Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah

advertisement
i
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA
Bagian – 2
Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan
Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber
Bahan Pangan Di Tanah Papua
i
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Undang-undang Hak Cipta
Pasal 2.
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling lambat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
ii
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA
Bagian – 2
Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan
Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan
Pangan Di Tanah Papua
Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding
Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak
Harisetijono, Hendrison Ondi
Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI
2013
iii
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA
(Bagian–2)
Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah
Sebagai Sumber Bahan Pangan Di Tanah Papua
ISBN 978-979-1280-01-3
@ Tim Penulis
Cetakan Pertama, November 2013
Gambar Sampul :
Pulau Yop Meos, Sagu, Kelapa Hutan (Pandanus brossimos Merr. &
Perry ), Buah Negri, Kelapa Hutan (Pandanus julianettii Mart.), Buah
Markisa Muda, Terong Belanda, Kaum, Aibon (Bruguiera gymnorhiza)
Penerbit :
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
Jalan Inamberi - Susweni, Manokwari - Papua Barat
www.balithutmanokwari.com
www.forda-mof.org
iv
“Kami mendedikasikan buku ini
untuk mereka yang bekerja dengan hati
di Tanah Papua dan menaruh perhatian
pada keanekaragaman tumbuhan dan
lingkungan, para mentor kami dan seluruh
masyarakat di Tanah Papua”
v
Buku ini dipersembahkan untuk saudara kami terkasih :
Luigi Agape Heipon
(In memorial)
Atas dedikasinya pada Dunia Tumbuhan dan Lingkungan di Tanah
Papua.
Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih atas
semua yang dilakukan dan pengorbanan tanpa pamrih kepada
mereka yang membutuhkan jasanya (Peneliti, Dosen, Mahasiswa dan
Pelajar),
serta kebaikannya yang pernah diberikan kepada kita
Semoga kehidupan abadi diberikan Tuhan Yesus Kristus kepadanya,
dan memberikan kekuatan bagi keluarga yang telah ditinggalkan
≈Amin≈
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN
xiii
UCAPAN TERIMAKASIH
xv
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN
MANOKWARI
xvii
I.
PENDAHULUAN
1
II.
KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA
6
III.
A.
B.
A. Potensi Jenis Endemik
B. Kondisi Saat Ini
6
11
C.
C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua
20
SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA
A.
B.
IV.
A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial
B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua
MARKISA (Passiflora lingularis dan Passiflora edulis) SERTA
PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI KABUPATEN
JAYAWIJAYA
A.4.1. Buah Markisa (Passiflora lingularis L.)
B.
A. Deskripsi Botani
vii
21
21
22
25
26
26
B.
C.
D.
B. Kondisi Sosio-Geografis
28
C. Ekologi Habitat Markisa
52
1. Faktor Fisiografis
1.
52
2. Suhu Udara dan Kelembaban
2.
54
3. Keadaan Tanah
3.
56
D. Potensi Tegakan dan Potensi Buah
58
1.
1. Potensi Tegakan
58
2.
2. Potensi Buah
59
D.
E. Kandungan Gizi Markisa
60
E.
F. Etnobotani Markisa dalam Budaya Suku Dani
61
F.
G. Konservasi Tradisional
61
G.
H. Status Konservasi
62
H.
I.
62
Prospek Pengembangan
4.2. Buah Negri (Passiflora edulis Sims.)
65
A.
A. Deskripsi Botani
65
B.
B. Ekologi Habitat Buah Negri
67
1.
1. Faktor Fisiografis
67
2.
2. Suhu udara dan Kelembaban
70
3.
3. Keadaan Tanah
71
C.
D.
C. Potensi Tegakan dan Buah
74
1.
1. Potensi Tegakan
74
2.
2. Potensi Buah
74
D. Kandungan Gizi Buah Negri
viii
75
E.
V.
E. Etnobotani Buah Negri dalam Budaya Suku Dani
76
F.
F. Konservasi Tradisional
77
G.
G. Status Konservasi
78
H.
H. Prospek Pengembangan
78
TERONG BELANDA (Cyphomandra betaceae
Sendt.) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU
DANI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA
A.
A. Deskripsi Botani
B.
B. Kondisi Sosio-Geografis
82
83
C.
84
C. Ekologi Habitat Terong Belanda
1. Faktor1.Fisiografis
3.
1.
D.
F.
G.
87
2. Suhu 2.Udara dan Kelembaban
89
3. Keadaan Tanah
90
D. Potensi Tegakandan Buah
a.
b. Potensi Tegakan
c.
d. Potensi Buah
92
E. Kandungan Gizi Terong Belanda
F. Etnobotani Terong Belanda dalam Budaya Suku
Dani
G. Konservasi Tradisional
94
H. H. Status Konservasi
I.
84
92
93
95
96
96
I. Prospek Pengembangan
ix
97
VI
BUAH KELAPA HUTAN (Pandanus brosimus dan
Pandanus julianettii) DAN PEMANFAATANNYA
OLEH SUKU LANI DI KABUPATEN TOLIKARA
101
A.
A. Deskripsi Botani
101
B.
B. Kondisi Sosio-Geografis
108
C.
D.
F.
G.
I.
VII
C. Ekologi Habitat Kelapa Hutan
1.
1. Faktor Fisiografis
2.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
126
3.
132
3. Keadaan Tanah
E. Potensi Tegakandan Potensi Buah
1.
1. Potensi Tegakan
2.
2. Potensi Buah
F.
Kandungan Gizi Kelapa Hutan
128
131
133
133
134
135
G. Etnobotani Kelapa Hutan dalam Budaya Suku Lani
H.H. Konservasi Tradisional
154
I. Status Konservasi
J.J. Prospek Pengembangan
141
140
142
BUAH KAUM (Burckella obovata (Forst.) Pierre)
DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU BIAK DI
KABUPATEN BIAK NUMFOR
146
A.
A. Deskripsi Botani
146
B.
B. Kondisi Sosio-Geografis
153
C.
C. Ekologi Habitat Kaum
168
x
D.
1.
1. Faktor Fisiografis
169
2.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
173
3.
3. Keadaan Tanah
175
D. Potensi Tegakandan Buah
1.
1. Potensi Tegakan
2.
2. Potensi Buah
177
177
178
E.
E.
E.
F. Etnobotani Buah Kaum dalam Budaya Suku Biak
182
G.
G.
184
F.
H. Status Konservasi
186
I.
I.
186
Kandungan Gizi Buah Kaum
Konservasi Tradisional
Prospek Pengembangan
VIII BUAH AIBON (Bruguiera gymnorhiza Lamk.) dan
PEMANFAATANNYA OLEH SUKU BIAK DI
KABUPATEN SUPIORI
180
189
A.
A. Deskripsi Botani
189
B.
B. Kondisi Sosio-Geografis
194
C.
D.
E.
C. Ekologi Habitat Aibon
1.
1. Faktor Fisiografis
2.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
210
3.
3. Keadaan Tanah
214
D. Potensi Tegakandan Buah
1.
1. Potensi Tegakan
2.
2. Potensi Buah
217
E. Kandungan Gizi Aibon
211
213
217
218
219
xi
F.
F. Etnobotani Aibon dalam Budaya Suku Biak Numfor
223
G.
G. Konservasi Tradisional
224
H.
H. Status Konservasi
225
I.
I. Prospek Pengembangan
PENUTUP
PUSTAKA ACUAN
Glosary
Indeks
Indeks Nama Ilmiah
Indeks Nama Daerah dan Perdagangan
xii
225
226
228
233
250
260
263
SAMBUTAN KEPALA BADAN
Papua merupakan salah satu kawasan hutan tropis di
Indonesia yang memiliki zona-zona vegetasi terlengkap di dunia
dan keanekaragaman jenis flora yang sangat tinggi. Namun
sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum banyak dikenal
dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya.
Demikian
pula
dengan
pemanfaatannya
dalam
rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil
dan bersifat tradisional.
Buku ini merupakan bagian atau seri ke 2 yang merupakan
lanjutan dari buku “Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua
Bagian
1”.
Buku
ini
mengungkapkan
lebih
lanjut
keanekaragaman flora tanah Papua dan pemanfaatannya oleh
masyarakat tradisional dan prospek pengembangannya sebagai
diversifikasi bahan pangan. Buku ini sangat menarik, karena
selain memberikan pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan
berguna, di dalamnya juga akan terungkap rahasia budaya etnik
Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa.
Informasi yang disajikan dilengkapi dengan gambar dan foto,
sehingga jelas untuk dikenal.
Penerbitan buku ini diharapkan dapat menjadi penyedia
iptek dalam pengembangan penelitian keanekaragaman flora
dan manfaatnya (etnobotani) di Indonesia dan khususnya di
Tanah Papua. Karena, pengetahuan lokal pemanfaatan jenis
tumbuhan akan terinternalisasi dalam budaya setiap etnik
xiii
sepanjang dilakukan proses transformasi generasi berikutnya
dengan baik.
Saya sampaikan terimakasih dan penghargaan kepada
saudara Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A.
Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak, Harisetijono, Hendrison Ondi,
Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo yang telah berhasil
menyusun buku ini dan semoga karya ini dapat terus dilanjutkan.
Semoga buku kedua ini akan bermanfaat dan merupakan perintis
bagi karya-karya selanjutnya serta menjadi pendorong bagi para
peneliti lingkup Badan Litbang Kehutanan agar terus giat untuk
menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk kemajuan Ilmu
Pengetahuan di Indonesia.
November 2013
Dr. Ir.Iman Santoso
xiv
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak baik
pribadi maupun lembaga yang telah membantu dalam proses
penerbitan buku ini. Buku ini merupakan hasil sintesa penelitian
Program Insentif Peningkatan Kapasitas Peneliti dan Perekayasa
(PKPP) selama 2 tahun berturut-turut yaitu Tahun 2011 dan
Tahun 2012 yang merupakan hasil kerjasama Badan Litbang
Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara
Riset dan Teknologi.
Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada para pihak yang berkontribusi terhadap penerbitan buku
ini, yakni Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan
Balai
Penelitian
Kehutanan
Manokwari
yang
bersedia
menerbitkan karya kami ini; Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc. dan Dr. Ir.
Arif Nirsatmanto (Mantan Kepala Balai) yang telah mendukung
ide-ide kami; Ir. Harisetjono, M.Sc. selaku Kepala Balai saat ini
yang telah membantu sehingga buku ini dapat diterbitkan; Kepala
Kampung Nabunage di Kabupaten Tolikara, Kepala Kampung
Hom-Hom di Kabupaten Puncak Jaya, Kepala Kampung
Anggaduber di Kabupaten Biak dan Kepala Kampung Biniki di
Kabupaten Supiori yang telah mendukung hingga kegiatan
penelitian ini dapat berlangsung; Laboratorum Tanah Fakultas
Pertanian UGM, Laboratorium Gizi dan Pangan Fakultas
xv
Teknologi Pertanian UGM yang telah membantu dalam proses
analisis tanah dan kandungan gizi.
Akhirnya kami menyadari bahwa buku Re-Diversifikasi
Pangan di Tanah Papua (Bagian 2): Pemanfaatan Tujuh Jenis
Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber
Bahan
Pangan di Tanah Papua, masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi
penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini memberikan manfaat
dan
menambah
khasanah
ilmu
pengetahuan
tentang
keanekaragaman dan manfaat flora di Indonesia, khususnya di
Tanah Papua.
Manokwari, November 2013
KL, EB, PAD, WFR, HS, HO, CDH, HYL
xvi
Sambutan Kepala Balai Penelitian
Kehutanan Manokwari
Buku Re-Diversivikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 2):
Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah
Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua ini merupakan
bagian 2 atau lanjutan dari Buku Re-Diversivikasi Pangan di
Tanah Papua (Bagian 1): Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan
Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah
Papua. Sama halnya dengan buku pertama, buku kedua ini juga
merupakan
hasil
sintesa
penelitian
insentif
Peningkatan
Kapasitas Peneliti dan Perekayasa Pada Balai Penelitian
Kehutanan Manokwari Tahun 2011 dan 2012. Buku ini adalah
merupakan karya para penulis yang ditulis berdasarkan hasil
penelitian untuk memperkenalkan keanekaragaman flora dan
pemanfaatannya (etnobotani), terutama jenis-jenis yang termuat
dalam bagian kedua edisi buku ini.
Di dalam buku ini penulis menguraikan secara singkat
tentang status taksonomi, deskripsi jenis, ekologi habitat, potensi
jenis, potensi buah, kandungan gizi, etnobotani, konservasi
tradisional dan prospek pengembangan jenis tumbuhan hutan
penghasil buah potensial untuk bahan baku pangan alternatif
beserta gambar (foto-foto) sehingga mudah untuk dikenal.
Ketekunan para penulis dalam merangkum dan mewujudkan
dalam suatu buku adalah prestasi luar biasa dan merupakan
karya
monumental
yang
sangat
xvii
berharga
bagi
generasi
mendatang. Semoga buku ini merupakan awal yang baik untuk
menghasilkan karya-karya luar biasa berikutnya. Akhirnya
dengan segala keterbatasan yang ada namun dengan tujuan
yang mulia, saya sambut penerbitan buku Re-Diversifikasi
Pangan di Tanah Papua (Bagian 2): Pemanfaatan Tujuh Jenis
Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Bahan Pangan di
Tanah Papua, semoga bermanfaat.
Manokwari, November 2013
Ir. Harisetjono, M.Sc.
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
xviii
I. PENDAHULUAN
Hutan
dan
masyarakat
tradisional
di
Papua
memiliki
hubungan yang sangat erat. Keeratan tersebut nampak dalam
bentuk-bentuk pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan hutan yang
mereka gunakan. Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu
pengetahuan yang tercipta sebagai adaptasi mereka terhadap faktor
ekologis hutan tempat mereka bermukim dan karena mereka berada
di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua faktor
tersebut
telah
menghasilkan
pengetahuan
yang
lingkup
penggunaanya hanya terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal
dengan pengetahuan lokal (local knowledge). Perbedaan cara
pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan jenis tumbuhan yang
dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam zona
hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik, dalam hal ini, memiliki
cara pemahaman yang berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan
hutan.
Pengetahuan
lokal
pemanfaatan
jenis
tumbuhan
akan
terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan
proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik.
Kebudayaan tersebut juga akan bertahan atau berkembang
tergantung
pada
penyesuaian
kebutuhan
kelompok-kelompok
masyarakat tertentu terhadap lingkungannya (Ember dan Ember,
1980). Etnobotani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan pada
suatu suku bangsa, dalam hal ini, menjadi kajian yang menarik pada
beberapa etnik di Papua.
1
Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73
tahun lalu. Menurut Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan
Reed pada tahun 1939 melakukan penelitian di Jayapura dan
sekitarnya, Brass pada tahun 1941 di daerah Pegunungan Tengah
(Paniai dan sekitarnya), Kabery pada tahun yang sama di Jayapura
dan sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada
tahun 1955 di Mappi, Held pada tahun 1957 di Waropen, Oomen
dan Malcolm tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen,
Oosterwal pada tahun 1961 di Mamberamo dan sekitarnya, Couvee
et al pada tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan
sekitarnya),
Kooijman
dan
Reynders
pada
tahun
1963
di
Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya).
Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI),
penelitian
etnobotani
selanjutnya dilakukan oleh Serpenti tahun 1965 di Pulau Kimam,
Lea tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder tahun 1971 di Paniai
dan sekitarnya, Barth tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta
Hatanaka dan Bragge tahun 1973 di daerah yang sama.
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut sangat
membantu dalam menyediakan informasi awal bagi penelitian
selanjutnya. Namun sejauh ini informasi yang dihimpun jarang
ditindaklanjuti, sehingga pengetahuan lokal masyarakat mengenai
sumberdaya hutan terutama jenis-jenis tumbuhan potensial belum
banyak
terungkap.
Penelitian tersebut
sesungguhnya
sangat
menarik karena selain memberikan pengetahuan tentang tumbuhtumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap
2
rahasia
budaya etnik di Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya
bangsa.
Pengetahuan lokal masyarakat Papua mengenai jenis-jenis
tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan telah
menjadi
indikator
penting
perlunya
pengembangan
potensi
sumberdaya hutan non kayu di Indonesia pada dekade terakhir ini.
Sumbangan
yang
diberikan
berupa
peningkatan
ekonomi
masyarakat pedesaan dan perlindungan terhadap sumberdaya
hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut merupakan isyarat bahwa
sudah saatnya potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
mendapat
tempat
tersendiri
dalam
aktivitas
perlu
ekonomi
dan
perlindungan budaya masyarakat lokal. Apabila ditinjau dari sisi
keberlanjutan produktivitas hutan, upaya semacam ini memiliki
resiko perusakan sumberdaya hutan yang sangat kecil.
Menurut Barber et al (1997), pemanfaatan sumberdaya hutan
secara tradisional atau semi tradisional, biasanya tidak membawa
dampak
negatif
terhadap
keanekaragaman
hayati,
namun
permasalahannya adalah luasan hutan Papua terus berkurang
akibat pemekaran kebupaten-kabupaten baru, pembukaan lahan
untuk perkebunan, pembangunan jalan trans Papua dan Papua
Barat dan masih beroperasinya beberapa HPH. Kondisi ini perlu
disikapi dengan kegiatan penelitian potensi HHBK yang digali dari
pengetahuan lokal yang lebih baik. Apabila kegiatan ini tidak
dilakukan sesegera mungkin, maka pengetahuan lokal yang saat ini
masih ada akan hilang sejalan dengan hilangnya kawasan-kawasan
hutan.
3
Menurut Whittmore (1966) dalam Powell (1976), studi
etnobotani mengenai jenis tumbuhan penghasil bahan pangan
khususnya yang berasal dari
biji dan buah-buah hutan kurang
mendapat perhatian dari para ahli botani, pertanian dan ahli gizi,
padahal pada masa lalu sumber makanan tambahan (suplement
food) yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan memiliki
nilai penting dalam budaya beberapa etnik di wilayah New Guinea.
Beberapa pengetahuan lokal Papua mengenai pemanfaatan
biji dan buah-buahan hutan sebagai bahan makanan, masih sangat
terbatas. Disisi lain, aplikasi kajian etnobotani, khususnya bahan
pangan yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan kurang
mendapat perhatian dan tindaklanjut dari pemerintah pusat maupun
daerah. Nugroho dan Murtijo (2005), berpendapat bahwa pada
umumnya masyarakat lokal memiliki konsepsi tersendiri terhadap
pemanfaatan sumberdaya hutan dan konsep seperti ini tidak dimiliki
oleh orang di luar etnis Papua, seperti yang dimiliki masyarakat etnik
Dani di Wamena, Lani di Tolikara, Biak di Pulau Biak serta Biak di
Pulau Supiori. Permasalahan yang muncul adalah apakah potensi
jenis-jenis tumbuhan penghasil bahan pangan masih potensial di
hutan
alam
Papua?
dan
apakah
masyarakat
lokal
masih
memanfaatkan tumbuh-tumbuhan tersebut sebagai sumber bahan
pangan alternatif? untuk menjawab masalah tersebut maka sangat
diperlukan
penelitian
dalam
upaya
mengumpulkan
informasi
pemanfaatan dan keberadaan jenis tumbuhan tersebut di alam.
Adanya kekhawatiran terhadap krisis pangan dunia yang
disebabkan oleh perubahan iklim secara global, mengakibatkan
4
pemerintah mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan ketahanan
pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau pangan lokal
sebagai bahan makanan dan sumber energi untuk mengantisipasi
krisis pangan dan energi global. Sejumlah penelitian eksploratif
sesungguhnya telah dilakukan di Tanah Papua baik oleh lembagalembaga pemerintah maupun non pemerintah.
Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan informasi
jenis (kepastian status taksonomi), ekologi habitat, potensi tegakan,
struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi bahan makanan,
etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan peluang
pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial
sebagai diversifikasi bahan pangan di Tanah Papua. Informasi ini
diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan selanjutnya
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pedesaan di Tanah Papua.
5
II. KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA
A.
Potensi Jenis Endemik
Tanah Papua yang merupakan sebagian dari Pulau New
Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui
dengan baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman
hayati yang tertinggi di dunia, kawasan ini masih tersimpan banyak
misteri terutama tentang kekayaan jenis tumbuhan (flora), yang
menurut perkiraan para ahli jumlahnya tertinggi pada kawasan flora
malesiana (Petocz, 1987).
Menurut Primak (1998), keragaman flora yang terdapat pada
suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas
serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah
hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau
dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz
(1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun formasi hutan
hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan
famili yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di
dunia. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa
tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat
dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini
kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti,
belum
dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya.
Demikian
pula
pemanfaatan
dalam
6
rangka
peningkatan
kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat
tradisional.
Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan
sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan
atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah :
1. Paijsman (1976), marga Angiospermae sebanyak 1.465 telah
tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan 9.000 jenis (spesies)
2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalam Petocz (1987), jumlah
flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 jenis (spesies)
3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora
seluruh Papuasia (termasuk semua famili) diduga melampaui
20.000 jenis (spesies)
4. Jhons (1997), keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat
tinggi 20.000-25.000 jenis (spesies)
Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis (spesies) flora
Tanah Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan
Indonesia secara singkat dapat ditampilkan sebagai berikut
(Steenis-Kruseman, Cyclopedia of Botanical Exploration in Malesia,
Flora Malesiana I (1).1950) :
1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 jenis (spesies)
2. Kalimantan (Borneo) : antara 10.000-15.000 jenis (spesies)
namun berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan
25.000 jenis (spesies) tumbuhan berpembuluh (tumbuhan
berkayu dan non kayu)
3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 jenis (spesies)
tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu)
7
4. Sulawesi (Celebes)
: diperkirakan 5.000
jenis
(spesies)
tumbuhan tinggi dan 2.100 jenis diantaranya tumbuhan berkayu.
5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya
tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari Maluku dan 2.900
berasal dari Maluku Utara
6. Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumba, Sumbawa, NTT, Timor,
Alor) : belum dapat diperkirakan jumlahnya
Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan jenis
(spesies) tumbuhan, maka Papua berada pada urutan paling tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya, setelah itu Kalimantan dan
Sumatera. Perbandingan tersebut secara lengkap disajikan pada
Tabel 1. Data tersebut akan berubah sejalan dengan perkembangan
penelitian taksonomi di Tanah Papua dan masing-masing daerah di
Indonesia.
Keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua dengan kisaran
20.000-25.000 jenis (spesies), merupakan daerah yang memiliki
keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini sejalan
dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa dengan
penelitian taksonomi lanjutan, pasti jumlah keanekaragaman jenis
flora di Tanah Papua akan bertambah lagi sampai melampaui
10.000 dalam tahun-tahun mendatang. Berdasarkan total perkiraan
tersebut maka hanya sebagian saja yang sudah dikenal terutama
dari status taksonominya dan dimanfaatkan secara luas oleh
masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan mereka.
Disisi lain, kurangnya perhatian pemerintah terhadap data
base keanekaragaman hayati di Tanah Papua menyebabkan laju
8
perkembangan taksonomi dan etnobotani sangat lambat bahkan
seperti hampir dilupakan.
Tabel 1. Kekayaan jenis (spesies) endemik flora di beberapa
daerah di Indonesia
Wilayah
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Sunda kecil
Maluku
Papua
Kekayaan Spesies
Endemik
820
630
900
520
150
380
1030
Persentase
Spesies Endemik
(%)
11
5
33
7
3
6
55
Sumber : FAO/Mackinnon (1981) dalam Kusmana dan Hikmat 2005
Tabel 2 menunjukan jumlah koleksi herbarium selama kurun
waktu Tahun 1817-1950, tertinggi di Jawa dan terendah di Nusa
Tenggara. Kerapatan koleksi tertinggi di Maluku dan terendah di
Papua (New Guinea). Selama kurun waktu Tahun 1951-2008,
jumlah koleksi herbarium tertinggi di Kalimantan dan terendah di
Papua. Hal ini menunjukan bahwa penelitian dan ekspedisi
taksonomi, termasuk pengumpulan spesimen di Tanah Papua masih
sangat rendah sehingga perlu untuk ditingkatkan.
9
Tabel 2. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Papua dan beberapa daerah di Indonesia
TAHUN 1817 - 1950
TAHUN 1951 - 2008
LUAS
2
(KM )
JUMLAH
NOMOR
KOLEKSI
HERBARIUM
RATA-RATA
NOMOR
KOLEKSI
2
PER 100 KM
JUMLAH
NOMOR
KOLEKSI
HERBARIUM
JUMLAH
NOMOR
KOLEKSI
HIDUP
2.980.155
196.755
3,6
2.150
(Papua)
946
(Papua)
Maluku
(Moluccas)
63.575
27.525
43
22.216
1.173
Sulawesi
(Celebes)
182.870
32.350
18
15.420
1.834
Nusa Tenggara
98.625
24.546
25
4.365
3.638
Kalimantan
(Borneo)
739.175
91.550
12
28.820
(Kalimantan)
2.739
(Kalimantan)
Jawa
(Java)
132.474
247.522
25
4.363
3.638
Sumatera
(Andalas)
479.513
87.900
18
26.966
3.357
PULAU
Papua
(New Guinea)
Sumber : Kartawinata, 2010
10
Dalam buku bagian pertama telah disebutkan ada 4
kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang
belum banyak diteliti, yaitu : Kabupaten Teluk Wondama yang
terletak pada “leher burung” pulau Papua, Kabupaten Sarmi yang
terletak di bagian tengah pantai Utara, Kabupaten Jayapura yang
terletak di bagian Timur pulau Papua dan Kabupaten Raja Ampat
yang merupakan wilayah kepulauan di “kepala burung (Vogelkop)”
pulau
Papua
memiliki
arti
yang
strategis
dalam
potensi
keanekaragaman hayati, dimana memiliki hutan dataran rendah
yang sangat luas dengan tipe ekosistem dari pantai sampai
pegunungan tinggi.
Selain ke 4 kabupaten tersebut, pada buku bagian kedua ini
akan dibahas 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman
hayati yang belum banyak diteliti yaitu Kabupaten Jayawijaya,
Kabupaten Tolikara, Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten
Supiori. Ke 4 kabupaten tersebut juga memiliki etnik atau suku yang
cukup beragam dengan budaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan
hutan penghasil buah-buahan potensial sebagai bahan pangan yang
cukup unik. Beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai
bahan pangan adalah jenis tumbuhan endemik (hanya terdapat di
Tanah
Papua
merupakan
saja)
jenis
dan
indigenous
tumbuhan
asli
(native
Tanah
species)
Papua
yang
dengan
penyebarannya selain di Tanah Papua, juga terdapat di Maluku
(Moluccas), Sulawesi (Celebes), Jawa (Java), Sumatera (Andalas)
dan Kalimantan (Borneo).
11
B.
Kondisi Saat Ini
1
Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 276 , dan dari sini
jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka ada 276
suku bangsa asli di Tanah Papua. Dari 276 suku bangsa dan
bahasa tersebut, 5 di antaranya sudah tidak ada lagi (punah),
karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Artinya hanya tertinggal
271 suku bahasa dari suku-suku tersebut. Saat ini telah ditemukan
beberapa suku terasing di Tanah Papua sehingga jumlah suku-suku
bangsa di Tanah Papua sudah tentu akan bertambah. Salah satu
suku terasing yang dimaksud adalah Suku Korowai di Kabupaten
Mappi yang hidup di atas pepohonan dan dikenal dengan “manusia
pohon” (the tree people).
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 1. Rumah orang Korowai yang merupakan suku terasing di
Kabupaten Mappi
1)
Data Summer Institute of Linguistik, tahun 2011
12
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 2.
Potret laki-laki Korowai dengan panah sebagai alat
berperang dan berburu
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 3. Perempuan
Korowai di dusun sagu, mereka
sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarganya
13
Bahasa asli yang berjumlah 271 tersebut dapat dikategorikan
2
ke dalam dua kategori phylum (golongan bahasa) yakni, golongan
(phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan golongan (phylum)
bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam
phylum Melanesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu
umumnya, sedangkan bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum
Papua adalah khas Papua yang umumnya berada di daerah Papua
dan Papua New Guinea serta beberapa tempat lainnya seperti di
Pulau Timor, Pulau Pantar, Pulau Alor dan Halmahera Utara.
Sejarah antropologi etnik Papua mencatat bahwa secara
umum etnik Papua yang hidup pada wilayah sungai, muara, pantai
dan hutan dataran rendah memiliki bahan pangan pokok adalah
sagu (Metroxylon sagu) dan umbi-umbian seperti talas, kumbili,
ketela pohon (kasbi) dan ketela rambat (batatas). Sedangkan etnik
Papua yang hidup pada wilayah pegunungan umumnya memiliki
bahan pangan pokok umbi-umbian.
Namun sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) serta pemekaran wilayah menjadi kabupaten
baru, saat ini boleh dikatakan hampir semua etnik di Papua telah
meninggalkan bahan pangan pokok mereka dan beralih ke beras
yang merupakan bahan pangan pokok nasional. Salah satu
alasannya adalah masyarakat tidak sabar menunggu hasil panen
dari kebun mereka yang menurut mereka waktunya lama. Mereka
lebih tertarik pada beras yang sudah tersedia di pasar. Selain itu
2)
Lihat Ajamiseba dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk
(editor-Koentjaraningrat)
14
menurut mereka nasi rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan
sagu dan umbi-umbian.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
Gambar 4.
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.), salah satu jenis bahan
pangan pokok etnik Papua
Program beras miskin (RASKIN) yang merupakan program
pemerintah saat ini, dianggap oleh bebarapa pengamat pangan
nasional sebagai faktor utama ketergantungan masyarakat sehingga
mereka tidak melakukan kegiatan perladangan (berkebun). Hal ini
telah mengakibatkan lemahnya ketahanan pangan lokal di Tanah
Papua karena adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Bahkan dalam upacara-upacara adat beberapa etnik Papua, nasi
(beras) disajikan sebagai bahan pangan utama sedangkan sagu dan
umbi-umbian disajikan sebagai bahan pangan alternatif saja.
15
Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012
Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012
Gambar 5. Proses pengolahan sagu menjadi aci sagu yang
merupakan bahan pangan pokok etnik Papua
16
Masyarakat etnik Papua saat ini yang memanfaatkan bahan
pangan lokal sudah sangat minim sekali. Umumnya mereka yang
memanfaatkan bahan pangan lokal adalah mereka yang hidup pada
daerah-daerah yang sulit di jangkau seperti daerah pegunungan
tengah dan daerah kepulauan serta mereka yang berasal dari
ekonomi lemah.
A
A
B
C
Dokumentasi : Krisma Lekitoo,
2012
Gambar 6. Umbi-umbian bahan pangan pokok etnik Papua ;
A. kumbili; B. keladi; C. kasbi (ketela pohon)
17
Masyarakat akan kembali mengkonsumsi bahan pangan lokal
jika musim paceklik atau persediaan beras di pasar habis akibat
sulitnya transportasi (akses) karena jalan yang terputus atau
gelombang laut yang besar. Namun setelah persediaan beras ada,
masyarakat akan kembali lagi untuk mengkonsumsi beras tersebut.
Di
era
otonomi
saat
ini,
terutama
dengan
adanya
perkembangan pemekaran wilayah di Tanah Papua, merupakan
saat yang tepat untuk kembali menginventarisasi semua potensi
sumberdaya
khususnya
flora
yang
ada
demi meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akhirnya akan bermuara bagi
kesejahteraan rakyat tanpa harus melupakan aspek kelestariannya.
Agar dalam pemanfaatan sumberdaya tumbuhan tidak menimbulkan
dampak-dampak negatif yang merupakan ancaman bagi kelestarian
jenis-jenis tumbuhan itu sendiri di masa depan sangat perlu
ditumbuhkan pemahaman yang dalam tentang arti dan peranan
sumberdaya lokal tersebut, sehingga pembangunan yang dijalankan
akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan alam tersebut.
Budaya yang bersumber dari lingkungan hutan sedang
berada dalam ancaman seiring laju kerusakan hutan yang semakin
cepat. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2001,
dari 21,9 juta ha hutan produksi 12 juta ha telah diberikan kepada 54
pemegang HPH sedang 11% dari luasan tersebut bertumpang tindih
dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi (Anggraeni dan
Watopa, 2005). Sedangkan rata-rata hutan yang ditebang per
tahunnya adalah 52.000 ha.
18
Kemerosotan luas hutan di Tanah Papua dipicu oleh
pemekaran wilayah dan rencana pembangunan infrastruktur dan
kebun kelapa sawit. Sampai dengan tahun 2006 sudah dimekarkan
18 kabupaten baru di Tanah Papua. Jumlah ini bertambah menjadi
19 setelah Mamberamo Raya dimekarkan. Pada akhir tahun 2007
disetujui juga 6 kabupaten pemekaran lain, sedangkan yang masih
dalam proses pengurusannya berjumlah 4 kabupaten baru, rencana
pembukaan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit, pemukiman,
pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat.
Konsekuensi
yang harus dihadapi adalah terjadinya eliminasi luasan hutan yang
sangat besar. Luasan hutan dimaksud banyak mengandung
sumberdaya hutan dengan nilai budaya yang masih memerlukan
perhatian untuk digali manfaatnya.
Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan Negara
Indonesia, belum
banyak
penelitian mengenai
potensi lokal
masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan tumbuhan
hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari keterlibatan
masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber informasi bagi
pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru yang masih
potensial.
Informasi
pengembangan
ini
diharapkan
jenis-jenis
menjadi
tumbuhan
bahan
hutan
acuan
penghasil
bagi
buah
potensial untuk bahan baku pangan lokal di Tanah Papua dalam
rangka pemenuhan ketahanan pangan lokal, kebutuhan pangan
masyarakat pedesaan, konservasi, budidaya serta peningkatan
manfaat jenis tumbuhan tersebut.
19
C. Status Pemanfaatan Oleh Etnik Papua
Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan
oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun
temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional
masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam
tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk tatanan adat
istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut terlihat dari
berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya
dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan sandang,
bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain. Sistem
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam tumbuhtumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat penting dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pengetahuan tentang
pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan budaya bangsa
berdasarkan pengalaman, yang secara turun temurun telah
diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi berikutnya
termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Oleh
karena itu warisan tersebut sangat perlu dijaga dan dimanfaatkan
dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau alternatif yang dapat
ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat dikatakan sebagai
generasi yang bertanggung jawab karena menjamin keberadaan
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
20
III. SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA
A. Jenis Tumbuhan Penghasil Buah Potensial
Hasil
penelitian
etnobotani
yang
telah
dilakukan
oleh
beberapa peneliti (Whiting dan Reed tahun 1939, Brass 1941,
Kaberry 1941, Luyken dan Koning 1955, Held 1957, Oomen dan
Malcolm 1958, Oosterwal 1961, Couvee et al 1962, Pospisil 1963,
Serpenti 1965, Lea 1965 dan 1966, Helder 1971, Barth 1971 dan
Hatanaka dan Bragge 1973) menunjukan bahwa terdapat 225 jenis
tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan. 115 jenis
tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magic, 39 jenis
dimanfaatkan untuk
pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis
dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat
luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38 jenis
dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis dimanfaatkan
sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis dimanfaatkan
sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis dimanfaatkan
sebagai obat malaria.
Lekitoo et al (2008), mencatat 40 jenis tumbuhan hutan yang
buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan di Taman
Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari. Sirami et al
(2009), mencatat terdapat ± 35 jenis tumbuhan hutan yang buahnya
dimanfaatkan oleh masyarakat Waropen sebagai bahan pangan.
21
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan spesimen
herbarium diketahui bahwa tujuh jenis tumbuhan hutan penghasil
buah potensial sebagai bahan pangan di Tanah Papua yang
dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (Dani, Lani, Biak dan
Supiori) adalah sebagai berikut :
B.
1.
Markisa (Passiflora lingularis L.)
2.
Buah Negri (Passiflora edulis Sims.)
3.
Terong Belanda (Cyphomandra betaceae Sendt.)
4.
Woromo (Pandanus brosimus Merril & Perry)
5.
Gawen (Pandanus julianettii Mart.)
6.
Kaum (Burckella obovata (Forst.) Pierre)
7.
Aibon (Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk.)
Pemanfaatan Oleh Beberapa Etnik Papua
Buah markisa (Passiflora lingularis L.), buah negri (Passiflora
edulis Sims.) dan terong belanda (Cyphomandra betacea Sendt.)
dimanfaatkan daging buah dan bijinya oleh masyarakat Suku Dani di
Wamena Kabupaten Jayawijaya sebagai sumber vitamin C, buah
kelapa hutan yaitu woromo (Pandanus brosimus Merril & Perry) dan
gawen (Pandanus julianettii Mart.) dimanfaatkan bijinya oleh
masyarakat Suku Lani di Kabupaten Tolikara sebagai sumber lemak
atau seperti kelapa pantai (Cocos nucifera), buah kaum (Burckella
obovata
(Forst.)
Pierre
dimanfaatkan
daging
buahnya
oleh
masyarakat Suku Biak di Pulau Biak Kabupaten Biak Numfor
sebagai bahan pangan sumber lemak atau seperti buah alpukat
(Persea americana), buah aibon (Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk.)
22
dimanfaatkan daging buahnya oleh masyarakat Suku Biak di
Kabupaten Supiori seperti tepung sebagai sumber karbohidrat .
Gambaran umum (sosio-geografis), deskripsi botani, ekologi
habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan
gizi, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan
prospek pengembangan dari tujuh jenis tumbuhan hutan penghasil
buah potensial sebagai bahan pangan tersebut secara sistematik
akan diuraikan lebih lanjut pada halaman berikutnya dari buku ini.
23
Gambar 7. Markisa (Passiflora lingularis L.)
24
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
IV. MARKISA (Passiflora lingularis dan Passiflora edulis)
SERTA PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI
KABUPATEN JAYAWIJAYA
Markisa adalah jenis tumbuhan penghasil buah di daerah
Wamena dan Pegunungan Tengah yang telah lama dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai bahan makanan berupa buah segar.
Markisa pada daerah Wamena dan Pegunungan Tengah
umumnya terdiri atau terdapat 2 jenis yaitu jenis yang sering disebut
oleh masyarakat Wamena dan Pegunungan Tengah dengan sebutan
”markisa” atau dikenal dengan nama ilmiah Passiflora lingularis L. dan
jenis yang sering disebut oleh masyarakat Wamena dan Pegunungan
Tengah dengan sebutan ”buah negri” atau dikenal dengan nama
ilmiah Passiflora edulis Sims. Berdasarkan karakter morfologi daun
dan rasa buah dari kedua jenis tersebut, dapat dibedakan
berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut :
a. Liana parenial atau tumbuhan membelit, daun berbentuk bulat oval,
tidak bercangap, daun tipis, permukaan daun halus, buah rasanya
manis......................................................... Passiflora lingularis L.
b. Liana parenial atau tumbuhan membelit, daun berbentuk bulat
oval bercangap 3, daun agak tebal, permukaan daun kasar, buah
rasanya asam........................................... Passiflora edulis Sims.
25
4.1. Buah Markisa (Passiflora lingularis L.)
A. Deskripsi Botani
Pasiflora lingularis L.
(Pasifloraceae)
Nama dagang
Nama daerah
: markisa
: markisa
Perawakan: Tumbuhan merambat, liana parenial, biasanya membelit
pada pohon inang, panjangnya mencapai 12–15 m. Batang utama
silindris, lurus, berlekuk dan kadang-kadang berpilin dan berbuncak
untuk tumbuhan dewasa. Permukaan pepagan luar licin, bersisik dan
mengelupas kecil-kecil atau kasar bagi tumbuhan yang sudah
dewasa, berwarna hijau muda keputihan atau coklat muda. Takikan
batang pepagan tebalnya 4–5 mm, tidak bergetah, pepagan dalam
lunak sampai keras, berwarna kuning jingga atau kuning muda. Daun
tunggal, kedudukan daun selang-seling, bentuk daun membundar
telur, pangkal daun berbentuk jantung, simetris, ujung meruncing, tepi
daun rata, gundul, seperti kulit, panjang daun 10–20 cm, lebar 7–15
cm, panjang tangkai daun 3,5–6 cm. Urat daun sekunder tenggelam
pada permukaan atas. Stipula berbentuk segitiga, panjang 1,5–2,5
cm,
lebar
1–1,5
cm.
Perbungaan
berbentuk
tunggal
atau
berpasangan, biasanya terdapat pada ketiak daun atau batang pada
cabang dan ranting.
Bunga beraturan, tunggal atau berpasangan
3–5 pada satu cabang, berkelamin 2, kelopak umumnya 5, mahkota
5, bakal buah menumpang, beruang 1, bakal biji banyak. Buah
berbentuk oval seperti telur, panjang buah 5–7 cm dan lebar 3–5 cm,
26
tidak membuka. Biji banyak, berukuran kecil seperti biji tomat
(Lycopersicum esculenta)
Daun
Stipula
Bakal bunga
Bunga
27
Bunga mekar
Buah muda
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 8. Karakter morfologi markisa (Passiflora lingularis L.)
B. Kondisi Sosio-Geografi
Kabupaten Jayawijaya dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Provinsi Otonom Irian
Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, Kabupaten Jayawijaya terletak
pada garis meridian 137°12'-141°00' Bujur Timur dan 3°2'-5°12'
Lintang Selatan yang memiliki daratan seluas 52.916 km², merupakan
satu-satunya Kabupaten di Provinsi Irian Barat (pada saat itu) yang
wilayahnya tidak bersentuhan dengan bibir pantai. Kabupaten
Jayawijaya berada di hamparan Lembah Baliem, sebuah lembah
aluvial yang terbentang pada areal ketinggian 1500-2000 m di atas
permukaan laut.
28
1. Pengantar
Kondisi
sosial
budaya
di
daerah
Pegunungan
Tengah
umumnya dan daerah Wamena khususnya di abad 21 ini jauh
berbeda dari kondisi sosial budaya pada abad ke-20 yang lalu. Pada
abad ke-20 lalu terutama ditahun-tahun awal daerah ini bersentuhan
dengan pembangunan, baik dengan pemerintah Kolonial Belanda
maupun dengan pemerintahan Republik Indonesia yakni sekitar tahun
1950-an dan 1960-an, daerah Wamena merupakan salah satu daerah
yang sangat terisolasi dan eksotik. Pandangan tentang Wamena yang
terisolasi dan eksoktik ini digambarkan melalui lingkungan alam yang
luar biasa sulit dijangkau karena cara satu-satunya untuk masuk ke
wilayah ini adalah dengan menggunakan pesawat terbang. Lokasi
kota Wamena juga terletak di sebuah lembah besar yang disebut
lembah Baliem dan dialiri oleh sebuah sungai besar yang juga diberi
nama sungai Baliem.
Kota Wamena dikelilingi oleh tebing-tebing
tinggi dan curam yang dihiasi oleh kebun-kebun penduduk setempat.
Berdasarkan hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika
Wilayah V Jayapura, Balai Wamena Tahun 2008, melaporkan bahwa
suhu udara rata-rata di wilayah Kabupaten Jayawijaya selama tahun
2008 mencapai 19,3⁰C dengan kelembaban udara rata-rata sekitar
80%. Dapat dipastikan bahwa di daerah Kabupaten Jayawijaya
termasuk kategori daerah dingin. Ini juga dapat dilihat dari nilai suhu
minimum Kabupaten Jayawijaya mencapai 15⁰C sementara suhu
maksimum hanya sekitar 26,2⁰C. Sedangkan curah hujan rata-rata
yang terjadi yaitu sekitar 190,7 mm, dimana curah hujan tertinggi
tahun 2008 terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 324,4 mm dan
curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli yakni sebesar 71,8 mm.
29
Banyaknya hari hujan rata-rata di Kabupaten Jayawijaya yaitu 24 hari,
namun pernah juga hampir mencapai sebulan, yaitu pada bulan
Februari 2008 hingga 28 hari hujan.
Hujan kerap kali terjadi
di
wilayah ini karena kondisi topografi yang bergunung-gunung dan
banyak perbukitan sehingga sulit dibedakan musim secara jelas.
Salah satu keunikan dari suku Dani yang mendiami lembah
Baliem ini adalah pakaian tradisionalnya yang terkenal dengan nama
koteka yaitu sejenis labu panjang yang digunakan untuk menutup
penis laki-laki. Selain itu, model rumah tradisional “honai” yang
bentuknya bulat dan tertutup rapat. Meskipun hampir sebagain besar
laki-laki Dani di lembah Baliem tidak lagi menggunakan koteka dan
banyak rumah di lembah tersebut yang sudah tidak lagi berbentuk
honai, namun hingga kini Ikon koteka dan honai
masih menjadi
simbol utama jika berbicara mengenai kebudayaan Wamena. Bahkan
banyak orang luar yang kurang memahami Papua, lazimnya
menganggap koteka dan honai merepresentasi kebudayaan Papua
umumnya. Bukan itu saja, sejumlah keunikan budaya orang Dani di
lembah besar Baliem ini juga bisa terlihat dari bagaimana mereka
bercocok tanam. Kebun-kebun mereka dibangun di atas tebing-tebing
gunung, atau di dataran dengan dipagari batu-batu besar dan kayukayu yang disusun rapi. Salah satu ritual penting dari suku ini adalah
pesta babi merupakan suatu pesta yang penting dalam kehidupan
sosial budaya orang Dani di lembah ini.
2. Lembah Baliem dan Orang Dani
Lembah Baliem terletak kurang lebih 1.600 meter di atas
permukaan laut. Kontak pertama orang Dani dengan orang asing
30
5
(orang Eropa) pada tahun 1909 ketika suatu expedisi bernama Zuid
Nieuw Guinea Expeditie di bawah pimpinan Lorentz melalui pantai
selatan (melalui daerah Asmat) mengunjungi penduduk
mendiami daerah di sebelah Selatan
lembah Baliem.
yang
Kemudian
diikuti oleh dua ekspedisi susulan lainnya, juga dari daerah yang
sama, yakni ekspedisi militer tahun 1911 dan ekspedisi lanjutan dari
ekspedisi tahun 1909, yang dilakukan pada tahun 1912-1913.
Kontak selanjutnya pada tahun 1954 para pekabar Injil dari
CAMA (Christian and Missinaries Alliance) membuka pos pertama di
Lembah Baliem. Sejak itu berdatanganlah para pekabar Injil dari
aliran-aliran Gereja Protestan seperti RBMU (Regions Beyond
Missionary Union), TEAM (The Evangelical Alliance Mission),
pekabar-pekabar
dari
Gereja
Katholik
Roma
dan
kemudian
pemerintah (Belanda) masuk bertugas di daerah tersebut.
Orang Dani diperkirakan menempati lembah Baliem kurang
lebih 9000 tahun SM yang mana didasarkan pada penemuanpenemuan arkeologis di bagian Timur Pegunungan Tengah di Papua
6
New Guinea (lihat White, 1972:147, dikutip Heider, 1979:23) . Lebih
jauh hipotesa Heider mengenai kehadiran orang Dani di lembah
Baliem, bahwa sebelum orang Dani menjadi penduduk lembah
tersebut mereka hidup sebagai peramu sagu dan dan pemburu di
daerah berbukit-bukit dataran rendah. Ketika mereka mengenal
tanaman-tanaman pangan seperti, keladi, ubi manis, dan pisang
maka berpindahlah mereka ke daerah bertanah kering yang letaknya
lebih tinggi (kurang lebih 1600 m diatas permukaan laut) dan
3)
4)
Mansoben, 137 :1995
Dalam Mansoben 1994 :139)
31
disanalah mereka melakukan aktivitas pertanian. Akhirnya mereka
tiba di lembah Baliem yang hingga kini menjadi tempat hunian mereka
(Heider, 1979:32).
Mengenai bahasa yang digunakan orang Dani di lembah
Baliem sesungguhnya mereka mengujar satu bahasa yang disebut
bahasa Dani. Namun demikian, bahasa Dani ini dibagi lagi atas tiga
sub keluarga bahasa yakni, sub keluarga Wano, sub keluarga Dani
Pusat dan sub keluarga Nggalik-Dugawa. Adapun sub keluarga Dani
Pusat terbagai lagi atas dua dialek, masing-masing dialek Dani Barat
dan dialek Grand Valley Dani (Lembah Besar Dani). Dialek Dani Barat
sering juga disebut bahasa Laany yang terdapat di Baliem Utara
Lembah Swart, Yamo, Nogolo, Ilaga, Beoga, Dugindagu, Kemandaga
dan Bokondini, di bagian atas Grand Valley, di sekitar hulu Sungai
Hablifuri, Kimbim dan lembah-lembah Bele atau Ibele. Dialek Grand
Valley Dani terdapat mulai dari daerah pegunungan Pyramid sampai
ke sungai-sungai Samenage di daerah perbatasan Barat Laut dan
agak sedikit ke bawah di sungai Wet di daerah batas Timur–Laut
(Bromley, 1973:6). Adapun bahasa Dani dikategorikan ke dalam
kategori Western Highland Phylum, salah satu dari empat phylum
7
bahasa-bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua New Guinea .
Nama Dani yang sekarang digunakan untuk menamakan
penduduk di lembah Baliem sebenarnya bukan berasal dari penduduk
asli lembah tersebut. Sebutan Dani sebenarnya diberikan oleh orang
Moni, suatu golongan sub etnik dari orang Ekari (Kapauku), kepada
orang-orang di lembah Baliem, yang artinya “orang asing”. Nama itu
5)
Adapun keempat phylum bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua
New Guinea adalah Central-South New Guinea Phylum, Western Highland
Phylum, North Coast Phylum dan Bird’s Head Phylum.
32
pada mulanya berbunyi “Ndani” dan untuk pertama kalinya didengar
dan digunakan oleh orang asing pada tahun 1926, ketika suatu
ekspedisi bersama orang-orang Amerika dan Belanda mengunjungi
daerah yang didiami oleh orang Moni (Heider, 1979). Adapun
penduduk di lembah Baliem sendiri tidak mau menggunakan nama
Dani, mereka menamakan dirinya sendiri nit (akuni) Palimeke, yang
berarti “kami (orang) dari Baliem” (Camps, 1972:35).
Heider mengatakan, “orang Dani selalu dikerumuni oleh babi
dan ubi manis atau Dioscorea esculanta (1979:35)”. Ucapan ini
secara implisit menunjukkan dua jenis mata pencaharian hidup pokok
orang Dani, yaitu bercocok tanam (dengan ubi manis sebagai
tanaman pokok) dan beternak babi.
3. Berkebun
Dahulu sebelum derasnya pengaruh dari luar, Orang Dani di
lembah Baliem mengerjakan kebun-kebunnya dengan alat sederhana
seperti kayu tugal dan kapak batu. Kebun dikerjakan tidak hanya di
bagian dataran di lembah tersebut, tetapi juga di lereng-lereng
gunung yang tinggi dan curam. Menurut Mansoben, di lembah Baliem
terdapat 3 jenis kebun. Pertama adalah kebun-kebun yang terdapat
pada bagian yang rendah dan datar yang diusahakan secara
permanen. Kedua, jenis kebun yang terdapat pada lereng-lereng
gunung dan ketiga, kebun-kebun yang terdapat di pekarangan rumah,
terletak di belakang suatu kompleks perumahan, uma. Tanah
pekarangan ini biasanya ditanami dengan tanaman tembakau, pisang
dan tebu.
Adapun pada jenis kebun pertama dan kedua, biasanya setelah
dibersihkan dari pepohonan dan belukar, kemudian dibakar lalu
33
ditanami dengan ubi manis sampai dua kali panen.
setelah itu
ditinggalkan dan mereka pindah untuk membuka lahan baru di lokasi
yang lain. Setelah beberapa waktu lamanya tanah bekas kebun itu
dibiarkan dalam masa bera (masa istirahat) hingga ditumbuhi
pepohonan dan belukar yang menyebabkan pulihnya kesuburan,
maka bekas kebun itu bisa diolah kembali. Selain upaya yang
dilakukan
untuk
meningkatkan
kesuburan
tanah
sebagaimana
dilakukan di atas, orang Dani percaya kesuburan tanah dapat terjadi
karena kekuatan magis. Di mana lazimnya di setiap uma terdapat
satu atau dua orang yang memiliki rahasia kekuatan tersebut dapat
menyuburkan tanah, mereka ini disebut aptugure, yang mana sebagai
kepala adat kesuburan tanah. Cara menyuburkan tanah oleh seorang
aptugure ialah dengan cara dia menggosok darah babi keliling kebun
pada saat upacara penanaman dimulai.
Sedangkan tanah yang dikerjakan sebagai kebun biasanya
dikuasai oleh satu, dua atau lebih kelompok kekerabatan yang
bergabung, namun demikian terkadang juga hanya oleh satu
kelompok kerabat saja. Batas-batas hak ulayat masing-masing
kelompok kekerabatan biasanya ditandai oleh unsur-unsur alam
seperti sungai, gunung/bukit, atau jurang. Anggota-anggota tiap
kelompok kekerabatan berhak memakai tiap bagian dari tanah yang
belum atau tidak digunakan oleh anggota lain untuk dirinya sendiri,
asalkan dia memberitahukan pemakaian bidang tanah tadi kepada
kepala kelompok (kain). Jika si pemakai meninggalkannya, maka
anggota lain dari kelompok yang sama dapat menggunakannya tanpa
ada pembayaran ganti rugi. Namun demikian, kadang-kadang jika ada
tanah yang kebetulan merupakan tanah yang dihargai oleh banyak
34
orang , seorang yang hendak bercocok tanam di lokasi tersebut, bisa
memberikan seekor babi kepada si penggarap sebelumnya. Salah
satu bentuk transaksi tanah secara tradisional di mana sebidang
tanah dapat diserahkan oleh si penggarap kepada kerabat lain
dengan cara menerima hasil panen ubi yang pertama dari kelompok
kerabat yang menggarap tanah tersebut (Koentjaraningrat, 1970:1314;cf.Peters 1965).
Pembagian kerja antara pria dan wanita yang berkaitan dengan
proses becocok tanam lazimnya diawali dengan pekerjaan kaum
lelaki kemudian disusul dengan pekerjaan kaum wanita. Kaum pria
menebang pohon, memotong belukar dan membakar pohon-pohon
dan belukar yang telah dipotong dan sudah kering. Pekerjaan pada
tahap berikutnya adalah dikerjakan oleh kaum wanita dimana
membersihkan sisa-sisa kayu dan dahan yang telah dibakar untuk
dibawa pulang ke rumah, digunakan sebagai kayu api untuk
memasak. Tahap berikutnya, kaum pria mencongkel dan membalik
tanah dengan menggunakan tugal. Pekerjaaan selanjutnya yakni
kaum wanita menggemburkan tanah dengan cara memecahmecahkan gumpalan-gumpalan tanah tersebut menjadi halus dengan
menggunakan kayu tugal atau dengan menggunakan tangan.
Pekerjaan yang cukup penting sebelum kebun ditanami adalah
pembuatan pagar keliling kebun dengan tumpukan-tumpukan batu,
selain itu membuat irigasi yang merupakan selokan-selokan kecil
yang mengelilingi dan memotong kebun tersebut. Pekerjaan ini
dilakukan oleh kaum lelaki.
Setelah kebun siap ditanami. Kepala
kelompok (kain) kemudian membagi-bagikan lokasi kebun yang
sudah siap ditanami itu kepada anggota-anggota wanita dari
35
keluarganya,
yakni
ibunya,
isteri-isterinya,
saudara-saudara
perempuannya dan anak-anak perempuannya. Lokasi yang telah
dibagi oleh kain diolah dan diurus oleh para wanita yang sudah
diserahkan
tanggung
jawab
tersebut.
Merekalah
yang
akan
menanam, menyiangi, menyiram hingga akhirnya menuai.
4. Beternak babi
Salah satu aktivitas mata pencaharian orang Dani yang sangat
penting adalah memelihara babi. Setiap orang baik laki-laki maupun
perempuan secara pribadi memiliki sejumlah ternak babi. Meskipun
babi-babi tersebut dimiliki secara personal oleh seorang laki-laki
maupun seorang perempuan, akan tetapi pekerjaan memelihara babi
hanya dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak.
Babi adalah salah satu ternak yang sangat penting hingga
dewasa ini dalam kehidupan orang Dani karena mempunyai banyak
fungsi. Perlu diketahui bahwa setelah adanya kontak dengan dunia
luar yang dibawa oleh pihak gereja dan pemerintah sebagai agen of
development, ternyata ada sejumlah ternak yang dimasukkan ke
wilayah lembah Baliem dan sekitarnya, seperti domba, sapi, kelinci,
dll. Namun demikian, babi tetap memiliki nilai yang paling tinggi dalam
kehidupan orang Dani. Hal ini karena secara tradisional babi selain
dagingnya
merupakan
sumber
protein
utama,
juga
darahnya
digunakan dalam aktivitas magis. Tulang-tulang dan ekornya dibuat
menjadi ornament, tulang rusuknya dibuat menjadi pisau untuk
mengupas ubi, alat-alat kelaminnya diikat sebagai gelang tangan
untuk menolak roh-roh jahat. Salah satu fungsi yang paling penting
dari babi dalam kehidupan orang Dani di lembah Baliem dan
sekitarnya adalah babi digunakan sebagai alat tukar menukar,
36
sebagai bride price (mas kawin) dan fungsi ekonomi perdagangan.
Selain itu jika terjadi konflik antar kelompok, babi juga digunakan
sebagai alat perdamaian. Demikianpun babi digunakan sebagai alat
persatuan antar kelompok-kelompok kekerabatan yang berlainan atau
antar konfederasi dalam upacara-upacara pesta babi yang besar.
5. Struktur Sosial
Orang Dani mengenal dua kelompok utama dalam rangka
pembentukan struktur sosial mereka, yakni kelompok-kelompok
kekerabatan dan kelompok-kelompok teritorial atau wilayah. Namun
demikian ada baiknya kita perlu meninjau ke belakang mite dalam
kehidupan orang Dani di lembah Baliem. Menurut kisah mite tersebut
orang Dani yang ada di lembah Baliem berasal dari sepasang suami
isteri yang muncul dekat sebuah danau yang terletak di sekitar
Kampung Maina, di lembah Selatan. Adapun anak-anak yang berasal
dari pasangan suami isteri tersebut, dibagi menjadi dua kelompok.
Masing-masing kelompok diberi nama wita dan waia. Atas pesan
orang tua tersebut dimana tidak boleh terjadi perkawinan diantara
anggota dalam kelompok yang sama. Perkawinan hanya boleh
berlangsung diantara anggota kelompok yang berlainan, yakni antara
anggota dari kelompok wita berpasangan dengan anggota dari
kelompok waia.
Makna cerita di atas sesungguhnya tercermin dari apa yang kini
menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Dani, yakni adanya
paroh masyarakat (moiety) dan adat eksogami klen dalam kehidupan
orang Dani. Adat eksogami klen antara paroh masyarakat tersebut
menurut Broekhuijse dalam Mansoben (1994:143), melaporkan
bahwa pada orang Mulaik-Hisache di lembah Selatan, jika terjadi
37
hubungan seksual antara anggota dari paroh masyarakat yang sama
diberi sanksi hukuman mati.
Adapun amanat nenek moyang dalam mitos, dua paroh
masyarakat
eksogam haruslah bersifat patrilineal. Artinya garis
keturunan dihitung berdasarkan garis keturunan ayah atau pihak lakilaki. Jadi struktur sosial orang Dani sesungguhnya terbentuk
berdasarkan dua paroh masyarakat yang bersifat eksogami dan
patrilineal.
Dari kedua paroh (moiety) tersebut orang Dani masih terbagibagi lagi ke dalam kesatuan sosial yang lebih kecil yang disebut ukul.
Masing-masing ukul diberi nama lagi misalnya, ukul Wilil, ukul
Heinam, ukul Walilo, ukul Alua, dsb. Kelompok sosial ukul adalah
kelompok kekerabatan eksogami patrilineal tidak fungsional yang
berketurunan dari satu nenek moyang mitos. Menurut Broekhuijse
dalam
Mansoben,
(1994:144,
footnote),
meskipun
anggota-
anggotanya berasal dari moyang mitos yang sama tetapi hal tersebut
tidak mempunyai arti penting bagi para anggotanya dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Contohnya, para anggota dari ukul Wilil yang
tergolong dalam moiety atau paroh masyarakat wita, tinggal tersebar
diseluruh lembah Baliem, membentuk kesatuan konfederasi yang
berbeda-beda
dan
saling
berperang
melawan
sesamanya
(Broekhuijse, 1967:23).
Menurut Heider dalam Mansoben (1995:145), kesatuan wilayah
atau teritorial terbesar yang terdapat pada orang Dani di lembah
Baliem adalah konfederasi (confederation). Kesatuan teritorial aliansi
sebenarnya lebih besar dari konfederasi, namun menurut Heider
(1979:62), tidak dapat dikategorikan sebagai kesatuan teritorial sebab
38
tidak bertahan lama bila dibandingkan dengan kesatuan-kesatuan
teritorial lainnya seperti konfederasi, wilayah bertetangga, gabungan
kompleks dan kompleks. Orang Dani sendiri tidak mempunyai istilah
khusus
untuk
menyebut
konfederasi,
namun
demikian
tiap
konfederasi dinamakan atau disebut menurut nama klen-klen besar
dari mana orang-orang penting berasal. Misalnya, konfederasi
Wilihiman-Walalua, berasal dari empat nama klen besar, yaitu klen
Wilil, klen Himan, klen Walilo dan klen Alua.
Meskipun
sifat
konfederasi
bertahan
lama,
namun
keanggotaannya tidak permanen. Anggota-anggota satu konfederasi
dapat berpindah ke konfederasi lain untuk menetap dan bergabung
dengan teman-temannya dan di tempat baru mereka mendapat tanah
untuk membangun rumah dan untuk berkebun. Satu konfederasi
dapat berpindah dari satu lokasi yang lama ke lokasi yang baru yang
tidak ditempati oleh konfederasi yang lain. Perpindahan konfederasi
tersebut terjadi karena apabila di lokasi yang semula (lokasi lama)
terjadi bencana alam atau peperangan. Sebagai contoh, konfederasi
Wilihiman-Walalua pada tahun 1966 meninggalkan wilayahnya untuk
menempati tempat baru yang tak bertuan yang terletak jauh di
sebelah Selatan lokasi lama yang ditinggalkan. Dapat disimpulkan
bahwa sifat keanggotaan dan wilayah dari konfederasi adalah
fleksibel (Heider 1979:62 dalam Mansoben 1995:145).
Konfederasi bukanlah merupakan kesatuan sosial resmi yang
menguasai tanah atau hak milik. Hanya sedikit saja peristiwa yang
melibatkan seluruh konfederasi. Namun demikian, fungsi formal
konfederasi ialah penggunaan nama konfederasi untuk menyatakan
tempat tinggal atau untuk menyatakan dimana terjadinya peristiwa-
39
peristiwa tertentu yang penting. Satu konfederasi dapat disamakan
dengan satu wilayah geografis yang memiliki batas-batas wilayah
yang jelas dan mempunyai pemimpin yang dikenal sebagai pemimpin
pria berwibawa (big man). Menurut Heider (1979:62), besarnya
konfederasi dapat diatur sehingga setiap orang dari konfederasi dapat
saling mengenal satu dengan lain dan apabila terjadi konflik internal
antar anggota, dapat diselesaikan secara damai. Diseluruh lembah
Baliem terdapat lebih dari 50 konfederasi. Adapun konfederasi yang
paling besar adalah konfederasi Wiliham-Walalua dengan jumlah
anggota lebih dari 1.000 orang yang mendiami wilayah yang luasnya
sekitar 16 km². Selain konfederasi-konfederasi besar terdapat juga
konfederasi-konfederasi kecil yang hanya memiliki beberapa ratus
anggota saja. Ada pula aliansi yang sebenarnya
lebih besar bila
dibandingkan dengan konfederasi, namun demikian sifat aliansi
tersebut tidaklah permanen. Suatu aliansi meliputi suatu wilayah
tertentu dan dipisahkan dari aliansi-aliansi lainnya oleh suatu daerah
yang lebarnya berkisar antara 200–500 meter dan tidak didiami
manusia. Adapun setiap aliansi terdiri dari beberapa konfederasi.
Sebagaimana halnya konfederasi, aliansi juga tidak memiliki nama
khusus dalam kehidupan orang Dani di lembah Baliem. Nama aliansi
dinamakan hanya berdasarkan seorang yang paling berkuasa dan
besar pengaruhnya di antara pemimpin-pemimpin lain di dalam aliansi
tersebut. Jumlah anggota sebuah aliansi meliputi beberapa ribu
orang. Di lembah Baliem terdapat sekitar satu lusin aliansi. Ada dua
fungsi utama aliansi, yakni untuk alasan perang dan pesta babi.
Adapun perang yang biasanya terjadi diantara orang Dani
adalah perang antar aliansi bukan perang di dalam aliansi. Dalam hal
40
fungsi aliansi bagi penyelenggaraan pesta babi yang berlangsung
sekali dalam 5 tahun dengan melibatkan semua anggota aliansi.
Orang yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pesta babi ini
adalah orang yang paling kuat berkuasa dan pengaruhnya besar
diantara pemimpin-pemimpin lainnya. Pemimpin penyelenggaraan
pesta babi inilah yang menjadi pemimpin perang aliansi.
Menurut Heider (Mansoben, 1995:146), kesatuan wilayah lain
yang dikenal di lembah Beliem adalah apa yang disebut Heider
dengan istilah “wilayah bertetangga” (neighbourhood). Sama dengan
konfederasi dan aliansi yang tidak memiliki isitilah khusus dalam
bahasa orang Dani, wilayah bertetanggapun demikian. Walaupun
disebut kesatuan wilayah, namun tidak mempunyai batas-batas
wilayah yang jelas. Kesatuan wilayah ini hanya nampak dalam
interaksi
antar-anggota
konfederasi
yang
berbeda-beda
tetapi
berdekatan letaknya. Orang-orang dari dua konfederasi yang berbeda
tetapi berdekatan tempat tinggalnya dan sering membuat kebun
bersama dan lebih banyak berinteraksi dibandingkan dengan sesama
anggota konfederasi yang jauh tempat tinggalnya.
Selain itu, kesatuan-kesatuan wilayah yang terkecil adalah
gabungan kompleks (compound clusters) dan kompleks (compound).
Suatu gabungan kompleks dibentuk oleh sejumlah kompleks,
sedangkan satu kompleks merupakan satu kompleks perumahan.
Orang Dani menyebut satu kompleks itu sebagai “uma” dan gabungan
kompleks sebagai “o-ukul” (Broekhuijse, 1967:27-29). Kesatuan
wilayah “uma” adalah kesatuan sosial dan politik yang lebih nyata dari
pada kesatuan-kesatuan wilayah lain yang disebut lebih dahulu di
atas.
41
“Uma” dapat dijelaskan sebagai berikut : merupakan sebidang
tanah terbuka dan hampir berbentuk segi empat dengan agak
mengecil pada ujung-ujungnya dan di atasnya dibangun rumahrumah. Di bagian yang mengecil pada salah satu ujung dibangun
rumah laki-laki yang disebut honai. Berhadapan dengan honai pada
ujung yang lain terdapat pintu masuk ke dalam kompleks, sedangkan
di sisi kiri dan kanan dibangun rumah-rumah keluarga, dapur dan
kandang babi. Adapun tujuan penempatan rumah laki-laki (honai)
pada ujung kompleks adalah untuk mengawasi seluruh kompleks dari
musuh yang masuk melalui pintu atau gerbang dari seluruh kompleks.
Tiap “uma” didiami oleh satu keluarga luas virilokal (tempat tinggal
berdasarkan garis keturunan laki-laki), terdiri dari dua orang
bersaudara atau lebih, masing-masing dengan istri-istrinya, anakanaknya, saudara-saudara perempuan dan laki-laki yang belum kawin
serta menantu-menantunya. Di antara satu bangunan dengan
bangunan lainnya dibuat pagar yang menghubungkan. Di bagian
luarnya dibuat pagar yang kuat (kokoh)
kompleks
perumahan
(uma).
Pagar
yang mengitari seluruh
yang
berlapis-lapis
ini
dimaksudkan untuk melindungi penghuni “uma” dari serangan musuh.
Pekarangan yang terdapat diantara dua pagar berlapis itu ditanami
dengan pisang, tembakau dan tebu.
6. Sistem religi
Adapun sistem religi tradisional orang Dani adalah kepercayaan
dan penghormatan pada roh nenek moyang. Upacara sentralnya
adalah dalam aktivitas pesta babi. Makna dari upacara keagamaan
ditujukan kepada konsep mengenai kesejahteraan hidup dan perang.
42
8
Konsep keagamaan yang penting adalah “atoa” . “Atoa” adalah
kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal.
Tidak
hanya
pada
keturunan
laki-laki
tetapi
juga
keturunan
perempuan dapat memperoleh “atoa” dari nenek moyang. Namun
demikian si perempuan yang yang memperoleh “atoa” tidak bisa
meneruskannya kepada keturunan selanjutnya, hanya sampai pada si
perempuan tersebut. “Atoa” juga dapat digunakan oleh seseorang
untuk menjaga kebunnya terhadap pelanggaran-pelanggaran dengan
cara memasang satu tanda pantangan; dan siapa yang melanggar
pantangan tersebut terkena “atoa”. Diyakini bahwa pelanggar yang
terkena “atoa” akan mengalami berbagai bencana, seperti kakinya
bengkak, digigit ular atau terkena kecelakaan lainnya.
“Atoa juga dapat terkena si pemiliknya jika si pemiliknya
melanggar satu ajaran adat nenek moyang. “Atoa” juga bisa
digunakan untuk menyembuhkan orang sakit, menolak bahaya,
menyuburkan tanah, memberikan motivasi hidup dan tenaga. Orang
Dani
percaya
“atoa”
itu
terdapat
di
dalam
nafas
manusia.
Menghembuskan nafas sering digunakan untuk menyembuhkan
penyakit, menyadarkan kembali orang yang pingsan dan sebagainya.
Nenek moyang orang Dani sendiri biasanya dilambangkan
sebagai manusia konkrit yang masih mereka kenal, walaupun samarsamar, sekitar tiga atau paling tinggi empat generasi yang lalu yang
diperhitungkan secara patrilineal. Lambang-lambang dari para nenek
moyang tersebut adalah batu keramat berbentuk lonjong yang diasah
indah dan mengkilat, yang mereka sebut sebagai “kaneke”. “Kaneke”
ini biasanya disimpan didalam satu lemari kecil terbuat dari kayu dan
8
Lihat Mansoben 1995 : 148
43
ditutupi dengan daun yang disebut “khakhok”, di tempat di rumah lakilaki (honai) bersama dengan benda-benda keramat lainnya.
Dewasa ini orang Dani sebagian besar telah memeluk agama
Kristen Protestan dan juga Katholik yang masuk ke lembah ini sekitar
tahun 1950-an. Selain itu, sekitar tahun 1980-an juga telah masuk
agama Islam ke wilayah ini. Masuknya agama-agama tersebut ke
lembah ini telah membuat sebuah perubahan yang signifikan dalam
ritual agama tradisional. Kini mereka tidak lagi melakukan ritual
agamanya di honai
tempat dimana “kaneke” disimpan. Tetapi kini
sebagai besar orang Dani pergi beribadah ke rumah-rumah ibadah
seperti gereja-gereja dan mesjid-mesjid yang dibangun di daerah
tersebut. Dalam upacara pesta babi juga salah satu ritual utamanya
adalah ibadah (berdoa) dalam versi agama Kristen dan atau Katholik.
7. Sistem Politik Kain
Menurut Mansoben (1995:149), pemimpin-pemimpin orang
Dani jika diurutkan berdasarkan tingkat-tingkat kesatuan sosial
seperti,
uma,
konfederasi
dan
aliansi,
maka
struktur
kepemimpinannya akan terlihat sebagai berikut : Pada tingkat
kesatuan kompleks
atau “uma” (compound) terdapat seorang
pemimpin yang disebut “kain”. Wewenang “kain” pada tingkat “uma”
adalah hak atas tanah milik “uma”. Dialah yang membagi-bagikan
tanah kepada saudara-saudaranya dan kepadanya juga pembayaran
tanah diberikan. Dia jugalah yang memberikan ijin jika ada orang dari
“uma” lain hendak membuka kebun di atas tanah yang dikuasainya
(Peters, 1975:55).
Kesatuan Politk gabungan kompleks atau “o-ukul” yang sama
dengan desa (kampung) yang merupakan gabungan dari beberapa
44
“uma” juga terdapat seorang pemimpin yang disebut juga “kain”.
Kedudukan sebagai “kain” pada tingkat “o-ukul” (desa/kampung)
ditentukan oleh keberanian yang ditunjukkan seseorang yang
melebihi keberanian yang ditunjukkan orang lainnya dari “o-ukul”-nya
ketika perang. Kepemimpinan disini bersifat informal. Wewenang
seorang “kain” pada tingkat “o-ukul” adalah mengatur masalahmasalah penting yang menyangkut kehidupan politik, ekonomi dan
agama warganya.
Ada lagi kesatuan politik
yang disebut “ap logalek” yang
berada di atas o-ukul. Pada kesatuan “ap logalek” ini terdapat dua
pemimpin, yang masing-masing berasal dari dua cabang klen yang
merupakan inti dan biasanya juga merupakan cabang klen yang
dominan di dalam “ap logalek”. Sebagaimana pada tingkat kesatuan
o-ukul, di sinipun syarat untuk menjadi “kain” atau pemimpin adalah
memiliki sifat keberanian yang melebihi keberanian dari kebanyakan
orang laki-laki di dalam “ap logalek” sendiri.
Kesatuan politik yang lebih besar dari “ap logalek” adalah
“konfederasi”. Seorang pemimpin konfederasi adalah pemimpin yang
mempunyai kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar dari
pemimpin-pemimpin lainnya yang terdapat pada tingkat “ap logalek”.
Peranan utama dari seorang pemimpin (“kain”) pada tingkat
konfederasi
adalah
pemimpin
perang
dan
mensponsori
penyelenggaraan pesta babi. Sedangkan kesatuan politik terbesar
pada orang Dani adalah “aliansi”. Sebuah “aliansi” adalah merupakan
gabungan dari konfederasi-konfederasi dan fungsi utamanya adalah
perang melawan aliansi lainnya. Seorang yang diangkat menjadi
pemimpin aliansi adalah seorang dari para pemimpin konfederasi
45
yang mempunyai kelebihan dan mampu menghimpun konfederasi
lainnya. Seorang pemimpin aliansi juga disebut “kain”.
9
Heider dalam studinya melaporkan bahwa informan-informan
berulang kali menyatakan kepadanya bahwa syarat-syarat seorang
“kain” adalah pertama-tama pernah membunuh seorang musuh di
medan perang. Syarat inilah yang dinyatakan sebagai syarat utama,
sedangkan syarat lainnya seperti mempunyai banyak isteri dan
banyak babi adalah syarat kedua (Heider, 1979:70). Walaupun Heider
sendiri
meragukan
Broekhuijse
10
pernyataan
(1967:76),
tersebut,
terlihat
bahwa
namun
dari
pernyataan
laporan
tersebut
beralasan, karena “21 orang kain” atau pemimpin dari “ap logalek”
yang berbeda-beda, rata-rata pernah membunuh 41 orang musuh.
Keberanian dalam hal perang ditunjukkan dengan cara membunuh
musuh,dan sifat berani tersebut menjadi idealisme dari setiap pemuda
Dani, karena sifat inilah yang mampu mempertahankan kelompoknya
dari serangan musuh. Keberanian inilah yang membuat seorang
pemuda dapat meningkatkan harga diri atau prestise dalam
kelompoknya menjadi “kain”. Modal keberanian inilah yang membuat
seorang pemuda dapat memiliki banyak isteri. Dengan memiliki
banyak isteri, maka seorang laki-laki dapat memiliki banyak babi. Jika
babi banyak
maka akan diakui oleh orang lain, terutama dalam
rangka penyelenggaraan pesta babi yang merupakan ritual penting
dalam kehidupan orang Dani.
Syarat-syarat lain yang dituntut dari seorang “kain” adalah
syarat suka memberi (bermurah hati) dan pandai mengatur pesta
9)
Mansoben 1995 : 150
Ibid Mansoben
10)
46
babi. Kepandaian mengatur pesta babi ini berimplikasi pada
kesanggupan menyatukan semua kelompok yang terlibat di dalam
pesat babi tersebut. Jadi fungsi terselubung dari pesta babi ini adalah
guna memperkokoh solidaritas kelompok, terutama pada kelompok
konfederasi dan aliansi yang berfungsi dalam rangka ekonomi
(perdagangan) dan pertahanan keamanan. Dengan demikian orang
yang mampu memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas
mendapat tempat terhormat yakni sebagai “kain” (pemimpin) dalam
masyarakat Dani yang egaliter.
8. Perubahan kebudayaan
Dari sejumlah unsur dalam kehidupan orang Dani di lembah
Baliem yang dijelaskan di atas, boleh dikatakan sudah banyak yang
kini mengalami perubahan sebagai bagian dari pembukaan isolasi
melalui proses pembangunan yang masuk ke wilayah ini. Proses
pembangunan yang masuk ke wilayah ini mulai dari penanaman nilainilai baru dalam hal keagamaan dengan masuknya tiga agama besar
yakni Kristen, Katholik dan Islam hingga masuknya pendidikan
sebagai peradaban baru yang mengikis habis pola pendidikan
tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di honai-honai adat.
Perubahan semakin meningkat ketika adanya pemekaran wilayah
administrasi pemerintahan baru, baik di tingkat kabupaten, distrik
(kecamatan) maupun kampung-kampung (desa-desa). Berbagai
aksesibilitas seperti, jalan, jembatan, dan lapangan-lapangan terbang
gencar dibuka sebagai konsekuensi dari pembangunan dalam rangka
pemekaran. Lapangan terbang di Wamena (lembah Baliem) kini
terlihat begitu ramai karena berbagai macam jenis pesawat berbadan
kecil dan lebar hampir setiap saat mendarat di lembah yang dulunya
47
begitu sunyi dari sentuhan modernitas. Pesawat-pesawat hercules
dan kargo lainnya setiap hari mengangkut berbagai komoditas ke
wilayah ini, mulai dari sembilan bahan pokok, sandang, alat-alat
kesehatan, bahan bangunan seperti semen, paku, seng, dll, hingga
berbagai alat transport seperti sepeda, sepeda motor, beca, mobil,
truk hingga berbagai alat berat seperti, buldoser, dll hadir di wilayah
ini. Sarana komunikasi-informasi utama di wilayah ini adalah selain,
berbagai media cetak (koran/majalah,dll), juga televisi berbagai
chanel, serta handphone dan internetpun telah tersedia. Selain itu
juga telah tersedia mall dan supermarket (pusat perbelanjaan) seperti
kota-kota lain di Indonesia, meskipun mall/supermaket tersebut tidak
semegah mall-mall lainnya di kota-kota besar di Indonesia dan
ketersediaan barang-barang dagangan tidak selengkap seperi kotakota besar tersebut. Sejumlah hotel dan penginapan telah hadir di
wilayah ini sejak beberapa dekade lalu, demikianpun rumah makan,
restoran, dan sebagainya telah membentuk daerah ini mejadi sebuah
“kota baru” yang tidak dibayangkan sebelumnya. Banyak migran dari
luar lembah Baliem yakni suku-suku tetangga orang Baliem datang ke
tempat ini selain untuk melanjutkan pendidikan tetapi juga untuk
mengadu nasib (mencari pekerjaan) di wilayah “kota baru” ini. Tak
kalah pula, migran dari daerah Indonesia lainnya, seperti suku Bugis,
Makasar, Buton, Jawa, Sumatera dan lain-lain datang ke wilayah ini
untuk berbisnis atau mencari pekerjaan lainnya.
Jadi bisa dikatakan bahwa Wamena (lembah Baliem) yang
beberapa dekade lalu dianggap sebuah daerah yang eksoktif dan
terisolasi dalam konteks Indonesia dan dunia umumnya, namun di
abad kedua puluh satu ini, daerah ini benar-benar telah berubah
48
menjadi sebuah daerah yang berkembang pesat. Di Kota Wamena
sekarang ini sudah sangat jarang kita melihat orang yang berjalan
dengan memakai koteka (pakaian tradisional lelaki), atau di dalam
kota sudah tidak terlihat rumah-rumah honai. Kedua hal tersebut
merupakani simbol dari kehidupan orang Dani di lembah ini.
Perang suku yang beberapa dekade lalu masih gencar
dilakukan antar aliansi, konfederasi, dll, kini nyaris tak terlihat, bahkan
aliansi dan konfederasi itupun kini sudah terlupakan oleh generasi
baru, karena perang bukan lagi sebuah aktivitas utama. Orang
sekarang sibuk mengurus daerah-daerah pemekaran baru. “Kainkain” (para pemimpin) dalam perang tradisional yang melakukan ritual
pesta babi tiap lima tahun sekali, sekarang sibuk mencari uang
membangun relasi untuk mengokohkan kedudukannya sebagai “kain
modern” (pemimpin modern) yakni sebagai gubernur, bupati, kepalakepala dinas, kepala-kepala bagian, kepala-kepala distrik, kepalakepala kampung, pemimpin partai, pemimpin agama, dll. Kesibukan
membangun konfederasi dan aliansi tidak hanya terjadi di sekitar
lembah Baliem antara sesama kelompok di lembah tersebut, tetapi
dibangun hingga ke Jayapura pusat ibokota Provinsi Papua dan
Jakarta Ibukota negara Indonesia. Konfederasi dan aliansi menjadi
begitu luas dan kompleks karena melibatkan berbagai kelompok suku,
kelompok paguyuban, kelompok agama, kelompok kepentingan,
seperti partai politik, para anggota legislatif dan eksekutif serta para
pengusaha.
Demikian Wamena di lembah Baliem dan orang Dani hari ini
tidaklah sebuah wilayah dan suku bangsa yang terisolasi lagi. Daerah
ini dan kebudayaannya sudah banyak yang berubah sebagai akibat
49
dari pertemuan dengan budaya dunia lainnya, dengan orang-orang
dari berbagai belahan dunia, dan dari teknologi komunikasi-informasi
yang sedang menguasai dunia. Itulah Wamena di era Globalisasi ini.
50
Kampung Hom-Hom
Keterangan :
= Lokasi Penelitian
Gambar 9. Lokasi penelitian di Kampung Hom-Hom Distrik Hubikia Kabupaten Jayawijaya
51
C. Ekologi Habitat Markisa
Markisa di Wamena umumnya ditanam pada areal kebun dan
pekarangan rumah. Selain ditanam oleh masyarakat, jenis ini juga
tumbuh liar di areal bekas-bekas kebun, tanah-tanah kosong dan
hutan sekunder atau di pinggiran kawasan hutan.
1. Faktor Fisiografis
Faktor fisiografis yaitu ketinggian tempat dan kelerengan
(topografi) pada habitat markisa disajikan pada Tabel 3. Ketinggian
tempat habitat markisa di kawasan hutan Kampung Hom-Hom
Kabupaten Jayawijaya adalah 1.560–1.780 m dpl. Sesuai ketinggian
tempat tumbuhnya
maka
markisa
digolongkan kedalam
jenis
tumbuhan dataran tinggi.
Tabel 3.
Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat markisa
di Kampung Hom-Hom
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
1.560
1.580
1.720
1.750
1.780
0–3
0–5
5 – 10
10 – 15
15 – 20
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Markisa pada areal pekarangan dan kebun masyarakat di
Kampung Hom-Hom tumbuh baik pada kelerangan 0–20%. Kisaran
kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif sangat datar,
bergelombang ringan dan sedang. Kondisi habitat demikian secara
alami sangat berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas
52
pertumbuhan markisa. Dari hasil pengamatan kualitas pertumbuhan
markisa pada habitat datar umumnya sangat baik dan banyak
terdapat anakan yang tumbuh secara alami yang berasal dari buah
masak yang gugur.
Menurut Heyne (1987), di Jawa Barat markisa tumbuh pada
ketinggian 1.300 sampai 1.700 m dpl. Selain pengamatan habitat
markisa pada Kampung Hom-Hom Distrik Hubikia, pengamatan juga
dilakukan pada habitat markisa di daerah sekitar Wamena. Hasil
pengamatan disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat markisa
di sekitar Wamena
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
1.630 m dpl
1.650 m dpl
1.730 m dpl
1.900 m dpl
2.100 m dpl
05 – 15
10 – 15
15 – 20
20 – 25
25 – 30
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Markisa di daerah Kabupaten Jayawijaya (Wamena) ternyata
dapat tumbuh pada ketinggian sampai 2.100 m dpl dengan
kelerengan sampai 30%. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini
mampu beradaptasi dengan iklim pegunungan yang dingin dengan
kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan sampai
bergelombang berat.
2. Suhu dan Kelembaban
Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata.
Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional akan
53
menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita mengamati
distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat bahwa semakin
ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman tumbuhan semakin
menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak jenis tumbuhan
yang hanya dapat hidup pada suhu hangat atau beriklim tropis.
Tabel 5. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk
pada habitat markisa
Habitat
Suhu
(Cº)
Kelembaban
(%)
Naungan
(%)
1
25
78
70
Bischovia javanica
2
25
78
75
Calliandra calothyrsus
3
24
80
60
Dodonea viscosa
4
23
80
65
Grevillea papuana
5
22
84
50
Bischovia javanica
Pohon Inang
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Antara vegetasi, tanah dan iklim terdapat hubungan erat yang
sifatnya timbal balik dan bersifat dinamik. Tumbuhan jauh lebih subur
pada daerah lembab dari pada daerah kering. Karena lebih banyak
bahan organik yang didepositkan pada tanah lembab dan kenaikan
humus tampak lebih nyata jika suhu lebih rendah. Perbedaan suhu
berhubungan erat dengan adanya perbedaan pelapukan dan
perubahan dalam produk pelapukan (Ardhana, 2012).
Markisa tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan sedang
sampai berat (50–75%) dengan suhu optimum berkisar antara
22–25ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 78– 84%. Adanya
kisaran demikian disebabkan karena markisa di Kampung Hom-Hom
dan daerah Wamena Kabupaten Jayawijaya ditanam oleh masyarakat
54
pada areal pekarangan dan kebun serta tumbuh liar pada habitat
yang terbuka seperti areal kosong dan bekas kebun serta hutan
sekunder.
Iklim berpengaruh tidak hanya kepada vegetasi tetapi juga
kepada tanah. Suhu dan air adalah parameter penting dalam
pembentukan formasi tanah. Sebaliknya vegetasi dan tanah hanya
berpengaruh kecil terhadap iklim, biasanya berhubungan dengan
lapisan udara dekat permukaan saja atau iklim mikro.
Markisa merupakan jenis liana “semi toleran” yang umumnya
melilit atau merayap pada pohon inang. Adanya pohon inang
mengakibatkan jenis ini akan selalu ternaungi sehingga akan
berpengaruh terhadap iklim mikro sekitarnya terutama suhu dan
kelembaban. Jenis ini juga merupakan tipe tumbuhan C3 yang tidak
terlalu membutuhkan cahaya matahari untuk proses pembungaan dan
pembuahan.
55
Grevillea papuana
Calliandra calothyrsus
Dodonea viscosa
Bischovia javanica
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
Gambar 10. Jenis-jenis pohon inang sebagai tempat melilit
markisa (Passiflora lingularis)
3. Keadaan Tanah
Lima faktor utama yang mengatur karakteristik akhir dari tanah
(Brady, 1974) adalah : iklim, organisme, bahan induk, topografi dan
waktu. Sesuai dengan keseimbangan relatif diantara faktor-faktor
tersebut, tanah hampir tidak terbatas macamnya.
Markisa umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan
solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang (± 20 cm) sampai
56
dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berliat dan tanah
berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit
berbatu dan berbatu tetapi markisa yang tumbuh liar kadang-kadang
tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada
habitat rawa (tergenang), baik rawa temporer maupun rawa
permanen.
Habitat markisa dengan kedalaman solum yang tipis (< 10 cm
atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada punggung-punggung bukit.
Sedangkan habitat markisa dengan kedalaman solum sedang
(± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada kaki bukit
dan lembah. Hasil analisis tanah secara lengkap disajikan pada Tabel
6.
Tabel 6.
Kesuburan tanah pada habitat markisa di Kampung HomHom
Parameter
Uji
N tot
N tsd
P tsd
K tsd
Ca tsd
Fe tsd
Mg tsd
Mn tsd
Cu tsd
Na tsd
Zn tsd
pH (H2O)
C/N ratio
Bahan Organik
Nilai
Kandungan
0,31
181,19
14,14
0,54
38,89
5,96
2,85
127,66
6,85
1,23
9,10
7,10
7,62
4,03
Satuan
%
Ppm
Ppm
Me/100 gr
Me/100 gr
Ppm
Me/100 gr
Ppm
Ppm
Me/100 gr
Ppm
pH
%
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
57
Di daerah-daerah yang beriklim lebih kering seperti di Indonesia
bagian Timur, pencucian tidak berjalan intensif sehingga tanahnya
kurang masam dan lebih tinggi kadar basa-basanya (Hardjowigeno,
1987)
Tanah pada habitat buah markisa bersifat netral (pH 7,10),
N total sangat rendah, N tersedia rendah sampai sedang, P tersedia
rendah, Mg tersedia tinggi, bahan organik tinggi, C/N ratio sangat
rendah dan K tersedia sedang.
D. Potensi Tegakan dan Buah
1. Potensi Tegakan
Pengamatan terhadap potensi tegakan markisa tidak dilakukan,
hal ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis tumbuhan eksotik
(non indigenous) sehingga secara alami jenis ini tidak terdapat pada
kawasan hutan di Wamena.
Meskipun masyarakat telah lama melakukan kegiatan budidaya
markisa namun tidak semua masyarakat Wamena menanam markisa
pada areal pekarangan dan kebun mereka. Sejalan dengan
perkembangan
daerah
dan
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi, masyarakat Wamena asli tidak lagi menanam markisa di
kebun-kebun mereka, hal ini disebabkan karena beberapa faktor
pembatas antara lain ketersediaan lahan yang terbatas karena telah
digunakan untuk kegiatan pembangunan baik oleh pemerintah
maupun
oleh
penduduk
pendatang
(non
Wamena),
banyak
masyarakat asli Wamena telah menjadi PNS sehingga waktu untuk
berkebun menjadi terbatas, adanya ketergantungan masyarakat
terhadap beras sehingga masyarakat asli Wamena merasa tidak wajib
58
lagi untuk menanam markisa serta hasil kebun lainnya dan
masyarakat belum merasa manfaat ekonomi secara langsung akibat
belum adanya pemasaran markisa yang dianggap menguntungkan.
2. Potensi Buah
Markisa yang telah mencapai masa berbuah, biasanya berbuah
sepanjang setahun. Hasil pengamatan terhadap
markisa yang
berbuah dan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat,
dapat diduga bahwa potensi buah markisa per pohon sangat
bervariasi menurut umur. Namun secara umum potensi buah markisa
tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan
menghasilkan 1–2 ember per pohon untuk sekali panen, hal ini
disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut
umumnya tidak banyak, namun karakter buah markisa yang
umumnya berdiameter 4–6 cm menyebabkan jenis buah ini unggul
dari segi volume
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
Gambar 11.
Buah markisa yang dijual di pasar Wamena dengan
harga per tumpukan Rp. 5.000,-
59
E. Kandungan Gizi Markisa
Kandungan gizi buah markisa secara lengkap disajikan pada
Tabel 7. Perbandingan kandungan gizi buah markisa dengan
beberapa jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Kandungan Gizi Markisa
Hasil Analisis
Macam Analisa
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Protein Total
Serat Kasar
Vitamin C
Sumber :
Tabel 8.
Ul2
79,88
1,33
3,28
2,76
4,52
29,08
79,64
1,46
3,39
2,70
4,56
30,55
Rata-Rata
79,76
1,40
3,34
2,73
4,54
29,82
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM
Tahun 2011
Perbandingan kandungan gizi markisa dengan beberapa
jenis buah-buahan
Buah
Alpukat
Durian
Sirsak
Langsat
Pepaya
Rambutan
Salak
Markisa
Sumber :
Ul1
Protein
(gr)
Lemak
(gr)
Vit C
(mg)
Air
(gr)
0,9
2,5
1,0
0,9
0,5
2,0
0,9
2,73
6,5
3,0
0,3
0,2
0
0,1
0
3,34
13
5,3
20
3,0
78
58
2
29,82
84,4
65
81,7
81
86,7
80,5
78
64,48
Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Commodity System, IPB dalam Suhadi et al, 2006
60
dan
The Indonesian
Kandungan protein dan vitamin C pada buah markisa lebih
tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang sering
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum.
F. Etnobotani Markisa Dalam Budaya Suku Dani
Buah markisa adalah jenis buah yang dikomsumsi (dimakan)
oleh masyarakat asli Wamena dan masyarakat pendatang yang telah
lama berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah memanfaatkan
buah tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat
pertama para misionaris membawa dan menanam jenis markisa
tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan
baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau kapan orang Wamena
pertama kali mengkonsumsi jenis buah markisa tersebut.
Namun
secara budaya buah markisa ini memiliki beberapa fungsi atau
peranan yang penting dalam perkembangan budaya beberapa suku di
Pegunungan Tengah. Perkembangan ini sangat terkait dengan
penyebaran atau masuknya injil di daerah tersebut.
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Dani di Wamena dan suku-suku lainnya (Yali,
Lani, Nduga dan lain-lain) telah lama memanfaatkan buah markisa
(Passiflora lingularis) dalam kehidupan budaya dan keseharian
mereka meskipun secara alami jenis tersebut bukan merupakan jenis
asli (Indigenous) Pegunungan Tengah (Tanah Papua). Saat ini
masyarakat telah melakukan konservasi tradsional dengan cara
menanam markisa dengan bibit yang berasal dari buah yang sudah
tua atau mengambil anakan di bawah pohon induknya, merawat
61
anakan dan pohon markisa yang terdapat di areal pekarangan dan
kebun serta yang tumbuh liar di alam.
Kegiatan pembibitan dan penanaman markisa dapat dilakukan
dengan biji (benih) dan dengan stek (potongan batang). Secara umum
masyarakat lebih memilih sistem pembibitan dengan benih terutama
untuk semai yang sengaja ditanam atau yang tumbuh di bawah pohon
induk. Hal ini di sebabkan karena pembibitan dengan stek (potongan
batang) oleh masyarakat dianggap merusak pohon induk (ada
kemungkinan pohon tersebut mati) dan akan menurunkan produksi
buah markisa dari pohon tersebut.
H. Status Konservasi
Walaupun masyarakat Wamena menyatakan bahwa markisa
adalah tumbuhan asli Wamena namun jenis tersebut sebenarnya
bukan merupakan tumbuhan asli (native species) di Wamena (Tanah
Papua) dan Indonesia. Jenis tumbuhan ini merupakan jenis eksotik
yang dibawa oleh para misionaris pada saat mereka datang untuk
penyebaran agama Kristen di Wamena. Jenis ini secara global belum
dinyatakan sebagai jenis yang terancam punah.
I. Prospek Pengembangan
Markisa sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua
terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem dataran tinggi
seperti di PegununganTengah, Ambaidiru (Yapen) dan Pegunungan
Arfak (Manokwari). Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam
bentuk perkebunan sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan
karakter habitat yang spesifik.
62
Gambar 12. Peta penyebaran markisa (Passiflora lingularis) di Tanah Papua
63
64 (Passiflora edulis Sims.)
Gambar 13. Buah Negri
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
4.2. Buah Negri (Passiflora edulis Sims.)
Buah negri adalah sebutan masyarakat Suku Dani atau
masyarakat di Pegunungan Tengah (Suku Lani, Nduga, Yali dan lainlain) untuk buah markisa lokal (indeginous) pada daerah tersebut.
A. Deskripsi Botani
Passiflora edulis Sims
(Pasifloraceae)
Nama dagang
Nama daerah
: markisa
: buah negri (Wamena)
Perawakan: Tumbuhan merambat, liana parenial, biasanya membelit
pada pohon inang, panjangnya mencapai 10–15 m. Batang utama
silindris, lurus, berlekuk dan kadang-kadang berpilin dan berbuncak
untuk tumbuhan dewasa. Permukaan pepagan luar licin, bersisik dan
mengelupas kecil-kecil atau kasar bagi tumbuhan yang sudah
dewasa, berwarna hijau muda keputihan atau coklat muda. Takikan
batang pepagan tebalnya 4–5 mm, tidak bergetah, pepagan dalam
lunak sampai keras, berwarna kuning jingga atau kuning muda. Daun
tunggal, kedudukan daun selang-seling, bentuk daun membundar
telur, bercangap tiga, pangkal daun berbentuk jantung, simetris, ujung
meruncing, tepi daun rata atau bergerigi, gundul, seperti kulit, panjang
daun 10–15 cm, lebar 7–12 cm, panjang tangkai daun 3,5–6 cm. Urat
daun sekunder tenggelam pada permukaan atas. Stipula ada,
berukuran kecil. Perbungaan berbentuk tunggal, biasanya terdapat
pada ketiak daun atau batang pada cabang dan ranting. Bunga
beraturan, berbau harum, tunggal atau berpasangan 2–4 pada satu
tangkai, berkelamin 2, kelopak 5, mahkota 5, benangsari kebanyakan
65
5, bakal buah menumpang, beruang 1, tangkai putik 3, bakal biji
banyak. Buah buni, berbentuk bulat oval seperti telur, panjang 3–5
dan lebar 2–4 cm. Biji banyak, berbentuk seperti biji tomat.
Buah muda
Daun
Buah masak
Buah tua
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 14. Karakter morfologi buah negri (Passiflora edulis)
66
B. Ekologi Habitat Buah Negri
Faktor ekologi atau lingkungan alami yaitu ruang yang selalu
memperlihatkan perbedaan atau perubahan baik dalam penyebaran
masyarakat tumbuhan secara vertikal maupun horizontal dan bila
dikaitkan dengan waktu maka akan bervariasi baik secara harian,
bulanan, tahunan dan musiman. Secara horizontal perbedaan yang
nyata dari gradien suhu, cahaya dan kelembaban akan berpengaruh
terhadap penyebaran vegetasi. Sedangkan penyebaran tumbuhan
secara vertikal sangat dipengaruhi oleh topografi dan ketinggian di
atas permukaan laut.
Buah negri di Wamena umumnya ditanam atau tumbuh pada
areal kebun dan pekarangan rumah. Selain ditanam oleh masyarakat,
jenis ini juga tumbuh liar di areal bekas-bekas kebun, tanah-tanah
kosong dan hutan sekunder atau di pinggiran kawasan hutan.
1. Faktor Fisiografis
Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting
artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama
karena pengaruhnya terhadap iklim. Topografi mempunyai arti
klimatis
karena
menentukan
arah
dari
mana
angin
bertiup,
kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam
menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji
tumbuhan tertentu (Leksono, 2007).
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu
daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Topografi
mempengaruhi proses pembentukan tanah dan kesuburan tanah. Di
daerah bergelombang, drainase tanah lebih baik sehingga pengaruh
67
iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan pelapukan serta
pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang berlereng curam
kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi permukaan sehingga
terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan rendah). Sebaliknya,
pada kaki lereng tersebut sering ditemukan tanah dengan profil dalam
akibat penimbunan bahan organik yang dihanyutkan dari lereng
tersebut. Topografi mempengaruhi sifat-sifat tanah antara lain tebal
solum, kandungan bahan organik, kandungan air tanah, warna tanah,
reaksi tanah (pH), kandungan basa, kandungan garam dan lain-lain
(Hardjowigeno, 2007).
Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor iklim.
Suhu atau temperatur udara akan menurun jika ketinggian tempat
bertambah (Arifin, 1994). Semakin tinggi letak suatu tempat di Tanah
Papua, keanekaragaman jenis semakin menurun namun tingkat
keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987).
Tabel 9. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat buah negri
di Kampung Hom-Hom
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
1.600
1.600
1.760
1.700
1.770
0–5
0–5
5 – 10
10 – 15
10 – 15
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Buah negri pada areal pekarangan dan kebun masyarakat di
Kampung Hom-Hom tumbuh baik pada kelerangan 0–15%. Kisaran
kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif sangat datar
sampai bergelombang ringan. Kondisi habitat demikian secara alami
68
sangat berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan
Passiflora edulis. Kualitas pertumbuhan Passiflora edulis pada habitat
datar umumnya sangat baik dan banyak terdapat anakan yang
tumbuh secara alami yang berasal dari buah masak yang gugur.
Ketinggian tempat habitat buah negri di Kampung Hom-Hom
Distrik Hubikia Kabupaten Jayawijaya adalah 1.600–1.770 m dpl.
Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka buah negeri digolongkan
kedalam jenis tumbuhan dataran tinggi. Menurut Heyne (1987), di
Jawa Barat buah negri tumbuh pada ketinggian 1.300 sampai 1.700 m
dpl. Selain pengamatan habitat buah negri pada Kampung Hom-Hom
Distrik Hubikia, pengamatan juga dilakukan pada habitat buah negri di
daerah sekitar Wamena.
Tabel 10. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat buah negri
di sekitar Wamena
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
1.600
1.650
1.760
1.900
2.100
0–5
0–5
5 – 10
10 – 15
20 – 25
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Buah negri di daerah Kabupaten Jayawijaya (Wamena)
ternyata dapat tumbuh pada ketinggian sampai 2.100 m dpl dengan
kelerengan sampai 25%. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini
mampu beradaptasi dengan iklim pegunungan yang dingin dengan
kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan sampai
bergelombang berat.
69
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata.
Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional akan
menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita mengamati
distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat bahwa semakin
ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman tumbuhan semakin
menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak jenis tumbuhan
yang hanya dapat hidup pada suhu hangat atau beriklim tropis. Suhu
dan
kelembaban
serta
pengamatan
penutupan
tajuk
(persen
naungan) pada habitat buah negri disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk
pada habitat buah negri
Suhu
Kelembaban
Naungan
Pohon Inang
Habitat
(Cº)
(%)
(%)
Dacrydium beccarii
75
1
22
81
Bischovia javanica
75
2
22
78
Cupressus sp.
80
3
21
84
Grevillea papuana
65
4
21
84
Podocarpus imbricatus
60
5
21
86
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat berperan baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap vegetasi.
Suhu
berperan langsung terhadap tumbuhan dengan mengontrol laju
proses-proses kimia dalam tumbuhan tersebut, sedangkan berperan
tidak langsung dengan mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama
suplai air.
Buah negri tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan
sedang sampai tinggi (60–80%) dengan suhu optimum berkisar
antara 21–22ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 78–86%.
70
Adanya kisaran demikian disebabkan karena buah negri di Kampung
Hom-Hom dan daerah Wamena Kabupaten Jayawijaya ditanam oleh
masyarakat pada areal pekarangan dan kebun serta tumbuh liar pada
habitat yang terbuka seperti areal kosong dan bekas kebun serta
hutan sekunder.
Buah negri merupakan jenis liana “semi toleran” yang
umumnya melilit atau merayap pada pohon inang. Adanya pohon
inang mengakibatkan jenis ini akan selalu ternaungi sehingga akan
berpengaruh terhadap iklim mikro sekitarnya terutama suhu dan
kelembaban. Jenis ini juga merupakan tipe tumbuhan C3 yang tidak
terlalu membutuhkan cahaya matahari untuk proses pembungaan dan
pembuahan.
3. Keadaan Tanah
Curah hujan dan suhu
yang tinggi di daerah tropika
menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan
dan pencucian berjalan cepat. Akibatnya banyak tanah di Indonesia
mengalami pelapukan lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi
masam.
Buah negri umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan
keadaan solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang (± 20 cm)
sampai dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berliat
dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau
sedikit berbatu dan berbatu tetapi buah negri yang tumbuh liar
kadang-kadang tumbuh pada daerah tergenang
di pinggir sungai
atau kali dan pada habitat rawa (tergenang), baik rawa temporer
maupun rawa permanen.
71
Grevillea papuana
Dracydium beccarii
Cupressus sp.
Podocarpus imbricatus
Bischovia javanica
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 15. Jenis-jenis pohon inang tempat melilit buah negri
72
Habitat buah negri dengan kedalaman solum yang tipis
(< 10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada punggung-punggung
bukit. Sedangkan habitat buah negri dengan kedalaman solum
sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada
kaki bukit dan lembah. Hasil analisis sampel tanah secara lengkap
disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12.
Kesuburan tanah pada habitat buah negri di Kampung
Hom-Hom
Parameter
Nilai
Satuan
Uji
Kandungan
N tot
0,54
%
N tsd
252,57
Ppm
P tsd
33,75
Ppm
K tsd
0,88
Me/100 gr
Ca tsd
27,20
Me/100 gr
Fe tsd
80,42
Ppm
Mg tsd
2,10
Me/100 gr
Mn tsd
711,70
Ppm
Cu tsd
23,51
Ppm
Na tsd
1,00
Me/100 gr
Zn tsd
7,95
Ppm
pH (H2O)
6,98
pH
C/N ratio
7,74
Bahan Organik
4,23
%
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
Tanah tropis sangat rentang terhadap erosi tergantung kepada
tipe tanah, kemiringan lahan, panjang kemiringan, vegetasi penutup
tanah dan sifat serta intensitas curah hujan.
Tanah pada habitat buah buah negri bersifat netral (pH 6,98),
N total tinggi, N tersedia rendah sampai sedang, P tersedia tinggi, Mg
tersedia tinggi, bahan organik tinggi, C/N ratio rendah dan K tersedia
tinggi.
73
D. Potensi Tegakan dan Buah
1. Potensi Tegakan
Pengamatan terhadap potensi tegakan buah negri tidak
dilakukan, hal ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis
tumbuhan eksotik (non indigenous) sehingga secara alami jenis ini
tidak terdapat pada kawasan hutan terutama hutan primer di
Wamena.
Meskipun masyarakat telah lama melakukan kegiatan budidaya
buah negri namun tidak semua masyarakat Wamena menanam buah
negri pada areal pekarangan dan kebun mereka. Sejalan dengan
perkembangan
daerah
dan
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi, masyarakat Wamena asli tidak lagi menanam buah negri di
kebun-kebun mereka, hal ini disebabkan karena beberapa faktor
pembatas antara lain ketersediaan lahan yang terbatas karena telah
digunakan untuk kegiatan pembangunan baik oleh pemerintah
maupun
oleh
penduduk
pendatang
(non
Wamena),
banyak
masyarakat asli Wamena telah menjadi PNS sehingga waktu untuk
berkebun menjadi terbatas, rasa buah negri yang asam sehingga
kurang disukai untuk ditanam, adanya ketergantungan masyarakat
terhadap beras sehingga masyarakat asli Wamena merasa tidak wajib
lagi untuk menanam buah negri serta hasil kebun lainnya dan
masyarakat belum merasa manfaat ekonomi secara langsung akibat
belum adanya pemasaran buah negri yang dianggap menguntungkan.
2. Potensi Buah
Buah negri
yang telah mencapai masa berbuah, biasanya
berbuah sepanjang setahun. Hasil pengamatan terhadap buah negri
yang berbuah dan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat,
74
dapat diduga bahwa potensi buah negri per pohon sangat bervariasi
menurut umur. Namun secara umum potensi buah negri tersebut jika
diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan menghasilkan 1–2
ember per pohon untuk sekali panen, hal ini disebabkan karena buah
yang dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya tidak banyak, namun
karakter
buah
negri
yang
umumnya
berdiameter
4–5
cm
menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 16. Buah negri yang dijual di pasar Wamena dengan
harga per tumpukan Rp. 5.000,-
E. Kandungan Gizi Buah Negri (Passiflora edulis)
Kandungan gizi buah negri secara lengkap disajikan pada
Tabel 13. Perbandingan kandungan gizi buah negri dengan beberapa
jenis buah yang sudah dikenal dan sering dikonsumsi oleh
masyarakat seperti alpukat, durian, sirsak, langsat, pepaya, rambutan
dan salak dapat dilihat pada Tabel 14.
75
Tabel 13. Kandungan gizi buah negri
Hasil Analisis
Macam Analisa
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Protein Total
Serat Kasar
Vitamin C
Sumber :
Ul1
Ul2
89,60
0,80
0,09
2,19
3,53
48,34
89,51
0,80
0,08
2,21
3,41
49,35
Rata-Rata
89,56
0,80
0,08
2,20
3,47
48,85
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM
Tahun 2011
Tabel 14. Perbandingan kandungan gizi buah negri dengan beberapa
jenis buah-buahan
Protein
(gr)
0,9
2,5
1,0
0,9
0,5
2,0
0,9
2,20
Buah
Alpukat
Durian
Sirsak
Langsat
Pepaya
Rambutan
Salak
Markisa
Lemak
(gr)
6,5
3,0
0,3
0,2
0
0,1
0
0,08
Vit C
(mg)
13
5,3
20
3,0
78
58
2
48,85
Air
(gr)
84,4
65
81,7
81
86,7
80,5
78
89,56
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011 dan The Indonesian
Commodity System, IPB dalam Suhardi et al, 2006
Secara umum kandungan protein dan vitamin C pada buah
negri lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya
yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum.
F. Etnobotani Buah Negri Dalam Budaya Suku Dani
Buah
negri
adalah
jenis
buah
yang
dikomsumsi
oleh
masyarakat asli Wamena dan masyarakat pendatang yang telah lama
berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah memanfaatkan buah
76
tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat
pertama para misionaris membawa dan menanam jenis buah negri
tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan
baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau kapan orang Wamena
pertama kali mengkonsumsi jenis buah negri tersebut. Namun secara
budaya buah negri ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang
penting dalam perkembangan budaya beberapa suku di Pegunungan
Tengah. Perkembangan ini sangat terkait dengan penyebaran atau
masuknya injil di daerah tersebut.
G. Konservasi Tradisional
Buah negri merupakan jenis asli (Indigenous) Papua yang
penyebarannya selain terdapat Pegunungan Tengah juga terdapat
di Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari. Masyarakat Suku Dani
di Wamena dan suku-suku lainnya (Yali, Lani, Nduga dan lain-lain)
telah lama memanfaatkan buah negri dalam kehidupan budaya dan
keseharian mereka. Saat ini masyarakat telah melakukan konservasi
tradisional dengan cara menanam buah negri dengan bibit yang
berasal dari buah yang sudah tua atau mengambil anakan di bawah
pohon induknya, merawat anakan dan pohon buah negri yang
terdapat di areal pekarangan dan kebun serta yang tumbuh liar di
alam.
Kegiatan pembibitan dan penanaman buah negri dapat
dilakukan dengan biji (benih) dan dengan stek (potongan batang).
Secara umum masyarakat lebih memilih sistem pembibitan dengan
benih terutama untuk semai yang sengaja ditanam atau yang tumbuh
di bawah pohon induk. Hal ini disebabkan karena pembibitan dengan
77
stek (potongan batang) oleh masyarakat dianggap merusak pohon
induk dan akan menurunkan produksi buah negri dari pohon tersebut.
H. Status Konservasi
Buah negri adalah salah satu jenis indigenous atau tumbuhan
asli (native species) di Tanah Papua dan Indonesia dan beberapa
negara di Asia Tenggara. Jenis ini secara global belum dinyatakan
sebagai jenis yang terancam punah.
I. Prospek Pengembangan
Buah negri sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah
Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem dataran
tinggi. Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam bentuk
perkebunan sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan
karakter habitat yang spesifik.
78
Gambar 17. Peta penyebaran buah negri (Passiflora edulis) di Tanah Papua
79
80
Gambar 18. Terong belanda (C. betacea Sendt. var. merah)
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 13.Terong Hutan (C.betacea var. merah)
81
Gambar 19. Terong belanda (C. betacea Sendt. var. kuning)
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
V. TERONG BELANDA (Cyphomandra betacea Sendt.)
DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI
KABUPATEN JAYAWIJAYA
Terong belanda atau terong hutan atau tomat hutan adalah
sebutan masyarakat Suku Dani atau masyarakat di Pegunungan
Tengah untuk (Suku Lani, Nduga, Yali dan lain-lain) untuk tanaman
yang tumbuh pada dataran tinggi (≥ 750 m dpl.) yang tanamannya
mirip terong tetapi buahnya sangat mirip tomat.
Terong belanda pada daerah Wamena dan Pegunungan
Tengah terdiri atau terdapat 2 varietas yang dibedakan berdasarkan
warna buah yaitu jenis yang sering disebut oleh masyarakat Wamena
dan Pegunungan Tengah dengan sebutan ”terong belanda buah
kuning” dan ”terong belanda buah merah”, kedua jenis varietas
tersebut
hanya
Cyphomandra
memiliki
betacea
satu
Sendt.
nama
ilmiah
Berdasarkan
atau
karakter
latin
yaitu
morfologi
tumbuhan dan warna buah dari kedua jenis varietas tersebut, dapat
dibedakan berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut :
a. Perdu, pohon kecil atau semak, buah umumnya jika tua/masak
berwarna hijau kekuningan, kuning atau orange ..........................
................................ Cyphomandra betacea Sendt. var. kuning
b. Perdu, pohon kecil atau semak, buah umumnya jika tua/masak
berwarna hijau kemerahan, hijau merah maron atau merah
.................................Cyphomandra betacea Sendt. var. merah
82
A. Deskripsi Botani
Cyphomandra betacea (Cav.) Sendtner
(Solanaceae)
Nama dagang
Nama daerah
Sinonim
: terong hutan, tomat hutan, terong belanda
: terong hutan
: Solanum betaceum Cav.
Perawakan: Semak, perdu atau pohon berukuran kecil, tumbuh
tunggal, tinggi mencapai 4,5–6,5 m. Batang umumnya tegak dan
berbentuk silindris, sering tidak lurus, dengan diameter 7-10 cm,
permukaan batang halus dan licin (kadang-kadang sedikit kasar
karena kulit yang mengelupas atau lumut yang menutupi permukaan
kulit), berwarna hijau pada saat masih muda dan menjadi coklat muda
keabu-abuan jika sudah tua. Daun tunggal, berukuran 10-22 cm x
7-18 cm, permukaan atas daun berwarna hijau atau hijau tua, licin
atau berbulu halus, permukaan bawah daun berwarna hijau muda.
Umumnya berbulu halus, sisi atau tepi daun agak bergelombang,
permukaan daun bergelombang atau rata, jumlah daun 8-15 helai,
bentuk daun membulat oval dengan pangkal menjantung dan ujung
membulat. Perbungaan pada ketiak daun, tunggal atau berpasangan.
Bunga beraturan, berkelamin 2, kadang-kadang berkelamin 1,
kebanyakan berbilangan 5 dengan kelopak dan mahkota yang
berdaun lekat, benangsari 5, kepalasari beruang 2, bakal buah
menumpang, beruang 2. Buah buni, bulat lonjong atau oval,
berbentuk seperti telur, panjang 3-5 cm, diameter 2-4 cm, permukaan
buah gundul (halus) dan licin, berwarna hijau saat muda dan hijau
kekuningan atau hijau orange saat tua. Biji banyak, berbentuk
83
lonjong, berwarna hitam, berukuran sangat kecil seperti biji tomat atau
terong, tertutup oleh daging buah.
B. Kondisi Sosio-Geografis
Sama halnya dengan buah markisa dan buah negri, studi
pemanfaatan buah terong belanda atau terong hutan juga dilakukan di
Kabupaten
Jayawijaya
sebagaimana
dijelaskan
pada
Bab
IV
terdahulu, Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten di
Pegunungan Tengah pulau Papua mempunyai iklim tropika basah
dengan zona ekologi pegunungan tinggi (highlands) dan didiami oleh
etnis Dani yang mempunyai sistem kepemimpinan “Big Man” atau
Pria
Berwibawa,
sistem
kekerabatan
Omaha
dengan
sistem
pewarisan Patrilineal (Mansoben, 1995)
C. Ekologi Habitat Terong Belanda
Terong belanda di Wamena umumnya ditanam pada areal
kebun dan pekarangan rumah. Selain ditanam oleh masyarakat, jenis
ini juga tumbuh liar di areal bekas-bekas kebun, tanah-tanah kosong
dan hutan sekunder atau di pinggiran kawasan hutan.
84
Daun
Bakal bunga
Buah muda
Buah masak
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 20.
Karakter morfologi terong belanda (C. betacea var.
kuning
85
Buah muda
Daun
Buah muda
Buah masak
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 21. Karakter morfologi terong belanda (C. betacea var.
merah
86
1. Faktor Fisiografis
Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting
artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama
karena pengaruhnya terhadap iklim. Topografi mempunyai arti
klimatis
karena
menentukan
arah
dari
mana
angin
bertiup,
kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam
menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji
tumbuhan
tertentu
(Leksono,
2007).
Hasil
pengukuran
faktor
fisiografis yaitu ketinggian tempat dan kelerengan (topografi) pada
habitat terong belanda, disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15.
Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat terong
belanda di Kampung Hom-Hom
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
1.560
1.600
1.670
1.700
1.750
0–5
0–5
5 – 10
10 – 15
15 – 20
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Terong belanda pada areal pekarangan dan kebun masyarakat
di Kampung Hom-Hom tumbuh baik pada kelerangan 0–20%.
Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif
sangat datar sampai
habitat
demikian
bergelombang ringan dan sedang.
secara
alami
sangat
berdampak
Kondisi
terhadap
penyebaran dan kuantitas pertumbuhan terong belanda. Dari hasil
pengamatan kualitas pertumbuhan terong belanda pada habitat
87
lembah atau datar umumnya sangat baik dan banyak terdapat anakan
yang tumbuh secara alami yang berasal dari buah masak yang gugur.
Ketinggian tempat habitat terong Belanda pada Kampung HomHom Distrik Hubikia Kabupaten Jayawijaya adalah 1.560–1.750 m
dpl.
Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka terong belanda
digolongkan kedalam jenis tumbuhan dataran tinggi. Menurut Heyne
(1987), di Jawa Barat terong belanda tumbuh pada ketinggian 1.000
m dpl sampai 1.500 m dpl, sedangkan di Jawa Timur tumbuh pada
ketinggian 450 m dpl. dan menghasilkan buah yang sangat bagus.
Selain pengamatan habitat terong belanda pada Kampung Hom-Hom
Distrik Hubikia, pengamatan juga dilakukan pada habitat terong
belanda di daerah sekitar Wamena. Hasil pengamatan disajikan pada
Tabel 16 berikut.
Tabel 16. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat terong
belanda di Sekitar Wamena
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
1.600
1.770
1.800
1.960
2.200
0–7
0–5
5 – 10
20 – 25
30 – 35
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Terong belanda di daerah Kabupaten Jayawijaya (Wamena)
ternyata dapat tumbuh pada ketinggian sampai 2.200 m dpl dengan
kelerengan sampai 35%. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini
mampu beradaptasi dengan iklim pegunungan yang dingin dengan
kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan, sedang
sampai bergelombang berat.
88
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata.
Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional akan
menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita mengamati
distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat bahwa semakin
ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman tumbuhan semakin
menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak jenis tumbuhan
yang hanya dapat hidup pada suhu hangat atau beriklim tropis.
Ardhana (2012), menyatakan bahwa relatif mudah untuk
mengukur suhu dalam suatu lingkungan tetapi sulit untuk menentukan
suhu yang bagaimana yang berperan nyata bagi pertumbuhan
vegetasi,
Hasil
apakah suhu minimum, maksimum atau suhu rata-rata.
pengukuran
suhu
dan
kelembaban
serta
pengamatan
penutupan tajuk (persen naungan) pada habitat terong belanda
disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan
tajuk pada habitat terong belanda
Suhu
Kelembaban
Naungan
Habitat
(Cº)
(%)
(%)
0
1
24
78
35
2
23
75
60
3
22
80
85
4
22
84
50
5
21
86
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Suhu udara dan naungan dapat mempengaruhi iklim mikro
tanaman (Ardhana, 2012). Terong belanda
tumbuh pada daerah-
daerah dengan naungan rendah, sedang sampai tinggi (0–85%)
89
dengan suhu optimum berkisar antara 21–24ºC dan kelembaban
optimum
berkisar
antara
75–86%.
Adanya
kisaran
demikian
disebabkan karena terong belanda di Kampung Hom-Hom dan
daerah Wamena Kabupaten Jayawijaya ditanam oleh masyarakat
pada areal pekarangan dan kebun serta tumbuh liar pada habitat
yang terbuka seperti areal kosong dan bekas kebun serta hutan
sekunder.
Terong belanda merupakan jenis tumbuhan “toleran” yang
secara alami dapat tumbuh dan menyebar dengan mudah. Terong
belanda merupakan tipe tumbuhan C4 yang sangat membutuhkan
cahaya matahari untuk proses pembungaan dan pembuahan. Terong
belanda yang tumbuh pada habitat dengan naungan yang berat
sudah tentu akan memiliki produksi atau jumlah buah yang lebih
sedikit jika dibandingkan dengan terong belanda yang tumbuh pada
daerah dengan naungan rendah sampai sedang atau tanpa naungan.
3. Keadaan Tanah
Terong belanda di Kampung Hom-Hom dan daerah Wamena
sekitarnya umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan
solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang (± 20 cm) sampai
dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berliat dan tanah
berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit
berbatu dan berbatu tetapi buah negri yang tumbuh liar kadangkadang tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan
pada habitat rawa (tergenang), baik rawa temporer maupun rawa
permanen.
Habitat terong belanda memiliki kedalaman solum yang tipis
(< 10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada punggung-punggung
90
bukit. Sedangkan habitat terong belanda dengan kedalaman solum
sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada
kaki bukit dan lembah. Daerah Wamena yang merupakan lembah,
tanahnya merupakan tanah endapan yang berasal dari bukit-bukit dan
gunung-gunung disekitar kawasan tersebut sehingga lapisan olah
tanah (top soil) di daerah ini dapat mencapai lebih dari 50 cm. Hasil
analisis sampel tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Kesuburan tanah pada habitat terong belanda di Kampung
Hom-Hom
Parameter
Uji
N tot
N tsd
P tsd
K tsd
Ca tsd
Fe tsd
Mg tsd
Mn tsd
Cu tsd
Na tsd
Zn tsd
pH (H2O)
C/N ratio
Bahan Organik
Nilai
Kandungan
0,43
215,88
23,95
0,72
33,04
46,19
2,52
445,68
17,18
1,12
8,54
6,95
7,39
4,16
Satuan
%
Ppm
Ppm
Me/100 gr
Me/100 gr
Ppm
Me/100 gr
Ppm
Ppm
Me/100 gr
Ppm
pH
%
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
Tanah pada habitat buah terong belanda bersifat Netral
(pH 6,95), N total sedang, N tersedia rendah sampai sedang, P
tersedia sedang, Mg tersedia rendah, bahan organik tinggi, C/N ratio
rendah dan K tersedia tinggi.
91
C. Potensi Tegakan dan Buah
1. Potensi Tegakan
Pengamatan terhadap potensi tegakan terong belanda tidak
dilakukan, hal ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis
tumbuhan eksotik (non indigenous) sehingga secara alami jenis ini
tidak terdapat pada kawasan hutan di Wamena.
Meskipun masyarakat telah lama melakukan kegiatan budidaya
terong belanda namun tidak semua masyarakat Wamena menanam
terong belanda pada areal pekarangan dan kebun mereka. Sejalan
dengan perkembangan daerah dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, masyarakat Wamena asli tidak lagi menanam terong
belanda di kebun-kebun mereka, hal ini disebabkan karena beberapa
faktor pembatas antara lain ketersediaan lahan yang terbatas karena
telah digunakan untuk kegiatan pembangunan baik oleh pemerintah
maupun
oleh
penduduk
pendatang
(non
Wamena),
banyak
masyarakat asli Wamena telah menjadi PNS sehingga waktu untuk
berkebun menjadi terbatas, rasa buah terong belanda yang agak
asam sehingga kurang disukai untuk ditanam karena dianggap tidak
memberikan hasil atau dampak yang nyata bagi masyarakat, adanya
ketergantungan masyarakat terhadap beras sehingga masyarakat asli
Wamena merasa tidak wajib lagi untuk menanam terong belanda
serta hasil kebun lainnya dan masyarakat belum merasa manfaat
ekonomi secara langsung akibat belum adanya pemasaran buah
terong belanda yang dianggap menguntungkan.
92
2. Potensi Buah
Terong belanda yang telah mencapai masa berbuah, biasanya
berbuah sepanjang tahun dengan jumlah buah yang sangat banyak,
dapat mencapai ratusan buah. Hasil pengamatan terhadap terong
belanda yang berbuah dan berdasarkan hasil wawancara dengan
masyarakat, dapat diduga bahwa potensi buah terong belanda per
pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara umum potensi
buah terong belanda tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg,
maka akan menghasilkan 2–3 ember per pohon untuk sekali panen,
hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut
umumnya banyak dan karakter buah terong belanda yang umumnya
berdiameter 2–3 cm menyebabkan jenis buah ini meskipun berukuran
kecil namun unggul dari segi kuantitas.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 22. Buah terong belanda yang dijual di pasar Wamena
dengan harga per tumpukan Rp. 5.000,-
93
D. Kandungan Gizi Terong Belanda
Kandungan gizi buah terong belanda disajikan pada Tabel 19.
Perbandingan kandungan gizi buah buah terong belanda dengan
beberapa jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 19. Kandungan gizi buah terong belanda
Macam Analisa
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Protein Total
Serat Kasar
Vitamin C
Sumber :
Hasil Analisis
Ul1
Ul2
86,09
1,28
2,02
1,57
4,12
21,75
86,14
1,31
2,00
1,64
4,40
21,91
Rata-Rata
86,11
1,29
2.01
1,61
4,26
21,83
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM
Tahun 2011
Tabel 20.
Perbandingan kandungan gizi buah terong belanda
dengan beberapa jenis buah-buahan
Protein
Lemak
Vit C
Air
Buah
(gr)
(gr)
(mg)
(gr)
Alpukat
0,9
6,5
13
84,4
Durian
2,5
3,0
5,3
65
Sirsak
1,0
0,3
20
81,7
Langsat
0,9
0,2
3,0
81
Pepaya
0,5
0
78
86,7
Rambutan
2,0
0,1
58
80,5
Salak
0,9
0
2
78
Markisa
2,73
3,34
29,82
64,48
Terong Belanda
1,61
2,01
21,83
86,11
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011 dan The Indonesian
Commodity System, IPB dalam Suhadi et al, 2006
94
Secara umum kandungan protein pada buah terong belanda
lebih rendah jika dibandingkan dengan buah rambutan, durian dan
markisa,
kandungan lemak terong belanda juga lebih rendah jika
dibandingkan dengan buah alpukat, durian dan markisa dan
kandungan vitamin C terong belanda juga lebih rendah jika
dibandingkan dengan buah pepaya, rambutan dan markisa namun
lebih tinggi dari jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia secara umum.
E. EtnobotaniTerong Belanda Dalam Budaya Suku Dani
Buah terong belanda adalah jenis buah yang dikomsumsi
(dimakan) oleh masyarakat asli Wamena dan masyarakat pendatang
yang telah lama berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah
memanfaatkan buah tersebut secara turun temurun sejak zaman
dahulu (pada saat pertama para misionaris membawa dan menanam
jenis terong belanda tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti
yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau
kapan orang Wamena pertama kali mengkonsumsi jenis buah terong
belanda tersebut. Namun berdasarkan sejarah misi pekabaran injil di
Pegunungan Tengah, kemungkinan orang Wamena (Suku Dani)
pertama kali mengenal jenis buah terong belanda pada awal tahun
1960-an (Richarson, 1993). Namun secara budaya buah terong
belanda ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting
dalam perkembangan budaya beberapa suku di Pegunungan Tengah.
Perkembangan ini sangat terkait dengan penyebaran atau masuknya
injil di daerah tersebut.
95
F. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Dani di Wamena dan suku-suku lainnya (Yali,
Lani, Nduga dan lain-lain) telah lama memanfaatkan buah terong
belanda dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka meskipun
secara alami jenis tersebut bukan merupakan jenis asli (Indigenous)
Pegunungan Tengah (Tanah Papua). Saat ini masyarakat telah
melakukan konservasi tradisional dengan cara menanam buah terong
belanda dengan bibit yang berasal dari buah yang sudah tua atau
mengambil anakan di bawah pohon induknya, menanam, merawat
anakan dan pohon terong belanda yang terdapat di areal pekarangan
dan kebun serta yang tumbuh liar di alam.
Kegiatan pembibitan dan penanaman terong belanda dapat
dilakukan dengan biji (benih) dan dengan stek (potongan batang).
Secara umum masyarakat lebih memilih sistem pembibitan dengan
benih terutama untuk semai, baik yang sengaja ditanam atau yang
tumbuh di bawah pohon induk. Hal ini disebabkan karena pembibitan
dengan stek (potongan batang) oleh masyarakat dianggap merusak
pohon induk (ada kemungkinan pohon tersebut mati) dan akan
menurunkan produksi buah terong belanda tersebut.
G. Status Konservasi
Walaupun masyarakat Wamena menyatakan bahwa terong
belanda adalah tumbuhan asli Wamena namun jenis tersebut
sebenarnya bukan merupakan tumbuhan asli (native species) di
Wamena (Tanah Papua) dan Indonesia. Jenis tumbuhan ini
merupakan jenis eksotik yang dibawa oleh para misionaris pada saat
96
mereka datang untuk penyebaran agama kristen di Wamena. Jenis ini
secara global belum dinyatakan sebagai jenis yang terancam punah.
H. Prospek Pengembangan
Terong belanda sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah
Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem dataran
tinggi seperti di Pegunungan Tengah, Ambaidiru (Yapen) dan
Pegunungan Arfak
(Manokwari). Pengembangan atau penanaman
jenis ini dalam bentuk perkebunan sangat mudah karena jenis ini tidak
membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
97
Gambar 23. Peta penyebaran terong belanda (Cyphomandra betacea) di Tanah Papua
98
99
Gambar 24. Kelapa Hutan (Pandanus brossimos Merr. & Perry )
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
100 (Pandanus julianettii Mart.)
Gambar 25. Kelapa Hutan
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
VI. BUAH KELAPA HUTAN (Pandanus brossimos dan
Pandanus julianettii) DAN PEMANFAATANNYA OLEH
SUKU LANI DI KABUPATEN TOLIKARA
A. Deskripsi Botani
Di Tanah Papua penyebutan tumbuhan hutan dengan sebutan
”kelapa hutan” sering membingungkan orang awam dan para peneliti
maupun akademisi, terutama bagi para peneliti dan akademisi yang
kurang memahami masalah taksonomi atau bukan taksomist. Sebutan
kelapa hutan di Tanah Papua umumnya bagi tumbuhan hutan yang
pemanfaatan buahnya oleh masyarakat tradisional mirip atau sama
dengan pemanfaatan buah kelapa pantai (Cocos nucifera).
Berdasarkan hasil penelitian, minimal ada 3 jenis atau spesies
tumbuhan hutan yang dikenal atau sering disebutkan oleh masyarakat
tradisional di Tanah Papua sebagai kelapa hutan. Dua jenis atau
spesies berasal dari masyarakat tradisional (suku-suku) yang hidup di
daerah pegunungan tengah (Wamena, Habema, Tolikara, Mulia dan
lain-lain), yang sering disebut sebagai kelapa hutan adalah Pandanus
brosimus dan Pandanus julianettii. Sedangkan satu jenis atau spesies
lainnya berasal dari masyarakat tradisional (suku-suku) yang hidup di
daerah dataran rendah pantai Utara Tanah Papua (Bonggo, Betaf,
Tor Atas, Tor Bawah, Sarmi, Mamberamo, Waropen, Yapen dan lainlain), yang sering disebut sebagai kelapa hutan adalah palem lontar
irian (Borasus heyneana). Ketiga jenis tumbuhan tersebut adalah jenis
endemik Tanah Papua dan tidak terdapat di daerah lain baik di
Indonesia maupun di negara lain (kecuali Papua New Guinea).
101
Kelapa hutan adalah jenis tumbuhan penghasil buah di daerah
Tolikara dan Pegunungan Tengah yang telah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai bahan makanan berupa buah segar maupun
buah yang diawetkan untuk dimakan. Kelapa hutan pada daerah
Tolikara dan Pegunungan Tengah menurut masyarakat terdiri dari 6
jenis untuk wilayah Tolikara dan 12 jenis untuk wilayah pegunungan
tengah. Namun yang menurut masyarakat jenis sebenarnya adalah
varietas saja, sedangkan secara umum kelapa hutan terdiri dari atau
terdapat 2 jenis yaitu jenis yang sering disebut oleh masyarakat
Tolikara dengan sebutan ”Woromo” atau dikenal dengan nama
ilmiah Pandanus brossimos dan ”Gawen” atau dikenal dengan
nama ilmiah Pandanus julianettii. Kedua jenis ini secara umum
dikenal oleh masyarakat pegunungan tengah dengan sebutan
”Tuke”. Berdasarkan karakter morfologi batang, daun dan rasa buah
dari kedua jenis tersebut, dapat dibedakan berdasarkan kunci
identifikasi sebagai berikut :
a.
Pandan tegak, batang umumnya berwarna terang atau coklat
muda keabu-abuan dengan bercak putih, susunan daun
umumnya tegak, kulit buah keras, rasanya sangat enak seperti
kelapa atau rasanya manis .................... Pandanus brossimos
b.
Pandan tegak, batang umumnya berwarna coklat muda atau
crem keabu-abuan, susunan daun umumnya menjuntai, kulit
buah lunak, rasanya kurang enak, agak hambar dengan rasa
yang sangat mirip kelapa ....................... Pandanus julianettii
Kedua jenis kelapa hutan ini masing-masing memiliki variasi
pada ukuran buah, bentuk buah, warna buah dan habitus sehingga
oleh masyarakat Tolikara dan masyarakat Pegunungan Tengah
102
variasi tersebut dianggap memiliki jenis yang banyak yaitu 12 jenis.
Hal ini sama dengan buah merah (Pandanus conoideus) yang oleh
masyarakat sering disebut memiliki banyak jenis tetapi sebenarnya
hanya variasi saja. Secara lengkap deskripsi dari kedua kelapa hutan
adalah sebagai berikut :
Pandanus brossimos Merrill & Perry
(Pandanaceae)
Nama dagang
Nama daerah
: kelapa hutan
: woromo (Tolikara), tuke (Pegunungan Tengah)
Perawakan: Tumbuhan tidak berkayu, parennial, umumnya tidak
berumpun, tinggi total dapat mencapai 20 m. Batang tumbuh tegak,
berdiameter 14–25 cm, pangkal batang umumnya terdapat akar
tunjang. Daun berbentuk pita, pedang atau garis berukuran
50–135
cm x 5–12 cm, bagian tepi dan kadang-kadang pada bagian
punggung ibu tulang daun berduri kecil-kecil yang tajam. Daun
tersebar atau spiral, biasanya mengumpul pada ujung batang dan
cabang. Bunga biasanya terdapat pada ujung batang/cabang atau di
ketiak daun, dengan daun pelindung yang besar, 5-7 daun pelindung
yang
ukurannya
bervariasi,
seringkali
berwarna
hijau
putih
kekuningan. Buah besar berukuran 20-35 cm x 15-22 cm, berbentuk
bulat oval atau lonjong yang umumnya simetris, bagian tengah dalam
buah umumnya kosong sehingga berbentuk lubang, buah tersusun
dari anak buah yang jumlahnya sangat banyak, berukuran 3-4 cm x
1-1,5 cm dengan sisi yang bersegi. Biji tunggal, berukuran 2,5 x 0,5
cm, berwarna putih.
103
Pandanus julianettii Mart.
(Pandanaceae)
Nama dagang
Nama daerah
: kelapa hutan
: gawen (Tolikara), tuke (Pegunungan Tengah)
Perawakan: Tumbuhan tidak berkayu, parennial, umumnya tidak
berumpun, tinggi total dapat mencapai 20 m. Batang tumbuh tegak,
berdiameter 14–25 cm, pangkal batang umumnya terdapat akar
tunjang. Daun berbentuk pita, pedang atau garis berukuran 50–135
cm x 5–12 cm, agak tebal dan tidak kaku bagian tepi dan kadangkadang pada bagian punggung ibu tulang daun berduri kecil-kecil
yang tajam. Daun tersebar atau spiral, biasanya mengumpul pada
ujung batang dan cabang, umumnya menjuntai. Bunga biasanya
terdapat pada ujung batang/cabang atau di ketiak daun, dengan daun
pelindung yang besar, 5-7 daun pelindung yang ukurannya bervariasi,
seringkali berwarna hijau putih kekuningan. Buah besar berukuran
20-35 cm x 15-22 cm, berbentuk bulat oval atau lonjong yang
umumnya simetris, bagian tengah dalam buah umumnya kosong
sehingga berbentuk lubang, buah tersusun dari anak buah yang
jumlahnya sangat banyak, berukuran 3-4 cm x 1-1,5 cm dengan sisi
yang bersegi. Biji tunggal, berukuran 3 x 0,5 cm, berwarna putih.
104
Batang
Daun
Buah
Belahan buah
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 26. Karakter morfologi kelapa hutan (P. brossimos )
105
Batang
Daun
Buah
Biji
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 27. Karakter morfologi kelapa hutan (P. julianettii )
106
Kampung Nabunage
Keterangan :
= Lokasi Penelitian
Gambar 28. Peta Lokasi Penelitian
di Kabupaten Tolikara
107
B.
Kondisi Sosio-Geografis
Tolikara merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran
Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua yang terletak pada hamparan
pegunungan tengah yang mempunyai luas
5.234 km². Sebagian
besar wilayah di Kabupaten Tolikara berada di lereng gunung, dan
hanya sedikit saja yang berupa dataran. Secara geografis, Kabupaten
Tolikara berada pada posisi 139°00"-139°15"BT dan 3°- 4°00” LS.
Wilayah Kabupaten Tolikara mempunyai topografi yang
bervariasi antara 1.400 meter sampai dengan 3.300 meter diatas
permukaan laut (dpl), dimana sebagian besar wilayahnya terdiri dari
pengunungan (dataran tinggi) yang dilalui beberapa aliran sungai dan
anak sungai yang berasal dari bukit dan gunung yang ada
disekitarnya.
Iklim di Kabupaten Tolikara adalah iklim tropis basah, karena
dipengaruhi letak wilayah yang berada pada ketinggian (dataran
tinggi), sehingga rata- rata temperatur udara bervariasi antara 12oC
sampai dengan 20oC. Tingkat kelembaban diwilayah ini diatas 86%.
Sedangkan angin yang bertiup sepanjang tahun adalah angin Barat
Daya dengan kecepatan rata- rata 16 knot dan terendah 2.9 knot.
Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Raya
di sebelah utara, Kabupaten Mamberamo Tengah di sebelah timur,
Kabupaten Jayawijaya dan Lanny Jaya di sebelah selatan dan
Kabupaten Puncak Jaya di sebelah barat.
108
1. Pengantar
Suku Lani di Kabupaten Tolikara secara hirarki berasal dari
Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya. Sebutan “La” pada Kata “Lani”
mempunyai arti “pergi”, sehingga kata “Lani” pada sebutan Suku Lani
dapat diartikan sebagai Suku Dani yang pergi atau keluar dari lembah
Baliem. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kesamaan pada fam
(marga) atau klen (clan) yang ada pada kedua daerah tersebut.
Sama halnya dengan daerah Wamena, kondisi sosial budaya di
daerah
Pegunungan
Tengah
umumnya
dan
daerah
Tolikara
khususnya di abad 21 ini jauh berbeda dari kondisi sosial budaya
pada abad ke-20 yang lalu. Pada abad ke-20 lalu terutama ditahuntahun awal daerah ini bersentuhan dengan pembangunan, baik
dengan pemerintah Kolonial Belanda maupun dengan pemerintahan
Republik Indonesia yakni sekitar tahun 1950-an dan 1960-an, daerah
Tolikara merupakan salah satu daerah yang sangat terisolasi dan
eksotik. Pandangan tentang Tolikara yang terisolasi dan eksotik ini
digambarkan melalui lingkungan alam yang luar biasa sulit dijangkau
karena cara satu-satunya untuk masuk ke wilayah ini adalah dengan
menggunakan pesawat terbang.
Kota Tolikara dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi dan curam
dimana pusat kotanya berada pada bagian tengah yang datar
sehingga berbentuk seperti belanga yang dihiasi oleh kebun-kebun
penduduk setempat. Hujan kerap kali terjadi di wilayah ini karena
kondisi topografi yang bergunung-gunung dan banyak perbukitan
sehingga sulit dibedakan musim secara jelas.
Salah satu keunikan dari suku Lani yang mendiami Kabupaten
Tolikara adalah pakaian tradisionalnya yang terkenal dengan nama
109
koteka yaitu sejenis labu panjang yang digunakan untuk menutup
penis laki-laki. Selain itu, model rumah tradisional “honai” yang
bentuknya bulat dan tertutup rapat. Meskipun hampir sebagain besar
laki-laki Lani di Tolikara tidak lagi menggunakan koteka dan banyak
rumah di daerah tersebut sudah tidak lagi berbentuk honai, namun
hingga kini ikon koteka dan honai masih menjadi simbol utama jika
berbicara mengenai kebudayaan mereka. Bahkan banyak orang luar
yang kurang memahami Papua, lazimnya menganggap koteka dan
honai merepresentasi kebudayaan Papua umumnya.
Keunikan budaya orang Lani di Tolikara juga bisa terlihat dari
bagaimana mereka bercocok tanam. Kebun-kebun mereka dibangun
di atas tebing-tebing gunung, atau di dataran dengan dipagari batubatu besar dan kayu-kayu yang disusun rapi.
Salah satu ritual
penting dari suku ini adalah pesta babi merupakan suatu pesta yang
penting dalam kehidupan sosial budaya orang Lani di Tolikara.
2. Orang Lani
Sejarah perkembangan Suku Lani tidak terlepas dari sejarah
perkembangan Suku Dani di Lembah Baliem Wamena. Pada tahun
1954 para pekabar Injil dari CAMA (Christian and Missinaries Alliance)
membuka pos pertama di Lembah Baliem. Sejak itu berdatanganlah
para pekabar Injil dari aliran-aliran Gereja Protestan seperti RBMU
(Regions Beyond Missionary Union), TEAM (The Evangelical Alliance
Mission), pekabar-pekabar dari Gereja Katholik Roma dan kemudian
pemerintah (Belanda) masuk bertugas di daerah tersebut.
Orang Dani diperkirakan menempati Lembah Baliem kurang
lebih 9000 tahun SM yang mana didasarkan pada penemuanpenemuan arkeologis di bagian Timur Pegunungan Tengah di Papua
110
New Guinea (lihat White 1972:147, dikutip Heider 1979:23)
17
. Lebih
Jauh hipotesa Heider mengenai kehadiran orang Dani di Lembah
Baliem, bahwa sebelum orang Dani menjadi penduduk lembah
tersebut mereka hidup sebagai peramu sagu dan pemburu di daerah
berbukit-bukit dataran rendah. Ketika mereka mengenal tanamantanaman pangan seperti, keladi, ubi manis, dan pisang maka
berpindahlah mereka ke daerah bertanah kering yang letaknya lebih
tinggi (kurang lebih 1600 m diatas permukaan laut) dan disanalah
mereka melakukan aktivitas pertanian. Akhirnya mereka tiba di
Lembah Baliem yang hingga kini menjadi tempat hunian mereka
(Heider, 1979:32).
Mengenai bahasa yang digunakan orang Lani di Tolikara
sesungguhnya mereka mengujar satu bahasa yang disebut bahasa
Dani. Namun demikian, bahasa Dani ini dibagi lagi atas tiga sub
keluarga bahasa yakni, sub keluarga Wano, sub keluarga Dani Pusat
dan sub keluarga Nggalik-Dugawa. Adapun sub keluarga Dani Pusat
terbagi lagi atas dua dialek, masing-masing dialek Dani Barat dan
dialek Grand Valley Dani (Lembah Besar Dani). Dialek Dani Barat
sering juga disebut bahasa Laany yang terdapat di Baliem Utara
Lembah Swart, Yamo, Nogolo, Illaga, Beoga, Dugindagu, Kemandaga
dan Bokondini, di bagian atas Grand Valley, di sekitar hulu Sungai
Hablifuri, Kimbim dan lembah-lembah Bele atau Ibele. Dialek Grand
Valley Dani terdapat mulai di daerah pegunungan Pyramid sampai ke
sungai-sungai Samenage didaerah perbatasan Barat Laut dan agak
sedikit ke bawah di sungai Wet didaerah batas Timur–Laut (Bromley
9)
Dalam Mansoben 1994 :139)
111
1973:6). Adapun bahasa Dani dikategorikan ke dalam kategori
Western Highland Phylum, salah satu dari empat phylum bahasa18
bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua New Guinea .
Heider mengatakan, “orang Dani selalu dikerumuni oleh babi
dan ubi manis atau Dioscorea esculanta” (1979:35). Ucapan ini
secara implisit menunjukkan dua jenis mata pencaharian hidup pokok
orang Dani, yaitu bercocok tanam (dengan ubi manis sebagai
tanaman pokok) dan beternak babi.
3. Berkebun
Dahulu sebelum derasnya pengaruh dari luar, Orang Lani di
Tolikara mengerjakan kebun-kebunnya dengan alat sederhana seperti
kayu tugal dan kapak batu. Kebun dikerjakan tidak hanya di bagian
dataran di lembah tersebut, tetapi juga di lereng-lereng gunung yang
tinggi dan curam. Menurut Mansoben, di Tolikara terdapat 3 jenis
kebun. Pertama adalah kebun-kebun yang terdapat pada bagian yang
rendah dan datar yang diusahakan secara permanen. Kedua, jenis
kebun yang terdapat pada lereng-lereng gunung dan ketiga, kebunkebun yang terdapat di pekarangan rumah, terletak dibelakang suatu
kompleks perumahan, uma. Tanah pekarangan ini biasanya ditanami
dengan tanaman tembakau, pisang dan tebu.
Adapun pada jenis kebun pertama dan kedua, biasanya setelah
dibersihkan dari pepohonan dan belukar, kemudian dibakar lalu
ditanami dengan ubi manis untuk dua kali panen. Setelah itu
ditinggalkan dan pindah untuk membuka lahan baru di lokasi yang
18)
Adapun keempat phylum bahasa non-Austronesia di Papua dan
Papua New Guinea adalah Central-South New Guinea Phylum, Western
Highland Phylum, North Coast Phylum dan Bird’s Head Phylum.
112
lain. Setelah beberapa waktu lamanya tanah bekas kebun itu
dibiarkan dalam masa bera (masa istirahat) hingga ditumbuhi
pepohonan dan belukar yang menyebabkan pulihnya kesuburan,
maka bekas kebun itu bisa diolah kembali. Selain upaya kesuburan
tanah sebagaimana dilakukan di atas, orang dani percaya kesuburan
tanah dapat terjadi kekuatan magis. Di mana lazimnya di setiap uma
terdapat satu atau dua orang yang memiliki rahasia kekuatan dapat
menyuburkan tanah, mereka ini disebut aptugure, yang mana sebagai
kepala adat kesuburan tanah. Cara menyuburkan tanah oleh seorang
aptugure ialah dengan ia menggosok darah babi keliling kebun pada
saat upacara penanaman dimulai.
Sedangkan tanah yang dikerjakan sebagai kebun biasanya
dikuasai oleh satu, dua atau lebih kelompok kekerabatan yang
bergabung, namun demikian terkadang juga hanya oleh satu
kelompok kerabat saja. Batas-batas hak ulayat masing-masing
kelompok kekerabatan biasanya ditandai oleh unsur-unsur alam
seperti sungai, gunung/bukit, atau jurang. Anggota-anggota tiap
kelompok kekerabatan berhak memakai tiap bagian dari tanah yang
belum atau tidak digunakan oleh anggota lain untuk dirinya sendiri,
asal ia memberitahukan pemakaian bidang tanah tadi kepada kepala
kelompok (kain). Jika si pemakai meninggalkannya, maka anggota
lain dari kelompok yang sama dapat menggunakannya tanpa ada
pembayaran ganti rugi. Namun demikian, kadang-kadang jika ada
tanah yang kebetulan merupakan tanah yang dihargai oleh banyak
orang , seorang yang hendak bercocok tanam di lokasi tersebut, bisa
memberikan seekor babi kepada si penggarap sebelumnya. Salah
satu bentuk transaksi tanah secara tradisional dimana sebidang tanah
113
dapat diserahkan oleh si penggarap kepada kerabat lain dengan cara
menerima hasil panen ubi yang pertama dari kelompok kerabat yang
hendak menggarap tanah tersebut (Koentjaraningrat, 1970:1314;cf.Peters, 1965).
Pembagian kerja antara pria dan wanita yang berkaitan dengan
proses becocok tanam lazimnya diawali dengan pekerjaan kaum lelaki
kemudian disusul dengan pekerjaan kaum wanita. Kaum pria
menebang pohon, memotong belukar dan membakar pohon-pohon
dan belukar yang telah dipotong dan sudah kering. Pekerjaan pada
tahap berikutnya adalah dikerjakan oleh kaum wanita di mana
membersihkan sisa-sisa kayu dan dahan yang telah dibakar untuk
dibawa pulang ke rumah digunakan sebagai kayu api untuk
memasak. Tahap berikutnya, kaum pria mencongkel dan membalik
tanah dengan menggunakan tugal. Pekerjaaan selanjutnya yakni
kaum
wanita
memecah-mecahkan
gumpalan-gumpalan
tanah
tersebut menjadi halus dengan menggunakan kayu tugal atau dengan
menggunakan tangan.
Pekerjaan yang cukup penting sebelum kebun ditanami adalah
pembuatan pagar keliling kebun dengan tumpukan-tumpukan batu,
selain itu membuat irigasi yang merupakan selokan-selokan kecil
yang mengelilingi dan memotong-motong kebun itu. Pekerjaan ini
dilakukan oleh kaum lelaki. Setelah kebun siap ditanami, kepala
kelompok (kain) kemudian membagi-membagi lokasi kebun yang
sudah siap ditanami itu kepada anggota-anggota wanita dari
keluarganya,
yakni
ibunya,
istri-istrinya,
saudara-saudara
perempuannya dan anak-anak perempuannya. Lokasi yang telah
dibagi oleh kain diolah dan diurus oleh para wanita yang sudah
114
diserahkan tanggungjawab tersebut. Merekalah yang akan menanam,
menyiangi, menyiram hingga akhirnya menuai.
4. Beternak babi
Salah satu aktivitas mata pencaharian orang Lani yang sangat
penting adalah memelihara babi. Setiap orang baik laki-laki maupun
perempuan secara pribadi memiliki sejumlah ternak babi. Meskipun
babi tersebut dimiliki secara personal oleh seorang laki-laki maupun
seorang perempuan, akan tetapi pekerjaan memelihara babi hanya
dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak.
Babi adalah salah satu ternak yang sangat penting hingga
dewasa ini dalam kehidupan orang Lani karena mempunyai banyak
fungsi. Perlu diketahui bahwa setelah adanya kontak dengan dunia
luar yang dibawa oleh pihak gereja dan pemerintah sebagai agen of
development, ternyata ada sejumlah ternak yang dimasukkan ke
wilayah lembah Baliem dan sekitarnya, seperti domba, sapi, kelinci,
dll. Namun demikian, babi tetap memiliki nilai yang paling tinggi dalam
kehidupan orang Lani. Hal ini karena secara tradisional ternak babi
selain dagingnya merupakan sumber protein utama, juga darahnya
digunakan dalam aktivitas magic. Tulang-tulang dan ekornya dibuat
menjadi ornament, tulang rusuknya dibuat menjadi pisau untuk
mengupas ubi, alat-alat kelaminnya diikat sebagai gelang tangan
untuk menolak roh-roh jahat. Salah satu fungsi yang paling penting
dari babi dalam kehidupan orang Lani di Kabupaten Tolikara dan
sekitarnya adalah babi digunakan sebagai alat tukar menukar,
sebagai bride price (mas kawin) dan fungsi ekonomi perdagangan.
Selain itu jika terjadi konflik antar kelompok, babi juga digunakan
sebagai alat perdamaian. Demikianpun babi digunakan sebagai alat
115
persatuan antar kelompok-kelompok kekerabatan yang berlainan atau
antar konfederasi dalam upacara-upacara pesta babi yang besar.
5. Struktur Sosial
Orang Lani mengenal dua kelompok utama dalam rangka
pembentukan struktur sosial mereka, yakni kelompok-kelompok
kekerabatan dan kelompok-kelompok teritorial atau wilayah. Namun
demikian ada baiknya kita perlu meninjau ke belakang mite dalam
kehidupan orang Lani di Tolikara. Menurut kisah mite tersebut orang
Lani sama halnya orang Dani yang ada di Lembah Baliem berasal
dari sepasang suami isteri yang muncul dekat sebuah danau yang
terletak di sekitar Kampung Maina, di lembah Selatan. Adapun anakanak yang berasal dari pasangan suami isteri tersebut, dibagi menjadi
dua kelompok. Masing-masing kelompok diberi nama wita dan waia.
Atas pesan orang tua tersebut di mana tidak boleh terjadi perkawinan
diantara anggota dalam kelompok yang sama. Perkawinan hanya
boleh berlangsung diantara anggota kelompok yang berlainan, yakni
antara anggota dari kelompok wita berpasangan dengan anggota dari
kelompok waia.
Menurut Heider dalam Mansoben (1995:145), kesatuan wilayah
atau teritorial terbesar yang terdapat pada orang Lani di Tolikara
adalah
konfederasi
(confederation).
Kesatuan
teritorial
aliansi
sebenarnya lebih besar dari konfederasi, namun menurut Heider
(1979:62), tidak dapat dikategorikan sebagai kesatuan teritorial sebab
tidak bertahan lama bila dibandingkan dengan kesatuan-kesatuan
teritorial lainnya seperti konfederasi, wilayah bertetangga, gabungan
kompleks dan kompleks. Orang Lani sendiri tidak mempunyai istilah
khusus
untuk
menyebut
konfederasi,
116
namun
demikian
tiap
konfederasi dinamakan atau disebut menurut nama klen-klen besar
dari mana orang-orang penting berasal.
Meskipun
sifat
konfederasi
bertahan
lama,
namun
keanggotaannya tidak permanen. Anggota-anggota satu konfederasi
dapat berpindah ke konfederasi lain untuk menetap dan bergabung
dengan teman-temannya dan di tempat baru mereka mendapat tanah
untuk membangun rumah dan untuk berkebun. Satu konfederasi
dapat berpindah dari satu lokasi yang lama ke lokasi yang baru yang
tidak ditempati oleh konfederasi yang lain. Perpindahan konfederasi
tersebut terjadi karena apabila di lokasi yang semula (lokasi lama)
terjadi bencana alam atau peperangan.
Konfederasi bukanlah merupakan kesatuan sosial resmi yang
menguasai tanah atau hak milik. Hanya sedikit saja pristiwa yang
melibatkan seluruh konfederasi. Namun demikian, fungsi formal
konfederasi ialah penggunaan nama konfederasi untuk menyatakan
tempat tinggal atau untuk menyatakan di mana terjadinya peristiwaperistiwa tertentu yang penting. Satu konfederasi dapat disamakan
dengan satu wilayah geografis yang memiliki batas-batas wilayah
yang jelas dan mempunyai pemimpin yang dikenal sebagai pemimpin
pria berwibawa (big man).
Menurut Heider (1979:62), besarnya
konfederasi dapat diatur sehingga setiap orang dari konfederasi dapat
saling mengenal satu dengan lain dan apabila terjadi konflik internal
antar anggota, dapat diselesaikan secara damai.
Selain
konfederasi-konfederasi
besar
terdapat
juga
konfederasi-konfederasi kecil yang hanya memiliki beberapa ratus
anggota saja. Ada pula aliansi yang sebenarnya
lebih besar bila
dibandingkan dengan konfederasi, namun demikian sifat aliansi
117
tersebut tidaklah permanen. Suatu aliansi meliputi suatu wilayah
tertentu dan dipisahkan dari aliansi-aliansi lainnya oleh suatu daerah
yang lebarnya berkisar antara 200–500 meter dan tidak didiami
manusia. Adapun setiap aliansi terdiri dari beberapa konfederasi.
Sebagaimana halnya konfederasi, aliansi juga tidak memiliki nama
khusus dalam kehidupan orang Lani di Tolikara. Nama aliansi
dinamakan hanya berdasarkan seorang yang paling berkuasa dan
besar pengaruhnya di antara pemimpin-pemimpin lain di dalam aliansi
tersebut. Jumlah anggota sebuah aliansi meliputi beberapa ribu
orang. Ada dua fungsi utama aliansi, yakni untuk alasan perang dan
pesta babi.
Adapun perang yang biasanya terjadi di antara orang Lani
adalah perang antar aliansi bukan perang di dalam aliansi. Dalam hal
fungsi aliansi bagi penyelenggaraan pesta babi yang berlangsung
sekali dalam 5 tahun dengan melibatkan semua anggota aliansi.
Orang yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pesta babi ini
adalah orang yang paling kuat berkuasa dan pengaruhnya besar di
antara pemimpin-pemimpin lainnya. Pemimpin penyelenggaraan
pesta babi inilah juga yang menjadi pemimpin perang aliansi.
Menurut Heider (Mansoben 1995:146), kesatuan wilayah lain
yang dikenal di Tolikara adalah apa yang disebut Heider dengan
istilah
“wilayah
bertetangga”
(neighbourhood).
Sama
dengan
konfederasi dan aliansi yang tidak memiliki isitilah khusus dalam
bahasa orang Dani,
wilayah bertetanggapun demikian. Walaupun
disebut kesatuan wilayah, namun tidak mempunyai batas-batas
wilayah yang jelas. Kesatuan wilayah ini hanya nampak dalam
interaksi
antar-anggota
konfederasi
118
yang
berbeda-beda
tetapi
berdekatan letaknya. Orang-orang dari dua konfederasi yang berbeda
tetapi berdekatan tempat tinggalnya dan sering membuat kebun
bersama dan lebih banyak berinteraksi dibandingkan dengan sesama
anggota konfederasi yang jauh tempat tinggalnya.
Selain itu, kesatuan-kesatuan wilayah yang terkecil adalah
gabungan kompleks (compound clusters) dan kompleks (compound).
Suatu gabungan kompleks dibentuk oleh sejumlah kompleks,
sedangkan satu kompleks merupakan satu kompleks perumahan.
satu kompleks itu sebagai “uma” dan
Orang Lani menyebut
gabungan kompleks sebagai “o-ukul” (Broekhuijse 1967:27-29).
Kesatuan wilayah “uma” adalah kesatuan sosial dan politik yang lebih
nyata dari pada kesatuan-kesatuan wilayah lain yang disebut lebih
dahulu di atas.
6. Sistem religi
Adapun sistem religi tradisional orang Lani sama dengan orang
Dani yaitu kepercayaan dan penghormatan pada roh nenek moyang.
Upacara sentralnya adalah dalam aktivitas pesta babi. Makna dari
upacara
keagamaan
ditujukan
kepada
konsep
mengenai
kesejahteraan hidup dan perang. Konsep keagamaan yang penting
19
adalah “atoa” . “Atoa” adalah kekuatan sakti para nenek moyang
yang diturunkan secara patrilineal. Tidak hanya pada keturunan lakilaki tetapi juga keturunan perempuan dapat memperoleh “atoa” dari
nenek
moyang.
Namun
demikian
si
perempuan
yang
yang
memperoleh “atoa” tidak bisa meneruskannya kepada keturunan
selanjutnya, hanya sampai pada si perempuan tersebut. “Atoa” juga
dapat digunakan oleh seseorang untuk menjaga kebunnya terhadap
19)
Lihat Mansoben 1995 : 148
119
pelanggaran-pelanggaran
dengan
cara
memasang
satu
tanda
pantangan; dan siapa yang melanggar pantangan tersebut terkena
“atoa”. Diyakini bahwa pelanggar yang terkena “atoa” akan mengalami
berbagai bencana, seperti kakinya bengkak, digigit ular atau terkena
kecelakaan lainnya.
“Atoa juga dapat terkena si pemiliknya jika si pemiliknya
melanggar satu ajaran adat nenek moyang. “Atoa” juga bisa
digunakan untuk menyembuhkan orang sakit, menolak bahaya,
menyuburkan tanah, memberikan motivasi hidup dan tenaga. Orang
Lani memercayai “atoa” itu terdapat di dalam nafas manusia.
Menghembuskan nafas sering digunakan untuk menyembuhkan
penyakit, menyadarkan kembali orang yang pingsan dan sebagainya.
Dewasa ini orang Lani sebagian besar telah memeluk agama
Kristen Protestan dan juga Katholik yang masuk sekitar tahun 1950an. Selain itu, sekitar tahun 1980-an juga telah masuk agama Islam
ke wilayah ini. Masuknya agama-agama dunia tersebut ke lembah ini
telah membuat sebuah perubahan yang signifikan dalam ritual agama
tradisional. Kini mereka tidak lagi melakukan ritual agamanya di honai
tempat di mana “kaneke” disimpan. Tetapi kini sebagai besar orang
Lani pergi beribadah ke rumah-rumah ibadah seperti gereja-gereja
dan mesjid-mesjid yang dibangun di daerah tersebut. Dalam upacara
pesta babi juga salah satu ritual utamanya adalah ibadah (berdoa)
dalam versi agama Kristen dan atau Katholik.
7. Sistem Politik Kain
Menurut Mansoben (1995:149), pemimpin-pemimpin orang
Lani jika diurutkan berdasarkan tingkat-tingkat kesatuan sosial seperti,
uma, konfederasi dan aliansi, maka struktur kepemimpinannya akan
120
terlihat sebagai berikut : pada tingkat kesatuan kompleks atau “uma”
(compound)
terdapat
seorang
pemimpin
yang
disebut
kain.
Wewenang “kain” pada tingkat “uma” adalah hak atas tanah milik
“uma”. Dialah yang membagi-bagikan tanah kepada saudarasaudaranya dan kepadanya juga pembayaran tanah diberikan. Dia
jugalah yang memberikan ijin jika ada orang dari “uma” lain hendak
membuka kebun di atas tanah yang dikuasainya (Peters, 1975:55).
Kesatuan politik gabungan kompleks atau “o-ukul” yang sama
dengan desa (kampung) yang merupakan gabungan dari beberapa
“uma” juga terdapat seorang pemimpin yang disebut juga “kain”.
Kedudukan sebagai “kain” pada tingkat “o-ukul” (desa/kampung)
ditentukan oleh keberanian yang ditunjukkan seseorang yang
melebihi keberanian yang ditunjukkan orang lainnya dari “o-ukul”-nya
ketika perang. Kepemimpinan di sini bersifat informal. Wewenang
seorang “kain”
pada tingkat “o-ukul”
adalah mengatur masalah-
masalah penting yang menyangkut kehidupan politik, ekonomi dan
agama warganya.
Ada lagi kesatuan politik yang disebut “ap logalek” yang berada
di atas o-ukul. Pada kesatuan “ap logalek” ini terdapat dua pemimpin,
yang masing-masing berasal dari dua cabang klen yang merupakan
inti
dan biasanya juga merupakan cabang klen yang dominan di
dalam “ap logalek”. Sebagaimana pada tingkat kesatuan o-ukul,
disinipun syarat untuk menjadi “kain” atau pemimpin adalah memiliki
sifat keberanian yang melebihi keberanian dari kebanyakan orang
laki-laki di dalam “ap logalek” sendiri.
Kesatuan politik yang lebih besar dari “ap logalek” adalah
“konfederasi”. Seorang pemimpin konfederasi adalah pemimpin yang
121
mempunyai kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar dari
pemimpin-pemimpin lainnya yang terdapat pada tingkat “ap logalek”.
Peranan utama dari seorang pemimpin (“kain”) pada tingkat
konfederasi
adalah
pemimpin
perang
dan
mensponsori
penyelenggaraan pesta babi. Sedangkan kesatuan politik terbesar
pada orang Dani adalah “aliansi”. Sebuah “aliansi” adalah merupakan
gabungan dari konfederasi-konfederasi dan fungsi utamanya adalah
perang melawan aliansi lainnya. Seorang yang diangkat menjadi
pemimpin aliansi seorang dari para pemimpin konfederasi yang
mempunyai kelebihan dan mampu menghimpun konfederasi lainnya.
Seorang pemimpin aliansi juga disebut “kain”.
Heider
20
dalam studinya melaporkan bahwa informan-informan
berulang kali menyatakan kepadanya bahwa syarat-syarat seorang
“kain” adalah pertama-tama pernah membunuh seorang musuh di
medan perang. Syarat inilah yang dinyatakan sebagai syarat utama,
sedangkan syarat lainnya seperti mempunyai banyak isteri dan
banyak babi adalah syarat kedua (Heider, 1979:70). Walaupun Heider
sendiri
meragukan
Broekhuijse
21
pernyataan
(1967:76),
tersebut,
terlihat
bahwa
namun
dari
pernyataan
laporan
tersebut
beralasan, karena “21 orang kain” atau pemimpin dari “ap logalek”
yang berbeda-beda, rata-rata pernah membunuh 41 orang musuh.
Keberanian dalam hal perang ditunjukkan dengan cara membunuh
musuh. Sifat berani tersebut menjadi idealisme dari setiap pemuda
Lani, karena sifat inilah yang mampu mempertahankan kelompoknya
dari serangan musuh. Keberanian inilah yang membuat seorang
20)
Mansoben 1995 : 150
Ibid Mansoben
21)
122
pemuda dapat meningkatkan harga diri atau prestisenya dalam
kelompoknya menjadi “kain”. Dan modal keberanian inilah yang
membuat seorang pemuda dapat memiliki banyak isteri. Dengan
memiliki banyak isteri, maka si laki-laki ini dapat memiliki banyak babi.
Jika babi banyak maka akan diakui oleh orang lain, terutama dalam
rangka penyelenggaraan pesta babi yang merupakan ritual penting
dalam kehidupan orang Lani.
Syarat-syarat lain yang dituntut dari seorang “kain” adalah
syarat suka memberi (bermurah hati) dan pandai mengatur pesta
babi. Kepandaian mengatur pesta babi ini berimplikasi pada
kesanggupan menyatukan semua kelompok yang terlibat di dalam
pesat babi tersebut. Jadi fungsi terselubung dari pesta babi ini adalah
guna memperkokoh solidaritas kelompok, terutama pada kelompok
konfederasi dan aliansi yang berfungsi dalam rangka ekonomi
(perdagangan) dan pertahanan keamanan. Dengan demikian orang
yang mampu memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas
mendapat tempat terhormat yakni sebagai “kain” (pemimpin).
8. Perubahan kebudayaan
Dari sejumlah unsur dalam kehidupan orang Lani di Tolikara
yang dijelaskan di atas, boleh dikatakan sudah banyak yang kini
mengalami perubahan sebagai bagian dari pembukaan isolasi melalui
proses
pembangunan
yang
masuk
ke
wilayah
ini.
Proses
pembangunan yang masuk ke wilayah ini mulai dari penanaman nilainilai baru dalam hal keagamaan dengan masuknya tiga agama besar
yakni Kristen, Katholik dan Islam hingga masuknya pendidikan
sebagai peradaban baru yang mengikis habis pola pendidikan
tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di honai-honai adat.
123
Perubahan semakin menjadi-jadi lagi ketika adanya pemekaran
wilayah administrasi pemerintahan baru, baik di tingkat kabupaten,
distrik
(kecamatan)
maupun
kampung-kampung
(desa-desa).
Berbagai aksesibilitas seperti, jalan, jembatan, dan lapanganlapangan
terbang
gencar
dibuka
sebagai
konsekuensi
dari
pembangunan dalam rangka pemekaran.
Sarana komunikasi-informasi utama di wilayah ini adalah selain,
berbagai media cetak (koran/majalah,dll), juga televisi berbagai
chanel, serta handphone dan internetpun telah tersedia. Selain itu
juga telah tersedia mall dan supermarket (pusat perbelanjaan) seperti
kota-kota lain di Indonesia, meskipun mall/supermaket tersebut tidak
semegah mall-mall lainnya di kota-kota besar di Indonesia dan
ketersediaan barang-barang dagangan tidak selengkap seperi kotakota besar tersebut. Sejumlah hotel dan penginapan telah hadir di
wilayah ini sejak beberapa dekade lalu, demikianpun rumah makan,
restoran, dan sebagainya telah membentuk daerah ini mejadi sebuah
“kota baru” yang tidak dibayangkan sebelumnya. Banyak migran dari
luar Tolikara yakni suku-suku tetangga yang datang ke tempat ini
selain untuk melanjutkan pendidikan tetapi juga untuk mengadu nasib
(mencari pekerjaan) di wilayah “kota baru” ini. Tak kalah pula, migran
dari daerah Indonesia lainnya, seperti Suku Bugis, Makasar, Buton,
Jawa, Sumatera, Maluku, dll yang ke wilayah ini untuk berbisnis atau
mencari pekerjaan lainnya.
Jadi bisa dikatakan bahwa Tolikara yang beberapa dekade lalu
dianggap sebuah daerah yang eksotik dan terisolasi dalam konteks
Indonesia dan dunia umumnya, namun di abad kedua puluh satu ini,
Tolikara benar-benar telah berubah menjadi sebuah daerah yang
124
berkembang pesat. Di Kota Tolikara sekarang ini sudah jarang kita
melihat orang yang berjalan dengan
memakai koteka (pakaian
tradisional lelaki), atau di dalam kota sudah tidak terlihat rumah-rumah
honai. Kedua hal tersebut merupakani simbol dari kehidupan orang
Lani di Tolikara.
Perang suku yang beberapa dekade lalu masih gencar
dilakukan antar aliansi, konfederasi, dll, kini nyaris tak terlihat, bahkan
aliansi dan konfederasi itupun kini sudah terlupakan oleh generasi
baru, karena perang bukan lagi sebuah aktivitas utama. Orang
sekarang sibuk mengurus daerah-daerah pemekaran baru. “Kainkain” (para pemimpin)
dalam perang tradisional yang melakukan
ritual pesta babi tiap lima tahun sekali, sekarang sibuk mencari uang
membangun relasi untuk mengokohkan kedudukannya sebagai “kain
modern” (pemimpin modern) yakni sebagai gubernur, bupati, kepalakepala dinas, kepala-kepala bagian, kepala-kepala distrik, kepalakepala kampung, pemimpin partai, pemimpin agama, dll. Kesibukan
membangun konfederasi dan aliansi tidak hanya terjadi di sekitar
Tolikara antara sesama kelompok di daerah tersebut, tetapi dibangun
hingga ke Jayapura pusat
ibukota Provinsi Papua dan Jakarta
Ibukota negara Indonesia. Konfederasi dan aliansi menjadi begitu luas
dan kompleks karena melibatkan berbagai kelompok suku, kelompok
paguyuban, kelompok agama, kelompok kepentingan, seperti partai
politik, para anggota legislatif dan eksekutif serta para pengusaha.
Demikian Tolikara dan orang Lani hari ini tidaklah sebuah
wilayah dan suku bangsa yang terisolasi lagi.
Daerah ini dan
kebudayaannya sudah banyak yang berubah sebagai akibat dari
pertemuan dengan budaya dunia lainnya, dengan orang-orang dari
125
berbagai belahan dunia, dan
dari teknologi komunikasi-informasi
yang sedang menguasai dunia. Itulah Tolikara di era Globalisasi ini.
C. Ekologi dan Habitat Kelapa Hutan
Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap
jenis kelapa hutan, baik konservasi pada habitatnya di alam (in-situ)
maupun di luar habitatnya di alam (eks-situ), salah satu aspek yang
sangat perlu untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang
meliputi faktor fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim
(suhu dan kelembaban), kondisi tanah (tanah, tanah berbatu, tanah
berkarang dan karang) serta kesuburan tanah. Syafei (1994)
menyebutkan bahwa faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik
(tanah), topografi dan biotik antara satu dengan yang lain sangat
berkaitan erat dan sangat menentukan kehadiran suatu jenis
tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab
terjadinya kaitan yang erat tersebut. Selanjutnya Marsono (1972)
menyebutkan bahwa kehadiran suatu jenis dalam suatu tempat atau
areal ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ; habitat,karena
habitat akan mengadakan seleksi terhadap jenis yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan setempat, waktu, dengan berjalannya
waktu vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan kehadiran
satu jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang berada
disekitarnya.
126
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 29. Habitat kelapa hutan di Distrik Nabunage Kabupaten
Tolikara
Kelapa hutan di Kabupaten Tolikara umumnya di tanam pada
areal kebun dan kawasan hutan yang merupakan milik bersama
marga atau klen. Kadang-kadang suatu kawasan hutan atau kebun di
daerah Tolikara dapat dimiliki bersama oleh beberapa marga atau
clan. Selain ditanam oleh masyarakat, jenis ini juga tumbuh liar di
areal bekas-bekas kebun, tanah-tanah kosong dan hutan sekunder
atau di pinggiran kawasan hutan.
127
1. Faktor Fisiografis
Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting
artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama
karena pengaruhnya terhadap iklim. Topografi mempunyai arti klimatis
karena menentukan arah dari mana angin bertiup, kelembaban dan
banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam menentukan
kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan
tertentu (Leksono, 2007).
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu
daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Topografi
mempengaruhi proses pembentukan tanah dan kesuburan tanah. Di
daerah bergelombang, drainase tanah lebih baik sehingga pengaruh
iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan pelapukan serta
pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang berlereng curam
kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi permukaan sehingga
terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan rendah). Sebaliknya,
pada kaki lereng tersebut sering ditemukan tanah dengan profil dalam
akibat penimbunan bahan organik yang dihanyutkan dari lereng
tersebut. Topografi mempengaruhi sifat-sifat tanah antara lain tebal
solum, kandungan bahan organik, kandungan air tanah, warna tanah,
reaksi tanah (pH), kandungan basa, kandungan garam dan lain-lain
(Hardjowigeno, 2007).
Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor iklim.
Suhu atau temperatur udara akan menurun jika ketinggian tempat
bertambah (Arifin, 1994). Setiap kenaikan 100 m dpl di daerah tropik
suhu turun kira-kira 0,6°C sampai pada ketinggian 1,5 km (Lockwood,
1974 dalam Monteith, 1977). Semakin tinggi letak suatu tempat di
128
Tanah Papua, keanekaragaman jenis semakin menurun namun
tingkat keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Ketinggian
tempat pada habitat kelapa hutan di Kabupaten Tolikara) adalah
1.670–1.860 m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka
kelapa hutan digolongkan kedalam jenis tumbuhan non kayu (bukan
pohon) dataran tinggi.
Tabel 21. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat kelapa
hutan di Kampung Nabunage Kabupaten Tolikara
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
1.670
1.700
1.740
1.800
1.860
30
35
40
45
50
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) pada areal kebun
masyarakat di Kampung Nabunage
tumbuh baik pada kelerangan
0–50 %. Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang
relatif datar, bergelombang ringan, sedang sampai
berat. Dengan
luas areal yang relatif datar dan bergelombang ringan, cenderung
lebih kecil dari gelombang sedang dan berat. Kondisi habitat demikian
secara alami sangat berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas
pertumbuhan
kelapa
hutan.
Dari
hasil
pengamatan
kualitas
pertumbuhan kelapa hutan pada habitat datar dan lembah-lembah
yang curam umumnya
sangat
baik dan banyak terdapat anakan
yang tumbuh secara alami yang berasal dari
gugur.
129
buah masak yang
Selain pengamatan habitat kelapa hutan pada Kampung
Nabunage Distrik Nabunage, pengamatan juga dilakukan pada habitat
kelapa hutan di daerah sekitar Distrik Nabunage Kabupaten Tolikara.
Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 22 berikut.
Tabel 22. Ketinggian tempat dan kelerengan
hutan di sekitar Distrik Nabunage
pada habitat kelapa
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
1.970 m dpl
2.050 m dpl
2.100 m dpl
2.200 m dpl
2.280 m dpl
05 – 40
10 –45
15 –50
20 – 55
25 – 60
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) di daerah Distrik
Nabunage
Kabupaten
Tolikara
ternyata
dapat
tumbuh
pada
ketinggian sampai 2.280 m dpl dengan kelerengan sampai 60%. Hal
ini mengindikasikan bahwa jenis ini mampu beradaptasi dengan iklim
pegunungan yang dingin dengan kelerengan yang bervariasi dari
datar, bergelombang ringan sampai bergelombang berat.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban serta pengamatan penutupan tajuk
(persen naungan) pada habitat
kelapa hutan (P. brossimos dan
P. julianettii) disajikan pada Tabel 23.
130
Tabel 23. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan
tajuk pada habitat kelapa hutan
Habitat
Suhu
(Cº)
1
2
3
4
5
21
21
21
20
22
Kelembaban
(%)
82
80
80
85
90
Naungan
(%)
50
65
40
75
30
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) tumbuh pada
daerah-daerah dengan naungan ringan, sedang sampai tinggi
(30–75%) dengan suhu optimum berkisar antara 20–21ºC dan
kelembaban optimum berkisar antara 80–90 %. Adanya kisaran
demikian disebabkan karena kelapa hutan di Kampung Nabunage
dan daerah lainnya di Distrik Nabunage Kabupaten Tolikara ditanam
oleh masyarakat pada areal kebun serta hutan alam baik primer
maupun sekunder yang terdapat pada punggung-punggung bukit
atau gunung dan puncak bukit atau gunung.
Kelapa hutan merupakan jenis tumbuhan monokotil “semi
toleran” yang tumbuh tegak dan umumnya sangat peka terhadap iklim
mikro tertentu, terutama suhu dan kelembaban. Untuk dapat
menghasilkan buah yang baik dan kontinu sepanjang tahun,
tumbuhan ini harus hidup pada iklim mikro yang sesuai jika tidak
maka proses berbuahnya akan lambat dan buahnya tidak akan
kontinu sepanjang tahun. Jenis ini juga merupakan tipe tumbuhan C3
yang tidak terlalu membutuhkan cahaya matahari untuk proses
pembungaan dan pembuahan.
131
3. Keadaan Tanah
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) umumnya tumbuh
pada habitat tanah dengan keadaan solum yang tipis (< 10 cm atau
± 10 cm), sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), dengan variasi
habitat tanah, tanah berliat dan tanah berlempung serta kondisi
habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu tetapi kelapa hutan
yang tumbuh liar kadang-kadang dapat tumbuh pada daerah
tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada habitat rawa
(tergenang), baik rawa temporer maupun rawa permanen.
Habitat
kelapa hutan dengan
kedalaman solum yang tipis
(<10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada punggung-punggung
bukit. Sedangkan habitat kelapa hutan dengan kedalaman solum
sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada
kaki bukit dan lembah. Hasil analisis sampel tanah secara lengkap
disajikan pada Tabel 24.
132
Tabel 24. Kesuburan tanah pada habitat kelapa hutan di Kampung
Nabunage
Parameter
Nilai
Satuan
Uji
Kandungan
N tot
0,41
%
N tsd
284,30
Ppm
P tsd
24,11
Ppm
K tsd
0,47
Me/100 gr
Ca tsd
24,30
Me/100 gr
Fe tsd
40,48
Ppm
Mg tsd
1,58
Me/100 gr
Mn tsd
309,03
Ppm
Cu tsd
19,75
Ppm
Na tsd
0,82
Me/100 gr
Zn tsd
8,16
Ppm
pH (H2O)
4,84
pH
C/N ratio
7,44
Bahan Organik
4,25
%
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
Tanah pada habitat buah kelapa hutan (P. brossimos dan
P. julianettii) bersifat asam (pH 4,84), N total sedang, N tersedia
rendah sampai sedang, P tersedia sedang, Mg tersedia sedang,
bahan organik tinggi, C/N ratio rendah dan K tersedia sedang.
D. Potensi Tegakan dan Potensi Buah
1. Potensi Tegakan
Pengamatan
terhadap
potensi
tegakan
kelapa
hutan
(P. brossimos dan P. julianettii) tidak dilakukan, hal ini disebabkan
karena jenis ini merupakan jenis tumbuhan endemik (indigenous)
yang telah ditanam oleh masyarakat Tolikara secara turun temurun
sehingga secara alami jenis ini dianggap oleh masyarakat sebagai
jenis yang ditanam (meskipun tumbuh secara alami) dan secara
133
umum jenis tersebut sudah dimiliki oleh marga tertentu atau beberapa
marga karena secara adat pembagian tanah sudah dilakukan sejak
zaman nenek moyang mereka.
Meskipun masyarakat telah lama melakukan kegiatan budidaya
kelapa hutan namun tidak semua masyarakat Tolikara menanam
kelapa hutan pada areal pekarangan dan kebun mereka. Hal ini
disebabkan karena jenis kelapa hutan ini kalau di tanam pada areal
pemukiman, hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.
Meskipun telah memasuki zaman modern, masyarakat di Kabupaten
Tolikara dan Pegunungan Tengah pada umumnya masih tetap
menanam dan menjaga tanaman kelapa hutan di kebun-kebun
mereka. Adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras tidak
menurunkan semangat mereka dalam menanam dan menjaga kelapa
hutan di kebun mereka. Hal ini disebabkan karena secara budaya
buah kelapa hutan sangat berpengaruh dalam adat istiadat penduduk
setempat, terutama dalam acara-acara adat sehingga masyarakat
telah merasakan
manfaat ekonomi secara langsung dari kelapa
hutan tersebut.
2. Potensi Buah
Kelapa hutan
(P. brossimos dan P. julianettii) yang telah
mencapai masa berbuah, biasanya berbuah berdasarkan musimnya
sepanjang tahun. Menurut informasi dari masyarakat Lani, kelapa
hutan dapat berbuah 2 sampai 3 kali dalam setahun.
134
Dokumentasi : Ezrom Batorinding
Gambar 30. Buah kelapa hutan (P. brossimos) yang dijual di
pasar dengan harga per tumpukan Rp. 50.000 –
Rp. 100.000,Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara
masyarakat terhadap
dengan
kelapa hutan yang berbuah, dapat diduga
bahwa potensi buah kelapa hutan per pohon sangat bervariasi
menurut umur. Namun secara umum
potensi buah kelapa hutan
tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan
menghasilkan 1–3 ember per pohon untuk sekali panen, hal ini
disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut
umumnya tidak banyak, sekitar 2–4 buah per pohon, namun karakter
buah kelapa hutan yang merupakan buah majemuk dengan diameter
15-22 cm menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume.
E. Kandungan Gizi Kelapa Hutan
Analisis kandungan gizi buah kelapa hutan (P. brossimos dan
P. julianettii) secara lengkap disajikan pada Tabel 25 dan 26.
Perbandingan kandungan gizi buah buah kelapa hutan dengan
135
beberapa jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 27.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 31. Teknik pemanenan kelapa hutan
Tabel 25. Kandungan gizi kelapa hutan (P. brossimos)
Hasil Analisis
Macam Analisa
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Protein Total
Serat Kasar
Vitamin C
Sumber :
Ul1
Ul2
12,92
3,28
48,16
12,69
21,98
109,51
12,73
3,34
48,03
12,69
21,81
107,34
Rata-Rata
12,83
3,31
48,09
12,69
21,89
108,43
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM
Tahun 2011
136
Tabel 26. Kandungan gizi buah kelapa hutan (P. julianettii)
Hasil Analisis
Macam Analisa
Rata-Rata
Ul1
Ul2
Kadar Air
9,00
11,00
10,00
Kadar Abu
3,45
3,38
3,42
Kadar Lemak
35,76
38,85
37,31
Protein Total
11,90
14,10
12,50
Serat Kasar
24,39
23,18
23,79
Vitamin C
103,45
101,62
102,54
Sumber :
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM
Tahun 2011
Tabel
27. Perbandingan kandungan gizi buah kelapa hutan
(P. brossimos dan P. julianettii) dengan beberapa jenis
buah-buahan
Protein
Lemak
Vit C
Air
(gr)
(gr)
(mg)
(gr)
Alpukat
0,9
6,5
13
84,4
Durian
2,5
3,0
5,3
65
Sirsak
1,0
0,3
20
81,7
Langsat
0,9
0,2
3,0
81
Pepaya
0,5
0
78
86,7
Rambutan
2,0
0,1
58
80,5
Salak
0,9
0
2
78
Markisa
2,73
3,34
29,82
64,48
P. brossimos
12,69
48,09
108,43
12,83
P. julianettii
12,50
37,31
102,54
10,00
Buah
Sumber :
Data Primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011 dan The Indonesian
Commodity System dalam Suhardi et al, 2006
137
Secara umum kandungan protein, lemak dan vitamin C pada
buah kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi
oleh masyarakat Indonesia secara umum.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 32. Honai tempat penyimpanan kelapa hutan
F. Etnobotani Kelapa Hutan Dalam Budaya Suku Dani
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) adalah jenis buah
yang dikomsumsi (dimakan) oleh masyarakat asli Tolikara dan
masyarakat Pegunungan Tengah pada umumnya juga masyarakat
pendatang
yang
telah
lama
berdomisili
di
daerah
tersebut.
Masyarakat telah memanfaatkan buah tersebut secara turun temurun
sejak zaman dahulu (pada saat pertama nenek moyang mereka
mengenal kelapa hutan tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada
bukti yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan
138
atau kapan orang Wamena pertama kali mengkonsumsi jenis buah
kelapa hutan tersebut. Namun secara budaya buah kelapa hutan ini
memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam
perkembangan budaya suku-suku di Pegunungan Tengah.
Buah kelapa hutan merupakan sajian yang paling istimewa
dalam suatu upacara adat bagi masyarakat Kabupaten Tolikara dan
masyarakat di pegunungan tengah lainnya. Kehadiran buah kelapa
hutan dalam suatu upacara adat merupakan gengsi tersendiri bagi
penyelenggara pesta adat tersebut. Selain kelapa hutan buah merah
(Pandanus conoideus) dan daging babi (Sus crova) juga merupakan
makanan istimewa yang harus ada dalam suatu upacara adat bagi
masyarakat di Kabupaten Tolikara dan masyarakat pegunungan
tengah.
Jika diperhatikan lebih saksama, hal ini sangat berkaitan
dengan sistem kepemimpinan tradisional di daerah Kabupaten
Tolikara
dan
kepemimpinan
pegunungan
tradisional
tengah
yang
pada
umumnya
umumnya.
berlaku
di
Sistem
daerah
pegunungan tengah dikenal dengan sebutan “Big Man” atau “Pria
Berwibawa”, dimana posisi sebagai pemimpin dapat ditempati oleh
siapa saja yang mempunyai kemampuan yang dalam hal ini orang
yang mempunyai kekayaan. Umumnya upacara adat di daerah ini
dilakukan oleh “Big Man” atau orang yang ingin dirinya diangkat
menjadi “Big Man”.
Seorang “Big Man” akan
lebih diakui atau
disanjung jika dalam upacara adat, makanan yang disajikan salah
satunya adalah kelapa hutan. Sehingga mau tidak mau dalam suatu
upacara adat kelapa hutan harus ada. Upacara adat yang sering
dilakukan adalah upacara adat sebelum dan sesudah perang,
139
upacara pernikahan, upacara sebelum dan sesudah panen, upacara
peresmian dan lain-lain.
Jika kelapa hutan tidak ada atau simpanan kelapa hutan pada
penduduk setempat sudah habis, maka kelapa hutan tersebut akan
dibeli pada daerah lain di Pegunungan Tengah. Sejauh apapun
daerah tersebut tetapi kalau persediaan kelapa hutannya ada maka
daerah tersebut akan didatangi untuk selanjutnya dilakukan proses
tawar menawar.
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Lani di Tolikara dan suku-suku lainnya (Yali,
Dani, Nduga dan lain-lain) telah lama memanfaatkan buah kelapa
hutan (P. brossimos dan P. julianettii) dalam kehidupan budaya dan
keseharian mereka. Saat ini masyarakat telah melakukan konservasi
tradsional dengan cara menanam kelapa hutan dengan bibit yang
berasal dari buah yang sudah tua atau mengambil anakan di bawah
pohon induknya, merawat anakan tersebut dan menanam anakan
kelapa hutan tersebut di areal kebun mereka.
Kegiatan pembibitan dan penanaman kelapa hutan dapat
dilakukan dengan biji (benih). Secara umum masyarakat lebih
mengenal sistem pembibitan dengan benih terutama untuk semai
yang sengaja ditanam atau yang tumbuh di bawah pohon induk,
masyarakat belum mengenal model pembibitan lainnya. Hal ini di
sebabkan karena pembibitan dengan biji (benih) atau anakan yang
terdapat di bawah pohon induk dianggap lebih baik dan sudah sering
dilakukan oleh masyarakat. Teknik pembibitan kelapa hutan dengan
biji (benih) yang dilakukan oleh masyarakat umumnya sama yaitu
menabur benih pada daerah berlumpur atau daerah yang basah
140
kemudian setelah satu bulan dicek, benih yang telah tumbuh dapat
dipisahkan ke dalam wadah berbentuk koker yang terbuat dari daundaunan. Anakan kelapa hutan tersebut kemudian dibawah ke kebun,
setelah berumur tiga bulan atau setinggi 50 cm dan dianggap sudah
bisa ditanam, anakan kelapa hutan tersebut kemudian ditanam pada
lokasi yang telah ditentukan.
H. Status Konservasi
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) merupakan jenis
tumbuhan pandan indegenous atau tumbuhan asli (native species)
yang bersifat endemik karena penyebarannya sangat terbatas di
Pulau Papua khususnya di daerah pegunungan tengah, baik wilayah
teritorial Republik Indonesia (RI) maupun wilayah teritorial Papua New
Guinea (PNG). Kedua jenis kelapa hutan tersebut telah dinyatakan
sebagai jenis tumbuhan langka oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) sejak Tahun 2000.
Secara ekologi kedua jenis kelapa hutan ini merupakan jenis
yang tumbuh pada hutan pegunungan khususnya hutan pegunungan
tengah di Pulau Papua dengan topografi landai, bergelombang,
punggung bukit dan puncak bukit. Penyebaran jenis ini secara alami
pada ketinggian di atas 1.000 m dpl.
Meskipun secara tradisional masyarakat Suku Lani di Tolikara
dan suku-suku lainnya (Yali, Dani, Nduga dan lain-lain) telah
melakukan konservasi tradisional namun sangat perlu untuk dibangun
kebun koleksi sebagai sumber benih untuk menjamin keberlanjutan
produksi benih untuk keperluan pembibitan jenis tersebut. Hal ini
untuk mencegah terjadinya kepunahan mengingat bahwa kedua jenis
kelapa hutan tersebut membutuhkan habitat yang spesifik untuk dapat
141
tumbuh secara baik. Selain pembuatan kebun koleksi, perlu juga
untuk dilakukan kegiatan penghijauan dan reboisasi mengingat bahwa
kedua jenis tersebut telah dinyatakan sebagai tumbuhan langka.
I. Prospek Pengembangan
Kelapa hutan sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah
Papua khususnya di daerah Pegunungan Tengah. Mengingat bahwa
jenis kelapa hutan tersebut merupakan jenis tumbuhan yang buahnya
sangat diperlukan oleh masyarakat Lani maupun masyarakat lainnya
di pegunungan tengah dalam perayaan upacara adat, maka
pengembangan jenis tersebut baik sebagai kebun koleksi, kebun
benih dan kebun masyarakat akan mendapat dukungan yang baik
dari masyarakat.
142
Gambar 33. Peta penyebaran kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) di Tanah Papua
143
144
Gambar 34. Kaum (B. obovata var. lonjong)
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
145
Gambar 35. Kaum (B. obovata var. bulat)
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
VII. BUAH KAUM (Burckella obovata (Forst.) Pierre) DAN
PEMANFAATANNYA
OLEH
SUKU
BIAK
DI
KABUPATEN BIAK NUMFOR
A. Deskripsi Botani
Kaum adalah salah satu jenis buah yang dimanfaatkan oleh
masyarakat tradisional di Kabupaten Biak Numfor sebagai makanan
cadangan. Secara umum terdapat 2 variasi buah kaum yaitu ; buah
bulat dan buah lonjong. Baik buah bulat maupun buah lonjong yang
sudah matang, memiliki daging buah yang sama dengan buah alpukat
(Persea americana) namun rasanya lebih manis
Burckella obovata (Forst.) Pierre baik variasi buah bulat
maupun buah lonjong sering disebut dalam bahasa Biak dengan
sebutan “kaum”. Berdasarkan karekter morfologi batang dan daun dari
kedua variasi tersebut, dapat dibedakan berdasarkan kunci identifikasi
sebagai berikut :
a.
Batang silindris, umumnya
berlekuk
dan
agak
terpuntir,
permukaan kulit batang kasar, bersisik dan berlekah, daun
berukuran 15-25 x 10-15 cm, buah umumnya berbentuk bulat
agak panjang atau lonjong........... B. obovata var. buah lonjong
b.
Batang silindris, umumnya tidak
berlekuk
dan
terpuntir,
permukaan kulit batang kasar, bersisik dan berlekah, daun
berukuran 15-20 x 8-12 cm, buah umumnya berbentuk bulat
sampai oval ...................................... B. obovata var. buah bulat
146
Keterangan :
= Lokasi Penelitian
Gambar 36. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Biak Numfor
147
Burckella obovata (Forster f.) Pierre var. buah lonjong
(Sapotaceae)
Nama dagang : nyatoh, sawo sabrang
Nama daerah : kaum (Biak), takun (Kurudu)
Sinonim
: Burckella cocco (Scheffer) Pierre, B. cocco var.
bawun H.J.Lam.
Perawakan: Pohon berukuran sedang sampai besar, tingginya
mencapai 15–25 cm. Batang utama silindris, lurus, kadang berlekuk,
berpilin dan sedikit berbuncak. Bebas cabang mencapai 7 m dengan
diameter setinggi dada mencapai 100 cm, berbanir sedang dengan
tinggi 100 cm dan lebar 150 cm. Pepagan luar kasar, berlekah dan
bersisik, berwarna coklat muda keabu-abuan, coklat
atau coklat
kuning keabu-abuan dengan bercak keputihan. Takikan batang
pepagan tebalnya 8–10 mm. Bergetah putih yang mengalir lambat.
Pepagan dalam berserat, berwarna kuning jingga. Daun tunggal,
kedudukan daun tersebar atau spiral, bentuk daun menjorong atau
memanjang, pangkal membaji, ujung meruncing, tepi rata atau
bergelombang, panjang daun 8–16 cm, lebar 5–7 cm, panjang tangkai
daun 20–35 mm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas,
sangat jelas, berwarna keputihan. Urat daun sekunder menyirip,
10–14 pasang. Perbungaan berbentuk berkas biasanya terdapat
pada ketiak daun atau ujung ranting. Bunga berwarna putih,
berkelamin satu, berumah 1 atau 2.
Buah membulat telur atau
lonjong, berdaging tebal, berpasangan atau tidak, berwarna hijau atau
hijau muda pada waktu muda dan hijau keputihan atau hijau
kekuningan pada waktu masak, bergaris tengah 4–7 cm. Biji 3-5,
berbentuk lonjong agak pipih dengan kedua ujungnya meruncing.
148
Batang pada daerah
tanpa naungan
Batang pada daerah
dengan naungan
Daun muda
Daun tua
149
Buah muda
Buah tua
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 37. Karakter
morfologi
kaum (Burckella obovata
(Forster f.) Pierre) var. buah lonjong
)
Burckella obovata (Forster f.) Pierre var. buah bulat
(Sapotaceae)
Nama dagang : nyatoh
Nama daerah : kaum (Biak), takun (Kurudu)
Perawakan: Pohon berukuran sedang sampai besar, tingginya
mencapai 15–25 cm. Batang utama silindris, lurus, kadang berlekuk,
berpilin dan sedikit berbuncak. Bebas cabang mencapai 7 m dengan
diameter setinggi dada mencapai 100 cm, berbanir sedang dengan
tinggi 100 cm dan lebar 150 cm. Pepagan luar kasar, berlekah dan
bersisik, berwarna coklat muda keabu-abuan, coklat
atau coklat
kuning keabu-abuan dengan bercak keputihan. Takikan batang
pepagan tebalnya 8–10 mm. Bergetah putih yang mengalir lambat.
Pepagan dalam berserat, berwarna kuning jingga. Daun tunggal,
kedudukan daun tersebar atau spiral, bentuk daun menjorong atau
150
memanjang, pangkal membaji, ujung meruncing, tepi rata atau
bergelombang, panjang daun 8–16 cm, lebar 5–7 cm, panjang tangkai
daun 20–35 mm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas,
sangat jelas, berwarna keputihan. Urat daun sekunder menyirip,
10–14 pasang. Perbungaan berbentuk berkas biasanya terdapat
pada ketiak daun atau ujung ranting. Bunga berwarna putih,
berkelamin satu, berumah 1 atau 2.
Buah membulat telur atau
lonjong, berdaging tebal, berpasangan atau tidak, berwarna hijau atau
hijau muda pada waktu muda dan hijau keputihan atau hijau
kekuningan pada waktu masak, bergaris tengah 4–7 cm. Biji 3-5,
berbentuk seperti lonjong agak pipih dengan kedua ujungnya
meruncing.
Batang muda
Batang tua
151
Daun muda
Daun tua
Buah muda
Buah tua
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 38. Karakter
Morfologi
Kaum (Burckella obovata
(Forster f.) Pierre var. buah bulat
)
152
C.
Kondisi Sosio-Geografis
1. Gambaran Umum Daerah dan Penduduk Biak
Daerah Pulau Biak, Supiori dan pulau-pulau kecil lainnya di
zaman pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Schouten
Eilanden. Adapun pulau-pulau tersebut terletak di sebelah Utara
Geelvink Bay atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Teluk
Cenderawasih. Mengenai wilayah administrasi Kabupaten Biak
Numfor sekarang ini meliputi dua pulau besar, yakni Pulau Biak dan
Pulau Numfor.
Sejak tahun 2004 Pulau Supiori yang dahulu merupakan
bagian dari daerah Kabupaten Biak Numfor telah dimekarkan menjadi
Kabupaten Supiori. Selain kedua Pulau utama tersebut di atas yang
merupakan dua pulau besar, daerah Kabupaten Biak Numfor juga
memiliki gugusan pulau-pulau kecil, yakni kepulauan Padaido yang
terletak di sebelah timur pulau Biak.
Adapun luas Pulau Biak diperkirakan 1.832 km persegi dan
27
pulau Numfor sekitar 324 km persegi . Nama Schouten Eilanden
yang merupakan nama dari Pulau Biak, Numfor, dan Supiori
sebenarnya berasal dari nama orang Eropa pertama berkebangsaan
Belanda yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke-17.
Sebutan lain yang sering muncul dalam laporan-laporan tua mengenai
penduduk dan daerah kepulauan ini adalah Numfor dan Wiak. Fonen
“W” pada kata Wiak sebenarnya berasal dari fonem “V” yang
kemudian berubah menjadi fonen “B” sehingga muncullah kata Biak
14)
Luas Pulau di atas diambil dari laporan Lavalin International
Inc. untuk Bank Dunia (1987 : Lampiran 17), dalam Mansoben.
153
seperti yang digunakan sekarang. Kata Biak secara resmi digunakan
untuk menyebut daerah dan penduduk daerah ini yaitu pada saat
dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak pada tahun 1947 (De
Bruinj 1965:87 dalam Mansoben). Lembaga tersebut merupakan
pengembangan lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu
lembaga adat yang mengatur kehidupan komunitas sebuah kampung
(mnu).
Lebih jauh mengenai sejarah orang Biak, baik sejarah asal
usul maupun sejarah kontak dengan dunia luar, sesungguhnya tidak
banyak diketahui karena tidak tersedia laporan tertulis mengani hal
tersebut. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan
mengenai asal-usul orang Biak adalah melalui mite (mitos). Menurut
mite (mitos), diketahui bahwa moyang orang Biak berasal dari daerah
yang terletak di sebelah Timur, tempat matahari terbit. Moyang
pertama datang ke daerah ini dengan menggunakan perahu. Namun
demikian, ada sejumlah versi mengenai cerita kedatangan moyang
pertama di Pulau Biak. Salah satu versi mite (mitos) bahwa moyang
pertama orang Biak terdiri dari sepasang suami isteri yang
dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu dan ketika air surut
mereka terdampar di atas sebuah bukit yang kemudian oleh kedua
pasangan suami isteri tersebut memberikan nama
bukit itu
Sarwombo. Bukit tersebut terletak di bagain timur laut Pulau Biak
(disebelah selatan Kampung Korem sekarang). Dari bukit itu moyang
tersebut dengan anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan
di tempat tersebutlah mereka berkembang biak memenuhi seluruh
daerah Biak-Numfor dan Supiori serta pulau-pulau lainnya.
154
2.
Lokasi, Jumlah Penduduk dan Keret
Penelitian
(klen)
di daerah
Lokasi penelitian “pohon kaum” lebih difokuskan di Kampung
28
Anggaduber Distrik Oridek Kabupaten Biak Numfor. Adapun batasan
adminstrasi Kampung Anggaduber adalah sebagai berikut :
Sebelah barat dengan Kampung Anggopi
Sebelah timur dengan kampung Animi (Munsaure).
Sebelah selatan kampung Sauri
Sebelah utara kepulauan Padaido.
Kampung Anggaduber adalah kampung yang dimekarkan dari
desa Tanjung Barari di daerah Mnuwar daerah di sebelah timur dari
kampung Anggaduber sekarang. Menurut Thomas Mambieuw kepala
desa di Kampung Anggaduber, bahwa tidak ada catatan resmi yang
dia dimilikinya mengenai kapan kampung ini dimekarkan, namun
demikian kampung Anggaduber dimekarkan pada tahun 1990-an.
Adapun Arti nama Anggaduber berasal dari dua kata yakni
kata “an” yang artinya makanan dan gaduber yang artinya berlimpahlimpah bagai air salobar yang berlimpah-limpah mengalir dari batu.
Jadi Anggaduber adalah daerah yang pada waktu dahulu kaya akan
sumber makanan terutama keladi, sagu dan pinang. Sebagai contoh
dahulu kala ketika mereka masih mengenal sistem barter yang dalam
bahasa Biak dikenal dengan istilah fyarobek (tukar menukar), orang
dari Pulau Pai di sebelah utara datang dengan perahu menukar ikan
28)
Istilah kampung sama artinya dengan desa. Penyebutan
kampung ini digunakan sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus
Nomor 21 tahun 2001 yang mana sebutan desa diganti dengan sebutan yang
telah lazim digunakan oleh orang Asli Papua sebelum masuknya sistem
pemerintahan desa sesuai UU nomor 5 tahun 1979.
155
dengan hasil kebun seperti, sagu, keladi dan pinang dengan orangorang di wilayah Anggaduber.
Adapun jumlah penduduk di desa ini menurut catatan sekretaris
desa Yoseph Mambiew adalah sebagai berikut :
Tabel 28. Jumlah kepala keluarga dan jumlah jiwa di Kampung
Anggaduber
No.
Unit
Jumlah
1.
Kepala Keluarga
103 kk
2.
Laki-laki
258 orang
3.
Perempuan
208 orang
Jumlah jiwa
466 orang
Sumber : Sekretaris Desa Anggaduber
Adapun keret-keret (klen-klen) utama
yang kini terdapat di
kampung Anggaduber adalah :
1. Munsaure.
2. Mambieuw
3. Rawar
4. Inas
5. Awek
6. Pai
7. Rumansara
8. Andoba
9. Rumere
Menurut cerita dari Bapak Yoseph Mambieuw sebagai seorang
tokoh adat tetapi juga selaku sekretaris Kampung Anggaduber, bahwa
dahulu kala sang pemilik kampung Anggaduber adalah Samboi.
Samboi dahulu adalah penguasa yang disegani sebagai seorang
156
mambri (panglima perang) di wilayah Anggaduber dan sekitar.
Samboi berasal dari keret (klen) Munsaure. Jadi pemilik kampung
Anggaduber dan juga Kampung Animi (Munsaure) di sebelah Timur
yang berbatasan dengan Kampung Anggaduber adalah miliki keret
(klen) Munsaure.
Penduduk dari keret-keret lain yang kini hidup bersama di
Kampung Anggaduber, diawali dengan datangnya dua orang dari
Kampung Saba yang terletak di sebelah barat yakni, Dimara
Mambieuw dan Kabayon Inas. Mereka ini datang ke tempat yang
sekarang menjadi Kampung Anggaduber. Kemudian turunlah Samboi
dan keluarga keretnya Munsaure dari gunung
29
di sebelah selatan,
bergabung dengan kedua orang tersebut dan mereka membentuk
komunitas kampung (mnu). Sejumlah keret lainnya seperti tersebut di
atas, datang kemudian melalui hubungan-hubungan kekeluargaan
dan hubungan perkawinan.
3. Sistem kekerabatan
Orang Biak memperhitungkan sistem kekerabatannya melalui
garis keturunan ayah (patrilineal). Sedangkan tipe kekerabatan yang
dianut menurut menurut klasifikasi Murdock
Iroquois. Dalam sistem ini ego
30
(1949), adalah sistem
menggunakan satu istilah yang sama
untuk menyebut kelas kerabat tertentu. Misalnya istilah naek,
digunakan ego untuk istilah saudara-saudara kandungnya dengan
29)
Gunung tersebut jaraknya hanya sekitar 500 meter dari tempat
yang kini menjadi Kampung Munsaure.
30)
Ego adalah istilah dalam ilmu antropologi, khususnya istilah
kekerabatan untuk menyebutkan “saya” sebagai pusat untuk menyebut
kerabat yang lain dalam hubungan kekerabatan.
157
saudara-saudara sepupu parallel (anak-anak dari saudara laki-laki
ayah dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari
istilah napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang (anakanak dari saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara lakilaki ibu) pada generasi ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah
disebut dengan istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu
disebut
dengan
istilah
ibu,
sna.
Sebaliknya
semua
saudara
perempuan ayah disebut bibi, mebin, dan semua saudara laki-laki ibu
disebut paman, me.
Orang Biak juga mengenal adanya larangan perkawinan antara
saudara-saudara sepupu, baik saudara-saudara sepupu sejajar
maupun saudara sepupu silang. Hal larangan dimaksud merupakan
ketentuan adat yang menetapkan perkawinan dimaksud sebagai
bentuk perkawinan incest (tabu).
4. Organisasi Sosial
Menurut Kamma dalam bukunya “KORERI : Messianic
Movements in The Biak Numfor Culture Area”, bahwa orang Biak
mengenal istilah kekerabatan yang mereka sebut dengan istilah keret
(klen). Keret berasal dari bagian “tengah perahu besar” milik orangorang Biak yang disebut vice versa. Bagian tengah perahu ini
merupakan tempat duduk para tua-tua keret yang disebut “eribo”.
Orang Biak juga mengenal sebutan untuk keret kecil dengan sebutan
“keret kasun”. Suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih yang
disebut sim. Wujud nyata dari kesatuan sosial dimaksud di waktu
lampau adalah dalam bentuk rumah besar yang disebut rumah keret.
Rumah tersebut merupakan suatu bangunan berbentuk empat
persegi panjang dengan ukuran kira-kira 30-40 meter panjangnya
158
dengan lebarnya sekitar 15 meter. Adapun rumah keret itu dibangun
di atas tiang-tiang dan dibagi-bagi ke dalam sejumlah kamar atau sim.
Sim tersebut terletak di sisi kiri dan kanan yang mana di tengahtengahnya dipisahkan dengan ruangan kosong panjang dari depan
hingga belakang. Fungsi utama ruang tengah yang kosong itu adalah
tempat untuk menaruh perahu milik keret, serta sebagai tempat untuk
menerima tamu dan tempat untuk musyawarah anggota keret.
Adapun orang Biak pada waktu dahulu menyimpan perahu keret di
dalam rumah setelah kembali dari suatu pelayaran, agar supaya
badan perahu itu tidak cepat rusak karena air hujan
dan
panas
matahari. Selain itu maksud dari perahu diletakkan di dalam rumah
agar perahu itu menjadi kering dan ringan sehingga jika hendak
menggunakannya, perahu tersebut akan melaju dengan cepat.
Perahu keret juga merupakan salah satu harta milik yang sangat
penting sehingga patut disimpan dan dijaga dengan baik di dalam
rumah. Nilai pentingnya itu terutama didasarkan atas fungsinya,
sebagai
alat
transport
yang
digunakan
untuk
kepentingan
perdagangan, alat bayar mas kawin. Akibatnya perahu memegang
peranan penting, di mana keret-keret tertentu yang memiliki perahu
lebih besar dan lebih baik dari keret-keret lainnya lebih terpandang
dan terhormat. Artinya perahu yang lebih besar dan lebih baik
mengangkat status sosial keretnya.
Prinsip kampung bagi orang Biak secara tradisional adalah
bahwa di mana terdapat satu rumah keret atau lebih, tempat itu
disebut mnu (kampung). Dahulu tiap mnu (kampung) hanya didiami
oleh anggota-anggota masyarakat yang berasal dari satu keret saja.
Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, misalnya dalam
hal hubungan perkawinan dan perdagangan atau karena adanya
159
bahaya perang yang sering terjadi, sehingga keret-keret dari mnu
yang berlainan tempat bergabung dan menetap pada pemukiman dari
keret-keret tertentu. Hal inilah yang menyebabkan jumlah keret dalam
satu tempat (mnu) bertambah menjadi lebih dari satu.
Dalam hal pemilihan jodoh, keret
mengacu pada sistem
perkawinan yang bersifat eksogami keret. Maksudnya, seorang lakilaki dari keret Munsaure wajib mengambil pasangan atau jodohnya
dari keret lain, misalnya, dari keret Rumansara, Awek, Mambieuw,
demikianpun seorang perempuan, tidak boleh dijodohkan dengan lakilaki dari keret yang sama. Sedangkan prinsip keturunan orang Biak
adalah bersifat
patrilineal (garis keturunan ayah/laki-laki).
Dalam
konteks ini maka semua keret (klen) yang berada di wilayah
Anggaduber khususnya, misalnya seorang perempuan Munsaure
kawin dengan seorang laki-laki Mambieuw, maka anak-anaknya akan
mendapat sebutan Keret Mambieuw dari ayahnya. Secara tradisional
setelah menikah sang istri akan mengikuti suaminya di tempat
tinggalnya
yang
dalam
istilah
antropologi
adalah
patrilokal.
Demikianpun dalam hal hak waris seorang perempuan tidak
mempunyai hak waris karena si wanita akan kawin keluar keretnya
dan mendapatkan keret dari suaminya. Hal ini menyebabkan adanya
budaya patriarchy di mana laki-laki berhak mewarisi apa yang dimiliki
oleh orang tuanya.
Adapun mas kawin (ararem) pada waktu dahulu terdiri dari
sejumlah alat bayar antara lain gelang tangan (samfar), perahu,
kapak batu, kapak besi,kulit penyu (waumisbef), budak dan alat-alat
yang berguna dalam rumah tangga seperti piring, dsb. Sejumlah alat
bayar mas kawin yang muncul kemudian adalah gelang perak (sarak)
dan kain katun (kruben). Dewasa ini alat bayar mas kawin dalam
160
kehidupan
orang
Biak
sudah
mengalami
perubahan
dengan
masuknya uang sebagai alat bayar. Meskipuan sejumlah alat bayar
tradisional masih sering digunakan, namun uang kini menjadi salah
satu alat bayar mas kawin yang bernilai tinggi. Menurut Mansoben
(1995:283), besar mas kawin ditentukan oleh tiga faktor: pertama,
kedudukan atau posisi orang tua dalam masyarakat (orang dengan
kedudukan yang baik dan terhormat akan menerima atau memberikan
jumlah mas kawin yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang
berkedudukan kurang penting); kedua, berdasarkan besarnya mas
kawin yang pernah dibayar oleh pihak ayah kepada pihak ibu, jika
anak gadis yang akan dinikahkan itu adalah anak gadis tertua dalam
keluarga (kriteria ini tidak berlaku pada anak-anak gadis lainnya
dalam keluarga yang sama); ketiga, ditentukan berdasarakan
kecantikan si gadis dan sifat-sifat baik yang melekat pada dirinya
seperti, sopan santun dan kerajinannya.
5. Sistem Politik Tradisional Orang Biak
Menurut Johz Robert Mansoben dalam disertasinya berjudul
Sistem
Politik Tradisional di Irian Jaya, membagi sistem politik di
Papua (dahulu, Irian Jaya) menjadi 4 sistem politik tradisional, yakni :
sistem politik big man (Pria berwibawa), sistem politik kepala klen
(Ondoafi), sistem politik kerajaan dan sistem politik campuran (mix).
Orang Biak tergolong dalam sistem politik campuran (mix), di mana
seseorang memperoleh kedudukan sebagai seorang pemimpin dapat
melalui achievement status (status yang dicapai) dan juga bisa
melalui ascribement status (status yang diwariskan). Adapun sejumlah
status yang dicapai (achievement status), misalnya sebutan pemimpin
161
seperti, mambri (panglima perang), manibob (teman dagang), dan
konor (utusan Tuhan).
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa, mambri (panglima
perang) sesungguhnya adalah mereka yang memiliki keberhasilan
dalam berperang dimasa lampau, baik dalam hal menyerang
kampung-kampung musuh, maupun dalam hal mempertahankan
daerahnya dari serangan yang dilancarkan musuh. Orang-orang yang
memiliki kualifikasi sebagai mambri adalah mereka yang berani dan
kejam. Selain itu, mereka juga memiliki pengetahuan mengenai
strategi
perang
serta
kemampuan
untuk
menyatukan
dan
membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya. Sejak masa remaja
para pemimpin perang itu diberikan sejenis daun yang disebut ui
mambri, yang dipercayai dapat memberikan tenaga dan keberanian
31
besar kepada orang yang memakannya .
Adapun manibob (teman dagang) adalah mereka yang
berperan menjadi penghubung dagang dengan daerah-daerah lain
baik di kalangan sesama orang Biak maupun dengan pulau-pulau
dan daerah daerah lain seperti Pulau Yapen, Waropen, Wandamen,
dll ketika daerahnya berada dalam krisis ekonomi (krisis pangan).
Dalam kasus ini bagaimana kepiawaian seseorang sehingga dia bisa
31)
Ui mambri adalah nama umum untuk beberapa jenis daun yang
menurut kepercayaan orang Biak mengandung khasiat-khasiat tertentu,
seperti dapat memberikan keberanian kepada orang yang memakannya,
selain itu daun-daun tersebut juga mengadung kekuatan yang dapat
menyembuhkan luka-luka berat yang diderita pada waktu bertempur. Jenisjenis tanaman yang tergolong dalam ui mambri ini hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu saja, tidak diketahui secara umum. Daun tersebut
diberi makan kepada anak-anak yang menurut penilaian orang-orang tua
(mantan mambri) memiliki bakat untuk menjadi mambri dikemudian hari.
162
menghubungkan kampungnya yang mengalami krisis pangan dengan
daerah-daerah lainnya yang bisa memberikan sumber pangan dikala
krisis tiba.
Adapun konor atau mon (utusan Tuhan/Manseren Manggundi)
adalah pemimpin yang mendasari kepemimpinannya dari religi.
Mereka ini mengakui diri sebagai utusan dari tokoh mite (mitos)
Mananarmakeri atau Manseren Manggundi yang diutus untuk datang
lebih dahulu menyiapkan masyarakat guna menyambut kedatangan
Manseren Manggundi. Manseren Manggundi adalah tokoh mite
(mitos) dalam masyarakat Biak
yang menurut kepercayaan telah
meninggalkan mereka karena sifat-sifat tidak adil, dendam serta
pertumpahan darah dan penyelewengan terhadap nilai-nilai dan
norma-norma adat. Tokoh ini diyakini suatu waktu akan kembali untuk
mendirikan kerajaan abadi (koreri) (Kamma, 1972). Kepemimpinan
seorang konor/mon bersifat pergerakan, dan karena pergerakan
tersebut guna mendirikan kerajaan adil dan makmur yang bersifat
abadi, serta sekalian juga untuk mendatangkan kekayaan material
bagi pengikutnya, maka secara umum bentuk kepemimpinan itu
dikenal dengan nama gerakan mesianik atau ratu adil dan gerakan
32
kargoisme .
Adapun kehadiran seorang konor/mon diawali dengan suatu
pengalaman luar biasa dari sang konor/mon tersebut, misalnya
sembuh dari sakit secara ajaib tanpa pengobatan, mengalami
pengalaman peristiwa ajaib tertentu, atau bermimpi bertemu dengan
Manseren Manggundi. Pengalaman ajaib yang luar biasa tersebut
32)
Gerakan-gerakan seperti ini banyak terjadi di daerah
kebudayaan Melanesia. Di antaranya yang paling terkenal adalah gerakan
Koreri di daerah Biak-Numfor yang diteliti oleh Kamma.
163
kemudian
disusul
menyembuhkan
dengan
kemampuan
orang-orang
sakit,
sang
konor
menyebabkan
bisa
masyarakat
menjadi yakin, orang yang bersangkutan benar-benar adalah utusan
Manseren Manggundi. Kenyataan ini membuat sang konor dengan
mudah dapat mempengaruhi masyarakat dengan dalil melaksanakan
pesan dari Manseren Manggundi.
Beberapa konor yang muncul sebagai pemimpin masyarakat
dengan menggunakan mite Manseren Manggundi sebagai alat
pengabsahan
kekuasaannya
adalah
Steven
Dawan,
Stefanus
Simopiaref dan Korinus Birmor. Para Konor di atas muncul sebagai
pemimpin gerakan Koreri sesudah Angganitha, pendiri gerakan
tersebut. Kecuali Korinus Birmor yang dibunuh di Biak, para konor
lainnya ditahan oleh orang Jepang kemudian dibawa dan dieksekusi
di Manokwari.
Sedangkan, mansren mnu (tuan tanah) adalah sebutan untuk
pemimpin yang diwariskan (ascribement status) secara turun temurun
di wilayah yang telah menjadi hak ulayatnya. Pemimpin ini diwariskan
karena hanya diwariskan kepada keret (klen) pemilik tanah/pendiri
kampung itu saja, terutama kepada anak laki-laki tertua (sulung) dari
mansren mnu yang lalu.
Sistem kepemimpinan tradisional di daerah Biak Numfor dan
sekitarnya dewasa ini sudah banyak mengalami perubahan dengan
hadirnya
pemerintahan
desa
(kampung),
pemerintahan
(kecamatan) dan pemerintahan di tingkat kabupaten.
distrik
Peranan
kepemimpinan tradisional hampir-hampir sudah tidak terlihat lagi di
kampung-kampung orang Biak. Boleh dikatakan dewasa ini mambri,
manibob dan konor adalah bagian dari sejarah masa lalu orang Biak.
Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa mansren mnu (tuan
164
tanah) meskipun juga telah terkikis dengan hadirnya kepala kampung,
namun disetiap kampung orang masih mengenal keret (klen) pendiri
kampung. Masyarakat di kampung-kampung Biak umumnya memiliki
kesadaran mengenai asa usul sejarah kampung, yakni siapa pemilik
tanah (tuan tanah) dan siapa-siapa (keret-keret apa) yang datang
kemudian.
Meskipun Kamma, membagi lapisan sosial dalam kehidupan
orang Biak ke dalam
tiga lapisan, yakni lapisan pertama, keret
pemilik kampung, lapisan kedua, adalah pendatang yang datang
bergabung dengan pemilik kampung serta lapisan ketiga, adalah
budak yang dibawa ke kampung (Kamma, 1954:13). Namun
demikian, khusus pada lapisan ketiga, yakni kaum budak, dewasa ini
sudah tidak terlihat lagi. Ada kemungkinan mereka sudah teradopsi ke
dalam keret-keret pendiri kampung ataupun keret-keret pendatang di
kampung tersebut.
6. Bahasa
Daerah pulau Biak, Supiori dan pulau-pulau kecil lainnya yang
di zaman pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Schouten
Eilanden yang terletak di sebelah utara Geelvink Bay (Teluk
Cenderawasih) menggunakan
satu bahasa yakni bahasa Biak.
Meskipun demikian dalam bahasa Biak terdapat sekitar sepuluh
33
dialek . Dialek yang cukup banyak ini tidak menjadi penghalang
orang Biak untuk dapat saling mengerti bahasa (berkomunikasi) di
kalangan orang Biak baik di Pulau Biak, Supiori, Numfor, Padaido,
33)
Adapun kesepuluh dialek tersebut adalah, dialek Samber,
Wadibu, Sorido, Manwor, Sowek, Sopen, Wombonda atau Sawias, Umbor,
Numfor, dan Mokmer (Steinhauer, 1985:464,483)
165
dan pulau-pulau lainnya. Ini tentunya berbeda dengan Pulau Yapen
(Serui) yang menurut Summer Institute of Linguistik (SIL) tahun 2012,
di sana terdapat sekitar 13 bahasa daerah. Bahasa Biak adalah salah
satu bahasa di Papua yang termasuk daam keluarga
Austronesia
Mansoben
Bahasa
(Muller 1876-1888; Wurm & Hattori 1982 dalam
1995:271)
dan
termasuk
dalam
subgroup
South
Halmahera-West New Guinea (blust 1978 dalam Mansoben 1995).
Bahasa Biak adalah bahasa yang paling luas wilayah
persebarannya di seluruh Papua, hal ini bisa terlihat dari
persebarannya mulai dari seluruh Pulau Biak, Supiori, Numfor, dan
sejumlah tempat di wilayah Yapen, terus ke wilayah Barat yakni
Manokwari, Wandamen, hingga ke daerah Kepulauan Raja Ampat.
Jumlah penutur bahasa Biak di kepulauan Biak-Numfor menurut
perkiraan Mansoben tahun 1995 sekitar 70.000. ini artinya bahasa
Biak merupakan salah satu dari bahasa-bahasa di Papua yang
jumlah penuturnya lebih dari 10.000 orang.
7. Mata pencaharian
Orang Biak yang hidup di daerah perkampungan pada
umumnya hidup dari bercocok tanam dan menagkap ikan. Bercocok
tanam di ladang dilakukan oleh sebagian besar penduduk di wilayah
tersebut. Demikian pula menangkap ikan dilakukan juga oleh
sebagian besar masyarakat yang hidup di kampung-kampung Biak,
akan tetapi aktivitas menangkap ikan terutama ditekuni oleh
masyarakat yang hidup didaerah Kepulauan Padaido di Biak Timur
34
dan di Desa Rayori (Sowek), Supiori Selatan .
34)
Lihat Mansoben, 1995 : 276
166
Pada
umumnya
penduduk
yang
melakukan
aktivitas
berladang sebagai mata pencaharian utama juga melakukan aktivitas
menangkap ikan sebagai mata pencaharian tambahan. Pekerjaan
serabutan seperti ini dilakukan oleh masyarakat di kampung-kampung
Biak tetapi juga umumnya di kampung-kampung Papua karena pada
umumnya dalam masyarakat belum ada spesialisasi kerja atau belum
adanya pembagian kerja yang tegas. Hasil yang mereka peroleh juga
lebih banyak untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup seharihari, atau dikenal dalam ilmu antropologi sebagai ekonomi subsisten.
Model ekonomi seperti ini biasanya terjadi pada masyarakat
sederhana. Erich Wolf dalam bukunya Petani suatu Tinjauan
Antropologi, menyatakan bahwa tipe masyarakat
aktifitas bercocok-tanam (pertanian)
memenuh
kebutuhan hidup
yang melakukan
dan hanya sekedar untuk
sehari-hari
bukan untuk mengejar
35
keuntungan, disebut dengan istilah peasant .
Mata pencaharian lain yang juga cukup penting di masa lampau
adalah perdagangan. Barang yang diperdagangkan ketika itu adalah
hasil laut, piring, budak, dan alat-alat kerja yang terbuat dari besi
seperti, parang dan tombak. Perlu diketahui, kepandaian besi sudah
dikenal orang Biak melalui penduduk Maluku jauh sebelum orang
Maluku jauh sebelum orang Eropa pertama datang di daerah ini pada
awal abad ke-16 sehingga peralatan kerja tersebut merupakan
produksi masyarakat. (Kamma & Kooijman, 1974).
35)
Lawan dari peasant adalah farmer, yakni petani yang
menggunakan hasil pertaniannya untuk mendatangkan keuntungan bagi
dirinya (maksimalisasi).
167
Adapun sistem perdagangan yang dilakukan pada waktu lalu
adalah dengan pola tukar menukar yang dalam bahasa Biak disebut
dengan istilah Fyarobek. Dalam pertukaran tradisional berupa barter
(fyarobek) seperti ini orang Biak telah menciptakan institusi yang
disebut, manibob atau sistem rekanan dagang diberbagai daerah baik
di Teluk Cenderawasih maupun di daerah pesisir kepala Burung
sampai ke Kepulauan Raja Ampat.
Lebih jauh dalam kehidupan orang Biak, baik yang hidup di
Kabupaten Biak-Numfor maupun di Kabupaten Supiori secara
tradisional mengenal sebutan “mob” yakni tempat-tempat atau lokasilokasi berdasarkan jenis-jenis tumbuhan penting yang berkaitan
dengan kehidupan mereka, seperti,
sagu), mob beren/rofum
mob baryam (tempat/dusun
(tempat/dusun pinang), mob japan
(tempat/kebun keladi), mob srai (tempat/kebun kelapa), mob kuker
(tempat gayang), mob kawir (tempat buah merah), mob wur (tempat
sukun) dan lain-lain. Sedangkan tempat untuk mencari binatang
seperti, babi (randip/korai), kus-kus (rambab), tikus tanah (karausop),
ayam hutan (manggiryoi) dan lain-lain itu disebut sup (hutan).
C. Ekologi Habitat Kaum
Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap
jenis kaum, baik konservasi pada habitatnya di alam (in-situ) maupun
di luar habitatnya di alam (eks-situ), salah satu aspek yang sangat
perlu untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang meliputi faktor
fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim (suhu dan
kelembaban), kondisi tanah (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang
dan karang) serta kesuburan tanah.
168
Kaum atau pohon buah kaum di Kabupaten Biak Numfor
umumnya ditanam atau tumbuh secara alami. Kaum yang ditanam,
biasanya ditanam di pekarangan rumah atau di pinggiran pantai
(pantai) yang merupakan hak milik klen atau hak milik perorangan.
Umumnya kaum ditanam pada areal tersebut sebagai tanda bahwa
lokasi tersebut merupakan hak milik klen atau
perorangan.
Sedangkan kaum yang tumbuh secara alami, biasanya tumbuh pada
daerah atau lokasi yang jauh dari pekarangan rumah, misalnya pada
kawasan hutan pantai dan areal hutan lainnya termasuk areal
kuburan (lokasi pemakaman) yang bukan merupakan pemukiman
masyarakat.
1. Faktor Fisiografis
Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting
artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama
karena pengaruhnya terhadap iklim. Topografi mempunyai arti klimatis
karena menentukan arah dari mana angin bertiup, kelembaban dan
banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam menentukan
kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan
tertentu (Leksono, 2007).
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu
daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Topografi
mempengaruhi proses pembentukan tanah dan kesuburan tanah. Di
daerah bergelombang, drainase tanah lebih baik sehingga pengaruh
iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan pelapukan serta
pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang berlereng curam
169
kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi permukaan sehingga
terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan rendah). Sebaliknya,
pada kaki lereng tersebut sering ditemukan tanah dengan profil dalam
akibat penimbunan bahan organik yang dihanyutkan dari lereng
tersebut. Topografi mempengaruhi sifat-sifat tanah antara lain tebal
solum, kandungan bahan organik, kandungan air tanah, warna tanah,
reaksi tanah (pH), kandungan basa, kandungan garam dan lain-lain
(Hardjowigeno, 2007).
Kemiringan lereng sangat mempengaruhi
gerakan air dan tanah, sehingga erosi atau pengikisan terjadi paling
besar pada puncak bukit dari pada kaki bukit . Pengikisan yang hebat
pada perbukitan di daerah tropika
menimbulkan alur pada tebing
bukitnya.
Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor iklim.
Suhu atau temperatur udara akan menurun jika ketinggian tempat
bertambah (Arifin, 1994). Semakin tinggi letak suatu tempat di Tanah
Papua, keanekaragaman jenis semakin menurun namun tingkat
keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Ketinggian tempat
pada habitat kaum di Kabupaten Biak Numfor adalah 5–10 m dpl.
Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka kaum digolongkan
kedalam jenis tumbuhan berkayu dataran rendah atau hutan pantai.
Hasil pengamatan dan pengukuran faktor fisiografis yaitu ketinggian
tempat dan kelerengan (topografi) pada habitat kaum disajikan pada
Tabel 29 dan 30.
170
Tabel 29. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat kaum
(Burckella obovata var. buah lonjong) di berbagai tempat di
Kabupaten Biak Numfor
Ketinggian tempat
Topografi/kelerengan
(m) dpl
(%)
1.
5
0
2.
5
2
3.
3
5
4.
8
8
5.
10
10
6.
10
12
Habitat
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Kaum (Burkella obovata var. buah lonjong dan bulat) pada
Kampung Anggaduber, Kampung Korem dan Kampung Ambroben di
Kabupaten Biak Numfor tumbuh baik pada kelerangan
0–15 %.
Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif datar
dan bergelombang ringan. Lokasi tersebut umumnya terdapat pada
pinggiran pantai (batas pasang tertinggi) dan pesisir pantai yang
merupakan areal pemukiman masyarakat dan hutan pantai. Kondisi
habitat
demikian
secara
alami
sangat
berdampak
penyebaran dan kuantitas pertumbuhan pohon kaum.
171
terhadap
Tabel 30.
Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat kaum
(Burckella obovata var. buah bulat) di berbagai tempat di
Kabupaten Biak Numfor
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
5.
5
4
5
7
10
10
3
2
5
5
10
15
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Kualitas pertumbuhan pohon kaum pada daerah pemukiman
masyarakat yang relatif datar dengan kondisi lantai hutan atau bawah
tegakan yang bersih, umumnya sangat baik namun memiliki jumlah
anakan yang sedikit yaitu berkisar antara 1-5 anakan per pohon. Hal
ini sangat berbeda dengan buah kaum yang tumbuh pada habitat
hutan pantai dan areal lainnya yang bukan merupakan pemukiman
penduduk yang relatif datar dengan kondisi lantainya masih ditumbuhi
rumput dan beberapa jenis semak serta anakan dan pancang dari
beberapa jenis pohon, umumnya sangat baik pertumbuhannya dan
memiliki anakan yang lebih banyak yang tumbuh secara alami yang
berasal dari buah masak yang gugur yaitu 15-50 anakan per pohon.
Ketinggian
tempat
habitat
pohon
kaum
di
Kampung
Anggaduber Biak Timur, Kampung Korem Biak Utara dan Kampung
Ambroben Biak Selatan adalah
3–10 m dpl.
Sesuai ketinggian
tempat tumbuhnya maka pohon kaum (Burkella obovata var. lonjong
dan bulat) digolongkan kedalam jenis tumbuhan dataran rendah
khususnya untuk tipe ekosistem hutan pantai. Hal ini disebabkan
172
karena berdasarkan hasil pengamatan pohon kaum (Burkella obovata
var. lonjong dan bulat) penyebarannya di Biak Timur, Biak Barat dan
Biak Selatan hanya ditemukan sampai batas 100 m dari garis pantai
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Iklim pada daerah tropika ditandai dengan suhu yang tinggi
dan rata. Suhu yang terendah terjadi pada musim hujan dan suhu
tertinggi terjadi pada musim panas. Suhu dan kelembaban serta
pengamatan penutupan tajuk (persen naungan) pada habitat pohon
kaum (Burckella obovata var. lonjong dan bulat) disajikan pada Tabel
31 dan 32.
Tabel 31.
Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan
tajuk pada habitat pohon kaum (Burckella obovata var.
lonjong) di berbagai tempat di Kabupaten Biak Numfor
Suhu
Kelembaban
Naungan
Habitat
(Cº)
(%)
(%)
70
1
29
78
65
2
30
82
80
3
28
80
4
5
29
30
87
85
72
68
6
31
70
40
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Tabel 32. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan
tajuk pada habitat pohon kaum (Burckella obovata var.
bulat) di berbagai tempat di Kabupaten Biak Numfor
Habitat
Suhu
(Cº)
Kelembaban
(%)
1
29
78
Naungan
(%)
70
2
29
80
70
173
3
4
5
6
30
29
30
31
78
85
83
60
65
72
68
30
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Pohon kaum (Burckella obovata var. lonjong dan bulat) tumbuh
pada daerah-daerah dengan naungan ringan, sedang sampai tinggi
(30–80 %) dengan suhu optimum berkisar antara 28–31ºC dan
kelembaban optimum berkisar antara
60–87 %. Adanya kisaran
demikian disebabkan karena pohon kaum di Kampung Anggaduber
Biak Timur, Kampung Korem Biak Utara dan Kampung Ambroben
Biak Selatan tumbuh secara alami pada areal hutan pantai baik pada
hutan primer maupun sekunder dan ditanam oleh masyarakat pada
areal pemukiman di pesisir pantai sehingga kelembaban udara dan
suhu masih sangat dipengaruhi oleh angin laut.
Pohon kaum merupakan jenis tumbuhan dikotil “semi toleran”
yang tumbuh tegak dan umumnya sangat peka terhadap iklim mikro
tertentu, terutama suhu, kelembaban dan kondisi tanah. Untuk dapat
bertahan hidup dan menghasilkan buah yang baik dan kontinu
sepanjang tahun, tumbuhan ini harus hidup pada suhu, kelembaban
dan kondisi tanah serta iklim mikro yang sesuai jika tidak maka proses
berbuahnya akan lambat dan buahnya tidak akan kontinu sepanjang
tahun bahkan jenis tersebut akan mati pada tingkat pertumbuhan
tertentu sebelum mencapai tingkat pertumbuhan pohon.
174
3. Keadaan Tanah
Menurut John E. Weaver dan Frederic E. Clements (1938),
bahwa faktor
tanah
sangat
mempengaruhi
pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan selain perbedaan latitude, altitude maupun
perbedaan geografis yang lain.
Pohon kaum (Burckella obovata var. lonjong dan bulat )
umumnya tumbuh pada habitat tanah berpasir dengan keadaan solum
yang tipis (<10 cm atau ± 10 cm), sedang ( ± 20 cm) sampai dalam
(≥30 cm), dengan variasi habitat tanah pasir berkapur dan tanah pasir
berkarang serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit
berbatu. Habitat demikian umumnya terdapat pada daerah pesisir
pantai dan hutan pantai dengan radius 100 m dari garis pantai atau
pasang tertinggi.
Habitat pohon kaum dengan kedalaman solum yang tipis
(<10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada garis pantai atau
pasang tertinggi, sedangkan habitat pohon kaum dengan kedalaman
solum sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat
pada hutan pantai baik primer maupun sekunder atau pesisir pantai
yang merupakan areal pemukiman masyarakat. Hasil analisis sampel
tanah habitat buah kaum secara lengkap disajikan pada Tabel 33.
Faktor iklim dan topografi akan mempengaruhi perkembangan
tanah dan tumbuhan yang menempati habitat dan relung di suatu
tempat atau daerah tertentu. Suatu faktor atau beberapa faktor
dikatakan penting apabila mempengaruhi perkembangan tumbuhan
karena terdapat dalam batas minimum, maksimum atau optimum
(Ardhana, 2012).
175
Tabel 33. Kesuburan tanah pada habitat kaum di Kampung
Anggaduber Distrik Oridek Biak Timur
Parameter
Uji
N
P
K
Mg
pH
C
Ca
Na
C/N ratio
Bahan Organik
Nilai
Kandungan
0,09
20,36
0,12
0,13
5,25
0,48
1,05
0,54
8,26
1,05
Satuan
%
Ppm
%
%
%
%
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Tanah Fakultas Pertanian UGM Tahun 2012
Tanah pada habitat buah kaum (B. obovata) bersifat agak asam
(pH 5,25), N tersedia rendah, P tersedia sedang, Mg tersedia sangat
rendah, bahan organik tinggi, C/N ratio rendah dan K tersedia rendah.
Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada
habitat buah kaum di Kampung Anggaduber tergolong jenis tanah
marginal dengan tingkat kesuburan sangat rendah. Hal ini disebabkan
karena tanah pada habitat buah kaum umumnya merupakan tanah
pasir atau pasir dengan lapisan topsoil yang sangat tipis.
176
D. Potensi Tegakan dan Potensi Buah
1. Potensi Tegakan
Pengamatan terhadap potensi tegakan pohon kaum (Burkella
obovata var. lonjong dan bulat) pada hutan alam tidak dilakukan, hal
ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis tumbuhan endemik
(indigenous) yang tumbuh secara alami dan telah ditanam oleh
masyarakat tradisional Biak. Faktor lainnya adalah jenis pohon kaum
(Burkella obovata var. lonjong dan bulat), berdasarkan hasil
pengamatan hanya dijumpai pada radius 100 m dari garis pantai atau
pasang tertinggi sehingga pengumpulan data potensi tegakannya
dilakukan
per
kampung
dan
lokasi
pengamatan
diperluas,
pengamatan tidak hanya dilakukan di Kampung Anggaduber Biak
Timur saja tetapi juga dilakukan di kampung-kampung lainnya di Biak
Utara dan Biak Selatan.
Meskipun masyarakat telah lama memanfaatkan buah kaum
sebagai pangan alternatif di Kabupaten Biak Numfor namun tidak
semua masyarakat Biak menanam
pekarangan
dan
kebun
mereka.
pohon kaum
Hal
ini
pada areal
disebabkan
karena
masyarakat masih sangat tergantung pada buah-buahan hutan
lainnya yang juga merupakan bahan makanan lainnya yang berasal
dari hutan seperti buah matoa, langsat dan kandike. Disamping sagu
(Metroxylon sago) dan
hasil kebun lainnya seperti ketela pohon
/kasbi (Manihot esculenta), ubi jalar/batatas (Ipomoea batatas),
talas/keladi (Xanthosoma sagittifolium) dan uwi/bete (Colocasia
esculenta). Adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras, sagu
dan hasil
kebun
lainnya membuat masyarakat tidak melakukan
kegiatan penanaman jenis pohon kaum tersebut. Hal lainnya yang
177
cukup mempengaruhi animo masyarakat untuk tidak melakukan
penanaman buah kaum adalah masyarakat menganggap bahwa buah
kaum hanya dikonsumsi atau dimakan oleh masyarakan atau orang
Biak saja, sedangkan suku-suku lainnya di Tanah Papua tidak
mengkonsumsi buah tersebut sehingga mereka merasa bahwa buah
ini kurang terkenal dan belum ada prospeknya baik pemanfaatannya
maupun pemasarannya sehingga mereka merasa tidak perlu untuk
menanam pohon kaum tersebut.
2. Potensi Buah
Pohon kaum (Burkella obovata) yang telah mencapai masa
berbuah, biasanya berbuah berdasarkan musimnya sepanjang
setahun.
Menurut informasi dari masyarakat, pohon kaum dapat
berbuah 3 sampai 4 kali dalam setahun atau musim berbuahnya
sama dengan buah alpukat (Persea americana). Secara umum pohon
kaum mulai berbuah pada umur 6-8 tahun. Hasil pengamatan
terhadap pohon kaum yang berbuah dan berdasarkan hasil
wawancara dengan masyarakat, dapat diduga bahwa potensi buah
kaum per pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara
umum potensi buah kaum tersebut jika diukur dengan ember ukuran
5 kg, maka akan menghasilkan 20–30 ember per pohon untuk sekali
panen, hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon
tersebut umumnya banyak, sekitar 2–12 buah per tangkai dengan
jumlah tangkai per pohon 75-150 tangkai, karakter buah kaum yang
umumnya berdiameter 5-6,5 cm untuk varietas buah buat dan 5-8 cm
untuk varietas buah lonjong menyebabkan jenis buah ini unggul dari
segi volume.
178
Dokumentasi : David Krisifu, 2011
Gambar 39. Pemanfaatan Buah Kaum Sebagai Bahan Minuman
(Jus buah kaum)
)
Buah kaum juga sering dijual sebagai
komoditas alternatif
untuk mendapatkan uang, di mana 1 tumpuk buah kaum sebanyak 3
buah dijual dengan harga Rp 1000
36
di pasar Inpres di Kota Biak. Pa
Awek seorang warga Anggaduber menceriterakan bahwa beberapa
waktu lalu isterinya menyaksikan beberapa pembeli di pasar Inpres
Biak Kota berebutan untuk membeli buah kaum. Menurut Pa Awek
ada kemungkinan buah kaum ini bisa dibuat menjadi makanan atau
minuman khusus sehingga orang mulai sadar dan membelinya.
36)
Informasi dari Bapak Ananias Krar di daerah Warsa Biak Utara
(wawancara tanggal 24 April 2012)
179
E. Kandungan Gizi Buah Kaum
Analisis kandungan gizi buah kaum (B. obovata var. bulat dan
lonjong)
secara
lengkap
disajikan
pada
Tabel
Perbandingan kandungan gizi buah buah kaum
34
dan
35.
dengan beberapa
jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 34. Kandungan gizi buah kaum (B. obovata) varietas buah
bulat
Hasil Analisis
Macam Analisa
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Protein Total
Serat Kasar
Karbohidrat by diff
Vitamin C (mg/100g)
Kalori (kal)
Ul1
Ul2
Rata-Rata
87,0844
0,6210
0,6411
1,0035
2,1531
6,8410
13,4434
34,9769
87,0428
0,6479
0,6602
0,9721
1,9480
6,7695
13,4571
34,7759
87,0636
0,6345
0,6507
0,9878
2,0506
6,8053
13,4503
34,8768
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2012
180
Tabel 35.
Kandungan gizi buah kaum (B. obovata) varietas buah
lonjong
Hasil Analisis
Macam Analisa
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Protein Total
Serat Kasar
Karbohidrat by diff
Vitamin C (mg/100g)
Kalori (kal)
Rata-Rata
Ul1
Ul2
87,3274
0,6988
0,6689
1,0322
5,9514
6,1661
14,2429
32,7547
87,1735
0,6965
0,6693
1,6553
5,8898
6,3440
14,5522
33,5398
87,2505
9,6977
0,6691
1,3438
5,9206
6,2551
14,3976
33,1473
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2012
Tabel 36. Perbandingan kandungan gizi buah
dengan beberapa jenis buah-buahan
Buah
Alpukat
Durian
Sirsak
Langsat
Pepaya
Rambutan
Salak
Markisa
Kaum bulat
Kaum lonjong
Sumber :
kaum (B. obovata)
Protein
(gr)
Lemak
(gr)
Vit C
(mg)
Air
(gr)
0,9
2,5
1,0
0,9
0,5
2,0
0,9
2,73
0,99
1,34
6,5
3,0
0,3
0,2
0
0,1
0
3,34
0,65
0,67
13
5,3
20
3,0
78
58
2
29,82
13,45
14,40
84,4
65
81,7
81
86,7
80,5
78
64,48
87,06
87,25
Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012 dan The Indonesian
Commodity System, IPB Tahun 2006
181
Secara umum kandungan protein dan lemak pada buah kaum
bulat dan lonjong cukup rendah namun vitamin C dan kadar air
pada buah kaum bulat dan lonjong terdapat dalam jumlah sedang dan
sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang
sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum.
F. Etnobotani Buah Kaum Dalam Budaya Suku Biak
Buah kaum (Burckella obovata var. lonjong dan bulat) adalah
jenis buah yang dikomsumsi (dimakan) oleh masyarakat asli Biak
Numfor dan masyarakat pendatang yang telah lama berdomisili di
daerah tersebut. Masyarakat telah memanfaatkan buah tersebut
secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat pertama nenek
moyang mereka mengenal buah kaum tersebut) hingga sampai saat
ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan
sejak kapan atau kapan orang Biak pertama kali mengkonsumsi jenis
buah kaum tersebut. Namun secara budaya buah kaum ini memiliki
beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan
budaya etnis Biak Numfor.
Buah kaum pada Perang Dunia Ke II merupakan sajian yang
paling istimewa bagi masyarakat Biak Numfor, hal ini dikarenakan
pada saat Perang Dunia ke II tersebut, terjadi kelaparan besar yang
melanda seluruh wilayah Biak Numfor pada saat itu. Masyarakat pada
saat itu memanfaatkan buah kaum sebagai pangan alternatif dalam
mempertahankan kehidupan mereka. Bahkan berdasarkan informasi
dari
masyarakat
(wawancara),
ternyata
Tentara
Jepang
juga
memanfaatkan buah kaum tersebut sebagai pangan alternatif untuk
mempertahankan
kehidupan
mereka.
182
Akibatnya
sering
terjadi
bentrokan antara masyarakat lokal Biak Numfor dan Tentara Jepang
akibat perebutan buah kaum tersebut.
Pohon kaum dikenal oleh masyarakat Biak dalam kehidupan
mereka sebagai salah satu pohon yang kurang begitu mendapat
perhatian dan perlakuan khusus seperti misalnya, pohon kelapa (srai),
pohon sagu (baryam), pohon buah nona hutan (kandik), pohon sukun
(wur), pohon cempedak (naknak) atau pohon-pohonan lainnya yang
dianggap
penting.
Menurut
cerita
masyarakat
di
Kampung
Anggaduber, pohon kaum di kampung tersebut hanya dua pohon.
Beberapa waktu lalu terdapat tiga pohon, namun karena alasan
membangun rumah satu pohon ditebang.
Pohon kaum
bagi masyarakat Biak, lazimnya yang diambil
adalah buahnya, sebagai makanan selingan (tambahan buah).
Karena rasa buahnya yang hampir sama dengan buah alpokat tetapi
rasanya yang lebih manis, biasanya masyarakat di tempat di mana
buah kaum ini berada mengambil buah ini jika sudah matang. Hal
bagaimana mengetahui bahwa buah ini sudah matang dapat
diketahui dengan hadirnya burung kelelawar pada malam hari untuk
memakan buahnya. Maka masyarakat akan memanjat pohon kaum
tersebut untuk kemudian mengambil buahnya. Buahnya yang sudah
tua tetapi belum matang biasanya masih bergetah. Untuk itu buah
kaum yang masih bergetah ini kemudian dicelupkan ke dalam air laut.
Pencelupan buah kaum ke dalam air laut tersebut selain untuk
membersihkan getahnya, juga agar lebih mempercepat proses
matangnya buah ini. Setelah dicelupkan, buah ini kemudian bisa
dikuburkan ke dalam abu dapur, ataupun ke dalam pasir, atau
digantung di tiang-tiang rumah, atau dimasukkan ke dalam beras.
183
Buah kaum yang jatuh di atas tanah umumnya sudah masak (matang)
sehingga bisa langsung dikonsumsi.
Di dearah Anggaduber, buah kaum
yang sudah masak,
kulitnya dikupas dan langsung dimakan tanpa melalui banyak proses.
Namun demikian, menurut informasi
37
di wilayah Kepulauan Padaido
buah kaum sering dimakan bersama dengan ikan bakar. Buah kaum
yang sudah tua biasanya dibakar dan dimakan bersama ikan bakar.
Meskipun buah kaum hanya merupakan makanan alternatif, akan
tetapi di waktu dulu terutama di wilayah-wilayah kepulauan yang
sering mengalami krisis pangan dan terisolasi oleh alam karena
besarnya gelombang, sering memanfaatkan buah kaum sebagai
makanan utama di waktu krisis pangan.
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat
Biak Numfor
telah lama memanfaatkan buah
kaum (B.obovata) dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka.
Saat ini masyarakat belum melakukan konservasi tradsional dengan
cara menanam kaum. Biasanya hanya orang-orang tua yang
membawa anakan kaum dari bawah pohon induknya, merawat
anakan tersebut dan menanam anakan kaum tersebut di areal kebun
mereka atau di tanah milik mereka sebagai tanda kepemilikan bagi
anak cucunya apabila orang tua tersebut telah meninggal.
Menurut informasi, populasi pohon kaum dahulu kala cukup
banyak di daerah sekitar pinggiran pantai, namun demikian seiring
37)
informasi diperoleh dari Bapak Yoseph Mambieuw Sekretaris
Desa Anggaduber.
184
dengan proses pembangunan dan kebutuhan akan lahan untuk
pembangunan, maka banyak dari pohon kaum yang sudah ditebang.
Sayangnya, masyarakat Biak secara umum belum mempunyai
kebiasaan untuk membudidayakan pohon ini, karena ada anggapan,
pohon kaum tidak bernilai ekonomis, seperti pohon kelapa, pohon
sukun, pohon matoa, pohon mangga,
dsb. Pohon kaum yang
dijumpai di wilayah Biak dan sekitarnya umumnya adalah pohonpohon yang tumbuh sendiri.
John Wompere seorang pengusaha kebun bibit rakyat (KBR)
di wilayah Warsa Biak Utara, memberikan secercah harapan di
wilayah Biak Numfor terhadap ketidak-pedulian orang Biak umumnya
dalam rangka budidaya pohon, dan sejumlah pohon lainnya, termasuk
pohon gaharu, pohon gayang (kuker), bintanggur (manes), pohon
buah nona (kandik), dsb. Ia menyiapkan ratusan bibit pohon kaum di
tempat pembibitannya yang terletak dipinggir jalan. Hal lain yang perlu
diakui dari perjuangan John Wompere di mana sejak tahun 2003 lalu
dia sudah menanam lebih dari 300 pohon gaharu yang kini sudah
bertumbuh besar.
John Wompere menjadi simbol pengharapan bagi masa
depan orang Biak dalam perjuangan membudidayakan sejumlah
tanaman indigenous di pulau Biak, Numfor, Supiori dan pulau-pulau
kecil lainnya. Kiranya semangat dan daya juang John Wompere dapat
merasuki
sejumlah orang Biak lainnya dalam memperjuangkan
tanaman-tanaman indigenous yang secara perlahan mulai langka dan
terlupakan oleh penduduk asli di daerah Schouten Eilanden.
H. Status Konservasi
185
Kaum adalah salah satu jenis pohon indigenous atau tumbuhan
asli (native species) di Papua dan Indonesia. Di Indonesia
penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan
Sulawesi. Secara
ekologis jenis kaum merupakan jenis yang penyebarannya
terdapat
hanya
pada hutan pantai. Penyebaran jenis ini secara alami
adalah pada radius 100 m dari tepi pantai.
Meskipun secara global kaum belum dinyatakan sebagai
spesies
terancam
punah,
namun
untuk
mencegah
terjadinya
kepunahan secara ekologis di Pulai Biak, sekarang mungkin sudah
saatnya untuk melakukan kegiatan penanaman dalam rangka
penghijauan dan/atau reboisasi pada kawasan hutan pantai Pulau
Biak. Mengingat bahwa jenis ini keberadaannya di alam Pulau Biak
sudah sangat terbatas sekali dan Pulau Biak sebagai ekosistem
kepulauan sangat rentan terhadap kepunahan spesies, terutama
kepunahan secara ekologis.
I. Prospek Pengembangan
Kaum sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua
khususnya di daerah yang memiliki tipe ekosistem pantai atau pesisir
pantai baik di Pulau Papua dan pulau-pulau sekitarnya. Mengingat
bahwa jenis kaum tersebut merupakan jenis tumbuhan yang buahnya
dikonsumsi seperti alpukat sehingga kedepan jenis tersebut sangat
berpotensi sebagai bahan pangan alternatif. Pengembangan atau
penanaman jenis ini dalam bentuk perkebunan atau kebun koleksi
sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat
yang spesifik.
186
Gambar 40.
Peta penyebaran kaum (Burckella obovata) var. bulat dan lonjong di Tanah Papua
187
188
Gambar 41. Aibon (Bruguiera gymnorhiza)
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
VIII. BUAH AIBON (Bruguiera gymnorhiza Lamk.) dan
PEMANFAATANNYA
OLEH
SUKU
BIAK
DI
KABUPATEN SUPIORI
A. Deskripsi Botani
Secara umum di Tanah Papua dikenal 6 jenis Bruguiera yaitu 4
jenis yang menyebar merata di seluruh Tanah Papua dan 2 jenis yang
hanya terdapat di daerah Selatan Tanah Papua. 4 jenis yang
menyebar merata di seluruh Tanah Papua yaitu ; Bruguiera
gymnorhiza, Bruguiera sexangula, Bruguiera cylindrical dan Bruguiera
parviflora. Sedangkan 2 jenis yang hanya terdapat di daerah Selatan
Papua yaitu ; Bruguiera exaristata dan Bruguiera hainesii.
Jenis Bruguiera gymnorhiza dan Bruguiera sexangula memiliki
kemiripan sehingga dalam bahasa Biak sering dikenal dengan
sebutan “aibon”. Namun jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Biak di Kabupaten Supiori adalah Bruguiera gymnorhiza. Berdasarkan
karekter morfologi buah dari kedua jenis tersebut, dapat dibedakan
berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut :
a. Buah berbentuk bulat lonjong panjang 10-25 cm, berwarna hijau
tua dengan kelopak umumnya berwarna merah atau kemerahan
.................................................................. Bruguiera gymnorhiza
b. Buah berbentuk bulat lonjong panjang 10-15 cm, berwarna hijau
muda dengan kelopak umumnya tidak demikian.....................
.................................................................. Bruguiera sexangula
Selain buahnya yang dapat diolah menjadi tepung untuk
dimanfaatkan sebagai bahan pangan, kayunya juga dikenal sebagai
jenis komersil, sering digunakan untuk pembuatan balok dan papan
189
untuk konstruksi bangunan, pembuatan chips, kayu bakar, breaket
arang, tiang penyangga atau pagar, juga dimanfaatkan sebagai tiang
rumah dalam pembuatan rumah tradisional dan tiang belo (tiang
penahan bagi perahu).
Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk.
(Rhizophoraceae)
Nama dagang : perepat darat
Nama daerah : aibon (Biak), parai (Wandamen)
Perawakan: Pohon berukuran kecil sampai sedang, tingginya
mencapai 25–30 m. Batang utama silindris, lurus sedikit berbuncak
kadang-kadang berpilin dan berlekuk. Bebas cabang mencapai 15 m
dengan diameter setinggi dada mencapai 60 cm, merupakan jenis
tumbuhan berkayu pada hutan mangrove yang memiliki akar lutut dan
berbanir kecil yang berasal dari bentukan seperti akar tunjang.
Pepagan luar kasar, berwarna abu-abu gelap, umumnya berlekah dan
mengelupas lembaran kecil. Takikan batang pepagan tebalnya
10–12 mm, tidak bergetah. Pepagan dalam keras dan berserat,
berwarna merah jingga. Daun tunggal, tebal dan kaku, kedudukan
daun
berhadapan
bersilangan,
bentuk
daun
menjorong
atau
memanjang (elips), pangkal membaji, ujung meruncing, tepi rata,
panjang daun 8–15 cm, lebar 5–10 cm, panjang tangkai daun 10–15
mm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas, kadangkadang tidak jelas. Urat daun sekunder menyirip, 10–15 pasang.
Perbungaan berbentuk lebar tunggal atau berpasangan biasanya
terdapat pada ketiak daun. Bunga berkelamin satu, berumah 1 atau
2, mahkota putih hingga coklat, kelopak 10-14 helai berwarna merah,
190
panjang 3-5 cm, ujung tiap mahkota berbentuk runcing, masingmasing terdiri dari 3 benang sari.
Buah silindris, berdaging tebal,
berpasangan atau tidak, permukaan buah halus atau licin, berwarna
hijau atau hijau kekuningan
pada waktu muda dan ungu dengan
bercak coklat pada waktu masak, bergaris tengah 1,5–2 cm, panjang
10–25 cm. Biji vivipar, kelopak menyatu saat buah jatuh.
B
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
A
A
C
Gambar 41. Bruguiera gymnorhiza – A. perawakan batang; B. daun; C. buah
191
A
A
B
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 42. Perbedaan Karakter Morfologi – A. Bruguiera gymnorhiza dengan
kelopkan berwarna merah; B. Bruguiera sexangula dengan kelopak
berwarna hijau muda
192
Kampung Biniki
Keterangan :
= Lokasi Penelitian
Gambar 43. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Supiori
193
C. Kondisi Sosio-Geografi
1. Gambaran Umum Daerah dan Penduduk Supiori
Topogragafi Pulau Supiori berbentuk barisan gunung yang
disebut Pegunungan Supiori dengan puncaknya Wombonda sebagai
puncak tertinggi yang mencapai 1.034 meter di atas permukaan laut
(Van Bemmelen, 1953:266)
49
Sejak Tahun 2004 Pulau Supiori yang dahulu merupakan
bagian dari daerah Kabupaten Biak Numfor telah dimekarkan menjadi
Kabupaten Supiori. Daerah Pulau Supiori bersama dengan Pulau
Biak-Numfor dan pulau-pulau kecil lainnya di zaman pemerintahan
Belanda dikenal dengan sebutan Schouten Eilanden. Adapun pulaupulau tersebut terletak di sebelah utara Geelvink Bay atau yang
sekarang dikenal dengan sebutan Teluk Cenderawasih.
Nama Schouten Eilanden yang merupakan nama dari PulauPulau Biak-Numfor, dan Supiori sebenarnya berasal dari nama orang
Eropa Pertama berkebangsaan Belanda yang mengunjungi daerah ini
pada awal abad ke-17.
Penduduk Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori
adalah
berasal dari
etnis yang sama yakni etnis Biak.
Secara
historis orang Biak yang berada di Kabupaten Supiori, dan BiakNumfor memiliki sejarah yang sama pula. Penduduk yang mendiami
kedua kabupaten ini juga memiliki bahasa yang sama, yakni bahasa
Biak. Sejumlah unsur kebudayaan lainnya, seperti organisasi sosial,
sistem politik, sistem kekerabatan dan perkawinan, sistem mata
pencaharian hidup, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem
25)
Lihat Mansoben 1995 : 266
194
kepercayaan dan lain-lain, mempunyai kemiripan. Dalam hal sistem
kekerabatan misalnya di daerah penelitian di Ramardori, sejumlah
keret (klen) dari daerah Kabupaten Biak-Numfor, seperti, keret (klen)
Wanma berasal dari Sopen di Biak Barat, demikianpun keret-keret
seperti, Bukorpoiper, Amsyamsum, Ayer, dan Mirino berasal dari
Samber di Biak Selatan. Selain keret Rumere terdapat di Kampung
Ramardori,
juga terdapat di wilayah Biak yakni di Pulau Pai di
Kepulauan Padaido Biak Timur dan di Kampung Anggaduber Distrik
Oridek, Biak Timur Kabupaten Biak-Numfor.
Lebih jauh mengenai sejarah orang Biak di Kabupaten BiakNumfor dan Kabupaten Supiori, baik sejarah asal usul maupun
sejarah kontak dengan dunia luar, sesungguhnya tidak banyak
diketahui
karena
tidak
tersedia
laporan tertulis mengani hal
tersebut. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan
mengenai asal-usul orang Biak adalah melalui mite (mitos). Menurut
mite (mitos), diketahui bahwa moyang orang Biak (di Kabupaten BiakNumfor dan Kabupaten Supiori) berasal dari daerah yang terletak di
sebelah Timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke
daerah ini dengan menggunakan perahu.
sejumlah versi mengenai
Namun demikian, ada
cerita kedatangan moyang pertama di
Pulau Biak. Salah satu versi mite (mitos) bahwa moyang pertama
orang Biak terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air
bah di atas sebuah perahu dan ketika air surut mereka terdampar di
atas sebuah bukit yang kemudian oleh kedua pasangan suami isteri
tersebut
memberikan nama bukit itu Sarwombo. Bukit tersebut
terletak di bagain Timur Laut Pulau Biak (disebelah selatan Kampung
Korem sekarang). Dari bukit itu moyang tersebut dengan anakanaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan di tempat tersebutlah
195
mereka berkembang
biak memenuhi seluruh daerah Biak-Numfor
dan Supiori serta pulau-pulau lainnya.
2.
Lokasi, jumlah penduduk dan keret (klen) di daerah
Penelitian
Lokasi penelitian “pohon Aibon” lebih difokuskan di Kampung
Biniki (Ramardori)
Distrik Supiori
50
Selatan, Kabupaten Supiori.
Adapun batasan administrasi Kampung Biniki (Ramardori) adalah
sebagai berikut :
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Maryadori
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Wombonda
 Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Supiori
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kepulauan Aruri
Luas Kampung Biniki (Ramardori)
diperkirakan
200 hektar
2
atau 2 km . Untuk menjangkau daerah ini bisa melalui jalan darat
dengan kendaraan
bermotor, baik roda dua maupun roda empat,
tetapi juga bisa melalui laut menggunakan perahu motor. Jalan laut
merupakan
jalur utama
sejak dahulu kala sebelum adanya jalan
darat di wilayah Kampung Biniki (Ramardori).
Kabupaten Supiori terdiri dari 5 distrik, yakni :
1. Distrik Supiori Selatan
2. Distrik Supiori Utara
3. Distrik Supiori Timur
50)
Istilah kampung sama artinya dengan desa. Penyebutan
kampung ini digunakan sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus
Nomor 21 tahun 2001 yang mana sebutan desa diganti dengan sebutan yang
telah lazim digunakan oleh orang Asli Papua sebelum masuknya sistem
pemerintahan desa sesuai UU nomor 5 tahun 1979.
196
4. Distrik Supiori Barat
5. Distrik Kepulauan Aruri
Sedangkan jumlah kampung di Kabupaten Supiori adalah 38
kampung.
Kampung Biniki adalah hasil
pemekaran dari dua
kampung yakni, Kampung Maryadori dan Kampung Ramardori pada
tahun 1996. Nama Biniki berasal dari nama Tanjung Biniki, yang
51
artinya kita hidup di sini banyak rezeki/berkat .
Jumlah penduduk di Kampung Biniki menurut catatan kepala
kampung Bapak Efradus Awendu adalah sebagai berikut :
Tabel 37. Jumlah kepala
Ramardori
NO
1.
2.
3.
keluarga dan jumlah jiwa di Kampung
UNIT
Kepala Keluarga
Laki-laki
Perempuan
Jumlah jiwa
JUMLAH
92 kk
250 orang
241 orang
491 orang
Sumber : Kepala Desa Biniki (Ramardori)
Adapun keret-keret (klen-klen) utama
yang kini terdapat di
kampung Ramardori, adalah :
1. WOMBONDA
-
AWENDU
-
KMURAWAK
-
SAREWO
-
RUMERE
2. SOPEN dari BIAK BARAT
-
51)
WANMA
Wawancara dengan Mantan kepala Kampung, Bapak Maikel
Wanma.
197
3. SAMBER dari BIAK SELATAN
-
BUKORPIOPER
-
AMSAMSYUM
-
AYER
-
MIRINO
Menurut cerita dari Bapak Maikel Wanma bahwa nama
Wombonda adalah suku besar di Ramardori. Sebutan Wombonda
berasal dari nama orang yang punya tempat mulai dari sebelah
Timur di Mioswar sampai daerah Kunef di sebelah Selatan.
Wombonda
adalah seorang mambri
(panglima perang) yang
disegani di wilayah tersebut. Di daerah Wombonda pada waktu
dahulu kala terdapat mambri Rumbekwan, mambri Awendu, dan
mambri Sarewo.
Konflik yang berkepanjangan antara daerah
Wombonda dan Korido menyebabkan hadirnya mambri Wanma dari
Sopen di Biak Barat. Mambri Wanma datang sebagai mediator untuk
mendamaikan kedua wilayah yang sedang konflik.
Hadirnya
keret-keret Bukorpioper,
Amsyamsum, Ayer
di
Wombonda khususnya di daerah Ramardori, mereka datang dari
Waroi, keret-keret tersebut
memiliki
hubungan keluarga dengan
Keret Rumere di Maryadori. Keret-keret tersebut di atas juga
menanam kelapa di Pulau Rani dan ketika Perang Dunia Kedua usai,
mereka datang dan tinggal di daerah Ramardori.
3. Sistem kekerabatan
Orang Biak memperhitungkan sistem kekerabatannya melalui
garis keturunan ayah (patrilineal). Sedangkan tipe kekerabatan yang
dianut menurut menurut klasifikasi Murdock (1949), adalah sistem
198
Iroquois. Dalam sistem ini ego
untuk
52
menggunakan satu istilah yang sama
menyebut kelas kerabat tertentu. misalnya istilah naek,
digunakan ego untuk istilah saudara-saudara kandungnya dengan
saudara-saudara sepupu parallel (anak-anak dari saudara laki-laki
ayah dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari
istilah napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang (anakanak dari saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara lakilaki ibu) pada generasi ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah
disebut dengan istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu
disebut
dengan
istilah
ibu,
sna.
Sebaliknya
semua
saudara
perempuan ayah disebut bibi, mebin, dan semua saudara laki-laki ibu
disebut paman, me.
Orang Biak juga mengenal adanya larangan perkawinan antara
saudara-saudara sepupu, baik saudara-saudara sepupu sejajar
maupun saudara sepupu silang. Hal larangan dimaksud merupakan
ketentuan adat yang menetapkan perkawinan dimaksud sebagai
bentuk perkawinan incest (tabu).
4. Organisasi Sosial
Menurut Kamma dalam bukunya “KORERI : Messianic
Movements in The Biak Numfor Culture Area”, bahwa orang Biak
mengenal istilah kekerabatan yang mereka sebut dengan istilah keret
(klen). Keret berasal dari bagian “tengah perahu besar” milik orangorang Biak yang disebut vice versa. Bagian tengah perahu ini
merupakan tempat duduk para tua-tua keret yang disebut “eribo”.
52)
Ego adalah istilah dalam ilmu antropologi, khususnya istilah
kekerabatan untuk menyebutkan “saya” sebagai pusat untuk menyebut
kerabat yang lain dalam hubungan kekerabatan.
199
Orang Biak juga mengenal sebutan untuk keret kecil dengan sebutan
“keret kasun”. Suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih yang
disebut
sim. Wujud nyata dari kesatuan sosial dimaksud diwaktu
lampau adalah dalam bentuk rumah besar yang disebut rumah keret.
Rumah tersebut merupakan suatu bangunan berbentuk empat
persegi panjang dengan ukuran kira-kira 30-40 meter panjangnya
dengan lebarnya sekitar 15 meter. Adapun rumah keret itu dibangun
di atas tiang-tiang dan dibagi-bagi ke dalam sejumlah kamar atau sim.
Sim tersebut terletak di sisi kiri dan kanan yang mana di tengahtengahnya dipisahkan dengan ruangan kosong panjang dari depan
hingga belakang. Fungsi utama ruang tengah yang kosong itu adalah
tempat untuk menaruh perahu milik keret, serta sebagai tempat untuk
menerima tamu dan tempat untuk musyawarah anggota keret.
Adapun orang Biak pada waktu dahulu menyimpan perahu keret di
dalam rumah setelah kembali dari suatu pelayaran, agar supaya
badan perahu itu tidak cepat rusak karena air hujan
dan
panas
matahari. Selain itu maksud dari perahu diletakkan di dalam rumah
agar perahu itu menjadi kering dan ringan sehingga jika hendak
menggunakannya, perahu tersebut akan melaju dengan cepat.
Perahu keret juga merupakan salah satu harta milik yang sangat
penting sehingga patut disimpan dan dijaga dengan baik di dalam
rumah. Nilai pentingnya itu terutama didasarkan atas fungsinya,
sebagai
alat
transport
yang
digunakan
untuk
kepentingan
perdagangan, alat bayar mas kawin. Akibatnya perahu memegang
peranan penting, di mana keret-keret tertentu yang memiliki perahu
lebih besar dan lebih baik dari keret-keret lainnya lebih terpandang
dan terhormat. Artinya perahu yang lebih besar dan lebih baik
mengangkat status sosial keretnya.
200
Prinsip kampung bagi orang Biak secara tradisional adalah
bahwa di mana terdapat satu rumah keret atau lebih, tempat itu
disebut mnu (kampung). Dahulu tiap mnu (kampung) hanya didiami
oleh anggota-anggota masyarakat yang berasal dari satu keret saja.
Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, misalnya dalam
hal hubungan perkawinan
dan perdagangan atau karena adanya
bahaya perang yang sering terjadi, sehingga keret-keret dari mnu
yang berlainan tempat bergabung dan menetap pada pemukiman dari
keret-keret tertentu. Hal inilah yang menyebabkan jumlah keret dalam
satu tempat (mnu) bertambah menjadi lebih dari satu.
Dalam hal pemilihan jodoh, keret mengacu pada sistem
perkawinan yang bersifat eksogami keret. Maksudnya, seorang lakilaki dari keret Awendu wajib mengambil pasangan atau jodohnya dari
keret lain, misalnya, dari keret
Rumere, Wanma,
Amsyamsum,
demikianpun seorang perempuan, tidak boleh dijodohkan dengan lakilaki dari keret yang sama. Sedangkan prinsip keturunan orang Biak
adalah bersifat
patrilineal (garis keturunan ayah/laki-laki).
Dalam
konteks ini maka semua keret (klen) yang berada di wilayah Beniki
(Ramardori) khususnya, misalnya seorang perempuan Awendu kawin
dengan
seorang
laki-laki
Wanma,
maka
anak-anaknya
akan
mendapat sebutan Keret Wanma dari ayahnya. Secara tradisional
setelah menikah sang istri akan mengikuti suaminya di tempat
tinggalnya
yang
dalam
istilah
antropologi
adalah
patrilokal.
Demikianpun dalam hal hak waris, seorang perempuan tidak
mempunyai hak waris karena si wanita akan kawin keluar keretnya
dan mendapatkan keret dari suaminya. Hal ini menyebabkan adanya
budaya patriarchy di mana laki-laki berhak mewarisi apa yang dimiliki
oleh orang tuanya.
201
Adapun mas kawin (ararem) pada waktu dahulu terdiri dari
sejumlah alat bayar antara lain gelang tangan (samfar), perahu,
kapak batu, kapak besi, kulit penyuh (waumisbef), budak dan alatalat yang berguna dalam rumah tangga seperti piring, dsb. Sejumlah
alat bayar mas kawin yang muncul kemudian adalah gelang perak
(sarak) dan kain katun (kruben). Dewasa ini alat bayar mas kawin
dalam kehidupan orang Biak sudah mengalami perubahan dengan
masuknya uang sebagai alat bayar. Meskipuan sejumlah alat bayar
tradisional masih sering digunakan, namun uang kini menjadi salah
satu alat bayar mas kawin yang bernilai tinggi. Menurut Mansoben
(1995:283), besar mas kawin ditentukan oleh tiga faktor: pertama,
kedudukan atau posisi orang tua dalam masyarakat (orang dengan
kedudukan yang baik dan terhormat akan menerima atau memberikan
jumlah mas kawin yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang
berkedudukan kurang penting); kedua, berdasarkan besarnya mas
kawin yang pernah dibayar oleh pihak ayah kepada pihak ibu, jika
anak gadis yang akan dinikahkan itu adalah anak gadis tertua dalam
keluarga (kriteria ini tidak berlaku pada anak-anak gadis lainnya
dalam
keluarga
yang
sama);
ketiga,
ditentukan
berdasarkan
kecantikan si gadis dan sifat-sifat baik yang melekat pada dirinya
seperti, sopan santun dan kerajinannya.
4. Sistem Politik Tradisional Orang Biak
Menurut Johz Robert Mansoben dalam disertasinya berjudul
Sistem
Politik Tradisional di Irian Jaya, membagi sistem politik di
Papua (dahulu, Irian Jaya) menjadi 4 sistem politik tradional, yakni :
sistem politik big man (Pria berwibawa), sistem politik kepala klen
(Ondoafi), sistem politik kerajaan dan sistem politik campuran (mix).
202
Orang Biak tergolong dalam sistem politik campuran (mix), di mana
seseorang memperoleh kedudukan sebagai seorang pemimpin dapat
melalui achievement status (status yang dicapai) dan juga bisa
melalui ascribement status (status yang diwariskan).
Adapun
sejumlah status yang dicapai (achievement status), misalnya sebutan
pemimpin seperti, mambri (panglima perang), manibob (teman
dagang) , dan konor (utusan Tuhan).
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa, mambri (panglima
perang) sesungguhnya adalah mereka yang memiliki keberhasilan
dalam berperang dimasa lampau, baik dalam hal
menyerang
kampung-kampung musuh, maupun dalam hal mempertahankan
daerahnya dari serangan yang dilancarkan musuh. Orang-orang yang
memiliki kualifikasi sebagai mambri adalah mereka yang berani dan
kejam. Selain itu, mereka juga memiliki pengetahuan mengenai
strategi
perang
serta
kemampuan
untuk
menyatukan
dan
membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya. Sejak masa remaja
para pemimpin perang itu diberikan sejenis daun yang disebut ui
mambri, yang dipercayai dapat memberikan tenaga dan keberanian
53
besar kepada orang yang memakannya .
Adapun manibob (teman dagang) adalah mereka yang
berperan menjadi penghubung dagang dengan daerah-daerah lain
baik di kalangan sesama orang Biak maupun dengan pulau-pulau
53)
Ui mambri adalah nama umum untuk beberapa jenis daun yang menurut
kepercayaan orang Biak mengandung khasiat-khasiat tertentu, seperti dapat memberikan
keberanian kepada orang yang memakannya, selain itu daun-daun tersebut juga mengadung
kekuatan yang dapat menyembuhkan luka-luka berat yang diderita pada waktu bertempur.
Jenis-jenis tanaman yang tergolong dalam ui mambri ini hanya diketahui oleh orang-orang
tertentu saja, tidak diketahui secara umum. Daun tersebut diberi makan kepada anak-anak
yang menurut penilaian orang-orang tua (mantan mambri) memiliki bakat untuk menjadi
mambri dikemudian hari.
203
dan daerah daerah lain seperti Pulau Yapen, Waropen, Wandamen,
dll ketika daerahnya berada dalam krisis ekonomi (krisis pangan).
Dalam kasus ini bagaimana kepiawaian seseorang sehingga dia bisa
menghubungkan kampungnya yang mengalami krisis pangan dengan
daerah-daerah lainnya yang bisa memberikan sumber pangan dikala
krisis tiba.
Adapun konor atau mon (utusan Tuhan/Manseren Manggundi)
adalah
pemimpin yang mendasari kepemimpinannya dari religi.
Mereka
ini mengakui diri
sebagai utusan dari tokoh mite (mitos)
Mananarmakeri atau Manseren Manggundi yang diutus untuk datang
lebih dahulu menyiapkan masyarakat guna menyambut kedatangan
Manseren Manggundi. Manseren Manggundi adalah tokoh mite
(mitos) dalam masyarakat Biak
yang menurut kepercayaan telah
meninggalkan mereka karena sifat-sifat tidak adil, dendam serta
pertumpahan darah dan penyelewengan terhadap nilai-nilai dan
norma-norma adat. Tokoh ini diyakini suatu waktu akan kembali untuk
mendirikan kerajaan abadi (koreri) (Kamma, 1972). Kepemimpinan
seorang konor/mon bersifat pergerakan, dan karena pergerakan
tersebut guna mendirikan kerajaan adil dan makmur yang bersifat
abadi, serta sekalian juga untuk mendatangkan kekayaan material
bagi pengiktunya, maka secara umum bentuk kepemimpinan itu
dikenal dengan nama gerakan mesianik atau ratu adil dan gerakan
54
kargoisme .
Adapun kehadiran seorang konor/mon diawali dengan suatu
pengalaman luar biasa dari sang konor/mon tersebut,
54)
misalnya
Gerakan-gerakan seperti ini banyak terjadi daerah kebudayaan
Melanesia. Diantaranya yang paling terkenal adalah gerakan Koreri di
daerah Biak-Numfor yang diteliti oleh Kamma.
204
sembuh dari sakit secara ajaib tanpa pengobatan,
mengalami
pengalaman peristiwa ajaib tertentu, atau bermimpi bertemu dengan
Manseren Manggundi. Pengalaman ajaib yang luar biasa tersebut
kemudian
disusul
menyembuhkan
dengan
kemampuan
sang
konor
bisa
orang-orang sakit, menyebabkan masyarakat
menjadi yakin, orang yang bersangkutan benar-benar adalah utusan
Manseren Manggundi. Kenyataan ini membuat sang konor dengan
mudah dapat mempengaruhi masyarakat dengan dalil melaksanakan
pesan dari Manseren Manggundi.
Beberapa konor yang muncul sebagai pemimpin masyarakat
dengan menggunakan mite
pengabsahan
Manseren Manggundi
kekuasaannya
adalah
Steven
sebagai alat
Dawan,
Stefanus
Simopiaref dan Korinus Birmor. Para Konor di atas muncul sebagai
pemimpin
gerakan Koreri
sesudah Angganitha, pendiri gerakan
tersebut. Kecuali Korinus Birmor yang dibunuh di Biak, para konor
lainnya ditahan oleh orang Jepang kemudian dibawa dan dieksekusi
di Manokwari.
Sedangkan, mansren mnu (tuan tanah) adalah sebutan untuk
pemimpin yang diwariskan (ascribement status) secara turun temurun
di wilayah yang telah menjadi hak ulayatnya. Pemimpin ini diwariskan
karena hanya diwariskan kepada keret (klen) pemilik tanah/pendiri
kampung itu saja, terutama kepada anak laki-laki tertua (sulung) dari
mansren mnu yang lalu.
Sistem kepemimpinan tradisional di daerah Biak Numfor dan
sekitarnya dewasa ini sudah banyak mengalami perubahan dengan
hadirnya
pemerintahan
desa
(kampung),
pemerintahan
(kecamatan) dan pemerintahan di tingkat kabupaten.
distrik
Peranan
kepemimpinan tradisional hampir-hampir sudah tidak terlihat lagi di
205
kampung-kampung orang Biak. Boleh dikatakan dewasa ini mambri,
manibob dan konor adalah bagian dari sejarah masa lalu orang Biak.
Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa mansren mnu (tuan
tanah) meskipun juga telah terkikis dengan hadirnya kepala kampung,
namun disetiap kampung orang masih mengenal keret (klen) pendiri
kampung. Masyarakat di kampung-kampung Biak umumnya memiliki
kesadaran mengenai asa usul sejarah kampung, yakni siapa pemilik
tanah (tuan tanah) dan siapa-siapa (keret-keret apa)
yang datang
kemudian.
Meskipun Kamma, membagi lapisan sosial dalam kehidupan
orang Biak ke dalam
tiga lapisan, yakni lapisan pertama, keret
pemilik kampung, lapisan kedua, adalah pendatang yang datang
bergabung dengan pemilik kampung serta lapisan ketiga, adalah
budak yang dibawa ke kampung (Kamma, 1954:13). Namun
demikian, khusus pada lapisan ketiga, yakni kaum budak, dewasa ini
sudah tidak terlihat lagi. Ada kemungkinan mereka sudah teradopsi ke
dalam keret-keret pendiri kampung ataupun keret-keret pendatang di
kampung tersebut.
5. Bahasa
Daerah pulau Biak, Supiori dan pulau-pulau kecil lainnya yang
di zaman pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Schouten
Eilanden
yang terletak di sebelah utara Geelvink Bay (Teluk
Cenderawasih) menggunakan
satu bahasa yakni bahasa Biak.
Meskipun demikian dalam bahasa Biak
206
terdapat sekitar sepuluh
55
dialek . Dialek yang cukup banyak ini tidak menjadi penghalang
orang Biak untuk dapat saling mengerti bahasa (berkomunikasi) di
kalangan orang Biak baik di Pulau Biak, Supiori, Numfor, Padaido,
dan pulau-pulau lainnya.
Ini tentunya berbeda dengan Pulau Yapen
(Serui) yang menurut Summer Institute of Linguistik (SIL) tahun 2012,
di sana terdapat sekitar 13 bahasa daerah.
Bahasa Biak adalah salah satu bahasa di Papua yang
termasuk daam keluarga Bahasa Austronesia (Muller, 1876-1888;
Wurm & Hattori, 1982 dalam Mansoben, 1995:271) dan termasuk
dalam subgroup South Halmahera-West New Guinea (Blust, 1978
dalam Mansoben, 1995).
Bahasa Biak adalah bahasa yang paling luas wilayah
persebarannya
di
seluruh
Papua,
hal
ini
bisa
terlihat
dari
persebarannya mulai dari seluruh Pulau Biak, Supiori, Numfor, dan
sejumlah tempat di wilayah
Yapen, terus ke wilayah Barat
yakni
Manokwari, Wandamen, hingga ke daerah Kepulauan Raja Ampat.
6. Mata pencaharian
Orang Biak di Kabupaten Supiori yang hidup di daerah
perkampungan pada umumnya hidup dari bercocok tanam dan
menangkap ikan. Bercocok tanam di ladang dilakukan oleh sebagian
besar penduduk di wilayah tersebut. Demikian pula menangkap ikan
dilakukan juga oleh sebagian besar masyarakat yang hidup di
kampung-kampung Supiori, akan tetapi aktivitas menangkap ikan
55)
Adapun kesepuluh dialek tersebut adalah, dialek Samber,
Wadibu, Sorido, Manwor, Sowek, Sopen, Wombonda atau Sawias, Umbor,
Numfor, dan Mokmer (Steinhauer 1985:464,483)
207
terutama ditekuni oleh masyarakat yang hidup di Kampung Rayori
56
(Sowek), Supiori Selatan .
Pada umumnya penduduk yang melakukan aktivitas berladang
sebagai
mata
pencaharian
utama
juga
melakukan
aktivitas
menangkap ikan sebagai mata pencaharian tambahan. Pekerjaan
serabutan seperti ini dilakukan oleh masyarakat di kampung-kampung
Supiori, karena pada umumnya dalam masyarakat belum ada
spesialisasi kerja atau belum adanya pembagian kerja yang tegas.
Hasil yang mereka peroleh juga lebih banyak untuk kepentingan
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, atau dikenal dalam ilmu
antropologi sebagai ekonomi subsisten. Model ekonomi seperti ini
biasanya terjadi pada masyarakat
sederhana. Erich Wolf dalam
bukunya Petani Suatu Tinjauan Antropologi, menyatakan bahwa tipe
masyarakat yang melakukan aktifitas bercocok-tanam (pertanian) dan
hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bukan
57
untuk mengejar keuntungan, disebut dengan istilah peasant .
Mata pencaharian lain yang juga cukup penting di masa lampau
adalah perdagangan. Barang yang diperdagangkan ketika itu adalah
hasil laut, piring, budak, dan alat-alat kerja yang terbuat dari besi
seperti, parang dan tombak. Perlu diketahui, kepandaian besi sudah
dikenal orang Biak melalui penduduk Maluku jauh sebelum orang
Maluku jauh sebelum orang Eropa pertama datang di daerah ini pada
56)
Lihat Mansoben, 1995:276
57)
Lawan dari peasant adalah farmer, yakni petani yang
menggunakan hasil pertaniannya untuk mendatangkan keuntungan bagi
dirinya (maksimalisasi).
208
awal abad ke-16 sehingga peralatan kerja tersebut merupakan
produksi masyarakat. (Kamma & Kooijman, 1974).
Adapun sistem perdagangan yang dilakukan pada waktu lalu
adalah dengan pola tukar menukar yang dalam bahasa Biak disebut
dengan istilah Fyarobek. Dalam pertukaran tradisional berupa barter
(fyarobek) seperti ini orang Biak telah menciptakan institusi yang
disebut, manibob atau sistem rekanan dagang diberbagai daerah baik
di Teluk Cenderawasih maupun di daerah pesisir kepala Burung
sampai ke Kepulauan Raja Ampat.
Lebih jauh dalam kehidupan orang Biak, baik yang hidup di
Kabupaten Biak-Numfor maupun di Kabupaten Supiori secara
tradisional mengenal sebutan “mob” yakni tempat-tempat atau lokasilokasi berdasarkan jenis-jenis tumbuhan penting yang berkaitan
dengan kehidupan mereka, seperti,
sagu), mob beren/rofum
mob baryam (tempat/dusun
(tempat/dusun pinang), mob japan
(tempat/kebun keladi), mob srai (tempat/kebun kelapa), mob kuker
(tempat gayang), mob kawir (tempat buah merah), mob wur (tempat
sukun) dan lain-lain.
Sedangkan tempat untuk mencari binatang
seperti, babi (randip/korai), kus-kus (rambab), tikus tanah (karausop),
ayam hutan (manggiryoi) dan lain-lain itu disebut sup (hutan).
C. Ekologi Habitat Aibon
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami
dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang
naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem
mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan
abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.
209
Secara umum pada daerah Indo Pacific, pola pengelompok an
hutan mangrove memperlihatkan kesamaan, yaitu jenis Avicennia
spp. terdapat
pada bagian paling luar, kemudian berturut-turut ke
arah darat adalah Rhizophora spp., Bruguiera spp. dan akhirnya
adalah Ceriops spp. Namun demikian terdapat banyak variasi
komposisi jenis, kerapatan, sebaran dan dominasi baik pada setiap
kelompok maupun antar antar kelompok komunitas pada setiap
zonasi mangrove. Nybakken (1988), menyatakan bahwa tidak ada
bentuk pengelompokkan komunitas ataupun zonasi mangrove yang
berlaku secara universal. Selalu ada perbedaan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekhasan
pengelompokkan terutama keanekaragaman jenis hanya berlaku
setempat, tidak dapat diterapkan pada tempat lain.
Komposisi, kerapatan, frekuensi dan dominasi jenis mangrove
serta pola pengelompokkannnya banyak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, seperti tekstur tanah, salinitas dan fisiografi dimana satu
dengan yang lain sering berinteraksi membentuk lingkungan vegetasi
mangrove.
Tipe hutan mangrove di Kampung Biniki menurut Lugo dan
Snedaker (1974), merupakan tipe hutan tepi sungai (riverin forest)
dengan ciri perkembangan tegakan mangrove di kiri-kanan sungai,
sehingga pengaruh sungai sangat besar terhadap pengelompokkan
komunitas vegetasi mangrove. Pengaruh sungai tersebut berupa
suplai bahan organik dan anorganik sehingga turut mempengaruhi
sebaran jenis dan variasi jenis vegetasi mangrove, terutama terhadap
keragaman jenis vegetasi mangrove serta zonasi vegetasi di hutan
mangrove tersebut.
210
Aibon atau pohon buah aibon di Kabupaten Supiori umumnya
tumbuh secara alami pada hutan mangrove baik hutan mangrove
primer maupun sekunder.
2. Faktor Fisiografis
Topografi
pantai
merupakan
faktor
penting
yang
mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya
komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas
hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar
pasang surut, maka semakin lebar pula hutan mangrove yang
akan tumbuh. Faktor fisiografis yaitu ketinggian tempat dan
kelerengan (topografi) pada habitat aibon di Kampung Biniki
disajikan pada Tabel 38.
Tabel 38. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat aibon
di Kampung Biniki Distrik Supiori Selatan
Habitat
Ketinggian tempat
(m) dpl
Topografi/kelerengan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
2
3
5
0
5
0
0
2
0
2
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Aibon pada Kampung Biniki Distrik Supiori Selatan, tumbuh
baik pada kelerangan 0–2%. Kisaran kelerengan tersebut memiliki
kondisi habitat yang relatif datar. Lokasi tersebut umumnya terdapat
pada pinggiran pantai (batas pasang tertinggi) dan hutan mangrove.
Kondisi habitat demikian secara alami sangat berdampak terhadap
penyebaran dan kuantitas pertumbuhan pohon Aibon. Dari hasil
pengamatan
kualitas
pertumbuhan
211
pohon
aibon
pada
hutan
mangrove, umumnya sangat baik dan memiliki jumlah anakan yang
banyak yang tumbuh secara alami yang berasal dari buah masak
yang gugur yaitu 50-300 anakan per pohon.
Ketinggian tempat habitat pohon aibon di Kampung Biniki
Distrik Supiori Selatan adalah 0–5 m dpl. Sesuai ketinggian tempat
tumbuhnya maka pohon aibon digolongkan kedalam jenis tumbuhan
dataran rendah khususnya untuk tipe ekosistem hutan mangrove
yang sangat dipengaruhi oleh faktor edafis.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Menurut Hutching dan Saenger (1987) dalam Kusmana (2002),
kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove
yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20 °C, Rhizophora
stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa
tumbuh baik pada suhu 26-28 °C, Bruguiera spp. tumbuh baik pada
suhu 27 °C, dan Xylocarpus spp. tumbuh baik pada kisaran suhu
antara
26-28 °C. Suhu dan kelembaban serta pengamatan
penutupan tajuk (persen naungan) pada habitat
disajikan pada Tabel 39.
212
pohon aibon
Tabel 39. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan
tajuk pada habitat pohon aibon di Kampung Biniki Distrik
Supiori Selatan
Habitat
Suhu
(Cº)
Kelembaban
(%)
1
28
92
Naungan
(%)
80
2
29
83
75
3
28
80
82
4
29
87
72
5
31
85
65
6
30
60
45
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Pohon aibon tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan
ringan, sedang sampai tinggi (45–82%) dengan suhu optimum
berkisar antara 28–31ºC dan kelembaban optimum berkisar antara
60–92%. Adanya kisaran demikian disebabkan karena pohon aibon di
Kampung Biniki tumbuh secara alami pada hutan mangrove primer
maupun sekunder, sehingga kelembaban udara dan suhu masih
sangat dipengaruhi oleh angin laut.
3. Keadaan Tanah
Tanah hutan mangrove di Kampung Biniki dibentuk oleh
akomodasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi daerah hulu
sungai. Mangrove di kawasan ini umumnya tumbuh pada tanah
berlumpur, namun dapat juga tumbuh pada tanah berpasir, koral,
tanah berkerikil bahkan tanah berkarang. Hutan mangrove tersebut
berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang
kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang
dimaksud dapat berupa laguna, delta, dan lain-lain serta faktor
lingkungan yang mendukung. Faktor lingkungan yang paling berperan
213
dalam pertumbuhan mangove adalah tipe tanah, salinitas, draenase,
dan arus.
Pohon aibon umumnya tumbuh pada habitat tanah, tanah
tergenang, tanah berlumpur, tanah pasir dan pasir, dengan keadaan
solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang ( ± 20 cm) sampai
dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berpasir, tanah
berlumpur dangkal, sedang dan dalam. Habitat demikian umumnya
terdapat pada daerah pesisir pantai, hutan pantai dan hutan
mangrove.
Habitat pohon aibon dengan kedalaman solum yang tipis
(<10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada garis pantai atau
pasang tertinggi, sedangkan habitat pohon aibon dengan kedalaman
solum sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat
pada hutan mangrove baik primer maupun sekunder
atau tepian
sungai atau muara-muara sungai yang merupakan daerah dengan
arus sungai yang rendah. Hasil analisis tanah secara lengkap
disajikan pada Tabel 40.
214
Tabel 40.
Kesuburan tanah pada habitat aibon di Kampung Biniki
Distrik Supiori Selatan
Parameter
Nilai
Uji
Kandungan
Lempung
Satuan
57,75
%
Debu
36
%
Pasir
48,5
%
DHL
4,21
mS
Salinitas tanah
16
ppt
Salinitas air
23
ppt
N
0,10
%
P
18,42
Ppm
K
0,10
%
Mg
0,12
%
pH
5,62
%
C
0,44
-
Ca
1,02
-
Na
0,48
-
C/N ratio
7,62
-
Bahan Organik
9,58
%
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Tanah Fakultas Pertanian UGM Tahun 2012
Tanah pada habitat aibon bersifat agak masam (pH 5,62), N
tersedia rendah, P tersedia sedang, Mg tersedia sangat rendah,
bahan organik tinggi, C/N ratio
rendah dan K tersedia rendah.
Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada
habitat aibon di Kampung Biniki tergolong jenis tanah marginal
dengan tingkat kesuburan sangat rendah.
215
Persentase pasir cenderung semakin menurun ke arah darat,
sedangkan persentase lempung dan debu cenderung semakin
meningkat ke arah darat. Tekstur tanah erat hubungannya dengan
aerasi, drainase dan aktifitas mikroorganisme tanah. Tekstur tanah
yang mempunyai kandungan pasir tinggi relatif mempunyai aerasi dan
drainase yang baik dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah
yang bersifat aerob.
Nilai pH tanah dan air akan
berbeda disebabkan tingkat
kerapatan vegetasi yang tumbuh, jika kerapatan vegetasi rendah,
tanah akan mempunyai nilai pH yang tinggi. Menurut Arief (2007),
nilai pH tanah di bawah tegakan mangrove berkisar 4.6-6.5. Menurut
Poedjirahajoe (1995) bahwa perakaran mangrove mempengaruhi
peningkatan
ketebalan
lumpur,
BO,
Nitrogen
(total),
Phospat
(tersedia), Kalium (tersedia) dan suhu.
Menurut Arksonkoe (1993), tumbuhan mangrove akan tumbuh
dengan baik di daerah estuaria dengan kisaran salinitas antara 10-30
ppt (part per thousand). Pada areal penelitian, nilai salinitas tanah
16 ppt, nilai ini cukup rendah akibat adanya pengaruh air sungai yang
sering menggenangi areal penelitian, sedangkan nilai salinitas air
berkisar antara 23 ppt, menunjukkan
penggenangan air laut yang cukup lama.
216
nilai yang tinggi karena
D. Potensi Tegakan dan Buah
1. Potensi Tegakan
Menurut Ditjen Intag Dephut (1996) Luas hutan mangrove di
Papua 1.350.600 ha yang tersebar pada seluruh pantai pesisir Pulau
Papua atau sekitar 38,23% dari hutan mangrove Indonesia dengan
luas
3.533.000 ha.
Yulianti (2004)
dalam
Sarungallo (2009)
melaporkan bahwa potensi hutan mangrove di Distrik Supiori Selatan
Kabupaten Supiori seluas ±120 ha.
Meskipun masyarakat di Supiori telah lama memanfaatkan
buah aibon sebagai pangan alternatif di Kabupaten Supiori namun
masyarakat belum melakukan kegiatan budidaya menanam pohon
aibon. Hal ini disebabkan karena masyarakat masih sangat
tergantung pada buah-buahan hutan lainnya yang juga merupakan
bahan makanan lainnya yang berasal dari hutan seperti buah matoa,
langsat dan kaum. Disamping sagu (Metroxylon sago) dan hasil kebun
lainnya seperti ketela pohon /kasbi (Manihot esculenta), ubi
jalar/batatas
sagittifolium)
(Ipomoea
dan
batatas),
uwi/bete
talas/keladi
(Colocasia
(Xanthosoma
esculenta).
Adanya
ketergantungan masyarakat terhadap beras, sagu dan hasil kebun
lainnya membuat masyarakat tidak melakukan kegiatan penanaman
jenis pohon aibon tersebut. Hal lainnya yang cukup mempengaruhi
animo masyarakat untuk tidak melakukan penanaman buah aibon
adalah
masyarakat
menganggap
bahwa
buah
aibon
hanya
dikonsumsi atau dimakan oleh masyarakan atau orang Biak di Supiori
saja, sehingga mereka merasa bahwa buah ini kurang terkenal dan
belum ada prospeknya baik pemanfaatannya maupun pemasarannya
217
sehingga mereka merasa tidak perlu untuk menanam pohon aibon
tersebut.
Namun berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa buah
aibon selain dikonsumsi oleh masyarakat atau orang Biak di
Kabupaten Supiori, buah aibon juga ternyata dikonsumsi oleh
masyarakat di Pulau Rumberpon Kabupaten Teluk Wondama.
2. Potensi Buah
Pohon aibon yang telah mencapai masa berbuah, biasanya
berbuah berdasarkan musimnya sepanjang setahun.
Pohon aibon
dapat berbuah 3 sampai 4 kali dalam setahun, dengan jangka waktu
berbunga sampai waktu panen selama 3-4 bulan, sehingga buah ini
selalu tersedia sepanjang tahun. Secara umum pohon aibon mulai
berbuah secara alami pada umur 2,5-4 tahun. Yulianti (2004) dalam
Sarungallo (2009) menyatakan bahwa potensi buah aibon di Supiori
Selatan sebesar 6.228,8 kg/ha. Walaupun demikian pemanfaatan
buah aibon sebagai bahan pangan oleh masyarakat di Kabupaten
Supiori belum populer, karena kurangnya informasi mengenai
pemanfaatan maupun proses pengolahannya.
Hasil pengamatan terhadap pohon aibon yang berbuah dan
berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa
pohon aibon telah berbuah pada tingkat pancang dan potensi buah
aibon per pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara
umum potensi buah kaum tersebut jika diukur dengan ember ukuran
5 kg, maka akan menghasilkan 10–20 ember per pohon untuk sekali
panen (5-10 karung), hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan
oleh pohon tersebut umumnya tidak banyak, sekitar 1–2 buah per
tangkai dengan jumlah tangkai per pohon 40-100 tangkai, karakter
218
buah aibon yang umumnya berdiameter 1-2 cm dengan panjang
10-25 cm menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume.
E. Kandungan Gizi Aibon
Kandungan gizi aibon secara lengkap disajikan pada Tabel 41.
Perbandingan kandungan gizi aibon dengan beberapa jenis makanan
yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 42.
Tabel 41. Kandungan gizi aibon
Macam Analisa
Hasil Analisis
Rata-Rata
Ul1
Ul2
Kadar Air (%)
73,7865
74,2153
74,00
Kadar Abu (%)
0,3672
0,3554
0,36
Kadar Lemak (%)
1.3284
1,2146
1,27
Protein Total (%)
1,0035
1,6721
1,34
Serat Kasar (%)
0,7438
0,7562
0,75
Karbohidrat per 100 gr
88,6436
90,5582
89,60
Kalori (kal/100 gr)
374,4362
370,5824
372,51
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2012
Tabel 42. Perbandingan kandungan gizi aibon dengan beberapa jenis
bahan makanan
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalori
(%)
(%)
(%)
(gr)
Beras
8,9
2,00
78,9
360
Jagung
9,4
4,20
63,6
307
Sagu basah
0,45
0,63
56,22
232,31
Buah
219
Sagu kering
0,46
0,73
84,89
348,25
Aibon
1,34
1,27
89,60
372,51
Sumber :
Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012 dan The Indonesian
Commodity System, IPB Tahun 2006
Secara umum kandungan karbohidrat dan kalori pada aibon
lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis bahan makanan
lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara
umum.
Kadar
amilosa
pati
aibon
paling
tinggi
(32,35%)
jika
dibandingkan dengan tapioka (14,0%) dan maizena (27,0%). Hal ini
menunjukkan
bahwa
pati
aibon
cenderung
kurang
lengket
dibandingkan tapioka dan maizena, karena sifat kelengketannya lebih
ditentukan oleh kandungan amilopektin. Untuk itu pati aibon tidak
cocok diaplikasikan pada industri yang membutuhkan pati dengan
kadar amilopektin tinggi terutama untuk industri perekat, sebaliknya
lebih cocok diaplikasikan pada industri yang membutuhkan pati
dengan kadar amilosa tinggi seperti industri kertas dan tekstil (Sivak &
Preiss, 1998 dalam Sarungallo, 2009).
220
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 44. Buah Aibon yang telah diolah dan dikeringkan
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 45. Tepung hasil olahan buah aibon
221
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 46. Pemanfaatan tepung aibon sebagai sinole atau nasi
aibon
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 47. Pemanfaatan tepung aibon sebagai kue cake
222
F. Etnobotani Aibon Dalam Budaya Suku Biak Numfor
Buah aibon adalah jenis buah yang dikomsumsi (dimakan) oleh
masyarakat Biak di Kabupaten Supiori dan masyarakat pendatang
yang telah lama berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah
memanfaatkan buah tersebut secara turun temurun sejak zaman
dahulu (pada saat pertama nenek moyang mereka mengenal buah
aibon tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat
dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau kapan orang
Supiori pertama kali mengkonsumsi jenis buah aibon tersebut.
Namun secara budaya buah aibon memiliki beberapa fungsi atau
peranan yang penting dalam perkembangan budaya
etnis Biak di
Kabupaten Supiori.
Buah aibon pada Perang Dunia Ke II merupakan sajian yang
paling istimewa bagi masyarakat Biak Numfor, hal ini dikarenakan
pada saat Perang Dunia ke II tersebut, terjadi kelaparan besar yang
melanda seluruh wilayah Biak Numfor pada saat itu. Masyarakat pada
saat itu memanfaatkan buah aibon sebagai pangan alternatif dalam
mempertahankan kehidupan mereka. Bahkan berdasarkan informasi
dari
masyarakat
(wawancara),
ternyata
Tentara
Jepang
juga
memanfaatkan buah aibon tersebut sebagai pangan alternatif untuk
mempertahankan
kehidupan
mereka.
Akibatnya
sering
terjadi
bentrokan antara masyarakat lokal Biak di Kabupaten Supiori dan
Tentara Jepang akibat perebutan buah aibon tersebut.
Proses pengolahan buah aibon ini di mana setelah buah yang
jatuh dipungut, kemudian dimasak dengan kulit, lalu kulitnya dikupas
yang umumnya menggunakan kulit kerang yang dalam bahasa Biak
223
58
disebut isei . Tahap berikutnya buah yang sudah dikuliti direndam
selama kira-kira 12 jam, kemudian direbus lagi dan dijemur sampai
kering. Bahan kering tersebut kemudian ditumbuk atau diperas hingga
hancur dan siap dikonsumsi.
Buah aibon ini bisa diolah menjadi bubur atau nasi (sinole)
bahkan dewasa ini masyarakat sudah dapat mengolah buah ini
menjadi cake (kue). Untuk membuat cake (kue), tepung dari buah
aibon ini dicampur dengan tepung kanji ataupun tepung sagu. Alasan
tepung aibon dicampur dengan tepung kanji atau tepung sagu adalah
untuk melekatkan tepung aibon yang berserat banyak. Selanjutnya
proses pembuatan cake (kue) sama dengan membuat cake (kue)
yang lazim pada pembuatan cake dengan menggunakan tepung.
G. Konservasi Tradisional
Pohon aibon adalah bagian dari jenis pohon komunitas
mangrove yang tumbuh secara alamiah di pinggiran pantai berawa
dan berair payau. Tanaman ini memiliki buah yang panjangnya sekitar
15-25 cm, dan berdiameter 1,5-2 cm.
Kampung
Ramardori
Supiori
Orang Biak yang hidup di
Selatan,
Kabupaten
Supiori
memanfaatkan buah aibon sebagai salah satu makanan alternatif,
terutama ketika wilayah ini berada dalam situasi krisis pangan. Bukan
hanya ketika perang dunia kedua saja buah aibon ini penting, buah ini
juga dimakan ketika kebun yang diusahakan belum menghasilkan
(belum dipanen).
Masyarakat
Biak
di
Kabupaten
Supiori
telah
lama
memanfaatkan buah aibon dalam kehidupan budaya dan keseharian
58)
Menurut Bapak Maikel Wanma bahwa Kulit kerang jenis ini dia
ambil di daerah Numfor dan Pulau Yapen.
224
mereka. Saat ini masyarakat belum secara sadar melakukan
konservasi tradisional terhadap jenis tersebut. Sehingga proses
regenerasi aibon pada kawasan hutan mangrove di daerah tersebut
masih secara alami. Namun dengan adanya kegiatan Kebun Benih
Rakyat (KBR) dari BP DAS Mamberamo melalui instansi teknis Dinas
Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Supiori yang bertujuan
untuk mempercepat rehabilitasi lingkungan serta memberikan manfaat
ekonomi pada masyarakat, maka masyarakat telah melakukan
kegiatan rehabilitasi lahan berupa penanaman hutan mangrove
dengan jenis aibon.
H. Status Konservasi
Aibon adalah salah satu jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh
pada hutan mangrove. Jenis tumbuhan ini merupakan jenis tumbuhan
asli (native species) di Tanah Papua dan Indonesia. Jenis ini secara
global belum dinyatakan sebagai jenis yang terancam punah.
I. Prospek Pengembangan
Aibon sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua
terutama pada daerah yang memiliki tipe mangrove. Pengembangan
atau penanaman jenis ini dalam bentuk perkebunan atau kebun
koleksi sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan karakter
habitat yang spesifik.
225
Gambar 48. Peta penyebaran aibon (Bruguiera gymnorhiza) di Tanah Papua
226
PENUTUP
Papua dengan keanekaragaman jenis suku 271 suku dan
zona-zona vegetasi terlengkap di dunia memiliki banyak jenis
vegetasi yang secara budaya buahnya telah lama dimanfaatkan
oleh suku-suku tersebut sebagai bahan pangan tradisional.
Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu pengetahuan
yang tercipta sebagai adaptasi terhadap faktor ekologis hutan
tempat mereka bermukim. Setiap suku umumnya memiliki
pemanfaatan yang berbeda-beda untuk tumbuh-tumbuhan hutan
tersebut berdasarkan zona vegetasi dan kehadiran vegetasi
tersebut pada lokasi tempat mereka lama bermukim.
Berdasarkan analisis kandungan zat gizi untuk berbagai
jenis pangan tidak ada satu jenis panganpun yang mengandung
zat gizi yang lengkap, yang mampu memenuhi semua zat gizi
yang dibutuhkan oleh manusia. Satu makanan mungkin kaya
akan zat gizi tertentu, namun kurang mengandung zat gizi
lainnya. Padahal seseorang untuk dapat hidup sehat paling tidak
memerlukan 40 zat gizi yang harus diperoleh dari makanan.
Untuk hidup sehat, orang perlu makan makanan yang beragam
(diversified), termasuk pangan pokok yang tidak harus nasi.
Secara
teknis, pangan
pokok
lokal
tersebut dapat
dikembangkan menjadi produk pangan unggulan. Dengan
rekayasa teknologi proses pangan dapat dilakukan perbaikan
mutu produk pangan yang meliputi nilai gizi, organoleptik,
227
keamanan, kegunaan, keawetan, kepraktisan. Dengan kemajuan
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, maka produk olahan
pangan ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern
dengan kriteria praktis, menyehatkan dan terjangkau.
Pemanfaatan buah-buahan dan biji-bijian hutan sebagai
bahan pangan oleh setiap etnik di Papua sangat berbeda satu
dengan yang lainnya, baik spesies, bagian yang dimanfaatkan
maupun cara memanfaatkan buah-buahan dan biji-bijian hutan
tersebut. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan latar belakang
sosiokultur dan ekosistem lingkungan masing-masing daerah.
Keanekaragaman buah-buhan dan biji-bijian hutan tersebut
perlu untuk di data dalam bentuk suatu data base dan kemudian
diberikan ranking untuk prioritas pengembangannya. Hal ini
dimaksudkan untuk tujuan program ketahanan pangan lokal dan
pemenuhan kebutuhan gizi dan vitamin nabati di Tanah Papua
secara khusus dan Indonesia secara umum
Sangat diperlukan adanya dukungan dari pemerintah pusat
dan daerah baik provinsi maupun kabupaten di Tanah Papua
dalam hal pengembangan jenis-jenis buah-buahan hutan sebagai
bahan pangan melalui program pengembangan yang tepat.
Kegiatan pengembangan yang berhasil, sudah tentu akan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
lokal
di
sekitar
kawasan hutan dan meningkatkan ketahanan pangan secara
nasional.
228
PUSTAKA ACUAN
Angraeni, D. & Y. Watopa. 2005. Kajian Singkat Konservasi dan
Ekonomi (RACE): Suatu Usaha untuk Memadukan
Kepentingan Konservasi dan Pembangunan Ekonomi di
Tanah
Papua
(Laporan
Akhir).
Conservation
International. Jayapura.
Arief, A. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap
Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Arief, A. 2007. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Arksonkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove.
IUCN, Bangkok, Thailand.
Boelaars, Jan. 1992. Manusia Irian (Dahulu-Sekarang-Masa
Depan). PT Gramedia. Jakarta.
Barber, C.V., Suraya & Agus, P. 1997. Meluruskan Arah
Pelestarian
Keanekaragaman
Hayati
dan
Pembangunan di Indonesia. (Penerjemah M.Malik)
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Broekhuijse, J.Th. 1967. De Wiligiman-Dani : Een CultureelAntropologische Studie over Religie en Oorlogvoering in
de Baliem Vallei : Utrecht :Gianotten (Dalam Mansoben
(1995) Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya)
Camps, J.A.E. 1972.
(2) : 83-93
Book Review of the Dugum Dani. IBIJD
Ember, C.R. & M. Ember. 1980. Konsep Kebudayaan. Dalam T.
O. Ihromi (Editor). Pokok-pokok Antropologi Budaya.
Gramedia. Jakarta.
229
Ewusie, J. Y. Ekologi Tropika. 1990. ITB. Bandung.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah (Edisi Baru). Akademika
Pressindo. Jakarta.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Jakarta:
Litbang. Departemen Kehutanan.
Heider, K. 1970. The Dugum Dani : A Papuan Culture in the
Highlands of West New Guinea. Chicago : Aldane.
(Dalam Mansoben (1995), Sistem Politik Tradisional di
Irian Jaya).
Heider, K. 1979. Grand Valley Dan : Peaceful Warriors. New
York: Holt Rinehart & Winston.
Jebb, M. 1991. A Field Guide to Pandanus in New Guinea, The
Bismarck Archipelago and The Solomon Island.
Christensen Research Institute. Madang, Papua New
Guinea
John, R. 1997. Common Forest Trees of Irian Jaya Papua –
Indonesia. Royal Botanical Garden, Kew. Inggris.
Kamma, F.C. 1972. KORERI, Mesianic Movements In The
Biak-Numfor Culture Area, The Hague-Martinus
Nijhoff.
Kartawinata, K. 2010. Dua Abad Mengungkap Kekayaan Flora
dan Ekosistem di Indonesia. Sarwono Prawirohardjo
Memorial Lecture X, 23 Agustus 2010, Jakarta. (Tidak
diterbitkan)
Koentjaraningrat.
1981.
Kebudayaan,
Mentalitas
Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.
dan
Kusmana, C. 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas Kehutanan
IPB, Bogor.
230
Kusmana, C dan Agus Hikmat. 2005. Keanekaragaman Hayati
Flora di Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Lekitoo, Hanro Y. 1997. The People of Saba –Warwe (SAWA)
in Biak Irian Jaya. Dalam buku Antropologi Terapan
di Irian Jaya I (Michael C. Howard and Naffi
Sanggenafa, editors).
Lekitoo, K., O. P. M.Matani., H. Remetwa & C. D. Heatubun.
2008. Buah-buah yang Dapat di Makan di Kawasan
Taman Wisata Alam Gunung Meja - Papua Barat. Balai
Penelitian Kehutanan. Manokwari
Leksono A. S., 2007. Ekologi. Pendekatan Deskriptif dan
Kuantitatif. Bayumedia Publishing. Malang
Lugo, A.E., & S.C. Snedaker. 1974.
The Ecology of
Mangroves. Annual revieuw of ecology & systematic,
vol. 5 : 39-64.
Mansoben J. R.. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya,
LIPI-RUL, Jakarta.
Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi
Tropika. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
Muller, F. 1876-88. Grundrisse der Sprachwissenschaft (4 vol).
Vienna : Holder.
Murdock, G.P. 1949. Social Structure, New York : MacMillan
Nugroho, A. & Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Wana
Aksara. Tangerang.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologi. PT. Gramedia, Jakarta.
231
Peters, H.L. 1975. Some Observations on the social and
Religious Life of a Dani Group. IBIJD 4 (2)
Petocz, R. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian
Jaya. PT. Gramedia. Jakarta.
Poedjirahajoe, E. 1995. Peranan Akar Bakau Sebagai
Penyangga Kehidupan Biota Laut di Kawasan
Rehabilitasi Mangrove Pantai Pemalang. Program
Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Powell, H.A. 1960. Competitive Leadership in Trobriand Political
Organization. GRAI. 90 : 131-132. Prattise, J.I.
Powell, J. M. 1976. Ethnobotany. In K. Paijmans (Editor). New
Guinea Vegetation: 106-170. The Australian National
University Press. Canberra.
Pouwer, J. 1966. Toward a Configurational Approach to Society
and Culture in New Guinea. JPS. 75 : 267-286.
Primack, R. B. 1998. Biologi Konservasi.
Obor Indonesia. Jakarta.
Penerbit Yayasan
Rivai, M. A. 2004. Kamus Biologi. Balai Pustaka. Jakarta
Sarungallo, Z. L.., Budi Santoso dan Eduard Frasisco Tethool.
2010. Sifat Fisikokimia dan Fungsional Pati Buah
Aibon (Brugueira gymnorhiza L.). Jurnal Natur
Indonesia 12(2), April 2010: 156-162
Sirami E.V., K. Lekitoo dan A. O Wanma. 2009. Inventarisasi
Hutan Pada Distrik Koweda Kabupaten Waropen.
(Tidak diterbitkan).
232
Steenis-kruseman M.J van & C.G.G.J van Steenis,, 1950.
Malaysian Plant Collectors nd Collections, being a
Cyclopedia of Botanical Exploration in Malaysia and a
Guide to the Concerned Literature up to the year 1950.
Hal. i-clii & 1-639 dalam CGGJ van Steenis (Ed.), Flora
Malesiana, I, 19. Noordhoff-Kolff NV, Djakarta
Suhardi, S. Sabarnurdin, S. A. Sudjoko, Dwidjono H.D,
Minarningsih dan A. Widodo. 2006. Hutan dan Kebun
Sebagai
Sumber
Pangan
Nasional.
Kanisius.
Yogyakarta.
233
Tentang Penulis
Krisma Lekitoo – Lahir pada tanggal 31 Juli
1976 di Kampung Miei Kabupaten Teluk
Wondama. Lulusan Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Univ. Cenderawasih
Manokwari tahun 1998 dan melanjutkan Pasca
Sarjana dengan gelar Master of Science
(M.Sc.) pada Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta tahun 2011 dan merupakan lulusan terbaik program
master bidang kehutanan. Mendapat penghargaan dari Menteri
Kehutanan sebagai peneliti muda terbaik pada bidang kehutanan di
Indonesia tahun 2013. Saat ini bekerja sebagai staf peneliti pada
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dengan jabatan fungsional
Peneliti Muda. Pernah mengikuti Diklat Pengenalan Jenis Pohon
Hutan Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan di
Bogor tahun 2003. Aktif mengikuti pertemuan ilmiah, termasuk
pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Penggalang
Taksonomi Tumbuhan Indonesia. Publikasi yang dihasilkan
didominasi pada bidang taksonomi dan konservasi sebagai minat
utama. Buku yang pernah ditulis adalah Keanekaragaman Flora
Taman Wisata Alam Gunung Meja – Papua Barat (Jenis-jenis
pohon-Bagian-1), Jenis Buah-buahan Hutan Yang Dapat Dimakan
Pada Taman Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari dan
Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian I serta pernah
menjadi editor pada buku “Keanekaragaman Jenis Flora Taman
Nasional Wasur Bagian I”
Ezrom Batorinding – Lahir pada tanggal 12
November 1975 di Soroako, Luwu. Staf peneliti
Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.
Lulusan S1 Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Cenderawasih Manokwari (2000), dan
234
melanjutkan Pasca Sarjana minat konservasi dengan gelar Master
of Science (M.Sc.) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun
2011.
Permenas Alexzander Dimomonmau – Lahir
pada tanggal 03 Maret 1974 di Sarmi. Lulusan
Jurusan
Kehutanan
Fakultas
Pertanian
Universitas Negeri Cenderawasih (FapertaUncen) tahun 2000. Pernah bekerja sebagai
Manajer Operasional pada IPK CV. Irman Jaya
Martabe di Kecamatan Sarmi Kabupaten
Jayapura tahun 2000 - 2001. Sejak tahun 2001
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Lingkup Badan Litbang
Kehutanan, dan ditempatkan pada Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari, bekerja sebagai peneliti Bidang Konservasi Sumber
Daya Hutan, aktif dalam kegiatan seminar dan melakukan penelitian
terkait bidang kepakaran, yaitu Konservasi Satwa Liar dan
Keanekaragaman Hayati. Kandidat Master of Science (MSc.) pada
Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Wilson F. Rumbiak – Lahir pada tanggal
3 Oktober 1974 di Biak. Lulusan Jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Cenderawasih (Faperta-Uncen) tahun
2000. Sejak tahun 2000 bekerja sebagai
peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari. Bidang kepakaran penelitian
adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
khususnya masoia, aktif dalam kegiatan seminar dan melakukan
penelitian terkait bidang kepakaran. Kandidat Master of Science
(MSc.) pada Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
235
Ir. Harisetijono.MSc – Lahir pada tanggal
29 Maret 1961 di Tulungagung. Pekerjaan :
Kepala
Balai
Penelitian
Kehutanan
Manokwari. Riwayat Pekerjaan: Peneliti
Agroforesry pada BPK Kupang 1986 – 1998,
Kepala Seksi Perencanaan dan Program
BPK Kupang 1998 – 2004, Kepala Sub
Bagian Data dan Informasi Sekretariat
Badan Litbang Kehutanan 2004 – 2009. Kepala Sub Bagian
Perpustakaan, Desiminasi dan Publikasi Sekbadan Litbang
kehutanan 2009 - 2012. Kepala Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari 2012 - Juli 2014.
Hendrison Ondi – Lahir pada tanggal 1
September 1973 di Sentani. Lulusan Jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Cenderawasih (Faperta-Uncen) tahun 2000 dan
melanjutkan Pasca Sarjana minat Manajemen
Agribisnis dengan gelar Magister Manajemen
Agribisnis (MMA) pada Universitas Tribhuana
Tunggadewi Malang tahun 2009. Sejak tahun 2001 bekerja sebagai
staff Dinas Kehutanan Kabupaten Biak Numfor, kemudian
dimutasikan ke Kabupaten Supiori tahun 2004. Jabatan sekarang
sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan
Hidup Kabupaten Supiori Provinsi Papua.
Charlie Danny Heatubun – Staf Pengajar
Fakultas Kehutanan Univ. Papua Manokwari.
Lulus S1 Jurusan Kehutanan Faperta Univ.
Cenderawasih Manokwari (1997), S2 (2006)
dan S3 (2009) dan merupakan lulusan terbaik
program doktor pada bidang Taksonomi
Tumbuhan. Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor.
236
Sejak tahun 2013 diangkat menjadi Guru Besar (Profesor) Bidang
Taksonomi Hutan. Pernah mengikuti beberapa kursus dan pelatihan
Sistematika Tumbuhan dan Manajemen Herbarium di dalam dan
luar negeri termasuk visiting fellow ke beberapa herbarium dan
kebun raya di Negara ASEAN, China, Australia dan Eropa. Aktif
dalam berbagai pertemuan ilmiah termasuk pertemuan rutin Flora
Malesiana. Publikasi yang dihasilkan beberapa diantaranya dimuat
dalam Peer Review jurnal nasional dan internasional. Telah
menemukan dan memberi nama beberapa taksa baru tumbuhan,
terutama pada suku palem-paleman (Arecaceae). Tergabung dalam
beberapa organisasi profesi dalam dan luar negeri diantaranya
Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia dan sebagai anggota
aktif IUCN Species Survival Commite – Palm Specialist Group.
Hanro Yonathan Lekitoo – Lahir pada
tanggal 07 Januari 1969 di Kampung Miei
Kabupaten Teluk Wondama. Lulusan
Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas
Cenderawasih (UNCEN) Jayapura tahun
1993 dan melanjutkan Pasca Sarjana
dengan gelar Master of Humaniora (M.
Hum.) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2003. Sejak 1996 mengajar di
Jurusan Antropologi FISIP UNCEN. Pernah bekerja di World Vision
International Indonesia – Jayapura tahun 1995. Saat ini penulis
aktif sebagai pengajar, dan peneliti di Jurusan Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih
(UNCEN) Jayapura. Kandidat Doktor (S3) pada Bidang Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.
237
238
Download