I. PENDAHULUAN Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010-2014 mempunyai rencana strategis yang di dalamnya terdapat program penting terkait dengan peningkatan nilai produksi perikanan Indonesia, sesuai dengan visi KKP untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015 (KKP, 2010). Ikan gurame (Osphronemus gouramy) adalah salah satu dari beberapa ikan target KKP yang tingkat produksinya diharapkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan KKP (2010) produksi ikan gurame pada saat ini adalah sekitar 40.300 ton lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2009 produksi ikan gurame sekitar 38.500 ton. Kemudian pada tahun 2014 KKP mentargetkan nilai produksi ikan gurame Indonesia mencapai 48.900 ton atau meningkat sekitar 21,34% dari produksi pada tahun 2010. Hal ini tentu menjadi tantangan sekaligus tugas pokok bagi lembaga riset maupun pelaksana teknis untuk mewujudkan visi tersebut dengan berbagai upaya ilmiah yang dimiliki oleh instansi terkait, termasuk di dalamnya adalah peran dari perguruan tinggi terkait. Di sisi lain ikan gurame yang menjadi target peningkatan produksi oleh KKP tersebut memiliki siklus reproduksi yang relatif lebih lama jika dibandingkan dengan jenis ikan konsumsi lain, misalnya pada ikan nila yang hanya memerlukan waktu 4-5 bulan untuk mencapai tingkat matang gonad pertama kali. Baik ikan gurame jantan maupun betina waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat matang gonad pertama kali relatif lama yaitu sekitar 3036 bulan atau sekitar 3 tahun (BSN, 2000), sehingga diperlukan upaya ekstra dan waktu yang cukup lama untuk memproduksi ikan gurame dalam mencapai jumlah seperti yang telah ditargetkan. Melihat kondisi tersebut tentu diperlukan sistem dan teknologi budidaya yang memadai maupun upaya lain yang mampu menunjang produksi ikan gurame dalam waktu yang relatif cepat dan efisien. Adapun upaya lain tersebut adalah melalui teknologi yang sedang dikembangkan pada saat ini di bidang akuakultur yaitu teknologi transplantasi sel germinal (TSG). Melalui penerapan teknologi TSG ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan produksi ikan gurame pada saat ini maupun masa yang akan datang. Teknologi transplantasi sel germinal merupakan teknik yang dikembangkan pertama kali oleh Brinster dkk. pada tahun 1994 yaitu dengan cara melakukan transplantasi germ cell (sel germinal) hewan donor ke dalam gonad hewan lain (sebagai resipien). Teknologi ini dilakukan untuk merekayasa teknik produksi individu baru dengan memanfaatkan induk pengganti (surrogate broodstock). Keberhasilan dari teknologi TSG ini sudah dibuktikan oleh Takeuchi et al. (2003) dengan mentransplantasikan PGC (primordial germ cell) yang belum terdiferensiasi dari ikan rainbow trout (donor) ke rongga peritoneal larva ikan salmon masu (resipien) yang selanjutnya ikan salmon masu mampu memproduksi sperma dan telur fungsional ikan rainbow trout. Jika sperma dan telur difertilisasikan, maka dapat diproduksi larva ikan rainbow trout. Selanjutnya Okutsu et al. (2006) melakukan transplantasi menggunakan testikular germ cell yang mengandung spermatogonia, dan Yoshizaki et al. (2010) dengan memanfaatkan oogonia ikan donor. Dalam penelitian ini teknologi TSG diadopsi dan dicoba diaplikasikan untuk memproduksi ikan gurame (donor) yang lama matang gonad dengan memanfaatkan induk semang yaitu ikan nila (resipien) yang memiliki kemampuan matang gonad pertama lebih cepat yaitu 4-5 bulan, relatif lebih mudah memijah baik secara buatan maupun alami dan dapat memijah dalam wadah terkontrol baik itu di dalam kolam, di bak beton, bahkan di dalam akuarium sekalipun. Testis ikan gurame mengandung beberapa sel yang di antaranya adalah sel spermatogonia (515 μm), sel spermatosit (3-5 μm) dan sel spermatid (1,5-2,5 μm) (Mauluddin, 2009). Sel spermatogonia A atau sel stem yang belum terdiferensiasi mampu menurunkan informasi genetik ke generasi berikutnya melalui pematangan gonad dan fertilisasi kemudian sel stem spermatogonia dapat berkembang menjadi sperma dan telur (Okutsu et al., 2008). Gonad ikan gurame muda (bobot tubuh 600-900 g) dipilih oleh karena mengandung relatif lebih banyak sel spermatogonia dibandingkan dengan gonad ikan gurame yang memiliki bobot tubuh lebih besar. Hal ini sesuai dengan Alimuddin (2009), bahwa jumlah serta persentase sel spermatogonia ikan gurame menurun dengan meningkatnya ukuran bobot tubuh. 2 Pemilihan resipien yang digunakan dalam teknologi transplantasi perlu diperhatikan terutama terhadap umur resipien. Hal ini terkait dengan adanya perkembangan rejection immune system pada setiap ikan resipien yang mampu menolak sel donor ketika dilakukan transplantasi sehingga sel donor tidak dapat berkembang di dalam tubuh ikan resipien. Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai umur efektif resipien yang mampu menerima sel donor. Seperti yang telah dilaporkan Takeuchi et al. (2003) bahwa sel donor tidak terkolonisasi ketika resipien (rainbow trout) yang digunakan telah berumur 45 hari setelah fertilisasi. Resipien yang digunakan dalam penelitian ini adalah resipien yang berumur 1-2 hari dan 3-4 hari setelah penetasan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kuning telur larva ikan nila (resipien) yang berumur lebih dari 4 hari sudah mulai berkurang, kemudian larva sudah bergerak aktif sehingga dapat menyulitkan dalam proses penyuntikan. Selain itu, pigmen warna pada bagian peritoneal larva resipien mulai terbentuk dan dapat mengganggu pada saat proses penyuntikan. Keberadaan dari pigmen ini dapat menghalangi organ target yang akan disuntik dan ujung jarum mikroinjeksi berpotensi mengenai organ lain pada larva yang dapat mengakibatkan kematian pada larva setelah penyuntikan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menguji keberhasilan transplantasi pada resipien ikan nila dengan kisaran umur yang berbeda dalam rangka memperoleh ikan nila transplan yang membawa sel testikular gurame (donor) dengan melihat tingkat kolonisasi sel donor pada ikan resipien. 3