hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pada

advertisement
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN MEKANISME KOPING
PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF
DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI
Atina Inayah Ihdaniyati *
Siti Arifah **
Abstract
Background : Anxiety on congestive heart failure patient resulted because they experience out of breath and
chest pain so they tend to concerned. Anxiety could motivate the individual to appropriate with to stressor
and conduct an action to correct it. Coping mechanism is the result of an individual action to face of the
stressor. When individual could face the stressor very well, it will deliver the adaptive coping. But when
individual unable to find the good solution, it will conduct the maladaptive coping. Target of research : To
know the relation between anxiety level with the coping mechanism on congestive heart failure patient.
Research method : This Research has the non-experimental character with the descriptive method of
correlation use the cross sectional approach. Sampling techniques which used are accidental sampling with
the total samples are 30 responders. Validity test use the Product Moment test and reliability test use the
Alpha Cronbach test. For data analysis, it uses the Kendal tau-b test with test of normality data use the z
test. Result of research : Result of Kendal tau-b correlation analysis indicate that the count value equal to 0,745 with the probability 0,000 (p<0, 05). Then, significance test use the z test with the result 5,782 which
for the N=30, value of z table is 1, 96. It’s mean the value of z count > z table . The results indicate that there is a
capable and significant of negative relation between anxiety level with the coping mechanism.
Keyword: anxiety level, coping mechanism, congestive heart failure.
* Atina Inayah Ihdaniyati
Alumni Mahasiswa Jurusan Ilmu Keperawatan FIK UMS Jln A. Yani Tromol Post I Kartasura.
** Siti Arifah
Dosen Keperawatan FIK UMS Jln A. Yani Tromol Post I Kartasura.
PENDAHULUAN
Gagal
jantung
merupakan
masalah
kesehatan masyarakat yang utama. Gagal jantung
menjadi penyakit yang terus meningkat kejadiannya
terutama
pada
lansia.
Studi
Framingham
memberikan gambaran yang jelas tentang gagal
jantung. Pada studinya disebutkan bahwa kejadian
gagal jantung per tahun pada orang berusia > 45
tahun adalah 7,2 kasus setiap 1000 orang laki-laki
dan 4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan. Di
Amerika hampir 5 juta orang menderita gagal
jantung (Sani, 2007).
Insiden penyakit gagal jantung di Indonesia
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
usia harapan hidup penduduk. Meskipun pengobatan
gagal jantung kian maju tetapi angka kematiannya
masih saja tinggi yaitu 40 %. Ada kecenderungan
peningkatan jumlah penderita gagal jantung dari
tahun ke tahun, bahkan dalam kurun waktu 6 bulan
pada tahun 2007 jumlahnya terus saja meningkat
(Wikipedia, 2007).
Pasien gagal jantung mengalami peredaran
darah sistemik dan sirkulasi yang berjalan lambat.
Pemindahan O2 dan CO2 dalam paru-paru
berlangsung sukar, seluruh organ dan jaringan tubuh
tidak dapat dipenuhi kebutuhannya akan oksigen dan
zat-zat makanan. Terjadi awitan kesulitan nafas
mendadak dan perasaan tercekik (Rilantono, 2004).
Kecemasan yang terjadi pada kebanyakan pasien
gagal jantung dikarenakan mereka mengalami
kesulitan mempertahankan oksigenasi yang adekuat
sehingga mereka cenderung sesak nafas dan gelisah
(Smeltzer,2001). Kecemasan yang dialami ketika
terjadi serangan adalah kecemasan berat sehingga
memerlukan bantuan untuk oksigenasi dan konseling
yang tepat.
Pasien dengan gagal jantung sering merasa
cemas, ketakutan dan depresi. Hampir semua pasien
menyadari bahwa jantung adalah organ yang penting
dan ketika jantung mulai rusak maka kesehatan juga
terancam. Ketika penyakitnya meningkat dan
manifestasinya memburuk, pasien sering memiliki
ketakutan yang berlebihan karena cacat permanen
dan kematian. Para pasien mengekspresikan
ketakutan dengan berbagai cara seperti mimpi buruk,
insomnia, kecemasan akut, depresi dan memungkiri
kenyataan (Black, 2005).
Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa
hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam
Hubungan Tingkat Kecemasan dengan … (Atina Inayah Ihdaniyati)
19
kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal
terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan
seseorang (Ramaiah, 2003). Teori psikoanalitis
klasik menyatakan bahwa pada saat individu
menghadapi situasi yang dianggapnya mengancam,
maka secara umum ia akan memiliki reaksi yang
biasanya berupa rasa takut. Kebingungan
menghadapi stimulus yang berlebihan dan tidak
berhasil diselesaikan oleh ego, maka ego akan
diliputi kecemasan. Kecemaan sebagai syarat bagi
ego untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat
(Zaviera, 2007).
Pasien gagal jantung banyak yang
mengalami kecemasan. Kecemasan tersebut
bervariasi dari kecemasan ringan sampai dengan
kecemasan berat. Kecemasan yang dialami pasien
mempunyai beberapa alasan diantaranya : cemas
akibat sesak nafas, cemas akan kondisi penyakitnya,
cemas jika penyakitnya tidak bisa sembuh, cemas
dan takut akan kematian. Terkadang kecemasan
dapat terlihat dalam bentuk lain, seperti sering
bertanya tentang
penyakitnya dan berulang
meskipun pertanyaan sudah dijawab, pasin terlihat
gelisah, sulit istirahat dan tidak bergairah saat
makan.
Pada pasien gagal jantung kongestif,
perilaku koping yang kurang baik akan dapat
memperparah kondisi pasien seperti pasien akan
gelisah yang berlebihan sampai berteriak-teriak,
sesak nafas, tekanan darah meningkat, denyut nadi
cepat dan tidak patuh dalam pengobatan sehingga
penyakitnya tidak kunjung sembuh. Selain itu pasien
mengalami gangguan dalam istirahat, terkadang
terjadi halusinasi.
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk
mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping pada pasien gagal jantung
kongestif di RSU Pandan Arang Boyolali. Tujuan
secara khusus : 1. Untuk mengetahui gambaran
tingkat kecemasan pada pasien gagal jantung
kongestif. 2. Untuk mengetahui mekanisme koping
yang digunakan pasien gagal jantung apakah adaptif
atau maladaptif.
Kecemasan adalah pengalaman emosi yang
tidak menyenangkan, datang dari dalam dan bersifat
meningkat, menggelisahkan dan menakutkan yang
dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya yang
tidak diketahui oleh individu. Perasaan ini disertai
oleh komponen somatik, fisiologik, otonomik,
biokimiawi, hormonal dan perilaku (Prawirohusodo,
1998).
Menurut Sullivan dalam Alwisol (2006)
mengemukakan
bahwa
kecemasan
dapat
meningkatkan energi untuk menyelesaikan tugas dan
20
menghadapi tujuan. Kecemasan memotivasi manusia
untuk membuat dan mempertahankan perubahan.
Respon Kecemasan menurut Stuart & Sundeen
(1998) dapat terjadi berbagai perubahan yang
meliputi :
1)
Respon Fisiologis yang meliputi : Sistem
Kardiovaskuler, Sistem Respiratori, Sistem
Neuromuskuler, Sistem Gastrointestinal, Sistem
Urinaria, Sistem Integumen.
2) Respon Perilaku
Kelelahan, ketegangan fisik, tremor, reaksi tibatiba, bicara cepat, koordinasi kurang, sering
terjadi kecelakaan.
3) Respon Kognitif
Gangguan perhatian, konsentrasi berkurang,
pelupa, selalu salah dalam mengambil
keputusan, blocking, penurunan lapang pandang,
penurunan produktifitas, penurunan kreatifitas,
menarik diri, kebingungan, objektifitas kurang,
takut mati.
4) Respon Afektif
Gelisah, tidak sabar, tegang, mudah terganggu,
ketakutan, mudah tersinggung.
Tingkat kecemasan yang dikemukakan oleh
Townsend (2005) ada empat tingkat yaitu :
1) Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan
ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada.
Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah
kelelahan, iritabel, kesadaran meningkat,
mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan
tingkah laku sesuai dengan situasi.
2) Kecemasan Sedang
Memungkinkan
seseorang
untuk memusatkan pada masalah yang penting
dan mengesampingkan yang lain sehingga
seseorang mengalami perhatian yang selektif
namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.
Manifestasi yang muncul pada tingkat ini yaitu
kelelahan meningkat, denyut jantung dan
pernapasan meningkat, ketegangan otot
meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi,
mampu untuk belajar namun tidak terfokus pada
rangsang yang tidak menambah kecemasan,
mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa,
marah dan menangis.
3) Kecemasan Berat
Seseorang dengan kecemasan berat cenderung
untuk memusatkan perhatian pada sesuatu yang
terinci dan spesifik serta tidak dapat berfikir
tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan
banyak pengarahan untuk memusatkan pada
Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2 No. 1, Maret 2009: 19-24
suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul
pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit
kepala, mual, tidak dapat tidur (insomnia),
sering kencing, diare, palpitasi, tidak mau
belajar secara efektif, berfokus pada dirinya
sendiri, perasaan tidak berdaya, bingung dan
disorientasi.
4) Panik
Panik berhubungan dengan terperangah,
ketakutan, teror karena mengalami kehilangan
kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu
melakukan
sesuatu
walaupun
dengan
pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada
keadaan ini adalah susah bernafas, dilatasi pupil,
palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan
inkoheren, tidak dapat berespon terhadap
perintah yang sederhana, berteriak-teriak,
menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.
Panik dapat menagakibatkan peningkatan
motorik, penurunan kemampuan berhubungan
dengan orang lain dan tidak mampu berfikir
rasional.
Menurut Kelliat (1999) koping adalah cara
yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan
respon terhadap situasi yang mengancam. Upaya
individu dapat berupa perubahan cara berfikir
(kognitif), perubahan perilaku atau perubahan
lingkungan yang bertujuan untuk menyesuaikan
stress yang dihadapi.
Mekanisme koping ada dua macam :
1) Mekanisme koping adaptif adalah suatu usaha
yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang
bersifat positif, rasional, dan konstruktif.
2) Mekanisme koping maladaptif adalah suatu
usaha
yang
dilakukan
individu
dalam
menyelesaikan masalah akibat adanya stressor
atau tekanan yang bersifat negatif, merugikan
dan destruktif serta tidak dapat menyelesaiakan
masalah secara tuntas.
Gagal
jantung
kongestif
adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan
akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer, 2001). Penyebab
gagal jantung antara lain : kelainan otot jantung,
penyakit jantung lain, dan faktor sistemik. Tanda
dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume
intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat
tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat
turunnya curah jantung pada kegagalan jantung.
Peningkatan tekanan pulmonalis dapat menyebabkan
cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli,
akibatnya terjadi edema paru yang dimanifestasikan
dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya
tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema
perifer umum dan perubahan berat badan.
Manifestasi gagal jantung tergantung pada
ventrikel spesifik yang terlibat, gejala-gejala yang
menimbulkan kegagalan, tingkat gangguan, tingkat
kemajuan, lamanya kegagalan dan kondisi-kondisi
yang mempengaruhi klien. Cerebral hypoksia bias
terjadi sebagai hasil dari penurunan cardiac output.
Menurunnya fungsi cerebral dapat menyebabkan
kecemasan iritabilitas, tidak bias istirahat, bingung,
gangguan ingatan, mimpi buruk dan insomnia
(Black, 2005).
Beberapa efek yang biasanya timbul akibat
perfusi rendah adalah pusing, konfusi, kelelahan,
tidak toleran terhadap latihan, ekstremitas dingin dan
haluaran urin berkurang (oligouri). Tekanan perfusi
ginjal menurun mengakibatkan pelepasan rennin dari
ginjal, yang pada giliranya akan menyebabkan
sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta
peningkatan volume intravaskuler (Smeltzer, 2001).
Menurut Fuster (2004) klasifikasi Gagal
Jantung dari New York Heart Assosiation
terbagi atas empat kelas fungsional :
1) Tingkat I
Pasien dengan penyakit jantung tetapi tanpa
menghasilkan pembatasan aktifitas fisik.
Aktifitas fisik biasa tidak menyebabkan
kelelahan yang berarti, jantung berdebar-debar,
sesak nafas dan nyeri angina. Timbul gejala sesak
nafas pada aktifitas fisik berat.
2) Tingkat II
Pasien
dengan
penyakit
jantung
yang
menghasilkan pembatasan aktifitas fisik ringan.
Pasien ini nyaman dalam istirahat. Aktifitas fisik
biasa akan menghasilkan kelelahan, jantung
berdebar-debar, sesak nafas dan nyeri angina.
Timbul sesak nafas pada aktifitas sedang.
3) Tingkat III
Pasien dengan penyakit jantung menghasilkan
pembatasan aktifitas yang jelas. Pasien ini bisa
nyaman dalam istirahat. Sedikit dari aktifitas
fisik biasa dapat menyebabkan kelelahan, jantung
berdebar-debar, sesak nafas dan nyeri angina.
Timbul gejala sesak nafas pada aktifitas ringan.
4) Tingkat IV
Pasien
dengan
penyakit
jantung
yang
menghasilkan
ketidakmampuan
melakukan
aktifitas fisik. Timbul gejala sesak nafas pada
aktifitas sangat ringan atau saat istirahat.
Penatalaksanaan medis menurut Smeltzer
(2001) antara lain : dengan pemberian vasodilator,
digitalis dan diuretik. Sedangkan untuk penatalaksanaan keperawatan antara lain : menambah istirahat,
penghilangan kecemasan, menghindari stress dan
memperbaiki perfusi jaringan.
Hubungan Tingkat Kecemasan dengan … (Atina Inayah Ihdaniyati)
21
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan desain penelitian mengunakan
rancangan deskriptif korelatif yaitu rancangan
penelitian yang bermaksud untuk mencari hubungan
antara dua variabel. Sedangkan rancangan penelitian
yang digunakan adalah cross sectional karena
pengumpulan data kedua variabel dilaksanakan
dalam waktu bersamaan atau dalam satu waktu
(Nursalam, 2003).
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pasien Gagal Jantung Kongestif yang
mengalami kecemasan pada bulan Februari-Maret
2008 dengan rata-rata pasien perbulan sebanyak 18
pasien. Tehnik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah Aksidental sampling.
Analisa data dilakukan secara univariat untuk
mengetahui karakteristik responden berdasarkan
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status
perkawinan, tingkatan penyakit, tingkat kecemasan
dan mekanisme koping. Sedangkan analisa bivariat
menggunakan Kendal tau-b dengan uji signifikansi
menggunakan uji z.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan antara tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping pada pasien Gagal Jantung
Kongestif dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan
Mekanisme Koping
Tingkat
Kecemasan
Kecemasan
Ringan
Kecemasan
Sedang
Kecemasan
Berat
Mekanisme
Koping
Adapti
Mal
f
adaptif
5
0
N
τ
p
value
5
0,000
20
0
20
0
5
5
-0,745
Pada tabel 1, diketahui pasien yang mempunyai
kecemasan tingkat ringan melakukan mekanisme
koping adaptif sebanyak 5 orang (16,7%), dan tidak
ada yang melakukan mekanisme koping maladaptif.
Pasien dengan kecemasan tingkat sedang yang
melakukan mekanisme koping adaptif sebanyak 20
orang (66,7%), dan tidak ada yang melakukan
mekanisme koping maladaptif. Pasien yang
mempunyai kecemasan tingkat berat melakukan
mekanisme koping maladaptif sebanyak 5 orang
(16,7%) dan tidak ada yang melakukan mekanisme
koping adaptif.
Uji normalitas data menggunakan metode
Kolmogorov-Smirnov. Cara menguji normalitas
22
yaitu dengan membandingkan probabilitas (p) yang
diperoleh dengan taraf signifikansi (α) 0,05. Apabila
nilai p > α maka terdistribusi normal atau sebaliknya
(Singgih, 2000: 179). Hasil uji normalitas masingmasing variabel dengan program SPSS 10.0
terhadap nilai residual diperoleh nilai probabilitas di
atas 0,05, hal ini menunjukkan bahwa data
berdistribusi secara normal ( p > 0,05). Secara rinci
uji normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas
Variabel
Zhitung
Prob Ket
Tingkat
0,536
0,936
N
Kecemasan
Mekanisme
0,875
0,429
N
Koping
Analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah statistik non parametrik teknik bivariabel
dengan uji korelasi Kendal tau-b untuk mencari
hubungan dan menguji hipotesis dua variabel.
Dalam penelitian ini akan di uji hubungan antara
tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pasien
Gagal Jantung Kongestif.
Hasil analisis dengan program SPSS 10.0
diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar -0,745
dengan probabilitas sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil
tersebut menunjukkan adanya hubungan yang kuat
antara tingkat kecemasan dengan mekanisme
koping. Untuk menguji signifikansi korelasi
menggunakan rumus z, hasil perhitungan uji z
diperoleh nilai z sebesar 5,782 sedangkan nilai z
tabel pada N = 30 adalah sebesar 1,96, berarti (z hitung
> z tabel) maka Ho ditolak dan Ha diterima, maka
dapat disimpulkan bahwa tingkat kecemasan
mempunyai hubungan yang kuat dan signifikan
dengan mekanisme koping pada pasien Gagal
Jantung Kongestif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan
dengan mekanisme koping. Dari perolehan data
didapatkan 5 responden mengalami kecemasan
ringan, 20 responden mengalami kecemasan sedang
dan 5 responden mengalami kecemasan berat. Dari
25 responden yang mengalami kecemasan ringan
dan sedang, mereka dapat melakukan mekanisme
koping yang adaptif dan tidak ada yang melakukan
mekanisme koping maladaptif. Hal ini dikarenakan
mereka dapat mengendalikan perasaan cemas yang
muncul
sehingga
mampu
mengembangkan
mekanisme koping yang konstruktif. Sedangkan 5
responden yang mengalami kecemasan berat,
semuanya melakukan mekanisme koping yang
maladaptif. Hal ini disebabkan oleh karena mereka
tidak mampu mengendalikan kecemasannya dan
Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2 No. 1, Maret 2009: 19-24
takut akan kematian yang sewaktu-waktu dapat
mengancam jiwanya sehingga pada saat mereka
jenuh dengan keadaanya, mereka cenderung pasrah
pada keadaan dan melakukan koping yang destruktif
dan merugikan.
Dari 5 responden yang mengalami kecemasan
ringan, semuanya belum pernah dirawat dengan
penyakit yang sama, sehingga kerusakan organ
jantung belum terlalu parah. Sesak nafas yang
mereka alami dapat berkurang ketika diberikan
bantuan nafas berupa oksigen. Pasien dengan
kecemasan ringan masih mampu mengendalikan
mekanisme
koping
untuk
menurunkan
kecemasannya (Prasetyo, 2006). Jadi ketika terjadi
serangan sesak nafas dan nyeri dada, mereka segera
memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit untuk
mendapatkan penanganan yang tepat.
Dalam penelitian ini sebagian besar responden
yaitu sebanyak 20 responden mengalami kecemasan
sedang. Pada kecemasan tingkat ini memungkinkan
seseorang untuk memusatkan pada masalah yang
penting dan mengesampingkan yang lain sehingga
seseorang mengalami perhatian yang selektif namun
dapat melakukan sesuatu yang terarah (Townsend,
2005). Penemuan di lapangan menunjukkan bahwa
responden yang mengalami kecemasan sedang,
mereka mengalami sesak nafas, tekanan darah naik
dan denyut nadi yang cepat. Ketika diajak bicara
mereka menjawab dengan nada bicara yang keras
dan cepat. Mereka seperti tergesa-gesa dalam
menjawab pertanyaan dan terkadang menangis.
Akan tetapi mereka masih dapat diajak untuk
kerjasama dan mematuhi prosedur pengobatan.
Menurut Smeltzer (2001) bahwa pada pasien
gagal jantung kongestif, kecemasan yang dialami
dikarenakan
mereka
mengalami
kesulitan
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka
mereka cenderung cemas dan gelisah karena sulit
bernafas. Hal ini menyebabkan perhatian menjadi
selektif dan terfokus pada rangsang yang tidak
menambah kecemasan. Dalam penelitian ini
responden yang mengalami kecemasan sedang
mampu melakukan mekanisme koping yang adaptif
dikarenakan mereka mendapat ketenangan batin dari
dukungan keluarga yang kuat supaya lekas sembuh.
Jadi meskipun mereka mengalami sesak nafas, nyeri
dada dan rasa takut akan kematian, akan tetapi
berkat kehadiran anggota keluarga yang selalu
menemani dan memberikan dukungan positif,
mereka mampu mengendalikan kecemasan- nya
dengan baik dan mau mematuhi semua prosedur
pengobatan sehingga mereka mampu melakukan
mekanisme koping yang adaptif.
Menurut Niven (2002) bahwa dukungan
keluarga dapat membantu meningkatkan mekanisme
koping individu dengan memberikan dukungan
emosi dan saran-saran mengenai strategi alternatif
yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan
mengajak orang lain berfokus pada aspek-aspek
yang lebih positif. Dari hasil wawancara dan
pengamatan peneliti, bahwa pasien gagal jantung
dengan kecemasan sedang mengharapkan dukungan
berupa dukungan emosi, saran dan informasi dari
keluarga dan petugas kesehatan (dokter dan perawat)
yang berkaitan dengan penyakitnya. Sehingga selain
pengobatan medis adanya dukungan sosial yang
positif akan membantu seseorang untuk beradaptasi
lebih baik secara emosional dengan mencegah
perasaan cemas dan sedih yang berlarut-larut
terhadap penyakit (Atkinson,1997).
Selain mendapat dukungan dari keluarga, pasien
gagal jantung kongestif yang mengalami kecemasan
sedang juga melakukan pendekatan religius dengan
cara berdzikir, berdo’a sesuai dengan keyakinan
masing-masing dan melakukan sholat meskipun
dengan berbaring. Dengan melakukan pendekatan
religius tersebut, kebanyakan pasien dapat
merasakan ketenangan batin sehingga mampu
mengendalikan kecemasannya dan melakukan
mekanisme koping yang adaptif.
Sedangkan 5 responden yang mengalami
kecemasan berat, kesemuanya sudah pernah
mengalami gagal jantung dan dirawat di rumah
sakit. Kelima responden tersebut semuanya
melakukan mekanisme koping yang maladaptif.
Pasien gagal jantung yang mengalami kekambuhan
tidak hanya menyebabkan masalah psikologis,
sosiologis dan finansial, tetapi beban fisiologis
pasien akan menjadi lebih serius. Organ tubuh
menjadi rusak dan serangan berulang dapat
menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis,
pembesaran limpa dan ginjal, bahkan kerusakan otak
akibat kekurangan oksigen selama episode akut
(Smeltzer, 2001).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat kecemasan pasien maka akan
semakin rendah atau semakin buruk mekanisme
koping yang dilakukan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian
didapatkan bahwa 100% pasien dengan kecemasan
ringan dan sedang mempunyai mekanisme koping
adaptif dan 100% pasien dengan kecemasan berat
mempunyai mekanisme koping maladaptif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan tujuan dalam
penelitian ini, maka hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut: a. Responden yang
Hubungan Tingkat Kecemasan dengan … (Atina Inayah Ihdaniyati)
23
mengalami kecemasan ringan sebanyak 16,7%,
responden yang mengalami kecemasan sedang
sebanyak 66,7%, dan responden yang mengalami
kecemasan berat sebanyak 5 responden atau 16,7%.
Jadi sebagian besar responden dalam penelitian ini
mengalami kecemasan sedang (66,7%). b.
Responden yang melakukan koping adaptif
sebanyak 83,3% dan responden yang melakukan
koping maladaptif sebanyak 16,7%. Jadi sebagian
besar responden dalam penelitian ini melakukan
koping adaptif (83,3%). c. Hasil analisis korelasi
Kendal tau-b menunjukkan nilai probabilitas sebesar
0,000 (p<α) dan hasil uji z sebesar 5,782
(5,782>1,96) hasil tersebut menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan
dengan mekanisme koping.
Saran yang bisa diberikan berdasarkan kesimpulan
adalah:
1. Bagi Rumah Sakit
Tingkat kecemasan mempunyai hubungan yang
signifikan dengan mekanisme koping, oleh
karena itu bagi pihak rumah sakit untuk lebih
menekankan pada pemberian konseling sehingga
pasien dapat mengendalikan kecemasannya dan
melakukan koping yang bersifat konstruktif.
2. Bagi Peneliti Lain
a. Penelitian ini hanya meneliti pada pasien
Gagal Jantung Kongestif di RSU Pandan
Arang Boyolali, sehingga hasil penelitian ini
lemah dalam hal generalisasi, oleh karena itu
bagi peneliti lain agar melakukan penelitian
pada obyek penelitian yang berbeda dan juga
faktor yang berbeda, sehingga dapat
menyempurnakan hasil penelitian ini.
b. Pada penelitian selanjutnya supaya meneliti
karakteristik responden yang berhubungan
dengan kondisi psikologis pasien yang dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan dan
mekanisme koping pasien seperti tipe
kepribadian.
c. Kepada
peneliti
lain
supaya
mengklasifikasikan jenis-jenis mekanisme
koping
sehingga
lebih
memperjelas
mekanisme koping yang digunakan pasien
atau responden.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol, 2006, Psikologi Kepribadian, UMM Press : Malang
Atkinson, R.L., & Bem D.J., 1997, Pengantar Psikologi, Edisi Kedua, Interaksara : Jakarta.
Black, J.M., & Hawks, J.K., 2005, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Positive Outcomes,
Volume II, 7th Edition, Elsevier’s Health Sciences Right Departement : Philadelphia.
Kelliat, A.B., 1999, Penatalaksanaan Stress, EGC : Jakarta.
Marwiati, 2005, Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Strategi Koping Pada Keluarga Yang Salah Satu
Anggota Keluarga Dirawat Dengan Penyakit Jantung, STIKES Ngudi Waluyo Ungaran : Semarang.
(Skripsi) Tidak dipublikasikan.
Niven, N., 2002, Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain, Edisi
Kedua, EGC : Jakarta.
Nursalam, 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika :
Jakarta.
Prasetyo, D.H., 2006, Psikoneuro- imunologi Untuk Keperawatan, UNS Press : Surakarta.
Prawirohusodo, 1998, Kumpulan Makalah Simposium Stress dan Kecemasan, FKUGM : Yogyakarta.
Rilantono, dkk, 2004, Buku Ajar Kardiologi, Edisi Kelima, FKUI : Jakarta.
Sani, A., 2007, Heart Failure : Current Paradigm, Cetakan Pertama, Medya Crea : Jakarta.
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi Kedelapan, Volume I, EGC : Jakarta.
Sugiyono, 2005, Statistika Untuk Penelitian, Cetakan Ketujuh, CV.ALFABETA : Bandung.
Stuart & Sundeen, 1998. Prinsip dan Praktik Psikiatrik (Terjemahan), EGC : Jakarta.
Zaviera, F., 2007, Teori Kepribadian Sigmund Freud, Prismasophie : Yogyakarta
24
Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2 No. 1, Maret 2009: 19-24
Download