MENJADI O GOMANGA

advertisement
MENJADI O GOMANGA
Manusia Tidak Mati Seutuhnya dalam Logika-Religius-Lokal Orang Halmahera
(Khusus Subetnis Tobelo-Loloda-Galela-Tobaru)1
Oleh : Pdt. Dr. Julianus Mojau
Abstract
Most of the Indonesian people have some traditional believes as a spiritual tradition that is still
conserved from generation to generation, and this kind of thing is also owned by the Halmahera
people. Long time before Christianity and Moeslem came to Halmahera, the spiritual believe
had its own root in the people heart and mind, and it is still there until now. The spiritual believe
is not a theological or religion knowledge that is taught from the Holy Book (Bible) by the
missionary, but it had led the traditional people of Halmahera to live in a good morality. This
written is about local religius logical or local theological believe about the continuity of life
after the death of men from four ethnic groups in Halmahera; Tobelo, Loloda, Galela and
Tobaru.
1. Pengantar
Saya bersyukur karena sekalipun cukup lama mengambil jarak dari akar kehidupan keHalmahera-an saya, namun sari-sari dari keyakinan teologis lokal orang Halmahera yang sudah
tertanam semasa kecil tidak sepenuhnya hilang. Sebenarnya sari-sari keyakinan teologis lokal
orang-orang Halmahera tersebut masih sangat kuat juga mempengaruhi sebagian besar warga
jemaat GMIH di desa-desa. Ini nyata dari percakapan-percakapan saya di lapangan saat
melakukan penelitian tentang pengaruh keyakinan teologis lokal di kalangan warga jemaat
GMIH dalam rangka upaya merumuskan pemahaman iman GMIH yang kontekstual. Apa yang
saya temukan di lapangan ialah banyak warga jemaat hidup dalam kepribadian yang terbelah
(split-personality). Di satu pihak, secara terang-terangan menampakan diri sebagai pribadi
penganut setia iman Kristen; dan secara diam-diam tetap juga mempraktikkan keyakinan teologis
lokal di pihak lain! Jadi, hidup dalam dualisme keyakinan religius! Saya kira dualisme ini perlu
diakhiri!
Orang-orang Halmahera (khususnya dari subetnis: Tobelo-Loloda-Galela-Tobaru2; selanjutnya
dalam karangan ini saya sebut: orang Halmahera)--- seperti halnya komunitas suku-suku lokal
lain di Indonesia---selalu menghayati pergulatan kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari
kesadaran religiusitas yang mereka anut. Apa yang selama ini kita sebut sebagai bentuk-bentuk
penghayatan spiritual kekafiran lokal seperti percaya bahwa tempat-tempat tertentu ada
penjaganya (de madutu oka; bhs. Loloda/Tobelo) atau isyarat-isyarat simbolis seperti kupu-kupu
masuk ke dalam rumah sebagai penanda akan dikunjungi oleh tamu atau bunyi cecak ketika
seseorang sedang merencakan sesuatu dalam jalan hidupnya (ma niata/Loloda atau ho
maniata/Tobelo) sebagai penanda perlu evaluasi-diri sesungguhnya mencerminkan “injil-lokal”
yang dapat memandu seseorang dalam komunitas suku orang Halmahera untuk menjalani
kehidupan sehari-hari secara baik3.
Dalam sharing ini saya akan membagikan kepada rekan-rekan logika-religius-lokal atau
keyakinan teologis lokal orang Halmahera dari keempat subetnis di Halmahera tentang
kontinuitas kehidupan manusia setelah pejiarahan dalam pentas sejarah ragawi, yang selama ini
kita sebut dengan kematian manusia.
2. Manusia Tidak Mati Seutuhnya!
Saya beruntung karena setelah kurang lebih dua puluh tahun meninggalkan pulau Halmahera,
baik secara fisik maupun emosional, beberapa tahun lalu kami sekeluarga kembali ke Halmahera
dan masih sempat bersama-sama dengan ibu saya yang sudah berusia 92 tahun. Selama kurang
lebih satu tahun bersama dengan Ibu, saya banyak belajar dari Ibu saya tentang logika-religiuslokal orang Halmahera tentang kemanakah manusia setelah mengakhiri hidupnya dalam pentas
sejarah ragawi ini?
Dari Ibu saya dan juga beberapa orang tua lain di desa-desa di Halmahera saya diingatkan bahwa
di kalangan orang Halmahera tidak mengenal sebutan “mati ”, apalagi “mati seutuhnya” bagi
manusia. Sebutan yang biasa bagi manusia ialah “dia telah berpulang atau kembali ke asalnya”.
Dalam tuturan bahasa daerah hal itu sangat jelas. Ketika mereka mendengar kabar “duka” secara
spontan mereka akan mengatakan bahwa “una/muda o/mo ma singilioka”( Loloda); artinya:
“dia (laki-laki/perempuan) telah kembali ke asalnya”. Saya ingat benar bahwa dulu di desa kami,
Ngajam-Dorume (Loloda), penyebutan seperti ini sangat lazim. Memang hal ini khusus berlaku
bagi orang tua-tua atau biasa dalam bahasa daerah disebut bobereki yang memiliki peranan
penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat desa/kampung setempat. Sementara untuk
anak-anak dikenal dengan sebutan “sudah hilang” (una/muna o/mo ijanga ka; artinya: dia lakilaki atau perempuan sudah hilang)4. Dengan logika-religius-lokal seperti itu “nama-diri” di
kalangan orang Halmahera juga selalu berakhir dengan huruf hidup. Nama panggilan saya Nus
atau Julianus, misalnya, dalam lafalisasi orang tua-tua Halmahera akan selalu melafalkan
menjadi “Nusu” atau “Julianusu.” Juga dalam hal marga asli orang Halmahera selalu berakhir
dengan huruf hidup. Dalam beberapa kasus di lapangan saya temui bahwa ada marga orang
Halmahera asli berakhir dengan huruf mati seperti marga Thomas dari subetnis Galela. Setelah
saya telusuri ternyata marga itu diberikan oleh Zendeling saat dibaptis sekitar tahun 1890-an.
Marga asli mereka adalah Nali; berarti: gembira/kegembiraan5.
Kini, ibu saya itu, telah kembali ke asal dari mana ia datang atau dalam terminologi Kristiani
kembali ke pangkuan Bapa (dan juga Ibu?) di Sorga di Minggu Prapaskah II tahun 2007. Kami
sekeluarga bersyukur karena hingga ia menutup mata ragawinya, mata hatinya (kesadaran
dirinya) tetap kuat. Ia tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti membuat kebun di halaman
rumah dan juga dapat berkomunikasi secara baik dengan kami, hingga kami tidak menyadari
bahwa ia telah kembali ke kehidupan asalnya dari mana ia berasal. Cece (cicit) sulungnya yang
sedang berbaring di sampingnya pun tidak menyadarinya. Dengan keyakinan teologis lokal
seperti dijelaskan di atas maka ketika kami melepaskan dengan ikhlas ibu kami untuk kembali
kepada kehidupan dari mana ia berasal, saya mewakili anak-cucu-cecenya, menulis
pengahayatan keyakinan teologis saya yang masih diwarnai keyakinan teologis lokal orang
Halmahera untuk mengiringi perjalanan Ibu kami itu di hadapan Sidang Jemaat yang hadir
menghantar kepergiannyanya,
.........sambil mengingat-ingat seluruh jerih-lelah orang tua kami dalam membesarkan dan
mendidik kami agar menjalani kehidupan ini secara berarti, kami melepaskan dengan
ikhlas perjalanan mama kami, nenek kami, dan poja kami, kembali ke dalam pangkuan
Sang Sumber Kehidupan, Yesus Kristus, Tuhan kita!! Selamat Jalan mama, nenek dan
poja, kami tidak lupa jerih-lelahmu yang membuat kami menjadi manusia dalam
peziarahan sejarah kehidupan ragawi ini!! Biarlah kami belajar daripadamu ketabahan
hidup memanggul salib yang menghidupkan dan memberdayakan kami anak-cucu-cece
dan orang lain! Karena itu, dalam penghayatan minggu prapaskah ini, minggu-minggu
menghayati salib Kristus, salib kehidupan itu, kami anak-cucu-cecemu mengikhlaskan
engkau kembali kehidupan yang abadi dalam Kristus Yesus, Tuhan kita! Dan
sampaikanlah doa dan salam kami kepada SANG PEMILIK KEHIDUPAN INI, agar
kami dapat meneruskan jerih-lelahmu yang memberi kehidupan! Selamat jalan mama,
nenek dan poja! Engkau tidak pernah mati bagi kami, engkau tetap hidup dalam iman
dan karya-bakti kami, kini dan sepanjang masa!
Apa yang ingin saya katakan dari kutipan di atas bahwa saya dan juga sebenarnya di alam bawah
sadar saudara/i saya (karena pengaruh keyakinan teologis lokal agama lokal orang Halmahera),
Ibu kami itu tetap hidup. Kami (paling tidak untuk saya dan istri saya) terus menghayati bahwa
hingga sekarang ini Ibu kami itu masih tetap hidup dan selalu mengunjungi kami melalui isyaratisyarat tertentu. Tanggal 14 Maret 2008 lalu ketika kami seluruh anak dan cucu-cecenya
berkumpul memperingati satu tahun ia meninggalkan kami dari dalam sejarah ragawi ini, ia
kembali menampakan dirinya kepada istri saya yang sedang mempersiapkan diri dan memimpin
ibadah keluarga kami (kebetulan istri saya juga seorang pendeta) dalam bentuk isyarat tertentu
melalui penciuman istri saya. Istri saya bertutur kepada saya: Nus, saya tadi merasakan
kehadiran mama, saat saya mempersiapkan diri dan sedang memimpin ibadah. Cerita istri saya
ini semakin meyakinkan saya bahwa hingga sekarang ini ibu saya itu dan juga ayah saya6 tetap
hidup, tidak mati seutuhnya seperti pandangan teologis yang terdapat dalam Pengakuan Iman
salah satu Gereja di Indonesia7.
Dalam hal ini saya berpendapat keyakinan teologis tentang communio sanctorum sebagaimana
dipahami oleh Kekristenan pra-Pencerahan lebih menolong untuk mengapresiasi keyakinan
teologis lokal di kalangan orang-orang Kristen Halmahera. Juga dengan adanya epistemologi
post-modernisme dan post-kolonial dapat membantu kita lebih apresiatif terhadap keyakinan
teologis lokal atau logikal-religius-lokal orang-orang Halmahera ini. Dalam hal ini saya
sebenarnya mendorong agar ungkapan: dia telah kembali ke rumah Bapa (juga Ibu?)
sebagaimana lazimnya seringkali diucapkan di kalangan orang Kristen dengan mengacu kepada
kesaksian Injil Yohanes 14:2-3 harus lebih ditekankan. Yesus sendiri ketika mau dihukum mati
(baca: menghabiskan kehidupan Yesus) Ia berdoa: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan
nyawa-Ku” (Lukas 23:46). Doa penyerahan Yesus ini menggarisbawahi bahwa kehidupan
manusia tidak pernah akan diakhiri oleh siapa pun juga dan kuasa mana pun juga. Sebenarnya
ini adalah sifat hakiki dari keyakinan teologis Kristiani. Sebab, demikian pandangan saya, bahwa
kematian dalam iman Kristiani sebenarnya lebih menunjuk kepada ketidakadaannya relasi atau
tidak intensifnya relasi manusia dengan Allah dan sesamanya. Dan keyakinan teologis
Alkitabiah ini sebenarnya tidak bertentangan dengan keyakinan teologis lokal orang-orang
Halmahera tadi.
3. Menjadi O Gomanga
Tidak begitu jelas asal-usul manusia di kalangan orang Halmahera. Tidak seperti cerita
penciptaan manusia dalam alkitab bahwa manusia itu dibentuk dari debu tanah dan diberi
kehidupan oleh Allah seperti kesaksian Kejadian 2:7. Kelihatannya, tradisi iman orang
Halmahera tentang manusia, lebih dekat kepada versi penciptaan manusia dalam kesaksian
Kejadian 1:26-28. Dalam versi ini hanya ditegaskan bahwa manusia itu, baik laki-laki maupun
perempuan, diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Versi ini tidak menjelaskan manusia itu
diciptakan/dibentuk dari suatu bahan ciptaan Allah tertentu sebagaimana dalam versi penciptaan
manusia seperti kesaksian Kejadian 2:7 tadi. Seperti dalam tradisi iman orang Halmahera sendiri
tidak menjadi penting manusia itu berasal dari apa. Yang jelas ada pengakuan bahwa manusia
dalam pentas sejarah ragawi tidak jadi dari dirinya sendiri. Hal itu untuk menjelaskan bahwa
manusia dalam pentas sejarah ragawi itu memiliki keterbatasan! Juga manusia bukanlah unsur
tunggal. Manusia terdiri atas beberapa unsur. Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Manusia
barulah disebut sebagai manusia apabila memiliki tiga unsur tadi. Hal ini juga cukup ditekankan
dalam pandangan antropologis orang Halmahera. Manusia dipahami terdiri dari tiga unsur
pokok, yaitu: o rohe/o roese (Tobelo/Loloda), o gikiri, o gurumini (Tobelo/Lolodai. O rohe/roese
berarti tubuh fisik atau badan jasmani manusia. Sedangkan o gikiri yang berarti nyawa, adalah
sesuatu yang terdapat dalam tubuh manusia dan yang menyebabkan manusia itu dapat bergerak
atau adanya kehidupan pada manusia. Dan o gurumini merupakan jiwa, semangat, martabat dan
harga diri yang melekat pada kehidupan setiap manusia8.
Antropologi orang Halmahera menegaskan bahwa seseorang setelah mengakhiri peziarahan di
pentas sejarah ragawi rohnya akan tetap hidup dan selalu punya hubungan dengan mereka yang
masih hidup secara ragawi. Tidak mati seutuhnya sebagaimana ditekankan pengertian kematian
dalam keyakinan teologis antropologi Kristen-Alkitabiah Aufklärung seperti nyata dalam
pengakuan iman Gereja Toraja (misalnya)9. Di sini kita diingatkan kepada keyakinan teologis
Kristen-Alkitabiah sebagaimana ditekankan dalam kesaksian Pengkhotbah 12:7. Di sana cukup
jelas bahwa jasad manusia yang berasal dari debu tanah kembali ke tanah dan rohnya kembali
kepada asalnya, yaitu: Allah. Hanya tidak dijelaskan lebih jauh apakah dengan demikian roh
manusia itu menjadi Allah. Tampaknya penulis alkitab tidak berminat menjelaskan hal itu lebih
jauh. Hal ini berbeda dengan logika-religius-lokal orang Halmahera. Dalam logika-religius-lokal
orang Halmahera ketika seseorang meninggalkan pentas sejarah ragawi, gikiri (nyawa) dan
gurumini(martabat dan harga diri) orang tadi meninggalkan rohe/roese (jasad/tubuh manusia)
itu untuk menjadi o gomanga. O Gomanga adalah roh leluhur orang Halmahera yang memiliki
kuasa atas kehidupan manusia dan masa depannya. Dengan menjadi O Gomanga setiap orang
Halmahera yang masih hidup dalam pentas sejarah ragawi wajib memelihara dengan baik
gomanga atau roh leluhur itu, dan hal ini hanya berlaku bagi mereka yang dituakan atau yang
biasa disebut dalam bahasa daerah : Bereki atau Balu-baluhu/su.
Karena itu pula di kalangan orang Halmahera pra-Kristen ketika orang yang paling dituakan (
disebut: ma bereki) dalam keluarga atau masyarakat desa/kampung meninggal dunia perlu
dipestakan, yang biasa disebut dengan pesta Kapalang, yaitu: pesta syukur! Pesta syukur ini
mempunyai ritual tersendiri. Dan biasanya akan dilakukan jika anak-cucu telah cukup sukses
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, pesta syukur tersebut, pada dirinya mengandung daya-juang
atau semacam pemberi motivasi untuk mengembangkan kehidupan lebih baik secara material.
Dalam kaitan dengan keyakinan ini maka ketika orang yang dituakan meninggal dunia tidak
akan ditangisi dalam pengertian kesedihan hati yang diliputi sikap pesimistis; sebaliknya,
tanggisan sebagai wujud-kesadaran dan evaluasi diri sendiri, apakah seorang anak atau cucu
atau cece itu akan sanggup menjalani kehidupan ini secara emansipatoris?
Pemeliharaan yang baik terhadap gomanga leluhur, baik berupa pembuatan sesajian dan
pemeliharan tempat jasad mereka diletakkan, diyakini akan memberi perlindungan, keamanan,
pembimbing dan penasehat yang baik dalam kehidupan sehari-hari10. Dan gomanga yang
dipelihara yang baik itu akan menjadi O Gomanga Ma Oa (roh leluhur yang baik hati) yang
dapat mendatangkan berkat dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, gomanga leluhur yang
tidak dipelihara dengan baik, dapat menjadi O Gomanga Ma Dorou (roh leluhur yang menjadi
jahat) sehingga akan mendatangkan malapetaka dalam kehidupan sehari-hari11. Di sini jelas
bahwa gomanga dapat berfungsi sebagai perantara antara manusia dalam kehidupan sehari-hari
dengan O Gikiri Moi atau Roh Leluhur Tertinggi Yang Mempersatukan semua gomanga sebagai
sumber kehidupan dan berkat. Bertolak dari pengertian ini, James Haire dalam studinya tentang
perjumpaan Kekristenan dan Kebuadayaan Halmahera, sekalipun dengan beberapa catatan kritis
bertolak dari Kristologi Chalcedonian, menunjukkan bahwa dalam pergumulan panjang Gereja
Halmahera (sekarang ini GMIH) sambil menekankan teks-teks Perjanjian Baru seperti Ibrani 12;
Roma 12:3-8; 1 Korintus 12:12-30; Efesus 1:22-23 atau Kolose 1:18-20, berusaha
menghubungkan gomanga orang Kristen Halmahera dengan gomanga Kristus, dengan tiba pada
kesimpulan bahwa Roh Kristus sebagai O Gomanga Agung atau Roh Orang Mati yang Sulung12.
Saya lebih senang memakai sebutan Gomanga Kristus tanpa kata sifat mati. Sebab, secara
prinsipil, tujuan hidup manusia dalam konsep orang-orang Halmahera bukan “the end” (akhir),
melainkan “the change” (perubahan). Dengan menekankan sebutan ma bereki ai (lakilaki)/ami(perempuan) gomanga akan memberi inspirasi kepada kita bahwa sesungguhnya Allah
yang memperkenalkan diri dalam Yesus Kristus adalah Orang Tua kita, Bapa sekaligus Ibu
kita sebagaimana nuansa keyakinan teologis yang dicerminkan dalam kesaksian Kitab Yesaya
(bdk. Yesaya 46:3-4).
Sampai sekarang ini tradisi iman ini sebenarnya masih diteruskan oleh orang-orang Kristen
Halmahera. Ziarah ke makam pada saat-saat tertentu di kalangan orang-orang Kristen
Halmahera sangat terkait dengan keyakinan teologis lokal mereka sebagaimana dijelaskan di atas
ini. Mereka tidak sekedar mengingat dan menghormati orang tua mereka dalam pengertian
sekedar tata-krama sopan santuan sebagaimana pandangan orang-orang Halmahera Kristen.
Orang Kristen Halmahera berbeda dari orang Halmahera Kristen. Jika dikalangan orang-orang
Halmahera Kristen tradisi ziarah ke makam hanyalah sekedar tata-krama sopan santun
mengingat dan menghormati orang tua yang telah lebih dulu meninggal dunia, maka bagi orangorang Kristen Halmahera ziarah ke makam adalah suatu kegiatan keagamaan yang lahir dari
keyakinan teologis lokal sebagaimana dijelaskan di atas ini. Warna Kekristenan orang-orang
Kristen Halmahera adalah Kekristenan yang sangat dijiwai oleh keyakinan teologis lokal itu.
Saya pribadi masih mempunyai penghayatan spiritual atau keyakinan teologis seperti itu. Untuk
saat-saat tertentu saya masih sering mengunjungi makam ibu saya atau ayah saya atau nenek
saya sambil melakukan percakapan batin dengan mereka untuk memohon hikmat dari mereka.
Saya melakukan itu, karena saya yakin, bahwa mereka adalah manifestasi Allah pemberi
kehidupan dan masa depan sama seperti disaksikan oleh Alkitab Perjanjian Lama. Bagi saya
Allah yang kita kenal sekarang ini sebagai TUHAN
Allah atau YAHWEH
yang
13
memperkenalkan diri kepada Musa sebagai Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub pada
saat pemanggilan Musa menjadi utusan untuk membebaskan bangsa Israel dari tanah
perbudakan di Mesir (lihat Keluaran 3:14-15) tidak lain dari Roh Abraham, Roh Ishak, dan Roh
Yakub yang telah menjadi O Gomanga, Pelindung, Penasehat dan Pemberi Hikmat dalam
kehidupan sehari-hari anak-cucu-cece mereka dalam memperjuangkan kehidupan sehari-hari
mereka untuk lebih bermartabat dan manusiawi. Dalam hal ini, saya ingin menekankan, bahwa
oleh kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus, semua gomanga orang percaya telah
memperoleh kekekalan/keabadian dalam Gomanga Yesus Kristus (bdk. Roma 6:23b). Dan
semua gomanga orang percaya yang telah memperoleh kekekalan dalam Gomanga Yesus kristus
adalah O Gomanga Ma Oa, Roh Yang Baik, yang dapat memberi perlindungan, nasehat, dan
memberi semangat untuk berkarya yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari!
4. Penutup
Sayang sekali, sekarang ini, orang-orang Halmahera Kristen, artinya orang-orang Halmahera
yang telah dikonversi ke dalam Kekristenan khas Gereja Zending--- termasuk dalam akta-akta
gerejawi GMIH sekarang ini--- tidak lagi nyata keyakinan teologis lokal orang-orang Halmahera
sebagaimana diuraikan di atas. Keyakinan teologis lokal atau dapat juga disebut sebagai logikareligius-lokal itu telah dikikis habis oleh logika antropologi Kristen-Alkitabiah Aufklärung yang
berusaha menjelaskan kematian manusia sebagai kematian seutuhnya: tubuh, jiwa dan roh,
sehingga menjadi akhir dari segala-galanya.
Logika antropologi Kristen-Alkitabiah Aufklärung pastilah menilai teologi operatif sebagaimana
diurakan di atas dicap sebagai cerita yang tidak masuk akal. Memang benar teologi operatif di
atas ini adalah hal yang tidak masuk akal bagi mereka yang cara berpikirnya sepenuhnya telah
dikendalikan oleh kebudayaan teknokratis sebagai anak-kandung rasionalisme dan modernisme
yang telah membuat manusia menjadi apa yang oleh Herbert Marcuse dalam bukunya: One
Dimensional Man (Routledge & Keengan Paul, 197) disebut: manusia satu dimensi saja!
Rasionalisme dan modernisme telah menguras roh manusia sedemikian rupa dengan logikamatematis-mekanistik yang menjadikan manusia modern menjadi manusia-manusia keringkerontang secara spiritual. Lalu, dalam kegersangan itulah, mereka tidak punya pilihan lain
kecuali meneguk berkali-kali air dari selokan-busuk spiritualitas masyarakat konsumerisme
dalam bentuk spiritualitas teologi sukses. Untuk mengimbangi (jadi tidak membuang) hal
epistemologi antropologi teologi Alkitabiah Barat yang sangat dipengaruhi oleh epistemologi
Aufklärung kita perlu mempertajam pendengaran kita mendengarkan cerita-cerita dari dan di
antara orang-orang lokal yang memiliki kekayaan dan kedalaman spiritual mereka dalam
memperjuangkan kehidupan sehari-hari mereka untuk lebih sehat, baik secara ekonomi, sosial,
budaya dan politik! Namun ketajaman pendengaran kita itu hanya dimungkinkan kalau kita juga
mau menyadari dan menghargai bahwa mereka memiliki logika epistemologi sendiri, yang
berbeda dari logika epistemologi Kekristenan Alkitabiah Aufklärung.
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya bagikan. Saya sadar bahwa apa yang saya
bagikan ini jauh dari memuaskan dan masih dapat diperdebatkan. Namun kiranya eksperimen
berteologi dari titik tolak keyakinan teologis lokal ini dapat mengatasi hidup dalam dualisme
keyakinan religius di kalangan warga jemaat GMIH! Sekian dan terima kasih!!
CATATAN AKHIR
1. Bahan sharing pada Seminar Teologi Lokal yang dilaksanakan oleh Yayasan Percik
Salatiga dalam kerjasama dengan Sinode GKJ, tanggal, 14-15 April 2008, dengan tema:
Berteologi Lokal dan Agama Suku, di Kampung Percik-Salatiga.
2. Saya selalu menyebut Tobelo-Loloda-Galela-Tobaru sebagai sub-sub etnis/suku dari satu
etnis/suku Halmahera. Saya selalu menyebutkan seperti itu karena pada prinsipnya dalam hal
adat-istiadat dan juga keyakinan teologis lokal keempat subetnis ini mempunyai kesamaan
yang besar.
3. Bagi saya cerita-cerita atau kesaksian dalam alkitab sebagai berita yang mengandung Injil
adalah injil lokal Yahudi-Yunani. Seharusnya Injil lokal Yahudi-Yunani ini tidak boleh
dilihat sebagai berita Injil yang paling dominant sebagaimana diperkembangkan dalam
teologi Kristen selama ini. Sebab, sejumlah cerita lokal dalam agama suku di Halmahera,
misalnya, sebenarnya juga mengandung berita Injil juga. Lihat J. Mojau, “Religiositas
Masyarakat Halmahera Tradisional dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Mereka Seharihari: Sebuah Pertimbangan untuk Pengembangan Teologi operatif Lokal”, dalam Asnath N.
Natar, dkk (Peny.), Teologi Operatif: Berteologi dalam Konteks Kehidupan Yang Pluralistik
di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 81-93.
4. Dadinyawa Maraurate, Wawancara, Agustus 2006 s/d Januari 2007. Juga dengan lima
responden lain di Desa Ngajam-Dorume, Loloda, November 2006.
5. Ph. Thomas, Wawancara, 20 April, 2007.
6. Ayah saya meninggalkan dunia ragawi lebih dulu dari Ibu saya. Saat itu saya masih kecil dan
belum memiliki kesadaran teologis yang berkembang secara kontekstual. Namun, sejak saya
beranjak dewasa Ibu saya selalu menasehati agar saya jangan lupa mengunjungi “tempat
jasad ayah diletakan” dan harus selalu membangun komunikasi. Itulah sebabnya setiap kali
saya berlibur ke desa kami saat sekolah di SMU di Kota, Ibu saya selalu mengingatakan hal
itu. Saya tidak tahu mengapa Ibu saya menasehatkan hal itu. Sekalipun demikian saya tetap
merasa ada sesuatu yang kurang jika tidak mengikuti nasehat Ibu saya itu. Baru setelah
mendalami teologi kontekstual saya menjadi sadar kebenaran iman atau keyakinan teologis
Ibu saya itu.
7. Misalnya Pengakuan Gereja Torja. Dalam pengakuan Gereja Toraja ditegaskan bahwa
manusia mati seutuhnya, tubuh, jiwa dan roh! Sebenarnya pengakuan ini bertentangan
dengan logika-religius-lokal orang Toraja sendiri tentang konsep ‘membali puang”. Tetapi
rupanya memang Pengakuan ini dibuat untuk menjawab masalah konsep “membali puang”
itu. Saya sebenarnya --- selama mengajar di STT INTIM Makassar--- dalam beberapa
kesempatan di beberapa jemaat Gereja Toraja di Makassar dan juga dalam kelas Dogmatika
di STT INTIM Makassar pernah mendorong agar meninjau kembali Pengakuan Gereja
Toraja tentang konsep manusia mati seutuhnya itu karena bertentangan dengan logikareligius-lokal orang Toraja itu sendiri. Saya tidak lagi tahu perkembangan terakhir (paling
tidak dua tahun terakhir ini), namun sejauh saya tahu bahwa, ada suatu disertasi tentang hal
ini. Namun saya mendapat kesan yang kuat bahwa disertasi tersebut hanya meneguhkan
Pengakuan Gereja Toraja tentang Manusia Mati Seutuhnya--- yang menurut saya--sebenarnya melawan logika-religius-lokal orang Toraja. Dalam disertasi itu diperlihatkan
bahwa antropologi Kristen-Alkitabiah bertentangan dengan antropologi lokal Toraja. Lihat
Andarias Kabanga’, Manusia Mati Seutuhnya: Suatu Kajian Antropologi Kristen
(Yogyakarta: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2002).
8. Bdk. Haryo S.Martodirjo, “Masyarakat Tugutil di Halmahera”, dalam Koentjaraningrat, dkk.,
Masyarakat Terasing di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 247.
9. Lihat catatan nomor 7.
10. Hal ini biasanya dilakukan melalui upacara ritual yang disebut gomatere. Gomatere adalah
suatu upacara ritual untuk memanggil o gomanga leluruh atau roh leluhur dan dimintai
petunjuk, baik pada saat mau menjembuhkan orang sakit maupun ingin memperoleh reziki.
Upacara ini biasanya dipimpin oleh mereka yang memiliki keahlian khusus, seperti seorang
dukun.
11. Lihat M.Th.Magany, Bahtera Injil di Halmahera (Tobelo: GMIH, 1984), hlm. 18-19.
12. Lihat James Haire, Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera, 1941-1979 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1998), hlm. 301-302. Lihat juga James Haire, “Injil Kristus dan Kebudayaan
Halmahera: Teman atau Musuh dalam Sejarah GMIH?”. Orasi pada Dies Natalis STT GMIH
Tobelo, 28 Januari 2008., hlm.15.
13. Selama ini tafsiran tentang Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakob lebih dipahami
sebagai Allah yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakob, yang tidak jelas identitasnya.
Saya berpendapat tafsiran ini lebih mencerminkan logika-religius seorang penafsir yang telah
lebih dulu menganut pandangan teologis tertentu dibandingkan cara pandang orang Ibrani
sebagai suatu komunitas suku. Karena itu, saya berpendapat, ungkapan: “Aku adalah
sebagaimana Aku Ada dan Bertindak” tidak hanya menunjuk kepada karya Allah
sebagaimana dialami Abraham, Ishak dan Yakub; tetapi juga dapat berarti ungkapan itu
menunjuk kepada “Roh atau Gomanga Abraham, Roh atau Gomanga Ishak, dan Roh atau
Gomanga Yakob” yang telah menjadi kuasa yang memberi semangat akan hadir dan
bertindak menyertai Roh Musa dalam membebaskan umat Isaral dari perbudakan di Mesir.
Bagi orang Halmahera Gomanga orang tua-tua mempunyai fungsi-soteriologis seperti ini.
Hal ini sangat jelas ketika seorang dalam kesesulitan dapat memanggil Gomanga orang tua
mereka untuk membantu mengatasi kesulitan tersebut. Pertanyaan di sini ialah siapakah
Allah? Allah adalah gomanga orang tua-tua!
Download