MENJADI O GOMANGA Manusia Tidak Mati Seutuhnya dalam Logika-Religius-Lokal Orang Halmahera (Khusus Subetnis Tobelo-Loloda-Galela-Tobaru)1 Oleh : Pdt. Dr. Julianus Mojau Abstract Most of the Indonesian people have some traditional believes as a spiritual tradition that is still conserved from generation to generation, and this kind of thing is also owned by the Halmahera people. Long time before Christianity and Moeslem came to Halmahera, the spiritual believe had its own root in the people heart and mind, and it is still there until now. The spiritual believe is not a theological or religion knowledge that is taught from the Holy Book (Bible) by the missionary, but it had led the traditional people of Halmahera to live in a good morality. This written is about local religius logical or local theological believe about the continuity of life after the death of men from four ethnic groups in Halmahera; Tobelo, Loloda, Galela and Tobaru. 1. Pengantar Saya bersyukur karena sekalipun cukup lama mengambil jarak dari akar kehidupan keHalmahera-an saya, namun sari-sari dari keyakinan teologis lokal orang Halmahera yang sudah tertanam semasa kecil tidak sepenuhnya hilang. Sebenarnya sari-sari keyakinan teologis lokal orang-orang Halmahera tersebut masih sangat kuat juga mempengaruhi sebagian besar warga jemaat GMIH di desa-desa. Ini nyata dari percakapan-percakapan saya di lapangan saat melakukan penelitian tentang pengaruh keyakinan teologis lokal di kalangan warga jemaat GMIH dalam rangka upaya merumuskan pemahaman iman GMIH yang kontekstual. Apa yang saya temukan di lapangan ialah banyak warga jemaat hidup dalam kepribadian yang terbelah (split-personality). Di satu pihak, secara terang-terangan menampakan diri sebagai pribadi penganut setia iman Kristen; dan secara diam-diam tetap juga mempraktikkan keyakinan teologis lokal di pihak lain! Jadi, hidup dalam dualisme keyakinan religius! Saya kira dualisme ini perlu diakhiri! Orang-orang Halmahera (khususnya dari subetnis: Tobelo-Loloda-Galela-Tobaru2; selanjutnya dalam karangan ini saya sebut: orang Halmahera)--- seperti halnya komunitas suku-suku lokal lain di Indonesia---selalu menghayati pergulatan kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari kesadaran religiusitas yang mereka anut. Apa yang selama ini kita sebut sebagai bentuk-bentuk penghayatan spiritual kekafiran lokal seperti percaya bahwa tempat-tempat tertentu ada penjaganya (de madutu oka; bhs. Loloda/Tobelo) atau isyarat-isyarat simbolis seperti kupu-kupu masuk ke dalam rumah sebagai penanda akan dikunjungi oleh tamu atau bunyi cecak ketika seseorang sedang merencakan sesuatu dalam jalan hidupnya (ma niata/Loloda atau ho maniata/Tobelo) sebagai penanda perlu evaluasi-diri sesungguhnya mencerminkan “injil-lokal” yang dapat memandu seseorang dalam komunitas suku orang Halmahera untuk menjalani kehidupan sehari-hari secara baik3. Dalam sharing ini saya akan membagikan kepada rekan-rekan logika-religius-lokal atau keyakinan teologis lokal orang Halmahera dari keempat subetnis di Halmahera tentang kontinuitas kehidupan manusia setelah pejiarahan dalam pentas sejarah ragawi, yang selama ini kita sebut dengan kematian manusia. 2. Manusia Tidak Mati Seutuhnya! Saya beruntung karena setelah kurang lebih dua puluh tahun meninggalkan pulau Halmahera, baik secara fisik maupun emosional, beberapa tahun lalu kami sekeluarga kembali ke Halmahera dan masih sempat bersama-sama dengan ibu saya yang sudah berusia 92 tahun. Selama kurang lebih satu tahun bersama dengan Ibu, saya banyak belajar dari Ibu saya tentang logika-religiuslokal orang Halmahera tentang kemanakah manusia setelah mengakhiri hidupnya dalam pentas sejarah ragawi ini? Dari Ibu saya dan juga beberapa orang tua lain di desa-desa di Halmahera saya diingatkan bahwa di kalangan orang Halmahera tidak mengenal sebutan “mati ”, apalagi “mati seutuhnya” bagi manusia. Sebutan yang biasa bagi manusia ialah “dia telah berpulang atau kembali ke asalnya”. Dalam tuturan bahasa daerah hal itu sangat jelas. Ketika mereka mendengar kabar “duka” secara spontan mereka akan mengatakan bahwa “una/muda o/mo ma singilioka”( Loloda); artinya: “dia (laki-laki/perempuan) telah kembali ke asalnya”. Saya ingat benar bahwa dulu di desa kami, Ngajam-Dorume (Loloda), penyebutan seperti ini sangat lazim. Memang hal ini khusus berlaku bagi orang tua-tua atau biasa dalam bahasa daerah disebut bobereki yang memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat desa/kampung setempat. Sementara untuk anak-anak dikenal dengan sebutan “sudah hilang” (una/muna o/mo ijanga ka; artinya: dia lakilaki atau perempuan sudah hilang)4. Dengan logika-religius-lokal seperti itu “nama-diri” di kalangan orang Halmahera juga selalu berakhir dengan huruf hidup. Nama panggilan saya Nus atau Julianus, misalnya, dalam lafalisasi orang tua-tua Halmahera akan selalu melafalkan menjadi “Nusu” atau “Julianusu.” Juga dalam hal marga asli orang Halmahera selalu berakhir dengan huruf hidup. Dalam beberapa kasus di lapangan saya temui bahwa ada marga orang Halmahera asli berakhir dengan huruf mati seperti marga Thomas dari subetnis Galela. Setelah saya telusuri ternyata marga itu diberikan oleh Zendeling saat dibaptis sekitar tahun 1890-an. Marga asli mereka adalah Nali; berarti: gembira/kegembiraan5. Kini, ibu saya itu, telah kembali ke asal dari mana ia datang atau dalam terminologi Kristiani kembali ke pangkuan Bapa (dan juga Ibu?) di Sorga di Minggu Prapaskah II tahun 2007. Kami sekeluarga bersyukur karena hingga ia menutup mata ragawinya, mata hatinya (kesadaran dirinya) tetap kuat. Ia tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti membuat kebun di halaman rumah dan juga dapat berkomunikasi secara baik dengan kami, hingga kami tidak menyadari bahwa ia telah kembali ke kehidupan asalnya dari mana ia berasal. Cece (cicit) sulungnya yang sedang berbaring di sampingnya pun tidak menyadarinya. Dengan keyakinan teologis lokal seperti dijelaskan di atas maka ketika kami melepaskan dengan ikhlas ibu kami untuk kembali kepada kehidupan dari mana ia berasal, saya mewakili anak-cucu-cecenya, menulis pengahayatan keyakinan teologis saya yang masih diwarnai keyakinan teologis lokal orang Halmahera untuk mengiringi perjalanan Ibu kami itu di hadapan Sidang Jemaat yang hadir menghantar kepergiannyanya, .........sambil mengingat-ingat seluruh jerih-lelah orang tua kami dalam membesarkan dan mendidik kami agar menjalani kehidupan ini secara berarti, kami melepaskan dengan ikhlas perjalanan mama kami, nenek kami, dan poja kami, kembali ke dalam pangkuan Sang Sumber Kehidupan, Yesus Kristus, Tuhan kita!! Selamat Jalan mama, nenek dan poja, kami tidak lupa jerih-lelahmu yang membuat kami menjadi manusia dalam peziarahan sejarah kehidupan ragawi ini!! Biarlah kami belajar daripadamu ketabahan hidup memanggul salib yang menghidupkan dan memberdayakan kami anak-cucu-cece dan orang lain! Karena itu, dalam penghayatan minggu prapaskah ini, minggu-minggu menghayati salib Kristus, salib kehidupan itu, kami anak-cucu-cecemu mengikhlaskan engkau kembali kehidupan yang abadi dalam Kristus Yesus, Tuhan kita! Dan sampaikanlah doa dan salam kami kepada SANG PEMILIK KEHIDUPAN INI, agar kami dapat meneruskan jerih-lelahmu yang memberi kehidupan! Selamat jalan mama, nenek dan poja! Engkau tidak pernah mati bagi kami, engkau tetap hidup dalam iman dan karya-bakti kami, kini dan sepanjang masa! Apa yang ingin saya katakan dari kutipan di atas bahwa saya dan juga sebenarnya di alam bawah sadar saudara/i saya (karena pengaruh keyakinan teologis lokal agama lokal orang Halmahera), Ibu kami itu tetap hidup. Kami (paling tidak untuk saya dan istri saya) terus menghayati bahwa hingga sekarang ini Ibu kami itu masih tetap hidup dan selalu mengunjungi kami melalui isyaratisyarat tertentu. Tanggal 14 Maret 2008 lalu ketika kami seluruh anak dan cucu-cecenya berkumpul memperingati satu tahun ia meninggalkan kami dari dalam sejarah ragawi ini, ia kembali menampakan dirinya kepada istri saya yang sedang mempersiapkan diri dan memimpin ibadah keluarga kami (kebetulan istri saya juga seorang pendeta) dalam bentuk isyarat tertentu melalui penciuman istri saya. Istri saya bertutur kepada saya: Nus, saya tadi merasakan kehadiran mama, saat saya mempersiapkan diri dan sedang memimpin ibadah. Cerita istri saya ini semakin meyakinkan saya bahwa hingga sekarang ini ibu saya itu dan juga ayah saya6 tetap hidup, tidak mati seutuhnya seperti pandangan teologis yang terdapat dalam Pengakuan Iman salah satu Gereja di Indonesia7. Dalam hal ini saya berpendapat keyakinan teologis tentang communio sanctorum sebagaimana dipahami oleh Kekristenan pra-Pencerahan lebih menolong untuk mengapresiasi keyakinan teologis lokal di kalangan orang-orang Kristen Halmahera. Juga dengan adanya epistemologi post-modernisme dan post-kolonial dapat membantu kita lebih apresiatif terhadap keyakinan teologis lokal atau logikal-religius-lokal orang-orang Halmahera ini. Dalam hal ini saya sebenarnya mendorong agar ungkapan: dia telah kembali ke rumah Bapa (juga Ibu?) sebagaimana lazimnya seringkali diucapkan di kalangan orang Kristen dengan mengacu kepada kesaksian Injil Yohanes 14:2-3 harus lebih ditekankan. Yesus sendiri ketika mau dihukum mati (baca: menghabiskan kehidupan Yesus) Ia berdoa: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46). Doa penyerahan Yesus ini menggarisbawahi bahwa kehidupan manusia tidak pernah akan diakhiri oleh siapa pun juga dan kuasa mana pun juga. Sebenarnya ini adalah sifat hakiki dari keyakinan teologis Kristiani. Sebab, demikian pandangan saya, bahwa kematian dalam iman Kristiani sebenarnya lebih menunjuk kepada ketidakadaannya relasi atau tidak intensifnya relasi manusia dengan Allah dan sesamanya. Dan keyakinan teologis Alkitabiah ini sebenarnya tidak bertentangan dengan keyakinan teologis lokal orang-orang Halmahera tadi. 3. Menjadi O Gomanga Tidak begitu jelas asal-usul manusia di kalangan orang Halmahera. Tidak seperti cerita penciptaan manusia dalam alkitab bahwa manusia itu dibentuk dari debu tanah dan diberi kehidupan oleh Allah seperti kesaksian Kejadian 2:7. Kelihatannya, tradisi iman orang Halmahera tentang manusia, lebih dekat kepada versi penciptaan manusia dalam kesaksian Kejadian 1:26-28. Dalam versi ini hanya ditegaskan bahwa manusia itu, baik laki-laki maupun perempuan, diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Versi ini tidak menjelaskan manusia itu diciptakan/dibentuk dari suatu bahan ciptaan Allah tertentu sebagaimana dalam versi penciptaan manusia seperti kesaksian Kejadian 2:7 tadi. Seperti dalam tradisi iman orang Halmahera sendiri tidak menjadi penting manusia itu berasal dari apa. Yang jelas ada pengakuan bahwa manusia dalam pentas sejarah ragawi tidak jadi dari dirinya sendiri. Hal itu untuk menjelaskan bahwa manusia dalam pentas sejarah ragawi itu memiliki keterbatasan! Juga manusia bukanlah unsur tunggal. Manusia terdiri atas beberapa unsur. Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Manusia barulah disebut sebagai manusia apabila memiliki tiga unsur tadi. Hal ini juga cukup ditekankan dalam pandangan antropologis orang Halmahera. Manusia dipahami terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu: o rohe/o roese (Tobelo/Loloda), o gikiri, o gurumini (Tobelo/Lolodai. O rohe/roese berarti tubuh fisik atau badan jasmani manusia. Sedangkan o gikiri yang berarti nyawa, adalah sesuatu yang terdapat dalam tubuh manusia dan yang menyebabkan manusia itu dapat bergerak atau adanya kehidupan pada manusia. Dan o gurumini merupakan jiwa, semangat, martabat dan harga diri yang melekat pada kehidupan setiap manusia8. Antropologi orang Halmahera menegaskan bahwa seseorang setelah mengakhiri peziarahan di pentas sejarah ragawi rohnya akan tetap hidup dan selalu punya hubungan dengan mereka yang masih hidup secara ragawi. Tidak mati seutuhnya sebagaimana ditekankan pengertian kematian dalam keyakinan teologis antropologi Kristen-Alkitabiah Aufklärung seperti nyata dalam pengakuan iman Gereja Toraja (misalnya)9. Di sini kita diingatkan kepada keyakinan teologis Kristen-Alkitabiah sebagaimana ditekankan dalam kesaksian Pengkhotbah 12:7. Di sana cukup jelas bahwa jasad manusia yang berasal dari debu tanah kembali ke tanah dan rohnya kembali kepada asalnya, yaitu: Allah. Hanya tidak dijelaskan lebih jauh apakah dengan demikian roh manusia itu menjadi Allah. Tampaknya penulis alkitab tidak berminat menjelaskan hal itu lebih jauh. Hal ini berbeda dengan logika-religius-lokal orang Halmahera. Dalam logika-religius-lokal orang Halmahera ketika seseorang meninggalkan pentas sejarah ragawi, gikiri (nyawa) dan gurumini(martabat dan harga diri) orang tadi meninggalkan rohe/roese (jasad/tubuh manusia) itu untuk menjadi o gomanga. O Gomanga adalah roh leluhur orang Halmahera yang memiliki kuasa atas kehidupan manusia dan masa depannya. Dengan menjadi O Gomanga setiap orang Halmahera yang masih hidup dalam pentas sejarah ragawi wajib memelihara dengan baik gomanga atau roh leluhur itu, dan hal ini hanya berlaku bagi mereka yang dituakan atau yang biasa disebut dalam bahasa daerah : Bereki atau Balu-baluhu/su. Karena itu pula di kalangan orang Halmahera pra-Kristen ketika orang yang paling dituakan ( disebut: ma bereki) dalam keluarga atau masyarakat desa/kampung meninggal dunia perlu dipestakan, yang biasa disebut dengan pesta Kapalang, yaitu: pesta syukur! Pesta syukur ini mempunyai ritual tersendiri. Dan biasanya akan dilakukan jika anak-cucu telah cukup sukses dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, pesta syukur tersebut, pada dirinya mengandung daya-juang atau semacam pemberi motivasi untuk mengembangkan kehidupan lebih baik secara material. Dalam kaitan dengan keyakinan ini maka ketika orang yang dituakan meninggal dunia tidak akan ditangisi dalam pengertian kesedihan hati yang diliputi sikap pesimistis; sebaliknya, tanggisan sebagai wujud-kesadaran dan evaluasi diri sendiri, apakah seorang anak atau cucu atau cece itu akan sanggup menjalani kehidupan ini secara emansipatoris? Pemeliharaan yang baik terhadap gomanga leluhur, baik berupa pembuatan sesajian dan pemeliharan tempat jasad mereka diletakkan, diyakini akan memberi perlindungan, keamanan, pembimbing dan penasehat yang baik dalam kehidupan sehari-hari10. Dan gomanga yang dipelihara yang baik itu akan menjadi O Gomanga Ma Oa (roh leluhur yang baik hati) yang dapat mendatangkan berkat dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, gomanga leluhur yang tidak dipelihara dengan baik, dapat menjadi O Gomanga Ma Dorou (roh leluhur yang menjadi jahat) sehingga akan mendatangkan malapetaka dalam kehidupan sehari-hari11. Di sini jelas bahwa gomanga dapat berfungsi sebagai perantara antara manusia dalam kehidupan sehari-hari dengan O Gikiri Moi atau Roh Leluhur Tertinggi Yang Mempersatukan semua gomanga sebagai sumber kehidupan dan berkat. Bertolak dari pengertian ini, James Haire dalam studinya tentang perjumpaan Kekristenan dan Kebuadayaan Halmahera, sekalipun dengan beberapa catatan kritis bertolak dari Kristologi Chalcedonian, menunjukkan bahwa dalam pergumulan panjang Gereja Halmahera (sekarang ini GMIH) sambil menekankan teks-teks Perjanjian Baru seperti Ibrani 12; Roma 12:3-8; 1 Korintus 12:12-30; Efesus 1:22-23 atau Kolose 1:18-20, berusaha menghubungkan gomanga orang Kristen Halmahera dengan gomanga Kristus, dengan tiba pada kesimpulan bahwa Roh Kristus sebagai O Gomanga Agung atau Roh Orang Mati yang Sulung12. Saya lebih senang memakai sebutan Gomanga Kristus tanpa kata sifat mati. Sebab, secara prinsipil, tujuan hidup manusia dalam konsep orang-orang Halmahera bukan “the end” (akhir), melainkan “the change” (perubahan). Dengan menekankan sebutan ma bereki ai (lakilaki)/ami(perempuan) gomanga akan memberi inspirasi kepada kita bahwa sesungguhnya Allah yang memperkenalkan diri dalam Yesus Kristus adalah Orang Tua kita, Bapa sekaligus Ibu kita sebagaimana nuansa keyakinan teologis yang dicerminkan dalam kesaksian Kitab Yesaya (bdk. Yesaya 46:3-4). Sampai sekarang ini tradisi iman ini sebenarnya masih diteruskan oleh orang-orang Kristen Halmahera. Ziarah ke makam pada saat-saat tertentu di kalangan orang-orang Kristen Halmahera sangat terkait dengan keyakinan teologis lokal mereka sebagaimana dijelaskan di atas ini. Mereka tidak sekedar mengingat dan menghormati orang tua mereka dalam pengertian sekedar tata-krama sopan santuan sebagaimana pandangan orang-orang Halmahera Kristen. Orang Kristen Halmahera berbeda dari orang Halmahera Kristen. Jika dikalangan orang-orang Halmahera Kristen tradisi ziarah ke makam hanyalah sekedar tata-krama sopan santun mengingat dan menghormati orang tua yang telah lebih dulu meninggal dunia, maka bagi orangorang Kristen Halmahera ziarah ke makam adalah suatu kegiatan keagamaan yang lahir dari keyakinan teologis lokal sebagaimana dijelaskan di atas ini. Warna Kekristenan orang-orang Kristen Halmahera adalah Kekristenan yang sangat dijiwai oleh keyakinan teologis lokal itu. Saya pribadi masih mempunyai penghayatan spiritual atau keyakinan teologis seperti itu. Untuk saat-saat tertentu saya masih sering mengunjungi makam ibu saya atau ayah saya atau nenek saya sambil melakukan percakapan batin dengan mereka untuk memohon hikmat dari mereka. Saya melakukan itu, karena saya yakin, bahwa mereka adalah manifestasi Allah pemberi kehidupan dan masa depan sama seperti disaksikan oleh Alkitab Perjanjian Lama. Bagi saya Allah yang kita kenal sekarang ini sebagai TUHAN Allah atau YAHWEH yang 13 memperkenalkan diri kepada Musa sebagai Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub pada saat pemanggilan Musa menjadi utusan untuk membebaskan bangsa Israel dari tanah perbudakan di Mesir (lihat Keluaran 3:14-15) tidak lain dari Roh Abraham, Roh Ishak, dan Roh Yakub yang telah menjadi O Gomanga, Pelindung, Penasehat dan Pemberi Hikmat dalam kehidupan sehari-hari anak-cucu-cece mereka dalam memperjuangkan kehidupan sehari-hari mereka untuk lebih bermartabat dan manusiawi. Dalam hal ini, saya ingin menekankan, bahwa oleh kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus, semua gomanga orang percaya telah memperoleh kekekalan/keabadian dalam Gomanga Yesus Kristus (bdk. Roma 6:23b). Dan semua gomanga orang percaya yang telah memperoleh kekekalan dalam Gomanga Yesus kristus adalah O Gomanga Ma Oa, Roh Yang Baik, yang dapat memberi perlindungan, nasehat, dan memberi semangat untuk berkarya yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari! 4. Penutup Sayang sekali, sekarang ini, orang-orang Halmahera Kristen, artinya orang-orang Halmahera yang telah dikonversi ke dalam Kekristenan khas Gereja Zending--- termasuk dalam akta-akta gerejawi GMIH sekarang ini--- tidak lagi nyata keyakinan teologis lokal orang-orang Halmahera sebagaimana diuraikan di atas. Keyakinan teologis lokal atau dapat juga disebut sebagai logikareligius-lokal itu telah dikikis habis oleh logika antropologi Kristen-Alkitabiah Aufklärung yang berusaha menjelaskan kematian manusia sebagai kematian seutuhnya: tubuh, jiwa dan roh, sehingga menjadi akhir dari segala-galanya. Logika antropologi Kristen-Alkitabiah Aufklärung pastilah menilai teologi operatif sebagaimana diurakan di atas dicap sebagai cerita yang tidak masuk akal. Memang benar teologi operatif di atas ini adalah hal yang tidak masuk akal bagi mereka yang cara berpikirnya sepenuhnya telah dikendalikan oleh kebudayaan teknokratis sebagai anak-kandung rasionalisme dan modernisme yang telah membuat manusia menjadi apa yang oleh Herbert Marcuse dalam bukunya: One Dimensional Man (Routledge & Keengan Paul, 197) disebut: manusia satu dimensi saja! Rasionalisme dan modernisme telah menguras roh manusia sedemikian rupa dengan logikamatematis-mekanistik yang menjadikan manusia modern menjadi manusia-manusia keringkerontang secara spiritual. Lalu, dalam kegersangan itulah, mereka tidak punya pilihan lain kecuali meneguk berkali-kali air dari selokan-busuk spiritualitas masyarakat konsumerisme dalam bentuk spiritualitas teologi sukses. Untuk mengimbangi (jadi tidak membuang) hal epistemologi antropologi teologi Alkitabiah Barat yang sangat dipengaruhi oleh epistemologi Aufklärung kita perlu mempertajam pendengaran kita mendengarkan cerita-cerita dari dan di antara orang-orang lokal yang memiliki kekayaan dan kedalaman spiritual mereka dalam memperjuangkan kehidupan sehari-hari mereka untuk lebih sehat, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan politik! Namun ketajaman pendengaran kita itu hanya dimungkinkan kalau kita juga mau menyadari dan menghargai bahwa mereka memiliki logika epistemologi sendiri, yang berbeda dari logika epistemologi Kekristenan Alkitabiah Aufklärung. Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya bagikan. Saya sadar bahwa apa yang saya bagikan ini jauh dari memuaskan dan masih dapat diperdebatkan. Namun kiranya eksperimen berteologi dari titik tolak keyakinan teologis lokal ini dapat mengatasi hidup dalam dualisme keyakinan religius di kalangan warga jemaat GMIH! Sekian dan terima kasih!! CATATAN AKHIR 1. Bahan sharing pada Seminar Teologi Lokal yang dilaksanakan oleh Yayasan Percik Salatiga dalam kerjasama dengan Sinode GKJ, tanggal, 14-15 April 2008, dengan tema: Berteologi Lokal dan Agama Suku, di Kampung Percik-Salatiga. 2. Saya selalu menyebut Tobelo-Loloda-Galela-Tobaru sebagai sub-sub etnis/suku dari satu etnis/suku Halmahera. Saya selalu menyebutkan seperti itu karena pada prinsipnya dalam hal adat-istiadat dan juga keyakinan teologis lokal keempat subetnis ini mempunyai kesamaan yang besar. 3. Bagi saya cerita-cerita atau kesaksian dalam alkitab sebagai berita yang mengandung Injil adalah injil lokal Yahudi-Yunani. Seharusnya Injil lokal Yahudi-Yunani ini tidak boleh dilihat sebagai berita Injil yang paling dominant sebagaimana diperkembangkan dalam teologi Kristen selama ini. Sebab, sejumlah cerita lokal dalam agama suku di Halmahera, misalnya, sebenarnya juga mengandung berita Injil juga. Lihat J. Mojau, “Religiositas Masyarakat Halmahera Tradisional dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Mereka Seharihari: Sebuah Pertimbangan untuk Pengembangan Teologi operatif Lokal”, dalam Asnath N. Natar, dkk (Peny.), Teologi Operatif: Berteologi dalam Konteks Kehidupan Yang Pluralistik di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 81-93. 4. Dadinyawa Maraurate, Wawancara, Agustus 2006 s/d Januari 2007. Juga dengan lima responden lain di Desa Ngajam-Dorume, Loloda, November 2006. 5. Ph. Thomas, Wawancara, 20 April, 2007. 6. Ayah saya meninggalkan dunia ragawi lebih dulu dari Ibu saya. Saat itu saya masih kecil dan belum memiliki kesadaran teologis yang berkembang secara kontekstual. Namun, sejak saya beranjak dewasa Ibu saya selalu menasehati agar saya jangan lupa mengunjungi “tempat jasad ayah diletakan” dan harus selalu membangun komunikasi. Itulah sebabnya setiap kali saya berlibur ke desa kami saat sekolah di SMU di Kota, Ibu saya selalu mengingatakan hal itu. Saya tidak tahu mengapa Ibu saya menasehatkan hal itu. Sekalipun demikian saya tetap merasa ada sesuatu yang kurang jika tidak mengikuti nasehat Ibu saya itu. Baru setelah mendalami teologi kontekstual saya menjadi sadar kebenaran iman atau keyakinan teologis Ibu saya itu. 7. Misalnya Pengakuan Gereja Torja. Dalam pengakuan Gereja Toraja ditegaskan bahwa manusia mati seutuhnya, tubuh, jiwa dan roh! Sebenarnya pengakuan ini bertentangan dengan logika-religius-lokal orang Toraja sendiri tentang konsep ‘membali puang”. Tetapi rupanya memang Pengakuan ini dibuat untuk menjawab masalah konsep “membali puang” itu. Saya sebenarnya --- selama mengajar di STT INTIM Makassar--- dalam beberapa kesempatan di beberapa jemaat Gereja Toraja di Makassar dan juga dalam kelas Dogmatika di STT INTIM Makassar pernah mendorong agar meninjau kembali Pengakuan Gereja Toraja tentang konsep manusia mati seutuhnya itu karena bertentangan dengan logikareligius-lokal orang Toraja itu sendiri. Saya tidak lagi tahu perkembangan terakhir (paling tidak dua tahun terakhir ini), namun sejauh saya tahu bahwa, ada suatu disertasi tentang hal ini. Namun saya mendapat kesan yang kuat bahwa disertasi tersebut hanya meneguhkan Pengakuan Gereja Toraja tentang Manusia Mati Seutuhnya--- yang menurut saya--sebenarnya melawan logika-religius-lokal orang Toraja. Dalam disertasi itu diperlihatkan bahwa antropologi Kristen-Alkitabiah bertentangan dengan antropologi lokal Toraja. Lihat Andarias Kabanga’, Manusia Mati Seutuhnya: Suatu Kajian Antropologi Kristen (Yogyakarta: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2002). 8. Bdk. Haryo S.Martodirjo, “Masyarakat Tugutil di Halmahera”, dalam Koentjaraningrat, dkk., Masyarakat Terasing di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 247. 9. Lihat catatan nomor 7. 10. Hal ini biasanya dilakukan melalui upacara ritual yang disebut gomatere. Gomatere adalah suatu upacara ritual untuk memanggil o gomanga leluruh atau roh leluhur dan dimintai petunjuk, baik pada saat mau menjembuhkan orang sakit maupun ingin memperoleh reziki. Upacara ini biasanya dipimpin oleh mereka yang memiliki keahlian khusus, seperti seorang dukun. 11. Lihat M.Th.Magany, Bahtera Injil di Halmahera (Tobelo: GMIH, 1984), hlm. 18-19. 12. Lihat James Haire, Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera, 1941-1979 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 301-302. Lihat juga James Haire, “Injil Kristus dan Kebudayaan Halmahera: Teman atau Musuh dalam Sejarah GMIH?”. Orasi pada Dies Natalis STT GMIH Tobelo, 28 Januari 2008., hlm.15. 13. Selama ini tafsiran tentang Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakob lebih dipahami sebagai Allah yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakob, yang tidak jelas identitasnya. Saya berpendapat tafsiran ini lebih mencerminkan logika-religius seorang penafsir yang telah lebih dulu menganut pandangan teologis tertentu dibandingkan cara pandang orang Ibrani sebagai suatu komunitas suku. Karena itu, saya berpendapat, ungkapan: “Aku adalah sebagaimana Aku Ada dan Bertindak” tidak hanya menunjuk kepada karya Allah sebagaimana dialami Abraham, Ishak dan Yakub; tetapi juga dapat berarti ungkapan itu menunjuk kepada “Roh atau Gomanga Abraham, Roh atau Gomanga Ishak, dan Roh atau Gomanga Yakob” yang telah menjadi kuasa yang memberi semangat akan hadir dan bertindak menyertai Roh Musa dalam membebaskan umat Isaral dari perbudakan di Mesir. Bagi orang Halmahera Gomanga orang tua-tua mempunyai fungsi-soteriologis seperti ini. Hal ini sangat jelas ketika seorang dalam kesesulitan dapat memanggil Gomanga orang tua mereka untuk membantu mengatasi kesulitan tersebut. Pertanyaan di sini ialah siapakah Allah? Allah adalah gomanga orang tua-tua!