Cover Utk Terbuka

advertisement
9
TINJAUAN PUSTAKA
Komunitas Adat Terpencil Baduy
Menurut Adimihardja (2007) komunitas adat sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia adalah kelompok masyarakat yang terisolasi, baik secara
fisik, geografi, maupun sosial budaya. Sebagian besar komunitas ini bertempat
tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Pranata sosial dalam komunitas
adat ini umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan yang sangat terbatas dan
homogen. Kehidupan mereka sehari- hari masih didasarkan pada interaksi
tradisional yang bersifat biologis darah dan ikatan tali perkawinan. Abdullah
(2004) berpendapat kelompok masyarakat inilah yang dikategorikan sebagai
Komunitas Adat yang masih hidup terpencil, keterpencilan itu ada 2 (dua) aspek
yaitu secara eksternal: kenapa pihak luar belum atau sulit memberikan akses
pelayanan sosial dasar pada mereka. Secara internal: Kenapa mereka belum dan
atau sulit mendapatkan akses pelayanan sosial dasar.
Pengertian Komunitas Adat Terpencil
(KAT) dalam surat Keputusan
Presiden No 111 tahun 1999, adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal
dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik
sosial, ekonomi maupun politik. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
kelompok masyarakat tertentu dapat dikategorikan sebagai Komunitas Adat
Terpencil jika terdapat ciri-ciri umum yang berlaku universal sebagai berikut:
(a) Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen.
(b) Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.
(c) Pada umumnya lokasinya terpencil secara geografis dan relatif sulit
dijangkau.
(d) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-sisten.
(e) Peralatan teknologinya sederhana, sangat tradisionil
(f) Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat
relatif tinggi.
(g) Akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik terbatas.
Dengan demikian maka berdasarkan pengertian, dan gambaran ciri-ciri
KAT dalam Keppres No. 111 Tahun 1999, Komunitas Adat Terpencil dapat
dikelompokkan berdasarkan habitat, dan atau lokalitas sebagai berikut:
10
(a) Dataran tinggi / pegunungan;
(b) Dataran rendah; Daerah rawa; Daerah aliran sungai
(c) Daerah pedalaman; Daerah perbatasan;
(e) Di atas perahu; Pantai dan di pulau-pulau kecil.
Komunitas Adat Terpencil juga dapat dikategorikan orbitasinya sebagai
berikut: Kelana, Menetap Sementara, dan Menetap.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa komunitas adat terpencil
adalah kelompok masyarakat yang masih terbatas mendapatkan berbagai akses
pelayanan dasar sosial yang disebabkan secara geografis sulit dijangkau, dan
cenderung sifat masyarakatnya tertutup.
Gambaran Umum dan Sekilas
Asal Usul Orang Baduy
Sebutan “Orang Baduy” atau ”Urang Baduy” yang digunakan untuk
kelompok masyarakat ini bukan berasal dari mereka sendiri. Penduduk wilayah
Banten Selatan yang sudah beragama Islam, biasa menyebut masyarakat yang
suka berpindah-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab, dengan sebutan
“Baduy”. Orang-orang Belanda seperti Hoevell, Jacobs, Meijer, Penning, Pleyte,
Trcht, dan Geise menyebut mereka badoe’i, badoej, badoewi, dan orang kanekes
seperti dikemukakan dalam laporan- laporannya. Sekitar tahun 1980-an, ketika
KTP (Kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini, hampir tidak ada yang
menolak dengan sebutan Orang Baduy. Walaupun, sebutan diri yang biasa
mereka gunakan adalah Urang Kanekes, Urang Rawayan, Urang Tangtu (Baduy
Dalam) dan Urang panamping (Baduy Luar). Nama “Baduy” mungkin diambil
dari nama sungai Cibaduy dan nama gunung Baduy yang kebetulan berada di
wilayah Baduy (Garna, 1993a:120).
Salah satu tulisan paling awal mengenai komunitas Baduy berasal dari
laporan C.L Blume ketika melakukan ekspedisi botani ke daerah tersebut pada
tahun 1822, ia menulis:
“…dipangkuan sebuah rangkaian pegunungan, yang menjulang tinggi di
Kerajaan Bantam di Jawa Barat... kami mendapatkan beberapa kampong
pribumi, yang dengan sengaja bersembunyi dari penglihatan orang-orang
luar… Di sebelah Barat dan di Selatan gunung itu… yang tidak dimasuki
11
oleh ekspedisi Hasanuddin… dalam kegelapan hutan yang lebat, mereka
masih dapat memuja para dewa mereka selama berabad-abad…”
Menurut Blume, komunitas Baduy beasal dari Kerajaan Sunda Kuno,
yaitu Pajajaran, yang besembunyi, ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke17 menyusul bergeloranya ajaran Islam dari Kerajaan Banten. (Garna,
1993b:144).
Kisah yang hampir sama muncul dalam cerita rakyat di daerah Banten.
Kisah tersebut menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran
tidak dapat membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran
saat itu, Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi), beserta punggawa yang
setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan dan masuk ke dalam hutan belantara.
Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat pemukiman di
sana.(Djuwisno, 1987:1-2)
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada
tahun 1925, menyangkal teori tersebut. Menutur dia, mereka adalah penduduk
asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar
(Garna, 1993b:146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan mereka
berasal dari orang-orang pelarian Kerajaan Pajajaran. Manurut Danasasmita dan
Djatisunda (1986:4-5) Orang Baduy merupakan penduduk setempat yang
dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya
diwajibkan memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek
moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan (wiwitan =
asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun di bernama
Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah
Rakeyan Darmasiska, yaitu raja Sunda ke-13, keturunan Sri Jayabupati, generasi
kelima.
Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang
akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh
dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula
dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut
kepercayaan mereka, Adam dan ketur unannya, termasuk warga Baduy
12
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal- usul orang Baduy tersebut adalah berbeda dengan
pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan
Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal
keberadaannya.
Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim
disebut sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam
ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting
dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang).
Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai
perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di
wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang
khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng
tersebut (Adimihardja, 2000:47-59).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa
yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin
adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh- musuh
Pajajaran.
Dalam Pasal 11 Angka 6 Perda Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001,
yang dimaksud dengan masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat
tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang
mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat
umum.
13
Luas Wilayah, Kondisi Tanah dan
Tata Guna Lahan di Baduy
Menurut laporan A.J. Span (1987) dan B van Tricht (1929) dalam
Permana (2006:19) pada akhir abad ke-18 wilayah Baduy terbentang mulai dari
Kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke pantai selatan. Batas desa seperti
yang ada sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan
pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Sementara itu menurut perkiraan Judhistira K Garna, luas wilayah Baduy
meliputi beberapa kecamatan, seperti Muncang, Sajra, Cimarga, Maja, Bojong
Manik, dan Leuwidamar. Hal ini didasarkan atas kesamaan kepercayaan Sunda
Lama dan pertalian kerabat masyarakat yang menempati daerah-daerah tersebut.
Wilayah Baduy terus dipersempit pada masa Kesultanan Banten dalam rangka
penyebarluasan agama Islam, Garna, (1993), Permana (2006:19)
Menurut Permana (2006:19) luas wilayah Baduy secara umum dapat
dibagi menjadi tiga macam tata guna lahan, yaitu lahan usaha pertanian, hutan
tetap, dan permukiman. Lahan usaha pertanian terbesar dalam penggunaan lahan,
yakni mencapai 2,585,29 ha atau 50,67%. Lahan ini terdiri atas lahan yang
ditanam / diusahakan 709,04 ha atau 13,90% dan lahan yang tidak ditanam (bera)
seluas 1.876,25 ha atau 36,77%. Penggunaan lahan terkecil adalah untuk
pemukiman, yang hanya meliputi 24,50 ha atau 0,48%. Adapun sisanya, seluas
2.492 ha atau 48,85%, merupakan hutan tetap sebagai hutan lindung yang tidak
boleh digarap untuk dijadikan lahan pertanian.
Dalam dua dekade terakhir, belum ada catatan khusus tentang tata guna
lahan, namun dapat dipastikan lahan permukiman bertambah. Menurut catatan
Kantor Desa Kanekes tahun 2008, jumlah kampung di Baduy sudah mencapai 57
kampung.
Berdasarkan jenis tanah, umumnya wilayah Baduy tergolong dalam jenis
latosol coklat. Sifat tanah latosol ini termasuk ke dalam kelas tekstur liat (clay),
tersusun oleh pertikel-pertikel berfraksa liat 56,9%, debu 32,2%, dan pasir
10,9%. Hal ini juga menandakan bahwa jenis tanah yang ada di wilayah Baduy
ini peka terhadap erosi, Purnomohadi (1985) (Permana, 2006:18).
14
Curah hujan rata-rata tahunan selama dasawarsa terakhir umumnya
melebihi 3000 mm/tahun hingga 4000 mm/tahun. Curah hujan disini kebih tinggi
dibandingkan denga wilayah-wilayah di Leuwidamar lainnya. Menurut metode
klasifikasi iklim Koppen, wilayah Baduy termasuk kelas AW, yang berarti ada
bulan-bulan kering degan curah hujan < 60 mm dan suhu udara rata-rata bulanan
> 18 derajat C. Kelas AW juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara musim
hujan dan kemarau. Bulan-bulan kering antara Juni sampai September, sedangkan
bulan-bulan lain merupakan bulan basah. Purnomohadi (1985) (Permana,
2006:18).
Sistem Sosial dan Pemerintahan
Masyarakat Baduy
Secara umum, masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni
tangtu (pendahulu, cikal bakal, pokok); panamping (pinggir, buangan); dan
dangka (rangka, kotor). Tangtu dan pana mping berada di wilayah desa Kanekes,
sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Bila dilihat dari tingkat
ketaatan pada adat, maka tangtu lebih tinggi dari panamping, dan panamping
lebih tinggi dari dangka. Meski demikian, pengelompokan yang sering digunakan
adalah tangtu merujuk pada masyarakat Baduy Dalam, sedangkan panamping
dan dangka merujuk pada masyarakat Baduy Luar. Baduy Dalam (disebut juga
Baduy Jero, Urang kajeroan) sebagai pemegang adat yang teguh, memiliki tiga
kampung, yaitu (1) Cikeusik, disebut juga Tangtu Pada Ageung, (2) Cibeo,
disebut juga Tangtu Parahiyang, dan (3) Cikartawana, disebut juga Tangtu
Kujang. Ketiga kampung suci ini disebut juga sebagai telu tangtu (tiga tangtu).
Sebutan lain untuk masyarakat tangtu adalah Urang Rawayan. Menurut orang
Baduy sebutan itu disebabkan oleh adanya rawayan “jembatan” yang dilalui jika
keluar- masuk wilayah tangtu.
Jumlah perkampungan Baduy Luar terdiri dari 55 Kampung dalam Data
Penyebaran Penduduk Desa Kanekes Tahun 2008. Bila melihat Perda Kabupaten
Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Hak Ulayat Masyarakat Baduy, ada 51
Kampung.
15
Seluruh Perkampungan Baduy Luar tersebar di sebelah Barat, Timur, dan
Utara dari Baduy Dalam. Di sebelah Selatan tidak ada pemukiman/kampung,
kecuali Sasaka Domas tempat atau objek pemujaan yang dianggap paling suci
bagi Orang Baduy (Danasasmita, 1986; Garna, 1993,Permana,2001).
Tanah tempat masyarakat tangtu berdiam dianggap suci oleh orang
Baduy, oleh karenanya wilayah tangtu disebut daerah “Tanah Larangan”, yaitu
daerah yang dilindungi dan tidak boleh sembarangan orang masuk dan berbuat
sekehendak di wilayah tersebut. Ada beberapa hal yang ditabukan misalnya
dilarang menghidupkan peralatan elektronik seperti radio, bertelepon, memotret,
dan merekam baik audio maupun visual.
Penamping menurut orang Baduy, berasal dari kata tamping yang berarti
kata kerja ‘buang’; jadi penamping berarti ‘pembuangan’. Dengan kata lain,
penamping merupakan tempat bagi orang tangtu yang dibuang atau dikeluarkan
karena melanggar adat. Pendapat lain mengatakan bahwa penamping berarti
pinggir atau daerah pinggiran.
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yakni sistem
nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy
termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, setiap desa
terdiri atas sejumlah kampung.
Di daerah Baduy, kampung-kampug tersebut terbagi menjadi kampung
tangtu, kampung penamping, dan kampung dangka. Kecuali kampung tangtu,
terdapat juga RK (Rukun Kampung) yang disebut kokolot lembur. Desa Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah (awalnya disebut Jaro
Warega, dan pada zaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala
desa atau lurah desa lain, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat
yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut Puun.
Uniknya, bila desa lain dipilih oleh warga, untuk Desa Kanekes yang menunjuk
Puun, baru kemudian diajukan kepada Bupati melalui Camat untuk dikukuhkan
sebagai kepala Desa.
Secara tradisional pemerintahan pada masyarakat Baduy bercorak
kesukuan disebut Kapuunan, dan Puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di
16
wilayah Baduy ada tiga, masing- masing Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun
Cikartawana. Puun-Puun ini merupakan “tritunggal”, karena selain berkuasa di
daerah masing- masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan
pemerintahan tradisional. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga
Puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas berlainan.
Menurut Permana, (2006:34) wewenang Kepuunan Cikeusik menyangkut
urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan
upacara-upacara (seren tahun, kawalu, seba) dan memutuskan bagi para
pelanggar adat. Wewenang Kepuunan Cibeo menyangkut pelayan kepada warga
dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk pada urusan administrator tertib wilayah,
pelntas batas, dan berhubungan dengan daerah luar. Adapun wewenang Puun
Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan,
atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor
permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.
Para Puun dibantu oleh Jaro (pelaksana harian Kapuunan), Girang Seurat
(pemangku adat), Baresan (keamanan), dan Ta ngkesan (kepala dukun). Di Baduy
Luar tidak ada Puun, pemimpin tertinggi di sini dipegang oleh Jaro (sebagai
kepala kampung) beserta pembantu-pembantunya (Garna, 1993, Permana, 2001).
Dalam lembaga Kapuunan terdapat beberapa jabatan antara lain: Puun;
Girang Serat; Baresan; Jaro; Palawari; dan Tangkesan. Berikut penjelasan
singkat masing- masing jabatan, sebagaimana dikemukakan Permana (2006:3537), dan wawancara dengan Ayah Mursid (Wakil Jaro Tangtu) November 2008.
Puun merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. Menurut
pikukuh (peraturan adat), jabatan itu berlangsung turun temurun, kecuali bila ada
hal lain yang tidak mungkinkannya. Jabatan puun boleh diwariskan kepada
keturunannya atau kerabat dekatnya. Lama jabatan tidak ditentukan, pada
dasarnya dinilai berdasarkan ma mpu tidaknya seseorang menjalankan jabatannya.
Ada yang menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan mengundurkan diri
karena usia tua. Dalam wilayah tangtu, puun selalu berlaku formal, sehingga
berlaku “protokol” kapuunan, kecuali bila berada di ladang, ia yang akan berlaku
sebagai warga biasa. Oleh karena itu, untuk bertemu puun bukan dalam rangka
“dinas”, biasanya dilakukan di saung huma ’pondokan di ladang’. Sehubungan
17
dengan jabatannya puun harus menempati “rumah dinas”. Lokasi rumah puun
berada di daerah sakral, yaitu terletak paling selatan di dalam suatu pemukiman,
tidak boleh ada rumah lain di selatan rumah puun.
Girang seurat, atau kadang disebut seurat saja, merupakan jabatan
tertinggi kedua setelah puun. Girang seurat merup akan “sekretaris” puun atau
pemangku adat dan juga bertugas mengurus huma serang ‘ladang bersama’ dan
menjadi penghubung serta pembantu utama puun. Setiap orang yang mau
bertemu puun harus melalui girang seurat. Tamu dari luar lebih sering dihadapi
girang seurat yang bertindak mewakili puun. Jabatan pembantu puun hanya ada
di tangtu Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di Cikartawana tugas tersebut
dilaksanakan oleh kokolot ‘tetua kampung’.
Baresan adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan
bertanggung jawab dalam bidang ketertiban. Mereka termasuk dalam anggota
sidang kapuunan atau semacam majelis yang berangotakan sebelas orang di
Cikeusik, sembilan orang di Cibeo, dan lima orang di Cikartawana. Mereka juga
dapat menggantikan puun menerima tamu ya ng akan menginap dan dalam
berbagai upacara adat.
Jaro, merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kepuunan. Tugas
jaro sangat berat karena meliputi segala macam urusan. Ada empat jabatan jaro,
yakni jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu bertugas sebagai pengawas pelaksana hukum adat warga
tangtu. Ia bekerjasama dengan girang seurat mendampingi puun dalam kegiatan
upacara adat atau menjadi utusan kepala adat ke luar Desa Kanekes.
Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan
leluhur yang berada di dalam dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas
menyadarkan kembali orang tangtu yang dibuang karena melanggar adat. Jaro
dangka berjumlah sembilan orang, yaitu tujuh orang berada di luar Desa, dan dua
lainnya berada di desa. Kesembilan jaro dan ditambah dengan tiga orang jaro
tangtu disebut dengan jaro duabelas, dikepalai oleh salah seorang diantaranya dan
disebut jaro tanggungan duabelas.
Jaro pamarentah bertugas sebagai penghubung antara pemerintahan adat
dengan dan masyarakat Baduy dengan pemerintah, dan bertindak sebagai Kepala
18
Desa Kanekes yang berkedudukan di Kaduketug. Dalam tugasnya ia dibantu
dengan pangiwa, carik, dan kokolot lembur.
Palawari, merupakan kelompok khusus (semacam panitia tetap) yang
bertugas pembantu, pesuruh, dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat.
Mereka mendapat tugas dari tangkesan mengenai hal- hal yang berkaitan dengan
persiapan dan pelaksanaan suatu upacara adat. Sewaktu melaksanakan upacara,
mereka inilah yang bertugas menyediakan makanan untuk semua petugas, dan
warga yang terlibat dalam upacara tersebut.
Tangkesan merupakan “menteri kesehatan” atau dukun kepala dan
sebagai “atasan” dari semua dukun yang ada di baduy. Dialah juru ramal bagi
segala aspek kehidupan orang baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang
pantas menjadi puun. Oleh karena itu, mereka menjabatnya harus cendikia dan
menguasai ilmu obat-obtan, dan mantera- mantera, serta memberi restu kepada
orang yang ingin menjadi dukun. Sekalipun tangkesan dapat memberi nasehat
pada puun dan menjadi tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat dipegang
oleh orang Baduy Luar, biasanya keturunan dari tangkesan sebelumnya.
Pada masyarakat Baduy dikenal beberapa istilah untuk menyebut dukun,
yaitu paraji ’dukun beranak’, panghulu (dukun khusus mengurus orang
meninggal), bengkong jalu (dukun sunat untuk pria), dan bengkong bikang
(dukun sunat untuk wanita). Berikut struktur kepemimpinan (pemerintahan
tradisionil) dalam komunitas Baduy.
19
Puun
tangkesan
Girang Seurat
Jaro dangka/
jaro 12
Jaro Tangtu
Baresan
Jaro
Pamarentahan
Pangiwa &
Carik
Kokolot Adat
Palawari
Masyarakat
Baduy Dalam
Masyarakat
Baduy Luar
Keterangan :
----------------------- : garis perintah dalam upacara adat
________________ : garis perintah dan konsultasi
Gambar 1. Struktur organisasi Komunitas Adat Baduy
Sumber : Permana (2006)
Kepercayaan Orang Baduy
Pada dasarnya kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh
nenek moyang. Menurut Bupati Serang P.A.A. Djajadiningrat (1908),
berdasarkan keterangan dari kokolot kampung Cikeusik bernama Naseni, orang
Baduy bukanlah penganut agama Hindu, Budha, atau pun Islam, melainkan
animisme, yakni kepercayaan yang memuja roh atau arwah nenek moyang.
Hanya saja dalam kepercayaan tersebut sekarang telah dimasuki oleh unsurunsur agama Hindu dan juga Islam (Ekadjati, 1995:72).
Sebagian besar upacara keagamaan orang Baduy tidak lepas dari
hubungannya dengan padi dan perladangan. Sistem kalender atau penanggalan
orang Baduy pun berkaitan erat dengan tata urutan kegiatan mereka. Awal
penyiapan lahan ladang, yang dikenal dengan kegiatan narawas dan nyacar, juga
merupakan awal masuknya tahun baru orang Baduy, yaitu bulan kapat.
20
Awal bulan pertama tiap permulaan tahun dalam istilah orang Baduy
sering dikatakan nanggalkeun kidung (awal kemunculan bintang kidang atau
bintang waluku). Menurut pengetahuan orang Baduy, awal tahun harus jatuh
pada saat matahari sedang berada di belahan bumi utara, yang dalam istilah
mereka disebut matapoe geus dengkek ngaler ‘matahari sudah condong ke utara’.
Saat itu keadaan tanah sudah “dingin” sehingga sudah siap untuk kegiatan
perladangan. Dalam penentuan waktu, orang Baduy juga menggunakan alat bantu
yang disebut kolenjer, yakni kalender tradisionil, terbuat dari kulit kayu,
berisikan penentuan hari, tanggal, bulan, dan tahun, bahkan juga dilengkapi
dengan ramalan-ramalan waktu dan arah yang baik dan buruk (Danasasmita dan
Djatisunda, 1986:39).
Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka
Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Objek pemujaan ini pada dasarnya sisa
peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan
sejumlah menhir dan arca di atasnya. Inilah yang dianggap oleh orang Baduy
sebagai tempat karuhun, nenek moyang, berkumpul.
Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy
adalah “tanpa perubahan apapun”, seperti tertuang dalam buyut titipan karuhun
(Garna, 1988:53, 1993:139) sebagai berikut:
Buyut nu dititipkeun ka puun
Negara satelung puluh telu
Bangsawan sawidak lima
Pancer salawe nagara
Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu menang disambung
Nu lain kudu di lainkeun
Nu ulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun
(buyut yang dititipkan kepada puun
negara tigapuluhtiga
sungai enampuluhlima
pusat duapuluhlima negara
gunung tak boleh dihancur
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang lain harus dipandang lain
yang benar harus dibenarkan.
Istilah buyut di sini mengandung pengertian semacam tabu atau
pantangan. Menurut orang Baduy buyut sesungguhnya berarti segala sesuatu
yang melanggar pikukuh, terbagi atas buyut adam tunggal dan buyut nahun.
Buyut adam tunggal berarti tabu pokok beserta tabu-tabu kecil lainnya (tanpa
21
kecuali) yang berlaku untuk orang tangtu, sedangkan buyut nahun merupakan
tabu berdasarkan hal- hal pokok saja dan berlaku untuk orang penamping atau
dangka. Contoh, tabu bagi orang tangtu mengolah pertanian menjadi sawah dan
menanam tanaman tertentu seperti kopi dan cengkeh; namun orang penamping
dan dangka, walaupun tabu pertanian bersawah diikuti, juga menanam kopi dan
cengkeh.
Konsep penting lain dari kepercayaan orang Baduy adalah karuhun dan
pikukuh adalah generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di
Sasaka Domas, yaitu tempat suci di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun
dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya, menengok keturunannya
melalui jalan hutan kampung (leuweung lembur), Para puun, menurut keyakinan
ini, bukan hanya pemimpin tertinggi melainkan merupakan keturunan karuhun
yang langsung mewakili mereka di dunia.
Dalam kaitan dengan konsep karuhun, ada konsep guriang, sanghyang, dan
wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi
keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun makhlukmakhluk halus yang jahat. Adapun wangtua adalah roh atau penjelmaan roh ibu bapak
yang sudah meninggal dunia (Garna, 1993a:140, 1994:15). Pikukuh, merupakan aturan
dalam sunda wiwitan yang tidak terlepas dari ketentuan untuk (1) ngabaratakeun
’melakukan tapa terhadap inti jagat dan dunia’, (2) ngareremokeun ’menghormati
dengan menjodohkan dewi padi yang disebut sanghyang asri’, dan (3) mengekalkan
pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan yang ada (Garna, 1994:15).
Gejala Perubahan Sosial di Baduy
Tidaklah mudah untuk menggambarkan secara selintas tentang perubahan
sosial di Indonesia; mungkin lebih baik membahas tentang perubahan sosial
secara makro yang lebih berupa potret kelompok masyarakat. Kelompok yang
seringkali disebut ”masyarakat terpencil” dikategorikan sebagai masyarakat yang
tertinggal oleh proses perubahan sosial, atau yang relatif terbelakang
kehidupannya. Kelompok ini biasanya diangap tidak maju, alam pikirannya
bersahaya dan kuat memegang tradisi, bahkan diangap tak termasuk kelompok
etnik tempat bermukimnya.
22
Masyarakat dalam pandangan teori evolusi, perspektif ini merupakan
perspektif yang paling awal dalam sosiologi. Didasarkan pada karya Comte
(1798-1857) dan Spencer (1820-1903), perspektif ini memberikan keterangan
tentang cara masyarakat manusia berkembang dan tumbuh.
Menurut Horton dan Hunt (1991:17), perspektif ini digunakan untuk
mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang
berbeda, untuk mengetahui ada tidaknya urutan umum yang dapat ditemukan.
Mungkin mereka bertanya apakah faham komunisme Cina akan berkembang
sama seperti faham komunisme Rusia, atau apakah pengaruh proses
industrialisasi terhadap keluarga di negara berkembang akan sama dengan yang
ditemui di negara Barat?
Bila dikaitkan dengan masalah penelitian, perspektif ini dapat juga
menjelaskan perkembangan komunitas adat Baduy Luar. Perspektif evolusioner
adalah perspektif yang aktif, sekalipun bukan perspektif utama dalam sosiologi.
Perubahan merupakan proses yang terus menerus terjadi dalam setiap
masyarakat. Proses perubahan itu ada yang berjalan sedemikian rupa sehingga
tidak terasa oleh mayarakat pendukungnya. Gerak perubahan yang sedemikian itu
disebut evolusi. Sosiologi mempunyai gambaran adanya perubahan evolusi
masyarakat dari masyarakat sederhana ke dalam masyarakat modern. Proses
gerak perubahan tersebut ada dalam satu rentang tujuan ke dalam masyarakat
modern.
Manurut
Comte,
Martindale
(Amiruddin,
2008:37),
mengenai
perkembangan masyarakat, yakni:
Pertama, masyarakat berkembang secara linier (searah), yakni dari
primitif ke arah masyarakat yang lebih maju.
Kedua, proses evolusi yang dialami masyarakat mengakibatkan
perubahan-perubahan yang berdampak terhadap perubahan nilai- nilai dan
berbagai anggapan yang dianut masyarakat.
Ketiga pandangan subyektif tentang nilai dibaurkan dengan tujuan akhir
perubahan sosial. Hal ini terjadi karena masyarakat modern merupakan
bentuk masyarakat yang dicita-citakan memiliki label yang baik dan lebih
sempurna, seperti kemajuan, kemanusiaan, dan sivilisasi.
Keempat, perubahan sosial yang terjadi dari masyarakat sederhana ke arah
masyarakat modern berlangsung lambat, tanpa menghancurkan fondasi
yang membangun masyarakat, sehingga memerlukan waktu yang panjang.
23
Menurut Micklin (1973), tiap sistem sosial
secara terus-menerus
mengikuti perubahan, oleh karena lingkungan selalu mengalami perubahan terus
menerus. perubahan pada umumnya adalah sebuah perubahan, pengaruh tersebut
dapat berasal dari fisik atau lingkungan, misalnya;
(1) Teknologi sebagai penyebab perubahan sosial
Teknologi tidak hanya membuat berbagai hal menjadi lebih sederhana atau
lebih efisien atau lebih cepat tetapi juga membuat sesuatu yang tidak mungkin
menjadi mungkin.
Baldriges (1975) menyatakan bahwa yang dapat diubah dan disempurnakan
oleh teknologi:
(a) Perubahan pada
teknologi
agrikultur yang menghasilkan surplus
makanan bagi pertumbuhan yang penting dari kota.
(b) Perubahan pada teknologi senjata yang sering merepotkan negara- negara
dan kerajaan.
(c) Pengenalan tentang tenaga uap yang mendorong dunia ke dalam revolusi
industri, dan
(d) Penemuan dari mesin pemisah biji kapas yang menghidupkan kembali
perdagangan dan membantu sejarah manusia kembali.
(2) Gerakan massa
Di dalam suatu masyarakat ada sub-sub kelompok tertentu sebagai suatu
pergerakan sosial, yang sangat kuat dan aktif bahwa mereka dapat memulai
perubahan sosial atau mempercepat perubahan. Yang mungkin dapat
digolongkan seperti seorang reaksioner, konservatif, penganut pembaharuan,
dan revolusioner (Storer,1980)
(3) Adanya nilai- nilai dan gagasan baru.
Perubahan sosial terjadi ketika ada gagasan yang baru dan nilai-nilai baru.
Gagasan dan nilai-nilai baru memungkinkan mereka untuk hidup menjadi
lebih selaras dengan lingkungan yang berubah.
(4) Perubahan pada transportasi dan komunikasi.
Telah ada suatu tambahan kecepatan (akselerasi) dari perubahan transportasi
dan komunikasi dari masa lalu sampai dengan saat ini. oleh karena perubahan
ini, orang bisa menaklukkan ruang dan waktu (Amiruddin, 2008:39-41).
24
Menurut Soekanto (1974) faktor yang mendorong adanya perubahan
dalam suatu masyarakat adalah:
(a) Kontak dengan kebudayaan lain,
(b) Sistem pendidikan yang maju,
(c) Sikap menghargai hasil karya seseorang dan ada keinginan untuk maju,
(d) Toleransi terhadap pembuatan yang menyimpang, sistem terbuka dalam
lapisan masyarakat,
(e) Pendudukan yang heterogen,
(f) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu,
(g) Disorganisasi dalam masyarakat,
(h) Sikap mudah menerima, dan
(i) Sikap modern.
Soekanto (1974) juga menjelaskan bahwa faktor yang dianggap
penghambat adanya perubahan dalam suatu masyarakat adalah:
(1) Hambatan Budaya. Hambatan budaya menuju ke perubahan sosial dibagi
lagi ke dalam tiga nilai- nilai kelompok dan sikap, struktur budaya. Nilai- nilai
dan sikap mempunyai komponen sebagai berikut: tradisi, fatalisme, budaya
etnosentris, kebanggaan dan martabat, norma-norma dari kesederhanaan, nilai
relatif dan takhyul.
(2) Tradisi. Tradisi akan membentuk arah yang stabil tentang kultur sebagai
memelihara keadaan tetap pada suatu saat tertentu dari suatu kelompok sosial.
(3) Fatalisme. Fatalisme adalah suatu kecenderungan yang lebih lazim di dalam
negara-negara yang lemah/miskin.
(4) Budaya etnosentris. Budaya etnosentris adalah kecenderungan dari orangorang untuk tak mengindahkan inovasi apapun karena mereka sangat percaya
kepada kepercayaan mereka.
(5) Kebanggan dan martabat. Kebanggaan dan martabat atau kebenaran bisa
merupakan suatu penghalang untuk maju.
(6) Nilai relatif. Nilai relatif tidak bisa menghapuskan prasangka orang-orang
persis sama benar berubah.
(7) Penghalang sosial untuk berubah.
Penghalang sosial untuk berubah.
menggolongkan kesetiakawanan, sumber dari otoritas, dan karakteristik dari
25
struktur sosial adalah di antara penghalang sosial yang spesific untuk
berubah.
(8) Sumber Otoritas. Sumber otoritas didalam lembaga yag kuat seperti keluarga,
struktur politik di pemerintahan, dan pengaruh individu yang dipengaruhi
bakat luar biasa.
(9) Karakteristik dari struktur sosial.
Karakteristik struktur sosial seperti
kasta/suku bangsa dan penghalang kelas membuat perubahan mustahil
terutama berasal dari lapisan bawah .
(10) Penghalang psikologis. Foster (1973) menggolongkan penghalang yang
psikologis ke dalam dua kategori yang utama, perbedaan persepsi budaya
tentang permasalahan komunikasi.
Menurut Garna (1992:96), yang penting dalam membahas masyarakat
terpencil ialah: pertama, kelompok tersebut tidaklah statis seperti dianggap
orang atau memiliki alam pikiran bersahaja yang dipengaruhi oleh tradisi,
ataupun tidak memiliki kepercayaan. Hal kedua ialah seperti tampak pada
pengertian tentang masyarakat terpencil sebagai konsep kerja atau operasional
para penyuluh masyarakat berubah dari waktu ke waktu. Hal ini dapat disebabkan
oleh perubahan pandangan pemerintah sebagai pendorong pembangunan;
memang perubahan telah berlangsung sebagai akibat pengaruh luar serta
kehendak mereka sendiri, atau terpaksa dilakukan sebagai solusi penyelamatan
diri. Dilihat dari perspektif perubahan sosial, jelaslah bahwasanya masyarakat
yang ”sederhana” pun tidak statik tetapi dinamik.
Garna (1992:96) berpendapat bahwa kontak warga masyarakat luar
memungkinkan suatu kelompok masyarakat me ngalami perubahan sosial, dalam
waktu cepat atau melalui kurun waktu panjang, tergantung oleh berbagai aspek
dorongan dari dalam dan luar masyarakat.
Dalam kurun waktu ratusan tahun misalnya, kelompok orang Baduy di
Banten tidak statis seperti dianggap orang tetapi telah mengalami perubahan
sosial pada berbagai unsur kehidupan mereka. Adapun masalah apakah
perubahan sosial itu bermanfaat dan mendorong peningkatan kualitas kehidupan
mereka, perlu diamati dari sisi pandang dan kepentingan mana hal itu berlaku?
Sebagaimana berlangsung pada akhir-akhir ini oleh pengaruh dan kepentingan
26
luar yang deras melanda mereka telah berdampak kepada struktur sosial penting,
yaitu terjadi krisis dalam sistem kepemimpinan mereka. Padahal para pemimpin
inti Orang Baduy sendiri belum bersedia mengubah otoritas mereka sebagai
pemimpin adat, agama, dan sosial kepada kekuasaan lain (Garna, 1992:96).
Dalam upaya memahami dan mengembangkan kelompok masyarakat
terpencil yang masih banyak tersebar di Indonesia, kiranya tidak hanya
antropolog dan sosiolog saja yang dapat berperan. Ilmu Penyuluhan dapat
mempelajari tentang hakekat perubahan perilaku dan penggalian potensi baik
sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, atau ilmu ekonomi pun
dapat mempelajari tentang hakekat subsisten, pengaruh ekonomi kota, mitos kerja
dan kerjasama, serta sistem logistik padi huma di leuit (lumbung padi) secara
mikro guna menyusun model- model koperasi, logistik, dan ekonomi subsisten
misalnya.
Menurut Garna (1992:97), untuk mengawali operasionalisasi kajian perlu
mengubah anggapan, misalnya tentang istilah ”masyarakat terasing atau
terpencil” menjadi sukubangsa berkembang, yang mengandung adanya proses
dan tahapan dalam perubahan sosial yang sesuai dengan kenyataan masyarakat
tersebut.
Menurut Sihabudin dan Amiruddin (2007) survey tentang prasangka
antar kelompok di Baduy, masyarakat masih ragu-ragu dan samar-samar tentang
perubahan, dan mereka sebenarnya tidak anti pada perubahan, asalkan perubahan
tersebut tidak mengubah tatanan adat. Termasuk dalam hal pemenuhan
kebutuhan keluarga.
Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa tradisi itu sebenarnya adalah
dunia sosial mereka yang paling mereka kenali dan yakini. Kelenturan budaya
yang seringkali mencuat dalam peristiwa kontak budaya tidak saja memberikan
peluang adaptasi terhadap ruang dan waktu kehidupan yang sedang serta akan
mereka jalani, tetapi akal budi mereka sebagai manifestasi dari kearifan
tradisionil.
Gejala perubahan pada Orang Baduy menurut Garna (1993:97), terjadi
yaitu mulai dari masa pra Islam, masa Islam, masa Penjajahan, dan setelah tahun
1945 perubahan yang terjadi pada wilayah enklaf Baduy, ekonomi subsisten
27
menjadi ekonomi kota, kepala pemerintahan dari Jaro Gubernemen menjadi
kepala Desa, Pesta Kawalu menjadi Seba, Seba Sultan Banten menjadi Seba
Pemerintah.
Demikian penjelasan dan gambaran komunitas adat Baduy menge nai asal
usul,
kondisi
wilayah,
sistem
kepercayaan,
pemerintahan,
dan
gejala
peruabahannya. Masyarakat Baduy dapat dikelompokan sebagai masyarakat yang
termasuk dalam kriteria Komunitas Adat Terpencil sebagaimana dikemukakan
dalam Keppres No.111/1999, juga pendapat-pendapat ahli. Selanjut nya akan
dijelaskan konsep dan peubah-peubah yang terkait dengan masalah penelitian.
Kebutuhan Hidup Keluarga
Seperti semua lembaga, keluarga adalah suatu sistem norma dan tata cara
yang diterima untuk menyelesaikan sejumlah tugas penting. Mendefinisikan
keluarga tidak begitu mudah karena istilah ini digunakan dengan berbagai cara.
Suatu keluarga mungkin merupakan: (1) suatu kelompok yang mempunyai nenek
moyang yang sama, (2) suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah
atau perkawinan, (3) pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak, (4) pasangan
tanpa nikah yang mempunyai anak, dan (5) satu orang dengan beberapa anak
(Horton dan Hunt, 1991).
Para anggota suatu komune mungkin menyebut dirinya keluarga. Tetapi
pada umumnya tidak mampu tinggal dalam sebuah rumah di suatu daerah yang
ditetapkan sebagai daerah “tempat tinggal keluarga tunggal.” Contoh lain kalau
sejumlah mahasiswa menyewa dan tinggal bersama dalam sebuh rumah di daerah
semacam itu, maka mereka akan menemukan bahwa definisi sebuah keluarga
adalah penting. Pasangan kumpul kebo yang hidup bersama tanpa nikah tidak
diakui sebagai keluarga oleh Biro Sensus Amerika Serikat (Horton dan Hunt,
1991).
Pengertian emosional yang sangat mendalam mengenai hubungan
keluarga bagi hampir semua anggota masyarakat telah diobservasi sepanjang
sejarah peradaban ummat manusia. Para ahli filsafat dan analisis sosial telah
melihat bahwa masyarakat adalah struktur yang terdiri dari keluarga, dan bahwa
keanehan-keanehan suatu masyarakat tertentu dapat digambarkan dengan
28
menjelaskan hubungan kekeluargaan yang berlangsung di dalamnya (Goode,
1985).
Bila kita berbicara mengenai keluarga, biasanya kita akan langsung
berpikir tentang suami isteri, anak-anak mereka dan kadang-kadang seorang
sanak saudara lain. Karena keluarga didasarkan pada pertalian perkawinan atau
kehidupan suami- isteri, maka disebut keluarga kehidupan suami isteri (conjungal
family), Namun istilah itu lebih sering diacu pada keluarga batih (nuclear family).
Keluarga hubungan kerabat sedarah (consanguine family) tidak didasarkan pada
pertalian kehidupan suami isteri, melainkan pada pertalian darah dari sejumlah
orang kerabat. (Horton dan Hunt 1991).
Dalam masyarakat pada umumnya ada dua tipe keluarga, keluarga yang
terdiri atas ibu, bapak dan anak-anak, serta keluarga yang terdiri atas satu orang
tua dan anak-anak. Kedua tipe keluarga tersebut terdapat pada semua lapisan
kelas sosial Horton dan Hunt (1990:12). Dalam penelitian ini difokuskan pada
tipe keluarga inti (nuc lear) yaitu ayah- ibu, dan anak-anak pada Komunitas Adat
Baduy Luar.
Setiap komunitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan memiliki cara
yang
berbeda-beda untuk memenuhi kebutuhannya dalam hidup. Suatu
kenyataan dalam komunitas Baduy, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu
masyarakat Baduy terdiri dari Baduy Dalam dan Baduy Luar. Hal ini bila kita
kaji dari perspektif kebutuhan masyarakat, ada kebutuhan yang tidak terpenuhi di
dalam komunitas keluarga Baduy Dalam, mereka coba penuhi di lingkungan
Baduy Luar.
Sebelum memahami kebutuhan hidup keluarga dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kebutuhan hidup, maka perlu memahami pengertian “kebutuhan”
dan “kebutuhan hidup keluarga.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001)
kebutuhan berasal dari kata “butuh” yang berarti sangat perlu menggunakan atau
memerlukan, sehingga kebutuhan diartikan yang dibutuhkan. Doyal dan Ian
(1991) mendefinisikan secara operasional, bahwa kebutuha n muncul karena ada
ketidakseimbangan dalam diri seseorang terhadap sesuatu, dan ini akan
melahirkan motif untuk bertindak. Slamet (2003) membedakan antara kebutuhan
29
dengan keinginan. Kebutuhan bila tidak terpenuhi akan menimbulkan
ketidakseimbangan pada fisiologis dan psikologisnya.
Manusia yang hidup bermasyarakat membutuhkan hal- hal yang dapat
menunjang dan menjalankan proses kehidupan, sedangkan kebutuhannya itu
adalah bersifat sejagat, artinya kebutuhan merupakan berbagai hal yang harus
dipenuhi manusia untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan untuk dapat
hidup lebih baik. Menurut Huntington (Garna, 2007:18) berbagai kebutuhan
manusia itu dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu:
(1) Kebutuhan
utama
atau
primer,
kebutuhan
yang
kemunculannya
bersumber pada aspek biologi atau organisma tubuh manusia, seperti
makanan dan minuman, perlindungan dari iklim, istirahat, dan kesehatan.
(2) Kebutuhan sosial atau kebutuhan sekunder, kebutuhan yang terwujud
sebagai akibat atau hasil dari usaha memenuhi kebutuhan primer, dan
yang harus dipenuhi dengan melibatkan sejumlah orang, seperti
berhubungan dengan sesama, kegiatan yang dilakukan bersama, sistem
pendidikan, dan keteraturan serta kontrol sosial.
(3) Kebutuhan integratif, kebutuhan yang muncul dan terpencar dari hakekat
manusia sebagai makhluk berfikir dan bermoral, yang fungsinya
menggabungkan berbagai kebutuhan dan perangkat tingkah lakunya
menjadi suatu sistem yang bulat serta menyeluruh dan masuk akal bagi
para pendukung kebudayaannya, seperti perasaan tentang yang benar dan
yang salah, ungkapan perasaan bersama, rasa keyakinan diri, rekreasi dan
hiburan.
Dalam memenuhi kebutuhan dan manfaat pada proses kehidupan manusia
maka kebudayaan dapat dilihat sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki
manusia sebagai makhluk sosial, yang terdiri dari perangkat model- model
pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
melakukan interpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta
melaksanakan tindakan yang diperlukan, Spradley (1972) (Garna, 2007:18).
Kadar dan arah perubahan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh
kebutuhan yang dianggap perlu oleh para anggota masyarakat itu. Menurut
Horton dan Hunt (1990:221), “kebutuhan” bersifat subyektif. Kebutuhan
30
dianggap nyata jika orang merasa bahwa kebutuhan itu memang nyata. Di banyak
bagian dunia yang terbelakang dan kekurangan pangan orang bukan saja
memiliki kebutuhan obyektif akan tambahan pangan, tetapi juga memerlukan
berbagai jenis pangan, terutama sayur-sayuran, dan kacang-kacangan. Perubahan
di bidang pertanian yang menghasilkan tambahan pangan lebih mudah diterima
daripada yang menghasilkan berbagai jenis pangan, karena orang menganggap
tidak perlu.
Jika orang belum merasa butuh, maka orang akan tetap menolak
perubahan; hanya kebutuhan ya ng dianggap perlu oleh masyarakat yang
memegang peran menentukan. Contoh beberapa penemuan praktis, ritsleting
(kancing tarik) ditemukan pada tahun 1891, tetapi diabaikan hampir seperempat
abad. Ban angin ditemukan dan dipatenkan pada tahun 1845, tetapi tidak
mendapat perhatian hingga saat kepopuleran sepeda menimbulkan kesadaran
akan betapa pentingnya ban angin tersebut, kemudian ban angin ditemukan
kembali oleh Dunlop pada tahun 1888 (Horton dan Hunt, 1990).
Slamet (2003) berpendapat bahwa orang tidak akan sadar terhadap
kebutuhannya kalau dia belum mampu mengevaluasi kondisi dirinya sendiri.
Dikatakannya, harus ada suatu strategi pemberdayaan yang dapat menyadarkan
orang dalam mengevaluasi dirinya sehingga dapat mengetahui kemampuankemampuan
dan
kelemaha n-kelemahannya
dan
akhirnya
akan
mampu
mengidentifikasi kebutuhannya sendiri atau karakteristik pribadinya.
Dari pendapat tersebut bila dijelaskan dalam perspektif kebutuhan,
menurut Maslow (Maryani, 2007), masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya,
ketika tidak terpenuhi mereka mencari sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhannya. mengidentifikasi hirarki kebutuhan yang menurutnya memainkan
peran sangat penting dalam motivasi manusia. Orang yang lelah, lapar, dan
kesakitan akan termotivasi untuk mendapatkan kebutuhan fisiologi / biologis
sebelum menjadi tertarik untuk mencari kebutuhan yang lain.
Menurut Maslow (Alwisol, 2004), semua manusia mempunyai kebutuhan
dasar umum yang terdiri atas beberapa tingkatan yakni tingkatan kebutuhan dasar
fisik harus terpenuhi lebih dulu atau sekurang-kurangnya sebagian terpenuhi agar
kehidupan terus berlanjut. Lebih jauh Maslow berpendapat, bahwa orang akan
31
berusaha keras untuk meme nuhi kebutuhannya, karena mempunyai dorongan
atau motivasi untuk mencapai potensi setinggi-tingginya.
Konsep hirarki kebutuhan Maslow diartikan sebagai proses atau sistem
yang menempatkan materi dan orang menurut derajat pentingnya. Hirarki
kebutuhan adalah penempatan persyaratan atau keperluan fungsi manusia
berdasarkan derajat (urutan) tingkatan pentingnya. Ia mengembangkan suatu
tingkatan atau hirarki kabutuhan manusia terdiri lima kategori, yaitu kebutuhan
fisiologi, keselamatan, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. Semua kebutuhan
ini merupakan bagian penting dari sistem manusia, tetapi kebutuhan fiosiologi
merupakan kebutuhan primer karena bila tidak terpenuhi akan mempengaruhi
pada kebutuhan lainnya.
Jika kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi maka kebutuhan kesela matan
merupakan prioritas selanjutnya, begitu seterusnya sampai pada tingkatan teratas,
yaitu aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini terdapat dalam setiap individu, tetapi
prioritas dapat berubah dengan waktu, tempat, dan kegiatan individu.
Tingkat kebutuhan yang lebih tinggi adalah kebutuhan rasa aman dan
nyaman, kebutuhan dicintai dan dimiliki, kebutuhan harga diri serta kebutuhan
perwujudan diri. Tingkat kebutuhan tersebut merupakan rangkaian yang tidak
dapat
dipisahkan
dan
saling
mempengaruhi
karena
setiap
manusia
membutuhkannya. Misalnya pada sistem sosial Orang Baduy, prioritas utamanya
adalah kebutuhan fisiologisnya, namun tidak dipungkiri bahwa kebutuhan
selanjutnya adalah rasa aman, kasih sayang, dan aktualisasi diri sesuai dengan
kondisi taraf kehidupannya.
Pendapat Maslow tersebut bila dikaitkan dengan masalah penelitian,
adalah kebutuhan fisiologi, rasa aman, kasih sayang keluarga masyarakat Baduy
Luar. Sebagaimana dikemukakan Maslow aspek motivasi menentukan kebutuhan
mereka. Dengan kata lain yang mendorong komunitas Baduy Luar untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, dan hal-hal yang mereka butuhkan tersebut.
32
Persepsi
Orang awam mengatakan persepsi adalah kesan kita terhadap suatu
obyek, bisa keadaan, benda, atau suatu peristiwa. Ada beberapa definisi persepi
yang dikemukakan oleh para ahli.
Menurut Litterer ( Asngari, 1984) persepsi adalah “the understanding or
view people have of things in the world around them,” sedangkan Hilgard
(Asngari, 1984), menyebutkan bahwa “perception in the process of becoming
aware of objection.”
Combs, Avila dan Purkey (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi
sebagai berikut: “Perception is the interpretation by individuals of how things
seem to them, especially in reference to how individuals view themselves in
relation to the world in which they are involved.”
Dilain pihak Allport (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa:
“it (perception) has something to do with awareness of the objects or
condition about us. It is dependent to a large extent upon the impression these
objects make upon our senses. It is the way things look to us, or the way they
sound feel,taste or smell. But perception also involves, to some degress, and
understanding awarness, a “meaning” or a “recognition” of these objects.”
Menurut Rakhmat (2004:51) persepsi adalah pengalaman tentang
obyek,
peristiwa,
atau
hubungan- hubungan
yang
diperoleh
dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Desederato (Rakhmat,
2004:51) persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory
stimuli). Ada hubungan sensasi dengan persepsi, sensasi adalah bagian dari
persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya
melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori.
Maramis (2006) menjelaskan bahwa persepsi merupakan keseluruhan
proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindera (hal ini
dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar ke otak yang didekode serta
diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari. Ada yang
mengatakan bahwa persepsi merupakan stimulus yang ditangkap oleh
pancaindera individu, lalu diorga nisasikan dan kemudian diinterpretasikan,
sehingga individu menyadari dan mengerti sesuatu yang diindera itu. Ada yang
33
dengan singkat mengatakan: persepsi adalah memberikan makna pada stimulus
inderawi.
Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang
bersangkutan
membentuk
persepsi,
dimulai
dengan
pemilihan
atau
menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi
kesatuan yang bermakna dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai informasi
itu. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam dan dahulu memegang
peranan yang penting. Dengan demikian makna tersebut sangat penting bagi
pengertiannya.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami penulis bahwa persepsi
adalah proses pengertian dan penafsiran makna informasi yang diterima peralatan
pancaindera kita, dalam proses pemberian makna dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain faktor personal dan faktor situasional.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Proses terbentuknya persepsi, menurut Krech dan Crutchfield (Rakhmat,
2004:55-59) ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor
fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal lain yang
termasuk hal- hal apa yang kita sebut sebagai faktor personal. Yang menentukan
persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli tetapi krakteristik orang yang
memberikan respon pada stimuli itu. Faktor yang mempengaruhi persepsi lazim
disebut sebagai kerangka rujukan (frame of reference).
Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Artinya, obyek-obyek yang
mendapat perhatian khusus yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya
adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.
Contoh pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar
belakang budaya. Bila orang lapar duduk di restoran, tentunya yang pertamakali
dilihat adalah makanan, nasi, lauk-pauk dan baru kemudian minumannya.
Kebutuhan biologis menyebabkan kebutuhan yang berbeda.
Faktor struktural yang menentukan persepsi, berasal dari semata- mata dari
sifat stimuli dan efek-efek yang ditimbulkannya pada sisem saraf individu. Para
psikolog Gestalt seperti Kohler, Wartheimer dan Koffka (1959) (Rakhmat,
34
2004:55-59), merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat structural.
Prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori ini bila kita
mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan.
Studi-studi tentang persepsi pernah dilakukan oleh Biever mengenai
peranan penyuluh pertanian, Biever (Asngari, 1984) (1957:1942) mendapatkan
bahwa umur responden berpengaruh nyata pada persepsi terhadap peranannya.
Biever juga mengemukakan bahwa ada kaitan antara persepsi dengan
pendidikan. Demikian pula dengan penemuan Griffith (Asngari, 1984)
(1961:374) yang menunjukkan adanya kaitan antara persepsi dan umur.
Pada penelitian Beaver (Asngari, 1984:13) mengenai persepsi ’county
extention comittee members’ dan penyuluh pertanian pada penyusunan program
penyuluhan,
menunjukkan
hasil
bahwa
tingkat
pendidikan
tidak
ada
hubungannya dengan persepsinya. Hasil yang sama dengan Beaver ditemukan
oleh Griffith (Asngari, 1984:13) yakni umur secara nyata tidak ada kaitannya
dengan persepsinya terhadap kegunaan lembaga penyuluhan. Selain itu, White
(Asngari, 1984:13) dalam penelitiannya menemukan tidak ada hubungan antara
persepsi dengan lamanya pengalaman bekerja dan tingkat pendidikan formal
respondennya.
Menurut Litterer (Asngari, 1984:23), ada keinginan atas kebutuhan
manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat ia hidup, dan mengetahui
makna dari informasi yang diterimanya. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh
persepsi mereka pada suatu situasi. Dilain pihak menurut Stogdill, Hillgard, dan
Sanders et al., 1966:53 (Asngari, 1984:12) pengalamannya berperan pada
persepsi orang itu. Menurut Litterer (Asngari, 1984:12), menunjukkan bahwa
persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta
atau tindakan. Karena itu, individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan
tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya.
Litterer (Asngari, 1984:12) lebih jauh berpendapat, “One of the basic
factors in perceptions is the ability of people to take a limited number of facts and
pieces of information and fit them into a whole picture. This process of closure
plays a central role in perception.”
35
Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-bagian informasi, dia
dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Menurut
Litterer (Asngari, 1984:12),
Orang itu akan menggunakan informasi yang
diperolehnya untuk menyusun gambaran menyeluruh.
Pembentukan persepsi, menurut Litterer, ada tiga mekanisme : selectivity,
closure, and interpretation ( Asngari, 1984: 17-18). Secara skema tis, ditunjukkan
dalam Gambar 2.
Gambar 2. Pembentukan Persepsi menurut Literer , (Asngari:1984)
Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang
bersangkutan
membentuk
persepsi,
dimulai
dengan
pemilihan
atau
menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi
kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interprestasi mengenai fakta
keseluruhan informasi itu. Pada fase interprestasi ini, Pengalaman masa silam dan
dahulu memegang peranan yang penting.
Litterer (Asngari, 1984:13), menekankan bahwa persepsi seseorang
terhadap sesuatu yang dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi
perilakunya. Sebaliknya, bila ia beranggapan bahwa hal tersebut di pandang
nyata, walau kenyataanya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi
perilakunya atau tindakannya. Bila dikaitkan dengan masalah penelitian adalah
persepsi komunitas adat Baduy Luar terhadap kebutuhan hidup keluarga.
36
Usaha Pemenuhan Kebutuhan Keluarga
Sebagaimana kita ketahui setiap kelompok masyarakat khususnya
keluarga selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya, khususnya
kebutuhan fisiologi. Kebutuhan fisiologi diperoleh secara tidak langsung melalui
usaha atau bekerja, baik disektor formal menjadi pegawai maupun nonformal
bekerja secara mandiri, misalnya bertani, berladang, berniaga, atau membuat
kerajinan hasilnya untuk dijual.
Usaha pemenuhan kebutuhan keluarga bagi komunitas adat terpencil
biasanya mereka dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan yaitu dengan
cara bertani, berladang, berburu, dan membuat kerajinan. Menurut Garna (1993),
mata pencaharian orang Baduy sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan
tahun, mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma.
Menurut Permana (2006:41), mata pencaharian orang Baduy berfokus
pada berladang dengan menanam padi. Padi merupakan hal yang tidak
terpisahkan dari dunia mereka yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci
Sanghyang Asri. Padi harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan karuhun, yaitu
seperti cara yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Padi hanya boleh di
tanam di lahan ladang kering tanpa pengairan yang disebut huma. Padi pun tidak
boleh dijual dan harus disimpan dengan baik untuk keperluan sehari-hari sendiri.
Untuk kebutuhan sehari- hari, orang Baduy juga menanam atau
memelihara beberapa jenis tanaman lain. Tanaman yang merata adalah kawung
(enau/aren). Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan. Orang penamping (Baduy Luar) seringkali
mengerjakan huma di luar Desa Kanekes atau di luar wilayah Baduy yang dibeli
atau dikerjakan dengan bagi hasil (padi), atau dengan membayar sewa berupa
uang dan padi. Hal itu dilakukan sewaktu menunggu rotasi pemakaian lahan
huma dan untuk menambah padi mereka (Permana, 2006:42). Selain itu menurut
Iskandar (1992) di sela-sela waktu berladang saat berisirahat di rumah huma
membuat perkakas untuk keperluan rumah tangga, jarog (tas khas Baduy)
biasanya untuk dijual.
37
Dari uraian tersebut, usaha yang dilakukan masyarakat Baduy untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, umumnya adalah bertani atau berladang padi,
berjualan hasil hutan, bekerja pada orang lain, berburu, dan membuat kerajinan.
Motif Memperoleh Pengetahuan, Sikap
dan Keterampilan Berusaha
Sebagaimana dikemukakan di atas salah satu faktor yang menentukan
persepsi pada kebutuhan masyarakat adalah karakteristik masyarakat, nilai sosial
budaya, dan motif atau sesuatu yang mendorong untuk melakukan sesuatu.
Menurut Abdurahman (2008) Secara etimologi, motif dalam bahasa
Inggris motive, berasal dari motion, yang berarti “gerakan” atau “sesuatu yang
bergerak”, yang menunjuk pada gerakan manusia sebagai “tingkah laku”. Dalam
psikologi motif berarti rangsangan pembangkit tenaga bagi terjadinya tingkah
laku itu.
Dalam motif, pada umumnya terdapat dua unsur pokok, yaitu kebutuhan
dan tujuan. Proses interaksi timbal balik antara kadua unsur ini terjadi dalam
tubuh manusia, walaupun dapat dipengaruhi oleh hal- hal dari luar diri manusia.
Karena itu, bisa saja terjadi perubahan motivasi dalam waktu singkat. Sedangkan
menurut Dister (Abdurahman, 2008), setiap tingkah laku manusia adalah hasil
dari hubungan timbal balik antara tiga faktor, yaitu:
(1) Dorongan spontan manusia, yaitu dorongan yang tidak ditimbulkan
dengan sengaja. Seperti dorongan seksual, nafsu makan dan
kebutuhan akan tidur.
(2) Ke-aku-an manusia, di mana manusia menyetujui dorongan spontan
tadi untuk menjadi miliknya, sehingga kemudian menjadi sebuah
“kejadian”. Misalnya dengan menunda makan, walaupun ia merasa
lapar.
(3) Lingkungan hidup manusia.
Padmowiharjo (1994) mengemukakan bahwa motif dalam bentuk kata
kerja motivasi, yang berasal dari dua kata motif dan asi (action). Motif berarti
dorongan dan asi berarti usaha. Motivasi dapat diartikan usaha yang dilakukan
manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan.
38
Motif akan timbul bila usaha-usaha yang dilakukannya berkaitan dengan
kebutuhannya. Kebutuhan merupakan variabel yang paling kuat untuk
membentuk motif, mendorong timbulnya tindakan dan berada dalam diri
manusia.
Tingkah laku bermotivasi dapat dirumuskan sebaga i: “tingkah laku yang
dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian suatu
tujuan agar suatu kebutuhan dapat terpenuhi”. Rumusan tersebut mengandung
beberapa unsur yang membentuk “motivational cycle”.
Kebutuhan merupakan suatu yang fundamental bagi kodrat manusia
individual. Motif di samping merupakan dorongan fisik, juga orientasi kognitif
elementer yang diarahkan pada pemuasan kebutuhan. Energi seperti ini bukan
tanpa tatanan. Ada suatu hubungan dunamis antara motivasi dan tujuan.
Kebutuhan pada manusia sebagai motivator membentuk suatu hierarki yang
terdiri atas physiological needs, safety needs, belongingness and love needs,
esteem needs, dan self actualization needs. Menurut Maslow, kebutuhan dasar
harus lebih dahulu terpenuhi sebelum beranjak pada kebutuhan psikologis
(Abdurahman, 2008).
Menurut Amanah (2006), motivasi seseorang dapat mengarahkan perilaku
seseorang untuk bertindak. Motivasi adalah proses mendorong, mengarahkan dan
memelihara perilaku manusia untuk mencapai tujuan. Hersey dkk (1996)
mengemukakan bahwa motivasi adalah kemauan untuk bertindak atau pembentuk
perilaku. Jadi motivasi adalah kemauan atau i’tikad seseorang untuk bertindak.
Mulyadi (2007) mengemukakan bahwa terdapat tipe orang yang fatalistik
sehingga kurang respon terhadap perubahan, cenderung menunggu dan menuruti
ajakan orang lain serta pasrah terhadap nasibnya sendiri. Namun ada pula tipe
orang yang optimis yang melihat sesuatu serba mungkin, cukup respon terhadap
perubahan, sehingga lebih cepat melakukan evaluasi diri dan lebih mampu
mengidentifikasi kebutuhannya sendiri.
Watson, dan Westley (1960) mengemukakan tentang kekuatan
pendorong (motivational forces) (Asngari, 2001) sebagai berikut:
(a) Ketidak puasan masyarakat terhadap situasi yang ada,
(b) Ada kesenjangan what is dan what might be,
39
(c) Ada tekanan dari luar sistem sosial sehingga SDM-klien berkeinginan
menyesuaikan diri, dan
(d) Adanya kebutuhan meningkatkan efisiensi.
Mardikanto (1993) menjelaskan perihal kebutuhan manusia, bahwa hal
yang utama adalah felt needs daripada real needs. Penekanan pada uraian di atas
adalah perlunya felt needs bagi masyarakat, agar harapan untuk berpartisipasi
dalam program pemerintah dan tingkat kesejahteran masyarakat semakin baik.
Menurut McClelland (1986:4) setiap kelompok ada keinginan untuk
berubah dan maju dalam berbagai aspek kehidupan, namun kenyataannya ada
yang mudah dan cepat maju ada yang sangat lambat, ini disebabkan oleh
pengaruh virus mental need for Achievement (n Ach) kebutuhan untuk meraih
hasil dan prestasi.
Dalam konteks perolehan informasi dan pengetahuan ada beberapa motif.
Seperti dikemukakan oleh Katz, et.al (1974:75), karena beragamnya kebutuhan
sosial dan psikologis individu, maka para ahli mengumpulkan dan mendata
motif- motif mengapa orang mencarai informasi. motif- motif yang ada dari setiap
individu banyak sekali dan berbeda-beda satu sama lain. Salah satunya motif
orientasi kognitif yaitu kebutuhan akan informasi, surveillance, atau eksplorasi
realitas. Blumler dan Katz berpendapat (Effendy, 2000:294), kebutuhan
individual (individual’s needs) dikategorisasikan sebagai cognitive needs,
affective needs, personal integrative needs, social integrative needs, dan escapist
needs.
Penjelasan dari setiap ketegori sebagai berikut:
(1) Cognitive needs (Kebutuhan kognitif), kebutuhan yang berkaitan
dengan peneguhan informasi, pengetahuan dan pemahaman mengenai
lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk menguasai
lingkungan; juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk
penyelidikan kita.
(2) Affective needs (Kebutuhan afektif), kebutuhan yang berkaitan dengan
peneguhan pengalaman-pengamalan yang estetis, menyenangkan, dan
emosional.
40
(3) Personal integrative needs (Kebutuhan pribadi secara integratif)
kebutuhan
yang
berkaitan
dengan
peneguhan
kredibilitas,
kepercayaan, stabilitas, dan status individual. Hal- hal tersebut
diperoleh dari hasrat akan harga diri.
(4) Social integrative needs Kebutuhan sosial secara integratif),
kebutuhan yang berkaitan dengan dengan peneguhan kontak dengan
keluarga, teman dan dunia. Hal-hal tersebut didasarkan pada hasrat
untuk berafiliasi.
(5) Escapist needs (Kebutuhan pelepasan), kebutuhan yang berkaitan
dengan pelepasan, dan hasrat akan keanekaragaman.
Dari uraian tersebut ada beberapa dorongan yang muncul dari setiap
individu untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan, yaitu mulai
dari dorongan kognitif, afektif, personal dan sosial integratif, dan kebutuhan
pelepasan, terkait pada dorongan seseorang untuk melakukan sesuatu, bila
dikaitkan dengan masalah penelitian motif disini adalah motif orang Baduy untuk
memperoleh pengetahuan, dorongan dalam menyikapi suatu hal, dan dorongan
memperoleh informasi keterampilan yang dapat menambah usaha memenuhi
kebutuhan keluarga.
Interaksi Sosial
Sebagaimana tela h dikemukakan di depan bahwa terbentuknya persepsi,
ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor strutural. Faktor fungsional berasal
dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal lain yang termasuk hal- hal apa
yang kita sebut sebagai faktor personal, salah satunya adalah interaksi sosialnya.
yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli tetapi krakteristik
orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Krech dan Crutchfield
(Rakhmat, 2004). Interaksi sosial adalah titik awal berlangsungnya suatu
peristiwa sosial. Menurut Gillin dan Gillin (Kolopaking dkk, 2003), interaksi
sosial merupakan hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia.
41
Calhoun (Kolopaking dkk, 2003) berpendapat, interaksi sosial dapat pula
dilihat sebagai proses dimana orang mengorientasikan dirinya pada orang lain
dan bertindak sebagai respon terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan oleh
orang lain. Interaksi sosial mempuyai tujuan tertentu. Orang bertindak dan
bereaksi terhadap yang lain dalam rangka mencapai tujuan. Dalam beberapa
interaksi partisipan mempunyai tujuan yang berbeda. Suatu interaksi sosial tidak
akan terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat (Soekanto, 1974) yaitu adanya
kontak sosial dan komunikasi.
Kontak antara orang-perorang menurut Rakhmat (2004:118-124) dapat
dikatakan sebagai kegiatan komunikasi interpersonal, hubungan beberapa orang
yang terjadi diantara mereka dapat dikatakan sebagai komunikasi kelompok,
kontak dengan media apakah suratkabar, televisi dan lain- lain dapat dikatakan
sebagai proses komunikasi massa. Artinya kontak bisa saja terjadi baik dengan
manusia maupun benda.
Menurut Kolopaking dkk (2003:10) kontak sosial dapat berlangsung
dalam tiga bentuk, yaitu: (a) antara orang perorangan, misalnya antara seorang
anak dengan temannya, (b) antara orang perorangan dengan suatu kelompok,
misalnya antara seorang anak dengan keluarganya, dan (c) antara suatu kelompok
dengan kelompok lainnya, misalnya antara kelompok mahasiswa asal Semarang
dengan kelompok mahasiswa asal Malang.
Jadi suatu peristiwa sosial disebut interaksi sosial bila terjadi kontak
antara orang-perorangan dengan seorang atau kelompok, dan terjadi pertukaran
pesan atau melakukan komunikasi. Interaksi tidak selamanya harus dengan orang
adakalanya juga berinteraksi dengan benda atau sesuatu. Seperti televisi, siaran
radio, surat kabar atau media massa, dan lain- lain.
Dari uraian di atas bila dikaitkan dengan masalah penelitian adalah
interaksi Komunitas Baduy Luar yang meliputi interaksinya dengan diantara
sesama mereka, interaksi dengan orang diluar mereka termasuk agen pembaharu,
dan interaksi mereka dengan media, atau kegiatan mereka dalam melakukan
komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan interaksi mereka dengan
media.
42
Nilai Sosial Budaya Masyarakat Baduy
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak dan biasanya dianggap agung dan
luhur oleh orang yang meyakininya, dan bila dapat diwujudkan ia akan
memperoleh kebahagiaan.
Secara filosofis nilai menurut Spranger (Adisububroto, 1993: 13-17) nilai
erat kaitannya dengan kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sistem
nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur
tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan
sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati,
dan didukung individu. Menurut Spranger sikap hidup seseorang ditentukan oleh
nilai yang paling dianggap tinggi, atau nilai hidup yang paling bernilai. Dari
sudut pandang antropologi nilai menurut Kluckhon (Koentjaraningrat, 2004:2731) merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu
atau kelompok, karena memberi ciri khas pada individu dan kelompok.
Dalam perspektif psikologi Munn (Mulyana, 2004:7-30) berpendapat nilai
merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau
penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang. Sihabudin (2007: 23)
berpendapat nilai, adalah seperangkat aturan yang terorganisasikan untuk
membuat pilihan-pilihan, dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilainilai memiliki aspek evaluatif dan sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi
evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti, kemanfaatan, kebaikan, estetika,
kebutuhan
dan
kesenangan.
Geert
Hofstede
(Dananjaya,
1986:65)
mengemukakan bahwa nilai suatu kecenderungan luas untuk lebih menyukai atau
memilih keadaan-keadaan tertentu dibanding dengan yang lain. Nilai merupakan
suatu perasaan yang mendalam yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang akan
sering menentukan perbuatan atau tindak tanduk perilaku anggota masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang
dianggap baik, berguna atau penting dan menjadi pedoman dalam bersikap serta
berperilaku dalam hidupnya. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup.
Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang
patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek
komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik dan
43
teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang yang berbicara
bahasa sunda, memakan ular, menghindari minuman keras terbuat dari anggur,
menguburkan orang mati, berbicara melalui telepon atau meluncurkan roket ke
bulan (Sihabudin, 2007:13). Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan
minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan dari generasi ke
generasi, melalui usaha individu dan kelompok. Budaya mena mpakkan diri,
dalam; pola-pola bahasa dan bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku; gaya
berkomunikasi; obyek materi, seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan
dalam industri dan pertanian, jenis transportasi dan alat-alat perang (Sihabudin,
2007:14).
Dari uraian tersebut dapat dipahami, budaya sebagai pedoman hidup
dalam memenuhi kebutuhan sosial mencakup: (1) perwujudan ide- ide, gagasan,
nilai- nilai, norma- norma, peraturan dan hukum; (2) aktivitas dan tindakan berpola
dari manusia untuk masyarakat, dan (3) perwujudan semua hasil karya manusia.
Menurut Koentjaraningrat (2004:25), suatu sistem nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat,
mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena
itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi
prilaku manusia. Sistem-sistem tata tata prilaku manusia lain yang tingkatnya
lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma- norma semuanya
juga berpedoman kepada sistem nilai budaya.
Dari definisi tersebut maka nilai sosial budaya dapat diartikan sebagai
sesuatu yang dianggap baik, berguna atau pentng, dan diberi bobot tertinggi oleh
individu atau kelompok masyarakat dan menjadi referensi (kebiasaan, tata prilaku
dan adat istiadat), dalam bersikap dan berprilaku dalam hidupnya.
Menurut Kluckhon dan Strodtbeck (Koentjaraningrat, 2004:28), semua
sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia terdiri dari lima masalah
pokok: (1) masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (MH), (2) masalah
mengenai hakekat dari karya manusia (MK), (3) masalah mengenai hakekat dari
kedudukan manusia dalam ruang waktu (MW), (4) masalah mengenai hakekat
44
dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA), dan (5) masalah mengenai
dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM).
Dari 5 konsep tersebut Koetjaraningrat (2004) menjelaskan lebih jauh
bahwa berbagai kebudayaan di dunia itu mengkonsepkan masalah-masalah
universal tersebut di atas dapat berbeda-beda, walaupun untuk berva riasi terbatas
adanya. Biasanya agama-agama memberikan tuntunan terhadap seseorang
sehingga terbentuk persepsinya tentang hakekat hidup. Berikut penjelasan tentang
5 konsep tersebut.
Hakekat dari hidup manusia (MH), ada kebudayaan yang memandang
hidup manusia itu pada hakekatnya suatu hal yang buruk, kesengsaraan dan
menyedihkan, dan karena itu harus dihindari. Hidup untuk menebus dosa,
menerima apa adanya. Ada pula yang memandang hidup itu pada hakekatnya
buruk, dan sebagainya.
Hakekat tentang karya manusia (MK), ada yang memandang bekerja
sebagai sesuatu yang memberikan kedudukan terhormat atau mempunyai arti
bagi kehidupan. Ada pula yang menganggap bahwa bekerja itu adalah pernyataan
tentang kehidupan, bekerja adalah intensifikasi kehidupan untuk menghasilkan
lebih banyak kerja lagi, dan berbagai macam konsep lain yang menunjukkan
bagaimana manusia hidup dalam kebudayaan tertentu memandang dan
menghargainya.
Hakekat waktu (MW), ada kebudayaan yang menganggap bahwa masa
lalu adalah baik karena memberikan pedoman kebijaksanaan hidup. Ada yang
menganggap bahwa orientasi kedepan itulah yang terbaik, dalam kebudayaan
seperti itu perencanaan hidup suatu hal yang penting. Ada juga kebudayaan yang
memandang berbeda , waktu sekarang adalah yang terpenting.
Hakekat hubungan manusia dengan alam (MA), ada yang memandang
alam ini sebagai sesuatu yang potensial dan dapat memberikan kehidupan dengan
cara mengolahnya. Selanjutnya, ada yang memandang alam ini sebagai suatu
yang harus dipelihara atau dijaga kelestariannya sehinga harus diikuti saja
hukum- hukumnya, dan ada pula yang memandang alam ini sebagai suatu yang
sakral dan maha dasyat sehingga manusia itu pula hakekatnya hanya bisa pasrah
dan menerima sebagaimana adanya.
45
Hakekat hubungan dengan sesama manusia (MM), ada kebudayaan yang
menanamkan pada anggota masyarakatnya suatu pandangan bahwa hubungan
vertikal antara manusia dengan sesamanya adalah amat penting. Pola
kelakuannya, manusia yang hidup dalam kebudayaan seperti itu akan
berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin dan para senior, sehingga seorang
atasan selalu jadi panutan bagi warganya. Ada yang menanamkan pandangan
bahwa hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya sebagai hal yang
terbaik.
Sebaliknya
ada
kebudayaan
yang
berorientasi
untuk
tidak
menggantungkan diri pada orang lain. Kebudayaan seperti itu individualisme
amat dipentingkan dan sangat meghargai orang yang mencapai banyak tujuan
dalam hidupnya dengan hanya sedikit bantuan orang lain.
Dari uraian tersebut Koentjaraningrat (2004:34) mencatat nilai budaya
yang dianggap penting yang dapat dipakai untuk menunjang pembangunan
adalah (1) nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, (2) nilai budaya yang
berhasrat mengeksplorasi lingkungan alam, (3) nilai budaya yang menilai tinggi
hasil dari karya manusia, dan (4) nilai budaya tentang pandangan terhadap
sesama manusia.
Dari sistem nilai budaya yang diuraikan dan bersifat universal tersebut di
atas,
lalu bagaimana nilai budaya masyarakat Baduy? Dalam penelitian ini
konsep mengenai nilai budaya dibatasi pada konsep mengenai hakekat hidup,
hakekat tentang kerja, , hakekat tentang alam, dan hakekat hubungan dengan
sesama. Dapat dilihat dari pikukuh (adat aturan) Baduy sebagaimana
dikemukakan Garna (1992) sebagai berikut, lojor teu meunang dipotong, pondok
teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh
disambung) menunjukkan pola pikir positif yang normatif. Dalam hukum adalah
pedoman hidup warga masyarakat itu bukan hanya milik orang modern saja.
Apabila orang modern berpikir, bersikap dan berabstraksinya itu dinyatakan
dengan bahasa, demikian pada orang Baduy bahasa tidak hanya alat komunikasi
belaka tetapi menyimpan khazanah dan pengetahuan serta misteri sejarah
kehidupan mereka.
Menurut Mulyanto dkk (2006:15), konsep kebersamaan, hub ungan antar
sesama manusia, bagi orang Baduy penting untuk menjujung tinggi harkat dan
46
martabat. Rumah, pakaian dan pakaian sehari- hari menunjukan kesamaan. Tidak
ada perbedaan antara “penguasa” dan “rakyat biasa” dan tidak ada perbedaan
pula antara yang “kaya” dan yang “miskin”. Tidak ada perselisihan dan
permusuhan. Sebagaimana nilai kebersamaan dibawah ini:
teu meunang pajauh-jauh leungkah
pahareup-hareup ceurik
pagaet-gaet lumpat
Terjemahan :
tidak boleh berjauh-jauh langkah
berhadapan nangis
berdekatan lari
undur nahan tembong pundung
datang nahan tembong tarang
Terjemahan :
pergi jangan perlihatkan kekecewaan,
datang jangan perlihatkan kesombongan
Dari konsep nilai kebersamaan Komunitas
Adat Baduy, kebersamaan
telah menjadi cita-cita bersama masyarakat Baduy. Hal ini terlihat dalam kegiatan
gotong royong yang selalu dilaksanakan, mulai dari membuat jembatan, membuat
rumah, membuat saung lisung, ronda malam, bahkan aktivitas perladangan,
seperti ngaseuk serang, dan upacara adat lainnya.
Download