5. Tidak adanya stres (tekanan emosional) yang berat (absence of severe emotional stress) Stres emosional, bahkan yang ringan sekalipun dapat menyebabkan kesedihan dan ketergangguan baik fisik maupun psikologis. Stres adalah kondisi yang terjadi karena adanya discrepancy (kesenjangan) dalam transakasi antara seseorang dengan lingkungannya, yaitu kesenjanganj antara permintaan situasi dengan sumber atau kapasitas sistem biologis, psikologis, dan sosial seseorang (Cox, 1978 et,al, dalam Savarino, 1998). Menurut Sarafino, stres dapat disebabkan oleh beberapa sumber, antara lain keluarga, lingkungan sosial, dan individu yang mengalaminya. Sumber stres yang berasal dari keluarga antara lain penambahan anggota keluarga (anak), perceraian, penyakit kronis, ketidakmampuan, dan kematian. Sumber stres dari lingkungan antara lain, pekerjaan, kebisingan, dan lain-lain. Penyebab munculnya stres pada individu adalah penyakit yang dialami dan adanya konflik. Konflik merupakan sumber besar penyebab stres. Konflik muncul ketika kita berada dibawah tekanan untuk merespon secara simultan dua atau lebih kekuatan yang saling bertentangan (Atwater, 1983). Lazarus (1976), mengategorikan konflik menjadi tiga tipe, yaitu konflik antar kebutuhankebutuhan internal (internal needs), konflik antar tuntutan lingkungan (external demand), dan konflik antara internal needs dan external demand. Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 16 Stres mengakibatkan berbagai dampak terhadap emosi dan perilaku sosial. Stres yang disertai kemarahan akan meningkatkan perilaku sosial yang negatif (Sarafino, 1998). Donerstein dan Wilson (dalam sarafino, 1998) menyatakan penelitian menunjukkan bahwa stres yang disertai kemarahan akan meningkatkan perilaku agresif, dan efek ini akan berlanjut walaupun kondisi stres telah berakhir. Tidak adanya stres atau tekanan emosional yang berat mampu membuat seseorang bekerja secara optimal dan lebih berorientasi lingkungan daripada berorientasi diri. Tidak adanya stres juga memungkinkan seseorang untuk lebih tenang dan bahagia. Kondisi ini dapat mengarahkan pada positifnya sikap sosial yang akan membentuk evaluasi diri yang positif dan penerimaan diri. 6. Pengaruh keberhasilan (preponderance of success) Pengalaman gagal dapat menyebabkan penolakan diri, sedangkan meraih kesuksesan akan menghasilkan penerimaan diri. Pengalaman sukses dapat bersifat kuantitatif dan kualitatif. Pada suatu waktu, jumlah kesuksesan dapat melebihi kegagalan. Di saat yang lain, kegagalan bisa lebih banyak daripada kesuksesan, tetapi kesuksesan yang diraih sangat berarti sehingga melebihi kegagalan yang pernah dialami. Kegagalan yang pernah dibuat akan tertutup oleh penilaian sosial yang positif terhadap kesuksesannya. Kemudian ia akan lebih menerima diri (self acceptance) karena penilaian positif itu. 7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik (identification with well-adjusted people) Sikap ini akan menghasilkan penilaian diri yang positif dan penerimaan diri. Proses identifikasi bisa menjadi kuat dalam usia berapapun. Namun, proses identifikasi yang paling kuat terjadi pada masa kanak-kanak. Normalnya, orangtua yang merupakan sosok yang dipilih anak sebagai sumber identifikasi. Oleh karena itu, cara penyesuaian diri ibu sangat mempengaruhi pola kepribadian anak. Seseorang yang mengidentifikasikan Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 17 dirinya dengan orang lain yang mampu menyesuaikan diri dengan baik, mampu mengembangkan sifat positif terhadap hidup. 8. Perspektif diri yang luas (self perspective) Seseorang yang memandang dirinya sebagaimana orang lain memandang dirinya akan mampu mengembangkan pemahaman diri daripada seseorang yang perspektif dirinya sempit dan terbatas. 9. Pola asuh yang baik pada masa anak-anak (good childhood training) Pendidikan di rumah dan sekolah sangat penting. Walaupun penyesuaian yang dibuat oleh seseorang membawa banyak perubahan radikal dalam hidup, konsep diri, yang menentukan penyesuaian terhadap hidup, terbentuk pada masa kanak-kanak. Karena itulah pelatihan yang baik di rumah maupun sekolah pada masa kanak-kanak sangatlah penting. Pola pengasuhan demokratis akan menghasilkan kepribadian yang lebih sehat dibandingkan authoritarian atau overpermissive. Anak yang dibesarkan dalam pola pengasuhan demokratis terbiasa untuk menghormati dirinya dan bertanggung jawab dalam berperilaku tanpa hal yang membatasi secara ketat, seperti halnya dalam pola pengasuhan authoritarian. 10. Konsep diri yang stabil (stable self concept) Menurut Papalia, dkk (2004), konsep diri adalah gambaran mental seseorang secara deskriptif dan evaluatif mengenai kemampuan dan trait yang dimiliknya. Evaluasi diri ini dipengaruhi oleh apa yang orang lain ketahui tentang dirinya (Mirror image), karena tiap individu berhubungan dengan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap mirror image, seperti orangtua, guru, dan teman sebaya (hurlock, 1974). Stabilnya konsep diri merupakan kestabilan seseorang dalam memandang dan menilai dirinya dengan cara yang sama dari waktu ke waktu. Hanya konsep diri positif yang mampu mengarahkan seseorang untuk menerima dirinya. Konsep diri yang tidak stabil mengarahkan seseorang untuk melihat dirinya secara tidak konsisten. Di suatu waktu ia memandang dirinya secara positif, tetapi di waktu yang lain ia memandang dirinya secara Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 18 negatif. Hal ini menyebabkan seseorang akan mengalami kesulitan untuk memiliki gambaran yang jelas mengenai dirinya sendiri. Seseorang yang menerima dirinya akan mengembangkan konsep diri yang positif sehingga penerimaan diri menjadi suatu yang biasa dilakukan. 2. 2. Belum Memiliki Anak Tanpa Direncanakan (Involuntary Childless) 2.2.1. Pengertian Involuntary Childless Istilah Involuntary childless terkadang disamakan dengan istilah infertiitas. Namun lebih lanjut Veevers (dalam Miall, 1986) menjelaskan bahwa tidak hadirnya anak dalam pernikahan (childlessness) terbagi menjadi dua, yaitu tidak memiliki anak dengan direncanakan (voluntary childless), dan tidak memiliki anak tanpa direncanakan (Involuntary childless), kedua perbedaan ini tidak hanya berdasarkan atas kemampuan fisik seseorang untuk memiliki anak. Dua hal terpisah yang terlibat dalam perbedaan ini adalah “kemampuan fisik untuk memiliki anak (the physical capacity to procreate) dan keinginan untuk memiliki anak (the psychic to do so)” (Veevers, dalam Miall, 1986). Dari sudut pandang psikologi sosial, komponen penting dalam mendefinisikan seseorang sebagai Involuntary childless adalah bukan status mereka secara biologis (fertil atau infertil), tetapi keinginan psikologis mereka untuk memiliki anak, namun kondisi mereka sekarang tidak memungkinkan untuk memiliki anak. Sebagai contoh, walaupun hanya salah satu dari pasangan suami istri yang didiagnosa mengalami infertilitas, keduanya dapat dikategorikan Involuntary childless jika mereka secara sadar memiliki keinginan memiliki anak, namun tidak mampu mendapatkannya. Sebaliknya, pasangan tersebut bisa disebut voluntary childless jika secara psikologis mereka memilih untuk tidak memiliki anak, dan menghindari peran sebagai orangtua. Involuntary childlessness bisa diartikan dari bentuk ketidakmampuan seseorang secara fisik, misalkan infertilitas. Sebagian besar kasus Involuntary childless didiagnosa secara medis sebagai hasil dari ketidakmampuan fisik (Physical impairment). Bentuk lain dari Involuntary childless selain dikarenakan ketidakmampuan seseorang secara fisik, tetapi juga disebabkan karena adanya Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 19 masalah psikologis, walaupun jumlahnya sangat sedikit (Weinstein, dalam Miall 1986). Selain itu, Involuntary childless juga bisa disebabkan peran dalam lingkungan sosial, dimana pasangan suami istri tidak dapat memiliki anak karena tuntutan peran sosial yang mereka jalankan (Nagi, dalam Miall 1986), salah satu contoh yang bisa kita lihat adalah seorang pramugari yang masih terikat kontrak harus menaati peraturan untuk menunda kehamilan, atau para model wanita yang harus selalu menjaga bentuk tubuhnya, terpaksa menunda kehamilan pada masa puncak dalam kariernya. 2.2.2. Pengaruh Involuntary Childless Pada Wanita Involuntary childless dapat menjadi hal yang dirasakan sangat tidak menyedihkan bagi seorang wanita, efek negatif dari involuntary childless ini dipastikan memiliki hubungan dengan pandangan sosial yang sangat mendukung kehadiran anak (Kraft dkk, dalam Miall 1986). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ketika norma yang berlaku di lingkungan sosial dan nilai-nilai di masyarakat mendukung kehadiran anak dan sangat menghargai peran sebagai orangtua, ketiadaan anak dapat menjadi status yang dianggap memalukan (stigmatizing status). Hal ini dapat mempengaruhi konsep diri dan hubungan interpersonal wanita menikah (Miall, 1986). Berdasarkan penelitian dari Miall(1986), ditemukan bahwa sebagian besar wanita involuntary childless lebih dulu merasakan kecemasan dari ketidakhadiran anak, dan wanita pula yang pertama kali memeriksakan diri ke dokter, baru setelah itu suami mereka. Dari temuan tersebut Miall (1986) menyimpulkan bahwa sebagian besar wanita masih mempersepsikan bahwa kegagalan terjadinya konsepsi merupakan masalah dari wanita. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa wanita yang mengalami involuntary childless karena masalah infertilitas (baik dirinya maupun dari pihak suami yang mempunyai masalah infertilitas) merasakan bahwa masalah tersebut membuat mereka merasa tidak nyaman. Mereka merasa bahwa hal tersebut bukanlah hal yang pantas untuk diketahui oleh orang lain selain dirinya dan suam. Bahkan Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 20 mereka terkadang menyembunyikan masalah tersebut dari keluarga mereka karena mereka tidak ingin membuat keluarganya merasa cemas. Para wanita involuntary childless merasa bahwa pengalaman mereka yang gagal untuk memiliki anak membuat mereka merasa gagal, dan merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri mereka. Hampir semua partisipan dalam penelitian Miall (1986) mengatakan bahwa merasakan kecemasan (anxiety), isolasi (isolation), dan mengalami konflik saat mereka mencoba mencari tahu masalah infertilitas pada diri mereka (personal infertility). 2. 3. Infertilitas 2.3.1. Definisi Infertilitas Infertilitas berarti kegagalan pembuahan setelah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa alat kontrasepsi atau ketidakmampuan untuk mempertahankan kehamilan. Infertilitas berbeda dengan dengan sterilitas (sterility), yaitu ketidakmampuan total untuk melakukan pembuahan (March banks et.al, dalam Williams, Sawyer & Wahlstrom, 2006). Perbedaan infertilitas dengan sterilitas juga dijelaskan oleh Mullen (dalam Astuti, 2005), yang menyebutkan bahwa infertilitas berbeda dengan sterilitas, dimana sterilitas berarti ketidakmampuan yang absolut dan permanen untuk terjadinya pembuahan. Berbeda dengan sterilitas yang tidak memiliki kemungkinan untuk memiliki anak, setengah pasangan infertil mampu melakukan pembuahan dan akhirnya memiliki anak, sementara sisanya tetap infertil (Collins, dkk., dalam Abbey, Andrews & Halman, 1992). Secara umum, para peneliti medis membedakan infertilitas menjadi dua bagian, yaitu infertilitas primer (primary infertility) dan infertilitas sekunder (secondary infertility). Pasangan yang mengalami infertilitas primer mengalami kegagalan pembuahan setelah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa alat kontrasepsi selama setahun, dan pembuahan sama sekali tidak pernah terjadi. Pasangan disebut mengalami infertilitas sekunder bila telah terjadi pembuahan, namun tidak berhasil mempertahankannya (dalam kasus ini termasuk keguguran) (McFalls, dalam Miall, 1986). Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 21 Dalam penelitian ini yang dimaksud infertilitas adalah ketidakmampuan seseorang untuk mendapatkan anak secara biologis pada pasangan yang telah menikah paling sedikit satu tahun dan melakukan hubungan seksual secara rutin tanpa menggunakan alat kontrasepsi apapun. Dalam hal ini tidak hanya pasangan yang belum pernah mengalami konsepsi, tetapi juga wanita yang pernah mengalami konsepsi, tetapi kehilangan kehamilannya dalam beberapa bulan. 2.3.2. Penyebab Infertilitas Menurut Walker (1996) penyebab dari infertilitas dapat dikelompokkan kedalam tiga bagian besar, yaitu 40% pasangan infertil karena adanya masalah pada wanita, kemudian 40% karena masalah pada pria, dan 20% karena gaya hidup. Dua masalah terbesar yang dapat menjadi penyebab infertilitas pada wanita adalah karena adanya kegagalan dalam berovulasi dan penyumbatan pada tuba falopi. Endometriosis juga dapat menjadi salah satu masalah pada wanita, karena adanya cairan vagina yang tidak normal yang menghambat sperma untuk berenang di rahim pada masa subur, sehingga tidak dapt membuahi sel elur. Penyebab kedua adalah karena masalah pada pria. Penyebab terbesar pada pria adalah karena jumlah sperma yang dihasilkan terlalu sedikit dan karena tingginya proporsi dari sperma yang tidak baik (defective). Penyebab infertil lainnya yang bersumber pada pria adalah abnormalitas dari kerja hormon, disfungsi seksual dan retrogade ejaculation. Gaya hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan infertilitas. Bekerja terlalu lama, stres, menurunnya berat badan hingga 10-15 persen dari berat badan ideal, dapat menghambat terjadinya ovulasi. Selain hal-hal tersebut, konsumsi alkohol, obatobatan terlarang (narkoba), menggunakan celana dalam terlalu ketat, dan menghabiskan waktu terlalu lama di sauna, atau olahraga berlebihan juga dapat menyebabkan infertilitas. Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2006) mengelompokkan penyebab infertilitas ke dalam tiga bagian, yaitu penyebab yang berasal dari pria, dari wanita, dan dari kedua belah pihak (pasangan). Penyebab infertilitas yang berasal dari pria antara lain: Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 22 - Kualitas sperma buruk (Low quality sperm). Sperma yang berkualitas buruk tidak mampu mencapai indung telur, sehingga tidak mampu terjadi pembuahan - Penyumbatan (Blockage) Terkadang terjadi penyumbatan pada saluran sperma yang mengakibatkan sperma tidak mampu dihasilkan dengan sempurna. - Masalah Ereksi atau ejakulasi(Erection or ejaculation problems) Masalah Ereksi atau ejakulasi membuat sperma tidak mampu mambuahi sel telur. Penyebab Infertilitas yang berasal dri wanita, antara lain: - Usia (Age) Wanita mulai mengalami penurunan infertilitas sejak usia tiga puluh tahun, semakin bertambah usia wanita, tingkat kesuburan akan semakin menurun. Bahkan wanita akan mengalami menopause dimana wanita akan berhenti memproduksi sel telur. - Kegagalan berovulasi (Failure to ovulate) - Penyumbatan (Blockage) Penyumbatan pada tuba falopi menghambat sperma untuk membuahi sel telur - Ketdaknormalan rahim (Abnormalities of the uterus) Rahim wanita terkadang mengalami berbagai penyakit, seperti endometriosis, kista, kanker rahim - Lingkungan rahim yang tidak sehat bagi sperma (Inhospitable environment for sperm) Keadaan rahim cenderung memberikan perlawanan terhadap sperma. Rahim seperti ini akan membunuh sperma yang masuk kedalam rahim sebagai bentuk pertahanan. Penyebab Infertilitas yang berasal dari pasangan: - Kurang melakukan hubungan seksual (Not enough sex) Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 23 Beberapa pasangan hanya melakukan hubungan seksual satu minggu sekali, bahkan kurang. Jarang melakukan hubungan seksual memperkecil kemungkinan terjadinya pembuahan. - Terlalu sering melakukan hubungan seksual (Too much sex) Pasangan yang terlalu sering melakukan hubungan, misalnya beberapa kali dalam satu hari, atau setiap hari juga akan sulit terjadi pembuahan karena sperma yang dikeluarkan belum matang. - Melakukan hubungan seksual pada waktu yang kurang tepat (Sex at wrong times of the month) Untuk berhasil mencapai konsepsi (conception), hubungan seksual sebaiknya dilakukan pada saat masa subur wanita. Bila dilakukan pada waktu yang kurang tepat (bukan pada masa subur), konsepsi akan sulit terjadi. - Penggunaan lubrikasi vagina (Use of vaginal lubricants) Penggunaan lubrikasi vagina (vaginal lubricants) seperti vaseline dapat menghambat masuknya sperma. - Masalah Kesehatan (Health problems) Masalah kesehatan seperti anemia, kelelahan (fatigue), stres (emotional stress), kurang gizi (poor nutrition), dan penyakit menular seksual juga dapat menghambat pembuahan (conception) 2.4. Makna Anak Perkawinan dan anak merupakan hal yang berkaitan. Keduanya saling memberi pengesahan satu sama lain, dimana salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memiliki anak, dan perkawinan merupakan wadah untuk pengesahan kelahiran anak (Woollet, 1991). Anak juga merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi pasangan untuk menikah (Turner & Helms, 1995). Woolet, Phoenix, dan Lloyd (1991) menjelaskan makna anak bagi orangtua antara lain sebagai berikut: 1. Primary group ties Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 24 Anak memberikan orangtua kesempatan untuk mengekspresikan dan menerima afeksi, serta membangun hubungan yang kuat dengan orang lain; beberapa orangtua menekankan, nilai anak dalam memperkuat hubungan ayah-ibu serta dengan kerabat lainnya. 2. Enjoyment and fun Anak dilihat sebagai pembawa kebahagiaan dan warna bagi kehidupan orangtua 3. Expansion of self Menjadi orangtua dapat dilihat sebagai suatu pertumbuhan, sebagai hal yang dapat menambah arti bagi kehidupan, memastikan kelanjutan sebagi orangtua. 4. Validation of adult status and identity Menjadi orangtua dilihat sebagai kesatuan bagian dari seseorang, mengizinkan seseorang untuk menerima dirinya sebagai orang yang bertanggung jawab dan anggota yang dewasa dalam komunitasnya. 5. Achievement and creativity from helping children grow Kuasa serta pengaruh orangtua atas anak dan prestige dari hal yang telah dicapai anak merupakan hal yang berarti bagi orangtua. 6. Contribution to personal development Memiliki anak membantu orangtua untuk menjadi tidak egois, dan juga untuk berkontribusi dalam lingkungan masyarakat. Alasan untuk memiliki anak menurut Campbell, dkk, Daniels & Weingarten, dan Kaffman & Manis (dalam Matlin, 1987) adalah: 1. Peran sebagai orangtua terasa menantang (challenging), memberikan kesempatan untuk mempelajari sejauh mana kemampuan mereka. 2. Menjadi orangtua terkadang dipandang sebagai simbol status orang dewasa (adult status) 3. Peran sebagai orangtua memberikan kesempatan untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan orang lain. Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 25 4. Orangtua memiliki kesempatan yang unik untuk bertanggung jawab terhadap pendidikan dan pengembangan seseorang dan memperhatikan orang tersebut tumbuh dewasa. 5. Beberapa orang memiliki anak untuk meneruskan garis keluarga (keturunan) atau untuk memastikan bahwa sebagian dirinya bertahan dalam generasi masa depan (future generations) 6. Anak bisa menjadi sumber kesenangan, kebanggaan dan kebahagiaan. Sedangkan menurut Duvall dan Miller (1985) alasan-alasan lainnya mengapa seseorang menginginkan anak di dalam perkawinannya, antara lain yaitu untuk mendapatkan cinta, untuk mendapatkan kepuasan lewat cinta dan pengasuhan, untuk garis keturunan, ekspresi orang dewasa, untuk mencapai tujuan personal, dan untuk keamanan. 2.5 KERANGKA BERPIKIR Wanita involuntary childless merasakan tekanan yang cukup besar baik dari dalam dirinya yang menginginkan kehadiran anak, maupun dari luar dirinya yaitu keluarga dan masyarakat yang seringkali memberikan tuntutan yang besar kepada wanita yang menikah untuk bisa melahirkan anak. Tekanan yang cukup besar ini dapat mempengaruhi seorang wanita involuntary childless dalam melihat dirinya, karena mungkin mereka akan merasa gagal untuk memenuhi tuntutan di sekitarnya. Perasaan gagal yang dialami wanita involuntary childless dapat mempengaruhi penerimaan dirinya. Ada sepuluh faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang. Faktorfaktor tersebut adalah pemahaman diri (self understandin), harapan realistis (realistic expectations), tidak adanya hambatan dari lingkungan (absence of environment obstacles), sikap sosial yang positif (favourable social attitudes), tidak adanya stres (tekanan emosional) yang berat (absence of severe emotional stress), pengaruh keberhasilan (preponderance of success), identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik (identification with well-adjusted people), perspektif diri yang luas (self perspective), pola asuh yang baik pada masa anak-anak (good Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia 26 childhood training), dan konsep diri yang stabil (stable self concept). Dari kesepuluh faktor penerimaan diri, wanita involuntary childless diasumsikan tidak memiliki beberapa faktor. Faktor-faktor yang mungkin tidak dimiliki oleh wanita involuntary childless adalah tidak adanya stres emosional yang berat, karena mendapatkan tekanan yang cukup besar, wanita involuntary childless sangat mungkin mengalami stres yang cukup berat. Selain itu, wanita involuntary childless juga tidak mendapatkan sikap sosial yang positif dan juga mendapat hambatan dari lingkungan, karena kehidupan sosial di Indonesia sangat mendukung kehadiran anak. Dengan tidak adanya beberapa faktor penerimaan diri bagi wanita involuntary childless, apakah penerimaan diri mereka menjadi terganggu, dan bagaimanakah faktor-faktor lainnya mempengaruhi wanita involuntary childless dalam mencapai penerimaan diri. Gambaran Proses..., Lintang Sugiarti, FPSI UI, 2008 Universitas Indonesia