BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan langkah-langkah penyelesaian konflik yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik pembangunan tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor, yang juga disertai deskripsi mengenai penyebab terjadinya konflik. Selanjutnya, penulis memilih judul “Penyelesaian Konflik Pembangunan Tempat Ibadah, Studi Kasus: Gereja Kristen Indonesia Yasmin-Bogor.” Di Indonesia, konflik yang berkaitan dengan urusan agama sering kali menjadi konflik yang tidak berkesudahan. Hal ini disebabkan karena urusan agama merupakan urusan yang sangat privat dan sensitif bagi banyak individu. Meskipun urusan agama merupakan isu yang sensitif, namun sebagai lembaga yang bertugas menjaga kerukunan masyarakat, pemerintah harus berusaha untuk meredam konflik yang berkaitan dengan urusan keagamaan. Bentuk konflik keagamaan yang kerap terjadi di Indonesia adalah mengenai perizinan rumah ibadah. Salah satu konflik mengenai pembangunan rumah ibadah yang belum mendapat penyelesaian hingga saat ini adalah GKI Yasmin. Konflik sengketa mengenai rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin ini telah terjadi sejak tahun 2008 dan hingga saat ini masih belum terselesaikan. GKI Yasmin merupakan hasil sebuah usaha pelebaran GKI Pengadilan Bogor yang mengalami masalah peningkatkan jumlah anggota jemaat sejak tahun 2001. Dalam proses pembangunan tempat ibadah GKI Yasmin muncul konflik yang menolak adanya pembangunan gereja. Konflik bermula dari 1 penolakan warga sekitar atas pembangunan gedung gereja yang disebabkan oleh isu pemalsuan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).1 IMB sendiri pada dasarnya telah diperoleh sejak tanggal 13 Juli 2006 setelah memenuhi berbagai persyaratan. Namun, karena alasan yang tidak jelas, IMB yang telah diperoleh tersebut dibekukan oleh pemerintah kota Bogor pada tanggal 14 Februari 2008. Atas pembekuan IMB tersebut, GKI Yasmin melakukan perlawanan lewat jalur hukum dengan menggugat Pemkot Bogor. Putusan PTUN Bandung nomor 41/G/2008/PTUN-BDG, September 2008 mendukung GKI Yasmin untuk tetap menerima IMB dan meneruskan pembangunan gedung gereja. Pemkot Bogor menyatakan banding ke PTTUN, namun PTTUN Jakarta memberi kemenangan kepada GKI Yasmin. Melihat kekalahannya, Pemerintah Kota Bogor mengajukan kasasi yang ditolak oleh PTUN Bandung dengan alasan bahwa konflik tersebut terjadi di wilayah terbatas sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk mengajukan kasasi.2 Konflik semakin tereskalasi ketika seorang pendatang asal Medan yang memotori Forkami (Forum Komunitas Muslim Indonesia). Forkami sendiri dibentuk dengan tujuan mengawasi kinerja Pemerintah Kota Bogor, khususnya berkaitan dengan GKI Yasmin.3 Penolakan dinyatakan dengan alasan adanya pemalsuan tanda tangan untuk mendapatkan IMB dan dugaan Kristenisasi. Konflik GKI Yasmin semakin menjadi sorotan publik dengan munculnya pemberitaan media lokal mengenai pembubaran secara paksa oleh Satpol Pamong Praja saat jemaat sedang beribadah. Dalam pembubaran paksa tersebut, terjadi 1 Galih Setiono, dkk, Pemberitaan Konflik GKI Yasmin Bogor pada Harian Jurnal Bogor dan Radar Bogor dalam eJurnal Mahasiswa Universitas Padjajaran Vol. 1 No. 1 tahun 2012, 5. 2 Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan, (Jakarta: Pusad Paramadina, 2014). 211-240. 3 Sakinah Ummu Haniy & Ikhsan Darmawan, Analisis Kepentingan Aktor dan Penyebab Konflik Perizinan Pembangunan Rumah Ibadah Studi Kasus: Gereja Kristen Indonesia Bakal Pos Taman Yasmin Tahun 2002-2012, (Jakarta: UI, 2012), 7. 2 pemukulan oleh salah seorang jemaat GKI Yasmin kepada Kepala Satpol PP kota Bogor.4 Satpol PP menjadi perpanjangan tangan Walikota Bogor yang berdiri di pihak kontra atas pembangunan gedung GKI Yasmin. Tanggal 8 Maret 2011 Pemerintah Kota Bogor memutuskan dua hal, setelah Pengadilan Negeri Bogor membuktikan bahwa GKI Yasmin atas nama Munir memalsukan tanda tangan sebagai persyaratan ijin mengajukan IMB. Keputusan itu antara lain mencabut pembekuan ijin pembangunan GKI Yasmin dan mencabut surat ijin pembangunan gedung GKI Yasmin tanggal 11 Maret 2011.5 Konflik ini memengaruhi tantanan kehidupan masyarakat Bogor secara signifikan. Nilai-nilai di masyarakat yang semula menjunjung tinggi kekeluargaan dan toleransi telah berbalik menjadi sikap saling membenci. Telah banyak usaha dilakukan oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik ini tetapi belum menunjukkan perubahan signifikan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, masalah pokok yang dapat dirumuskan yaitu tentang penyelesaian konflik tempat ibadah GKI Yasmin Bogor, sehingga penulis merumuskan penelitian tesis ini dengan rumusan masalah sebagai berikut: “ Bagaimana penyelesaian konflik tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor? ” 4 5 Galih Setiono, dkk. Pemberitaan..., 2 Sakinah Ummu Haniy & Ikhsan Darmawan, Analisis Kepentingan Aktor..., 11-12. 3 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah mengenai penyelesaian konflik tempat ibadah GKI Yasmin Bogor di atas, penelitian ini memiliki tujuan yang akan dijabarkan sebagai berikut: Mendeskripsikan evaluasi penyelesaian konflik tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor. 1.4. Manfaat Penelitian Melalui penulisan tesis ini, penulis merumuskan manfaat penelitian ini sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Mengembangkan teori manajemen konflik dengan melakukan deskripsi atas penyelesaian konflik GKI Yasmin. 2. Manfaat praktis Memberikan kesimpulan hasil deskripsi penyelesaian konflik GKI Yasmin agar dapat dipertimbangkan bagi perumusan solusi-solusi selanjutnya. 1.5 Kerangka Konseptual 1.5.1 Definisi Konflik Agama Konflik merupakan salah satu kenyataan dari kehidupan dalam perkembangan manusia dan mempunyai karakter-karakter yang beragam. Manusia memiliki perbedaan antara lain: jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, agama, suku, politik, kepercayaan, budaya dan tujuan hidup. Dengan adanya perbedaan tersebut hal ini akan 4 berpotensi menimbulkan konflik.6 Sehingga konflik dapat terjadi antara individu-individu, antara kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi yang disebabkan oleh pandangan yang berbeda satu sama lain. 7 Konflik Agama adalah perseteruan menyangkut nilai, klaim, dan identitas yang melibatkan isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai dalam slogan atau ungkapan keagamaan.8 Menurut pandangan Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean konflik agama dibagi menjadi dua kategori yang besar: konflik antar-agama dan konflik intra-agama. Berbicara mengenai konflik antar-agama, konflik ini merupakan konflik yang terjadi secara lintas agama, yang termasuk didalamnya konflik pembangunan tempat ibadah. Sedangkan, konflik intra-agama adalah merupakan konflik yang terjadi antar sekte-sekte dalam suatu agama tertentu. Misalnya, konflik antar sekte dalam agama Islam, seperti: Ahmadiyah dan Syiah. Konflik sektarian merupakan hal yang berkaitan dengan partikularisme keagamaan yang berbasis pengajaran keagaamaan, perebutan pengikut, hubungan mayoritas dan minoritas, pramanisme, dan intimidasi terhadap sekte tertentu. Terkait dengan konflik agama, baik konflik antar-agama maupun konflik intra-agama, Indonesia sebagai bangsa yang terdiri dari beragam agama sudah tentu memiliki potensi untuk mengalami konflik agama tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam konflik-konflik agama yang ada di Indonesia, salah satunya konflik antar-agama di Kota Bogor, Jawa Barat, yaitu konflik pembangunan tempat ibadah GKI Yasmin. 6 Taquiri, Manajemen Konflik, (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2015), 68 Kartika S.N, Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi untuk bertindak, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putra, 2001), 4 8 Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia, (Jakarta: Pusad Paramadina, 2014). 12 7 5 1.5.2 Manajemen Konflik Manajemen konflik merupakan serangkaian pengertian dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik juga termasuk pada pendekatan sebuah proses yang mengarah pada bentuk komunikasi dari pelaku dan pihak luar termasuk tingkah laku dan bagaimana mereka memengaruhi kepentingan juga interpretasi. Dalam kaitannya dengan pihak luar (pihak yang tidak berkonflik) sebagai pihak ketiga, memerlukan informasi yang akurat mengenai konflik yang terjadi. Hal ini dikarenakan komunikasi yang efektif antara pelaku dapat terjadi dan adanya kepercayaan pada pihak ketiga. Manajemen konflik merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh para pelaku dan pihak ketiga untuk mengarahkan perselisian kearah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif dan agresif. Manajemen konflik membantu untuk melibatkan batuan diri sendiri, kerja sama dalam memecahkan masalah tanpa bantuan pihak ketiga atau dengan pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan berorientasi dalam proses manajemen konflik menujuh pada pola komunikasi para pelaku dan bagaimana mempengaruhi kepentingan pengertian terhadap konflik.9 Suatu konflik yang terjadi tidak dalam waktu yang pendek bisa jadi membutuhkan kombinasi strategi penyelesaian konflik. Hal ini disebabkan ada banyak hal yang mempengaruhinya, terutama kepuasan dua pihak yang berkonflik. Jika salah satu pihak tetap tidak puas atas hasil dari suatu 9 Ross, Strategi Manajemen Konflik dalam Manajemen Konflik, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 165. 6 strategi penyelesaian konflik, maka konflik itu sendiri belum atau tidak terselesaikan. Manajemen konflik sangat dibutuhkan oleh sebuah organisasi dan lembaga untuk dapat mengembangkan juga mengarahkan ke arah yang lebih sempurna dan baik. Sehingga dengan munculnya permasalahan atau konflik, masalah tersebut akan lebih mematangkan pemikiran dalam sebuah organisasi atau lembaga. Manajeman konflik merupakan peroses dimana pihak-pihak yang berkonflik atau pihak ketiga menyusun strategi dan menerapkan untuk mengendalikan konflik agar stategi yang disusun akan menghasilkan penyelesaian. Sehingga dapat menciptakan tujuan dari manajemen konflik itu sendiri. Berikut tujuan manajemen konflik yang dikemukaan oleh Wirawan: Pertama, menghindari dan mencegah adanya gangguan yang muncul dari anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi, misi, dan tujuan organisasi. Kedua, memahami dan menghormati orang lain dengan tujuan kesamaan sehingga tidak menimbulkan perbedaan keberagaman. Ketiga, adanya peningkatan kreativitas. Keempat, meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang. Kelima, memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan kerja sama. 7 Keenam, menciptakan prosedur dan mekanisme untuk penyelesaian konflik. Dalam manajemen konflik dapat melibatkan bantuan dari pihak ketiga untuk pengambilan keputusan atau pihak yang berkonflik tanpa bantuan dari pihak ketiga. Sehingga dapat dilihat bahwa peran dalam pendekatan yang berorientasi terhadap proses manajemen konflik adalah pola komunikasi dalam peran para pelaku juga bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. Berbicara mengenai manajemen konflik menurut pandangan Minerry dimana manajemen konflik merupakan proses bagian rasional dan bersifat interaktif. Sehingga dapat dikatakam nahwa pendekatan model manajemen konflik membuahkan hasil dalam penyempurnaan sampai kepada pencapaian model representatif dan ideal.10 Dengan demikian, keseluruhan proses penyempurnaan ini berlangsung dalam suatu konteks yang melibatkan perencanaan dari aktor, baik sebagai pihak ketiga dalam pengelolaan konflik. Pandangan lain mengenai manajemen konflik dimana menurut Afzalur Rahim, manajemen konflik adalah sesuatu hal yang tidak perlu untuk dihindari atau menghentikan. Karena manajemen koflik merupakan strategi yang efektif dalam meminimalkan disfungsi konflik dan meningkatkan fungsi konstruktif konflik.11 Sehingga dengan demikian 10 Ardy Maulidy Navastara, “Manajemen Konflik: Definisi dan Teori-teori Konflik”, diakses dari https://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teori-konflik/ pada tanggal 21 April 2016 pukul 13.59 11 Afzalur Rahim, Imanaging Conflict inOrganizations,I, (London: Westport Connecticut, 2001) 124 8 manajeman konflik berperan sebagai peningkatan pembelajaran yang efektif bagi organisasi. Manajemen konflik dalam perancangan strategi proses penyelesaian konflik yang efektif, Afzalur Rahim mengatakan bahwa konflik harus diklarifikasikan berdasarkan konflik yang terjadi (jenis). Dimana menurut pandangan Afzalur jenis konflik ada dua: Konflik Afektif, dimana konflik bisa menimbulkan dampak negatif pada individu atau kelompok yang berkonflik sehingga hal ini akan berdampak pada kinerja organisasi. Konflik semacam ini akan mengganggu hubungan dalam anggota organisasi dan dapat mengurangi loyalitas kerja dan komitmen organisasi dalam kepuasan bekerja. Konflik Substantif, konflik ini memiliki efek yang positif. Konflik substantif lebih kepada perbedaan pendapat mengenai pembagian tugas dan kebijakan-kebijakan dalam kinerja individu dan kelompok organisasi. Sehingga konflik substantif akan meningkatkan kinerja kelompok. Akan tetapi konflik substantif sama halnya dengan konflik afektif dalam mengurangi loyalitas, komitmen dan kinerja organisasi. Dengan pemahaman di atas dapat dikatakan bahwa manajemen konflik adalah sebuah proses yang diambil untuk mengatasi juga menyelesaikan konflik yang terjadi. Selain itu manajemen konflik akan menghasilkan hal positif, kreatif dan agresif. Manajemen konflik mempunyai ciri yang khas dimana dalam penyelesaian konflik dapat 9 melibatkan bantuan individu atau kerja sama dengan pihak luar dalam memecahkan permasalahan (dengan tanpa bantuan pihak ketiga) juga dapat dibantu oleh pihak ketiga dalam pengambilan keputusan. 1.5.3 Penyelesaian Konflik Menggunakan Ranah Hukum Dalam penyelesaian konflik dengan cara menggunakan hukum, dimana hal ini biasanya tergolong dalam konflik yang besar dan rumit. Cara tersebut juga ditempuh ketika konflik yang terjadi dan berkaitan dengan unsur-unsur pelanggaran hukum. Sehingga penyelesaian dengan menggunakan ranah hukum akan menghasilkan konsekuensi menang kalah pada pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik dengan cara melalui ranah hukum dapat menimbulkan tuduhan negatif kepada pelaku atau pihak yang berkonflik. Penyelesaian dengan cara melalui ranah hukum, akan sulit untuk menentukan menang-menang karena salah satu pihak yang bersalah akan ditindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Hal yang berkaitan dengan penyelesaian konflik melalui ranah hukum juga dilakukan dalam penyelesaian konflik GKI Yasmin Bogor. Dimana melalui penyelesaian tersebut hal yang dilakukan oleh GKI Yasmin adalah mengajukan gugatan keberatan atas keputusan yang terkait dengan konflik GKI Yasmin ke Pengadilan Tata Usaha Negri (PTUN) Bandung. Selain itu dengan keputusan yang dilakukan melalui ranah 12 Prasetyo Teguh, Penguatan Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Resolusi Konflik di Indonesia, (Tulisan dalam Lokakarya Membangun perdamaian di dalam Masyarakat Ber-Bhineka Tunggal Ika di UKSW Salatiga, 2011) 10 hukum PTUN, Pemerintah Bogor menaikkan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Cara penyelesaian melalui ranah hukum dikatakan bahwa tidak semua konflik yang terjadi dapat dibawa pada ranah hukum. Hal ini juga terkait dalam kemampuan finansial dimana menjadi bahan pertimbangan apakah sebuah masalah akan dibawa ke dalam ranah hukum. 1.5.4 Penyelesaian Konflik Menggunakan Antikekerasan Kehidupan yang stabil tentu tidak akan menimbukan permasalahan dalam kehidupan manusia, akan tetapi kehidupan yang tidak stabil mempunyai keunikan dalam cara berpikir manusia. Dalam situasi yang tidak stabil manusia cenderung memiliki sifat-sifat yang unik khususnya dalam pemasalahan yang mengacu pada antikekerasan. Dimana hal ini muncul sifat manusia yang pragmatis. Dalam pengertian mengenai antikekerasan yang mengacu pada sifat pragmatis, dimana hal ini merupakan sifat manusia yang tidak menggunakan kekerasan karena kekerasan menurut mereka tidak mungkin mencapai apapun dan akibatnya akan menimbulkan penderitaan.13 Antikekerasan yang dimaksud adalah sekedar penolakan untuk mengangkat senjata. Sehingga hal ini tergolong dalam hal yang positif, kreatif, imajinatif, dan penyempurnaan. Selain itu antikekerasan yang dilakukan bertujuan untuk berusaha menjangkau dan menyadarkan hati 13 Kartika S.N, Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi untuk bertindak, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putra, 2001), 96-97 11 nurani semua manusia yang terlibat dalam konflik yang terjadi dan tetap bekerja secara aktif demi menghentikan perilaku yang menghancurkan. Hal yang berkaitan dengan antikekerasan atau nirkekerasan, ini dilakukan dalam sebuah konflik di Indonesia. Hal ini dilakukan sesuai dengan pemahaman yang ada. Konflik GKI Yasmin Bogor yang terkait dengan penolakan pembangunan gedung gereja. Dimana Jemaat GKI Yasmin Bogor melakukan tindakan nirkekerasan didepan Istana Negara dalam bentuk aktivitas beribadah. Hal ini menggambarkan bahwa GKI Yasmin menolak untuk menggunakan kekerasan dalam penyelesaian konflik yang dialami mereka.14 Sehingga dengan tindakan nirkekerasan ini bertujuan untuk berusaha menjangkau dan menyadarkan hati nurani semua manusia yang terlibat dalam konflik tersebut. 1.5.5 Penyelesaian Konflik Menggunakan Dialog Dalam proses penyelesaian suatu konflik terdapat beragam cara, salah satunya adalah dialog. Dialog merupakan salah satu cara dalam penyelesaian konflik, yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam memfasilitasi pihak yang berkonflik untuk bertemu dan membicarakan isu-isu konflik dalam penyelesaian konflik yang terjadi.15 Menurut S.N Kartika dialog merupakan keterampilan yang berguna selama tahap konfrontasi, sebelum situasi berkembang menjadi kritis. Sehingga dialog yang difasilitasikan dapat memungkinkan orang akan mendengar dan mebagikan pandangan yang berbeda mengenai sebuah pendapat. 14 Wawancara kepada BS, jubir GKI Yasmin, tanggal 28 Februari 2016. Kartika S.N, Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi untuk bertindak, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putra, 2001), 113 15 12 Hal ini juga dilakukan dalam penyelesaiakan konflik GKI Yasmin Bogor. Dimana dialog yang digunakan pada saat itu terkait dengan pemahaman diatas. Pihak yang berkonflik yaitu Pemerintah Kota Bogor dan Jemaat GKI Yasmin dan pihak ketiga yang mempunyai rencana untuk menggunakan dialog adalah Kodim 0606 Bogor. Dalam proses tersebut banyak hal yang telah diutarakan oleh masing-masing pihak yang berkonflik dalam mencari penyelesaiannya, akan tetapi belum juga membantu untuk mendapat titik penyelesaiannya. 1.6 Argumen Utama Dalam kaitannya dengan konflik rumah ibadah GKI Yasmin yang telah berkembang sejak tahun 2008, banyak usaha telah dilakukan untuk meredam hingga menyelesaikan konflik. Di pihak GKI Yasmin, usaha yang dilakukan telah dimulai dari jalur hukum hingga cara damai dengan mengadakan ibadah di depan Istana Negara sampai sekarang. Sedangkan di pihak Pemerintah Kota Bogor, usaha untuk meredam kekerasan telah dilakukan mulai dengan negosiasi sampai pada usulan relokasi pembangunan gedung gereja yang masih sulit diterima GKI Yasmin. Upaya yang masih dilakukan oleh GKI Yasmin hingga saat ini adalah dengan menyelenggarakan ibadah tiap dua minggu sekali di depan Istana Negara. Tindakan ini menjadi upaya resolusi konflik nir-kekerasan oleh Jemaat GKI Yasmin. Penulis melihat bahwa upaya ini berhasil menarik perhatian dunia termasuk Dewan Gereja Dunia (DGD) yang menulis surat kepada Pemerintah Kota Bogor untuk mengikuti hasil Mahkamah Agung (MA). Hal mengenai tujuan dari penyelesaian konflik bukan soal mengalahkan tetapi memperbaiki hubungan 13 yang rusak, khususnya di negara demokrasi. Negara Indonesia yang mengupayakan demokrasi memberi ruang untuk warga negaranya menyampaikan pendapat, salah satunya adalah dengan cara yang dilakukan oleh Jemaat GKI Yasmin. 1.7 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sebab penelitian ini menggunakan pengumpulan data kualitatif yaitu melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Hasil penelitian disampaikan secara deskriptif. Penelitian ini berfokus pada deskripsi penyelesaian konflik yang telah dilakukan untuk mengatasi konflik GKI Yasmin. Deskripsi dilakukan berdasarkan berbagai upaya penyelesaian konflik GKI Yasmin oleh Pemerintah Kota Bogor sebagai pihak ketiga. 1.7.1 Teknik Pengumpulan Data 1.7.1.1 Wawancara Metode ini dilakukan dengan proses tanya jawab lisan, yang membutuhkan dua atau lebih orang dalam proses tersebut secara fisik antara yang satu dengan yang lain. Proses ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang berkenaan dengan tanggapan, pendapat, perasaan, dan harapan dengan cara bertanya kepada setiap narasumber yang terkait dengan konflik.16 Wawancara akan dilakukan kepada beberapa jemaat GKI Yasmin, Pendeta Jemaat GKI Yasmin, panitian pembangunan gedung GKI Yasmin, wakil 16 Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 14 Pemerintah Kota Bogor, wakil pemerintah lokal daerah Taman Yasmin. 1.7.1.2 Observasi Observasi partisipatif merupakan teknik pengumpulan data dengan cara peneliti melibatkan diri pada aktivitas sehari-hari yang diamati.17 Observasi dilakukan dengan mengikuti aktivitas gerejawi GKI Yasmin dan tinggal di wilayah konflik selama dua minggu. Melalui observasi ini penulis dapat mencatat banyak hal yang terjadi selama konflik terjadi, sehingga memperkuat data lain yang dikumpulkan. 1.7.1.3 Studi Dokumentasi Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teknik studi dokumentasi. Cara yang dilakukan untuk pengumpulan data melalui media masa, internet dan buku-buku yang terkait dengan konflik yang sedang diteliti18. Sehingga teknik ini digunakan untuk meneliti dokumentasi yang terkait dengan konflik dan proses penyelesaian konflik tempat ibadat GKI Yasmin di Bogor. 17 18 Achmadi, Metodologi ..., 44. Sugiyono, Metode Penelitian, (Bandung: Alfabeta, 2009), 329. 15 1.7.1.4 Teknik Deskripsi Data Deskripsi data dilakukan setelah proses validasi data. Untuk melakukan validasi data, penulis menggunakan teknik triangulasi data dan triangulasi teknik. Triangulasi data dilakukan dengan cara membandingkan data hasil wawancara dari berbagai narasumber terpilih. Melalui teknik ini penulis berharap akan mendapatkan data wawancara yang valid untuk digunakan sebagai bahan deskripsi. Trianguliasi teknik dilakukan dengan cara membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil observasi dan studi dokumentasi. menyeimbangkan pengumpulan data data Teknik yang sehingga ini diperoleh valid bertujuan dari untuk tiga dikaji untuk teknik atau dideskripsikan.19 Deskripsi dilakukan dengan cara meninjau dan mendaftar solusi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor untuk menyelesaikan konflik GKI Yasmin. Setelah solusi didaftar maka data akan dibandingkan dengan teori manajemen konflik. Teori manajemen konflik menolong penulis untuk mengklarifikasi solusi yang diusulkan pada kategori yang sesuai. Lalu penulis akan mengkategorikan tingkat keberhasilan solusi dan mencari sebab kegagalan solusi tersebut. 19 Achmadi, Metodologi..., 156. 16 1.8 Sistematika Penulisan Untuk mengarahkan pembahasan dalam penulisan ini maka penulis terlebih dahulu menyajikan struktur penulisan dalam sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, argumen utama, metodologi penelitian, teknik pengumpulan data yang terdiri dari wawancara, observasi, studi dokumentasi, teknik deskrisi data, dan sistematika penulisan. Bab II Gambaran Umum Objek Penelitian, yang berisikan gambaran umum Kota Bogor, Gereja Kristen Indonesia, dan GKI Yasmin Bogor. Bab III Isi, yang berisikan inti dari penelitian yang menjelaskan hasil dan deskripsi penelitian berdasarkan data di lapangan dan kajian teoritis dalam Bab I. Bab IV Penutup, yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi. 17