BABV PENUTUP A. KESIMPULAN Upaya memahami misi gereja dalam konteks tertentu, misalnya dalam konteks GKI Di Tanah Papua, ditentukan oleh perubahan dan pergeseran paradigma teologi misi yang berkembang saat itu. Oleh sebab itu upaya mempelajari pergeseran paradigma misi akan membantu gereja maupun orang-orang kristen untuk memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana memberi arti terhadap misi gereja saat ini maupun yang akan datang. Pergeseran paradigma misi terjadi karena krisis dalam teologi dan kehidupan gereja, seperti krisis pada gereja perdana, krisis karena pemisahan gereja timur dan barat serta krisis pada saat terjadinya reformasi gereja oleh Marthen Luther. Krisis itu dapat juga disebabkan oleh karena terjadinya kesenjangan sosial, ekonomi, politik yang menyebabkan penderitaan banyak orang. Dalam konteks GKI Di Tanah Papua, situasi krisis itu bermula sejak awal pekabaran injil tahun 1855, situasi pada perang dunia II tahun 1942-1945, berdirinya gereja tahun 1956, krisis pada saat diintegrasinya Papua ke dalam wilayah NKRI dan masa kekuasaan orde baru serta masa reformasi. Dari latarbelakang terjadinya pergeseran paradigma misi, menyebabkan terjadinya paradigma misi ekumenis yang didalamnya terdapat elemen-elemen mendasar yang dijadikan tema-tema pokok dalam praksis gereja dan teologi, yang kemudian muncul sebagai corak misi dalam era ini. Diantaranya telah penulis uraikan dalam babII, yaitu gereja dan misi, gereja dan dunia,Peranan jemaat alam misi, Misi sebagai Misio Dei, Misi dan Keadilan, Misi dan Penginjilan, Misi dan Pembebasan, Misi sebagai kesaksian Bersama, Misi dan Pelayanan Umat serta Misi dan Penganut Kepercayaan lain. Dari berbagai corak paradigma misi diatas, penting untuk memilih tema apa yang cocok dengan realitas GKI TP pada saat ini. Sudah tentu faktor sejarah GKI TP maupun anggota-anggota PGI lainnya yang lahir dan bertumbuh dari misi Kristen Barat yang datang bersamaan dengan kolonialisme. Warisan ini harus ditinjau ulang karena tidak relevan dan lahir dari konteks yang berbeda dengan konteks di Papua serta Indonesia pada umumnya. Situasi seperti diatas dapat menimbulkan krisis misi, sehingga misi gereja dalam pemahaman maupun dalam pelaksanaannya menjadi tidak jelas. Sebagai contoh para Zendeling yang pertama kali tiba di Tanah Papua, telah mewariskan paham pietisme dalam pola berteologi di Papua yang menekankan kesalehan hidup, keselamatan yang akan datang, hidup suci dan sebaginya dan telah mempengaruhi banyak orang. Oleh karena itu, diperlukan suatu rekonstruksi pemahaman misi gereja dari yang lama menjadi suatu pemahaman baru yang lebih relevan dan kontekstual, yang berakar dalam kehidupan gereja. Untuk itu, beberapa corak misi ekumenis yang disodorkan David J.Bosch merupakan jalan keluar yang sangat bermanfaat untuk membantu GKI TP menemukan identasnya sekaligus dalam membangun pemahaman misi gereja yang relevan dan kontekstual. Dengan demikian akan terjadi transformasi misi gereja yang implementasinya sesuai dengan realitas yang dihadapi saat ini. GKI TP sebagai gereja yang misioner, yang senantiasa terlibat dalam misi Allah dengan mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi. Sebagaimana tertuang dalam pemahaman Visi Kerajaan Allah yang dianut gereja tersebut. Dari analisa pada Bab IV yang penulis bahas, ternyata beberapa corak misi ekumenis itu tidak dapat dipisahkan satu dan yang lainnya, karena semua bersumber pada Missio Dei atau misi Allah sendiri. Corak misi yang satu berkaitan dengan corak misi yang lain. Kaitan itu bermuara pada konteks yang satu dan sama yaitu konteks Papua. Dalam implementasi misi, aspek pemahaman, partisipasi serta peranan warga jemaat sangat penting karena keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat. Misi Allah harus dapat diwujudkan oleh warga jemaat, tanpa harus bergantung kepada para pemimpin gereja. Pemimpin gereja bukanlah penentu keterlibatan gereja sebagai umat Allah dalam pelaksanaan misi Allah di tengah-tengah dunia ini. Karena kepemimpinan gereja pada hakekatnya adalah pelayanan. Pemimpin gereja melayani dan memberdayakan umat Allah, agar mereka sendiri secara aktif dan kreatif melaksanakan misi Allah dalam kehidupannya . Oleh sebab itu pembinaan, pelatihan dan pengkaderan terhadap warga gereja harus diadakan secara teratur. Berbagai upaya untuk menyiapkan warga jemaat sebagai pelaku misi memang sudah dilakukan dalam jemaat-jemaat di Klasis Jayapura, namun secara jujur harus diakui bahwa belum maksimal, oleh sebab itu diperlukan suatu penataan yang lebih serius dan berkesinambungan. Misi gereja pada hakekatnya adalah misi Allah sendiri, Allah sendiri sebagai sumber misi. Dalam Missio Dei, gereja terpanggil untuk menyatakan misi Allah di tengah dunia ini, Panggilan gereja tersebut diwujudkan dalam Tri Tugas gereja yaitu Koinonia, Diakonia dan Marturia. Kehadiran gereja dalam mengemban misi Allah, harus menuruti teladan Kristus yang hadir dan melayani tanpa melihat perbedaan dalam keberadaan manusia. Kristus hadir untuk semua orang. Keteladan Kristus harus dapat diwujudkan oleh gereja, dalam hal ini GKI TP secara khusus jemaat-jemaat di Klasis Jayapura. Pemahaman tentang gereja hadir dengan orang lain, pada kenyataannya di klasis Jayapura masih jauh dari harapan. Hal itu terlihat dari berbagai program kerja yang dirumuskan maupun pelayanan dalam misi masih dilakukan disekitar tembok gereja. Oleh sebab itu pola pelayanan yang eksklusif itu harus di rekonstruksi dengan berpijak pada pemahaman teologi misi yang inklusif, terbuka bagi sipapun, kapanpun dan dimanapun. Dengan demikian implementasi pemahaman GKI TP tentang gereja dan misi akan menjadi relevan dengan semangat misi ekumenis. Implementasi misi pembebasan, tidak hanya di bidang sosial, ekonomi dan politik saja, tetapi dalam budaya juga. Dalam hal ini budaya patriak yang masih kuat di Papua. Oleh sebab itu Gereja harus turut memperjuangkan kesetaraan gender, sebagai wujud dari implementasi misi pembebasan. Dengan demikian panggilan untuk melayani sama-sama terbuka, baik kepada perempuan maupun laki-laki. Dalam hal ini nasihat firman Tuhan, bahwa tidak ada orang Yahidi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus(Gal.3:28) Dengan menelusuri misi GKI TP pada masa lalu, masa kini dan masa mendatang, lalu diperhadapkan dengan realitas sosial yang dialami masyarakat di Papua sepanjang sejarah berdirinya gereja ini, maka dilakukan suatu refleksi historis kritis maupun refleksi teologis terhadap misi gereja. Kemudian hasil refleksi itu digunakan untuk menentukan Eklesiologi yang tepat bagi Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua. B. SARAN 1. Upaya rekonstruksi misi gereja dalam konteks masyarakat di Papua, perlu dilakukan oleh GKI TP secara terus menerus. Usaha ini sebenarnya cukup mendesak, karena apa yang pernah dilakukan pada masa lalu sringkali sudah tidak relevan lagi. Perubahan jaman yang begitu cepat, menyebabkan menyebabkan realitas dalam konteks di Papua juga mengalami perubahan dan perkembangan. 2. Pemikiran teologi misi di Indonesia, dan khususnya di Papua juga telah berkembang menuju kontekstualisasi teologi. Oleh sebab itu GKI TP harus dengan kesungguhan melakukan kajian-kajian teologi kontekstual yang diprogramkan dengan baik. Kesungguhan karena rekonstruksi misi hanya dapat dilakukan dalam suatu paradigma misi yang diyakini sebagai paradigma yang relevan saat ini, tanpa meremehkan dan mengecam paradigma yang lain. Hal ini penting karena rekonstruksi misi selalu mengandung komitmen untuk melibatkan diri dalam implementasi misi Allah yang sudah dipahami secara baru. Dengan demikian GKI TP dibantu melihat secara utuh dan menyeluruh suatu konsep atau pemahaman misi gereja yang sesuai dengan pergumulan dan keberadaannya. 3. Pemikiran tentang paradigma misi ekumenis yang dipaparkan oleh David J. Bosch, perlu dilanjutkan dalam bentuk program-program gereja di Klasis terutama dalam jemaat-jemaat sebagai basis pelayanan GKI TP. Program kerja yang tertuang dalam Tri Tugas gereja itu harus dianalisa dan dikritisi sehingga dalam mengimplementasikan program-program tersebut dapat bermanfaat dan menjawab pergumulan pokok yang sedang dihadapi. 4. Dalam mengimplementasikan paradigma misi ekumenis, maka aspek kepemimpinan gereja dan aspek partisipasi warga gereja sangat penting. Aspek kepemimpinan dalam struktur gereja harus dipahami sebagai pelayanan, bukan kekuasaan. Aspek partisipasi warga gereja dapat dikembangkan dalam kepemimpinan yang partisipatif, serta dapat membina kerjasama antara anggota dan pemimpin gereja. Oleh sebab itu diperlukan suatu bentuk pembinaan terhadap pemimpin dan warga gereja secara efektif, agar keduanya dapat terlibat secara penuh dalam penerapan misi dan bertanggungjawab kepada pemberi misi itu, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Akhirnya dengan meyakini bahwa upaya melakukan rekonstruksi terhadap misi GKI di Tanah Papua maupun penjabarannya dalam program kerja Klasis dan jemaat-jemaat, GKI TP mampu mengatasi berbagai situasi negatif yang membelenggu masyarakat di Papua. Sehingga pada waktunya, dalam Harapan dan Doa, setiap orang, keluarga dan jemaat-jemaat menikmati damai sejahtera.