Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di

advertisement
Bab 9
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik
Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
Aspek Sosial Budaya pada Bayi Baru Lahir
Kebudayaan pada bayi baru lahir ini menyebabkan banyaknya
mitos mengenai bayi baru lahir. Mitos-mitos yang lahir di masyarakat
ini kebenarannya kadang tidak masuk akal dan bahkan dapat
berbahaya bagi ibu dan bayi. Hal ini dikarenakan kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang merawat bayi baru lahir. Bayi baru
lahir normal adalah bayi baru lahir dari kehamilan yang normal.
Mitos dan Fakta Merawat Bayi Baru Lahir
Terkait dengan kebiasaan merawat bayi yang baru lahir, ada
beberapa. mitos yang dipercayai oleh masyarakat khususnya ibu hamil,
ibu bersalin serta keluarganya. Berdasarkan hasil Focus Group
Discussion (FGD) dengan Keluarga Ibu bersalin, berikut ini beberapa
mitos-mitos yang dipercayai dan berkembang di masyarakat baik di
daerah pantai maupun pegunungan, antara lain: (a) Bayi dibedong agar
kaki tidak bengkok, (b) Hidung ditarik agar mancung, (c) Bayi yang
mengalami kuning beberapa hari pasca kelahirannya harus dijemur
diruangan terbuka, (d) ASI pertama yang berwarna kekuningan
merupakan ASI yang sudah basi dan tidak baik dikonsumsi bayi, (e)
Ketika bayi demam harus dikompres air dingin.
Mitos-mitos tersebut secara teori tidak terbukti kebenarannya,
berikut ini adalah beberapa alasannya : (a) Hampir setiap bayi memiliki
kaki yang tampak bengkok, begitulah fisiologis kaki bayi, ini
disebabkan karena ia masih terbiasa dengan posisi meringkuk ketika
111
Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas
(Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah)
masih berada didalam rahim. Beberapa ibu membedong bayi untuk
melindungi dari dingin, baik karena faktor cuaca atau setelah mandi;
(b) Tidak hubungannya menarik hidung dengan mancung tidaknya
hidung, semua tergantung dari bentuk tulang hidungnya; (c) Penyakit
kuning yang diderita bayi merupakan proses alamiah dari pemecahan
sel darah ibunya yang dibantu oleh sinar matahari; (d) ASI pertama
adalah kolostrum yang mengandung zat kekebalan tubuh dan kaya
akan protein, ASI sangat tergantung bahan nutrient yang terkandung
di dalamnya; (e) Setelah dikompres, tubuh yang awalnya panas
mungkin akan terasa dingin begitu diraba, akan tetapi ini bukan
pertanda bahwa si kecil membaik. Sebaliknya suhu dingin dari
kompresan tersebut akan mengirim sinyal yang salah kepada tubuh
anak (Depkes, 1997).
Cara Merawat Bayi Baru Lahir
Perawatan bayi baru lahir dapat dilakukan dengan cara antara
lain: (a) Perawatan terhadap mata pada bayi baru lahir perlu dilakukan
karena selama di dalam kandungan, bayi belum pernah menangis,
sumber air mata belum berproduksi. sehingga salurannya masih
tertutup; (b) Perawatan terhadap hidung perlu dilakukan karena
meskipun dalam hidung punya daya pembersih sendiri dan tak perlu
perawatan khusus, jika dalam hidung terdapat cairan atau kotoran yang
keluar, maka harus dibersihkan bagian luarnya; (c) Perawatan terhadap
telinga perlu dilakukan, karena meskipun bagian dalam telinga tidak
boleh dibersihkan, kita perlu membersihkan jika kotoran itu sudah
mencapai "pintu" keluar atau setelah melewati; (d) Perawatan terhadap
Mulut, meskpun tidak perlu perawatan khusus, apalagi sampai
menggunakan kasa steril yang dibasahi air matang untuk
membersihkan endapan susu di permukaan lidah, mulut bayi tetap
harus dirawat dengan baik (Depkes, 1997).
Dalam menghadapi mitos-mitos yang telah berkembang di
masyarakat, perlu adanya suatu promosi kesehatan, salah satunya
berupa penyuluhan. Peran Bidan untuk menjelaskan apa yang
112
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
sebenarnya harus dilakukan oleh masyarakat terkhusus bagi para ibu
nifas agar dapat memberikan yang terbaik untuk sang bayi. Materi
penyuluhan ialah yang berkaitan dengan mitos-mitos yang merugikan
sedangkan kita memberikan bimbingan pada masyarakat tentang mitos
baik yang tetap diyakini agar tak ada kesalahpahaman dalam
mengartikan mitos yang ada. Karena kebudayaan antara suatu daerah
dengan daerah lainnya berbeda-beda.
Aspek Sosial Budaya yang Berhubungan Kesehatan Ibu
Hamil
Aspek budaya di kalangan masyarakat terhadap kesehatan Ibu.
Ada beberapa budaya terkait dengan hamil, misal Jawa Tengah, ibu
hamil dilarang (pantang) makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi
yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di Budaya masyarakat
Betawi, berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan
kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin (Wibowo, 1993).
Sementara budaya di daerah Subang, ibu hamil pantang makan
dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan
besar sehingga akan mempersulit persalinan. Selain ibunya kurang gizi,
berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan
untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lainlain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan
masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan (Wibowo, 1993).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran
masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan
ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan
kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya
dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan
tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi
113
Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas
(Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah)
kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan
oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan
si ibu, misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan
rahim ke posisi semula; memasukkan ramuan-ramuan seperti daundaunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah
dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu
tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar, 1996).
Aspek sosial di kalangan masyarakat terhadap kesehatan Ibu.
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya
disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat,
biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang
berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40
hari. Di samping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan
pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun
beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu
rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan
kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan
yaitu kematian atau bertahan hidup.
Penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah
perdarahan, infeksi dan eklamsia (kejang-kejang yang berlebihan).
Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan
profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.
Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan
yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan
pengambilan keputusan dalam keluarga.
Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap
perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan
kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang
seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat
persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan
dengan cepat. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan
keputusan,adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat
114
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat
dihindarkan.
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dan pelaku
pembangunan untuk mengembangkan dan mensejahterakan
masyarakat. Tujuan yang diharapkan tentu memerlukan kajian
mendalam untuk menemukan cara dan strategi yang tepat begi
masyarakat itu sendiri. Namun demikian, banyaknya kegagalan yang
dicapai bukan tidak mungkin salah satunya adalah kurang menghargai
dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan nilai-nilai dan pengetahuan lokal yang dimiliki. Merujuk
pandangan Ife (2002) tentang pengetahuan lokal diperlukan sikap mau
menerima pikiran dan pengetahuan mereka. Bagi Ife ”menghargai
pengetahuan lokal adalah sebuah komponen esensial dari setiap
pekerjaan untuk pengembangan masyarakat, termasuk di dalamnya
adalah masyarakat itu sendiri, kebutuhan dan masalah-masalahnya,
kekuatan dan kelebihan, serta ciri-ciri khasnya.
Pemaksaan nilai baru bagi suatu masyarakat akan menimbulkan
pertentangan pandangan dan cenderung masyarakat menolak melalui
cara-cara mereka sendiri. Penolakan dilakukan sebagai akibat nilai
yang bukan milik mereka harus mereka terima. Menurut Kleymeyer
(1994), bukan hanya pengetahuan lokal yang harus dihargai dalam
perspektif ”perubahan dari bawah”, suatu kebudayaan lokal masyarakat
dapat juga terkikis oleh pemaksaan nilai-nilai dominan dari luar.
Nilai dan norma yang dimiliki akan membentuk sifat dan
karakter dalam diri setiap orang di masyarakat, itulah yang kemudian
berkembang dan bertahan sebagai suatu budaya. Nilai, norma, dan
pengetahuan (positif dan negatif) yang dimiliki masyarakat bukanlah
satu-satunya media dari budaya itu sendiri, tetapi juga mungkin
tersedia peralatan (artefak) yang dikembangkan sebagai media yang
dapat dipercaya mendatangkan kekuatan dan perubahan bagi mereka.
Pemaknaan ini yang kemudian dikenal dan dipahami dengan istilah
115
Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas
(Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah)
Mitos. Pandangan Peursen (1988) tentang mitos adalah ”cerita-cerita
yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok
orang. Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan
merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia”. Melalui
mitos-mitos, manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya kekuatan
alam. Selain itu, fungsi mitos adalah ”menyadarkan manusia bahwa
kekuatan-kekuatan gaib itu ada, memberi jaminan bagi kehidupan
masa kini serta memberi pengetahuan tentang dunia”.
Ketika kita masuk dan memperbincangkan tentang budaya
yang berada pada ranah sosial sekaligus ranah individual. Maka pada
ranah sosial budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia
lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar
pertemuan insidental yang selanjutnya diadakan aturan-aturan, nilainilai, kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaankepercayaan transedental yang kesemuanya berpengaruh sekaligus
menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam
kehidupan bersama (Dayakisni dan Yuniardi, 2008). Semua tata nilai,
perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah
yang disebut sebagai budaya. Kajian yang paling mengemuka terkait
kekuatan budaya dalam relasi sosial terlihat pada penelitian yang
dilakukan Levi Strauss (Koentjaraningrat, 2007; Badcock, 2009) tentang
hubungan kekerabatan dalam perspektif antropologi.
Dalam interaksi dan relasi sosial, perubahan sosial dapat terjadi
dengan hadirnya budaya baru yang menyatu dengan budaya setempat
sehingga memungkinkan masyarakat mengalami perubahan dalam cara
pandang terhadap sesuatu hal. Demikian halnya dengan proses IMD
dan pemberian ASI eksklusif yang membuat masyarakat meninggalkan
nilai-nilai lokal (lama) dan beralih dengan pola baru karena adanya
tekanan kapitalisme yang semakin kuat. Interaksi dan relasi sosial
memungkinkan masyarakat dan individu memilih dan memutuskan
meninggalkan budaya yang telah dimiliki sebelumnya. Penyatuan
budaya yang berbeda itulah yang disebut akulturasi (Lauren, 2003).
Karena sebagian besar penduduk dunia, termasuk masyarakat kita kini
116
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
sedang menjalani pola perubahan yang terjadi dalam masyarakat
terutama ketika para aktor menolak dan atau menerima pola Inisiasi
Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif.
Strata sosial seperti adanya lapisan-lapisan di masyarakat yang
digolongkan berdasarkan status ekonomi, kedudukan dan pekerjaan,
semua ini dapat memengaruhi pemberian ASI secara eksklusif. Adanya
diskriminasi antara anak laki-laki dan perempuan yang berdampak
pada perolehan ASI, ibu lebih mengutamakan menyusui anak laki-laki
daripada anak perempuan karena adanya budaya pengutamaan anak
laki-laki (Roesli, 2005).
Selain itu, aspek gaya hidup juga merupakan salah satu dari
perilaku yang tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya dan keadaan
si ibu itu sendiri. Mengikuti teman atau orang terkemuka yang
memberikan susu botol, merasa ketinggalan jaman jika menyusui
bayinya adalah merupakan fenomena yang muncul di masyarakat.
Faktor-faktor lain yang memperkuat penggunaan susu botol adalah
pengaruh kosmetologi, gengsi supaya kelihatan lebih modern dan tidak
kalah pentingnya dari pengaruh iklan (Widodo, 2001).
Beberapa mitos yang tidak benar telah berkembang di
masyarakat terkait IMD. Berikut ini adalah beberapa mitos tersebut
beserta fakta yang benar tentang IMD (Roesli, 2005; Nakao et al.,
2008): (a) Mitos yang menyatakan bayi yang baru saja dilahirkan
adalah dalam kondisi kedinginan adalah salah, karena bayi sebenarnya
berada dalam suhu yang aman jika melakukan kontak kulit sang ibu.
Suhu payudara ibu meningkat 0,5 derajat dalam dua menit jika bayi
diletakkan di dada ibu dan kulit ibu bersifat termolegurator atau
thermal synchrony bagi suhu bayi; (b) Setelah melahirkan, ibu terlalu
lelah untuk segera menyusui bayinya adalah salah, karena seorang ibu
jarang terlalu lelah untuk memeluk bayinya segera setelah lahir.
Keluarnya oksitosin saat kontak kulit ke kulit serta saat bayi menyusu
dini membantu menenangkan ibu; (c) Tenaga kesehatan kurang
tersedia bukan masalah karena saat bayi di dada ibu, penolong
persalinan dapat melanjutkan tugasnya dan bayi dapat menemukan
sendiri payudara ibu dengan juga dapat melibatkan ayah bayi dan
117
Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas
(Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah)
keluarga terdekat untu memberi dukungan pada ibu; (d) Kamar
bersalin atau kamar operasi sibuk tidak bermasalah bagi proses IMD
karena dengan bayi di dada ibu, ibu dapat dipindahkan ke ruang pulih
atau kamar perawatan dan bayi tetap meneruskan usahanya mencapai
payudara dan menyusui dini; (e) Ibu harus dijahit tidak masalah,
karena yang dijahit adalah bagian bawah tubuh ibu sementara
kegiatan merangkak mencari payudara terjadi di area payudara; (f)
Bayi harus segera dibersihkan, dimandikan, ditimbang, dan diukur
tidak benar, karena menunda memandikan bayi berarti menghindarkan hilangnya panas badan bayi. Selain itu, vernix meresap,
melunakkan, dan melindungi kulit bayi lebih besar. Bayi dapat
dikeringkan segera setelah lahir. Penimbangan dan pengukuran dapat
ditunda sampai menyusu awal selesai; (g) Bayi kurang siaga tidak
benar, justru pada 1-2 jam pertama kelahirannya, bayi sangat siaga
(alert). Setelah itu, bayi tidur dalam jangka waktu yang lama. Jika bayi
mengantuk akibat obat yang diasup ibu, kontak kulit akan lebih
penting lagi karena bayi memerlukan bantuan lebih untuk dibonding;
(h) Kolostrum tidak keluar atau jumlah kolustrum tidak memadai
sehingga diperlukan cairan lain (cairan pre-laktal) tidak benar karena
kolustrum cukup dijadikan makanan pertama bayi baru lahir. Bayi
dilahirkan dengan membawa bekal air dan gula yang dapat dipakai
pada saat itu; (i) Kolostrum tidak baik, bahkan berbahaya untuk bayi
tidak benar karena justru kolostrum sangat diperlukan untuk tumbuh
kembang bayi. Selain sebagai imunisasi pertama dan mengurangi
kuning pada bayi baru lahir, kolostrum melindungi dan mematangkan
dinding usus yang masih muda.
Terkait dengan bagaimana praktik IMD dan pemberian ASI
eksklusif di masyarakat, ada beberapa tradisi yang telah turun temurun
dilaksanakan terkait kelahiran bayi, misalnya antara lain tradisi
membersihkan dan memandikan bayi, menggedong bayi sebelum bayi
diberi ASI yang pertama, bahkan ada juga yang memberikan makanan
seperti pisang, bubur, madu dan lain-lain kepada bayi beberapa hari
setelah kelahiran. Dari hasil penelitian baik di daerah pantai mapun
pegunungan, diperoleh hasil bahwa masih cukup banyak ibu yang
setelah melahirkan tidak langsung memberikan ASI kepada bayinya.
118
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
Alasan mereka tidak langsung segera memberikan ASI adalah merasa
masih repot, bayi masih kotor dengan darah, risih, masih takut karena
pengalaman pertama memiliki bayi dan lain sebagainya. Berikut ini
adalah petikan pernyataan responden:
“... kalau setelah lahir, kita disuruh memberikan ASI
langsung, saya merasa repot dan risih karena bayinya juga
belum dibersihkan...”
(Rahulatun, 34 tahun - tidak IMD)
”.... dari jaman dulu, bayi yang baru lahir langsung
dimandikan, sebelum diberikan ke ibunya...”
(Sumanah, 30 tahun – tidak IMD)
Pernyatan yang sama juga dikemukakan oleh bidan melalui
FGD, seperti tampak pada petikan jawaban responden berikut ini:
“... rendahnya IMD itu karena faktor budaya....”
(Indri, bidan daerah pantai)
“... bayi lahir terus dimandikan sehingga tidak langsung
disusui. Ibunya masih takut menyusui, merasa repot, dan
lain-lain... ”
(Diah, bidan daerah pantai)
“.. .bayi dibersihkan, terus diletakkan di samping ibunya.
Biasanya ibunya merasa agak repot...”
(Sriyadah, bidan daerah pegunungan)
“....jika habis dilahirkan tidak dimandikan, ibunya merasa
jijik...”
(Budi, bidan daerah pegunungan)
”... meski bidan sudah memberi informasi mengenai
pentingnya IMD, tapi pasien kadang-kadang tidak manut/
mengikuti saran bidan... mereka lebih menganut pada nenek
atau kebiasaan di lingkungannya...”
(Emi, bidan daerah pegunungan)
Keyakinan dan mitos-mitos tersebut telah mengakar dalam
budaya mereka, sehingga tidak menyadari bahwa keyakinan dan
mitos-mitos tersebut salah, dan sebagai akibatnya bayi tidak segera
119
Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas
(Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah)
diberikan ASI setelah dilahirkan. Dengan menunda pemberian ASI
tersebut bisa menyebabkan terjadinya kegagalan IMD.
Bagi ibu-ibu di Kendal, jika ASI setelah lahir tidak keluar maka
bayi langsung diberi susu formula. Bahkan banyak ibu yang mengaku
bahwa ASI nya baru keluar satu sampai tiga hari setelah melahirkan.
Berikut ini pernyataan mereka :
“Yo sampun bersih to nggih, dimandikan dulu nembe
diparingi ASI, nek bar lahir paringi susu formula riyin kan
dereng medal ASIne, kan malem, enjinge diparingi ASI”
(Surati, 29 tahun – tidak IMD)
Dalam bahasa Indonesia:
“iya sudah bersih, dimandikan dulu baru diberi ASI, setelah
kelahiran diberi susu formula dulu, sebab ASI-nya belum
keluar, karena masih malam, besuk paginya baru diberi ASI
(Surati, 29 tahun – tidak IMD)”
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Pemberian ASI
Eksklusif
Terkait dengan sosial budaya, pakar laktasi Indonesia, Roesli
(2005) menjelaskan bahwa masyarakat sering meremehkan pentingnya
pemberian ASI bahkan mempercayai mitos-mitos tentang ASI yang
sama sekali tidak benar. Pengurus Sentra Laktasi ini pun
menyayangkan anggapan masyarakat yang salah tentang penggunaan
ASI, antara lain: (a) Stres menyebabkan ASI kering, memang benar
bahwa stres dapat menyebabkan terhentinya aliran ASI, namun hal
tersebut hanya bersifat sementara. Banyak ibu-ibu yang mengaku tidak
bisa memberikan ASI karena stres atau emosinya sedang bergejolak,
terutama mereka yang mengalami bencana (Roesli, 2005). Padahal jika
seorang ibu tidak bisa mengeluarkan ASI, hal yang justru harus
dilakukan ibu adalah tetap menyusu. "Ketika seorang anak menyusu
pada ibunya, aliran darah ibu akan lancar dan hormon anti stres
(oxcytoxin) akan dikeluarkan sehingga dapat meredakan ketegangan
dan stres ibu yang akhirnya mendorong produksi ASI berjalan normal
120
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
kembali (Roesli, 2005); (b) Puting susu masuk ke dalam tidak bisa
menyusui. Anggapan yang mengatakan puting susu yang masuk tidak
bisa menyusui benar-benar harus dihilangkan. Masyarakat terutama
para ibu harus tahu bahwa anak menyusui bukan pada putingnya, tapi
pada payudara si ibu. Puting susu hanya sebuah marker saja yang
terletak pada payudara ibu. Masyarakat banyak yang menduga bahwa
ASI dikeluarkan dengan cara disedot dari puting. Pemahaman ini salah
karena yang sebenarnya terjadi adalah ASI keluar dengan cara diperah,
bukan pada putingnya tapi pada area yang berwarna hitam (Roesli,
2005); (c) Ibu dengan gizi kurang tidak mampu menyusui. Mitos ini
tidak sepenuhnya benar. Hanya ibu dengan keadaan gizi yang sangat
buruk yang tidak dapat memproduksi ASI cukup. Namun pada ibu
yang memang tidak terlalu sehat, semakin sering disusukan produksi
ASI justru akan semakin baik. Isapan bayi justru dapat merangsang
saraf otak untuk terus memproduksi hormon yang bertugas
mengeluarkan ASI (Roesli, 2005). Meski demikian, ibu menyusui harus
tetap mendapatkan makanan tambahan pula agar dapat menyusui
dengan baik (Roesli, 2005); (d) Bila menyusui terhenti tidak dapat
menyusui kembali. Anggapan bila menyusui terhenti tidak dapat
menyusui kembali adalah salah karena pada hakikatnya menyusui
kembali setelah terhenti sementara tetap dapat dilakukan. Teknik yang
dilakukan disebut dengan teknik relaktasi. ASI yang sudah lama tidak
diproduksi dapat dirangsang kembali meskipun sudah lama tidak
menyusui (Roesli, 2005). ASI tidak akan pernah basi, jika tidak
dikeluarkan maka tubuh akan menyerapnya kembali, dan ketika
dibutuhkan maka akan keluar lagi. Teknik relaktasi ini akan membantu
para ibu agar dapat menyusui kembali dengan menggunakan
modifikasi alat bantu menyusui (Roesli, 2005); (e) Ibu yang sedang
sakit dapat menularkan sakitnya Melalui ASI. Anggapan seperti ini
salah, kecuali ibu yang punya penyakit berat seperti HIV atau hepatitis.
Seorang ibu yang sedang sakit, contohnya flu tidak akan menularkan
sakitnya pada si anak karena dalam ASI sendiri terkandung antibodi
yang merupakan inhibitor untuk virus atau bakteri (Roesli, 2005); (f)
Bayi sedang diare perlu cairan tambahan seperti air dan teh. Anggapan
ini salah karena bayi yang diare tidak perlu diberi cairan lain karena
121
Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas
(Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah)
ASI mengandung 90 persen cairan yang dibutuhkan untuk bayi.
Pemberian cairan lain bisa berbahaya karena dalam keadaan darurat
seringkali terkontaminasi yang justru dapat memperparah diarenya
(Roesli, 2005).
Selain itu, ditemukan pula beberapa alasan lain dari ibu bayi yang
tidak bisa memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, sebagaimana
tampak pada petikan pernyataan berikut:
“... sepulang dari bidan, terkadang ibu bayi langsung
meminumkan madu kepada bayinya yang baru lahir...”
(Rahulatun, 24 tahun, tidak ASI eksklusif)
”... bayi yang sudah kira-kira berumur sekitar 1 bulan, diberi
nasi diaduk dengan pisang...”
(Rukinah ibu dari Rahulatun, 54 tahun, tidak ASI eksklusif)
“... setelah sebulan, diberi makanan tambahan bisa nasi,
bubur atau yang lain....”
(Ngatinah/nenek bayi, tidak ASI eksklusif)
“.... zaman sekarang bayi diberi susu formula, sebelum puput
diberi nasi diulet dengan pisang”. “Setelah selapan, diberi
cerelac terutama jika anak dikira kurang makan.....”
(Sumiyem/nenek bayi, 58 tahun, kelompok 2)
“... kalau di sini, biasanya bayi yang baru lahir diberi degan
dan setelah sebulan, diberi makan nasi dicampur gendis jawi
(gula jawa)...
(Sriyanti, 53 tahun, kelompok 2)
Hasil FGD bidan-bidan dari dua wilayah tersebut, juga
didapatkan alasan yang hampir sama terkait kegagalan ASI eksklusif,
yaitu antara lain takut bayi kelaparan, bayi rewel, takut ASI tidak
cukup, dan sebagainya:
“... bayi ditinggal bekerja....”
(Budi, bidan daerah pegunungan)
“... ibu bayi memiliki keyakinan, susu formula diberikan agar
bayi lebih terjamin makanannya...”
(Diah, bidan daerah pantai)
122
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
“... ibu bayi menyatakan, daripada bayi rewel ya, diberi susu
formula atau makanan tambahan lainnya...”
(Indri, bidan daerah pantai)
“... masyarakat takut bayinya kurang makanan, akhirnya
diberi pisang atau makanan lain...”
“... ibu yang tidak bisa ASI eksklusif tidak bisa dipaksa...”
(dokter puskesmas, daerah pantai)
Hasil penelitian menunjukkan beberapa alasan dan mitos yang
menghambat upaya Inisiasi Menyusu Dini, antara lain ibu merasa
repot, risih karena prosedur Inisiasi Menyusu Dini dilakukan dengan
cara meletakkan bayinya di tubuh ibu tanpa bayi dimandikan terlebih
dahulu. Beberapa ibu juga merasa jijik. Selanjutnya dengan berbagai
alasan tersebut ibu atau mertua atau nenek memilih untuk tidak
melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Mereka juga beranggapan selama ini
dengan pola yang mereka yakini anak-anaknya terbukti dapat tetap
tumbuh dengan sehat.
Ulasan tersebut di atas menggambarkan bahwa Inisiasi
Menyusu Dini tidak memiliki akar budaya yang kuat. Hal ini berbeda
dengan yang terjadi misalnya di Nepal. Penelitian Sudha (1981) di
Nepal menunjukkan keberhasilan Inisiasi Menyusu Dini dikarenakan
adanya warisan kearifan lokal, adanya keyakinan akan pentingnya
IMD. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka harus membayar ASI
yang diberikan ibunya dulu dengan cara memberikan ASInya kepada
bayinya. Ada unsur norma, budaya, dan religius yang terlibat dalam
praktik menyusu dini. Hal ini berbeda dengan masyarakat di lokasi
penelitian ini. Tampaknya norma yang mereka yakini justru tidak
mendukung upaya IMD. Oleh karena itu perlu adanya propaganda dari
pemerintah agar IMD dapat menjadi sesuatu yang membanggakan
apabila dilakukan oleh ibu kepada bayinya.
Pentingnya propaganda dalam upaya meningkatkan praktik
IMD ini juga disampaikan oleh Dearden et al. (2002a), 2002b), dalam
penelitiannya di Guatemala, mereka menyadari cakupan IMD yang
rendah disebabkan karena kurangnya dukungan masyarakat dalam
123
Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas
(Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah)
upaya IMD. Oleh karena itu, dukungan moral yang berbasis dari
masyarakat sangat diperlukan untuk terlaksananya IMD. Hal ini
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan pula cakupan ASI ekslusif.
Berbeda dengan norma dan budaya terkait pelaksanaan IMD,
pada upaya pemberian ASI eksklusif norma budaya yang berkembang
dalam masyarakat cukup mendukung. Dalam FGD hampir semua ibu
termasuk nenek atau mertua meyakini akan manfaat ASI terhadap
kesehatan anaknya. Namun terdapat faktor yang dapat menggagalkan
upaya pemberian ASI secara eksklusif, yaitu status pekerjaan ibu.
Beberapa ibu dalam FGD menyatakan sulit rasanya untuk bisa
memberikan ASI secara ekslusif sampai bayi berusia 6 bulan sementara
ibu juga harus bekerja. Hasil penelitian ini tampak merupakan
fenomena yang terjadi tidak saja di Indonesia, dibelahan dunia yang
lain, khususnya negara miskin tampaknya keadaan yang sama juga
terjadi. Penelitian Singh (2010) di Ghana misalnya, menunjukkan
rendahnya cakupan ASI ekskulsif juga salah satunya disebabkan karena
pekerjaan ibu. Pada umumnya ibu yang bekerja mendapat kesempatan
cuti melahirkan 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Sementara
itu kebijakan perusahaan tempat ibu bekerja tidak menyediakan
peluang untuk ibu memberikan ASI kepada bayinya. Sehingga pada
akhirnya upaya pemberian ASI secara eksklusif sampai 6 bulan tidak
dapat tercapai.
Adanya fenomena tidak terpenuhinya kebutuhan gizi bayi
karena minimnya akses ibu yang bekerja untuk menyusui bayinya,
ditangkap oleh industri susu formula sebagai prospek usaha. Ulasan
Annette & Amir (2007) menunjukkan bahwa susu infant formula
sering menunjukkan propaganda kepada masyarakat akan kelengkapan
kandungan gizinya yang menyerupai ASI. Hal ini kemudian ditangkap
oleh ibu atau keluarga khususnya yang secara finansial cukup kuat
untuk membelinya. Bahkan dalam praktik pemilihan susu infant
formula oleh sebagian keluarga telah menjadi bagian dari upaya
menunjukkan identitas status sosial keluarga. Banyak keluarga yang
dengan bangga menceritakan kepada khalayak bahwa mereka telah
124
Aspek Sosial Budaya dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
memilih susu formula yang terbaik gizinya dan termahal untuk
diberikan kepada bayinya. Ungkapan ini mengandung makna pilihan
akan susu formula rupa-rupanya dapat menjadi penegas akan status
sosial mereka.
125
Download