BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Dalam kehidupan, manusia cenderung melakukan berbagai peran dalam memaksimalkan fungsinya sebagai makhluk sosial. Peran atau penampilan diri yang dilakukan akan menghasilkan citra sebagai penilaian orang lain, sehingga dalam pelaksanaannya tidak jarang manusia mengkonstruksikan dirinya sedemikian rupa guna mendapatkan tujuan atas konstruksi tersebut. Presentasi diri merupakan sebuah pengelolaan diri seseorang untuk menghasilkan citra tertentu yang diinginkan, dalam pelaksanaannya hal ini tidak terlepas dari impression manajemen atau pengelola kesan guna meyakinkan orang lain tentang citra yang dimunculkan. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang presentasi diri Permadi dalam melakukan perannya sebagai Penyambung Lidah Bung Karno, sehingga dari opini yang diharapkan akan terbentuk opini sebenarnya pada diri khalayak atas pemeranan peran tersebut. 2.1 Tinjauan Pustaka Beberapa studi mengenai penggunaan presentasi diri dan impression manajemen dalam kajian dramaturgi sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya : 7 Penelitian pertama yaitu Anisa Hidayat yang meneliti “Impression Management Dosen dalam Perspektif Dramaturgis”, dalam penelitian ini Sdr. Anisa mencoba membongkar bahwa front stage yang diciptakan seorang dosen bertujuan untuk menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi kedua belah pihak, walau citra yang dimunculkan tersebut tidak serta merta dapat diterima oleh masyarakat, karena prilaku back stage yang mungkin berbeda dan telah menjadi image bagi masyarakat. Dalam penelitian ini peneliti coba untuk mengungkap bagaimana impresion management dapat menjadi sebuah alat penyesuaian sebuah situasi dan menjadi problem solver bagi proses belajar mengajar yang memiliki history kurang baik. Namun apa yang ditampilkan dalam panggung depan, tidak merubah kesan pada khalayak seperti yang diinginkan sang aktor, karena panggung belakang yang diketahui khalayak menjadi kesan tersendiri bagi para murid terhadap sang dosen. Penelitian ini mengunakan teori impresion management dari kajian dramaturgi Erving Goffman, dan mengunakan metode penelitian fenomenologi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Presentasi Diri Wujud Panggung Utama Aktor Politik Kajian Dramaturgi Erving Goffman pada Permadi Sebagai Penyambung Lidah Bung Karno. Dalam penelitian Presentasi Diri ini akan mencoba melihat apakah Presentasi diri seorang aktor dapat menciptakan 8 panggung utama yang menjadi dominasi bagi terbentuknya kesan pada khalayak, dan bagaimana komunikasi verbal dan nonverbal dapat membentuk presentasi diri. Penelitian Kedua, Tika Mutia yang meneliti “Presentasi Diri Dosen lajang”, dalam penelitian ini diungkapkan tentang presentasi diri mengunakan komunikasi verbal dan non verbal para dosen yang berada pada panggung formal dan nonformal. Dalam penelitian ini Tika mengungkap bagaimana presentasi diri seorang dosen dengan teori labeling dramaturgi erving goffman pada panggung formal dan informalnya, sehingga ditemukan 4 panggung. Penelitian Presentasi Diri Wujud Panggung Utama Aktor Politik Kajian Dramaturgi Erving Goffman pada Permadi Sebagai Penyambung Lidah Bung Karno, mengungkap tentang panggung utama yang menjadi pengolaan kesan utama bagi khalayak, ini merupakan hal berbeda dari penelitian Tika. Tika tidak menyimpulkan dan mendalami panggung mana yang menjadi panggung utama dari sang dosen lajang, walaupun Tika mengunakan komunikasi verbal dan nonverbal sebagai pembuktian akademik penelitian ini. Penelitian ketiga adalah Cahyadi Indrananto meneliti “Pemimpin Daerah Sebagai Agen”, dalam penelitian ini di ulas bagaimana seorang pemimpin menciptakan berbagai panggung, dimana panggung yang satu digunakan sebagai penunjang citra dirinya di panggung yang lain yang secara keseluruhan bermuara 9 pada citra diri pribadi. Dalam penelitian dramaturgi ini Cahyadi mengunakan teori metaphor teatre, dan mengungkap bahwa seorang aktor menciptakan berbagai panggung yang saling mendukung satu dan lainnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Presentasi Diri Wujud Panggung Utama Aktor Politik Kajian Dramaturgi Erving Goffman pada Permadi Sebagai Penyambung Lidah Bung Karno, adalah tidak ditelusurinya pengunaan panggung utama yang menjadi sebuah panggung dominan yang didukung oleh panggung lainnya. Beberapa penelitian diatas telah mengulas dan membedah fenomenafenomena berdasarkan pendekatan dramaturgi. Namun meskipun dalam pendekatan dan landasan teori yang dipakai sama, dalam kesempatan ini penulis ingin meneliti lebih dalam masalah yang berbeda, mengungkap realitas kehidupan manusia dari sisisisi lain yang belum pernah ada. Adapun fungsi dari perujukan terhadap karya penelitian ini adalah “untuk membangun pembenaran (justifikasi) atas penelitian yang dilakukan, yakni penelitian ini perlu dilakukan.” (Alwasilah, 2002 : 125) 10 11 12 13 2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Komunikasi Politik Anwar Arifin (2011:1) mengatakan : komunikasi politik adalah pembicaraan untuk mempengaruhi dalam kehidupan bernegara. Komunikasi politik dapat juga merupakan seni mendisain apa yang mungkin (art of possible) dan bahkan dapat merupakan seni mendisain yang tidak mungkin (art of impossible). Politik mencakupi komunikasi sesungguhnya dapat juga dikaji dari pendapat para pakar yang menunjukkan adanya kedekatan yang intim dan istimewa antara komunikasi dan politik karena proses komunikasi menempati fungsi yang sangat penting dalam domain politik. Komunikasi telah membantu menjelaskan fenomena politik. Komunikasi dan politik menjadi komunikasi politik, pada hakikatnya berpadu atau bertemu pada dua titik yaitu: pembicaraan dan pengaruh atau mempengaruhi. Politik adalah komunikasi karena sebagian besar kegiatan politik dilakukan dengan pembicaraan, sebaliknya komunikasi adalah politik karena tujuan komunikasi adalah mempengaruhi sebagai salah satu dimensi politik. Jadi komunikasi politik adalah pembicaraan yang bertujuanu ntuk mempengaruhi kehidupan bernegara. Definisi komunikasi politik juga terus dirumuskan secara eksplisit oleh para ahli. Hal ini misalnya sebagaimana yang disampaikan oleh Fagen (1966: 20, dalam Rahmat, 1989) dimana komunikasi politik didefinisikan sebagai “communicatory activity considered political by virtue its consequences, actual and potential, that it has for the functioning of political systems”. Denifisi lainnya juga dilakukan oleh 14 Meadow (1980: 4, dalam Rahmat, 1989), yaitu “political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system”. Berdasarkan kedua definisi yang disampaikan oleh Fagen (1966) dan Meadow(1980) ini kemudian Dan Nimmo (1978:7) mendefinisikan komunikasi politik sebagai “communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflicts”. Tidak hanya memberikan kontribusi pada definisi studi komunikasi politik, Nimmo (1989) juga kemudian merumuskan ruang lingkup komunikasi politik yang mengacu pada konsep yang sudah diletakkan oleh Laswell (1958), yaitu : 1. Komunikator politik 2. Pesan politik 3. Persuasi politik 4. Media komunikasi politik 5. Khalayak komunikasi politik 6. Akibat komunikasi politik. Di sini tampak bahwa Nimmo menambahkan elemen baru dalam ruang lingkup komunikasi politik yang sebelumnya tidak disebutkan oleh Laswell (1958) secara eksplisit, yaitu elemen persuasi politik.Setiap orang bisa saja berkomunikasi tentang politik, namun tidak setiap orang dapat dikategorikan sebagai komunikator 15 politik. Pembahasan tentang komunikator politik berikut sepenuhnya diadopsi dari teori Dan Nimmo. Menurut Dan Nimmo komunikator politik dapat dibagi ke dalam tiga figur, yakni politikus, aktivis dan profesional. Tanpa bermaksud menyederhanakan hakikat komunikator politik, Nimmo memberikan penjelasan yang seringkali menjadi rujukan karena bukan hanya bersifat teoritis, melainkan juga dianggap aplikatif oleh beberapa akademisi dan praktisi. Dalam teori dramaturgi Erving Goffman seorang aktor sama dengan seorang komunikator, dan aktor politik adalah komunikator politik. Karena ada penyampaian pesan yang dilakukan dan pengelolaan kesan untuk menciptakan sebuah pandangan tentang sesuatu pada khalayak, dalam hal ini presentasi diri yang dilakukan aktor politik untuk menciptakan kesan pada penonton tentang dirinya. 2.2.2 Dramaturgi Bila Aristoteles mengungkapkan dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan sehari-hari, dimana kita menampilkan diri kita dalam cara yang sama seperti seorang aktor yang menampilkan karakter orang lain dalam sebuah 16 drama. Kesamaan ini memperjelas pada kita bahwa ada pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat, memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah memanipulasi pandangan (opini) penonton. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor tersebut sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi agar orang lain mengikuti kemauan kita, maka dalam dramaturgis yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita inginkan. Dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada 17 tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Yenrizal (IAIN Raden Fatah, Palembang), dalam makalahnya “Transformasi Etos Kerja Masyarakat Muslim: Tinjauan Dramaturgis di Masyarakat Pedesaan Sumatera Selatan” pada Annual Conference on Islamic Studies, Bandung, 26 – 30 November 2006: “Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya.” Dramaturgi tidak dapat dilepaskan dari komunikasi verbal dan nonverbal, karena keberhasilan pengelolaan kesan yang terjadi ditentukan seberapa piawainya seorang aktor mengunakan dan memadupadankan komunikasi verbal dan nonverbal tersebut. 18 2.2.3 Komunikasi Verbal & Nonverbal dalam Dramaturgi Pesan yang disampaikan oleh pengirim kepada penerima dapat dikemas dengan kata-kata atau tanpa kata-kata, secara umum hal ini dikatakan sebagai verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal dan nonverbal merupakan mesin pengerak dalam dramaturgi, bagaimana pesan yang akan disampaikan sang aktor dikemas secara sedemikian rupa untuk menciptakan kesan pada penonton sesuai keinginan sang aktor. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tulisan. Dalam kehidupan komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk nonverbal, tanpa kata-kata, jikalau merupakan kata-kata maka itu bukanlah makna sebenarnya dari kata-kata tersebut melainkan kiasan. Dalam kenyataannya komunikasi nonverbal jauh lebih banyak dipakai daripada komunikasi verbal. Dalam berkomunikasi verbal hampir secara otomatis komunikasi nonverbal ikut terpakai. Sama seperti dalam sebuah pementasan drama, dalam dramaturgi seorang aktor akan mengunakan komunikasi nonverbal secara lebih dominan karena dalam pengunaan 19 komunikasi verbal, komunikasi nonverbal juga akan digunakan secara bersamaan dan sebagai pendukung. Karena itu, komunikasi nonverbal bersifat tetap dan selalu ada. Nonverbal communication is all aspects of communication other than words themselves. It includes how we utter words (inflection, volume), features, of environments that affect interaction (temperature, lighting), and objects that influence personal images and interaction patterns (dress, jewelry, furniture). (Komunikasi nonverbal adalah semua aspek komunikasi selain kata-kata sendiri. Ini mencakup bagaimana kita mengucapkan kata-kata (infleksi, volume), fitur, lingkungan yang mempengaruhi interaksi (suhu, pencahayaan), dan benda-benda yang mempengaruhi citra pribadi dan pola interaksi (pakaian, perhiasan, mebel). Hal menarik dari komunikasi nonverbal ialah studi Albert Mahrabian (1971) yang menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7% berasal dari bahasa verbal, 38% dari vocal suara, dan 55% dari ekspresi muka. Ia juga menambahkan bahwa jika terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan seseorang dengan perbuatannya, orang lain cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat nonverbal. Hal inilah yang menyebabkan komunikasi nonverbal menjadi suatu faktor uyang sangat penting dalam dramaturgi, karena memiliki porsi yang sangat besar sebagai pemberi daya ingat dalam menciptakan kesan pada khalayak. 20 Tabel 2.1 Tipe-tipe Komunikasi Verbal & Nonverbal KOMUNIKASI VOKAL NONVOKAL Bahasa Tertulis KOMUNIKASI Bahasa Lisan (Spoken Words) (Written Words) VERBAL Nada Suara Isyarat (Gesture) (Tone Of Voice) Gerakan (Movement) KOMUNIKASI Desah (Sighs) NONVERBAL Jeritan (Screams) Penampilan (Appearance), Ekspresi Wajah (Facial Kualitas Vokal (Vocal Quality) Expression) Sumber : Ronald B. Adler, George Rodman, Understanding Human Communication, Second Edition, hal.96 2.2.4 Presentasi Diri (Self Presentation) Melalui Pengelolaan Kesan (Impression Management) Dalam buku “The Presentation of Self In Everyday Life” Erving Goffman menggali segala macam perilaku interaksi yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Goffman mengatakan bahwa presentasi diri manusia (human self presentation) ditampilkan dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain pada sebuah pertunjukan drama. Dalam hal ini dikatakan bahwa manusia cenderung menampilkan sesuatu yang palsu pada kehidupan demi penilaian khalayak. Penampilan yang ditunjukan oleh seseorang akan berbeda antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage), bahkan dalam penelitian Dr. Lelly Ariani (seorang guru besar Universitas Lampung) menyebutkan adanya perbedaan lain yaitu pada panggung tengah (middle stage). Hal ini dilakukan semata- 21 mata untuk memberi kesan yang baik pada khalayak guna sebuah tujuan tertentu, yang dimana seluruh pertunjukan tersebut bisa jadi adalah sebuah konstruksi yang membuat seseorang berbeda 100% dari keasliannya (pure life). Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Presentasi diri melalui pengelolaan kesan dilakukan seorang aktor untuk membuai penonton, akan lakon yang dibawakannya sehingga penonton tersebut secara tidak sadar akan masuk dan mengikuti alur lakon yang dibawakan seorang aktor. Impression management sendiri merupakan bagian dari kajian dramaturgi yang sama-sama dikembangkan oleh Goffman. Impression management atau pengelolaan kesan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seorang individu dalam menciptakan kesan atau persepsi tertentu atas dirinya dihadapan khalayaknya. Pengelolaan kesan tersebut baik terhadap simbol verbal maupun simbol nonverbal yang melekat di dirinya. 22 (Kreitner & Kinichi: 2005) mendefenisikan hal ini sebagai suatu proses dimana seseorang berusaha untuk mengendalikan atau memanipulasi reaksi orang lain terhadap citra diri orang tersebut maupun ide-idenya. Impression management dapat dilakukan dengan mengubah cara berpakaian, mematuhi norma dan peraturan di tempat dia berada, mengambil nama atas pekerjaan orang lain, cara berbicara, cara berjalan dan lain-lain. Semua hal itu dilakukan dengan harapan agar seseorang mendapat pengaruh dari orang yang ditujunya. Impression management (Goffman dalam Atina, 2008), manusia kerapkali menggunakan topeng (yang bagus) dalam berkomunikasi. Topeng diperlukan untuk citra positif komunikator, sehingga dapat memikat komunikan, atau meyakinkan komunikan tentang kejujuran dan kepiawaiannya. Topeng juga diperlukan untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak sesuai ("to for go or conceal action which is inconsistent with ideal standards"). Perilaku seorang individu diatas panggung dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana seorang individu berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga individu dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus dibawakannya. Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan “breaking character” dalam dunia teater. Pendapat lain mengatakan, 23 Impression management adalah proses seseorang untuk mengatur dan mengendalikan persepsi orang lain atas dirinya (Luthans, 1998). Menurut Wayne dan Ferris (Kreitner & Kinichi, 2005) terdapat tiga tingkatan perlakuan impression management adapun tingkatannya sebagai berikut : a. Agen bebas Keadaan dimana seseorang tidak melakukan impression management. Jikalau keadaan memaksa pun, seseorang tersebut memilih untuk menghadapinya dengan penuh tanggung jawab. Misal ketika terlambat datang kantor, dia dengan rasa menyesal mengakui, meminta maaf dan berusaha tidak mengulangnya lagi. b. Lebih baik selamat daripada menyesal Keadaan dimana seseorang melakukan impression management ketika seseorang tersebut dalam keadaan yang terjepit atau terpojok. Misal, ketika seseorang terlambat datang kantor maka dia akan mencari alasan untuk menuntupi kesalahan yang dilakukannya. c. Hallo Hollywood Keadaan dimana seseorang dalam kehidupan sehari-hari selalu menggunakan impression management. Layaknya seorang artis, jati dirinya tidak nampak karena setiap saat sifatnya bahkan perilakunya selalu berubah. Misal ketika 24 seorang karyawan ingin dipromosikan oleh atasannya maka dia berbuat halhal yang yang tidak seharusnya dilakukan, misalnya melakukan money politic untuk cepat dipromosikan. Sikap impression management tidak dapat dinilai buruk atau pun baik karena semuanya bertumpu pada situasi dimana tempat seseorang itu berada dan beraktifitas, Impression Management akan dikatakan sangat baik sekali jika dalam konteks misalnya ketika seorang artis yang dituntut untuk memerankan seseorang yang lembut padahal dalam kehidupan sehari-harinya dia adalah seorang yang kasar. Lain halnya jika Impression Management diterapkan dalam aktifitas atau pekerjaan yang sangat menjunjung kejujuran seperti misalnya pekerjaan yang berhubungan dengan pendidikan, maka impression management yang harus dianut adalah agen bebas. Penelitian ini mengkaji bagaimana presentasi diri dapat mewujudkan panggung utama bagi seorang aktor politik, yaitu Permadi pada panggungnya sebagai Penyambung Lidah Bung karno. Goffman membagi dua wilayah dari aktor yang diibaratkan memainkan peran tersebut, yakni panggung depan dan panggung belakang, dimana presentasi diri seorang aktor akan jauh berbeda dan terkadang bertolak belakang dalam kedua panggung tersebut. Namun pada diri Permadi tidak terdapat perbedaan antara kedua panggung yang disebutkan Goffman tersebut. Permadi yang tampil sebagai penyambung lidah bung karno pada panggung politiknya begitu juga ia tampil pada panggung kesehariannya, maka peneliti meneliti 25 presentasi diri dalam kajian ini berdasarkan panggung utama yaitu panggung yang selalu dibawakan Permadi dalam berbagai situasi kehidupannya. 2.3 Kerangka Pemikiran Bertolak pada pemikiran kerangka teoritis yang telah diulas diatas, maka penelitian mengaplikasikan dalam sebuah Kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran akan terlihat alur penelitian Presentasi Diri yang merupakan Kajian Dramaturgi dalam membentuk panggung utama seorang aktor politik dalam hal ini Permadi sebagai penyambung lidah bung karno. Gambar 2.1 BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN 26