KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TANAH ULAYAT BADUY PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus : Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten) YULIYA HASANAH A14204010 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Pikukuh Baduy Mipit kudu amit, ngala kudu menta ngagedag kudu bewara ngali cikur kudu ngatur ulah goroh ulah linyok ngadek kudu sacekna nu enya kudu dienyakeun nu ulah kudu diulahkeun ulah sirik, ulah pidik Larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang dirobah lojor teu meunang dipotong pendek teu meunang disambung gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang diruksak ulah ngaruksak bangsa jeung nagara Dalam Garna. 1987. Orang Baduy Dari Inti Jagat. PT. Bayu Indra Grafika. Yogyakarta Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur kepada Allah SWT, karya ilmiah ini penulis haturkan untuk ilmu pengetahuan semata. Tidak bermaksud menyudutkan pihak-pihak tertentu. RINGKASAN YULIYA HASANAH. “KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TANAH ULAYAT BADUY PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus : Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes - Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)”. (Di bawah Bimbingan ENDRIATMO SOETARTO) Penelitian ini menggunakan konsep tentang konflik yang dianalisis berdasarkan kegiatan penyerobotan yang dilakukan masyarakat luar terhadap sumberdaya hutan di Baduy. Konflik ini erat kaitannya dengan persepsi masyarakat adat terhadap pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan tanah ulayat Baduy, terutama hasil-hasil hutan. Berangkat dari pandangan umum bahwa konflik tanah ulayat akan menyebabkan ketidaktertiban dan bencana serta bahaya baik bagi warga Baduy maupun warga sekitar. Penelitian ini mencoba mengungkap konflik yang terjadi di Baduy terkait dengan tanah ulayat yang merupakan hak mutlak milik warga Baduy. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan, mempelajari dan mendeskripsikan : (1) Persepsi masyarakat adat Baduy tentang konsep tanah ulayat di kawasan Baduy; (2) Proses terjadinya konflik tanah ulayat serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik tersebut; dan (3) Upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik di Baduy. Berkaitan dengan tujuan penelitian, studi ini juga berusaha menjelaskan secara singkat mengenai dampak dari kegiatan penyerobotan terutama dari segi kenyamanan warga Baduy, keamanan dan hubungan sosial antara warga Baduy dengan luar Baduy. Pilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja yaitu di Desa KanekesSuku Baduy (Baduy Dalam dan Baduy Luar), Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2008. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa kajian berupa konflik tanah ulayat Baduy serta pihak yang terlibat di lokasi penelitian dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara lebih spesifik . Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan eksplanatif dan gabungan strategi studi kasus instrinsik dengan instrumental. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam, pengamatan secara partisipatif dan observasi lapang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen, baik dokumen pemerintah desa, lembaga pemerintahan, dan pencarian data di internet. Masyarakat adat di Indonesia sebagian besar homogen. Baduy merupakan masyarakat yang hidup dalam pikukuh/peraturan adat yang sudah ditetapkan sejajk nenek moyang ada. Oleh karena itu, masyarakat adat Baduy hidup dengan harmonis, baik dalam pergaulan dengan masyarakat Baduy itu sendiri, dengan masyarakat luar Baduy atau dengan lingkungan alam dimana mereka bertempat tinggal. Dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari guna memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat adat Baduy tinggal di sebuah pemukiman yang dekat dengan hutan garapan, sehingga dengan mudah dapat memanfaatkan hasil-hasil hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat adat Baduy, juga pengawasan yang terjaga dalam rangka mengelola hutan lindung. Tanah ulayat Baduy pada kawasan hutan lindung berbatasan dengan wilayah-wilayah luar Baduy, sehingga untuk mengakses hasil-hasil sumberdaya hutan tersebut, maka warga luar Baduy lebih mudah memperolehnya. Kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat serta pertambahan jumlah penduduk merupakan faktor yang membuat warga luar Baduy sewenang-wenang dalam menggunakan dan memanfaatkan tanah ulayat Baduy. Masyarakat adat Baduy memiliki indigenous knowledge, sehingga untuk menjaga keseimbangan alam maka dilakukan upaya pengawasan dan pelestarian hutan agar tidak rusak. Sesuai dengan keyakinannya, bahwa “gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, ulah ngaruksak bangsa jeung nagara”. Ini membuktikan bahwa ada aturan adat yang menguatkan agar gunung tidak dilebur, dan lembah tidak boleh dirusak, sehingga bangsa dan negara pun tidak akan rusak. Selain itu, warga Baduy pun berpandangan bahwa hutan adalah titipan karuhun dan Gusti Allah sehingga harus dijaga dan disucikan. Namun, warga luar Baduy belum memahami akan pentingnya tanah ulayat sebagai sarana pendukung kehidupan warga Baduy maupun sebagai tempat penyembahan atau bertapa. Ketidakpahaman warga luar Baduy ditunjukkan dengan tindakan penyerobotan terhadap sumberdaya hutan serta penebangan pohon secara bebas. Selain itu, warga luar Baduy pun melanggar pantangan adat Baduy dengan membuat sawah, menggunakan tanah untuk berladang, apalagi tanpa izin pihak Desa Kanekes, serta penggembalaan hewan ternak yang dibebaskan ke kawasan hutan lindung. Bahkan salah satu warga Kecamatan Bojongmanik yang berbatasan dengan Baduy melakukan pensertifikatan atas tanah seluas 8.983 m2 dari luasan tanah ulayat Baduy sekitar 5.101,85 ha. Penyerobotan tersebut menyebabkan kerusakan alam, tanah longsor serta erosi. Tidak hanya itu, wilayah Banten yang mendapat sumber air dari Baduy pun mengalami penghambatan akibat gundulnya hutan. Dengan penjelasan tersebut sudah cukup memberikan penggambaran mengenai faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik. Konflik di Baduy sudah terjadi sejak tahun 1950, dan hingga saat ini masih tetap terjadi pembalakan terutama penggembalaan hewan ternak yang belum bisa ditangani. Padahal, berbagai upaya sudah pernah dilakukan baik oleh warga Baduy sendiri maupun warga luar Baduy. Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 (Bab 1 Pasal 1) tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Desa Kanekes ditetapkan sebagai tanah hak ulayat yang berarti kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Peraturan tersebut cukup menguatkan kepemilikan tanah ulayat Baduy dan merupakan salah satu solusi dalam penyelesaian konflik, di samping pemagaran dan pematokan batas tanah ulayat Baduy yang tidak permanen oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Upaya masyarakat adat Baduy dalam penyelesaian konflik adalah membuat perjanjian dengan warga luar Baduy untuk tidak mengulangi penyerobotan lagi. Perjanjian ini ditandatangani oleh pihak yang terlibat konflik, serta pelaporan kepada pihak kepolisian. KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TANAH ULAYAT BADUY PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus : Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten) YULIYA HASANAH A14204010 SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TANAH ULAYAT BADUY PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG (STUDI KASUS : MASYARAKAT BADUY DALAM DAN BADUY LUAR, DESA KANEKES - KECAMATAN LEUWIDAMAR, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN)” BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI TELAH DINYATAKAN SECARA JELAS DAN DAPAT DIBUKTIKAN KEBENARANNYA. Bogor, Agustus 2008 Yuliya Hasanah A14204010 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Yuliya Hasanah, dengan nama panggilan Yuli atau Iyung. Penulis dilahirkan di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, pada tanggal 14 Juli 1986 dari Bapak Hasan Hermawan dan Ibu Iah Juhaeniah. Penulis adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara, di antaranya Hasan Sutisna, Nani Nurhasanah, Laeli Maulida dan Lilis Sulistiawati. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah tahun 1992 SD Negeri III Rangkasbitung Barat dan lulus pada tahun 1998, SLTP Negeri 4 Rangkasbitung dan lulus pada tahun 2001, SMU Negeri 1 Rangkasbitung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tanggal 21 Juli 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis adalah mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis menjadi Asisten Dosen di Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi Tahun Ajaran 2006/2007-2007/2008. Organisasi yang pernah diikuti penulis adalah LDK DKM Al-Hurriyyah di Divisi Syiar sebagai Bendahara tahun 2006/2007-2007/2008, dan OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Banten sebagai Bendahara. Di tahun 2006/2007 penulis berkecimpung di dunia broadcaster sebagai penyiar di Radio Agri 107,7 FM (Agri FM the Voice of Agriculture). Kemudian bersama teman-teman AlHurriyyah di Bulan Desember Tahun 2008 mendirikan Radio Komunitas Muslim IPB ALVO (Al-Hurriyyah Voice) 107,4 FM yang bertempat di samping Aula AlHurriyyah. Di samping itu, penulis juga mengikuti kegiatan di luar kampus IPB, yaitu Kepanduan Santika tahun 2007/7008, dan pernah berpengalaman bekerja di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar BASIC yang saat ini berganti nama menjadi Lembaga Bimbingan Belajar SIMPLE pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris untuk kelas VI. Hingga saat ini, penulis masih bergabung bersama ILNA Training Center. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT., karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini. Dengan segenap do’a dan perjuangan, Skripsi yang berjudul “Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Tanah Ulayat Baduy pada Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus : Masyarakat Baduy, Desa Kanekes - Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)” ini dapat selesai tepat waktu. Adapun tujuan penulisan Skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Tahun Akademik 2007/2008 pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, Skripsi ini menjelaskan mengenai konsep pemahaman masyarakat Baduy terhadap tanah ulayat serta menunjukkan fenomena konflik tanah ulayat yang diserobot oleh masyarakat luar Baduy dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, serta proses konflik yang terjadi dan upaya penyelesaiannya dari pihak yang terlibat. Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis, tidak lain untuk perbaikan penulisan Skripsi ini. Akhirnya, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dan dapat digunakan dengan sebenar-benarnya. Bogor, Agustus 2008 Yuliya Hasanah A14204010 UCAPAN TERIMAKASIH Selama masa penyelesaian Skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan dukungan baik berupa moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kakuatan Iman dan Islam sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan. Sekaligus, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai Dosen Pembimbing atas arahan, waktu dan pikiran dalam membimbing dan membantu penulis, sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam perilaku dan ucapan yang kurang berkenan. 2. Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai Pembimbing Akademik yang sudah mengarahkan selama ± 4 tahun ini. 3. Martua Sihaloho, Msi yang sebagai dosen penguji utama yang telah bersedia meluangkan waktu dan kritikan serta saran untuk memperbaiki skripsi ini. 4. Heru Purwandari, Msi sebagai dosen penguji wakil departemen untuk ketelitiannya dalam sistematika dan kelengkapan konsep. 5. Keluarga tercinta, Apa, Umi, Teh Lilis, Teh Leli, The Nani di Qatar sareng A Tisan) atas curahan kasih sayang, do’a-do’a, dorongan semangat, arahan serta pikiran dan juga atas episode-episode indah yang kita jalani bersama dan atas kepercayaan yang begitu besar dan keikhlasan hati untuk memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan pendidikan di Bogor. 6. Jaro Dainah sebagai Kepala Desa Kanekes-Baduy, Bapak Sapin sebagai Sekretaris Desa, Wa Ailin, Bapak Asid, Bapak Sarman, Bapak Sami (Jaro Baduy Dalam, Cibeo), Bapak Juli, Bapak Arsid yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. Terimakasih untuk semua waktu, informasi kegiatan dan masukan data selama proses penelitian di lapangan. 7. Bapak Arja Wiraatmaja, S.Pd sebagai Kasi Kesos dan H. Mamat R. Setiadi, SH di Kecamatan Bojongmanik yang telah meluangkan waktu serta pikirannya dan informasi yang diberikan saat penelitian di lapangan. 8. Bapak Dedi dan Bapak Endin di Kecamatan Cirinten yang sudah meluangkan waktu dan memberikan informasi demi kelancaran penelitian. 9. Teman-teman kosan As-Sakinah, Sarah, Arina, Wahyu, Mae, Fahmi, Midhe, Emi, terimakasih atas bantuan, do’a, sedih dan tawa yang telah menemani kebersamaan penulis dalam membuat skripsi, serta dorongan semangat yang tidak pernah bosan mengucapkan kata “Semangat!”. 10. Ka Ibey dan Farhan, terimakasih atas bantuannya sudah mencarikan literatur mengenai Baduy. 11. KPM’ers ’41 yang berjuang bersama dalam menyelesaikan Skripsi, khususnya Munir sebagai teman satu bimbingan yang sabar dan pengertian serta banyak membantu, juga Retno, Pangkau, Gita, Devi, Nani, Ica, Ubi dan KPM’ers lainnya yang ikut mendo’akan. Harapannya, persahabatan kita yang sudah terbina selama 4 tahun tetap terjalin. 12. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman LDK DKM AlHurriyyah, Alvo Crew (M’Nelly, Retno, Linda, Bayu, K’Asep, Hanhan), ISC (Aqil, Ayi, Holil), teman-teman LDF yang memiliki satu visi dan misi dalam berdakwah (Aci, Desi, Uda Aji, Rangga), serta seluruh pihak yang telah memberikan dorongan semangat, sumbangsih serta do’a sehingga penyelesaian Skripsi ini terwujud. Bogor, Agustus 2008 Yuliya Hasanah A14204010 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI......................................................................................................... i DAFTAR TABEL................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................ 1 5 6 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Masyarakat Adat.................................................................. 8 2.1.1 Pengertian Masyarakat Adat .................................................. 8 2.1.2 Masyarakat Adat Baduy dan Kearifan Tradisional ................ 9 2.1.3 Kebudayaan Masyarakat Adat Baduy ....................................13 2.2 Konsep Tanah dan Hak Ulayat pada Kawasan Hutan Lindung.......15 2.2.1 Pengertian Tanah....................................................................15 2.2.2 Makna Tanah Menurut Masyarakat Adat...............................16 2.2.3 Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy......................................17 2.2.4 Kelestarian Hutan Lindung ....................................................22 2.2.5 Interaksi Masyarakat Adat dengan Hutan ..............................23 2.3 Konsep Persepsi ...............................................................................24 2.3.1 Pengertian Persepsi.................................................................24 2.3.2 Persepsi Terhadap Nilai Sumberdaya Hutan..........................25 2.4 Konsep Konflik................................................................................27 2.4.1 Pengertian dan Sumber Konflik .............................................27 2.4.2 Teori-Teori yang Berkaitan dengan Konflik ..........................29 2.4.3 Tipe-Tipe Konflik ..................................................................31 2.4.4 Faktor-Faktor Penyebab Konflik............................................32 2.4.5 Pengelolaan Konflik ...............................................................34 2.5 Konsep Kerangka Berpikir ..............................................................37 2.6 Hipotesis Pengarah ..........................................................................40 2.7 Definisi Konseptual .........................................................................40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Strategi Penelitian ............................................................................43 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................44 3.3 Teknik Pengumpulan Data...............................................................45 ii 3.3 Teknik Analisis Data .......................................................................46 BAB IV KONDISI UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT BADUY 4.1 Kondisi Fisik...........................................................................................48 4.1.1 Letak Geografis................................................................................49 4.1.2 Pola Tata Ruang Lahan ...................................................................52 4.2 Kondisi Sosial .........................................................................................55 4.2.1 Kepercayaan atau Religi .........................................................55 4.2.2 Bahasa dan Pendidikan ...........................................................57 4.2.3 Interaksi Masyarakat Baduy ...................................................58 4.2.4 Sikap dan Perilaku Masyarakat Baduy terhadap Lingkungan ..............................................................58 4.2.5 Sistem Pemerintahan...............................................................59 BAB V PERSEPSI MASYARAKAT ADAT BADUY TENTANG KONSEP TANAH ULAYAT DI KAWASAN BADUY 5.1 Persepsi Terhadap Nilai Sumberdaya Hutan ...................................60 5.2 Persepsi Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Hutan pada Tanah Ulayat Kawasan Baduy.........................................................64 5.3 Status Hak Tanah Ulayat Baduy......................................................69 5.4 Fungsi Tanah Ulayat Baduy ............................................................72 5.5 Ikhtisar .............................................................................................75 BAB VI KONFLIK TANAH ULAYAT ANTARA MASYARAKAT LUAR KAWASAN BADUY DENGAN MASYARAKAT BADUY 6.1 Sejarah Konflik ................................................................................77 6.2 Deskripsi Area Konflik....................................................................81 6.3 Faktor-Faktor Penyebab Konflik .....................................................83 6.4 Pihak yang Terlibat dalam Konflik..................................................87 6.5 Ikhtisar .............................................................................................89 BAB VII UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK DI BADUY 7.1 Pendekatan Alternatif Penyelesaian Konflik ...................................92 7.2 Upaya Penanganan Berbagai Pihak yang Berkonflik ......................95 7.3 Hasil Akhir Penyelesaian Konflik ...................................................97 7.4 Ikhtisar ........................................................................................... 101 PENUTUP Kesimpulan ......................................................................................................... 103 Saran.................................................................................................................... 104 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 106 LAMPIRAN ....................................................................................................... 109 iv DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks Tabel 1. Kerangka Kluckhon (1953) Mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai-Budaya Manusia ............................................................................15 Tabel 2. Beberapa Alternatif Cara dalam Mengelola Konflik-Konflik................36 Tabel 3. Jumlah Penduduk Baduy pada Tahun 2004, 2005 dan 2006 .................49 Tabel 4. Perbedaan Baduy Dalam dan Baduy Luar .............................................50 Tabel 5. Tata Guna Lahan Desa Kanekes pada Tahun 2001................................54 Tabel 6. Prosedur Penyelesaian Konflik ............................................................ 100 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran ...............................................................40 Gambar 2. Peta Kabupaten Lebak .......................................................................51 Gambar 3. Struktur Pemerintahan Adat Desa Kanekes.......................................60 v DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman Teks Lampiran 1. Peta Lokasi Kecamatan Leuwidamar ........................................... 110 Lampiran 2. Jadwal Penelitian .......................................................................... 111 Lampiran 3. DataPemilihan Responden dan Informan ..................................... 112 Lampiran 4. Kebutuhan Data dalam Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data............................................................ 113 Lmapiran 5. Panduan Pertanyaan...................................................................... 115 Lampiran 6. Pengalaman Peneliti di Lapangan................................................. 120 Lampiran 7. Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Nomor: 65 Tahun 2001 Seri C Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy......................... 123 Lampiran 8. Struktur Pemerintahan Adat Desa Kanekes.................................. 130 Lampiran 9. Foto Kegiatan dan Kondisi Baduy................................................ 131 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah sebagai sumber agraria mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam kehidupan individu dan masyarakat, baik sebagai wadah untuk kegiatannya maupun sebagai asset dan faktor produksi untuk penghidupannya. Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, bertambahnya jumlah penduduk dengan cepat dan penyebaran yang tidak merata akibat mobilitas penduduk, permasalahan tanah dan sengketa di bidang pertanahan tidak akan mereda, tetapi sebaliknya mungkin justru akan bertambah. Hal itu disebabkan karena kebutuhan akan tanah, baik jenis, intensitas maupun volumenya akan semakin meningkat, sedangkan luas tanah yang tersedia tidak akan bertambah. (Nasoetion, 2002). Tanah yang tersedia keadaan dan kemampuannya tidak merata dan sebagian besar sudah ada yang memiliki, meskipun belum terdaftar dan tidak ada surat tanda bukti. Hal ini sesuai dengan perkembangan pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), dimana permasalahan tanah menjadi semakin kompleks (Nasoetion, 2002). Kenyataan di atas memicu terjadinya pendudukan tanah oleh masyarakat tanpa seizin pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (occupatie) dan diklaim sebagai tanah miliknya. Konflik pemilikan dan penguasaan tanah terjadi sebagai akibat penguasaan tanah secara berlebihan atau terhadap tanah-tanah yang terlantar yang belum aktif diproduksi (Saleh, 2003). Hal ini dipertegas dengan 2 pernyataan Nasoetion (2002) bahwa salah satu penyebab terjadinya pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak seimbang adalah adanya tanah-tanah terlantar. Konflik pemilikan/penguasaan tanah terkait dengan keberadaan hukum adat setempat (tanah ulayat). Karena pada dasarnya, hubungan antara tanah dan masyarakat hukum adatnya merupakan hubungan magis religius. Pada umumnya, masyarakat hukum adat berada dalam tatanan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Kehidupannya sangat bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian utama. Sedangkan pembangunan ekonomi yang menekankan pada perusahaan besar berorientasi ekspor menyebabkan kebutuhan akan tanah menjadi semakin besar. Akibatnya, terjadi perambahan tanah-tanah kawasan hutan dan tanah-tanah milik masyarakat hukum adat (tanah ulayat) (Nasoetion. 2000). Pada sebagian masyarakat adat, ada yang mengklaim dirinya sebagai pemilik tanah ulayat. Seperti halnya pada masyarakat adat Baduy, bahwa pimpinan/jaro yang bertempat tinggal di kawasan tanah ulayat yang saat ini didudukinya adalah milik masyarakat adat Baduy, sehingga masyarakat Baduy memiliki tugas untuk menjaga dan memelihara tanah ulayat terkait dengan keseimbangan lingkungan. Berangkat dari pernyataan tersebut, bahwa masyarakat adat Baduy memiliki kearifan lingkungan atau indigenous knowledge. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998) menyatakan bahwa perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan pemeliharaan lingkungan berkaitan dengan persepsi mereka mengenai lingkungan alam. Sikap masyarakat dalam memperlakukan alam lingkungannya, juga dipengaruhi pengalaman dan pengetahuan mereka mengenai isi dan kekayaan yang dimilikinya. Pengetahuan dan pengalaman tersebut diperoleh selama beradaptasi dengan lingkungannya. 3 Dari pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh tersebut, maka masyarakat sekitar menjadi tahu tentang lingkungannya dan hal ini tercermin dalam perilaku, terutama masyarakat adat yang masih berpegang teguh pada norma, adat serta tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Pada masyarakat adat yang bersifat homogen, maka kemungkinan kecil persepsi mengenai tanah ulayat yang dimiliki tiap individu tidak jauh berbeda. Keinginan tiap individu masyarakat adat dalam mempertahankan lingkungan dan tanah ulayatnya tidak selalu berjalan baik. Karena kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat berdampak pada terjadinya konflik di bidang pertanahan baik secara vertikal maupun horizontal, antara perseorangan (warga masyarakat atau masyarakat hukum adat) maupun badan hukum (pemerintah atau swasta). Konflik pertanahan yang terjadi disebabkan oleh permasalahan tanah murni atau permasalahan yang terkait dengan sektor pembangunan lain (tidak terkait secara langsung) (Nasoetion, 2002). Permasalahan tanah atau sengketa ini tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi, namun juga banyak terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, yang akan semakin terasa dengan adanya pengaruh proses globalisasi dalam era abad ke-21, seperti kebutuhan industrialisasi yang saat ini terjadi terutama untuk pertambangan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2/2008. PP ini baru dikeluarkan sejak Februari lalu yang menyatakan bahwa hutan lindung dan hutan produksi dapat disewakan dengan harga murah yaitu Rp. 300,- per meter. Dengan adanya peraturan ini tentu akan memperparah kerusakan hutan dan membuat hubungan timbal balik antara rakyat dan lingkungan menjadi tidak seimbang. Terkait hal tersebut, kebijaksanaan 4 penanganan masalah agraria yang lebih berpihak kepada rakyat, bukan hanya berdasarkan aspek yuridis saja, melainkan kepada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan percepatan penyelesaiannya baik dari pusat maupun daerah (Nasoetion, 2000). Dengan demikian, apabila telah terjadi pengrusakan kawasan hutan lindung/hutan larangan, maka akan dikenakan sanksi atau dilaporkan kepada pemerintah. Kenyataannya, terdapat kasus mengenai hutan lindung masyarakat adat Baduy saat ini yang telah mengalami kerusakan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan atas hasil hutan tersebut. Berdasarkan referensi1, masyarakat luar Baduy telah melakukan banyak kerusakan2, yang pada akhirnya muncul pandangan bahwa masyarakat luar Baduy tidak menjaga keseimbangan ekosistem dan tidak menghargai adat istiadat masyarakat Baduy. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy sudah jelas menyatakan bahwa masyarakat adat Baduy memiliki wewenang atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk memanfaatkan hasil sumberdaya yang ada. Dengan demikian, masyarakat Baduy memiliki wewenang untuk menerapkan sanksi atau denda atas kerusakan atau penyerobotan hutan yang terjadi. Lebih dari itu, masyarakat adat Baduy pun memiliki wewenang menuntut pemerintah memberikan pengakuan atas batas tanah milik Baduy. Namun hingga saat ini, belum ada kejelasan dari pemerintah atas pengakuan tanah ulayat 1 Tempo Interaktif. 2006. “Penyerobotan Tanah Baduy Merajalela”. Dikutip dari http://www.tempointeraktif. com/hg/jakarta/2006/05/08/brk,20060508-77172,id.html. Diakses tanggal 05 Januari 2008. 2 Kerusakan yang disebabkan oleh perambahan hutan, penebangan kayu untuk kebutuhannya, bahkan melepaskan hewan ternaknya (digembalakan) secara bebas di lapangan sehingga merusak tanaman-tanaman milik masyarakat Baduy. 5 masyarakat adat Baduy, bahkan penyelesaian atas sengketa tanah ulayat tersebut belum tampak. Persengketaan tanah hak ulayat (adat) Suku Baduy dengan masyarakat sekitarnya hingga kini belum selesai. Tim dari Polres Lebak pernah berusaha menyelesaikan persengketaan itu, hanya mendamaikan sengketa di Kecamatan Bojongmanik, Kabupaten Lebak, Banten, tidak secara keseluruhan. Padahal banyak kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan tanah ulayat Baduy. Oleh karena itu, perlu ditegaskan kembali mengenai status tanah ulayat Baduy sehingga berfungsi dan termanfaatkan dengan baik. Dengan demikian, cara yang tepat menurut adat dan hukum pemerintahan dapat ditegakkan kembali dan dilakukan semua pihak untuk mempertahankan hak dan wewenang tanah ulayat serta kelestariannya. 1.2 Perumusan Masalah Masyarakat adat Baduy memiliki adat istiadat yang masih teguh dipegang dengan prinsip-prisnsipnya hingga saat ini. Bahkan dalam kaitannya dengan pemeliharaan lingkungan, masyarakat Baduy sangat bertanggung jawab atas segala sumberdaya alam yang tersedia, terutama tanah ulayat yang saat ini menjadi isu utama yang menimbulkan konflik antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar Baduy. Masyarakat adat Baduy menganggap bahwa tanah ulayat memiliki nilai magis-religius, sehingga akan melakukan upaya perlindungan terhadap tanah khususnya hutan lindung, suci/keramat dan tidak disentuh oleh masyarakat luar kawasan Baduy, apalagi sampai dijarah. Berdasarkan informasi, masyarakat Kecamatan Bojongmanik sering melakukan penyerobotan/merambah kawasan 6 hutan dengan menebang kayu tanpa izin masyarakat Baduy. Bahkan ada pula perlakuan sertifikasi atas tanah seluas 8.938 m2 dari seluruh luas tanah hak ulayat Baduy. Hal ini sudah pernah dilaporkan kepada pihak pemerintah, karena masyarakat Baduy merasa pengakuan atas tanah ulayatnya diabaikan hingga adat istiadatnya pun sudah dilanggar. Dengan demikian, salah satu upaya yang pernah dilakukan adalah meminta pemerintah untuk memagari batas tanah ulayat dan kawasan hutan lindung yang tidak boleh disentuh oleh masyarakat luar Baduy terkecuali oleh tokoh-tokoh Adat Baduy Dalam. Pernyataan tersebut melahirkan rumusan masalah di antaranya adalah : 1) Bagaimana persepsi masyarakat adat Baduy tentang konsep tanah ulayat di kawasan Baduy? 2) Bagaimana konflik tanah ulayat bisa terjadi? Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya konflik? 3) Bagaimana upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan penelitian tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Memberikan gambaran mengenai persepsi masyarakat adat Baduy tentang konsep tanah ulayat di kawasan Baduy. 2) Menjelaskan proses terjadinya konflik tanah ulayat serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik tersebut. 3) Mendeskripsikan upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik di Baduy. 7 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah untuk memperkaya informasi mengenai konsep pemahaman masyarakat Baduy terhadap tanah ulayat. Selain itu, untuk menunjukkan fenomena konflik tanah ulayat yang diserobot/dijarah oleh masyarakat luar Baduy dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, serta proses konflik yang terjadi dan upaya penyelesaiannya dari pihak yang terlibat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi pemerintah untuk senantiasa bergerak cepat dan aktif dalam menyikapi permasalahan tanah ulayat pada kawasan hutan lindung masyarakat adat Baduy. Bagi pembaca, semoga dapat menjadi bahan rujukan untuk dapat melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai konflik tanah adat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Masyarakat Adat 2.1.1 Pengertian Masyarakat Adat Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayahnya sendiri (Japhama, 1993 sebagaimana dikutip Sangaji, 1999)3. Secara sosiologis, masyarakat adat adalah masyarakat yang tergolong sebagai persekutuan hidup yang didasarkan pada ikatan kekerabatan turun-temurun (genealogis) dan/atau teritori yang didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan bersama karena memiliki asal usul leluhur yang sama. Sedangkan dari segi strukturnya, maka masyarakat adat digolongkan dalam persekutuan hidup setempat yang bersifat tunggal, bertingkat maupun berangkai-rangkai yang tersebar dalam bentangan wilayah Indonesia. Persekutuan-persekutuan masyarakat adat adalah persekutuan-persekutuan hukum masyarakat yang diatur oleh hukum adat. Persekutuan tersebut merupakan persekutuan yang merdeka, berdaulat dan otonom, contohnya Lembur di Sunda (Saleh, 2003). Pada lingkup internasional, rumusan masyarakat adat terdapat dalam konvensi ILO No. 169/1989 (Pasal 1) dalam Sangaji (1999), yang menyebutkan masyarakat adat sebagai “masyarakat yang tinggal di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai bangsa pribumi yang penetapannya didasarkan pada keturunan 3 Dalam pertemuan antara aktivis LSM dan sekelompok masyarakat korban pembangunan yang diorganisasikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993 sebagaimana dikutip Sangaji (1999). 9 mereka di antara penduduk lain yang mendiami suatu negara terletak, pada waktu terjadi penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas negara yang baru, tanpa memilih pada status hukum mereka dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka”. Masyarakat adat merupakan masyarakat yang bersifat otohton yaitu suatu kesatuan masyarakat adat yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan dibentuk oleh kekuatan lain misal kesatuan desa dengan LKMD-nya. Namun, kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional. Sebagai kesatuan sosial, komunitas adat yang berinteraksi secara kontinyu sesuai sistem adatnya istiadatnya masih tetap mempertahankan pola-pola kehidupan lama, meskipun tradisi nenek moyang sudah banyak ditinggalkan oleh komunitas lainnya. Komunitas adat tersebut salah satunya adalah Cibeo yang berada di Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (Anonimous. 2004). 2.1.2 Masyarakat Adat Baduy dan Kearifan Tradisional Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih teguh dalam menerapkan adat tradisi, yaitu Suku Baduy atau disebut juga orang Kanekes atau orang Baduy. Mereka merupakan suatu kelompok masyarakat adat Sunda yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Penamaan “Baduy” berasal dari seorang peneliti Belanda karena masyarakatnya nomaden (berpindah-pindah), juga karena adanya sungai Cibaduy dan Gunung 10 Baduy yang ada di bagian Utara wilayah tersebut (Garna, 1993)4. Sekitar tahun 1980-an, ketika KTP (Kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini, hampir tidak ada yang menolak dengan sebutan ‘Urang Baduy’. Tatanan hukum adat masyarakat Baduy tidak otonom secara penuh, karena hanya merupakan proses sosial dan merupakan hasil budi dan daya orangorang Baduy. Oleh karena itu, isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’, atau perubahan sesedikit mungkin. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001)5. Kelompok tangtu dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik). Kelompok masyarakat panamping adalah dikenal sebagai Baduy Luar yang bisa juga disebut Baduy Pasisian. Mereka tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, yaitu di antaranya Cikadu, Kadu Ketug, Kadu Kolot, Gajeboh, dan Cisagu. Masyarakat adat Baduy tetap menjalankan adat istiadat yang diturunkan nenek moyangnya secara arif dan taat, dan hingga sekarang masih dapat bertahan di lingkungan alamnya. Cara hidup dan perilaku tradisional di tengah masyarakat yang berkembang menjadi unik dan menarik. Masyarakat Baduy juga memiliki beberapa kearifan tradisional yang berkaitan dengan lingkungan hidupnya, antara lain dalam pola pertanian yang khas dan konsep tentang hutan dan kelestariannya. 4 Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/ wisata/2004/ 0408/wis02.html. ‘Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia’. Penyunting (ed) Koentjaraningrat. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Diakses 30 Juni 2007. 5 Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes. “Arca Domas Baduy : Sebuah Referensi Arkeologi dalam Penafsiran Ruang Masyarakat Megalitik, Indonesian Archeology On the Net”. Diakses tanggal 16 Maret 2007. 11 Mereka membagi dan menggolongkan hutan sesuai dengan fungsinya, yaitu hutan untuk konservasi dan hutan untuk dimanfaatkan. Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu, mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buahbuahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Di samping bermatapencaharian berladang, orang Baduy pun berkelana (bisnis) dengan berdagang ke kota besar sekitar wilayah mereka di antaranya kota Rangkasbitung, Serang, bahkan kota Bogor, dan kota lainnya di Jawa Barat, dengan syarat harus berjalan kaki karena sudah merupakan hukum adat yang harus dilakukan dan tidak boleh dilanggar karena akan dikenai sanksi. Masyarakat Baduy mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja menolak masyarakat lainnya dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Panembahan Arca Domas) dan keramat. Mereka tidak mendapatkan pengetahuan dari sekolah sehingga tidak mengenal budaya tulis, karena merupakan larangan yang harus dipatuhi. Hal ini didukung oleh sebuah pernyataan bahwa “apabila orang sudah pintar, maka akan jadi penipu”. Dengan demikian, adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja, contohnya dokumen catatan penting mengenai sejarah Baduy dan kisah-kisah magis atau bahkan dalam bentuk prasasti. Pemukiman masyarakat Baduy berada di daerah perbukitan (lereng gunung). Rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang memiliki banyak sumber mata air yang masih bebas polusi, mulai dari mata air dalam tanah (cai nyusu) sampai parit-parit kecil di bukit dan sungai. Rimba raya 12 ini merupakan kawasan hutan lindung. Sumber mata air yang dilengkapi dengan pancuran air tersebut menjadikan rimba sebagai sumber air minum tanpa penyaringan terlebih dahulu. Lebih lanjut, Keraf (2002) menerangkan bahwa dalam masyarakat adat ini memiliki kearifan tradisional yang menyangkut pengetahuan, keyakinan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara sesama manusia, serta menyangkut adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat Baduy, contohnya cara menyambut pengunjung dengan kesopanan, menjaga alam serta mensucikan Arca Domas yang kemudian dihayati, dilaksanakan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap Tuhan dan alam ghaib. Masyarakat Baduy memiliki kearifan lingkungan “indigenous knowledge”, yang merupakan sebuah perilaku dengan mempertimbangkan keseimbangan ekologi alam dalam segenap sisi-sisi keseharian hidupnya. Masyarakat memang pada dasarnya merupakan struktur yang mengarah pada keseimbangan. Masyarakat Baduy bersikap menurut nilai-nilai budayanya. Pilihan jalan hidup dan kearifan budaya mereka dalam bersahabat dengan alam dan ketaatan terhadap nilai-nilai adat, moral dan agama (pikukuh), menempatkan kehidupan mereka yang sederhana. 13 I Wayan Geriya (2002) dalam Garna (1993)6, menjelaskan bahwa di dalam bagian kebudayaan tradisional terdapat kearifan lokal yang secara subtantif berorientasi pada keseimbangan dan harmoni manusia, alam, budaya, kelestarian, keragaman alam dan kultur, konservasi alam dan warisan budaya serta penghematan sumberdaya yang bernilai ekonomi. Meskipun kearifan budaya orang Baduy bersahabat dengan alam, namun ada masa dimana terjadi kemerosotan kualitas hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alam di sekitarnya. 2.1.3 Kebudayaan Masyarakat Adat Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Perangkat normatif ini diberikan pada individu-individu (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Dengan cara demikian, maka akan mampu menjalin dan mengembangkan interaksi sosial dengan orang lain dalam suatu pola makna tertentu yang konstan (Soekanto, 1990). Koentjaraningrat (1975) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Kebudayaan terdiri atas nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia dan tercermin dalam perilaku. Kebudayaan merupakan perangkat teknik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi dan dengan orang lain. Masih menurut Koentjaraningrat (1975), bahwa suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran 6 Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/ wisata/2004/ 0408/wis02.html. Op.cit., diakses 30 Juni 2007. 14 sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Lebih konkrit lagi, nilai budaya merupakan serangkaian ide, gagasan, dan pandangan mengenai masalah-masalah yang sangat bernilai di dalam hidup, yang oleh Kluckhon (1953) dalam Koentjaraningrat (1975) dirangkum menjadi lima permasalahan pokok yaitu : (1) masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (MH), (2) masalah mengenai hakekat karya manusia (MK), (3) masalah mengenai hakekat dari kebutuhan manusia dalam ruang waktu (MW), (4) masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA), (5) masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM). Kelima masalah tersebut menentukan orientasi nilai-budaya manusia yang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Kerangka Kluckhon (1953) Mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai-Budaya Manusia Masalah Dasar dalam Hidup Orientasi Nilai-Budaya Hakekat Hidup (MH) Hidup itu buruk Hakekat karya (MK) Karya itu untuk nafkah hidup Persepsi Manusia tentang Waktu (MW) Orientasi ke masa kini Pandangan Manusia Kepada Alam (MA) Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat Orientasi kolateral (horizontal), yang Hakekat Hubungan ketergantungan manusia dengan kepada sesamenya Sesamanya (MM) (berjiwa gotongroyong) Sumber : Koentjaraningrat Tahun 1975 Hidup itu baik Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dsb. Orientasi ke masa lalu Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam Orientasi vertikal rasa ketergantungan kepada tokohtokoh atasan dan berpangkat Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik Karya itu untuk menambah karya Orientasi ke masa depan Manusia berhasrat menguasai alam Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri. 15 Kaitannya dengan kebudayaan yang memandang keselarasan manusia dengan alam, maka ada upaya untuk mempertahankan dan mentransformasikan nilai-nilai budaya suatu masyarakat sebagai pedoman hidup, yang merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya, dilakukan dengan cara menciptakan sejumlah sarana pendidikan sebagai pendukungnya, seperti dongengdongeng, pepatah-pepatah serta upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup seseorang atau pun pemujaan sumberdaya alam (Koentjaraningrat, 1975). Garna (1993)7, bahwa dalam kebudayaan masyarakat Baduy, sebagai tanda kepatuhan/pengakuan dan setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun diadakan upacara Seba setelah selesai upacara “Ngalaksa” kepada "Bapak Gede" (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar (penguasa dan Kesultanan Banten). Bahkan hingga tahun saat ini, upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat). Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. 2.2 Konsep Tanah dan Hak Ulayat pada Kawasan Hutan Lindung 2.2.1 Pengertian Tanah Saleh (2003) menyatakan bahwa tanah merupakan kekayaan sumberdaya alam yang juga penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan faktor produksi alam yang dikelola untuk menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat tersebut. Selain itu, juga sebagai wadah dan lokasi berinteraksi antara masyarakat 7 Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/ wisata/2004/ 0408/wis02.html. Op.cit., diakses 30 Juni 2007. 16 dengan sumberdaya lahan. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam juga memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertanahan keamanan yang tinggi. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan pertanahan harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan nasional. Di samping itu, tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan. Manusia diciptakan dari tanah, hidup di atas tanah dan memperoleh bahan makanan dengan cara mendayagunakan sumberdaya tanah. Demikian juga bagi masyarakat hukum adat yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan tanah. Hubungan ini melahirkan suatu hak untuk menggunakan, menguasai, memelihara sekaligus mempertahankannya (Saleh, 2003). 2.2.2 Makna Tanah Bagi Masyarakat Adat Saleh (2003), mengungkapkan bahwa paham-paham atas hak milik tanah menurut adat sangat berbeda dengan pengandaian-pengandaian yang mendasari sistem milik Negara itu. Prinsip umumnya menurut adat : 1) Tanah memiliki makna sosio-religius dan erat kaitannya dengan jati diri kelompok tersebut. 2) Di banyak wilayah, tanah dan sumberdayanya mendukung serangkaian luas kegiatan yang digelar menurut musim. Pertanian yang bergilir dan berpindahpindah (tebang dan bakar), berburu dan menangkap ikan, dan pengumpulan produk hutan dianggap lebih penting. 3) Ada hak perorangan atas tanah yang diwariskan, baik hak pemanfaatan maupun hak-hak sumberdaya tertentu. 17 4) Lahan-lahan tidur, dibebani hak juga. Tanah jarang dianggap kosong. 5) Hak atas tanah dan sumberdaya jarang dicatat dalam peta-peta atau dengan rekaman tertulis. Batas-batas ditentukan berdasarkan bentuk-bentuk dan tanda alam, seperti sungai, gunung, peristiwa sejarah yang diambil atas dasar kesepakatan bersama. Fungsi tanah pun dapat sebagai faktor integrasi, bahwa tanah sebagai sarana pemersatu bagi masyarakat untuk tinggal bersama di wilayah tertentu, sehingga terlihat keterkaitan erat antara tanah dan kelompok. Seiring dengan hal tersebut, tanah juga merupakan pegangan bagi kelompok untuk menunjukkan keberadaannya bila berhadapan dengan kelompok lain. Sehingga mendorong timbulnya upaya untuk selalu mempertahankan tanah tersebut dan meminta tanggung jawab dari para anggota kelompok. Di samping itu, tanah juga berfungsi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kemasyarakatan seperti untuk upacara seremonial, kegiatan keagamaan, dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya yang sangat berguna bagi kelangsungan dan keutuhan kesatuan kelompoknya (Saleh, 2003). 2.2.3 Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy Istilah hak ulayat diperkenalkan oleh Van Vollenhoven (1909) dalam bahasa asing yaitu beschiking recht yaitu suatu hak yang melekat pada masyarakat hukum adat yang memberi wewenang kepadanya untuk menguasai seluruh tanah yang berada dalam daerah kekuasaannya. Ia memberikan gambaran ciri-ciri hak ulayat, di antaranya : a. Hubungan intra komunal; dimana adanya hubungan timbal balik antara hakhak bersama dan hak-hak individu. Pada masyarakat hukum adat akan 18 terbentuk ketika seorang individu tidak lagi memanfaatkan tanahnya. b. Hubungan ekstra komunal; dimana hak ulayat mempunyai kekuatan ke luar dalam membatasi pihak luar dalam menguasai tanah komunal, dan pihak luar hanya boleh mengeksploitasi tanah tersebut dengan cara sewa-menyewa tanpa menjual, mewariskan atau sebagai jaminan. c. Dalam pengawasan tanah hak ulayat, maka ada seorang kepala adat yang bertugas ke luar sebagai penguasa serta melindungi tanah-tanah jabatan yang dipakai untuk kepentingan bersama. d. Hak ulayat berfungsi sebagai hak-hak yang tidak hanya terbatas pada tanah dan air, melainkan juga tumbuhan dan binatang rimba. e. Daerah ulayat meliputi kampung yang berada di tengah-tengah berupa perumahan dan daerah penghasil makanan. f. Daerah ulayat dibatasi melalui daerah hukum adat, dimana daerah-daerah ulayat sangat terlindung dari tuntutan masyarakat hukum adat lainnya. Menurut Purbacaraka dan Halim (1993) dalam Garna (1993)8, hak atas tanah adat dibedakan atas dua bentuk, yaitu : “hak ulayat” dan “hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal, pada hakikatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari obyek penguasaan hak ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai sebidang 8 Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/ wisata/2004/ 0408/wis02.html. Op.cit., diakses 30 Juni 2007. tanah bagi kepentingannya, biasanya hak ini berlaku terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama. 19 Sebagai sarana pendukung utama kehidupan dan penghidupan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, tanah ulayat dikelola dan diatur peruntukan, penguasaan dan penggunaannya, maka kewenangan pelaksanaannya sehari-hari dilimpahkan dan ditugaskan kepada ketua adat dan para tetua adatnya. Tanah ulayat tersebut tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain karena tanah ulayat bukan saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi yang akan datang. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, yang menyatakan bahwa masyarakat Baduy sebagai masyarakat adat yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum, yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Baduy memiliki wilayah yang bersifat ulayat serta memiliki hubungan dengan wilayahnya tersebut. Hal ini berarti masyarakat Baduy dalam melakukan hubungan dengan wilayahnya diatur dan dibatasi pada wilayah ulayatnya, sehingga perlu dilindungi. Dalam hal penggunaan lahan, setiap upaya yang dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh kelompok orang tertentu/badan, berkaitan dengan pengusahaan lahan bagi peruntukkan pertanian, perkebunan, dan pemanfaatan hasil alam lainnya. Adapun wewenang masyarakat adat terhadap tanah ulayat di antaranya mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah untuk pemukiman, bercocok tanam, dan persediaannya serta pemeliharaan tanah. Di samping itu, adanya penentuan hubungan hukum antara orang dengan tanah serta hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan 20 dengan tanah seperti jual beli, warisan dan gadai. Pada Bab I (Pasal 1) Perda Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, menyatakan bahwa hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Adapun penjelasan mengenai tanah ulayat itu sendiri adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat juga dipercayai berasal dari nenek-moyang mereka dan merupakan karunia Allah SWT sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat. Pada Bab II (Pasal 2) menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat Baduy dibatasi terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi dan dituangkan dalam berita acara sebagai landasan penetapan Keputusan Bupati. Selanjutnya, pada Pasal 3, wilayah hak ulayat masyarakat Baduy dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai. Pada Pasal 4 menyatakan bahwa segala peruntukkan lahan terhadap hak ulayat masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat Baduy. Berkenaan dengan tempat hidup dan mencari penghidupan masyarakat 21 Baduy adalah termasuk dalam lingkup hak ulayat Baduy. Terhadap masalah yang menyangkut tanah, masyarakat Baduy tidak mengaku tanah sebagai hak milik pribadi, mereka mendapat titipan tugas “ngasuh ratu, ngajaga menak” sehingga mereka tetap setia kepada yang berkuasa. Upaya memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah masyarakat Baduy sudah dilakukan jauh sebelum diundangkannya Peraturan Daerah ini yang dirintis sejak Tahun 1986 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 203/B.V/Pem/SK/1968 Tanggal 19 Agustus 1968 tentang Penetapan Status Hutan “Larangan” Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai “Hutan Lindung Mutlak” dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat. Berbagai kesulitan telah dihadapi dalam merumuskan pemberian perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Hal ini berkaitan dengan hakikat hukum adat yang hanya diakui dalam bentuk tak tertulis oleh persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial) dan keturunan (genealogis). Penetapan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tanggal 24 Juni 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat beberapa kendala yang dihadapi akhirnya dapat terselesaikan. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya persengketaan tanah yang terus berlanjut selama manusia masih hidup, karena kebutuhan yang semakin meningkat akan tanah dan percepatan pertumbuhan penduduk yang tidak merata, sehingga pembagian tanah pun akan terasa tidak merata. 22 2.2.4 Kelestarian Hutan Lindung Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah, dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan-ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004). Pada Pasal 19 (Ayat 2) PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam hutan lindung meliputi usaha budidaya tanaman obat (herba), tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, dan usaha budidaya sarang burung wallet. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (3) meliputi usaha wisata alam, olahraga tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon (carbon trade), serta usaha penyelamatan hutan dan lingkungan. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, menyatakan bahwa kawasan hutan lindung juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan pola pertambangan tertutup dengan seizin Menteri Kehutanan. Dalam PP No. 62 Tahun 1998, terdapat aturan dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan lindung yang yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II (Kotamadya/Kabupaten). Adapun urusan pengelolan yang 23 dimaksud adalah kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan pemanfaatan jasa lingkungan. Penjelasan mengenai kelestarian yaitu suatu keadaan yang tetap seperti semula atau keadaan yang tidak berubah-ubah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1998). Sedangkan kelestarian hutan merupakan suatu keadaan hutan yang tetap mampu menjalankan fungsi dan manfaatnya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Menurut Sumardi et.al. (1997), dinyatakan bahwa kelestarian hutan dalam suatu daerah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mencukupi semua kebutuhan penduduk di sekitar hutan, seperti kayu bakar, rumput untuk ternak, dan sebagainya. Selain itu juga, untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Hal ini tidak hanya berdasarkan pertimbangan ekologis, namun menyangkut permasalahan di sekitarnya dan pemerintah. 2.2.5 Interaksi Masyarakat Adat dengan Hutan Interaksi adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi. Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya, dalam hal ini adalah hutan merupakan hubungan sirkuler, yang mengandung arti bahwa interaksi yang terjadi antara manusia dan hutan bersifat kompleks, karena pada umumnya dalam hutan terdapat banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu 24 unsur akan merambat pada unsur lain, sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan segera dilihat dan dirasakan, tetapi pada akhirnya cepat atau lambat akan berpengaruh kepada kehidupan manusia (Soemarwoto, 1994). Interaksi antara masyarakat sekitar dengan kawasan hutan yang mengarah pada kerusakan kawasan disebabkan oleh (Suratmo, 1974) : 1) Tingkat pendapatan masyarakat sekitar relatif rendah; 2) Terbatasnya lapangan pekerjaan dan sulit mencari tambahan penghasilan; 3) Kebutuhan hasil hutan yang tidak terpenuhi karena terbatasnya di pasaran; 4) Pekerjaan mencuri relatif lebih mudah dan memberikan penghasilan lebih besar; 5) Adanya tukang tadah hasil curian; 6) Kurangnya patroli keamanan kawasan hutan; 7) Masalah mental, kebiasaan dan sebab-sebab khusus lainnya. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat adalah segala aspek yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia (Soekmadi, 1987). 2.3 Konsep Persepsi 2.3.1 Pengertian Persepsi Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses perencanaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi (Sarwono, 2002). Menurut Wibowo (1987), persepsi adalah suatu gambaran pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu obyek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan 25 informasi itu dengan dirinya dan lingkungan ia berada. Sehingga dengan persepsi, individu dapat menyadari serta dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang terdapat di sekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2002). Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan dan perasaan terhadap stimulus tersebut. Stimulus bisa berupa benda, isyarat, informasi, maupun situasi dan kondisi tertentu. Dalam konteks persepsi terhadap sumberdaya hutan atau kondisinya dapat berlaku sebagai stimulus yang dapat menimbulkan persepsi pada individu yang melihat, mencium atau merasakan. Persepsi terdiri dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan yang lainnya, yaitu : (1) Pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) Indoktrinasi budaya, bagaimana menterjemahkan apa yang dialami; (3) Sikap pemahaman, apa yang diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut. Dalam hal ini, persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan, serta sifat lainnya yang khas dimiliki oleh seseorang. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan ekonomi serta pendidikan, lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lainnya. 2.3.2 Persepsi Terhadap Nilai Sumberdaya Hutan Pranowo (1985), menyatakan bahwa persepsi masyarakat dalam memandang hutan akan dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat seperti kebutuhan akan kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak dan lain-lain serta budaya yaitu kepercayaan, adat istiadat, cerita rakyat dan sebagainya. Sehingga agar persepsi 26 masyarakat terhadap lingkungan dapat dibangun secara tepat dan terarah maka seberapa dalam persepsi masyarakat terhadap sesuatu hal harus diketahui terlebih dahulu. Nilai hutan merupakan ekspresi pemanfaatan hutan berdasarkan persepsi individu atau masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam satuan moneter pada ruang atau tempat dan waktu tertentu. Setiap individu atau suatu komunitas dalam masyarakat yang memiliki keragaman dalam pendidikan, pengetahuan, pendapatan atau kesejahteraan, tingkat ketergantungan atau keterkaitan dengan hutan, tata nilai atau perilaku kehidupan sosial ekonomi dan budaya, serta berbagai faktor lainnya, akan memberikan persepsi beragam yang selanjutnya akan melahirkan jenis nilai, di samping itu juga akan memberikan apresiasi yang beragam terhadap setiap jenis nilai hutan produksi tersebut (Bahruni, 1999). Menurut Djayahadikusuma (1994) dalam Sumardi et.al. (1997) dinyatakan bahwa berawal dari persepsi seseorang terhadap hutan, besar pengaruhnya pada wujud hubungan manusia dengan hutan, yang dapat dibedakan menjadi seseorang menolak lingkungan, bekerjasama atau menguras lingkungan (mengeksploitasi). Seseorang menolak lingkungan, disebabkan seseorang mempunyai pandangan yang tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan, sehingga orang yang bersangkutan dapat memberikan bentuk tindakan terhadap hutan sesuai apa yang dikehendaki. Sebaliknya, bagi seseorang yang mempunyai sikap menerima lingkungan maka ia dapat memanfaatkan hutan dan sekaligus menjaga dan menyelamatkan hutan dari kerusakan, sehingga hutan memberi manfaat yang terus-menerus. Dengan demikian lingkungan hutan yang selalu terjaga kelestariannya dari kerusakan, akan memberikan manfaat kepada 27 masyarakat di sekitar hutan yang selalu menjaga kelestariannya dari kerusakan. 2.4 Konsep Konflik 2.4.1 Pengertian dan Sumber Konflik Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya, di mana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman (Ibrahim, 2002 sebagaimana dikutip Ilham, 2006). Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan (competition) dan pertentangan. Bahkan secara sosiologis, dapat diamati cara-cara hubungan (peristiwa sosial atau perbuatan sosial) jika perorangan atau kelompok manusia saling bertemu (Sitorus, 1998). Persaingan dapat terjadi ketika masing-masing pihak tidak melakukan kegiatan yang bersifat ancaman dan kekerasan. Jika persaingan diikuti gejala ketidakpastian dan keraguan tentang seseorang dan sikap tersembunyi atas gagasan dan budaya yang dimilikinya, hal itu disebut kontravensi (Soekanto, 1990). Selanjutnya, kontravensi yang terus terjadi dan memunculkan ketegangan dalam hubunganhubungan kedua belah pihak, dapat disebut konflik yang ditandai dengan ancaman dan tindakan kekerasan. Meskipun terjadinya konflik tidak selalu diawali proses kontravensi. Menurut Fisher et. al., (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat 28 tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubunganhubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi, penindasan dan kejahatan. Menurut Mitchell et. al., (2000) dan Hendricks (2004) konflik merupakan sesuatu yang tak terelakan yang dapat bersifat positif dan negatif. Aspek positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman. Konflik juga bermanfaat ketika mempertanyakan status quo. Penjelasan konflik menurut Fuad dan Maskanah (2000) yaitu benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan budaya, nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya, dimana masingmasing pihak mempunyai kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Konflik dan kehidupan manusia sangatlah sulit untuk dipisahkan dan keduanya berada bersama-sama. Konflik pertanahan yang semula disebabkan adanya benturan kepentingan berkembang antara lain berkaitan dengan : 1) nilai-nilai budaya; 2) adanya perbedaan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan UUPA yang merupakan ketentuan dasar pertanahan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia; 3) adanya penyimpangan dalam implementasi peraturan pelaksanaan UUPA (Nasoetion, 2002). Adapun sumber konflik pertanahan yang ada sekarang ini antara lain disebabkan oleh : 1) Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata; 29 2) Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah non-pertanian; 3) Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah (red); 4) Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat); 5) Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah. Berdasarkan pernyataan di atas, konflik adalah perbedaan kepentingan antara dua pihak atau lebih terhadap obyek yang sama, dimana hubungan di antara pihak-pihak tersebut menjadi tidak seimbang ketika terdapat pihak yang mendominasi pihak lain. Berkaitan dengan sumberdaya alam yang juga merupakan sumber agraria, maka konflik agraria menurut Sitorus (2004) merupakan suatu gejala struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subyek dalam hubungan agraria. Jelasnya, jika dua atau lebih pihak subyek memiliki klaim hak penguasaan atas suatu unit sumber agraria (tanah) yang sama, maka terjadilah sengketa agraria. 2.4.2 Teori-Teori yang Berkaitan dengan Konflik Fisher et. al. (2001) menyatakan bahwa teori-teori mengenai penyebab konflik sangat membantu dalam memahami cara mengelola konflik, di antaranya yaitu : 1) Teori Hubungan Masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. 2) Teori Negosiasi Prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak30 pihak yang mengalami konflik. 3) Teori Kebutuhan Manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. 4) Teori Identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. 5) Teori Kesalahpahaman Antarbudaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. 6) Teori Transformasi Konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Konflik dalam pertanahan khususnya sumberdaya hutan berbeda dengan konflik lainnya (Huzaini, 2002 sebagaimana dikutip Karsodi, 2007). Artinya, konflik pertanahan lahan hutan akan sangat berubah menjadi konflik yang penuh dengan kekerasan, karena tanah merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (terbatas), maka setiap konflik akan terjadi pola, yaitu keuntungan bagi stakeholder yang satu otomatis kerugian bagi stakeholder yang lainnya. Dengan demikian, dalam teori yang berkaitan dengan konflik, maka perlu juga memahami dan menilai konflik yang terjadi dari segi stakeholder yang terlibat terkait dengan kepentingannya. Ada empat jenis stakeholder yang dapat diperkirakan dalam menunjang analisis konflik, yaitu : (1) mereka yang menuntut untuk memperoleh perlindungan hukum; (2) mereka yang mempunyai kunci 31 kekuatan politik; (3) mereka yang mempunyai kekuasaan dan dapat menjegal kesepakatan yang sudah dirundingkan; dan (4) mereka yang mempunyai tuntutan moral untuk mendapatkan simpati dari publik. 2.4.3 Tipe-Tipe Konflik Konflik dibedakan di antara dua sumbu, yaitu sasaran dan perilaku yang kemudian dapat menggambarkan tipe-tipe konflik yang menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi. Tipe konflik menurut Fisher et. al. (2000) di bawah ini masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri. 1) Tanpa Konflik; setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. 2) Konflik Laten; sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. 3) Konflik Terbuka; adalah yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 4) Konflik di Permukaan; memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Berdasarkan level permasalahannya, terdapat dua jenis konflilk yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui, sedangkan konflik horizontal terjadi 32 antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapa lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000). 2.4.4 Faktor-Faktor Penyebab Konflik Menurut penyebabnya, konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam atau sumber agraria dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber agraria tersebut, khususnya tanah dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam tersebut. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumberdaya yang sama, yang berakibat pada munculnya konflik antar berbagai unsur masyarakat (Fuad dan Maskanah, 2000; Mitchell et. al., 2000). Selain itu, diungkapkan pula bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, sehingga insiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum dan politik menciptakan kepentingankepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan ada suatu potensi konflik. Faktor-faktor penyebab konflik pada umumnya berhubungan dengan isuisu utama dalam suatu konflik. Menurut Fisher et. al. (2001), isu-isu utama yang muncul pada waktu menganalisis konflik adalah isu kekuasaan, budaya, identitas, gender, dan hak. Isu-isu ini muncul pada waktu mengamati interaksi antar pihak yang bertikai, yang pada suatu kesempatan tertentu akan menjadi latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara diam33 diam. Selain itu, Dorcey (1986) dalam Mitchell, et. al. (2000) mengungkapkan bahwa penyebab dasar konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam antara lain : 1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman, yang juga disebut konflik data. Terjadi ketika kelompok kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah dan menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda. Konflik data disebabkan kurangnya komunikasi di antara orang-orang yang berkonflik. 2) Perbedaan nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil dan tidak. 3) Perbedaan kepentingan, dapat menimbulkan konflik walaupun berbagai pihak menerima fakta dan interpretasi yang sama serta mempunyai kesamaan nilai. Perbedaan kepentingan ini lebih pada siapa yang diuntungkan atau siapa yang dirugikan. Juga dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. 4) Perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok yang berkepentingan. Muncul emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Konflik ini biasanya terjadi karena keterbatasan sumberdaya atau tujuan-tujuan bersama yang eksklusif. Di samping itu, Wiradjarjo, et. al. (eds.) (2001) sebagaimana dikutip Ilham (2006) menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab pokok konflik atas 34 sumberdaya alam adalah konflik yang bersifat struktural. Konflik yang terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah/waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu. 2.4.5 Pengelolaan Konflik Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 dalam Sardjono, 2004 sebagaimana dikutip Sabara, 2006), yaitu : (1) langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman, kolega dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak ketiga (third party), dimana peran pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik tersebut yaitu : 1) Lumping it; terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain, isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. 2) Avoidance or exit; mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi 35 atau psikologis. 3) Coercion; dimana satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain. 4) Negotiation; dimana kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersamasama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga, 5) Conciliation; upaya menyatukan kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan. 6) Mediation; dimana pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. 7) Arbitration; bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8) Adjudication; apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak bersengketa. Pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga, kebijakan dan programnya lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, terutama pada masyarakat yang terlibat langsung. Harapannya adalah sesuai dengan aspirasi, hak dan kepentingan semua pihak (stakeholder) sehingga tidak akan menjajdi sengketa. Adapun beberapa cara lainnya yang dapat digunakan untuk mengelola dan memecahkan konflik-konflik dapat dilihat pada Tabel 2. 36 Tabel 2. Beberapa Alternatif Cara dalam Mengelola Konflik-Konflik Cara-cara Konvensional 1. Penelitian/ pengkajia/ survey 2. Dengar pendapat umum/ Temu Wicara 3. Jajag pendapat Cara Pasif/Sepihak 1. Menghindari konflik Cara-cara Partisipatif 1. Perencanaan partisipatif Cara-cara Kooperatif 1. Tawarmenawar Cara-cara Konfrontatif 1. Aksi sosial 2. Penerimaan secara pasif 2. Pemecahan masalah secara partisipatif 2. Arbitrase/ peleraian 2. Demonstrasi 3. Perundingan 3. Sabotase 4. Perundingan dengan mediasi 4. Kekerasan 3. Pengabaian/ bersikap masa bodoh 4. Penyelessaian sepihak 5. Penggunaan media massa 6. Ligitasi 7. Aksi legislatif melalui perwakilan Sumber : Anwar (2000a) sebagaimana dikutip Irham (2003) 2.5 Konsep Kerangka Berpikir Penelitian ini mengkaji tentang konflik yang terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyarakat luar Baduy. Namun, akan diketahui terlebih dahulu mengenai konsep tanah hak ulayat yang dipengaruhi oleh persepsi masyarakat adat Baduy dan luar Baduy. Kemudian konsep tanah hak ulayat tersebut dipadukan dan dikuatkan dengan pernyataan Van Vollenhoven (1909) serta mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 (Bab 1 Pasal 1) tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Dengan adanya persepsi yang muncul dari masyarakat adat Baduy dan luar Baduy, maka dapat diketahui penjelasan mengenai status dan fungsi tanah hak ulayat pada kawasan hutan lindung yang merupakan hutan larangan bagi 37 masyarakat adat Baduy. Sumberdaya hutan yang melimpah akan mendorong pihak tertentu untuk memanfaatkannya. Hal ini terdorong pula oleh peningkatan kebutuhan hidup yang tidak terbatas akan tanah, sehingga memberikan lapangan usaha bagi pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, hal tersebut menimbulkan ancaman bagi kelestarian hutan. Berkaitan dengan keberadaan sumberdaya alam seperti lahan pertanian yang relatif tetap, sedangkan pengusahaan dilakukan terus-menerus, maka akan terjadi penurunan kualitas yang terus-menerus pula. Dengan demikian, batas daya dukung lingkungan di wilayah Baduy dimungkinkan akan segera terlampaui. Hal ini yang merupakan pemicu terjadinya konflik termasuk munculnya keresahan warga Baduy. Konflik yang meresahkan masyarakat adat Baduy ini terjadi sejak tahun 1950, dan masih tetap merajalela hingga tahun 2007 meskipun sudah pernah dilakukan berbagai upaya penyelesaian konflik sejak tahun 1985, dimana tokoh adat meminta proses percepatan sengketa tanah atas pihak yang telah melakukan penyerobotan dan penebangan liar. Konflik ini terjadi karena pengaruh batas alam berupa sungai (cai) yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berbatasan dengan Baduy, sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan ladang/sawah yang dikelolanya. Namun batas tanah ulayat tersebut belum dinyatakan sah karena tidak ada pengaturan dari pemerintah Kabupaten Lebak khususnya Badan Pertanahan Nasional. Sehingga, batas tanah ulayat saat ini hanya ditandai dengan pagar atau kawat berduri. Meskipun demikian, penyerobotan berupa penebangan kayu di hutan, mengerjakan ladang dengan tanaman yang sebetulnya dilarang ditanam di kawasan Baduy masih terjadi hingga penggembalaan hewan ternak pun saat ini 38 mengancam keamanan dan kenyamanan hidup warga Baduy. Konflik yang terjadi di Baduy mengakibatkan berbagai dampak sosial bagi kehidupan warga Baduy, terutama bencana alam yang semakin terasa oleh warga setempat, seperti banjir, longsor ataupun erosi. Oleh karena itu, perlu ada suatu upaya penyelesaian untuk meredakan konflik yang terjadi. Upaya tersebut dapat berupa kesepakatan-kesepakatan antar pihak yang berkonflik dengan cara musyawarah dan menandatangani surat perjanjian untuk tidak mengulangi penyerobotan lagi, bahkan upaya pelaporan ke pihak kepolisian pun sudah dilakukan. Namun, hal tersebut tidak membuat jera masyarakat luar Baduy dalam memanfaatkan tanah ulayat untuk penggembalaan hewan ternak di kawasan Baduy. Berikut disajikan bagan alur kerangka pemikiran dalam Gambar 3. 39 Konsep Tanah Hak Ulayat Baduy pada Kawasan Hutan Lindung Van Vollenhoven (1909) : Beschiking Recht Kerancuan batas tanah ulayat oleh alam dan BPN Konflik Persepsi Masyarakat Adat Baduy Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy Status dan Fungsi Tanah Hak Ulayat pada Kawasan Hutan Lindung Penyerobotan Tanah Hak Ulayat Baduy pada Kawasan Hutan Lindung oleh Masyarakat Luar Baduy Dampak Sosial : • Masyarakat kecewa terhadap Pemerintah • Masyarakat gelisah dan khawatir akan hidupnya di masa datang • Terancamnya kesejahteraan masyarakat adat Baduy • Semakin banyak terjadi bencana sehingga masyarakat menderita Penggembalaan hewan ternak masih berjalan Upaya Penyelesaian Konflik Keterangan : Saling Berhubungan Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran 40 2.6 Hipotesis Pengarah Berdasarkan perumusan masalah penelitian, maka dapat dibuat hipotesis pengarah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Bahwa tanah ulayat diduga merupakan sumber mata pencaharian, di samping memiliki nilai magis-religius bagi masyarakat adat Baduy sehingga harus dijaga, dikelola, dipelihara dan dilestarikan. 2) Ketika di hutan terjadi penyerobotan pada kawasan tanah ulayat Baduy, maka warga Baduy akan merasa terganggu dan terancam kenyamanan hidupnya dan diduga akan melakukan perlawanan sehingga akhirnya menimbulkan konflik. 3) Untuk mengatasi konflik tersebut, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy sudah cukup memadai dalam menjelaskan mengenai kepemilikan/penguasaan serta pemanfaatan dan batasannya. Di samping itu, dilakukan pula upaya penyelesaian konflik melalui musyarakat mufakat/perjanjian di antara pihak bersengketa. 2.7 Definisi Konseptual Adapun definisi yang penulis gunakan dalam operasional penelitian, yaitu : 1) Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan 41 kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 2) Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. 3) Hutan lindung adalah hutan yang mempunyai keadaan alam demikian rupa sehingga pengaruhnya yang baik terhadap tanah, alam sekelilingnya, dan tata air, perlu dipertahankan dan dilindungi. Pada masyarakat adat bisa juga dikatakan sebagai “hutan larangan”. 4) Masyarakat adat dalam arti sosiologis, adalah masyarakat yang tergolong sebagai persekutuan hidup yang didasarkan pada ikatan kekerabatan turuntemurun (geneologis) dan/atau teritori yang didasarkan atas kesepakatankesepakatan bersama karena memiliki asal usul leluhur yang sama. 5) Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum. 6) Masyarakat Luar Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di luar di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, yaitu Desa Kebon Cau, Blok Cijahe, Kecamatan Bojongmanik. 7) Persepsi adalah suatu gambaran pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu obyek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi itu dengan dirinya dan lingkungan ia berada. 8) Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang 42 tidak sejalan. 9) Tipe konflik yang dimaksud adalah macam-macam konflik di antaranya tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka dan konflik di permukaan. 10) Penyebab konflik yaitu segala sesuatu yang menyebabkan konflik terjadi, terdiri dari kekuasaan, budaya, identitas, gender, dan hak yang kemudian dikaitkan dengan perbedaan pengetahuan atau pemahaman, nilai, kepentingan dan latar belakang individu. 11) Upaya penyelesaian konflik adalah suatu usaha dan daya dalam meredam konflik sehingga ketegangan menurun yaitu melalui lumping it, avoidance or exit, coercion, negotiation, mediation, arbitration, adjudication. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Strategi Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah metode pendekatan kualitatif. Metode kualitatif ini mengambil fakta berdasarkan pemahaman subjek penelitian (vertehen) (Sitorus, 1998). Dalam kasus konflik tanah ulayat ini, peneliti menekankan pada bentukan sosial realitas yang terjadi di Desa Kanekes, hubungan akrab antara peneliti dengan subyek peneliti, serta kendala-kendala situasional yang terjadi di lapangan. Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus yang merupakan suatu strategi penelitian multimetode-lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara dan analisis dokumen (Sitorus, 1998). Jenis studi kasus yang digunakan adalah intrinsik untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus khusus. Jadi, alasan peneliti memilih kasus tersebut karena dengan segala keunikan yang dimiliki kasus ini, peneliti tertarik sehingga mendapatkan pemahaman tentang persepsi masyarakat adat Baduy dan luar Baduy tentang tanah hak ulayat Baduy. Studi kasus instrumental pun digunakan oleh peneliti untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu fenomena konflik terjadi. Penelitian ini mengandung eksplanasi, dimana peneliti bermaksud menjelaskan konflik hak ulayat masyarakat adat Baduy pada kawasan hutan lindung berikut faktor-faktor yang mempengaruhinya serta upaya penyelesaian konflik tersebut. 44 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Wilayah Baduy yang memiliki luas 5.101,85 hektar, dengan jumlah masyarakat Baduy sekitar 7.265 jiwa bertempat di kawasan hutan Gunung Kendeng. Kampung Cibeo dan Cikeusik (Baduy Dalam), serta Kampung Gajeboh dan Kadu Ketug (Baduy Luar) yang berada di kawasan Desa Kanekes merupakan pusat lokasi penelitian (lihat Lampiran 1). Alasan pemilihan lokasi tersebut karena masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes adalah masyarakat yang terlibat dalam konflik hak ulayat serta mengetahui proses terjadinya konflik. Survai lokasi penelitian ini dimulai awal Bulan Januari hingga Bulan April 2008. Adapun tahap awal pra-penelitian dimulai sejak awal Bulan Januari 2008, guna mencari data awal untuk menentukan tema, masalah, tujuan, dan unit analisis yang akan diteliti. Pada Bulan April 2008 peneliti melakukan studi literatur (pengambilan data sekunder), dan peneliti survai ke lokasi untuk yang kedua kalinya. Adapun pelaksanaan penelitian ini efektif dilakukan selama Bulan Mei hingga pertengahan Bulan Juni 2008 (lihat Lampiran 2). Pengambilan data lapangan yang dilaksanakan selama 1,5 bulan ini berdasarkan berbagai pertimbangan : 1. Di Bulan Mei hingga pertengahan Bulan Juni, masyarakat Baduy sedang dalam masa istirahat, tidak ada kegiatan bertani ataupun berhuma sehingga mudah untuk menemui informan maupun responden. 2. Dalam waktu 1,5 bulan, data dari lapang dapat terkumpul dengan lengkap 45 untuk menganalisis permasalahan yang bersangkutan. Kemudian pada akhir Bulan Juni 2008, peneliti kembali ke lokasi untuk mencari data tambahan yang terkait dengan kekurangan data pada saat pengumpulan data. Pada awal hingga pertengahan Bulan Juli 2008, dilakukan input data, pengolahan data, interpretasi, serta penyusunan laporan skripsi. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan warga Baduy yang ditemui saat penelitian berlangsung (lihat Lampiran 3) serta melihat status dan pengaruhnya di lingkungan masyarakat adat Baduy. Informan dan responden dipilih secara purposif dengan jumlah sebanyak 12 orang. Wawancara mendalam yang dimaksud adalah “temu muka” secara berulang antara peneliti dan tineliti dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai tanah hak ulayat Baduy, status dan fungsinya bagi tineliti serta kondisi hutan sebelum dan sesudah terjadi konflik sebagaimana yang diungkapkannya dengan bahasa sendiri. Di samping itu, peneliti pun meminta informan kunci untuk merekomendasikan pihak lain yang bisa diwawancarai. Namun tidak semua informan dapat ditemui karena keterbatasan waktu penelitian dan jenuhnya data yang telah didapat. Data jenuh yang peneliti maksud adalah data dimana peneliti telah cukup yakin akan kebenarannya karena beberapa informan maupun responden telah memberikan data yang serupa (red : masyarakat adat bersifat homogen). Peneliti pun melakukan pengamatan secara partisipatif di lapang kepada tokoh-tokoh adat dan kondisi tanah hak ulayat dan hutan. Dengan demikian, 46 peneliti dapat melihat, merasakan, dan memaknai kawasan Baduy dengan ragam peristiwa dan gejala sosial yang terjadi sesuai dengan apa yang dilihat, dirasakan, dan dimaknai oleh tineliti sehingga memungkinkan membentuk pengetahuan secara bersama antara peneliti dan tineliti (lihat Lampiran 4). Pada pengamatan berperan serta yang terbatas, peneliti tidak merahasiakan identitasnya, bahkan mengeluarkan alat perekam suara (saat wawancara mendalam) untuk digunakan agar peneliti tidak lupa terhadap ucapan tineliti serta kamera untuk mengambil gambar. Adapun sumber data sekunder diambil dari data Desa Kanekes mengenai kasus tanah hak ulayat berupa lembaran-lembaran perjanjian yang ditandatangani berbagai pihak terkait yang dapat digunakan untuk penggambaran waktu kejadian dan peristiwanya. Data pun diperoleh dari instansi-instansi seperti Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak (Perda Kab. Lebak No.32/2001 dan Pola Pembinaan Masyarakat Baduy), Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Lebak, dimana peneliti mewawancarai pihak yang mengurusi sengketa tanah, namun tidak begitu banyak data yang diperoleh. Sehingga peneliti pun mencari data di Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata; serta laporan-laporan penelitian (buku/jurnal/skripsi) dan data dari situs internet (website) terkait dengan konflik tanah hak ulayat Baduy. 3.4 Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan semenjak pengumpulan data sekunder sampai data primer di lapangan. Data yang diperoleh untuk mengidentifikasi persepsi masyarakat adat terhadap konsep tanah hak ulayat di kawasan hutan lindung. 47 Kemudian data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, analisis dokumen/ literatur direduksi melalui proses pemilihan, pengkategorian data-data berdasarkan kepentingan sub-bab yang dibahas, disesuaikan dan dijabarkan secara subyektif dengan sudut pandang informan dan responden, kemudian mengkode dan menelusuri tema-tema serta penggugusan berdasarkan keperluan penelitian. Kemudian data disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan (langsung maupun tidak langsung) dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan. Selain itu, data yang ada disajikan dalam bentuk teks naratif-deskriptif maupun tabel. Hal ini dilakukan agar informasi yang diperoleh dapat memudahkan melihat konflik hak ulayat yang terjadi serta upaya penyelesaian yang pernah dilakukan, serta memudahkan untuk melakukan proses penarikan kesimpulan melalui verifikasi setelah penyajian data tersebut dilakukan. BAB IV KONDISI UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT BADUY 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Letak Geografis Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih teguh dalam mengikuti adat tradisi, yaitu Suku Baduy atau lebih suka disebut orang Kanekes atau orang Baduy. Mereka merupakan suatu kelompok masyarakat adat Sunda yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, wilayah Selatan Banten. Letaknya sekitar 172 km di sebelah barat ibukota Jakarta, dan sekitar 65 km sebelah Selatan Serang, ibukota Propinsi Banten, dan berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Apabila ditempuh dari kota Rangkasbitung, terdapat bis jurusan Rangkasbitung – Ciboleger, merupakan terminal dari tempat akhir pemberhentian menuju ke Desa Kanekes. Perjalanan dari Rangkabitung ke tempat tujuan dapat ditempuh sekitar 1-1,5 jam tergantung kondisi di perjalanan. Sedangkan dari terminal Ciboleger ke Desa Kanekes dapat ditempuh dengan berjalan kaki yang berjarak ± 300 m. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut (dpl) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian 49 tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Jenis tanah berupa latosol coklat, aluvial coklat dan andosol. Adapun curah hujan mencapai 4.000 mm/tahun dengan suhu rata-rata 20°C. secara geografis, Desa Kanekes terletak pada 6o27’27’-6o30’ Lintang Utara (LU) dan 108o3’9’’-106 o4’55’’ Bujur Timur (BT). Wilayah Baduy memiliki luas 5.101,85 hektar yang terdiri dari 3.127 hektar Baduy Dalam dan 1.975 hektar Baduy Luar. Berdasarkan data sensus kependudukan sampai dengan 26 Maret 2004, populasi warga Baduy (Luar dan Dalam) berjumlah 1.865 kepala keluarga (KK) atau sekitar 7.265 jiwa yang tersebar di 59 dusun/kampung, dengan jumlah laki-laki 3.636 jiwa dan jumlah perempuan 3.629 jiwa. Sedangkan berdasarkan laporan hasil Juru Tulis Desa Kanekes Tahun 2005, jumlah penduduk Baduy secara keseluruhan sebanyak 10.074 jiwa. Terdiri dari 5.086 orang laki-laki dan 4.988 orang perempuan, dengan jumlah kepala keluarga yaitu 2.665 KK. Jumlah penduduk Baduy bertambah lagi hingga tahun 2006 menjadi 10.879 jiwa, yang terdiri dari 5.486 orang laki-laki dan 5.414 orang perempuan dengan jumlah 2.905 KK. Data jumlah penduduk Baduy dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Jumlah Penduduk Baduy pada Tahun 2004, 2005 dan 2006 No. Tahun Jumlah Kepala Keluarga (KK) Laki-laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Jumlah Total (Jiwa) 1. 2004 1.865 3.636 3.629 7.265 2. 2005 2.665 5.086 4.988 10.074 3. 2006 2.905 5.486 5.414 10.879 Masyarakat Baduy yang berada di Desa Kanekes terbagi menjadi dua kelompok. Masyarakat Kajeroan/Tangtu yang dikenal dengan nama Baduy Dalam menempati tiga kampung yang dipimpin oleh seorang Puun sebagai pemimpin 50 adat tertinggi masyarakat Baduy. Kelompok lainnya adalah Penamping atau Baduy Luar yang hidup lebih terbuka dan sudah terbiasa berinteraksi dengan masyarakat lain namun tetap dengan batasan-batasan tertentu. Baduy Dalam dan Baduy Luar hidup dalam satu kesatuan yang diikat oleh tata nilai dan sistem budaya yang sama. Adapun perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah sebagai berikut : Tabel 4. Perbedaan Baduy Dalam dan Baduy Luar No. Perbedaan Baduy Dalam Baduy Luar 1. Cara Berpakaian Putih-hitam Hitam-hitam (mayoritas), tetapi sudah ada yang berpakaian bebas 2. Teknologi Tidak boleh memakai barang elektronik Sudah banyak yang memiliki barang elektronik (handphone, radio) 3. Rumah Berpintu satu, tidak menggunakan paku, tanah tempat membangun rumah tidak diratakan, terdiri dari satu kamar Pintu lebih dari satu (depan, belakang/samping), sudah menggunakan paku, tanah diratakan dan banyak penyekat ruangan 4. Mata Hanya ngahuma (berladang) dan Ngahuma dan berdagang serta Pencaharian mulai berdagang bisnis 5. Pemilikan Lahan Tidak ada (lahan milik bersama), turun-temurun Ada hak kepemilikan pribadi 6. Kesehatan Hanya menggunakan obat-obatan dari alam Banyak menggunakan obat modern 7. Perilaku terhadap Alam Tidak menggunakan bahan yang mengandung zat kimiawi Banyak menggunakan bahan yang mengandung zat kimia Adapun batas-batas wilayah Baduy, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Bab III, Pasal 6 yang menyatakan bahwa Desa Kanekes memiliki batas-batas desa yaitu di antaranya dengan Kecamatan Leuwidamar di bagian sebelah utara, berbatasan dengan Desa Bojongmenteng, Desa Cisimeut dan Desa Nayagati. Di sebelah Barat, Desa Kanekes berbatasan 51 dengan 3 desa di Kecamatan Bojongmanik yaitu Desa Parakan Beusi, Desa Kebon Cau dan Desa Karang Nunggal. Di bagian selatan, Desa Kanekes berbatasan dengan satu kecamatan yaitu Kecamatan Cijaku, Desa Cikate. Di sebelah timur, Desa Kanekes berbatasan dengan Kecamatan Muncang, tepatnya dengan Desa Karang Combong dan Desa Cilebang. Demikian pula pada Bab III, Pasal 7 menyatakan bahwa wilayah Masyarakat Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam. Batas alam yang menjadi tanda suatu kawasan tertentu, di antaranya sebelah utara yaitu Kali Ciujung sebagai batas alam antara Desa Kanekes dengan desa-desa lainnya. Di sebelah selatan terdapat Kali Cidikit, dan di sebelah Barat terdapat Kali Cibarani serta Kali Cisimeut di bagian timurnya. Gambar 2. Peta Kabupaten Lebak 52 4.1.2 Pola Tata Ruang Lahan Lahan hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem yang berisi sumberdaya alam hayati, serta didominasi pepohonan besar dan sudah tua. Sumberdaya hutan merupkan suatu ekosistem alam yang mengandung unsurunsur sumberdaya alam dan manusia, yang mempunyai saling ketergantungan satu sama lainnya. Oleh karena itu, hutan harus diusahakan dan dimanfaatkan secara bijak untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dengan tetap menjaga kelestariannya, karena hutan memiliki fungsi ekonomi dan fungsi perlindungan lingkungan. Berdasarkan pola pengelolaan tata ruangnya, kawasan Baduy secara umum dibedakan menjadi tiga, yaitu zona permukiman, zona pertanian ladang dan hutan sekunder bekas ladang, serta zona hutan lindung/hutan titipan. Zona pertama yaitu daerah permukiman, khusus diperuntukkan bagi permukiman penduduk berupa rumah-rumah tradisional di daerah-daerah lembah, dekat sumber air, seperti pinggiran sungai dan dekat sumber air tanah. Di sekitar permukiman, biasanya ditumbuhi aneka ragam tanaman buah-buahan dan kayukayuan yang tumbuh liar, setengah liar, atau masih liar. Hutan antropogenik di daerah kampung yang rimbun menyerupai struktur vegetasi hutan alami, biasa disebut sebagai dukuh lembur atau leuweung lembur. Di daerah dukuh lembur tersebut, di bawah pepohonan rindang, biasanya ditempatkan lumbung padi tradisional (leuit). Menurut pikukuh/peraturan adat Baduy, dukuh lembur tidak boleh dirusak dan ditebangi karena dianggap sebagai perlindungan kampung dan sekaligus menghasilkan aneka ragam buah-buahan untuk kepentingan sosial ekonomi penduduk. Di pinggiran-pinggiran rumah-rumah yang menyusun kampung tersebut, di bawah pepohonan kayu dan rumpun-rumpun bambu, umumnya banyak ditemukan mata air yang keluar dari tanah (cai nyusu). Pada beberapa tempat mata air tersebut, biasanya dibuat pancuran air yang dimanfaatkan untuk tempat mandi dan mencuci serta mengambil air minum. Di samping itu, sungai besar yang ternama di Banten yaitu Sungai Ciujung, lazim dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, dan buang air, serta dimanfaatkan untuk mengambil ikan dengan berbagai cara, seperti dijala (dikecrik), dipasang perangkap ikan dari bambu (dibubu), dan ditangkapi dengan menyelam (diteuleuman di leuwi). Mereka tabu menangkap ikan dengan menggunakan racun dan bahan peledak. Kawasan yang didiami masyarakat Baduy dialiri puluhan sungai-sungai yang terus mengalirkan air bening sepanjang tahun. Aliran ini begitu lancar, bahkan tidak mengering di musim kemarau. Pada zona kedua, bagian luar permukiman penduduk, biasanya di atas lembah-lembah bukit, diperuntukkan bagi perladangan berpindah (huma). Oleh kerena itu, di zona ini terdapat daerah-daerah ladang dan daerah hutan bekas ladang yang diberakan (reuma) dengan berbagai umur masa bera. Pada zona ketiga, berupa daerah-daerah puncak bukit, biasanya diperuntukkan bagi konservasi hutan, berupa hutan tua yang tidak pernah dibuka dijadikan ladang. Daerah-daerah hutan tua tersebut biasanya disebut ‘hutan titipan’ (leuweung titipan) atau ‘hutan tua’ (leuweung kolot). Dari segi penggunaan lahan, daerah-daerah pemukiman seluas 24,50 ha (0,48%), hutan tetap 2.492, 06 ha (48,85 %), daerah pertanian yang ditanami 54 709,04 ha, dan daerah pertanian yang diberakan 1.876,25 ha (36,67%). Adapun penggunaan lahan di hutan masyarakat adat Baduy dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5. Tata Guna Lahan Desa Kanekes pada Tahun 2001 No Jenis Penggunaan Luas (Ha) Presentasi (%) 1 Hutan Tutupan 2.609,7 51,2 2 Hutan Garapan 2.492,1 48,8 5.101,8 100 Jumlah Pada Tabel 5 terlihat bahwa hutan tutupan lebih luas daripada hutan titipan. Masyarakat Baduy memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dari kegiatan pertanian, yaitu menanam padi dan tanaman lainnya seperti tanaman sayuran maupun tanaman keras seperti jagung, durian, petai dan kelapa. Kegiatan penanaman ini dikenal dengan ngahuma. Huma merupakan bentuk pola mata pencaharian dengan menggunakan sistem teknik bertani tebang dan bakar yang dilakukan pada lahan kering. Keadaan tanah dengan kemiringan 45%, dilakukan dengan teknik penanaman nganugal9. Ngahuma ini dilakukan dengan cara berpindah-pindah. Hasil panen padi, selain untuk dimakan sehari-hari juga disimpan dalam lumbung padi yang disebut leuit. Menurut Garna (1993), warga Baduy di 10 tahun terakhir ini berdagang pakaian dan rokok, serta jajanan-jajanan anak-anak kecil yang dijual di salah satu rumah warga Baduy. 55 4.2 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Baduy 4.2.1 Kepercayaan atau Religi Berdasarkan asal-usulnya, masyarakat adat Baduy mengakui bahwa mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Oleh karena itu, orang Baduy menyebut agama yang dianutnya adalah Agama Sunda Wiwitan (Agama Sunda Pertama) atau Agama Islam Sunda atau disebut juga Agama Nabi Adam. Dengan agamanya itu orang Baduy mengakui akan adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut 9 Nganugal adalah cara penanaman dengan membuat lubang pada tanah dengan menggunakan tongkat kayu. “Batara Tunggal”, mengakui akan Nabi Adam, Nabi Muhammad dan Syahadat Agama Islam. Agama Sunda Wiwitan mengajarkan bahwa kedudukan manusia itu telah ditentukan kedudukannya dan telah ditentukan pula tempatnya masing-masing. Manusia hidup di dunia ini tidak boleh berlebihan mencari kesenangan, cukup menerima yang sudah ada saja, dan yang dituju di dalam hidup adalah kebajikan dan kebaikan. Kebajikan tersebut dicapai dengan jalan mentaati ketentuanketentuan yang sudah dikodratkan dan mentaati segala ketentuan yang diberikan. Hidup menurut ketentuan atau kodrat, berarti hidup apa adanya, hidup sederhana dengan segala kesenangan dan kesederhanaannya merupakan dasar yang kuat dalam memandang apa yang seharusnya alam berikan kepada manusia. Walaupun masyarakat Baduy pada umumnya mengaku menganut agama “Sunda Wiwitan”, 56 akan tetapi mereka menganut Agama Islam karena mengucapkan syahadat. Lembah, muara, hulu sungai, puncak gunung, jantung hutan, gua, danau, dan kedung serta tempat-tempat yang dianggap angker di Baduy, dianggap memiliki kekuatan gaib. Contohnya, Panembahan Arca Domas merupakan tempat penjiarahan yang sangat dikeramatkan, dimana berkumpul ruh-ruh nenek moyang, dan dijadikan tempat pemujaan yang sangat disucikan. Namun tidak boleh sembarang orang dapat melihatnya. Masyarakat Baduy hanya perlu meyakininya. Masyarakat Baduy Dalam yang tidak terpengaruh kebudayaan luar, meskipun saat ini sudah mulai luntur, namun tetap melakukan doktrin-doktri sebagai kewajibannya, yaitu : 1. Memelihara Sasaka Pusaka Buana (Sasaka Domas) 2. Memelihara Hyang 3. Mengasuh Ratu memelihara Menak 4. Bertapa bag kesejahteraan pusat dunia 5. Meyelenggarakan dan menghormati upacara membuat Laksa Djoewisno (1987) menyatakan bahwa orang Baduy berpegang teguh pada pedoman hidupnya yang dikenal dengan Dasasila (10 pengertian), yaitu : 1. Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membunuh sesama manusia) 2. Moal mibanda pangabogan nu lian (tidak mencuri dan merampas) 3. Moal linyok, moal bohong (tidak ingkar dan tidak menipu) 4. Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak melibatkan diri pada minuman yang memabukkan) 5. Moal midua ati kanu sejen (tidak menduakan hati pada orang lain atau berpoligami) 6. Moal barangdahar dina waktu nu kakurung ku peuting (tidak makan setelah matahari terbenam) 7. 57 Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tida memakai bunga-bung dan harun-haruman untuk menghiasi diri) 8. Moal ngagunah-geunah geusan sare (tidak melepaskan diri dalam tidur dan selalu ingat dalam keadaan bangun) 9. Moal nyukakeun ati ku igel, gamelan, kawih atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan tari, tabuhan, nyanyi atau senandung gembira yang bisa melupakan diri) 10. Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas permata yang bisa membuat orang lain iri dan dengki) 4.2.2 Bahasa dan Pendidikan Dalam berkomunikasi dengan sesama warga, bahasa digunakan oleh masyarakat adat Baduy adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar masyarakat Baduy lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Masyarakat Baduy terutama Baduy Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Bahkan pikukuh/peraturan adat pun tidak secara mutlak tertulis. Mereka hanya diperbolehkan belajar dari pengalaman, sedangkan sekolah atau semacamnya dilarang. Kebalikan dari masyarakat baduy Dalam, pada masyarakat Baduy Luar sudah mulai ada yang mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Namun tidak menuntut kemungkinan pula, bahwa dengan semakin banyak warga luar Baduy yang berkunjung ke Baduy, maka semakin banyak pula perubahan yang terjadi, mulai dari pelanggaran terhadap pikukuh mengenai baca tulis, ataupun pakaian dan alat makan. Hal ini tidak lain pengaruh dari luar. 58 4.2.3 Interaksi Masyarakat Baduy Hubungan antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar Baduy, baik pengunjung biasa maupun anak-anak yang sedang mengisi liburan sekolahnya, maka interaksi yang terjadi dengan dunia luar yaitu dalam hal perniagaan, kunjungan wisatawan, perluasan area pertanian dan pertambahan penduduk. Misalnya saja ada kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Baduy secara rutin melaksanakan "seba" ke Kesultanan Banten. Hingga saat ini, upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan yang dilakukan sudah menggunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi masyarakat Baduy terletak di luar wilayah Baduy seperti Pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger. Bahkan tidak jarang pula mereka berbelanja keperluan sehari-hari ke pasar Rangkasbitung. 4.2.4 Sikap dan Perilaku Masyarakat Baduy terhadap Lingkungan Masyarakat Baduy menganggap bahwa lingkungan tidak boleh berubah sama sekali. Seperti ungkapan tokoh masyarakat Baduy yang mengenal prinsip “tanpa perubahan apapun”. Ini tercermin dari peribahasa mereka, yaitu : Lojor teu meunag dipotong Panjang tidak boleh dipotong Pondok teu beunang disambung Pendek tidak boleh disambung Gunung teu beunang dilebur Gunung tidak boleh dihancurkan Lebak teu beunang dirakrak Lembah tidak boleh dirusak Buyut teu meunang dirobah Pantangan tidak boleh diubah 59 Masyarakat Baduy juga menganggap bahwa wilayah kanekes merupakan inti jagat. Lingkungan hanya boleh diolah untuk kegiatan berladang, namun tidak boleh sembarangan karena memiliki peraturan mengenai kegiatan berladang. Begitupun terhadap warga luar Baduy, mereka dilarang mengambil hasil hutan sembarangan dengan penebangan secara bebas atau menyerobot hutan. 4.2.5 Sistem Pemerintahan Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yakni sistem nasional yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem tradisional (adat) yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Desa Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah (awalnya disebut jaro warega, dan pada jaman kolonial disebut jaro gubernemen). Sedangkan secara tradisional, pemerintahan pada masyarakat Baduy bercorak kesukuan disebut kapuunan, karena puun merupakan pimpinan tertinggi. Ada tiga orang puun di wilayah Baduy, masing-masing Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun Cikartawana, yang merupakan “tritunggal”. Para puun dibantu oleh jaro (pelaksana harian kapuunan), girang seurat (pemangku adat), baresan (keamanan), dan tangkesan (kepala dukun). Di Baduy Luar tidak ada puun, pemimpin tertinggi di sini dipegang oleh jaro (sebagai kepala kampung) beserta pembantu-pembantunya yang dinamakan panggiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Garna, 1993) (lihat Lampiran 7). BAB V PERSEPSI MASYARAKAT ADAT BADUY TENTANG KONSEP TANAH ULAYAT DI KAWASAN BADUY 5.1 Persepsi Terhadap Nilai Sumberdaya Hutan Lindung Masyarakat adat Baduy merupakan masyarakat yang dapat hidup dengan harmonis, baik dalam pergaulan dengan masyarakat Baduy itu sendiri, dengan masyarakat luar Baduy atau dengan lingkungan alam dimana mereka bertempat tinggal. Dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari guna memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat adat Baduy tinggal di sebuah kawasan hutan yang merupakan hutan garapan yang dapat dimanfaatkan sebagai pemukiman, serta mampu menghasilkan bahan makanan pokok terutama padi. Masyarakat adat Baduy mengenal dua macam hutan, yaitu hutan garapan dan hutan lindung. Sedangkan yang dimaksud dengan tanah ulayat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu seluruh kawasan Baduy, Desa Kanekes, termasuk hutan garapan dan hutan lindung atau yang dikenal oleh masyarakat adat Baduy adalah hutan tutupan. Pengertian hutan tutupan atau hutan tetap adalah hutan yang tak boleh digarap oleh masyarakat adat Baduy sendiri yang memiliki luas sebesar ±3.000 hektar dari keseluruhan luas tanah ulayat Baduy sebesar 5.136,8 hektar. Pernyataan tanah ulayat ditegaskan pula oleh pendapat salah seorang informan berikut. “Tanah di Baduy semua adalah tanah ulayat. Ada yang dimanfaatkan oleh warga Baduy, tapi sesuai aturan. Tapi tanah tutupan lain lagi, di Gunung Cibeo dan Cikeusik, kayu itu tidak boleh diambil”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) Tidak hanya itu, masyarakat adat Baduy memiliki keyakinan bahwa hutan merupakan titipan Gusti Allah yang harus dijaga. Bagi Suku Baduy, hutan 61 larangan sangat sakral. Hanya para puun (pimpinan) dan jaro (pengurus kampung) yang diperbolehkan mengunjungi hutan tersebut. Konon, di hutan larangan itu terdapat tempat pemakaman para karuhun (sesepuh dan pimpinan Suku Baduy yang telah meninggal). Diyakini, para karuhun itu sering menyampaikan pesan kepada puun berkaitan kemaslahatan Suku Baduy. Seperti pernyataan salah seorang informan berikut. “Di Baduy kepercayaannya ka Gusti Allah. Tanah ulayat titipan karuhun dan Gusti Allah. Yang dahulunya ada lapisan manusia, sekarang sudah tidak ada disebut karuhun”. (Bapak Srm (L), Panggiwa/Pembantu Jaro) Sumberdaya hutan di Baduy merupakan faktor penting dalam keamanan dan kesejahteraan masyarakat adat Baduy. Karena hasil-hasil hutan yang ada dapat langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat adat Baduy. Hutan merupakan sumberdaya yang mampu untuk menjaga kelestarian sumber air (tempat penyimpanan air) bagi kampung-kampung sekitar bahkan untuk kepentingan seluruh masyarakat baik di Banten, maupun propinsi lain bahkan seluruh dunia. Selain itu, sumberdaya hutan mampu menangkal bahaya erosi dan banjir, bahkan sebagai pelindung dari angin besar. Hal yang sudah pasti, bahwa hutan mengandung kekayaan alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Berikut kutipan dari beberapa informan. “Hutan lindung banyak manfaatnya, tidak hanya untuk warga Baduy tapi juga untuk bangsa”. (Bapak Msd (L), Wakil Jaro Tangtu (Baduy Dalam)). “Tanah ulayat memberi manfaat. Kehidupan masyarakat Baduy tercukupi, ada bahan-bahan hasil tani. Tanah ulayat manfaatnya kaseluruh dunia, tidak hanya untuk orang Baduy. Tanah ulayat Baduy paru-parunya alam. Gunung nu aya di Baduy Dalam eta ngarupakeun 2 sumber air besar nyaeta Ciujung jeung Ciberang. Aya hutan larangan nu bisa nangkal tina angin mun aya hujan”. (Bapak Srm (L), Panggiwa/Pembantu Jaro) Terjemahan bebas : Tanah ulayat memberi manfaat. Kehidupan masyarakat Baduy tercukupi, ada bahan-bahan hasil tani. Tanah ulayat manfaatnya keseluruh dunia, tidak hanya untuk orang Baduy. Tanah ulayat Baduy paru-parunya alam. Gunung yang ada di Baduy Dalam itu merupakan 2 sumber air besar yaitu Ciujung dan Ciberang. Ada hutan larangan yang bisa mencegah 62 dari angin apabila ada hujan. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan daerah yang dialiri sungai tersebut, maka masyarakat Baduy yang bermukim di wilayah tersebut ditabukan untuk bercocok tanam dengan cara mengolah lahan seperti membuat petak sawah, mencangkul, atau menanami dengan tanaman untuk perdagangan. Cara pengolahan lahan yang berlebihan dan pengusahaan lahan pertanian untuk diperdagangkan diyakini akan menimbulkan kerusakan ekosistem. Ada sebuah pepatah Baduy yang mengatakan : “Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang di sambung”. Istilah ini sangat sederhana namun memiliki makna yang teramat dalam, yakni bahwa masyarakat Baduy tidak pernah menambah-nambah sesuatu yang tidak ada di sana, namun juga tidak merusak tatanan yang ada, baik berupa kekayaan alam yang berupa hutan, sungai, kebun (ladang), termasuk binatang yang ada dan hidup di sana. Komunitas masyarakat Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, meminta Pemerintah Propinsi Banten beserta jajarannya tetap menjaga kelestarian hutan dan lingkungan mereka, serta meminta pemerintah menindak tegas siapapun yang mencoba merusak lingkungannya. Karena bagi masyarakat adat Baduy hutan dan lingkungan adalah satu kesatuan yang tidak boleh diabaikan, dan dampaknya akan terasa tidak hanya bagi masyarakat Baduy, tapi juga bangsa dan negara. Hal ini tertera sebagai ungkapan salah seorang informan berikut. “Hutan lindung gundul, bukit gundul, panyakit resah, ngalangsa bangsa jeung nagara. Oleh karena itu, dijaga, dilestarikan dan dipertahankan”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) Terjemahan bebas : Hutan lindung gundul, bukit gundul, panyakit resah, menderita bangsa dan negara. Oleh karena itu, dijaga, dilestarikan dan dipertahankan. Jaro Dnh menegaskan pula, jika hutan lindung itu gundul tentu yang rugi 63 bukan hanya warga Baduy saja, melainkan daerah Rangkasbitung, Serang, Cilegon dan Tangerang akan kesulitan air bersih, juga terjadi bencana alam seperti banjir, longsor tanah. Apalagi, kawasan tanah ulayat Baduy termasuk daerah sumber mata air yang harus dijaga kelestarian alam dan hutan. Saat ini, kerusakan hutan lindung memang tidak separah tahun 1998 lalu akibat adanya penebangan liar itu. Oleh karena itu, warga Baduy Dalam terutama Wakil Jaro Tangtu (Msd) bersama tokoh adat Setiap satu bulan tiga kali mereka mendoakan Pemerintah Propinsi Banten agar terhindar dari segala bahaya dan bencana. Akan tetapi, jika manusianya dibiarkan merusak hutan maka alam pun akan “marah”. Meskipun warga Baduy baru-baru sekarang ini mendengar dan mengenal istilah pemanasan global, namun para leluhur masyarakat Baduy, menurut pengakuan Msd, sudah terlebih dahulu mengetahui akan hal itu dan selalu mengantisipasinya dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Karena masyarakat Baduy memiliki prinsip yang sederhana, yaitu ingin menyeimbangkan alam. Apabila tidak seimbang, dikhawatirkan akan terjadi bencana alam seperti banjir, longsor. Selain itu prinsip yang masih dipegang teguh adalah kalimat “Gunung ulah di lebur, Lebak ulah diruksak”, maksudnya bahwa pikukuh tersebut mengisyaratkan agar seluruh masyarakat Baduy tetap menjaga kondisi gunung dan lembah tetap seperti sedia kala, dan tidak mengalami perubahan. Hal ini berlaku sudah sejak dulu, sejak nenek moyang, kawasan ini sudah terpelihara dan tidak boleh sampai diabaikan dan diubah. 64 5.2 Persepsi Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Hutan pada Tanah Ulayat Kawasan Baduy Berdasarkan informasi yang didapatkan di lapang, kehidupan sehari-hari masyarakat adat Baduy tidak terlepas dari tanah ulayat, yaitu mereka yang memiliki lahan pertanian di dalam hutan. Luas hutan yang dimiliki masingmasing ±5-10 hektar, dan kepemilikan tanah pada hutan tersebut berdasarkan pada kemampuan mengokupasi, serta warisan dari leluhur. Fakta menunjukkan hutan tidak lagi dijadikan sebagai penopang kehidupan ekonomi keluarga. Hal ini disebabkan hutan tidak lagi dapat dimasuki secara bebas oleh masyarakat, sejak ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan larangan. Di samping itu, masyarakat adat Baduy juga sudah mulai berpikir dengan pola hidup modern terhadap pemenuhan kebutuhannya yaitu dengan menjual berbagai kerajinan hasil karyanya sendiri dengan membeli bahan-bahan kerajinan dari luar Baduy, seperti di Bandung atau pun kota lainnya yang saat ini sering kali dikunjungi sebagai usaha masyarakat adat Baduy. Bahkan cakupan lokasi penjualan tidak terbatas di sekitar tempat tinggal melainkan sudah merambah kota Banten dan Jawa Barat. Seperti ungkapan salah satu informan berikut. “Tanah ulayat bukan sebagai mata pencaharian utama, macam cengkeh, kopi dan karet. Kawasan Baduy hanya sebagai tempat tinggal, karena yang di Baduy yang bisa ditanam cuma gula dan aren. Untuk makanan sehari-hari beli di luar. Ketergantungan pada hutan ‘ga terlalu tinggi untuk perekonomian”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) Adapun hasil hutan yang diambil untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga di antaranya mengambil kayu bakar (meramu). Dalam pengambilan atau pemanfaatan hasil hutan di Desa Kanekes sudah ditetapkan yaitu pada tanah 65 garapan yang sudah dimiliki secara turun-temurun. Masyarakat Baduy yang pergi ke hutan sudah tentu akan mengambil hasil kayu sesuai dengan kebutuhannya di rumah. Adapun kayu yang sering diambil dari hutan lindung adalah kayu-kayu alam yang memang sudah tumbuh sendiri di hutan tersebut dengan syarat meminta izin terlebih dahulu kepada Puun, ataupun kayu albasiah yang berada di sekitar Baduy Luar. Masyarakat adat Baduy hampir setiap hari pergi ke hutan atau ke lahannya untuk melihat kebun yang dimilikinya, maka ketika itu pula masyarakat adat Baduy mengambil kayu untuk keperluan memasak di dapur. Dalam menebang kayu yang dilakukan oleh masyarakat Baduy pun merupakan cara yang tradisional. Berikut sebuah pernyataan dari salah seorang informan. “Ngambil kayu secukupnya, sesuai kebutuhan, ‘ga bisa diperhitungkan. Orang Baduy itu kalo pulang dari hutan pasti bawa kayu tiap hari meskipun di rumah udah banyak. Ada 2030 kg atau 1-2-3 kg batang. Jadi, kaya yang ‘ga betah kalo ‘ga bawa kayu dari sepulang hutan”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) “Ngambil kayu yang milik orang lain bisa minta atas izin. Yang tidak termanfaatkan bisa dibeli. Ngambil kayu pake parang, golok, gergaji dengan ditebang. Ngambil kayu perbatang, kering, untuk kayu bakar untuk masak”. (Bapak Srm (L), Panggiwa/Pembantu Jaro) “Kayu bakar ditebang ngangge golok, baliung, tatah, palu”. (Bapak Ju (L), warga Cibeo, Baduy Dalam) Terjemahan bebas : Kayu bakar ditebang menggunakan golok, baliung, tatah, palu. Kegiatan meramu lainnya dalam rangka pemanfaatan yang dilakukan masyarakat adat Baduy adalah mengambil daun pisang dan mengambil tanaman obat. Tanaman obat ini berupa daun-daunan yang bisa dimanfaatkan untuk menyembuhkan sakit perut. Seperti ungkapan salah satu informan berikut. “Tanaman obat untuk sakit perut ada daun-daunan. Ada juga bunga-bungaan”. (Srm (L), 66 Panggiwa/Pembantu Jaro) Di samping itu, ada pula kegiatan memanen yaitu mengambil buah, mengambil rotan, mengarit rumput menebang pohon dan bertani. Dalam mengambil buah ini, masyarakat adat Baduy bisa mengambilnya di sekitar rumahnya saja, tidak diperbolehkan mengambil buah-buahn di hutan lindung terkecuali ada izin dari pihak Jaro maupun Puun. Namun, bisa juga mengambil buah duren ketika musimnya, namun tidak bisa langsung diambil begitu saja dari pohonnya, melainkan menunggu agar jatuh sendiri dari pohonnya. Hal ini berlaku di hutan lindung atau hutan larangan. Begitu pula terhadap pohon ranji yang terdapat di hutan lindung, yang saat ini sudah bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat yang mempunyai hak tertentu terhadap hutan larangan tersebut, terutama Jaro Tangtu (Baduy Dalam). Selain itu, dapat pula mengambil buah aren yang nantinya diolah dengan cara digodog kemudian dijadikan gula aren, yang hasilnya untuk dijual ke pasar terdekat, misal Pasar Cisimeut, Ciboleger atau pun Pasar Rangkasbitung. Seperti yang sudah dijelaskan, dalam menebang pohon tidak boleh menggunakan alat yang dilarang adat seperti gergaji karena sudah ada aturannya. Masyarakat Baduy harus mentaatinya dan tidak perlu menanyakan alasan tertentu. Berbeda dengan cara bertani masyarakat luar kawasan Baduy, masyarakat adat Baduy bertani ngahuma, dimana bentuk pola mata pencaharian dengan menggunakan sistem teknik bertani tebang dan bakar yang dilakukan pada lahan kering, sehingga hasil beras yang diperoleh akan berbeda baik rasa maupun bentuknya. Bahkan ketika beras tersebut sudah dimasak, maka nasi yang 67 dihasilkan akan keras. Secara umum, pengambilan hasil hutan pada masyarakat adat Baduy khususnya Baduy Dalam, disesuaikan dengan waktu dan berdasarkan aturan adat. Berikut sebuah pernyataan dari salah seorang informan. “Nu deukeut imah mah kenging, tapi tergantung waktuna, aya bulan-bulan tertentu. Bulan ka 5, 6, 7, bulan kawaluh mah larangan. Aya acara kawaluh, orang luar ‘ga boleh ke Baduy Dalam. Aturan ngagunakeun tanah ulayat pengukuranana dibantu ku BPN jeung adat. Di Baduy teu kenging aya sawah”. (Jaro Sm (L), Jaro Tangtu : Baduy Dalam) Terjemahan bebas : Yang dekat rumah diperbolehkan, tapi tergantung waktunya, ada bulan-bulan tertentu. Bulan ke 5, 6, 7, bulan kawaluh adalah larangan. Ada acara kawaluh, orang luar tidak boleh ke Baduy Dalam. Aturan menggunakan tanah ulayat pengukurannya dibantu oleh BPN dan adat. Di Baduy tidak boleh ada sawah. Dalam pemanfaatan hutan tersebut, maka yang sering dilakukan selain mengambil langsung hasil hutan berdasarkan kepemilikan lahannya, maka dilakukan pula sistem jual beli terutama bagi warga yang tidak memiliki hak terhadap tanah ulayat Baduy, yaitu masyarakat luar Baduy. Berikut sebuah pernyataan salah seorang informan. “Istilah ngambil secara tidak resmi, ‘ga boleh, yang ada hanya jual beli. Aturannya secara proses, ada gula aren, pete, duren. Ngambil sendiri ‘ga boleh, harus beli dari masyarakat Baduy”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) “Yang boleh itu jual beli, hasil pendapatan dari Baduy, baik itu buah-buahan, kerajinan atau hasil pendapatan lainnya, kita sama-sama pedagang”. (Bapak Msd (L), Wakil Jaro Tangtu, Baduy Dalam) Warga masyarakat Baduy saat ini sudah hampir mencapai 10.879 jiwa pada tahun 2006, namun tanah tetap dalam kondisi yang sama, tidak bertambah. Sehingga apabila berkeinginan menambah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan agar perekonomiannya lebih baik, maka masyarakat Baduy membeli tanah di luar untuk dijadikan kebun. Tidak hanya itu, masyarakat Baduy pun menanam tanaman yang dilarang di kawasan Baduy seperti kopi dan 68 cengkeh. Berikut sebuah pernyataan dari Kepala Desa Kanekes. “Orang Baduy itu orangnya banyak, tanahnya sempit. Kalau tanah di luar lebar. Ada sawah, kalau di luar Baduy tanah bisa dijual. Tanah Baduy ‘ga boleh dijual, jadi tidak boleh dimiliki orang lain, bukan licik. Saya punya tanah di luar kawasan Baduy 6-7 hektar sudah sertifikasi punya Bapak. Ada kopi, cengkeh, coklat, dijual ke luar, lumayan hasilnya bisa nambah-nambah untuk merokok”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) Tanah ulayat masyarakat adat Baduy yang sudah ada tidak dapat dirubah seperti apapun, karena sudah ada ketentuan adat. Aturan adat atau pikukuh yang ada harus dipatuhi oleh masyarakat Baduy dan berlaku hingga generasi ke generasi (turun-temurun). Oleh karena itu, tanah ulayat harus dipertahankan keutuhannya. Sebagaimana ungkapan informan berikut. “Tergantung orang Baduy manfaat tanah ulayat, masih kuat mempertahankan, bahkan warga Baduy ikut partisipasi mempertahankan terhadap daerah, gunung di luar Lebak, karena ada kekhawatiran bencana. Keyakinan, pohon bermanfaat untuk melindungi dari kehancuran, dan yakin ada kekuatan tertentu, ghaib yang melindungi dari bencana”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) Berkat menerapkan Pikukuh Sapuluh (dasa sila) dengan penuh kepatuhan dari generasi ke generasi, masyarakat Baduy telah berhasil melindungi kawasan hutan ulayat di hulu daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten. Manfaatnya telah dinikmati bukan hanya oleh komunitas mereka sendiri, tapi juga rumah tangga dan industri di hilir yang mendapatkan pasokan air yang lancar dari 120 sungai dan anak sungai, khususnya Ciujung. Dengan merujuk pernyataan-pernyataan tersebut, maka sumberdaya hutan bagi masyarakat adat Baduy merupakan tempat tinggal dan memiliki nilai ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari serta sebagai pelindung dari segala bencana yang mungkin terjadi. 69 5.3 Status Hak Tanah Ulayat Baduy Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001, bahwa wilayah Baduy penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adat Baduy, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Adapun penjelasan mengenai tanah ulayat itu sendiri adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat juga dipercayai berasal dari nenek-moyang mereka dan merupakan karunia Allah SWT sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Hak ulayat bersifat komunal, tetapi tidak menutup kemungkinan diakuinya hak perorangan untuk menguasai sebagian dari obyek penguasaan hak ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya hak ini berlaku terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama. Sebagai sarana pendukung utama kehidupan dan penghidupan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, tanah ulayat dikelola dan diatur peruntukan, penguasaan dan penggunaannya. Kewenangan pelaksanaannya sehari-hari dilimpahkan dan ditugaskan kepada ketua adat dan para tetua adatnya. 70 Tanah ulayat tersebut tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain karena tanah ulayat bukan saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi yang akan datang. Jaro Dnh mengemukakan, keberadaan hak tanah ulayat dalam Pasal 1 Peraturan Daerah merupakan suatu perlindungan yaitu suatu rangkaian kegiatan Pemerintah Kabupaten Lebak dan masyarakat dalam menjaga tatanan masyarakat Baduy. Sedangkan Pasal 9 menyebutkan, setiap orang yang mengganggu, merusak dan menggunakan lahan hak ulayat masyarakat Baduy dihukum kurungan 6 bulan dan denda Rp 5 juta. Di samping itu, ada pula produk hukum Pemerintah Kabupaten Lebak lainnya yang terkait dengan masyarakat Baduy adalah Perda Nomor 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak, Keputusan Bupati Lebak No. 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Di samping itu, sebelum era otonomi daerah pun telah muncul Perda Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak. Jauh sebelum itu, tahun 1968 keluar Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat tentang Penetapan Status Hutan Larangan Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai Hutan Lindung Mutlak dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat. Tidak terlepas dari hukum pemerintah atau peraturan daerah yang sudah ditetapkan, maka hukum adat pun memiliki kekuatan hukum dimana ada sanksi bagi pelanggar aturan adat, sehingga harus tetap ditaati meskipun tidak tertulis10 yang dikenal sebagai pikukuh “tanpa perubahan apapun”. Hukum adat juga dilindungi oleh kekuatan yang mempunyai wewenang, misalnya kepala suku atau kepala dusun, dan hal ini terlihat pula dengan diakuinya hak ulayat masyarakat adat dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960). Salah satunya dalam Pasal 10 Ayat 1 UUPA yang menyatakan bahwa hak kepemilikan tanah ulayat adalah hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh seseorang yang dapat dialihkan kepada pihak lain (Pasal 20 Ayat 2 UUPA). Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa tanah ulayat/tanah adat dapat dikategorikan sebagai tanah yang dibebani hak milik komunal (suatu milik badan persekutuan hukum adat). 10 Masyarakat Baduy pantang mengikuti pendidikan formal, seperti sekolah di SD sehingga tidak bisa membaca dan menulis. Salah seorang informan (Bapak As) menyatakan bahwa status tanah ulayat bagi masyarakat Baduy adalah kebersamaan, dimana dalam pemanfaatannya diserahkan kepada desa dan dikelola bersama, dan setiap warga memiliki hak khusus atas tanah ulayat tersebut terutama sebagai warga Baduy. Bahkan peraturan mengenai batas-batas yang telah ditentukan untuk tanah ulayat pun sudah jelas. Tanah di Baduy yang dimiliki tiap keluarga berdasarkan turuntemurun, atau ada pula yang memperoleh tanah karena jabatannya sebagai jaro yang dikenal dengan sebutan tanah bengkok. Namun, ketika jabatan dan tanggungjawab sebagai jaro sudah tidak lagi diemban, maka tanah tersebut diserahkan kepada pimpinan kepala desa yang baru (jaro). Selain itu juga, terdapat tanah warisan dari orangtua ataupun tanah milik sendiri yang digarap sesuai aturan adat. Berikut pernyataan informan. “Dua belas tahun saya ngejabat sebagai kepala desa. Peraturan adat : tidak ada batasan jabatan, saya sudah 2 kali menjabat. Untuk tanah, saya ada warisan orangtua, ganti rugi, punya tanah garapan. Ada juga tanah bengkok, tanah yang berdasarkan jabatan yang dilakukan secara turun-temurun, ada di luar 3 hektar, tanahnya kering”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) 72 “Tidak ada yang menentukan hak kepemilikan, turun temurunnya. Batasannya juga sudah ditentukan turun-temurun, harus taat”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) “Status tanah adalah semua warga Baduy, jadi tanah milik adat, tidak ada sertifikat, yang berkuasa adalah adat, meskipun ada memang ada yang memiliki. Orang luar ‘ga boleh. Saya saja yang kerja di sini ‘ga boleh”. (H. Spn (L), Sekretaris (Carik) Desa Kanekes) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat luar Baduy tidak memiliki hak atas tanah ulayat. Adapun keinginan untuk memperoleh hasil hutannya, maka dilakukan jual beli dengan warga Baduy. Tanah ulayat ini meskipun milik adat, pemerintah tetap memiliki andil dalam pengelolaan maupun perlindungan, namun tidak memiliki hak atas tanah ulayat tersebut. 5.4 Fungsi Tanah Ulayat Baduy Berdasarkan pernyataan informan, diperoleh keterangan bahwa tanah ulayat Baduy memiliki fungsi, baik bagi warga Baduy sendiri, lingkungan sekitar Baduy, maupun masyarakat Banten dan sekitarnya. Fungsi tanah ulayat diakui dan diyakini mampu melindungi masyarakat dari bahaya bencana alam, seperti banjir, longsor, maupun kekeringan. Dalam hal ini, wilayah Baduy yang merupakan sumber air harus tetap dijaga dan dipertahankan, karena jika tidak demikian, maka kota-kota yang dialiri sungai dari Baduy akan kekeringan, bahkan tidak akan memperoleh air sedikit pun, seperti kota Tangerang dan Lebak. Berikut sebuah pernyataan dari informan. “Fungsi tanah ulayat ngalindungi alam, cai, buat napas. Teu meunang diruksak, mun heunteu aya akibatna, bencana, tapi masih bisa difungsikeun”. (Bapak Ju (L), warga Cibeo, Baduy Dalam) Terjemahan bebas : Fungsi tanah ulayat melindungi alam, air, untuk bernapas. Tidak boleh dirusak, kalau tidak ada akibatnya, bencana, tapi masih bisa difungsikan. “Tanah ulayat itu adalah tanah adat. Dilihat dari pemanfaatannya : 1. Melindungi dari 73 kerusakan sebagai sumber air, 2. Mempertahankan adat dia, kalo dia punya keyakinan, bahwa kalo negara maju, kita tidak usah maju”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) “Masalah bencana alam itu satu contoh hutan larangan yang diruksak cepet jadi kena bencana alam. Ada tanaman albasiah jangka panjang yang dapat menahan pohon dari sinar matahari, juga kalo ada hujan melindungi atau menahan dari adanya angin”. (Bapak Srm (L), Panggiwa/Pembantu Jaro) Kawasan tanah ulayat Baduy terbagi kedalam dua bagian yaitu hutan garapan dan hutan lindung. Dalam hutan lindung terdapat pohon-pohon besar terutama pohon ranji yang mampu memberikan penghasilan bagi orang-orang tertentu yang dapat memasuki kawasan hutan tersebut tanpa mengambilnya langsung melainkan menunggu buahnya jatuh sendiri. Adapun hak untuk memasuki kawasan hutan lindung/hutan larangan tersebut adalah pemimpin adat serta pengurus pemerintahan Desa Kanekes, seperti jaro, carik, panggiwa dan lain-lain yang terdapat dalam struktur pemerintahan (dapat dilihat pada Bab V). Selain pohon-pohon tersebut, di gunung tempat hutan larangan tersebut terdapat sasaka domas yang dianggap “pusaka alam tunggal” dan hulu sungai. Masyarakat adat Baduy berkeyakinan bahwa sasaka domas adalah pusaka alam dunia, bukan harta, tapi sasaka. Menurut pernyataan Bapak As, bahwa sasaka domas tersebut mampu melindungi dari kehancuran. Dari sekian banyak warga Baduy yang bertempat tinggal di kawasan hutan Baduy, tidak ada satu pun yang boleh melihat atau dengan sengaja berkunjung ke tempat sasaka domas, sehingga tidak semua orang tahu keberadaan sasaka domas, baik bentuk maupun wujudnya. Bahkan yang dilarang tidak hanya Baduy Luar, Baduy Dalam pun tidak semua tahu tentang sasaka domas. Adapun yang diperbolehkan yaitu pimpinan tertinggi (Puun) dan aparat pemerintah Desa Kanekes. Berikut 74 pernyataan informan. “Sasaka domas bukan tempat penyembahan, bukan yang dikeramatkan, hanya ketitipan untuk memelihara. Itu adalah tempat. Yang menitipkannya itu menurut keyakinannya adalah Allah”11. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) Masyarakat Baduy yang memiliki pola hidup yang ditopang oleh hasil alam yang diambil secara bijak kini telah membantu pelestarian beranekaragam sumberdaya hayati hutan yang sudah menurun drastis di Pulau Jawa dan belahan lain Bumi Nusantara. Dalam masyarakat adat Baduy, segala sesuatu yang menjadikan status tanah itu “ada” adalah adanya batas alam serta pengukuran dari BPN yang telah disebutkan. Seperti pernyataan seorang informan berikut. 11 Dari pernyataan tersebut, Bapak As mengakui tidak pernah melihat langsung, melainkan hanya mendengar cerita dari orang-orang sebelumnya. Dalam bahasa Sunda dikatakan “ceunah, ceunah, jeung ceunah” (= katanya, katanya, dan katanya). “Adat sudah berjalan, sudah ada batas alam dengan kayu, batu, cai yang menjadi pembatas antara Baduy Luar dan Baduy Dalam juga warga luar Baduy. Jika secara menguasai/menduduki/menggarap itu bukan kewenangan, itu sudah ada aturan. Harus menyadari, bahwa itu adalah hak orang lain, bahwa itu tanah adat, karena ketempat lain juga ada aturan”. (Bapak Msd (L), Wakil Jaro Tangtu, Baduy Dalam) Terkait dengan peraturan yang ada, maka faktor terpenting dlam penentuan status tanah ulayat Baduy adalah hukum adat atau pikukuh yang sudah berjalan hingga saat ini. Hal ini dimusyawarahkan pula dengan warga Baduy. Berikut pernyataan informan. “Menurut UU ga berubah, ‘ga akan berubah statusnya. Yang menentukan status adalah hasil masyarakat adat”. (Bapak Srm (L), Panggiwa/Pembantu Jaro) “Nu tentukeun batas adat eta Jaro Dnh, Jaro Sm ti kampung Cibeo jeung Jaro Tangtu di Baduy Dalam”. (Bapak Ju, (L), warga Cibeo, Baduy Dalam) Terjemahan bebas : Yang menentukan batas adat yaitu Jaro Dnh, Haro Sm dari Kampung Cibeo dan Jaro Tangtu di Baduy Dalam. Pikukuh Sapuluh yang merupakan 10 aturan tidak tertulis menjadi pedoman hidup masyarakat Baduy. Adat ini diyakini mempunyai kekuatan hukum yang harus diindahkan untuk keselamatan diri sendiri, masyarakat dan bangsa. Pedoman itu antara lain : “Tidak akan sewenang-wenang membinasakan makhluk hidup, khususnya sesama manusia”. Selain itu, ada pikukuh lain yang khusus membimbing mereka dalam memanfaatkan alam di antaranya larangan “mengubah bentuk jalan air”, “mengubah atau menghindari daur dan jadwal tanam”, dan “menebang sembarang jenis tumbuhan”. Hal ini terkait pula dengan kebutuhan masyarakat Baduy pun merupakan faktor pendukung bagaimana tanah ulayat tersebut ditentukan. Bahkan permintaan pula dari masyarakat adat agar tetap terjaga dan dilindungi oleh pemerintah sehingga jelas dalam pemanfaatan maupun penggunaan tanah ulayat tersebut. 5.5 Ikhtisar Persepsi masyarakat adat Baduy terhadap nilai sumberdaya hutan lindung yang merupakan hutan larangan adalah tanah ulayat Baduy yang harus dijaga dan dilestarikan. Selain ada keyakinan bahwa hutan tersebut merupakan titipan karuhun yang disucikan, hutan lindung pun boleh dimanfaatkan selama mengikuti aturan adat, karena tidak semua warga dapat memanfaatkannya. Nilai sumberdaya hutan lindung bagi masyarakat adat Baduy adalah sebagai indikasi pengamanan dan kesejahteraan yang mampu menjadi sumber mata air bagi kehidupan masyarakat adat Baduy. Bahkan dapat dikatakan, hutan lindung merupakan ‘paru-paru alam’, yaitu mampu menangkal bahaya atau bencana alam yang dimungkinkan akan terjadi. Masyarakat adat Baduy hanya boleh melihat hutan lindung dari batas luar 76 yang sudah ditetapkan oleh aturan adat terkait batas alam, karena hutan lindung yang dinggap suci, juga memiliki kekuatan ghaib dimana ada sebuah sasaka domas yang menjadi tempat pemujaan dan berdoa agar warga Baduy dan warga sekitar terhindar dari bencana. Untuk dapat memasuki kawasan hutan lindung, maka warga yang bersangkutan harus meminta izin terlebih dahulu kepada Puun atau pimpinan tertinggi Baduy. Dalam memanfaatkan sebagian besar hasil tanah ulayat Baduy, maka warga Baduy mengerjakan ladang di kebunnya masing-masing dengan meramu dan memanen. Hasil kerja yang diusahakannya tersebut dilakukan sejak nenek moyang ada hingga saat ini secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi. Sehingga status tanah ulayat itu pun terbentuk dengan sendirinya dengan sifat khasnya masyarakat adat yaitu komunal atau kebersamaan. Sedangkan masyarakat luar Baduy tidak memiliki hak atas tanah ulayat Baduy, jika memang menginginkan hasil-hasil tanah ulayat, maka dapat dilakukan proses jual beli dengan warga Baduy, baik secara langsung maupun melalui perantara (pasar). BAB VI KONFLIK TANAH ULAYAT ANTARA MASYARAKAT LUAR KAWASAN BADUY DENGAN MASYARAKAT BADUY 6.1 Sejarah Konflik Sengketa tanah dengan luasan sebesar 5.101,85 Ha yang terjadi sejak tahun 1950 di kawasan Baduy ini meresahkan warga Baduy. Sengketa ini muncul karena adanya penyerobotan tanah dan penebangan liar terhadap tanah ulayat yang sebenarnya tidak bisa diganggu gugat. Penyerobotan ini dilakukan oleh masyarakat luar kawasan Baduy. Tokoh-tokoh adat masyarakat Baduy di bawah koordinasi Puun Cibeo yang berperan dalam urusan administrasi pemerintahannya, di tahun 1985 pernah meminta proses percepatan penyelesaian sengketa tanah kawasan Baduy kepada Pemerintah Pusat (langsung pada Presiden Soeharto). Dengan segala kearifan dan kejujuran para tokoh adat yang berpegang teguh pada amanat leluhurnya dan mengetahui mengenai sejarah lahirnya perbatasan wilayah, pematokan yang dilakukan sepihak oleh Pelaksana dari Kantor Agraria dan Pemerintah Daerah Lebak yang tidak sesuai dengan batas-batasnya sehingga terjadi pekerjaan ulang. Masyarakat adat Baduy dengan masyarakat kawasan luar Baduy berkonflik dalam permasalahan mengenai perbatasan tanah yang dialiri oleh aliran sungai yang memang dijadikan sebagai batas kawasan tanah ulayat Baduy yang ditentukan menurut alam dan kantor Pertanahan Pemerintah Kabupaten Lebak, sedangkan batas tersebut melewati kawasan hutan lindung serta berbatasan 78 dengan sawah milik masyarakat luar Baduy. Hutan lindung menurut keyakinan masyarakat adat Baduy, tidak boleh digarap atau dimanfaatkan oleh sembarang orang, bahkan oleh orang Baduy pun hanya orang-orang tertentu saja. Kawasan tanah ulayat Baduy yang boleh digarap adalah seluas 2.101,8 ha. Meskipun tanah hak ulayat warga Baduy telah disahkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak No. 32/2001 pada Bulan Agustus Tahun 2001, namun tetap saja diserobot. Berdasarkan fakta, salah seorang warga Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik melakukan pembalakan terhadap tanah ulayat Baduy. Penyerobotan tanah ini ditandai dengan perusakan patok (polygon) yang baru dipasang Pemerintah Kabupaten Lebak (sekitar tahun 1981an) oleh sekelompok warga Kebon Cau. Para penebang dan penyerobot hutan lindung itu dinilai telah “melecehkan” keberadaan Suku Baduy yang dilindungi undang-undang dan peraturan yang berlaku. Sebab di hutan lindung itu terdapat hamparan lahan yang dijadikan balong (kolam) ikan dan sawah. Jaro Dnh yang bertugas menjadi perantara hubungan pemerintah dengan Suku Baduy mengemukakan, sebagian hutan lindung yang merupakan hutan larangan bagi warga Baduy Dalam maupun Luar mengalami penggundulan sekitar tahun 1965-an. Akibatnya di sejumlah tempat terlihat bekas longsoran tanah. Jika dibiarkan penebangan pohon tersebut, maka diyakini longsor akan meluas ke sejumlah daerah yang telah dihuni warga Suku Baduy Dalam. Menurut Jaro Sm, dan Jaro Dnh bahwa warga Suku Baduy Dalam sering menemukan warga di luar Baduy yang tengah menebang pohon maupun merambah lahan di sana. Namun tidak ada yang bisa dilakukan oleh 79 mereka, kecuali hanya menegur dan memberi pengertian tentang pentingnya hutan lindung tersebut. Bahkan mereka pun mengungkapkan akan ketidakpahamannya tentang hukum pemerintahan. Berikut pernyataan informan. “Cuma kami tidak berwenang untuk menindak. Kami hanya menegur dan menyampaikan larangan dari karuhun kami. Yang berwenang adalah pemerintah, baik aparat polisi maupun dari Pemda”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) Selain kerusakan lingkungan, Jaro Dnh pun menjelaskan bahwa selama ini banyak hewan ternak yang sering masuk ke areal pertanian Baduy di tanah adat. Bagi masyarakat adat Baduy sudah tentu ini merupakan masalah yang sangat sulit, selain membahayakan juga sulit dikendalikan. Di satu sisi sesuai dengan kearifannya, masyarakat Baduy senantiasa menjaga perdamaian dan menjauhi berbagai hal yang membahayakan. Masyarakat Baduy yang cinta damai tidak menginginkan ada keributan dengan masyarakat luar Baduy. Namun di sisi lain, kehidupan masyarakat Baduy juga terancam dengan adanya kerusakan alam dan tanaman milik mereka. Lain halnya dengan argumen dari salah seorang yang berasal dari Kecamatan Bojongmanik, bahwa sebetulnya kerbau itu pun ada yang dimiliki oleh masyarakat adat Baduy, sehingga dalam pengembalaannya dilibatkan orang luar. Hal ini tentu menimbulkan konflik laten dimana konflik ini bersifat tersembunyi, hanya warga Baduy dan pihak terkait saja yang tahu, sehingga perlu diangkat ke pemukaan agar dapat ditangani secara efektif. Sehingga dengan kondisi alam yang memadai yang dimiliki masyarakat adat Baduy, maka dengan sendirinya, pengembalaan tersebut dilakukan di kawasan tanah ulayat Baduy. “Hewan ternak itu masih ada yang ke tanah ulayat Baduy sampe sekarang. Hewan ternak milik Baduy, digembalakan oleh orang luar ke hutan masyarakat Baduy. Tanah Baduy yang 80 tidak termanfaatkan digunakan”. (Bapak Aj (L), Kasi. Kesos, Kec. Bojongmanik) Hal ini terkait pula dengan larangan dari masyarakat Baduy yang dikenal dengan pikukuh, bahwa masyarakat adat Baduy tidak boleh memiliki hewan ternak karena akan merusak hutan, baik dari “pijakan” kaki hewan tersebut maupun pakan yang akan diambilnya dari hasil hutan yang ada, sehingga jika dibiarkan maka akan menimbulkan bencana bangsa dan negara. Oleh karena itu menimbulkan keresahan warga Baduy yang bertempat tinggal di sana sehingga perlu ditindaklanjuti. Konflik tersebut semakin mengakar dan semakin nyata, karena pihak yang melakukan tidak lagi secara sembunyi-sembunyi melainkan sudah nyata. Bahkan masyarakat luar Baduy yang berbatasan dengan Desa Kanekes terus menekan keberadaan hutan ulayat yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung tersebut dengan melakukan penebangan liar. Tidak hanya itu, ternyata keributan yang selama ini tidak diharapkan, justru terjadi. Suatu ketika pernah ada warga Karang Combong yang meracuni sungai Ciujung untuk mengambil hasilnya berupa ikan. Ini terjadi sekitar tahun 1960-an. Saat yang bersamaan, ketika itu pula terjadi pertengkaran yang mengakibatkan jatuhnya korban dengan bacokan oleh seorang kakak dari salah satu informan (Bapak As), tidak lain untuk membela diri karena sulit diberi pemahaman akan bahaya racun tersebut. Akhirnya pelaku yang meracuni sungai tersebut masuk rumah sakit. Namun tidak sampai diproses ke kepolisian. Masyarakat Baduy mengaku, bahwa hingga saat ini masih terjadi penggembalaan hewan ternak yang tidak bisa dibendung lagi, baik oleh warga Baduy sendiri maupun pihak desa dan pihak kepolisian. 82 6.2 Deskripsi Area Konflik Secara adat istiadat Baduy, hutan dibeda-bedakan berdasarkan peran dan fungsinya sebagai: hutan tua (leuweung kolot ); hutan muda ( leuweung ngora ); semak belukar lebat bekas huma (leuweung reuma ), dan semak belukar ( jami ). Hutan tua ada di wilayah Baduy Dalam dan jauh dari permukiman, sedangkan ketiga jenis hutan lainnya ada di sekitar perkampungan (Garna, 1993). Hutan tua di wilayah Baduy, secara adat dianggap suci dan tabu untuk dieksploitasi oleh manusia, sehingga pengawasannya ditangani oleh puun sebagai ketua adat. Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab V, bahwa perkampungan Baduy dibedakan menjadi kampung Tangtu (Baduy Dalam), Panamping (Baduy Luar), dan Dangka yang terletak diluar wilayah Kanekes. Kampung dangka adalah kampung kecil yang merupakan kantong-kantong penyangga, atau semacam buffer zone pada lapisan terluar, berfungsi sebagai kampung penangkal bagi masuknya pengaruh luar ke wilayah Baduy. Selain itu penduduk kampung dangka juga bertugas menjaga dan memelihara hutan larangan yang terletak di luar wilayah Baduy, sebagai hutan cadangan untuk kepentingan perluasan perladangan orang Baduy. Keberadaan hutan larangan di wilayah dangka semakin lama semakin sempit, karena berbagai penyerobotan, penjarahan, dan penggundulan yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat di sekitar. Bahkan sejak jaman Belanda, banyak bagian dari hutan larangan di wilayah dangka tersebut yang diubah menjadi perkebunan karet. Dengan demikian fungsi kampung dangka sebagai buffer zone tersebut semakin lama semakin tidak berarti. 83 Secara umum, permukiman masyarakat Baduy berada di lereng-lereng bukit, lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, dekat dengan sumber mata air atau aliran sungai. Ada lima sungai yang mengalir yang mengalir ke wilayah perkampungan Baduy yaitu Cimangseuri, Ciparahiang, Cibeueung, dan Cibarani yang semua bermuara ke Sungai Ciujung. Dengan demikian, apabila salah satu sungai digunakan dengan tidak seharusnya, maka akan mempengaruhi aliran sungai lainnya. 6.3 Faktor Penyebab Konflik Menurut penyebabnya, konflik dalam pemanfaatan tanah disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya tanah tersebut, serta kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan dan manfaat tanah tersebut bagi kehidupannya. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda yang berakibat pada munculnya konflik antar berbagai unsur masyarakat. Khususnya dalam kasus Baduy ini adalah antara warga Baduy dengan warga luar Baduy. Sebagaimana pernyataan Jaro Dnh yang mengungkapkan bahwa penyerobotan tanah ulayat sering terjadi di wilayah perbatasan, seperti halnya tanah yang berbatasan dengan Kecamatan Bojongmanik. Penyerobotan itu tidak hanya mengancam status tanah ulayat, tetapi juga menimbulkan kerusakan hutan. Msd (Wakil Jaro Tangtu Cibeo) mengungkapkan bahwa penyerobotan tanah ulayat di perbatasan tersebut dilakukan warga luar Baduy dengan pembabatan hutan untuk berladang, penebangan kayu untuk kebutuhannya ataupun dijual dan penggembalaan kerbau dengan memakan pakan yang ada. Berikut pernyataan 83 salah seorang informan. “Sebelah selatan karena berbatasan daerahnya. Pasti ada sewaktu-waktu masyarakat luar ngambil kayu hutan, dedaunan, ke hutan lindung; madu diambil dengan mencuri, namun belum ada yang secara terang-terangan”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) “Hewan ternak mengganggu warga Baduy (tanah ulayat) dengan dirusak, seperti dari Parakan Besi, Kebon Cau dan Karang Nunggal, hewannya masuk Baduy”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) Kasus konflik pun terjadi di Desa Kebon Cau yaitu berupa pengambilalihan oleh warganya atas tanah hak ulayat warga Baduy menjadi hak milik pribadi, yaitu pensertifikatan tanah Baduy seluas 8.938 m2 dengan No. 01/Kebon Cau/2002 yang dilakukan oleh menantu dari Pak Am Ast, yaitu Bu Mr tepatnya di kampung Blok Cijahe dengan surat ukur tertanggal 22 Mei 2002 itu. Padahal, tanah hak ulayat warga Baduy tersebut telah disahkan melalui Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 pada bulan Agustus tahun 2001. Warga Kebon Cau pun memiliki tanaman cengkeh di Baduy, yang akhirnya oleh warga Baduy “digempur”. Penggemburan oleh warga Baduy terhadap warga luar Baduy ternyata menimbulkan dendam, dimana warga luar Baduy melakukan penebangan di malam hari (sembunyi-sembunyi) terhadap pohon yang dimiliki warga Baduy di kawasan luar Baduy, meskipun kepemilikan atas tanah tersebut sudah menjadi haknya. Hal ini pun menjadi salah satu penyebab konflik terjadi. Penyebab lain terjadinya konflik di Baduy adalah adanya perbedaan pengetahuan atau pemahaman akan pentingnya tanah ulayat Baduy bagi kehidupan masyarakat Baduy, bangsa dan negara Indonesia. Sehingga segala informasi terkait penyerobotan langsung diterima oleh pihak yang berhubungan dengan memaknainya secara berbeda. Dalam hal ini persepsi tiap individu yang 84 menerima informasi sangat berpengaruh. Seperti ungkapan salah seorang informan yang menyatakan bahwa penyerobotan tanah ulayat milik masyarakat Baduy di Desa Kanekes, hingga kini masih terus berlangsung terutama hewan ternak yang digembalakan secara liar ke tanah ulayat Baduy, di kepar. Namun ada juga sebagian yang mengungkapkan di awal bahwa sengketa tanah sudah selesai, namun kenyataannya tidak demikian. Hal ini menandakan bahwa pengamanan yang dilakukan hingga saat ini masih belum tertib. Bahkan tanaman yang dikonsumsi masyarakat pun dirusak seperti tanaman jengjeng. Tidak hanya itu, saat ini sudah terbukti pula bahwa tindakan penyerobotan masih berjalan. Dapat dilihat dengan adanya bangunan gubuk yang didirikan di daerah perbatasan. Meskipun hal ini sudah dilaporkan, namun pihak aparat belum bertindaka tegas terhadap perlakuan tersebut. Berikut pernyataan informan. “Istilah secara langsung tidak diambil, tapi secara sembunyi-sembunyi. Tanah ulayat tidak dibatasi atau diawasi setiap saat. Sebagai petugas, ga tiap hari dilihat, yang ngambil sembunyi-sembunyi mungkin ada”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) “Ngambil atau istilahna nyerobot karena kepentingan, kebutuhan, keserakahan, sehingga terjadi konflik (di Parakan Besi)”. (Bapak As (L), warga Gajeboh, Baduy Luar) Pokok permasalahan pun terjadi ketika adanya perbedaan kepentingan dan nilai atau kepercayaan yang dianut. Sebut saja masalah yang utama yaitu saat Pak Am Ast (tokoh masyarakat Kebon Cau) yang memiliki tanah dan berbatasan dengan tanah ulayat Baduy, dimana ditandai dengan adanya aliran sungai, sedangkan Pak Am tersebut memiliki tanah garapan berupa sawah. Namun, karena berdasarkan hukum alam, maka aliran sungai tersebut mengaliri tanah Baduy, kemudian karena begitu dekat perbatasannya, akhirnya aliran air sungai 85 tersebut dialirkan ke sawah, ke kebun milik Pak Amir tersebut. Dari pernyataan tersebut, pada awalnya tidak ada masalah dengan masyarakat Baduy, namun karena hukum alam tidak hanya sebagai salah satu penentu batas, maka digunakan pula hukum pemerintahan Kabupaten Lebak berdasarkan Badan Pertanahan Nasional yang juga menentukan batas tanah ulayat. Di sisi lain juga, masyarakat adat Baduy mengklaim bahwa batas tanah ulayat Baduy adalah sungai (cai). Dari hal tersebut, maka konflik itu pun mulai mencuat ke permukaan. Tidak hanya itu, warga Kebon Cau pun hingga saat ini masih ada saja yang mengambil hasil hutan, kayu, daun, dan bambu untuk anyam-anyaman untuk dibuat kerajinan. Berikut pernyataan salah seorang informan. “Kalo yang di Kebon Cau karena ada pemindahan sungai, Sungai Cibarani, ada sungai perbatasan Baduy. Sungai diluruskan sama Bapak Amir Astakari orang Kebon Cau, dan kemudian diakui olehnya. Tanah Baduy yang dibatasi adalah air. Orang Baduy mengklaim bahwa batas tanah Baduy adalah sungai, air itu. Tapi Pak Ast mengakui, akhirnya jadi sengketa”. (Bapak H. Mt (L), Sekretaris Kec. Bojongmanik) Salah seorang informan di Kecamatan Bojongmanik menyatakan bahwa kayu yang dibabat dan ditebang harus dengan cara tradisional. Dikarenakan masyarakat adat Baduy patuh pada pikukuh bahwa dalam mengambil kayu dari pohonnya hanya diperbolehkan menggunakan baliung dan palu, maka untuk kebutuhan yang mendesak, dalam mengambil kayu tersebut dilakukan jualbeli. Dalam penebangan kayu yang dilakukan, maka masyarakat Baduy menyuruh masyarakat luar Baduy untuk memotong. Sedangkan di satu sisinya harus memegang adatnya. Perbedaan latar belakang personal pun merupakan faktor yang menimbulkan konflik. Dimana masyarakat atau pihak yang berkonflik salah 86 dalam mempersepsikan status dan fungsi tanah ulayat. Tidak lain karena pihak yang berkepentingan biasanya tidak memiliki sumberdaya yang memadai untuk memenuhi kebutuhan. Terkait dengan Teori Fisher . al. (2001) yang menyatakan bahwa teoriteori mengenai penyebab konflik sangat membantu dalam memahami cara mengelola konflik. Pada kasus konflik di Baduy ini, dapat dianalisis bahwa teori “Kebutuhan Manusia” merupakan teori yang signifikan karena asumsinya yang menyatakan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia - fisik, mental, dan sosial - yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kemudiain, teori lainnya yaitu teori “Identitas”, yang berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Pada kasus konflik Baduy yang sudah terjadi sejak tahun 1950 ini ternyata belum reda secara menyeluruh, dapat diketahui dengan keterangan dari tokoh masyarakat yang menyatakan bahwa penggembalaan hewan ternak masih kian merebak. Teori “Transformasi Konflik” pun dapat menganalisis konflik yang terjadi di Baduy. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalahmasalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Masalah-masalah yang dimaksud terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang tiada habisnya yang dihubungakan dengan pola hidup yang berbeda antara kehidupan modern masyarakat luar Baduy dengan kehidupan yang tradisional dan arifnya masyarakat Baduy, terutama pada lingkungan. Oleh karena itu, kawasan Baduy dijadikan sebagai kawasan wisata Kabupaten Lebak. Dengan semakin banyaknya pengunjung, selain perekonomian 87 sebagian masyarakat Baduy meningkat, warga Baduy pun lebih terkenal dengan indegenous knnowledge-nya. Dalam hal budaya tentu, masyarakat Baduy lebih unggul terutama dengan prinsip hidupnya “kesederhanaan” dan “cinta damai” serta menjaga keseimbangan alam. Hal demikian dapat dikatakan membuat warga luar Baduy ingin memperoleh hasil hutan yang optimal tanpa mengeluarkan sedikit pengorbanan (jual beli tanah di luar), karena menganggap warga Baduy sudah sejahtera. 6.4 Pihak yang Terlibat dalam Konflik Konflik terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah/cerita nenek moyang seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu. Pada kasus Baduy ini, pihak yang terlibat dalam konflik adalah warga yang tepat berbatasan dengan tanah ulayat. Sehingga lebih mudah aksesnya terhadap sumberdaya hutan atau tanah. Di antaranya pihak yang pernah menggarap di tanah sebelah timur kawasan Baduy adalah masyarakat Karang Combong, Cilebang, Kecamatan Sobang, dan warga Kecamatan Muncang serta Kecamatan Bojongmanik yang berada di sebelah barat kawasan Baduy di sebelah Kampung Blok Cijahe. Dengan luasnya kawasan yang berkonflik dengan 88 masyarakat Baduy, maka dalam penanganan konflik tersebut diserahkan kepada individu yang berkonflik, bukan kepada pihak desa. Tidak hanya itu, perusakan hutan dan tanaman di kawasan Baduy terus berlanjut antara lain di Desa Karangcombong, Desa Parakan Besi, Desa Sukajadi, Desa Kebon Cau dan Desa Nayagati. Pihak-pihak tersebut di atas adalah pihak-pihak yang masing-masing memiliki kepentingan atas tanah ulayat Baduy, namun tidak “mengindahkan” aturan adat (pikukuh) yang sudah berlaku serta Perda yang sudah ditetapkan dan dikeluarkan untuk melindungi tanah ulayat Baduy dari kehancuran maupun bencana yang akan menimpa seluruh masyarakat di kawasan Baduy. Pihak ini pula yang memanfaatkan kestrategisan desanya dengan kawasan Baduy dan merupakan pihak pelaku utama dalam memunculkan konflik. Pihak yang terlibat konflik pun ada yang berdasarkan pada kekuasaan, yakni Bapak Am Ast yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Kebon Cau di Kecamatan Bojongmanik. Sehingga memiliki kemampuan untuk menjegal setiap kesepakatan yang sudah dirundingkan. Di samping itu juga, beliau memiliki kekuatan politik di desanya. Terutama dalam berkomunikasi dengan pihak terkait yang menjadi fasilitator dalam penyelesaian sengketa/konflik tanah ulayat Baduy. Masyarakat adat Baduy yang merupakan masyarakat yang termarginalkan karena keteguhannya dalam mentaati tradisi, menuntut untuk memperoleh perlindungan hukum dari Pemerintah Kabupaten Lebak. Dengan keluarnya Perda No. 32/2001 membuktikan kontribusi pemerintah terhadap masyarakat adat Baduy yang harus dilindungi hak tanah ulayatnya. Dengan demikian, Pemerintah Kabupaten Lebak pun ikut sebagai pihak yang terlibat dalam konflik. Masyarakat adat Baduy pula yang mempunyai tuntutan moral 89 untuk mendapatkan simpati dari publik, dengan melalui media massa dengan pengungkapan melalui bahasanya sendiri yang disampaikan ketika di wawancara oleh presenter televisi, majalah, koran maupun lainnya. Di dalam masyarakat adat Baduy, terdapat pula lembaga adat dan pemerintahan adat, yakni pimpinan tertinggi (Puun) yang ikut berperan dalam keterlibatan konflik yang terjadi. Pihak tersebut yang ikut berperan aktif dalam membendung konflik, namun seperti yang telah disampaikan sebelumnya, penggembalaan hewan ternak tetap terjadi. 6.5 Ikhtisar Konflik tanah hak ulayat Baduy sudah terjadi sejak tahun 1950, dan hingga saat ini ancaman akan bahaya dan kesejahteraan terus menyelimuti warga Baduy, bahkan ada ketidaktertiban yang dilakukan warga luar Baduy yang masih menggembalakan hewan ternaknya. Konflik yang terjadi sebetulnya terfokus pada batas-batas tanah ulayat Baduy dengan kawasan luar Baduy. Masyarakat Baduy mengklaim batas tanah ulayat yaitu berdasarkan batas alam seperti sungai dan batu. Sedangkan, ketika tahun 1969 batas yang ditetapkan oleh pihak Kehutanan belum jelas sehingga pematokan/pemagaran batas tanah ulayat pun belum ada. Oleh karena itu, disepakati melalui hukum adat bahwa tanah-tanah atau hutan yang dilairi sungai memrupakan kawasan tanah ulayat Baduy. Pada tahun 1968, warga Kecamatan Bojongmanik pernah melakukan pembuatan sawah yang merupakan larangan bagi masyarakat Baduy. Tidak hanya itu, warga tersebut juga memindahkan aliran sungai ke persawahannya. Hal ini yang menjadi salah satu faktor penyebab konflik. Selain itu, warga luar kawasan Baduy pun sering melakukan pembalakan terhadap hasil-hasil hutan dengan 90 penebangan pohon secara bebas dan sembunyi-sembunyi. Pihak yang terlibat tidak hanya warga Kecamatan Bojongmanik, tetapi hampir semua warga yang tepat berbatasan dengan kawasan Baduy, di antaranya masyarakat Karang Combong, Cilebang, Kecamatan Sobang, dan warga Kecamatan Muncang yang pernah mengerjakan ladang dengan menggarap tanah ulayat tanpa seizin warga Baduy atau pihak desa terkait. Dengan kebutuhan yang tidak terbatas serta perbedaan kepentingan, nilai dan budaya, mengakibatkan konflik semakin melebar dan mencuat ke permukaan. Tidak hanya itu, faktor ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam memanfaatkan hasil-hasil tanah ulayat pun dirasakan oleh warga luar Baduy sehingga timbul sikap memberontak hutan dengan cara menyerobot hutan tersebut. Selain pihak-pihak terkait di atas, perusakan hutan dan tanaman di kawasan Baduy pun kerap dilakukan oleh warga Desa Parakan Besi, Desa Sukajadi, Desa Kebon Cau dan Desa Nayagati. Pihak-pihak tersebut termasuk kedalam pihak yang tidak “mengindahkan” peraturan adat dan hukum Kabupaten Lebak yang sudah jelas tercantum pada Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32/2001, baik mengenai pengakuan terhadap kawasan Baduy yang merupakan tanah ulayat serta batas-batasnya dan sanksi-sanksi jika ada pelanggaran. bahkan tahun 1968 pun sudah dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat tentang Penetapan Status Hutan Larangan Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai Hutan Lindung Mutlak dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat, yang saat itu Kabupaten Lebak masih di bawah Propinsi Jawa Barat. 91 Peraturan yang ada tidak membuat warga luar Baduy takut dan waspada. Justru sebaliknya, mereka semena-mena memanfaatkan hutan yang tidak digarap atau diberakan dengan membuat ladang bahkan membuat gubuk di kawasan Baduy dengan asumsi agar lebih mudah menggunakan lahan dan mengambil hasil hutan. Namun, yang terpenting saat ini adalah bahwa penggembalaan hewan ternak masih tetap ada dan keamanan Baduy masih belum stabil. BAB VII UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK DI BADUY 7.1 Pendekatan Alternatif Penyelesaian Konflik Menghadapi berbagai permasalahan lingkungan hidup, orang Baduy yang pada prinsipnya cinta damai dan tidak pernah menggunakan kekerasan, berada pada pihak yang lemah dan termarjinalkan. Mengikuti kepercayaan mereka, maka nampaknya persoalan hidup tersebut akan dibawa ke kawasan spiritual. Mereka akan patuh kepada cara pemecahan masalah atas arahan tetua adat (puun dan jaro). Bahkan, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Melalui undang-undang tersebut, pemerintah mengakui dan ingin menghidupkan kembali keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah dan hutan ulayat. Untuk menangani permasalahan atau sengketa terkait penyerobotan tanah ulayat Baduy, alternatif yang pernah dilakukan oleh masyarakat adat Baduy adalah dengan langsung melaporkannya kepada atasan Kabupaten Lebak atau Bupati, sehingga pernah membuat Pemerintah Kecamatan Bojongmanik kewalahan. Karena masyarakat adat Baduy yang mengaku tidak begitu paham dengan hukum pemerintahan, maka segala persoalan yang ada langsung di serahkan kepada atasan tanpa melalui prosedur pengaduan yang seharusnya. Berikut pernyataan informan yang datang dari Kecamatan Cirinten (mantan 93 pegawai Kecamatan Bojongmanik). “Orang Baduy ‘ga berjenjang laporannya, tapi langung ke Bupati. Kita ampe kelabakan. Kalo di masyarakat sini padahal ‘kan ada RT, RW, harusnya ‘kan laporan itu beruntun, meningkat dari bawah ke atas”. (Bapak Dd (L), Sie. Kesos Kec. Cirinten) Camat Bojongmanik (Bayu Rasa, SH.) dalam suratnya kepada Bupati menjelaskan tanggal 23 Juni 2002, dalam sebuah musyawarah yang melibatkan Kecamatan Leuwidamar, Kades Kanekes, Kades Karang Nunggal, dan Kades Kebon Cau, bahwa telah dilaksanakan kembali pemasangan sebagian patok, namun hasil musyawarah itu belum memuaskan semua pihak, dan perlu adanya tindak lanjut dari Pemerintah Kabupaten Lebak. Meskipun demikian, masalah perusakan patok telah ditangani Polsek setempat. Kepala Desa Kanekes (Jaro Dnh), menegaskan bahwa pihaknya hingga kini seminggu dua kali bersama warga Baduy melakukan pengawasan hutan-hutan lindung di kawasan tanah ulayat. Pengawasan itu, menurutnya, dalam upaya mencegah terjadi kerusakan hutan lindung dari orang-orang luar yang melakukan penebangan pohon secara bebas. “Kewajiban tugas dalam mengontrol hutan lindung atau mengawasi adalah semingggu sampai sebulan sekali, atau dua minggu sekali”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) Hutan lindung yang berada di sebelah Timur Selatan Baduy Dalam, tepatnya ke arah hulu Sungai Ciujung, lebih mengarah ke Gunung Kendeng dengan luasan ± 3000 Ha. Menurut Msd, yang menjaga hutan lindung atau hutan larangan adalah petugas tokoh adat yang sesuai dengan bidangnya terutama di bagian keamanan serta pemerintah desa yang mempunyai hak untuk melindungi hutan lindung tersebut, salah satunya adalah Kepala Desa Kanekes itu sendiri. Bahkan Jaro Dnh pun meminta agar pemerintah daerah melindungi warga Baduy 94 dan tanah hak ulayatnya. Dalam permasalahan tanah ulayat ini, warga masyarakat Baduy pernah melihat langsung kejadian penebangan liar pada tanah ulayat di kawasan hutan garapan Baduy tanpa izin pemiliknya, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah menangkap pelaku tersebut, kemudian diserahkan kepada polisi untuk diproses. Karena permasalahan ini merupakan tanggungjawab desa, maka proses penyelesaiannya pun diserahkan langsung ke polisi. Dimana hubungan tindakan kejahatan yang dilakukan di desa diserahkan kepada polisi setempat. Berikut pernyataan seorang informan. “Ketahuan nebang pohon 1 batang, tewak (ditangkap), diproses, ditangkap polisi, dari adat diserahkan ke polisi. Adat hubungannya dengan desa, desa kaitannya atau pelaporannya ke polisi, masyarakat Baduy tidak mengerti hukum. Adat tidak mengerti hukum atau takut salah paham”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) Di samping itu, selain penyelesaian yang dilakukan seperti yang diuraikan di atas, masyarakat Baduy dengan masyarakat luar pernah melakukan kesepakatan-kesepakatan atas batas-batas tanah yang berjanji tidak akan menggunakan tanah tersebut untuk menanam pepohonan yang dilarang ditanam di kawasan tanah ulayat Baduy terkait dengan adat/pikukuh12. Serta kesepakatan mengenai perbuatan yang tidak akan diulang lagi dalam menebang pohon secara bebas untuk memenuhi kebutuhannya (dijual atau dikonsumsi sendiri). Kapolres Lebak AKBP, mengakui adanya kesepakatan antara Jaro Tujuh Baduy sebagai saksi adat, Jaro Dnh dan Ast (sebagai pelaku utama atas batas tanah ulayat yang dialiri sungai) untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah hak 95 ulayat Baduy secara kekeluargaan13. 7.2 Upaya Penanganan Berbagai Pihak yang Berkonflik Konflik di antara berbagai pihak yang berkepentingan atas tanah hak ulayat dapat diselesaikan ataupun dikelola melalui tiga dasar penyelesaian, yaitu pertama langsung antar pihak yang bersengketa, dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri. Hal ini pernah dilakukan oleh masyarakat adat Baduy melalui teguran langung kepada pihak yang tertangkap basah ketika melakukan penebangan pohon secara bebas. Kemudian dengan cara memberi pengertian dan pemahaman, bahwa dalam masyarakat Baduy ada aturan adat dan keyakinan yang menyatakan bahwa, apabila hutan ini dirusak maka akan terjadi bahaya, baik itu bencana alam maupun kuwalat dari karuhun maupun leluhur. 12 Seperti yang tercantum dalam pantangan yang harus ditaati oleh warga Baduy, bahwa masyarakat Baduy pantang dalam menanam kopi dan cengkeh, serta memotong kayu dengan gergaji. 13 Dikutip dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0208/20/nus06.html. “Belum Rampung, Sengketa Tanah Hak Ulayat Baduy”. Diakses tanggal 21 April 2008. Cara penyelesaian yang kedua adalah dengan mewakilkan kepada pihak lain, dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman, kolega, dan asosiasi resmi. Masyarakat adat Baduy sudah pernah melakukan cara ini, dimana pihak yang melakukan kejahatan dengan menebang pohon secara liar, kemudian pembalakan, dan menggembalakan hewan ternak ke tanah ulayat Baduy, yaitu dengan melaporkannya kepada pihak yang berwajib yaitu kepolisian. Masyarakat Baduy yang mengetahui lebih awal peristiwanya maka akan melaporkan pertama kali kepada pihak desa, dalam hal ini Jaro Dnh, Jaro Sami sebagai Jaro Tangtu (Baduy Dalam) dan dilaporkan lagi ke Puun sebagai pimpinan tertinggi di Baduy melalui aturan-aturan adat/pikukuh. Namun tidak banyak pula yang dilakukan oleh Puun karena keterbatasannya dalam berkomunikasi atau berhubungan langsung dengan orang luar selain para jaro. 96 Kemudian laporan tersebut oleh Jaro Dnh akan dilanjutkan lagi ke Kapolsek untuk diproses dan kemudian pihak yang melakukan kejahatan akan didenda atau dipenjara sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Berikut pernyataan informan. “Oleh karena itu, jika orang luar merusak atau melakukan penebangan liar di hutan lindung mereka harus ditindak tegas oleh aparat kepolisian”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) Adapun cara penyelesaian ketiga adalah dengan menggunakan pihak ketiga, dimana peran pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Masyarakat adat Baduy tanpa berpikir panjang segera melaporkan tindakan penyerobotan tanah ulayat kepada Bupati Banten untuk mempercepat pembuatan patok dan membuat aturan berdasarkan hukum pemerintahan yang menguatkan kepemilikan tanah ulayat Baduy. Akhirnya dibuatlah pembatas tanah ulayat dengan menggunakan kawat serta patok di tiap batas yang memisahkan antara Baduy dengan luar Baduy. Seperti pernyataan yang diungkapkan oleh Bupati Kabupaten Lebak, bahwa pihaknya telah berjanji akan memberikan bantuan kepada warga Baduy untuk membangun pagar pembatas di lokasi tanah ulayat sehingga aman dari pencurian kayu atau binatang ternak milik masyarakat luar. Di samping itu, dengan keluarnya Peraturan Daerah No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Tanah Ulayat Baduy, membuktikan bahwa kekuatan hukum yang ada semakin mendukung masyarakat adat pada tanah ulayatnya, berikut pengelolaan dan pemanfaatannya. Namun, aturan hanya sebuah aturan, meski tanah ulayat Baduy itu sudah dilindungi peraturan daerah, pada kenyataannya aturan tersebut tidak berjalan 97 akibat lemahnya penegakan hukum oleh aparat. Hal ini bahkan disampaikan oleh Kepala Desa Kanekes yang tidak terlalu paham mengenai hukum pemerintahan. Di samping itu, pihak dari Desa Kanekes pun sudah berkali-kali melakukan pendekatan ke masyarakat luar Baduy agar tidak melanggar peraturan, termasuk menggalang 120 tandatangan tokoh masyarakat luar di antaranya Kepala Desa Kanekes, pihak bersangkutan, dan kepala desa kecamatan lain yang ikut terlibat, namun penyerobotan tetap terjadi. Berdasarkan observasi, perilaku tersebut timbul karena ada sebagian tanah ulayat di Baduy yang tidak tergarap atau sedang diberakan. Selain itu, menurut pendapat As (warga Gajeboh, Baduy Luar), warga luar Baduy serakah terhadap hasil-hasil tanah ulayat di Baduy seperti kayu, pohon ranji, petai, termasuk kerusakan terhadap patok yang merupakan batas yang sudah ditetapkan oleh hukum. 7.3 Hasil Akhir Penyelesaian Konflik Konflik yang terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyarakat luar Baduy hingga saat ini sudah mampu diselesaikan, meskipun ada berbagai pihak yang merasa kesulitan karena “kewalahan” dengan dua pihak yang terlibat yang saling memperebutkan batasan kawasan masing-masing yang dialiri sungai. Hal ini terkait dengan sumberdaya yang mampu menghasilkan bagi salah satu pihak, contohnya persawahan yang dimiliki oleh tokoh masyarakat warga Kebon Cau. Masyarakat yang berkonflik tentu tidak semua warga tersebut terlibat, namun hanya pihak-pihak tertentu saja yang memang tepat berbatasan dengan kawasan tanah ulayat Baduy. Adapun penyelesaian yang sudah diusahakan adalah pelaporan kepada 98 Kapolres melalui pengadilan kemudian dimasukkan ke penjara bagi warga yang secara terang-terangan menyerobot tanah ulayat Baduy serta mencuri hasil-hasil hutan secara berkala. Seperti pernyataan seorang informan berikut. “Perbedaan batas eta sesuai persepsi masing-masing masyarakat. Adapun penyeleseanana dengan mufakat, ada lembaran sebage buktina, 40 orang sebagai saksi, disaksikan pula oleh Camat, Kepolisian, Kejaksaan. Bahkan aya oge palakuna nu diadili di Kapolisian lalu di penjara”. (Jaro Dnh (L), Kepala Desa Kanekes) Di samping itu, konflik yang berkepanjangan hingga saat ini, dimana hewan ternak terutama kerbau masih digembalakan ke hutan melewati batas tanah ulayat Baduy, maka upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy adalah dengan memberikan pemahaman, pengertian dan tanpa kekerasan. Seperti pernyataan salah seorang informan berikut. “Jadi kita itu punya prinsip, segala sesuatunya berjalan sesuai dengan prosedur. Adapun menyelesaikannya kita tidak memakai kekerasan. Kita menempuh dengan hukum adat, atau tata cara yang biasa dilakukan dengan kesepakatan”. (Bapak Msd (L), Wakil Jaro Tangtu, Baduy Dalam) Penanganan terhadap hewan ternak yang pernah merusak di tanah ulayat Baduy adalah melalui pemberitahuan mengenai pemagaran sebelah timur dengan kawat berduri yang merupakan bantuan pemerintah tahun 2007. Menurut Msd, satu-satunya penyelamat hutan lindung yaitu dengan pagar tersebut, sesuai pula dengan pernyataannya bahwa pagar tersebut fungsinya untuk memblokir hewannya bukan orangnya. Namun di sisi lain, upaya yang diharapkan sebagai hasil akhir penyelesaian konflik ini adalah dengan jalan musyawarah. Penyelesaian dengan cara mufakat merupakan tindakan yang kondusif karena menghadirkan berbagai saksi, selain dari warga Baduy sendiri, disaksikan pula oleh Camat, Kepolisian, Kejaksaan. Bahkan dengan kerusakan yang saat ini masih dialami, Kepala Desa 99 Kanekes mengirim surat ke Kecamatan Parakan Besi untuk mengamankan hewan ternaknya. Upaya tersebut tidak hanya sekali dilakukan, melainkan tiap tahun memberikan surat ke kepala desa tentang kerusakan akibat hewan ternak tersebut. Dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dilihat prosedur yang dilakukan dalam penyelesaian konflik atas tanah hak ulayat Baduy pada Tabel 6. Dengan hasil akhir penyelesaian konflik tersebut (meskipun tidak menyeluruh), hubungan antara warga luar Baduy dengan warga Baduy bisa terjalin kembali, baik dalam hal interaksi sehari-hari, dalam jual beli maupun usaha lainnya. Masyarakat yang berkonflik sudah bisa menerima kesalahan dan mulai sadar akan pentingnya tanah ulayat Baduy bagi kehidupan warga Baduy maupun warga sekitar dan masyarakat Banten. 100 Tabel 6. Prosedur Penyelesaian Konflik Menurut Soekanto Deskripsi Menurut Hasil Penelitian Hasil Akhir Lumping it Tidak ada pengabaian tentang penyerobotan tanah ulayat, karena keyakinannya terhadap hutan yang apabila dirusak maka akan memimbulkan bencana. Kehidupan warga Baduy mulai resah dan tidak tenang, sehingga mulai melaporkan kepada Puun melalui kepala desa (tokoh adat). Avoidance or exit Tidak diakhiri begitu saja, justru masyarakat Baduy semakin membahas sengketa tanah bahkan ke media massa. Penyampaian aspirasi masyarakat Baduy kepada Pemerintah Kabupaten Lebak di saat Seba. Coercion Penyampaian teguran agar masyarakat luar mengerti dan paham tentang batas tanah ulayat dan pemanfaatannya, terkait dengan Perda No. 32/2001. Masyarakat luar Baduy mulai berkurang dalam menyerobot tanah ulayat Baduy. Negotiation Masyarakat Baduy bermusyawarah dengan masyarakat luar Baduy untuk mencapai kesepakatan dengan mempertemukan berbagai pihak yang terlibat dalam konflik. Penandatanganan oleh berbagai pihak yang terlibat (120 orang) serta persetujuan tidak akan mengulangi perbuatan penyerobotan atau pengrusakan tanaman oleh hewan ternak. Conciliation Menyatukan langsung pihak berkonflik dalam diskusi tentang kerusakankerusakan yang terjadi. Permohonan ganti rugi yang dipenuhi oleh warga luar Baduy (dapat dilihat pada lampiran). Mediation Ketika aturan adat tidak terlalu kuat dalam memberikan sanksi untuk mengatur warga luar maka diserahkan kepada Kapolsek. Percepatan proses yang dilakukan pihak kepolisian dalam menindak pelaku utama yang berkonflik. Arbitration Penindakan oleh hukum dengan memberikan denda sebesar Rp.5 juta atau dipenjara. Pelaku yang berasal dari Karang Combong pernah di penjara karena penyerobotan/ pembalakan. Adjudication Tidak terjadi dalam kasus tanah ulayat Baduy, melainkan tokoh adat Baduy melaporkan langsung tindakan penyerobotan warga luar kepada Bupati. Pematokan dengan pagar yang menggunakan kawat berduri serta patok sehingga jelas batas-batas tanah ulayat. 101 7.4 Ikhtisar Bab ini membahas tentang upaya penyelesaian konflik yang terjadi antara warga Baduy dengan warga luar Baduy. Konflik yang terjadi sudah merupakan konflik terbuka sehingga harus diangkat ke permukaan agar bisa dikomunikasikan dengan efektif dalam penyelesaiannya. Upaya penyelesaian tersebut dilakukan agar keseimbangan alam tetap terjaga dan masyarakat Baduy terbebas dari ancaman bahaya serta penderitaan akibat tindakan penyerobotan terhadap hutan yang dilakukan warga luar Baduy. Upaya yang pernah dilakukan untuk tujuan tersebut adalah melalui Bupati, dimana masyarakat adat Baduy melaporkan peristiwa penyerobotan dan dampaknya kepada pimpinan tertinggi di Kabupaten Lebak. Di samping itu, dilakukan pula upaya penyatuan pihak yang berkonflik, baik melalui pihak yang ketiga maupun langsung antar pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, masyarakat adat Baduy lebih memilih untuk menyerahkan permasalahan hukum kepada pihak berwajib yaitu kepolisian. Adapun dalam penjagaan atau pengawasan hutan lindung, Kepala Desa Kanekes bersama tokoh-tokoh adat bertugas mengunjungi hutan tersebut setiap dua minggu sekali. Apabila ada warga yang terlihat sedang melakukan penebangan pohon tanpa izin, maka orang tersebut ditegur dan diberikan pemahaman dan pengertian akan aturan adat serta dampaknya kepada masyarakat Baduy. Jika tetap terjadi, maka Kepala Desa Kanekes memberikan surat peringatan kepada kepala desa terkait untuk tidak mengulangi tindakan 102 penyerobotan dan penggunaan tanah ulayat tanpa izin. Konflik yang belum juga terselesaikan antara warga Baduy dan warga luar Baduy, maka diambil upaya penyelesaian terakhir yaitu melalui musyawarah dengan membuat kesepakatan-kesepakatan/perjanjian dengan penandatanganan dari berbagai pihak yang terlibat konflik serta saksi yang hadir. Dengan demikian, adanya perjanjian yang tertulis berikut sanksi-sanksi yang disepakati bersama, akhirnya konflik pun mulai mereda. Selain itu, pemerintah pun ikut memberitahukan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Tanah Ulayat Baduy Namun, kondisi hutan saat ini masih belum stabil dengan adanya penggembalaan hewan ternak yang masih terus berlanjut. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : 1. Hipotesis pertama tidak dapat sepenuhnya diterima, karena kondisi saat ini tanah ulayat sebagian besar hanya sebagai tempat tinggal utama dan mampu menghasilkan sumber pangan padi dari hasil huma. Di samping itu, hasil-hasil kayu dari pohon-pohon yang ada di sekitar hutan atau kawasan Baduy pun tetap memberikan sumbangsih dalam memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun demikian, masyarakat adat Baduy tidak begitu bergantung pada tanah ulayat sebagai penghasilan utama. Karena, fakta menunjukkan bahwa masyarakat adat Baduy berdagang ke luar kampung bahkan ke luar kota untuk meningkatkan perekonomiannya. Tidak hanya itu, masyarakat adat Baduy pun memiliki pohon-pohon besar seperti kopi, karet dan cengkeh di luar kawasan Baduy. Tanah ulayat bagi masyarakat adat Baduy memiliki nilai magis-religius sehingga penting untuk dijaga, dikelola, dipelihara dan dilestarikan. Karena di kawasan hutan lindung, ada sebuah sasaka domas yang disucikan (sakral) dengan keyakinan bahwa benda tersebut memiliki kekuatan ghaib yang mampu menangkal bahaya dan bencana alam di Baduy. Bagi masyarakat adat Baduy hutan juga merupakan sumberdaya yang mampu untuk menjaga kelestarian sumber air (tempat penyimpanan air) bagi kampung-kampung sekitar bahkan untuk kepentingan seluruh 104 masyarakat di Banten maupun propinsi lain. 2. Hipotesis kedua dapat diterima, dengan fakta yang menunjukkan bahwa penyerobotan tanah dan penebangan liar serta penggembalaan hewan ternak yang dilakukan masyarakat luar kawasan Baduy, meresahkan masyarakat Baduy sehingga konflik tanah pun mencuat ke permukaan. Pada akhirnya, masyarakat adat Baduy melakukan perlawanan dengan cara menegur dan menasehati pihak yang terlibat secara langsung - prinsip masyarakat Baduy yang cinta damai - dan melaporkan ke Kepala Desa Kanekes. Konflik tanah tersebut lebih memfokuskan kepada batas-batas tanah ulayat dengan wilayah luar Baduy. Karena bagaimanapun, tanah ulayat yang sudah ditetapkan melalui hukum adat tidak boleh berpindahtangan dari satu pihak ke pihak lain karena tanah ulayat bukan saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi yang akan datang. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy sudah cukup memadai dalam menjelaskan mengenai kepemilikan/penguasaan serta pemanfaatan dan batasannya. Meskipun peraturan tersebut sudah ditetapkan, masyarakat luar Baduy kurang memperhatikan butir-butir peraturan yang ada, bahkan melanggar aturan adat yang berlaku di Baduy. Sehingga, upaya masyarakat Baduy dalam menyelesaikan konflik tersebut yaitu dengan cara bermusyawarah dengan menghadirkan berbagai saksi, terutama pihak yang ikut terlibat. Tujuan musyawarah tersebut adalah untuk membuat kesepakatan-kesepakatan/perjanjian yang menyatakan 105 tidak akan mengulangi tindakan penyerobotan. Upaya penyelesaian pun dilakukan hingga pelaporan kepada pihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut sesuai hukum Pemerintah Kabupaten Lebak. Berbagai upaya dilakukan akhirnya konflik pun mulai mereda. Namun, satu hal yang belum tertib yaitu penggembalaan hewan ternak di kawasan Baduy. Saran Berdasarkan permasalahan di atas, maka saran yang ingin disampaikan adalah : 1. Kepada pihak pemerintah agar lebih memperhatikan serta mengawasi hutan lindung yang merupakan faktor penting kehidupan warga Baduy dan Banten. 2. Pemerintah segera menindaklanjuti pembalakan-pembalakan yang masih terjadi di Baduy dan menegakkan aturan sesuai dengan prosedur yang ada. 3. Kepada pihak masyarakat Baduy, agar lebih memperhatikan kembali kawasannya dengan penanaman kembali hutan yang sudah gundul, serta memiliki komitmen terhadap aturan adat. 4. Kepada pihak luar Baduy, diharapkan tidak semena-mena memanfaatkan tanah ulayat Baduy yang sudah jelas batas dan peraturan penggunaannya dalam Perda Kab. Lebak No. 32/2001. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2004. ‘Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten’. Dikutip dari www.kehati.or.id/kehati-award/ dokumen 2004.php. Kategori “Prakarsa Lestari Kehati”. Diakses 30 Juni 2007. Asnamawati, Lina. 2004. “Partisipasi Masyarakat Adat dalam Pelestarian Hutan (Studi Kasus : Masyarakat Kampung Cibeo (Baduy Dalam), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten)”. Skripsi. Depatemen Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bahruni. 1999. Diktat Penelitian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan. IPB. Berita-regional.infogue.com. “Warga Baduy Minta Hutan Mereka Tetap Terjaga”. Dikutip dari www.regional.infogue.com/warga_baduy_minta_hutan_ mereka_tetap_terjaga/email. Diakses Tanggal 11 Juli 2008. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta Detik News. 2008. ‘Melongok Kehidupan Suku Baduy’. Dikutip dari www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/ detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/27/time/073008/idnews/785564/idkanal/ 10. Diakses tanggal 05 Januari 2008. Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak. 2004. “Membuka Tabir Kehidupan : Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug”. Tidak diterbitkan. Djoewisno. 1987. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Khas Studio. Jakarta. Fisher, S.; D.I. Abdi; J. Ludin; R. Smith; S. Williams& S. Williams. 2001. Mengelola Konflik : Kemampuan dan Strategi untuk Bertindak. S.N. Kartikasari; M.D. Tapilatu; R. Maharani & D.N. Rini (Penterjemah). Terjemahan. The British Council. Jakarta Fuad, Faisal. H. dan Siti Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka LATIN. Bogor. Garna, Y. 1993. ‘Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia’. Penyunting (ed) Koentjaraningrat. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dikutip dari www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/ 107 0408/wis02.html. Diakses 30 Juni 2007. Ilham, Moh. 2006. “Analisa Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus : Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)”. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Irham, Zul. 2003. “Studi Konflik Lahan dalam Rangka Menunjang Kebijakan Pembangunan yang Berkelanjutan di Wilayah Kabupaten Lampung Tengah”. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Karsodi, Eka Ratna Juwita. 2007. “Analisis Konflik Areal Eks Tumpang Sari PERUM Perhutani Di Wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Studi Kasus Di Dusun Gunung Putri, Desa Sukatani, Resort Gunung Putri, Seksi Konservasi Wilayah III Cianjur Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)”. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Koentjaraningrat. 1975. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta. Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Nasoetion. 2000. “Pemberdayaan Peran Badan Pertanahan Nasional dalam Mengelola Sengketa Agraria”. Pusat Kajian Agraria : Prosiding Lokakarya “Pola Penguasaan Lahan dan Pola Usaha serta Pemberdayaan BPN dan PEMDA dalam Rangka Partisipasi Rakyat di Sektor Perkebunan”. Eds. Endriatmo Soetarto et. al. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Hal. 51-58. Nasoetion, Lutfi I. 2002. “Konflik Pertanahan (Agraria)” dalam “Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi”. Eds. Endang Suhendar et. al. Yayasan AKATIGA. Bandung. Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia, Refleksi dan Prospek. Yayasan Adi Sanggoro. Bogor. Nugraha, Agung. 2004. Menyongsong Perubahan : Menuju Revitalisasi Sektor Kehutanan. Seri Kajian Politik Kehutanan. Wana Aksara. Banten. Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak. 2001. “Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Nomor 65 Tahun 2001 Seri C)”. Permana. 2001. Dikutip dari www.id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes. “Arca Domas Baduy : Sebuah Referensi Arkeologi dalam Penafsiran Ruang Masyarakat Megalitik, Indonesian Archeology On the Net”. Diakses tanggal 16 Maret 2007. 108 Pranowo, H.A. 1985. Manusia dan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sabara, Juanita Edith. 2006. “Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur”. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Saleh, Ridha M. 2003. Dari Insidental Ke Perlawanan Terorganisir “Munculnya Gerakan Masyarakat Adat : dalam Tnjauan Teoritis”. Pengantar : Noer Fauzi Rahman. WALHI. DOKIS. Institut Pertanian Bogor. Sangaji, Anto. 1999. Negara, Masyarakat Adat dan Konflik Ruang. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. Bogor. Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor. Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Persada. Jakarta. PT Raja Grasindo Soekmadi, R. 1987. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pencari Kayu Bakar di Taman Nasional Baluran. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Soemarwoto, Otto. 2001. Ekologi, Lingkungan Hiudp dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta. Suara Pembaruan. 2008. ‘Masyarakat Baduy Kecam, Perusak Hutan Ditindak Tegas’. Dikutip dari www.suarapembaruan.com/News/2008/04/15/ Nusantar/nus12.htm. Diakses 11 Juli 2008. Sumardi et al. 1997. Peranan Nilai Budaya Daerah dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta. Suratmo, F.G. 1974. Perlindungan Hutan. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi IPB. Bogor. Tempo Interaktif. 2006. ‘Penyerobotan Tanah Baduy Merajalela’ www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/05/08/brk,2006050877172,id. html. Diakses tanggal 05 Januari 2008. Wahyuni, E.S. & Pudji Muljono 2003. “Berpikir dan Menulis Ilmiah”. Community Empowerment for Rural Development Project (CERD) ADB LOAN No. 1765 - INO. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). ANDI. Yogyakarta. LAMPIRA N 110 Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Dalam Peta Kecamatan Leuwidamar, Kota Rangkasbitung 111 Lampiran 2 lanscape 112 Lampiran 3. Data Pemilihan Responden & Informan Responden (R) & Informan (I) Kepala Desa (Jaro Pamarentahan) (I) Wakil Jaro Tangtu (I) Panggiwa/Pembantu Masyarakat Kampung Cibeo, Baduy Dalam Kelompok Masyarakat Masyarakat Masyarakat Kampung Kampung Gajeboh, Cikeusik, Baduy Baduy Luar Dalam Masyarakat Kec. Bojongmanik 1 orang (L) : Dnh - - - 1 orang (L) : Msd - - 1 orang (L) : Srm - Jaro (I) Carik/Sekretaris Desa (I) - - 1 orang (L) : Sp Tokoh Masyarakat (I) - - 2 orang (L) : As, Ai Warga masyarakat (R) 1 orang (L) : Ju 1 orang (L) : Ars - 1 orang (L) : Mm 2 orang (L) : Dd, End - Keterangan : • Jaro Pamarentahan adalah sebutan bagi kepala desa/pimpinan Kanekes yang berdasarkan sistem pemerintahan secara nasional. • Wakil Jaro Tangtu adalah wakil kepala desa Baduy Dalam. • Panggiwa adalah pembantu jaro dalam pengurusan pemerintahan secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional. • Carik adalah pembantu jaro dalam pengurusan pemerintahan secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional. Carik bukan merupakan warga Baduy, melainkan warga luar Baduy yang sudah PNS. • Tokoh masyarakat adalah warga yang mengetahui dengan pasti peristiwaperistiwa yang terjadi serta memiliki pengaruh pada masyarakat, dan bisa dipercaya oleh masyarakat kampung tersebut. • Warga masyarakat adalah penduduk yang berada di suatu tempat tinggal, khususnya di kawasan Baduy Dalam. 113 Lampiran 4 lanscape 114 115 Lampiran 5. Panduan Pertanyaan KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TANAH ULAYAT BADUY PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus : Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten) I. Karakteristik Responden 1. Nama Lengkap 2. Jenis kelamin 3. Umur Tanggal : : ………………………Inisial (………) : ……………………………………… : ……………………………………… 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Asal kampung : ……………………………………… Jumlah anggota keluarga : ……………………………………… Tempat lahir : ……………………………………… Berapa luas lahan yang Anda miliki? Apakah status (jabatan) Anda di desa? Berapa jarak tempat tinggal Anda dari hutan? Berapa lama Anda tinggal di desa? Apakah pekerjaan utama Anda? Berapa lama Anda menjalani pekerjan utama Anda? Berapa besar pendapatan pekerjaan utama Anda per bulan? Sebutkan…… Apakah Anda memiliki pekerjaan sampingan? Apakah pekerjaan sampingan Anda? Sebutkan……. Berapa pendapatan dari pekerjaan sampingan Anda per bulan? Sebutkan…… Berapa lama Anda menjalani pekerjaan sampingan tersebut? Sebutkan…… Apa yang Anda ketahui tentang tanah ulayat? Apa yang Anda ketahui tentang konflik tanah ulayat Baduy? A. PERSEPSI MASYARAKAT ADAT TERHADAP TANAH ULAYAT PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG A.1 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Manfaat Tanah Ulayat pada Kawasan Hutan Lindung 1. Bagaimana kepercayaan/keyakinan yang berlaku pada masyarakat? 2. Apa yang Anda ketahui tentang tanah ulayat? 3. Menurut Anda, mengapa Pemerintah menentukan daerah tanah ulayat? 4. Menurut Anda apakah tanah ulayat mempunyai manfaat? 5. Jika ya, apa saja manfaat tanah ulayat yang Anda ketahui? 6. Dari manfaat yang Anda ketahui, manfaat apa saja yang dapat Anda rasakan secara langsung dapat dinikmati? 7. Apakah ada aturan tertentu dalam pemanfaatan tanah ulayat? 8. Siapa yang mengatur pemanfaatan tanah hak ulayat? 9. Bagaimana batas-batas tanah hak ulayat yang dapat dimanfaatkan? 10. Apakah ada larangan dalam mengambil hasil pada tanah ulayat tersebut? 116 11. Larangan apa saja yang berlaku?(jawaban boleh lebih dari satu) 12. Kenapa larangan tersebut yang berlaku? 13. Siapa yang menentukan larangan tersebut? 14. Bagaimana jika ada masyarakat yang melanggar? 15. Apa saja hasil hutan yang dapat Anda ambil? 16. Jumlah jenis sumberdaya hutan yang diambil dari hutan (perhari/ perminggu/ perbulan/pertahun) …… 17. Jumlah kayu bakar yang diambil dari hutan (perhari/ perminggu/ perbulan/ pertahun)…… 18. Bagaimana cara Anda mengambil kayu bakar? 19. Bagaimana cara pengambilan daun/rumput yang Anda lakukan? 20. Bagaimana legalitas dalam mengambil sumberdaya hutan? 21. Bagaimana Anda menggembalakan hewan ternak sendiri? 22. Apa yang diperlukan untuk kebutuhan hewan ternak tersebut? 23. Jika hasil hutan yang diinginkan sudah tidak tersedia/terbatas/habis saat itu, apa yang dilakukan? 24. Berapa banyak kayu bakar yang dikumpulkan dalam tiap kali perjalanan? Sebutkan… 25. Apakah ada aturan mengenai tempat yang boleh digunakan untuk mengambil kayu bakar, berburu, berladang serta berternak? 26. Kenapa aturan tersebut yang berlaku? A.2 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Kepemilikan Tanah Ulayat 1. Menurut Anda tanah ulayat milik siapa? 2. Apakan Anda memiliki hak atas tanah ulayat? 3. Jika ya, hak apa saja yang dimiliki oleh masyarakat? 4. Atas dasar apa masyarakat merasa mempunyai hak? 5. Jika tidak, apa alasannya? 6. Apakah Anda mempunyai kewajiban atas hutan tersebut? 7. Jika ya, apa saja bentuk kewajiban itu? 8. Mengapa Anda merasa punya kewajiban itu? 9. Bagaimana jika kewajiban itu tidak dilaksanakan? A.3 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Fungsi dan Status Tanah Ulayat 1. Apa fungsi tanah ulayat yang Anda ketahui? 2. Apakah Anda merasakan fungsi tanah ulayat tersebut pada kawasan hutan lindung? 3. Jika ya, apakah saat ini fungsi hutan tersebut masih bisa dirasakan? 4. Jika tidak, sejak kapan tidak berfungsi? 5. Apakah menurut Anda di masa yang akan datang fungsi tanah ulayat akan seperti yang Anda ungkapkan? 6. Jika ya/tidak, seperti apa fungsi tanah ulayat kedepan? 7. Apakah Anda tahu status tanah hak ulayat Baduy? 8. Dari mana Anda tahu mengenai status tanah hak ulayat tersebut? 9. Apakah saat ini status tersebut masih berlaku? 10. Jika ya, bagaimana status tersebut berjalan? 11. Jika tidak, mengapa demikian? 12. Apakah menurut Anda di masa yang akan datang status tanah ulayat masih akan seperti yang Anda ungkapkan? 13. Jika ya/tidak, seperti apa status tanah ulayat kedepan? 14. Apa yang menyebabkan status tanah ulayat tersebut berubah atau tidak berlaku lagi? 15. Siapa yang menetapkan status tanah ulayat tersebut? 16. Mengapa dia yang menentukan? 117 A.4 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Hasil-hasil (Isi) Tanah Ulayat 1. Menurut Anda, tanaman apa saja yang ada di tanah ulayat pada kawasan hutan lindung? 2. Selain tanaman yang Anda sebutkan, apa lagi yang terdapat di tanah ulayat pada kawasan hutan lindung? A.5 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Pihak-pihak yang Dapat Memanfaatkan Tanah Ulayat pada Kawasan Hutan Lindung 1. Menurut Anda, siapa saja yang dapat memanfaatkan tanah ulayat? 2. Apakah Anda tahu dasar yang menetapkan pihak pemanfaat tanah ulayat tersebut? A.6 Persepsi Masyarakat Adat terhadap Bencana Alam (BA) dan Kerusakan Lingkungan 1. Apakah pernah terjadi bencana alam di Baduy? 2. Jika ya, apakah bencana tersebut ada kaitannya dengan keberadaan tanah ulayat pada kawasan hutan lindung? 3. Jika ya, bagaimana kaitannya? 4. 5. Jika tidak, apa yang menyebabkan? Jika sumberdaya tanah ulayat mengalami kerusakan, apakah ada kerugian yang Anda rasakan? 6. Jika jawaban Anda ya, kerugian apa yang Anda rasakan? 7. Menurut Anda apa yang dimaksud dengan kerusakan sumberdaya tanah ulayat? 8. Menurut Anda apa penyebabnya? 9. Jika ya, bagaimana cara melestarikannya? 10. Jika tidak, apa alasannya? B. Kebutuhan 1. Apakah ada tempat-tempat larangan di hutan? 2. Kenapa tempat tersebut dilarang? 3. Bagaimana jika ada masyarakat yang masuk kedalam tempat larangan tersebut? 4. Apakah ada aturan mengenai pohon apa saja yang boleh ditebang? 5. Kenapa aturan tersebut yang berlaku? 6. Apakah masyarakat melakukan aturan tersebut? 7. Apakah ada aturan mengenai pohon apa saja yang boleh ditanam? 8. Kenapa aturan tersebut yang berlaku? 9. Apakah masyarakat melakukan aturan tersebut? C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Ketergantungan Menurut Anda apakah kondisi hutan di sini cukup baik? Menurut Anda, hutan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan lingkungan? Apakah masyarakat mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya hutan? Jika ya, apa saja kepentingan tersebut? Menurut Anda, apakah masyarakat mempunyai hak dalam memanfaatkan sumberdaya hutan? Jika ya, apa hak yang dimiliki masyarakat terhadap sumberdaya hutan? Menurunnya kualitas sumberdaya hutan akan berdampak negatif terhadap masyarakat? Jika ya, apa saja dampaknya pada masyarakat? Siapakah yang paling dirugikan jika sumberdaya hutan rusak? Apakah ada hak pemilikan lahan? Berdasarkan apa hak pemilikan lahan tersebut? Kenapa harus berdasarkan aturan tersebut? Siapa yang menentukan hak tersebut? 118 Apakah harus izin jika ingin melakukan kegiatan mengambil kayu bakar, berburu, berladang serta berternak? Izin kepada siapa? Apakah ada aturan mengenai kauntitas dan jenis tanaman yang boleh ditanam? Kenapa aturan tersebut yang berlaku? Jika masyarakat melanggar, sanksi apa yang diberikan? Apakah ada aturan mengenai tempat yang boleh digunakan untuk mengambil kayu bakar, berburu, berladang dan menggembalakan ternak? Kenapa aturan tersebut yang berlaku? Berapa sering dalam (sehari/seminggu/sebulan) ٭melakukan kegiatan mengambil kayu bakar, berburu, berladang serta berternak? Tingkat ketergantungan terhadap hutan (sangat tergantung, tidak tergantung) Pertanyaan Umum Untuk Tokoh Adat Mengenai Konflik 1. Apa yang Anda ketahui tentang konflik? 2. Apakah dalam masyarakat pernah terjadi konflik? 3. Apakah tanah hak ulayat pada kawasan hutan lindung menjadi rebutan masyarakat yang ingin memanfaatkannya? 4. Bagaimana pengambilan tanah hak ulayat tersebut terjadi? 5. Mengapa terjadi hal demikian? 6. Apakah peristiwa tersebut bisa dikatakan konflik? 7. Sampai sejauhmana konflik itu terjadi? 8. Siapa saja yang terlibat dalam konflik atau penyerobotan tanah hak ulayat? 9. Mengapa di antara pihak tersebut terjadi konflik? 10. Bagaimana cara menyelesaikan konflik tersebut? II. Panduan Pertanyaan untuk Informan Informan (Tokoh Adat Baduy Dalam; Kampung Cibeo & Kampung Cikeusik) 1. Sejak kapan Anda tinggal di daerah ini? 2. Bagaimana pandangan Anda terhadap penduduk setempat di luar pemukiman Baduy? 3. Apakah ada upaya kerjasama dalam menjalani hidup antara kaum penduduk di luar kawasan/pemukiman dan penduduk kawasan/pemukiman Baduy? 4. Apakah pernah terjadi konflik antara penduduk di luar kawasan/pemukiman dengan penduduk kawasan/pemukiman Baduy? 5. Apakah kejadian ini sering terjadi? 6. Apakah penyebab terjadinya konflik tanah sebagai hak ulayat Baduy pada kawasan hutan lindung? 7. Apakah ada upaya-upaya masyarakat dalam menangani konflik? Siapa saja yang ikut terlibat dalam penanganan konflik? 8. Mengapa pihak tersebut mau berupaya menangani konflik? 9. Apakah ada kepentingan dari berbagai pihak yang berupaya menangani konflik? 10. Apakah upaya-upaya tersebut sudah cukup memuaskan berbagai pihak, khususnya bagi masyarakat Baduy Dalam? 11. Upaya-upaya apa lagi yang menurut pemikiran Anda dapat meminimalisir terjadinya konflik yang berkepanjangan? 12. Siapa saja yang dilibatkan dalam pengelolaan konflik? 13. Bagaimana hubungan timbal balik antara : (a) individu, (b) individu dengan masyarakat, (c) individu dengan kepala desa, (d) masyarakat dengan kepala desa119 (f) individu dengan jaro, (g) masyarakat dengan jaro? 14. Bagaimana sikap Anda terhadap upacara-upacara adat dan kebiasaan-kebiasaan setempat? 15. Pada saat konflik hak ulayat, apa saja yang dilibatkan (apa saja yang dipermasalahkan -> faktor-faktor) ? 16. Kesepakatan-kesepakatan apa saja yang dihasilkan dari upaya-upaya penyelesaian/meredam konflik? 17. Menurut Anda, bentuk kegiatan apa lagi yang harus dilakukan/sebaiknya dalam meningkatkan hubungan kerjasama antara penduduk/masyarakat? Informan (Tokoh Adat Desa Kebon Cau) 1. Sejak kapan Anda tinggal di daerah ini? 2. Manfaat apa yang dirasakan setelah adanya kekayaan sumberdaya alam terutama tanah ulayat pada kawasan hutan lindung Baduy? 3. Bagaimana sikap masyarakat Baduy pada saat awal kedatangan hingga saat ini terhadap masyarakat setempat di luar kawasan Baduy? 4. Apakah ada upaya kerjasama dalam menjalani hidup antara penduduk di luar kawasan/pemukiman dan penduduk kawasan/pemukiman Baduy? 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 18. 12. 13. 14. 15. Apakah pernah terjadi konflik antara penduduk di luar kawasan/pemukiman dengan penduduk kawasan/pemukiman Baduy? Apakah kejadian ini sering terjadi? Apakah penyebab terjadinya konflik tanah sebagai hak ulayat Baduy pada kawasan hutan lindung? Apakah ada upaya-upaya masyarakat dalam menangani konflik? Siapa saja yang ikut terlibat dalam penanganan konflik? Apakah upaya-upaya tersebut sudah cukup puas? Upaya-upaya apa lagi yang menurut pemikiran Anda dapat meminimalisir terjadinya konflik yang berkepanjangan? Bagaimana peranan pemerintah/jaro/kepala desa dalam pengelolaan konflik hak ulayat Baduy tersebut? Bagaimana hubungan timbal balik antara : (a) individu, (b) individu dengan masyarakat, (c) individu dengan kepala desa, (d) masyarakat dengan kepala desa (f) individu dengan jaro, (g) masyarakat dengan jaro? Di dalam matapencaharian, apakah Anda lakukan secara gotong royong/bersamasama? Apakah anda mengambil hasil hutan dengan izin masyarakat kawasan Baduy atau Jaro Baduy? Kesepakatan-kesepakatan apa saja yang dihasilkan dari upaya-upaya penyelesaian/meredam konflik? Menurut Anda, bentuk kegiatan apa lagi yang harus dilakukan/sebaiknya dalam meningkatkan hubungan kerjasama antara penduduk/masyarakat? 120 Lampiran 6. Pengalaman Peneliti di Lapangan Sejak awal, fokus penelitian ini adalah mengenai konflik pemanfaatan sumberdaya tanah ulayat Baduy pada kawasan hutan lindung. Peneliti mengasumsikan hutan pada tanah ulayat Baduy masih dalam kondisi baik dan merupakan hak mutlak warga Baduy. Hal ini dikarenakan informasi yang peneliti dapatkan dari Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak (2004) bahwa persengketaan tanah di Baduy sudah terjadi sejak tahun 1950. Dengan demikian, berdasarkan literatur yang peneliti dapatkan bahwa konflik tanah yang terjadi di Baduy disebabkan oleh adanya penyerobotan yang dilakukan oleh pihak luar Baduy yang berada pada batas-batas alam kawasan Baduy. Citra Baduy yang dikenal sebagai masyarakat adat yang masih memegang teguh adat istiadat serta prinsip hidup kesederhanaan, serta memiliki indigenous knowledge yang mempertahankan keseimbangan alam, maka tidak akan membiarkan hutan alamnya rusak akibat tindakan penyerobotan yang dilakukan masyarakat luar Baduy. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy menandakan adanya penguatan terhadap pengakuan status tanah Baduy serta batas-batas dan pengaturan pemanfaatan serta pengelolaannya. Kenyataan ini menimbulkan rasa ingin tahu peneliti mengenai konflik yang terjadi di Baduy, padahal peraturan yang ada sudah diberlakukan bahkan sudah dikeluarkan sejak tahun 1968 yaitu Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat tentang Penetapan Status Hutan Larangan Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai Hutan Lindung Mutlak dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat. Selain itu, ada Keputusan Bupati Lebak No. 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batasbatas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Sebelum era otonomi daerah pun telah muncul Perda Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak. Konflik ini sudah banyak terjadi juga di wilayah adat lainnya. Namun peneliti lebih memilih di Baduy karena selain ketertarikan untuk membahas konflik serta persepsi yang dibangun oleh warga Baduy terhadap tanah ulayat, juga karena lokasi yang dekat dengan tempat tinggal peneliti. Sehingga dalam mengambil data pun lebih mudah dan cepat. Ditambah dengan potensi yang begitu banyak dari hutan Baduy yang saat ini masih menjadi persengketaan. Selain itu, pikukuh yang saat ini berlaku pun mulai melebur dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy sendiri, seperti menggunakan telepon genggam dan menanam kopi serta cengkeh di luar Baduy. Di sisi lain, kawasan Baduy pun merupakan kawasan wisata sehingga dapat merefresh pikiran ketika peneliti menemui kejenuhan dalam melakukan penelitian. Di satu sisi lagi, peneliti sudah pernah ke Baduy saat SMA dan memiliki kenalan di Baduy, sehingga mudah dalam mencacri informamn maupun responden guna memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan. Peneliti juga mendapatkan informasi mengenai jumlah penduduk Baduy yang semakin bertambah, namun tanah (volume dan intensitasnya) tidak bertambah. Sehingga, banyak warga Baduy yang berpindah dari satu kampung ke kampung lain atau dari Baduy Dalam ke Baduy Luar, bahkan ada yang pindah ke luar Baduy. Saat ini, terjadi pemekaran kampung yang awalnya kampung di Baduy hanya terdiri dari 40 kampung, saat ini sudah menjajdi 59 kampung. Namun data yang diperoleh peneliti hanya 51 kampung. Selain berkaitan dengan jumlah penduduk, di Baduy pun sudah ada sawah di dekat perbatasan Baduy, bahkan ada di kampung Cicakal Girang. Kampung ini adalah kampung yang berbeda dengan kampung yang ada di Baduy. Keyakinan warga kampung Cicakal Girang adalah menganut agama Islam dan beribadah sesuai keyakinannya tersebut, bahkan sudah mengenakan kerudung dan rumah pun dibuat dari bahan batu-bata. Hari pertama peneliti tiba di lokasi penelitian (Kamis, 08 Mei 2008) cukup mengesankan, karena selain bertemu dengan warga adat Baduy Luar, peneliti pun bertemu dengan warga Baduy Dalam yang saat itu akan melakukan upacara Seba ke Kabupaten Lebak dengan menyerahkan hasil-hasil hutan yang diperoleh sesuai kemampuannya. Ketika itu pula, peneliti langsung menemui Pak Mursyid sebagai Wakil Jaro Tangtu (Baduy Dalam) untuk mendapatkan informasi terkait topik penelitian. Akhirnya peneliti pun mendapat jawaban yang cukup dapat menjelaskan konflik yang terjadi serta pandangannya pada tanah ulayat Baduy dan harapannya kedepan. Menurutnya, tanah Baduy adalah tanah ulayat dan seluruh kawasan Baduy adalah milik masyarakat Baduy. Pemerintah hanya sebagai pelindung, sedangkan warga Baduy menggunakan dan memanfaatkan serta mengelola tanah dan hutan tersebut. Bahkan beliau pun sudah tahu adanya Perda Kabupaten Lebak No.32/2001. Setelah mewawancarai Pak Mursyid, peneliti melakukan penelitian yang selanjutnya bersama Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes. Informasi yang didapatkan adalah bahwa beliau memiliki tanah di luar dan menanam pohon kopi dan cengkeh yang merupakan tanaman yang dilarang ditanam di Baduy. Beliau pun menggungkapkan bahwa hasil dari pohon tersebut untuk menambah penghasilan dan memenuhi kebutuhan sendiri. Adapun informasi yang didapat peneliti mengenai konflik, bahwa konflik yang sudah terjadi sejak dulu, saat ini sudah mulai mereda dan tidak ada lagi konflik yang berkepanjangan. Karena menurutnya, sudah jelas dalam aturan adat bahwa warga luar Baduy tidak bisa seenaknya menyerobot atau mengambil hasil hutan Baduy, bahkan larangan pula untuk menggembalakan hewan berkaki empat yaitu kerbau. Beliau menjelaskan dengan serius, bahwa apabila terjadi penyerobotan yang sama hingga saat ini, maka yang rugi adalah warga Baduy dan warga sekitar bahkan bangsa dan negara. waktu pun sudah gelap, dan peneliti akhirnya menyudahi wawancara tersebut dengan mendapatkan informasi yang sudah hampir mewakili setiap pertanyaan yang ada. Selanjutnya, peneliti pun menginap di Rumah Pak Diman di Kampung Kaduketug, Baduy Luar. Hal yang peling berkesan, karena tinggal di tempat yang tidak terdapat lampu hanya ada lampu tempel, tapi sudah ada kamar mandi, padahal itu merupakan salah satu larangan di Baduy. Keesokan harinya, peneliti pun pulang ke rumah, karena akan sangat tidak efektif ketika melakukan penelitian, tapi warga atau tokoh masyarakat yang ingin diwawancarai tidak ada ditempat, justru akan melakukan upacara Seba ke Kabupaten Lebak, dilanjutkan ke Propinsi. Namun sebelum itu, di pagi harinya, peneliti mewawancarai salah satu tokoh masyarakat Baduy dari Gajeboh, yaitu Bapak Asid. Namun beliau sudah keluar dari Baduy, saat ini beliau bekerja sebagai PNS. Hari berikutnya, peneliti kembali ke Baduy untuk mewancarai Wa Ailin yang tahu mengenai informasi yang dibutuhkan. Peneliti menginap di Gajeboh, di rumah Wa Ailin, dan kondisi di sana tidak ada lampu dan tidak ada kamar mandi. Jadi, peneliti agak kesulitan untuk mandi dan sebagainya. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Baduy Dalam, ke rumah Jaro Sami, kampung Cibeo. Perjalanan ke sana membutuhkan perbekalan yang cukup terutama air minum. Selain itu fisik pun harus kuat, karena waktu yang ditempuh menuju Baduy Dalam sekitar 2 jam, dengan melalui perbukitan dan pegunungan. Ketika sampai, hal yang mengesankan kembali dirasakan oleh peneliti, karena adanya bentuk rumah yang unik serta betul-betul jauh dari keduniawian. Baduy Dalam masih alami dan menyatu dengan alam. Wawancara pun dilakukan dengan Jaro Sami terkait pandangannya terhadap tanah ulayat Baduy, kemudian konflik yang pernah terjadi berikut urutan peristiwanya serta upaya yang pernah dilakukan dan dampak konflik tersebut bagi warga Baduy Dalam, khususnya, dan Baduy serta warga sekitar pada umumnya. Selama perjalanan menuju kesana, peneliti ditemani oleh seorang teman dari Baduy, dan di tengah perjalanan bertemu dengan warga Cikeusik. Akhirnya, peneliti pun bertanya mengenai halhal yang terkait dengan penelitian, sambil melihat kondisi lapang saat itu. Keingintahuan yang besar dari peneliti, sehingga mengharuskan peneliti berkunjung ke Kecamatan Bojongmanik untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai konflik dan pandangan warga luar Baduy terhadap konflik yang terjadi serta pada kondisi tanah ulayat Baduy. Peneliti melakukan wawancara bersama Bapak Mamat sebagai Sekretaris Camat Bojongmanik, kemudian tokoh masayarakat Kebon Cau yaitu Bapak Arja. Tidak hanya sampai disitu, peneliti pun melanjutkan perjalanan sampai ke Kecamatan Cirinten, yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bojongmanik. Selama perjalanan kesana, peneliti ditemani oleh orang tua (Ayah) dengan menggunakan sepeda motor. Kesan yang didapatkan peneliti adalah “luar biasa” karena perjalanannya yang begitu jauh serta banyak tikungan dan naik-turun (perbukitan). Setelah melakukan wawancara dan observasi, di kemudian harinya peneliti meminta data sekunder kepada pihak Desa Kanekes terkait konflik dan data-data mengenai perjanjian yang pernah dibuat dalam upaya penyelesaian konflik di Baduy. Setelah itu, peneliti ditemani oleh Kakak dan akhirnya data yang dibutuhkan pun diperoleh dengan cepat. Peneliti melakukan penelitian selama 1,5 bulan. Menurut peneliti, data yang terkumpul sudah lengkap bahkan dari Pemerintah Kabupaten Lebak pun sudah diperoleh, maka waktu yang cukup singkat tersebut sudah mampu memberikan luang bagi peneliti memperoleh informasi terkait penelitian. 123 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR: 65 TAHUN 2001 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG PERLINDUNGAN ATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK Menimbang: a. Bahwa Masyarakat Baduy. sebagai masyarakat adat yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersarna suatu persekutuan hukum yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari. memiliki wilayah yang bersifat ulayat serta memiliki hubungan dengan wilayahnya tersebut; b. Bahwa Masyarakat Baduy dalam melakukan hubungan dengan wilayahnya diatur dan dibatasi pada wilayah ulayatnya, sehingga perlu dilindungi; c. Bahwa untuk melakkukan perlindungan atas hak ulayat Masyarakat Baduy perlu ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pkok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten (lembaran Negara Nomor 182, Tambahan Lembaran negara Nomor 4010); 5. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 6 Tahun 1986 tentang Penunjukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang Melakukan Penyidikan Terhadap Pelanggaran Peraturan Daerah yang Memuat Ketentuan Pidana (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 3 tahun 1986 Seri E); 6. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 1991 Nomor 1 Seri D); 7. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 4 Tahun 2000 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah dan Penerbitan Lembaran Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2000 Nomor 4 Seri D); 8. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 30 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Kabupaten Lebak Tahun 200-2005 (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2001 Nomor 63 Seri D); 9. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2001 Nomor 64 Seri C); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LEBAK MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TENTANG PERLINDUNGAN ATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Lebak; 2. Bupati adalah Bupati Lebak; 3. Perlindungan adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam melindungi tatanan masyarakat Baduy dari upaya-upaya yang mengganggu/merusak yang berasal dari luar masyarakat Baduy; 4. Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan; 5. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu; 6. Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes Kedamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum; 7. Penggunaan Lahan adalah setiap upaya yang dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh kelompok orang tertentu/badan yang berkaitan dengan pengusahaan lahan bagi peruntukkan pertanian, perkebunan, dan pemanfaatan hasil alam lainnya; 8. Masyarakat Luar Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di luar di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak; 9. PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lebak yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan. B A B II HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY Bagian Pertama Penetapan Wilayah Hak Ulayat Pasal 2 Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi dan dituangkan dalam Berita Acara sebagai landasan penetapan Keputusan Bupati. Pasal 3 Wilayah Hak Ulayat Masyarakat Baduy dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai. Pasal 4 Segala peruntukkan lahan terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat Baduy. Bagian Kedua Pengecualian Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Baduy Pasal 5 Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak meliputi bidang-bidang tanah yang: a. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria; b. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku. B A B III BATAS-BATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY Bagian Pertama Batas Desa Pasal 6 Desa Kanekes sebagai wilayah pemukiman Masyarakat Baduy memiliki batas-batas Desa sebagai berikut: a. Utara: 1. Desa Bojong Menteng Kecamatan Leuwidamar. 2. Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar. 3. Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar. b. Barat: 1. Desa Parakan Besi Kecamatan Bojongmanik. 2. Desa Kebon Cau Kecamatan Bojongmanik. 3. Desa Karang Nunggal Kecamatan Bojongmanik. c. Selatan 1. Cikate Kecamatan Cijaku d. Timur: 1. Karangcombong Kecamatan Muncang. 2. Desa Cilebang Kecamatan Muncang. Bagian Kedua Batas Alam Pasal 7 Wilayah Masyarakat Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam sebagai berikut: a. Utara : Kali Ciujung; b. Selatan : Kali Cidikit; c. Barat : Kali Cibarani; d. Timur : Kali Cisimeut. Pasal 8 Batas-batas yang lebih detail tentang keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Baduy yang diukur berdasarkan hasil pengukuran dan pematokan oleh Dinas/Instansi terkait ditetapkan dengan Keputusan Bupati. B A B IV KETENTUAN PIDANA Pasal 9 1) Setiap Masyarakat Luar Baduy yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak dan menggunakan lahan hak ulayat Masyarakat Baduy diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,- (lima juta rupiah). 2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. BABV KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 10 1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebgai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 8. 2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana tersebut agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas. b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana tersebut. c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana tersebut. d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana tersebut. e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut. f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana tersebut. g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e. h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. j. menghentikan penyidikan. k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana tersebut menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. 3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. B A B VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 11 Dalam rangka menghindari perselisihan dan kesimpangsiuran hak ulayat Masyarakat Baduy dari kepentingan perorangan serta sebagai wujud pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat, maka upaya pensertifikasian wilayah Baduy tidak diperkenankan. Pasal 12 Keputusan Bupati tentang batas-batras detail wilayah hak ulayat Masyarakat Baduy harus sudah ditetapkan selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. B A B VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lebak. Disahkan di Rangkasbitung pada tanggal 13 Agustus 2001 BUPATI LEBAK, ttd. H. MOCH. YAS’A MULYADI Diundangkan di Rangkasbitung pada tanggal SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LEBAK, ttd. Drs. H. NARASOMA Pembina Utama Muda NIP. 480 066 774 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TAHUN 2001 NOMOR 65 SERI C. PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG PERLINDUNGAN ATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY I. PENJELASAN UMUM 1. Gambaran Umum Masyarakat Baduy Masyarakat Baduy bertempat tinggal di Wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dijadikan Desa Deginitif dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 140/Kep. 526-Pemdes/1986 Tanggal 10 April 1986 dengan luas 5.101 Ha dan jumlah penduduk sebanyak 7181 jiwa dengan 1.997 kepala keluarga. Masyarakat Baduy terdiri atas 2 (dua) kelompok, yaitu: • Masyarakat Baduy Dalam yang mendiami kampung Cikeusik, Cikertawang dan Cibeo. • Masyarakat Baduy Luar yang mendiami kampung-kampung: 1. Kampung Keduketug; 27. Kampung Cangkudu; 2. Kampung Cipondok; 28. Kampung Cisadane; 3. Kampung Babakan Kaduketug; 29. Kampung Cibagelut; 4. Kampung Kadukaso; 30. Kampung Cibogo; 5. Kampung Cihulu; 31. Kampung Pamoean; 6. Kampung Balingbing; 32. Kampung Cisaban; 7. Kampung Marengo; 33. Kampung Babakan Cisaban; 8. Kampung Gajeboh; 34. Kampung Leuwihandam; 9. Kampung Leuwibeleud; 35. Kampung Kaneungay; 10. Kampung Cipaler; 36. Kampung Kadukohak; 11. Kampung Cipaler Pasir; 37. Kampung Ciracakondang; 12. Kampung Cicakal Girang; 13. Kampung Babakan Cikakal Girang; 14. Kampung Cipiil; 15. Kampung Cilingsuh; 16. Kampung Cisagu; 17. Kampung Cijanar; 18. Kampung Ciranji; 19. Kampung Babakan Eurih; 20. Kampung Cisagulandeuh; 21. Kampung Cijengkol; 22. Kampung Cikadu; 23. Kampung Cijangkar; 24. Kampung Cinangsi; 25. Kampung Batubeulah; 26. Kampung Bojong Paok; 38. Kampung Panyerangan: 39. Kampung Batara; 40. Kampung Binglugemok; 41. Kampung Sorokokod; 42. Kampung Ciwaringin; 43. Kampung Kaduketer; 44. Kampung Babakan Kaduketer; 45. Kampung Cibongkok; 46. Kampung Cikopeng; 47. Kampung Cicatang; 48. Kampung Cigula; 49. Kampung Karahkal; 50. Kampung Kadugede; 51. Kampung Kadujangkung. 2. Eksistensi Pertanahan Masyarakat Baduy Tempat hidup dan mencari penghidupan Masyarakat Baduy tersebut yang termasuk dalam lingkup Hak Ulayat Baduy. Terhadap masalah yang menyangkut tanah, Masyarakat Baduy tidak mengaku tanah sebagai hak milik pribadi, mereka mendapat titipan tugas “ngasuh ratu, ngajaga menak” sehingga mereka tetap setiap kepada yang berkuasa dan dibuktikan dengan adanya acara “Seba” kepada Bupati dan Residen pada setiap tahun setelah selesai upacara “Ngalaksa”. Upaya memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah Masyarakat Baduy sudah dilakukan jauh sebelum diundangkannya Peraturan Daerah ini yang dirintis sejak Tahun 1986 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 203/B.V/Pem?SK/1968 Tanggal 19 Agustus 1968 tentang Penetapan Status Hutan “Larangan” Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai “Hutan Lindung Mutlak” dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat. Berbagai kesulitan telah dihadapi dalam merumuskan pemberian perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy, hal ini berkaitan dengan hakikat hukum adat yang hanya diakui dalam bentuk tak tertulis oleh persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial) dan keturunan (genealogis). Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tanggal 24 Juni 1999 tentang Pendoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat beberapa kendala yang dihadapi akhirnya dapat terselesaikan. 129 II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup Jelas Pasal 2 Cukup Jelas Pasal 3 Pencantuman tanah ulayat dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi harus pula menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Pasal 4 Penyerahan sepenuhnya atas Hak Ulayat kepada Masyarakat Baduy dilakukan dalam upaya menjaga hakikat persekutuan hukum adat sebagai persekutuan hukum yang komunal. Pasal 5 Pengecualian ini berpedoman pada Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 Cukup Jelas Pasal 7 Cukup Jelas Pasal 8 Cukup Jelas Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan perbuatan mengganggu, merusak dan menggunakan lahan adalah tindakan-tindakan yang dianggap tabu/larangan oleh masyarakat Baduy seperti menggembalakan hewan/ternak berkaki empat kecuali anjing dan kucing, meracuni sungai untuk menangkap ikan, mengeksploitasi tanah ulayat masyarakat Baduy seperti melakukan penggalian pasir dan batu serta mengambil daun aren di tanah ulayat masyarakat Baduy di tanah ulayat masyarakat Baduy adalah termasuk dalam kategori pelanggaran terhadap ketentuan pidana pasal ini. Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 10 Cukup Jelas Pasal 11 Cukup Jelas Pasal 12 Cukup Jelas Pasal 13 Cukup Jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4. 130 Lampiran 8. Struktur Pemerintahan Adat Desa Kanekes PUUN TANGKESAN JARO TANGTU BARESAN GIRANG SEURAT JARO 12 KOKOLOTAN PANGHULU JARO PAMARENTAH PANGGIWA KOKOLOT CARIK 131 Foto Kegiatan dan Kondisi Baduy 132 Perjalanan ke Cibeo melalui Sungai Hasil hutan : Kayu Albasiah Kondisi hutan garapan saat ini Kondisi Hutan Lindung Rumah Penduduk Baduy Luar Rumah Penduduk Cicakal Buleud (Baduy Luar) dengan tanda lingkaran hitam di atas : masih memegang teguh tradisi 133 Jembatan bambu dari Gajeboh menuju kampung Cicakal Girang Leuit di Baduy Luar Leuit (lumbung padi) warga Baduy Luar (Gajeboh) Warga Gajeboh sedang menumbuk padi Warga Baduy Dalam Sebelah kiri dari arah depan adalah Bapak Msd Warga Baduy Dalam saat perjalanan Seba 134 Jembatan Gajeboh Wa Ailin beserta keluarga Di Gajeboh Warga Baduy Luar Warga Baduy Dalam yang mengenakan putih-hitam 135 Kegiatan membuat kerajinan tangan : selendang/kain panjang/kain penutup kepala Pengumpulan hasil hutan : kayu