RISALAH LELANG BUKAN SEBAGAI OBYEK GUGATAN PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Albertus Magnus Sunur Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika ABSTRAKSI Risalah lelang merupakan suatu produk hukum yang sering kita jumpai dalam praktek, dimana jika dipandang dari bentuk dan isinya maka risalah lelang dapat dikategorikan masuk dalam wilayah hukum perdata, akan tetapi jika dipandang dari sisi pembuat produk atau yang menerbitkannya, maka risalah lelang dapat dikutegorikan masuk dalam wilayah hukum publik. Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana jika dikaitkan dengan tugas dan wewenang mengadili, maka timbul pertanyaan terhadap permasalahan yang muncul jika terjadi masalah hukum atau konflik terhadap produk hukum yaitu risalah lelang, dimana terhadap obyek gugatan tersebut hams diajukan pada pengadilan manakah. Ha 1 ini menjadi sangat penting dikarenakan agar tidak menimbulkan kerugian baik waktu maupun biaya, bahkan kehilangan kesempatan untuk mengajukan gugatan karena lewat waktu sebagaimana dimahud Undang-Undang Nomor 5 Tahun I986 pasal55 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dun Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kata Kunci : Peradilan Tata Usaha Negara, Kewenangan, Risalah Lelang. 1.PENDAHULUAN Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berakibat pada perkara yang berkaitan dengan keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang sebelumnya menjadi kewenangan Peradilan Umum beralih menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara. Peralihan kewenangan sesuai ketentuan pasal 142 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara membawa konsekwensi dapat timbulnya perselisihan kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Perselisihan tersebut dapat terjadi karena adanya produk hukum yang dihasilkan oleh pejabat Tata Usaha Negara yang berada didua wilayah hukum, dimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang46 Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012 Undang Nomor 5 1 Tahun 2009 sendiri belum secara jelas memberikan pengertian putusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Produk hukum dalam dua wilayah hukurn yang dimaksud adalah wilayah hukum privat dan wilayah hukum publik ( produk hukum berupa risalah lelang). Jika dicermati dari bentuk dan isinya, risalah lelang dapat di kategorikan dalam wilayah hukum privat, akan tetapi jika dipandang dari produk penerbitnya maka dapat di kategorikan risalah lelang berada pada wilayah hukurn publik. Dalarn praktek sering dijumpai risalah lelang dijadikan obyek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara, akan tetapi sering juga dijadikan obyek gugatan pada Pengadilan Negeri. Keberadaan risalah lelang yang berada dalam dua wilayah hukum tersebut tentunya dapat menimbulkan masalah kemana gugatan hams diajukan apabila terdapat cacat hukum / konflik terhadap keabsahan dari risalah lelang dimaksud. Pertanyaan kemana gugatan hams diajukan merupakan ha1 yang sangat mendasar dan sangatlah penting, karena apabila terjadi kesalahan menentukan pengadilan yang akan dituju akan dapat menimbulkan kerugian baik waktu maupun biaya, bahkan dapat berakibat fatal yaitu kehilangan kesempatan untuk mengajukan gugatan karena telah lewat waktu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pasal 55 sebagaimana diubah tarnbah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi " Gugatan dapat diajukan hanya dalarn tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara " Untuk dapat menentukan pengadilan manakah yang akan dituju dalam permasalahan risalah lelang maka haruslah mengetahui batas kewenangan dari rnasing masing pengadilan, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tata Usaha Negara. 1I.KOMPETENSI PERADILAN NEGERI DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA Setiap badan peradilan mempunyai batas kewenangan, apakah itu batas kewenangan menurut wilayah hukurnnya, yang dikenal dengan kompetensi relatif atau kewenangan rnengadili atas dasar obyek atau materi atau pokok sengketa. Dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dikatakan bahwa yang melakukan kekuasaan kehakiman adalah pengadilan yang berada dilingkungan Peradilan ' 1 SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 59 Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012 47 Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer serta Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya pemisahan lingkungan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman berarti masing-masing lingkungan peradilan tersebut mempunyai kewenangan tertentu yang terpisah satu dan lainnya. Ketiga peradilan diluar peradilan umum adalah sebagai peradilan khusus. Mengenai susunan dan kekuasaan serta acara dari empat lingkungan peradilan tersebut diatur dengan undang undang. Dimana untuk peradilan umum susunan dan kekuasaannya diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 pasal3 ayat 1 sebagaimana diubah tarnbah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 Tentang Peradilan Umum dikatakan bahwa kekuasaan kehaluman dilingkungan peradilan umum dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Negeri diatur dalam pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, bahwa tugas dan wewenang dari Pengadilan Negeri adalah memeriksa d m memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan perkara perdata. Pengertian hukum perdata didalam kepustakaan sering kali disebut juga hukum sipil atau ada pula menyebutnya hukum privat. Subekti lebih suka menggunakan istilah hukum perdata. Alasannya jika mengunakan istilah hukum sipil dapat dilawankan dengan hukum militer. 2 Mahkamah Agung RI sebelum tahun 1983 menggunakan istilah sipil dalam memberikan kode register perkara kasasi. Istilah hukum sipil juga digunakan oleh Donne11 Bemes Metzger dalam bukunya Law for Business. Istilah Civil Law dipasangkan dengan Criminal Law. 3 Subekti memberikan pengertian hukum perdata dalam arti luas rneliputi semua hukum privat materil yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan kepentingan perseorangan. Disini ditekankan pada fungsi mengatur kepentingan perseorangan. Subekti, Pokok-Pokok Hukurn Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1985, hlm. 9 Donne1 Bemes Metzger, Law For Business, Richard D Irwin Inc, Illinois, 1983, hlm. 9 ' Suhckr i. Loc Cit -- 4R Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012 Hukum perdata diberikan pengertian sebagai hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain. 5 Apa yang dikemukan oleh Sri Soedewi ini tidak jauh berbeda dengan dengan yang disampaikan oleh Subekti. Wijono Prodjodikoro, memberikan pengertian hukum perdata adalah suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan kewajiban. Kemudian dijelaskan leblh lanjut bahwa kebanyakan para sarjana menganggap hukurn perdata sebagai hukurn yang mengatur kepentingan perorangan sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umurn. Wirjono Prodjodikoro menekankan pada masalah hak dan kewajiban. Azis Safioedin menyebutkan, hukum perdata adalah hukum yang memuat peraturan dan ketentuan hukum yang meliputi hubungan hukum antara yang satu dengan yang lain (antara subyek yang satu dengan subyek hukum yang lain) didalam masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan. 7 Apa yang dikemukakan oleh Azis Safioedin inipun tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya. Sudikno memberikan pengertian hukum perdata sebagai hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain didalam hubungan keluarga dan didalam pergaulan masyarakat, pelaksanaan diserahkan pada masing-masing pihak. Pitlo memberikan pengertian hukum perdata adalah mengatur hubungan antar individu yang menekankan pada kepentingan individu. 9 Dari pendapat beberapa sarjana tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatw hubungan hukum antara orang atau badan yang satu dengan orang atau badan hukum yang lain didalam masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan. Sebagaimana telah di kemukakan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan peradilan khusus sesuai dengan ketentuan pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 1 tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ha1 tersebut merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara. Telah terurai jelas kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi jika dikaji lebih dalam dapat menimbulkan masalah dan tidaklah sesederhana sebagaimana diuraikan. ' Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 198 1, hlm.1 FX Suhardana, Hukum Perdata I, PT. Gramedia Pustaka Utarna, Jakarta, 1996, hlm. 7 Ibid hlm. 7 Ibid hlm. 7 A. Pitlo, Suatu Pengantar Azas-Azas Hukum Perdata, terjemahan, Djasadin Saragih, Alumni, u r n a l Cendekia, Vol. 1,N L Oktober ~ , 2012 49 SF Marbun mengatakan bahwa banyak konflik yang timbul antara warga masyarakat dengan adrninistrasi negara dalam rangka menyelenggarakan kehendak negara, akan tetapi tidak semuanya menjadi kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara." Dari uraian pasal 47 dan pasal 1 ayat 3 ada beberapa masalah pokok yang hams dicari kejelasannya baik dari hukum positif maupun konsep serta teori khususnya hukum Adrninistrasi Negara. " Ketentuan pasal 47 dimaksud belum dapat diketahui secara cerrnat kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, karenanya adakalanya kewenangan mengadili suatu sengketa Tata Usaha Negara baru ada setelah upaya administratif yang disediakan telah ditempuh sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 1 tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pertanyaan akan timbul dari uraian pasal 47 dimaksud adalah "apakah yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara?" Dalam pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan bahwa sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaan selanjutnya "apa yang dimaksud dengan keputusan Tata Usaha Negara?" Ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dirumuskan sebagai suatu penetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku yang bersifat konkret individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum Perdata. Dalam penjelasan pasal demi pasal bahwa istilah penetapan tertulis tersebut lebih diartikan atau difungsikan untuk memberikan penekanan pada isi dari penetapan tersebut bukan dari bentuk formal swat keputusan seperti pengangkatan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa nota atau memopun dapat dikategorikan sebagai keputusan tertulis dengan syarat dibuat atau dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Penetapan tertulis diartikan luas oleh undang-undang dan bukan menunjuk kepada bentuknya keputusan yang dikeluarkan oleh badan 'O SF Marbun Op Cit, hlrn. 27 et a1 Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta, 1999, hlrn. 3 19 " Hadjon, Phillipus M, - 50 -- Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012 (negara) atau pejabat Tata Usaha Negara, jadi bukan pada bentuk formalnya melainkan cukup tertulis. l2 Dalam penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undmg Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidaklah membuat semalun jelas justru memperluas karakter dari keputusan tersebut, setidaknya memberikan kebebasan terhadap bentuk keputusan dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Pembentuk Undang-Undang nampaknya hanya menekankan pada tindakan dari pejabat atau badan Tata Usaha Negara dan tindakan tersebut hams terwujud dalarn bentuk tulisan. Persyaratan tulisan hanya difungsikan sebagai alat pernbuktian. Perbedaan keputusan pemerintah dengan Undang-Undang adalah terletak pada sifatnya yang konkrit kasuistis d m individual, sedangkan Undang-Undang adalah abstrak dan impersonal. Adapun perbedaamya dengan vonis halum adalah bahwa vonis halum didasarkan adanya perselisihan. Utrecht memberikan pengertian beschikking atau ketetapan adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah suatu kekuasaan istimewa. l 4 Utrecht dalam memberikan defenisi tidak mempermasalahkan bentuk dari beschikking itu sendiri. Penekanannya pada tindakan yang hams bersifat publik, bersegi satu,dilakukan alat pemerintah yang diberi wewenang untuk itu. WF Prins memberikan pengertian beschikking sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu.I5 Van der Pot menyatakan bahwa beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan, pernyataan kehendak alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan ha1 istimewa dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan hukum.16 Van der Pot memberikan penekanan pada pernyataan kehendak untuk menggambarkan beschikking. " Pandangan van der Pot ditentang oleh kelompok A.M Donner yang merumuskan beschikking sebagai tindakan yang dilakukan oleh adrninistrasi negara berdasarkan karena jabatannya. Beschikking bukan sebagai suatu pemyataan kehendak atau wilsverklaring. l8 Kedua kelompok tersebut juga tidak Rochmat Soemitro, Peradilan Tala Usaha Negara, PT. Erasco, Bandung, 1983, blm. 47 Hadjon, Phillipus M, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan, Djumali, Surabaya, 1980, hlm. 5 l4 SF Marbun, Op Czt, hlrn. 39 Is Ibid, hlm. 40 l6 Ibid, hlm. 40 17 Hadjon, Phllipus M, Op Cit, hlm. 6 Ibid, hlm. 7 l2 l3 '' jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012 51 mempermasalahkan bentuk dari beschikking, yang justru rnenjadi perdebatan adalah apakah beschikking itu sebagai pernyataan dari organ pemerintah atau bukan. Adapun wet Arob dalam pasal2 nya mengatakan bahwa : "Keputusan diartikan sebagai keputusan tertulis dari suatu organ adminitrasi yang ditujuhkan pada akibat hukum. Sedangkan ayat 2 nya mengatakan bukan termasuk keputusan dalam arti Undang-Undang ini adalah a.suatu keputusan yang mempunyai tujuan umum, b.suatu tindakan hukum menurut hukum Perdata." l9 Dari pandangan berbagai sarjana tersebut dapatlah dikemukakan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 lebih mempersempit ruang gerak dari Peradilan Tata Usaha Negara (Kompetensinya dipersempit). Undang-Undang tidak membedakan secara tegas apakah penetapan itu sebagai pernyataan kehendak atau berupa tindakan penguasa. Dalam pasal 1 angka 3 mengatakan "Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum Perdata. " Tindakan hukum Tata Usaha Negara berbeda dengan tindakan badan atau pejabat Tata Usaha ~ e ~ a r a . ~ ' 1II.RISALAH LELANG Sempitnya pemberian wewenang pada Peradilan Tata Usaha Negara menimbulkan batas semu, sehingga memungkinkan suatu perselisihan diajukan pada Peradilan Umum atau pada Peradilan Tata Usaha Negara. Terciptanya batas semu tersebut karena posisi obyek yang akan disengketakan memenuhi kriteria yang dibuat oleh Undang-Undang misalnya risalah lelang. Terbitnya risalah lelang melalui proses yang berkaitan dengan pejabat atau instansi lain. Risalah lelang terbit atas suatu permintaan dari Pengadilan Negeri dan dari Badan urusan Piutang dan Lelang Negara. Penjualan lelang hampir tidak dapat dipisahkan dari kesibukan pelayanan peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa lelang adaIah sebagai bagian dari pelayanan peradilan. Penjualan lelang dikaitkan dengan masalah lelang yang sering dijadikan obyek gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara maupun pada Peradilan Urnurn. l9 20 Hadjon, Phillips eta! Op Cit, hlm. 132-133 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Pernasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT. Gramedia, Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012 5 3, Penjualan lelang yang berkaitan dengan peradilan adalah berhubungan dengan masalah eksekusi. Dalam pasal200 ayat 1 HIR dikatakan bahwa penjualan barang yang disita dilakukan dengan perantaraan kantor lelang, dan seterusnya. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa penjualan lelang adalah penjual dimuka umum oleh juru lelang dengan sistem penawaran yang ditentukan apakah meningkat atau menurun atau dengan cara lain. Penjual lelang diluar juru lelang seperti dimunglunkan oleh pasal200 HIR tidak akan tejadi karena kecilnya batas maksirnurn harga barang yang akan dijuaL2' Terjadinya proses penjualan lelang diawali dari pennintaan dari Pengadilan Negeri atau pihak lain dalam rangka melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang berkekuatan hukum atau Grosse akte ( hak tanggungan ) kepada kantor lelang. Selanjutnya diumumkan hari pelaksanaannya. Acara lelang dimulai dengan pembacaan ketetapan eksekusi ketua pengadilan dilanjutkan pembacaan isi risalah lelang dan syarat-syarat teknis dalam lelang, kemudian disampaikan penawaran, akhimya ditentukan pemenangnya berdasarkan harga yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri. Dalam pasal lb dan pasal 2 1 peraturan lelang disebutkan bahwa penjual menentukan syarat-syarat penjualan. Ketentuan pasal tersebut tidak jelas siapa yang dimaksud sebagai penjual. Dalam pasal 200 ayat 1 dan 2 HIR dikatakan bahwa penjualan barang yang disita dengan perantara kantor lelang. Dengan demikian fungsi dari kantor lelang atau juru lelang adalah sebagai perantara. Yahya Harahap berpandangan bahwa penjual adalah Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri, dalam ha1 sebagai eksekutor baik putusan maupun grosse atau PUPN apabila penjualan lelang dilakukan berdasarkan UndangUndang Nomor 49 Prp tahun 1960.'~Mahkamah Agung RI melalui suratnya tertanggal 16 Desember 1986 berkaitan dengan perkara di Pengadilan Negeri Bogor, dengan tegas mengatakan bahwa Pengadilan Negeri Bogor sebagai plhak penjual dan kantor lelang sebagai jawatan yang berfungsi membantu pelaksanaan penjualan Selanjutnya akan dibahas tentang produk dari pejabat lelang berupa risalah lelang dari isinya dapat dikemukakan bahwa isi dari risalah lelang adalah merupakan surat perjanjian penjualan dari pembelian atas barang yang dijual lelang, didalam risalah lelang dicantumkan dan diberlakukan pasal-pasal Burgerlijk Wetboek (BW) yang akan mengikat baik bagi pembeli maupun kantor lelang atau pejabat lelang. Ibid, h. 104 Ibid. hlm. 107 l 3 1bid: hlm. 107 21 22 Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012 53 Dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan adminitrasi Pengadilan Buku I1 ditegaskan bahwa lelang yang diperintahkan oleh Pengadilan Negeri, yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negeri adalah dalam rangka eksekusi dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang ~ e ~ a r a . ~ ~ Dari uraian tersebut diatas bahwa peranan pejabat lelang hanya melakukan fungsi perantaraan. Produk hukurn yang dibuatnya ditentukan oleh penjual dalam ha1 ini Pengadilan Negeri atau KPPPN. Dilihat dari isinya risalah lelang tidak ubahnya adalah akte pemindahan hak (akta jual beli), karena dalam risalah lelang tercantum kata-kata tertanda penjual, pembeli dan pejabat lelang. 1V.PENUTUP. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah tambah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 terlalu sempit dalam memberikan arti obyek gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga dapat menimbulkan batas semu dan masih ada kemungkinan adanya Peradilan Adrninitrasi khusus lainnya. Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam penafsiran pengertian keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan obyek gugatan Peradilan Tata Usaha Negara, maka hendaknya dirumuskan kembali pengertian keputusan Tata Usaha Negara dengan memperluas kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Makarnah Agung RI,Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Buku 11, Makamah Agung IU,Jakarta, 1994,hlm. 145 24 - 54 Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012 DAFTAR PUSTAKA - A Pitlo, Suatu Pengantar Azas-Azas Hukum Perdata, Tejemahan, Djasadin Saragih, Alumni Bandung, 1973. - Donne1 Barnes Metzger, Law For Business, Richard D.Irwin Inc,Edisi Revisi, Illinois, 1983. - FX Suhardana, Hukum Perdata I, PT Gramedia Pustaka Utama,Cetakan 11, Jakarta, 1996. - Hadjon, Philipus-M, Pengantar Hukum Adminitrasi Indonesia, Gajah Mada Universitas Press, Cetakan VI, Yogyakarta, 1999. - Hadjon, Philipus.M, PENGERTIAN-Pengerfian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan, Djumali, Surabaya, 1980. - Makamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Buku 11, Makamah Agung RI, Jakarta, 1994 - M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT. Gramedia, Cetakan 111, Jakarta, 1991 - Rochmat Soemitro, Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Erasco, Cetakan 111, Bandung, 1983 - SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Cetakan I , Yogyakarta, 1988 - Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Cetakan IV, Y ogyakarta, 198 1 - Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Interrnasa, Cetakan XXV, Jakarta, 1985