Studi Ekspresi Gen Penyandi AGAMOUS dan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pertama kali diperkenalkan di
Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848. Pada waktu itu ada 4 bibit kelapa
sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam ditanam di kebun Raya Bogor. Pada
tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial.
Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet yang berasal
dari Belgia. Perkembangan budidaya kelapa sawit dilanjutkan oleh K.Schadt yang
mempelopori usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit
pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera Utara (Deli) dan Aceh dengan luas areal
5.123 ha (Lubis, 1992).
Pada masa pendudukan Jepang, perkebunan kelapa sawit menjadi terlantar
sehingga ekspor CPO sempat terhenti.
Banyak kebun kelapa sawit yang diganti
tanamannya menjadi tanaman pangan,
sehingga banyak pabrik kelapa sawit yang
menjadi tutup.
Setelah merdeka, perkebunan kelapa sawit mulai bangkit dan
berkembang lagi. Pada tahun 1957, luas kebun kelapa sawit berkembang menjadi
103.000 ha dengan produksi CPO 160.000 ton (Lubis, 1992).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan ditujukan untuk
menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor
penghasil devisa Negara. Lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat
terutama perkebunan rakyat dengan dukungan Pemerintah yang melaksanakan program
Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR – BUN) (Lubis, 1992). Selain itu, Perusahaan
Besar Negara atau PTPN juga memperluas lahan kelapa sawit. Wilayah kerja PTPN
tersebar mulai dari NAD sampai dengan Sulawesi. Mulai tahun 2007, perkebunan
kelapa sawit mulai tumbuh di Papua. Perusahaan Swasta yang bergerak di bidang
kelapa sawit antara lain adalah Socfindo, Lonsum, dan Tania Jaya.
Dengan
berkembangnya industri hasil olahan minyak kelapa sawit, banyak Perusahaan Swasta
baru yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, terutaman perusahaan besar
5
seperti Perusahaan Bayer, PT Sinar Mas Group, PT Sampoerna Agro Tbk, PT Wilmar
dan PT Astra Agro Lestari Tbk (Administrator, 2000a).
Berdasarkan data statistik Ditjenbun (Administrator, 2008b), luas areal kebun
kelapa sawit nasional pada tahun 2003 adalah 5.283.600 ha dan meningkat menjadi
6.324.300 ha pada tahun 2007 yang meliputi 22 provinsi. Secara rinci, luas areal kelapa
sawit nasional dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) Perkebunan Rakyat yang
mencapai 1.854.400 ha pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 3.058.800 ha pada
tahun 2007. (2) Perusahaan Besar Negara yang luasnya 662.800 ha pada tahun 2003
dan meningkat menjadi 694.300 ha pada tahun 2007. (3) Perusahaan Besar Swasta
dimana luasnya paling besar yaitu 2.766.400 ha pada tahun 2003 dan pada tahun 2007
meningkat menjadi 3.058.800 ha.
Botani Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa
sawit
termasuk
dalam
Divisio
:
Magnoliophyta,
Kelas
:
Monocotyledoneae, Ordo : Arecales, Famili : Arecaceae, Sub famili : Palminae, Genus
: Elaeis dan Species : Elaeis guineensis Jacq. Untuk membedakan varietas kelapa
sawit, terdapat dua kriteria yang digunakan yaitu berdasar tebal tipisnya cangkang
(endocarp) dan warna buah. Berdasar tebal tipis cangkang, kelapa sawit digolongkan
menjadi 3 varietas, yaitu: Dura, Pisifera dan Tenera. Sedangkan berdasar warna buah,
kelapa sawit dibagi menjadi 3 varietas, yaitu: Nigrescens, Virescens dan Albescens
(Lubis, 1992).
Kelapa sawit memiliki sifat-sifat bagian vegetatif dan bagian generatif yang
khas. Bagian vegetatif kelapa sawit yang penting antara lain akar, batang dan daun.
Akar kelapa sawit terdiri dari 4 macam, yaitu: akar primer, sekunder, tersier dan kuarter.
Batang kelapa sawit tumbuh lurus ke atas dengan diameter sekitar 40 – 60 cm. Tinggi
batang dapat mencapai 30 m. Daun kelapa sawit bersirip genap dan bertulang sejajar.
Tiap pelepah daun terdapat anak daun yang jumlahnya dapat mencapai 160 pasang.
Duduk daun (filotaksis) pada batang tersusun melingkar membentuk spiral (Corley &
Gray, 1976; Lubis, 1992).
6
Bunga kelapa sawit termasuk tipe berumah satu (Monoeceous) dengan tandan
bunga terletak di ketiak daun.
Primordia bunga terbentuk kurang-lebih 34 bulan
sebelum bunga matang yang siap melakukan penyerbukan. Diferensiasi bunga jantan
dan betina terjadi pada 17-25 bulan sebelum antesis. Bunga jantan maupun betina
biasanya terbuka selama dua hari dan pada musim hujan dapat mencapai 4 hari. Tepung
sari dapat menyerbuk selama 2-3 hari, namun semakin lama daya hidupnya semakin
menurun. Morfologi bunga kelapa sawit jantan dan betina ditunjukkan pada Gambar 1.
a
b
c
d
Gambar 1. Bunga tanaman kelapa sawit, a). Infloresensia bunga betina saat antesis, b).
Infloresensia bunga betina yang telah dewasa dengan putik yang terlihat
jelas, c). Infloressensia bunga jantan saat antesis, d). Infloresensia bunga
jantan yang telah dewasa (Adam et al., 2005).
Tanaman kelapa sawit di lapangan mulai berbunga pada umur 12-14 bulan
yang berasal dari bibit umur 11 bulan, namun buah yang dihasilkan belum ekonomis
untuk dipanen. Mulai umur 2,5 tahun, tanaman kelapa sawit berproduksi secara stabil
dan konsisten bila tidak terjadi gangguan lingkungan seperti perubahan iklim dan
serangan hama. Oleh karena itu, pemanenan buah kelapa sawit dilakukan mulai umur
2,5 tahun (Lubis, 1992).
7
Proses pembentukan buah dimulai dari proses polinasi dan fertilisasi tepung
sari ke putik sampai perkembangan buah menjadi masak. Waktu yang diperlukan
selama proses pembentukan tidak sama tergantung iklim setempat. Buah yang masih
muda berwarna ungu, kemudian secara berangsur berubah menjadi merah-kekuningan
seiring dengan tingkat kematangan. Proses pembentukan minyak berlangsung selama
24 hari sampai buah mencapai tingkat masak. Masaknya buah dalam satu tandan
berangsur-angsur mulai dari bagian atas menuju ke arah bawah atau bagian pangkal
(Corley & Gray, 1976; Lubis, 1992).
Buah yang masak akan terbentuk 5-6 bulan setelah antesis tergantung iklim
setempat. Tiap buah panjangnya 2-5 cm dan beratnya mencapai 30 g atau lebih. Buah
kelapa sawit termasuk tipe buah batu yang tersusun atas: kulit buah (exocarp), daging
buah (pulp, endocarp), cangkang (tempurung) dan inti/biji (kernel, endosperm).
Exocarp dan mesocarp disebut sebagai pericarp yang merupakan bagian yang
mengandung minyak terbesar (24%) sedangkan kandungan minyak dalam kernel hanya
4% (Corley & Gray, 1976; Lubis, 1992).
Kultur Jaringan Tanaman Kelapa Sawit
Penelitian mengenai kultur jaringan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) telah
dimulai lebih dari tiga dasawarsa yang lalu oleh ORSTOM-IRHO/CIRAD di Perancis
(Rabechault et al., 1972) dan Unilever di Inggris (Smith & Thomas, 1973) melalui
embriogenesis somatik, untuk menghasilkan bibit kelapa sawit secara massal. Sistem
kultur yang dilakukan pada awalnya adalah kultur dalam medium padat. Dalam
perkembangannya, telah dilakukan kultur dalam medium cair (Sumaryono et al., 1994;
Ginting & Fatmawati, 1997) dan medium cair sistem perendaman sesaat (TIS,
temporary immersion system) (Tahardi, 1998b; Etienne & Berthouly, 2002).
Sistem kultur cair dikembangkan terutama dengan tujuan otomatisasi dan scaleup produksi planlet serta meningkatkan pertumbuhan dan keseragaman kultur (Touchet
et al., 1991; Sumaryono et al., 1994; Ginting & Fatmawati, 1997; Tahardi, 1998a,
1999).
Sedangkan sistem perendaman sesaat (PS) ditujukan terutama untuk
menghindari terjadinya abnormalitas. Sistem ini telah diaplikasikan untuk perbanyakan
in vitro secara massal pada berbagai jenis tanaman (Etienne & Berthouly, 2002). Hasil
8
penelitian pada kelapa sawit (Tahardi, 1998b) menunjukkan bahwa frekuensi produksi
embrio somatik dari kalus nodular sangat tinggi, di samping itu sinkronisasi
perkembangan embrio juga lebih baik sehingga diperoleh embrio somatik yang lebih
seragam.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa produktivitas tanaman kelapa sawit klonal
hasil kultur jaringan terbukti lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman asal benih.
Berdasarkan satuan tanaman, produktifitas tersebut meningkat 23 sampai 39%
(Subronto et al., 1995; Soh et al., 2006).
Namun terjadinya abnormalitas organ
reproduktif dari populasi bibit asal kultur jaringan menyebabkan penurunan produksi.
Tingkat abnormalitas bibit asal kultur jaringan dilaporkan rata-rata 5-10% (Jaligot et
al., 2000), 10-40% (Subronto et al., 1995) bahkan sampai 100% (Soh et al., 2006). Hal
ini tentu sangat merugikan karena akan menurunkan produktivitas kebun. Akibatnya,
komersialisasi bibit kelapa sawit asal kultur jaringan menjadi terhambat
Abnormalitas Organ Reproduktif Tanaman Kelapa Sawit
Permasalahan yang timbul pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan adalah
terjadinya abnormalitas organ reproduktif.
Beberapa laporan menunjukkan adanya
beberapa jenis abnormalitas yang terjadi, yaitu bunga steril (jantan semua), gugur buah
dan buah bersayap atau bermantel (mantled). Dibandingkan dengan tanaman kelapa
sawit normal, secara fenotipik tanaman abnormal ini memperlihatkan perbedaan yang
sangat mencolok. Kadang-kadang dalam satu pohon tandan bunga yang terbentuk
sebagian besar berupa bunga jantan atau jantan semua. Fenotipe abnormal yang paling
banyak dijumpai adalah buah mantled. Abnormalitas jenis ini ditandai dengan
terbentuknya buah yang tampak seperti terbelah-belah atau berlapis-lapis sehingga
terlihat seperti bermantel atau bersayap yang berasal dari organ bunga betina. Hetharie
(2008) menggolongkan tingkat abnormalitas buah bermantel kelapa sawit menjadi 3
kelompok yaitu: (1) Abnormalitas ringan (AbR), dicirikan dengan terbentuknya karpel
tambahan dimana batasan antara karpel tambahan tersebut hanya terlihat pada bagian
ujung buah, mesokarp berdaging, dan mempunyai biji.
(2) Abnormalitas berat
(AbB), dicirikan dengan adanya karpel tambahan dari bagian ujung ke bagian tengah
9
buah yang terpisah dengan karpel utama, batasan antara karpel tambahan sangat jelas
dari ujung ke bagian tengah buah dan selanjutnya manyatu dengan karpel utama,
mesokarp berdaging dan mempunyuai biji. (3) Abnormalitas sangat berat (AbSB),
dicirikan dengan terbentuknya karpel tambahan yang terpisah dari karpel utama mulai
dari ujung sampai sepertiga dari pangkal buah demikian juga antar karpel tambahan
serta tidak mempunyai biji.
Larkin & Scowcroft (1981) mengemukakan bahwa, abnormalitas pada tanaman
kelapa sawit hasil kultur jaringan merupakan salah satu bentuk variasi somaklonal, yaitu
keragaman genetik pada tanaman yang diregenerasi dari kultur jaringan. Kadangkala
tanaman abnormal dapat pulih menjadi tanaman normal seiring dengan waktu, karena
itu kelainan ini bersifat epigenetik, akibat terjadinya perubahan pada ekspresi gen
(Tregear et al., 2002). Abnormalitas tersebut mungkin disebabkan oleh zat pengatur
tumbuh (Jones, 1991; Paranjothy et al., 1993; Eeuwens et al., 2002a), kondisi kalus
(Duran-Gasselin et al., 1993), lama subkultur dan umur kalus (Paranjothy et al., 1993;
Eeuwens et al., 2002b), serta tekanan seleksi, jenis eksplan, level ploidi dan kecepatan
proliferasi kalus (Karp, 1995). Hasil penelitian Eeuwens et al. (2002a) menunjukkan
bahwa terbentuknya buah mantel diakibatkan penggunaan hormon tumbuh auksin (2,4D dan NAA) dan sitokinin (kinetin dan BAP) dalam medium kultur. Semakin tinggi
perbandingan antara sitokinin dengan auksin maka semakin tinggi tingkat abnormalitas.
Penelitian abnormalitas kelapa sawit di tingkat molekuler telah dimulai lebih
dari satu dasawarsa. Jaligot et al. (2000) dan Matthes et al. (2001) melaporkan bahwa
terbentuknya variasi somaklonal pada tanaman kelapa sawit disebabkan karena
terjadinya perubahan pola metilasi DNA. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa
terbentuknya buah mantel ini akibat proses feminisasi androecium bunga jantan maupun
betina menjadi struktur menyerupai karpel (karpeloid) dan petal kedua bunga tersebut
berkembang menjadi struktur menyerupai sepal (sepaloid) (Corley et al., 1986). Pada
bunga jantan abnormal, stamen berkembang sebagai struktur karpeloid sedangkan
bunga betina abnormal dan staminodes (vestigial stamen) berkembang sebagai struktur
pseudocarpel. Dengan demikian, abnormalitas kelapa sawit hasil kultur jaringan mirip
dengan mutan tipe B pada tanaman A. thaliana maupun A. majus (Tregear et al., 2002).
10
Gen-gen Pembungaan Tanaman
LFY dan AG sebagai Gen Penting untuk Pembungaan Tanaman. Secara fisiologi
molekuler tanaman, diketahui 4 perbedaan tipe meristem yang menginisiasi
perkembangan organ bunga. Dalam proses perkembangannya, organ bunga tersebut
membentuk susunan lingkaran (ring) dari luar ke dalam dengan urutan sebagai berikut :
sepal, petal, stamen dan karpel (Coen and Carpenter, 1993). Hasil penelitian pada
tanaman Arabidopsis thaliana menunjukkan bahwa perkembangan identitas organ
bunga dipengaruhi oleh ekspresi beberapa gen pembungaan yaitu APETALA1 (AP1),
APETALA2 (AP2), APETALA3 (AP3), PISTILATA (PI) dan AGAMOUS (AG) (Taiz dan
Zeiger, 2002). Berdasar aktifitas gen-gen tersebut, dikelompokkan menjadi 3 tipe atau
kelompok gen yang berpengaruh dalam perkembangan identitas organ bunga, yang
kemudian dikenal sebagai model ABC seperti terlihat pada Gambar 2 (Taiz dan Zeiger,
2002).
Aktifitas tipe A disandikan oleh gen AP1 dan AP2 yang mengontrol
perkembangan identitas organ pada lingkaran pertama dan kedua yaitu pembentukan
sepal dan petal.
Tipe B disandikan oleh gen AP3 dan PI yang mengontrol
perkembangan identitas organ pada lingkaran kedua dan ketiga yaitu pembentukan
petala dan stamen.
Sedangkan tipe C disandikan oleh gen AG yang mengontrol
perkembangan identitas organ pada lingkaran ketiga dan keempat yaitu pembentukan
stamen dan karpel (Pineiro & Coupland, 1998; Taiz & Zeiger, 2002).
Dari hasil
penelitian tentang hubungan antara masing-masing gen ABC tersebut, diperoleh tiga
bentuk fenotipik bunga: (1) Apabila gen pembungaan yang bekerja hanya gen A dan B
saja, maka bunga yang terbentuk hanya memiliki sepal dan petal sehingga bunga
tersebut tidak mempunyai kelamin baik jantan maupun betina. (2) Apabila gen yang
bekerja hanya gen A dan C, maka bunga yang terbentuk hanya memiliki sepal dan
karpel saja sehingga kehilangan petal dan stamen. (3) Sedangkan bila hanya gen B dan
C saja yang bekerja, maka bunga yang terbentuk hanya memiliki stamen dan karpel saja
tidak memiliki sepal dan petal (Coen & Meyerowitz, 1991; Taiz & Zeiger, 2002).
Dengan semakin pesatnya kemajuan penelitian gen pembungaan pada tanaman,
maka model gen ABC berkembang menjadi model gen ABCDE (Pelaz et al., 2000;
Pinyopich et al., 2003). Model tersebut melengkapi fungsi dari model gen ABC dengan
11
penambahan gen D yang berfungsi untuk menentukan perkembangan bakal buah (ovule)
dan gen E yang berfungsi untuk mendorong perkembangan seluruh organ bunga pada
tanaman.
Gambar 2. Model gen ABC untuk proses pembentukan organ bunga (Taiz & Zeiger,
2002).
Lebih jauh Ordge et al. (2005) melaporkan bahwa pada Arabidopsis thaliana, gen
LEAFY (LFY) berperan sebagai pusat untuk mengintegrasikan sinyal dan meregulasi
sebagian pembungaan melalui interaksi antara TERMINAL FLOWER1 (TFL1) dan
AGAMOUS (AG). Homologi antara LFY, TFL1 dan AG mempunyai tingkat konservasi
yang tinggi pada tingkat sekuen dan menunjukkan fungsi homologi saat terekspresi
secara ektopik pada tanaman Arabidopsis transgenik. Ekspresi gen LFY dapat ditriger
atau dipacu oleh gen AGAMOUS-LIKE20 (AGL20) kemudian LFY mendorong ekspresi
gen AP1. Pada Arabidopsis, gen LFY dan AP1 mempunyai hubungan timbal balik yang
saling berpengaruh, sehingga ekspresi gen AP1 juga menstimulasi ekspresi gen LFY
atau sebaliknya (Simon et al., 1996). Di samping itu, aktifitas gen LFY dan LMI1
secara bersama-sama mempengaruhi ekspresi gen CAL (CAULIFLOWER) yang
12
berperan penentu identitas dan formasi meristem bunga (Kempin et al., 1995; Saddic et
al., 2006).
Gen AG adalah keluarga gen MADS-Box yang diperlukan dalam pembentukan
identitas organ bunga. Gen ini berperan dalam pembentukan dan perkembangan stamen
(kepala dan benang sari) dan karpela (pistil/putik). Tingkat ekspresi gen AG dapat
ditekan oleh gen lain seperti BELLRINGER (BELL) sehingga pengaruh gen AG dalam
pembentukan meristem bunga dan infloresensia menjadi terhambat (Bao et al., 2004).
Mizukami & Ma (1997), melaporkan adanya fungsi ektopik gen AG yang
mempengaruhi proses transisi SAM (shoot apical meristem) dari pertumbuhan vegetatif
ke generatif.
Dalam proses pembentukan organ bunga, terdapat beberapa gen yang saling
berinteraksi sehingga berpengaruh pada tingkat ekspresi. Lintasan atau pathway gengen pembungaan dan interaksinya dengan gen-gen lain terlihat pada Gambar 3
(Lemmetynen, 2003). Berdasar lintasan tersebut, gen LFY secara langsung dipengaruhi
GA1 dan GA24. Selanjutnya ekspresi gen LFY menginduksi ekspresi gen AP3 dan PI
yang akan menginduksi pembentukan organ petal dan stamen. Disamping itu, gen LFY
juga menstimulasi ekspresi gen AG yang akan menginduksi organ stamen dan karpel
(organ reproduktif tanaman).
13
Gambar 3. Lintasan gen-gen yang berpengaruh dalam proses pembentukan organ
bunga (Lemmetynen, 2003).
Penelitian gen-gen pembungaan pada tanaman kelapa sawit belum banyak
dilaporkan seperti pada tanaman Arabidopsis thaliana.
Hasil penelitian gen
pembungaan kelapa sawit yang telah dilaporkan adalah gen APETALA1 (AP1) (Afdal,
2007).
Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa abnormalitas buah mantel terkait
dengan akumulasi transkrip gen AP1. Pada tanaman abnormal mengakumulasi transkrip
AP1 lebih tinggi dari pada normal, namun tidak ada perbedaan sekuen nukleotida antara
gen AP1 tanaman kelapa sawit abnormal dan normal.
14
Bioinformatika
Bioinformatika
adalah
penelitian,
pengembangan
dan
aplikasi
teknik
komputasional beserta pendekatannya yang bertujuan untuk memperkaya penggunaan
data-data cabang ilmu biologi, kesehatan, dan kedokteran.
penggunaan data ini antara lain pencarian,
Ruang lingkup dari
penyimpanan,
pengorganisasian,
pengarsipan, analisis dan penyajian data (Nih, 2000). Beberapa software dan data untuk
pengolahan data bioinformatika telah tersedia di berbagai situs internet baik secara
online
seperti: www.ncbi.nlm.nih.gov; www.ebi.ac.uk; www.ddbj.nig.ac.jp dan
Primer3 maupun offline seperti: program BioEdit, NJPlot, DNA Star dan Treecon.
Penyejajaran sekuen (Sequence Alignment). Penyejajaran sekuen ditujukan untuk
menentukan apakah dua buah atau lebih sekuen mempunyai kemiripan dengan
mempertimbangkan pengaruh secara homologi.
Kemiripan adalah pengukuran
kesamaan gen secara kuantitaif dengan menggunakan metode-metode yang sesuai.
Sedangkan homologi adalah kesimpulan bahwa dua atau lebih sekuen mempunyai
hubungan evolusi (Baxevanis, 2001).
BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) merupakan salah satu data base
dan program yang sering digunakan untuk penyejajaran sekuen. Program ini dirancang
untuk mengeksplorasi semua database sekuen yang diminta baik berupa nukleotida
maupun protein. Program BLAST juga dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan
antara sekuen yang hanya berbagi daerah tertentu yang memiliki kesamaan (Biotrain,
2003). BLAST menggunakan analisis statistik untuk menghasilkan skor (bits) dan Evalue.
Skor menunjukkan tingkat keakuratan nilai penjajaran (alignment) sekuen
nukleotida atau protein yang tidak diketahui dengan sekuen nukleotida atau protein yang
terdapat dalam database. Semakin tinggi skor maka semakin tinggi tingkat homologi
kedua sekuen tersebut dan begitu pula sebaliknya. Skor dibawah 50 menunjukkan
bahwa hasil penjajaran kedua sekuen tersebut tidak dapat dipercaya.
E-value
menunjukkan nilai statistik yang signifikan dari penjajaran sekuen nukleotida atau
protein yang tidak diketahui dengan sekuen nukleotida atau protein yang terdapat dalam
database. Semakin rendah E-value maka semakin tinggi tingkat homologi kedua sekuen
dan sebaliknya. Untuk memastikan adanya homologi, E-value harus lebih rendah dari
15
e-04 (Claverie & Notredame, 2003). Variasi Program BLAST yang sering digunakan
antara lain :
BLASTn
:
membandingkan sekuen nukleotida dengan sekuen nukleotida lainnya
dalam database.
BLASTx
:
membandingkan sekuen nukleotida yang ditranslasi menjadi protein
dengan protein dalam database.
BLASTp :
membandingkan sekuen protein dengan protein dalam database.
Selain penyejajaran sekuen, masih banyak tersedia fasilitas lain yang terdapat
pada beberapa program tersebut untuk analisis bioinformatika lainnya.
Beberapa
program tersebut yang sering digunakan antara lain :
Vector Screen : membersihkan kontaminan nukleotida dari vektor hasil sekuensing.
BLAST2seq
: membandingkan atau menyejajarakan nukelotida antara dua sekuen.
Restriction map : identifikasi peta restriksi beserta daftar enzim restriksi yang dapat
digunakan pada suatu sekuen.
ClustalW
: menyejajarkan susunan nukleotida pada beberapa sekuen serta tingkat
similaritas atau tingkat kemiripan.
Phylogenetic tree:
analisis tingkat kekerabatan spesies yang ditunjukkan dengan
diagram pohon.
Reverse complement : membalik susunan nukleotida pada suatu sekuen.
Find ORF
: mencari titik ORF (open reading frame) pada suatu sekuen.
(Claverie & Notredame, 2003).
Download