Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 1 BOARD OF EDITORIAL Chief Editor: Dr. Raymond R. Tjandrawinata, MBA, PhD, FRSC contents 1 CONTENTS 3 Instruction for Authors Executive Editor: dr. Ratna Kumalasari. Editorial Staff: Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini Hendri, Puji Rahayu, S. Farm, Apt., Anggie Karunia S. Kristyanti, S.Farm, MM, Apt., Taufik Akbar S.Farm, Apt., Kosmas Nurhadi Indrawan, S.Farm, Apt., Ana Widyaningsih S.Farm, Apt., Natalia Ni Putu Olivia Paramita S.D, S.Farm, Apt., Lolitha Henrietta Latuputty, S.Farm, Apt., Indra Manenda Rossi, S.Sos. Peer Review: Prof. Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D, Ph.D, Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S. Editorial Office: Titan Center, Lantai 5, Jalan Boulevard Bintaro B7/B1 No. 05, Bintaro Jaya Sektor 7, Tangerang 15224, Indonesia, Tel. +62 21 7454 111, Fax. +62 21 7453111, Email: [email protected], Website: www.dexa-medica.com http://cme.medicinus.co/ LEADING ARTICLE 1 Ensefalopati Hepatik Apa, Mengapa dan Bagaimana? 9 Hipertensi Krisis ORIGINAL ARTICLE (RESEARCH) 18 Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan Hasil Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado 27 Perbandingan Kejadian Stroke Hemoragik Pada Isolated Systolic Hypertension Dengan Non Isolated Systolic Hypertension ORIGINAL ARTICLE (CASE REPORT) 35 Acute Limb Ischemic MEDICAL REVIEW 40 Pemilihan Antibiotik yang Rasional Probiotik: Problematika dan Progresivitasnya PATIENT COMPLIANCE 58 Cegah Stroke Berulang dengan Teratur Minum Obat Contribution Medicinus Editors accept participation in form of writings, photographs and other materials in accordance with the mission of this journal. Editors reserve the right to edit or modify the writings, particulary redactionally without changing the content of the published articles, if necessary. 2 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 Leading article Ensefalopati Hepatik: Apa, Mengapa dan Bagaimana? Irsan Hasan, Abirianty P. Araminta Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo PENDAHULUAN Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan dalam diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tata laksana, serta pencegahan enefalopati hepatik menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan ensefalopati hepatik yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada tahun 2014.1 APA ITU ENSEFALOPATI HEPATIK? Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya.2 Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis.3 Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%.5 Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati.6 EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.7,8 Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi,9,11 sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang kian memberat).2,9-11 PATOFISIOLOGI ENSEFALOPATI HEPATIK Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 1 leading article ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.8 Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak.7 Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.7,12 Beberapa studi lain juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut. Gambar 1. Patofisiologi ensefalopati hepatik12 Seperti yang digambarkan pada gambar 2, amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium.12 Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia.12,13 Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis, amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.12 Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia. 2 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 leading article Gambar 2. Metabolisme amonia oleh berbagai organ dalam tubuh14 Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifiaksi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin.8,12 Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.15 Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan pembeng- Vol. 27, No.3, Desember 2014 kakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.16 BAGAIMANAKAH GEJALA DAN CARA MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK? Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis dan psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes psikometrik terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan berjalannya penyakit, pasien EH mulai memperlihatkan perubahan tingkah laku dan kepriba- MEDICINUS 3 leading article dian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.17 Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti pada tabel 1. Tabel 1. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven18 Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini dalam menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A dan NCT-B, maupun Critical Flicker Frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara merata di Indonesia. Oleh karena itu, para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur, penurunan aktivitas sehari-hari pasien hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak. Elektroensefalografi akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH.2,8 Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH.18 Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3 menunjukkan alur diagnosis pasien dengan kecurigaan EH. TERAPI TERKINI ENSEFALOPATI HEPATIK Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar penatalaksanaan EH adalah: identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik. Tatalaksana Faktor Presipitasi Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum luas diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi 4 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 leading article EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat.12,19 Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan. Tabel 2 memperlihatkan pembagian faktor presipitasi dengan EH yang ditimbulkan. Tatalaksana Farmakologis Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya. - Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa) Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.7 Sifatnya yang laksatif menyebabkan Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 5 leading article penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin.12,18,20 Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen. Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik.12 Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan EH minimal. Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.18 - Antibiotik Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.7,12,18 Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.12 Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.13,23 Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.12,21 Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya.12 - L-Ornithine L-Aspartate (LOLA) LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH. LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan α-ketoglutarate menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia kembali. Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.18 Beberapa penelitian RCT (Kirchets dkk, 1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada.22,23 Studi metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH dengan menurunkan konsentrasi amonia serum.24,25 6 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 leading article - Probiotik Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri baik.26,27 Vol. 27, No.3, Desember 2014 Liu, et al., melakukan studi terhadap feses pasien EH minimal dan menemukan pemberian suplementasi sinbiotik (serat dan probiotik) berhubungan dengan menurunnya jumlah bakteri patogenik Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan peningkatan pada Lactobacillus penghasil nonurease.28 Penelitian metaanalisis dari 9 laporan penelitian menunjukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH.29 Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan dalam penggunaan probiotik pada tatalaksana dan prevesi sekunder EH overt.30 MEDICINUS 7 leading article TERAPI POTENSIAL LAINNYA Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain ammonia scavenger, activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger (natrium benzoat, natrium fenilasetat, natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi penuh. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunakan pada pasien dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia, namun belum disetujui untuk digunakan pada pasien EH. Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil, diantaranya amonia, lipopolisakarida dan sitokin. AST-120, karbon berbentuk sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien dengan EH. Pada pilot study terlihat bahwa AST-120 memiliki efikasi yang sama dengan laktulosa namun dengan efek samping yang lebih sedikit.12 L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan kadar amonia dengan berfungsi sebagai substrat pebentukan glutamin dari amonia pada otot rangka.8 PENUTUP Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan sirosis hati. Tatalaksana optimal EH akan memperpanjang survival dan memperbaiki kualitas hidup pasien sirosis. Prinsip tatalaksana EH adalah mengidentifikasi dan mengatasi pencetus serta terapi medikamentosa. daftar pustaka 1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al. Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia 2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014. 2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic encephalopathy—Definition, nomenclature, diagnosis, and quantification: Final report of the Working Party at the 11th World Congresses of Gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology. 2002;35(3):716-21. 3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, et al. The prognostic significance of subclinical hepatic encephalopathy. Am J Gastroenterol. 2000;95(8):2029-34. 4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009: KOPAPDI; 2009. 5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. 6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy: Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):1-16. 7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An overview. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63. 8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirrhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605. 9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of Minimal Hepatic Encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004;19(3-4):253-67. 10.Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF, Schalm SW. Screening of subclinical hepatic encephalopathy. J Hepatol. 2000;32(5):748-53. 11.Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The diagnosis of subclinical hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis using neuropsychological tests and automated electroencephalogram analysis. Hepatology. 1996;24(3):556-60. 12.Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33. 13.Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et al. Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological features. World J Hepatol. 2012;4(3):50-65. 14.Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver Dis. 2008;28(1):70-80. 15.Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on inter-organ trafficking of ammonia: implications for the treatment of hepatic encephalopathy. J Gastroenterol Hepatol. 2004;19:S219-223. 8 MEDICINUS 16.Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in the mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis. 2009;24(1):10317. 17.Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by the European Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. J Hepatol (2014), http://dx.doi. org/10.1016/j.hep.2014.05.042 18.Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7. 19.Córdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepatol.54(5):1030-40. 20.Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13. 21.Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int J Hepatol. 2011;2011. 22.Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M, Gortelmeyer R, et al. Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-aspartate infusions in patients with cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a placebo-controlled, double-blind study. Hepatology. 1997;25(6):1351-60. 23.Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-ornithineL-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the College of Physicians and Surgenons--Pakistan:JCPSP. 2008;18(11):684-7. 24.Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P. l-Ornithine-l-aspartate in the management of hepatic encephalopathy: A meta-analysis. J Gastroenterol Hepatol. 2009;24(1):9-14. 25.Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate for hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis: A meta-analysis of randomized controlled trials. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):783-92. 26.Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses 2003;61:307-13. 27.Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics, prebiotics and probiotics in the treatment for hepatic encephalopathy. Med Hypotheses 2005;64:64-8. 28.Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora: Effect on minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology 2004;39:1441-9. 29.Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the effects of gut flora modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on minimal hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33(6):662-71. 30.Sharma V, Garg S, S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J. 2013;17(4):62-7. Vol. 27, No.3, Desember 2014 Leading article Hipertensi Krisis Asnelia Devicaesaria Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo PENDAHULUAN Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target. Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis. Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif. Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7. DEFINISI Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi yang paing sering dipakai adalah: 1. Hipertensi emergensi (darurat) Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena. 2. Hipertensi urgensi (mendesak) Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 9 leading article Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain: 1. Hipertensi refrakter Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien. ningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi. Tabel 2. Causes of Hypertensive Emergency 2. Hipertensi akselerasi Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna. 3. Hipertensi maligna Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120130 mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal. 4. Hipertensi ensefalopati Kenaikan tekanan darah dengan tibatiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya pe- 10 MEDICINUS MEKANISME AUTOREGULASI Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/ dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Vol. 27, No.3, Desember 2014 leading article Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2). Gambar 1. Patofisiologi Gambar 1. Patofisiologi hipertensi emergensi. hipertensi emergensi. Kelainan endokrin Kehamilan Essential hypertension Hipertensi berat Kelainan ginjal Obat-obatan Critical level atau kenaikan dan peningkatan resistensi vascular secara cepat Natriuresis spontan Kerusakan endotel Kekurangan volume intravaskular Permeabilitas endotel Deposit platelet & fibrin Vasodilatasi, NO & prostacyclin Fibrinoid necrosis and intimal proliferation Vasokontriksi, (reninangiotensin, catecholamines) Tekanan darah lebih lanjut Peningkatan TD besar Iskemik jaringan Disfungsi organ target Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 11 leading article MEKANISME AUTOREGULASI Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2). Gambar 2. Kurva autoregulasi pada tekanan darah. Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg. 12 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 leading article MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi. Gambar 3. Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari optik disc dengan margin kabur. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 13 leading article Tabel 4. Hipertensi Urgensi (mendesak). Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel 3 1. Funduskopi KW I atau KW II 2. Hipertensi post operasi 3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif PENDEKATAN DIAGNOSIS Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti sakit kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri dada atau perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi: 14 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 leading article PENATALAKSANAAN 1. Hipertensi Urgensi A. Penatalaksanaan Umum Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi. B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri renal bilateral). Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala. Vol. 27, No.3, Desember 2014 Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala. Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke. 2. Hipertensi Emergensi A. Penatalaksanaan Umum Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi. MEDICINUS 15 leading article B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intrakranial dan stroke iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg. Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20 menit. Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas. PROGNOSIS Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantun (13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera. Tabel 3.Obat-obatan spesifik untuk komplikasi hipertensi emergensi. Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal. 16 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 leading article Tabel 2. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi KESIMPULAN Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan di bidang neuro-cardiovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis terdiri dari hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Keduanya harus ditangani dengan tepat dan segera sehingga prognosisnya terhadap organ target (otak, ginjal dan jantung) dan sistemik dapat ditanggulangi. daftar pustaka 1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan HipertensiUrgensi. BIKBiomed. 2007. Vol.3, No.4 :163-8. 2. 2. Saguner AM, Dür S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors PromotingHypertensive Crises: Evidence From a LongitudinalStudy. Am J Hypertensi. 2010. 23:775-780. 3. Kaplan NM. Primary hypertension. In: Clinical Hypertension. 9 ed. Lippincott Williams &Wilkins; 2006: 50-104. 4. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. 2012. Vol.3, No.4 :163-8. 5. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's Principles ofInternal Medicine. Seventeenth Edition. 2008. 6. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU DigitalLibrary. 2004. Vol. 27, No.3, Desember 2014 7. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. 2007. pp. 43-50. 8. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensivecrises. Critical CareJournals. 2003. 9. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, etal. ImpairedCerebral Autoregulation in Pasient with MalignantHypertension. Journal of the AmericanHeart Association. 2004. 110:2241-2245. 10.Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can FamPhysician. 2011.57:1137-41. 11.Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. 2011. 12.Bisognano JD. Malignant Hypertension. 2013. pp. 43-50. MEDICINUS 17 research CONTINUING MEDICAL EDUCATION 5 skp Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan Hasil Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Janson Simanjuntak Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Korespondensi: Simanjuntak, Janson, Dolog Malalayang 1, Manado Abstrak Abstract Angka kematian ibu dan perinatal di Indonesia masih tinggi. Sebagian besar penyebab kematian ibu dan perinatal yang berhubungan dengan kehamilan dan komplikasi kehamilan dapat dicegah. Pemeriksaan antenatal yang adekuat merupakan faktor penting dalam menurunkan angka kematian ibu dan perinatal. Jenis penelitian ini adalah analitik observatif cross-sectional terhadap 2268 ibu yang melahirkan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan 2.305 bayi yang dilahirkan. Data diperoleh dari catatan medis. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah pemeriksaan antenatal <4 kali berhubungan dengan kejadian asfiksia berat (p=0,003; PR: 2,047; 95% CI: 1,29-3,25) dan BBLR (p=0,000; PR: 1,713; 95% CI: 1,32-2,23). Jumlah pemeriksaan antenatal >4 kali berhubungan dengan persalinan tindakan (p=0,001), hal ini disebabkan RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado merupakan rumah sakit rujukan di Sulawesi Utara sehingga banyak sampel pada penelitian ini adalah ibu-ibu dengan kehamilan dengan komplikasi (26,7%). Kehamilan komplikasi berhubungan dengan persalinan tindakan (p=0,000; PR: 1,678; 95% CI: 1,520-1,855). Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali berhubungan dan meningkatkan risiko kejadian asfiksia berat dan BBLR, sementara itu wanita yang melakukan persalinan tindakan cenderung memiliki riwayat melakukan pemeriksaan antenatal lebih banyak (> 4 kali) selama kehamilan. Maternal and perinatal mortality rate in Indonesia is still high. The most cause of maternal and perinatal deaths related to pregnancy and complication of pregnancy can be prevented. Adequate antenatal care is an important factor in reducing maternal and perinatal deaths. This is an observasional cross-sectional study of 2268 women delivered and 2305 neonates born at Prof.Dr.R.D.Kandou Manado hospital was used. Data is collected from medical record. This study shows that number of antenatal <4 times is significantly associated with the incidence of severe asphyxia (p=0,003; PR: 2,047; 95% CI: 1,29-3,25) and LBW (p=0,000; PR: 1,713; 95% CI: 1,32-2,23). The number of antenatal >4 times is significantly associated with delivery mode (p=0,001), this is due to Prof.Dr.R.D.Kandou Manado hospital is a referral hospital in North Sulawesi, many samples in this study are women with complicated pregnancy (26,7%). Pregnancy with complications is significantly related to operative delivery (p=0,000; PR: 1,678; 95% CI: 1,520-1,855). Conclusion is number of antenatal care < 4 times relates and increases the risk of incidence of asphyxia and low birth weight, while women with operative delivery are likely to have history of antenatal care visit more (> 4 times) during pregnancy. Keywords: antenatal care, delivery outcome, pregnancy outcome Kata kunci: hasil kehamilan, hasil persalinan, pemeriksaan antenatal 18 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 research PENDAHULUAN Angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan lebih dari 500.000 kematian ibu tiap tahun karena kehamilan dan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan.1 Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih tinggi, sehingga ditargetkan pada tahun 2015 (MDGs) angka kematian ibu di Indonesia turun menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.2 tekanan darah, pemberian imunisasi TT & tablet Fe, di Indonesia hanya sebesar 19,9% dan di Sulawesi Utara hanya sebesar 18,5%.4 Penelitian sebelumnya mengenai hubungan jumlah kunjungan antenatal dengan hasil kehamilan dan persalinan didapatkan hasil yang bertolak belakang. Menurut Brown et al,5 wanita dengan kunjungan antenatal dua kali memiliki hasil kehamilan dan persalinan yang lebih baik daripada wanita dengan kunjungan sebanyak tiga kali. Sebaliknya, menurut Taguchi et al,6 jumlah kunjungan antenatal kurang dari 4 kali meningkatkan risiko kematian ibu. Tujuh juta kematian perinatal pada negara berkembang berhubungan dengan masalah kesehatan ibu. Empat juta merupakan lahir mati (stillbirth) dan tiga juta merupakan kematian neonatal awal.1 Angka Kematian Neonatus di Indonesia menurut SDKI 2007 sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup.2 Dari informasi di atas, mendorong kami untuk melakukan suatu penelitian ilmiah untuk mengetahui hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal dengan hasil kehamilan dan persalinan. Ditemukan bahwa 88%-98% dari semua kematian ibu dapat dicegah dengan penanganan yang tepat selama kehamilan dan persalinan. Pemeriksaan antenatal yang adekuat diketahui sebagai suatu faktor penting dalam menurunkan kematian ibu dan neonatus.1 Standar pemeriksaan antenatal di Indonesia adalah minimal 4 kali selama kehamilan. Namun, kenyataanya tidak semua ibu hamil melakukan pemeriksaan antenatal selama kehamilan, juga ada beberapa ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal < 4 kali selama kehamilannya.2 Suatu studi cross-sectional terhadap wanita yang melahirkan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan bayi yang dilahirkan periode bulan Januari 2012 hingga Juni 2012. Besar sampel adalah 2.268 wanita yang melahirkan dan 2.305 neonatus. Data didapatkan dari catatan medik. Data yang dikumpulkan adalah data pribadi, jumlah pemeriksaan antenatal, tekanan darah, kejadian perdarahan, penyakit infeksi pada data ibu, berat badan lahir, skor Apgar, kelainan kongenital, kematian perinatal pada data bayi, dan jenis persalinan. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Pada tahun 2010, cakupan pelayanan antenatal kunjungan pertama (K1) di Indonesia sebesar 95,26%, sedangkan cakupan pelayanan antenatal hingga kunjungan keempat (K4) sebesar 85,56%. Pada tahun yang sama, di Sulawesi Utara, cakupan K1 sebesar 91,09%, sedangkan cakupan K4 sebesar 82,14%.2 Kualitas pelayanan antenatal di Indonesia masih rendah. Pada tahun 2008, di Indonesia, cakupan K4 sebesar 86,04%, namun hanya 48,14% yang mendapatkan 90 tablet besi dan hanya 42,9% yang mendapatkan suntikan TT dua kali.3 Presentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan 5T, yaitu ukur berat badan, tinggi badan, Vol. 27, No.3, Desember 2014 METODE HASIL Data dari catatan medis di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 tercatat sebanyak 2.268 orang ibu yang melahirkan. Ada 35 ibu dengan kehamilan gemeli dan 1 orang ibu dengan kehamilan triplet. Total 2.305 janin yang dilahirkan dengan sebanyak 2.291 persalinan. Hasil ibu dikategorikan menjadi ibu tanpa komplikasi dengan ibu dengan komplikasi. Komplikasi yang dinilai pada penelitian ini ada- MEDICINUS 19 research 20 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 research lah perdarahan, hipertensi dan infeksi. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali dengan kejadian perdarahan (p=0,874), hipertensi (p=1,000) dan infeksi (p=0,596). Walaupun tidak berhubungan secara bermakna, kejadian perdarahan lebih sering pada wanita dengan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali daripada pada wanita dengan jumlah pemeriksaan antenatal > 4 kali. Hasil fetus dinilai berdasarkan skor Apgar, kematian perinatal, dan kelainan kongenital. Hasil analisis statistik menunjukkan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali berhubungan dengan kejadian asfiksia berat (p=0,003), namun tidak berhubungan dengan kejadian asfiksia ringan sedang (p=0,422). Wanita yang melakukan pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki risiko 2,047 kali melahirkan janin dengan asfiksia berat (PR=2,047; 95% CI =1,29-3,25). Jumlah kunjungan antenatal < 4 kali tidak berhubungan dengan kematian perinatal (p=0,167) dan kelainan kongenital (p=0,169). Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali dengan berat badan lahir rendah (p=0,000), namun tidak berhubungan dengan berat badan lahir lebih. Wanita yang melakukan pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki risiko 1,713 kali melahirkan janin dengan berat badan lahir jelek (PR = 1,713; 95% CI = 1,32-2,23). Jenis persalinan dikelompokkan menjadi dua yakni persalinan spontan dan persalinan dengan tindakan. Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali dengan persalinan dengan tindakan (p=0,001). Ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali lebih banyak melakukan persalinan spontan, sebaliknya ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal > 4 kali lebih banyak melakukan persalinan dengan tindakan. PEMBAHASAN Angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat. Pada penelitian ini didapatkan kejadian kematian perinatal Vol. 27, No.3, Desember 2014 di RSUP Prof. Dr. R.D.Kandou Manado periode bulan Januari sampai dengan Juni 2012 sebesar 69 per 2.305 kelahiran. Kematian perinatal disebabkan oleh masalah kesehatan pada ibu. Pemeriksaan antenatal selama kehamilan terbukti menurunkan angka kematian perinatal. Standar pemeriksaan antenatal yang dianjurkan WHO dan direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan adalah minimal 4 kali selama kehamilan. Penelitian ini mendapatkan data bahwa dari 2.268 ibu yang tercatat pada catatan medis, jumlah ibu yang melakukan kunjungan antenatal > 4 kali sebesar 77,1%. Pada tahun 2010, cakupan K4 di Indonesia sebesar 85,56%. Sementara itu, pada tahun yang sama di Sulawesi Utara cakupan K4 sebesar 82,14.2 Sehingga, pada penelitian ini didapatkan, cakupan K4 masih rendah ditambah dengan 15,7% ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kurangnya pemeriksaan antenatal berhubungan dengan skor Apgar yang rendah.7 Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil yang didapat pada penelitian ini, yaitu terdapat hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal dengan skor Apgar. Hasil penelitian menunjukan skor Apgar 0-3 dan 4-6 lebih sering terjadi pada kelompok ibu dengan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Sebaliknya bayi dengan skor 7-10 lebih banyak pada kelompok ibu dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali. Namun, pada analisis bivariat hanya skor Apgar 0-3 yang berhubungan signifikan dengan jumlah pemeriksan antenatal < 4 kali. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali merupakan faktor risiko terjadinya asfiksia berat pada neonatus. Wanita dengan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki risiko 2,047 kali melahirkan janin dengan asfiksia berat. The American College of Obstetricians and Gynecologists dan the American Academy of Pediatrics menyatakan salah satu kriteria seorang neonatus dikatakan asfiksia jika skor Apgar 0-3 selama lebih dari 5 menit. Kelahiran asfiksia dapat disebabkan karena kejadian selama periode antepartum, intrapartum, atau postpar- MEDICINUS 21 research tum maupun kombinasi diantaranya. Penelitian terbaru menyatakan asfiksia paling banyak disebabkan oleh kejadian selama periode antenatal.8 Nayeri et al menyimpulkan bahwa persalinan seksio sesarea darurat, persalinan prematur (< 37 minggu), berat badan lahir kurang dari 2500 gram dan anemia neonatal merupakan faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia. Faktor-faktor tersebut dapat dicegah dengan perawatan/pemeriksaan antenatal yang baik.9 Walaupun tidak berhubungan bermakna, bayi dengan skor Apgar 4-6 lebih banyak pada kelompok ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal kurang dari empat kali. Hal ini sejalan dengan 22 MEDICINUS hasil penelitian Pant et al10 yang meneliti 91 bayi baru lahir untuk melihat hubungan antara pemeriksaan antenatal dengan skor Apgar bayi. Dari 50 bayi dengan skor Apgar 5-7 (asfiksia ringan-sedang) 80% berasal dari ibu yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal dan 20% dari ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal. Berat badan lahir rendah merupakan suatu indikator status kesehatan reproduksi dan kesehatan umum yang penting pada suatu populasi. BBLR menjadi prediktor tunggal paling penting terhadap kematian bayi, terutama kematian dalam bulan pertama kehidupan. Kematian neonatal 20 kali lebih banyak pada bayi dengan BBLR.11 Vol. 27, No.3, Desember 2014 research Berat badan lahir rendah berhubungan kuat dengan pemeriksaan antenatal yang tidak adekuat (< 4 kali).12 Pemeriksaan antenatal dapat memperbaiki berat bagan lahir melalui pencegahan kejadian kecil untuk masa kehamilan (KMK), nutrisi yang lebih baik selama kehamilan dan penurunan kebiasaan merokok.11,13 Pada penelitian ini didapatkan bahwa jumlah pemeriksan antenatal berhubungan dengan berat badan lahir. Hasil penelitian menunjukkan berat badan lahir rendah lebih banyak terjadi pada bayi dari ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal <4 kali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Deshpande et al. Ibu dengan pemeriksaan antenatal <4 kali selama kehamil-an memiliki risiko 1713 kali melahirkan bayi de-ngan berat badan lahir rendah. Etiologi kejadian berat badan lahir rendah adalah multifaktor. Perhatian khusus dari tenaga kesehatan professional dibutuhkan untuk melakuka identifikasi faktor-faktor risiko terjadinya berat badan lahir rendah. Pemeriksaan antenatal memberikan kesempatan bagi ibu hamil untuk melakukan konseling dan deteksi risiko-risiko yang mungkin ada.12,14 Pemeriksaan antenatal digunakan untuk memantau perkembangan kehamilan ibu, frekuen-si minimal 4 kali selama kehamilan. Pemeriksaan antenatal yang teratur memberikan kesempatan untuk dapat mendiagnosis secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan janin selama kehamilan sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat secepatnya.15 Pada penelitian ini jenis persalinan dikelompokkan menjadi dua yaitu persalinan spontan dan persalinan dengan tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan antenatal berhubungan dengan jenis persalinan. Persalinan spontan lebih banyak terjadi pada kelompok ibu dengan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Sebaliknya persalinan tindakan lebih banyak terjadi pada ibu dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali. Jenis persalinan yang dilakukan dapat dipengaruhi oleh keinginan ibu. Namun disisi lain, adanya faktor-faktor risiko tertentu juga dapat menentukan dilakukannya persalinan dengan tindakan, seperti usia ibu lebih dari 35 tahun (> 35), ibu dengan anemia, ibu dengan tekanan darah tinggi, karena kondisi kesehatan umum akan sangat mempengaruhi kondisi kehamilan dan proses persalinan. Adanya keluhan selama kehamilan merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi persalinan yang akhirnya terjadi persalinan dengan tindakan.16 RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado merupakan rumah sakit rujukan di Sulawesi Utara. Sehingga kasus-kasus kehamilan berisiko akan banyak ditemukan pada rumah sakit ini, pada penelitian ini diketahui selama bulan Januari 2012 hingga Juni 2012 terdapat 606 (26,7%) ibu hamil dengan kom-plikasi hipertensi, perdarahan dan infeksi, yang termasuk dalam kelompok ibu dengan kehamilan beri-siko. Tabel 3 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kehamilan dengan risiko dengan persalinan tindakan, dengan risiko sebesar 1678 kali. Sehingga kehamilan dengan komplikasi meningkatkan risiko untuk persalinan dengan tindakan. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 23 research Jika seorang wanita telah mengetahui memiliki risiko tertentu terjadinya penyulit-penyulit selama kehamilan dan persalinan, maka wanita tersebut akan lebih sering melakukan pemeriksaan akan kesehatan kehamilannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Brown et al,5 dimana adanya kecenderungan wanita untuk melakukan pemeriksaan antenatal lebih sering jika mereka memiliki masalah pada kehamilannya. KESIMPULAN Jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali selama kehamilan berhubungan dengan kejadian asfiksia berat dan berat badan lahir rendah. Kehamilan dengan komplikasi berhubungan dengan persalinan tindakan. Wanita dengan persalinan tindakan memiliki riwayat pemeriksaan antenatal > 4 kali. SARAN Informasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan antenatal minimal empat kali untuk mencegah kejadian asfiksia dan berat badan lahir rendah pada neonatus. Peningkatkan kualitas layanan pemeriksaan antenatal untuk meningkatkan hasil kehamilan dan persalinan menjadi lebih baik. daftar pustaka 1. Ziyo FY, Matly FA, Mehemd GM, Dofany EM. Relation between prenatal care and pregnancy outcome at Benghazi. Sudanese Journal of Public Health. 2009;4:403-10. 2. Kementerian Kesehatan Pusat Data dan Informasi. Profil kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011. 3. Departemen Kesehatan. Pusat Data dan Informasi. Profil kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2009. 4. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI; 2010. h. 223,229. 5. Brown CA, Sohani SB, Khan K, Lilford R, Mukhwana W. Antenatal care and perinatal outcomes in Kwale district Kenya. BMC Pregnancy and Childbirth. 2008;8:1-11. 6. Taguchi N, Kawabata M, Maekawa M, Maruo T, Aditiwarman, Dewata L. Influence of socio-economic background and antenatal care programmes on maternal mortality in Surabaya, lndonesia. Trop Med Int Health. 2003;8:847-52. 7. Salusatiano EMA, Campos JADB, Ibidi SM, Ruano R, Zugaib M. Low apgar scores at 5 minutes in a low risk population: maternal and obstetrical factors and postnatal outcome. Rev Assoc Med Bras. 2012;58:587-93. 8. Haider BA, Bhutta ZA. Birth asphyxia in developing countries: current status and public health implications. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care. 2006;36:180. 9. Nayeri F, Shariat M, Dalili H, Adam LB, Mehrjerdi FZ, Shakeri 24 MEDICINUS 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. A. Perinatal risk factors for neonatal asphyxia in Vali-e-Asr hospital, Tehran-Iran. Iran J Reprod Med. 2012;10:137-40. Pant B, Kumar S, Davey A, Tiwari R. Antenatal care and pregnancy outcome. Indian J. Prev. Soc. Med. 2008;39:131. Ganjoei TA, Mirzaei F, Dokht FA. Relationship between prenatal care and the outcome of pregnancy in low-risk pregnancies. Open Journal of Obstetrics and Gynecology. 2011;1:112. Deshpande JD, Phalke DB, Bangal VB, Peeyuusha D, Sushen B. Maternal risk factors for low birth weight neonates: a hospital based case-control study in rural area of western Maharashtra, India. National Journal of Community Medicine. 2011;2:394-8. Niclasen B. Low birthweight as an indicator of child health in Greenland–use, knowledge and implication. Int J Circumpolar Health. 2007;66:223. Kadapatti MG, Vijayalaxmi AHM. Antenatal care the essence of newborn weight and infant development. International Journal of Scientific and Research Publication. 2012;2:3. Budiman, Riyanto A, Juhaeriah J, Gina H. Faktor ibu yang berhubungan dengan berat badan lahir di Puskesmas Garuda tahun 2010. Jurnal Kesehatan Kartika. 2011:1. Kowalcek I, Hainer F. Is there a relation between maternal age and preferred mode of delivery? Journal of Clinical Gynecology and Obstetrics. 2012;1:4-9 Vol. 27, No.3, Desember 2014 research CONTINUING MEDICAL EDUCATION Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan Hasil Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado 5 SKP Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda (√) di samping kanan. No. Pernyataan 1 Sesuai dengan visi dan misi MDG’s, pemerintah menargetkan untuk menurunkan angka kematian ibu di tahun 2015 menjadi 105 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan standard yang ditetapkan WHO dan direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan bahwa frekuensi kunjungan antenatal selama masa kehamilan adalah minimal 4 kali. Pada tahun 2010, cakupan pelayanan antenatal kunjungan pertama (K 1) di Sulawesi Utara tercatat 91,09%. Sedangkan pelayanan antenatal hingga kunjungan keempat (K4) sebesar 82,14%. Menurut Taguchi, jumlah kunjungan antenatal kurang dari 4 kali selama periode kehamilan akan meningkatkan risiko kematian ibu. Dari penelitian ini diperoleh hasil analisis statistik bahwa terdapat hubungan yang cukup signifikan antara frekuensi pemeriksaan antenatal kurang dari 4 kali dengan kejadian perdarahan, hipertensi dan infeksi. Hasil lain dari penelitian ini adalah ibu hamil dengan frekuensi pemeriksaan antenatal < 4 kali memunyai risiko 2,047 kali melahirkan bayi dengan afiksia berat. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa BBLR lebih banyak terjadi pada ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal lebih dari 4 kali. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) bisa menyebabkan 10 kali lebih banyak kematian neonatal. Persalinan spontan lebih banyak dialami oleh ibu hamil dengan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Sebaliknya, ibu hamil dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali mengalami persalinan dengan tindakan. Selama bulan Januari-Juni 2012, tercatat ada sekitar 660 ibu hamil berisiko di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou, karena disertai dengan komplikasi seperti hipertensi perdarahan dan infeksi. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 B S KETERANGAN: - Tandai (√) pada jawaban yang dipilih. - Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis. - Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan sertifikat - jika jumlah jawaban benar ≥ 60%. Sertifikat akan dikirimkan setelah dokter mengerjakan setiap artikel CME dalam satu edisi terbit. Masa berlaku kuis CME untuk setiap edisi adalah 3 tahun setelah artikel diterbitkan, sehingga jawaban yang diterima melewati batas waktu tersebut, tidak akan memperoleh SKP. CARA MENGIRIM JAWABAN: - Lipat tiga bagian (secara horizontal) lembaran ini hingga berbentuk seperti amplop (lihat gambar). - Setelah dilipat tiga bagian, kirimkan lembaran kuis dan formulir biodata yang telah diisi ke alamat redaksi MEDICINUS yang tertera di halaman selanjutnya. Atau bisa dengan cara menscan lembar [email protected] biodata dan jawaban ke email [email protected]. - Artikel dan kuis CME setiap edisinya juga bisa diakses langsung di http://cme.medicinus.co/. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 25 26 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 RESEARCH 3 skp CONTINUING MEDICAL EDUCATION Perbandingan Kejadian Stroke Hemoragik Pada Isolated Systolic Hypertension Dengan Non-Isolated Systolic Hypertension Rosa De Lima Renita Sanyasi, Rizaldy Taslim Pinzon, Esdras Ardi Pramudita SMF Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta ABSTRAK Kata Kunci: kejadian stroke, kasus kontrol, jenis hipertensi Latar Belakang Salah satu faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian stroke, khususnya stroke hemoragik, adalah hipertensi. Berdasarkan systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure (DBP), hipertensi dapat dibedakan menjadi isolated systolic hypertension (ISH) dan non ISH, dimana non ISH masih dapat dibedakan menjadi dua yaitu systolic diastolic hypertension (SDH) dan isolated diastolic hypertension (IDH). Hubungan antara kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non ISH masih menjadi perdebatan dan memerlukan penelitian lebih lanjut. ABSTRACT Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non ISH. Metode Penelitian menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol berpasangan berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin. Penelitian ini melibatkan 70 pasang subjek penelitian yang didiagnosis stroke, berusia ≥ 35 tahun, serta memiliki tekanan darah SBP ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg; SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg; atau SBP ≥ 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg. Hasil dan Pembahasan Faktor risiko yang paling sering terjadi pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol yaitu hipertensi khususnya non ISH jenis SDH, sebesar 61 (87,1%) pada kelompok kasus dan 56 (80%) pada kelompok kontrol. Pada analisis bivariat, dua faktor risiko lain yang bermakna dalam menimbulkan kejadian stroke, yaitu HDL < 40 mg/dL (OR: 0,423; 95%, CI: 0,191–0,938, p: 0,032) dan trigliserida > 150 mg/dL (OR: 0,450, 95%; CI: 0,210–0,965, p: 0,038). Pada analisis multivariat diketahui bahwa HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%, CI: 0,210–1,071, p: 0,073) dan trigliserida > 150 mg/d (OR: 0,506; 95%, CI: 0,232–1,105; p: 0,087) bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian stroke. Kesimpulan dan Saran Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non ISH tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Vol. 27, No.3, Desember 2014 Background Hypertension is the most responsible risk factor for the incidence of stroke, especially hemorrhagic stroke. Based on systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure (DBP), hypertension can be classified into isolated systolic hypertension (ISH) and non ISH, which non ISH can be classified into systolic diastolic hypertension (SDH) and isolated diastolic hypertension (IDH). The relationship between the incidence of hemorrhagic stroke in ISH and non ISH are controverisal and require further research. Objective This study aimed to compare the incidence of hemorrhagic stroke in ISH with non ISH. Methode This study used an age and sex matched case-control study. A total of 70 pairs subject were diagnosed stroke, ≥ 35 years of age, with a blood pressure SBP ≥ 140 mmHg and DBP < 90 mmHg; SBP < 140 mmHg and DBP ≥ 90 mmHg; or SBP ≥ 140 mmHg and DBP ≥ 90 mmHg. Result and Disscusion The most frequent risk factor in both group was hypertension, especially SDH type of non ISH, 61 (87,1%) in case group and 56 (80%) in control group. In bivariate analysis, the other significant risk factors are HDL < 40 mg/dL (OR: 0,423; 95%, CI: 0,191–0,938, p: 0,032) and trigliseride > 150 mg/dL (OR: 0,450; 95% CI: 0,210–0,965, : 0,038). In multivariate analysis known that HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%, CI: 0,210–1,071, p: 0,073) and trigliseride > 150 mg/dL (OR: 0,506; 95%, CI: 0,232–1,105, p: 0,087) are not an independent predictor factors on stroke incidence. Conclusion There was no significant difference between incidence of hemorrhagic stroke in ISH and non ISH. Key Word stroke incidence, case-control, hypertension type MEDICINUS 27 research I. PENDAHULUAN Stroke terdiri dari dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke hemoragik meliputi intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH).1 Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian stroke hemoragik.2,3,4 Berdasarkan systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure (DBP), hipertensi dapat dibedakan menjadi isolated systolic hypertension (ISH) dan non ISH, dimana non ISH masih dapat dibedakan menjadi dua yaitu systolic diastolic hypertension (SDH) dan isolated diastolic hypertension (IDH). Seseorang tergolong ISH apabila memiliki SBP ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg, tergolong SDH apabila memiliki SBP ≥ 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg, dan tergolong IDH apabila memiliki SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg.5 Hubungan antara kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non ISH masih menjadi perdebatan dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non ISH. II. BAHAN DAN CARA Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol. Kelompok kasus merupakan subjek penelitian dengan stroke hemoragik, sedangkan kelompok kontrol merupakan subjek penelitian dengan stroke iskemik. Kelompok kasus akan dipasangkan dengan kelompok kontrol berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin. Penelitian melibatkan 70 pasang subjek penelitian yang didiagnosis stroke selama periode penelitian 6 Maret sampai 4 April 2014, yang diperoleh dari rekam medis diperoleh dari rekam medis Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Subjek penelitian diambil dengan cara pengambilan sampel secara random sistematik. Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi : (i) stroke hemoragik dan stroke iskemik, (ii) jenis kelamin laki-laki dan perempuan, (iii) usia ≥ 35 tahun, dan (iv) SBP ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg; SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg; atau SBP ≥ 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi : (i) pasien pulang paksa dan (ii) data rekam medis tidak lengkap. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Chi-Square Tests yang diolah dengan program SPSS 16.0. III. HASIL Penelitian melibatkan 258 subjek penelitian yang didiagnosis stroke. Terdapat 76 (29,46%) subjek penelitian yang dikeluarkan dari penelitian karena masuk dalam kriteria eksklusi penelitian dan terdapat 182 (70,54%) subjek penelitian yang diambil. Dari 182 subjek penelitian, diambil 70 subjek penelitian dengan stroke hemoragik dan 70 subjek penelitian dengan stroke iskemik. Tabel 1 menampilkan karakteristik dasar dari 70 pasang subjek penelitian. Faktor risiko yang paling sering terjadi pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol yaitu hipertensi khususnya non ISH jenis SDH. Faktor risiko lainnya, yaitu gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, kolesterol total > 200 mg/dL, LDL > 100 mg/dL, HDL < 40 mg/dL, dan trigliserida > 150 mg/dL lebih sering terjadi pada kelompok kontrol daripada kelompok kasus. 28 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 research Tabel 2 menunjukkan rata-rata nilai faktor risiko subjek penelitian. Tampak bahwa kelompok kasus memiliki rata-rata tekanan darah dan kadar HDL yang lebih tinggi. Kelompok kontrol memiliki ratarata gula darah sewaktu, kolesterol total, LDL, dan trigliserida yang lebih tinggi. Tabel 3 menunjukkan bahwa kejadian non ISH lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, sedangkan kejadian ISH lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Kejadian SDH memuncak pada rentang usia 61 sampai 65 tahun. Kejadian IDH memuncak pada rentang usia 56 sampai 60 tahun, sedangkan kejadian ISH memuncak pada rentang usia 61 sampai 70 tahun. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 29 research Hasil analisis bivariat yang tampak pada tabel 4 menunjukkan adanya dua faktor risiko yang bermakna dalam menimbulkan kejadian stroke hemoragik, yaitu HDL < 40 mg/dL dan trigliserida > 150 mg/dL. Kedua faktor risiko yang bermakna tersebut diolah lebih lanjut dengan analisis multivariat. Hasil analisis multivariat yang tampak pada tabel 5 mengindikasikan bahwa kadar HDL dan trigliserida bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian stroke hemoragik. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian stroke hemoragik pada SDH paling tinggi apabila dibandingkan dengan jenis hipertensi lainnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil dari penelitian Fang et al. (2006) yang menyatakan bahwa pasien dengan SDH memiliki risiko stroke yang paling tinggi dibandingkan tipe hipertensi lainnya6. Pernyataan tersebut bertentangan dengan beberapa penelitian terdahulu. Rashid et al. (2003) menyatakan bahwa peningkatan DBP sebesar 10 mmHg meningkatkan risiko kejadian stroke pertama sebesar satu setengah kali,7 30 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 research sedangkan Klungel et al. (2000) dan Howard et al. (2013) menyatakan bahwa SBP memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam meningkatkan risiko stroke hemoragik daripada DBP.8,9 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kejadian stroke pada ISH dan IDH rendah. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Qureshi et al. (2002) yang menyatakan bahwa ISH memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam kejadian stroke iskemik maupun stroke hemoragik dibandingkan dengan hipertensi diastolik.10 Pernyataan tersebut didukung oleh Nielsen et al (1997) yang menyatakan bahwa hipertensi diastolik tidak signifikan dalam meningkatkan risiko stroke.11 Kejadian ISH pada laki-laki memuncak seiring pertambahan usia hingga usia 75 tahun, sedangkan pada perempuan memuncak antara usia 65 hingga 74 tahun dan menurun setelah usia 75 tahun.12 Dalam penelitian ini, tampak bahwa kejadian ISH semakin meningkat seiring pertambahan usia. Kejadian ISH terdapat pada rentang usia 46-85 tahun, dengan kejadian yang paling banyak yaitu pada rentang usia 61 sampai 70 tahun dan kemudian akan menurun setelah usia 71 tahun. Hipertensi jenis ISH lebih sering terjadi pada perempuan.5 Dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa ISH lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki (5,7% berbanding 4,3%). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa hasil penelitian ini menyerupai hasil penelitian terdahulu. Kejadian IDH pada pria dan wanita memuncak pada usia 35 hingga 49 tahun.12 Dalam penelitian ini, tampak bahwa kejadian IDH terdapat pada rentang usia 51 sampai 70 tahun, dengan kejadian memuncak pada rentang usia 56 sampai 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu. Belum diketahui faktor yang menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini. Hipertensi jenis IDH lebih sering terjadi pada laki-laki.5 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana kejadian IDH lebih sering Vol. 27, No.3, Desember 2014 terjadi pada laki-laki daripada perempuan (5% berbanding 1,4%). Kejadian SDH memuncak pada usia 65 sampai 69 tahun pada pria dan 60 sampai 64 tahun pada wanita13. Dalam penelitian ini, tampak bahwa kejadian SDH terdapat pada rentang usia 40 sampai 85 tahun, kejadian memuncak pada rentang usia 61 sampai 65 tahun, dan akan menurun setelah usia 75 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini menyerupai penelitian terdahulu. Hipertensi jenis SDH lebih sering terjadi pada perempuan.5 Namun, dalam penelitian ini kejadian SDH lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan (53,6% berbanding 30%). Belum diketahui faktor yang menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini. Kadar kolesterol serum dan kadar LDL yang tinggi berperan penting dalam pembentukan aterosklerosis yang akan memicu terjadinya stroke, khususnya stroke iskemik.14,15 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi subjek penelitian dengan kadar LDL > 100 mg/dL (80% berbanding 77,1%) dan kolesterol > 200 mg/dL (51,4% berbanding 42,9%) pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok kasus. Rata-rata kadar LDL (140,1 ± 44,5 berbanding 128,9 ± 42,7 mg/dL) dan kolesterol total (204,1 ± 53,9 berbanding 188,8 ± 45,6 mg/dL) pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok kasus. Dalam analisis bivariat tidak tampak adanya hubungan yang bermakna antara kadar LDL > 100 mg/dL (OR: 0,645; 95%; CI: 0,282–1,476; p: 0,297) dan kolesterol total > 200 mg/dL (OR: 0,708; 95%; CI: 0,364–1,379; p: 0,310) dengan kejadian stroke hemoragik. Kadar trigliserida > 150 mg/dL dan kadar HDL < 40 mg/dL meningkatkan risiko kejadian stroke secara keseluruhan, khususnya stroke iskemik.16,17 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini. Proporsi subjek penelitian MEDICINUS 31 research dengan kadar trigliserida > 150 mg/dL (35,7% berbanding 20%) dan kadar HDL < 40 mg/ dL (32,9% berbanding 17,1%) pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok kasus. Rata-rata kadar trigliserida (150,9 ± 111,3 berbanding 115,2 ± 51,6 mg/dL) dan HDL (46,5 ± 12,2 berbanding 50,7 ± 13,1 mg/dL) pada kelompok kontrol juga lebih tinggi daripada kelompok kasus. Hasil dari analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kejadian stroke hemoragik dengan kadar trigliserida > 150 mg/dL (OR: 0,450; 95%; CI: 0,210–0,965, p: 0,038) dan kadar HDL < 40 mg/dL (OR: 0,423; 95%; CI: 0,191–0,938, p: 0,032). Kadar trigliserida > 150 mg/dL dan kadar HDL < 40 mg/dL dapat meningkatkan kejadian stroke hemoragik. Kedua faktor risiko yang bermakna tersebut diolah lebih lanjut dengan analisis multivariat. Hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa kadar trigliserida > 150 mg/ dL (OR: 0,506; 95%; CI: 0,232–1,105; p: 0,087) dan kadar HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%; CI: 0,210–1,071; p: 0,073) bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian stroke. Kadar trigliserida > 150 mg/dL dan kadar HDL < 40 mg/dL harus disertai dengan adanya faktor risiko lainnya agar dapat menimbulkan kejadian stroke hemoragik. Kadar gula darah yang tinggi merupakan faktor risiko yang lebih berpengaruh pada stroke iskemik daripada stroke hemoragik.11 Jumlah subjek penelitian dengan kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL lebih banyak pada kelompok kontrol daripada kelompok kasus (18,6% berbanding 12,9%). Rata-rata kadar gula darah pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok kasus (156,7 ± 91,9 berbanding 144,5 ± 64,4 mg/dL). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (OR : 0,647, 95% CI : 0,257–1,629, p : 0,353) tidak bermakna dalam meningkatkan kejadian stroke hemoragik. 32 MEDICINUS Kekuatan penelitian adalah perbandingan kejadian stroke hemoragik terhadap jenisjenis hipertensi, yaitu non ISH, SDH, non ISH, IDH dan ISH belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Kelemahan penelitian adalah desain penelitian kasus kontrol yang digunakan dalam penelitian ini. Jumlah sampel juga mempengaruhi hasil penelitian ini, karena semakin besar sampel, hasil penelitian akan semakin presisi. Penelitian ini juga tidak melibatkan kelompok normal sebagai pembanding, sehingga beda proporsi faktor risiko tidak berbeda jauh. V. KESIMPULAN Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non ISH tidak terdapat perbedaan yang signifikan. daftar pustaka 1. Sacco, R.L., Kasner, S.E., Broderick, J.P., et al. An Updated Definition of Stroke for the 21st Century : A Statement for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2013;44. 2. Keep, R.F., Hua, Y., & Xi, G. Intracerebral Haemorrhage: Mechanisms of Injury and Therapeutic Targets. Lancet Neurol 2012. 2012;11:720–31. 3. Zia, E., Hedblad, B., Rasmussen, H.P., et al. Blood Pressure in Relation to the Incidence of Cerebral Infarction and Intracerebral Hemorrhage : Hypertensive Hemorrhage: Debated Nomenclature Is Still Relevant. Stroke. 2007;38: 2681-85. 4. Iadecola, C. & Gorelick, P.B. Hypertension, Angiotensin, and Stroke: Beyond Blood Pressure. Stroke. 2004;35:348-50. 5. Franklin, S.S., Pio, J.R., Wong, N.D., et al. Predictors of New-Onset Diastolic and Systolic Hypertension : The Framingham Heart Study. Circulation. 2005;111:1121-7. 6. Fang, X.H., Zhang, X.H., Yang, Q.D., et al. Subtype Hypertension and Risk of Stroke in Middle-Aged and Older Chinese : A 10-Year Follow-Up Study. Stroke. 2006;37:38-43. 7. Rashid, P., Bee, J.L. & Bath, P. Blood Pressure Reduction and Secondary Prevention of Stroke and Other Vascular Events : A Systematic Review. Stroke. 2003;34:2741-8. 8. Klungel, O.H., Kaplan, R.C., Heckbert, S.R., et al. Control of Blood Pressure and Risk of Stroke Among Pharmacologically Treated Hypertensive Patients. Stroke. 2000;31:420-4. 9. Howard, G., Cushman, M., Howard, V.J., et al. Risk Factors for Intracerebral Hemorrhage : The REasons for Geographic And Racial Differences in Stroke (REGARDS) Study. Stroke. 2013;44:1282-7. 10. Qureshi, A.I., Suri, M.F.K., Mohammad, Y., et al. Isolated and Borderline Isolated Systolic Hypertension Relative to Long-Term Risk and Type of Stroke : A 20-Year Follow-Up of the National Health and Nutrition Survey. Stroke. 2002;33:2781-8. 11. Nielsen, W.B., Lindenstrøm, E., Vestbo, J., et al. Is Diastolic Hypertension an Independent Risk Factor for Stroke in the Presence of Normal Systolic Blood Pressure in the Middleaged and Elderly?. American Journal of Hypertension. 1997;10:634–9. 12. Yeh, C.J., Pan, W.H., Jong, Y.S., et al. Incidence and Predictors of Isolated Systolic Hypertension and Isolated Diastolic Hyeprtension in Taiwan. J Formos Med Assoc. 2001;100:668–75. 13. Van Rossum, C.T.M., van de Mheen, H., Witteman, J.C.M., et al. Prevalence, Treatment, and Control of Hypertension by Sociodemographic Factors Among the Dutch Eldery. Hypertension. 2000;35:814-21. 14. Porth, C.M. & Matfin, G. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. p.512-5, 1318-21. 15. Tedgui, A. & Mallat, Z. Hypertension : A Novel Regulator of Adaptive Immunity in Atherosclerosis? Hypertension. 2004;44:257-8. 16. Soyama, Y., Miura, K., Morikawa, Y., et al. High-Density Lipoprotein Cholesterol and Risk of Stroke in Japanese Man and Women: The Oyabe Study. Stroke. 2003;34:863-8. 17. Asia Pasific Cohort Studies Collaboration. Triglycerides as a Risk Factor for Cardiovascular Disease in the Asia-Pasific Region. Circulation. 2004;110: 2678-86. Vol. 27, No.3, Desember 2014 CONTINUING MEDICAL EDUCATION PERBANDINGAN KEJADIAN STROKE HEMORAGIK PADA ISOLATED SYSTOLIC HYPERTENSION DAN NONISOLATED SYSTOLIC HYPERTENSION 3 SKP Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda (√) di samping kanan. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pernyataan B S Seseorang dengan systolic blood pressure ≥ 140 mmHg dan diastolic blood pressure 5 SKP > 90 mmHg, tergolong ke dalam penderita Isolated Systolic Hypertension (ISH). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke hemoragik pada IDH dan non-IDH. Berdasarkan Systolic Blood Pressure (SBP) dan Diastolic Blood Pressure (DBP), hipertensi non-Isolated Systolic Hypertension (ISH) masih dapat dibedakan menjadi dua yaitu Systolic Diastolic Hypertension (SDH) dan Isolated Diastolic Hypertension (IDH). Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi stroke hemoragik dan iskemik, jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), usia ≥ 35 tahun, SBP ≥ 140mmHg dan DBP < 90 mmHg, SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg, atau SBP ≥ 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pasien dengan Isolated Systolic Hypertension (ISH) memiliki risiko stroke tertinggi dibandingkan tipe hipertensi lainnya, sesuai dengan hasil dari penelitian Fang et al. (2006). Angka kejadian Isolated Systolic Hypertension (ISH) terbanyak pada penelitian ini terdapat pada rentang usia 61 sampai 70 tahun, dan akan kembali menurun pada usia 71 tahun. Dari hasil penelitian ini, kejadian Isolated Diastolic Hypertension (IDH) lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non-ISH terdapat perbedaan yang signifikan. Kadar kolesterol serum dan kadar LDL yang tinggi beperan penting dalam pembentukan aterosklerosis yang akan memicu terjadinya stroke, khususnya stroke iskemik. Kelemahan penelitian ini adalah perbandingan kejadian stroke hemoragik terhadap jenis-jenis hipertensi, yaitu non-ISH, SDH, IDH dan ISH yang belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. KETERANGAN: - Tandai (√) pada jawaban yang dipilih. - Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis. - Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan - sertifikat jika jumlah jawaban benar ≥ 60%. Sertifikat akan dikirimkan setelah dokter mengerjakan setiap artikel CME dalam satu edisi terbit. Masa berlaku kuis CME untuk setiap edisi adalah 3 tahun setelah artikel diterbitkan, sehingga jawaban yang diterima melewati batas waktu tersebut, tidak akan memperoleh SKP. CARA MENGIRIM JAWABAN: - Lipat tiga bagian (secara horizontal) lembaran ini hingga berbentuk seperti amplop (lihat gambar). - Setelah dilipat tiga bagian, kirimkan lembaran kuis dan formulir biodata yang telah diisi ke alamat redaksi MEDICINUS yang tertera di halaman selanjutnya. Atau bisa dengan cara menscan [email protected] lembar biodata dan jawaban ke email [email protected]. - Artikel dan kuis CME setiap edisinya juga bisa diakses langsung di http://cme.medicinus.co/. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 33 34 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 Case report Acute Limb Ischemic Edwin Nugroho Njoto Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana Internship doctor in Parama Sidhi General Hospital, Singaraja, Bali ABSTRACT Acute limb ischemic (ALI) is defined as a sudden decrease in limb perfusion that threatens the viability of the limb. Physical finding may include an absence of pulse distal to the occlusion, cool and pale or mottled skin, reduced sensation, decreased strength and associated with ischemic stroke and myocardial infarction. A 41-year-old man came to ER with necrosis in the left and right cruris and pedis. Patient has visited national heart center “Harapan Kita” and was diagnosed with acute limb ischemia. Duplex sonography femoralis, angiojet and percutaneous intra arterial thrombolysis were done 2 days after the patient’s experienced symptoms. On the 3rd day after hospital admission he had the first amputation. On the 13rd day after hospital admission he had the second amputation. On the 19th day of admission, patient was out of hospital. Keyword: acute limb ischemic, necrotic, amputation INTRODUCTION The incidence of ALI is approximately 1,5 cases per 10.000 persons per year. Clinical events that cause ALI include acute thrombosis of a limb artery or bypass graft, embolism from the heart or a diseased artery, dissection, and trauma. (from severing of an artery or thrombosis). The clinical presentation is considered to be acute if it occurs within 2 weeks after symptom onset. The rapid onset of limb ischemia results from a sudden cessation of blood supply and nutrients to the metabolic active tissues of the limb, including skin, muscle, and nerves. 1,2 Acute limb ischemic is induced by atherosclerosis may threat viability of limbs. Damaged viability of limbs may cause necrosis.1 Necrosis was one of the complications that can be happened. Here we report a male patient with necrosis due to acute limb ischemic. CASE PRESENTATION A 41-years-old male came to ER complaining of swelling and pain in both calves and legs since 10 days before admission to hospital. Stabbing pain was felt in the upper tip of the calves. Pain was felt when patient was walking and relieved when resting. In the beginning the pain was only felt like a muscleache but then it got worse as the day goes on and was accompanied by swelling. Edinburgh claudication questionnaire result shows positive claudication. Patient was a heavy smoker (>2 packs/day). History of previous operation was denied. Patient’s Body Mass Index (BMI) was 34,60 kg/m2. His elder brother had a heart failure. Patient had already visited National Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 35 CASE REPORT Technology Heart Center Harapan Kita to do duplex sonography femoralis, arterography, angiojet and percutaneous intra arterial thrombolysis 2 days after he began experiencing symptoms. But there was bleeding with significant decrease in hemoglobin and the lower extremity started to necrosis, so the thrombolytic was stopped. Echocardiography was done in national heart center with result LV septal hyperthrophy, normal systolic and diastolic function, normal valve, and no thrombus. Electrocardiography couldn’t be done due to necrosis on both legs and calves From national heart center, he was given irbersatan 300 mg once daily, fibrat once daily, alprazolam0,5 mg once daily, laxadine 3 times daily, pantoprazole twice daily, ceftriaxone 2 gram once daily, tramadol drip in ringer lactat 20 drop/minute, amlodipine 10 mg once daily, allopurinol 100 mg 3 times daily, clopidogrel 75 mg once daily, paracetamol 500 mg 3 times daily On physical examination, he was noted to have a normal blood pressure (on antihypertensive drug from National Heart Center Harapan Kita), normal heart rate, normal respiratory rate, and slightly increased body temperature. Head and neck exam was clear. Cardiovascular exam was normal. Lungs were clear, and abdominal exam was normal. Left pedis examination revealed necrotic tissue above the knee, pus in the digiti I-V, blood, and no sensory sensation. Right pedis examintation revealed necrotic tissue below knee, oedema and bulla, and no sensation below knee. Laboratory studies showed anemia (Hb: 10), leucositosis (WBC: 16,8), slight increase of BUN (BUN: 60), and high level of transaminase (AST/ALT: 200/273). Trombosit, creatinine, random blood glucose and lipid profile were normal. On admission, the doctor suggested amputation above knee on both legs but the patient refused. He was treated with ceftriaxon twice daily, ketorolac three times a day, flavonoid fraction three times a day, cilostazol twice daily, warfarin once daily, amlodipin 5 mg once daily On 3rd day of admission patient agreed to have first amputation on the left limb. On physical examination he was takikardia (112 bpm), regu- 36 MEDICINUS lar takipneu (24 bpm), and febris (39 C). Laboratory result showed anemia(Hb: 8,7), leucositosis (WBC: 22,7), and low platelet (PLT: 70000), hipoalbumin (2,3). Bleeding time and clotting time were normal. Gentamicin twice daily, whole blood transfusion 1 bag were added to his treatment. On 13rd day of admission the second amputation was performed. Laboratory result showed anemia (Hb: 8,4), leucositosis (WBC: 11,1), increase trombosit (PLT 494000). On 14th day of admission, postoperation laboratory studies showed anemia (Hb: 9,9), leucositosis (WBC: 21,4), increase thrombosit (PLT:466000), increase in coagulation studies (aPTT 43,5s, PT 26,2 s, INR 2,23). On 19th day of admission, patient was out of hospital. He was treated with cilostazol twice daily, Amlodipin 5 mg once daily, Perindopril 5 mg once daily, Flavonoid fraction 500 mg three times a day, paracetamol 500 mg three times a day, mefenamic acid three times a day, cefadroxil three times a day. DISCUSSION In this report, the writer presented a case of acute limb ischemia. Patients with atherosclerosis risk factors deserve special attention regarding their status for several reasons. First, Despite urgent revascularization with thrombolytic agents or surgery, amputation occurs in 10% to 15% of patients during hospitalization. A majority of amputations are above the knee.2 Second, rates of death and complications among patients who present with acute limb ischemia are high. Approximately 15% to 20% of patients die within 1 year after presentation, often from coexisting conditions that predisposed them to acute limb ischemia. Two years following a below knee amputation, 30% are dead, 15% have an above knee amputation, 15% have a contralateral amputation, and only 40% have full mobility.2 Third, Since atherosclerosis is a systemic disease, other disease can developed such as coronary artery disease and cerebrovascular disease.2 In this patient, ALI was diagnosed based on: 1. Symptoms were swelling and stabbing pain Vol. 27, No.3, Desember 2014 CASE REPORT Technology Figure 1 Duplex sonography femoralis vein Figure 2 Duplex sonography femoralis artery Figure 3 Duplex sonography femoralis Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 37 CASE REPORT Technology in both calves and legs, felt when walking and relieved when resting since 10 days before admission to hospital. Edinburgh claudication questionnaire shows positive claudication. Edinburg Claudication questionnaire is a standardized method to screen and diagnose intermittent claudication with 80%90% sensitivity and > 95% specificity.2,3 2. Risk factor in this patient were heavy smoker (> 2 packs/day), obesity (BMI: 34,60 kg/m2), family history of cardiovascular disease. 3. Duplex sonography femoralis result shows that : a. Occlusion in the left illiaca artery with positive collateral in the communis femoralis artery b. Occlusion from left superficialis femoral artery until left posterior-anterior tibialis artery. c. Occlusion in poplitea artery until distal right anterior tibialis artery with positive collateral on right posterior tibialis artery. d. Deep vein thrombosis wasn’t found in both legs. Angiojet and thrombolysis had already been done to patient 2 days after patient experience the symptoms. Angiojet catheter is approved by Food and Drug Administrations for treatment of occlusions in peripheral arteries. Angiojet thrombectomy catheter can be a useful adjunct to thrombolysis. Angiojet catheter is less effective in this patient because diameter of femoral artery occlusion > 1 cm.2-5 Endovascular therapy with thrombolysis is one of treatment option for patients presenting with lower extremity ALI,3,6,7 but endovascular therapy 38 MEDICINUS with thrombolysis is not effective in this patient because of bleeding with significant decrease in hemoglobin and the lower extremity started to necrosis. From Rutherford classification, ALI is divided to 3 stages:2 1. Stage I: Limb viable and not immediately threatened 2. Stage II: Limb threatened a. Stage IIa: Marginally threatened, salvageable if promptly treated. b. Stage IIb: Immediately threatened, salvageable with immediate revascularization 3. Stage III: Limb irreversibly damaged, major tissue loss or permanent nerve damage inevitable. Due to his condition with necrosis cruris with Rutherford criteria stage III when the patient came to writer’s hospital, the patient was suggested to have amputation on both limbs.2 But he refused. Patient was given ceftriaxon twice daily, ketorolac three times a day, flavonoid fraction three times a day, cilostazol twice daily, warfarin once daily. Ceftriaxon was given to this patient because this third generation of cephalosporins has broad spectrum effect to gram positive and gram negative bacteria and its bactericidal effect.8 Ketorolac was given to this patient to reduce the pain by inhibition of cyclooxygenase (COX) pathway.9 Flavonoid fraction was given to this patient because flavonoid fraction improves venous tone and lymphatic drainage, and reduces capillary hyperpermeability by Vol. 27, No.3, Desember 2014 CASE REPORT Technology protecting the microcirculation from inflammatory processes.10 Cilostazol was given to this patient because this phosphodiesterase-3 inhibitor inhibits platelet aggregation and is a direct arterial vasodilator so it can reduce leg pain caused by poor circulation (intermittent claudication).11 Amlodipine was given to this patient to reduce blood pressure and for its peripheral arterial vasodilator effect to reduce myocardial oxygen demand.12 On the 3rd day of admission, patient started to develop sepsis as such patient agreed to do amputation. Gentamicin and whole blood transfusion was added to patient’s treatment. Gentamicin was given to this patient because gram negative bacterial infection was commonly found in leg and this aminoglycoside antibiotics sensitive to negative gram organism.13 Whole blood transfusion 1 bag was given to this patient because low level of haemoglobin (hb: 8,7 gr/dl). On 13rd day of admission the second amputation was performed. On 19th day of admission, patient was out of hospital. He was treated with cilostazol twice daily, Amlodipin 5 mg once daily, Perindopril 5 mg once daily, Flavonoid fraction 500 mg three times a day, paracetamol 500 mg three times a day, mefenamic acid three times a day, cefadroxil three times a day. Perindopril was given to this patient because this ace inhibitor will reduced cardiovascular events by 25% in patients with symptomatic peripheral arterial disease without known low ejection fraction or heart failure.14 Mefenamic acid was given as analgetic drug.9 Cefadroxil was given to this patient to replace cephalosporine antibiotic from intravenous to oral drug.8 Educate patient is important to prevent other thromboembolic disease in this patient. Risk factors prevention such as reduce body weight, smoking cessation are important. Leg prothesis can be used in this patient to improve quality of life. Vol. 27, No.3, Desember 2014 SUMMARY Diagnosis acute limb ischemic based on anamnesis, physical examination, and supporting examination like doppler sonography. Risk factor prevention, early identification, and prompt treatment of acute limb ischemic are important to reduce complication. daftar pustaka 1. Creager M.A, Kaufman J.A, Conte M.S. Acute Limb Ischemic N Engl J Med 2012;366:2198-2206. 2. European Society Of Cardiology. ESC Guideline on the diagnosis and treatment of peripheral artery disease. European Heart Journal 2011; 32: 2851-2906 3. Leng G, Fowkes F. The Edinburgh claudication questionnaire: an improved version of the WHO/Rose questionnaire for use in epidemiological surveys. J Clin Epidemiol 1992; 45: 1101-1109 4. Lee M.S, Singh V., Wilentz J.R., Makkar R. Angiojet thrombectomy. J Invasive Cardiol 2004; 16(10): 587-591 5. Sharma S.K. Role of Angiojet Rheolytic thrombectomy catheter:Mount Sinai Hospital experience. J Invasive Cardiol 2010; 22(10) Supplemental issue. 6. Kashyap V.S, Gilani R, Bena J.F, Bannazadeh M., Sarah T.P. Endovascular therapy for acute limb ischemic. Journal of vascular surgery 2011: 53 (2): 340-346. 7. Morison H L. Catheter-directed thrombolysis for acute limb ischemic. Semin Intervent Radiol. 2006; 23(3): 258269 8. Chambers H.F. Antibiotik beta-laktam dan antibiotic lain yang aktif di dinding dan membrane sel. In: Katzung B.G. Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.756-760 9. Furst D.E, Urich R.W.Obat anti-inflamasi nonsteroid; obat antireumatik pemodifikasi penyakit, analgesic non opioid, dan obat yang digunakan pada gout. In: Katzung B.G. Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.589-598 10.Katsenis K. Micronized purified flavonoid fraction (MPFF): a review of its pharmacological effects, therapeutic efficacy and benefits in the management of chronic venous insufficiency. Curr vasc pharmacol 2005; 3(1): 1-9 11.Shinohara Y, et all. Cilostazol for prevention of secondary stroke (CSPS2): an aspirin-controlled, double blind, randomized non-inferiority trial. The Lancet Neurology 2010; 9 (10). 959-968 12.Paramita D, Hindariati E. Peran Calsium Channel Blocker pada hipertensi. In: Pikir B. S., et all. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya (2011): AUP p.252-270 13.www.wikipedia.org (homepage on the internet). New York: Wikimedia foundation (updated 2013 April). Available from: http://en.m.wikipedia.org/wiki/gentamicin. 14.Faujiah R, Lefi A. Peran Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) pada hipertensi. In: Pikir B. S., et all. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya (2011): AUP p.203-217. MEDICINUS 39 Technology MEDICAL REVIEW Pemilihan Antibiotik yang Rasional Lukman Zulkifli Amin PPDS Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo ABSTRAK Pemilihan antibiotik merupakan suatu kunci penting dalam pengobatan kasus-kasus infeksi. Masalah global yang saat ini dihadapi adalah tingginya angka penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasinya. Beragam penyebab yang menyebabkan penyalahgunaan antibiotik. Dampak pada pengobatan adalah terjadinya resistensi antibiotik. Dengan penggunaan antibiotik secara rasional akan memberikan optimalisasi terapi antibiotik ini sehingga memberikan hasil yang optimal juga. Kata kunci: antibiotik, rasional, aspek farmakologi, aspek penderita, aspek pejamu, pola pemilihan antibiotik PENDAHULUAN Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak tahun 1940. Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan meluasnya potensi resistensi bakteri. Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang organisme infeksius dan juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem antara strain yang peka dan yang resisten, konsekuensinya adalah gangguan ekologi mikrobial alami. Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang berbeda jenisnya atau varian resisten dari bakteri yang sudah ada.2 Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol terjadinya resistensi bakteri.3 Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan yang rasional. Atau secara sederhana diartikan sebagai “meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling rendah”.5 Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan anti- 40 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 Technology MEDICAL REVIEW biotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan terjadinya resistensi.6 1. Prinsip Kerja Antibiotik Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi maka terdapat tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Penggunaan antimikroba secara prinsip berbeda dengan obat pada umumnya oleh karena target antimikroba adalah sel kuman sedangkan obat lain adalah sel host. Dalam penggunaannya, antibiotik diharapkan mampu mencapai lokasi infeksi dengan kadar yang cukup (melebihi kadar hambat minimal/KHM), masuk/penetrasi ke dalam sel bakteri dan bekerja mengganggu proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut menjadi tidak aktif atau mati; namun efek toksik pada sel host diharapkan seminimal mungkin.7 Keberhasilan pengobatan antibiotik dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor. Selain jenis antibiotik dan spektrum antimikroba, aspek farmako-logis yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan faktor yang sangat penting. Aspek farmakokinetik mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Sedangkan aspek farmakodinamik mencakup sifat bakteriostatik/bakterisid, timedependent/concentration dependent dan post-antibiotic effect (PAE) antibiotik.7 2. Aspek Farmakologis Antibiotik 2.1. Farmakokinetik Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai perjalanan dan apa yang terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh. Di antaranya termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.7 Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di saluran cerna pada pemberian Vol. 27, No.3, Desember 2014 oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah, konsentrasi obat akan menurun secara cepat dalam fase yang disebut dengan fase alfa (α). Pada fase selanjutnya yaitu fase beta (β) maka konsentrasi antibiotik akan menurun secara perlahan dan stabil. Pada fase beta ini yang menentukan waktu paruh (t1/2) dari suatu antibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua obat akan mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh/aktif, dan jumlah persentase obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif disebut bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam sediaan dengan kadar obat dalam darah atau jaringan disebut bioekuivalensi.7 Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai protein dominan dalam serum dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang terikat secara reversibel terhadap albumin serum digambarkan dengan istilah protein binding. Obat kemudian akan melepaskan diri dari ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa membran sel sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu berikatan de-ngan protein jaringan. Distribusi obat antara lain dipengaruhi oleh aliran darah, pH, protein bin-ding, dan volume distribusi.7 Pasca distribusi obat, obat kemudian akan mengalami metabolisme oleh berbagai enzim dan yang terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450, sehingga pemberian obatobatan yang dapat meningkatkan atau menghambat kerja enzim ini dapat mempengaruhi aktivitas antibiotik.7 Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif. Sedangkan untuk obat dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivasi obat tersebut menjadi bentuk yang aktif.7 MEDICINUS 41 Technology MEDICAL REVIEW Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan ke dalam usus. Dari dalam usus sebagian obat akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan kembali diserap dan dibuang melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui keringat, liur, air mata, dan air susu.7 2.2. Farmakodinamik Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum, aktivitas antibiotik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba) dan bakterisidal (membunuh mikroba). Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain aminoglycoside, beta-lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin, pirazinamide, vancomycin, isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik antara lain chloramphenicol, clindamycin, ethambutol, macrolide, sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun sifat bakteriostatik dan bakterisid dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotik dengan sifat bakteriostatik dapat pula bersifat bakterisid bila kadarnya ditingkatkan.7 Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotik terhadap KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya (concentration dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada antibiotik golongan concentration dependent maka semakin tinggi kadar obat dalam darah maka semakin tinggi pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis time dependent, selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa kerjanya, kecepatan dan efektivitas kerja obat 42 MEDICINUS tersebut akan mencapai nilai maksimal. Contoh antibiotik golongan concentration dependent adalah quionolone dan aminoglycoside, sedangkan contoh antibiotik golongan time dependent adalah beta-lactam.7 Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya lebih rendah dari KHM. Fenomena ini disebut post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri, contohnya quionolone dan aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama terhadap kuman gram negatif.7 2.3. Cara Kerja Antibiotik Antibiotik memiliki cara kerja yang berbedabeda dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik dibuat berdasarkan mekanisme kerja tersebut, yaitu : 1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Contohnya adalah penicilin, cephalosporin, carbapenem, monobactam dan vancomycin. 2. Antibiotik yang bekerja dengan merusak membran sel mikroorganisme. Antibitoik golongan ini merusak permeabilitas membran sel sehingga terjadi kebocoran bahan-bahan dari intrasel. Contohnya adalah polymyxin. 3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan mempengaruhi subunit ribosom 30S dan 50S. Antibiotik ini menyebabkan terjadinya hambatan dalam sintesis protein secara reversibel. Contohnya adalah chloramphenicol yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme lainnya, serta macrolide, tetracycline dan clindamycine yang bersifat bakteriostatik. 4. Antibiotik yang mengikat subunit ribosom 30S. Antibiotik ini menghambat sintesis protein dan mengakibatkan kematian sel. Contohnya adalah aminoglycoside yang bersifat bakterisidal. Vol. 27, No.3, Desember 2014 Technology MEDICAL REVIEW 5. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Contohnya adalah rifampicin yang menghambat sintesis RNA polimerase dan kuinolon yang menghambat topoisomerase. Keduanya bersifat bakterisidal. 6. Antibiotik yang menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme folat. Contohnya adalah trimethoprime dan sulfonamide. Keduanya bersifat bakteriostatik. 2.4. Kombinasi Antibiotik Kombinasi antimikroba digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui dengan jelas kumankuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian kombinasi antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin. Selain itu, kombinasi antimikroba juga digunakan untuk mencapai efek sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya resistensi terhadap obat-obatan antimikroba yang digunakan.8 2.5. Efek Samping Antibiotik Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi, atau biologis. Efek samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomicin, gentamicin, tobramycin, streptomycin atau amikacin secara intraperitoneal atau intrapleural. Erithromycin estolac sering menyebabkan hepatitis kolestatik. Antibiotik seperti rifampicin, cotrimoxazole dan isoniazide potensial hematotoksik dan hepatotoksik. Pemakaian chloramphenicol yang melampaui batas keamanan akan menekan fungsi sumsum tulang dan berakibat anemia dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan kematian pasien setelah pemakaian chloramphenicol.8 Efek samping alergi terutama disebabkan oleh penggunaan penicilin dan cephalosporin. Keadaan yang paling jarang adalah kejadian syok anafilaktik. Kejadian yang lebih sering timbul adalah ruam dan urtikaria. Efek samping biolo- Vol. 27, No.3, Desember 2014 gis disebabkan karena pengaruh antibiotik terhadap flora normal di kulit maupun di selaputselaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat antimikroba berspektrum luas.8 Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan yang membutuhkan pengobatan intensif dapat juga disebabkan oleh penggunaan antibiotik seperti clindamycin, tetracycline dan obat antibiotik berspektrum luas lainnya.8 3. Aspek Mikrobiologik Kuman Jenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi sebelum dimulainya terapi. Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum pemberian terapi, namun karena hasilnya membutuhkan waktu lama maka terapi empirik dapat diberikan dengan panduan pemeriksaan yang lebih sederhana seperti pewarnaan gram.7 Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi empirik, data mikrobiologi khususnya mengenai pola kepekaan kuman dan data patogen resisten di rumah sakit setempat merupakan hal yang sangat penting. Pola kepekaan kuman yang berasal dari komunitas atau kuman nosokomial terhadap tiap jenis antibiotik merupakan panduan untuk menentukan antibiotik yang akan diberikan dalam terapi empirik. Semakin luas cakupan suatu antibiotik terhadap patogen akan meningkatkan probabilitas keberhasilan pengobatan.7 Selain data mengenai pola kepekaan, data surveilans patogen resisten baik yang berasal dari komunitas (misalnya penicillin resistance S.pneumoniae/PRSP) atau kuman nosokomial (methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended spectrum beta-lactamase/ESBL juga merupakan pertimbangan dalam menentukan pilihan antibiotik.7 MEDICINUS 43 medical review 4. Aspek Penderita Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik, antara lain derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, faktor genetik, penyakit komorbid, status imunitas, adanya kehamilan atau laktasi, riwayat alergi dan faktor sosio ekonomi.7 Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu diperhatikan berat ringannya infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta status imunitas penderita. Pada infeksi ringan, pemberian antibiotik tidak perlu diberikan seketika. Penundaan pemberian antibiotik justru akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk merangsang timbulnya mekanisme kekebalan tubuh. Namun pada infeksi yang berat dan atau telah berlangsung lama, terapi antibiotik dapat segera dimulai.7 Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik seperti organ yang memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang, atau organ yang memiliki sawar khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut, pemberian antibiotik harus meliputi antibiotik yang dapat menembus lapisan tersebut sehingga obat dapat bekerja secara efektif. Selain itu adanya abses, jaringan nekrotik, mukus yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga dapat mengurangi efektifitas kerja antibiotik sehingga diperlukan tindakan seperti pembersihan luka insisi dan sebagainya sebelum antibiotik diberikan.7 Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam pemberian antibiotik. Pada neonatus karena kerja berbagai organ seperti hepar dan ginjal yang belum sempurna akan meningkatkan risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian pula pada usia lanjut dengan adanya penurunan berbagai fungsi organ karena proses penuaan.7 Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati atau ginjal juga harus diperhatikan karena da- 44 MEDICINUS pat menurunkan efektifitas obat dan memperberat efek toksisitas. Selain itu, kelainan genetik seperti defisiensi enzim Glucose-6-Phospate Dehydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan anemia hemolitik pada pemberian antibiotik tertentu seperti chloramphenicol dan sulfonamide.7 Status imunitas baik imunitas selular maupun humoral pada penderita harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik. Pada penderita yang imunokompeten, antibiotik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup efektif untuk mengendalikan infeksi tertentu, sedangkan pada pasien dengan penurunan status imun, pada infeksi yang sama mungkin diperlukan antibiotik dengan efek bakterisidal untuk mengatasinya.7 Adanya kehamilan dan laktasi akan mempengaruhi pemilihan antibiotik karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah plasenta dan masuk ke peredaran darah janin serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti efek teratogenik dan sebagainya. Ibu hamil juga pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat obat tertentu, termasuk antibiotik. Demikian pula dengan laktasi, karena beberapa antibiotik juga dapat ditemukan dalam air susu. Untuk itu, pertimbangan baik untuk ibu maupun janin harus diperhatikan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan.7 Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat harus pula diperhatikan lama dan interval pemberian obat, sehubungan dengan jumlah obat yang diperlukan. Biaya pengobatan tersebut merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari suatu penyakit.7 5. Pola Pemberian Antimikroba Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka antibiotik dapat diberikan berdasarkan beberapa pola tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, interventif, omnisprektif dan profilaktif.8 Vol. 27, No.3, Desember 2014 medical review Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap antibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat antibiotik efektif dengan spektrum sempit. Kesulitan yang akan dihadapi adalah tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan tepat.8 Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini, pemilihan harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada jaringan atau organ yang dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.8 Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman pada sebuah protokol pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat antibiotik lainnya. Bila respon yang didapat tidak memuaskan, maka protokol-protokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan pengalaman terkini tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara pengobatan ini dikenal sebagai terapi antimikrobial interventif.8 Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum antibiotik seluas-luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan syok septik.8 Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasikomplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan.8 KESIMPULAN Pemberian antibiotik secara rasional meliputi pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan penghentian obat yang berkualitas baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan terjangkau harganya oleh pasien.7,8 daftar pustaka 1. Barbosa TM, Levy SB. The Impact of Antibiotic use on Resistance Development and Persistence. Drug Resistance Updates 2000;3.303-311. 2. Sulastrianah, Badaruddin F, Massi N. Rasionalisasi Penggunaan Antibiotik di RSUP.DR.Wahidin Sudirohusodo Periode November 2011 – Januari 2012 dan Maret – Mei 2012 [Tesis].Universitas Hasanuddin Makassar; 2012. 3. Brunton L. Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. International Edition. McGraw-Hill. New York 2008:707797. 4. Wax R et al. Bacterial Resistance to Antimicrobials, 2nd edition. Boca Raton, FL:CRC Press 2008:46. 5. World Health Organization. Antibiotic resistance : syn- Vol. 27, No.3, Desember 2014 thesis of recommendation by expert policy groupsAlliance for the Prudent Use of Antibiotics. WHO 2001. 6. Ambwani S, Mathur AK. Rational Drug Use. Health Administrator XIX 2006. 7. Pohan HT. Dasar-dasar Pemilihan Antibiotik pada Infeksi Komunitas. Dalam : Setiati et al. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas kedokteran Universitas Indonesia 2005:50-55. 8. Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional Di Klinik. Dalam : Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Cetakan kedua 2010:2896-2900. MEDICINUS 45 medica l review Probiotik: Problematika dan Progresivitasnya Dito Anurogo Indonesian Young Health Professional's Society (IYHPS) www.detik.com Jakarta dan Klinikkita Semarang ABSTRACT ABSTRAKSI Probiotics are live microorganisms which when administered in adequate amounts confer a health benefit on the host. Their beneficial health effects are indubitable. Probiotik adalah mikroorganisme hidup bila diberikan di dalam jumlah yang cukup memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh. Efeknya terhadap kesehatan adalah pasti. The purpose of this scientific article is to review probiotics, including: history, criteria, sources, mechanisms of action, benefits, side-effects, contraindications, and dosages. Tujuan artikel ilmiah ini adalah untuk meninjau probiotik, termasuk: sejarah, kriteria, sumbersumber, mekanisme aksi, manfaat, efek samping, kontraindikasi, dan dosis. Key words: probiotics, sources, benefits, effects. Kata Kunci: probiotik, sumber-sumber, manfaat, efek. I. PENDAHULUAN Probiotik adalah mikroorganisme hidup di dalam bahan makanan dimana saat diambil pada kadar tertentu sebagai nutrisi, menyediakan penyeimbangan (equilibration) flora usus, dan karena itu memiliki efek positif terhadap kesehatan tubuh. Probiotik dipilih dari strains yang paling bermanfaat untuk bakteri usus, yaitu bakteri dari genus Bifidobacterium, Lactobacillus, dan ragi.1 Menurut ILSI International Life Sciences Institute (ILSI) Europe Working Group, probiotik adalah suplemen makanan dari mikroba hidup yang memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan inang (host).2 Menurut WHO dan FAO (2002), mikroorganisme hidup dimana bila diberikan di dalam jumlah yang cukup memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh.3 Dari berbagai definisi ini, probiotik hendaklah tidak diacu sebagai agen biotherapeutic.4 46 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 Technology MEDICAL REVIEW Perlu diketahui pula, bahwa meskipun sering digunakan sebagai sinonim, istilah "probiotik" tidaklah sama dengan "makanan probiotik" (probiotic foods). Makanan probiotik mengandung mikroorganisme probiotik hidup di dalam matrix yang memadai dan konsentrasi yang cukup, sehingga setelah proses pencernaannya, efeknya akan melebihi penyedia zat gizi yang biasanya.5 Mengacu ke berbagai referensi, istilah “probiotics” dapat dianggap bersinonim dengan istilah “probiotic microorganisms” atau “probiotic bacteria”. Di dalam artikel ini, akan dibahas berbagai problematika dan progresivitas (kemajuan) probiotik yang meliputi multiaspek, seperti: sejarah, kriteria, sumber, mekanisme kerja, manfaat, efek samping, kontraindikasi, dosis probiotik yang telah kami review. II. PEMBAHASAN a. Sejarah Probiotik Istilah “probiotics” diciptakan pada tahun 1950-an oleh W. Kollath,6 sedangkan Lilly dan Stillwell pada tahun 1965 menggunakan istilah ini untuk bakteri dan spora hidup sebagai makanan tambahan pada hewan (animal feed supplements) yang membantu membatasi penggunaan antibiotik pada peternakan hewan.7 b. Kriteria Probiotik Tidak semua mikroorganisme dapat digolongkan sebagai probiotik. Kriteria mikroorganisme ideal yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok probiotik adalah:1 gastrointestinal pada pH rendah dan berhubungan dengan empedu. 2). Melekat ke sel-sel epitel usus. 3). Stabil terhadap mikroflora usus. 4). Non-pathogenicity. 5). Bertahan hidup di dalam bahan makanan dan berkemungkinan untuk produksi pharmacopoeia lyophilized preparations. 6). Multiplikasi cepat, baik dengan kolonisasi temporer atau permanen dari traktus gastrointestinal. 7). Memiliki specificity probiotik yang generik. Selain itu, ada berbagai faktor utama untuk dipertimbangkan dan dapat mempengaruhi kemampuan probiotik untuk bertahan hidup di dalam produk-produk makanan atau minuman, diantaranya:8 1. Kondisi fisiologis dari probiotik yang ditambahkan; 2. Kondisi fisik dan kimiawi dari proses makanan; 3. Kondisi fisik dari penyimpanan makanan (misal: suhu); 4. Komposisi kimiawi dari produk (keasaman, kandungan gizi, kelembaban, dan oksigen) 5. Interaksi dengan komponen-komponen produk lainnya (penghambat atau protektif ) Probiotik dapat ditambahkan ke dalam makanan dan minuman dengan berbagai macam cara, seperti:9 a. Campuran kering (dry blended) menjadi makanan dan bubuk (powders) seperti: formula bayi. b. Dijadikan (dispersed) menjadi produk cair atau semiliquid misalnya: jus atau es krim. c. Disuntikkan (inoculated) menjadi produk terfermentasi seperti: yogurt dan susu terfermentasi. 1). Dapat bertahan hidup melalui traktus Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 47 Technology MEDICAL REVIEW c. Sumber Probiotik Berbagai mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai probiotik antara lain:10-14. Bakteri Lactobacillus species, misalnya: L. acidophilus, L. casei, L. crispatus, L. fermentum, L. gasseri, L. johnsonii, L. lactis, L. paracasei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus GG, Lactobacillus delbrueckii sub-species bulgaricus. Bifidobacterium species, misalnya: B. adolescentis, B. animalis, B. bifidum, B. breve, B. infantis, B. lactis, B. longum. Bacillus cereus, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Escherichia coli Nissle, Streptococcus thermophilus. Ragi Saccharomyces boulardii. Kultur probiotik berupa mikroorganisme jamur (fungi) yang telah disetujui dan direkomendasikan oleh State Food and Drug Administration (SFDA) antara lain: Candida utilis, Ganoderma lucidum, Ganoderma sinensis, Ganoderma tsugae, Hirsutella hepiali Chen et Shen, Kluyveromyces lactis, Monacus anka, Monacus purpureus, Paecilomyces hepiali Chen et Dai sp.Nov, Saccharomyces cerevisiae, Saccharomyces carlsbergensis. d. Mekanisme Kerja Probiotik Probiotik memiliki multiperan dan multifungsi. Diantaranya: memiliki aktivitas antimikroba, yaitu: menurunkan pH luminal, mensekresikan peptida antimikroba, menghambat invasi bakteri, menghalangi pelekatan bakteri di sel-sel epitel. Penguatan fungsi barier, berupa: peningkatan produksi mukus dan meninggikan integritas barier. Imunomodulasi, maksudnya probiotik memiliki efek pada sel-sel epitel, sel-sel dendrit, monosit atau makrofag, limfosit (limfosit B, sel-sel Natural Killer, sel-sel T, redistribusi sel T).15 48 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 Technology MEDICAL REVIEW Gambar 1. Mekanisme aksi probiotik yang disederhanakan. Inhibisi bakteri enterik dan peningkatan fungsi barrier oleh bakteri probiotik. Representasi skematis dari crosstalk antara bakteri probiotik dan mukosa intestinal.15 Antimicrobial Lactic acid bacteria (LAB) adalah probiotik yang setelah diobservasi; memproduksi substansi antimicrobial. Substansi anti mikrobial yang diproduksi secara luas adalah asam organik, terutama asam laktat dan asam asetat. Hydrogen peroxide dan carbon dioxide juga secara luas oleh LAB. Jika probiotik LAB secara metabolis aktif selama perjalanan melalui usus (intestine), sangatlah mungkin bahwa beberapa dari substansi ini akan diproduksi. Beberapa indikasi diperlukannya LAB bermula dari observasi bahwa konsumsi strains probiotik tertentu mengurangi pH (keasaman) tinja, kemudian menunjukkan atau menandakan produksi asam-asam organik. Produksi berbagai komponen antimicrobial lainnya; diacetyl, reuterine, pyroglutamic acid, dan bacteriocin, belum tentu dilakukan dalam kondisi in vivo. Bacteriocin diproduksi dan aktif di rongga mulut, bukan di usus.16 Immunemodulation Modulasi respon imun sistemik dan sekretori17 telah dibuktikan pada tikus dan hewan coba (experimental animals) lainnya. Inhibisi translokasi bakteri;18 peningkatan proliferasi pada organ sistem imun (Peyer’s patches, limpa); stimulasi fagosit atau makrofag dan sel-sel NK (natural killer cells);19-21 meningkatnya pelepasan atau pembebasan sitokin (interferon alpha, interferon gamma, dan INF- Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 49 Technology MEDICAL REVIEW alpha); perubahan keseimbangan Th1/Th212 ke arah alergi/atopi,22-24 meningkatkan produksi antibodi spesifik,25-26 dan meningkatkan resistensi dan ketahanan hidup yang memanjang (prolonged survival) selama co-administration virus, toksin, dan bakteri (rotavirus, Klebsiella pneumoniae, Salmonella thyphimurium, Shigella, Vibrio cholerae, Listeria monocytogenes). Efek serupa yang menggunakan parameter imunitas humoral dan selular juga telah terbukti pada manusia. e. Manfaat Probiotik Mikroorganisme probiotik memiliki multimanfaat, diantaranya: 1. Kehadiran S. epidermidis dapat mempengaruhi fungsi barrier kulit dan/atau perkembangan respon imun bawaan di kulit manusia.27 2. Perbaikan signifikan pada perjalanan dermatitis atopik telah dilaporkan pada bayi yang diberi diet eliminasi probiotic-supplemented.28-29 3. Aplikasi topikal Vitreoscilla filiformis bermanfaat pada penderita dermatitis seboroik dan atopic eczema.30-31 4. Perbaikan kondisi penderita diare yang disebabkan oleh antibiotik dan beberapa infeksi. Mengurangi kadar bakteri yang mendukung perkembangan kanker usus. Perbaikan gejala-gejala penderita IBS (inflammatory bowel disease) dan infeksi karena Helicobacter pylori. Mencegah atau mengurangi proses atopik pada anak-anak. Mencegah berbagai penyakit saluran pernafasan. Mengurangi hiperkolesterolemia.32 5. Anak-anak dengan diare akut rotavirus yang diberi Lactobacillus rhamnosus strain GG (LGG) maka respon terhadap IgA, imunoglobulin G, dan imunoglobulin M akan meningkat, sehingga durasi terjadinya simtom gastroenteritis menjadi memendek.33 6. Organisme probiotik memiliki resistensi yang lebih besar terhadap berbagai infeksi usus karena menghambat pertumbuhan bakteri patogen daripada yang bukan probiotik.34 7. Probiotik yang mengandung Bifidobacterium bifidum dan Streptococcus thermophilus diresepkan pada anak dengan diare rotavirus, menghasilkan serokonversi yang lebih cepat di dalam antibodi IgA dan IgM disertai dengan pertumbuhan sel-sel yang memproduksi IgM.35 8. Lactic acid bacteria meningkatkan kadar kelompok vitamin B, dan bakteri di yogurt meningkatkan kadar asam folat, niasin, dan riboflavin hingga 20 kali lipat.36 9. Probiotik mensintesis vitamin K, kelompok vitamin B, asam lemak rantai pendek sitoprotektif, dan poliamin (putrescine, spermine, dan spermidine).37 10. Mikroflora intestinal berperan penting di dalam sirkulasi estrogen pada wanita, memobilisasi ikatan estrogen, dan mengurangi kelebihan hormon-hormon seks.38 11. Memproduksi vitamin larut air, seperti: thiamine, nikotin, asam folat, pridoksin, vitamin B12. Hal ini dilakukan oleh probiotik tertentu seperti: B. bifidum, B. infantis, B. breve, B. adolescentis, B. longum.39 50 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 Technology MEDICAL REVIEW 12. Probiotik menurunkan kadar kolesterol pada kondisi hypercholesterinemic, sedangkan reduksi kadar trigliserid plasma terobservasi pada orang dengan kondisi normolipidemic.40 13. Memproduksi biotin. Hal dilakukan oleh probiotik tertentu seperti: B. adolescentis M101-4, B. bifidum A234-4, B. breve I-53-8, B. infantis I-10-5, B. longum M101-2.41 14. L. acidophilus SBT2062 meningkatkan bioavailability zat besi (iron).42 15. L. reuteri 100-23, L. delbrueckii 100-18, L. fermentum 100-20, L. delbrueckii 100-21, E. faecium, E. faecalis mendekonjugasi garam empedu (asam taurocholic dan asam taurodeoxycholic) melalui mekanisme mengurangi aktivitas garam hydrolase garam empedu di ilea.43 16. Lactobacillus plantarum meningkatkan kadar asam lemak unsaturated omega-3 di dalam bahan makanan.44 17. Yogurt bermanfaat untuk mencerna sebagian laktosa di susu melalui mekanisme meningkatkan aktivitas laktase di susu dan di duodenum serta mengurangi gangguan pencernaan (maldigestion) laktosa.45 18. Beberapa manfaat probiotik lainnya, antara lain: reduksi (mengurangi) konsentrasi enzim pemicu kanker (cancer-promoting enzymes) dan/atau metabolit putrefactive (bacterial) di usus. Mencegah, mengurangi, meringankan keluhan traktus gastrointestinal pada orang sehat yang tidak teratur dan tidak spesifik. Menormalkan (normalization) buang air besar pada penderita obstipasi atau irritable colon. Mencegah terjadinya infeksi traktus respiratorius (misalnya: common cold, influenza) dan berbagai penyakit infeksi lainnya.46 19. Molekul mikroba tunggal dari Bacterial fragillis telah menunjukkan aktivitasnya sebagai pelindung dari penyakit inflamasi yang disebabkan oleh Helicobacter hepaticus, sehingga hal ini mensugesti bahwa molekul antiinflamasi alami dari bacteria microbiota dapat secara aktif meningkatkan kesehatan manusia, dan mungkin berpotensi sebagai terapi untuk gangguan inflamasi pada manusia.47 Inflamasi ini dapat dijelaskan dengan teori dysbiosis. Menurut teori dysbiosis, terdapat gangguan (breakdown) keseimbangan antara spesies putative (diduga berasal dari) bakteri intestinal yang bersifat “protective” versus bakteri intestinal yang bersifat “berbahaya" (harmful) yang memicu terjadinya inflamasi intestinal kronis.48 f. Efek Samping Probiotik Pada beberapa kasus, pneumonia dan endocarditis dilaporkan terjadi karena pengaruh bakteri Lactobacillus. Begitu pula kasus infeksi jamur nonsimtomatis yang disebabkan oleh Saccharomyces boulardii.49,50 g. Kontraindikasi Probiotik Ada kondisi (medis) tertentu dimana probiotik bukan pilihan tepat. Probiotik mengandung mikroorganisme hidup sehingga ada peluang terjadi infeksi patologis, terutama pada penderita Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 51 Technology MEDICAL REVIEW yang kritis atau penderita dengan immunocompromized yang berat.51 Probiotic strains Lactobacillus dilaporkan menyebabkan bacteremia pada pasien dengan short-bowel syndrome.52 Preparat Lactobacillus dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap laktosa atau susu. S. boulardii dikontraindikasikan pada pasien dengan alergi ragi. Pada bifidobacteria, tidak ada kontraindikasi karena sebagian besar spesies ini nonpatogenik dan nontoksigenik.53-56 h. Dosis Probiotik Dosis efektif probiotik dipengaruhi oleh multifaktor, seperti:57 1. Dosis harian (107–1010 cfu); 2. Keberlangsungan hidup (viability); 3. Frekuensi pemberian setiap harinya (1-4 kali/hari); 4. Durasi (lama) pemberian (1 hari hingga beberapa bulan); 5. Waktu mengkonsumsi (sebelum, bersamaan, atau sesudah makan); 6. Tipe probiotik (lactobacilli, bifidobacteria, yeasts, enterococci); 7. Sediaan (berupa: suplemen, makanan terfermentasi, makanan, minuman, kapsul, tablet, atau tepung). Untuk kasus candidiasis vulvovaginal, digunakan Lactobacillus rhamnosus GG (109 bakteri per suppositoria 2 x sehari selama 7 hari).58 L. rhamnosus GR-1 dan Lactobacillus fermentum RC-14 (setidaknya 109 bakteri tersuspensi di susu skim diberikan secara oral 2x sehari selama 14 hari).59 L. acidophilus dengan dosis 8 oz yogurt mengandung > 108 CFU/mL diminum setiap hari selama 6 bulan.60 Untuk pencegahan penyakit atopik, dipakai Lactobacillus rhamnosus GG, dengan dosis 1010 CFU setiap hari selama 2-4 minggu sebelum persalinan berlangsung pada wanita hamil, diikuti dengan pemberian pada bayinya selama 6 bulan.61 Pada kasus atopic eczema, strain Lactobacillus rhamnosus yang tidak hidup (nonviable) tidak efektif untuk mengurangi gejala, sedangkan strain yang hidup (viable) efektif.62,63 Insiden atopic eczema pada bayi berusia dua dan empat tahun yang berisiko menderita atopic eczema berkurang sekitar 50% melalui pemberian L. rhamnosus pada ibunya, satu bulan sebelum melalui enam bulan setelah proses persalinan atau kelahiran (bayi), atau langsung ke bayinya sendiri.64-66 Riset lain menunjukkan beberapa bukti bahwa penambahan probiotik seperti Lactobacillus bermanfaat untuk kasus atopic eczema pada mereka yang menjalani diet cows’-milk-whey-hydrolysate.67,68 52 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 Technology MEDICAL REVIEW Terapi dengan probiotik (jenis Lactobacillus GG) tidak bermanfaat pada semua bayi dengan atopic eczema/dermatitis syndrome (AEDS). Lactobacillus GG hanya bermanfaat meringankan gejala AEDS bayi yang tersensitisasi IgE, namun bukan bayi yang tidak tersensitisasi IgE. Efek lactobacilli terlihat 4 minggu setelah periode terapi, tidak segera setelah terapi. Riset lain menunjukkan pada anak dengan AEDS menunjukkan Lactobacillus GG meningkatkan konsentrasi IL-10 di sera 4 minggu setelah terapi.69,70 Pada kasus acne, suplemen oral yang mengandung L. acidophilus dan B. bifidum (250 mg) efektif sebagai adjuvant.71 Pilihan lain yaitu suplementasi tablet Laxtinex yang mengandung campuran L. acidophilus dan L. bulgaricus selama 8 hari, diikuti 2 minggu membersihkan wajah (wash out) lalu dikonsumsi lagi selama 8 hari.72 Konsumsi minuman probiotik yang mengandung Lactobacillus dan lactoferrin (protein susu antiradang) efektif mengurangi lesi inflamasi dan produksi sebum. Mekanisme kerjanya dengan membebaskan inflammatory cytokine di dalam kulit dan mengurangi interleukin-1 alpha.73 Dosis probiotik bervariasi tergantung produk dan indikasi penyakit. Memang belum ada konsensus atau guideline yang pasti tentang jumlah minimum organisme yang harus dikonsumsi untuk mendapatkan khasiat yang maksimal dan optimal.74,75 III. KESIMPULAN Probiotik adalah mikroorganisme hidup di dalam bahan (suplemen) makanan dimana saat diambil pada kadar tertentu sebagai nutrisi, menyediakan penyeimbangan flora usus, dan karena itu berefek positif terhadap kesehatan, bila diberikan di dalam jumlah yang cukup. Istilah “probiotics” diciptakan pada tahun 1950-an oleh W. Kollath. Hanya mikroorganisme yang memenuhi kriteria sebagai mikroorganisme ideal yang termasuk kelompok probiotik. Probiotik dapat ditambahkan ke dalam makanan dan minuman dengan teknik tertentu. Berbagai mikroorganisme sebagai sumber probiotik adalah berasal dari bakteri Lactobacillus species, Bifidobacterium species, ragi Saccharomyces boulardii, dan jamur. Probiotik memiliki multiperan, multifungsi, dan multimanfaat, misalnya: antimikroba, imunmodulasi. Meskipun aman, namun ada beberapa efek samping dan kontraindikasi pemakaian probiotik yang perlu diwaspadai. Adapun dosis efektif probiotik dipengaruhi oleh multifaktor. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 53 daftar pustaka 1. Tomasik PJ, Tomasik P. Probiotics and Prebiotics. Cereal Chem 2003;80(2):113-117. 2. Salminen S, Bouley MC, Boutron-Rualt MC, et al. Functional food science and gastrointestinal physiology and function. Br. J. Nutr. 1998; 80 (Suppl. 1): 147–171. 3. FAO, UN, WHO. Guidelines for the evaluation of probiotics in food: report of a Joint FAO/ WHO Working Group. London, Ontario, Canada: Food and Agriculture Organization of the United Nations and World Health Organization; 2002. 4. McFarland LV, Elmer GW. Biotherapeutic agents: past, present and future. Microecol. Ther. 1995;23:46–73. 5. Probiotische Mikroorganismenkulturen in Lebensmitteln. Abschlussbericht der Arbeitsgruppe “Probiotische Mikroorganismen in Lebensmitteln” am Bundesinstitut für gesundheitlichen Verbraucherschutz und Veterinärmedizin (BgVV), Berlin. In: ErnährungsUmschau 2000;47:191–195. 6. Kollath W. The increase of the diseases of civilization and their prevention. Münch Med Wochenschr 1953;95:1260–1262. 7. Lilly DM, Stillwell RH. Probiotics growth promoting factors produced by micro-organisms. Science 1965;147:747–748. 8. Crittenden R. Incorporating Probiotics into Foods. In: Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009;Chapter 1.6:p.61. 9. Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009; Chapter 1.6.1:p.60. 10.Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58. 11.Senok AC, Ismaeel AY, Botta GA. Probiotics: facts and myths. Clin Microbiol Infect. 2005;11:958-66. 12.Santosa S, Farnworth E, Jones PJ. Probiotics and their potential health claims. Nutr Rev. 2006;64:265-74. 13.Doron S, Gorbach SL. Probiotics: their role in the treatment and prevention of disease. Expert Rev Anti Infect Ther. 2006;4:261-75. 14.Regulation on Registration and Review of Probiotic Health Foods, 2005; Ministry of Health, PRC. Available at: http://www.sfda.gov.cn/cmsweb/webportal/W945325/ A64003018_1.html. 15.Ng SC, Hart AL, Kamm MA, Stagg AJ, Knight SC. Mechanisms of Action of Probiotics: Recent Advances. Inflamm Bowel Dis 2009;15:300-310. 16.Ouwehand AC, Kirjavainen PV, Shortt C, Salminen S. Probiotics: mechanisms and established effects. International Dairy Journal 9 (1999);9:43-52. 17.Rechkemmer G, Holzapfel W, Haberer P, Wollowski I, Pool-Zobel BL, Watzl B. Beeinflussung der Darmflora durch Ernährung. In: Deutsche Gesellschaft für Ernährung. Ernährungsbericht 2000. Druckerei Heinrich, Frankfurt am Main, Germany, 2000;259–286. 18.Yamazaki S, Tsuyuki S, Akashiba H, Kamimura H, Kimura M, Kawashima T, Ueda K. Immune response of Bifidobacterium-monoassociated mice. Bifidobact Microflora 1991;10:19–31. 19.Gill SH, Rutherford J, Cross L, Gopal PK Enhancement of immunity in the elderly by dietary supplementation with the probiotic Bifidobacterium lactis HNO 19. Am J Clin Nutr 54 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 74:833–839. 20.Jahreis G, Vogelsang H, Kiessling G, Schubert R, Bunte C, Hammes WP. Influence of probiotic saucage (Lactobacillus paracasei) on blood lipids and immunological parameters of healthy volunteers. Food Res Int 2002;35:133–138. 21.Kitazawa H, Ino T, Kawai Y, Itoh T, Saito T (2002) A novel immunostimulating aspect of Lactobacillus gasseri: induction of “Gasserokine” as chemoattractants for macrophages. Int J Food Microbiol 25:29–38. 22.Cross ML, Mortensen RR, Kudsk J, Gill HS. Dietary intake of Lactobacillus rhamnosus HN001 enhances production of both Th1 and Th2 cytokines in antigenprimed mice. Med Microbiol Immunol (Berl) 2002;191:49–53. 23.Pochard P, Gosset P, Grangette C, et al Lactic acid bacteria inhibit TH2 cytokine production by mononuclear cells from allergic patients. J Allergy Clin Immunol 2002;110:617–623. 24.De Vrese M, Ghadimi D, Winkler P, Schrezenmeir J. Antiallergenes Potenzial von Milchsäure-produzierenden Bakterien. Vorträge zur Hochschultagung 2006 der Agrar- und Ernährungswissenschaftlichen Fakultät der CAU Kiel 2006;108:205–214. 25.De Vrese M, Rautenberg P, Laue C, Koopmans M, Herreman T, Schrezenmeir J. Probiotic bacteria stimulate virus-specific neutralizing antibodies following a booster polio vaccination. Eur J Nutr 2005;44:406–413. 26.Fukushima Y, Kawata Y, Hara H, Terada A, Mitsuoka T. Effect of a probiotic formula on intestinal immunoglobulin A production in healthy children. Int J Food Microbiol 1998;42:39–44. 27.de Jongh GJ, Zeuwen PL, Kucharekova M, et al. High expression levels of keratinocyte antimicrobial proteins in psoriasis compared with atopic dermatitis. J Invest Dermatol 2005;125:1163-73. 28.Viljnen M, Savilahti E, Haahtela. et.al. Probiotics in the treatment of atopic eczema/ dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebo controlled trial. Allergy 2005;60:494-500. 29.Weston S, Halbert A, Rihmond P, Prescott SL. Effects of prebiotics on atopic dermatitis: a randomized controlled trial. Arch Dis Child 2005;90:892-7. 30.Gueniche A, Cathelineau AC, Bastien P, et al. Vitreoscilla filiformis biomass improves seborrheic dermatitis. JEADV 2007;17:1468-9. 31.Gueniche A, Hennino A, Goujon C, et al. Improvement of atopic dermatitis skin symptoms by Vitreoscilla filiformis bacterial extract. EJD 2006;16:380-4. 32.Rolfe VE, Fortun PJ, Hawkey CJ, Bath-Hextall F. Probioticos para el mantenimiento de la remision en la enfermedad de Crohn (Cochrane Review, translated). In: La Biblioteca Cochrane Plus, number 4, 2007. Oxford, Update Software Ltd. Available at: http://www.update-software.com (translated from the Cochrane Library, 2007 Issue 4. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.). 33.Kaila M, Isolauri E, Soppi E, et.al. Enhancement of the circulating antibody secreting cell response in human diarrhea by a human Lactobacillus strain. Pediatr Res. 1992;32:141-4. 34.Gibson GR, Saavedra JM, MacFarlane S. 1997. Probiotics and intestinal infections. Pages 10-39 in: Probiotics: Therapeutic and Other Beneficial Effects. R. Fuller, ed. Chapman & Hall: London. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 55 35.Saavedra JM, Abi-Hanna A, Moore N. Effect of long term consumption of infant formulas with bifidobacteria (B) and S. thermophilus (ST) on stool patterns and diaper rash in infants. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1998;27:483. 36.Deeth H, Tomine A. Yogurt: Nutritive and therapeutic aspects. J. Food Protec. 1981;44:7886. 37.Buts JP, de Keyser N, de Raedemaeker L. Saccharomyces boulardii enhances rat intestinal enzyme expression by endoluminal release of polyamines. Pediatr. Res. 1994;36:522-527. 38.Gorbach SL. Estrogens, breast cancer, and intestinal flora. Rev. Infect. Dis. 1984;6(Suppl. 1):S85-90. 39.Deguchi Y, Morishita T, and Mutai M. Comparative studies on synthesis of water-soluble vitamins among human species of Bifidobacteria.Agric.Biol. Chem. 1985;49:13–19. 40.Noda H, Akasaka N, and Ohsug M. Biotin production by Bifidobacteria. J. Nutr. Sci.Vitaminol.1994;40:181–188. 41.Oda T, Kado-oka Y, and Hashiba H. Effect of Lactobacillus acidophilus on iron bioavailability in rats. J. Nutr. Sci. Vitaminol.1994;40:613–616. 42.TannockGW, Dashkevicz MP, and Feighner SD. Lactobacilli and bile salt hydrolase in the murine intestinal tract. Appl. Environ. Microbiol. 1989;55:1848–1851. 43.De Vres M, Stegelmann A, Richter B, Fenselau S, Laue C, and Schrezenmeir J. Probiotics compensation for lactase insufficiency. Am. J. Clin. Nutr. 2001; 73 (Suppl.):421S–429S. 44.Bengmark S. Immunnutrition: Role of biosurfactants, fiber, and probiotic bacteria. Nutrition 1998;14:585-594. 45.Rogasi P, Vigano S, Pecile P, Leoncini F. Lactobacillus casei pneumonia and sepsis in patient with AIDS. Case report and review of the literature. Ann Ital Med Int 1998;13:180182. 46.de Vrese M, Schrezenmeir J. Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics. Adv Biochem Engin/ Biotechnol 2008;111:1–66. 47.Mazmanian SK, Round JL, Kasper DL. A microbial symbiosis factor prevents intestinal inflammatory disease. Nature.2008;453:620–625. 48.Tamboli CP, Neut C, Desreumaux P, et al. Dysbiosis in inflammatory bowel disease. Gut.2004;53:1–4. 49.Zunic P, Lacotte J, Pegoix M, Buteux G, Leroy G, Mosquet B, Moulin M. Fongemie a Saccharomyces boulardii. Therapie 1991;45:497-501. 50.Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58. 51.Kligler B, Cohrssen A. Probiotics. Am Fam Physician. 2008;78:1073-8. 52.Natural Medicines Comprehensive Database. Bifidobacteria monograph. www.naturaldatabase.com. (accessed 2009 Mar 23). 53.Natural Medicines Comprehensive Database. Saccharomyces boulardii monograph. www.naturaldatabase.com. (accessed 2009 Mar 23). 54.Drugdex System. Lactobacillus monograph. Greenwood Village, CO: Thomson Micromedex (accessed 2009 Mar 23). 55.Drugdex System. Saccharomyces boulardii monograph. Greenwood Village, CO: Thomson Micromedex (accessed 2009 Mar 23). 56.Lee KY. Effective Dosage for Probiotic Effects. In: Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009;Chapter 1.5:p.52. 56 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 57.Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58. 58.Reid G, Bruce AW, Fraser N et.al. Oral probiotics can resolve urogenital infections. FEMS Immunol Med Microbiol. 2001;30:49-52. 59.Hilton E, Isenberg HD, Alperstein P et al. Ingestion of yogurt containing Lactobacillus acidophilus as prophylaxis for candidal vaginitis. Ann Intern Med. 1992;116:353-7. 60.Kalliomaki M, Salminen S, Arvilommi H, et al. Probiotics in primary prevention of atopic disease: a randomised placebo-controlled trial. Lancet. 2001;357:1076-9. 61.Kirjavainen PV, Salminen SJ, and Isolauri E. Probiotic bacteria in the management of atopic disease underscoring the importance of viability. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr.2003; 36: 223–227. 62.Isolauri E, Arvola T, Sutas Y, Moilanen E, and Salminen S. Probiotics in the management of atopic eczema. Clin. Exp. Allergy 2000; 30(11): 1604–1610. 63.Viljanen M, Savilahti E, Haahtela T, et al. Probiotics in the treatment of atopic eczema/dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebo-controlled trial. Allergy 2005;60:494–500. 64.Rautava S, Kalliomaki M, Isolauri E. Probiotics during pregnancy and breastfeeding might confer immunomodulatory protection against atopic disease in the infant. J Allergy Clin Immunol 2002;109:119–121. 65.Kalliomaki M, Salminen S, Poussa T, Arvilommi H, Isolauri E. Probiotics and prevention of atopic disease: 4-year follow-up of a randomised placebo-controlled trial. Lancet 2003;361:1869–1871. 66.Kalliomäki M, Salminen S, Arvilommi H, Kero P, Koskinen P, Isolauri E. Probiotics in primary prevention of atopic disease: a randomised placebo-controlled trial. Lancet 2001;357:1076–1079. 67.Williams H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L, Rzany B (Ed.). Evidencebased dermatology. BMJ Publishing Group. London. 2003:184. 68.Charman C. Atopic eczema. In: Godlee F, ed. Clinical Evidence. London: BMJ Publishing Group, 2001. 69.Pessi T, Sutas Y, Hurme M, Isolauri E. Interleukin-10 generation in atopic children following oral Lactobacillus rhamnosus GG. Clin Exp Allergy 2000;30:1804–1808. 70.Marchetti F, Capizzi R, Tulli A. Efficacy of regulators of the intestinal bacterial flora in the therapy of acne vulgaris. Clin Ter 1987;122:339-43. 71.Bowe WP, Logan AC. Acne vulgaris, probiotics and the gut-brain-skin axis- back to the future? Gut Pathogens 2011;3:1. 72.Kim J, Ko Y, Park YK, Kim NI, Ha WK, Cho Y. Dietary effects of lactoferrin-enriched fermented milk on skin surface lipid and clinical improvement of acne vulgaris. Nutrition 2010;26:902-9. 73.Cazzola M. Tompkins TA, Matera MG. Immunomodulatory impact of a symbiotic in T(h)1 and T(h)2 models of infection. Ther Adv Respir Dis 2010;4:259-70. 74.Farnworth ER. The evidence support health claims for probiotics. J Nutr. 2008;138(suppl):1250S-4S. 75.Hilton E, Rindos P, Isenberg HD. Lactobacillus GG vaginal suppositories and vaginitis. J Clin Microbiol. 1995;33:1433. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 57 PATIENt COMPLIaNCE Cegah Stroke Berulang Dengan Teratur Minum Obat Setiap bulan Oktober, tepatnya tanggal 29 Oktober diperingati sebagai hari stroke sedunia. Sebagai penyebab kecacatan serius menetap no. 1 di seluruh dunia, prevalensi stroke di dunia sangat tinggi, yakni 1 dari 6 orang di dunia menderita stroke dimana setiap 6 detik satu orang meninggal karena stroke. WHO memprediksi bahwa kematian akibat stroke akan meningkat seiring dengan kematian akibat penyakit jantung dan kanker yang menunjukkan angka 6 juta kematian pada tahun 2010, menjadi 8 juta kematian di tahun 2030. Di Amerika Serikat tercatat 6,4 juta orang menderita stroke dan setiap tahun sekitar 185.000 orang mengalami stroke berulang. Biaya yang dikeluarkan terkait penyakit ini pun sangat tinggi. Tahun 2010, Amerika telah menghabiskan $ 73,7 juta untuk membiayai tanggungan medis dan rehabilitasi akibat stroke. Di Indonesia, masalah stroke semakin penting dan mendesak karena kini jumlah penderita stroke di Indonesia terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia. Para ahli epidemiologi meramalkan bahwa saat ini dan masa yang akan datang sekitar 12 juta penduduk Indonesia yang berumur di atas 35 tahun mempunyai potensi terkena serangan stroke. Oleh karena itu, upaya yang komprehensif untuk mengendalikan faktor risiko stroke di masyarakat perlu digalakkan di Indonesia, untuk menurunkan angka kejadian stroke khususnya pada individu yang produktif. Stroke merupakan suatu kondisi ketika pasokan darah ke otak berkurang sehingga mengurangi oksigen dan nutrisi untuk sel-sel otak. Jika tidak segera ditangani, maka dalam hitungan menit, sel-sel otak akan mati. Kondisi tersebut bisa disebabkan penyumbatan pembuluh darah (disebut stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik). STROKE BISA BERULANG Seseorang yang pernah terserang stroke, ada risiko untuk terkena serangan berikutnya jika tidak dijaga dengan baik. Hal ini dijuga diperparah jika ada penyakit penyerta lain yang bisa berkontribusi meningkatkan faktor risiko, seperti hipertensi, kolesterol atau diabetes. Faktor lain yang tidak kalah penting dapat menyebabkan stroke berulang adalah ketidakpatuhan pasien dalam minum obat. Seringkali pasien kehilangan kepatuhan minum obat ketika merasa sehat tanpa ada keluhan, padahal kelalaian minum obat inilah yang berisiko menimbulkan kekambuhan. Setidaknya sekitar 1 dari 4 pasien (25%) yang menderita stroke akan berhenti minum obat, 3 bulan pertama setelah dirawat di rumah sakit. Periode 3 bulan ini adalah waktu dengan risiko tertinggi seorang pasien stroke dapat terkena serangan yang kedua. Oleh karena itu, pasien stroke harus minum obat dengan teratur untuk mencegah serangan stroke kedua dan selanjutnya. KETIDAKPATUHAN PASIEN DALAM MINUM OBAT Setelah serangan yang pertama teratasi, seorang pasien stroke umumnya perlu menjalani pengobatan seumur hidup. Walaupun dokter sudah meresepkan obat yang tepat kepada seorang pasien stroke, tetapi keberhasilan pengobatan sangat didukung oleh kepatuhan pasien untuk menebus resep baru yang diberikan maupun resep selanjutnya tepat waktu (adherence) dan kepatuhan 58 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014 PATIENt Technology COMPLIaNCE pasien dalam minum obat sesuai anjuran dokter (compliance). Ada banyak alasan kenapa pasien tidak patuh dalam minum obat. Beberapa faktor yang umumnya menyebabkan pasien tidak patuh minum obat antara lain: 1. Faktor terkait dengan keadaan sosial/ekonomi: umur, ras, status ekonomi dan biaya pengobatan. 2. Faktor pasien: kondisi pasien yang pelupa, tidak memahami aturan pakai obat, merasa takut tergantung dengan obat yang digunakan. 3. Faktor obat: obat digunakan dalam jangka waktu lama, jenis obat yang diberikan sangat banyak, dan timbulnya efek samping obat yang tidak diinginkan. MENINGKATKAN KEPATUHAN PENGOBATAN PASIEN STROKE Obat-obat untuk mencegah berulangnya serangan stroke (terapi pemeliharaan) harus diminum secara teratur. Obat-obat yang digunakan antara lain obat pengencer darah, obat penurun tekanan darah dan penurun kolesterol. Selain obat-obat pengencer darah, semua kondisi yang meningkatkan risiko kekambuhan juga harus dijaga, terutama tekanan darah. Umumnya pasien harus mengonsumi obat-obat anti hipertensi dalam waktu lama. Jika pasien juga terkena diabetes atau kolesterol, tentu harus dikontrol dengan obat-obat antidiabetes atau antikolesterol. Kadar gula yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan darah menjadi lebih kental. Hal ini berisiko untuk menyebabkan sumbatan pembuluh darah, apalagi jika faktor-faktor lain tidak terjaga. Begitu juga dengan kadar kolesterol yang tinggi dapat menimbulkan sumbatan/plak pada pembuluh darah. Obat-obat yang umumnya digunakan oleh pasien stroke: KELAS OBAT CARA KERJA OBAT Antiplatelet (aspirin, clopidogrel, ticlopidine, dipyridamole, ciloztazol) Mencegah terbentuknya gumpalan keping darah Antihipertensi (labetolol, nicardipine, captopril, sodium nitropruside, dll Menurunkan tekanan darah Antikolesterol (golongan statin) Menurunkan kolesterol Neuroprotektor (citicoline) Memulihkan metabolisme otak Obat-obat tersebut harus digunakan secara teratur, walaupun tidak ada serangan atau tidak ada keluhan apa-apa. Seorang pasien yang pernah mengalami serangan stroke perlu meningkatkan kepedulian dan kepatuhan minum obat. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 59 PATIENt COMPLIaNCE Technology Beberapa hal yang dapat dilakukan agar dapat membantu pasien untuk patuh minum obat antara lain: • Bertanya secara aktif kepada dokter atau apoteker yang merawat mengenai obat-obatan yang digunakan. • Jika biaya menjadi salah satu faktor yang menghambat untuk menebus resep, maka disarankan untuk menginformasikan kepada dokter agar diresepkan obat-obat generik. • Meminum obat sesuai aturan pakai dari dokter. • Untuk memudahkan mengingat kapan harus minum obat dapat dilakukan dengan memasang alarm pengingat pada handphone atau dengan menyiapkan pill box (kotak untuk menyimpan obat secara harian atau mingguan). • Beritahukan kepada keluarga atau orang terdekat untuk membantu mengingatkan kapan minum obat. Pasien yang terkena serangan stroke ada kalanya mengalami kesulitan dan keterbatasan saat melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, dukungan dari keluarga dan lingkungan sangat penting dalam keberhasilan terapi dan peningkatan kualitas hidup pasien. Berbagai faktor yang harus diperhatikan oleh pasien pasca stroke untuk mencegah kekambuhan stroke antara lain: • Menghentikan konsumsi alkohol, rokok. • Mengurangi obesitas dengan menurunkan berat badan sesuai berat badan ideal. • Jika mempunyai penyakit diabetes, harus mengonsumsi obat diabetes secara teratur dan menjaga pola makan. • Jika mempunyai penyakit hipertensi, harus mengonsumsi obat-obat hipertensi dengan teratur sehingga dapat menjaga tekanan darah tetap stabil. • Jika mempunyai penyakit kolesterol tinggi, harus mengonsumsi obat-obat penurun kolesterol secara teratur dan mengurangi makan makanan yang berkolesterol tinggi. • Teratur berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat kaya nutrisi. • Rutin memeriksakan diri ke dokter. • Cegah kondisi stres. Pengetahuan tentang kepatuhan minum obat dalam jangka panjang merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya stroke berulang. Sehingga dibutuhkan kesadaran pasien dan peran keluarga yang sangat menentukan perbaikan kualitas hidup pasien pasca stroke. (ANA-MTA) daftar pustaka 1. Mengenali jenis-jenis stroke. Available on: www. medicastore.com/stroke/Mengenali_Jenis_Stroke. php 2. Stroke the silent killer. Available on: http://medicastore.com/stroke.html 3. Pengetahuan sekilas tentang stroke. Available on: http://www.yastroki.or.id/read.php?id=340 4. 25% of stroke patients stop taking prevention medication within 3 months. Available on: http://www. news-medical.net/news/20100812/2525-of-strokepatients-stop-taking-prevention-medication-within-3-motnhs.aspx 60 MEDICINUS 5. Medication adherence and compliance. National Stroke Association. Available on: http://www.stroke. org/site/DocServer/NSA_Med_AdherenceBooklet. pdf?docID=9121 6. Terapi penyakit stroke dan pengobatannya. Available on: http://terapipenyakitstroke.com/ 7. Stroke. Available on: http://www.mayoclinic.com/ health/stroke/DS00150 8. Arif H, et al. 2007. Drug compliance after stroke and myocardial infarction: A comparative study. Available at: http://www.neurologyindia.com/article. asp?issn=0028-3886;year=2007;volume=55;issue= 2;spage=130;epage=135;aulast=Arif Vol. 27, No.3, Desember 2014 Thanks to reviewer Prof. Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S. Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 61 62 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014