konflik pemanfaatan sumberdaya tanah ulayat

advertisement
KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA
TANAH ULAYAT BADUY
PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG
(Studi Kasus : Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)
YULIYA HASANAH
A14204010
PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Pikukuh Baduy
Mipit kudu amit, ngala kudu menta
ngagedag kudu bewara
ngali cikur kudu ngatur
ulah goroh ulah linyok
ngadek kudu sacekna
nu enya kudu dienyakeun
nu ulah kudu diulahkeun
ulah sirik, ulah pidik
Larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pendek teu meunang disambung
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang diruksak
ulah ngaruksak bangsa jeung nagara
Dalam Garna. 1987. Orang Baduy Dari Inti Jagat.
PT. Bayu Indra Grafika. Yogyakarta
Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur kepada Allah SWT,
karya ilmiah ini penulis haturkan untuk ilmu pengetahuan semata. Tidak bermaksud
menyudutkan pihak-pihak tertentu.
RINGKASAN
YULIYA HASANAH. “KONFLIK
PEMANFAATAN SUMBERDAYA
TANAH ULAYAT BADUY PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG (Studi
Kasus : Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes - Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)”. (Di bawah Bimbingan
ENDRIATMO SOETARTO)
Penelitian ini menggunakan konsep tentang konflik yang dianalisis
berdasarkan kegiatan penyerobotan yang dilakukan masyarakat luar terhadap
sumberdaya hutan di Baduy. Konflik ini erat kaitannya dengan persepsi
masyarakat adat terhadap pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan tanah ulayat
Baduy, terutama hasil-hasil hutan. Berangkat dari pandangan umum bahwa
konflik tanah ulayat akan menyebabkan ketidaktertiban dan bencana serta bahaya
baik bagi warga Baduy maupun warga sekitar. Penelitian ini mencoba
mengungkap konflik yang terjadi di Baduy terkait dengan tanah ulayat yang
merupakan hak mutlak milik warga Baduy.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan, mempelajari dan
mendeskripsikan : (1) Persepsi masyarakat adat Baduy tentang konsep tanah
ulayat di kawasan Baduy; (2) Proses terjadinya konflik tanah ulayat serta
mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik tersebut; dan
(3) Upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik di Baduy. Berkaitan
dengan tujuan penelitian, studi ini juga berusaha menjelaskan secara singkat
mengenai dampak dari kegiatan penyerobotan terutama dari segi kenyamanan
warga Baduy, keamanan dan hubungan sosial antara warga Baduy dengan luar
Baduy.
Pilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja yaitu di Desa KanekesSuku Baduy (Baduy Dalam dan Baduy Luar), Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei
hingga Juni 2008. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa
kajian berupa konflik tanah ulayat Baduy serta pihak yang terlibat di lokasi
penelitian dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara lebih spesifik .
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
eksplanatif dan gabungan strategi studi kasus instrinsik dengan instrumental. Data
yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara mendalam, pengamatan secara partisipatif dan observasi lapang.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen, baik dokumen pemerintah
desa, lembaga pemerintahan, dan pencarian data di internet.
Masyarakat adat di Indonesia sebagian besar homogen. Baduy
merupakan masyarakat yang hidup dalam pikukuh/peraturan adat yang sudah
ditetapkan sejajk nenek moyang ada. Oleh karena itu, masyarakat adat Baduy
hidup dengan harmonis, baik dalam pergaulan dengan masyarakat Baduy itu
sendiri, dengan masyarakat luar Baduy atau dengan lingkungan alam dimana
mereka bertempat tinggal. Dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari guna
memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat adat Baduy tinggal di sebuah
pemukiman yang dekat dengan hutan garapan, sehingga dengan mudah dapat
memanfaatkan hasil-hasil hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat adat Baduy,
juga pengawasan yang terjaga dalam rangka mengelola hutan lindung.
Tanah ulayat Baduy pada kawasan hutan lindung berbatasan dengan
wilayah-wilayah luar Baduy, sehingga untuk mengakses hasil-hasil sumberdaya
hutan tersebut, maka warga luar Baduy lebih mudah memperolehnya. Kebutuhan
akan tanah yang semakin meningkat serta pertambahan jumlah penduduk
merupakan faktor yang membuat warga luar Baduy sewenang-wenang dalam
menggunakan dan memanfaatkan tanah ulayat Baduy.
Masyarakat adat Baduy memiliki indigenous knowledge, sehingga untuk
menjaga keseimbangan alam maka dilakukan upaya pengawasan dan pelestarian
hutan agar tidak rusak. Sesuai dengan keyakinannya, bahwa “gunung teu
meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, ulah ngaruksak bangsa jeung
nagara”. Ini membuktikan bahwa ada aturan adat yang menguatkan agar gunung
tidak dilebur, dan lembah tidak boleh dirusak, sehingga bangsa dan negara pun
tidak akan rusak. Selain itu, warga Baduy pun berpandangan bahwa hutan adalah
titipan karuhun dan Gusti Allah sehingga harus dijaga dan disucikan. Namun,
warga luar Baduy belum memahami akan pentingnya tanah ulayat sebagai sarana
pendukung kehidupan warga Baduy maupun sebagai tempat penyembahan atau
bertapa.
Ketidakpahaman warga luar Baduy ditunjukkan dengan tindakan
penyerobotan terhadap sumberdaya hutan serta penebangan pohon secara bebas.
Selain itu, warga luar Baduy pun melanggar pantangan adat Baduy dengan
membuat sawah, menggunakan tanah untuk berladang, apalagi tanpa izin pihak
Desa Kanekes, serta penggembalaan hewan ternak yang dibebaskan ke kawasan
hutan lindung. Bahkan salah satu warga Kecamatan Bojongmanik yang
berbatasan dengan Baduy melakukan pensertifikatan atas tanah seluas 8.983 m2
dari luasan tanah ulayat Baduy sekitar 5.101,85 ha. Penyerobotan tersebut
menyebabkan kerusakan alam, tanah longsor serta erosi. Tidak hanya itu, wilayah
Banten yang mendapat sumber air dari Baduy pun mengalami penghambatan
akibat gundulnya hutan. Dengan penjelasan tersebut sudah cukup memberikan
penggambaran mengenai faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik.
Konflik di Baduy sudah terjadi sejak tahun 1950, dan hingga saat ini
masih tetap terjadi pembalakan terutama penggembalaan hewan ternak yang
belum bisa ditangani. Padahal, berbagai upaya sudah pernah dilakukan baik oleh
warga Baduy sendiri maupun warga luar Baduy. Dengan dikeluarkannya
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 (Bab 1 Pasal 1)
tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Desa Kanekes
ditetapkan sebagai tanah hak ulayat yang berarti kewenangan yang menurut
hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Peraturan tersebut cukup
menguatkan kepemilikan tanah ulayat Baduy dan merupakan salah satu solusi
dalam penyelesaian konflik, di samping pemagaran dan pematokan batas tanah
ulayat Baduy yang tidak permanen oleh Pemerintah Kabupaten Lebak.
Upaya masyarakat adat Baduy dalam penyelesaian konflik adalah
membuat perjanjian dengan warga luar Baduy untuk tidak mengulangi
penyerobotan lagi. Perjanjian ini ditandatangani oleh pihak yang terlibat konflik,
serta pelaporan kepada pihak kepolisian.
KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA
TANAH ULAYAT BADUY
PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG
(Studi Kasus : Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)
YULIYA HASANAH
A14204010
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada
Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TANAH ULAYAT BADUY
PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG (STUDI KASUS : MASYARAKAT
BADUY DALAM DAN BADUY LUAR, DESA KANEKES - KECAMATAN
LEUWIDAMAR, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN)” BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA
BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA. SEMUA SUMBER DATA DAN
INFORMASI TELAH DINYATAKAN SECARA JELAS DAN DAPAT
DIBUKTIKAN KEBENARANNYA.
Bogor, Agustus 2008
Yuliya Hasanah
A14204010
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Yuliya Hasanah, dengan nama panggilan Yuli
atau Iyung. Penulis dilahirkan di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Propinsi
Banten, pada tanggal 14 Juli 1986 dari Bapak Hasan Hermawan dan Ibu Iah
Juhaeniah. Penulis adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara, di antaranya Hasan
Sutisna, Nani Nurhasanah, Laeli Maulida dan Lilis Sulistiawati.
Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah tahun 1992 SD Negeri III
Rangkasbitung Barat dan lulus pada tahun 1998, SLTP Negeri 4 Rangkasbitung
dan lulus pada tahun 2001, SMU Negeri 1 Rangkasbitung dan lulus pada tahun
2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada
tanggal 21 Juli 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian
Bogor (USMI). Penulis adalah mahasiswa Program Studi Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis menjadi Asisten Dosen
di Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi Tahun Ajaran 2006/2007-2007/2008.
Organisasi yang pernah diikuti penulis adalah LDK DKM Al-Hurriyyah di Divisi
Syiar sebagai Bendahara tahun 2006/2007-2007/2008, dan OMDA (Organisasi
Mahasiswa Daerah) Banten sebagai Bendahara. Di tahun 2006/2007 penulis
berkecimpung di dunia broadcaster sebagai penyiar di Radio Agri 107,7 FM
(Agri FM the Voice of Agriculture). Kemudian bersama teman-teman AlHurriyyah di Bulan Desember Tahun 2008 mendirikan Radio Komunitas Muslim
IPB ALVO (Al-Hurriyyah Voice) 107,4 FM yang bertempat di samping Aula AlHurriyyah.
Di samping itu, penulis juga mengikuti kegiatan di luar kampus IPB,
yaitu Kepanduan Santika tahun 2007/7008, dan pernah berpengalaman bekerja di
sebuah Lembaga Bimbingan Belajar BASIC yang saat ini berganti nama menjadi
Lembaga Bimbingan Belajar SIMPLE pada pelajaran Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris untuk kelas VI. Hingga saat ini, penulis masih bergabung bersama
ILNA Training Center.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT., karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi
ini. Dengan segenap do’a dan perjuangan, Skripsi yang berjudul “Konflik
Pemanfaatan Sumberdaya Tanah Ulayat Baduy pada Kawasan Hutan Lindung
(Studi Kasus : Masyarakat Baduy, Desa Kanekes - Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)” ini dapat selesai tepat waktu.
Adapun tujuan penulisan Skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu
syarat untuk mendapat gelar Sarjana Tahun Akademik 2007/2008 pada Program
Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Selain itu, Skripsi ini menjelaskan mengenai konsep pemahaman
masyarakat Baduy terhadap tanah ulayat serta menunjukkan fenomena konflik
tanah ulayat yang diserobot oleh masyarakat luar Baduy dan pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya, serta proses konflik yang terjadi dan upaya penyelesaiannya
dari pihak yang terlibat.
Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi
ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan oleh penulis, tidak lain untuk perbaikan penulisan Skripsi ini.
Akhirnya, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan dan dapat digunakan dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Agustus 2008
Yuliya Hasanah
A14204010
UCAPAN TERIMAKASIH
Selama masa penyelesaian Skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari
dorongan dan dukungan baik berupa moril maupun materiil dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa syukur kepada
Allah SWT yang telah memberikan kakuatan Iman dan Islam sehingga Skripsi ini
dapat diselesaikan. Sekaligus, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai Dosen Pembimbing atas arahan,
waktu dan pikiran dalam membimbing dan membantu penulis, sehingga
Skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mohon maaf jika terdapat
kesalahan dalam perilaku dan ucapan yang kurang berkenan.
2.
Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai Pembimbing Akademik yang sudah
mengarahkan selama ± 4 tahun ini.
3.
Martua Sihaloho, Msi yang sebagai dosen penguji utama yang telah bersedia
meluangkan waktu dan kritikan serta saran untuk memperbaiki skripsi ini.
4.
Heru Purwandari, Msi sebagai dosen penguji wakil departemen untuk
ketelitiannya dalam sistematika dan kelengkapan konsep.
5.
Keluarga tercinta, Apa, Umi, Teh Lilis, Teh Leli, The Nani di Qatar sareng A
Tisan) atas curahan kasih sayang, do’a-do’a, dorongan semangat, arahan serta
pikiran dan juga atas episode-episode indah yang kita jalani bersama dan atas
kepercayaan yang begitu besar dan keikhlasan hati untuk memberikan
kesempatan kepada penulis melanjutkan pendidikan di Bogor.
6.
Jaro Dainah sebagai Kepala Desa Kanekes-Baduy, Bapak Sapin sebagai
Sekretaris Desa, Wa Ailin, Bapak Asid, Bapak Sarman, Bapak Sami (Jaro
Baduy Dalam, Cibeo), Bapak Juli, Bapak Arsid yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk melakukan penelitian. Terimakasih untuk semua waktu,
informasi kegiatan dan masukan data selama proses penelitian di lapangan.
7.
Bapak Arja Wiraatmaja, S.Pd sebagai Kasi Kesos dan H. Mamat R. Setiadi,
SH di Kecamatan Bojongmanik yang telah meluangkan waktu serta
pikirannya dan informasi yang diberikan saat penelitian di lapangan.
8.
Bapak Dedi dan Bapak Endin di Kecamatan Cirinten yang sudah meluangkan
waktu dan memberikan informasi demi kelancaran penelitian.
9.
Teman-teman kosan As-Sakinah, Sarah, Arina, Wahyu, Mae, Fahmi, Midhe,
Emi, terimakasih atas bantuan, do’a, sedih dan tawa yang telah menemani
kebersamaan penulis dalam membuat skripsi, serta dorongan semangat yang
tidak pernah bosan mengucapkan kata “Semangat!”.
10. Ka Ibey dan Farhan, terimakasih atas bantuannya sudah mencarikan literatur
mengenai Baduy.
11. KPM’ers ’41 yang berjuang bersama dalam menyelesaikan Skripsi,
khususnya Munir sebagai teman satu bimbingan yang sabar dan pengertian
serta banyak membantu, juga Retno, Pangkau, Gita, Devi, Nani, Ica, Ubi dan
KPM’ers lainnya yang ikut mendo’akan. Harapannya, persahabatan kita yang
sudah terbina selama 4 tahun tetap terjalin.
12. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman LDK DKM AlHurriyyah, Alvo Crew (M’Nelly, Retno, Linda, Bayu, K’Asep, Hanhan), ISC
(Aqil, Ayi, Holil), teman-teman LDF yang memiliki satu visi dan misi dalam
berdakwah (Aci, Desi, Uda Aji, Rangga), serta seluruh pihak yang telah
memberikan
dorongan
semangat,
sumbangsih
serta
do’a
sehingga
penyelesaian Skripsi ini terwujud.
Bogor, Agustus 2008
Yuliya Hasanah
A14204010
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI......................................................................................................... i
DAFTAR TABEL................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1.2 Perumusan Masalah .........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................
1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................
1
5
6
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Masyarakat Adat.................................................................. 8
2.1.1 Pengertian Masyarakat Adat .................................................. 8
2.1.2 Masyarakat Adat Baduy dan Kearifan Tradisional ................ 9
2.1.3 Kebudayaan Masyarakat Adat Baduy ....................................13
2.2 Konsep Tanah dan Hak Ulayat pada Kawasan Hutan Lindung.......15
2.2.1 Pengertian Tanah....................................................................15
2.2.2 Makna Tanah Menurut Masyarakat Adat...............................16
2.2.3 Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy......................................17
2.2.4 Kelestarian Hutan Lindung ....................................................22
2.2.5 Interaksi Masyarakat Adat dengan Hutan ..............................23
2.3 Konsep Persepsi ...............................................................................24
2.3.1 Pengertian Persepsi.................................................................24
2.3.2 Persepsi Terhadap Nilai Sumberdaya Hutan..........................25
2.4 Konsep Konflik................................................................................27
2.4.1 Pengertian dan Sumber Konflik .............................................27
2.4.2 Teori-Teori yang Berkaitan dengan Konflik ..........................29
2.4.3 Tipe-Tipe Konflik ..................................................................31
2.4.4 Faktor-Faktor Penyebab Konflik............................................32
2.4.5 Pengelolaan Konflik ...............................................................34
2.5 Konsep Kerangka Berpikir ..............................................................37
2.6 Hipotesis Pengarah ..........................................................................40
2.7 Definisi Konseptual .........................................................................40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Strategi Penelitian ............................................................................43
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................44
3.3 Teknik Pengumpulan Data...............................................................45
ii
3.3 Teknik Analisis Data .......................................................................46
BAB IV KONDISI UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT BADUY
4.1 Kondisi Fisik...........................................................................................48
4.1.1 Letak Geografis................................................................................49
4.1.2 Pola Tata Ruang Lahan ...................................................................52
4.2 Kondisi Sosial .........................................................................................55
4.2.1 Kepercayaan atau Religi .........................................................55
4.2.2 Bahasa dan Pendidikan ...........................................................57
4.2.3 Interaksi Masyarakat Baduy ...................................................58
4.2.4 Sikap dan Perilaku Masyarakat Baduy
terhadap Lingkungan ..............................................................58
4.2.5 Sistem Pemerintahan...............................................................59
BAB V PERSEPSI MASYARAKAT ADAT BADUY TENTANG KONSEP
TANAH ULAYAT DI KAWASAN BADUY
5.1 Persepsi Terhadap Nilai Sumberdaya Hutan ...................................60
5.2 Persepsi Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Hutan pada
Tanah Ulayat Kawasan Baduy.........................................................64
5.3 Status Hak Tanah Ulayat Baduy......................................................69
5.4 Fungsi Tanah Ulayat Baduy ............................................................72
5.5 Ikhtisar .............................................................................................75
BAB VI KONFLIK TANAH ULAYAT ANTARA MASYARAKAT LUAR
KAWASAN BADUY DENGAN MASYARAKAT BADUY
6.1 Sejarah Konflik ................................................................................77
6.2 Deskripsi Area Konflik....................................................................81
6.3 Faktor-Faktor Penyebab Konflik .....................................................83
6.4 Pihak yang Terlibat dalam Konflik..................................................87
6.5 Ikhtisar .............................................................................................89
BAB VII UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENYELESAIKAN
KONFLIK DI BADUY
7.1 Pendekatan Alternatif Penyelesaian Konflik ...................................92
7.2 Upaya Penanganan Berbagai Pihak yang Berkonflik ......................95
7.3 Hasil Akhir Penyelesaian Konflik ...................................................97
7.4 Ikhtisar ........................................................................................... 101
PENUTUP
Kesimpulan ......................................................................................................... 103
Saran.................................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 106
LAMPIRAN ....................................................................................................... 109
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Teks
Tabel 1. Kerangka Kluckhon (1953) Mengenai Lima Masalah Dasar
dalam Hidup yang Menentukan Orientasi
Nilai-Budaya Manusia ............................................................................15
Tabel 2. Beberapa Alternatif Cara dalam Mengelola Konflik-Konflik................36
Tabel 3. Jumlah Penduduk Baduy pada Tahun 2004, 2005 dan 2006 .................49
Tabel 4. Perbedaan Baduy Dalam dan Baduy Luar .............................................50
Tabel 5. Tata Guna Lahan Desa Kanekes pada Tahun 2001................................54
Tabel 6. Prosedur Penyelesaian Konflik ............................................................ 100
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran ...............................................................40
Gambar 2. Peta Kabupaten Lebak .......................................................................51
Gambar 3. Struktur Pemerintahan Adat Desa Kanekes.......................................60
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Teks
Lampiran 1. Peta Lokasi Kecamatan Leuwidamar ........................................... 110
Lampiran 2. Jadwal Penelitian .......................................................................... 111
Lampiran 3. DataPemilihan Responden dan Informan ..................................... 112
Lampiran 4. Kebutuhan Data dalam Penelitian dan
Teknik Pengumpulan Data............................................................ 113
Lmapiran 5. Panduan Pertanyaan...................................................................... 115
Lampiran 6. Pengalaman Peneliti di Lapangan................................................. 120
Lampiran 7. Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Nomor: 65 Tahun 2001 Seri C
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 Tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy......................... 123
Lampiran 8. Struktur Pemerintahan Adat Desa Kanekes.................................. 130
Lampiran 9. Foto Kegiatan dan Kondisi Baduy................................................ 131
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah sebagai sumber agraria mempunyai fungsi dan peran yang penting
dalam kehidupan individu dan masyarakat, baik sebagai wadah untuk kegiatannya
maupun sebagai asset dan faktor produksi untuk penghidupannya. Dengan
meningkatnya kegiatan pembangunan, bertambahnya jumlah penduduk dengan
cepat dan penyebaran yang tidak merata akibat mobilitas penduduk, permasalahan
tanah dan sengketa di bidang pertanahan tidak akan mereda, tetapi sebaliknya
mungkin justru akan bertambah. Hal itu disebabkan karena kebutuhan akan tanah,
baik jenis, intensitas maupun volumenya akan semakin meningkat, sedangkan
luas tanah yang tersedia tidak akan bertambah. (Nasoetion, 2002).
Tanah yang tersedia keadaan dan kemampuannya tidak merata dan
sebagian besar sudah ada yang memiliki, meskipun belum terdaftar dan tidak ada
surat tanda bukti. Hal ini sesuai dengan perkembangan pelaksanaan UU Nomor 5
Tahun 1960 (UUPA), dimana permasalahan tanah menjadi semakin kompleks
(Nasoetion, 2002).
Kenyataan di atas memicu terjadinya pendudukan tanah oleh masyarakat
tanpa seizin pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (occupatie) dan diklaim
sebagai tanah miliknya. Konflik pemilikan dan penguasaan tanah terjadi sebagai
akibat penguasaan tanah secara berlebihan atau terhadap tanah-tanah yang
terlantar yang belum aktif diproduksi (Saleh, 2003). Hal ini dipertegas dengan
2
pernyataan Nasoetion (2002) bahwa salah satu penyebab terjadinya pemilikan dan
penguasaan tanah yang tidak seimbang adalah adanya tanah-tanah terlantar.
Konflik pemilikan/penguasaan tanah terkait dengan keberadaan hukum
adat setempat (tanah ulayat). Karena pada dasarnya, hubungan antara tanah dan
masyarakat hukum adatnya merupakan hubungan magis religius. Pada umumnya,
masyarakat hukum adat berada dalam tatanan ekonomi masyarakat menengah ke
bawah. Kehidupannya sangat bergantung pada pertanian sebagai mata
pencaharian utama. Sedangkan pembangunan ekonomi yang menekankan pada
perusahaan besar berorientasi ekspor menyebabkan kebutuhan akan tanah menjadi
semakin besar. Akibatnya, terjadi perambahan tanah-tanah kawasan hutan dan
tanah-tanah milik masyarakat hukum adat (tanah ulayat) (Nasoetion. 2000).
Pada sebagian masyarakat adat, ada yang mengklaim dirinya sebagai
pemilik tanah ulayat. Seperti halnya pada masyarakat adat Baduy, bahwa
pimpinan/jaro yang bertempat tinggal di kawasan tanah ulayat yang saat ini
didudukinya adalah milik masyarakat adat Baduy, sehingga masyarakat Baduy
memiliki tugas untuk menjaga dan memelihara tanah ulayat terkait dengan
keseimbangan lingkungan. Berangkat dari pernyataan tersebut, bahwa masyarakat
adat Baduy memiliki kearifan lingkungan atau indigenous knowledge.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998) menyatakan bahwa
perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan pemeliharaan lingkungan berkaitan
dengan persepsi mereka mengenai lingkungan alam. Sikap masyarakat dalam
memperlakukan alam lingkungannya, juga dipengaruhi pengalaman dan
pengetahuan mereka mengenai isi dan kekayaan yang dimilikinya. Pengetahuan
dan pengalaman tersebut diperoleh selama beradaptasi dengan lingkungannya.
3
Dari pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh tersebut, maka masyarakat
sekitar menjadi tahu tentang lingkungannya dan hal ini tercermin dalam perilaku,
terutama masyarakat adat yang masih berpegang teguh pada norma, adat serta
tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Pada masyarakat adat yang bersifat
homogen, maka kemungkinan kecil persepsi mengenai tanah ulayat yang dimiliki
tiap individu tidak jauh berbeda.
Keinginan tiap individu masyarakat adat dalam mempertahankan
lingkungan dan tanah ulayatnya tidak selalu berjalan baik. Karena kebutuhan akan
tanah yang semakin meningkat berdampak pada terjadinya konflik di bidang
pertanahan baik secara vertikal maupun horizontal, antara perseorangan (warga
masyarakat atau masyarakat hukum adat) maupun badan hukum (pemerintah atau
swasta). Konflik pertanahan yang terjadi disebabkan oleh permasalahan tanah
murni atau permasalahan yang terkait dengan sektor pembangunan lain (tidak
terkait secara langsung) (Nasoetion, 2002).
Permasalahan tanah atau sengketa ini tidak hanya terjadi di kawasan
hutan produksi, namun juga banyak terjadi di kawasan konservasi dan hutan
lindung, yang akan semakin terasa dengan adanya pengaruh proses globalisasi
dalam era abad ke-21, seperti kebutuhan industrialisasi yang saat ini terjadi
terutama untuk pertambangan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 2/2008. PP ini baru dikeluarkan sejak Februari lalu yang menyatakan
bahwa hutan lindung dan hutan produksi dapat disewakan dengan harga murah
yaitu Rp. 300,- per meter. Dengan adanya peraturan ini tentu akan memperparah
kerusakan hutan dan membuat hubungan timbal balik antara rakyat dan
lingkungan menjadi tidak seimbang. Terkait hal tersebut, kebijaksanaan
4
penanganan masalah agraria yang lebih berpihak kepada rakyat, bukan hanya
berdasarkan aspek yuridis saja, melainkan kepada aspek ekonomi, sosial, budaya,
dan percepatan penyelesaiannya baik dari pusat maupun daerah (Nasoetion,
2000).
Dengan demikian, apabila telah terjadi pengrusakan kawasan hutan
lindung/hutan larangan, maka akan dikenakan sanksi atau dilaporkan kepada
pemerintah. Kenyataannya, terdapat kasus mengenai hutan lindung masyarakat
adat Baduy saat ini yang telah mengalami kerusakan yang dilakukan oleh pihak
yang memiliki kepentingan atas hasil hutan tersebut. Berdasarkan referensi1,
masyarakat luar Baduy telah melakukan banyak kerusakan2, yang pada akhirnya
muncul pandangan bahwa masyarakat luar Baduy tidak menjaga keseimbangan
ekosistem dan tidak menghargai adat istiadat masyarakat Baduy.
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy sudah jelas menyatakan bahwa
masyarakat adat Baduy memiliki wewenang atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk memanfaatkan hasil
sumberdaya yang ada. Dengan demikian, masyarakat Baduy memiliki wewenang
untuk menerapkan sanksi atau denda atas kerusakan atau penyerobotan hutan
yang terjadi.
Lebih dari itu, masyarakat adat Baduy pun memiliki wewenang menuntut
pemerintah memberikan pengakuan atas batas tanah milik Baduy. Namun hingga
saat ini, belum ada kejelasan dari pemerintah atas pengakuan tanah ulayat
1
Tempo Interaktif. 2006. “Penyerobotan Tanah Baduy Merajalela”. Dikutip dari http://www.tempointeraktif.
com/hg/jakarta/2006/05/08/brk,20060508-77172,id.html. Diakses tanggal 05 Januari 2008.
2
Kerusakan yang disebabkan oleh perambahan hutan, penebangan kayu untuk kebutuhannya, bahkan
melepaskan hewan ternaknya (digembalakan) secara bebas di lapangan sehingga merusak tanaman-tanaman
milik masyarakat Baduy.
5
masyarakat adat Baduy, bahkan penyelesaian atas sengketa tanah ulayat tersebut
belum tampak. Persengketaan tanah hak ulayat (adat) Suku Baduy dengan
masyarakat sekitarnya hingga kini belum selesai. Tim dari Polres Lebak pernah
berusaha menyelesaikan persengketaan itu, hanya mendamaikan sengketa di
Kecamatan Bojongmanik, Kabupaten Lebak, Banten, tidak secara keseluruhan.
Padahal banyak kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan tanah ulayat
Baduy. Oleh karena itu, perlu ditegaskan kembali mengenai status tanah ulayat
Baduy sehingga berfungsi dan termanfaatkan dengan baik. Dengan demikian, cara
yang tepat menurut adat dan hukum pemerintahan dapat ditegakkan kembali dan
dilakukan semua pihak untuk mempertahankan hak dan wewenang tanah ulayat
serta kelestariannya.
1.2 Perumusan Masalah
Masyarakat adat Baduy memiliki adat istiadat yang masih teguh
dipegang dengan prinsip-prisnsipnya hingga saat ini. Bahkan dalam kaitannya
dengan pemeliharaan lingkungan, masyarakat Baduy sangat bertanggung jawab
atas segala sumberdaya alam yang tersedia, terutama tanah ulayat yang saat ini
menjadi isu utama yang menimbulkan konflik antara masyarakat Baduy dengan
masyarakat luar Baduy.
Masyarakat adat Baduy menganggap bahwa tanah ulayat memiliki nilai
magis-religius, sehingga akan melakukan upaya perlindungan terhadap tanah
khususnya hutan lindung, suci/keramat dan tidak disentuh oleh masyarakat luar
kawasan Baduy, apalagi sampai dijarah. Berdasarkan informasi, masyarakat
Kecamatan Bojongmanik sering melakukan penyerobotan/merambah kawasan
6
hutan dengan menebang kayu tanpa izin masyarakat Baduy. Bahkan ada pula
perlakuan sertifikasi atas tanah seluas 8.938 m2 dari seluruh luas tanah hak ulayat
Baduy. Hal ini sudah pernah dilaporkan kepada pihak pemerintah, karena
masyarakat Baduy merasa pengakuan atas tanah ulayatnya diabaikan hingga adat
istiadatnya pun sudah dilanggar. Dengan demikian, salah satu upaya yang pernah
dilakukan adalah meminta pemerintah untuk memagari batas tanah ulayat dan
kawasan hutan lindung yang tidak boleh disentuh oleh masyarakat luar Baduy
terkecuali oleh tokoh-tokoh Adat Baduy Dalam.
Pernyataan tersebut melahirkan rumusan masalah di antaranya adalah :
1) Bagaimana persepsi masyarakat adat Baduy tentang konsep tanah ulayat di
kawasan Baduy?
2) Bagaimana konflik tanah ulayat bisa terjadi? Faktor-faktor apa yang
mendorong terjadinya konflik?
3) Bagaimana upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian tersebut di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Memberikan gambaran mengenai persepsi masyarakat adat Baduy tentang
konsep tanah ulayat di kawasan Baduy.
2) Menjelaskan proses terjadinya konflik tanah ulayat serta mengidentifikasi
faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik tersebut.
3) Mendeskripsikan upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik di
Baduy.
7
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah untuk memperkaya informasi mengenai
konsep pemahaman masyarakat Baduy terhadap tanah ulayat. Selain itu, untuk
menunjukkan fenomena konflik tanah ulayat yang diserobot/dijarah oleh
masyarakat luar Baduy dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, serta proses
konflik yang terjadi dan upaya penyelesaiannya dari pihak yang terlibat.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi pemerintah
untuk senantiasa bergerak cepat dan aktif dalam menyikapi permasalahan tanah
ulayat pada kawasan hutan lindung masyarakat adat Baduy. Bagi pembaca,
semoga dapat menjadi bahan rujukan untuk dapat melakukan penelitian yang
lebih mendalam mengenai konflik tanah adat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Masyarakat Adat
2.1.1 Pengertian Masyarakat Adat
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem
nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayahnya sendiri (Japhama,
1993 sebagaimana dikutip Sangaji, 1999)3. Secara sosiologis, masyarakat adat
adalah masyarakat yang tergolong sebagai persekutuan hidup yang didasarkan
pada ikatan kekerabatan turun-temurun (genealogis) dan/atau teritori yang
didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan bersama karena memiliki asal usul
leluhur yang sama. Sedangkan dari segi strukturnya, maka masyarakat adat
digolongkan dalam persekutuan hidup setempat yang bersifat tunggal, bertingkat
maupun berangkai-rangkai yang tersebar dalam bentangan wilayah Indonesia.
Persekutuan-persekutuan masyarakat adat adalah persekutuan-persekutuan hukum
masyarakat yang diatur oleh hukum adat. Persekutuan tersebut merupakan
persekutuan yang merdeka, berdaulat dan otonom, contohnya Lembur di Sunda
(Saleh, 2003).
Pada lingkup internasional, rumusan masyarakat adat terdapat dalam
konvensi ILO No. 169/1989 (Pasal 1) dalam Sangaji (1999), yang menyebutkan
masyarakat adat sebagai “masyarakat yang tinggal di negara-negara merdeka yang
dianggap sebagai bangsa pribumi yang penetapannya didasarkan pada keturunan
3
Dalam pertemuan antara aktivis LSM dan sekelompok masyarakat korban pembangunan yang
diorganisasikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993
sebagaimana dikutip Sangaji (1999).
9
mereka di antara penduduk lain yang mendiami suatu negara terletak, pada waktu
terjadi penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas negara yang baru,
tanpa memilih pada status hukum mereka dan masih tetap memiliki sebagian atau
seluruh kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka”.
Masyarakat adat merupakan masyarakat yang bersifat otohton yaitu suatu
kesatuan masyarakat adat yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan
dibentuk oleh kekuatan lain misal kesatuan desa dengan LKMD-nya. Namun,
kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat kini tidak sepenuhnya otonom
dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan
negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional. Sebagai kesatuan
sosial, komunitas adat yang berinteraksi secara kontinyu sesuai sistem adatnya
istiadatnya masih tetap mempertahankan pola-pola kehidupan lama, meskipun
tradisi nenek moyang sudah banyak ditinggalkan oleh komunitas lainnya.
Komunitas adat tersebut salah satunya adalah Cibeo yang berada di Baduy Dalam,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (Anonimous. 2004).
2.1.2 Masyarakat Adat Baduy dan Kearifan Tradisional
Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih teguh
dalam menerapkan adat tradisi, yaitu Suku Baduy atau disebut juga orang
Kanekes atau orang Baduy. Mereka merupakan suatu kelompok masyarakat adat
Sunda yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Penamaan “Baduy” berasal dari seorang peneliti Belanda karena masyarakatnya
nomaden (berpindah-pindah), juga karena adanya sungai Cibaduy dan Gunung
10
Baduy yang ada di bagian Utara wilayah tersebut (Garna, 1993)4. Sekitar tahun
1980-an, ketika KTP (Kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini, hampir tidak
ada yang menolak dengan sebutan ‘Urang Baduy’.
Tatanan hukum adat masyarakat Baduy tidak otonom secara penuh,
karena hanya merupakan proses sosial dan merupakan hasil budi dan daya orangorang Baduy. Oleh karena itu, isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’, atau perubahan sesedikit
mungkin. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001)5. Kelompok tangtu dikenal
sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal
di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik). Kelompok masyarakat
panamping adalah dikenal sebagai Baduy Luar yang bisa juga disebut Baduy
Pasisian. Mereka tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah
Baduy Dalam, yaitu di antaranya Cikadu, Kadu Ketug, Kadu Kolot, Gajeboh, dan
Cisagu.
Masyarakat adat Baduy tetap menjalankan adat istiadat yang diturunkan
nenek moyangnya secara arif dan taat, dan hingga sekarang masih dapat bertahan
di lingkungan alamnya. Cara hidup dan perilaku tradisional di tengah masyarakat
yang berkembang menjadi unik dan menarik. Masyarakat Baduy juga memiliki
beberapa kearifan tradisional yang berkaitan dengan lingkungan hidupnya, antara
lain dalam pola pertanian yang khas dan konsep tentang hutan dan kelestariannya.
4
Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/ wisata/2004/ 0408/wis02.html. ‘Masyarakat Baduy di
Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia’. Penyunting (ed) Koentjaraningrat. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Diakses 30 Juni 2007.
5
Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes. “Arca Domas Baduy : Sebuah Referensi
Arkeologi dalam Penafsiran Ruang Masyarakat Megalitik, Indonesian Archeology On the Net”. Diakses
tanggal 16 Maret 2007.
11
Mereka membagi dan menggolongkan hutan sesuai dengan fungsinya, yaitu hutan
untuk konservasi dan hutan untuk dimanfaatkan.
Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma.
Selain itu, mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buahbuahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta
madu hutan. Di samping bermatapencaharian berladang, orang Baduy pun
berkelana (bisnis) dengan berdagang ke kota besar sekitar wilayah mereka di
antaranya kota Rangkasbitung, Serang, bahkan kota Bogor, dan kota lainnya di
Jawa Barat, dengan syarat harus berjalan kaki karena sudah merupakan hukum
adat yang harus dilakukan dan tidak boleh dilanggar karena akan dikenai sanksi.
Masyarakat Baduy mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja
menolak masyarakat lainnya dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat
suci (di Panembahan Arca Domas) dan keramat. Mereka tidak mendapatkan
pengetahuan dari sekolah sehingga tidak mengenal budaya tulis, karena
merupakan larangan yang harus dipatuhi. Hal ini didukung oleh sebuah
pernyataan bahwa “apabila orang sudah pintar, maka akan jadi penipu”. Dengan
demikian, adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja, contohnya dokumen catatan penting
mengenai sejarah Baduy dan kisah-kisah magis atau bahkan dalam bentuk
prasasti.
Pemukiman masyarakat Baduy berada di daerah perbukitan (lereng
gunung). Rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang
memiliki banyak sumber mata air yang masih bebas polusi, mulai dari mata air
dalam tanah (cai nyusu) sampai parit-parit kecil di bukit dan sungai. Rimba raya
12
ini merupakan kawasan hutan lindung. Sumber mata air yang dilengkapi dengan
pancuran air tersebut menjadikan rimba sebagai sumber air minum tanpa
penyaringan terlebih dahulu.
Lebih lanjut, Keraf (2002) menerangkan bahwa dalam masyarakat adat
ini memiliki kearifan tradisional yang menyangkut pengetahuan, keyakinan dan
pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di
antara sesama manusia, serta menyangkut adat kebiasaan tentang manusia, alam
dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus
dibangun. Seluruh kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat Baduy,
contohnya cara menyambut pengunjung dengan kesopanan, menjaga alam serta
mensucikan Arca Domas yang kemudian dihayati, dilaksanakan, diajarkan dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sekaligus membentuk pola
perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap
Tuhan dan alam ghaib.
Masyarakat
Baduy
memiliki
kearifan
lingkungan
“indigenous
knowledge”, yang merupakan sebuah perilaku dengan mempertimbangkan
keseimbangan ekologi alam dalam segenap sisi-sisi keseharian hidupnya.
Masyarakat memang pada dasarnya merupakan struktur yang mengarah pada
keseimbangan. Masyarakat Baduy bersikap menurut nilai-nilai budayanya. Pilihan
jalan hidup dan kearifan budaya mereka dalam bersahabat dengan alam dan ketaatan terhadap nilai-nilai adat, moral dan agama (pikukuh), menempatkan
kehidupan mereka yang sederhana.
13
I Wayan Geriya (2002) dalam Garna (1993)6, menjelaskan bahwa di
dalam bagian kebudayaan tradisional terdapat kearifan lokal yang secara subtantif
berorientasi pada keseimbangan dan harmoni manusia, alam, budaya, kelestarian,
keragaman alam dan kultur, konservasi alam dan warisan budaya serta
penghematan sumberdaya yang bernilai ekonomi. Meskipun kearifan budaya
orang Baduy bersahabat dengan alam, namun ada masa dimana terjadi
kemerosotan kualitas hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alam
di sekitarnya.
2.1.3 Kebudayaan Masyarakat Adat
Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Perangkat
normatif ini diberikan pada individu-individu (baru) pendukungnya melalui proses
sosialisasi.
Dengan
cara
demikian,
maka
akan
mampu
menjalin
dan
mengembangkan interaksi sosial dengan orang lain dalam suatu pola makna
tertentu yang konstan (Soekanto, 1990).
Koentjaraningrat (1975) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Kebudayaan terdiri atas
nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di
balik perilaku manusia dan tercermin dalam perilaku. Kebudayaan merupakan
perangkat teknik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi dan
dengan orang lain. Masih menurut Koentjaraningrat (1975), bahwa suatu sistem
nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran
6
Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/ wisata/2004/ 0408/wis02.html. Op.cit., diakses 30 Juni 2007.
14
sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap
bernilai dalam hidup. Lebih konkrit lagi, nilai budaya merupakan serangkaian ide,
gagasan, dan pandangan mengenai masalah-masalah yang sangat bernilai di dalam
hidup, yang oleh Kluckhon (1953) dalam Koentjaraningrat (1975) dirangkum
menjadi lima permasalahan pokok yaitu : (1) masalah mengenai hakekat dari
hidup manusia (MH), (2) masalah mengenai hakekat karya manusia (MK), (3)
masalah mengenai hakekat dari kebutuhan manusia dalam ruang waktu (MW), (4)
masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA),
(5) masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM).
Kelima masalah tersebut menentukan orientasi nilai-budaya manusia yang dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Kerangka Kluckhon (1953) Mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup
yang Menentukan Orientasi Nilai-Budaya Manusia
Masalah Dasar dalam
Hidup
Orientasi Nilai-Budaya
Hakekat Hidup (MH)
Hidup itu buruk
Hakekat karya (MK)
Karya itu untuk
nafkah hidup
Persepsi Manusia
tentang Waktu (MW)
Orientasi ke masa
kini
Pandangan Manusia
Kepada Alam (MA)
Manusia tunduk
kepada alam yang
dahsyat
Orientasi kolateral
(horizontal), yang
Hakekat Hubungan
ketergantungan
manusia dengan
kepada sesamenya
Sesamanya (MM)
(berjiwa gotongroyong)
Sumber : Koentjaraningrat Tahun 1975
Hidup itu baik
Karya itu untuk
kedudukan,
kehormatan, dsb.
Orientasi ke masa
lalu
Manusia berusaha
menjaga
keselarasan
dengan alam
Orientasi vertikal
rasa
ketergantungan
kepada tokohtokoh atasan dan
berpangkat
Hidup itu buruk, tetapi
manusia wajib berikhtiar
supaya hidup itu menjadi
baik
Karya itu untuk
menambah karya
Orientasi ke masa depan
Manusia berhasrat
menguasai alam
Individualisme menilai
tinggi usaha atas
kekuatan sendiri.
15
Kaitannya dengan kebudayaan yang memandang keselarasan manusia
dengan alam, maka ada upaya untuk mempertahankan dan mentransformasikan
nilai-nilai budaya suatu masyarakat sebagai pedoman hidup, yang merupakan
hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya, dilakukan dengan cara
menciptakan sejumlah sarana pendidikan sebagai pendukungnya, seperti dongengdongeng, pepatah-pepatah serta upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup
seseorang atau pun pemujaan sumberdaya alam (Koentjaraningrat, 1975).
Garna (1993)7, bahwa dalam kebudayaan masyarakat Baduy, sebagai
tanda kepatuhan/pengakuan dan setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun
diadakan upacara Seba setelah selesai upacara “Ngalaksa” kepada "Bapak Gede"
(Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar (penguasa dan
Kesultanan Banten). Bahkan hingga tahun saat ini, upacara Seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat). Di
bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar,
misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
2.2 Konsep Tanah dan Hak Ulayat pada Kawasan Hutan Lindung
2.2.1 Pengertian Tanah
Saleh (2003) menyatakan bahwa tanah merupakan kekayaan sumberdaya
alam yang juga penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan faktor
produksi alam yang dikelola untuk menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat
tersebut. Selain itu, juga sebagai wadah dan lokasi berinteraksi antara masyarakat
7
Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/ wisata/2004/ 0408/wis02.html. Op.cit., diakses 30 Juni 2007.
16
dengan sumberdaya lahan. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam juga
memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertanahan
keamanan yang tinggi. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan pertanahan harus
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan nasional.
Di samping itu, tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting.
Hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan. Manusia diciptakan
dari tanah, hidup di atas tanah dan memperoleh bahan makanan dengan cara
mendayagunakan sumberdaya tanah. Demikian juga bagi masyarakat hukum adat
yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan tanah. Hubungan ini
melahirkan suatu hak untuk menggunakan, menguasai, memelihara sekaligus
mempertahankannya (Saleh, 2003).
2.2.2 Makna Tanah Bagi Masyarakat Adat
Saleh (2003), mengungkapkan bahwa paham-paham atas hak milik tanah
menurut adat sangat berbeda dengan pengandaian-pengandaian yang mendasari
sistem milik Negara itu. Prinsip umumnya menurut adat :
1) Tanah memiliki makna sosio-religius dan erat kaitannya dengan jati diri
kelompok tersebut.
2) Di banyak wilayah, tanah dan sumberdayanya mendukung serangkaian luas
kegiatan yang digelar menurut musim. Pertanian yang bergilir dan berpindahpindah (tebang dan bakar), berburu dan menangkap ikan, dan pengumpulan
produk hutan dianggap lebih penting.
3) Ada hak perorangan atas tanah yang diwariskan, baik hak pemanfaatan
maupun hak-hak sumberdaya tertentu.
17
4) Lahan-lahan tidur, dibebani hak juga. Tanah jarang dianggap kosong.
5) Hak atas tanah dan sumberdaya jarang dicatat dalam peta-peta atau dengan
rekaman tertulis. Batas-batas ditentukan berdasarkan bentuk-bentuk dan tanda
alam, seperti sungai, gunung, peristiwa sejarah yang diambil atas dasar
kesepakatan bersama.
Fungsi tanah pun dapat sebagai faktor integrasi, bahwa tanah sebagai
sarana pemersatu bagi masyarakat untuk tinggal bersama di wilayah tertentu,
sehingga terlihat keterkaitan erat antara tanah dan kelompok. Seiring dengan hal
tersebut, tanah juga merupakan pegangan bagi kelompok untuk menunjukkan
keberadaannya bila berhadapan dengan kelompok lain. Sehingga mendorong
timbulnya upaya untuk selalu mempertahankan tanah tersebut dan meminta
tanggung jawab dari para anggota kelompok. Di samping itu, tanah juga berfungsi
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kemasyarakatan seperti untuk upacara
seremonial, kegiatan keagamaan, dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya
yang sangat berguna bagi kelangsungan dan keutuhan kesatuan kelompoknya
(Saleh, 2003).
2.2.3 Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy
Istilah hak ulayat diperkenalkan oleh Van Vollenhoven (1909) dalam
bahasa asing yaitu beschiking recht yaitu suatu hak yang melekat pada masyarakat
hukum adat yang memberi wewenang kepadanya untuk menguasai seluruh tanah
yang berada dalam daerah kekuasaannya. Ia memberikan gambaran ciri-ciri hak
ulayat, di antaranya :
a. Hubungan intra komunal; dimana adanya hubungan timbal balik antara hakhak bersama dan hak-hak individu. Pada masyarakat hukum adat akan
18
terbentuk ketika seorang individu tidak lagi memanfaatkan tanahnya.
b. Hubungan ekstra komunal; dimana hak ulayat mempunyai kekuatan ke luar
dalam membatasi pihak luar dalam menguasai tanah komunal, dan pihak luar
hanya boleh mengeksploitasi tanah tersebut dengan cara sewa-menyewa tanpa
menjual, mewariskan atau sebagai jaminan.
c. Dalam pengawasan tanah hak ulayat, maka ada seorang kepala adat yang
bertugas ke luar sebagai penguasa serta melindungi tanah-tanah jabatan yang
dipakai untuk kepentingan bersama.
d. Hak ulayat berfungsi sebagai hak-hak yang tidak hanya terbatas pada tanah dan
air, melainkan juga tumbuhan dan binatang rimba.
e. Daerah ulayat meliputi kampung yang berada di tengah-tengah berupa
perumahan dan daerah penghasil makanan.
f. Daerah ulayat dibatasi melalui daerah hukum adat, dimana daerah-daerah
ulayat sangat terlindung dari tuntutan masyarakat hukum adat lainnya.
Menurut Purbacaraka dan Halim (1993) dalam Garna (1993)8, hak atas
tanah adat dibedakan atas dua bentuk, yaitu : “hak ulayat” dan “hak pakai”. Hak
ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk
berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal, pada hakikatnya terdapat pula
hak perorangan untuk menguasai sebagian dari obyek penguasaan hak ulayat
tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai sebidang
8
Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/ wisata/2004/ 0408/wis02.html. Op.cit., diakses 30 Juni 2007.
tanah bagi kepentingannya, biasanya hak ini berlaku terhadap tanah sawah dan
ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.
19
Sebagai sarana pendukung utama kehidupan dan penghidupan para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, tanah ulayat dikelola dan diatur
peruntukan, penguasaan dan penggunaannya, maka kewenangan pelaksanaannya
sehari-hari dilimpahkan dan ditugaskan kepada ketua adat dan para tetua adatnya.
Tanah ulayat tersebut tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain karena
tanah ulayat bukan saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi
yang akan datang.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001
tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, yang menyatakan
bahwa masyarakat Baduy sebagai masyarakat adat yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum, yang mengakui
dan menerapkan ketentuan persekutuan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Baduy memiliki wilayah yang bersifat ulayat serta memiliki
hubungan dengan wilayahnya tersebut. Hal ini berarti masyarakat Baduy dalam
melakukan hubungan dengan wilayahnya diatur dan dibatasi pada wilayah
ulayatnya, sehingga perlu dilindungi.
Dalam hal penggunaan lahan, setiap upaya yang dilakukan baik oleh
perorangan maupun oleh kelompok orang tertentu/badan, berkaitan dengan
pengusahaan lahan bagi peruntukkan pertanian, perkebunan, dan pemanfaatan
hasil alam lainnya. Adapun wewenang masyarakat adat terhadap tanah ulayat di
antaranya mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah untuk pemukiman,
bercocok tanam, dan persediaannya serta pemeliharaan tanah. Di samping itu,
adanya penentuan hubungan hukum antara orang dengan tanah serta hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan
20
dengan tanah seperti jual beli, warisan dan gadai.
Pada Bab I (Pasal 1) Perda Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001
tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, menyatakan bahwa
hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan. Adapun penjelasan mengenai tanah ulayat itu sendiri adalah bidang
tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat
tertentu. Hak ulayat juga dipercayai berasal dari nenek-moyang mereka dan
merupakan karunia Allah SWT sebagai pendukung utama kehidupan dan
penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat
hukum adat.
Pada Bab II (Pasal 2) menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat Baduy
dibatasi terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi dan dituangkan
dalam berita acara sebagai landasan penetapan Keputusan Bupati. Selanjutnya,
pada Pasal 3, wilayah hak ulayat masyarakat Baduy dituangkan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai. Pada
Pasal 4 menyatakan bahwa segala peruntukkan lahan terhadap hak ulayat
masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat Baduy.
Berkenaan dengan tempat hidup dan mencari penghidupan masyarakat
21
Baduy adalah termasuk dalam lingkup hak ulayat Baduy. Terhadap masalah yang
menyangkut tanah, masyarakat Baduy tidak mengaku tanah sebagai hak milik
pribadi, mereka mendapat titipan tugas “ngasuh ratu, ngajaga menak” sehingga
mereka tetap setia kepada yang berkuasa.
Upaya memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah masyarakat
Baduy sudah dilakukan jauh sebelum diundangkannya Peraturan Daerah ini yang
dirintis sejak Tahun 1986 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 203/B.V/Pem/SK/1968 Tanggal 19
Agustus 1968 tentang Penetapan Status Hutan “Larangan” Desa Kanekes Daerah
Baduy sebagai “Hutan Lindung Mutlak” dalam Kawasan Hak Ulayat Adat
Propinsi Jawa Barat. Berbagai kesulitan telah dihadapi dalam merumuskan
pemberian perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Hal ini berkaitan dengan
hakikat hukum adat yang hanya diakui dalam bentuk tak tertulis oleh persekutuan
hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial) dan keturunan
(genealogis).
Penetapan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tanggal 24 Juni 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat beberapa kendala
yang dihadapi akhirnya dapat terselesaikan. Namun, hal tersebut tidak menutup
kemungkinan untuk terjadinya persengketaan tanah yang terus berlanjut selama
manusia masih hidup, karena kebutuhan yang semakin meningkat akan tanah dan
percepatan pertumbuhan penduduk yang tidak merata, sehingga pembagian tanah
pun akan terasa tidak merata.
22
2.2.4 Kelestarian Hutan Lindung
Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena
memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu
memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya
dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan
kesuburan tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada
penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah, dan curah hujan serta ketinggian
tempat dengan ketentuan-ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004).
Pada Pasal 19 (Ayat 2) PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan
dalam hutan lindung meliputi usaha budidaya tanaman obat (herba), tanaman hias,
jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, dan usaha budidaya sarang burung
wallet. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung sebagaimana diatur dalam
pasal 20 ayat (3) meliputi usaha wisata alam, olahraga tantangan, pemanfaatan air,
perdagangan karbon (carbon trade), serta usaha penyelamatan hutan dan
lingkungan.
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, menyatakan bahwa kawasan hutan
lindung juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan dengan pola pertambangan tertutup dengan seizin Menteri
Kehutanan. Dalam PP No. 62 Tahun 1998, terdapat aturan dalam pelaksanaan
pengelolaan kawasan hutan lindung yang yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II (Kotamadya/Kabupaten). Adapun urusan pengelolan yang
23
dimaksud
adalah
kegiatan
pemancangan
batas,
pemeliharaan
batas,
mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam
rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan pemanfaatan jasa
lingkungan.
Penjelasan mengenai kelestarian yaitu suatu keadaan yang tetap seperti
semula atau keadaan yang tidak berubah-ubah (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 1998). Sedangkan kelestarian hutan merupakan
suatu keadaan hutan yang tetap mampu menjalankan fungsi dan manfaatnya bagi
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya baik pada masa sekarang maupun
pada masa yang akan datang. Menurut Sumardi et.al. (1997), dinyatakan bahwa
kelestarian hutan dalam suatu daerah mempunyai peranan yang sangat penting
untuk mencukupi semua kebutuhan penduduk di sekitar hutan, seperti kayu bakar,
rumput untuk ternak, dan sebagainya. Selain itu juga, untuk memenuhi kebutuhan
generasi mendatang. Hal ini tidak hanya berdasarkan pertimbangan ekologis,
namun menyangkut permasalahan di sekitarnya dan pemerintah.
2.2.5 Interaksi Masyarakat Adat dengan Hutan
Interaksi adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara dua faktor
atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi.
Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh
lingkungan hidupnya. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya,
dalam hal ini adalah hutan merupakan hubungan sirkuler, yang mengandung arti
bahwa interaksi yang terjadi antara manusia dan hutan bersifat kompleks, karena
pada umumnya dalam hutan terdapat banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu
24
unsur akan merambat pada unsur lain, sehingga pengaruhnya terhadap manusia
sering tidak dapat dengan segera dilihat dan dirasakan, tetapi pada akhirnya cepat
atau lambat akan berpengaruh kepada kehidupan manusia (Soemarwoto, 1994).
Interaksi antara masyarakat sekitar dengan kawasan hutan yang
mengarah pada kerusakan kawasan disebabkan oleh (Suratmo, 1974) :
1) Tingkat pendapatan masyarakat sekitar relatif rendah;
2) Terbatasnya lapangan pekerjaan dan sulit mencari tambahan penghasilan;
3) Kebutuhan hasil hutan yang tidak terpenuhi karena terbatasnya di pasaran;
4) Pekerjaan mencuri relatif lebih mudah dan memberikan penghasilan lebih
besar;
5) Adanya tukang tadah hasil curian;
6) Kurangnya patroli keamanan kawasan hutan;
7) Masalah mental, kebiasaan dan sebab-sebab khusus lainnya.
Kondisi sosial-ekonomi masyarakat adalah segala aspek yang berhubungan
dengan hidup kemasyarakatan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup
manusia (Soekmadi, 1987).
2.3 Konsep Persepsi
2.3.1 Pengertian Persepsi
Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses perencanaan informasi
untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan
(penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk
memahaminya adalah kesadaran atau kognisi (Sarwono, 2002). Menurut Wibowo
(1987), persepsi adalah suatu gambaran pengertian serta interpretasi seseorang
mengenai suatu obyek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan
25
informasi itu dengan dirinya dan lingkungan ia berada. Sehingga dengan persepsi,
individu dapat menyadari serta dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang
terdapat di sekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan
(Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2002).
Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap
suatu stimulus yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan dan perasaan
terhadap stimulus tersebut. Stimulus bisa berupa benda, isyarat, informasi,
maupun situasi dan kondisi tertentu. Dalam konteks persepsi terhadap sumberdaya
hutan atau kondisinya dapat berlaku sebagai stimulus yang dapat menimbulkan
persepsi pada individu yang melihat, mencium atau merasakan.
Persepsi terdiri dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan
yang lainnya, yaitu : (1) Pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2)
Indoktrinasi budaya, bagaimana menterjemahkan apa yang dialami; (3) Sikap
pemahaman, apa yang diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut.
Dalam hal ini, persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor intern yang ada dalam
individu tersebut. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi,
jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan, serta sifat lainnya yang khas dimiliki
oleh seseorang. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan ekonomi
serta pendidikan, lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lainnya.
2.3.2 Persepsi Terhadap Nilai Sumberdaya Hutan
Pranowo (1985), menyatakan bahwa persepsi masyarakat dalam
memandang hutan akan dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat seperti kebutuhan
akan kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak dan lain-lain serta budaya yaitu
kepercayaan, adat istiadat, cerita rakyat dan sebagainya. Sehingga agar persepsi
26
masyarakat terhadap lingkungan dapat dibangun secara tepat dan terarah maka
seberapa dalam persepsi masyarakat terhadap sesuatu hal harus diketahui terlebih
dahulu.
Nilai hutan merupakan ekspresi pemanfaatan hutan berdasarkan persepsi
individu atau masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam satuan moneter pada
ruang atau tempat dan waktu tertentu. Setiap individu atau suatu komunitas dalam
masyarakat
yang
memiliki
keragaman
dalam
pendidikan,
pengetahuan,
pendapatan atau kesejahteraan, tingkat ketergantungan atau keterkaitan dengan
hutan, tata nilai atau perilaku kehidupan sosial ekonomi dan budaya, serta
berbagai faktor lainnya, akan memberikan persepsi beragam yang selanjutnya
akan melahirkan jenis nilai, di samping itu juga akan memberikan apresiasi yang
beragam terhadap setiap jenis nilai hutan produksi tersebut (Bahruni, 1999).
Menurut Djayahadikusuma (1994) dalam Sumardi et.al. (1997)
dinyatakan bahwa berawal dari persepsi seseorang terhadap hutan, besar
pengaruhnya pada wujud hubungan manusia dengan hutan, yang dapat dibedakan
menjadi seseorang menolak lingkungan, bekerjasama atau menguras lingkungan
(mengeksploitasi). Seseorang menolak lingkungan, disebabkan seseorang
mempunyai pandangan yang tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan,
sehingga orang yang bersangkutan dapat memberikan bentuk tindakan terhadap
hutan sesuai apa yang dikehendaki. Sebaliknya, bagi seseorang yang mempunyai
sikap menerima lingkungan maka ia dapat memanfaatkan hutan dan sekaligus
menjaga dan menyelamatkan hutan dari kerusakan, sehingga hutan memberi
manfaat yang terus-menerus. Dengan demikian lingkungan hutan yang selalu
terjaga kelestariannya dari kerusakan, akan memberikan manfaat kepada
27
masyarakat di sekitar hutan yang selalu menjaga kelestariannya dari kerusakan.
2.4 Konsep Konflik
2.4.1 Pengertian dan Sumber Konflik
Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk
memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain
sebagainya, di mana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk
memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan
kekerasan atau ancaman (Ibrahim, 2002 sebagaimana dikutip Ilham, 2006).
Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain
persaingan (competition) dan pertentangan. Bahkan secara sosiologis, dapat
diamati cara-cara hubungan (peristiwa sosial atau perbuatan sosial) jika
perorangan atau kelompok manusia saling bertemu (Sitorus, 1998). Persaingan
dapat terjadi ketika masing-masing pihak tidak melakukan kegiatan yang bersifat
ancaman dan kekerasan. Jika persaingan diikuti gejala ketidakpastian dan
keraguan tentang seseorang dan sikap tersembunyi atas gagasan dan budaya yang
dimilikinya, hal itu disebut kontravensi (Soekanto, 1990). Selanjutnya,
kontravensi yang terus terjadi dan memunculkan ketegangan dalam hubunganhubungan kedua belah pihak, dapat disebut konflik yang ditandai dengan ancaman
dan tindakan kekerasan. Meskipun terjadinya konflik tidak selalu diawali proses
kontravensi.
Menurut Fisher et. al., (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki
sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak
terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat
28
tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubunganhubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran
dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah
diskriminasi, penindasan dan kejahatan.
Menurut Mitchell et. al., (2000) dan Hendricks (2004) konflik
merupakan sesuatu yang tak terelakan yang dapat bersifat positif dan negatif.
Aspek positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif,
mempertajam gagasan atau informasi yang tidak
jelas, dan menjelaskan
kesalahpahaman. Konflik juga bermanfaat ketika mempertanyakan status quo.
Penjelasan konflik menurut Fuad dan Maskanah (2000) yaitu benturan
yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan
budaya, nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya, dimana masingmasing pihak mempunyai kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Konflik
dan kehidupan manusia sangatlah sulit untuk dipisahkan dan keduanya berada
bersama-sama.
Konflik
pertanahan
yang
semula
disebabkan
adanya
benturan
kepentingan berkembang antara lain berkaitan dengan : 1) nilai-nilai budaya; 2)
adanya perbedaan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan UUPA
yang merupakan ketentuan dasar pertanahan yang berlaku di seluruh wilayah
Indonesia; 3) adanya penyimpangan dalam implementasi peraturan pelaksanaan
UUPA (Nasoetion, 2002). Adapun sumber konflik pertanahan yang ada sekarang
ini antara lain disebabkan oleh :
1) Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
29
2) Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah non-pertanian;
3) Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah (red);
4) Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah
(hak ulayat);
5) Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.
Berdasarkan pernyataan di atas, konflik adalah perbedaan kepentingan
antara dua pihak atau lebih terhadap obyek yang sama, dimana hubungan di antara
pihak-pihak tersebut menjadi tidak seimbang ketika terdapat pihak yang
mendominasi pihak lain. Berkaitan dengan sumberdaya alam yang juga
merupakan sumber agraria, maka konflik agraria menurut Sitorus (2004)
merupakan suatu gejala struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan
kepentingan antar subyek dalam hubungan agraria. Jelasnya, jika dua atau lebih
pihak subyek memiliki klaim hak penguasaan atas suatu unit sumber agraria
(tanah) yang sama, maka terjadilah sengketa agraria.
2.4.2 Teori-Teori yang Berkaitan dengan Konflik
Fisher et. al. (2001) menyatakan bahwa teori-teori mengenai penyebab
konflik sangat membantu dalam memahami cara mengelola konflik, di antaranya
yaitu :
1) Teori Hubungan Masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
2) Teori Negosiasi Prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak30
pihak yang mengalami konflik.
3) Teori Kebutuhan Manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam
disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang
tidak terpenuhi atau dihalangi.
4) Teori Identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa
lalu yang tidak diselesaikan.
5) Teori Kesalahpahaman Antarbudaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya
yang berbeda.
6) Teori Transformasi Konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Konflik dalam pertanahan khususnya sumberdaya hutan berbeda dengan
konflik lainnya (Huzaini, 2002 sebagaimana dikutip Karsodi, 2007). Artinya,
konflik pertanahan lahan hutan akan sangat berubah menjadi konflik yang penuh
dengan kekerasan, karena tanah merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat
diperbaharui (terbatas), maka setiap konflik akan terjadi pola, yaitu keuntungan
bagi stakeholder yang satu otomatis kerugian bagi stakeholder yang lainnya.
Dengan demikian, dalam teori yang berkaitan dengan konflik, maka perlu juga
memahami dan menilai konflik yang terjadi dari segi stakeholder yang terlibat
terkait dengan kepentingannya. Ada empat jenis stakeholder yang dapat
diperkirakan dalam menunjang analisis konflik, yaitu : (1) mereka yang menuntut
untuk memperoleh perlindungan hukum; (2) mereka yang mempunyai kunci
31
kekuatan politik; (3) mereka yang mempunyai kekuasaan dan dapat menjegal
kesepakatan yang sudah dirundingkan; dan (4) mereka yang mempunyai tuntutan
moral untuk mendapatkan simpati dari publik.
2.4.3 Tipe-Tipe Konflik
Konflik dibedakan di antara dua sumbu, yaitu sasaran dan perilaku yang
kemudian dapat menggambarkan tipe-tipe konflik yang menuntun ke berbagai
bentuk kemungkinan intervensi. Tipe konflik menurut Fisher et. al. (2000) di
bawah ini masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri.
1) Tanpa Konflik; setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika
mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup
bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta
mengelola konflik secara kreatif.
2) Konflik Laten; sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan
sehingga dapat ditangani secara efektif.
3) Konflik Terbuka; adalah yang berakar dalam dan sangat nyata, dan
memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai
efeknya.
4) Konflik di Permukaan; memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan
muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi
dengan meningkatkan komunikasi.
Berdasarkan level permasalahannya, terdapat dua jenis konflilk yaitu
konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang
dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan
makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui, sedangkan konflik horizontal terjadi
32
antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan
makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk
menentukan siapa lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).
2.4.4 Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Menurut penyebabnya, konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam atau
sumber agraria dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber agraria tersebut,
khususnya tanah dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi
dan manfaat sumberdaya alam tersebut. Bertambahnya jumlah penduduk
memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumberdaya yang sama,
yang berakibat pada munculnya konflik antar berbagai unsur masyarakat (Fuad
dan Maskanah, 2000; Mitchell et. al., 2000). Selain itu, diungkapkan pula bahwa
sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan,
sehingga insiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi
keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya,
lingkungan hidup, ekonomi, hukum dan politik menciptakan kepentingankepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada
akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan
ada suatu potensi konflik.
Faktor-faktor penyebab konflik pada umumnya berhubungan dengan isuisu utama dalam suatu konflik. Menurut Fisher et. al. (2001), isu-isu utama yang
muncul pada waktu menganalisis konflik adalah isu kekuasaan, budaya, identitas,
gender, dan hak. Isu-isu ini muncul pada waktu mengamati interaksi antar pihak
yang bertikai, yang pada suatu kesempatan tertentu akan menjadi latar belakang
konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara diam33
diam.
Selain itu, Dorcey (1986) dalam Mitchell, et. al. (2000) mengungkapkan
bahwa penyebab dasar konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam antara lain :
1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman, yang juga disebut konflik data.
Terjadi ketika kelompok kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk
mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah dan
menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda. Konflik data disebabkan
kurangnya komunikasi di antara orang-orang yang berkonflik.
2) Perbedaan nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang dipakai orang untuk
memberi arti pada hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk,
benar atau salah, adil dan tidak.
3) Perbedaan kepentingan, dapat menimbulkan konflik walaupun berbagai pihak
menerima fakta dan interpretasi yang sama serta mempunyai kesamaan nilai.
Perbedaan kepentingan ini lebih pada siapa yang diuntungkan atau siapa yang
dirugikan. Juga dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa
untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban.
4) Perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok yang berkepentingan.
Muncul emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotip, salah
komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Konflik ini
biasanya terjadi karena keterbatasan sumberdaya atau tujuan-tujuan bersama
yang eksklusif.
Di samping itu, Wiradjarjo, et. al. (eds.) (2001) sebagaimana dikutip
Ilham (2006) menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di
Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab pokok konflik atas
34
sumberdaya alam adalah konflik yang bersifat struktural. Konflik yang terjadi
ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya.
Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan
umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan
kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor
sejarah/waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta
pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu.
2.4.5 Pengelolaan Konflik
Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991
dalam Sardjono, 2004 sebagaimana dikutip Sabara, 2006), yaitu : (1) langsung
antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang
bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada
pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili
pihak lain seperti pengacara, teman, kolega dan asosiasi resmi; dan (3)
menggunakan pihak ketiga (third party), dimana peran pihak ketiga berdasarkan
inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak yang bersengketa
atau karena hak yang dimilikinya. Prosedur umum dalam rangka penyelesaian
konflik tersebut yaitu :
1) Lumping it; terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk
menekankan tuntutannya. Dengan kata lain, isu yang dilontarkan diabaikan
(simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.
2) Avoidance or exit; mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar
pertimbangannya
adalah
pada
keterbatasan
kekuatan
yang
dimiliki
(powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi
35
atau psikologis.
3) Coercion; dimana satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau
kepentingannya pada pihak yang lain.
4) Negotiation; dimana kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersamasama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga,
5) Conciliation; upaya menyatukan kedua belah pihak yang bersengketa untuk
bersama-sama
melihat
konflik
dengan
tujuan
untuk
menyelesaikan
persengketaan.
6) Mediation; dimana pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.
7) Arbitration; bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui
intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui
sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.
8) Adjudication; apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas
untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan
keputusan yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah
pihak bersengketa.
Pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga,
kebijakan dan programnya lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan
masyarakat, terutama pada masyarakat yang terlibat langsung. Harapannya adalah
sesuai dengan aspirasi, hak dan kepentingan semua pihak (stakeholder) sehingga
tidak akan menjajdi sengketa. Adapun beberapa cara lainnya yang dapat
digunakan untuk mengelola dan memecahkan konflik-konflik dapat dilihat pada
Tabel 2.
36
Tabel 2. Beberapa Alternatif Cara dalam Mengelola Konflik-Konflik
Cara-cara
Konvensional
1. Penelitian/
pengkajia/
survey
2. Dengar
pendapat
umum/
Temu
Wicara
3. Jajag
pendapat
Cara
Pasif/Sepihak
1. Menghindari
konflik
Cara-cara
Partisipatif
1. Perencanaan
partisipatif
Cara-cara
Kooperatif
1. Tawarmenawar
Cara-cara
Konfrontatif
1. Aksi sosial
2. Penerimaan
secara pasif
2. Pemecahan
masalah
secara
partisipatif
2. Arbitrase/
peleraian
2. Demonstrasi
3. Perundingan
3. Sabotase
4. Perundingan
dengan
mediasi
4. Kekerasan
3. Pengabaian/
bersikap masa
bodoh
4. Penyelessaian
sepihak
5. Penggunaan
media massa
6. Ligitasi
7. Aksi legislatif
melalui
perwakilan
Sumber : Anwar (2000a) sebagaimana dikutip Irham (2003)
2.5 Konsep Kerangka Berpikir
Penelitian ini mengkaji tentang konflik yang terjadi antara masyarakat
adat Baduy dengan masyarakat luar Baduy. Namun, akan diketahui terlebih
dahulu mengenai konsep tanah hak ulayat yang dipengaruhi oleh persepsi
masyarakat adat Baduy dan luar Baduy. Kemudian konsep tanah hak ulayat
tersebut dipadukan dan dikuatkan dengan pernyataan Van Vollenhoven (1909)
serta mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001
(Bab 1 Pasal 1) tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Dengan adanya persepsi yang muncul dari masyarakat adat Baduy dan luar
Baduy, maka dapat diketahui penjelasan mengenai status dan fungsi tanah hak
ulayat pada kawasan hutan lindung yang merupakan hutan larangan bagi
37
masyarakat adat Baduy.
Sumberdaya hutan yang melimpah akan mendorong pihak tertentu untuk
memanfaatkannya. Hal ini terdorong pula oleh peningkatan kebutuhan hidup yang
tidak terbatas akan tanah, sehingga memberikan lapangan usaha bagi pihak yang
berkepentingan. Dengan demikian, hal tersebut menimbulkan ancaman bagi
kelestarian hutan. Berkaitan dengan keberadaan sumberdaya alam seperti lahan
pertanian yang relatif tetap, sedangkan pengusahaan dilakukan terus-menerus,
maka akan terjadi penurunan kualitas yang terus-menerus pula. Dengan demikian,
batas daya dukung lingkungan di wilayah Baduy dimungkinkan akan segera
terlampaui. Hal ini yang merupakan pemicu terjadinya konflik termasuk
munculnya keresahan warga Baduy.
Konflik yang meresahkan masyarakat adat Baduy ini terjadi sejak tahun
1950, dan masih tetap merajalela hingga tahun 2007 meskipun sudah pernah
dilakukan berbagai upaya penyelesaian konflik sejak tahun 1985, dimana tokoh
adat meminta proses percepatan sengketa tanah atas pihak yang telah melakukan
penyerobotan dan penebangan liar. Konflik ini terjadi karena pengaruh batas alam
berupa sungai (cai) yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berbatasan dengan
Baduy, sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan ladang/sawah yang
dikelolanya. Namun batas tanah ulayat tersebut belum dinyatakan sah karena tidak
ada pengaturan dari pemerintah Kabupaten Lebak khususnya Badan Pertanahan
Nasional. Sehingga, batas tanah ulayat saat ini hanya ditandai dengan pagar atau
kawat berduri. Meskipun demikian, penyerobotan berupa penebangan kayu di
hutan, mengerjakan ladang dengan tanaman yang sebetulnya dilarang ditanam di
kawasan Baduy masih terjadi hingga penggembalaan hewan ternak pun saat ini
38
mengancam keamanan dan kenyamanan hidup warga Baduy.
Konflik yang terjadi di Baduy mengakibatkan berbagai dampak sosial
bagi kehidupan warga Baduy, terutama bencana alam yang semakin terasa oleh
warga setempat, seperti banjir, longsor ataupun erosi. Oleh karena itu, perlu ada
suatu upaya penyelesaian untuk meredakan konflik yang terjadi. Upaya tersebut
dapat berupa kesepakatan-kesepakatan antar pihak yang berkonflik dengan cara
musyawarah dan menandatangani surat perjanjian untuk tidak mengulangi
penyerobotan lagi, bahkan upaya pelaporan ke pihak kepolisian pun sudah
dilakukan. Namun, hal tersebut tidak membuat jera masyarakat luar Baduy dalam
memanfaatkan tanah ulayat untuk penggembalaan hewan ternak di kawasan
Baduy. Berikut disajikan bagan alur kerangka pemikiran dalam Gambar 3.
39
Konsep Tanah Hak Ulayat Baduy
pada Kawasan Hutan Lindung
Van Vollenhoven
(1909) :
Beschiking Recht
Kerancuan
batas tanah
ulayat oleh
alam dan BPN
Konflik
Persepsi Masyarakat Adat Baduy
Peraturan Daerah Kabupaten
Lebak No. 32 Tahun 2001
tentang Perlindungan Atas Hak
Ulayat Masyarakat Baduy
Status dan Fungsi Tanah Hak Ulayat
pada Kawasan Hutan Lindung
Penyerobotan Tanah Hak Ulayat Baduy
pada Kawasan Hutan Lindung oleh
Masyarakat Luar Baduy
Dampak Sosial :
• Masyarakat kecewa terhadap
Pemerintah
• Masyarakat gelisah dan khawatir
akan hidupnya di masa datang
• Terancamnya kesejahteraan
masyarakat adat Baduy
• Semakin banyak terjadi bencana
sehingga masyarakat menderita
Penggembalaan hewan
ternak masih berjalan
Upaya Penyelesaian Konflik
Keterangan :
Saling Berhubungan
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran
40
2.6 Hipotesis Pengarah
Berdasarkan perumusan masalah penelitian, maka dapat dibuat hipotesis
pengarah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Bahwa tanah ulayat diduga merupakan sumber mata pencaharian, di samping
memiliki nilai magis-religius bagi masyarakat adat Baduy sehingga harus
dijaga, dikelola, dipelihara dan dilestarikan.
2) Ketika di hutan terjadi penyerobotan pada kawasan tanah ulayat Baduy, maka
warga Baduy akan merasa terganggu dan terancam kenyamanan hidupnya dan
diduga akan melakukan perlawanan sehingga akhirnya menimbulkan konflik.
3) Untuk mengatasi konflik tersebut, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor
32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy sudah
cukup memadai dalam menjelaskan mengenai kepemilikan/penguasaan serta
pemanfaatan dan batasannya. Di samping itu, dilakukan pula upaya
penyelesaian konflik melalui musyarakat mufakat/perjanjian di antara pihak
bersengketa.
2.7 Definisi Konseptual
Adapun definisi yang penulis gunakan dalam operasional penelitian,
yaitu :
1) Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
41
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan.
2) Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu.
3) Hutan lindung adalah hutan yang mempunyai keadaan alam demikian rupa
sehingga pengaruhnya yang baik terhadap tanah, alam sekelilingnya, dan tata
air, perlu dipertahankan dan dilindungi. Pada masyarakat adat bisa juga
dikatakan sebagai “hutan larangan”.
4) Masyarakat adat dalam arti sosiologis, adalah masyarakat yang tergolong
sebagai persekutuan hidup yang didasarkan pada ikatan kekerabatan turuntemurun (geneologis) dan/atau teritori yang didasarkan atas kesepakatankesepakatan bersama karena memiliki asal usul leluhur yang sama.
5) Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri
kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum.
6) Masyarakat Luar Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di luar di
Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, yaitu Desa Kebon
Cau, Blok Cijahe, Kecamatan Bojongmanik.
7) Persepsi adalah suatu gambaran pengertian serta interpretasi seseorang
mengenai suatu obyek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan
informasi itu dengan dirinya dan lingkungan ia berada.
8) Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang
42
tidak sejalan.
9) Tipe konflik yang dimaksud adalah macam-macam konflik di antaranya tanpa
konflik, konflik laten, konflik terbuka dan konflik di permukaan.
10) Penyebab konflik yaitu segala sesuatu yang menyebabkan konflik terjadi,
terdiri dari kekuasaan, budaya, identitas, gender, dan hak yang kemudian
dikaitkan dengan perbedaan pengetahuan atau pemahaman, nilai, kepentingan
dan latar belakang individu.
11) Upaya penyelesaian konflik adalah suatu usaha dan daya dalam meredam
konflik sehingga ketegangan menurun yaitu melalui lumping it, avoidance or
exit, coercion, negotiation, mediation, arbitration, adjudication.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Strategi Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode pendekatan kualitatif.
Metode kualitatif ini mengambil fakta berdasarkan pemahaman subjek penelitian
(vertehen) (Sitorus, 1998). Dalam kasus konflik tanah ulayat ini, peneliti
menekankan pada bentukan sosial realitas yang terjadi di Desa Kanekes,
hubungan akrab antara peneliti dengan subyek peneliti, serta kendala-kendala
situasional yang terjadi di lapangan.
Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus yang merupakan suatu
strategi penelitian multimetode-lazimnya memadukan teknik pengamatan,
wawancara dan analisis dokumen (Sitorus, 1998). Jenis studi kasus yang
digunakan adalah intrinsik untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik
tentang suatu kasus khusus. Jadi, alasan peneliti memilih kasus tersebut karena
dengan segala keunikan yang dimiliki kasus ini, peneliti tertarik sehingga
mendapatkan pemahaman tentang persepsi masyarakat adat Baduy dan luar Baduy
tentang tanah hak ulayat Baduy. Studi kasus instrumental pun digunakan oleh
peneliti untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu
fenomena konflik terjadi. Penelitian ini mengandung eksplanasi, dimana peneliti
bermaksud menjelaskan konflik hak ulayat masyarakat adat Baduy pada kawasan
hutan lindung berikut faktor-faktor yang mempengaruhinya serta upaya
penyelesaian konflik tersebut.
44
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Wilayah Baduy yang memiliki luas 5.101,85
hektar, dengan jumlah masyarakat Baduy sekitar 7.265 jiwa bertempat di kawasan
hutan Gunung Kendeng. Kampung Cibeo dan Cikeusik (Baduy Dalam), serta
Kampung Gajeboh dan Kadu Ketug (Baduy Luar) yang berada di kawasan Desa
Kanekes merupakan pusat lokasi penelitian (lihat Lampiran 1). Alasan pemilihan
lokasi tersebut karena masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes adalah
masyarakat yang terlibat dalam konflik hak ulayat serta mengetahui proses
terjadinya konflik.
Survai lokasi penelitian ini dimulai awal Bulan Januari hingga Bulan
April 2008. Adapun tahap awal pra-penelitian dimulai sejak awal Bulan Januari
2008, guna mencari data awal untuk menentukan tema, masalah, tujuan, dan unit
analisis yang akan diteliti. Pada Bulan April 2008 peneliti melakukan studi
literatur (pengambilan data sekunder), dan peneliti survai ke lokasi untuk yang
kedua kalinya. Adapun pelaksanaan penelitian ini efektif dilakukan selama Bulan
Mei hingga pertengahan Bulan Juni 2008 (lihat Lampiran 2). Pengambilan data
lapangan yang dilaksanakan selama 1,5 bulan ini berdasarkan berbagai
pertimbangan :
1. Di Bulan Mei hingga pertengahan Bulan Juni, masyarakat Baduy sedang dalam
masa istirahat, tidak ada kegiatan bertani ataupun berhuma sehingga mudah
untuk menemui informan maupun responden.
2. Dalam waktu 1,5 bulan, data dari lapang dapat terkumpul dengan lengkap
45
untuk menganalisis permasalahan yang bersangkutan.
Kemudian pada akhir Bulan Juni 2008, peneliti kembali ke lokasi untuk
mencari data tambahan yang terkait dengan kekurangan data pada saat
pengumpulan data. Pada awal hingga pertengahan Bulan Juli 2008, dilakukan
input data, pengolahan data, interpretasi, serta penyusunan laporan skripsi.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan warga
Baduy yang ditemui saat penelitian berlangsung (lihat Lampiran 3) serta melihat
status dan pengaruhnya di lingkungan masyarakat adat Baduy. Informan dan
responden dipilih secara purposif dengan jumlah sebanyak 12 orang. Wawancara
mendalam yang dimaksud adalah “temu muka” secara berulang antara peneliti
dan tineliti dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai tanah hak ulayat
Baduy, status dan fungsinya bagi tineliti serta kondisi hutan sebelum dan sesudah
terjadi konflik sebagaimana yang diungkapkannya dengan bahasa sendiri. Di
samping itu, peneliti pun meminta informan kunci untuk merekomendasikan
pihak lain yang bisa diwawancarai. Namun tidak semua informan dapat ditemui
karena keterbatasan waktu penelitian dan jenuhnya data yang telah didapat. Data
jenuh yang peneliti maksud adalah data dimana peneliti telah cukup yakin akan
kebenarannya karena beberapa informan maupun responden telah memberikan
data yang serupa (red : masyarakat adat bersifat homogen).
Peneliti pun melakukan pengamatan secara partisipatif di lapang kepada
tokoh-tokoh adat dan kondisi tanah hak ulayat dan hutan. Dengan demikian,
46
peneliti dapat melihat, merasakan, dan memaknai kawasan Baduy dengan ragam
peristiwa dan gejala sosial yang terjadi sesuai dengan apa yang dilihat, dirasakan,
dan dimaknai oleh tineliti sehingga memungkinkan membentuk pengetahuan
secara bersama antara peneliti dan tineliti (lihat Lampiran 4). Pada pengamatan
berperan serta yang terbatas, peneliti tidak merahasiakan identitasnya, bahkan
mengeluarkan alat perekam suara (saat wawancara mendalam) untuk digunakan
agar peneliti tidak lupa terhadap ucapan tineliti serta kamera untuk mengambil
gambar.
Adapun sumber data sekunder diambil dari data Desa Kanekes mengenai
kasus tanah hak ulayat berupa lembaran-lembaran perjanjian yang ditandatangani
berbagai pihak terkait yang dapat digunakan untuk penggambaran waktu kejadian
dan peristiwanya. Data pun diperoleh dari instansi-instansi seperti Badan
Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak (Perda Kab. Lebak No.32/2001 dan Pola
Pembinaan Masyarakat Baduy), Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Lebak,
dimana peneliti mewawancarai pihak yang mengurusi sengketa tanah, namun
tidak begitu banyak data yang diperoleh. Sehingga peneliti pun mencari data di
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata; serta laporan-laporan
penelitian (buku/jurnal/skripsi) dan data dari situs internet (website) terkait dengan
konflik tanah hak ulayat Baduy.
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan semenjak pengumpulan data sekunder sampai
data primer di lapangan. Data yang diperoleh untuk mengidentifikasi persepsi
masyarakat adat terhadap konsep tanah hak ulayat di kawasan hutan lindung.
47
Kemudian data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, analisis dokumen/
literatur
direduksi
melalui
proses
pemilihan,
pengkategorian
data-data
berdasarkan kepentingan sub-bab yang dibahas, disesuaikan dan dijabarkan secara
subyektif dengan sudut pandang informan dan responden, kemudian mengkode
dan menelusuri tema-tema serta penggugusan berdasarkan keperluan penelitian.
Kemudian data disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan (langsung
maupun tidak langsung) dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan. Selain
itu, data yang ada disajikan dalam bentuk teks naratif-deskriptif maupun tabel. Hal
ini dilakukan agar informasi yang diperoleh dapat memudahkan melihat konflik
hak ulayat yang terjadi serta upaya penyelesaian yang pernah dilakukan, serta
memudahkan untuk melakukan proses penarikan kesimpulan melalui verifikasi
setelah penyajian data tersebut dilakukan.
BAB IV
KONDISI UMUM
LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT BADUY
4.1 Kondisi Fisik
4.1.1 Letak Geografis
Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih teguh
dalam mengikuti adat tradisi, yaitu Suku Baduy atau lebih suka disebut orang
Kanekes atau orang Baduy. Mereka merupakan suatu kelompok masyarakat adat
Sunda yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Perkampungan masyarakat Baduy terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di
Pegunungan Kendeng, wilayah Selatan Banten. Letaknya sekitar 172 km di
sebelah barat ibukota Jakarta, dan sekitar 65 km sebelah Selatan Serang, ibukota
Propinsi Banten, dan berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Apabila
ditempuh dari kota Rangkasbitung, terdapat bis jurusan Rangkasbitung –
Ciboleger, merupakan terminal dari tempat akhir pemberhentian menuju ke Desa
Kanekes. Perjalanan dari Rangkabitung ke tempat tujuan dapat ditempuh sekitar
1-1,5 jam tergantung kondisi di perjalanan. Sedangkan dari terminal Ciboleger ke
Desa Kanekes dapat ditempuh dengan berjalan kaki yang berjarak ± 300 m.
Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan
ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut (dpl) tersebut mempunyai topografi
berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%,
yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian
49
tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Jenis tanah berupa latosol coklat,
aluvial coklat dan andosol. Adapun curah hujan mencapai 4.000 mm/tahun
dengan suhu rata-rata 20°C. secara geografis, Desa Kanekes terletak pada
6o27’27’-6o30’ Lintang Utara (LU) dan 108o3’9’’-106 o4’55’’ Bujur Timur (BT).
Wilayah Baduy memiliki luas 5.101,85 hektar yang terdiri dari 3.127
hektar Baduy Dalam dan 1.975 hektar Baduy Luar. Berdasarkan data sensus
kependudukan sampai dengan 26 Maret 2004, populasi warga Baduy (Luar dan
Dalam) berjumlah 1.865 kepala keluarga (KK) atau sekitar 7.265 jiwa yang
tersebar di 59 dusun/kampung, dengan jumlah laki-laki 3.636 jiwa dan jumlah
perempuan 3.629 jiwa. Sedangkan berdasarkan laporan hasil Juru Tulis Desa
Kanekes Tahun 2005, jumlah penduduk Baduy secara keseluruhan sebanyak
10.074 jiwa. Terdiri dari 5.086 orang laki-laki dan 4.988 orang perempuan,
dengan jumlah kepala keluarga yaitu 2.665 KK. Jumlah penduduk Baduy
bertambah lagi hingga tahun 2006 menjadi 10.879 jiwa, yang terdiri dari 5.486
orang laki-laki dan 5.414 orang perempuan dengan jumlah 2.905 KK. Data jumlah
penduduk Baduy dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Baduy pada Tahun 2004, 2005 dan 2006
No.
Tahun
Jumlah Kepala
Keluarga (KK)
Laki-laki
(Jiwa)
Perempuan
(Jiwa)
Jumlah Total
(Jiwa)
1.
2004
1.865
3.636
3.629
7.265
2.
2005
2.665
5.086
4.988
10.074
3.
2006
2.905
5.486
5.414
10.879
Masyarakat Baduy yang berada di Desa Kanekes terbagi menjadi dua
kelompok. Masyarakat Kajeroan/Tangtu yang dikenal dengan nama Baduy Dalam
menempati tiga kampung yang dipimpin oleh seorang Puun sebagai pemimpin
50
adat tertinggi masyarakat Baduy. Kelompok lainnya adalah Penamping atau
Baduy Luar yang hidup lebih terbuka dan sudah terbiasa berinteraksi dengan
masyarakat lain namun tetap dengan batasan-batasan tertentu. Baduy Dalam dan
Baduy Luar hidup dalam satu kesatuan yang diikat oleh tata nilai dan sistem
budaya yang sama. Adapun perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar
adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Perbedaan Baduy Dalam dan Baduy Luar
No.
Perbedaan
Baduy Dalam
Baduy Luar
1.
Cara
Berpakaian
Putih-hitam
Hitam-hitam (mayoritas), tetapi
sudah ada yang berpakaian bebas
2.
Teknologi
Tidak boleh memakai barang
elektronik
Sudah banyak yang memiliki
barang elektronik (handphone,
radio)
3.
Rumah
Berpintu satu, tidak menggunakan
paku, tanah tempat membangun
rumah tidak diratakan, terdiri dari
satu kamar
Pintu lebih dari satu (depan,
belakang/samping), sudah
menggunakan paku, tanah
diratakan dan banyak penyekat
ruangan
4.
Mata
Hanya ngahuma (berladang) dan
Ngahuma dan berdagang serta
Pencaharian
mulai berdagang
bisnis
5.
Pemilikan
Lahan
Tidak ada (lahan milik bersama),
turun-temurun
Ada hak kepemilikan pribadi
6.
Kesehatan
Hanya menggunakan obat-obatan
dari alam
Banyak menggunakan obat
modern
7.
Perilaku
terhadap Alam
Tidak menggunakan bahan yang
mengandung zat kimiawi
Banyak menggunakan bahan
yang mengandung zat kimia
Adapun batas-batas wilayah Baduy, sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan atas Hak
Ulayat Masyarakat Baduy, Bab III, Pasal 6
yang menyatakan bahwa Desa
Kanekes memiliki batas-batas desa yaitu di antaranya dengan Kecamatan
Leuwidamar di bagian sebelah utara, berbatasan dengan Desa Bojongmenteng,
Desa Cisimeut dan Desa Nayagati. Di sebelah Barat, Desa Kanekes berbatasan
51
dengan 3 desa di Kecamatan Bojongmanik yaitu Desa Parakan Beusi, Desa Kebon
Cau dan Desa Karang Nunggal. Di bagian selatan, Desa Kanekes berbatasan
dengan satu kecamatan yaitu Kecamatan Cijaku, Desa Cikate. Di sebelah timur,
Desa Kanekes berbatasan dengan Kecamatan Muncang, tepatnya dengan Desa
Karang Combong dan Desa Cilebang.
Demikian pula pada Bab III, Pasal 7 menyatakan bahwa wilayah
Masyarakat Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam.
Batas alam yang menjadi tanda suatu kawasan tertentu, di antaranya sebelah utara
yaitu Kali Ciujung sebagai batas alam antara Desa Kanekes dengan desa-desa
lainnya. Di sebelah selatan terdapat Kali Cidikit, dan di sebelah Barat terdapat
Kali Cibarani serta Kali Cisimeut di bagian timurnya.
Gambar 2. Peta Kabupaten Lebak
52
4.1.2 Pola Tata Ruang Lahan
Lahan hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem yang berisi
sumberdaya alam hayati, serta didominasi pepohonan besar dan sudah tua.
Sumberdaya hutan merupkan suatu ekosistem alam yang mengandung unsurunsur sumberdaya alam dan manusia, yang mempunyai saling ketergantungan
satu sama lainnya. Oleh karena itu, hutan harus diusahakan dan dimanfaatkan
secara bijak untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dengan tetap
menjaga kelestariannya, karena hutan memiliki fungsi ekonomi dan fungsi
perlindungan lingkungan. Berdasarkan pola pengelolaan tata ruangnya, kawasan
Baduy secara umum dibedakan menjadi tiga, yaitu zona permukiman, zona
pertanian ladang dan hutan sekunder bekas ladang, serta zona hutan lindung/hutan
titipan.
Zona pertama yaitu daerah permukiman, khusus diperuntukkan bagi
permukiman penduduk berupa rumah-rumah tradisional di daerah-daerah lembah,
dekat sumber air, seperti pinggiran sungai dan dekat sumber air tanah. Di sekitar
permukiman, biasanya ditumbuhi aneka ragam tanaman buah-buahan dan kayukayuan yang tumbuh liar, setengah liar, atau masih liar. Hutan antropogenik di
daerah kampung yang rimbun menyerupai struktur vegetasi hutan alami, biasa
disebut sebagai dukuh lembur atau leuweung lembur. Di daerah dukuh lembur
tersebut, di bawah pepohonan rindang, biasanya ditempatkan lumbung padi
tradisional (leuit).
Menurut pikukuh/peraturan adat Baduy, dukuh lembur tidak boleh
dirusak dan ditebangi karena dianggap sebagai perlindungan kampung dan
sekaligus menghasilkan aneka ragam buah-buahan untuk kepentingan sosial
ekonomi penduduk. Di pinggiran-pinggiran rumah-rumah yang menyusun
kampung tersebut, di bawah pepohonan kayu dan rumpun-rumpun bambu,
umumnya banyak ditemukan mata air yang keluar dari tanah (cai nyusu). Pada
beberapa tempat mata air tersebut, biasanya dibuat pancuran air yang
dimanfaatkan untuk tempat mandi dan mencuci serta mengambil air minum. Di
samping itu, sungai besar yang ternama di Banten yaitu Sungai Ciujung, lazim
dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, dan buang air, serta dimanfaatkan untuk
mengambil ikan dengan berbagai cara, seperti dijala (dikecrik), dipasang
perangkap ikan dari bambu (dibubu), dan ditangkapi dengan menyelam
(diteuleuman di leuwi). Mereka tabu menangkap ikan dengan menggunakan racun
dan bahan peledak. Kawasan yang didiami masyarakat Baduy dialiri puluhan
sungai-sungai yang terus mengalirkan air bening sepanjang tahun. Aliran ini
begitu lancar, bahkan tidak mengering di musim kemarau.
Pada zona kedua, bagian luar permukiman penduduk, biasanya di atas
lembah-lembah bukit, diperuntukkan bagi perladangan berpindah (huma). Oleh
kerena itu, di zona ini terdapat daerah-daerah ladang dan daerah hutan bekas
ladang yang diberakan (reuma) dengan berbagai umur masa bera.
Pada zona ketiga, berupa daerah-daerah puncak bukit, biasanya diperuntukkan bagi konservasi hutan, berupa hutan tua yang tidak pernah dibuka
dijadikan ladang. Daerah-daerah hutan tua tersebut biasanya disebut ‘hutan
titipan’ (leuweung titipan) atau ‘hutan tua’ (leuweung kolot).
Dari segi penggunaan lahan, daerah-daerah pemukiman seluas 24,50 ha
(0,48%), hutan tetap 2.492, 06 ha (48,85 %), daerah pertanian yang ditanami
54
709,04 ha, dan daerah pertanian yang diberakan 1.876,25 ha (36,67%). Adapun
penggunaan lahan di hutan masyarakat adat Baduy dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 5. Tata Guna Lahan Desa Kanekes pada Tahun 2001
No
Jenis Penggunaan
Luas (Ha)
Presentasi (%)
1
Hutan Tutupan
2.609,7
51,2
2
Hutan Garapan
2.492,1
48,8
5.101,8
100
Jumlah
Pada Tabel 5 terlihat bahwa hutan tutupan lebih luas daripada hutan
titipan. Masyarakat Baduy memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Mulai dari kegiatan pertanian, yaitu menanam padi dan tanaman
lainnya seperti tanaman sayuran maupun tanaman keras seperti jagung, durian,
petai dan kelapa. Kegiatan penanaman ini dikenal dengan ngahuma. Huma
merupakan bentuk pola mata pencaharian dengan menggunakan sistem teknik
bertani tebang dan bakar yang dilakukan pada lahan kering. Keadaan tanah
dengan kemiringan 45%, dilakukan dengan teknik penanaman nganugal9.
Ngahuma ini dilakukan dengan cara berpindah-pindah. Hasil panen padi, selain
untuk dimakan sehari-hari juga disimpan dalam lumbung padi yang disebut leuit.
Menurut Garna (1993), warga Baduy di 10 tahun terakhir ini berdagang pakaian
dan rokok, serta jajanan-jajanan anak-anak kecil yang dijual di salah satu rumah
warga Baduy.
55
4.2 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Baduy
4.2.1 Kepercayaan atau Religi
Berdasarkan asal-usulnya, masyarakat adat Baduy mengakui bahwa
mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang
diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Oleh karena itu, orang Baduy menyebut
agama yang dianutnya adalah Agama Sunda Wiwitan (Agama Sunda Pertama)
atau Agama Islam Sunda atau disebut juga Agama Nabi Adam. Dengan agamanya
itu orang Baduy mengakui akan adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut
9
Nganugal adalah cara penanaman dengan membuat lubang pada tanah dengan menggunakan tongkat kayu.
“Batara Tunggal”, mengakui akan Nabi Adam, Nabi Muhammad dan Syahadat
Agama Islam.
Agama Sunda Wiwitan mengajarkan bahwa kedudukan manusia itu telah
ditentukan kedudukannya dan telah ditentukan pula tempatnya masing-masing.
Manusia hidup di dunia ini tidak boleh berlebihan mencari kesenangan, cukup
menerima yang sudah ada saja, dan yang dituju di dalam hidup adalah kebajikan
dan kebaikan. Kebajikan tersebut dicapai dengan jalan mentaati ketentuanketentuan yang sudah dikodratkan dan mentaati segala ketentuan yang diberikan.
Hidup menurut ketentuan atau kodrat, berarti hidup apa adanya, hidup sederhana
dengan segala kesenangan dan kesederhanaannya merupakan dasar yang kuat
dalam memandang apa yang seharusnya alam berikan kepada manusia. Walaupun
masyarakat Baduy pada umumnya mengaku menganut agama “Sunda Wiwitan”,
56
akan tetapi mereka menganut Agama Islam karena mengucapkan syahadat.
Lembah, muara, hulu sungai, puncak gunung, jantung hutan, gua, danau,
dan kedung serta tempat-tempat yang dianggap angker di Baduy, dianggap
memiliki kekuatan gaib. Contohnya, Panembahan Arca Domas merupakan tempat
penjiarahan yang sangat dikeramatkan, dimana berkumpul ruh-ruh nenek moyang,
dan dijadikan tempat pemujaan yang sangat disucikan. Namun tidak boleh
sembarang orang dapat melihatnya. Masyarakat Baduy hanya perlu meyakininya.
Masyarakat Baduy Dalam yang tidak terpengaruh kebudayaan luar,
meskipun saat ini sudah mulai luntur, namun tetap melakukan doktrin-doktri
sebagai kewajibannya, yaitu :
1. Memelihara Sasaka Pusaka Buana (Sasaka Domas)
2. Memelihara Hyang
3. Mengasuh Ratu memelihara Menak
4. Bertapa bag kesejahteraan pusat dunia
5. Meyelenggarakan dan menghormati upacara membuat Laksa
Djoewisno (1987) menyatakan bahwa orang Baduy berpegang teguh
pada pedoman hidupnya yang dikenal dengan Dasasila (10 pengertian), yaitu :
1.
Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membunuh sesama manusia)
2.
Moal mibanda pangabogan nu lian (tidak mencuri dan merampas)
3.
Moal linyok, moal bohong (tidak ingkar dan tidak menipu)
4.
Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak melibatkan diri pada
minuman yang memabukkan)
5.
Moal midua ati kanu sejen (tidak menduakan hati pada orang lain atau
berpoligami)
6.
Moal barangdahar dina waktu nu kakurung ku peuting (tidak makan setelah
matahari terbenam)
7.
57
Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tida memakai bunga-bung dan
harun-haruman untuk menghiasi diri)
8.
Moal ngagunah-geunah geusan sare (tidak melepaskan diri dalam tidur dan
selalu ingat dalam keadaan bangun)
9.
Moal nyukakeun ati ku igel, gamelan, kawih atawa tembang (tidak
menyenangkan hati dengan tari, tabuhan, nyanyi atau senandung gembira
yang bisa melupakan diri)
10. Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas permata yang bisa
membuat orang lain iri dan dengki)
4.2.2 Bahasa dan Pendidikan
Dalam berkomunikasi dengan sesama warga, bahasa digunakan oleh
masyarakat adat Baduy adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar masyarakat Baduy lancar menggunakan
Bahasa Indonesia, walaupun tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari
sekolah. Masyarakat Baduy terutama Baduy Dalam tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Bahkan pikukuh/peraturan adat pun tidak
secara mutlak tertulis. Mereka hanya diperbolehkan belajar dari pengalaman,
sedangkan sekolah atau semacamnya dilarang. Kebalikan dari masyarakat baduy
Dalam, pada masyarakat Baduy Luar sudah mulai ada yang mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi. Namun tidak menuntut kemungkinan pula, bahwa
dengan semakin banyak warga luar Baduy yang berkunjung ke Baduy, maka
semakin banyak pula perubahan yang terjadi, mulai dari pelanggaran terhadap
pikukuh mengenai baca tulis, ataupun pakaian dan alat makan. Hal ini tidak lain
pengaruh dari luar.
58
4.2.3 Interaksi Masyarakat Baduy
Hubungan antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar Baduy, baik
pengunjung biasa maupun anak-anak yang sedang mengisi liburan sekolahnya,
maka interaksi yang terjadi dengan dunia luar yaitu dalam hal perniagaan,
kunjungan wisatawan, perluasan area pertanian dan pertambahan penduduk.
Misalnya saja ada kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Baduy
secara rutin melaksanakan "seba" ke Kesultanan Banten. Hingga saat ini, upacara
Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi
(padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian,
penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar Baduy, misalnya
dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang dilakukan sudah menggunakan mata uang rupiah
biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi masyarakat Baduy terletak di luar wilayah
Baduy seperti Pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger. Bahkan tidak jarang pula
mereka berbelanja keperluan sehari-hari ke pasar Rangkasbitung.
4.2.4 Sikap dan Perilaku Masyarakat Baduy terhadap Lingkungan
Masyarakat Baduy menganggap bahwa lingkungan tidak boleh berubah
sama sekali. Seperti ungkapan tokoh masyarakat Baduy yang mengenal prinsip
“tanpa perubahan apapun”. Ini tercermin dari peribahasa mereka, yaitu :
Lojor teu meunag dipotong
Panjang tidak boleh dipotong
Pondok teu beunang disambung
Pendek tidak boleh disambung
Gunung teu beunang dilebur
Gunung tidak boleh dihancurkan
Lebak teu beunang dirakrak
Lembah tidak boleh dirusak
Buyut teu meunang dirobah
Pantangan tidak boleh diubah
59
Masyarakat Baduy juga menganggap bahwa wilayah kanekes merupakan
inti jagat. Lingkungan hanya boleh diolah untuk kegiatan berladang, namun tidak
boleh sembarangan karena memiliki peraturan mengenai kegiatan berladang.
Begitupun terhadap warga luar Baduy, mereka dilarang mengambil hasil hutan
sembarangan dengan penebangan secara bebas atau menyerobot hutan.
4.2.5 Sistem Pemerintahan
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yakni sistem
nasional yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem
tradisional (adat) yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Dalam
sistem nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Desa Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah (awalnya disebut jaro
warega, dan pada jaman kolonial disebut jaro gubernemen). Sedangkan secara
tradisional, pemerintahan pada masyarakat Baduy bercorak kesukuan disebut
kapuunan, karena puun merupakan pimpinan tertinggi. Ada tiga orang puun di
wilayah Baduy, masing-masing Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun
Cikartawana, yang merupakan “tritunggal”. Para puun dibantu oleh jaro
(pelaksana harian kapuunan), girang seurat (pemangku adat), baresan
(keamanan), dan tangkesan (kepala dukun). Di Baduy Luar tidak ada puun,
pemimpin tertinggi di sini dipegang oleh jaro (sebagai kepala kampung) beserta
pembantu-pembantunya yang dinamakan panggiwa, carik, dan kokolot lembur
atau tetua kampung (Garna, 1993) (lihat Lampiran 7).
BAB V
PERSEPSI MASYARAKAT ADAT BADUY TENTANG
KONSEP TANAH ULAYAT DI KAWASAN BADUY
5.1 Persepsi Terhadap Nilai Sumberdaya Hutan Lindung
Masyarakat adat Baduy merupakan masyarakat yang dapat hidup dengan
harmonis, baik dalam pergaulan dengan masyarakat Baduy itu sendiri, dengan
masyarakat luar Baduy atau dengan lingkungan alam dimana mereka bertempat
tinggal. Dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari guna memenuhi
kebutuhan hidupnya, masyarakat adat Baduy tinggal di sebuah kawasan hutan
yang merupakan hutan garapan yang dapat dimanfaatkan sebagai pemukiman,
serta mampu menghasilkan bahan makanan pokok terutama padi.
Masyarakat adat Baduy mengenal dua macam hutan, yaitu hutan garapan
dan hutan lindung. Sedangkan yang dimaksud dengan tanah ulayat, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya yaitu seluruh kawasan Baduy, Desa Kanekes,
termasuk hutan garapan dan hutan lindung atau yang dikenal oleh masyarakat adat
Baduy adalah hutan tutupan. Pengertian hutan tutupan atau hutan tetap adalah
hutan yang tak boleh digarap oleh masyarakat adat Baduy sendiri yang memiliki
luas sebesar ±3.000 hektar dari keseluruhan luas tanah ulayat Baduy sebesar
5.136,8 hektar. Pernyataan tanah ulayat ditegaskan pula oleh pendapat salah
seorang informan berikut.
“Tanah di Baduy semua adalah tanah ulayat. Ada yang dimanfaatkan oleh warga Baduy,
tapi sesuai aturan. Tapi tanah tutupan lain lagi, di Gunung Cibeo dan Cikeusik, kayu itu
tidak boleh diambil”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar)
Tidak hanya itu, masyarakat adat Baduy memiliki keyakinan bahwa
hutan merupakan titipan Gusti Allah yang harus dijaga. Bagi Suku Baduy, hutan
61
larangan sangat sakral. Hanya para puun (pimpinan) dan jaro (pengurus kampung)
yang diperbolehkan mengunjungi hutan tersebut. Konon, di hutan larangan itu
terdapat tempat pemakaman para karuhun (sesepuh dan pimpinan Suku Baduy
yang telah meninggal). Diyakini, para karuhun itu sering menyampaikan pesan
kepada puun berkaitan kemaslahatan Suku Baduy. Seperti pernyataan salah
seorang informan berikut.
“Di Baduy kepercayaannya ka Gusti Allah. Tanah ulayat titipan karuhun dan Gusti Allah.
Yang dahulunya ada lapisan manusia, sekarang sudah tidak ada disebut karuhun”. (Bapak
Srm (L), Panggiwa/Pembantu Jaro)
Sumberdaya hutan di Baduy merupakan faktor penting dalam keamanan
dan kesejahteraan masyarakat adat Baduy. Karena hasil-hasil hutan yang ada
dapat langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat adat Baduy.
Hutan merupakan sumberdaya yang mampu untuk menjaga kelestarian sumber air
(tempat penyimpanan air) bagi kampung-kampung sekitar bahkan untuk
kepentingan seluruh masyarakat baik di Banten, maupun propinsi lain bahkan
seluruh dunia. Selain itu, sumberdaya hutan mampu menangkal bahaya erosi dan
banjir, bahkan sebagai pelindung dari angin besar. Hal yang sudah pasti, bahwa
hutan mengandung kekayaan alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat. Berikut kutipan dari beberapa informan.
“Hutan lindung banyak manfaatnya, tidak hanya untuk warga Baduy tapi juga untuk
bangsa”. (Bapak Msd (L), Wakil Jaro Tangtu (Baduy Dalam)).
“Tanah ulayat memberi manfaat. Kehidupan masyarakat Baduy tercukupi, ada bahan-bahan
hasil tani. Tanah ulayat manfaatnya kaseluruh dunia, tidak hanya untuk orang Baduy.
Tanah ulayat Baduy paru-parunya alam. Gunung nu aya di Baduy Dalam eta ngarupakeun
2 sumber air besar nyaeta Ciujung jeung Ciberang. Aya hutan larangan nu bisa nangkal tina
angin mun aya hujan”. (Bapak Srm (L), Panggiwa/Pembantu Jaro)
Terjemahan bebas :
Tanah ulayat memberi manfaat. Kehidupan masyarakat Baduy tercukupi, ada bahan-bahan
hasil tani. Tanah ulayat manfaatnya keseluruh dunia, tidak hanya untuk orang Baduy.
Tanah ulayat Baduy paru-parunya alam. Gunung yang ada di Baduy Dalam itu merupakan
2 sumber air besar yaitu Ciujung dan Ciberang. Ada hutan larangan yang bisa mencegah
62
dari angin apabila ada hujan.
Untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan daerah yang dialiri
sungai tersebut, maka masyarakat Baduy yang bermukim di wilayah tersebut
ditabukan untuk bercocok tanam dengan cara mengolah lahan seperti membuat
petak sawah, mencangkul, atau menanami dengan tanaman untuk perdagangan.
Cara pengolahan lahan yang berlebihan dan pengusahaan lahan pertanian untuk
diperdagangkan diyakini akan menimbulkan kerusakan ekosistem.
Ada sebuah pepatah Baduy yang mengatakan : “Lonjor teu meunang
dipotong, pondok teu meunang di sambung”. Istilah ini sangat sederhana namun
memiliki makna yang teramat dalam, yakni bahwa masyarakat Baduy tidak
pernah menambah-nambah sesuatu yang tidak ada di sana, namun juga tidak
merusak tatanan yang ada, baik berupa kekayaan alam yang berupa hutan, sungai,
kebun (ladang), termasuk binatang yang ada dan hidup di sana.
Komunitas masyarakat Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten,
meminta Pemerintah Propinsi Banten beserta jajarannya tetap menjaga kelestarian
hutan dan lingkungan mereka, serta meminta pemerintah menindak tegas siapapun
yang mencoba merusak lingkungannya. Karena bagi masyarakat adat Baduy hutan
dan lingkungan adalah satu kesatuan yang tidak boleh diabaikan, dan dampaknya
akan terasa tidak hanya bagi masyarakat Baduy, tapi juga bangsa dan negara. Hal
ini tertera sebagai ungkapan salah seorang informan berikut.
“Hutan lindung gundul, bukit gundul, panyakit resah, ngalangsa bangsa jeung nagara. Oleh
karena itu, dijaga, dilestarikan dan dipertahankan”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
Terjemahan bebas :
Hutan lindung gundul, bukit gundul, panyakit resah, menderita bangsa dan negara. Oleh
karena itu, dijaga, dilestarikan dan dipertahankan.
Jaro Dnh menegaskan pula, jika hutan lindung itu gundul tentu yang rugi
63
bukan hanya warga Baduy saja, melainkan daerah Rangkasbitung, Serang,
Cilegon dan Tangerang akan kesulitan air bersih, juga terjadi bencana alam seperti
banjir, longsor tanah. Apalagi, kawasan tanah ulayat Baduy termasuk daerah
sumber mata air yang harus dijaga kelestarian alam dan hutan.
Saat ini, kerusakan hutan lindung memang tidak separah tahun 1998 lalu
akibat adanya penebangan liar itu. Oleh karena itu, warga Baduy Dalam terutama
Wakil Jaro Tangtu (Msd) bersama tokoh adat Setiap satu bulan tiga kali mereka
mendoakan Pemerintah Propinsi Banten agar terhindar dari segala bahaya dan
bencana. Akan tetapi, jika manusianya dibiarkan merusak hutan maka alam pun
akan “marah”.
Meskipun warga Baduy baru-baru sekarang ini mendengar dan mengenal
istilah pemanasan global, namun para leluhur masyarakat Baduy, menurut
pengakuan Msd, sudah terlebih dahulu mengetahui akan hal itu dan selalu
mengantisipasinya dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan alam.
Karena masyarakat Baduy memiliki prinsip yang sederhana, yaitu ingin
menyeimbangkan alam. Apabila tidak seimbang, dikhawatirkan akan terjadi
bencana alam seperti banjir, longsor. Selain itu prinsip yang masih dipegang teguh
adalah kalimat “Gunung ulah di lebur, Lebak ulah diruksak”, maksudnya bahwa
pikukuh tersebut mengisyaratkan agar seluruh masyarakat Baduy tetap menjaga
kondisi gunung dan lembah tetap seperti sedia kala, dan tidak mengalami
perubahan. Hal ini berlaku sudah sejak dulu, sejak nenek moyang, kawasan ini
sudah terpelihara dan tidak boleh sampai diabaikan dan diubah.
64
5.2 Persepsi Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Hutan pada Tanah Ulayat
Kawasan Baduy
Berdasarkan informasi yang didapatkan di lapang, kehidupan sehari-hari
masyarakat adat Baduy tidak terlepas dari tanah ulayat, yaitu mereka yang
memiliki lahan pertanian di dalam hutan. Luas hutan yang dimiliki masingmasing ±5-10 hektar, dan kepemilikan tanah pada hutan tersebut berdasarkan pada
kemampuan mengokupasi, serta warisan dari leluhur. Fakta menunjukkan hutan
tidak lagi dijadikan sebagai penopang kehidupan ekonomi keluarga. Hal ini
disebabkan hutan tidak lagi dapat dimasuki secara bebas oleh masyarakat, sejak
ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan larangan.
Di samping itu, masyarakat adat Baduy juga sudah mulai berpikir dengan
pola hidup modern terhadap pemenuhan kebutuhannya yaitu dengan menjual
berbagai kerajinan hasil karyanya sendiri dengan membeli bahan-bahan kerajinan
dari luar Baduy, seperti di Bandung atau pun kota lainnya yang saat ini sering kali
dikunjungi sebagai usaha masyarakat adat Baduy. Bahkan cakupan lokasi
penjualan tidak terbatas di sekitar tempat tinggal melainkan sudah merambah kota
Banten dan Jawa Barat. Seperti ungkapan salah satu informan berikut.
“Tanah ulayat bukan sebagai mata pencaharian utama, macam cengkeh, kopi dan karet.
Kawasan Baduy hanya sebagai tempat tinggal, karena yang di Baduy yang bisa ditanam
cuma gula dan aren. Untuk makanan sehari-hari beli di luar. Ketergantungan pada hutan ‘ga
terlalu tinggi untuk perekonomian”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar)
Adapun hasil hutan yang diambil untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga di antaranya mengambil kayu bakar (meramu). Dalam pengambilan atau
pemanfaatan hasil hutan di Desa Kanekes sudah ditetapkan yaitu pada tanah
65
garapan yang sudah dimiliki secara turun-temurun. Masyarakat Baduy yang pergi
ke hutan sudah tentu akan mengambil hasil kayu sesuai dengan kebutuhannya di
rumah. Adapun kayu yang sering diambil dari hutan lindung adalah kayu-kayu
alam yang memang sudah tumbuh sendiri di hutan tersebut dengan syarat
meminta izin terlebih dahulu kepada Puun, ataupun kayu albasiah yang berada di
sekitar Baduy Luar.
Masyarakat adat Baduy hampir setiap hari pergi ke hutan atau ke
lahannya untuk melihat kebun yang dimilikinya, maka ketika itu pula masyarakat
adat Baduy mengambil kayu untuk keperluan memasak di dapur. Dalam
menebang kayu yang dilakukan oleh masyarakat Baduy pun merupakan cara yang
tradisional. Berikut sebuah pernyataan dari salah seorang informan.
“Ngambil kayu secukupnya, sesuai kebutuhan, ‘ga bisa diperhitungkan. Orang Baduy itu
kalo pulang dari hutan pasti bawa kayu tiap hari meskipun di rumah udah banyak. Ada 2030 kg atau 1-2-3 kg batang. Jadi, kaya yang ‘ga betah kalo ‘ga bawa kayu dari sepulang
hutan”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar)
“Ngambil kayu yang milik orang lain bisa minta atas izin. Yang tidak termanfaatkan bisa
dibeli. Ngambil kayu pake parang, golok, gergaji dengan ditebang. Ngambil kayu
perbatang, kering, untuk kayu bakar untuk masak”. (Bapak Srm (L), Panggiwa/Pembantu
Jaro)
“Kayu bakar ditebang ngangge golok, baliung, tatah, palu”. (Bapak Ju (L), warga Cibeo,
Baduy Dalam)
Terjemahan bebas :
Kayu bakar ditebang menggunakan golok, baliung, tatah, palu.
Kegiatan meramu lainnya dalam rangka pemanfaatan yang dilakukan
masyarakat adat Baduy adalah mengambil daun pisang dan mengambil tanaman
obat. Tanaman obat ini berupa daun-daunan yang bisa dimanfaatkan untuk
menyembuhkan sakit perut. Seperti ungkapan salah satu informan berikut.
“Tanaman obat untuk sakit perut ada daun-daunan. Ada juga bunga-bungaan”. (Srm (L),
66
Panggiwa/Pembantu Jaro)
Di samping itu, ada pula kegiatan memanen yaitu mengambil buah,
mengambil rotan, mengarit rumput menebang pohon dan bertani. Dalam
mengambil buah ini, masyarakat adat Baduy bisa mengambilnya di sekitar
rumahnya saja, tidak diperbolehkan mengambil buah-buahn di hutan lindung
terkecuali ada izin dari pihak Jaro maupun Puun. Namun, bisa juga mengambil
buah duren ketika musimnya, namun tidak bisa langsung diambil begitu saja dari
pohonnya, melainkan menunggu agar jatuh sendiri dari pohonnya. Hal ini berlaku
di hutan lindung atau hutan larangan.
Begitu pula terhadap pohon ranji yang terdapat di hutan lindung, yang
saat ini sudah bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat yang mempunyai
hak tertentu terhadap hutan larangan tersebut, terutama Jaro Tangtu (Baduy
Dalam). Selain itu, dapat pula mengambil buah aren yang nantinya diolah dengan
cara digodog kemudian dijadikan gula aren, yang hasilnya untuk dijual ke pasar
terdekat, misal Pasar Cisimeut, Ciboleger atau pun Pasar Rangkasbitung.
Seperti yang sudah dijelaskan, dalam menebang pohon tidak boleh
menggunakan alat yang dilarang adat seperti gergaji karena sudah ada aturannya.
Masyarakat Baduy harus mentaatinya dan tidak perlu menanyakan alasan tertentu.
Berbeda dengan cara bertani masyarakat luar kawasan Baduy, masyarakat adat
Baduy bertani ngahuma, dimana bentuk pola mata pencaharian dengan
menggunakan sistem teknik bertani tebang dan bakar yang dilakukan pada lahan
kering, sehingga hasil beras yang diperoleh akan berbeda baik rasa maupun
bentuknya. Bahkan ketika beras tersebut sudah dimasak, maka nasi yang
67
dihasilkan akan keras.
Secara umum, pengambilan hasil hutan pada masyarakat adat Baduy
khususnya Baduy Dalam, disesuaikan dengan waktu dan berdasarkan aturan adat.
Berikut sebuah pernyataan dari salah seorang informan.
“Nu deukeut imah mah kenging, tapi tergantung waktuna, aya bulan-bulan tertentu. Bulan
ka 5, 6, 7, bulan kawaluh mah larangan. Aya acara kawaluh, orang luar ‘ga boleh ke Baduy
Dalam. Aturan ngagunakeun tanah ulayat pengukuranana dibantu ku BPN jeung adat. Di
Baduy teu kenging aya sawah”. (Jaro Sm (L), Jaro Tangtu : Baduy Dalam)
Terjemahan bebas :
Yang dekat rumah diperbolehkan, tapi tergantung waktunya, ada bulan-bulan tertentu.
Bulan ke 5, 6, 7, bulan kawaluh adalah larangan. Ada acara kawaluh, orang luar tidak boleh
ke Baduy Dalam. Aturan menggunakan tanah ulayat pengukurannya dibantu oleh BPN dan
adat. Di Baduy tidak boleh ada sawah.
Dalam pemanfaatan hutan tersebut, maka yang sering dilakukan selain
mengambil langsung hasil hutan berdasarkan kepemilikan lahannya, maka
dilakukan pula sistem jual beli terutama bagi warga yang tidak memiliki hak
terhadap tanah ulayat Baduy, yaitu masyarakat luar Baduy. Berikut sebuah
pernyataan salah seorang informan.
“Istilah ngambil secara tidak resmi, ‘ga boleh, yang ada hanya jual beli. Aturannya secara
proses, ada gula aren, pete, duren. Ngambil sendiri ‘ga boleh, harus beli dari masyarakat
Baduy”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
“Yang boleh itu jual beli, hasil pendapatan dari Baduy, baik itu buah-buahan, kerajinan atau
hasil pendapatan lainnya, kita sama-sama pedagang”. (Bapak Msd (L), Wakil Jaro Tangtu,
Baduy Dalam)
Warga masyarakat Baduy saat ini sudah hampir mencapai 10.879 jiwa
pada tahun 2006, namun tanah tetap dalam kondisi yang sama, tidak bertambah.
Sehingga apabila berkeinginan menambah penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dan agar perekonomiannya lebih baik, maka masyarakat
Baduy membeli tanah di luar untuk dijadikan kebun. Tidak hanya itu, masyarakat
Baduy pun menanam tanaman yang dilarang di kawasan Baduy seperti kopi dan
68
cengkeh. Berikut sebuah pernyataan dari Kepala Desa Kanekes.
“Orang Baduy itu orangnya banyak, tanahnya sempit. Kalau tanah di luar lebar. Ada sawah,
kalau di luar Baduy tanah bisa dijual. Tanah Baduy ‘ga boleh dijual, jadi tidak boleh
dimiliki orang lain, bukan licik. Saya punya tanah di luar kawasan Baduy 6-7 hektar sudah
sertifikasi punya Bapak. Ada kopi, cengkeh, coklat, dijual ke luar, lumayan hasilnya bisa
nambah-nambah untuk merokok”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
Tanah ulayat masyarakat adat Baduy yang sudah ada tidak dapat dirubah
seperti apapun, karena sudah ada ketentuan adat. Aturan adat atau pikukuh yang
ada harus dipatuhi oleh masyarakat Baduy dan berlaku hingga generasi ke
generasi (turun-temurun). Oleh karena itu, tanah ulayat harus dipertahankan
keutuhannya. Sebagaimana ungkapan informan berikut.
“Tergantung orang Baduy manfaat tanah ulayat, masih kuat mempertahankan, bahkan
warga Baduy ikut partisipasi mempertahankan terhadap daerah, gunung di luar Lebak,
karena ada kekhawatiran bencana. Keyakinan, pohon bermanfaat untuk melindungi dari
kehancuran, dan yakin ada kekuatan tertentu, ghaib yang melindungi dari bencana”. (Bapak
As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar)
Berkat menerapkan Pikukuh Sapuluh (dasa sila) dengan penuh kepatuhan
dari generasi ke generasi, masyarakat Baduy telah berhasil melindungi kawasan
hutan ulayat di hulu daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng,
Kabupaten Lebak, Banten. Manfaatnya telah dinikmati bukan hanya oleh
komunitas mereka sendiri, tapi juga rumah tangga dan industri di hilir yang
mendapatkan pasokan air yang lancar dari 120 sungai dan anak sungai, khususnya
Ciujung. Dengan merujuk pernyataan-pernyataan tersebut, maka sumberdaya
hutan bagi masyarakat adat Baduy merupakan tempat tinggal dan memiliki nilai
ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari serta sebagai
pelindung dari segala bencana yang mungkin terjadi.
69
5.3 Status Hak Tanah Ulayat Baduy
Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak
Nomor 32 Tahun 2001, bahwa wilayah Baduy penting bagi kelangsungan hidup
dan kehidupan masyarakat adat Baduy, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Adapun penjelasan mengenai tanah
ulayat itu sendiri adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat juga dipercayai berasal dari
nenek-moyang mereka dan merupakan karunia Allah SWT sebagai pendukung
utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh
warga masyarakat hukum adat.
Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta
hak untuk berburu. Hak ulayat bersifat komunal, tetapi tidak menutup
kemungkinan diakuinya hak perorangan untuk menguasai sebagian dari obyek
penguasaan hak ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang
untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya hak ini berlaku
terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus
dalam waktu yang lama.
Sebagai sarana pendukung utama kehidupan dan penghidupan para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, tanah ulayat dikelola dan diatur
peruntukan, penguasaan dan penggunaannya. Kewenangan pelaksanaannya
sehari-hari dilimpahkan dan ditugaskan kepada ketua adat dan para tetua adatnya.
70
Tanah ulayat tersebut tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain karena
tanah ulayat bukan saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi
yang akan datang.
Jaro Dnh mengemukakan, keberadaan hak tanah ulayat dalam Pasal 1
Peraturan Daerah merupakan suatu perlindungan yaitu suatu rangkaian kegiatan
Pemerintah Kabupaten Lebak dan masyarakat dalam menjaga tatanan masyarakat
Baduy. Sedangkan Pasal 9 menyebutkan, setiap orang yang mengganggu,
merusak dan menggunakan lahan hak ulayat masyarakat Baduy dihukum
kurungan 6 bulan dan denda Rp 5 juta.
Di samping itu, ada pula produk hukum Pemerintah Kabupaten Lebak
lainnya yang terkait dengan masyarakat Baduy adalah Perda Nomor 31 Tahun
2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak, Keputusan Bupati
Lebak No. 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Detail Tanah
Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak. Di samping itu, sebelum era otonomi daerah pun telah muncul
Perda Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga
Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak. Jauh sebelum itu, tahun 1968 keluar
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat tentang
Penetapan Status Hutan Larangan Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai Hutan
Lindung Mutlak dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat.
Tidak terlepas dari hukum pemerintah atau peraturan daerah yang sudah
ditetapkan, maka hukum adat pun memiliki kekuatan hukum dimana ada sanksi
bagi pelanggar aturan adat, sehingga harus tetap ditaati meskipun tidak tertulis10
yang dikenal sebagai pikukuh “tanpa perubahan apapun”. Hukum adat juga
dilindungi oleh kekuatan yang mempunyai wewenang, misalnya kepala suku atau
kepala dusun, dan hal ini terlihat pula dengan diakuinya hak ulayat masyarakat
adat dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960). Salah satunya dalam Pasal 10 Ayat 1
UUPA yang menyatakan bahwa hak kepemilikan tanah ulayat adalah hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh seseorang yang dapat
dialihkan kepada pihak lain (Pasal 20 Ayat 2 UUPA). Dengan demikian, maka
dapat dikatakan bahwa tanah ulayat/tanah adat dapat dikategorikan sebagai tanah
yang dibebani hak milik komunal (suatu milik badan persekutuan hukum adat).
10
Masyarakat Baduy pantang mengikuti pendidikan formal, seperti sekolah di SD sehingga tidak bisa
membaca dan menulis.
Salah seorang informan (Bapak As) menyatakan bahwa status tanah
ulayat
bagi
masyarakat
Baduy
adalah
kebersamaan,
dimana
dalam
pemanfaatannya diserahkan kepada desa dan dikelola bersama, dan setiap warga
memiliki hak khusus atas tanah ulayat tersebut terutama sebagai warga Baduy.
Bahkan peraturan mengenai batas-batas yang telah ditentukan untuk tanah ulayat
pun sudah jelas. Tanah di Baduy yang dimiliki tiap keluarga berdasarkan turuntemurun, atau ada pula yang memperoleh tanah karena jabatannya sebagai jaro
yang dikenal dengan sebutan tanah bengkok. Namun, ketika jabatan dan
tanggungjawab sebagai jaro sudah tidak lagi diemban, maka tanah tersebut
diserahkan kepada pimpinan kepala desa yang baru (jaro). Selain itu juga,
terdapat tanah warisan dari orangtua ataupun tanah milik sendiri yang digarap
sesuai aturan adat. Berikut pernyataan informan.
“Dua belas tahun saya ngejabat sebagai kepala desa. Peraturan adat : tidak ada batasan
jabatan, saya sudah 2 kali menjabat. Untuk tanah, saya ada warisan orangtua, ganti rugi,
punya tanah garapan. Ada juga tanah bengkok, tanah yang berdasarkan jabatan yang
dilakukan secara turun-temurun, ada di luar 3 hektar, tanahnya kering”. (Jaro Dnh (L),
Kepala Desa Kanekes)
72
“Tidak ada yang menentukan hak kepemilikan, turun temurunnya. Batasannya juga sudah
ditentukan turun-temurun, harus taat”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar)
“Status tanah adalah semua warga Baduy, jadi tanah milik adat, tidak ada sertifikat, yang
berkuasa adalah adat, meskipun ada memang ada yang memiliki. Orang luar ‘ga boleh.
Saya saja yang kerja di sini ‘ga boleh”. (H. Spn (L), Sekretaris (Carik) Desa Kanekes)
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat luar Baduy
tidak memiliki hak atas tanah ulayat. Adapun keinginan untuk memperoleh hasil
hutannya, maka dilakukan jual beli dengan warga Baduy. Tanah ulayat ini
meskipun milik adat, pemerintah tetap memiliki andil dalam pengelolaan maupun
perlindungan, namun tidak memiliki hak atas tanah ulayat tersebut.
5.4 Fungsi Tanah Ulayat Baduy
Berdasarkan pernyataan informan, diperoleh keterangan bahwa tanah
ulayat Baduy memiliki fungsi, baik bagi warga Baduy sendiri, lingkungan sekitar
Baduy, maupun masyarakat Banten dan sekitarnya. Fungsi tanah ulayat diakui dan
diyakini mampu melindungi masyarakat dari bahaya bencana alam, seperti banjir,
longsor, maupun kekeringan. Dalam hal ini, wilayah Baduy yang merupakan
sumber air harus tetap dijaga dan dipertahankan, karena jika tidak demikian, maka
kota-kota yang dialiri sungai dari Baduy akan kekeringan, bahkan tidak akan
memperoleh air sedikit pun, seperti kota Tangerang dan Lebak. Berikut sebuah
pernyataan dari informan.
“Fungsi tanah ulayat ngalindungi alam, cai, buat napas. Teu meunang diruksak, mun
heunteu aya akibatna, bencana, tapi masih bisa difungsikeun”. (Bapak Ju (L), warga Cibeo,
Baduy Dalam)
Terjemahan bebas :
Fungsi tanah ulayat melindungi alam, air, untuk bernapas. Tidak boleh dirusak, kalau tidak
ada akibatnya, bencana, tapi masih bisa difungsikan.
“Tanah ulayat itu adalah tanah adat. Dilihat dari pemanfaatannya : 1. Melindungi dari
73
kerusakan sebagai sumber air, 2. Mempertahankan adat dia, kalo dia punya keyakinan,
bahwa kalo negara maju, kita tidak usah maju”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy
Luar)
“Masalah bencana alam itu satu contoh hutan larangan yang diruksak cepet jadi kena
bencana alam. Ada tanaman albasiah jangka panjang yang dapat menahan pohon dari sinar
matahari, juga kalo ada hujan melindungi atau menahan dari adanya angin”. (Bapak Srm
(L), Panggiwa/Pembantu Jaro)
Kawasan tanah ulayat Baduy terbagi kedalam dua bagian yaitu hutan
garapan dan hutan lindung. Dalam hutan lindung terdapat pohon-pohon besar
terutama pohon ranji yang mampu memberikan penghasilan bagi orang-orang
tertentu yang dapat memasuki kawasan hutan tersebut tanpa mengambilnya
langsung melainkan menunggu buahnya jatuh sendiri. Adapun hak untuk
memasuki kawasan hutan lindung/hutan larangan tersebut adalah pemimpin adat
serta pengurus pemerintahan Desa Kanekes, seperti jaro, carik, panggiwa dan
lain-lain yang terdapat dalam struktur pemerintahan (dapat dilihat pada Bab V).
Selain pohon-pohon tersebut, di gunung tempat hutan larangan tersebut terdapat
sasaka domas yang dianggap “pusaka alam tunggal” dan hulu sungai.
Masyarakat adat Baduy berkeyakinan bahwa sasaka domas adalah
pusaka alam dunia, bukan harta, tapi sasaka. Menurut pernyataan Bapak As,
bahwa sasaka domas tersebut mampu melindungi dari kehancuran. Dari sekian
banyak warga Baduy yang bertempat tinggal di kawasan hutan Baduy, tidak ada
satu pun yang boleh melihat atau dengan sengaja berkunjung ke tempat sasaka
domas, sehingga tidak semua orang tahu keberadaan sasaka domas, baik bentuk
maupun wujudnya. Bahkan yang dilarang tidak hanya Baduy Luar, Baduy Dalam
pun tidak semua tahu tentang sasaka domas. Adapun yang diperbolehkan yaitu
pimpinan tertinggi (Puun) dan aparat pemerintah Desa Kanekes. Berikut
74
pernyataan informan.
“Sasaka domas bukan tempat penyembahan, bukan yang dikeramatkan, hanya ketitipan
untuk memelihara. Itu adalah tempat. Yang menitipkannya itu menurut keyakinannya
adalah Allah”11. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar)
Masyarakat Baduy yang memiliki pola hidup yang ditopang oleh hasil
alam yang diambil secara bijak kini telah membantu pelestarian beranekaragam
sumberdaya hayati hutan yang sudah menurun drastis di Pulau Jawa dan belahan
lain Bumi Nusantara. Dalam masyarakat adat Baduy, segala sesuatu yang
menjadikan status tanah itu “ada” adalah adanya batas alam serta pengukuran dari
BPN yang telah disebutkan. Seperti pernyataan seorang informan berikut.
11
Dari pernyataan tersebut, Bapak As mengakui tidak pernah melihat langsung, melainkan hanya mendengar
cerita dari orang-orang sebelumnya. Dalam bahasa Sunda dikatakan “ceunah, ceunah, jeung ceunah” (=
katanya, katanya, dan katanya).
“Adat sudah berjalan, sudah ada batas alam dengan kayu, batu, cai yang menjadi pembatas
antara Baduy Luar dan Baduy Dalam juga warga luar Baduy. Jika secara
menguasai/menduduki/menggarap itu bukan kewenangan, itu sudah ada aturan. Harus
menyadari, bahwa itu adalah hak orang lain, bahwa itu tanah adat, karena ketempat lain
juga ada aturan”. (Bapak Msd (L), Wakil Jaro Tangtu, Baduy Dalam)
Terkait dengan peraturan yang ada, maka faktor terpenting dlam
penentuan status tanah ulayat Baduy adalah hukum adat atau pikukuh yang sudah
berjalan hingga saat ini. Hal ini dimusyawarahkan pula dengan warga Baduy.
Berikut pernyataan informan.
“Menurut UU ga berubah, ‘ga akan berubah statusnya. Yang menentukan status adalah
hasil masyarakat adat”. (Bapak Srm (L), Panggiwa/Pembantu Jaro)
“Nu tentukeun batas adat eta Jaro Dnh, Jaro Sm ti kampung Cibeo jeung Jaro Tangtu di
Baduy Dalam”. (Bapak Ju, (L), warga Cibeo, Baduy Dalam)
Terjemahan bebas :
Yang menentukan batas adat yaitu Jaro Dnh, Haro Sm dari Kampung Cibeo dan Jaro
Tangtu di Baduy Dalam.
Pikukuh Sapuluh yang merupakan 10 aturan tidak tertulis menjadi
pedoman hidup masyarakat Baduy. Adat ini diyakini mempunyai kekuatan hukum
yang harus diindahkan untuk keselamatan diri sendiri, masyarakat dan bangsa.
Pedoman itu antara lain : “Tidak akan sewenang-wenang membinasakan makhluk
hidup, khususnya sesama manusia”. Selain itu, ada pikukuh lain yang khusus
membimbing mereka dalam memanfaatkan alam di antaranya larangan
“mengubah bentuk jalan air”, “mengubah atau menghindari daur dan jadwal
tanam”, dan “menebang sembarang jenis tumbuhan”. Hal ini terkait pula dengan
kebutuhan masyarakat Baduy pun merupakan faktor pendukung bagaimana tanah
ulayat tersebut ditentukan. Bahkan permintaan pula dari masyarakat adat agar
tetap terjaga dan dilindungi oleh pemerintah sehingga jelas dalam pemanfaatan
maupun penggunaan tanah ulayat tersebut.
5.5 Ikhtisar
Persepsi masyarakat adat Baduy terhadap nilai sumberdaya hutan lindung
yang merupakan hutan larangan adalah tanah ulayat Baduy yang harus dijaga dan
dilestarikan. Selain ada keyakinan bahwa hutan tersebut merupakan titipan
karuhun yang disucikan, hutan lindung pun boleh dimanfaatkan selama mengikuti
aturan adat, karena tidak semua warga dapat memanfaatkannya.
Nilai sumberdaya hutan lindung bagi masyarakat adat Baduy adalah
sebagai indikasi pengamanan dan kesejahteraan yang mampu menjadi sumber
mata air bagi kehidupan masyarakat adat Baduy. Bahkan dapat dikatakan, hutan
lindung merupakan ‘paru-paru alam’, yaitu mampu menangkal bahaya atau
bencana alam yang dimungkinkan akan terjadi.
Masyarakat adat Baduy hanya boleh melihat hutan lindung dari batas luar
76
yang sudah ditetapkan oleh aturan adat terkait batas alam, karena hutan lindung
yang dinggap suci, juga memiliki kekuatan ghaib dimana ada sebuah sasaka
domas yang menjadi tempat pemujaan dan berdoa agar warga Baduy dan warga
sekitar terhindar dari bencana. Untuk dapat memasuki kawasan hutan lindung,
maka warga yang bersangkutan harus meminta izin terlebih dahulu kepada Puun
atau pimpinan tertinggi Baduy.
Dalam memanfaatkan sebagian besar hasil tanah ulayat Baduy, maka
warga Baduy mengerjakan ladang di kebunnya masing-masing dengan meramu
dan memanen. Hasil kerja yang diusahakannya tersebut dilakukan sejak nenek
moyang ada hingga saat ini secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi.
Sehingga status tanah ulayat itu pun terbentuk dengan sendirinya dengan sifat
khasnya masyarakat adat yaitu komunal atau kebersamaan. Sedangkan masyarakat
luar Baduy tidak memiliki hak atas tanah ulayat Baduy, jika memang
menginginkan hasil-hasil tanah ulayat, maka dapat dilakukan proses jual beli
dengan warga Baduy, baik secara langsung maupun melalui perantara (pasar).
BAB VI
KONFLIK TANAH ULAYAT
ANTARA MASYARAKAT LUAR KAWASAN BADUY
DENGAN MASYARAKAT BADUY
6.1 Sejarah Konflik
Sengketa tanah dengan luasan sebesar 5.101,85 Ha yang terjadi sejak
tahun 1950 di kawasan Baduy ini meresahkan warga Baduy. Sengketa ini muncul
karena adanya penyerobotan tanah dan penebangan liar terhadap tanah ulayat
yang sebenarnya tidak bisa diganggu gugat. Penyerobotan ini dilakukan oleh
masyarakat luar kawasan Baduy.
Tokoh-tokoh adat masyarakat Baduy di bawah koordinasi Puun Cibeo
yang berperan dalam urusan administrasi pemerintahannya, di tahun 1985 pernah
meminta proses percepatan penyelesaian sengketa tanah kawasan Baduy kepada
Pemerintah Pusat (langsung pada Presiden Soeharto). Dengan segala kearifan dan
kejujuran para tokoh adat yang berpegang teguh pada amanat leluhurnya dan
mengetahui mengenai sejarah lahirnya perbatasan wilayah, pematokan yang
dilakukan sepihak oleh Pelaksana dari Kantor Agraria dan Pemerintah Daerah
Lebak yang tidak sesuai dengan batas-batasnya sehingga terjadi pekerjaan ulang.
Masyarakat adat Baduy dengan masyarakat kawasan luar Baduy
berkonflik dalam permasalahan mengenai perbatasan tanah yang dialiri oleh aliran
sungai yang memang dijadikan sebagai batas kawasan tanah ulayat Baduy yang
ditentukan menurut alam dan kantor Pertanahan Pemerintah Kabupaten Lebak,
sedangkan batas tersebut melewati kawasan hutan lindung serta berbatasan
78
dengan sawah milik masyarakat luar Baduy. Hutan lindung menurut keyakinan
masyarakat adat Baduy, tidak boleh digarap atau dimanfaatkan oleh sembarang
orang, bahkan oleh orang Baduy pun hanya orang-orang tertentu saja. Kawasan
tanah ulayat Baduy yang boleh digarap adalah seluas 2.101,8 ha.
Meskipun tanah hak ulayat warga Baduy telah disahkan melalui
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak No. 32/2001 pada Bulan Agustus
Tahun 2001, namun tetap saja diserobot. Berdasarkan fakta, salah seorang warga
Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik melakukan pembalakan terhadap
tanah ulayat Baduy. Penyerobotan tanah ini ditandai dengan perusakan patok
(polygon) yang baru dipasang Pemerintah Kabupaten Lebak (sekitar tahun 1981an) oleh sekelompok warga Kebon Cau.
Para penebang dan penyerobot hutan lindung itu dinilai telah
“melecehkan” keberadaan Suku Baduy yang dilindungi undang-undang dan
peraturan yang berlaku. Sebab di hutan lindung itu terdapat hamparan lahan yang
dijadikan balong (kolam) ikan dan sawah. Jaro Dnh yang bertugas menjadi
perantara hubungan pemerintah dengan Suku Baduy mengemukakan, sebagian
hutan lindung yang merupakan hutan larangan bagi warga Baduy Dalam maupun
Luar mengalami penggundulan sekitar tahun 1965-an. Akibatnya di sejumlah
tempat terlihat bekas longsoran tanah. Jika dibiarkan penebangan pohon tersebut,
maka diyakini longsor akan meluas ke sejumlah daerah yang telah dihuni warga
Suku Baduy Dalam. Menurut Jaro Sm, dan Jaro Dnh bahwa warga Suku Baduy
Dalam sering menemukan warga di luar Baduy yang tengah menebang pohon
maupun merambah lahan di sana. Namun tidak ada yang bisa dilakukan oleh
79
mereka, kecuali hanya menegur dan memberi pengertian tentang pentingnya hutan
lindung tersebut. Bahkan mereka pun mengungkapkan akan ketidakpahamannya
tentang hukum pemerintahan. Berikut pernyataan informan.
“Cuma kami tidak berwenang untuk menindak. Kami hanya menegur dan menyampaikan
larangan dari karuhun kami. Yang berwenang adalah pemerintah, baik aparat polisi maupun
dari Pemda”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
Selain kerusakan lingkungan, Jaro Dnh pun menjelaskan bahwa selama
ini banyak hewan ternak yang sering masuk ke areal pertanian Baduy di tanah
adat. Bagi masyarakat adat Baduy sudah tentu ini merupakan masalah yang sangat
sulit, selain membahayakan juga sulit dikendalikan. Di satu sisi sesuai dengan
kearifannya, masyarakat Baduy senantiasa menjaga perdamaian dan menjauhi
berbagai hal yang membahayakan. Masyarakat Baduy yang cinta damai tidak
menginginkan ada keributan dengan masyarakat luar Baduy. Namun di sisi lain,
kehidupan masyarakat Baduy juga terancam dengan adanya kerusakan alam dan
tanaman milik mereka.
Lain halnya dengan argumen dari salah seorang yang berasal dari
Kecamatan Bojongmanik, bahwa sebetulnya kerbau itu pun ada yang dimiliki oleh
masyarakat adat Baduy, sehingga dalam pengembalaannya dilibatkan orang luar.
Hal ini tentu menimbulkan konflik laten dimana konflik ini bersifat tersembunyi,
hanya warga Baduy dan pihak terkait saja yang tahu, sehingga perlu diangkat ke
pemukaan agar dapat ditangani secara efektif. Sehingga dengan kondisi alam yang
memadai yang dimiliki masyarakat adat Baduy, maka dengan sendirinya,
pengembalaan tersebut dilakukan di kawasan tanah ulayat Baduy.
“Hewan ternak itu masih ada yang ke tanah ulayat Baduy sampe sekarang. Hewan ternak
milik Baduy, digembalakan oleh orang luar ke hutan masyarakat Baduy. Tanah Baduy yang
80
tidak termanfaatkan digunakan”. (Bapak Aj (L), Kasi. Kesos, Kec. Bojongmanik)
Hal ini terkait pula dengan larangan dari masyarakat Baduy yang dikenal
dengan pikukuh, bahwa masyarakat adat Baduy tidak boleh memiliki hewan
ternak karena akan merusak hutan, baik dari “pijakan” kaki hewan tersebut
maupun pakan yang akan diambilnya dari hasil hutan yang ada, sehingga jika
dibiarkan maka akan menimbulkan bencana bangsa dan negara. Oleh karena itu
menimbulkan keresahan warga Baduy yang bertempat tinggal di sana sehingga
perlu ditindaklanjuti. Konflik tersebut semakin mengakar dan semakin nyata,
karena pihak yang melakukan tidak lagi secara sembunyi-sembunyi melainkan
sudah nyata. Bahkan masyarakat luar Baduy yang berbatasan dengan Desa
Kanekes terus menekan keberadaan hutan ulayat yang sudah ditetapkan sebagai
kawasan lindung tersebut dengan melakukan penebangan liar.
Tidak hanya itu, ternyata keributan yang selama ini tidak diharapkan,
justru terjadi. Suatu ketika pernah ada warga Karang Combong yang meracuni
sungai Ciujung untuk mengambil hasilnya berupa ikan. Ini terjadi sekitar tahun
1960-an. Saat yang bersamaan, ketika itu pula terjadi pertengkaran yang
mengakibatkan jatuhnya korban dengan bacokan oleh seorang kakak dari salah
satu informan (Bapak As), tidak lain untuk membela diri karena sulit diberi
pemahaman akan bahaya racun tersebut. Akhirnya pelaku yang meracuni sungai
tersebut masuk rumah sakit. Namun tidak sampai diproses ke kepolisian.
Masyarakat Baduy mengaku, bahwa hingga saat ini masih terjadi penggembalaan
hewan ternak yang tidak bisa dibendung lagi, baik oleh warga Baduy sendiri
maupun pihak desa dan pihak kepolisian.
82
6.2 Deskripsi Area Konflik
Secara adat istiadat Baduy, hutan dibeda-bedakan berdasarkan peran dan
fungsinya sebagai: hutan tua (leuweung kolot ); hutan muda ( leuweung ngora );
semak belukar lebat bekas huma (leuweung reuma ), dan semak belukar ( jami ).
Hutan tua ada di wilayah Baduy Dalam dan jauh dari permukiman, sedangkan
ketiga jenis hutan lainnya ada di sekitar perkampungan (Garna, 1993). Hutan tua
di wilayah Baduy, secara adat dianggap suci dan tabu untuk dieksploitasi oleh
manusia, sehingga pengawasannya ditangani oleh puun sebagai ketua adat.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab V, bahwa perkampungan
Baduy dibedakan menjadi kampung Tangtu (Baduy Dalam), Panamping (Baduy
Luar), dan Dangka yang terletak diluar wilayah Kanekes. Kampung dangka
adalah kampung kecil yang merupakan kantong-kantong penyangga, atau
semacam buffer zone pada lapisan terluar, berfungsi sebagai kampung penangkal
bagi masuknya pengaruh luar ke wilayah Baduy. Selain itu penduduk kampung
dangka juga bertugas menjaga dan memelihara hutan larangan yang terletak di
luar wilayah Baduy, sebagai hutan cadangan untuk kepentingan perluasan
perladangan orang Baduy.
Keberadaan hutan larangan di wilayah dangka semakin lama semakin
sempit, karena berbagai penyerobotan, penjarahan, dan penggundulan yang
dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat di sekitar. Bahkan sejak jaman
Belanda, banyak bagian dari hutan larangan di wilayah dangka tersebut yang
diubah menjadi perkebunan karet. Dengan demikian fungsi kampung dangka
sebagai buffer zone tersebut semakin lama semakin tidak berarti.
83
Secara umum, permukiman masyarakat Baduy berada di lereng-lereng
bukit, lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, dekat dengan sumber mata air
atau aliran sungai. Ada lima sungai yang mengalir yang mengalir ke wilayah
perkampungan Baduy yaitu Cimangseuri, Ciparahiang, Cibeueung, dan Cibarani
yang semua bermuara ke Sungai Ciujung. Dengan demikian, apabila salah satu
sungai digunakan dengan tidak seharusnya, maka akan mempengaruhi aliran
sungai lainnya.
6.3 Faktor Penyebab Konflik
Menurut penyebabnya, konflik dalam pemanfaatan tanah disebabkan
oleh keterbatasan sumberdaya tanah tersebut, serta kebutuhan yang selalu
meningkat akan keberadaan dan manfaat tanah tersebut bagi kehidupannya.
Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang
berbeda yang berakibat pada munculnya konflik antar berbagai unsur masyarakat.
Khususnya dalam kasus Baduy ini adalah antara warga Baduy dengan warga luar
Baduy. Sebagaimana pernyataan Jaro Dnh yang mengungkapkan bahwa
penyerobotan tanah ulayat sering terjadi di wilayah perbatasan, seperti halnya
tanah yang berbatasan dengan Kecamatan Bojongmanik. Penyerobotan itu tidak
hanya mengancam status tanah ulayat, tetapi juga menimbulkan kerusakan hutan.
Msd (Wakil Jaro Tangtu Cibeo) mengungkapkan bahwa penyerobotan tanah
ulayat di perbatasan tersebut dilakukan warga luar Baduy dengan pembabatan
hutan untuk berladang, penebangan kayu untuk kebutuhannya ataupun dijual dan
penggembalaan kerbau dengan memakan pakan yang ada. Berikut pernyataan
83
salah seorang informan.
“Sebelah selatan karena berbatasan daerahnya. Pasti ada sewaktu-waktu masyarakat luar
ngambil kayu hutan, dedaunan, ke hutan lindung; madu diambil dengan mencuri, namun
belum ada yang secara terang-terangan”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
“Hewan ternak mengganggu warga Baduy (tanah ulayat) dengan dirusak, seperti dari
Parakan Besi, Kebon Cau dan Karang Nunggal, hewannya masuk Baduy”. (Bapak As (L),
warga Gajeboh, Baduy Luar)
Kasus konflik pun terjadi di Desa Kebon Cau yaitu berupa
pengambilalihan oleh warganya atas tanah hak ulayat warga Baduy menjadi hak
milik pribadi, yaitu pensertifikatan tanah Baduy seluas 8.938 m2 dengan No.
01/Kebon Cau/2002 yang dilakukan oleh menantu dari Pak Am Ast, yaitu Bu Mr
tepatnya di kampung Blok Cijahe dengan surat ukur tertanggal 22 Mei 2002 itu.
Padahal, tanah hak ulayat warga Baduy tersebut telah disahkan melalui Perda
Kabupaten Lebak No. 32/2001 pada bulan Agustus tahun 2001. Warga Kebon
Cau pun memiliki tanaman cengkeh di Baduy, yang akhirnya oleh warga Baduy
“digempur”. Penggemburan oleh warga Baduy terhadap warga luar Baduy
ternyata menimbulkan dendam, dimana warga luar Baduy melakukan penebangan
di malam hari (sembunyi-sembunyi) terhadap pohon yang dimiliki warga Baduy
di kawasan luar Baduy, meskipun kepemilikan atas tanah tersebut sudah menjadi
haknya. Hal ini pun menjadi salah satu penyebab konflik terjadi.
Penyebab lain terjadinya konflik di Baduy adalah adanya perbedaan
pengetahuan atau pemahaman akan pentingnya tanah ulayat Baduy bagi
kehidupan masyarakat Baduy, bangsa dan negara Indonesia. Sehingga segala
informasi terkait penyerobotan langsung diterima oleh pihak yang berhubungan
dengan memaknainya secara berbeda. Dalam hal ini persepsi tiap individu yang
84
menerima informasi sangat berpengaruh.
Seperti ungkapan salah seorang informan yang menyatakan bahwa
penyerobotan tanah ulayat milik masyarakat Baduy di Desa Kanekes, hingga kini
masih terus berlangsung terutama hewan ternak yang digembalakan secara liar ke
tanah ulayat Baduy, di kepar. Namun ada juga sebagian yang mengungkapkan di
awal bahwa sengketa tanah sudah selesai, namun kenyataannya tidak demikian.
Hal ini menandakan bahwa pengamanan yang dilakukan hingga saat ini masih
belum tertib. Bahkan tanaman yang dikonsumsi masyarakat pun dirusak seperti
tanaman jengjeng. Tidak hanya itu, saat ini sudah terbukti pula bahwa tindakan
penyerobotan masih berjalan. Dapat dilihat dengan adanya bangunan gubuk yang
didirikan di daerah perbatasan. Meskipun hal ini sudah dilaporkan, namun pihak
aparat belum bertindaka tegas terhadap perlakuan tersebut. Berikut pernyataan
informan.
“Istilah secara langsung tidak diambil, tapi secara sembunyi-sembunyi. Tanah ulayat tidak
dibatasi atau diawasi setiap saat. Sebagai petugas, ga tiap hari dilihat, yang ngambil
sembunyi-sembunyi mungkin ada”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
“Ngambil atau istilahna nyerobot karena kepentingan, kebutuhan, keserakahan, sehingga
terjadi konflik (di Parakan Besi)”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar)
Pokok permasalahan pun terjadi ketika adanya perbedaan kepentingan
dan nilai atau kepercayaan yang dianut. Sebut saja masalah yang utama yaitu saat
Pak Am Ast (tokoh masyarakat Kebon Cau) yang memiliki tanah dan berbatasan
dengan tanah ulayat Baduy, dimana ditandai dengan adanya aliran sungai,
sedangkan Pak Am tersebut memiliki tanah garapan berupa sawah. Namun,
karena berdasarkan hukum alam, maka aliran sungai tersebut mengaliri tanah
Baduy, kemudian karena begitu dekat perbatasannya, akhirnya aliran air sungai
85
tersebut dialirkan ke sawah, ke kebun milik Pak Amir tersebut. Dari pernyataan
tersebut, pada awalnya tidak ada masalah dengan masyarakat Baduy, namun
karena hukum alam tidak hanya sebagai salah satu penentu batas, maka digunakan
pula hukum pemerintahan Kabupaten Lebak berdasarkan Badan Pertanahan
Nasional yang juga menentukan batas tanah ulayat. Di sisi lain juga, masyarakat
adat Baduy mengklaim bahwa batas tanah ulayat Baduy adalah sungai (cai). Dari
hal tersebut, maka konflik itu pun mulai mencuat ke permukaan. Tidak hanya itu,
warga Kebon Cau pun hingga saat ini masih ada saja yang mengambil hasil hutan,
kayu, daun, dan bambu untuk anyam-anyaman untuk dibuat kerajinan. Berikut
pernyataan salah seorang informan.
“Kalo yang di Kebon Cau karena ada pemindahan sungai, Sungai Cibarani, ada sungai
perbatasan Baduy. Sungai diluruskan sama Bapak Amir Astakari orang Kebon Cau, dan
kemudian diakui olehnya. Tanah Baduy yang dibatasi adalah air. Orang Baduy mengklaim
bahwa batas tanah Baduy adalah sungai, air itu. Tapi Pak Ast mengakui, akhirnya jadi
sengketa”. (Bapak H. Mt (L), Sekretaris Kec. Bojongmanik)
Salah seorang informan di Kecamatan Bojongmanik menyatakan bahwa
kayu yang dibabat dan ditebang harus dengan cara tradisional. Dikarenakan
masyarakat adat Baduy patuh pada pikukuh bahwa dalam mengambil kayu dari
pohonnya hanya diperbolehkan menggunakan baliung dan palu, maka untuk
kebutuhan yang mendesak, dalam mengambil kayu tersebut dilakukan jualbeli.
Dalam penebangan kayu yang dilakukan, maka masyarakat Baduy menyuruh
masyarakat luar Baduy untuk memotong. Sedangkan di satu sisinya harus
memegang adatnya.
Perbedaan latar belakang personal pun merupakan faktor yang
menimbulkan konflik. Dimana masyarakat atau pihak yang berkonflik salah
86
dalam mempersepsikan status dan fungsi tanah ulayat. Tidak lain karena pihak
yang berkepentingan biasanya tidak memiliki sumberdaya yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan.
Terkait dengan Teori Fisher . al. (2001) yang menyatakan bahwa teoriteori mengenai penyebab konflik sangat membantu dalam memahami cara
mengelola konflik. Pada kasus konflik di Baduy ini, dapat dianalisis bahwa teori
“Kebutuhan Manusia” merupakan teori yang signifikan karena asumsinya yang
menyatakan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar
manusia - fisik, mental, dan sosial - yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
Kemudiain, teori lainnya yaitu teori “Identitas”, yang berasumsi bahwa konflik
disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya
sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Pada kasus konflik
Baduy yang sudah terjadi sejak tahun 1950 ini ternyata belum reda secara
menyeluruh, dapat diketahui dengan keterangan dari tokoh masyarakat yang
menyatakan bahwa penggembalaan hewan ternak masih kian merebak.
Teori “Transformasi Konflik” pun dapat menganalisis konflik yang
terjadi di Baduy. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalahmasalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah
sosial, budaya dan ekonomi. Masalah-masalah yang dimaksud terkait dengan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang tiada habisnya yang dihubungakan dengan
pola hidup yang berbeda antara kehidupan modern masyarakat luar Baduy dengan
kehidupan yang tradisional dan arifnya masyarakat Baduy, terutama pada
lingkungan. Oleh karena itu, kawasan Baduy dijadikan sebagai kawasan wisata
Kabupaten Lebak. Dengan semakin banyaknya pengunjung, selain perekonomian
87
sebagian masyarakat Baduy meningkat, warga Baduy pun lebih terkenal dengan
indegenous knnowledge-nya. Dalam hal budaya tentu, masyarakat Baduy lebih
unggul terutama dengan prinsip hidupnya “kesederhanaan” dan “cinta damai”
serta menjaga keseimbangan alam. Hal demikian dapat dikatakan membuat warga
luar Baduy ingin memperoleh hasil hutan yang optimal tanpa mengeluarkan
sedikit pengorbanan (jual beli tanah di luar), karena menganggap warga Baduy
sudah sejahtera.
6.4 Pihak yang Terlibat dalam Konflik
Konflik terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan
kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang
formal untuk menetapkan kebijakan umum biasanya lebih memiliki peluang untuk
menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain,
persoalan geografis dan faktor sejarah/cerita nenek moyang seringkali dijadikan
alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya
menguntungkan pada satu pihak tertentu.
Pada kasus Baduy ini, pihak yang terlibat dalam konflik adalah warga
yang tepat berbatasan dengan tanah ulayat. Sehingga lebih mudah aksesnya
terhadap sumberdaya hutan atau tanah. Di antaranya pihak yang pernah
menggarap di tanah sebelah timur kawasan Baduy adalah masyarakat Karang
Combong, Cilebang, Kecamatan Sobang, dan warga Kecamatan Muncang serta
Kecamatan Bojongmanik yang berada di sebelah barat kawasan Baduy di sebelah
Kampung Blok Cijahe. Dengan luasnya kawasan yang berkonflik dengan
88
masyarakat Baduy, maka dalam penanganan konflik tersebut diserahkan kepada
individu yang berkonflik, bukan kepada pihak desa. Tidak hanya itu, perusakan
hutan dan tanaman di kawasan Baduy terus berlanjut antara lain di Desa
Karangcombong, Desa Parakan Besi, Desa Sukajadi, Desa Kebon Cau dan Desa
Nayagati.
Pihak-pihak tersebut di atas adalah pihak-pihak yang masing-masing
memiliki kepentingan atas tanah ulayat Baduy, namun tidak “mengindahkan”
aturan adat (pikukuh) yang sudah berlaku serta Perda yang sudah ditetapkan dan
dikeluarkan untuk melindungi tanah ulayat Baduy dari kehancuran maupun
bencana yang akan menimpa seluruh masyarakat di kawasan Baduy. Pihak ini
pula yang memanfaatkan kestrategisan desanya dengan kawasan Baduy dan
merupakan pihak pelaku utama dalam memunculkan konflik.
Pihak yang terlibat konflik pun ada yang berdasarkan pada kekuasaan,
yakni Bapak Am Ast yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Kebon Cau di
Kecamatan Bojongmanik. Sehingga memiliki kemampuan untuk menjegal setiap
kesepakatan yang sudah dirundingkan. Di samping itu juga, beliau memiliki
kekuatan politik di desanya. Terutama dalam berkomunikasi dengan pihak terkait
yang menjadi fasilitator dalam penyelesaian sengketa/konflik tanah ulayat Baduy.
Masyarakat
adat
Baduy
yang
merupakan
masyarakat
yang
termarginalkan karena keteguhannya dalam mentaati tradisi, menuntut untuk
memperoleh perlindungan hukum dari Pemerintah Kabupaten Lebak. Dengan
keluarnya Perda No. 32/2001 membuktikan kontribusi pemerintah terhadap
masyarakat adat Baduy yang harus dilindungi hak tanah ulayatnya. Dengan
demikian, Pemerintah Kabupaten Lebak pun ikut sebagai pihak yang terlibat
dalam konflik. Masyarakat adat Baduy pula yang mempunyai tuntutan moral
89
untuk mendapatkan simpati dari publik, dengan melalui media massa dengan
pengungkapan melalui bahasanya sendiri yang disampaikan ketika di wawancara
oleh presenter televisi, majalah, koran maupun lainnya. Di dalam masyarakat adat
Baduy, terdapat pula lembaga adat dan pemerintahan adat, yakni pimpinan
tertinggi (Puun) yang ikut berperan dalam keterlibatan konflik yang terjadi. Pihak
tersebut yang ikut berperan aktif dalam membendung konflik, namun seperti yang
telah disampaikan sebelumnya, penggembalaan hewan ternak tetap terjadi.
6.5 Ikhtisar
Konflik tanah hak ulayat Baduy sudah terjadi sejak tahun 1950, dan
hingga saat ini ancaman akan bahaya dan kesejahteraan terus menyelimuti warga
Baduy, bahkan ada ketidaktertiban yang dilakukan warga luar Baduy yang masih
menggembalakan hewan ternaknya. Konflik yang terjadi sebetulnya terfokus pada
batas-batas tanah ulayat Baduy dengan kawasan luar Baduy. Masyarakat Baduy
mengklaim batas tanah ulayat yaitu berdasarkan batas alam seperti sungai dan
batu. Sedangkan, ketika tahun 1969 batas yang ditetapkan oleh pihak Kehutanan
belum jelas sehingga pematokan/pemagaran batas tanah ulayat pun belum ada.
Oleh karena itu, disepakati melalui hukum adat bahwa tanah-tanah atau hutan
yang dilairi sungai memrupakan kawasan tanah ulayat Baduy.
Pada tahun 1968, warga Kecamatan Bojongmanik pernah melakukan
pembuatan sawah yang merupakan larangan bagi masyarakat Baduy. Tidak hanya
itu, warga tersebut juga memindahkan aliran sungai ke persawahannya. Hal ini
yang menjadi salah satu faktor penyebab konflik. Selain itu, warga luar kawasan
Baduy pun sering melakukan pembalakan terhadap hasil-hasil hutan dengan
90
penebangan pohon secara bebas dan sembunyi-sembunyi.
Pihak yang terlibat tidak hanya warga Kecamatan Bojongmanik, tetapi
hampir semua warga yang tepat berbatasan dengan kawasan Baduy, di antaranya
masyarakat Karang Combong, Cilebang, Kecamatan Sobang, dan warga
Kecamatan Muncang yang pernah mengerjakan ladang dengan menggarap tanah
ulayat tanpa seizin warga Baduy atau pihak desa terkait. Dengan kebutuhan yang
tidak terbatas serta perbedaan kepentingan, nilai dan budaya, mengakibatkan
konflik semakin melebar dan mencuat ke permukaan. Tidak hanya itu, faktor
ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam memanfaatkan hasil-hasil tanah ulayat
pun dirasakan oleh warga luar Baduy sehingga timbul sikap memberontak hutan
dengan cara menyerobot hutan tersebut.
Selain pihak-pihak terkait di atas, perusakan hutan dan tanaman di
kawasan Baduy pun kerap dilakukan oleh warga Desa Parakan Besi, Desa
Sukajadi, Desa Kebon Cau dan Desa Nayagati. Pihak-pihak tersebut termasuk
kedalam pihak yang tidak “mengindahkan” peraturan adat dan hukum Kabupaten
Lebak yang sudah jelas tercantum pada Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No.
32/2001, baik mengenai pengakuan terhadap kawasan Baduy yang merupakan
tanah ulayat serta batas-batasnya dan sanksi-sanksi jika ada pelanggaran. bahkan
tahun 1968 pun sudah dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Jawa Barat tentang Penetapan Status Hutan Larangan Desa Kanekes
Daerah Baduy sebagai Hutan Lindung Mutlak dalam Kawasan Hak Ulayat Adat
Propinsi Jawa Barat, yang saat itu Kabupaten Lebak masih di bawah Propinsi
Jawa Barat.
91
Peraturan yang ada tidak membuat warga luar Baduy takut dan waspada.
Justru sebaliknya, mereka semena-mena memanfaatkan hutan yang tidak digarap
atau diberakan dengan membuat ladang bahkan membuat gubuk di kawasan
Baduy dengan asumsi agar lebih mudah menggunakan lahan dan mengambil hasil
hutan. Namun, yang terpenting saat ini adalah bahwa penggembalaan hewan
ternak masih tetap ada dan keamanan Baduy masih belum stabil.
BAB VII
UPAYA YANG DILAKUKAN
DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK DI BADUY
7.1 Pendekatan Alternatif Penyelesaian Konflik
Menghadapi berbagai permasalahan lingkungan hidup, orang Baduy
yang pada prinsipnya cinta damai dan tidak pernah menggunakan kekerasan,
berada pada pihak yang lemah dan termarjinalkan. Mengikuti kepercayaan
mereka, maka nampaknya persoalan hidup tersebut akan dibawa ke kawasan
spiritual. Mereka akan patuh kepada cara pemecahan masalah atas arahan tetua
adat (puun dan jaro). Bahkan, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Negara (BPN) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Melalui undang-undang tersebut, pemerintah mengakui dan ingin
menghidupkan kembali keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat, termasuk
hak atas tanah dan hutan ulayat.
Untuk menangani permasalahan atau sengketa terkait penyerobotan tanah
ulayat Baduy, alternatif yang pernah dilakukan oleh masyarakat adat Baduy
adalah dengan langsung melaporkannya kepada atasan Kabupaten Lebak atau
Bupati, sehingga pernah membuat Pemerintah Kecamatan Bojongmanik
kewalahan. Karena masyarakat adat Baduy yang mengaku tidak begitu paham
dengan hukum pemerintahan, maka segala persoalan yang ada langsung di
serahkan kepada atasan tanpa melalui prosedur pengaduan yang seharusnya.
Berikut pernyataan informan yang datang dari Kecamatan Cirinten (mantan
93
pegawai Kecamatan Bojongmanik).
“Orang Baduy ‘ga berjenjang laporannya, tapi langung ke Bupati. Kita ampe kelabakan.
Kalo di masyarakat sini padahal ‘kan ada RT, RW, harusnya ‘kan laporan itu beruntun,
meningkat dari bawah ke atas”. (Bapak Dd (L), Sie. Kesos Kec. Cirinten)
Camat Bojongmanik (Bayu Rasa, SH.) dalam suratnya kepada Bupati
menjelaskan tanggal 23 Juni 2002, dalam sebuah musyawarah yang melibatkan
Kecamatan Leuwidamar, Kades Kanekes, Kades Karang Nunggal, dan Kades
Kebon Cau, bahwa telah dilaksanakan kembali pemasangan sebagian patok,
namun hasil musyawarah itu belum memuaskan semua pihak, dan perlu adanya
tindak lanjut dari Pemerintah Kabupaten Lebak. Meskipun demikian, masalah
perusakan patok telah ditangani Polsek setempat.
Kepala Desa Kanekes (Jaro Dnh), menegaskan bahwa pihaknya hingga
kini seminggu dua kali bersama warga Baduy melakukan pengawasan hutan-hutan
lindung di kawasan tanah ulayat. Pengawasan itu, menurutnya, dalam upaya
mencegah terjadi kerusakan hutan lindung dari orang-orang luar yang melakukan
penebangan pohon secara bebas.
“Kewajiban tugas dalam mengontrol hutan lindung atau mengawasi adalah semingggu
sampai sebulan sekali, atau dua minggu sekali”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
Hutan lindung yang berada di sebelah Timur Selatan Baduy Dalam,
tepatnya ke arah hulu Sungai Ciujung, lebih mengarah ke Gunung Kendeng
dengan luasan ± 3000 Ha. Menurut Msd, yang menjaga hutan lindung atau hutan
larangan adalah petugas tokoh adat yang sesuai dengan bidangnya terutama di
bagian keamanan serta pemerintah desa yang mempunyai hak untuk melindungi
hutan lindung tersebut, salah satunya adalah Kepala Desa Kanekes itu sendiri.
Bahkan Jaro Dnh pun meminta agar pemerintah daerah melindungi warga Baduy
94
dan tanah hak ulayatnya.
Dalam permasalahan tanah ulayat ini, warga masyarakat Baduy pernah
melihat langsung kejadian penebangan liar pada tanah ulayat di kawasan hutan
garapan Baduy tanpa izin pemiliknya, maka tindakan pertama yang dilakukan
adalah menangkap pelaku tersebut, kemudian diserahkan kepada polisi untuk
diproses. Karena permasalahan ini merupakan tanggungjawab desa, maka proses
penyelesaiannya pun diserahkan langsung ke polisi. Dimana hubungan tindakan
kejahatan yang dilakukan di desa diserahkan kepada polisi setempat. Berikut
pernyataan seorang informan.
“Ketahuan nebang pohon 1 batang, tewak (ditangkap), diproses, ditangkap polisi, dari adat
diserahkan ke polisi. Adat hubungannya dengan desa, desa kaitannya atau pelaporannya ke
polisi, masyarakat Baduy tidak mengerti hukum. Adat tidak mengerti hukum atau takut
salah paham”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
Di samping itu, selain penyelesaian yang dilakukan seperti yang
diuraikan di atas, masyarakat Baduy dengan masyarakat luar pernah melakukan
kesepakatan-kesepakatan atas batas-batas tanah yang berjanji tidak akan
menggunakan tanah tersebut untuk menanam pepohonan yang dilarang ditanam di
kawasan tanah ulayat Baduy terkait dengan adat/pikukuh12. Serta kesepakatan
mengenai perbuatan yang tidak akan diulang lagi dalam menebang pohon secara
bebas untuk memenuhi kebutuhannya (dijual atau dikonsumsi sendiri).
Kapolres Lebak AKBP, mengakui adanya kesepakatan antara Jaro Tujuh
Baduy sebagai saksi adat, Jaro Dnh dan Ast (sebagai pelaku utama atas batas
tanah ulayat yang dialiri sungai) untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah hak
95
ulayat Baduy secara kekeluargaan13.
7.2 Upaya Penanganan Berbagai Pihak yang Berkonflik
Konflik di antara berbagai pihak yang berkepentingan atas tanah hak
ulayat dapat diselesaikan ataupun dikelola melalui tiga dasar penyelesaian, yaitu
pertama langsung antar pihak yang bersengketa, dimana masing-masing pihak
yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri. Hal ini pernah
dilakukan oleh masyarakat adat Baduy melalui teguran langung kepada pihak
yang tertangkap basah ketika melakukan penebangan pohon secara bebas.
Kemudian dengan cara memberi pengertian dan pemahaman, bahwa dalam
masyarakat Baduy ada aturan adat dan keyakinan yang menyatakan bahwa,
apabila hutan ini dirusak maka akan terjadi bahaya, baik itu bencana alam maupun
kuwalat dari karuhun maupun leluhur.
12
Seperti yang tercantum dalam pantangan yang harus ditaati oleh warga Baduy, bahwa masyarakat Baduy
pantang dalam menanam kopi dan cengkeh, serta memotong kayu dengan gergaji.
13
Dikutip dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0208/20/nus06.html. “Belum Rampung, Sengketa Tanah
Hak Ulayat Baduy”. Diakses tanggal 21 April 2008.
Cara penyelesaian yang kedua adalah dengan mewakilkan kepada pihak
lain, dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara,
teman, kolega, dan asosiasi resmi. Masyarakat adat Baduy sudah pernah
melakukan cara ini, dimana pihak yang melakukan kejahatan dengan menebang
pohon secara liar, kemudian pembalakan, dan menggembalakan hewan ternak ke
tanah ulayat Baduy, yaitu dengan melaporkannya kepada pihak yang berwajib
yaitu kepolisian. Masyarakat Baduy yang mengetahui lebih awal peristiwanya
maka akan melaporkan pertama kali kepada pihak desa, dalam hal ini Jaro Dnh,
Jaro Sami sebagai Jaro Tangtu (Baduy Dalam) dan dilaporkan lagi ke Puun
sebagai pimpinan tertinggi di Baduy melalui aturan-aturan adat/pikukuh. Namun
tidak banyak pula yang dilakukan oleh Puun karena keterbatasannya dalam
berkomunikasi atau berhubungan langsung dengan orang luar selain para jaro.
96
Kemudian laporan tersebut oleh Jaro Dnh akan dilanjutkan lagi ke Kapolsek untuk
diproses dan kemudian pihak yang melakukan kejahatan akan didenda atau
dipenjara sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Berikut pernyataan informan.
“Oleh karena itu, jika orang luar merusak atau melakukan penebangan liar di hutan lindung
mereka harus ditindak tegas oleh aparat kepolisian”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
Adapun cara penyelesaian ketiga adalah dengan menggunakan pihak
ketiga, dimana peran pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas
permintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya.
Masyarakat adat Baduy tanpa berpikir panjang segera melaporkan tindakan
penyerobotan tanah ulayat kepada Bupati Banten untuk mempercepat pembuatan
patok dan membuat aturan berdasarkan hukum pemerintahan yang menguatkan
kepemilikan tanah ulayat Baduy. Akhirnya dibuatlah pembatas tanah ulayat
dengan menggunakan kawat serta patok di tiap batas yang memisahkan antara
Baduy dengan luar Baduy.
Seperti pernyataan yang diungkapkan oleh Bupati Kabupaten Lebak,
bahwa pihaknya telah berjanji akan memberikan bantuan kepada warga Baduy
untuk membangun pagar pembatas di lokasi tanah ulayat sehingga aman dari
pencurian kayu atau binatang ternak milik masyarakat luar. Di samping itu,
dengan keluarnya Peraturan Daerah No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas
Hak Tanah Ulayat Baduy, membuktikan bahwa kekuatan hukum yang ada
semakin mendukung masyarakat adat pada tanah ulayatnya, berikut pengelolaan
dan pemanfaatannya.
Namun, aturan hanya sebuah aturan, meski tanah ulayat Baduy itu sudah
dilindungi peraturan daerah, pada kenyataannya aturan tersebut tidak berjalan
97
akibat lemahnya penegakan hukum oleh aparat. Hal ini bahkan disampaikan oleh
Kepala Desa Kanekes yang tidak terlalu paham mengenai hukum pemerintahan.
Di samping itu, pihak dari Desa Kanekes pun sudah berkali-kali
melakukan pendekatan ke masyarakat luar Baduy agar tidak melanggar peraturan,
termasuk menggalang 120 tandatangan tokoh masyarakat luar di antaranya Kepala
Desa Kanekes, pihak bersangkutan, dan kepala desa kecamatan lain yang ikut
terlibat, namun penyerobotan tetap terjadi. Berdasarkan observasi, perilaku
tersebut timbul karena ada sebagian tanah ulayat di Baduy yang tidak tergarap
atau sedang diberakan. Selain itu, menurut pendapat As (warga Gajeboh, Baduy
Luar), warga luar Baduy serakah terhadap hasil-hasil tanah ulayat di Baduy
seperti kayu, pohon ranji, petai, termasuk kerusakan terhadap patok yang
merupakan batas yang sudah ditetapkan oleh hukum.
7.3 Hasil Akhir Penyelesaian Konflik
Konflik yang terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyarakat
luar Baduy hingga saat ini sudah mampu diselesaikan, meskipun ada berbagai
pihak yang merasa kesulitan karena “kewalahan” dengan dua pihak yang terlibat
yang saling memperebutkan batasan kawasan masing-masing yang dialiri sungai.
Hal ini terkait dengan sumberdaya yang mampu menghasilkan bagi salah satu
pihak, contohnya persawahan yang dimiliki oleh tokoh masyarakat warga Kebon
Cau. Masyarakat yang berkonflik tentu tidak semua warga tersebut terlibat,
namun hanya pihak-pihak tertentu saja yang memang tepat berbatasan dengan
kawasan tanah ulayat Baduy.
Adapun penyelesaian yang sudah diusahakan adalah pelaporan kepada
98
Kapolres melalui pengadilan kemudian dimasukkan ke penjara bagi warga yang
secara terang-terangan menyerobot tanah ulayat Baduy serta mencuri hasil-hasil
hutan secara berkala. Seperti pernyataan seorang informan berikut.
“Perbedaan batas eta sesuai persepsi masing-masing masyarakat. Adapun penyeleseanana
dengan mufakat, ada lembaran sebage buktina, 40 orang sebagai saksi, disaksikan pula oleh
Camat, Kepolisian, Kejaksaan. Bahkan aya oge palakuna nu diadili di Kapolisian lalu di
penjara”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes)
Di samping itu, konflik yang berkepanjangan hingga saat ini, dimana
hewan ternak terutama kerbau masih digembalakan ke hutan melewati batas tanah
ulayat Baduy, maka upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy adalah
dengan memberikan pemahaman, pengertian dan tanpa kekerasan. Seperti
pernyataan salah seorang informan berikut.
“Jadi kita itu punya prinsip, segala sesuatunya berjalan sesuai dengan prosedur. Adapun
menyelesaikannya kita tidak memakai kekerasan. Kita menempuh dengan hukum adat, atau
tata cara yang biasa dilakukan dengan kesepakatan”. (Bapak Msd (L), Wakil Jaro Tangtu,
Baduy Dalam)
Penanganan terhadap hewan ternak yang pernah merusak di tanah ulayat
Baduy adalah melalui pemberitahuan mengenai pemagaran sebelah timur dengan
kawat berduri yang merupakan bantuan pemerintah tahun 2007. Menurut Msd,
satu-satunya penyelamat hutan lindung yaitu dengan pagar tersebut, sesuai pula
dengan pernyataannya bahwa pagar tersebut fungsinya untuk memblokir
hewannya bukan orangnya.
Namun di sisi lain, upaya yang diharapkan sebagai hasil akhir
penyelesaian konflik ini adalah dengan jalan musyawarah. Penyelesaian dengan
cara mufakat merupakan tindakan yang kondusif karena menghadirkan berbagai
saksi, selain dari warga Baduy sendiri, disaksikan pula oleh Camat, Kepolisian,
Kejaksaan. Bahkan dengan kerusakan yang saat ini masih dialami, Kepala Desa
99
Kanekes mengirim surat ke Kecamatan Parakan Besi untuk mengamankan hewan
ternaknya. Upaya tersebut tidak hanya sekali dilakukan, melainkan tiap tahun
memberikan surat ke kepala desa tentang kerusakan akibat hewan ternak tersebut.
Dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dilihat prosedur yang
dilakukan dalam penyelesaian konflik atas tanah hak ulayat Baduy pada Tabel 6.
Dengan hasil akhir penyelesaian konflik tersebut (meskipun tidak
menyeluruh), hubungan antara warga luar Baduy dengan warga Baduy bisa
terjalin kembali, baik dalam hal interaksi sehari-hari, dalam jual beli maupun
usaha lainnya. Masyarakat yang berkonflik sudah bisa menerima kesalahan dan
mulai sadar akan pentingnya tanah ulayat Baduy bagi kehidupan warga Baduy
maupun warga sekitar dan masyarakat Banten.
100
Tabel 6. Prosedur Penyelesaian Konflik
Menurut
Soekanto
Deskripsi Menurut Hasil Penelitian
Hasil Akhir
Lumping it
Tidak ada pengabaian tentang
penyerobotan tanah ulayat, karena
keyakinannya terhadap hutan yang apabila
dirusak maka akan memimbulkan bencana.
Kehidupan warga Baduy mulai
resah dan tidak tenang, sehingga
mulai melaporkan kepada Puun
melalui kepala desa (tokoh adat).
Avoidance or
exit
Tidak diakhiri begitu saja, justru
masyarakat Baduy semakin membahas
sengketa tanah bahkan ke media massa.
Penyampaian aspirasi masyarakat
Baduy kepada Pemerintah
Kabupaten Lebak di saat Seba.
Coercion
Penyampaian teguran agar masyarakat luar
mengerti dan paham tentang batas tanah
ulayat dan pemanfaatannya, terkait dengan
Perda No. 32/2001.
Masyarakat luar Baduy mulai
berkurang dalam menyerobot tanah
ulayat Baduy.
Negotiation
Masyarakat Baduy bermusyawarah dengan
masyarakat luar Baduy untuk mencapai
kesepakatan dengan mempertemukan
berbagai pihak yang terlibat dalam konflik.
Penandatanganan oleh berbagai
pihak yang terlibat (120 orang)
serta persetujuan tidak akan
mengulangi perbuatan
penyerobotan atau pengrusakan
tanaman oleh hewan ternak.
Conciliation
Menyatukan langsung pihak berkonflik
dalam diskusi tentang kerusakankerusakan yang terjadi.
Permohonan ganti rugi yang
dipenuhi oleh warga luar Baduy
(dapat dilihat pada lampiran).
Mediation
Ketika aturan adat tidak terlalu kuat dalam
memberikan sanksi untuk mengatur warga
luar maka diserahkan kepada Kapolsek.
Percepatan proses yang dilakukan
pihak kepolisian dalam menindak
pelaku utama yang berkonflik.
Arbitration
Penindakan oleh hukum dengan
memberikan denda sebesar Rp.5 juta atau
dipenjara.
Pelaku yang berasal dari Karang
Combong pernah di penjara karena
penyerobotan/ pembalakan.
Adjudication
Tidak terjadi dalam kasus tanah ulayat
Baduy, melainkan tokoh adat Baduy
melaporkan langsung tindakan
penyerobotan warga luar kepada Bupati.
Pematokan dengan pagar yang
menggunakan kawat berduri serta
patok sehingga jelas batas-batas
tanah ulayat.
101
7.4 Ikhtisar
Bab ini membahas tentang upaya penyelesaian konflik yang terjadi antara
warga Baduy dengan warga luar Baduy. Konflik yang terjadi sudah merupakan
konflik terbuka sehingga harus diangkat ke permukaan agar bisa dikomunikasikan
dengan efektif dalam penyelesaiannya. Upaya penyelesaian tersebut dilakukan
agar keseimbangan alam tetap terjaga dan masyarakat Baduy terbebas dari
ancaman bahaya serta penderitaan akibat tindakan penyerobotan terhadap hutan
yang dilakukan warga luar Baduy. Upaya yang pernah dilakukan untuk tujuan
tersebut adalah melalui Bupati, dimana masyarakat adat Baduy melaporkan
peristiwa penyerobotan dan dampaknya kepada pimpinan tertinggi di Kabupaten
Lebak.
Di samping itu, dilakukan pula upaya penyatuan pihak yang berkonflik,
baik melalui pihak yang ketiga maupun langsung antar pihak yang bersengketa.
Dalam hal ini, masyarakat adat Baduy lebih memilih untuk menyerahkan
permasalahan hukum kepada pihak berwajib yaitu kepolisian.
Adapun dalam penjagaan atau pengawasan hutan lindung, Kepala Desa
Kanekes bersama tokoh-tokoh adat bertugas mengunjungi hutan tersebut setiap
dua minggu sekali. Apabila ada warga yang terlihat sedang melakukan
penebangan pohon tanpa izin, maka orang tersebut ditegur dan diberikan
pemahaman dan pengertian akan aturan adat serta dampaknya kepada masyarakat
Baduy. Jika tetap terjadi, maka Kepala Desa Kanekes memberikan surat
peringatan kepada kepala desa terkait untuk tidak mengulangi tindakan
102
penyerobotan dan penggunaan tanah ulayat tanpa izin.
Konflik yang belum juga terselesaikan antara warga Baduy dan warga
luar Baduy, maka diambil upaya penyelesaian terakhir yaitu melalui musyawarah
dengan membuat kesepakatan-kesepakatan/perjanjian dengan penandatanganan
dari berbagai pihak yang terlibat konflik serta saksi yang hadir. Dengan demikian,
adanya perjanjian yang tertulis berikut sanksi-sanksi yang disepakati bersama,
akhirnya konflik pun mulai mereda. Selain itu, pemerintah pun ikut
memberitahukan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun
2001 tentang Perlindungan atas Hak Tanah Ulayat Baduy Namun, kondisi hutan
saat ini masih belum stabil dengan adanya penggembalaan hewan ternak yang
masih terus berlanjut.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka kesimpulan yang
dapat diambil adalah :
1.
Hipotesis pertama tidak dapat sepenuhnya diterima, karena kondisi saat ini
tanah ulayat sebagian besar hanya sebagai tempat tinggal utama dan
mampu menghasilkan sumber pangan padi dari hasil huma. Di samping
itu, hasil-hasil kayu dari pohon-pohon yang ada di sekitar hutan atau
kawasan Baduy pun tetap memberikan sumbangsih dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Meskipun demikian, masyarakat adat Baduy tidak begitu
bergantung pada tanah ulayat sebagai penghasilan utama. Karena, fakta
menunjukkan bahwa masyarakat adat Baduy berdagang ke luar kampung
bahkan ke luar kota untuk meningkatkan perekonomiannya. Tidak hanya
itu, masyarakat adat Baduy pun memiliki pohon-pohon besar seperti kopi,
karet dan cengkeh di luar kawasan Baduy.
Tanah ulayat bagi masyarakat adat Baduy memiliki nilai magis-religius
sehingga penting untuk dijaga, dikelola, dipelihara dan dilestarikan.
Karena di kawasan hutan lindung, ada sebuah sasaka domas yang
disucikan (sakral) dengan keyakinan bahwa benda tersebut memiliki
kekuatan ghaib yang mampu menangkal bahaya dan bencana alam di
Baduy. Bagi masyarakat adat Baduy hutan juga merupakan sumberdaya
yang mampu untuk menjaga kelestarian sumber air (tempat penyimpanan
air) bagi kampung-kampung sekitar bahkan untuk kepentingan seluruh
104
masyarakat di Banten maupun propinsi lain.
2.
Hipotesis kedua dapat diterima, dengan fakta yang menunjukkan bahwa
penyerobotan tanah dan penebangan liar serta penggembalaan hewan
ternak yang dilakukan masyarakat luar kawasan Baduy, meresahkan
masyarakat Baduy sehingga konflik tanah pun mencuat ke permukaan.
Pada akhirnya, masyarakat adat Baduy melakukan perlawanan dengan cara
menegur dan menasehati pihak yang terlibat secara langsung - prinsip
masyarakat Baduy yang cinta damai - dan melaporkan ke Kepala Desa
Kanekes. Konflik tanah tersebut lebih memfokuskan kepada batas-batas
tanah ulayat dengan wilayah luar Baduy. Karena bagaimanapun, tanah
ulayat yang sudah ditetapkan melalui hukum adat tidak boleh
berpindahtangan dari satu pihak ke pihak lain karena tanah ulayat bukan
saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi yang akan
datang.
3.
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy sudah cukup memadai
dalam menjelaskan mengenai kepemilikan/penguasaan serta pemanfaatan
dan
batasannya.
Meskipun
peraturan
tersebut
sudah
ditetapkan,
masyarakat luar Baduy kurang memperhatikan butir-butir peraturan yang
ada, bahkan melanggar aturan adat yang berlaku di Baduy. Sehingga,
upaya masyarakat Baduy dalam menyelesaikan konflik tersebut yaitu
dengan cara bermusyawarah dengan menghadirkan berbagai saksi,
terutama pihak yang ikut terlibat. Tujuan musyawarah tersebut adalah
untuk membuat kesepakatan-kesepakatan/perjanjian yang menyatakan
105
tidak akan mengulangi tindakan penyerobotan. Upaya penyelesaian pun
dilakukan hingga pelaporan kepada pihak kepolisian untuk diproses lebih
lanjut sesuai hukum Pemerintah Kabupaten Lebak. Berbagai upaya
dilakukan akhirnya konflik pun mulai mereda. Namun, satu hal yang
belum tertib yaitu penggembalaan hewan ternak di kawasan Baduy.
Saran
Berdasarkan permasalahan di atas, maka saran yang ingin disampaikan
adalah :
1. Kepada pihak pemerintah agar lebih memperhatikan serta mengawasi
hutan lindung yang merupakan faktor penting kehidupan warga Baduy dan
Banten.
2. Pemerintah segera menindaklanjuti pembalakan-pembalakan yang masih
terjadi di Baduy dan menegakkan aturan sesuai dengan prosedur yang ada.
3. Kepada pihak masyarakat Baduy, agar lebih memperhatikan kembali
kawasannya dengan penanaman kembali hutan yang sudah gundul, serta
memiliki komitmen terhadap aturan adat.
4. Kepada pihak luar Baduy, diharapkan tidak semena-mena memanfaatkan
tanah ulayat Baduy yang sudah jelas batas dan peraturan penggunaannya
dalam Perda Kab. Lebak No. 32/2001.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2004. ‘Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Banten’. Dikutip dari www.kehati.or.id/kehati-award/
dokumen 2004.php. Kategori “Prakarsa Lestari Kehati”. Diakses 30 Juni
2007.
Asnamawati, Lina. 2004. “Partisipasi Masyarakat Adat dalam Pelestarian Hutan
(Studi Kasus : Masyarakat Kampung Cibeo (Baduy Dalam), Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)”. Skripsi.
Depatemen Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Bahruni. 1999. Diktat Penelitian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Fakultas
Kehutanan. IPB.
Berita-regional.infogue.com. “Warga Baduy Minta Hutan Mereka Tetap Terjaga”.
Dikutip dari
www.regional.infogue.com/warga_baduy_minta_hutan_
mereka_tetap_terjaga/email. Diakses Tanggal 11 Juli 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Balai Pustaka. Jakarta
Detik News. 2008. ‘Melongok Kehidupan Suku Baduy’. Dikutip dari
www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/
detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/27/time/073008/idnews/785564/idkanal/
10. Diakses tanggal 05 Januari 2008.
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak.
2004. “Membuka Tabir Kehidupan : Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan
Cisungsang serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug”. Tidak
diterbitkan.
Djoewisno. 1987. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Khas Studio. Jakarta.
Fisher, S.; D.I. Abdi; J. Ludin; R. Smith; S. Williams& S. Williams. 2001.
Mengelola Konflik : Kemampuan dan Strategi untuk Bertindak. S.N.
Kartikasari; M.D. Tapilatu; R. Maharani & D.N. Rini (Penterjemah).
Terjemahan. The British Council. Jakarta
Fuad, Faisal. H. dan Siti Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa
Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka LATIN. Bogor.
Garna, Y. 1993. ‘Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di
Indonesia’. Penyunting (ed) Koentjaraningrat. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/
107
0408/wis02.html. Diakses 30 Juni 2007.
Ilham, Moh. 2006. “Analisa Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat
Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus : Masyarakat Desa Curugbitung,
Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)”. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
Irham, Zul. 2003. “Studi Konflik Lahan dalam Rangka Menunjang Kebijakan
Pembangunan yang Berkelanjutan di Wilayah Kabupaten Lampung
Tengah”. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Karsodi, Eka Ratna Juwita. 2007. “Analisis Konflik Areal Eks Tumpang Sari
PERUM Perhutani Di Wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (Studi Kasus Di Dusun Gunung Putri, Desa Sukatani, Resort
Gunung Putri, Seksi Konservasi Wilayah III Cianjur Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango)”. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1975. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. PT.
Gramedia. Jakarta.
Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nasoetion. 2000. “Pemberdayaan Peran Badan Pertanahan Nasional dalam
Mengelola Sengketa Agraria”. Pusat Kajian Agraria : Prosiding Lokakarya
“Pola Penguasaan Lahan dan Pola Usaha serta Pemberdayaan BPN dan
PEMDA dalam Rangka Partisipasi Rakyat di Sektor Perkebunan”. Eds.
Endriatmo Soetarto et. al. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Hal. 51-58.
Nasoetion, Lutfi I. 2002. “Konflik Pertanahan (Agraria)” dalam “Menuju
Keadilan Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi”. Eds. Endang Suhendar et.
al. Yayasan AKATIGA. Bandung.
Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia, Refleksi dan Prospek.
Yayasan Adi Sanggoro. Bogor.
Nugraha, Agung. 2004. Menyongsong Perubahan : Menuju Revitalisasi Sektor
Kehutanan. Seri Kajian Politik Kehutanan. Wana Aksara. Banten.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak. 2001. “Peraturan Daerah Kabupaten
Lebak No. 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Nomor 65 Tahun
2001 Seri C)”.
Permana. 2001. Dikutip dari www.id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes. “Arca
Domas Baduy : Sebuah Referensi Arkeologi dalam Penafsiran Ruang
Masyarakat Megalitik, Indonesian Archeology On the Net”. Diakses tanggal
16 Maret 2007.
108
Pranowo, H.A. 1985. Manusia dan Hutan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sabara, Juanita Edith. 2006. “Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Di Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan
Timur”. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Saleh, Ridha M. 2003. Dari Insidental Ke Perlawanan Terorganisir “Munculnya
Gerakan Masyarakat Adat : dalam Tnjauan Teoritis”. Pengantar : Noer
Fauzi Rahman. WALHI. DOKIS. Institut Pertanian Bogor.
Sangaji, Anto. 1999. Negara, Masyarakat Adat dan Konflik Ruang. Jaringan Kerja
Pemetaan Partisipatif. Bogor.
Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.
Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar.
Persada. Jakarta.
PT Raja Grasindo
Soekmadi, R. 1987. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pencari Kayu Bakar di
Taman Nasional Baluran. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Soemarwoto, Otto. 2001. Ekologi, Lingkungan Hiudp dan Pembangunan.
Penerbit Djambatan. Jakarta.
Suara Pembaruan. 2008. ‘Masyarakat Baduy Kecam, Perusak Hutan Ditindak
Tegas’.
Dikutip
dari
www.suarapembaruan.com/News/2008/04/15/
Nusantar/nus12.htm. Diakses 11 Juli 2008.
Sumardi et al. 1997. Peranan Nilai Budaya Daerah dalam Upaya Pelestarian
Lingkungan Hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta. Direktorat Jenderal
Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta.
Suratmo, F.G. 1974. Perlindungan Hutan. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan
Tinggi IPB. Bogor.
Tempo Interaktif. 2006. ‘Penyerobotan Tanah Baduy Merajalela’
www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/05/08/brk,2006050877172,id.
html. Diakses tanggal 05 Januari 2008.
Wahyuni, E.S. & Pudji Muljono 2003. “Berpikir dan Menulis Ilmiah”.
Community Empowerment for Rural Development Project (CERD) ADB
LOAN No. 1765 - INO. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). ANDI. Yogyakarta.
LAMPIRA
N
110
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
Dalam Peta Kecamatan Leuwidamar, Kota Rangkasbitung
111
Lampiran 2 lanscape
112
Lampiran 3. Data Pemilihan Responden & Informan
Responden (R) &
Informan (I)
Kepala Desa (Jaro
Pamarentahan) (I)
Wakil Jaro Tangtu (I)
Panggiwa/Pembantu
Masyarakat
Kampung Cibeo,
Baduy Dalam
Kelompok Masyarakat
Masyarakat
Masyarakat
Kampung
Kampung Gajeboh,
Cikeusik, Baduy
Baduy Luar
Dalam
Masyarakat
Kec.
Bojongmanik
1 orang (L) : Dnh
-
-
-
1 orang (L) : Msd
-
-
1 orang (L) : Srm
-
Jaro (I)
Carik/Sekretaris Desa
(I)
-
-
1 orang (L) : Sp
Tokoh Masyarakat (I)
-
-
2 orang (L) : As, Ai
Warga masyarakat (R)
1 orang (L) : Ju
1 orang (L) : Ars
-
1 orang (L) :
Mm
2 orang (L) :
Dd, End
-
Keterangan :
• Jaro Pamarentahan adalah sebutan bagi kepala desa/pimpinan Kanekes yang
berdasarkan sistem pemerintahan secara nasional.
• Wakil Jaro Tangtu adalah wakil kepala desa Baduy Dalam.
• Panggiwa adalah pembantu jaro dalam pengurusan pemerintahan secara adat
bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan
pemerintah nasional.
• Carik adalah pembantu jaro dalam pengurusan pemerintahan secara adat
bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan
pemerintah nasional. Carik bukan merupakan warga Baduy, melainkan warga
luar Baduy yang sudah PNS.
• Tokoh masyarakat adalah warga yang mengetahui dengan pasti peristiwaperistiwa yang terjadi serta memiliki pengaruh pada masyarakat, dan bisa
dipercaya oleh masyarakat kampung tersebut.
• Warga masyarakat adalah penduduk yang berada di suatu tempat tinggal,
khususnya di kawasan Baduy Dalam.
113
Lampiran 4 lanscape
114
115
Lampiran 5. Panduan Pertanyaan
KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TANAH ULAYAT BADUY
PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG
(Studi Kasus : Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)
I.
Karakteristik Responden
1. Nama Lengkap
2. Jenis kelamin
3. Umur
Tanggal :
: ………………………Inisial (………)
: ………………………………………
: ………………………………………
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Asal kampung
: ………………………………………
Jumlah anggota keluarga
: ………………………………………
Tempat lahir
: ………………………………………
Berapa luas lahan yang Anda miliki?
Apakah status (jabatan) Anda di desa?
Berapa jarak tempat tinggal Anda dari hutan?
Berapa lama Anda tinggal di desa?
Apakah pekerjaan utama Anda?
Berapa lama Anda menjalani pekerjan utama Anda?
Berapa besar pendapatan pekerjaan utama Anda per bulan?
Sebutkan……
Apakah Anda memiliki pekerjaan sampingan?
Apakah pekerjaan sampingan Anda?
Sebutkan…….
Berapa pendapatan dari pekerjaan sampingan Anda per bulan?
Sebutkan……
Berapa lama Anda menjalani pekerjaan sampingan tersebut?
Sebutkan……
Apa yang Anda ketahui tentang tanah ulayat?
Apa yang Anda ketahui tentang konflik tanah ulayat Baduy?
A. PERSEPSI MASYARAKAT ADAT TERHADAP TANAH ULAYAT PADA
KAWASAN HUTAN LINDUNG
A.1 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Manfaat Tanah Ulayat pada Kawasan
Hutan Lindung
1. Bagaimana kepercayaan/keyakinan yang berlaku pada masyarakat?
2. Apa yang Anda ketahui tentang tanah ulayat?
3. Menurut Anda, mengapa Pemerintah menentukan daerah tanah ulayat?
4. Menurut Anda apakah tanah ulayat mempunyai manfaat?
5. Jika ya, apa saja manfaat tanah ulayat yang Anda ketahui?
6. Dari manfaat yang Anda ketahui, manfaat apa saja yang dapat Anda rasakan secara
langsung dapat dinikmati?
7. Apakah ada aturan tertentu dalam pemanfaatan tanah ulayat?
8. Siapa yang mengatur pemanfaatan tanah hak ulayat?
9. Bagaimana batas-batas tanah hak ulayat yang dapat dimanfaatkan?
10. Apakah ada larangan dalam mengambil hasil pada tanah ulayat tersebut?
116
11. Larangan apa saja yang berlaku?(jawaban boleh lebih dari satu)
12. Kenapa larangan tersebut yang berlaku?
13. Siapa yang menentukan larangan tersebut?
14. Bagaimana jika ada masyarakat yang melanggar?
15. Apa saja hasil hutan yang dapat Anda ambil?
16. Jumlah jenis sumberdaya hutan yang diambil dari hutan (perhari/ perminggu/
perbulan/pertahun) ……
17. Jumlah kayu bakar yang diambil dari hutan (perhari/ perminggu/ perbulan/
pertahun)……
18. Bagaimana cara Anda mengambil kayu bakar?
19. Bagaimana cara pengambilan daun/rumput yang Anda lakukan?
20. Bagaimana legalitas dalam mengambil sumberdaya hutan?
21. Bagaimana Anda menggembalakan hewan ternak sendiri?
22. Apa yang diperlukan untuk kebutuhan hewan ternak tersebut?
23. Jika hasil hutan yang diinginkan sudah tidak tersedia/terbatas/habis saat itu, apa yang
dilakukan?
24. Berapa banyak kayu bakar yang dikumpulkan dalam tiap kali perjalanan?
Sebutkan…
25. Apakah ada aturan mengenai tempat yang boleh digunakan untuk mengambil kayu
bakar, berburu, berladang serta berternak?
26. Kenapa aturan tersebut yang berlaku?
A.2 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Kepemilikan Tanah Ulayat
1. Menurut Anda tanah ulayat milik siapa?
2. Apakan Anda memiliki hak atas tanah ulayat?
3. Jika ya, hak apa saja yang dimiliki oleh masyarakat?
4. Atas dasar apa masyarakat merasa mempunyai hak?
5. Jika tidak, apa alasannya?
6. Apakah Anda mempunyai kewajiban atas hutan tersebut?
7. Jika ya, apa saja bentuk kewajiban itu?
8. Mengapa Anda merasa punya kewajiban itu?
9. Bagaimana jika kewajiban itu tidak dilaksanakan?
A.3 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Fungsi dan Status Tanah Ulayat
1. Apa fungsi tanah ulayat yang Anda ketahui?
2. Apakah Anda merasakan fungsi tanah ulayat tersebut pada kawasan hutan lindung?
3. Jika ya, apakah saat ini fungsi hutan tersebut masih bisa dirasakan?
4. Jika tidak, sejak kapan tidak berfungsi?
5. Apakah menurut Anda di masa yang akan datang fungsi tanah ulayat akan seperti
yang Anda ungkapkan?
6. Jika ya/tidak, seperti apa fungsi tanah ulayat kedepan?
7. Apakah Anda tahu status tanah hak ulayat Baduy?
8. Dari mana Anda tahu mengenai status tanah hak ulayat tersebut?
9. Apakah saat ini status tersebut masih berlaku?
10. Jika ya, bagaimana status tersebut berjalan?
11. Jika tidak, mengapa demikian?
12. Apakah menurut Anda di masa yang akan datang status tanah ulayat masih akan
seperti yang Anda ungkapkan?
13. Jika ya/tidak, seperti apa status tanah ulayat kedepan?
14. Apa yang menyebabkan status tanah ulayat tersebut berubah atau tidak berlaku lagi?
15. Siapa yang menetapkan status tanah ulayat tersebut?
16. Mengapa dia yang menentukan?
117
A.4 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Hasil-hasil (Isi) Tanah Ulayat
1. Menurut Anda, tanaman apa saja yang ada di tanah ulayat pada kawasan hutan
lindung?
2. Selain tanaman yang Anda sebutkan, apa lagi yang terdapat di tanah ulayat pada
kawasan hutan lindung?
A.5 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Pihak-pihak yang Dapat Memanfaatkan
Tanah Ulayat pada Kawasan Hutan Lindung
1. Menurut Anda, siapa saja yang dapat memanfaatkan tanah ulayat?
2. Apakah Anda tahu dasar yang menetapkan pihak pemanfaat tanah ulayat tersebut?
A.6 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Bencana Alam (BA) dan Kerusakan
Lingkungan
1. Apakah pernah terjadi bencana alam di Baduy?
2. Jika ya, apakah bencana tersebut ada kaitannya dengan keberadaan tanah ulayat pada
kawasan hutan lindung?
3. Jika ya, bagaimana kaitannya?
4.
5.
Jika tidak, apa yang menyebabkan?
Jika sumberdaya tanah ulayat mengalami kerusakan, apakah ada kerugian yang Anda
rasakan?
6. Jika jawaban Anda ya, kerugian apa yang Anda rasakan?
7. Menurut Anda apa yang dimaksud dengan kerusakan sumberdaya tanah ulayat?
8. Menurut Anda apa penyebabnya?
9. Jika ya, bagaimana cara melestarikannya?
10. Jika tidak, apa alasannya?
B. Kebutuhan
1. Apakah ada tempat-tempat larangan di hutan?
2. Kenapa tempat tersebut dilarang?
3. Bagaimana jika ada masyarakat yang masuk kedalam tempat larangan tersebut?
4. Apakah ada aturan mengenai pohon apa saja yang boleh ditebang?
5. Kenapa aturan tersebut yang berlaku?
6. Apakah masyarakat melakukan aturan tersebut?
7. Apakah ada aturan mengenai pohon apa saja yang boleh ditanam?
8. Kenapa aturan tersebut yang berlaku?
9. Apakah masyarakat melakukan aturan tersebut?
C.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Ketergantungan
Menurut Anda apakah kondisi hutan di sini cukup baik?
Menurut Anda, hutan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan lingkungan?
Apakah masyarakat mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya hutan?
Jika ya, apa saja kepentingan tersebut?
Menurut Anda, apakah masyarakat mempunyai hak dalam memanfaatkan
sumberdaya hutan?
Jika ya, apa hak yang dimiliki masyarakat terhadap sumberdaya hutan?
Menurunnya kualitas sumberdaya hutan akan berdampak negatif terhadap
masyarakat?
Jika ya, apa saja dampaknya pada masyarakat?
Siapakah yang paling dirugikan jika sumberdaya hutan rusak?
Apakah ada hak pemilikan lahan?
Berdasarkan apa hak pemilikan lahan tersebut?
Kenapa harus berdasarkan aturan tersebut?
Siapa yang menentukan hak tersebut?
118
Apakah harus izin jika ingin melakukan kegiatan mengambil kayu bakar, berburu,
berladang serta berternak?
Izin kepada siapa?
Apakah ada aturan mengenai kauntitas dan jenis tanaman yang boleh ditanam?
Kenapa aturan tersebut yang berlaku?
Jika masyarakat melanggar, sanksi apa yang diberikan?
Apakah ada aturan mengenai tempat yang boleh digunakan untuk mengambil kayu
bakar, berburu, berladang dan menggembalakan ternak?
Kenapa aturan tersebut yang berlaku?
Berapa sering dalam (sehari/seminggu/sebulan)‫ ٭‬melakukan kegiatan mengambil
kayu bakar, berburu, berladang serta berternak?
Tingkat ketergantungan terhadap hutan (sangat tergantung, tidak tergantung)
Pertanyaan Umum Untuk Tokoh Adat Mengenai Konflik
1. Apa yang Anda ketahui tentang konflik?
2. Apakah dalam masyarakat pernah terjadi konflik?
3.
Apakah tanah hak ulayat pada kawasan hutan lindung menjadi rebutan masyarakat
yang ingin memanfaatkannya?
4. Bagaimana pengambilan tanah hak ulayat tersebut terjadi?
5. Mengapa terjadi hal demikian?
6. Apakah peristiwa tersebut bisa dikatakan konflik?
7. Sampai sejauhmana konflik itu terjadi?
8. Siapa saja yang terlibat dalam konflik atau penyerobotan tanah hak ulayat?
9. Mengapa di antara pihak tersebut terjadi konflik?
10. Bagaimana cara menyelesaikan konflik tersebut?
II. Panduan Pertanyaan untuk Informan
Informan (Tokoh Adat Baduy Dalam; Kampung Cibeo & Kampung Cikeusik)
1. Sejak kapan Anda tinggal di daerah ini?
2. Bagaimana pandangan Anda terhadap penduduk setempat di luar pemukiman
Baduy?
3. Apakah ada upaya kerjasama dalam menjalani hidup antara kaum penduduk di luar
kawasan/pemukiman dan penduduk kawasan/pemukiman Baduy?
4. Apakah pernah terjadi konflik antara penduduk di luar kawasan/pemukiman dengan
penduduk kawasan/pemukiman Baduy?
5. Apakah kejadian ini sering terjadi?
6. Apakah penyebab terjadinya konflik tanah sebagai hak ulayat Baduy pada kawasan
hutan lindung?
7. Apakah ada upaya-upaya masyarakat dalam menangani konflik? Siapa saja yang ikut
terlibat dalam penanganan konflik?
8. Mengapa pihak tersebut mau berupaya menangani konflik?
9. Apakah ada kepentingan dari berbagai pihak yang berupaya menangani konflik?
10. Apakah upaya-upaya tersebut sudah cukup memuaskan berbagai pihak, khususnya
bagi masyarakat Baduy Dalam?
11. Upaya-upaya apa lagi yang menurut pemikiran Anda dapat meminimalisir terjadinya
konflik yang berkepanjangan?
12. Siapa saja yang dilibatkan dalam pengelolaan konflik?
13. Bagaimana hubungan timbal balik antara : (a) individu, (b) individu dengan
masyarakat, (c) individu dengan kepala desa, (d) masyarakat dengan kepala desa119
(f)
individu dengan jaro, (g) masyarakat dengan jaro?
14. Bagaimana sikap Anda terhadap upacara-upacara adat dan kebiasaan-kebiasaan
setempat?
15. Pada saat konflik hak ulayat, apa saja yang dilibatkan (apa saja yang
dipermasalahkan -> faktor-faktor) ?
16. Kesepakatan-kesepakatan apa saja yang dihasilkan dari upaya-upaya
penyelesaian/meredam konflik?
17. Menurut Anda, bentuk kegiatan apa lagi yang harus dilakukan/sebaiknya dalam
meningkatkan hubungan kerjasama antara penduduk/masyarakat?
Informan (Tokoh Adat Desa Kebon Cau)
1. Sejak kapan Anda tinggal di daerah ini?
2. Manfaat apa yang dirasakan setelah adanya kekayaan sumberdaya alam terutama
tanah ulayat pada kawasan hutan lindung Baduy?
3. Bagaimana sikap masyarakat Baduy pada saat awal kedatangan hingga saat ini
terhadap masyarakat setempat di luar kawasan Baduy?
4. Apakah ada upaya kerjasama dalam menjalani hidup antara penduduk di luar
kawasan/pemukiman dan penduduk kawasan/pemukiman Baduy?
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
18.
12.
13.
14.
15.
Apakah pernah terjadi konflik antara penduduk di luar kawasan/pemukiman dengan
penduduk kawasan/pemukiman Baduy?
Apakah kejadian ini sering terjadi?
Apakah penyebab terjadinya konflik tanah sebagai hak ulayat Baduy pada kawasan
hutan lindung?
Apakah ada upaya-upaya masyarakat dalam menangani konflik? Siapa saja yang ikut
terlibat dalam penanganan konflik?
Apakah upaya-upaya tersebut sudah cukup puas?
Upaya-upaya apa lagi yang menurut pemikiran Anda dapat meminimalisir terjadinya
konflik yang berkepanjangan?
Bagaimana peranan pemerintah/jaro/kepala desa dalam pengelolaan konflik hak
ulayat Baduy tersebut?
Bagaimana hubungan timbal balik antara : (a) individu, (b) individu dengan
masyarakat, (c) individu dengan kepala desa, (d) masyarakat dengan kepala desa (f)
individu dengan jaro, (g) masyarakat dengan jaro?
Di dalam matapencaharian, apakah Anda lakukan secara gotong royong/bersamasama?
Apakah anda mengambil hasil hutan dengan izin masyarakat kawasan Baduy atau
Jaro Baduy?
Kesepakatan-kesepakatan apa saja yang dihasilkan dari upaya-upaya
penyelesaian/meredam konflik?
Menurut Anda, bentuk kegiatan apa lagi yang harus dilakukan/sebaiknya dalam
meningkatkan hubungan kerjasama antara penduduk/masyarakat?
120
Lampiran 6. Pengalaman Peneliti di Lapangan
Sejak awal, fokus penelitian ini adalah mengenai konflik pemanfaatan
sumberdaya tanah ulayat Baduy pada kawasan hutan lindung. Peneliti
mengasumsikan hutan pada tanah ulayat Baduy masih dalam kondisi baik dan
merupakan hak mutlak warga Baduy. Hal ini dikarenakan informasi yang peneliti
dapatkan dari Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata
Kabupaten Lebak (2004) bahwa persengketaan tanah di Baduy sudah terjadi sejak
tahun 1950. Dengan demikian, berdasarkan literatur yang peneliti dapatkan bahwa
konflik tanah yang terjadi di Baduy disebabkan oleh adanya penyerobotan yang
dilakukan oleh pihak luar Baduy yang berada pada batas-batas alam kawasan
Baduy. Citra Baduy yang dikenal sebagai masyarakat adat yang masih memegang
teguh adat istiadat serta prinsip hidup kesederhanaan, serta memiliki indigenous
knowledge yang mempertahankan keseimbangan alam, maka tidak akan
membiarkan hutan alamnya rusak akibat tindakan penyerobotan yang dilakukan
masyarakat luar Baduy.
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy menandakan adanya penguatan
terhadap pengakuan status tanah Baduy serta batas-batas dan pengaturan
pemanfaatan serta pengelolaannya. Kenyataan ini menimbulkan rasa ingin tahu
peneliti mengenai konflik yang terjadi di Baduy, padahal peraturan yang ada
sudah diberlakukan bahkan sudah dikeluarkan sejak tahun 1968 yaitu Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat tentang Penetapan
Status Hutan Larangan Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai Hutan Lindung
Mutlak dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat. Selain itu, ada
Keputusan Bupati Lebak No. 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batasbatas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Sebelum era otonomi daerah pun telah muncul
Perda Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga
Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak.
Konflik ini sudah banyak terjadi juga di wilayah adat lainnya. Namun
peneliti lebih memilih di Baduy karena selain ketertarikan untuk membahas
konflik serta persepsi yang dibangun oleh warga Baduy terhadap tanah ulayat,
juga karena lokasi yang dekat dengan tempat tinggal peneliti. Sehingga dalam
mengambil data pun lebih mudah dan cepat. Ditambah dengan potensi yang
begitu banyak dari hutan Baduy yang saat ini masih menjadi persengketaan.
Selain itu, pikukuh yang saat ini berlaku pun mulai melebur dengan banyaknya
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy sendiri, seperti
menggunakan telepon genggam dan menanam kopi serta cengkeh di luar Baduy.
Di sisi lain, kawasan Baduy pun merupakan kawasan wisata sehingga dapat
merefresh pikiran ketika peneliti menemui kejenuhan dalam melakukan
penelitian. Di satu sisi lagi, peneliti sudah pernah ke Baduy saat SMA dan
memiliki kenalan di Baduy, sehingga mudah dalam mencacri informamn maupun
responden guna memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan.
Peneliti juga mendapatkan informasi mengenai jumlah penduduk Baduy
yang semakin bertambah, namun tanah (volume dan intensitasnya) tidak
bertambah. Sehingga, banyak warga Baduy yang berpindah dari satu kampung ke
kampung lain atau dari Baduy Dalam ke Baduy Luar, bahkan ada yang pindah ke
luar Baduy. Saat ini, terjadi pemekaran kampung yang awalnya kampung di
Baduy hanya terdiri dari 40 kampung, saat ini sudah menjajdi 59 kampung.
Namun data yang diperoleh peneliti hanya 51 kampung. Selain berkaitan dengan
jumlah penduduk, di Baduy pun sudah ada sawah di dekat perbatasan Baduy,
bahkan ada di kampung Cicakal Girang. Kampung ini adalah kampung yang
berbeda dengan kampung yang ada di Baduy. Keyakinan warga kampung Cicakal
Girang adalah menganut agama Islam dan beribadah sesuai keyakinannya
tersebut, bahkan sudah mengenakan kerudung dan rumah pun dibuat dari bahan
batu-bata.
Hari pertama peneliti tiba di lokasi penelitian (Kamis, 08 Mei 2008)
cukup mengesankan, karena selain bertemu dengan warga adat Baduy Luar,
peneliti pun bertemu dengan warga Baduy Dalam yang saat itu akan melakukan
upacara Seba ke Kabupaten Lebak dengan menyerahkan hasil-hasil hutan yang
diperoleh sesuai kemampuannya. Ketika itu pula, peneliti langsung menemui Pak
Mursyid sebagai Wakil Jaro Tangtu (Baduy Dalam) untuk mendapatkan informasi
terkait topik penelitian. Akhirnya peneliti pun mendapat jawaban yang cukup
dapat menjelaskan konflik yang terjadi serta pandangannya pada tanah ulayat
Baduy dan harapannya kedepan. Menurutnya, tanah Baduy adalah tanah ulayat
dan seluruh kawasan Baduy adalah milik masyarakat Baduy. Pemerintah hanya
sebagai pelindung, sedangkan warga Baduy menggunakan dan memanfaatkan
serta mengelola tanah dan hutan tersebut. Bahkan beliau pun sudah tahu adanya
Perda Kabupaten Lebak No.32/2001.
Setelah mewawancarai Pak Mursyid, peneliti melakukan penelitian yang
selanjutnya bersama Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes. Informasi yang
didapatkan adalah bahwa beliau memiliki tanah di luar dan menanam pohon kopi
dan cengkeh yang merupakan tanaman yang dilarang ditanam di Baduy. Beliau
pun menggungkapkan bahwa hasil dari pohon tersebut untuk menambah
penghasilan dan memenuhi kebutuhan sendiri. Adapun informasi yang didapat
peneliti mengenai konflik, bahwa konflik yang sudah terjadi sejak dulu, saat ini
sudah mulai mereda dan tidak ada lagi konflik yang berkepanjangan. Karena
menurutnya, sudah jelas dalam aturan adat bahwa warga luar Baduy tidak bisa
seenaknya menyerobot atau mengambil hasil hutan Baduy, bahkan larangan pula
untuk menggembalakan hewan berkaki empat yaitu kerbau. Beliau menjelaskan
dengan serius, bahwa apabila terjadi penyerobotan yang sama hingga saat ini,
maka yang rugi adalah warga Baduy dan warga sekitar bahkan bangsa dan negara.
waktu pun sudah gelap, dan peneliti akhirnya menyudahi wawancara
tersebut dengan mendapatkan informasi yang sudah hampir mewakili setiap
pertanyaan yang ada. Selanjutnya, peneliti pun menginap di Rumah Pak Diman di
Kampung Kaduketug, Baduy Luar. Hal yang peling berkesan, karena tinggal di
tempat yang tidak terdapat lampu hanya ada lampu tempel, tapi sudah ada kamar
mandi, padahal itu merupakan salah satu larangan di Baduy. Keesokan harinya,
peneliti pun pulang ke rumah, karena akan sangat tidak efektif ketika melakukan
penelitian, tapi warga atau tokoh masyarakat yang ingin diwawancarai tidak ada
ditempat, justru akan melakukan upacara Seba ke Kabupaten Lebak, dilanjutkan
ke Propinsi. Namun sebelum itu, di pagi harinya, peneliti mewawancarai salah
satu tokoh masyarakat Baduy dari Gajeboh, yaitu Bapak Asid. Namun beliau
sudah keluar dari Baduy, saat ini beliau bekerja sebagai PNS.
Hari berikutnya, peneliti kembali ke Baduy untuk mewancarai Wa Ailin
yang tahu mengenai informasi yang dibutuhkan. Peneliti menginap di Gajeboh, di
rumah Wa Ailin, dan kondisi di sana tidak ada lampu dan tidak ada kamar mandi.
Jadi, peneliti agak kesulitan untuk mandi dan sebagainya. Kemudian perjalanan
dilanjutkan ke Baduy Dalam, ke rumah Jaro Sami, kampung Cibeo. Perjalanan ke
sana membutuhkan perbekalan yang cukup terutama air minum. Selain itu fisik
pun harus kuat, karena waktu yang ditempuh menuju Baduy Dalam sekitar 2 jam,
dengan melalui perbukitan dan pegunungan.
Ketika sampai, hal yang mengesankan kembali dirasakan oleh peneliti,
karena adanya bentuk rumah yang unik serta betul-betul jauh dari keduniawian.
Baduy Dalam masih alami dan menyatu dengan alam. Wawancara pun dilakukan
dengan Jaro Sami terkait pandangannya terhadap tanah ulayat Baduy, kemudian
konflik yang pernah terjadi berikut urutan peristiwanya serta upaya yang pernah
dilakukan dan dampak konflik tersebut bagi warga Baduy Dalam, khususnya, dan
Baduy serta warga sekitar pada umumnya. Selama perjalanan menuju kesana,
peneliti ditemani oleh seorang teman dari Baduy, dan di tengah perjalanan
bertemu dengan warga Cikeusik. Akhirnya, peneliti pun bertanya mengenai halhal yang terkait dengan penelitian, sambil melihat kondisi lapang saat itu.
Keingintahuan yang besar dari peneliti, sehingga mengharuskan peneliti
berkunjung ke Kecamatan Bojongmanik untuk mendapatkan informasi yang jelas
mengenai konflik dan pandangan warga luar Baduy terhadap konflik yang terjadi
serta pada kondisi tanah ulayat Baduy. Peneliti melakukan wawancara bersama
Bapak Mamat sebagai Sekretaris Camat Bojongmanik, kemudian tokoh
masayarakat Kebon Cau yaitu Bapak Arja. Tidak hanya sampai disitu, peneliti
pun melanjutkan perjalanan sampai ke Kecamatan Cirinten, yang merupakan
pemekaran dari Kecamatan Bojongmanik. Selama perjalanan kesana, peneliti
ditemani oleh orang tua (Ayah) dengan menggunakan sepeda motor. Kesan yang
didapatkan peneliti adalah “luar biasa” karena perjalanannya yang begitu jauh
serta banyak tikungan dan naik-turun (perbukitan).
Setelah melakukan wawancara dan observasi, di kemudian harinya
peneliti meminta data sekunder kepada pihak Desa Kanekes terkait konflik dan
data-data mengenai perjanjian yang pernah dibuat dalam upaya penyelesaian
konflik di Baduy. Setelah itu, peneliti ditemani oleh Kakak dan akhirnya data
yang dibutuhkan pun diperoleh dengan cepat. Peneliti melakukan penelitian
selama 1,5 bulan. Menurut peneliti, data yang terkumpul sudah lengkap bahkan
dari Pemerintah Kabupaten Lebak pun sudah diperoleh, maka waktu yang cukup
singkat tersebut sudah mampu memberikan luang bagi peneliti memperoleh
informasi terkait penelitian.
123
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK
NOMOR: 65 TAHUN 2001 SERI C
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK
NOMOR 32 TAHUN 2001
TENTANG
PERLINDUNGAN ATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LEBAK
Menimbang:
a. Bahwa Masyarakat Baduy. sebagai masyarakat adat yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersarna suatu persekutuan hukum yang mengakui dan
menerapkan ketentuan persekutuan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari. memiliki
wilayah yang bersifat ulayat serta memiliki hubungan dengan wilayahnya tersebut;
b. Bahwa Masyarakat Baduy dalam melakukan hubungan dengan wilayahnya diatur dan
dibatasi pada wilayah ulayatnya, sehingga perlu dilindungi;
c. Bahwa untuk melakkukan perlindungan atas hak ulayat Masyarakat Baduy perlu
ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak.
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pkok-pokok Agraria
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten
(lembaran Negara Nomor 182, Tambahan Lembaran negara Nomor 4010);
5. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 6 Tahun 1986 tentang
Penunjukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang Melakukan Penyidikan
Terhadap Pelanggaran Peraturan Daerah yang Memuat Ketentuan Pidana (Lembaran
Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 3 tahun 1986 Seri E);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten
Daerah Tingkat II Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 1991 Nomor 1
Seri D);
7. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 4 Tahun 2000 tentang Tata Cara dan
Teknik Penyusunan Peraturan Daerah dan Penerbitan Lembaran Daerah (Lembaran
Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2000 Nomor 4 Seri D);
8. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 30 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis
Kabupaten Lebak Tahun 200-2005 (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2001
Nomor 63 Seri D);
9. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2001
Nomor 64 Seri C);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LEBAK
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TENTANG
PERLINDUNGAN ATAS
HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Lebak;
2. Bupati adalah Bupati Lebak;
3. Perlindungan adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dan masyarakat dalam melindungi tatanan masyarakat Baduy dari upaya-upaya yang
mengganggu/merusak yang berasal dari luar masyarakat Baduy;
4. Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat
hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan;
5. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu;
6. Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes
Kedamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri kebudayaan dan adat
istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum;
7. Penggunaan Lahan adalah setiap upaya yang dilakukan baik oleh perorangan maupun
oleh kelompok orang tertentu/badan yang berkaitan dengan pengusahaan lahan bagi
peruntukkan pertanian, perkebunan, dan pemanfaatan hasil alam lainnya;
8. Masyarakat Luar Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di luar di Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak;
9. PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Lebak yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
B A B II
HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY
Bagian Pertama
Penetapan Wilayah Hak Ulayat
Pasal 2
Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi
dan dituangkan dalam Berita Acara sebagai landasan penetapan Keputusan Bupati.
Pasal 3
Wilayah Hak Ulayat Masyarakat Baduy dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah
dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai.
Pasal 4
Segala peruntukkan lahan terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya
kepada Masyarakat Baduy.
Bagian Kedua
Pengecualian Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Baduy
Pasal 5
Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak meliputi bidang-bidang tanah yang:
a. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah
menurut Undang-undang Pokok Agraria;
b. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi
Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara
yang berlaku.
B A B III
BATAS-BATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY
Bagian Pertama
Batas Desa
Pasal 6
Desa Kanekes sebagai wilayah pemukiman Masyarakat Baduy memiliki batas-batas Desa
sebagai berikut:
a. Utara:
1. Desa Bojong Menteng Kecamatan Leuwidamar.
2. Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar.
3. Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar.
b. Barat:
1. Desa Parakan Besi Kecamatan Bojongmanik.
2. Desa Kebon Cau Kecamatan Bojongmanik.
3. Desa Karang Nunggal Kecamatan Bojongmanik.
c. Selatan
1. Cikate Kecamatan Cijaku
d. Timur:
1. Karangcombong Kecamatan Muncang.
2. Desa Cilebang Kecamatan Muncang.
Bagian Kedua
Batas Alam
Pasal 7
Wilayah Masyarakat Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam
sebagai berikut:
a. Utara : Kali Ciujung;
b. Selatan : Kali Cidikit;
c. Barat : Kali Cibarani;
d. Timur : Kali Cisimeut.
Pasal 8
Batas-batas yang lebih detail tentang keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Baduy yang
diukur
berdasarkan hasil pengukuran dan pematokan oleh Dinas/Instansi terkait ditetapkan
dengan
Keputusan Bupati.
B A B IV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 9
1) Setiap Masyarakat Luar Baduy yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak dan
menggunakan lahan hak ulayat Masyarakat Baduy diancam pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,- (lima juta rupiah).
2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
BABV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 10
1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang khusus sebgai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud Pasal 8.
2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana tersebut agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lengkap dan jelas.
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana tersebut.
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana tersebut.
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana tersebut.
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut.
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana tersebut.
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang
atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e.
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut.
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
j. menghentikan penyidikan.
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
tersebut menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
B A B VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
Dalam rangka menghindari perselisihan dan kesimpangsiuran hak ulayat Masyarakat
Baduy dari kepentingan perorangan serta sebagai wujud pengakuan hak Masyarakat
Hukum Adat, maka upaya pensertifikasian wilayah Baduy tidak diperkenankan.
Pasal 12
Keputusan Bupati tentang batas-batras detail wilayah hak ulayat Masyarakat Baduy harus
sudah ditetapkan selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah
ini.
B A B VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lebak.
Disahkan di Rangkasbitung
pada tanggal 13 Agustus 2001
BUPATI LEBAK,
ttd.
H. MOCH. YAS’A MULYADI
Diundangkan di Rangkasbitung
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LEBAK,
ttd.
Drs. H. NARASOMA
Pembina Utama Muda
NIP. 480 066 774
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TAHUN 2001 NOMOR 65 SERI C.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK
NOMOR 32 TAHUN 2001
TENTANG
PERLINDUNGAN ATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY
I. PENJELASAN UMUM
1. Gambaran Umum Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy bertempat tinggal di Wilayah Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dijadikan Desa Deginitif dengan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 140/Kep. 526-Pemdes/1986
Tanggal 10 April 1986 dengan luas 5.101 Ha dan jumlah penduduk sebanyak 7181
jiwa dengan 1.997 kepala keluarga.
Masyarakat Baduy terdiri atas 2 (dua) kelompok, yaitu:
• Masyarakat Baduy Dalam yang mendiami kampung Cikeusik, Cikertawang dan
Cibeo.
• Masyarakat Baduy Luar yang mendiami kampung-kampung:
1. Kampung Keduketug;
27. Kampung Cangkudu;
2. Kampung Cipondok;
28. Kampung Cisadane;
3. Kampung Babakan Kaduketug;
29. Kampung Cibagelut;
4. Kampung Kadukaso;
30. Kampung Cibogo;
5. Kampung Cihulu;
31. Kampung Pamoean;
6. Kampung Balingbing;
32. Kampung Cisaban;
7. Kampung Marengo;
33. Kampung Babakan Cisaban;
8. Kampung Gajeboh;
34. Kampung Leuwihandam;
9. Kampung Leuwibeleud;
35. Kampung Kaneungay;
10. Kampung Cipaler;
36. Kampung Kadukohak;
11. Kampung Cipaler Pasir;
37. Kampung Ciracakondang;
12. Kampung Cicakal Girang;
13. Kampung Babakan Cikakal Girang;
14. Kampung Cipiil;
15. Kampung Cilingsuh;
16. Kampung Cisagu;
17. Kampung Cijanar;
18. Kampung Ciranji;
19. Kampung Babakan Eurih;
20. Kampung Cisagulandeuh;
21. Kampung Cijengkol;
22. Kampung Cikadu;
23. Kampung Cijangkar;
24. Kampung Cinangsi;
25. Kampung Batubeulah;
26. Kampung Bojong Paok;
38. Kampung Panyerangan:
39. Kampung Batara;
40. Kampung Binglugemok;
41. Kampung Sorokokod;
42. Kampung Ciwaringin;
43. Kampung Kaduketer;
44. Kampung Babakan Kaduketer;
45. Kampung Cibongkok;
46. Kampung Cikopeng;
47. Kampung Cicatang;
48. Kampung Cigula;
49. Kampung Karahkal;
50. Kampung Kadugede;
51. Kampung Kadujangkung.
2. Eksistensi Pertanahan Masyarakat Baduy
Tempat hidup dan mencari penghidupan Masyarakat Baduy tersebut yang termasuk
dalam lingkup Hak Ulayat Baduy.
Terhadap masalah yang menyangkut tanah, Masyarakat Baduy tidak mengaku tanah
sebagai hak milik pribadi, mereka mendapat titipan tugas “ngasuh ratu, ngajaga
menak” sehingga mereka tetap setiap kepada yang berkuasa dan dibuktikan dengan
adanya acara “Seba” kepada Bupati dan Residen pada setiap tahun setelah selesai
upacara “Ngalaksa”.
Upaya memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah Masyarakat Baduy sudah
dilakukan jauh sebelum diundangkannya Peraturan Daerah ini yang dirintis sejak
Tahun 1986 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Jawa Barat Nomor: 203/B.V/Pem?SK/1968 Tanggal 19 Agustus 1968
tentang Penetapan Status Hutan “Larangan” Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai
“Hutan Lindung Mutlak” dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat.
Berbagai kesulitan telah dihadapi dalam merumuskan pemberian perlindungan Hak
Ulayat Masyarakat Baduy, hal ini berkaitan dengan hakikat hukum adat yang hanya
diakui dalam bentuk tak tertulis oleh persekutuan hukum yang didasarkan pada
kesamaan tempat tinggal (teritorial) dan keturunan (genealogis).
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tanggal 24 Juni 1999 tentang Pendoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat beberapa kendala yang dihadapi
akhirnya dapat terselesaikan.
129
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Pencantuman tanah ulayat dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan
suatu tanda kartografi harus pula menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya
dalam daftar tanah.
Pasal 4
Penyerahan sepenuhnya atas Hak Ulayat kepada Masyarakat Baduy dilakukan dalam
upaya menjaga hakikat persekutuan hukum adat sebagai persekutuan hukum yang
komunal.
Pasal 5
Pengecualian ini berpedoman pada Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perbuatan mengganggu, merusak dan menggunakan lahan adalah
tindakan-tindakan yang dianggap tabu/larangan oleh masyarakat Baduy seperti
menggembalakan hewan/ternak berkaki empat kecuali anjing dan kucing, meracuni
sungai untuk menangkap ikan, mengeksploitasi tanah ulayat masyarakat Baduy seperti
melakukan penggalian pasir dan batu serta mengambil daun aren di tanah ulayat
masyarakat Baduy di tanah ulayat masyarakat Baduy adalah termasuk dalam kategori
pelanggaran terhadap ketentuan pidana pasal ini.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4.
130
Lampiran 8. Struktur Pemerintahan Adat Desa Kanekes
PUUN
TANGKESAN
JARO
TANGTU
BARESAN
GIRANG
SEURAT
JARO 12
KOKOLOTAN
PANGHULU
JARO
PAMARENTAH
PANGGIWA
KOKOLOT
CARIK
131
Foto Kegiatan dan Kondisi Baduy
132
Perjalanan ke Cibeo melalui Sungai
Hasil hutan : Kayu Albasiah
Kondisi hutan garapan saat ini
Kondisi Hutan Lindung
Rumah Penduduk Baduy Luar
Rumah Penduduk Cicakal Buleud (Baduy
Luar) dengan tanda lingkaran hitam di atas :
masih memegang teguh tradisi
133
Jembatan bambu dari Gajeboh menuju kampung Cicakal Girang
Leuit di Baduy Luar
Leuit (lumbung padi) warga Baduy Luar (Gajeboh)
Warga Gajeboh sedang
menumbuk padi
Warga Baduy Dalam
Sebelah kiri dari arah
depan adalah
Bapak Msd
Warga Baduy Dalam saat
perjalanan Seba
134
Jembatan Gajeboh
Wa Ailin beserta
keluarga
Di Gajeboh
Warga Baduy Luar
Warga Baduy Dalam yang
mengenakan putih-hitam
135
Kegiatan membuat kerajinan tangan : selendang/kain
panjang/kain penutup kepala
Pengumpulan hasil hutan :
kayu
Download