Rumusan Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Bandung (Jatinangor), 13 Juni 2015, bertemakan Keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem dari kawasan pegunungan. Dataran tinggi merupakan bagian kecil dari kontur bumi, namun memegang peranan penting dalam iklim dan geomorfologi. Daur hidrologi sangat tergantung pada kawasan pegunungan. Kurang dari 20% permukaan bumi di Indonesia terletak di dataran tinggi (> 1000 m dpl.). Hanya di Papua, dataran tinggi mencakup kawasan yang cukup luas. Sementara di Jawa, luasnya kurang dari 7%, di mana sebagian besar terletak di bagian barat pulau Jawa. Dataran tinggi merupakan hotspot berbagai hidupan liar yang khas dan endemik, serta menjadi salah satu tempat perlindungan terakhir bagi hidupan liar. Keunikan ekosistem dataran tinggi menyebabkan munculnya keunikan keanekaragaman hayati dan budaya masyarakat. Namun pertambahan penduduk dan kemakmuran, menjadi ancaman bagi dataran tinggi dengan semakin banyaknya kawasan terbangun. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman hayati sangat tinggi, pada saat ini harus berjuang untuk mengungkapkan peran dan makna keragaman hayati bagi kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan ekosistem, berpacu dengan cepatnya laju kepunahan hayati akibat perubahan habitat, pemanenan berlebih dan perubahan iklim global. Gangguan terhadap ekosistem alami harus dihitung kembali, karena jasa yang dihasilkan ekosistem alami nilainya cukup tinggi. Berbagai metode untuk menghitung keragaman hayati telah dikembangkan, namun kebanyakan didasarkan pada kondisi kawasan sub-tropis, sehingga teori dan metode yang dikembangkan menuntut validasi ketika diterapkan di kawasan tropis. Kawasan dataran tinggi di Jawa, telah dihuni sejak jaman dahulu. Berbeda dengan Orang Jawa yang sejak dahulu kala mengandalkan pengadaan pangan dengan membangun sawah basah di dataran rendah, maka pada masa lalu Orang Sunda di Jawa Barat dan Banten lebih dominan mengandalkan berladang karena kontur lingkungannya yang berbukit-bukit, namun aktivitas ini kini tinggal tersisa pada Masyarakat Baduy dan Masyarakat Kasepuhan di Banten Selatan. Berdasarkan kepercayaannya, hingga kini Orang Baduy pantang bertani sawah, tetapi wajib berladang (sistem huma, ngahuma), dimana dilakukan aktivitas tebang dan bakar (slash and burn), sehingga mereka dianggap terbelakang, merusak hutan dan miskin. Namun, pada kenyataannya ngahuma merupakan sistem yang cerdas untuk menjaga kelestarian lingkungan, dimana hutan di daerah ulayat Baduy merupakan salah satu yang paling lestari di Pulau Jawa; dan Orang Baduy cukup terjamin kebutuhan pangannya terbukti dari rendahnya angka balita kekurangan gizi. Bahkan Orang Baduy cukup sejahtera hidupnya karena adanya pendapatan dari memperdagangkan hasil kebun non-padi dan menyewa atau membeli lahan-lahan Orang Sunda di sekitar wilayah ulayatnya untuk bertani. Sistem ngahuma merupakan sistem agroforestri yang dipraktikkan Orang Baduy, dimana telah terbukti mampu menjaga keberlangsungan hidup mereka dan menjaga kelestarian ekosistem di sekitarnya. Dalam sistem ini cukup banyak tanaman pangan dan tanaman bernilai lainnya yang dapat dibudidayakan, sehingga mampu menjaga keamanan pangan dan kesejahteraan Masyarakat Baduy. Sistem agroforestri dapat menjaga diversitas makhluk hidup dalam suatu ekosistem, termasuk makrofauna tanah yang berperan penting dalam memberikan layanan jasa ekosistem terutama menjaga kesuburan tanah, serta diversitas fauna lainnya dalam menjaga keseimbangan hama dan penyakit sejalan dengan pengendalian hama terpadu. Pendekatan ekologi dapat digunakan untuk memahami peran fauna tanah dalam keberlanjutan fungsi ekosistem. Ketahanan diversitas fauna tanah berperan penting dalam menjaga ketahanan layanan jasa ekosistem pertanian. Di samping bahan pangan, dataran tinggi juga memberikan jasa ekosistem berupa bahan obat. Salah satu penyakit modern yang cukup mematikan adalah kanker yang merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskular. Kemoterapi antikanker menyebabkan efek samping karena membunuh baik sel kanker maupun sel normal, sehingga diperlukan alternatif untuk pengobatan, misalnya pencarian dan penelitian bahan bioaktif dari tumbuhan yang mempunyai khasiat antikanker. Pinang yaki (Areca vestiaria) merupakan salah satu tumbuhan dataran tinggi yang terbukti sangat berpotensi sebagai antikanker. Dalam seminar nasional ini diungkapkan pula ide-ide baru dan hasil-hasil penelitian baru dalam kajian keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies dan ekosistem, serta pemanfaatan, perlindungan dan pengembangannya baik dari kawasan dataran tinggi, maupun ekosistem lainnya.