HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN MEKANISME KOPING PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI Atina Inayah Ihdaniyati * Siti Arifah ** Abstract Background : Anxiety on congestive heart failure patient resulted because they experience out of breath and chest pain so they tend to concerned. Anxiety could motivate the individual to appropriate with to stressor and conduct an action to correct it. Coping mechanism is the result of an individual action to face of the stressor. When individual could face the stressor very well, it will deliver the adaptive coping. But when individual unable to find the good solution, it will conduct the maladaptive coping. Target of research : To know the relation between anxiety level with the coping mechanism on congestive heart failure patient. Research method : This Research has the non-experimental character with the descriptive method of correlation use the cross sectional approach. Sampling techniques which used are accidental sampling with the total samples are 30 responders. Validity test use the Product Moment test and reliability test use the Alpha Cronbach test. For data analysis, it uses the Kendal tau-b test with test of normality data use the z test. Result of research : Result of Kendal tau-b correlation analysis indicate that the count value equal to 0,745 with the probability 0,000 (p<0, 05). Then, significance test use the z test with the result 5,782 which for the N=30, value of z table is 1, 96. It’s mean the value of z count > z table . The results indicate that there is a capable and significant of negative relation between anxiety level with the coping mechanism. Keyword: anxiety level, coping mechanism, congestive heart failure. * Atina Inayah Ihdaniyati Alumni Mahasiswa Jurusan Ilmu Keperawatan FIK UMS Jln A. Yani Tromol Post I Kartasura. ** Siti Arifah Dosen Keperawatan FIK UMS Jln A. Yani Tromol Post I Kartasura. PENDAHULUAN Gagal jantung merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Gagal jantung menjadi penyakit yang terus meningkat kejadiannya terutama pada lansia. Studi Framingham memberikan gambaran yang jelas tentang gagal jantung. Pada studinya disebutkan bahwa kejadian gagal jantung per tahun pada orang berusia > 45 tahun adalah 7,2 kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan. Di Amerika hampir 5 juta orang menderita gagal jantung (Sani, 2007). Insiden penyakit gagal jantung di Indonesia semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Meskipun pengobatan gagal jantung kian maju tetapi angka kematiannya masih saja tinggi yaitu 40 %. Ada kecenderungan peningkatan jumlah penderita gagal jantung dari tahun ke tahun, bahkan dalam kurun waktu 6 bulan pada tahun 2007 jumlahnya terus saja meningkat (Wikipedia, 2007). Pasien gagal jantung mengalami peredaran darah sistemik dan sirkulasi yang berjalan lambat. Pemindahan O2 dan CO2 dalam paru-paru berlangsung sukar, seluruh organ dan jaringan tubuh tidak dapat dipenuhi kebutuhannya akan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadi awitan kesulitan nafas mendadak dan perasaan tercekik (Rilantono, 2004). Kecemasan yang terjadi pada kebanyakan pasien gagal jantung dikarenakan mereka mengalami kesulitan mempertahankan oksigenasi yang adekuat sehingga mereka cenderung sesak nafas dan gelisah (Smeltzer,2001). Kecemasan yang dialami ketika terjadi serangan adalah kecemasan berat sehingga memerlukan bantuan untuk oksigenasi dan konseling yang tepat. Pasien dengan gagal jantung sering merasa cemas, ketakutan dan depresi. Hampir semua pasien menyadari bahwa jantung adalah organ yang penting dan ketika jantung mulai rusak maka kesehatan juga terancam. Ketika penyakitnya meningkat dan manifestasinya memburuk, pasien sering memiliki ketakutan yang berlebihan karena cacat permanen dan kematian. Para pasien mengekspresikan ketakutan dengan berbagai cara seperti mimpi buruk, insomnia, kecemasan akut, depresi dan memungkiri kenyataan (Black, 2005). Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam Hubungan Tingkat Kecemasan dengan … (Atina Inayah Ihdaniyati) 19 kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang (Ramaiah, 2003). Teori psikoanalitis klasik menyatakan bahwa pada saat individu menghadapi situasi yang dianggapnya mengancam, maka secara umum ia akan memiliki reaksi yang biasanya berupa rasa takut. Kebingungan menghadapi stimulus yang berlebihan dan tidak berhasil diselesaikan oleh ego, maka ego akan diliputi kecemasan. Kecemaan sebagai syarat bagi ego untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat (Zaviera, 2007). Pasien gagal jantung banyak yang mengalami kecemasan. Kecemasan tersebut bervariasi dari kecemasan ringan sampai dengan kecemasan berat. Kecemasan yang dialami pasien mempunyai beberapa alasan diantaranya : cemas akibat sesak nafas, cemas akan kondisi penyakitnya, cemas jika penyakitnya tidak bisa sembuh, cemas dan takut akan kematian. Terkadang kecemasan dapat terlihat dalam bentuk lain, seperti sering bertanya tentang penyakitnya dan berulang meskipun pertanyaan sudah dijawab, pasin terlihat gelisah, sulit istirahat dan tidak bergairah saat makan. Pada pasien gagal jantung kongestif, perilaku koping yang kurang baik akan dapat memperparah kondisi pasien seperti pasien akan gelisah yang berlebihan sampai berteriak-teriak, sesak nafas, tekanan darah meningkat, denyut nadi cepat dan tidak patuh dalam pengobatan sehingga penyakitnya tidak kunjung sembuh. Selain itu pasien mengalami gangguan dalam istirahat, terkadang terjadi halusinasi. Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif di RSU Pandan Arang Boyolali. Tujuan secara khusus : 1. Untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada pasien gagal jantung kongestif. 2. Untuk mengetahui mekanisme koping yang digunakan pasien gagal jantung apakah adaptif atau maladaptif. Kecemasan adalah pengalaman emosi yang tidak menyenangkan, datang dari dalam dan bersifat meningkat, menggelisahkan dan menakutkan yang dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya yang tidak diketahui oleh individu. Perasaan ini disertai oleh komponen somatik, fisiologik, otonomik, biokimiawi, hormonal dan perilaku (Prawirohusodo, 1998). Menurut Sullivan dalam Alwisol (2006) mengemukakan bahwa kecemasan dapat meningkatkan energi untuk menyelesaikan tugas dan 20 menghadapi tujuan. Kecemasan memotivasi manusia untuk membuat dan mempertahankan perubahan. Respon Kecemasan menurut Stuart & Sundeen (1998) dapat terjadi berbagai perubahan yang meliputi : 1) Respon Fisiologis yang meliputi : Sistem Kardiovaskuler, Sistem Respiratori, Sistem Neuromuskuler, Sistem Gastrointestinal, Sistem Urinaria, Sistem Integumen. 2) Respon Perilaku Kelelahan, ketegangan fisik, tremor, reaksi tibatiba, bicara cepat, koordinasi kurang, sering terjadi kecelakaan. 3) Respon Kognitif Gangguan perhatian, konsentrasi berkurang, pelupa, selalu salah dalam mengambil keputusan, blocking, penurunan lapang pandang, penurunan produktifitas, penurunan kreatifitas, menarik diri, kebingungan, objektifitas kurang, takut mati. 4) Respon Afektif Gelisah, tidak sabar, tegang, mudah terganggu, ketakutan, mudah tersinggung. Tingkat kecemasan yang dikemukakan oleh Townsend (2005) ada empat tingkat yaitu : 1) Kecemasan Ringan Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, kesadaran meningkat, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai dengan situasi. 2) Kecemasan Sedang Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, mampu untuk belajar namun tidak terfokus pada rangsang yang tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis. 3) Kecemasan Berat Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan perhatian pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk memusatkan pada Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2 No. 1, Maret 2009: 19-24 suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, perasaan tidak berdaya, bingung dan disorientasi. 4) Panik Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan, teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak-teriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. Panik dapat menagakibatkan peningkatan motorik, penurunan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan tidak mampu berfikir rasional. Menurut Kelliat (1999) koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam. Upaya individu dapat berupa perubahan cara berfikir (kognitif), perubahan perilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk menyesuaikan stress yang dihadapi. Mekanisme koping ada dua macam : 1) Mekanisme koping adaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang bersifat positif, rasional, dan konstruktif. 2) Mekanisme koping maladaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang bersifat negatif, merugikan dan destruktif serta tidak dapat menyelesaiakan masalah secara tuntas. Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer, 2001). Penyebab gagal jantung antara lain : kelainan otot jantung, penyakit jantung lain, dan faktor sistemik. Tanda dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah jantung pada kegagalan jantung. Peningkatan tekanan pulmonalis dapat menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru yang dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan perubahan berat badan. Manifestasi gagal jantung tergantung pada ventrikel spesifik yang terlibat, gejala-gejala yang menimbulkan kegagalan, tingkat gangguan, tingkat kemajuan, lamanya kegagalan dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi klien. Cerebral hypoksia bias terjadi sebagai hasil dari penurunan cardiac output. Menurunnya fungsi cerebral dapat menyebabkan kecemasan iritabilitas, tidak bias istirahat, bingung, gangguan ingatan, mimpi buruk dan insomnia (Black, 2005). Beberapa efek yang biasanya timbul akibat perfusi rendah adalah pusing, konfusi, kelelahan, tidak toleran terhadap latihan, ekstremitas dingin dan haluaran urin berkurang (oligouri). Tekanan perfusi ginjal menurun mengakibatkan pelepasan rennin dari ginjal, yang pada giliranya akan menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler (Smeltzer, 2001). Menurut Fuster (2004) klasifikasi Gagal Jantung dari New York Heart Assosiation terbagi atas empat kelas fungsional : 1) Tingkat I Pasien dengan penyakit jantung tetapi tanpa menghasilkan pembatasan aktifitas fisik. Aktifitas fisik biasa tidak menyebabkan kelelahan yang berarti, jantung berdebar-debar, sesak nafas dan nyeri angina. Timbul gejala sesak nafas pada aktifitas fisik berat. 2) Tingkat II Pasien dengan penyakit jantung yang menghasilkan pembatasan aktifitas fisik ringan. Pasien ini nyaman dalam istirahat. Aktifitas fisik biasa akan menghasilkan kelelahan, jantung berdebar-debar, sesak nafas dan nyeri angina. Timbul sesak nafas pada aktifitas sedang. 3) Tingkat III Pasien dengan penyakit jantung menghasilkan pembatasan aktifitas yang jelas. Pasien ini bisa nyaman dalam istirahat. Sedikit dari aktifitas fisik biasa dapat menyebabkan kelelahan, jantung berdebar-debar, sesak nafas dan nyeri angina. Timbul gejala sesak nafas pada aktifitas ringan. 4) Tingkat IV Pasien dengan penyakit jantung yang menghasilkan ketidakmampuan melakukan aktifitas fisik. Timbul gejala sesak nafas pada aktifitas sangat ringan atau saat istirahat. Penatalaksanaan medis menurut Smeltzer (2001) antara lain : dengan pemberian vasodilator, digitalis dan diuretik. Sedangkan untuk penatalaksanaan keperawatan antara lain : menambah istirahat, penghilangan kecemasan, menghindari stress dan memperbaiki perfusi jaringan. Hubungan Tingkat Kecemasan dengan … (Atina Inayah Ihdaniyati) 21 METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian mengunakan rancangan deskriptif korelatif yaitu rancangan penelitian yang bermaksud untuk mencari hubungan antara dua variabel. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional karena pengumpulan data kedua variabel dilaksanakan dalam waktu bersamaan atau dalam satu waktu (Nursalam, 2003). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien Gagal Jantung Kongestif yang mengalami kecemasan pada bulan Februari-Maret 2008 dengan rata-rata pasien perbulan sebanyak 18 pasien. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Aksidental sampling. Analisa data dilakukan secara univariat untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, tingkatan penyakit, tingkat kecemasan dan mekanisme koping. Sedangkan analisa bivariat menggunakan Kendal tau-b dengan uji signifikansi menggunakan uji z. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pada pasien Gagal Jantung Kongestif dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping Tingkat Kecemasan Kecemasan Ringan Kecemasan Sedang Kecemasan Berat Mekanisme Koping Adapti Mal f adaptif 5 0 N τ p value 5 0,000 20 0 20 0 5 5 -0,745 Pada tabel 1, diketahui pasien yang mempunyai kecemasan tingkat ringan melakukan mekanisme koping adaptif sebanyak 5 orang (16,7%), dan tidak ada yang melakukan mekanisme koping maladaptif. Pasien dengan kecemasan tingkat sedang yang melakukan mekanisme koping adaptif sebanyak 20 orang (66,7%), dan tidak ada yang melakukan mekanisme koping maladaptif. Pasien yang mempunyai kecemasan tingkat berat melakukan mekanisme koping maladaptif sebanyak 5 orang (16,7%) dan tidak ada yang melakukan mekanisme koping adaptif. Uji normalitas data menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov. Cara menguji normalitas 22 yaitu dengan membandingkan probabilitas (p) yang diperoleh dengan taraf signifikansi (α) 0,05. Apabila nilai p > α maka terdistribusi normal atau sebaliknya (Singgih, 2000: 179). Hasil uji normalitas masingmasing variabel dengan program SPSS 10.0 terhadap nilai residual diperoleh nilai probabilitas di atas 0,05, hal ini menunjukkan bahwa data berdistribusi secara normal ( p > 0,05). Secara rinci uji normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Variabel Zhitung Prob Ket Tingkat 0,536 0,936 N Kecemasan Mekanisme 0,875 0,429 N Koping Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik non parametrik teknik bivariabel dengan uji korelasi Kendal tau-b untuk mencari hubungan dan menguji hipotesis dua variabel. Dalam penelitian ini akan di uji hubungan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pasien Gagal Jantung Kongestif. Hasil analisis dengan program SPSS 10.0 diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar -0,745 dengan probabilitas sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping. Untuk menguji signifikansi korelasi menggunakan rumus z, hasil perhitungan uji z diperoleh nilai z sebesar 5,782 sedangkan nilai z tabel pada N = 30 adalah sebesar 1,96, berarti (z hitung > z tabel) maka Ho ditolak dan Ha diterima, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kecemasan mempunyai hubungan yang kuat dan signifikan dengan mekanisme koping pada pasien Gagal Jantung Kongestif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping. Dari perolehan data didapatkan 5 responden mengalami kecemasan ringan, 20 responden mengalami kecemasan sedang dan 5 responden mengalami kecemasan berat. Dari 25 responden yang mengalami kecemasan ringan dan sedang, mereka dapat melakukan mekanisme koping yang adaptif dan tidak ada yang melakukan mekanisme koping maladaptif. Hal ini dikarenakan mereka dapat mengendalikan perasaan cemas yang muncul sehingga mampu mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif. Sedangkan 5 responden yang mengalami kecemasan berat, semuanya melakukan mekanisme koping yang maladaptif. Hal ini disebabkan oleh karena mereka tidak mampu mengendalikan kecemasannya dan Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2 No. 1, Maret 2009: 19-24 takut akan kematian yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwanya sehingga pada saat mereka jenuh dengan keadaanya, mereka cenderung pasrah pada keadaan dan melakukan koping yang destruktif dan merugikan. Dari 5 responden yang mengalami kecemasan ringan, semuanya belum pernah dirawat dengan penyakit yang sama, sehingga kerusakan organ jantung belum terlalu parah. Sesak nafas yang mereka alami dapat berkurang ketika diberikan bantuan nafas berupa oksigen. Pasien dengan kecemasan ringan masih mampu mengendalikan mekanisme koping untuk menurunkan kecemasannya (Prasetyo, 2006). Jadi ketika terjadi serangan sesak nafas dan nyeri dada, mereka segera memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Dalam penelitian ini sebagian besar responden yaitu sebanyak 20 responden mengalami kecemasan sedang. Pada kecemasan tingkat ini memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah (Townsend, 2005). Penemuan di lapangan menunjukkan bahwa responden yang mengalami kecemasan sedang, mereka mengalami sesak nafas, tekanan darah naik dan denyut nadi yang cepat. Ketika diajak bicara mereka menjawab dengan nada bicara yang keras dan cepat. Mereka seperti tergesa-gesa dalam menjawab pertanyaan dan terkadang menangis. Akan tetapi mereka masih dapat diajak untuk kerjasama dan mematuhi prosedur pengobatan. Menurut Smeltzer (2001) bahwa pada pasien gagal jantung kongestif, kecemasan yang dialami dikarenakan mereka mengalami kesulitan mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka mereka cenderung cemas dan gelisah karena sulit bernafas. Hal ini menyebabkan perhatian menjadi selektif dan terfokus pada rangsang yang tidak menambah kecemasan. Dalam penelitian ini responden yang mengalami kecemasan sedang mampu melakukan mekanisme koping yang adaptif dikarenakan mereka mendapat ketenangan batin dari dukungan keluarga yang kuat supaya lekas sembuh. Jadi meskipun mereka mengalami sesak nafas, nyeri dada dan rasa takut akan kematian, akan tetapi berkat kehadiran anggota keluarga yang selalu menemani dan memberikan dukungan positif, mereka mampu mengendalikan kecemasan- nya dengan baik dan mau mematuhi semua prosedur pengobatan sehingga mereka mampu melakukan mekanisme koping yang adaptif. Menurut Niven (2002) bahwa dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan dukungan emosi dan saran-saran mengenai strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang lain berfokus pada aspek-aspek yang lebih positif. Dari hasil wawancara dan pengamatan peneliti, bahwa pasien gagal jantung dengan kecemasan sedang mengharapkan dukungan berupa dukungan emosi, saran dan informasi dari keluarga dan petugas kesehatan (dokter dan perawat) yang berkaitan dengan penyakitnya. Sehingga selain pengobatan medis adanya dukungan sosial yang positif akan membantu seseorang untuk beradaptasi lebih baik secara emosional dengan mencegah perasaan cemas dan sedih yang berlarut-larut terhadap penyakit (Atkinson,1997). Selain mendapat dukungan dari keluarga, pasien gagal jantung kongestif yang mengalami kecemasan sedang juga melakukan pendekatan religius dengan cara berdzikir, berdo’a sesuai dengan keyakinan masing-masing dan melakukan sholat meskipun dengan berbaring. Dengan melakukan pendekatan religius tersebut, kebanyakan pasien dapat merasakan ketenangan batin sehingga mampu mengendalikan kecemasannya dan melakukan mekanisme koping yang adaptif. Sedangkan 5 responden yang mengalami kecemasan berat, kesemuanya sudah pernah mengalami gagal jantung dan dirawat di rumah sakit. Kelima responden tersebut semuanya melakukan mekanisme koping yang maladaptif. Pasien gagal jantung yang mengalami kekambuhan tidak hanya menyebabkan masalah psikologis, sosiologis dan finansial, tetapi beban fisiologis pasien akan menjadi lebih serius. Organ tubuh menjadi rusak dan serangan berulang dapat menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, pembesaran limpa dan ginjal, bahkan kerusakan otak akibat kekurangan oksigen selama episode akut (Smeltzer, 2001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan pasien maka akan semakin rendah atau semakin buruk mekanisme koping yang dilakukan. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian didapatkan bahwa 100% pasien dengan kecemasan ringan dan sedang mempunyai mekanisme koping adaptif dan 100% pasien dengan kecemasan berat mempunyai mekanisme koping maladaptif. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data dan tujuan dalam penelitian ini, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Responden yang Hubungan Tingkat Kecemasan dengan … (Atina Inayah Ihdaniyati) 23 mengalami kecemasan ringan sebanyak 16,7%, responden yang mengalami kecemasan sedang sebanyak 66,7%, dan responden yang mengalami kecemasan berat sebanyak 5 responden atau 16,7%. Jadi sebagian besar responden dalam penelitian ini mengalami kecemasan sedang (66,7%). b. Responden yang melakukan koping adaptif sebanyak 83,3% dan responden yang melakukan koping maladaptif sebanyak 16,7%. Jadi sebagian besar responden dalam penelitian ini melakukan koping adaptif (83,3%). c. Hasil analisis korelasi Kendal tau-b menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,000 (p<α) dan hasil uji z sebesar 5,782 (5,782>1,96) hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping. Saran yang bisa diberikan berdasarkan kesimpulan adalah: 1. Bagi Rumah Sakit Tingkat kecemasan mempunyai hubungan yang signifikan dengan mekanisme koping, oleh karena itu bagi pihak rumah sakit untuk lebih menekankan pada pemberian konseling sehingga pasien dapat mengendalikan kecemasannya dan melakukan koping yang bersifat konstruktif. 2. Bagi Peneliti Lain a. Penelitian ini hanya meneliti pada pasien Gagal Jantung Kongestif di RSU Pandan Arang Boyolali, sehingga hasil penelitian ini lemah dalam hal generalisasi, oleh karena itu bagi peneliti lain agar melakukan penelitian pada obyek penelitian yang berbeda dan juga faktor yang berbeda, sehingga dapat menyempurnakan hasil penelitian ini. b. Pada penelitian selanjutnya supaya meneliti karakteristik responden yang berhubungan dengan kondisi psikologis pasien yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan dan mekanisme koping pasien seperti tipe kepribadian. c. Kepada peneliti lain supaya mengklasifikasikan jenis-jenis mekanisme koping sehingga lebih memperjelas mekanisme koping yang digunakan pasien atau responden. DAFTAR PUSTAKA Alwisol, 2006, Psikologi Kepribadian, UMM Press : Malang Atkinson, R.L., & Bem D.J., 1997, Pengantar Psikologi, Edisi Kedua, Interaksara : Jakarta. Black, J.M., & Hawks, J.K., 2005, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Positive Outcomes, Volume II, 7th Edition, Elsevier’s Health Sciences Right Departement : Philadelphia. Kelliat, A.B., 1999, Penatalaksanaan Stress, EGC : Jakarta. Marwiati, 2005, Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Strategi Koping Pada Keluarga Yang Salah Satu Anggota Keluarga Dirawat Dengan Penyakit Jantung, STIKES Ngudi Waluyo Ungaran : Semarang. (Skripsi) Tidak dipublikasikan. Niven, N., 2002, Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain, Edisi Kedua, EGC : Jakarta. Nursalam, 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika : Jakarta. Prasetyo, D.H., 2006, Psikoneuro- imunologi Untuk Keperawatan, UNS Press : Surakarta. Prawirohusodo, 1998, Kumpulan Makalah Simposium Stress dan Kecemasan, FKUGM : Yogyakarta. Rilantono, dkk, 2004, Buku Ajar Kardiologi, Edisi Kelima, FKUI : Jakarta. Sani, A., 2007, Heart Failure : Current Paradigm, Cetakan Pertama, Medya Crea : Jakarta. Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi Kedelapan, Volume I, EGC : Jakarta. Sugiyono, 2005, Statistika Untuk Penelitian, Cetakan Ketujuh, CV.ALFABETA : Bandung. Stuart & Sundeen, 1998. Prinsip dan Praktik Psikiatrik (Terjemahan), EGC : Jakarta. Zaviera, F., 2007, Teori Kepribadian Sigmund Freud, Prismasophie : Yogyakarta 24 Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2 No. 1, Maret 2009: 19-24