RISALAH LELANG BUKAN SEBAGAI OBYEK GUGATAN PADA

advertisement
RISALAH LELANG BUKAN SEBAGAI OBYEK GUGATAN PADA
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Albertus Magnus Sunur
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Katolik Darma Cendika
ABSTRAKSI
Risalah lelang merupakan suatu produk hukum yang sering kita jumpai
dalam praktek, dimana jika dipandang dari bentuk dan isinya maka risalah lelang
dapat dikategorikan masuk dalam wilayah hukum perdata, akan tetapi jika
dipandang dari sisi pembuat produk atau yang menerbitkannya, maka risalah
lelang dapat dikutegorikan masuk dalam wilayah hukum publik. Dengan
diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana jika dikaitkan dengan
tugas dan wewenang mengadili, maka timbul pertanyaan terhadap permasalahan
yang muncul jika terjadi masalah hukum atau konflik terhadap produk hukum
yaitu risalah lelang, dimana terhadap obyek gugatan tersebut hams diajukan
pada pengadilan manakah. Ha 1 ini menjadi sangat penting dikarenakan agar
tidak menimbulkan kerugian baik waktu maupun biaya, bahkan kehilangan
kesempatan untuk mengajukan gugatan karena lewat waktu sebagaimana
dimahud Undang-Undang Nomor 5 Tahun I986 pasal55 sebagaimana diubah
tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dun Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kata Kunci : Peradilan Tata Usaha Negara, Kewenangan, Risalah Lelang.
1.PENDAHULUAN
Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah
tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berakibat pada
perkara yang berkaitan dengan keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang
sebelumnya menjadi kewenangan Peradilan Umum beralih menjadi wewenang
Peradilan Tata Usaha Negara. Peralihan kewenangan sesuai ketentuan pasal 142
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara membawa konsekwensi dapat
timbulnya perselisihan kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri dengan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Perselisihan tersebut dapat terjadi karena adanya
produk hukum yang dihasilkan oleh pejabat Tata Usaha Negara yang berada didua
wilayah hukum, dimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana
diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang46
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
Undang Nomor 5 1 Tahun 2009 sendiri belum secara jelas memberikan pengertian
putusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek gugatan pada Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Produk hukum dalam dua wilayah hukurn yang dimaksud adalah wilayah
hukum privat dan wilayah hukum publik ( produk hukum berupa risalah lelang).
Jika dicermati dari bentuk dan isinya, risalah lelang dapat di kategorikan dalam
wilayah hukum privat, akan tetapi jika dipandang dari produk penerbitnya maka
dapat di kategorikan risalah lelang berada pada wilayah hukurn publik. Dalarn
praktek sering dijumpai risalah lelang dijadikan obyek gugatan pada Pengadilan
Tata Usaha Negara, akan tetapi sering juga dijadikan obyek gugatan pada
Pengadilan Negeri. Keberadaan risalah lelang yang berada dalam dua wilayah
hukum tersebut tentunya dapat menimbulkan masalah kemana gugatan hams
diajukan apabila terdapat cacat hukum / konflik terhadap keabsahan dari risalah
lelang dimaksud.
Pertanyaan kemana gugatan hams diajukan merupakan ha1 yang sangat
mendasar dan sangatlah penting, karena apabila terjadi kesalahan menentukan
pengadilan yang akan dituju akan dapat menimbulkan kerugian baik waktu
maupun biaya, bahkan dapat berakibat fatal yaitu kehilangan kesempatan untuk
mengajukan gugatan karena telah lewat waktu sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pasal 55 sebagaimana diubah tarnbah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 yang berbunyi " Gugatan dapat diajukan hanya dalarn tenggang
waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara " Untuk dapat menentukan
pengadilan manakah yang akan dituju dalam permasalahan risalah lelang maka
haruslah mengetahui batas kewenangan dari rnasing masing pengadilan, baik
Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tata Usaha Negara.
1I.KOMPETENSI PERADILAN NEGERI DAN PERADILAN TATA USAHA
NEGARA
Setiap badan peradilan mempunyai batas kewenangan, apakah itu batas
kewenangan menurut wilayah hukurnnya, yang dikenal dengan kompetensi relatif
atau kewenangan rnengadili atas dasar obyek atau materi atau pokok sengketa.
Dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970
sebagaimana telah diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dikatakan bahwa yang melakukan
kekuasaan kehakiman adalah pengadilan yang berada dilingkungan Peradilan
'
1
SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 59
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
47
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer serta Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan adanya pemisahan lingkungan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman berarti masing-masing lingkungan peradilan tersebut mempunyai
kewenangan tertentu yang terpisah satu dan lainnya. Ketiga peradilan diluar
peradilan umum adalah sebagai peradilan khusus. Mengenai susunan dan
kekuasaan serta acara dari empat lingkungan peradilan tersebut diatur dengan
undang undang.
Dimana untuk peradilan umum susunan dan kekuasaannya diatur dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 pasal3 ayat 1 sebagaimana diubah tarnbah
dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49
tahun 2009 Tentang Peradilan Umum dikatakan bahwa kekuasaan kehaluman
dilingkungan peradilan umum dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung.
Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Negeri diatur dalam pasal 50
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009
Tentang Peradilan Umum, bahwa tugas dan wewenang dari Pengadilan Negeri
adalah memeriksa d m memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
perdata ditingkat pertama. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana
telah diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan perkara perdata. Pengertian hukum perdata didalam kepustakaan sering
kali disebut juga hukum sipil atau ada pula menyebutnya hukum privat. Subekti
lebih suka menggunakan istilah hukum perdata. Alasannya jika mengunakan
istilah hukum sipil dapat dilawankan dengan hukum militer. 2
Mahkamah Agung RI sebelum tahun 1983 menggunakan istilah sipil
dalam memberikan kode register perkara kasasi. Istilah hukum sipil juga
digunakan oleh Donne11 Bemes Metzger dalam bukunya Law for Business. Istilah
Civil Law dipasangkan dengan Criminal Law. 3
Subekti memberikan pengertian hukum perdata dalam arti luas rneliputi
semua hukum privat materil yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan kepentingan perseorangan. Disini ditekankan pada fungsi mengatur
kepentingan perseorangan.
Subekti, Pokok-Pokok Hukurn Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1985, hlm. 9
Donne1 Bemes Metzger, Law For Business, Richard D Irwin Inc, Illinois, 1983, hlm. 9
' Suhckr i. Loc Cit
--
4R
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
Hukum perdata diberikan pengertian sebagai hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara
perseorangan yang lain. 5 Apa yang dikemukan oleh Sri Soedewi ini tidak jauh
berbeda dengan dengan yang disampaikan oleh Subekti.
Wijono Prodjodikoro, memberikan pengertian hukum perdata adalah
suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain
tentang hak dan kewajiban. Kemudian dijelaskan leblh lanjut bahwa kebanyakan
para sarjana menganggap hukurn perdata sebagai hukurn yang mengatur
kepentingan perorangan sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umurn.
Wirjono Prodjodikoro menekankan pada masalah hak dan kewajiban. Azis
Safioedin menyebutkan, hukum perdata adalah hukum yang memuat peraturan
dan ketentuan hukum yang meliputi hubungan hukum antara yang satu dengan
yang lain (antara subyek yang satu dengan subyek hukum yang lain) didalam
masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan. 7 Apa yang
dikemukakan oleh Azis Safioedin inipun tidak jauh berbeda dengan pendapat
sebelumnya.
Sudikno memberikan pengertian hukum perdata sebagai hukum antar
perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap
yang lain didalam hubungan keluarga dan didalam pergaulan masyarakat,
pelaksanaan diserahkan pada masing-masing pihak.
Pitlo memberikan
pengertian hukum perdata adalah mengatur hubungan antar individu yang
menekankan pada kepentingan individu. 9
Dari pendapat beberapa sarjana tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukum perdata adalah hukum yang mengatw hubungan hukum antara orang atau
badan yang satu dengan orang atau badan hukum yang lain didalam masyarakat
dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan. Sebagaimana telah di
kemukakan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan peradilan
khusus sesuai dengan ketentuan pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 5 1 tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ha1
tersebut merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara. Telah terurai
jelas kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi jika dikaji lebih
dalam dapat menimbulkan masalah dan tidaklah sesederhana sebagaimana
diuraikan.
'
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 198 1, hlm.1
FX Suhardana, Hukum Perdata I, PT. Gramedia Pustaka Utarna, Jakarta, 1996, hlm. 7
Ibid hlm. 7
Ibid hlm. 7
A. Pitlo, Suatu Pengantar Azas-Azas Hukum Perdata, terjemahan, Djasadin Saragih, Alumni,
u r n a l Cendekia, Vol. 1,N L Oktober
~ , 2012
49
SF Marbun mengatakan bahwa banyak konflik yang timbul antara warga
masyarakat dengan adrninistrasi negara dalam rangka menyelenggarakan
kehendak negara, akan tetapi tidak semuanya menjadi kompetensi dari Peradilan
Tata Usaha Negara." Dari uraian pasal 47 dan pasal 1 ayat 3 ada beberapa
masalah pokok yang hams dicari kejelasannya baik dari hukum positif maupun
konsep serta teori khususnya hukum Adrninistrasi Negara. " Ketentuan pasal 47
dimaksud belum dapat diketahui secara cerrnat kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara, karenanya adakalanya kewenangan mengadili suatu sengketa Tata Usaha
Negara baru ada setelah upaya administratif yang disediakan telah ditempuh
sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 5 1 tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pertanyaan akan timbul dari uraian pasal 47 dimaksud adalah "apakah
yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara?" Dalam pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan bahwa sengketa dalam
bidang Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pertanyaan selanjutnya "apa yang dimaksud dengan keputusan Tata
Usaha Negara?" Ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dirumuskan sebagai suatu penetapan
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang undangan yang
berlaku yang bersifat konkret individual dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum Perdata. Dalam penjelasan pasal demi
pasal bahwa istilah penetapan tertulis tersebut lebih diartikan atau difungsikan
untuk memberikan penekanan pada isi dari penetapan tersebut bukan dari bentuk
formal swat keputusan seperti pengangkatan.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa nota atau memopun dapat dikategorikan
sebagai keputusan tertulis dengan syarat dibuat atau dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara. Penetapan tertulis diartikan luas oleh undang-undang
dan bukan menunjuk kepada bentuknya keputusan yang dikeluarkan oleh badan
'O
SF Marbun Op Cit, hlrn. 27
et a1 Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Universitas
Press, Yogyakarta, 1999, hlrn. 3 19
" Hadjon, Phillipus M,
-
50
--
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
(negara) atau pejabat Tata Usaha Negara, jadi bukan pada bentuk formalnya
melainkan cukup tertulis. l2
Dalam penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undmg Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidaklah membuat semalun jelas justru
memperluas karakter dari keputusan tersebut, setidaknya memberikan kebebasan
terhadap bentuk keputusan dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Pembentuk Undang-Undang nampaknya hanya menekankan pada tindakan dari
pejabat atau badan Tata Usaha Negara dan tindakan tersebut hams terwujud dalarn
bentuk tulisan. Persyaratan tulisan hanya difungsikan sebagai alat pernbuktian.
Perbedaan keputusan pemerintah dengan Undang-Undang adalah terletak pada
sifatnya yang konkrit kasuistis d m individual, sedangkan Undang-Undang adalah
abstrak dan impersonal. Adapun perbedaamya dengan vonis halum adalah bahwa
vonis halum didasarkan adanya perselisihan.
Utrecht memberikan pengertian beschikking atau ketetapan adalah suatu
perbuatan hukum yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah
suatu kekuasaan istimewa. l 4
Utrecht dalam memberikan defenisi tidak mempermasalahkan bentuk
dari beschikking itu sendiri. Penekanannya pada tindakan yang hams bersifat
publik, bersegi satu,dilakukan alat pemerintah yang diberi wewenang untuk itu.
WF Prins memberikan pengertian beschikking sebagai suatu tindakan hukum
sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan
berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu.I5
Van der Pot menyatakan bahwa beschikking adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan, pernyataan kehendak alat
pemerintahan itu dalam menyelenggarakan ha1 istimewa dengan maksud
mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan hukum.16 Van der Pot
memberikan penekanan pada pernyataan kehendak untuk menggambarkan
beschikking. " Pandangan van der Pot ditentang oleh kelompok A.M Donner yang
merumuskan beschikking sebagai tindakan yang dilakukan oleh adrninistrasi
negara berdasarkan karena jabatannya. Beschikking bukan sebagai suatu
pemyataan kehendak atau wilsverklaring. l8 Kedua kelompok tersebut juga tidak
Rochmat Soemitro, Peradilan Tala Usaha Negara, PT. Erasco, Bandung, 1983, blm. 47
Hadjon, Phillipus M, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan, Djumali,
Surabaya, 1980, hlm. 5
l4 SF Marbun, Op Czt, hlrn. 39
Is Ibid, hlm. 40
l6 Ibid, hlm. 40
17
Hadjon, Phllipus M, Op Cit, hlm. 6
Ibid, hlm. 7
l2
l3
''
jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
51
mempermasalahkan bentuk dari beschikking, yang justru rnenjadi perdebatan
adalah apakah beschikking itu sebagai pernyataan dari organ pemerintah atau
bukan. Adapun wet Arob dalam pasal2 nya mengatakan bahwa :
"Keputusan diartikan sebagai keputusan tertulis dari suatu organ
adminitrasi yang ditujuhkan pada akibat hukum. Sedangkan ayat 2 nya
mengatakan bukan termasuk keputusan dalam arti Undang-Undang ini adalah
a.suatu keputusan yang mempunyai tujuan umum, b.suatu tindakan hukum
menurut hukum Perdata." l9
Dari pandangan berbagai sarjana tersebut dapatlah dikemukakan bahwa
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 lebih mempersempit ruang gerak dari Peradilan Tata Usaha Negara
(Kompetensinya dipersempit).
Undang-Undang tidak membedakan secara tegas apakah penetapan itu
sebagai pernyataan kehendak atau berupa tindakan penguasa. Dalam pasal 1
angka 3 mengatakan "Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum Perdata. "
Tindakan hukum Tata Usaha Negara berbeda dengan tindakan badan atau pejabat
Tata Usaha ~ e ~ a r a . ~ '
1II.RISALAH LELANG
Sempitnya pemberian wewenang pada Peradilan Tata Usaha Negara
menimbulkan batas semu, sehingga memungkinkan suatu perselisihan diajukan
pada Peradilan Umum atau pada Peradilan Tata Usaha Negara. Terciptanya batas
semu tersebut karena posisi obyek yang akan disengketakan memenuhi kriteria
yang dibuat oleh Undang-Undang misalnya risalah lelang. Terbitnya risalah lelang
melalui proses yang berkaitan dengan pejabat atau instansi lain. Risalah lelang
terbit atas suatu permintaan dari Pengadilan Negeri dan dari Badan urusan Piutang
dan Lelang Negara. Penjualan lelang hampir tidak dapat dipisahkan dari
kesibukan pelayanan peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa lelang adaIah sebagai
bagian dari pelayanan peradilan.
Penjualan lelang dikaitkan dengan masalah lelang yang sering dijadikan
obyek gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara maupun pada Peradilan Urnurn.
l9
20
Hadjon, Phillips eta! Op Cit, hlm. 132-133
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Pernasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT. Gramedia,
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
5 3,
Penjualan lelang yang berkaitan dengan peradilan adalah berhubungan dengan
masalah eksekusi. Dalam pasal200 ayat 1 HIR dikatakan bahwa penjualan barang
yang disita dilakukan dengan perantaraan kantor lelang, dan seterusnya.
Ketentuan tersebut menyatakan bahwa penjualan lelang adalah penjual dimuka
umum oleh juru lelang dengan sistem penawaran yang ditentukan apakah
meningkat atau menurun atau dengan cara lain. Penjual lelang diluar juru lelang
seperti dimunglunkan oleh pasal200 HIR tidak akan tejadi karena kecilnya batas
maksirnurn harga barang yang akan dijuaL2'
Terjadinya proses penjualan lelang diawali dari pennintaan dari
Pengadilan Negeri atau pihak lain dalam rangka melaksanakan eksekusi terhadap
putusan yang berkekuatan hukum atau Grosse akte ( hak tanggungan ) kepada
kantor lelang. Selanjutnya diumumkan hari pelaksanaannya. Acara lelang dimulai
dengan pembacaan ketetapan eksekusi ketua pengadilan dilanjutkan pembacaan
isi risalah lelang dan syarat-syarat teknis dalam lelang, kemudian disampaikan
penawaran, akhimya ditentukan pemenangnya berdasarkan harga yang ditetapkan
oleh Pengadilan Negeri.
Dalam pasal lb dan pasal 2 1 peraturan lelang disebutkan bahwa penjual
menentukan syarat-syarat penjualan. Ketentuan pasal tersebut tidak jelas siapa
yang dimaksud sebagai penjual. Dalam pasal 200 ayat 1 dan 2 HIR dikatakan
bahwa penjualan barang yang disita dengan perantara kantor lelang. Dengan
demikian fungsi dari kantor lelang atau juru lelang adalah sebagai perantara.
Yahya Harahap berpandangan bahwa penjual adalah Pengadilan Negeri atau
Ketua Pengadilan Negeri, dalam ha1 sebagai eksekutor baik putusan maupun
grosse atau PUPN apabila penjualan lelang dilakukan berdasarkan UndangUndang Nomor 49 Prp tahun 1960.'~Mahkamah Agung RI melalui suratnya
tertanggal 16 Desember 1986 berkaitan dengan perkara di Pengadilan Negeri
Bogor, dengan tegas mengatakan bahwa Pengadilan Negeri Bogor sebagai plhak
penjual dan kantor lelang sebagai jawatan yang berfungsi membantu pelaksanaan
penjualan
Selanjutnya akan dibahas tentang produk dari pejabat lelang berupa
risalah lelang dari isinya dapat dikemukakan bahwa isi dari risalah lelang adalah
merupakan surat perjanjian penjualan dari pembelian atas barang yang dijual
lelang, didalam risalah lelang dicantumkan dan diberlakukan pasal-pasal
Burgerlijk Wetboek (BW) yang akan mengikat baik bagi pembeli maupun kantor
lelang atau pejabat lelang.
Ibid, h. 104
Ibid. hlm. 107
l 3 1bid: hlm. 107
21
22
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
53
Dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan adminitrasi Pengadilan Buku I1
ditegaskan bahwa lelang yang diperintahkan oleh Pengadilan Negeri, yang
dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negeri adalah dalam rangka eksekusi dan bukan
merupakan putusan dari Kantor Lelang ~ e ~ a r a . ~ ~
Dari uraian tersebut diatas bahwa peranan pejabat lelang hanya
melakukan fungsi perantaraan. Produk hukurn yang dibuatnya ditentukan oleh
penjual dalam ha1 ini Pengadilan Negeri atau KPPPN. Dilihat dari isinya risalah
lelang tidak ubahnya adalah akte pemindahan hak (akta jual beli), karena dalam
risalah lelang tercantum kata-kata tertanda penjual, pembeli dan pejabat lelang.
1V.PENUTUP.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah
dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 terlalu sempit dalam memberikan arti obyek gugatan pada Peradilan
Tata Usaha Negara, sehingga dapat menimbulkan batas semu dan masih ada
kemungkinan adanya Peradilan Adrninitrasi khusus lainnya. Untuk menghindari
kesimpangsiuran dalam penafsiran pengertian keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan obyek gugatan Peradilan Tata Usaha Negara, maka hendaknya
dirumuskan kembali pengertian keputusan Tata Usaha Negara dengan
memperluas kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.
Makarnah Agung RI,Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Buku 11,
Makamah Agung IU,Jakarta, 1994,hlm. 145
24
-
54
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
DAFTAR PUSTAKA
-
A Pitlo, Suatu Pengantar Azas-Azas Hukum Perdata, Tejemahan, Djasadin
Saragih, Alumni Bandung, 1973.
- Donne1 Barnes Metzger, Law For Business, Richard D.Irwin Inc,Edisi Revisi,
Illinois, 1983.
- FX Suhardana, Hukum Perdata I, PT Gramedia Pustaka Utama,Cetakan 11,
Jakarta, 1996.
- Hadjon, Philipus-M, Pengantar Hukum Adminitrasi Indonesia, Gajah Mada
Universitas Press, Cetakan VI, Yogyakarta, 1999.
- Hadjon, Philipus.M, PENGERTIAN-Pengerfian Dasar Tentang Tindak
Pemerintahan, Djumali, Surabaya, 1980.
- Makamah Agung
RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi
Pengadilan Buku 11, Makamah Agung RI, Jakarta, 1994
- M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
PT. Gramedia, Cetakan 111, Jakarta, 1991
- Rochmat Soemitro, Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Erasco, Cetakan 111,
Bandung, 1983
- SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Cetakan I , Yogyakarta,
1988
- Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda,
Liberty, Cetakan IV,
Y ogyakarta, 198 1
- Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Interrnasa, Cetakan XXV, Jakarta,
1985
Download