Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Tangkap menggunakan Indikator EAFM Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor (Wilayah Pengelolaan Perikanan 714) Donny Mercys Bessie, S.Pi., M.Si Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang TAHUN 2014 0 Daftar Isi 1 2 3 4 Pendahuluan ........................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 1.2 Tujuan dan Manfaat Studi ................................................................................ 4 Sekilas Kondisi Perikanan......................................................................................... 5 21 Perikanan Kabupaten Flores Timur................................................................... 5 2.2 Perikanan Kabupaten Lembata ........................................................................ 8 2.3 Perikanan Kabupaten Alor ............................................................................. 10 Metode Penilaian Performa Indikator EAFM .......................................................... 13 3.1 Pengumpulan data ......................................................................................... 13 3.2 Analisa Komposit ........................................................................................... 14 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan ................................................................ 16 4.1 Perikanan Kabupaten Flores Timur................................................................. 16 4.1.1 Domain Sumberdaya Ikan ...................................................................... 16 4.1.2 Domain Habitat ...................................................................................... 18 4.1.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan ..................................................... 20 4.1.4 Domain Sosial ........................................................................................ 21 4.1.5 Domain Ekonomi .................................................................................... 22 4.1.6 Domain Kelembagaan ............................................................................ 26 4.2 Perikanan Kabupaten Lembata ...................................................................... 27 4.2.1 Domain Sumberdaya Ikan ...................................................................... 27 4.2.2 Domain Habitat ...................................................................................... 29 4.2.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan ..................................................... 31 4.2.4 Domain Sosial ........................................................................................ 32 4.2.5 Domain Ekonomi .................................................................................... 33 4.2.6 Domain Kelembagaan ............................................................................ 36 4.3 Perikanan Kabupaten Alor ............................................................................. 38 4.3.1 Domain Sumberdaya Ikan ...................................................................... 38 4.3.2 Domain Habitat ...................................................................................... 40 4.3.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan ..................................................... 42 4.3.4 Domain Sosial ........................................................................................ 44 4.3.5 Domain Ekonomi .................................................................................... 45 4.3.6 Domain Kelembagaan ............................................................................ 48 1 5 Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan .............................................................. 51 5.1 6 7 8 Analisa menggunakan sistem Flag dan Koneksitas .......................................... 51 5.1.1 Perikanan Kabupaten Flores Timur ......................................................... 51 5.1.2 Perikanan Kabupaten Lembata ............................................................... 63 5.1.3 Perikanan Kabupaten Alor ...................................................................... 75 Pembahasan .......................................................................................................... 89 6.1 Metode dan analisa indikator EAFM yang digunakan ..................................... 89 6.2 Performa perikanan yang dikaji...................................................................... 96 6.2.1 Perikanan Kabupaten Flores Timur ......................................................... 96 6.2.2 Perikanan Kabupaten Lembata ............................................................... 99 6.2.3 Perikanan Kabupaten Alor .................................................................... 102 Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................................................. 108 7.1 Kesimpulan .................................................................................................. 108 7.2 Rekomendasi ............................................................................................... 108 Referensi ............................................................................................................. 111 2 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang beragam dan melimpah pada lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km2. Estimasi potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan oleh kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011 sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas 55,9% dari perikanan pelagis kecil,22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6% perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi, 1,5% bersumber dari udang Penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi dan 0,1% berasal dari lobster. Besarnya potensi perikanan yang tersebar di perairan Indonesia, membuat KKP membagi perairan di Indonesia menjadi 11 bagian yang sering disebut dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), hal ini dilakukan untuk mengefesiensikan pengelolaan perikanan yang ada. Perhitungan estimasi potensi perikanan, pengkajian stock assesment hingga kebijakan perikanan selalu berdasarkan 11 WPP tersebut. Berikut pembagian WPP di Indonesia: Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan 3 Berdasarkan Kepmen KP 45 Tahun 2011, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bersinggungan dengan 3 WPP yang ada,dengan potensi sumberdaya ikan sebesar 26,1% dari total 1.699,4 Ton pertahunnnya, yang daerah itu berada di WPP 573 mulai dari Perairan Samudera Hindia bagian selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian barat, WPP 713 yaitu dari Perairan Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali dan WPP 714 yaitu Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda. Sedangkan Flores Timur, Lembata dan Alor termasuk WPP 714. Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 dan WPP 714 (KepMen 45 tahun 2011) Kelompok Sumberdaya Ikan Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Udang Penaeid Ikan Karang konsumsi Lobster Cumi-Cumi Total Potensi (1.000 ton/tahun) Samudera Hindia (WPP 573) 201,4 210,6 66,2 5,9 4,5 1,0 2,1 491,7 Selat MakasarLaut Flores (WPP 713) 193,6 605,4 87,2 4,8 34,1 0,7 3,9 929,7 Laut Banda (WPP 714) 104,1 132,0 9,3 32,1 0,4 0,1 278,0 Total 499,1 948 162,7 10,7 70,7 2,1 6,1 1.699,4 Melalui Kepmen ini, KKP juga sudah mengestimasi besaran pemanfaatan perikanan berdasarkan WPP yang ada. Pendugaan status pemanfaatan perikanan tersebut digolongkan menjadi 4 bagian yaitu Over exploited (O), Fully exploited (F), Moderate (M), dan Moderate to Exploited (M-F). 4 Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia (KepMen 45 tahun 2011) Namun dalam assessment potensial (KepMen 45 tahun 2011 ) oleh KKP ini, yang dilakukan hanya mempertimbangkan kondisi pemanfaatan perikanannya saja, sedangkan aspek ekosistem, aspek sosek dan kelembagaan masih belum terkaji dalam format yang baku. Untuk itu sejak tahun 2010 hingga saat ini WWF Indonesia dalam hal ini berinisiasi dalam memfasilitasi pembuatan Indikator pengelolaan perikanan yang berbasis ekosistem bersama Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dengan konsep tersebut dinamakan Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM).EAFM merupakan indikator asessment perikanan yang akan dilakukan bertahap di masing-masing WPP yang ada di Indonesia. Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor termasuk dalam WPP 714. Pendataan di tiga kabupaten ini penting dilakukan mengingat semakin meningkatnya permintaan pasar akan produk perikanan diwilayah timur Indonesia termasuk ketig kabupaten ini. Tanpa diimbangi oleh pendataan dari sisi ekosistem, 5 sosek, teknik penangkapan yang ada dan kelembagaan yang tergabung dalam EAFM sebagai dasar pengelolaan perikanan tentunya hal ini akan berdampak semakin tidak terarahnya kebijakan perikanan dalam mendukung perikanan yang berkelanjutan dalam meningkatkan perekonomian kabupaten. Melalui pendataan perikanan berdasarkan indikator EAFM ini, diharapkan dapat menjadi baseline data bagi pemerintah baik itu di KKP pusat dan pemerintah masing-masing kabupaten dan akan menjadi data pendukung untuk dalam pembentukan kawasan konservasi dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) masing-masing kabupaten, untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan sekitarnya. 1.2 Tujuan dan Manfaat Studi Kegiatan ini memiliki tujuan antara lain: 1. Mengumpulkan data indikator EAFM di Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Alor. 2. Mengidentifikasi status tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan yang terkait dengan aspek ekonomi, ekologi dan sosial berdasarkan daya dukung lingkungan (ekosistem) sebagai salah satu dasar kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Alor. 6 BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN 2.1.Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Flores Timur 2.1.1 Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Flores Timur Kabupaten Flores Timur merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri dari 17 pulau (3 buah pulau yang dihuni dan 14 pulau yang tidak dihuni) pulau yang dihuni antara lain adalah Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara dan Pulau Solor. Luas wilayah daratan 1.812,85 km² dan luas laut 2.064,65 km² dengan perincian yaitu Flores Timur daratan 1.066,87 km², Pulau Adonara 519,64 km², Pulau Solor 226,34 km². Flores Timur memilki 4 gunung berapi, yaitu Gunung Lewotobi Lakilaki, Gunung Lewotobi Perempuan, Gunung Leraboleng serta Gunung Boleng. Terletak antara 8º40” - 8º40” LS dan 122º20 “ BT dan berbatasan dengan sebelah utara Laut Flores, sebelah selatan Laut Sawu, sebelah timur Kabupaten Lembata dan sebelah barat Kabupaten Sikka. Secara administratif Kabupaten Flores Timur terdiri dari 19 wilayah kecamatan, 229 desa dan 21 kelurahan, yang termasuk dalam desa pesisir tercatat sebanyak 121 desa. Gambar 2. Peta Kabupaten Flores Timur (Bappeda kabupaten Flotim, 2011) 7 Secara topografi bentangan alam Kabupaten Flores Timur merupakan wilayah yang topografinya terdiri dari perbukitan dan pegunungan dengan beberapa faktor lainnya, seperti : Kemiringan: 0 – 12 % (417.20 km²), 12 – 40 % (799.86 km²) dan > 40 % (615.79 km²) Ketinggihan : 0 – 12 m (568.81 km²), 100 – 500 m (934.63 km²) dan > 500 m (291.41 km²) Tekstur Tanah : Kasar (934.63 km² ), Sedang (856,17 km² ) dan Halus (38.56 km²) Iklim Kabupaten Flores Timur terdiri dari dua musim, yaitu musim kemarau dengan iklim yang kering berlangsung antara bulan Juni - September, serta musim hujan dengan iklim basa berlangsung antara bulan Desember - Maret. Keadaan tersebut berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November.Hal ini menjadikan Flores Timur sebagai wilayah yang tergolong kering, dimana hanya 4 bulan (Januari-Maret dan Desember) yang keadaannya relatif basah serta 8 bulan sisanya relatif kering.Curah hujan tidak merata dengan rata-rata 300-2000 mm dengan jumlah hari hujan 60-150 hari / tahun dan kedalamam 500-2000 mm / tahun (Flores Timur dalam Angka, 2011). Secara potensi biodiversitas di Kabupaten Flores Timur memiliki 16 jenis bakau dengan luasan 630,83 ha disepanjang pesisir, 1 jenis bakau yang ditemukan di kabupaten Flores Timur merupakan salah satu dari 14 jenis bakau yang langka di Indonesia yaitu jenis Ceriop decandra, sedangkan jenis lamun yang ditemukan sebanyak 5 jenis dengan luasan padang lamun sebesar 1.639,82 Ha. Tutupan karang hidup di kabupaten Flores Timur secara umum berkisar 55,13% – 71,97% yang artinya masih dalam kondisi baik, jenis karang batu yang tercatat sebanyak 345 jenis dari 19 suku/famili dansedangkan ikan karang yang tercatat sebanyak 210 jenis yang termasuk dalam 33 sukudengan densitas sebanyak 952 ekor ikan perluas areal 250m2 (WWF, 2009). 8 2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten Flores Timur Penduduk Kabupaten Flores Timur berdasarkan registrasi BPS Kabupaten Flores Timur 2011 sebanyak 232.605 jiwa. Jumlah tersebut 110.976 jiwa (47,71%) laki-laki dan 121.629 jiwa (52.28 %) perempuan dengan jumlah kepala keluarga (KK) 53.969. Persebaran penduduk tidak merata antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, tingkat kepadatan rata-rata 128,31 jiwa/km² dan yang terpadat terdapat di Kecamatan Larantuka, yaitu 492 jiwa/km² dan yang terendah/kurang terdapat di Kecamatan Tanjung Bunga, yaitu 50,65 jiwa/km². Terdapat 5 kategori armada yang dapat dijumpai di kabupaten ini yang terhitung sebanyak2097 armada yang terdiri atas 7,9% (165 armada) merupakan jukung, 9,8% (206 armada) adalah perahu papan, 32%(672 armada) adalah motor tempel,15,1%(316 armada) adalah kapal motor < 5 GT dan 35,2%(738 armada) adalah kapal motor >5 GT (Flores Timur dalam Angka, 2011) Terdapat 9 kategori Alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Flores Timur dengan jumlah sebanyak 1.008 buah/set. Berikut tabel jumlah alat tangkap yang ditemukan di Kabupaten Flores Timur: Tabel 3. Alat Tangkap di Kabupaten Flores Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 Alat Tangkap Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Bagan Huhate Pancing Tonda Pancing Lainnya Alat Lainnya Jumlah 70 100 160 23 56 85 260 254 Pesentase (%) 6,9 9,9 15,9 2,3 5,6 8,4 25,8 25,2 9 2.2. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Lembata 2.2.1. Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Lembata Kabupaten Lembata merupakan satu kabupaten yang seluruh wilayah daratannya dikelilingi oleh laut, karena kabupaten ini merupakan satu pulau tersendiri, yaitu Pulau Lembata (Lomblen). Secara geografis Kabupaten Lembata terletak pada 08 0 04’ – 080 40’ Lintang Selatan dan 1220 38’ –123 0 57’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut: Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan berbatasan dengan Laut Sawu, Timur berbatasan dengan Selat Marica (Kabupaten Alor) dan Barat berbatasan dengan Selat Lamakera dan Selat Boleng (Kabupaten Flores Timur). Kabupaten Lembata merupakan satu kabupaten yang terbentuk sejak tahun 2000.Kabupaten ini, seluruh wilayah daratannya dikelilingi perairan laut, karena kabupaten ini merupakan satu pulau tersendiri yaitu Pulau Lembata (Lomblen/Kawula). Luas seluruh wilayah Kabupaten Lembata adalah sebesar 4.660,37 km2 yang terdiri dari luas wilayah daratan 1.266,38 km2 (27,17%) dan luas wilayah perairan 3.393,995 km2 (72,83%) (Lembata dalam Angka, 2011) Secara administratif pemerintahan Kabupaten Lembata terdiri dari 9 (Sembilan) kecamatan yang terdiri atas 144 desa.Desa/kelurahan yang tergolong dalam desa pesisir yaitu sebanyak 90 desa/kelurahan (62,5%) dan jumlah desa yang bukan tipologi desa pesisir sebanyak 54 desa (37,5%). Kabupaten Lembata pada umumnya beriklim tropis dengan musim kemarau atau kering yang berlangsung lebih lama yakni dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan berlangsung dari bulan November sampai bulan Maret.Kondisi ini menyebabkan jumlah curah hujan sangat sedikit, tidak menentu dan tidak merata.Selama musim kemarau berlangsung angin bertiup dari tenggara (southeast monsoon wind) yang kering sebaliknya pada musim hujan, angin bertiup dari barat laut (northwest monsoon wind) yang basah, dan sangat mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim di wilayah Kabupaten Lembata. Secara potensi biodiversitas di Kabupaten Lembata memiliki 16 jenis bakau dengan luasan 1185,167 ha disepanjang pesisir, 1 jenis bakau yang ditemukan di kabupaten Lembata merupakan salah satu dari 14 jenis bakau yang langka di Indonesia yaitu jenis Ceriop decandra, sedangkan jenis lamun yang ditemukan 10 sebanyak 8 jenis dengan luasan padang lamun sebesar 2.490,161 Ha. Tutupan karang hidup di kabupaten Flores Timur secara umum berkisar 22,77%-71,97% yang termasuk dalam kondisi baik, luasan terumbu karang tercatat sebesar 3.996,977 ha, jenis karang batu yang tercatat sebanyak 345 jenis dari 19 suku/famili dan sedangkan ikan karang yang tercatat sebanyak 210 jenis yang termasuk dalam 33 suku (WWF, 2009) Gambar 3. Peta Kabupaten Lembata 2.2.2. Statistik Perikanan Kabupaten Lembata Penduduk Kabupaten Lembata sampai pada tahun 2011 berjumlah 115.213 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 31.085, dengan tingkat kepadatan rumah tangga sebesar 25 dan penduduk sebesar 91 jiwa/km. Dari jumlah tersebut penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 54.122 jiwa (46,98%) dan perempuan sebanyak 61.091jiwa (53,02%). Kecamatan Nubatukan memiliki jumlah penduduk paling banyak yakni 30.237 (26,24%) dengan tingkat kepadatan 11 183jiwa/km2, menyusul Kecamatan Buyasuri sebanyak 19.119 jiwa (16,60%) dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi sebesar 183 jiwa/km2. Terdapat 5 kategori armada yang dapat dijumpai di kabupaten ini yang terhitung sebanyak 1.277 armada, 32,5% (415 armada) merupakan sampan, 25,8% (330 armada) adalah perahu papan, 10,8% (138 armada) adalah motor tempel, 21,4%(273 armada) adalah kapal motor < 5 GT dan 9,5% (121 armada)adalah kapal motor >5 GT. Alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Lembata digolongkan menjadi 9 kategori alat tangkap dengan jumlah 880 buah/set. Berikut tabel jumlah alat tangkap yang ditemukan di Kabupaten Lembata: Tabel 4. Alat Tangkap Ikan di Kabupaten Lembata No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Alat Tangkap Payang/Lampara Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Bagan Huhate Pancing Tonda Pancing Lainnya Alat Lainnya Jumlah 24 30 30 162 30 30 50 265 259 Pesentase (%) 2,7 3,4 3,4 18,4 3,4 3,4 5,7 30,1 29,4 2.3. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Alor 1.2.1.1 Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Alor Kabupaten Alor merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri atas 15 pulau 10 pulau berpenghuni dan 5 pulau tidak dihuni.Secara geografis daerah ini terletak di bagian utara dan paling timur dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada: Lintang Selatan8º6’ LS - 8º36’ LS dan Bujur Timur 123º48’ BT - 25º48’ BT dengan batas-batas sebagai berikut: Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan berbatasan dengan Selat Ombay dan Timor Leste, Timur berbatasan dengan pulaupulau Maluku, dan bagian barat berbatasan dengan Selat Lomlen (Lembata). Kabupaten Alor memiliki luas wilayah sebesar. 13.638,26 Km2 yang terdiri dari luas wilayah daratan 2.864,64 km2 (21%) dan luas wilayah perairan 10.773,62 12 km2 (79 %) dengan panjang garis pantai sepanjang 287,10 km. Semenjak tahun 2009, melalui Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2009 kabupaten Alor telah menetapkan pencadangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKPD). sebesar 400.083 ha atau sebesar 37,14% dari luas wilayah perairan kabupaten Alor yang merupakan perluasan dari kawasan konservasi laut daerah Selat Pantar. Secara administratif pemerintahan Kabupaten Alor terdiri dari 17 (Tujuh Belas) kecamatan yang terdiri atas 175 desa. Dari 175 desa/kelurahan jumlah desa pesisir sebanyak 104 desa/kelurahan (59,43%) dan jumlah desa yang bukan tipologi desa pesisir sebanyak 71 desa (40,57%). Gambar 4. Peta Kabupaten Alor (Bappeda Kabupaten Alor, 2011) Secara potensi biodiversitas di Kabupaten Alor memiliki 16 jenis bakau dari 11 famili dengan luasan 678,65 ha disepanjang pesisir, sedangkan jenis lamun yang ditemukan sebanyak 7 jenis dengan luasan padang lamun sebesar649.37 Ha. Tutupan karang hidup di kabupaten Alor secara umum 34,95% yang artinya termasuk dalam kondisi Sedang, jenis karang batu yang tercatat sebanyak 345 jenis dari 19 suku/famili dengan luasan sebesar 3,011.31 ha dan sedangkan ikan karang yang tercatat sebanyak 275 jenis yang termasuk dalam 19 suku (WWF, 2009). 13 2.3.1. Statistik Perikanan Kabupaten Alor Penduduk Kabupaten Alor sampai pada tahun 2010 berjumlah 181.913 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 41.052, dengan tingkat kepadatan rumah tangga sebesar 64 dan penduduk sebesar 64 jiwa/km2. Dari jumlah tersebut penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 90.889 jiwa (49,96%) dan perempuan sebanyak 91.024 jiwa (50,04 %). Kecamatan Teluk Mutiara memiliki jumlah penduduk paling banyak yakni 45.413 (24,96%) dengan tingkat kepadatan 690 jiwa/km2, menyusul Kecamatan Alor Barat Daya sebanyak 20.590 jiwa (11,32%) dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi sebesar 47 jiwa/km 2.(Alor dalam Angka, 2010) Dalam penangkapan ikan terdapat 646 nelayan yang tidak memiliki armada, sedangkan nelayan dengan armada tercatat sebanyak 3.768 armada, 65,4% (2.465 armada) menggunakansampan, 23% (866 armada)adalah perahu papan, 7,2%(271 armada) menggunakan motor tempel, dan 4,4%(166 armada merupakan kapal motor. (Alor dalam Angka, 2010) Terdapat 8 golongan Alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Alor dengan jumlah sebanyak6.44 6buah/set. Berikut tabel jumlah alat tangkap yang ditemukan di Kabupaten Alor: Tabel 5. Alat Tangkap di Kabupaten Alor No Alat Tangkap Jumlah Pesentase (%) 1 Payang/Lampara 38 0,59 2 Pukat Pantai 3 0,05 3 Jaring Insang 1.205 18,69 4 Bubu 692 10,74 5 Bagan 13 0,20 6 Pancing Tonda 174 2,70 7 Pancing Lainnya 2.493 38,68 8 Alat Lainnya 1.828 28,36 BAB III. METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM 3.1.Pengumpulan data Data yang dibutuhkan untuk Survey EAFM mencakup 6 Domain, antara lain: Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Habitat dan Ekosistem, Sosial, 14 Ekonomi, dan Kelembagaan. Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 proses yaitu melalui data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengambilan data yang dilakukan dengan metode interview dan observasi terarah secara kualitatif melalui kuesioner perikanan kepada responden rumah tangga perikanan. Interview akan dilakukan secara perorangan Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini : a. Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun (tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun. b. Bersedia diwawancarai. c. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada d. Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya semua informasi yang dibutuhkan. Pengambilan data Sekunder dalam survey ini yaitu dengan observasi kajian ilmiah, dokumen laporan pemerintah dan Kebijakan nasional dan daerah yang mencakup pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Alor. Dalam Metode penentuan lokasi, berdasarkan pada hal-hal berikut ini : a. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria Jumlah RTP, Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada b. Merupakan daerah yang dikelola dalam perrencanaan tata ruang wilayah atau zonasi Pemilihan lokasi pendataan perikanan dilakukan pada 3 jenis perikanan tangkap yang terdapat di Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Alor. Desa yang teridentifikasi sebanyak 32 desa yang terbagi atas: 10 desa di Kabupaten Flores Timur, 8 Desa di Kabupaten Lembata dan 14 desa diwilayah Kabupaten Alor. Berikut lokasi survei yang teridentifikasi: 15 Tabel 6. Lokasi Pengambilan Data No Kabupaten 1 Flores Timur 2 Lembata 3 Alor Kecamatan Solor Timur Solor Timur Solor Timur Larantuka Adonara Timur Adonara Timur Ile Boleng Witihama Klubagolit Klubagolit Buyasuri Omesuri Nubatukan Lebatukan Lebatukan Nagawutung Wulandoni Wulandoni Pantar Pantar Pantar Barat Laut Pantar Barat Laut Pantar Barat Laut Pantar Timur Pantar Barat Alor Barat Daya Alor Barat Daya Alor Barat Laut Alor Barat Laut Alor Barat Laut Kabola Kabola Desa Motonwutun Watobuku Lohayong 1 Waibalun Terong Lamahalajaya Boleng Pledo (Mekko) Sagu Adonara Tobotani Balauring Hadakewa Lewoleba Tengah Waijarang Babokerong Pantai Harapan Leworaja (Labala) Kabir Bana Beangonong Khayang Marissa Treweng Blangmerang Pulau Pura Tribur Adang Alor Kecil Pulau Buaya Alila Timur Kabola 3.2.Analisa Komposit Domain Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan yang terdapat pada kuisioner akan diberikan nilai berdasarkan status atau kondisi terkini pada saat kajian EAFM dilakukan. Penentuan nilai status untuk setiap indikator dalam domain habitat dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Semakin 16 baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM. Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot. Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat pada Tabel berikut ini: Tabel 7. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera Rentang nilai (dalam persen) Rendah Tinggi 1 20 21 40 41 60 61 80 81 100 Model Bendera Deskripsi Buruk dalam menerapkan EAFM Kurang dalam menerapkan EAFM Sedang dalam menerapkan EAFM Baik dalam menerapkan EAFM Baik Sekali dalam menerapkan EAFM 17 BAB IV. ANALISIS TEMATIK PENGELOLAAN PERIKANAN 4.1. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Flores Timur 4.1.1. Domain Sumberdaya Ikan Indikator CpUE Baku diberikan status buruk. Data statistik dalam bentuk grafik CpUE menunjukkan tren penurunan dalam 4 tahun terakhir, ini memberikan gambaran mulai terjadi penurunan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Flores Timur. CPUE KABUPATEN FLORES TIMUR 2.5 2 1.5 1 0.5 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Gambar 5. CpUE Kabupaten Flores Timur peridoe 2006 – 2010 Indikator tren ukuran ikan diberikan status sedang. Hasil analisis menunjukkan bahwa 87,64% responden (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil/besar dan demersal) lebih setuju kalau ukuran ikan dalam lima tahun terakhir relatif berukuran sama, 7,86% menyatakan ukuran ikan yang ditangkap lebih kecil, 2,25% menyatakan ukuran ikan lebih besar, dan 2,25% responden menyatakan tidak tahu. Indikator proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap diberikan status sedang. Indikator ini menyediakan pilihan yang bersifat luas untuk penggolongan keberlanjutan yang buruk dan baik. Untuk ikan-ikan yang belum dewasa tertangkap 18 lebih dari 60% dari total tangkapan, maka penggolongan keberlanjutan termasuk buruk. Sebaliknya, keberlanjutan termasuk baik, bila yang belum dewasa tertangkap kurang dari 30% dari total tangkapan. Di Kabupaten Flores Timur pada musim puncak, sedang, dan paceklik rata-rata ikan yuwana (juvenile) yang tertangkap 30-60%, dengan data ini mengindikasikan bahwa nelayan terpaksa menangkap ikan yuwana karena pola musim, data tersebut didukung 77,78% responden dan sisanya 22,22% responden tidak ada informasi. Spesies ikan yuwana yang sering ditangkap nelayan yaitu: Kerapu, Kaburak, Kamera, Layang, Hiu, Kakap, Tongkol, Padaha, Gurita, Tuna, Cakalang, Sembe, Tuda, Kombong, Layar, Selar, Biji Nangka, Pari, dan Capan. Indikator komposisi spesies dengan status sedang, oleh karena tangkapan sampingan nelayan relatif sedang (10-50 ekor ikan pelagis besar/demersal, sementara pelagis kecil tidak ada informasi), dan juga pertimbangan selektifitas alat tangkap. Ikan hasil tangkapan sampingan nelayan, biasanya dimanfaatkan dengan cara: 1) Dijual dimana nelayan memperoleh sejumlah uang dari hasil penjualan, 2) Diolah menjadi ikan olahan atau bentuk lainnya dimana nelayan memperoleh sejumlah uang dari penjualan ikan olahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, 3) Dikonsumsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga. Secara keseluruhan terdapat 40 spesies ikan yang biasa ditangkap nelayan di Kabupaten Flores Timur (Banyar, Bawo, Beduk, Biji Nangka, Cakalang, Gergahing, Gurita, Hiu, Kakap kuning, Kakap Merah, Keburak, Kembung, Kemera, Kerapu sosis, Kerapu bebek, Kerapu Capan, Kerapu Karet Merah, Kerapu Macan, Kerapu Malabar, Kerapu Sue-sue, Kerapu Sunu, Lamada, Layang, Layar, Mana, Marlin, Matekena, Melus, Pahada, Pari, Selar, Sembe/Lember, Simba, Sura/Motong, Tembang, Teri/Gele, Tongkol, Tuda, Tuna Mata Besar, dan Tuna Sirip Kuning). Indikator "Range Collapse" sumberdaya ikan dengan status sedang. Alasan yang dipakai untuk menentukan status dari indikator range collapse sumberdaya ikan pada domain ini dalam kategori baik yaitu jarak yang ditempuh dekat dan lokasi (habitat/ekosistem) yang dituju selalu tersedia ikan dalam jumlah yang banyak (78,82% nelayan setuju kalau lokasi penangkapan selalu tersedia stok ikan dalam jumlah banyak dan dekat dengan fishing base), namun tren CpUE di Kabupaten Flores Timur dalam 4 tahun terakhir yang cenderung menurun. 19 Indikator spesies ETP dengan status buruk. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa di perairan Kabupaten Flores Timur kesadaran nelayan untuk melindungi biota yang terancam punah/rentan/langka (ETP) sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya spesies-spesies yang dilindungi dalam kurun waktu sebulan dengan total responden 99 orang, dengan jenis ETP: Penyu= 59 ekor, Kima= 845, Lumba-lumba= 33, Duyung= 3, Nautilus= 59, dan Batu Laga= 3. 4.1.2. Domain Habitat dan Ekosistem Indikator kualitas perairan diberikan status sedang. Berdasarkan pada hasil studi awal yang telah dilakukan oleh WWF Solar tahun 2013, dapat disampaikan bahwa Perairan Flores Timur memiliki kondisi kualitas perairan yang cukup baik. Hal ini terlihat dari survey yang dilakukan di beberapa stasiun pengamatan yang mencakup seluruh perairan di Kabupaten Flores Timur. Dari hasil kajian Studi Kondisi Kualitas Perairan Laut dan Produktivitas Estuarin Dalam Mendukung Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem di Kabupaten Flores Timur, konsentrasi TSS di Perairan Kabupaten Flores Timur dan sekitarnya rata-rata berada di kisaran 20 hingga 30 mg/l. Beberapa perairan dekat pantai menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi, hingga mencapai sekitar 60 mg/l. Konsentrasi nitrat di perairan yang melebihi 0,2 mg/l berpotensi untuk menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang merangsang terjadinya bloom fitoplankton, maka secara umum Perairan Flores Timur memiliki potensi yang relatif kecil (Setiawan dkk, 2013). Indikator status lamun diberikan status sedang. Teridentifikasi berdasarkan Citra Aster pada tahun 2009 luasan lamun di Kabupaten Flores Timur adalah 1,639.82 ha, dan terdapat 5 (lima) spesies lamun yang dijumpai di Perairan Kabupaten Flores Timur. Kelima spesies tersebut yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymomodocea rotundata, Halophila ovalis, dan Halodule sp. Persen tutupan lamun tertinggi yaitu di Desa Riang Sungai (Solor Barat) sebesar 45% dan tutupan terendah di Pulau Knawe sebesar 19,6%. Indikator status mangrove diberikan status sedang. Hasil penelitian WWF (2009), di 13 stasiun di Kabupaten Flores Timur menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon terkategori tinggi (rata-rata 10.193 pohon/hektar di 10 stasiun). 20 Tercatat luasan mangrove yang dapat diidentifikasi berdasarkan citra Aster tahun 2009 seluas 630.83 ha. Dari hasil sampling vegetasi mangrove di 13 lokasi di Kabupaten Flores Timur ditemukan 16 jenis mangrove (Acrostichum speciosum, Aegialitis annulata, Avicennia marina, Bruguiera cylindrical, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera sexangula, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Excoecaria agallocha, Heritiera globosa, Lumnitzera racemosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris), dari 8 family yaitu: Avicenniaceae, Combretaceae, Euphorbiaceae, Plumbaginaceae, Sterculiaceae. Pteridaceae, Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, dan Dari 16 jenis yang ditemukan, 1 jenis (Ceriops decandra) merupakan salah satu dari 14 jenis yang langka di Indonesia namun ditemukan melimpah setempat di Kabupaten Flores Timur (WWF, 2009). Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa luasan hutan mangrove cenderung berkurang dan belum tersedia data awal (sebelum survey) hutan mangrove di Kabupaten Flores Timur. Sementara Indeks Nilai Penting hutan mangrove di Kabupaten Flores Timur dari 13 lokasi yang dilakukan sampling didapatkan nilai rata-rata 55,22. Indikator status terumbu karang diberikan status buruk. Berdasarkan data Reef Health tahun 2012, teridentifikasi terumbu karang Flores Timur berada pada kondisi buruk-sedang (< 50%), dengan rata-rata 21% terkategori buruk. Indikator status habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling) diberikan status baik. Perairan Utara Pulau Flores Timur(Tanjung Walang,Tanjung Waikelah, Tanjung Beloaja dan Tanjung Belobati dan perairan Pulau Tiga di selatan Pulau Solor) merupakan lokasi yang potensial untuk pemijahan ikan target dan direkomendasi untuk menjadi prioritas zona larang ambil pada KKPD kabupaten Flores Timur (WWF, 2013). Fenomena upwelling, terjadi di beberapa wilayah perairan di bagian selatan Kabupaten Flores Timur dan , terutama di sekitar perairan yang berada di antara Pulau Flores, Adonara, dan Solor memiliki potensi untuk terjadinya ledakan alga(algal bloom), terutama saat musim tenggara di bulan Juni hingga Agustus Indikator perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat diberikan status buruk, karena belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim. 21 4.1.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan Indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau illegal diberikan status buruk. Analisa data penelitian menunjukkan bahwa, rata-rata 2030 kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dimana 62,35% responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar dengan lokasi: Lamantaun, Pulau Mas, Pulau Meko, Arang, Watotena, perairan Laut Sawu, perairan Desa Boleng, Solor, Tanjung Bunga, Waimana, perairan Lamakera, Laut Flores, Selat Solor, dan perairan Pantai Selatan, 1,18% akibat potasium, dan 4,71% pengambilan karang. Indikator modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan diberikan status baik. Dari data ukuran ikan target yang dominan tertangkap ratarata berukuran layak tangkap, hanya dalam jumlah sedikit ikan pelagis besar (tongkol dan tuna) yang sering tertangkap dengan ukuran dibawah normal (belum matang gonad). Untuk jenis alat tangkap dan alat bantu yang dimodifikasi, data penelitian menunjukkan bahwa hanya 2,35% nelayan yang melakukan modifikasi alat tangkap (pukat dibuat semakin besar). Indikator kapasitas perikanan dan upaya penangkapan (fishing capacity and effort) diberikan status buruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan per unit usaha (CpUE) mengalami penurunan dalam 4 tahun terakhir, dan didukung oleh 67,73% responden yang menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Data tersebut diperkuat lagi oleh 87,64% responden (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil/besar dan demersal) yang menyatakan setuju kalau ukuran ikan dalam 5 tahun terakhir relatif berukuran sama, sementara trip penangkapan cukup besar dengan rata-rata trip per alat tangkap yaitu: jaring insang hanyut/dasar 6-8 jam, pancing 8 jam, purse seine 6-7 jam, long line 10 jam, pole and line 6-7 jam, bagan apung 8 jam, dan lampara 8 jam. Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik. Dari analisa prosentase penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS') mendapatkan nilai= 18,75%, karena dari total 16 jenis alat tangkap yang digunakan (bagan apung, bubu, jaring insang dasar, jaring insang hanyut, kelong, lampara, long line, panah, pancing dasar, pancing hanyut, pancing tonda, 22 pole and line, pukat hiu, pukat kombong, purse seine, dan tombak) terdapat 3 alat tangkap yang berselektivitas rendah yaitu: lampara, pukat hiu, dan pukat kombong (daftar acuan selektivitas alat tangkap versi EAFM, 2012). Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal diberikan status buruk, kesesuaian rendah antara fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal karena kapal perikanan di Kabupaten Flores Timur mayoritas kapal yang digunakan nelayan dibawah 5 GT dan hasil wawancara di satker pengawasan wilayah Flores yang berkantor di Kota Larantuka, menyatakan bahwa banyak kapal yang beroperasi di Flores Timur tidak memiliki dokumen sesuai spesifikasi kapal (khusus kapal ikan dibawah 5 GT) karena modifikasi armada, namun sulit dilakukan pemantauan dan penegakan aturan karena keterbatasan sumberdaya manusia di satker pengawasan, juga kesadaran nelayan dalam mematuhi aturan yang berlaku masih rendah. Indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan diberikan status sedang. Di Kabupaten Flores Timur pengurusan kepemilikan sertifikat nelayan plasma dilakukan oleh perusahaan masing-masing, sementara untuk sertifikasi awak kapal perikanan dibawah 5 GT belum ada (mayoritas kapal perikanan dibawah 5 GT), hanya SLO diberikan setiap nelayan turun melaut dan untuk sertifikasi kesempurnaan diberikan setiap 3 bulan sekali. Dengan data ini dapat dipastikan bahwa kualifikasi rendah untuk awak kapal perikanan terutama kapal lebih kecil dari 5 GT, karena tidak bisa terukur secara formal, hanya berdasarkan pengalaman melaut semata. 4.1.4. Domain Sosial Indikator partisipasi pemangku kepentingan diberikan status buruk. Data penelitian menunjukkan bahwa hanya 3% responden yang menyatakan adanya keterlibatan dan kesepakatan dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kegiatan dan kesepakatan tersebut antara lain: tetap menjaga kelestarian sumberdaya laut, tukar pikiran sesama nelayan, dan sosialisasi terhadap masyarakat tentang habitat dan lingkungan laut. Status buruk diberikan untuk indikator ini karena dari 100 responden, 97% responden tidak berpartisipasi dan tidak aktif 23 dalam kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Flores Timur. Indikator konflik perikanan diberikan status buruk. Hasil analisis data primer (wawancara nelayan) menyatakan bahwa, konflik wilayah penangkapan terkategori rendah, karena 92% responden menyatakan tidak terjadi konflik perebutan wilayah penangkapan dan hanya 8% menyatakan adanya konflik karena perebutan kepemilikan rumpon dan penggunaan bom ikan. Untuk konflik kategori antar alat tangkap 93% responden menyatakan tidak terjadi konflik dimaksud, sementara kategori konflik antar kebijakan atau aturan hanya 6% responden yang menyatakan adanya konflik (karena rebutan lahan penangkapan), dan dari ketiga bentuk konflik tersebut rata-rata frekuensi kurang dari 2 kali dalam setahun. Namun hasil temuan WWF SOLAR sebelumnya di lapangan terjadi konflik pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Lembata (Balauring) antara kapal Pole and Line asal Kabupaten Flores Timur, dan juga aktivitas pemboman yang terjadi lebih besar 5 kasus per tahun pada musim tuna. Dengan temuan ini maka diberikan status buruk pada indikator ini. Dan hasil penelitian Studi Pilihan Kebijakan perikana Berkelanjutan pada tahun 2013 oleh WWF Solar disampaikan juga terdapat 17 kasus yang sudah ada putusannya. Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) diberikan status buruk. Keberadaan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Flores Timur sangat buruk, dalam analisa data menunjukkan 70% responden menyatakan tidak adanya pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan dan 30% responden tidak memberikan jawaban. 4.1.5. Domain Ekonomi Indikator kepemilikan aset diberikan status sedang. Data penelitian menunjukkan bahwa hanya 9,38% responden menyatakan bahwa terjadi penambahan aset produktif berupa mesin dan alat tangkap, sementara 90,62% menyatakan tidak terjadi pertambahan (tetap) aset produktif yang mendukung pekerjaan sebagai nelayan. 24 Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (Perikanan Pelagis) Bagan Apung 3,266,307 Huhate 1,487,978 Lampara 3,782,306 Rawai Hanyut 1,968,995 Pukat Kombong 2,107,222 Purse Seine 6,361,555 Pancing 2,154,514 Jaring Insang 1,167,398 - 1,000,0002,000,0003,000,0004,000,0005,000,0006,000,0007,000,000 Gambar 6. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap Indikator pendapatan rumah tangga (RTP) diberikan status baik. Gambar 6 menunjukkan bahwa dari 8 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan untuk kategori perikanan pelagis, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp.1.167.398 per bulan untuk alat tangkap jaring insang dan tertinggi untuk alat tangkap purse seine sebesar Rp. 6.361.555 per bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Flores Timur sudah cukup baik (UMR Provinsi NTT Rp. 1.050.000). Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (Perikanan Demersal) Bubu 756,208 Senapan 667,000 Pancing 786,148 Jaring Insang 905,915 - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 Gambar 7. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap Demikian juga dengan perikanan demersal pada Gambar 7, dari 4 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan, didapatkan nilai rata25 rata terendah sebesar Rp. 667.000 per bulan untuk alat tangkap bubu dan tertinggi untuk alat tangkap jaring insang sebesar Rp. 905.915 per bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Flores Timur sudah cukup baik karena kisaran nilai RTP perikanan demersal tidak terlampau kecil dari nilai UMR Provinsi NTT. Perkembangan armada dan alat penangkapan ikan di Kabupaten Flores Timur dalam kurun waktu tahun 2006-2010 cenderung meningkat dan berorientasi ke penggunaan armada dan alat penangkapan ikan modern. Peningkatan ini dapat dipahami mengingat rumah tangga perikanan di Kabupaten Flores Timur cenderung membaik kondisi ekonominya. Secara umum hasil analisis terhadap keberadaan alat tangkap yang berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga perikanan terkategori baik dan memenuhi standar minimum UMR, dengan demikian dapat direkomendasikan kepada nelayan bahwa dengan peningkatan armada dan alat penangkapan yang lebih modern memberikan peluang pengembangan usaha dan peningkatan pendapatan rumah tangga, selain memberikan kontribusi bagi pembentukan PDRB Kabupaten Flores Timur, juga memberikan sumbangan pada kesempatan kerja yang ditunjukkan oleh jumlah tenaga kerja yang terserap karena peningkatan armada dan alat tangkap yang lebih besar dan modern. Indikator saving rate diberikan status sedang. Dari data penelitian menunjukkan nilai tertinggi saving ratio pada alat tangkap purse seine sebesar Rp. 5.427.735 dan terendah pada alat tangkap huhate yang mendapatkan nilai minus (Gambar 8). Data ini memberikan gambaran bahwa potensi nelayan di Flores Timur untuk menabung cukup baik, sementara untuk SR pada alat tangkap huhate yang mendapatkan nilai minus bukan berarti penggunaan alat tangkap ini tidak memberikan keuntungan bahkan tidak punya peluang menabung bagi nelayan huhate, namun lebih disebabkan tidak tersedia secara akurat data mengenai penghasilan rumah tangga dan penghasilan tambahan dari rumah tangga perikanan tersebut. 26 Saving Ratio Per Jenis Alat Tangkap (Perikanan Pelagis) Bagan Apung 2,066,528 Huhate (892,927) Lampara 2,057,806 Rawai Hanyut 1,186,790 Pukat Kombong 1,723,472 Purse Seine 5,427,735 Pancing 1,534,168 Jaring Insang (2,000,000) (1,000,000) 627,121 - 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 Gambar 8. Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap Untuk saving ratio perikanan demersal (Gambar 9) juga menunjukkan tren yang hampir sama dengan perikanan pelagis, dimana alat tangkap senapan dan pancing mendapatkan nilai minus (tidak tersedia data yang akurat). Saving Ratio Per Jenis Alat Tangkap (Perikanan Demersal) Bubu 893,292 Senapan (214,667) Pancing (135,849) Jaring Insang (400,000) (200,000) 437,096 - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 Gambar 9. Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap 27 4.1.6. Domain Kelembagaan Indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal diberikan status sedang. Hasil wawancara dengan pihak DKP menyebutkan bahwa dalam setahun tercatat 3 pelanggaran, yaitu: 1) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan serta melengkapi dokumen sesuai kebutuhan, 2) Pelanggaran daerah penangkapan dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan dengan kategori berat dan dilakukan sosialisasi, pembinaan, pemberian sanksi dan denda sesuai peraturan daerah yang berlaku. Untuk pelangaran terhadap aturan non formal tidak ada informasi pelanggaran. Berdasarkan studi kebijakan perikanan berkelanjutan dikatakan bahwa perbuatan pidana perikanan tahun 2010-2012 terjadi 17 kasus perikanan 16 kasus mengenai bahan peledak, dan pembiusan sedangkan hanya 1 kasus saja mengenai perijinan Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan diberikan status sedang. Adanya beberapa peratuan yang mendukung upaya pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Flores Timur, yaitu: ketentuan perijinan usaha penangkapan ikan dan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur No.4 tahun 2005 tentang retribusi penggantian biaya administrasi. Dari sisi jumlah aturan formal yang ada terdapat dalam jumlah yang tetap, sementara jumlah pelanggaran yang tercatat pihak dinas terdapat pelanggaran yang sudah diproses atau ditetapkan statusnya dan dilakukan penegakan aturan main serta efektif. Adanya upaya dan kesadaran masyarakat dalam membantu pengawasan terhadap tindak pidana di laut dan membantu dalam memberikan informasi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di laut. Indikator mekanisme pengambilan keputusan diberikan status sedang. Secara spesifik belum tergambar dari rekapan kuisioner tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan, namun dapat terlihat bahwa telah terbentuk wadah (kelembagaan formal) yang mendukung mekanisme kelembagaan ditingkat masyarakat dan selalu dibina/dipantau DKP Flores Timur yaitu kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas) yang sudah terbentuk sebanyak 7 kelompok yang tersebar di 7 kecamatan. 28 Indikator rencana pengelolaan perikanan diberikan status buruk. Belum ada RPP, yang sudah dilakukan hanya berkaitan dengan penegakan aturan yaitu pembentukan kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas). Indikator tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan diberikan status baik. Sinergitas antar lembaga berjalan baik, terutama setelah mengikuti tahapan EAFM, dan adanya upaya-upaya untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan perikanan agar semakin baik (Senin 16 April 2012, terlaksananya kegiatan sinkronisasi hasil penelitian dan kajian WWF SOLAR untuk mengsosialisasikan hasil-hasilnya, yang salah satunya adalah pengkajian pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Flores Timur, Juni 2012 terlaksananya kegiatan pelatihan indicator EAFM, pembentukan tim PPKKPD dalam rangka penyiapan data dan informasi EAFM dan Update indicator EAFM pada bulan September 2013 termasuk lakokarya parapihak tentang pengelolaan perikanan dengan pendekatan EAFM dan KKPD Flores Timur). Sinergitas Kebijakan dan kelembagaan SPP masih berputar pada pengendalian melalui perijinan pengelolaan perikanan. Yang mengacu pada Perda no. 14 2008 tentang Retribusi Ijin Usaha dan Perda No. 13 tahun 2011 tentang retribusi perijinan tertentu. Dan untuk Operasional SPP, konservasi dan Pemulihan belum memiliki Perda dan masih mengacu pada UU Perikanan Indikator kapasitas pemangku kepentingan diberikan status sedang. Adanya peningkatan kapasitas dalam menunjang program pengembangan EAFM dan pelatihan serta sosialisasi yang diberikan terkait dengan pengelolaan perikanan 3 kali setahun baik oleh lembaga swasta maupun pemerintah. Namun persoalan mutasi dan rotasi PNS menjadi salah sebab keahlian yang didapat tidak difungsikan dengan baik. 4.2. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Lembata 4.2.1. Domain Sumberdaya Ikan Indikator CpUE Baku diberikan status sedang. Analisis CpUE dari data sekunder (statistik perikanan tangkap) menunjukkan tren penurunan dalam 3 tahun terakhir namun dengan angka yang sangat kecil, sementara analisis CpUE dari data primer dengan nelayan menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir jumlah hasil 29 tangkap tidak berubah secara signifikan, hal ini didukung oleh 67,65% nelayan yang setuju kalau jumlah hasil tangkap relatif tidak berubah/sama, hanya 13,24% responden yang menyatakan telah terjadi penurunan jumah hasil tangkapan dan 19,12% responden menyatakan jumlah hasil tangkap meningkat. CPUE KABUPATEN LEMBATA 0.6 0.4821 0.5 0.4 0.3 0.1452 0.2 0.1097 0.1 0.0932 0.0045 0 2006 2007 2008 2009 2010 Gambar 10. CpUE Kabupaten Lembata peridoe 2006 – 2010 Indikator tren ukuran ikan diberikan status sedang. Ukuran ikan yang tertangkap oleh nelayan dalam 5 tahun terakhir (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil/besar dan demersal) relatif berukuran sama (82,86%) dan hanya 2,86% responden yang menyatakan ukuran ikan yang ditangkap lebih kecil. Indikator proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap diberikan status sedang. Baik pada musim puncak, sedang dan paceklik rata-rata yuwana (juvenile) yang tertangkap 30-60%, dengan data ini mengindikasikan kalau nelayan terpaksa menangkap ikan yuwana selain karena pengaruh musim tangkapan juga tidak ada upaya untuk melindungi ikan berukuran kecil (bisa dibuktikan dengan alat tangkap yang digunakan nelayan di Lembata didominasi oleh bagan (lift net) dan lampara dengan ukuran mata jaring yang kecil. Indikator komposisi spesies diberikan status sedang. Tangkapan sampingan nelayan di Lembata relatif besar dan didominasi oleh spesies yang dilindungi seperti Hiu, Penyu, Lumba-lumba dan dalam jumlah yang relatif banyak (Hiu bisa tertangkap sampai dengan 30 ekor), status sedang diberikan dengan pertimbangan 30 selain selektifitas alat tangkap juga karena kesadaran nelayan ketika tertangkap ikan/mamalia yg dilindungi (Penyu/Lumba-lumba/Hiu) tidak dilepas namun dimanfaatkan (dimakan/dijual). Indikator "Range Collapse" sumberdaya ikan diberikan status baik. Alasan yang dipakai untuk menentukan status dari indikator range collapse sumberdaya ikan pada domain ini dalam kategori baik karena jarak yang ditempuh dekat dan lokasi (habitat/ekosistem) yang dituju selalu tersedia ikan dalam jumlah yang banyak (75% nelayan setuju kalau lokasi penangkapan selalu tersedia stok ikan dalam jumlah banyak dan dekat dengan fishing base). Indikator spesies ETP diberikan status buruk. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan di Kabupaten Lembata sudah sangat paham tentang biota yang dilindungi (91,43% menyatakan paham tentang biota yang dilindungi), namun tidak diikuti dengan tindakan melindungi, karena dari hasil analisis data menunjukan bahwa kesadaran nelayan untuk melindungi biota yang terancam punah/rentan/langka (ETP) masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya spesies-spesies yang dilindungi yaitu: Penyu= 1-20 ekor/trip, Lumba-lumba kurang lebih 20 ekor per tahun, Kima rata-rata 5 ekor per trip, dan Paus kurang lebih 20 ekor per tahun. 4.2.2. Domain Habitat dan Ekosistem Indikator kualitas perairan diberikan status buruk (merupakan nilai akumulatif dari 3 kriteria dalam indikator kualitas perairan). Data hasil penelitian BLHD Kabupaten Lembata tahun 2011, menunjukkan kisaran nilai kualitas perairan laut (fisik, kimia, dan biologi) masih termasuk dalam baku mutu yang dipersyaratkan oleh PP No.82/2001, sementara untuk data tingkat kekeruhan (NTU) yang dijadikan indikator untuk mengetahui laju sedimentasi perairan dan eutrofikasi tidak tersedia data pendukung. Indikator status lamun diberikan status sedang. Luasan lamun teridentifikasi berdasarkan citra Aster seluas 2,490.16 ha pada tahun 2009. Hasil pengamatan ditemukan 7 (tujuh) spesies lamun dijumpai di perairan Kabupaten Lembata. Ketujuh spesies tersebut adalah Enhalus accoroides, Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, 31 Syringodium isoetifolium, dan Halophyla sp). Persen tutupan lamun tertinggi yaitu di lokasi Pasir Putih sebesar 48,3% dan tutupan terendah di lokasi Tg. Baja sebesar 16,5%. Indikator status mangrove diberikan status baik. Hasil penelitian WWF (2009) di 16 stasiun di Kabupaten Lembata menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon terkategori tinggi (rata-rata 8.323 pohon/hektar di 16 stasiun). Dari hasil sampling vegetasi mangrove ditemukan 16 jenis mangrove (Acrostichum speciosum, Avicennia alba, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera hainessii, Ceriops decandra, Ceriops Tagal, Lumnitzera racemosa, Nypa Fruticans, Pandanus tectorius, Phemphis acidula, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, dan Xylocarpus moluccensis), dari 9 family (Arecaceae, Avicenniaceae, Lythraceae, Meliaceae, Pandanaceae, Combretaceae, Pteridaceae, Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae). Dari 16 jenis yang ditemukan, 1 jenis (Ceriops decandra) merupakan salah satu dari 14 jenis yang langka di Indonesia namun ditemukan melimpah setempat di Kabupaten Lembata. Indikator status terumbu karang diberikan status sedang. Hasil penelitian WWF (2009), dimana pengamatan terumbu karang dengan metode LIT, yang dilakukan pada 18 stasiun diperoleh persentase tutupan karang hidup antara 22,77% - 71,97% dengan rerata persentase tutupan karang hidup 50,90%. 10 stasiun dalam kondisi baik (55,13% – 71,97%), 5 stasiun dalam kondisi cukup baik (38,17% - 48,60%, dan 3 stasiun dalam kondisi kurang baik (< 25 %). Dari hasil transek dan koleksi bebas dicatat karang batu sebanyak 19 suku dan 345 jenis. Indikator habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling) diberikan status buruk. Kajian SPAG masih dalam proses oleh WWF dan Kajian Upwelling di Lembata belum ditemukan. Indikator perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat diberikan status sedang, karena belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim dan dampak terhadap habitat terumbu karang terkena dampak perubahan iklim dibawah 5%. 32 4.2.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan Indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau illegal diberikan status buruk. Data penelitian menunjukkan bahwa rata-rata 10 kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dan 41,67% responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar (bahkan pada musim tuna antara bulan Juli-September aktivitas bom bisa berlangsung setiap harinya dan salah satu lokasi pengeboman ikan yaitu di Selat Solor). Indikator modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan diberikan status sedang. Data penelitian menunjukkan bahwa prosentasi memodifikasi alat tangkap dan alat bantu yang berpotensi merusak ekosistem dan penangkapan ikan yuwana berpeluang kecil, karena dari total responden hanya 12,50% yang memodifikasi alat tangkap namun yang dimodifikasi hanya penyambungan antara panjang jaring dan kedalaman (Pukat dan Purse seine). Ukuran ikan target yang dominan tertangkap rata-rata berukuran sedang atau layak tangkap, hanya beberapa ikan pelagis besar (Cakalang, Tongkol, dan Tuna) yang sering tertangkap dengan ukuran dibawah ukuran normal (belum matang gonad). Indikator kapasitas perikanan dan upaya penangkapan (fishing capacity and effort) diberikan status sedang. Penghitungan hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) menunjukkan bahwa 13,24% responden menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, ikan yang ditangkap relatif berukuran sama/tidak berubah, trip rata-rata alat tangkap: pukat dan purse seine 5 jam, pancing tuna 5 jam, bagan 8-10 jam, pancing dasar 10 jam, dan jaring insang 8 jam (data tambahan adalah kapasitas tangkapan yg direkap dari statistik perikanan tangkap). Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik. Dari analisa prosentase penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS') mendapatkan nilai= 21,43%, karena dari total 14 jenis alat tangkap yang digunakan (Jaring Insang Hanyut, Bagan, Bubu, Jaring insang dasar, Lampara, Pancing tuna, Pancing dasar, Pancing tonda, Pancing gurita, Pancing layang, Pancing tegak, Pukat Kombong, Pukat Tudak, Purse seine) terdapat 3 alat tangkap yang berselektivitas rendah yaitu: Lampara, Pukat kombong, dan Pukat tuduk (daftar acuan selektivitas alat tangkap versi EAFM, 2012). 33 Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal diberikan status buruk, karena kesesuaian rendah antara fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal juga karena kapal perikanan di Kabupaten Lembata mayoritas dibawah 5 GT. Indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan diberikan status buruk. Untuk kecakapan awak kapal perikanan diberikan skor rendah karena sertifikasi awak kapal dikeluarkan bagi kapal yang berlayar diatas 60 mil dengan kapal ukuran diatas 10 GT, sementara di Kabupaten Lembata mayoritas kapal perikanan dibawah 5 GT. Dengan data ini hampir dipastikan bahwa kualifikasi awak kapal perikanan rendah, karena tidak bisa terukur secara formal, hanya berdasarkan pengalaman melaut semata. 4.2.4. Domain Sosial Indikator partisipasi pemangku kepentingan diberikan status buruk . Data penelitian menunjukkan bahwa hanya 5,88% responden yang menyatakan adanya keterlibatan dan kesepakatan dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kegiatan dan kesepakatan tersebut antara lain: bersih pantai, membahas jenis dan ukuran tangkapan, membahas alat tangkap yang boleh digunakan, dan sharing ilmu dan pengalaman budidaya. Status rendah diberikan untuk indikator ini karena dari 68 responden, 94,12% menyatakan tidak terlibat dalam kegiatan dan kesepakatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Indikator konflik perikanan diberikan status buruk. Data WWF (2011), diketahui tercatat 10-15 konflik wilayah antara nelayan tuna di Desa Balauring dengan nelayan pole and line asal Kabupaten Flores Timur yang menangkap di wilayah rumpon nelayan Balauring. Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) diberikan status sedang. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Lembata cukup baik, hasil analisa data penelitian menunjukkan skor 2 pada skala likert (19,12% responden menyatakan ada dan dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya 34 ikan), karena selain mempunyai pengetahuan lokal (aturan adat) juga telah berlaku kurang lebih 100 tahun (misalnya: tidak boleh menggunakan pukat harimau, dilarang menggunakan bom dan potas serta pengambilan ikan tidak boleh merusak karang). 4.2.5. Domain Ekonomi Indikator kepemilikan aset diberikan status sedang. Sifat kepemilikan sarana penangkapan biasanya berhubungan dengan penerimaan keuntungan dari usaha perikanan. Kepemilikan sarana penangkapan di Kabupaten Lembata dimiliki oleh pemilik lokal. Sifat kepemilikan sarana dan prasarana ini menunjukkan tingkat kemandirian penduduk/nelayan lokal terhadap kepemilikan aset usaha perikanan yang tidak tergantung pada pihak luar. Hasil analisis menunjukkan bahwa 11,11% responden menyatakan bahwa terjadi penurunan aset produktif, sementara 88,89% menyatakan aset produktif tetap atau tidak terjadi penambahan dari tahun sebelumnya. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (Perikanan Pelagis) Lampara Bagan Apung 5,959,083 3,327,228 Pukat Kombong 1,820,167 Purse Seine 3,489,144 Pancing 1,468,887 Jaring Insang 1,020,416 - 1,000,0002,000,0003,000,0004,000,0005,000,0006,000,0007,000,000 Gambar 11. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap Indikator pendapatan rumah tangga (RTP) diberikan status baik. Gambar 11 menunjukkan bahwa dari 6 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan untuk kategori perikanan pelagis, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp.1.020.416 per bulan untuk alat tangkap jaring insang dan tertinggi untuk alat tangkap lampara sebesar Rp. 5.959.083 per bulannya, dengan 35 data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Lembata sudah cukup baik (UMR Provinsi NTT Rp. 1.050.000). Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (Perikanan Demersal) Jaring Insang 806,142 Bubu 550,185 Pancing 557,065 - 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 Gambar 12. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap Demikian juga dengan perikanan demersal, dari 3 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp. 557.065 per bulan untuk alat tangkap pancing dan tertinggi untuk alat tangkap jaring insang sebesar Rp. 806.142 per bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Lembata sudah cukup baik karena kisaran nilai RTP perikanan demersal tidak terlampau kecil dari nilai UMR Provinsi NTT (UMR Provinsi NTT Rp. 1.050.000). Walaupun nilai pendapatan rumah perikanan pelagis dan demersal sudah cukup baik, namun disarankan untuk ditingkatkan nilai produk hasil perikanan pelagis dan demersal lewat diversifikasi/pengolahan produk ikan segar bernilai budaya (misalkan pengolahan ikan tuna se’i/asap). Dengan keragaman diversifikasi produk olahan tradisional berbasis budaya diharapkan bisa meningkatkan ekonomi rumah tangga perikanan, selain itu juga sebagai solusi terciptanya kedaulatan pangan secara nasional karena rakyat mampu menyediakan ikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein baik secara segar maupun diolah. Indikator saving rate diberikan status baik. Dari data penelitian menunjukkan nilai tertinggi saving ratio pada alat tangkap lampara sebesar Rp. 2.295.333 dan terendah pada alat tangkap jaring insang bahkan mendapatkan nilai 36 minus. Data ini memberikan gambaran bahwa potensi nelayan di Lembata untuk menabung cukup baik, sementara untuk SR pada alat tangkap jaring insang yang mendapatkan nilai minus bukan berarti penggunaan alat tangkap ini tidak memberikan keuntungan bahkan tidak punya peluang menabung bagi nelayan jaring insang, namun lebih disebabkan tidak tersedia secara akurat data mengenai penghasilan rumah tangga dan penghasilan tambahan dari rumah tangga perikanan tersebut. Saving Ratio Per Jenis Alat Tangkap (Perikanan Pelagis) Lampara 2,295,333 Bagan Apung 1,545,978 Pukat Kombong 521,833 Purse Seine 1,063,954 Pancing 787,744 Jaring Insang (1,000,000) (500,000) (584,821) - 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 Gambar 13. Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap Untuk saving ratio perikanan demersal dari 3 jenis alat tangkap yang dianalisis SR hasilnya terkategori kurang dimana alat tangkap bubu dan pancing mendapatkan nilai minus (tidak tersedia data yang akurat), dan SR jaring insang dengan nilai yang sangat kecil. Dengan data SR ini, memberikan gambaran bahwa ada kemungkinan usaha perikanan demersal di Kabupaten Lembata kurang menguntungkan. Alat tangkap yang kurang produktif dan akibat iklim/cuaca yang tidak menentu semakin memperparah usaha perikanan tersebut. 37 Gambar 14. Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap Selain karena ketidak-akuratan data untuk menganalisis SR perikanan demersal, bisa juga risiko hilangnya alat tangkap (bubu dan pancing) karena terbawa cuaca buruk atau gelombang dan arus yang besar. Hal ini bisa menyebabkan kerugian bagi nelayan, dan berdampak pada pendapatan rumah tangga perikanan termasuk SR dari alat tangkap tersebut. 4.2.6. Domain Kelembagaan Indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (adat) diberikan status buruk. Hasil wawancara dengan beberapa stakeholder menyebutkan bahwa dalam setahun tercatat 5 pelanggaran, yaitu: 1) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilaporkan ke Polres Lembata, 2) Penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan kategori sedang dan dilakukan pembinaan oleh dinas, 3) Pengeboman dan potasium ikan dengan kategori berat dan ditangani langsung oleh dinas dan kepolisian (pidana dan diproses melalui jalur hukum), 4) Tidak lengkap administrasi dengan kategori ringan dan dilakukan pembenahan dan pengurusan administrasi, 5) Pelanggaran jalur penangkapan dengan kategori sedang dan dilakukan penahanan (tindakan persuasif). Untuk pelanggaran terhadap aturan non formal tidak ada informasi. 38 Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan diberikan status sedang. Adanya beberapa peratuan yang mendukung upaya pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Lembata, yaitu: Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 6 Tahun 2005 tentang Retribusi Penggantian Biaya Administrasi dan Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 10 tahun 2007 tentang Retribusi Usaha Perikanan. Peraturan nasional diantaranya: UU 31 tahun 2004 (perubahan UU 45 tahun 2009), UU No. 27 tahun 2007, Kepmen 45 tahun 2000, Kepmen 10 tahun 2003, Kepmen 47 tahun 2001, Kepmen 45 tahun 2009, Permen No. 5 tahun 2008, Permen No.2 Tahun 2011. Adanya penegakan hukum namun tidak efektif, karena: 1) Ketergantungan dan kebiasan menangkap dengan bom ikan, serta belum tersentuh secara keseluruhan oleh pemerintah, 2) Karena tekanan ekonomi membuat nelayan melakukannya lagi dan pemintaan pasar (termasuk hasil tangkapan tidak ramah lingkungan). Secara kelembagaan adanya aparat/orang tetapi dalam jumlah terbatas dan alat/sarana yang kurang memadai, sehingga tidak mendukung secara penuh penanganan kasus-kasus untuk diberlakukan tindakan/teguran/hukuman terhadap yang melanggar. Indikator mekanisme pengambilan keputusan diberikan status baik. Dalam perijinan usaha perikanan, mekanisme pengambilan keputusan dilakukan dengan mengundang semua stakeholder yang berkepentingan ada dalam sebuah workshop untuk membahas tentang perijinan usaha perikanan, dan hasil workshop dibuatkan rekomendasi kepada pemerintah daerah dan DPR (contoh prosedur perijinan yang disepakati: pengajuan permohonan, verifikasi kelengkapan dokumen, proses perijinan, dan dokumen perijinan). Setiap keputusan yang dihasilkan (misalnya perijinan usaha perikanan) berjalan baik dan efektif, karena verifikasi dilakukan secara bersama dari tingkat yang paling bawah sampai dikeluarkannya dokumen perijinan (hanya masih belum diatur jalur penangkapan kapal-kapal nelayan setempat). Indikator rencana pengelolaan perikanan diberikan status buruk. Belum adanya RPP di Kabupaten Lembata, yang baru dilakukan sebatas kebijakan wilayah konservasi dan pengaturan daerah penangkapan ikan, namun belum 39 sepenuhnya dijalankan karena masih ada nelayan yang melanggar kebijakan yang dikeluarkan dinas dikarenakan belum mengerti aturan pengelolaan perikanan. Indikator tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan diberikan status baik. Sinergitas antar lembaga berjalan baik, misalkan dalam perijinan adanya koordinasi dengan lembaga lain (perhubungan dan dinas pendapatan daerah), sementara dalam upaya penanganan kasus-kasus IUU Fishing adanya dukungan operasional penangkapan dan penanganan kasus (Polri, TNI AL, Kejaksanaan), serta dalam kerja sama antar lembaga tersebut adanya kebijakan yang saling mendukung. Indikator kapasitas pemangku kepentingan diberikan status sedang, karena kecilnya frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem. Pernah mengikuti kegiatan perencanaan dan konsep pengelolaan perikanan tetapi tidak difungsikan dengan baik sehingga pengetahuan dan pemahaman tentang RPP dan EAFM sangat rendah. 4.3. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Alor 4.3.1. Domain Sumberdaya Ikan Data statistik perikanan tangkap dalam bentuk Tabel CPUE menunjukkan tren kenaikan pada tahun 2006 sampai 2009, dan menurun nilainya pada tahun 2010. Dalam hasil wawancara dengan responden dalam kaitan dengan hasil tangkapan per unit usaha (CPUE), menunjukkan bahwa nelayan menyatakan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkap dalam 5 tahun terakhir, dimana 73,91% setuju kalau hasil tangkapan berkurang, 21,74% menjawab biasa-biasa saja hasil tangkapannya, dan 4,35% responden menyatakan bahwa dalam 5 tahun terakhir terjadi kenaikan hasil tangkapan. Bila dibandingkan dua data tersebut terlihat ada perbedaan, namun bila ditelaah lebih dalam dapat dijelaskan bahwa tren kenaikan CPUE dalam nilai yang kecil dan sudah termasuk hasil produksi yang didaratkan dari luar Kabupaten Alor, sehingga pernyataan responden/nelayan bisa diterima dengan asumsi tersebut. 40 CPUE KABUPATEN ALOR 0.5 0.4658 0.45 0.4 0.35 0.3074 0.3 0.25 0.2556 0.2226 0.2 0.15 0.1 0.05 0.0077 0 2006 2007 2008 2009 2010 Gambar 15. CPUE Kabupaten Alor peridoe 2006 – 2010 Status sedang diberikan untuk indikator ukuran ikan, karena secara umum 61,72% responden (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil/besar dan demersal lebih setuju kalau ukuran ikan dalam 5 tahun terakhir relatif berukuran sama dan 36,72% menyatakan ukuran ikan yang ditangkap lebih kecil. Pada musim puncak dan musim sedang rata-rata ikan yuwana (juvenile) yang tertangkap 30% sementara musim paceklik rata-rata 60%, dengan data ini mengindikasikan kalau nelayan terpaksa menangkap ikan yuwana karena pada musim paceklik hampir sulit ditemukan ikan berukuran layak tangkap (mature), data tersebut didukung 20,31% responden dan sisanya79,69% responden tidak ada informasi. Dengan analisis tersebut maka indikator proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap diberikan status buruk Indikator komposisi spesies diberikan status baik. Tangkapan sampingan nelayan relatif kecil yaitu dengan persentase rata-rata sebesar 6,31% dari hasil tangkapan target berdasarkan 4 alat tangkap yaitu Bubu, Jaring Insang, Jala Lompo dan Pancing. Pada alat tangkap lainnya yaitu Pukat pantai hasil tangkapan tidak dihitung sebagai hasil sampingan, karena tidak ada target ikan secara khusus, sedangkan alat tangkap lampara tidak ada informasi. Persentase tangkapan sampingan berdasarkan alat tangkap yaitu : bubu sebesar 6,89%, Jaring Insang sebesar 3,58%, Jala lompo sebesar 10,88%, pancing sebesar 22,83%. Alat tangkap 41 pancing justru paling banyak menangkap hasil sampingan terjadi pada nelayan pancing pelagis besar, contohnya seperti Ikan Layar, Lemadang, dan Baby tuna (satuan dalam kg). Secara keseluruhan terdapat 40 spesies ikan yang biasa ditangkap nelayan di Kabupaten Alor (Ikan Bayar/Kembung, Bawo/Lamoru, Belo-belo, Biji Nangka, Cakalang, Gergahing, Golok-golok, Kaburak, Kakaktua, Kakap Merah, Kakap Putih, Kamera, Kerapu Bakau, Kerapu Bebek, Kerapu Capan, Kerapu Karet Hitam, Kerapu Kwaci Abu-abu, Kerapu Kwaci Putih, Kerapu Lumpur, Kerapu Macan, Kerapu Malabar, Kerapu Merah, Kerapu Sosis, Kerapu Sue-sue, Kerapu Sunu, Kulit Pasir, Lamada, Layang/Terbang, Lember, Mane, Motonggolong, Phada/Baronang, Sembe/Lember, Simba, Sura/Motong, Tembang, Tenggiri, Tuna Mata Besar, Tuna Sirip Kuning, dan Tunung Lolong/Sweet Lips). Indikator Spesies ETP diberikan status buruk. Perairan Kabupaten Alor telah ditetapkan dan diberlakukan sebagai kawasan konservasi laut, namun kesadaran nelayan untuk melindungi biota yang terancam punah/rentan/langka (ETP) masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih tertangkapnya spesies-spesies yang dilindungi yaitu: Penyu 62 ekor, Lumba-lumba 18 ekor, Batu laga 14 ekor, Duyung 5 ekor, Hiu 1 ekor, dan Paus 1 ekor. Alasan yang dipakai untuk menentukan status dari indikator range collapse sumberdaya ikan pada domain ini dalam kategori baik, yaitu jarak yang ditempuh dekat dan lokasi (habitat/ekosistem) yang dituju selalu tersedia ikan dalam jumlah yang banyak (90% responden setuju kalau lokasi penangkapan selalu tersedia stok ikan dalam jumlah banyak dan dekat dengan fishing base). 4.3.2. Domain Habitat dan Ekosistem Status lamun di Kabupaten Alor dalam kategori sedang. Hasil penelitian WWF (2009), menyebutkan luasan lamun teridentifikasi berdasarkan citra Aster seluas 649,37 ha dengan persen tutupan lamun tertinggi yaitu di lokasi Pulau Lapang sebesar 58,8% dan tutupan terendah di lokasi Mali sebesar 15%. Dan di 6 (enam) lokasi pengamatan ditemukan 7 (tujuh) spesies lamun. Ketujuh spesies tersebut antara lain: Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium 42 isoetifolium, Cymomodocea rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Halodule sp. Status mangrove di Kabupaten Alor dalam kategori sedang. Hasil penelitian WWF (2009) di 20 stasiun di Kabupaten Alor menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon terkategori tinggi (rata-rata 7.235 pohon/hektar). Dari 20 lokasi yang dilakukan sampling vegetasi ditemukan 15 jenis mangrove dari 11 family (Acanthus ilicifolius, Acrostichum speciosum, Aegialitis annulata, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, Heritiera globosa, Lumnitzera racemosa, Nypa fruticans, Phemphis acidula, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba). Hasil wawancara dengan masyarakat luasan hutan mangrove cenderung tetap, diketahui data awal mangrove di Kabupaten Alor seluas 678.65 ha. Status terumbu karang di Kabupaten Alor dalam kategori. Berdasarkan data WWF tahun 2012 menggunakan survey Reef Health didapatkan kondisi terumbu karang di Kabupaten Alor berada pada kondisi buruk-sedang (< 50%), dan dengan tutupan rata-rata karang keras hidup 35,41% dikategori sedang. Survey ekologi tahun 2009 mencatat jumlah genus karang keras tertinggi ditemukan di Pulau Buaya sebanyak 31 genus yang tergolong dalam 13 famili dan di pulau Ternate sebanyak 27 genus dan 14 family karang. Identifikasi spesies karang penyusun ekosistem terumbu karang yang ditemukan sebanyak 75 spesies karang keras. Famili karang keras yang paling banyak dijumpai adalah Acroporidae, Poritidae, Faviidae dan Fungiidae. Sedangkan genus karang paling umum dijumpai yaitu Acropora, Montipora, Porites, Favites, Favia, Montastrea, Diploastrea Oxypora, Goniopora,Echinopora, Pocillopora, Stylopora dan Seriatopora. Untuk Karang lunak genus yang dijumpai pada stasiun pengamatan adalah Sarcophyton, Sinularia, Lobophyton, Nepthea, Lemnalia dan Alertigorgia. Teridentifikasi luasan terumbu karang di Kabupaten Alor adalah 3,011.31 ha. Ancaman utama terhadap ekosistem terumbu karang di perairan KKPD Kabupaten Alor, adalah faktor alamiah dan faktor akibat kegiatan pemanfaatan laut yang tidak ramah lingkungan (Destructive fishing). Di beberapa lokasi pengamatan seperti pada stasiun Pulau Batang dan Bana ditemukan koloni karang yang mengalami pemutihan secara alami, juga dijumpai adanya bintang 43 laut berduri (Acanthaster planci) dan kerang Drupela yang merupakan predator karang. Di Pulau Batang kerusakan fisik ekosistem terumbu karang lebih banyak disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan pembiusan menggunakan potasium. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase penutupan patahan karang dengan ukuran yang seragam dan dalam area yang luas terutama pada kedalaman 5 - 8 meter. Kerusakan ini telah terjadi pada waktu lampau dan sekarang terlihat mulai adanya pemulihan. Selain aktivitas pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan, kerusakan terumbu karang pada semua lokasi pengamatan juga ditandai dengan dijumpainya patahan karang dengan ukuran yang bervariasi dan tidak seragam, hal ini dapat menjadi indikasi bahwa kerusakan karang (terutama karang bercabang) terjadi karena jangkar perahu atau adanya kegiatan manusia untuk menangkap/mengambil biota laut (WWF, 2009). 4.3.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan Indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal diberikan status buruk, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata 30 kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dan 24,81% responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar, 0,75% akibat potasium, 0,75% akibat pukat harimau/trawl dan 20,30% menyatakan tidak tahu. Indikator modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan diberikan status sedang, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa sebab nelayan memodifikasi alat tangkap ikan dan alat bantu penangkapan, yaitu karena musim paceklik sulit mendapatkan ikan dan ketidak-selektifan alat tangkap dalam memenuhi produksi yang berakibat terhadap kerugian nelayan. 6,02% responden memodifikasi mata jaring dari gillnet/pukat, 3,01% memodifikasi bagian sayap, kantong, dan mata jaring jala lompo, 0,75% menggunakan pemberat dari batu karang untuk bubu (merusak habitat karang). Dan dari data ukuran ikan target yang dominan tertangkap rata-rata berukuran sedang atau layak tangkap, hanya beberapa ikan pelagis besar (tongkol dan tuna) yang sering tertangkap dengan ukuran dibawah ukuran normal (belum matang gonad). 44 Indikator Fishing capacity dan Effort diberikan status sedang. Pada penghitungan hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) dari data primer (wawancara nelayan) menunjukkan bahwa, 73,91% responden menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, ikan yang ditangkap relatif berukuran lebih kecil, trip melaut yang besar (rata 22-26 hari dalam sebulan) dan bahkan beberapa nelayan menambah armada tangkap untuk meningkatkan hasil produksi. Dengan data tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Alor mulai mengarah pada tangkap lebih (overfishing). Dalam mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di Kabupaten Alor, hendaknya pemerintah kabupaten menjadikan kapasitas perikanan tangkap sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan. Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik, dengan alasan bahwa dari analisa prosentase penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS') mendapatkan nilai= 27,27%, karena dari total 11 jenis alat tangkap yang digunakan (jaring insang, bubu, jala lompo, jaring insang, jaring insang dasar, pancing, lampara, pancing tonda, pancing dasar,bsenapan, dan pukat pantai) hanya 3 alat tangkap yang berselektivitas rendah yaitu pukat pantai, lampara, dan jala lompo (daftar acuan selektivitas alat tangkap versi EAFM, 2012). Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal diberikan status buruk, karena 8,1% responden menyatakan sudah memiliki izin resmi dari DKP Kabupaten Alor terkait perijinan kepemilikan kapal, sedangkan 91,9% responden lainnya tidak terdaftar di DKP. Indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan diberikan status buruk. Tidak ada informasi terkait sertifikasi awak kapal. 89,1% armada nelayan di Kabupaten Alor merupakan sampan atau perahu layar, 6,6% merupakan sampan dengan mesin tempel dan 4,3% termasuk dalam motor tempel 0-10 GT. Sertifikasi awak kapal dikeluarkan bagi kapal yang berlayar diatas 60 mil dengan kapal ukuran diatas 10 GT, di Kabupaten Alor hampir semuanya dibawah 10 GT. 45 4.3.4. Domain Sosial Indikator partisipasi pemangku kepentingan diberikan status sedang, karena hasil penelitian menunjukkan hanya 11,11% responden menyatakan adanya keterlibatan dan kesepakatan dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kegiatan dan kesepakatan tersebut antara lain: mencegah pengrusakan karang (konservasi terumbu karang), larangan menangkap biota laut yang dilindungi dan masih yuwana/belum layak tangkap, penempatan bubu tidak boleh di atas terumbu karang, dan bersih pantai. Status sedang diberikan untuk indikator ini karena pada proses pembuatan zonasi KKPD Kabupaten Alor, telah melibatkan multistakeholder pengguna sumberdaya pesisir dan laut di 7 kecamatan dan melibatkan 394 orang perwakilan tiap desa pesisir yang menyatakan sikap dalam mendukung proses perencanaan zonasi tersebut. Indikator konflik perikanan diberikan status buruk. Konflik perikanan cukup besar dengan frekuensi rata-rata 5 kejadian/kasus disebutkan oleh 50,37% responden yang diwawancarai, model konflik yang ditemukan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Alor yaitu: konflik antar wilayah lebih disebabkan karena pemasangan rumpon (termasuk oleh nelayan dari luar daerah), konflik alat tangkap antara pemancing dan pemilik jala lompo dalam perebutan lokasi rumpon, dan konflik antar sektor menurut responden yaitu pariwisata. Model-model dan frekuensi konflik ini harus menjadi perhatian semua stakeholder yang punya kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (Perairan Alor sebagai kawasan konservasi laut). Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) diberikan status baik. Pengetahuan lokal (aturan adat) dalam penerapannya efektif karena sebagian masyarakat nelayan masih berasumsi bahwa keturunan mereka berasal dari ikan, oleh karena itu adanya upaya menjaga sumberdaya ikan. Kerangka pembentukan dan implementasi pengelolaan perikanan di Indonesia (khususnya Kabupaten Alor) yang berbasis pada pengetahuan lokal dan dilaksanakan secara kolaboratif sudah tersedia. Namun demikian, dalam tataran pelaksanaannya masih memerlukan dukungan politik yang lebih kuat dengan berpijak pada prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan dan berbasis ekosistem (Adrianto, dkk, 2011). 46 4.3.5. Domain Ekonomi Untuk indikator kepemilikan aset diberikan status buruk, karena hasil analisis menunjukkan bahwa 84,85% responden menyatakan terjadi penurunan aset produktif, hal ini disebabkan oleh pembengkakan biaya operasional (terutama musim paceklik) dan biaya perbaikan dan perawatan kapal dan alat tangkap. Hanya 15,15% yang menyatakan terjadi kenaikan aset produktif dibanding tahun sebelumnya. Dari data penelitian terlihat bahwa lebih dari 50% responden memiliki aset non produktif (lebih mementingkan barang-barang elektronik yang bersifat hiburan dibanding aset produktif untuk mendukung usaha/mata pencaharian). Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (Perikanan Pelagis) Pukat Pantai 1,007,167 Lampara 5,313,333 Pancing 979,403 Jala Lompo 3,746,938 Jaring Insang 802,365 - 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 Gambar 16. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap Indikator pendapatan rumah tangga (RTP) diberikan status sedang. Status sedang diberikan dengan pertimbangan, bahwa walaupun nilai pendapatan rumah tangga perikanan pelagis diatas UMR Provinsi NTT, namun untuk perikanan demersal mendapatkan nilai dibawah UMR Provinsi NTT. Gambar 16 menunjukkan bahwa dari 5 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan untuk kategori perikanan pelagis, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp.802.365 per bulan untuk alat tangkap jaring insang dan tertinggi untuk alat tangkap lampara sebesar Rp. 5.313.333 per bulannya, dengan 47 data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan perikanan pelagis di Kabupaten Alor sudah cukup baik (UMR Provinsi NTT Rp. 1.050.000). Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (Perikanan Demersal) Senapan 366,459 Pancing 659,231 Jaring Insang 626,240 Bubu 317,500 - 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 Gambar 17. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap Sementara untuk perikanan demersal, dari 4 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp. 317.500 per bulan untuk alat tangkap bubu dan tertinggi untuk alat tangkap pancing sebesar Rp. 659.231 per bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Flores Timur terkategori rendah karena kisaran nilai RTP perikanan demersal terlampau kecil dari nilai UMR Provinsi NTT (UMR Provinsi NTT Rp. 1.050.000). Dengan status sedang pada indikator ini tetap memberikan ruang bagi upaya pemanfaatan sumberdaya ikan dengan cara yang merusak dan illegal untuk mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan, dan juga ketergantungan yang tinggi pada sumberdaya perikanan. Indikator saving rate diberikan status buruk. Dari data penelitian menunjukkan nilai tertinggi saving ratio pada alat tangkap lampara sebesar Rp. 3.463.333 dan terendah pada alat tangkap pukat pantai bahkan mendapatkan nilai minus. Sementara untuk kategori perikanan demersal nilai tertinggi saving ratio 48 pada alat tangkap jaring insang sebesar Rp. 36.769 dan terendah pada alat senapan, pancing, dan bubu dengan nilai minus. Data ini memberikan gambaran bahwa potensi nelayan di Alor untuk menabung rendah (kecuali bagi alat tangkap berukuran besar seperti lampara dan jala lompo). Saving Ratio Per Jenis Alat Tangkap (Perikanan Pelagis) Pukat Pantai (16,167) Lampara 3,463,333 Pancing 292,939 Jala Lompo 1,102,749 Jaring Insang (500,000) 66,798 - 500,0001,000,0001,500,0002,000,0002,500,0003,000,0003,500,0004,000,000 Gambar 18. Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap Saving Ratio Per Jenis Alat Tangkap (Perikanan Demersal) Senapan (282,083) Pancing (123,550) Jaring Insang (73,894) 36,769 Bubu (300,000) (250,000) (200,000) (150,000) (100,000) (50,000) - 50,000 100,000 Gambar 19. Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap 49 Dengan nilai saving rate yang rendah memberikan gambaran bahwa pola pengelolaan perikanan tradisional di Kabupaten Alor tidak mampu meningkatkan nilai perekonomian rumah tangga perikanan. Hal ini bisa disebabkan oleh karena economic overfishing (tangkap lebih secara ekonomi) merupakan penyakit utama rendahnya kinerja perikanan yang menimbulkan kemiskinan di wilayah tersebut, dan fenomena economic overfishing mendominasi ketimbang biological overfishing (tangkap lebih secara biologi) untuk perikanan pesisir di Indonesia (Fauzi, 2005). 4.3.6. Domain Kelembagaan Indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (adat) diberikan status buruk. Data aktivitas merusak yang direkap dari hasil wawancara dengan masyarakat nelayan tercatat bahwa rata-rata 30 kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dimana 24,81% responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar, 0,75% akibat potasium, dan 0,75% akibat pukat harimau/trawl. Data DKP Kabupaten Alor menyebutkan bahwa dalam setahun tercatat 3 pelanggaran, yaitu: 1) Penggunaan alat tangkap terlarang dengan kategori berat dan diproses, 2) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan tindakan persuasif, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan dengan kategori ringan dan diproses. Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan diberikan status sedang, karena adanya beberapa peraturan setingkat gubernur dan bupati yang mendukung upaya pelestarian sumberdaya pesisir dan laut (ada tapi jumlahnya tetap), Keputusan Gubernur No.70 tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Kajian Konservasi Solar dan Peraturan Bupati No.6 tahun 2009 tentang Kawasan Konservasi Selat Pantar. Dari jumlah pelanggaran yang terekap pihak dinas terdapat pelanggaran yang sudah diproses atau ditetapkan statusnya dan diberikan sanksi. Namun aturan yang ditegakkan masih belum berjalan efektif dengan masih ditemukan adanya aktifitas destructive fishing di wilayah perairan Alor. Sarana dan prasarana yang tersedia menurut sebagian besar responden (60%) 50 sudah cukup dengan adanya speed boat sebagai kapal pengawas, namun aparat yang tersedia masih kurang. Kendala lainnya adalah minimnya biaya operasional pengawasan, sehingga pengawasan belum mencakup keseluruhan perairan. Indikator mekanisme pengambilan keputusan diberikan status sedang. Terdapat mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan, contoh: 1) Perijinan usaha penangkapan; dinilai tidak efektif oleh responden, karena dalam perijinan belum dicantumkan jumlah kuota biota laut yang diambil sesuai aturan, dan komunikasi antar lembaga dalam penerapan aturan kurang berjalan. 2) Operasionalisasi penangkapan; sarana dan prasarana tersedia namun kurang prioritasnya anggaran dalam operasional pengawasan, sehingga menjadi tidak efektif dalam implementasinya, dan masih banyak ditemukan dokumen kapal yang tidak berijin. Pengawasan terhadap dokumen di dinas masih belum efektif. 3) Konservasi dan pemulihan sumberdaya pesisir dan laut; dinilai belum efektif dikarenakan proses perluasan KKPD Kabupaten Alor masih berjalan, sehingga belum ada aturan yang mengikat. Indikator rencana pengelolaan perikanan diberikan status buruk. Belum ada RPP, rencana pengelolaan perikanan mengacu pada RTRW dan draft zonasi KKPD kabupaten Alor, namun kedua aturan tersebut masih dalam proses drafting dan belum ditetapan. Indikator tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan diberikan status sedang. Komunikasi antar lembaga tidak efektif, contohnya dalam perijinan hasil tangkapan dan armada, dalam implementasinya kurang kordinasi antara lembaga/dinas teknis dengan aparat penegak hukum. Dalam hal perijinan tidak ada dokumen kesepakatan bersama antar lembaga, namun dalam pelaksanaannya sudah saling mendukung, misalnya dalam konteks perijinan kapal: ukuran kapal dan ijin berlayar dikoordinir oleh syahbandar, ijin penggunaan kapal untuk kepentingan perikanan di DKP dengan melampirkan dokumen pas kapal dari syahbandar, KSDA terkait biota yangg diatur dalam PP No.5 Tahun 1990, dan Polisi Pamong Praja dan Polisi Perairan terkait keamanan dan pengawasan perairan. Indikator kapasitas pemangku kepentingan diberikan status baik. Terdapat peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dengan frekuensi lebih dari 4 kali 51 pada tahun 2011 dalam proses pembuatan KKPD Kabupaten Alor yang dilakukan oleh WWF melalui serangkaian workshop dan pelatihan SPAG, Resources Use Monitoring, dan Marxan. 52 BAB V. ANALISIS KOMPOSIT PENGELOLAAN PERIKANAN 5.1. Perikanan Kabupaten Flores Timur 5.1.1. Domain Sumberdaya Ikan INDIKATOR 1. CpUE Baku 2. Tren ukuran ikan 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA CpUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CpUE Baku digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit perikanan yang dikaji. Jika CpUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CpUE dominan - Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus) Logbook, Enumerator, Observer selama minimal 3 tahun dari unit perikanan yang dikaji 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun) Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity) SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 40 1 29 1.38 2 20 2 29 1160 2 15 3 29 870 2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat - Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis) untuk unit perikanan yang dikaji untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun, untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan - Sampling program secara reguler - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%) 53 4. Komposisi spesies hasil tangkapan Spesies target yang dimanfaatkan, spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan - Logbook, observasi - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 5. "Range Collapse" sumberdaya ikan lokasi penangkapan ikan yang semakin jauh - Survey dan monitoring, logbook, observasi - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume) 2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume) 1 = semakin sulit, tergantung spesies target Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES - Survey dan monitoring, logbook, observasi dalam satu tahun terakhir - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 10 4 29 580 2 10 5 29 580 5 6 29 145 2 = relatif tetap, tergantung spesies target 3 = semakin mudah, tergantung spesies target 1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target 2= fishing ground jauh, tergantung spesies target 6. Spesies ETP 2 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target 1= terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas; 2 = tertangkap tetapi dilepas 3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap 2 1 KURANG 3336.38 54 5.1.2. Domain Habitat dan Ekosistem INDIKATOR 1. Kualitas perairan DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3bahan berbahaya & beracun), menggunakan parameter dari KepMen LH 51/2004 ttg Baku Mutu Air Laut Lampiran 3 Kualitas perairan dilihat dari Tingkat Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi Total Data sekunder, sampling, monitoring, >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) Eutrofikasi menggunakan parameter klorofil a 2. Status ekosistem lamun KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1= tercemar; 3 25 1 29 1691.67 15 2 29 870 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelit (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT. 1= > Melebihi baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 2= Sama dengan baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; 1 3 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; 3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l 1=tutupan rendah, 30%; 2 55 2=tutupan sedang, 30 - < 60%; 3=tutupan tinggi, 60% Tutupan dan keanekaragam an spesies lamun 3. Status ekosistem mangrove Status mangrove dievaluasi berdasarkan persentase tutupan dan kerapatan >> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org) Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling 1=keanekaragam an rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3 2 = kanekaragam an sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3 5 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 5 1=tutupan rendah, < 50%; 3 15 2 29 1305 15 2 29 0.52 50 - < 2=tutupan sedang, 75%; 3=tutupan tinggi, 2 75 % 1=kerapatan rendah (<1000 pohon/ha); 3 2 = kerapatan sedang (1000-1500 pohon/ha); 4. Status ekosistem terumbu karang > Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dan keanekaragam an karang hidup yang didasarkan atas live form Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Survey : Transek (2 kali dalam setahun) >> Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan 3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha) 1=tutupan rendah, <25%; 1 2=tutupan sedang, 25 - < 50%; 3=tutupan tinggi, 50% 56 1=keanekaragam an rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 1 2 = kanekaragam an sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 5. Habitat unik/khusus 6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring 1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 3 20 5 29 1740 1 10 6 29 0.34 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik > State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 1 57 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) 5607.53 BAIK 5.1.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan INDIKATOR 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan 3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort) DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA Penangkapan ikan bersifat destruktif yang dilihat dari penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku. - Laporan hasil pengawas perikanan, survey - data poor fisheries: laporan dari kepolisian, interview dari nelayan/POKMASWAS Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI Observer, Sampling ukuran ikan target/ikan dominan, ukuran Lm bisa diperiksa di www.fishbase.org 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; Besarnya kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan - survey, logbook - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1; 2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1; 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 30 1 29 1.03 3 25 2 29 2175 1 15 3 29 0.51 3 15 4 29 1305 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1 1 = rendah (> 75%) ; 58 2 = sedang (50-75%) ; 4. Selektivitas penangkapan Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal. Dibutuhkan pengetahuan cara mengukur dan informasi rasio dimensi dan berat GT kapal yang ada di lapangan 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas) Sampling kepemilikan sertifikat, yang ada di unit perikanan yang dikaji 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75% 1 10 5 29 0.34 2 5 6 29 290 SEDANG 3771.90 59 5.1.4. Domain Sosial INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan 2. Konflik perikanan 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) DEFINISI/ PENJELASAN Keterlibatan pemangku kepentingan Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector. Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan MONITORING/ PENGUMPULAN Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan. Persentase keterlibatan diukur dari jumlah tipe pemangku kepentingan, bukan individu pem angku kepentingan Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap sem ester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim) Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 = < 50%; 1 40 1 29 1.38 1 35 2 29 1.21 1 25 3 29 0.86 2 = 50-100%; 3 = 100 % 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan BURUK 3.44 60 5.1.5. Domain Ekonomi INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN 1. Kepemilikan Aset Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT, yang didapatkan dari usaha perikanan 2. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) Rumah Tangga Perikanan adalah rumah tangga nelayan, pengolah ikan dan pedagang ikan yang pendapatan utamanya dihasilkan dari kegiatan perikanan 3. Rasio Tabungan (Saving ratio) menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih MONITORING/ PENGUMPULAN Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP rata-rata setahun dengan mempertimbangkan musim selama lima tahun (sumber data : susenas BPS) Survei pendapatan rumah tangga perikanan dengan pendekatan sampling yang sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku, dimana pendapatan yang diukur dan dibandingkan dengan UMR adalah pendapatan individu yang berasal dari kegiatan perikanan pada unit perikanan yang dikaji Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer). Informasi bunga kredit dapat diperoleh di BI pada saat survey SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%); 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 2 45 1 29 2610 1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR 3 30 2 29 2610 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 2 25 3 29 1450 KRITERIA 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman BAIK 6670 61 5.1.6. Domain Kelembagaan INDIKATOR 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun nonformal DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal Monitoring ketaatan: 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya 3. Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya SKOR BOBOT (%) RANK -ING SKOR DENSITAS NILAI 1 25 1 29 1087.5 26 2 29 1658.8 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non form al 2 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan 1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda seharusnya juga membuat peraturan turunannya 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal 3= tidak ada informasi pelanggaran 1 = tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain; 2 = tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3 - 5 domain; 3 = tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari 6 domain 2 62 Elaborasi untuk poin 2 Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat pengawasan, orang 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah 1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman) 3=ada penegakan aturan main dan efektif 1= tidak ada alat dan orang; 2 2 2 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 3. Mekanisme pengambilan keputusan Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman 1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 3 2 18 3 29 1044 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 63 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya 4. Rencana pengelolaan perikanan 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 6. Kapasitas pemangku kepentingan Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner: 1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah 1=belum ada RPP; 2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1 15 4 29 0.52 3 11 5 29 957 5 6 29 290 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1) Ada atau tidak, berapa kali 2) Materi 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung 1=tidak ada peningkatan; 3 2 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya) SEDANG 5037.82 64 5.2. Perikanan Kabupaten Lembata 5.2.1. Domain Sumberdaya Ikan INDIKATOR 1. CpUE Baku 2. Tren ukuran ikan 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA CpUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CpUE Baku digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit perikanan yang dikaji. Jika CpUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CpUE dominan - Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus) Logbook, Enumerator, Observer selama minimal 3 tahun dari unit perikanan yang dikaji 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun) Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity) 2 BOBOT (%) 40 2 2 SKOR 1 SKOR DENSITAS 29 20 2 29 1160 15 3 29 870 RANKING NILAI 2320 2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat - Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis) untuk unit perikanan yang dikaji untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun, untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan - Sampling program secara reguler - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap sem akin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%) 65 4. Komposisi spesies hasil tangkapan 5. "Range Collapse" sumberdaya ikan Spesies target yang dimanfaatkan, spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan - Logbook, observasi - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume) lokasi penangkapan ikan yang sem akin jauh - Survey dan monitoring, logbook, observasi - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 1 = semakin sulit, tergantung spesies target Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES - Survey dan monitoring, logbook, observasi dalam satu tahun terakhir - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 10 4 29 580 3 10 5 29 870 5 6 29 0.17 2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume) 2 = relatif tetap, tergantung spesies target 3 = semakin mudah, tergantung spesies target 1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target 2= fishing ground jauh, tergantung spesies target 6. Spesies ETP 2 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target 1= terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas; 3 1 2 = tertangkap tetapi dilepas 3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap BAIK 5800.17 66 5.2.2. Domain Habitat dan Ekosistem INDIKATOR 1. Kualitas perairan DEFINISI/ PENJELASAN Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun), menggunakan param eter dari KepMen LH 51/2004 ttg Baku Mutu Air Laut Lampiran 3 Kualitas perairan dilihat dari Tingkat Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi Total Eutrofikasi menggunakan parameter klorofil a 2. Status ekosistem lamun Tutupan dan keanekaragaman spesies lamun MONITORING/ PENGUMPULAN Data sekunder, sampling, monitoring, >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1= tercem ar; 3 25 1 29 0.86 15 2 29 1087.5 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT 1= > Melebihi baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelit (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) 2= Sama dengan baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004 Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT. 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; 0 0 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; 3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l 1=tutupan rendah, 30%; 2 2=tutupan sedang, 30 - < 60%; 3=tutupan tinggi, 60% >> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org) 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3 3 67 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3 - 5 3. Status ekosistem mangrove Status mangrove dievaluasi berdasarkan persentase tutupan dan kerapatan Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 5 1=tutupan rendah, < 50%; 2=tutupan sedang, 75%; 3=tutupan tinggi, 3 15 2 29 1305 15 2 29 870 20 5 29 0.69 50 - < 75 % 1=kerapatan rendah (<1000 pohon/ha); 3 2 = kerapatan sedang (1000-1500 pohon/ha); 3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha) 4. Status ekosistem terumbu karang > Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dan keanekaragaman karang hidup yang didasarkan atas live form Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara 1=tutupan rendah, <25%; >> Survey : Transek (2 kali dalam setahun) >> Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan 2=tutupan sedang, 25 - < 50%; 3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 2 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 5. Habitat unik/khusus Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs 1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 1 68 6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik > State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 1 10 6 29 580 3 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) SEDANG 3844.05 69 5.2.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan MONITORING/ PENGUMPULAN SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun 1 30 1 29 1.03 Observer, Sampling ukuran ikan target/ikan dominan, ukuran Lm bisa diperiksa di www.fishbase.org 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 25 2 29 1450 - survey, logbook - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1; 2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1; 2 15 3 29 870 Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey 1 = rendah (> 75%) ; 3 15 4 29 1305 1 10 5 29 0.34 INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif Penangkapan ikan bersifat destruktif yang dilihat dari penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku. - Laporan hasil pengawas perikanan, survey - data poor fisheries: laporan dari kepolisian, interview dari nelayan/POKMASWAS 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI Besarnya kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan 3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort) 4. Selektivitas penangkapan 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal. Dibutuhkan pengetahuan cara mengukur dan informasi rasio KRITERIA 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 70 dimensi dan berat GT kapal yang ada di lapangan 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas) Sampling kepemilikan sertifikat, yang ada di unit perikanan yang dikaji 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75% 1 5 6 SEDANG 29 0.17 3626.55 71 5.2.4. Domain Teknis Sosial INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan 2. Konflik perikanan 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) DEFINISI/ PENJELASAN Keterlibatan pemangku kepentingan Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector. Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan MONITORING/ PENGUMPULAN Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan. Persentase keterlibatan diukur dari jumlah tipe pemangku kepentingan, bukan individu pem angku kepentingan Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim) Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 = < 50%; 1 40 1 29 1.38 1 35 2 29 1.21 2 25 3 29 1450 2 = 50-100%; 3 = 100 % 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan BURUK 1452.59 72 5.2.5. Domain Teknis Ekonomi INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN 1. Kepemilikan Aset Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT, yang didapatkan dari usaha perikanan 2. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) Rumah Tangga Perikanan adalah rumah tangga nelayan, pengolah ikan dan pedagang ikan yang pendapatan utamanya dihasilkan dari kegiatan perikanan 3. Rasio Tabungan (Saving ratio) menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih MONITORING/ PENGUMPULAN Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP rata-rata setahun dengan mempertimbangkan musim selama lima tahun (sumber data : susenas BPS) Survei pendapatan rumah tangga perikanan dengan pendekatan sampling yang sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku, dimana pendapatan yang diukur dan dibandingkan dengan UMR adalah pendapatan individu yang berasal dari kegiatan perikanan pada unit perikanan yang dikaji Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer). Informasi bunga kredit dapat diperoleh di BI pada saat survey SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%); 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 2 45 1 29 2610 1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR 3 30 2 29 2610 1 = kurang dari bunga kredit pinjam an; 2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 3 25 3 29 2175 KRITERIA 3 = lebih dari bunga kredit pinjam an BAIK SEKALI 7395 73 5.2.6. Domain Teknis Kelembagaan INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun nonformal Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal MONITORING/ PENGUMPULAN Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya 3. Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya KRITERIA 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 25 1 29 0.86 26 2 29 1809.6 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 1 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan 1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda seharusnya juga membuat peraturan turunannya 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal 3= tidak ada informasi pelanggaran 1 = tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain; 2 = tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3 - 5 domain; 3 = tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari 6 domain 2 74 Elaborasi untuk poin 2 Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat pengawasan, orang 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman) 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah 1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 2 2 3=ada penegakan aturan main dan efektif 1= tidak ada alat dan orang; 3 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 3. Mekanisme pengambilan keputusan Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman 1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 3 3 18 3 29 1566 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif 75 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 3 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya 4. Rencana pengelolaan perikanan 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 6. Kapasitas pemangku kepentingan Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner: 1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah 1=belum ada RPP; 2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1 15 4 29 0.52 3 11 5 29 957 5 6 29 290 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1) Ada atau tidak, berapa kali 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung 1=tidak ada peningkatan; 3 2 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 76 2) Materi 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 4623.98 SEDANG 5.3.Perikanan Kabupaten Alor 5.3.1. Domain Sumberdaya Ikan INDIKATOR 1. CpUE Baku 2. Tren ukuran ikan SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun) 2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat 1 40 1 29 1.38 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 20 2 29 1160 DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA CpUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CpUE Baku digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit perikanan yang dikaji. Jika CpUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CpUE dominan - Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus) Logbook, Enumerator, Observer selama minimal 3 tahun dari unit perikanan yang dikaji - Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis) untuk unit perikanan yang dikaji untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun, untuk spesies dominan yang 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar 77 secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity) 4. Komposisi spesies hasil tangkapan Spesies target yang dimanfaatkan, spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan 5. "Range Collapse" sumberdaya ikan lokasi penangkapan ikan yang sem akin jauh 1 15 3 29 0.52 1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume) 2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume) 3 10 4 29 870 1 = semakin sulit, tergantung spesies target 3 10 5 29 870 5 6 29 0.17 - Sampling program secara reguler - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun - Logbook, observasi - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 1 = banyak sekali (> 60%) - Survey dan monitoring, logbook, observasi - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%) 2 = relatif tetap, tergantung spesies target 3 = semakin mudah, tergantung spesies target 1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target 2= fishing ground jauh, tergantung spesies target 6. Spesies ETP Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES - Survey dan monitoring, logbook, observasi dalam satu tahun terakhir - data poor fisheries: interview kepada responden yang 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target 1= terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas; 2 = tertangkap tetapi dilepas 3 1 78 berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap 2902.07 KURANG 5.3.2. Domain Habitat dan Ekosistem INDIKATOR 1. Kualitas perairan DEFINISI/ PENJELASAN Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun), menggunakan parameter dari KepMen LH 51/2004 ttg Baku Mutu Air Laut Lampiran 3 Kualitas perairan dilihat dari Tingkat Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi Total Eutrofikasi menggunakan parameter klorofil a MONITORING/ PENGUMPULAN Data sekunder, sampling, monitoring, >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1= tercemar; 0 25 1 29 0 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT 1= > Melebihi baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelit (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab 2= Sama dengan baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; 0 3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004 0 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; 79 2. Status ekosistem lamun Tutupan dan keanekaragaman spesies lamun Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT. 3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l 1=tutupan rendah, 30%; 2 15 2 29 870 15 2 29 1305 2=tutupan sedang, 30 - < 60%; 3=tutupan tinggi, 60% >> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org) 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3 2 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3 - 5 3. Status ekosistem mangrove Status mangrove dievaluasi berdasarkan persentase tutupan dan kerapatan Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 5 1=tutupan rendah, < 50%; 2=tutupan sedang, 75%; 3 50 - < 3=tutupan tinggi, 75 % 1=kerapatan rendah (<1000 pohon/ha); 3 2 = kerapatan sedang (1000-1500 pohon/ha); 3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha) 80 4. Status ekosistem terumbu karang > Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dan keanekaragaman karang hidup yang didasarkan atas live form Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara 1=tutupan rendah, <25%; >> Survey : Transek (2 kali dalam setahun) >> Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan 2=tutupan sedang, 25 - < 50%; 3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 15 2 29 1087.5 1 20 5 29 0.69 1 10 6 29 580 3 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 5. Habitat unik/khusus 6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik > State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi 81 > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 3 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) 3843.19 SEDANG 5.3.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan INDIKATOR 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan 3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort) DEFINISI/ PENJELASAN Penangkapan ikan bersifat destruktif yang dilihat dari penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku. Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI Besarnya kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan MONITORING/ PENGUMPULAN - Laporan hasil pengawas perikanan, survey - data poor fisheries: laporan dari kepolisian, interview dari nelayan/POKMASWAS Observer, Sampling ukuran ikan target/ikan dominan, ukuran Lm bisa diperiksa di www.fishbase.org - survey, logbook - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam KRITERIA 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 510 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 30 1 29 1.03 2 25 2 29 1450 2 15 3 29 870 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1; 2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1; 82 4. Selektivitas penangkapan 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal perikanan terkait selama minimal 10 tahun 3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1 Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey 1 = rendah (> 75%) ; Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal. Dibutuhkan pengetahuan cara mengukur dan informasi rasio dimensi dan berat GT kapal yang ada di lapangan 3 15 4 29 1305 1 10 5 29 0.34 1 5 6 29 0.17 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas) Sampling kepemilikan sertifikat, yang ada di unit perikanan yang dikaji 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 5075%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75% SEDANG 3626.55 83 5.3.4. Domain Teknis Sosial INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan 2. Konflik perikanan 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI Keterlibatan pemangku kepentingan Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan. Persentase keterlibatan diukur dari jumlah tipe pemangku kepentingan, bukan individu pem angku kepentingan 1 = < 50%; 2 40 2 29 2320 Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap sem ester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim) 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 1 35 2 29 1.21 Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif 1 = tidak ada; 3 25 3 29 2175 Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector. Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan 2 = 50-100%; 3 = 100 % 3 = kurang dari 2 kali/tahun 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan SEDANG 4496.21 84 5.3.5. Domain Teknis Ekonomi INDIKATOR SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%); 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 1 45 1 29 2 1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR 2 30 2 29 1740 1 = kurang dari bunga kredit pinjam an; 2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 1 25 3 29 1 DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA 1. Kepemilikan Aset Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT, yang didapatkan dari usaha perikanan Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP rata-rata setahun dengan mempertimbangkan musim selama lima tahun (sumber data : susenas BPS) 2. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) Rumah Tangga Perikanan adalah rumah tangga nelayan, pengolah ikan dan pedagang ikan yang pendapatan utamanya dihasilkan dari kegiatan perikanan 3. Rasio Tabungan (Saving ratio) menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih Survei pendapatan rumah tangga perikanan dengan pendekatan sampling yang sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku, dimana pendapatan yang diukur dan dibandingkan dengan UMR adalah pendapatan individu yang berasal dari kegiatan perikanan pada unit perikanan yang dikaji Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer). Informasi bunga kredit dapat diperoleh di BI pada saat survey 3 = lebih dari bunga kredit pinjam an BURUK 1742.41 85 5.3.6. Domain Teknis Kelembagaan INDIKATOR 1. Kepatuhan terhadap prinsipprinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal DEFINISI/ PENJELASAN Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal MONITORING/ PENGUMPULAN Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya 3. Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya KRITERIA 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI 1 25 1 29 0.86 26 2 29 1809.6 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 1 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan 1) Benchm ark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda seharusnya juga membuat peraturan turunannya 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal 3= tidak ada informasi pelanggaran 1 = tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain; 2 = tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3 - 5 domain; 3 = tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari 6 domain Elaborasi untuk poin 2 2 2 86 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat pengawasan, orang 3= ada dan jumlahnya bertambah 1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman) 3=ada penegakan aturan main dan efektif 1= tidak ada alat dan orang; 3 3 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 3. Mekanisme pengambilan keputusan Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman 1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2 2 18 3 29 1044 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 87 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya 4. Rencana pengelolaan perikanan 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 6. Kapasitas pemangku kepentingan Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner: 1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah 1=belum ada RPP; 2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1 15 4 29 0.52 2 11 5 29 797.5 5 6 29 435 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1) Ada atau tidak, berapa kali 2) Materi 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung 1=tidak ada peningkatan; 3 3 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 4087.48 SEDANG 88 Dari hasil analisis komposit tematik yang telah dilakukan untuk setiap aspek pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (di Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor), mengestimasi keragaan agregat wilayah tahapan selanjutnya adalah pengelolaan menggunakan teknis komposit antar tematik. perikanan dengan Hasil estimasi tematik masing- masing aspek kemudian digabung menjadi satu indeks dengan asumsi tidak ada perbedaan bobot masing-masing aspek. Dengan kata lain, dalam analisis agregat seluruh aspek dianggap penting (Adrianto dkk, 2012). Hasil analisis komposit agregat menggunakan koneksitas Tabel 8. Tabel 8. Indeks Komposit Agregat Indikator EAFM untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Kabupaten Flores Timur Domain Sumberdaya Ikan Nilai Komposit 38 Kabupaten Lembata Kabupaten Alor Deskripsi Kurang Nilai Komposit 67 Deskripsi Baik Nilai Komposit 33 Deskripsi Kurang Habitat & ekosistem 64 Baik 44 Sedang 44 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 43 Sedang 42 Sedang 42 Sedang Sosial 0 Buruk 17 Buruk 52 Sedang Ekonomi 77 Baik 85 Baik Sekali 20 Buruk Kelembagaan 58 Sedang 53 Sedang 47 Sedang Aggregat 47 Sedang 51 Sedang 40 Kurang 89 Dari Tabel 8 tersebut di atas, kita mendapatkan gambaran detail mengenai kondisi perikanan terkini di Kabupaten, Flores Timur, Lembata, dan Alor. Hasil analisis dengan indeks dekomposit menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan kurang mendapat perhatian di 3 kabupaten di Provinsi NTT (Flores Timur, Lembata, dan Alor), bahkan Kabupaten Alor tidak ada domain dengan flag hijau, bila dikaitkan dengan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem maka ke 3 kabupaten tersebut terkategori sedang dan kurang dalam menerapkan EAFM. Mendapat perhatian serius adalah domain-domain yang berstatus kurang dengan flag modeling berwarna kuning muda, yang mendapat status sedang dengan flag modeling berwarna kuning, dan berstatus buruk dengan flag modeling berwarna merah, serta indikatorindikator dengan skor 1. Dengan status tersebut sudah harus menjadi data dasar dan langkah awal memulai menerapkan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem yang bermuara pada penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan. BAB VI. PEMBAHASAN 6.1. Metode dan analisa indikator EAFM yang digunakan 6.1.1. Metode EAFM Secara umum penggunaan metode EAFM mudah dipahami dengan indikator yang tepat untuk penilaian dan evaluasi pengelolaan perikanan, dimana indicator-indkator tersebut mampu menggambarkan kondisi yang ada. Data untuk kepentingan analisis didapat dari beberapa insntasi teknis (Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Stastistik, Bappeda, BKSDA, Sekretariat PMU Coremap Provinsi NTT dan Kabupaten Sikka). Data tersebut berupa statistic perikanan tangkap, laporan hasil penelitian dan kajian, baik dalam bentuk laporan akhir, terpublikasi dalam jurnal maupun hasil-hasil penelitian lainnya yang relevan. Sementara data primer di peroleh dari hasil wawancara rumah tangga perikanan, pemerintah desa, dan dinas teknis terkait menggunakan kuesioner. 6.1.2. Analisa Indikator EAFM 6.1.2.1. Domain Sumber Daya Ikan CPUE Baku Kriteria skor untuk CPUE Baku yaitu 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun); 2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun); dan 3 = stabil atau meningkat. Dan dalam penelitian ini ditambahkan juga perhitungan nilai regresi linier dan nilai koefisien determinasinya. Ukuran ikan Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan namun jika hanya didasarkan dari data interview relatif sulit menentukan presentasinya, sehingga data ini lebih obyektif hasil dari survei/sampling. Disarankan penelitian secara dalam jangka waktu 2-3 tahun secara continue untuk melihat tren, termasuk penerapan system pencatatan lewat logbook. Komposisi spesies Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif 91 Spesies ETP Kriteria skor untuk Spesies ETP yaitu : 1= > 1 tangkapan spesies ETP; 2 = 1 tangkapan spesies ETP; dan 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap. Mesti juga ditetapkan batasan banyak atau sedikit jumlah dari masing-masing spesies ETP yang ditangkap. "Range Collapse" sumberdaya ikan Kriteria skor yang telah ditentukan yaitu mudah tidaknya melakukan penangkapan sumberdaya ikan dan dekat atau jauhnya fishing ground (FG) dari pada fishing base (FB) dapat digunakan secara efektif. Densitas/Biomassa untuk ikan karang & invertebrata Kriteria skor untuk densitas/biomassa untuk ikan karang & invertebrata yaitu : 1 = jumlah individu < 10 ind/m3, UVC < 10 ind/m2; 2 = jumlah individu = 10 ind/m3, UVC 10 ind/m2; dan 3 = jumlah individu > 10 ind/m3, UVC > 10 ind/m2, dengan criteria tersebut sangat mudah digunakan dan efektif. 6.1.2.2. Domain Habitat Kualitas perairan Ketiga criteria yang digunakan dapat digunakan secara efektif. Status lamun Kriteria skor untuk tutupan dan nilai indeks keanekaragaman lamun dapat digunakan secara efektif. Status Mangrove Pendekatan pemahaman komunitas mangrove di lokasi kajian dilakukan dengan analisis data yang meliputi kerapatan dan kerapatan relatif spesies, frekuensi dan frekuensi relatif spesies, penutupan dan penutupan relatif spesies dan nilai indeks penting spesies yang mengacu pada English et.al (1994) dan Bengen (2001). a. Kerapatan Spesies Kerapatan spesies (D) adalah jumlah tegakan spesies i dalam suatu unit area : Di = ni/A Keterangan : Di : Kerapatan spesies-i 92 ni : Jumlah total tegakan dari spesies-i A : Luas total area pengambilan contoh b. Keparapatan Relatif Spesies Kerapatan relatif spesies (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan spesies i (ni) dan jumlah tegakan seluruh spesies ( n) : RDi = (ni/ n) x 100 Keterangan : RDi : Kerapatan relatif spesies-i ni : Jumlah total tegakan dari spesies-i n : Jumlah tegakan seluruh spesies c. Frekuensi Frekuensi spesies (Fi) adalah peluang ditemukannya spesies-i dalam petak contoh/plot yang diamati : Fi = pi/ p Keterangan : Fi : Frekuensi spesies i pi : Jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan spesies-i p : Jumlah total petak contoh/plot yang diamati d. Frekuensi Relatif Spesies Frekuensi relatif spesies (FRi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies-i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies ( F) : RFi = (Fi/ F) x 100 e. Penutupan Spesies Penutupan spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies-i dalam suatu unit area Ci = BA/A Keterangan : BA : DBH2/4 (dalam cm2) : 3,1416 DBH : Diameter pohon dari spesies-i DBH : CBH/ (dalam cm) CBH : Lingkar pohon setinggi dada (1,3 m) 93 A : Luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot) f. Penutupan Relatif Spesies Penutupan relatif spesies (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan spesies-i (Ci) dan luas total penutupan untuk seluruh spesies ( C): RCi = (Ci/ C) x 100 g. Nilai Indeks Penting Nilai indeks penting memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peran suatu spesies tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. Nilai Indeks Penting spesies berkisar antara 0 – 300. Nilai Indeks Penting spesies (IVi) merupakan jumlah nilai kerapatan relatif spesies (RDi), frekuensi relatif spesies (RFi) dan penuhhtupan relatif spesies (RCi). IVi = RDi + RFi + RCi Status Terumbu Karang Kriteria skor Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dapat digunakan secara efektif dikarenakan data yang terpublikasi minimal mencakup spesies karang dan persentase tutupan karang, sedangkan nilai indek keanekaragaman cenderung tidak diperoleh data/informasinya. Data yang dapat menunjang penghitungan nilai indeks keanekaragaman karang adalah berkaitan dengan jumlah individu karang dalam satua luas, sehingga data tersebut dapat terlengkapi dengan data survei lapangan. Habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling). Menentukan nilai dari Kriteria skor mengenai diketahui atau tidaknya diketahui habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling) dapat dilakukan dengan efektif. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya Dalam menentukan status dan produksi estuaria dan perairan yang terdefinisi dalam Kriteria skor yaitu : 1 = produktivitas rendah; 2 = produktivitas sedang; dan 3 = produktivitas tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut perlunya penentuan parameter fisika (misalnya : kecerahan, kekeruhan), kimia (misalnya pH, konsentrasi nitrat, atau fosfat) atau biologi 94 (kelimpahan/keanekaragaman plankton) perairan untuk menentukan keproduktifan perairan estuaria tersebut. Perlu dibuat definisi produktivitas dari sisi kimiawi, karena dari sisi biologis sudah dibahas pada eutrofikasi, perlu penetapan parameter kunci dari aspek fisika, kimia dan biologi 6.1.2.3. Domain Teknik Penangkapan Ikan Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal Kriteria skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 5 - 10 kasus per tahun; dan 3 = frekuensi pelanggaran < 5 kasus per tahun. Berdasarkan Kriteria skor tersebut perlu ditentukan level pelanggaran (ringan, sedang dan berat), sehingga bobot pelanggaran dapat di lebih proporsional. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Kriteria skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm; dan 3 = <25% ukuran target spesies < Lm. Untuk memenuhi data tersebut harus dilakukan sampling ukuruan ikan target/ikan dominan. Fishing capacity dan Effort Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Selektivitas penangkapan Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal. Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. 6.1.2.4. Domain Sosial Partisipasi pemangku kepentingan Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Konflik perikanan Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. 95 Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. 6.1.2.5. Domain Ekonomi Pendapatan rumah tangga (RTP) Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Kepemilikan aset Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Saving rate Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif jika responden memberikan rasio tabungan dengan income mereka. 6.1.2.5. Domain Kelembagaan Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Adat). Dengan menetapkan jumlah kasus maka indicator ini dapat digunakan secara efektif. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Kriteria skor untuk kelengkapan dekumen pengelolaan perikanan dan membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya serta ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya dapat digunakan secara efektif. Mekanisme pengambilan keputusan Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Rencana pengelolaan perikanan Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 96 Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Kapasitas pemangku kepentingan Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. 97 6.2. Performa perikanan yang dikaji 6.2.1. Kabupaten Flores Timur Berdasarkan hasil analisis indeks dekomposit untuk Ecosystem Approach to Fisheries Management di Kabupaten Flores Timur menunjukan status sedang dengan flag modeling berwarna kuning dan nilai akhir agregat sebesar 47%. Domain yang perlu mendapat mendapat perhatian yaitu: Domain Sumberdaya Ikan (untuk indikator CpUE Baku dan Spesies ETP), Domain Habitat & Ekosistem (untuk indikator kualitas perairan, status terumbu karang, habitat unik/khusus, produktivitas estuary, dan perubahan iklim terhadap kondisi perairan), Domain Teknik Penangkapan Ikan (untuk indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau illegal, fishing capacity dan effort, kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan), dan Domain Sosial (untuk semua indikator). Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 38 Kurang Habitat & ekosistem 64 Baik Teknik Penangkapan Ikan 43 Sedang Sosial 0 Buruk Ekonomi 77 Baik Kelembagaan 58 Sedang Aggregat 47 Sedang Gambar 20. Status Perikanan Berbasis Ekosistem Berdasarkan Nilai Komposit di Kabupaten Flores Timur Dari domain ekonomi, indikator saving rate sudah sangat baik (rata-rata saving rate perikanan pelagis sebesar Rp. 1.716.337 dan rata-rata saving rate perikanan demersal sebesar Rp. 244.968), ini menunjukkan bahwa kemampuan nelayan menabung di Kabupaten Flores Timur terkategori baik. Namun, dari sudut pandang sektor ekonomi bahwa alternatif pekerjaan dan pendapatan masih sangat dibutuhkan bagi para penduduk lokal yang berprofesi nelayan perlu dikaji dan diciptakan, karena apabila nelayan hanya bergantung pada sektor ini saja secara jangka panjang usaha perikanan itu sendiri akan mengalami penurunan keuntungan (termasuk nilai SR). Bila alternatifnya adalah pemberian subsidi pada sektor perikanan ini, menjadi dilema karena besarnya subsidi yang diberikan akan menyebabkan semakin besarnya 98 tingkat eksploitasi sumberdaya, namun jika subsidi tidak diberikan maka usaha perikanan yang dilakukan oleh nelayan (terutama nelayan kecil) sulit untuk diteruskan. Dari sisi potensi sumberdaya hayati laut, wilayah Laut Flores Timur merupakan bagian terbesar dari total luas wilayah Flores Timur (69%). Hamparan wilayah Laut Flores Timur yang terbentang antara pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil, dengan selat dan teluk-teluk, mengandung potensi perikanan dan kelautan yang kaya. Selain itu juga telah dibangun sebuah prasarana pendukung bagi pengembangan usaha perikanan tangkap yaitu Pelabuhan Pendaratan Ikan di Kota Larantuka. Dengan potensi tersebut, maka pemerintah Kabupaten Flores Timur telah mengkomodirnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Flores Timur Tahun 2012-2016. Untuk itu penentuan kebijakan sangat diperlukan, yaitu keterlibatan nelayan dan stakeholder lainnya, agar kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah Kabupaten Flores Timur beguna dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Ketersediaan dan peranserta stakeholder merupakan faktor kunci agar pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Flores Timur dapat dikelola untuk tujuan berkelanjutan dan lestari. Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Flores Timur yang masih relatif besar dan belum optimal pemanfaatannya merupakan sumber ekonomi baru, apalagi didukung dengan kelembagaan yang baik (analisis kelembagaan EAFM mendapat status baik/flag modeling hijau). Ini menjadi modal bagi pemerintah daerah dan stakeholder lainnya merumuskan format pengelolaan perikanan berkelanjutan dan lestari, dalam bentuk yang baku dan dapat diterapkan, yaitu membuat Dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Kabupaten Flores Timur sebagai acuan dalam pengelolaan perikanan. Dalam konteks proses perencanaan RPP di atas, Kusumastanto dkk (2006), menyarankan agar peran stakeholders selalu muncul dalam setiap tahapan mulai dari formulasi sampai evaluasi. Dengan demikian, pendekatan partisipatif menjadi salah satu syarat utama dalam proses penyusunan RPP, karena prinsip dasar dari RPP adalah sifat komprehensif dan holistik dari sistem perikanan yang akan menjadi subjek pengelolaannya. Elemen dasar RPP yang disarankan Kusumastanto dkk (2006) seperti terlihat pada Tabel 9, yaitu: Tabel 9. Elemen Dasar Rencana Pengelolaan Perikanan No Elemen 1 Prinsip-prinsip pengelolaan 99 1.1 Misi 1.2 Tujuan Pembangunan dan Pengelolaan Perikanan 1.3 Kebijakan dan Perencanaan Perikanan 1.4 Profil Wilayah 2 Profil Perikanan 2.1 Keterkaitan antar Sektor 2.2 Keadaan Umum Perikanan 2.3 Industri Perikanan 3 Pengelolaan Perikanan 3.1 Proses dan Perencanaan Perikanan 3.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir 3.3 Peraturan Perikanan 3.4 Wilayah Perikanan 3.5 Kerangka Organisasi Pengelolaan 3.6 Riset Perikanan dan Statistik 3.7 MCS (Monitoring, Control, and Surveillance) dalam Pengelolaan Perikanan 3.8 Inspeksi, perizinan, dan Sistem Lisensi 4 Pembangunan Perikanan 4.1 Visi Pemerintah tentang Perikanan 4.2 Visi Sektor Produksi (penangkapan ikan dan budidaya) 4.3 Visi Pengolahan Hasil Perikanan 5 Pengelolaan Perikanan Spesifik 6 Opsi Pengelolaan Perikanan 7 Glosarium 6.2.2. Kabupaten Lembata Berdasarkan hasil analisis indeks dekomposit untuk Ecosystem Approach to Fisheries Management di Kabupaten Lembata menunjukan status sedang dengan flag modeling berwarna kuning dan nilai akhir agregat sebesar 51%. Domain yang perlu mendapat mendapat perhatian yaitu: Domain Habitat & ekosistem (untuk indikator kualitas perairan, habitat unik/khusus, dan produktivitas estuary), Domain Teknik Penangkapan Ikan (untuk indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau illegal, kesesuaian fungsi dan 100 ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan), dan Domain Sosial (untuk indikator partisipasi pemangku kepentingan dan konflik perikanan). Domain Sumberdaya Ikan Nilai Komposit Deskripsi 67 Baik Habitat & ekosistem 44 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 42 Sedang Sosial 17 Buruk Ekonomi 85 Baik Sekali Kelembagaan 53 Sedang Aggregat 51 Sedang Gambar 21. Status Perikanan Berbasis Ekosistem Berdasarkan Nilai Komposit di Kabupaten Lembata Kondisi sumberdaya ikan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan secara baik oleh nelayan berdampak kepada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan keluarga nelayan, sehingga mereka akan turut aktif dalam upaya-upaya mendukung pengelolaan perikanan dan kelautan bahkan penguatan kapasitas kelembagaan baik formal maupun non formal (hukum adat/kearifan lokal). Inilah kondisi rill yang ada dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Lembata dan telah dibuktikan dengan pengkajian ilmiah terhadap pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Model pengelolaan perikanan seperti ini harus dipertahankan (dipelihara) dan bahkan ditingkatkan untuk menunjang pemanfaatan dan pengelolaan perikanan yang bertanggung-jawab, berkelanjutan, dan lestari di Kabupaten Lembata. Namun perlu juga diperhatikan ketiga domain yang mendapat nilai sedang (domain ekosistem dan habitat, domain Teknologi Penangkapan Ikan, dan domain kelembagaan) bahkan domain sosial dengan nilai buruk, karena keempat domain tersebut merupakan keterkaitan yang mengarah kepada pemanfaatan yang merusak dimasa akan datang. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Lembata, rata-rata 10 kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dan 41,67% responden yang diwawancarai menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar (bahkan pada musim Tuna antara bulan JuliSeptember aktivitas bom bisa berlangsung setiap harinya dan salah satu lokasinya di Selat Solor). 101 Bila lebih dalam ditelaah tentang kasus-kasus yang terkait dengan Illegal dan Destruktif Fishing yang terjadi di Kabupaten Lembata, kami berpendapat bahwa sebagian nelayan yang biasanya melakukan pemboman ikan lebih takut pada aturan perundangan-undangan karena hukuman yang akan didapat, daripada tumbuhnya kesadaran dalam diri akan pentingnya menjaga dan melestarikan sumberdaya pesisir dan laut dimana mereka menggantungkan kehidupan mereka, karena nelayan pemboman ikan lebih mengutamakan keuntungan dan kepentingan pribadi daripada kepentingan masa depan untuk banyak orang. Mereka ini berprinsip bahwa laut adalah milik bersama dan semua orang mempunyai hak yang sama untuk mengambil (eksploitasi) hasil laut bahkan mungkin dengan cara merusak sekalipun. Dengan melihat permasalahan tesebut, maka kami memberikan rekomendasi sebagai upaya dalam meminimalisir aktivitas Illegal dan Destruktif Fishing di Kabupaten Lembata sebagai berikut: 1) Perlu penyuluhan secara kontinyu dan berkelanjutan terhadap upaya penyelamatan lingkungan pesisir dan laut di Kabupaten Lembata; 2) Pencegahan terhadap pelaku dari luar (dalam penelusuran tim lewat wawancara, sebagian responden menyatakan bahwa oknum yang melakukan pemboman adalah masyarakat dari luar kabupaten); 3) Penguatan kelembagaan kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS), bahkan disarankan penguatan kelembagaan masyarakat pengawas dengan melibatkan masyarakat dalam tim gabungan terpadu, peningkatan sarana dan prasarana penunjang pengawasan; 4) Pemberian sanksi untuk efek jera bagi pelaku, termasuk pengedar bahan baku pembuatan bom; 5) Perlu pembaharuan pendataan terhadap kapal-kapal yang telah memiliki ijin bahkan yang belum memiliki ijin, namun tetap memperhatikan kemudahan pelayanan perijinan; 6) Perlunya perdamaian dengan alam (laut) lewat revitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal atau hukum adat disetiap desa dalam turut mendukung pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan. Sudah saatnya penegasan penerapan tentang tipe pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Lembata, yaitu tipe pengelolaan sebagai common property, yakni yang diikat oleh seperangkat norma sosial dan aturan-aturan, dapat disebut sebagai common property regimes. Model rezim seperti ini, akan lebih menjamin kemampuan sumberdaya tersebut menyediakan jasa secara berkelanjutan bagi semua pihak yang bergantung dengan sumberdaya tersebut. Suatu rezim common property yang ideal, akan bercirikan (Sumardjon dkk, 2011): 1. Hanya terdapat ketidaksesuain yang minimal (atau bahkan tidak ada sama sekali) antar anggota, dan hanya membutuhkan sedikit upaya untuk menjaga keutuhan sumberdaya maka rezim menjadi efisien; 102 2. Kapasitas mengelola yang besar terhadap perubahan progresif melalui adaptasi, seperti masuknya teknik-teknik baru, maka rezim bersifat stabil; 3. Kapasitas untuk mengakomodasi kejutan dan goncangan yang tiba-tiba, maka rezim akan bersifat resilen; dan 4. Terdapatnya persepsi kesamaan diantara anggota, dengan mengindahkan input dan outcome, maka rezim bersifat adil. Pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di Kabupaten Lembata sudah harus mengadopsi rezim tersebut, atau bahkan model rezim yang lain untuk dikolaborasikan dan dikombinasikan, dan dirumuskan agar dapat diimplementasikan, karena pada dasarnya kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah harus mengayomi dan tidak berpihak, juga harus dirumuskan dalam bentuk tertulis dan formal, misalkan dalam bentuk rencana pengelolaan perikanan sehingga menjadi acuan bagi semua stakeholder dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan perikanan di Kabupaten Lembata. 6.2.3. Kabupaten Alor Berdasarkan hasil analisis indeks dekomposit untuk Ecosystem Approach to Fisheries Management di Kabupaten Alor menunjukkan status sedang dengan flag modeling berwarna kuning dan nilai akhir agregat sebesar 157. Semua domain harus mendapat mendapat perhatian, terutama Domain Habitat dan Ekosistem dan Domain Ekonomi. Domain Sumberdaya Ikan Nilai Komposit Deskripsi 33 Kurang Habitat & ekosistem 44 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 42 Sedang Sosial 52 Sedang Ekonomi 20 Buruk Kelembagaan 47 Sedang Aggregat 40 Kurang Gambar 22. Status Perikanan Berbasis Ekosistem Berdasarkan Nilai Komposit di Kabupaten Alor Domain Habitat dan Ekosistem dan Domain Ekonomi perlu disikapi serius karena berstatus buruk (flag modeling berwarna kuning muda dan merah). Hal ini memberikan gambaran bahwa secara umum pengelolaan perikanan di Kabupaten Alor perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak yang berkepentingan (pemerintah, swasta/dunia usaha, 103 masyarakat, pengelola kawasan konservasi, lembaga pendidikan/penelitian, dan stakeholder lainnya). Ekonomi masyarakat pesisir (terutama nelayan) yang lemah akan memberikan tekanan terhadap sumberdaya dan ekosistemnya, karena memaksimalkan upaya pemanfaatan sumberdaya bahkan dengan cara yang merusak dan ilegal. Hingga kini persoalan illegal fishing sulit memberantasnya, aktivitas illegal fishing termasuk kategori kejahatan perikanan terorganisir secara nasional dan internasional. Bahkan, organisasi pangan dunia (FAO) menempatkannya sebagai kejahatan perikanan nomor wahid yang harus mendapat perhatian serius. Namun di Indonesia masalah Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing/IUU Fishing menurut Apridar dkk (2011), makin sulit memberantasnya, apalagi tahun 2010 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengalihkan alokasi anggaran APBN-nya ke sektor budidaya perikanan hingga 40% dan berimbas pada maraknya illegal fishing. Akibatnya hingga Juni 2010 illegal fishing di perairan Indonesia justru meningkat menjadi 116 kapal, dan 112 unit berupa kapal asing. Penyebabnya, jadwal hari operasi pengawasan berkurang dari 180 hari menjadi 100 hari. Tentu soal ini amat mengkhawatirkan, bila pemerintah membiarkannya menguras perairan Indonesia. Apakah pembiaran ini akan merugikan negara dan rakyat yang menggantungkan kehidupannya pada sumber-sumber perikanan? Tentu jawabannya ada pada pemerintah dan tanpa disadari model seperti ini merembes ke daerahdaerah, terutama daerah dengan PAD yang minim akan memangkas anggaran pengawasannya untuk dialokasikan bagi kepentingan lain yang dianggap lebih utama. Bila tidak ditangani secara serius dan tidak holistik maka dalam pengelolaan perikanan kedepan akan terjadi Ecosystem overfishing. Yang dimaksud dengan Ecosystem overfishing adalah overfishing yang lebih diakibatkan karena degradasi sumberdaya lingkungan (habitat atau ekosistem) yang akan mengakibatkan penurunan hasil dan komposisi tangkapan dari suatu stok sumberdaya (misalnya: sumberdaya ikan karang) akibat upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Biasanya Ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai eknomi tinggi berukuran besar kepada ikan bernilai ekonomi kurang berukuran kecil, dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrate non komersial seperti ubur-ubur (Widodo dan Suadi, 2008). Hal ini juga didukung oleh data penelitian yang menunjukkan bahwa pada musim puncak dan sedang rata-rata ikan yuwana (juvenile) yang tertangkap 30%, sementara musim paceklik rata-rata 60%, dengan data ini mengindikasikan kalau nelayan sudah mulai mengeksploitasi ikan yuwana, oleh karenanya penerapan model pengelolaan perikanan yang bertanggung-jawab dan berkelanjutan (Ecosystem Approach to 104 Fisheries Management/EAFM) menjadi skala prioritas pembangunan perikanan dan kelautan di Kabupaten Alor. Langkah menuju pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung-jawab itu telah dimulai oleh pemerintah daerah dengan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD Alor), dan diperkuat dengan regulasinya dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur NTT nomor 70/KEP/HK/2006 tentang Pembentukan Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sawu, Solor, Lembata dan Alor (SOLAR), Peraturan Bupati nomor 12 tahun 2006 tentang penetapan Selat Pantar sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan Peraturan Bupati nomor 6 tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan Bupati nomor 12 tahun 2006 tentang penetapan Selat Pantar sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah. Gambar 23. Peta Usulan Zona Perikanan Berkelanjutan di KKPD Kabupaten Alor 105 Gambar 24. Peta Lokasi Dugaan Daerah Pemijahan Ikan di KKPD Kabupaten Alor Pengelolaan perikanan (termasuk pengelolaan kawasan konservasi) di Kabupaten Alor sebaiknya mengadopsi pemikiran Fauzi (2005), yaitu kebijakan sektor perikanan dan kelautan yang Back to the Future. Back to the Future untuk pengelolaan perikanan dan kelautan menawarkan suatu pendekatan dengan menggunakan informasi ekosistem (termasuk kebijakan perikanan dan kelautan) masa lalu (back) untuk dijadikan panduan kebijakan di masa mendatang (to the future). Secara ringkas Back to the Future kebijakan sektor perikanan menawarkan tiga program utama restorasi yang harus dilakukan (back) untuk menciptakan sektor perikanan kelautan yang sehat di masa mendatang (to the future), yaitu: 1. Restorasi ekosistem harus menjadi pertimbangan utama program KKP (termasuk dinas perikanan dan kelautan di daerah), karena restorasi ini adalah amanat utama World Fisheries Day. Restorasi ekosistem tidak saja menyangkut perbaikan ekosistem pesisir dan 106 laut yang rusak akibat alam maupun antropogenik (bom, racun, dsb), namun juga menyangkut usaha meng-update dan menyempurnakan pendugaan stok sumberdaya. 2. Back to the Future kebijakan perikanan ke depan juga harus didasarkan pada restorasi institusi. Salah satu masalah krusial pengelolaan perikanan adalah tereduksinya peranan institusi lokal yang sebenarnya memiliki daya tahan lebih baik daripada institusi top down. Restorasi ekonomi. Hakikatnya etika ekonomi harus direstorasi yaitu menyangkut perubahan cara pandang terhadap sumberdaya perikanan yang tidak boleh diperlakukan sebagai “engine of growth” semata. 107 BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1.Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil analisis dengan indeks dekomposit menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan kurang mendapat perhatian (model bendera kuning) di 2 kabupaten di Provinsi NTT (Flores Timur, dan Lembata), bahkan Alor dengan model bendera kuning muda atau bernilai kurang, bila dikaitkan dengan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem maka ke 3 kabupaten tersebut kurang menerapkan EAFM. Mendapat perhatian serius adalah domain-domain yang berstatus kurang dengan flag modeling berwarna kuning muda, yang mendapat status sedang dengan flag modeling berwarna kuning, dan berstatus buruk dengan flag modeling berwarna merah, serta indikator-indikator dengan skor 1. 2. Aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated perikanan (IUU Fishing) di daerah penelitian sudah harus segera ditangani serius oleh aparat penegak hukum dan stakeholder lainnya, karena akan menghambat upaya-upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan dan lestari. 3. Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan merupakan hal yang urgen dan mendesak untuk mendukung upaya-upaya pengelolaan perikanan. 4. Restorasi ekosistem menjadi faktor kunci dalam pengelolaan perikanan menuju perikanan berkelanjutan dan lestari. 6.2.Rekomendasi Beberapa rekomendasi yang diberikan pada hasil penelitian ini, yaitu: 1. Perlunya perbaikan panduan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan analisis EAFM ditingkat kabupaten (misalkan indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal dan indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan), untuk tingkat kabupaten hampir tidak didapatkan informasi dan data karena mayoritas kapal yang digunakan nelayan dibawah 10 GT dan sertifikasi awak kapal dikeluarkan bagi kapal yang berlayar diatas 60 mil dengan kapal ukuran diatas 10 GT. 2. Perlu kesepakatan tentang data sekunder yang digunakan (misalkan untuk indikator CpUE baku), data sekunder berupa statistik perikanan tangkap dari dinas kelautan dan perikanan secara jujur diragukan keakuratan datanya (perbedaan data antara kabupaten dengan rekapan di provinsi terutama data trip dan produksi), bila disandingkan dengan dengan data 108 primer hasil wawancara nelayan untuk menetapkan nilai CpUE dalam beberapa tahun terakhir akan terdapat perbedaan dari kedua sumber data tersebut, untuk laporan ini kami masih menggunakan data statistik dengan alasan karena telah dipublikasikan oleh lembaga negara. 3. Perlunya penetapan waktu yang ideal untuk penelitian EAFM, terutama bagi enumerator dalam memperoleh data ukuran ikan, panduan mensyaratkan data primer ukuran ikan dari pengukuran panjang total, sementara karena keterbatasan waktu enumerator hanya mengandalkan informasi ukuran ikan dari wawancara nelayan, ada kemungkinan data tersebut bias karena hanya merupakan pengakuan nelayan. 4. Untuk indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau ilegal pada domain Teknologi Penangkapan Ikan, bila mengandalkan data frekuensi kasus untuk menentukan skor indikator kemungkinan hasil akhirnya selalu rendah, mesti menjadi perhatian juga terhadap kualitas dari kasus tersebut (penanganan ditingkat aparat penegak hukum). 5. Kegiatan IUU Fishing perlu upaya pencegahan yang lebih mendalam dengan memperhatikan beberapa hal: - Melakukan identifikasi, menginventarisasi dan merefungsionalisasi model-model dan penyebab serta pelaku Destruktif Fishing yang dilakukan oleh masyarakat. - Sangat penting untuk diketahui tentang persepsi masyarakat tentang Destruktif Fishing dan dampaknya yang akan ditimbulkan, terutama bagi terumbu karang, karena semua daerah penelitian memiliki area konservasi. - Perlu penyusunan dokumen perencanaan (misalnya rencana strategis dan rencana aksi) dalam penanggulangan aktivitas IUU Fishing. 6. Mendorong pembuatan Rencana Pengelolaan Perikanan berdasarkan analisa EAFM. Perlunya menindaklanjuti kajian EAFM sebagai basis pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dalam dokumen perencanaan daerah termasuk Rencana Pengelolaan KKPD dalam peningkatan Performa EAFM. 109 REFERENSI Anonimus, 2009. Laporan Akhir. Master Paln Kawasan Minapolitan Kabupaten Sikka. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka dan Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Anonimus, 2010. Profil Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Bali. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Anonimus, 2011. Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang. Project Management Unit Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) Phase II Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka. Adrianto L, Abdulah H, Achmad F, Audillah A, Handoko AS, Imam M, Mukhlis K, Sugeng HW, dan Yusli W., 2012. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM). Jakarta: Direktorat Sumberdaya Ikan, WWF-Indonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press. Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor, 2010. Alor dalam Angka 2010. Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lembata, 2011. Lembata dalam Angka 2011. Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka, 2011. Sikka dalam Angka 2011. Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Coremap, 2010. Monitoring Kesehatan Karang dan Ikan Karang di Kabupaten Sikka. PMU Coremap Phase II dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2006. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2007. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2008. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2009. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2010. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. 110 Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2011. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2012. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fauzi A., 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. Penerbit PT. Gramedia Utama. Jakarta. Fauzi A dan Suzy Anna., 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Utama. Jakarta. Kusumastanto, T, Luky Adrianto, dan Ario Damar., 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Lain A. H.,2011. Analisis Ekologi–Ekonomi Pengelolaan Perikanan berbasis Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis Pasca Sarjana, Intitut Pertanian Bogor. Noor, R. Y, Khazali, M dan Suryadiputra, N. N.I.,1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor. Sumardjono M, Nurhasan I, Ernan R, dan Damai AA., 2011. Pengaturan Sumberdaya Alam Antara yang Tersurat dan Tersurat. Kajian Kritis Undang-undang Terkait Penataan Ruang dan Sumberdaya Alam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sikka Tahun 20122016. Dokumen Perencanaan Daerah Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setiawan, A., N. Widagti, F. Hamzah, T. A. Wibawa, I. Triyulianti, S. C. Nugroho, dan N. D. Arisandi. 2013. Studi Kondisi Kualitas Perairan Laut dan Produktivitas Estuarin Dalam Mendukung Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem di Kabupaten Flores Timur. Balai Penelitian dan Observasi Laut, Bali, Indonesia Solihin, A, Muhammad Karim, Suhana, dan Thomas Nugroho. 2005. Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia (Bunga Rampai). Humaniora, Penerbit Buku Pendidikan – Anggota Ikapi. Bandung. Stanis S, Donny M.B., Ayub M, Urbanus O.H, Feliks L, dan Vinsensius R. 2010. Identifikasi, Revitalisasi dan Refungsionalisasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut dan Pesisir di Kabupaten Sikka. Kerjasama: Unit Pelaksana Rehabilitasi dan Engelolaan Terumbu Karang Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka dan LP3M Flobamora. Widodo J dan Suadi., 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. WWF, 2009. Survei Ekologi Kabupaten Alor. Laporan Kegiatan. Yayasan WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Lembata, NTT. 111 WWF, 2009. Survei Ekologi Kabupaten Lembata. Laporan Kegiatan. Yayasan WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Lembata, NTT. WWF, 2009. Survei Ekologi Kabupaten Sikka. Laporan Kegiatan. Yayasan WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Lembata, NTT. WWF, 2011. Survey Reef Health Kabupaten Flores Timur. Laporan Kegiatan. Yayasan WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Alor, NTT. WWF, 2012. Survey Reef Health Kabupaten Alor. Laporan Kegiatan. Yayasan WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Alor, NTT. 112