2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik air laut. 2.1.1. Suhu. Air mempunyai sifat spesifik bahang yang baik, artinya bertarnbah atau berkurangnya panas terjadi secara perlahan-lahan. Permukaan laut dapat mengabsorbsi sejumlah besar energi matahari yang masuk ke dalamnya. Ketika evaporasi, permukaan laut menjadi panas. Pada saat dipanaskan, air hangat tetap dipermukaan sedangkan air yang dingin tenggelam atau berada di lapisan bawah. Energi yang sampai dipermukaan bumi bervariasi menurut musim, lintang dan topografi (Ingmanson and Wallace, 1973). Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Nybakken (1988) mengatakan bahwa suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Dikatakan pula bahwa di lautan, suhu bervariasi secara horisontal sesuai dengan garis lintang, dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Hal yang sarna juga dikatakan oleh King (1966) bahwa distribusi suhu & permukaan laut secara urnum menggambarkan distribusi suplai bahang dan akan berkurang menuju kutub. Duxbury and Duxbury (1993) mengatakan bahwa setiap lintang, perubahan suhu tahunan permukaan laut dikontrol oleh perubahan dalam ketersediaan radiasi matahari dan kehilangan bahang yang dikombinasikan dengan kapasitas bahang material permukaan laut. Selain itu Laevastu dan Hela (1970) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut selain disebabkan oleh sejumlah bahang yang diterima dari matahari, juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan sekitar daerah perairan tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa penailcan massa air dan pencairan es di daerah kutub juga mempengaruhi suhu permukaan air laut. Ross (1970) mengatakan bahwa suhu permukaan menjadi hangat karena radiasi dari matahari, konduksi bahang dari atmosfir, kondensasi uap air. Sedangkan suhu permukaan laut menjadi dingin disebabkan adanya radiasi kembali dari permukaan laut ke atmosfir, kondensasi bahang kembali ke atmosfir dan evaporasi. Selanjutnya dikatakan bahwa di bawah permukaan laut, arus horisontal dapat mentransport bahang dari suatu tempat ke tempat lain. Arus dapat membawa massa air yang mempunyai perbedaan suhu clan akan berhubungan dengan massa air yang lain. King (1966) mengatakan bahwa perubahan suhu terhadap kedalarnan tergantung pada 4 faktor, yaitu : (a) variasi jumlah bahang yang diabsorbsi; (b) pengaruh konduksi bahang; (c) pemindahan massa air oleh arus; dan (d) pergerakan vertikal. Suhu air laut berkisar antara -2-30 "C,dimana nilai terendah disebabkan karena adanya formasi es dan nilai tertinggi disebabkan oleh proses radiasi dan perubahan atau pergantian bahang dengan atmosfir (Sverdrup et al., 1946; Ingmanson and Wallace, 1973), sedangkan massa air permukaan di wilayah tropik, panas sepanjang tahun, yaitu antara 20-30 "C (Nybakken, 1988). Daerah yang paling banyak menerima panas matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada lintang 10" LU - 10" LS, karena itu suhu air laut yang tertinggi ditemukan di daerah sekitar katulistiwa. Jumlah panas yang diserap air laut semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub atau lokasi yang terletak pada lintang yang semakin tinggi (Sverdrup et al., 1946). Suhu perrnukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25-30 OC dan mengalami p e n w a n satu atau dua derajat dengan bertarnbahnya kedalaman hingga 80 db (* 8 m), sedangkan salinitas permukaan laut berkisar antara 3 1,5-34,5 psu (Tomascik et al., 1997a). Pola sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia secara global dapat dilihat pada Gambar 2. S u h u OC 0 0 4 200 -. 10 20 30 /- Lapisan homogen 1Lapisan termoldin i 400 -- Lapisan dingin 600 -. SO0 -~ I000 -- C V a -: m 'u 0 Y 1200 -. 1400 -. 1600 -. 1800 -~ 2000 A Gambar 2. Sebaran Vertikal Suhu (OC)secara m u m di perairan Indonesia (Nontji, 1993). Struktur massa air perairan Indonesia, umumnya dipengaruhi oleh karakteristik massa air Lautan Pasifik dan musim. Hela dan Laevastu (1970) mengatakan bahwa untuk menganalisis struktur sebaran suhu laut, perlu diketahui beberapa ha1 berikut: suhu permukaan laut, keberadaan dan besarnya lapisan transit, kedalaman lapisan homogen dan suhunya, serta sifat struktur termal lapisan bawah permukaan. Suhu permukaan laut daerah tropik dipengaruhi cuaca (parameter meteorologi), seperti curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu suhu air di permukaan laut biasanya mengik~ti pola musiman. Suhu akan menurun secara teratur sesuai dengan bertambahnya kedalaman. Pada kedalaman melebihi 100 m, suhu air laut relatif konstan dan biasanya berkisar antara 2-4 "C (King, 1966; dan Nontji, 1993). Di bawah permukaan air laut yang hangat, suhu mulai menumn dan mengalami penurunan yang sangat cepat pada kisaran kedalaman yang sempit 50-300 m. zona kedalaman dimana teja& penurunan suhu yang sangat cepatldratis disebut termoklin. 3i bawah lapisan termoklin, suhu terus menurun dengan bertambahnya kedalaman, namun penurunannya jauh lebih lambat sehingga massa air di bawah lapisan termoklin hampir homogen hingga ke dasar perairan (Nybakken, 1988). Berdasarkan sebaran suhu secara vertikal, Wyrtki (1961) dan Ross (1970) membagi perairan atas 3 lapisan, yaitu: a) lapisan homogen pada permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan tercampur, pada lapisan ini terjadi pengadukan massa air yang disebabkan oleh adanya angin, arus dan penimbunan bahang; b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut lapisan termoklin; c) lapisan di bawah termoklin dengan kondisi homogen (lapisan dingin), dimana suhu berkurang secara perlahan ke arah dasar perairan. 2.1.2. Salinitas Salinitas didefenisikan sebagai jumlah total garam yang terdapat dalam satu kilogram air laut, jika semua karbonat telah teroksidasi, brom dan yod diubah menjadi klor dan semua senyawa organik telah teroksidasi (Sverdrup et al., 1946; Forch et al., 1902 dalam Neumann and Pierson, 1966; Ross, 1970; dan Kennish, 1994). Salinitas dapat ditentukan dengan mengetahui konsentrasi klorida yang ada di dalam air laut (Kennish, 1994). Pickard and Emery (1980) dan Kennish (1994) mengemukakan bahwa hubungan empiris antara salinitas dan klorinitas dijabarkan dalam persamaan : Salinitas (%) = 1,80655x Xiorinitas Dimana klorinitas menurut Sverdrup et al. (1946) didefinisikan sebagai jumlah total klor, brom clan yod yang dinyatakan dalam gram yang terdapat dalam satu kilogram air laut, dengan asumsi bahwa brom dan yod diganti menjadi klor. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1993). Sedangkan Ross (1970) mengatakan bahwa salinitas permukaan laut tergantung pada perbedaan antara evaporasi dan presipitasi. Salinitas air pennukaan di laut terbuka, be~ariasiantara 33-37 %o, dengan rata-rata 35 %o, perbedaan salinitas ini terjadi karena perbedaan antara penguapan dan presipitasi (Nybakken, 1988). Kemungkinan kisaran salinitas antara 33-34 %O dapat dijumpai, narnun kisaran ini lebih banyak dijumpai pada daerah pantai (Prasetya, 1999). Pada lapisan air dalam, salinitas berkisar antara 34,6-35 %O dan di Lautan Pasifik umurnnya seragam yang berkisar antara 34,6-34,7 960 O(mg 1966). Pada perairan dangkal, lapisan homogen berada hingga ke dasar, dengan salinitas dan suhu yang homogen pula (Nontji, 1993). Sidjabat (1973) menyatakan bahwa salinitas minimum terdapat pada daerah sekitar katulistiwa dan salinitas maksimum terdapat pada lintas 20' LU dan 20" LS, kemudian kembali menurun ke arah kutub. Keadaan salinitas yang rendah pada daerah katulistiwa disebabkan karena tingginya curah hujan. Selanjutnya Nontji (1993), menyatakan bahwa daerahaaerah disebelah selatan katulistiwa pada umurnnya dimusim barat akan mengalami curah hujan yang besar dibandingkan dengan musim timur. Hal ini disebabkan karena pada musim barat angin bertiup dari Asia dengan membawa uap air yang lebih banyak, dibandingkan dengan musim timur dimana angin bertiup dari Australia. Nilai salinitas air laut akan seinakan besar dengan bertambahnya kedalaman. Perubahan terbesar dari salinitas terjadi di kedalaman antara 100-1000 m. Daerah dimana tejadi perubahan salinitas yang sangat cepat disebut lapisan haloklin. Berdasarkan pola distribusi salinitas secara vertikal, maka Ross (1970) membagi kolom perairan atas 4 zona yaitu : 1. Zona permukaan tercampur dengan baik, ketebalannya 50-100 m. dan memiliki nilai salinitas yang seragam. 2. Zona dimana terjadi perubahan salinitas yang relatif besar disebut zona haloklin. 3. Zona dengan nilai salinitas yang seragam dan berada dibawah lapisan haloklin hingga ke lapisan dasar laut. 4. Zona pada kedalaman 600-1000 m, dimana nilai salinitas menjadi maksimum. Survei yang dilakukan pada tahun 1950-1954 untuk memetakan pola sebaran salinitas di bagian permukaan perairan Indonesia antara lain di Laut Cina Selatan, Laut Banda, Laut Jawa. Laut Sulawesi, Laut Flores dan Selat Malaka, menunjukkan bahwa adanya pola sebaran salinitas yang kompleks karena beberapa faktor penting diantaranya masuknya air bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik, pola arus musiman, penguapan dan pengenceran oleh aliran-aliran sungai dari berbagai pulau (Nontji, 1993). Variasi musirnan salinitas di perairan Indonesia dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu arus samudera dan arus yang disebabkan oleh angin musim. Pada musim barat (Gambar 3A) aliran ke timur pada bagian utara dari "Lesses Sunda Islands" membawa massa air bersalinitas rendah pada Laut Jawa dan Flores, dan aliran yang bergerak ke utara seputar Pulau Timor membawa massa air bersalinitas tingg dari Samudera Hindia. Sedangkan untuk Laut Cina Selatan massa aimya dipengaruhi oleh massa air Samudera Pasifik yang bersalinitas tinggi. Selama musim ini salinitas pada lapisan tercampur pada Laut Banda dan Arafura menurun disebabkan karena besarnya presipitasi dari evaporasi (Miyama et al. 1996). Selanjutnya pada musin timur (Gambar 3B), kondisi massa air Laut Cina Selatan dipengaruhi oleh massa air Laut Jawa. Aliran arus lintas Indonesia ke arah selatan sepanjang jalur bagian timur berperan besar pada variasi saiinitas di Laut Banda. Khususnya massa air dari Samudera Pasifik Selatan memiliki salinitas yang tin@ yang menyebabkan meningkatnya salinitas massa air di Laut Banda. Selain itu juga karena terjadinya upwelling selama musim ini, sehingga menyebabkan massa air dari lapisan tercampur pa& Laut Banda mengandung gararn yang lebih tinggi. Menurut Laevastu (1970), variasi salinitas pada daerah lepas pantai relatif lebih kecil dibandingkan dengan daerah pantai. Hal ini karena pengaruh run-ojfdari daratan. Variasi salinitas ini sering digunakan untuk mengindikasikan perubahan pada massa air. 2.1.3. Densitas Densitas air laut disebut sebagai Sigma-t atau at diperoleh dari hasil pengukuran suhu, tekanan dan salinitas. Air laut kondisinya lebih berat (sekitar 1,025 &m3) dibandingkan dengan air tawar (sekitar 1,000 g/cm3) dan sekitar 800 lebih berat dibandingkan dengan udara. Nilai densitas air laut berkiszr 1,020 sampai 1,030 &rn3 dengan perubahan terbesa- terjadi dilapisan permukaan dsn dekat pantai. Densitas akan menurun Karena cvaeh hujan, i~trusimassa air tawar dari aliran sungai, mencairnya es dan intensitas penyinaran matahari (Bishop, 1984). Massa air laut dengan densitas rendah cenderung berada di atas dari lapisan dengan densitas tinggi. Perubahan densitas air laut secara vertikal terjadi dengan adanya perubahan kedalaman perairan, dan perubahan secara horizontal disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berkaitan dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu. Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan massa air. Perubahan salinitas dan suhu sangat mempengaruhi densitas suatu perairan. Ross (1970), menyatakan bahwa densitas ditentukan oleh indeks antara 3 variabel, antara lain salinitas, suhu dan tekanan. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalarnan serta menurunnya suhu. Selanjutnya Sverdrup et al. (1946) menyatakan bahwa densitas air laut tergantung pada perubahan suhu dan salinitas serta semua proses yang mengalubatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas air laut pada permukaan berkurang karena adanya pemanasan, presipitasi, run-08 dari daratan; dan akan meningkat dengan terjadinya evaporasi dan menurunnya suhu permukaan. 2.1.4. Arus. Arus merupakan proses fisik yang tejadi di suatu perairan yang disebabkan karena pengaruh angin, topografi dasar perairan ataupun karena pengaruh tenaga endogen dari dasar perairan. Menurut Nontji (1993), bahwa arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut a t a ~karena gerakan bergelombang panjang seperti pasang-surut. Angin musim barat dan angin musim timur yang melewati perairan Indonesia (Gambar 1 dan 3), dengan pergantian arah pada periode yang tetap &an mempengaruhi terbentuknya arus, khususnya arus permukaan. Laut Cina, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, dan Laut Arafura merupakan perairan yang berada pada poros arah utarna kedua angin musim di atas. Karena bertiupnya angin musim ini secara konstan walaupun kekuatannya relatif tidak besar, akan terciptanya kondisi yang baik untuk terjadinya arus musim, dan sangat berpengaruh terhadap kondisi oseanografi perairan-perairan tersebut (Nontji, 1993). Dari peta pola arus dan sirkulasi massa air yang ada, terlihat bahwa Samudera Pasifik sangat besar suplai massa airnya ke perairan Indonesia sepanjang tahun dibandingkan dengan Samudera Hindia. 2.2. Kondisi oseanografi Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan (LCS) berhubungan dengan Laut Cina Timur melalui Taiwan, Samudera Pasifik melalui Terusan Baschi, Laut Sulu melalui Terusan Balabac, Laut Jawa melalui Selat Karimata dan dengan Samudera Hindla melalui Selat Malaka. Seluruh selat dan terusan yang berhubungan dengan LCS sempit dan dangkal kecuali Terusan Baschi yang kedalamannya lebih dari 2000 m. Oleh karena itu LCS merupakan laut yang semi tertutup, dimana perubahan air dengan laut yang lainnya terutama melewati Terusan Bashi. LCS adalah salah satu bagian laut yang terbesar dari Samudera Pasifik Barat, dengan luas permukaannya 3,5 x lo6 km2, memiliki paparan benua yang terbentang dari utara ke selatan, sementara bagian sempit dan curam dari bagian timur ke barat. Palung lautnya berada di bagian tengah perairan ini. Laut ini merupakan daerak yang berada di antara daerah tropis dan subtropis, dengan bagan selatannya berada sekitar ekuator. Rata-rata curah hujan tahunan sebesar 2000 mm (Qi-zhou et ul. 1994). Sebagian besar massa air yang masuk ke dalam perairan ini dan mempengaruhi konsentrasi kadar garam, berasal dan beberapa sungai antara lain sungai Zhujiang di bagian utara dan sungai Mekoilg di bagian tenggara, selain itu dari sungai Kapuas di Kalimantan dan beberapa sungai kecil lainnya yang bermuara di LCS. 2.2.1. Suhu. Laju peningkatan variasi tahunan suhu di Laut Cina meningkat dan selatan menuju ke utara. Hal ini disebabkan oleh mengalirnya massa air dingin melalui selat Formosa selama musim dingin dan juga pengaruh pendinginan akibat evaporasi dan perubahan panas di udara. Suhu yang sarna di bagian permukaan pada lapisan yang homogen terlihat pada bagian dangkal dari Paparan Sunda termasuk didalamnya Laut Jawa, Laut Cina selatan, Selat Malaka dan Teluk Thailand dan juga bagian Papara Sahul. Suhu permukaan LCS yang merupakan lautan daerah tropis hangat dan variasi tahunannya biasanya kecil. Tetapi urnumnya variasi hariannya relatif tinggi. Radiasi sinar matahari sangat kuat dan karenanya air pada lapisan atas suhunya tinggi dan bersalinitas rendah. Berlawanan dengan air pada lapisan dalarn yang masuk dan Samudera Pasifik dan bersuhu rendah dan bersalinitas tinggi. Hal ini menghasilkan stratifikasi yang nyata pada kolom air. Suhu yang sangat menyolok pada lapisan pennukaan terlihat antara bagian selatan dan bagian utara LCS khususnya pada musim dingin (Wyrtki, 1961). Menurut Ilahude (1997), suhu permukaan Laut Cina Selatan secara mum meningkat dari utara berlusar antara 26,5 OC ke selatan hngga 28,O OC. Hal ini disebabkan karena adanya masukan massa air dari utara yang bersuhu rendah. Kondisi suhu diperairan pantai relatif lebih tinggi mencapai 29,5 OC, ha1 ini diduga karena pengaruh daratan yang lebih panas. Kondisi suhu permukaan LCS pada Musim Timur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Musim Barat. Demikian pula halnya dengan suhu permukaan pada daerah pantai. 2.2.2. Salinitas Distribusi salinitas secara umurn pada bagian permukaan perairan merupakan kondisi yang disebabkan oleh perubahan/sirkulasi musim. Pada suatu daerah massa air akan bersalinitas rendah apabila curah hujannya tinggi dan aliran air tawar masuk kedalamnya. Antara massa air bersalinitas rendah dan massa air bersalinitas tinggi (massa air samudera) terjadi percarnpuran massa air pada area yang luas, dan terbawa dan mengalir akibat angin musim yang tejadi. Tidak mudah menentukan atau menduga pengaruh dari perbedaan antara curah hujan dan evaporasi pada salinitas permukaan tetapi biasanya pengaruhnya terlihat kecil dibandingkan dengan sirkulasinya (Wyrtki, 1961) Pada LCS aliran yang menuju selatan sepanjang daerah bagian barat yang membawa massa air bersalinitas tinggi dari Pasifik Utara menuju ke bagian selatan LCS, menyebabkan meningkatnyta salinitas di daerah ini. Perpindahan massa dan evaporasi yang lebih tinggi dari presipitasi menyebabkan salinitas pada bagian utara perairan meningkat (Miyama et al., 1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa salinitas permukaan LCS bagian selatan mencapai yang tertinggi pada bulan April dan kemudian menurun sampai bulan Oktober-November. Fluktuasi nilai salinitas ini dipenganh keseimbangan antara curah hujan dan evaporasi yang terjaQ pada Musim Timur dan Musim Barat. Sedangkan menurut Wyrtki, (1956a) dalam Sadhotomo dan Duran (1996), pada bulan Oktober, dimana terjadi musim Barat, daerah pantai dan Perairan LCS dipengaruhi oleh massa air tawar dari sungai dengan variasi salinitasnya 30-32 9/60. Hal ini Qsebabkan karena curah hujan yang tinggi yang puncaknya berada pada bulan Desember. Salinitas @a perairan LCS perubahannya sangat menyolok sekali. Tingginya curah hujan, besarnya massa air tawar dari banyak sungai dan bentuk geografis dari lautan tersebut memungkinkan perubahan salinitas yang dratis. Tingginya curah hujan dan distribusi air tawar yang mengalir dan darat, teluk-teluk dan terusan yang perputaran massa airnya hanya kecil sekali, menyebabkan daerah ini salinitasnya sangat rendah (Wyrtki, 1961). Ilahude (1997), salinitas permukaan pada Musim Barat berkisar antara 33 960 di bagian utara dan berangsur menurun ke selatan hingga 32 %o, dan semakin menurun hingga 3 1 %O pada daerah pantai. Sedangkan pada Musim Timur di bagian utara sekitar 33 %, menurun kebagian tengah perairan hingga 32 % dan meningkat kembali di bagian selatan hngga lebih dari 32,5 YOO. 2.2.3. Arus Pada sepanjang musim barat arus pada lingkaran bagian barat Laut Cina Selatan bergerak ke selatan, dan arus pada bagian utara dari "Lesser Sundu lslunds" bergerak ke timur. Karena massa air dibatasi dari pergerakannya ke timur atau kesamping, bagian massa air mas& ke laut Banda dan Arafura. Pada sepanjang musim panas situasi ini terbalik. Laut Cina Selatan didominasi oleh angin musim sepanjang tahun. Angin musim barat dari timur laut dengan rata-rata kecepatan anginnya 9 mldtk, dan saat musim timur, angin dari tenggara dengan kecepatan ratarata 6 mldtk. Karena sangat luasnya daerah laut, waktunya paling larnbat 3 bulan antara bagian sebelah utara dan sebelah selatan untuk angili berhembus kearah sebaliknya pada pergantian musim. Karena itu perbedaan kuat atau besamya angin ada pada periode transisi antara musin barat dan musim timur (Wyrtki, 1961). Selanjutnya dikatakan bahwa pada bulan Mei dan Juni awal bertiupnya angin musim timur. Sepanjang pantai Vietnam, arus sangat jelas terlihat bergerak menuju ke barat. Disisi lain, bentuk yang menyimpang di bagian utara Laut Cina dimana terlihat pembelokan arus ke kanan oleh angin. Sebagian besar massa air akan tertekan ke selatan dari Formosa ke bagian kaki Kuroshio; sebagian kecil mengalir melalui Selat Formosa ke utara. Akibat suplai massa air dari Laut Jawa tidak cukup, maka terjadi arus dari sepanjang pantai Kalimantan menuju tenggara, yang mana membelok ke utara pada daerah Kepulauan Natuna. 23. Kondisi Oseanografi Selat Malaka Perairan Selat Malaka tergolong dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia dan beberapa laut dan teluk diantaranya Laut Cina Selatan, Teluk Siam, Teluk Bangkok, Laut Andaman dan Laut Jawa. Selat Malaka di bagian paling sempit, kedalamannya sekitar 30 m dengan lebarnya 35 km, kedalamannya meningkat secara gradual hingga 100 m sebelurn Continental Slope Laut Andarnan. Di dasar selat ini arus pasut sangat kuat terjadi, dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang bentuknya sama, dengan bagan punggung searah dengan arus pasut tersebut. Pergerakan dan pertukaran massa air pa& selat ini umumnya menuju ke Samudera Hindia dan terjadi sangat lemah dan mempunyai hubungan yang erat dengan gradlen permukaan dari muka laut. Aliran massa air sangat kuat terjadi di Selat Malaka pada bulan Januari hingga April selama bertiup angn musim timur yang disebabkan oleh rendahnya permukaan laut di Laut Andaman (Wyrtki, 1961). Dari pola arus dm sirkulasi massa air (Wyrtki, 1961) terlihat bahwa pergerakan massa air pa& perairan Selat Malaka dominan mengalir dari selatan ke utara di kedua musim yang berbeda. Walaupun Cemikian pada bagian utara (bagian yang lebar) dan selat ini pada musim timur dipengaruhi oleh massa air dari Sarnudera Hindia. Arus mengalir ke arah barat daya menuju Samudera Hindia. Selama Musim barat massa air bersalinitas tinggi dari Laut Cina dan selama musim timur massa air bersalinitas rendah dibentuk dari masukan sungai dari Sumatera. Hal ini menghasilkan variasi tahunan salinitas permukaan yang lebih teratur dari selat ini pada bagian selatan dan tengahnya. Arus pasang yang kuat menyebabkan percampwan vertikal yang sempurna dari massa air. Pa& bagian utara Selat Malaka, tingginya curah hujan sangat mempengaruhi variasi salinitas permukaan dibandingkan dengan arus. Besarnya curah hujan selama musim hujan (SeptemberJanuari) dibandingkan dengan evaporasi dapat mencapai 720 mm, dan dapat menumnkan salinitas sebesar 0,7 % dengan kedalaman lapisan homogen 30 m. Kenyataan bahwa salinitas menurun sebesar 1,5 %O rnenunjukkan bahwa ada masukkan masssa air bersalinitas rendah tercampur di perairan ini. (Wyrtki, 1961). Dikatakan pula bahwa Selat Malaka mempunyai variasi tahunan yang berbeda, tetapi setiap waktu dari salinitas tahunan &pat terjadi dengan nilai maksimum, sementara nilai minimum terbatas pada musim tertentu. Salinitas dibawah 30,O % tidak terlihat dari bulan April hingga September, tetapi salinitas di atas 3 1,5 % kemungkinan terjadi setahun lamanya. 2.4. Hidroakustik Hidroakustik atau akustik kelautan pertama-tama digunakan untuk menyelidiki dasar laut. Sejak awal di bidang perikanan akustik kelautan sudah digunakan oleh nelayan untuk menemukan kelompok ikan. Teknik pengembangan seperti pemrosesan data sudah dipakai sejak tahun 1970-an (Johanesson dan Losse, 1977 dalam Masse, 1996). Metoda akustik dapat digunakan untuk menduga keberadaan ikan, baik untuk ikan pelagis maupun demersal (Mitson, 1983). Beberapa keuntungan metoda akustik adalah tidak tergantung pada statistik hasil tangkapan, untuk mendapatkan nilai hasil pengamatan tidak memerlukan waktu yang terlalu lama, dan biaya operasi yang relatif lebih murah, dibandingkan dengan metoda pendugaan lainnya serta kemampuan dalam menduga populasi absolut (Thorne, 1979). Lebih lanjut dikatakan bahwa metoda akustik dsarnping mempunyai kelebihan diatas, namun juga mempunyai keterbatasan antara lain, ketidakrnampuan dalam membedakan jenis ikan yang terdeteksi, sedikit atau bahkan tidak ada target yang teramati di dekat permukaan dan di dasar perairan, serta metodanya relatif sangat kcmpleks. Meskipun biaya operasinya rendah, metoda akustik memerlukan investasi alat yang sangat mahal. Dalam mekanisme keja subvei akustik untuk menentukan kelirnpahan surnberdaya ikan, penentuan nilai target strength merupakan suatu ha1 yang sangat penting. Menurii? MacLennan dan Sirnmonds (1992) mengatakan bahwa target strength merupakan backscattering cross section dari target yang mengembalikan sinyal, sedangkan menurut Burczynski (1979), target strength mempunyai hubungan erat derigan backscattering cross section. Kedua pernyataan ini dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis sebagai berikut. TS = 10 Log (a/4n) ----------TS = 10 log as, ---------------- (MacLennan dan Simmonds, 1992) (Burczynski, 1979). Nilai target strength ini sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa ha1 seperti tingkah laku ikan (rnisalnya sudut orientasi) atau kondisi fisik yang tidak dapat diduga secara pasti. Oleh sebab itu nilai target strength tidak merupakan suatu nilai yang konstan, sehingga nilai ini hams senantiasa di tentukan untuk setiap pelaksanaan survei akustik. Naken dan Olsen (1977) mengungkapkan bahwa nilai target strength sangat ditentukan oleh orientasi ikan terutarna kemiringan badan antara garis hubung kepada dan ekor. Sedangkan Arnaya (1991) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi target strength diantaranya ukuran ikan, bentuk tubuh, spesies, tingkah laku, gelembung renang, acoustic impedance, panjang gelombang suara yang digunakan pada pengukuran, beam pattern, kecepatan renang ikan dan multple scatteringLshadowln efect. Pada tahun 1988 Institute of Marine Research, Bergen, Norway bekerjasama dengan perusaha3 Simrad Subsea A/S rnemperkenalkan suatu peralatan akustik geneiasi baru 'Simrad EK-500' untuk pengukuran densitas ikan. Modul dasar dari echosounder Simrad EK-500 memiliki tiga fiekwensi dengan pengolahan sinyal secara bersamaan dalarn setiap kana1 fiekwensi berbeda dengan kemampuan tinggi dan sistem penerirna sangat akurat karena rnemiliki selang dinamik yang lebar (Nes, 1992). Proses echo integrasi dilakukan dari kolom air secara vertikal dan dirataratakan dalam arah horizontal sepanjangjalur yang dilintasi oleh kapal. Didalam echo sounder EK-500, untuk mendapatkan nilai target strength digunakan tekxuk split beam. Dengan sistem split beam memungkinkan untuk menghitung posisi target dalarn beam. Konsep ini didasarkan atas pembagian transduser menjadi kuadran (Gambar 4). Kuadran ini bekej a bersama-sama selama transmisi, tetapi menerima sinyal secara terpisah. MacLennan dan Simmonds (1992) mengatakan bahwa nilai target strength yang diperoleh tergantung dan orientasi ikan dalam kolom air, jenis ikan dan fiekwensi dari echo sounder yang digunakan. Penggunaan echosounder dan echo integrator untuk keperluan eksplorasi sumberdaya perikanan dewasa ini telah berkembang dengan pesat terutarna di negaranegara maju dan pada beberapa lembaga penelitian. Secara urnum peralatan hidroakustik digunakan untuk mendapatkan informasi sekitar objek bawah air yang dilakukan melalui pemancaran gelombang suara dan pengamatan dari echo yang dipantulkan. Prinsip ini mengikuti prinsip kerja sonar dengan peralatannya adalah echosounder. Komponen utama dalam sistem echosounder adalah unit pemancar (transmitter), transducer, unit penerima (receiver amnplzjier), dan unit pencatat (recoder unlt, tlme buse dan dlspluy unit). Suara dihasilkan dari perangkat pemancar kemudian dipancarkan secara vertikal melalui transducer kedalam kolom air dan bila mengenai target akan dipantulkar, kembali dan direkam pada kertas pencatat. Transducer Perbedm fase - 0 Perbedaan fase - 0 Gambar 4. Prinsip dari echo sounder split beam (MacLennan dan Simmonds, 1992). Penelitian secara langsung seperti survei ichtioplankton, trawl, survei akustik atau perhitungan secara visual (metoda sensus) adalah ditujukan untuk menentukan kelimpahan dan komposisi umur dari sumberdaya perikanan (Gunderson, 1993). Metode echo integrasi diketahui sebagai suatu teknik yang tepat dan efektif untuk pengkajian stok, khususnya untuk ikan pelagis (MacLennan dan Simmonds, 1992). 2.5. Penginderaan Jauh Kelautan Perkembangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) telah berkembang luas, bukan hanya di sektor pertahanan keamanan namun juga dalam sektor pemanfaatan sumberdaya termasuk didalamnya sumberdaya laut. Beberapa wahana yang telah ada dan hingga sekarang datanya dimanfaatkan guna tujuan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut di antaranya, satelit NOAA/AVHRR untuk melihat pola sebaran suhu permukaan laut (SPL), satelit SeaStur dengan sensor SeuWIE-S untuk melihat sebaran klorofil dan konsentrasi pigrnen fitoplankton, satelit TOPEX yang banyak aplikasinya dalam melihat pola arus dan dinamika oseanografi. Satelit radar altimetri yang merupakan hasil kejasama NASA (Amerika Serikat) dan CNES (Prancis) adalah Satelit TOPEXIPOSEIDON (T-P) yang telah diluncurkan pada tanggal 10 Agustus 1992 dari Kourou (Prancis), dengan misi utamanya adalah penggunaan radar altimetri untuk memetakan topografi permukaan laut secara global yang dapat memberikan informasi tentang arus permukaan. Pengetahuan mengenai sirkulasi lautan merupakan salah satu bagian penting dari informasi yang diperlukan untuk memperbaiki ramalan mengenai cuaca dan iklim. Satelit altimetri lainnya yang dikembangkan Taiwan yaitu satelit TOPEWOM (Princesten Ocean Model), dimana sistem perekaman datanya dilakukan setiap hari dan terbagi atas beberapa wilayah diantaranya wilayah South East Cina yang mencakup wilayah perairan Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Flores dan Selat Makassar khususnya di perairan Indonesia Barat, sehingga diperlukan adanya ketelitian yang lebih baik agar dapat memberikan informasi yang akurat. Pemanfaatan untuk usaha perikanan di perairan Indonesia Timur perlu diterapkan dalam eksploitasi sumberdaya ikan. Untuk tujuan eksplotasi, metode deteksi ikan secara langsung yang paling sederhana dari penginderaan jauh adalah menentukan lokasi ikan (spotting) secara visual dari pesawat udara. Namun untuk usaha komersil, cara ini kurang efektif karena lokasi dari berbagai kawanan ikan yang bersifat bergerak bebas dan berpindah tempat, sehingga informasi tidak dapat disediakan dalam waktu yang cepat kepada nelayan. 2.6. Sumberdaya ikan 2.6.1 Potensi dan produksi di Indonesia Sumberdaya ikan merupakan salah satu unit stok yang perlu diketahui sebagai data perikanan dalam pengelolaan suatu wilayah laut. Pendugaan stok, harus didasarkan pada data yang berhubungan dengan individu-individu yang sama pola hidupnya. Sangat mungkin untuk dapat melakukan diskripsi setiap jenis ikan sepanjang ia berada dalam suatu kelompok. Setiap unit stok secara teori dapat dideskrepsikan sebagai grup dari individu-individu spesies yang sama dan bertambah melalui imigrasi atau berkurang karena emigrasi, dengan tidak mengabaikan hubungannya dengan tingkat pertumbuhan dan mortalitas (Sparre and Venema, 1999) Pengetahuan mengenai sumberdaya ikan (stok) penting untuk produksi perikanan komersil di Indonesia, seperti perikanan cakalang (Kustnuonis pelurnis), Madidihang (Thunnus ulbacures), Tuna mata besar (7'. obesus), Albakora (7'. alalunga) dan jenis-jenis ikan lainnya akan sangat menolong untuk pengelolaan populasi dan siklus hidupnya. Boer, et al. (2001) menyatakan bahwa produksi perikanan dari Hasil Kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut (KOMNAS KAJISKANLAUT) tahun 2000 sebesar 2,93 juta ton per tahun dan total potensi yang &miliki sebesar 6,11 juta ton, dengan kata lain tingkat pemanfaatannya masih 48 %. Adapun potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan untuk beberapa surnberdaya perikanan (tidak termasuk ikan has) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan Indonesia. Sumber : Boer et al., 2001 Sedangkan produksi perikanan Q Laut Cina Selatan, kebanyakan cfidominasi oleh jenis ikan pelagis diantaranya ikan kembung (Hastrell~gerspp), ikan layang (Decapterus spp), ikan selar (Selar leptolepis), Sardinella spp, Amhlyga.~tersirm, A tule mate, Scumbemorus spp, Magalap.~iscordyla, Euthynus ufinis dan A x ~ n thamrd (Bhatiyasefi, 1997 dalam Atrnaja et. al., 2001). Alat tangkap yang digunakan didominasi oleh alat tangkap purse seine. Beberapa potensi kelompok sumberdaya laut di perairan Laut Cina Selatan dan tingkat usaha pemanfaatannya seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Potensi, produksi clan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Laut Cina Selatan I Luas Densitas Potensi Produksi Pernanfaatan Sebaran No. (lo3ton/thn) (lo3ton) (%) (lo3 km 2) (kg/100p) 1. Ikan Pelagis Kecil 1,84 550,OO 506,OO 97,46 19,26 2. Ikan Pelagis Besar 265,47 54,82 413,OO 35,33 64,44 3. Ikan Demersal 558,OO 2,35 655,65 82,46 12,58 4. Ikan Karang Konsumsi 299,OO 144,25 2 1,57 14,5 1 67,25 5. Udang Peneid 0,20 112,OO 11,20 13,Ol 116,17 Kelompok Sumberdaya 7. Cun~i-cumi L I, Sumber : Boer et al., 2001 - - 2,70 4,831 179,05 Menurut Kamal dan Yanagawa (2000), komposisi jenis ikan di Selat Malaka, didominasi oleh jenis ikan kembung (Indian mackerel), diikuti oleh ikan bilis (Anchovies), i kan kurisi (Treadfin breams), ikan cincaru (Hardtail scad), ikan gulama (Drums dan croakers), ikan layang (Round scads) dan ikan selar (Selar scads). Alat tangkap yang dominan digunakan dalam penangkapan ikan di Selat Malaka ini antara lain, jaring trawl, jaring hanyut, jaring lingkar, dan jaring kantung. Martusubroto (2000), total produksi perikanan (Indonesia dan Malasia) dari perairan Selat Malaka di tahun 1996 sebesar 963.700 ton. Total produksi yang berasal dari hasil tangkapan nelayan-nelayan Indonesia (didominasi oleh nelayan Sumatera Utara dan Riau) sebesar 489.000 ton (50,74%) dari total produksi Komposisi hasil tangkapan yang dihasilkan kebanyakan dari kelompok ikan pelagis kecil (30%), diikuti oleh ikan demersal (20%), udang (15%) dan ikan campuran (14%). Sedangkan menurut Boer et.ul., (2001), potensi, produksi dan tingkat pemanfataan sumberdaya laut di Selat Malaka untuk kelompok ikan pelagis kecil sebesar 1 16.910 ton di tahun 2000 atau mengalami p e n m a n sebesar 20% dari tahun 1 1996, namun kelompok ikan demersal dapat dikatakan tidak mengalami penurunan produksi. Beberapa kelompok sumberdaya laut dengan potensi, produksi clan tingkat usaha pemanfaatannya di perairan Selat Malaka dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Potensi, produksi dan tingkat pemanfmtan sumberdaya perikanan laut di Selat Malaka. I Kelompok Sumberdaya I 1. Ikati Pelagis Kecil I 1 1 2. lkan Pelagis Besar 1 3. Ikan Demersal 4. Ikan Karang Konsumsi 5. Udang Peneid 6. Lobster [ 7. Icumi-cumi Sumber : Boer et a].,2001 Densitas Potensi Produksi Pemanfaatan (kg/lOOp) (10' tonhl-in) (10' ton)I (%) Luas Sebaran h2, 92,OO ' 2,60 120,OO 386,67 2,06 80,OO 50,OO 12,OO 0,4 1 55,OO 1.14 703.00 - I - 119,60 23,20 82,40 0,30 11,40 0.40 1,86 1 116,91 49,78 97,28 15,24 39,52 0.46 2,94 1 97,75 214,55 118,06 5080,58 346,64 114.88 157,90 2.6.2 Distribusi dan upaya pemanfaatan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan oksigen terlarut, dan masih banyak faktor ekologi lainnya (Brond, 1979). Estimasi dari suatu sumberdaya perikanan dapat hbantu dengan pengukuran sejumlah parameter yang mempengaruhi dlstribusi dan kelimpahannya. Sebagian besar hasil penelitian di bidang perikanan yang berhubungan dengan berbagai pengaruh lingkungan sekitarnya, menunjukkan adanya korelasi antara suatu parameter tunggal dengan distribusi temporal dan spasial dari ikan, tetapi dapat dipastikan bahwa ikan tidak merespons setiap parameter lingkungan secara terpisah, melainkan secara keseluruhan. Menurut Laevastu dan Hela (1970), spesies ikan pelagis dapat dikelompokan berdasarkan migrasi diurnal yaitu : a) Spesies pelagis yang keberadaannya di siang hari berada sediht di atas termoklin; bermigrasi ke lapisan permukaan di sore hari, menyebar antara permukaan termoklin pada malam hari, dan naik ke lapisan termoklin pada siang hari. b) Spesies pelagis yang pada siang hari berada pada lapisan di bawah termoklin; bermigrasi melalui termoklin ke lapisan permukaan selama pagi hari; menyebar antara permukaan dan dasar perairan selama malam hari dan melimpah di bagian atas termoklin. c) Spesies pelads yang berada di bawah lapisan termoklin; bermjgrasi ke lapisan termoklin selama sore hari; menyebar antara termoklin dan dasar perairan selama malam hari dan turun ke lapisan yang lebih dalam selama pagi hari. Variasi dalam berbagai kondisi lingkungan mempengaruhi rekruitmen, distribusi, kelimpahan dan ketersediaan dari sumberdaya perikanan. Sulit rasanya untuk dapat mengukur dari jauh seluruh kisaran informasi yang diperlukan untuk mengkaji berbagai perubahan dari sejumlah kondisi, dan proses tertentu yang mempunyai pengaruh terhadap sejumlah populasi ikan. Hal ini sering dapat dideduksi dengan menggunakan berbagai hasil pengukuran yang diambil oleh sensor jarak jauh, misalnya konsentrasi dari bahan terlarut dan tersuspensi, variasi berbagai tingkat produksi primer, distribusi dan isotherm permukaan, lokasi dan frontal boundaries, daerah-daerah upwelling, pola arus dan sirkulasi massa air (Hendiarti et al., 1985). Suhu air merupakan faktor penting lainnya dalam menentukan distribusi spesies ikan dan berbagai sensor thermal dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai peta suhu permukaan laut (SPL atau SIC'r). Pemetaan seperti ini dapat digunakan untuk menentukan massa air dingin dari sejumlah daerah upwelling (Hendiarti et al., 1985) yang kaya akan nutrien dan untuk menentukan lokasi batasbatas area antara perairan panas dan dngin dimana berkaitan dengan spesies tertentu yang diketahui suka bergerombol (Hasyim, 1996). Pola distribusi dan lokasi dapat digunakan untuk menentukan spesies yang diamati. Luas permukaan dari kawanan yang diukur dari suatu foto udara ternyata menunjukkan adanya korelasi dengan biomassa dari spesies ikan tersebut (Amin et al., 1991). Keberhasilan usaha penangkapan sangat erat kaitamya dengan kondisi perairan, salah satunya yang peniing yaitu produktivitas perairan yang dapat diamati melalui "suhu perrnukaan" dai~"sirkulasi massa air dan arus permukaan". Peta global suhu permukaan diproduksi atas dasar operasional, dalam bentuk cetakan komputer atau peta-peta kontur dengan ukuran yang halus secara spasial dan terkoreksi secara radiometri. Dengan data yang diperoleh dari satelit-satelit yang ada, telah memungkinkan untuk memproduksi peta-peta SPLISST dengan akurasi 0,5-2,O OC dan dalam near real time. Sejumlah teknik penginderaan jauh dapat memberikan informasi sehubungan dengan sifat-sifat sirkulasi massa air dan arus permukaan yang penting dalam menentukan berbagai habitat ikan, guna mempermudah usaha penangkapan. Salah satu cara praktis yang digunakan dalam usaha penangkapan adalah dengan terlebih dahulu melakukan survei akustik pada perairan yang diduga merupakan daerah penangkapan produktif. Cara ini sudah dikembangkan dan memberikan kemungkinan yang cukup baik, tidak hanya untuk mengetahui konsentrasi ikan, tetapi juga untuk mengetahui lapisan renang dari individu ikan pada kedalaman lebih dari 300 m (Shibata dan Nishimura, 1969; Shibata dan Abe, 1970 dalam Amin er a!., 1991).