Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 1

advertisement
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
1
BOARD OF EDITORIAL
Chief Editor: Dr. Raymond R. Tjandrawinata,
MBA, PhD, FRSC
contents
1 CONTENTS
3 Instruction for Authors
Executive Editor: dr. Ratna Kumalasari.
Editorial Staff: Liana W Susanto, M biomed.,
dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini Hendri, Puji
Rahayu, S. Farm, Apt., Anggie Karunia S.
Kristyanti, S.Farm, MM, Apt., Taufik Akbar
S.Farm, Apt., Kosmas Nurhadi Indrawan,
S.Farm, Apt., Ana Widyaningsih S.Farm, Apt.,
Natalia Ni Putu Olivia Paramita S.D, S.Farm,
Apt., Lolitha Henrietta Latuputty, S.Farm, Apt.,
Indra Manenda Rossi, S.Sos.
Peer Review: Prof. Arini Setiawati, Ph.D,
Jan Sudir Purba, M.D, Ph.D, Prof. Dr. Med.
Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
Editorial Office: Titan Center, Lantai 5, Jalan
Boulevard Bintaro B7/B1 No. 05, Bintaro Jaya
Sektor 7, Tangerang 15224, Indonesia, Tel.
+62 21 7454 111, Fax. +62 21 7453111,
Email: [email protected],
Website: www.dexa-medica.com
http://cme.medicinus.co/
LEADING ARTICLE
1 Ensefalopati Hepatik
Apa, Mengapa dan Bagaimana?
9 Hipertensi Krisis
ORIGINAL ARTICLE (RESEARCH)
18 Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan
Hasil Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr.
R.D. Kandou Manado
27 Perbandingan Kejadian Stroke Hemoragik Pada
Isolated Systolic Hypertension Dengan Non Isolated
Systolic Hypertension
ORIGINAL ARTICLE (CASE REPORT)
35 Acute Limb Ischemic
MEDICAL REVIEW
40 Pemilihan Antibiotik yang Rasional
Probiotik: Problematika dan Progresivitasnya
PATIENT COMPLIANCE
58 Cegah Stroke Berulang dengan
Teratur Minum Obat
Contribution
Medicinus Editors accept participation in
form of writings, photographs and other
materials in accordance with the mission of
this journal. Editors reserve the right to edit
or modify the writings, particulary redactionally without changing the content of the
published articles, if necessary.
2
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Leading article
Ensefalopati Hepatik:
Apa, Mengapa dan Bagaimana?
Irsan Hasan, Abirianty P. Araminta
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo
PENDAHULUAN
Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini
memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan
dalam diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tata laksana, serta pencegahan enefalopati hepatik menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan ensefalopati hepatik
yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada tahun 2014.1
APA ITU ENSEFALOPATI HEPATIK?
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati
akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada
otak yang mendasarinya.2 Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti
karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis.3 Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar
63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%.5
Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati.6
EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan
dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur
pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati.7,8 Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan
EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau
elektrofisiologi,9,11 sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat
dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala
neurologis yang kian memberat).2,9-11
PATOFISIOLOGI ENSEFALOPATI HEPATIK
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun
kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
1
leading article
ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi
(pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol.
Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.8
Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak.7 Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting
dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.7,12 Beberapa studi lain juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Patofisiologi ensefalopati hepatik12
Seperti yang digambarkan pada gambar 2, amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram
negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium.12 Enzim urease bakteri akan memecah
urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar
melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat
dan amonia.12,13 Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis,
amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama dalam
metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.12 Ginjal
berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa
tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi
glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam
bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi
oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan urea melalui
urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi
perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.
2
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
leading article
Gambar 2. Metabolisme amonia oleh berbagai organ dalam tubuh14
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena
porta untuk proses detoksifiaksi. Metabolisme
oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel
hati periportal yang memetabolisme amonia
menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan
sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan digabungkan kembali menjadi
glutamin.8,12 Pada keadaan sirosis, penurunan
massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati
ditambah adanya shunting portosistemik yang
membawa darah yang mengandung amonia
masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.15
Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya
permebialitas sawar darah otak untuk amonia
pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas
amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi
melakukan metabolisme amonia melalui kerja
enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis
yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema
serebri, dimana glutamin merupakan molekul
osmotik sehingga menyebabkan pembeng-
Vol. 27, No.3, Desember 2014
kakan astrosit. Amonia secara langsung juga
merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada
astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondria
dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria.
Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan
aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang
bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas
sitokin dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.16
BAGAIMANAKAH GEJALA DAN CARA
MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK?
Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis dan psikiatrik
nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan,
EH memperlihatkan gangguan pada tes psikometrik terkait dengan atensi, memori jangka
pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan
berjalannya penyakit, pasien EH mulai memperlihatkan perubahan tingkah laku dan kepriba-
MEDICINUS
3
leading article
dian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang
nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut
dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.17
Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi
grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH
overt, seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven18
Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini dalam
menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A dan NCT-B, maupun Critical Flicker Frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH. Namun,
pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara merata di Indonesia. Oleh karena
itu, para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta keluarganya mengenai
tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur, penurunan aktivitas sehari-hari pasien
hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan
radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi
pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak. Elektroensefalografi akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan
EH.2,8 Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan
kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien
dengan EH.18 Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia
mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3
menunjukkan alur diagnosis pasien dengan kecurigaan EH.
TERAPI TERKINI ENSEFALOPATI HEPATIK
Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar penatalaksanaan EH adalah:
identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan
perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.
Tatalaksana Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan
sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor
tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu
dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum luas diindikasikan
pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ
lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi
4
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
leading article
EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan
dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat.12,19
Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara
aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan. Tabel 2 memperlihatkan pembagian faktor presipitasi
dengan EH yang ditimbulkan.
Tatalaksana Farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya.
- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.7 Sifatnya yang laksatif menyebabkan
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
5
leading article
penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake
glutamin.12,18,20 Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain
yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen
pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+).
Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.
Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik.12 Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes
psikometri pada pasien dengan EH minimal.
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek
samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan
laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.18
- Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.7,12,18 Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.12 Antibiotik yang
menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.13,23 Dosis yang
diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.12,21 Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan antibiotik lainnya.12
- L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia
di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi
edema serebri pada pasien dengan EH.
LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan α-ketoglutarate
menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT),
berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin
dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia
kembali.
Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH
menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien
EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.18 Beberapa penelitian RCT (Kirchets dkk,
1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada.22,23 Studi metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009 dan
Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH
dengan menurunkan konsentrasi amonia serum.24,25
6
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
leading article
- Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi
diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan berperan penting
dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan
oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora
usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk
bakteri patogenik usus dan meningkatkan
produk akhir fermentasi yang berguna untuk
bakteri baik.26,27
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Liu, et al., melakukan studi terhadap feses
pasien EH minimal dan menemukan pemberian suplementasi sinbiotik (serat dan probiotik)
berhubungan dengan menurunnya jumlah bakteri patogenik Escherichia coli, Fusobacterium,
dan Staphylococcus dengan peningkatan pada
Lactobacillus penghasil nonurease.28 Penelitian
metaanalisis dari 9 laporan penelitian menunjukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH.29 Meskipun
demikian, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan dalam penggunaan probiotik pada tatalaksana dan prevesi sekunder EH overt.30
MEDICINUS
7
leading article
TERAPI POTENSIAL LAINNYA
Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain ammonia scavenger, activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger (natrium benzoat, natrium fenilasetat,
natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi penuh. Obat ini
diberikan secara intravena dan baru digunakan pada pasien dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia, namun belum disetujui untuk digunakan pada pasien EH. Activated charcoal bekerja
menyerap molekul kecil, diantaranya amonia, lipopolisakarida dan sitokin. AST-120, karbon berbentuk sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien dengan EH. Pada pilot study terlihat bahwa AST-120 memiliki efikasi yang sama dengan laktulosa namun dengan efek samping yang lebih
sedikit.12 L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan kadar amonia dengan berfungsi sebagai substrat pebentukan glutamin dari amonia pada otot rangka.8
PENUTUP
Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan
sirosis hati. Tatalaksana optimal EH akan memperpanjang survival dan memperbaiki kualitas hidup
pasien sirosis. Prinsip tatalaksana EH adalah mengidentifikasi dan mengatasi pencetus serta terapi
medikamentosa.
daftar pustaka
1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al.
Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia
2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014.
2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic
encephalopathy—Definition, nomenclature, diagnosis, and quantification: Final report of the Working Party at the 11th World Congresses of
Gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology. 2002;35(3):716-21.
3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, et
al. The prognostic significance of subclinical hepatic encephalopathy. Am J
Gastroenterol. 2000;95(8):2029-34.
4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009: KOPAPDI; 2009.
5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta:
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2009.
6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy:
Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol.
2010;6(7):1-16.
7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An overview. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63.
8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirrhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605.
9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of Minimal
Hepatic Encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004;19(3-4):253-67.
10.Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF, Schalm
SW. Screening of subclinical hepatic encephalopathy. J Hepatol.
2000;32(5):748-53.
11.Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The diagnosis of
subclinical hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis using neuropsychological tests and automated electroencephalogram analysis.
Hepatology. 1996;24(3):556-60.
12.Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management
of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33.
13.Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et al.
Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological
features. World J Hepatol. 2012;4(3):50-65.
14.Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver Dis.
2008;28(1):70-80.
15.Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on inter-organ trafficking of ammonia: implications for the treatment of hepatic encephalopathy. J Gastroenterol Hepatol. 2004;19:S219-223.
8
MEDICINUS
16.Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in the
mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis. 2009;24(1):10317.
17.Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. Hepatic
encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by the
European Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. J Hepatol (2014), http://dx.doi.
org/10.1016/j.hep.2014.05.042
18.Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7.
19.Córdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepatol.54(5):1030-40.
20.Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent
advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13.
21.Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int
J Hepatol. 2011;2011.
22.Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M, Gortelmeyer R, et al.
Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-aspartate infusions in patients with
cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a placebo-controlled,
double-blind study. Hepatology. 1997;25(6):1351-60.
23.Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-ornithineL-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the
College of Physicians and Surgenons--Pakistan:JCPSP. 2008;18(11):684-7.
24.Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P. l-Ornithine-l-aspartate in the
management of hepatic encephalopathy: A meta-analysis. J Gastroenterol Hepatol. 2009;24(1):9-14.
25.Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate for hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis: A meta-analysis of randomized
controlled trials. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):783-92.
26.Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses
2003;61:307-13.
27.Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics, prebiotics
and probiotics in the treatment for hepatic encephalopathy. Med Hypotheses 2005;64:64-8.
28.Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora: Effect on
minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology
2004;39:1441-9.
29.Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the effects of gut
flora modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on minimal
hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33(6):662-71.
30.Sharma V, Garg S, S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J. 2013;17(4):62-7.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Leading article
Hipertensi Krisis
Asnelia Devicaesaria
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo
PENDAHULUAN
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering dijumpai
di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan
sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah
tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis. Data di
Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada penduduk berusia
20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30%
diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target. Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi
krisis.
Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun
hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7.
DEFINISI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi yang
paing sering dipakai adalah:
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam
satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan
organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
9
leading article
Dikenal beberapa istilah yang
berkaitan dengan hipertensi krisis
antara lain:
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak
memuaskan dan tekanan darah >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
ningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah
yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel
dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan
fungsi autoregulasi.
Tabel 2. Causes of Hypertensive Emergency 2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik
> 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120130 mmHg dan kelainan funduskopi
disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang
cepat dari vaskular, gagal ginjal akut,
ataupun kematian bila penderita
tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder dan jarang
pada penderita yang sebelumnya
mempunyai tekanan darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tibatiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi
reversibel bila tekanan darah tersebut
diturunkan.
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Faktor penyebab hipertensi intinya
terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan
arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya pe-
10
MEDICINUS
MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ
tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan
mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/
dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka
akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik
akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi,
aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial
Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah
batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari
aliran darah yang menurun.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
leading article
Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi
ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).
Gambar
1. Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi
hipertensi
emergensi. hipertensi emergensi.
Kelainan endokrin
Kehamilan
Essential hypertension
Hipertensi berat
Kelainan ginjal
Obat-obatan
Critical level atau
kenaikan dan
peningkatan resistensi
vascular secara cepat
Natriuresis spontan
Kerusakan endotel
Kekurangan volume
intravaskular
 Permeabilitas endotel
Deposit platelet & fibrin
 Vasodilatasi, NO &
prostacyclin
Fibrinoid necrosis and
intimal proliferation
 Vasokontriksi,
(reninangiotensin,
catecholamines)
 Tekanan darah
lebih lanjut
Peningkatan TD besar
Iskemik jaringan
Disfungsi organ target
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
11
leading article
MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi
vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran
darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di
bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk
kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia
otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang autoregulasi
ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).
Gambar 2. Kurva autoregulasi pada tekanan darah.
Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, diperkirakan
bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena
itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit
atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita
diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit
dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus
dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.
12
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
leading article
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada. Tanda
dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan
tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati
didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular
bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut.
Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja
terjadi.
Gambar 3. Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari
optik disc dengan margin kabur.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
13
leading article
Tabel 4. Hipertensi Urgensi (mendesak).
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau
tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel 3
1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan dengan
cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis
tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan
minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik
harus diperiksa seperti sakit kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa.
Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak
nafas, nyeri dada atau perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi
ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan alur pendekatan
diagnostik pada pasien hipertensi:
14
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
leading article
PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada
pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian
obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam
24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat
diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal
standard goal penurunan tekanan darah dapat
diturunkan sampai 160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam
menurunkan tekanan darah. Pemberian loading
dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi
penggunaan kombinasi obat oral merupakan
pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi
urgensi.
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi
urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset mulai
15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg
sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian.
Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,
hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal
(khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri
renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel
blocker yang sering digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi
urgensi secara random terhadap penggunaan
nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan
placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah
yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan
β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja
mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol
memiliki dose range yang sangat lebar sehingga
menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap grup
dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100
mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan
diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg
secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor agonist)
yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit
dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa
diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1
mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7
mg. Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel
blocker yang memiliki pucak kerja antara 10-20
menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan
oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena
dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga
berhubungan dengan kejadian stroke.
2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan
setiap individu tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan
dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan
cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU
agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan
dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi
penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya.
Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.
MEDICINUS
15
leading article
B. Penatalaksanaan khusus untuk
hipertensi emergensi
Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi emergensi seperti hypertensive
encephalopathy, perdarahan intrakranial
dan stroke iskemik akut. American Heart
Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada
hipertensi dengan perdarahan intrakranial
dan MAP harus dipertahankan di bawah
130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara
hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan
apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP
dipertahankan > 130 mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan
yang utama pada jantung seperti iskemik
akut pada otot jantung, edema paru dan
diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi
emergensi yang melibatkan iskemik pada
otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat
meningkatkan aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol dan
esmolol) secara IV dapat diberikan pada
terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan
dengan obat-obatan vasodilatasi seperti
nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat
menurunkan tekanan darah sampai target
tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik
> 120mmHg) dalam waktu 20 menit.
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat
disebabkan karena pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase.
Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau
klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal.
Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan
pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau
phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan
β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang
dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial
dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi
yang telah dijelaskan di atas.
PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal
ginjal (19%) dan gagal jantun (13%). Prognosis menjadi
lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera.
Tabel 3.Obat-obatan spesifik untuk komplikasi
hipertensi emergensi.
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria,
oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun
nitroprusside sendiri dapat menyebabkan
keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian
fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat
dari pemberian nitroprussidedalam terapi
gagal ginjal.
16
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
leading article
Tabel 2. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi
KESIMPULAN
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan di bidang neuro-cardiovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis terdiri dari hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Keduanya harus ditangani dengan tepat dan segera sehingga prognosisnya terhadap organ target (otak, ginjal dan jantung) dan sistemik dapat ditanggulangi.
daftar pustaka
1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan HipertensiUrgensi. BIKBiomed. 2007. Vol.3, No.4 :163-8.
2. 2. Saguner AM, Dür S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors
PromotingHypertensive Crises: Evidence From a LongitudinalStudy. Am
J Hypertensi. 2010. 23:775-780.
3. Kaplan NM. Primary hypertension. In: Clinical Hypertension. 9 ed. Lippincott Williams &Wilkins; 2006: 50-104.
4. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. 2012. Vol.3, No.4 :163-8.
5. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's
Principles ofInternal Medicine. Seventeenth Edition. 2008.
6. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU DigitalLibrary. 2004.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
7. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. 2007.
pp. 43-50.
8. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensivecrises. Critical CareJournals. 2003.
9. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, etal.
ImpairedCerebral Autoregulation in Pasient with MalignantHypertension. Journal of the AmericanHeart Association. 2004. 110:2241-2245.
10.Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can FamPhysician. 2011.57:1137-41.
11.Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. 2011.
12.Bisognano JD. Malignant Hypertension. 2013. pp. 43-50.
MEDICINUS
17
research
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
5 skp
Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan Hasil
Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
Janson Simanjuntak
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Korespondensi: Simanjuntak, Janson, Dolog Malalayang 1, Manado
Abstrak
Abstract
Angka kematian ibu dan perinatal di Indonesia
masih tinggi. Sebagian besar penyebab kematian ibu dan perinatal yang berhubungan dengan kehamilan dan komplikasi kehamilan dapat
dicegah. Pemeriksaan antenatal yang adekuat
merupakan faktor penting dalam menurunkan
angka kematian ibu dan perinatal. Jenis penelitian ini adalah analitik observatif cross-sectional
terhadap 2268 ibu yang melahirkan di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan 2.305 bayi
yang dilahirkan. Data diperoleh dari catatan
medis. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah pemeriksaan antenatal <4 kali berhubungan dengan kejadian asfiksia berat (p=0,003; PR:
2,047; 95% CI: 1,29-3,25) dan BBLR (p=0,000; PR:
1,713; 95% CI: 1,32-2,23). Jumlah pemeriksaan
antenatal >4 kali berhubungan dengan persalinan tindakan (p=0,001), hal ini disebabkan
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado merupakan
rumah sakit rujukan di Sulawesi Utara sehingga banyak sampel pada penelitian ini adalah
ibu-ibu dengan kehamilan dengan komplikasi
(26,7%). Kehamilan komplikasi berhubungan
dengan persalinan tindakan (p=0,000; PR: 1,678;
95% CI: 1,520-1,855). Kesimpulan penelitian ini
menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali berhubungan dan meningkatkan
risiko kejadian asfiksia berat dan BBLR, sementara itu wanita yang melakukan persalinan tindakan cenderung memiliki riwayat melakukan
pemeriksaan antenatal lebih banyak (> 4 kali)
selama kehamilan.
Maternal and perinatal mortality rate in Indonesia is still high. The most cause of maternal
and perinatal deaths related to pregnancy and
complication of pregnancy can be prevented.
Adequate antenatal care is an important factor in reducing maternal and perinatal deaths.
This is an observasional cross-sectional study of
2268 women delivered and 2305 neonates born
at Prof.Dr.R.D.Kandou Manado hospital was
used. Data is collected from medical record. This
study shows that number of antenatal <4 times
is significantly associated with the incidence
of severe asphyxia (p=0,003; PR: 2,047; 95% CI:
1,29-3,25) and LBW (p=0,000; PR: 1,713; 95% CI:
1,32-2,23). The number of antenatal >4 times
is significantly associated with delivery mode
(p=0,001), this is due to Prof.Dr.R.D.Kandou
Manado hospital is a referral hospital in North
Sulawesi, many samples in this study are women with complicated pregnancy (26,7%). Pregnancy with complications is significantly related
to operative delivery (p=0,000; PR: 1,678; 95%
CI: 1,520-1,855). Conclusion is number of antenatal care < 4 times relates and increases the risk
of incidence of asphyxia and low birth weight,
while women with operative delivery are likely
to have history of antenatal care visit more (> 4
times) during pregnancy.
Keywords: antenatal care, delivery outcome,
pregnancy outcome
Kata kunci: hasil kehamilan, hasil persalinan,
pemeriksaan antenatal
18
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
research
PENDAHULUAN
Angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan lebih dari 500.000 kematian ibu tiap
tahun karena kehamilan dan komplikasi yang
berhubungan dengan kehamilan.1 Menurut
data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar
228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
masih tinggi, sehingga ditargetkan pada tahun
2015 (MDGs) angka kematian ibu di Indonesia
turun menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.2
tekanan darah, pemberian imunisasi TT & tablet Fe, di Indonesia hanya sebesar 19,9% dan
di Sulawesi Utara hanya sebesar 18,5%.4 Penelitian sebelumnya mengenai hubungan jumlah
kunjungan antenatal dengan hasil kehamilan
dan persalinan didapatkan hasil yang bertolak
belakang. Menurut Brown et al,5 wanita dengan
kunjungan antenatal dua kali memiliki hasil
kehamilan dan persalinan yang lebih baik daripada wanita dengan kunjungan sebanyak tiga
kali. Sebaliknya, menurut Taguchi et al,6 jumlah
kunjungan antenatal kurang dari 4 kali meningkatkan risiko kematian ibu.
Tujuh juta kematian perinatal pada negara
berkembang berhubungan dengan masalah
kesehatan ibu. Empat juta merupakan lahir mati
(stillbirth) dan tiga juta merupakan kematian
neonatal awal.1 Angka Kematian Neonatus di Indonesia menurut SDKI 2007 sebesar 19 per 1.000
kelahiran hidup.2
Dari informasi di atas, mendorong kami untuk melakukan suatu penelitian ilmiah untuk
mengetahui hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal dengan hasil kehamilan dan persalinan.
Ditemukan bahwa 88%-98% dari semua kematian ibu dapat dicegah dengan penanganan
yang tepat selama kehamilan dan persalinan.
Pemeriksaan antenatal yang adekuat diketahui
sebagai suatu faktor penting dalam menurunkan
kematian ibu dan neonatus.1 Standar pemeriksaan antenatal di Indonesia adalah minimal 4
kali selama kehamilan. Namun, kenyataanya
tidak semua ibu hamil melakukan pemeriksaan
antenatal selama kehamilan, juga ada beberapa
ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal < 4 kali selama kehamilannya.2
Suatu studi cross-sectional terhadap wanita
yang melahirkan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado dan bayi yang dilahirkan periode bulan Januari 2012 hingga Juni 2012. Besar sampel
adalah 2.268 wanita yang melahirkan dan 2.305
neonatus. Data didapatkan dari catatan medik.
Data yang dikumpulkan adalah data pribadi,
jumlah pemeriksaan antenatal, tekanan darah,
kejadian perdarahan, penyakit infeksi pada data
ibu, berat badan lahir, skor Apgar, kelainan kongenital, kematian perinatal pada data bayi, dan
jenis persalinan. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS.
Pada tahun 2010, cakupan pelayanan antenatal
kunjungan pertama (K1) di Indonesia sebesar
95,26%, sedangkan cakupan pelayanan antenatal hingga kunjungan keempat (K4) sebesar
85,56%. Pada tahun yang sama, di Sulawesi
Utara, cakupan K1 sebesar 91,09%, sedangkan
cakupan K4 sebesar 82,14%.2
Kualitas pelayanan antenatal di Indonesia masih
rendah. Pada tahun 2008, di Indonesia, cakupan K4 sebesar 86,04%, namun hanya 48,14%
yang mendapatkan 90 tablet besi dan hanya
42,9% yang mendapatkan suntikan TT dua kali.3
Presentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan 5T, yaitu ukur berat badan, tinggi badan,
Vol. 27, No.3, Desember 2014
METODE
HASIL
Data dari catatan medis di Bagian Obstetri dan
Ginekologi RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado
dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan
Juni 2012 tercatat sebanyak 2.268 orang ibu
yang melahirkan. Ada 35 ibu dengan kehamilan gemeli dan 1 orang ibu dengan kehamilan
triplet. Total 2.305 janin yang dilahirkan dengan
sebanyak 2.291 persalinan.
Hasil ibu dikategorikan menjadi ibu tanpa
komplikasi dengan ibu dengan komplikasi.
Komplikasi yang dinilai pada penelitian ini ada-
MEDICINUS
19
research
20 MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
research
lah perdarahan, hipertensi dan infeksi. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4
kali dengan kejadian perdarahan (p=0,874),
hipertensi (p=1,000) dan infeksi (p=0,596). Walaupun tidak berhubungan secara bermakna,
kejadian perdarahan lebih sering pada wanita
dengan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali
daripada pada wanita dengan jumlah pemeriksaan antenatal > 4 kali.
Hasil fetus dinilai berdasarkan skor Apgar, kematian perinatal, dan kelainan kongenital. Hasil
analisis statistik menunjukkan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali berhubungan dengan
kejadian asfiksia berat (p=0,003), namun tidak
berhubungan dengan kejadian asfiksia ringan
sedang (p=0,422). Wanita yang melakukan
pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki risiko
2,047 kali melahirkan janin dengan asfiksia berat
(PR=2,047; 95% CI =1,29-3,25). Jumlah kunjungan
antenatal < 4 kali tidak berhubungan dengan
kematian perinatal (p=0,167) dan kelainan kongenital (p=0,169).
Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4
kali dengan berat badan lahir rendah (p=0,000),
namun tidak berhubungan dengan berat badan
lahir lebih. Wanita yang melakukan pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki risiko 1,713 kali
melahirkan janin dengan berat badan lahir jelek
(PR = 1,713; 95% CI = 1,32-2,23).
Jenis persalinan dikelompokkan menjadi dua
yakni persalinan spontan dan persalinan dengan tindakan. Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara jumlah pemeriksaan
antenatal < 4 kali dengan persalinan dengan
tindakan (p=0,001). Ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali lebih banyak melakukan
persalinan spontan, sebaliknya ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal > 4 kali lebih banyak
melakukan persalinan dengan tindakan.
PEMBAHASAN
Angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat. Pada penelitian ini didapatkan kejadian kematian perinatal
Vol. 27, No.3, Desember 2014
di RSUP Prof. Dr. R.D.Kandou Manado periode
bulan Januari sampai dengan Juni 2012 sebesar
69 per 2.305 kelahiran.
Kematian perinatal disebabkan oleh masalah
kesehatan pada ibu. Pemeriksaan antenatal selama kehamilan terbukti menurunkan angka
kematian perinatal. Standar pemeriksaan antenatal yang dianjurkan WHO dan direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan adalah
minimal 4 kali selama kehamilan. Penelitian ini
mendapatkan data bahwa dari 2.268 ibu yang
tercatat pada catatan medis, jumlah ibu yang
melakukan kunjungan antenatal > 4 kali sebesar 77,1%. Pada tahun 2010, cakupan K4 di Indonesia sebesar 85,56%. Sementara itu, pada
tahun yang sama di Sulawesi Utara cakupan K4
sebesar 82,14.2 Sehingga, pada penelitian ini didapatkan, cakupan K4 masih rendah ditambah
dengan 15,7% ibu yang melakukan pemeriksaan
antenatal < 4 kali.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kurangnya pemeriksaan antenatal berhubungan dengan skor Apgar yang rendah.7 Pernyataan
tersebut sejalan dengan hasil yang didapat pada
penelitian ini, yaitu terdapat hubungan antara
jumlah pemeriksaan antenatal dengan skor Apgar. Hasil penelitian menunjukan skor Apgar 0-3
dan 4-6 lebih sering terjadi pada kelompok ibu
dengan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Sebaliknya bayi dengan skor 7-10 lebih banyak pada
kelompok ibu dengan pemeriksaan antenatal >
4 kali. Namun, pada analisis bivariat hanya skor
Apgar 0-3 yang berhubungan signifikan dengan
jumlah pemeriksan antenatal < 4 kali. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali merupakan faktor risiko terjadinya
asfiksia berat pada neonatus. Wanita dengan
jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki
risiko 2,047 kali melahirkan janin dengan asfiksia
berat.
The American College of Obstetricians and Gynecologists dan the American Academy of Pediatrics menyatakan salah satu kriteria seorang
neonatus dikatakan asfiksia jika skor Apgar
0-3 selama lebih dari 5 menit. Kelahiran asfiksia dapat disebabkan karena kejadian selama
periode antepartum, intrapartum, atau postpar-
MEDICINUS
21
research
tum maupun kombinasi diantaranya. Penelitian
terbaru menyatakan asfiksia paling banyak disebabkan oleh kejadian selama periode antenatal.8
Nayeri et al menyimpulkan bahwa persalinan
seksio sesarea darurat, persalinan prematur (<
37 minggu), berat badan lahir kurang dari 2500
gram dan anemia neonatal merupakan faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia.
Faktor-faktor tersebut dapat dicegah dengan
perawatan/pemeriksaan antenatal yang baik.9
Walaupun tidak berhubungan bermakna, bayi
dengan skor Apgar 4-6 lebih banyak pada kelompok ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal
kurang dari empat kali. Hal ini sejalan dengan
22
MEDICINUS
hasil penelitian Pant et al10 yang meneliti 91
bayi baru lahir untuk melihat hubungan antara
pemeriksaan antenatal dengan skor Apgar bayi.
Dari 50 bayi dengan skor Apgar 5-7 (asfiksia
ringan-sedang) 80% berasal dari ibu yang tidak
melakukan pemeriksaan antenatal dan 20% dari
ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal.
Berat badan lahir rendah merupakan suatu indikator status kesehatan reproduksi dan kesehatan umum yang penting pada suatu populasi.
BBLR menjadi prediktor tunggal paling penting
terhadap kematian bayi, terutama kematian
dalam bulan pertama kehidupan. Kematian
neonatal 20 kali lebih banyak pada bayi dengan
BBLR.11
Vol. 27, No.3, Desember 2014
research
Berat badan lahir rendah berhubungan kuat dengan pemeriksaan antenatal yang tidak adekuat (<
4 kali).12 Pemeriksaan antenatal dapat memperbaiki berat bagan lahir melalui pencegahan kejadian
kecil untuk masa kehamilan (KMK), nutrisi yang lebih baik selama kehamilan dan penurunan kebiasaan merokok.11,13
Pada penelitian ini didapatkan bahwa jumlah pemeriksan antenatal berhubungan dengan berat
badan lahir. Hasil penelitian menunjukkan berat badan lahir rendah lebih banyak terjadi pada bayi
dari ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal <4 kali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Deshpande et al. Ibu dengan pemeriksaan antenatal <4 kali selama kehamil-an memiliki risiko 1713 kali
melahirkan bayi de-ngan berat badan lahir rendah.
Etiologi kejadian berat badan lahir rendah adalah multifaktor. Perhatian khusus dari tenaga kesehatan
professional dibutuhkan untuk melakuka identifikasi faktor-faktor risiko terjadinya berat badan lahir
rendah. Pemeriksaan antenatal memberikan kesempatan bagi ibu hamil untuk melakukan konseling
dan deteksi risiko-risiko yang mungkin ada.12,14
Pemeriksaan antenatal digunakan untuk memantau perkembangan kehamilan ibu, frekuen-si minimal 4 kali selama kehamilan. Pemeriksaan antenatal yang teratur memberikan kesempatan untuk
dapat mendiagnosis secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi
pada ibu dan janin selama kehamilan sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat secepatnya.15
Pada penelitian ini jenis persalinan dikelompokkan menjadi dua yaitu persalinan spontan dan persalinan dengan tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan antenatal berhubungan dengan jenis persalinan. Persalinan spontan lebih banyak terjadi pada kelompok ibu dengan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Sebaliknya persalinan tindakan lebih banyak terjadi pada ibu
dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali.
Jenis persalinan yang dilakukan dapat dipengaruhi oleh keinginan ibu. Namun disisi lain, adanya
faktor-faktor risiko tertentu juga dapat menentukan dilakukannya persalinan dengan tindakan, seperti usia ibu lebih dari 35 tahun (> 35), ibu dengan anemia, ibu dengan tekanan darah tinggi, karena
kondisi kesehatan umum akan sangat mempengaruhi kondisi kehamilan dan proses persalinan.
Adanya keluhan selama kehamilan merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi persalinan yang
akhirnya terjadi persalinan dengan tindakan.16
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado merupakan rumah sakit rujukan di Sulawesi Utara. Sehingga
kasus-kasus kehamilan berisiko akan banyak ditemukan pada rumah sakit ini, pada penelitian ini
diketahui selama bulan Januari 2012 hingga Juni 2012 terdapat 606 (26,7%) ibu hamil dengan kom-plikasi hipertensi, perdarahan dan infeksi, yang termasuk dalam kelompok ibu dengan kehamilan beri-siko.
Tabel 3 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kehamilan dengan risiko dengan persalinan tindakan, dengan risiko sebesar 1678 kali. Sehingga kehamilan dengan komplikasi meningkatkan risiko untuk persalinan dengan tindakan.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
23
research
Jika seorang wanita telah mengetahui memiliki risiko tertentu terjadinya penyulit-penyulit selama
kehamilan dan persalinan, maka wanita tersebut akan lebih sering melakukan pemeriksaan akan
kesehatan kehamilannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Brown et al,5 dimana adanya kecenderungan wanita untuk melakukan pemeriksaan antenatal lebih sering jika mereka memiliki masalah
pada kehamilannya.
KESIMPULAN
Jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali selama kehamilan berhubungan dengan kejadian asfiksia berat dan berat badan lahir rendah. Kehamilan dengan komplikasi berhubungan dengan persalinan
tindakan. Wanita dengan persalinan tindakan memiliki riwayat pemeriksaan antenatal > 4 kali.
SARAN
Informasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan antenatal minimal empat kali untuk
mencegah kejadian asfiksia dan berat badan lahir rendah pada neonatus. Peningkatkan kualitas layanan pemeriksaan antenatal untuk meningkatkan hasil kehamilan dan persalinan menjadi lebih baik.
daftar pustaka
1. Ziyo FY, Matly FA, Mehemd GM, Dofany EM. Relation between prenatal care and pregnancy outcome at Benghazi. Sudanese Journal of Public Health. 2009;4:403-10.
2. Kementerian Kesehatan Pusat Data dan Informasi. Profil
kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
3. Departemen Kesehatan. Pusat Data dan Informasi. Profil
kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2009.
4. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2010.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
RI; 2010. h. 223,229.
5. Brown CA, Sohani SB, Khan K, Lilford R, Mukhwana W.
Antenatal care and perinatal outcomes in Kwale district
Kenya. BMC Pregnancy and Childbirth. 2008;8:1-11.
6. Taguchi N, Kawabata M, Maekawa M, Maruo T, Aditiwarman, Dewata L. Influence of socio-economic background
and antenatal care programmes on maternal mortality in
Surabaya, lndonesia. Trop Med Int Health. 2003;8:847-52.
7. Salusatiano EMA, Campos JADB, Ibidi SM, Ruano R, Zugaib
M. Low apgar scores at 5 minutes in a low risk population:
maternal and obstetrical factors and postnatal outcome.
Rev Assoc Med Bras. 2012;58:587-93.
8. Haider BA, Bhutta ZA. Birth asphyxia in developing countries: current status and public health implications. Curr
Probl Pediatr Adolesc Health Care. 2006;36:180.
9. Nayeri F, Shariat M, Dalili H, Adam LB, Mehrjerdi FZ, Shakeri
24
MEDICINUS
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
A. Perinatal risk factors for neonatal asphyxia in Vali-e-Asr
hospital, Tehran-Iran. Iran J Reprod Med. 2012;10:137-40.
Pant B, Kumar S, Davey A, Tiwari R. Antenatal care and
pregnancy outcome. Indian J. Prev. Soc. Med. 2008;39:131.
Ganjoei TA, Mirzaei F, Dokht FA. Relationship between
prenatal care and the outcome of pregnancy in low-risk
pregnancies. Open Journal of Obstetrics and Gynecology.
2011;1:112.
Deshpande JD, Phalke DB, Bangal VB, Peeyuusha D, Sushen B. Maternal risk factors for low birth weight neonates: a
hospital based case-control study in rural area of western
Maharashtra, India. National Journal of Community Medicine. 2011;2:394-8.
Niclasen B. Low birthweight as an indicator of child health
in Greenland–use, knowledge and implication. Int J Circumpolar Health. 2007;66:223.
Kadapatti MG, Vijayalaxmi AHM. Antenatal care the essence of newborn weight and infant development. International Journal of Scientific and Research Publication.
2012;2:3.
Budiman, Riyanto A, Juhaeriah J, Gina H. Faktor ibu yang
berhubungan dengan berat badan lahir di Puskesmas
Garuda tahun 2010. Jurnal Kesehatan Kartika. 2011:1.
Kowalcek I, Hainer F. Is there a relation between maternal
age and preferred mode of delivery? Journal of Clinical
Gynecology and Obstetrics. 2012;1:4-9
Vol. 27, No.3, Desember 2014
research
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan Hasil
Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado
5 SKP
Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda (√) di samping kanan.
No.
Pernyataan
1
Sesuai dengan visi dan misi MDG’s, pemerintah menargetkan untuk menurunkan angka
kematian ibu di tahun 2015 menjadi 105 per 100.000 kelahiran hidup.
Berdasarkan standard yang ditetapkan WHO dan direkomendasikan oleh Kementerian
Kesehatan bahwa frekuensi kunjungan antenatal selama masa kehamilan adalah minimal
4 kali.
Pada tahun 2010, cakupan pelayanan antenatal kunjungan pertama (K 1) di Sulawesi
Utara tercatat 91,09%. Sedangkan pelayanan antenatal hingga kunjungan keempat (K4)
sebesar 82,14%.
Menurut Taguchi, jumlah kunjungan antenatal kurang dari 4 kali selama periode
kehamilan akan meningkatkan risiko kematian ibu.
Dari penelitian ini diperoleh hasil analisis statistik bahwa terdapat hubungan yang cukup
signifikan antara frekuensi pemeriksaan antenatal kurang dari 4 kali dengan kejadian
perdarahan, hipertensi dan infeksi.
Hasil lain dari penelitian ini adalah ibu hamil dengan frekuensi pemeriksaan antenatal <
4 kali memunyai risiko 2,047 kali melahirkan bayi dengan afiksia berat.
Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa BBLR lebih banyak terjadi pada ibu
hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal lebih dari 4 kali.
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) bisa menyebabkan 10 kali lebih banyak
kematian neonatal.
Persalinan spontan lebih banyak dialami oleh ibu hamil dengan pemeriksaan antenatal <
4 kali. Sebaliknya, ibu hamil dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali mengalami
persalinan dengan tindakan.
Selama bulan Januari-Juni 2012, tercatat ada sekitar 660 ibu hamil berisiko di RSUP
Prof. Dr. R.D. Kandou, karena disertai dengan komplikasi seperti hipertensi perdarahan
dan infeksi.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
B
S












KETERANGAN:
- Tandai (√) pada jawaban yang dipilih.
- Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis.
- Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan sertifikat
-
jika jumlah jawaban benar ≥ 60%.
Sertifikat akan dikirimkan setelah dokter mengerjakan setiap artikel CME dalam satu edisi terbit.
Masa berlaku kuis CME untuk setiap edisi adalah 3 tahun setelah artikel diterbitkan, sehingga jawaban
yang diterima melewati batas waktu tersebut, tidak akan memperoleh SKP.
CARA MENGIRIM JAWABAN:
- Lipat tiga bagian (secara horizontal) lembaran ini hingga berbentuk seperti amplop (lihat gambar).
- Setelah dilipat tiga bagian, kirimkan lembaran kuis dan formulir biodata yang telah diisi ke alamat
redaksi MEDICINUS yang tertera di halaman selanjutnya. Atau bisa dengan cara menscan lembar
[email protected]
biodata dan jawaban ke email [email protected].
- Artikel dan kuis CME setiap edisinya juga bisa diakses langsung di http://cme.medicinus.co/.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
25
26
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
RESEARCH
3 skp
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Perbandingan Kejadian Stroke Hemoragik Pada Isolated Systolic
Hypertension Dengan Non-Isolated Systolic Hypertension
Rosa De Lima Renita Sanyasi, Rizaldy Taslim Pinzon, Esdras Ardi Pramudita
SMF Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
ABSTRAK
Kata Kunci: kejadian stroke, kasus kontrol, jenis hipertensi
Latar Belakang
Salah satu faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian stroke, khususnya stroke hemoragik, adalah hipertensi.
Berdasarkan systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood
pressure (DBP), hipertensi dapat dibedakan menjadi isolated systolic hypertension (ISH) dan non ISH, dimana non ISH
masih dapat dibedakan menjadi dua yaitu systolic diastolic
hypertension (SDH) dan isolated diastolic hypertension (IDH).
Hubungan antara kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non ISH masih menjadi perdebatan dan memerlukan
penelitian lebih lanjut.
ABSTRACT
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non
ISH.
Metode
Penelitian menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol berpasangan berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin. Penelitian ini melibatkan 70 pasang subjek penelitian
yang didiagnosis stroke, berusia ≥ 35 tahun, serta memiliki
tekanan darah SBP ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg; SBP <
140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg; atau SBP ≥ 140 mmHg dan
DBP ≥ 90 mmHg.
Hasil dan Pembahasan
Faktor risiko yang paling sering terjadi pada kelompok kasus
maupun kelompok kontrol yaitu hipertensi khususnya non
ISH jenis SDH, sebesar 61 (87,1%) pada kelompok kasus dan
56 (80%) pada kelompok kontrol. Pada analisis bivariat,
dua faktor risiko lain yang bermakna dalam menimbulkan
kejadian stroke, yaitu HDL < 40 mg/dL (OR: 0,423; 95%, CI:
0,191–0,938, p: 0,032) dan trigliserida > 150 mg/dL (OR: 0,450,
95%; CI: 0,210–0,965, p: 0,038). Pada analisis multivariat diketahui bahwa HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%, CI: 0,210–1,071,
p: 0,073) dan trigliserida > 150 mg/d (OR: 0,506; 95%, CI:
0,232–1,105; p: 0,087) bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian stroke.
Kesimpulan dan Saran
Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non ISH tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Background
Hypertension is the most responsible risk factor for the incidence of stroke, especially hemorrhagic stroke. Based on
systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure
(DBP), hypertension can be classified into isolated systolic
hypertension (ISH) and non ISH, which non ISH can be classified into systolic diastolic hypertension (SDH) and isolated
diastolic hypertension (IDH). The relationship between the
incidence of hemorrhagic stroke in ISH and non ISH are controverisal and require further research.
Objective
This study aimed to compare the incidence of hemorrhagic
stroke in ISH with non ISH.
Methode
This study used an age and sex matched case-control study.
A total of 70 pairs subject were diagnosed stroke, ≥ 35 years
of age, with a blood pressure SBP ≥ 140 mmHg and DBP <
90 mmHg; SBP < 140 mmHg and DBP ≥ 90 mmHg; or SBP ≥
140 mmHg and DBP ≥ 90 mmHg.
Result and Disscusion
The most frequent risk factor in both group was hypertension, especially SDH type of non ISH, 61 (87,1%) in case
group and 56 (80%) in control group. In bivariate analysis,
the other significant risk factors are HDL < 40 mg/dL (OR:
0,423; 95%, CI: 0,191–0,938, p: 0,032) and trigliseride > 150
mg/dL (OR: 0,450; 95% CI: 0,210–0,965, : 0,038). In multivariate analysis known that HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%, CI:
0,210–1,071,
p: 0,073) and trigliseride > 150 mg/dL (OR:
0,506; 95%, CI: 0,232–1,105, p: 0,087) are not an independent
predictor factors on stroke incidence.
Conclusion
There was no significant difference between incidence of
hemorrhagic stroke in ISH and non ISH.
Key Word
stroke incidence, case-control, hypertension type
MEDICINUS
27
research
I. PENDAHULUAN
Stroke terdiri dari dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke hemoragik meliputi intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH).1 Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian stroke hemoragik.2,3,4
Berdasarkan systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure (DBP), hipertensi dapat
dibedakan menjadi isolated systolic hypertension (ISH) dan non ISH, dimana non ISH masih dapat
dibedakan menjadi dua yaitu systolic diastolic hypertension (SDH) dan isolated diastolic hypertension (IDH). Seseorang tergolong ISH apabila memiliki SBP ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg, tergolong SDH apabila memiliki SBP ≥ 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg, dan tergolong IDH apabila
memiliki SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg.5 Hubungan antara kejadian stroke hemoragik
pada ISH dengan non ISH masih menjadi perdebatan dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke hemoragik
pada ISH dengan non ISH.
II. BAHAN DAN CARA
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol. Kelompok kasus merupakan
subjek penelitian dengan stroke hemoragik, sedangkan kelompok kontrol merupakan subjek
penelitian dengan stroke iskemik. Kelompok kasus akan dipasangkan dengan kelompok kontrol
berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin.
Penelitian melibatkan 70 pasang subjek penelitian yang didiagnosis stroke selama periode penelitian 6 Maret sampai 4 April 2014, yang diperoleh dari rekam medis diperoleh dari rekam medis
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Subjek penelitian diambil dengan cara pengambilan sampel
secara random sistematik. Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi : (i) stroke hemoragik dan
stroke iskemik, (ii) jenis kelamin laki-laki dan perempuan, (iii) usia ≥ 35 tahun, dan (iv) SBP ≥ 140
mmHg dan DBP < 90 mmHg; SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg; atau SBP ≥ 140 mmHg dan
DBP ≥ 90 mmHg. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi : (i) pasien pulang paksa dan (ii)
data rekam medis tidak lengkap. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Chi-Square
Tests yang diolah dengan program SPSS 16.0.
III. HASIL
Penelitian melibatkan 258 subjek penelitian yang didiagnosis stroke. Terdapat 76 (29,46%) subjek
penelitian yang dikeluarkan dari penelitian karena masuk dalam kriteria eksklusi penelitian dan
terdapat 182 (70,54%) subjek penelitian yang diambil. Dari 182 subjek penelitian, diambil 70 subjek penelitian dengan stroke hemoragik dan 70 subjek penelitian dengan stroke iskemik. Tabel
1 menampilkan karakteristik dasar dari 70 pasang subjek penelitian. Faktor risiko yang paling
sering terjadi pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol yaitu hipertensi khususnya non
ISH jenis SDH. Faktor risiko lainnya, yaitu gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, kolesterol total > 200
mg/dL, LDL > 100 mg/dL, HDL < 40 mg/dL, dan trigliserida > 150 mg/dL lebih sering terjadi pada
kelompok kontrol daripada kelompok kasus.
28
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
research
Tabel 2 menunjukkan rata-rata nilai faktor risiko subjek penelitian. Tampak bahwa kelompok kasus
memiliki rata-rata tekanan darah dan kadar HDL yang lebih tinggi. Kelompok kontrol memiliki ratarata gula darah sewaktu, kolesterol total, LDL, dan trigliserida yang lebih tinggi.
Tabel 3 menunjukkan bahwa kejadian non ISH lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, sedangkan kejadian ISH lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Kejadian SDH memuncak pada rentang usia 61 sampai 65 tahun. Kejadian IDH memuncak pada
rentang usia 56 sampai 60 tahun, sedangkan kejadian ISH memuncak pada rentang usia 61 sampai 70 tahun.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
29
research
Hasil analisis bivariat yang tampak pada tabel 4 menunjukkan adanya dua faktor risiko yang bermakna dalam menimbulkan kejadian stroke hemoragik, yaitu HDL < 40 mg/dL dan trigliserida
> 150 mg/dL. Kedua faktor risiko yang bermakna tersebut diolah lebih lanjut dengan analisis
multivariat.
Hasil analisis multivariat yang tampak pada tabel 5 mengindikasikan bahwa kadar HDL dan trigliserida bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian stroke hemoragik.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian stroke hemoragik pada SDH paling tinggi apabila dibandingkan dengan jenis hipertensi lainnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil dari
penelitian Fang et al. (2006) yang menyatakan bahwa pasien dengan SDH memiliki risiko stroke
yang paling tinggi dibandingkan tipe hipertensi lainnya6. Pernyataan tersebut bertentangan
dengan beberapa penelitian terdahulu. Rashid et al. (2003) menyatakan bahwa peningkatan
DBP sebesar 10 mmHg meningkatkan risiko kejadian stroke pertama sebesar satu setengah kali,7
30
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
research
sedangkan Klungel et al. (2000) dan Howard
et al. (2013) menyatakan bahwa SBP memiliki
pengaruh yang lebih kuat dalam meningkatkan risiko stroke hemoragik daripada DBP.8,9
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kejadian stroke pada ISH dan IDH rendah. Hal ini
bertentangan dengan pernyataan Qureshi et
al. (2002) yang menyatakan bahwa ISH memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam kejadian
stroke iskemik maupun stroke hemoragik
dibandingkan dengan hipertensi diastolik.10
Pernyataan tersebut didukung oleh Nielsen et
al (1997) yang menyatakan bahwa hipertensi
diastolik tidak signifikan dalam meningkatkan
risiko stroke.11
Kejadian ISH pada laki-laki memuncak seiring
pertambahan usia hingga usia 75 tahun, sedangkan pada perempuan memuncak antara
usia 65 hingga 74 tahun dan menurun setelah
usia 75 tahun.12 Dalam penelitian ini, tampak
bahwa kejadian ISH semakin meningkat seiring pertambahan usia. Kejadian ISH terdapat
pada rentang usia 46-85 tahun, dengan kejadian yang paling banyak yaitu pada rentang
usia 61 sampai 70 tahun dan kemudian akan
menurun setelah usia 71 tahun. Hipertensi
jenis ISH lebih sering terjadi pada perempuan.5
Dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa ISH
lebih sering terjadi pada perempuan daripada
laki-laki (5,7% berbanding 4,3%). Kedua hal
tersebut menunjukkan bahwa hasil penelitian
ini menyerupai hasil penelitian terdahulu.
Kejadian IDH pada pria dan wanita memuncak
pada usia 35 hingga 49 tahun.12 Dalam penelitian ini, tampak bahwa kejadian IDH terdapat
pada rentang usia 51 sampai 70 tahun, dengan kejadian memuncak pada rentang usia 56
sampai 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu. Belum diketahui faktor yang
menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini.
Hipertensi jenis IDH lebih sering terjadi pada
laki-laki.5 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana kejadian IDH lebih sering
Vol. 27, No.3, Desember 2014
terjadi pada laki-laki daripada perempuan (5%
berbanding 1,4%).
Kejadian SDH memuncak pada usia 65 sampai
69 tahun pada pria dan 60 sampai 64 tahun
pada wanita13. Dalam penelitian ini, tampak
bahwa kejadian SDH terdapat pada rentang
usia 40 sampai 85 tahun, kejadian memuncak pada rentang usia 61 sampai 65 tahun,
dan akan menurun setelah usia 75 tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini
menyerupai penelitian terdahulu. Hipertensi
jenis SDH lebih sering terjadi pada perempuan.5 Namun, dalam penelitian ini kejadian
SDH lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan (53,6% berbanding 30%).
Belum diketahui faktor yang menyebabkan
perbedaan hasil penelitian ini.
Kadar kolesterol serum dan kadar LDL yang
tinggi berperan penting dalam pembentukan
aterosklerosis yang akan memicu terjadinya
stroke, khususnya stroke iskemik.14,15 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa proporsi subjek penelitian dengan kadar LDL > 100 mg/dL
(80% berbanding 77,1%) dan kolesterol > 200
mg/dL (51,4% berbanding 42,9%) pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok
kasus. Rata-rata kadar LDL (140,1 ± 44,5 berbanding 128,9 ± 42,7 mg/dL) dan kolesterol
total (204,1 ± 53,9 berbanding 188,8 ± 45,6
mg/dL) pada kelompok kontrol lebih tinggi
daripada kelompok kasus. Dalam analisis bivariat tidak tampak adanya hubungan yang
bermakna antara kadar LDL > 100 mg/dL (OR:
0,645; 95%; CI: 0,282–1,476; p: 0,297) dan kolesterol total > 200 mg/dL (OR: 0,708; 95%; CI:
0,364–1,379; p: 0,310) dengan kejadian stroke
hemoragik.
Kadar trigliserida > 150 mg/dL dan kadar HDL
< 40 mg/dL meningkatkan risiko kejadian
stroke secara keseluruhan, khususnya stroke
iskemik.16,17 Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian ini. Proporsi subjek penelitian
MEDICINUS
31
research
dengan kadar trigliserida > 150 mg/dL (35,7%
berbanding 20%) dan kadar HDL < 40 mg/
dL (32,9% berbanding 17,1%) pada kelompok
kontrol lebih tinggi daripada kelompok kasus.
Rata-rata kadar trigliserida (150,9 ± 111,3 berbanding 115,2 ± 51,6 mg/dL) dan HDL (46,5
± 12,2 berbanding 50,7 ± 13,1 mg/dL) pada
kelompok kontrol juga lebih tinggi daripada
kelompok kasus.
Hasil dari analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kejadian
stroke hemoragik dengan kadar trigliserida
> 150 mg/dL (OR: 0,450; 95%; CI: 0,210–0,965,
p: 0,038) dan kadar HDL < 40 mg/dL (OR:
0,423; 95%; CI: 0,191–0,938, p: 0,032). Kadar
trigliserida > 150 mg/dL dan kadar HDL < 40
mg/dL dapat meningkatkan kejadian stroke
hemoragik. Kedua faktor risiko yang bermakna tersebut diolah lebih lanjut dengan analisis
multivariat. Hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa kadar trigliserida > 150 mg/
dL (OR: 0,506; 95%; CI: 0,232–1,105; p: 0,087)
dan kadar HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%;
CI: 0,210–1,071; p: 0,073) bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian
stroke. Kadar trigliserida > 150 mg/dL dan
kadar HDL < 40 mg/dL harus disertai dengan
adanya faktor risiko lainnya agar dapat menimbulkan kejadian stroke hemoragik.
Kadar gula darah yang tinggi merupakan faktor risiko yang lebih berpengaruh pada stroke
iskemik daripada stroke hemoragik.11 Jumlah
subjek penelitian dengan kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL lebih banyak pada kelompok kontrol daripada kelompok kasus (18,6%
berbanding 12,9%). Rata-rata kadar gula darah
pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada
kelompok kasus (156,7 ± 91,9 berbanding 144,5
± 64,4 mg/dL). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kadar gula darah sewaktu ≥
200 mg/dL (OR : 0,647, 95% CI : 0,257–1,629, p
: 0,353) tidak bermakna dalam meningkatkan
kejadian stroke hemoragik.
32
MEDICINUS
Kekuatan penelitian adalah perbandingan
kejadian stroke hemoragik terhadap jenisjenis hipertensi, yaitu non ISH, SDH, non ISH,
IDH dan ISH belum pernah dilakukan pada
penelitian sebelumnya. Kelemahan penelitian adalah desain penelitian kasus kontrol
yang digunakan dalam penelitian ini. Jumlah
sampel juga mempengaruhi hasil penelitian
ini, karena semakin besar sampel, hasil penelitian akan semakin presisi. Penelitian ini juga
tidak melibatkan kelompok normal sebagai
pembanding, sehingga beda proporsi faktor
risiko tidak berbeda jauh.
V. KESIMPULAN
Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non
ISH tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
daftar pustaka
1. Sacco, R.L., Kasner, S.E., Broderick, J.P., et al. An Updated Definition of Stroke for the 21st
Century : A Statement for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2013;44.
2. Keep, R.F., Hua, Y., & Xi, G. Intracerebral Haemorrhage: Mechanisms of Injury and Therapeutic Targets. Lancet Neurol 2012. 2012;11:720–31.
3. Zia, E., Hedblad, B., Rasmussen, H.P., et al. Blood Pressure in Relation to the Incidence of
Cerebral Infarction and Intracerebral Hemorrhage : Hypertensive Hemorrhage: Debated
Nomenclature Is Still Relevant. Stroke. 2007;38: 2681-85.
4. Iadecola, C. & Gorelick, P.B. Hypertension, Angiotensin, and Stroke: Beyond Blood Pressure. Stroke. 2004;35:348-50.
5. Franklin, S.S., Pio, J.R., Wong, N.D., et al. Predictors of New-Onset Diastolic and Systolic
Hypertension : The Framingham Heart Study. Circulation. 2005;111:1121-7.
6. Fang, X.H., Zhang, X.H., Yang, Q.D., et al. Subtype Hypertension and Risk of Stroke in
Middle-Aged and Older Chinese : A 10-Year Follow-Up Study. Stroke. 2006;37:38-43.
7. Rashid, P., Bee, J.L. & Bath, P. Blood Pressure Reduction and Secondary Prevention of
Stroke and Other Vascular Events : A Systematic Review. Stroke. 2003;34:2741-8.
8. Klungel, O.H., Kaplan, R.C., Heckbert, S.R., et al. Control of Blood Pressure and Risk of
Stroke Among Pharmacologically Treated Hypertensive Patients. Stroke. 2000;31:420-4.
9. Howard, G., Cushman, M., Howard, V.J., et al. Risk Factors for Intracerebral Hemorrhage :
The REasons for Geographic And Racial Differences in Stroke (REGARDS) Study. Stroke.
2013;44:1282-7.
10. Qureshi, A.I., Suri, M.F.K., Mohammad, Y., et al. Isolated and Borderline Isolated Systolic
Hypertension Relative to Long-Term Risk and Type of Stroke : A 20-Year Follow-Up of the
National Health and Nutrition Survey. Stroke. 2002;33:2781-8.
11. Nielsen, W.B., Lindenstrøm, E., Vestbo, J., et al. Is Diastolic Hypertension an Independent
Risk Factor for Stroke in the Presence of Normal Systolic Blood Pressure in the Middleaged and Elderly?. American Journal of Hypertension. 1997;10:634–9.
12. Yeh, C.J., Pan, W.H., Jong, Y.S., et al. Incidence and Predictors of Isolated Systolic
Hypertension and Isolated Diastolic Hyeprtension in Taiwan. J Formos Med Assoc.
2001;100:668–75.
13. Van Rossum, C.T.M., van de Mheen, H., Witteman, J.C.M., et al. Prevalence, Treatment,
and Control of Hypertension by Sociodemographic Factors Among the Dutch Eldery.
Hypertension. 2000;35:814-21.
14. Porth, C.M. & Matfin, G. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 8th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. p.512-5, 1318-21.
15. Tedgui, A. & Mallat, Z. Hypertension : A Novel Regulator of Adaptive Immunity in Atherosclerosis? Hypertension. 2004;44:257-8.
16. Soyama, Y., Miura, K., Morikawa, Y., et al. High-Density Lipoprotein Cholesterol and Risk
of Stroke in Japanese Man and Women: The Oyabe Study. Stroke. 2003;34:863-8.
17. Asia Pasific Cohort Studies Collaboration. Triglycerides as a Risk Factor for Cardiovascular Disease in the Asia-Pasific Region. Circulation. 2004;110: 2678-86.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
PERBANDINGAN KEJADIAN STROKE HEMORAGIK
PADA ISOLATED SYSTOLIC HYPERTENSION DAN NONISOLATED SYSTOLIC HYPERTENSION
3 SKP
Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda (√) di samping kanan.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pernyataan
B
S
Seseorang dengan systolic blood pressure ≥ 140 mmHg dan diastolic blood pressure
5 SKP
> 90 mmHg, tergolong ke dalam penderita Isolated Systolic Hypertension (ISH).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke

hemoragik pada IDH dan non-IDH.
Berdasarkan Systolic Blood Pressure (SBP) dan Diastolic Blood Pressure (DBP),
hipertensi non-Isolated Systolic Hypertension (ISH) masih dapat dibedakan menjadi

dua yaitu Systolic Diastolic Hypertension (SDH) dan Isolated Diastolic Hypertension
(IDH).
Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi stroke hemoragik dan iskemik, jenis
kelamin (laki-laki dan perempuan), usia ≥ 35 tahun, SBP ≥ 140mmHg dan DBP < 90

mmHg, SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg, atau SBP ≥ 140 mmHg dan DBP ≥ 90
mmHg.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pasien dengan Isolated Systolic Hypertension

(ISH) memiliki risiko stroke tertinggi dibandingkan tipe hipertensi lainnya, sesuai
dengan hasil dari penelitian Fang et al. (2006).
Angka kejadian Isolated Systolic Hypertension (ISH) terbanyak pada penelitian ini
terdapat pada rentang usia 61 sampai 70 tahun, dan akan kembali menurun pada
usia 71 tahun.
Dari hasil penelitian ini, kejadian Isolated Diastolic Hypertension (IDH) lebih sering
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.

Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non-ISH terdapat perbedaan yang signifikan.
Kadar kolesterol serum dan kadar LDL yang tinggi beperan penting dalam
pembentukan aterosklerosis yang akan memicu terjadinya stroke, khususnya stroke
iskemik.
Kelemahan penelitian ini adalah perbandingan kejadian stroke hemoragik terhadap
jenis-jenis hipertensi, yaitu non-ISH, SDH, IDH dan ISH yang belum pernah dilakukan
pada penelitian sebelumnya.







KETERANGAN:
- Tandai (√) pada jawaban yang dipilih.
- Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis.
- Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan
-
sertifikat jika jumlah jawaban benar ≥ 60%.
Sertifikat akan dikirimkan setelah dokter mengerjakan setiap artikel CME dalam satu edisi
terbit.
Masa berlaku kuis CME untuk setiap edisi adalah 3 tahun setelah artikel diterbitkan, sehingga
jawaban yang diterima melewati batas waktu tersebut, tidak akan memperoleh SKP.
CARA MENGIRIM JAWABAN:
- Lipat tiga bagian (secara horizontal) lembaran ini hingga berbentuk seperti amplop (lihat
gambar).
- Setelah dilipat tiga bagian, kirimkan lembaran kuis dan formulir biodata yang telah diisi ke
alamat redaksi MEDICINUS yang tertera di halaman selanjutnya. Atau bisa dengan cara menscan
[email protected]
lembar biodata dan jawaban ke email [email protected].
- Artikel dan kuis CME setiap edisinya juga bisa diakses langsung di http://cme.medicinus.co/.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
33
34
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Case report
Acute Limb Ischemic
Edwin Nugroho Njoto
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Internship doctor in Parama Sidhi General Hospital, Singaraja, Bali
ABSTRACT
Acute limb ischemic (ALI) is defined as a sudden decrease in limb perfusion that threatens the viability of the limb. Physical finding may include an absence of pulse distal to the occlusion, cool and
pale or mottled skin, reduced sensation, decreased strength and associated with ischemic stroke
and myocardial infarction.
A 41-year-old man came to ER with necrosis in the left and right cruris and pedis. Patient has visited
national heart center “Harapan Kita” and was diagnosed with acute limb ischemia. Duplex sonography femoralis, angiojet and percutaneous intra arterial thrombolysis were done 2 days after the
patient’s experienced symptoms. On the 3rd day after hospital admission he had the first amputation. On the 13rd day after hospital admission he had the second amputation. On the 19th day of
admission, patient was out of hospital.
Keyword: acute limb ischemic, necrotic, amputation
INTRODUCTION
The incidence of ALI is approximately 1,5 cases per 10.000 persons per year. Clinical events that
cause ALI include acute thrombosis of a limb artery or bypass graft, embolism from the heart or a
diseased artery, dissection, and trauma. (from severing of an artery or thrombosis). The clinical presentation is considered to be acute if it occurs within 2 weeks after symptom onset. The rapid onset
of limb ischemia results from a sudden cessation of blood supply and nutrients to the metabolic
active tissues of the limb, including skin, muscle, and nerves. 1,2
Acute limb ischemic is induced by atherosclerosis may threat viability of limbs. Damaged viability of
limbs may cause necrosis.1 Necrosis was one of the complications that can be happened. Here we
report a male patient with necrosis due to acute limb ischemic.
CASE PRESENTATION
A 41-years-old male came to ER complaining of swelling and pain in both calves and legs since
10 days before admission to hospital. Stabbing pain was felt in the upper tip of the calves. Pain
was felt when patient was walking and relieved when resting. In the beginning the pain was only
felt like a muscleache but then it got worse as the day goes on and was accompanied by swelling.
Edinburgh claudication questionnaire result shows positive claudication. Patient was a heavy
smoker (>2 packs/day). History of previous operation was denied. Patient’s Body Mass Index
(BMI) was 34,60 kg/m2. His elder brother had a heart failure. Patient had already visited National
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
35
CASE
REPORT
Technology
Heart Center Harapan Kita to do duplex sonography femoralis, arterography, angiojet and
percutaneous intra arterial thrombolysis 2 days
after he began experiencing symptoms. But
there was bleeding with significant decrease
in hemoglobin and the lower extremity started
to necrosis, so the thrombolytic was stopped.
Echocardiography was done in national heart
center with result LV septal hyperthrophy,
normal systolic and diastolic function, normal
valve, and no thrombus. Electrocardiography
couldn’t be done due to necrosis on both legs
and calves From national heart center, he was
given irbersatan 300 mg once daily, fibrat once
daily, alprazolam0,5 mg once daily, laxadine 3
times daily, pantoprazole twice daily, ceftriaxone 2 gram once daily, tramadol drip in ringer
lactat 20 drop/minute, amlodipine 10 mg once
daily, allopurinol 100 mg 3 times daily, clopidogrel 75 mg once daily, paracetamol 500 mg
3 times daily
On physical examination, he was noted to have
a normal blood pressure (on antihypertensive
drug from National Heart Center Harapan Kita),
normal heart rate, normal respiratory rate, and
slightly increased body temperature. Head and
neck exam was clear. Cardiovascular exam was
normal. Lungs were clear, and abdominal exam
was normal. Left pedis examination revealed
necrotic tissue above the knee, pus in the digiti I-V, blood, and no sensory sensation. Right
pedis examintation revealed necrotic tissue below knee, oedema and bulla, and no sensation
below knee. Laboratory studies showed anemia
(Hb: 10), leucositosis (WBC: 16,8), slight increase
of BUN (BUN: 60), and high level of transaminase (AST/ALT: 200/273). Trombosit, creatinine,
random blood glucose and lipid profile were
normal. On admission, the doctor suggested
amputation above knee on both legs but the
patient refused. He was treated with ceftriaxon
twice daily, ketorolac three times a day, flavonoid fraction three times a day, cilostazol twice
daily, warfarin once daily, amlodipin 5 mg once
daily
On 3rd day of admission patient agreed to have
first amputation on the left limb. On physical
examination he was takikardia (112 bpm), regu-
36
MEDICINUS
lar takipneu (24 bpm), and febris (39 C). Laboratory result showed anemia(Hb: 8,7), leucositosis (WBC: 22,7), and low platelet (PLT: 70000),
hipoalbumin (2,3). Bleeding time and clotting
time were normal. Gentamicin twice daily,
whole blood transfusion 1 bag were added to
his treatment. On 13rd day of admission the
second amputation was performed. Laboratory
result showed anemia (Hb: 8,4), leucositosis
(WBC: 11,1), increase trombosit (PLT 494000). On
14th day of admission, postoperation laboratory
studies showed anemia (Hb: 9,9), leucositosis
(WBC: 21,4), increase thrombosit (PLT:466000),
increase in coagulation studies (aPTT 43,5s, PT
26,2 s, INR 2,23).
On 19th day of admission, patient was out of
hospital. He was treated with cilostazol twice
daily, Amlodipin 5 mg once daily, Perindopril 5
mg once daily, Flavonoid fraction 500 mg three
times a day, paracetamol 500 mg three times
a day, mefenamic acid three times a day, cefadroxil three times a day.
DISCUSSION
In this report, the writer presented a case of
acute limb ischemia. Patients with atherosclerosis risk factors deserve special attention regarding their status for several reasons. First,
Despite urgent revascularization with thrombolytic agents or surgery, amputation occurs
in 10% to 15% of patients during hospitalization. A majority of amputations are above the
knee.2 Second, rates of death and complications
among patients who present with acute limb
ischemia are high. Approximately 15% to 20%
of patients die within 1 year after presentation,
often from coexisting conditions that predisposed them to acute limb ischemia. Two years
following a below knee amputation, 30% are
dead, 15% have an above knee amputation, 15%
have a contralateral amputation, and only 40%
have full mobility.2 Third, Since atherosclerosis
is a systemic disease, other disease can developed such as coronary artery disease and cerebrovascular disease.2
In this patient, ALI was diagnosed based on:
1. Symptoms were swelling and stabbing pain
Vol. 27, No.3, Desember 2014
CASE
REPORT
Technology
Figure 1 Duplex sonography femoralis vein
Figure 2 Duplex sonography femoralis artery
Figure 3 Duplex sonography femoralis
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
37
CASE
REPORT
Technology
in both calves and legs, felt when walking
and relieved when resting since 10 days before admission to hospital. Edinburgh claudication questionnaire shows positive claudication. Edinburg Claudication questionnaire
is a standardized method to screen and diagnose intermittent claudication with 80%90% sensitivity and > 95% specificity.2,3
2. Risk factor in this patient were heavy smoker
(> 2 packs/day), obesity (BMI: 34,60 kg/m2),
family history of cardiovascular disease.
3. Duplex sonography femoralis result shows
that :
a. Occlusion in the left illiaca artery with
positive collateral in the communis femoralis artery
b. Occlusion from left superficialis femoral
artery until left posterior-anterior tibialis
artery.
c. Occlusion in poplitea artery until distal
right anterior tibialis artery with positive
collateral on right posterior tibialis artery.
d. Deep vein thrombosis wasn’t found in
both legs.
Angiojet and thrombolysis had already been
done to patient 2 days after patient experience
the symptoms. Angiojet catheter is approved
by Food and Drug Administrations for treatment of occlusions in peripheral arteries. Angiojet thrombectomy catheter can be a useful
adjunct to thrombolysis. Angiojet catheter is
less effective in this patient because diameter
of femoral artery occlusion > 1 cm.2-5 Endovascular therapy with thrombolysis is one of treatment option for patients presenting with lower
extremity ALI,3,6,7 but endovascular therapy
38
MEDICINUS
with thrombolysis is not effective in this patient because of bleeding with significant decrease in hemoglobin and the lower extremity
started to necrosis.
From Rutherford classification, ALI is divided to
3 stages:2
1. Stage I: Limb viable and not immediately
threatened
2. Stage II: Limb threatened
a. Stage IIa: Marginally threatened, salvageable if promptly treated.
b. Stage IIb: Immediately threatened, salvageable with immediate revascularization
3. Stage III: Limb irreversibly damaged, major
tissue loss or permanent nerve damage inevitable.
Due to his condition with necrosis cruris with
Rutherford criteria stage III when the patient
came to writer’s hospital, the patient was suggested to have amputation on both limbs.2 But
he refused. Patient was given ceftriaxon twice
daily, ketorolac three times a day, flavonoid
fraction three times a day, cilostazol twice daily,
warfarin once daily.
Ceftriaxon was given to this patient because
this third generation of cephalosporins has
broad spectrum effect to gram positive and
gram negative bacteria and its bactericidal effect.8 Ketorolac was given to this patient to reduce the pain by inhibition of cyclooxygenase
(COX) pathway.9 Flavonoid fraction was given
to this patient because flavonoid fraction improves venous tone and lymphatic drainage,
and reduces capillary hyperpermeability by
Vol. 27, No.3, Desember 2014
CASE
REPORT
Technology
protecting the microcirculation from inflammatory processes.10 Cilostazol was given to this patient because this phosphodiesterase-3 inhibitor inhibits platelet aggregation and is a direct
arterial vasodilator so it can reduce leg pain
caused by poor circulation (intermittent claudication).11 Amlodipine was given to this patient
to reduce blood pressure and for its peripheral
arterial vasodilator effect to reduce myocardial
oxygen demand.12
On the 3rd day of admission, patient started
to develop sepsis as such patient agreed to
do amputation. Gentamicin and whole blood
transfusion was added to patient’s treatment.
Gentamicin was given to this patient because
gram negative bacterial infection was commonly found in leg and this aminoglycoside antibiotics sensitive to negative gram organism.13
Whole blood transfusion 1 bag was given to this
patient because low level of haemoglobin (hb:
8,7 gr/dl).
On 13rd day of admission the second amputation was performed.
On 19th day of admission, patient was out of
hospital. He was treated with cilostazol twice
daily, Amlodipin 5 mg once daily, Perindopril 5
mg once daily, Flavonoid fraction 500 mg three
times a day, paracetamol 500 mg three times
a day, mefenamic acid three times a day, cefadroxil three times a day.
Perindopril was given to this patient because
this ace inhibitor will reduced cardiovascular
events by 25% in patients with symptomatic
peripheral arterial disease without known low
ejection fraction or heart failure.14 Mefenamic
acid was given as analgetic drug.9 Cefadroxil
was given to this patient to replace cephalosporine antibiotic from intravenous to oral
drug.8
Educate patient is important to prevent other
thromboembolic disease in this patient. Risk
factors prevention such as reduce body weight,
smoking cessation are important. Leg prothesis
can be used in this patient to improve quality
of life.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
SUMMARY
Diagnosis acute limb ischemic based on anamnesis, physical examination, and supporting
examination like doppler sonography. Risk factor prevention, early identification, and prompt
treatment of acute limb ischemic are important
to reduce complication.
daftar pustaka
1. Creager M.A, Kaufman J.A, Conte M.S. Acute Limb Ischemic N Engl J Med 2012;366:2198-2206.
2. European Society Of Cardiology. ESC Guideline on the
diagnosis and treatment of peripheral artery disease. European Heart Journal 2011; 32: 2851-2906
3. Leng G, Fowkes F. The Edinburgh claudication questionnaire: an improved version of the WHO/Rose questionnaire for use in epidemiological surveys. J Clin Epidemiol
1992; 45: 1101-1109
4. Lee M.S, Singh V., Wilentz J.R., Makkar R. Angiojet
thrombectomy. J Invasive Cardiol 2004; 16(10): 587-591
5. Sharma S.K. Role of Angiojet Rheolytic thrombectomy
catheter:Mount Sinai Hospital experience. J Invasive Cardiol 2010; 22(10) Supplemental issue.
6. Kashyap V.S, Gilani R, Bena J.F, Bannazadeh M., Sarah T.P.
Endovascular therapy for acute limb ischemic. Journal of
vascular surgery 2011: 53 (2): 340-346.
7. Morison H L. Catheter-directed thrombolysis for acute
limb ischemic. Semin Intervent Radiol. 2006; 23(3): 258269
8. Chambers H.F. Antibiotik beta-laktam dan antibiotic lain
yang aktif di dinding dan membrane sel. In: Katzung B.G.
Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.756-760
9. Furst D.E, Urich R.W.Obat anti-inflamasi nonsteroid; obat
antireumatik pemodifikasi penyakit, analgesic non opioid, dan obat yang digunakan pada gout. In: Katzung B.G.
Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.589-598
10.Katsenis K. Micronized purified flavonoid fraction
(MPFF): a review of its pharmacological effects, therapeutic efficacy and benefits in the management of chronic
venous insufficiency. Curr vasc pharmacol 2005; 3(1): 1-9
11.Shinohara Y, et all. Cilostazol for prevention of secondary
stroke (CSPS2): an aspirin-controlled, double blind, randomized non-inferiority trial. The Lancet Neurology 2010;
9 (10). 959-968
12.Paramita D, Hindariati E. Peran Calsium Channel Blocker
pada hipertensi. In: Pikir B. S., et all. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya (2011): AUP p.252-270
13.www.wikipedia.org (homepage on the internet). New
York: Wikimedia foundation (updated 2013 April). Available from: http://en.m.wikipedia.org/wiki/gentamicin.
14.Faujiah R, Lefi A. Peran Angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEI) pada hipertensi. In: Pikir B. S., et all. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya (2011):
AUP p.203-217.
MEDICINUS
39
Technology
MEDICAL
REVIEW
Pemilihan Antibiotik yang Rasional
Lukman Zulkifli Amin
PPDS Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo
ABSTRAK
Pemilihan antibiotik merupakan suatu kunci penting dalam pengobatan kasus-kasus infeksi. Masalah
global yang saat ini dihadapi adalah tingginya angka penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasinya. Beragam penyebab yang menyebabkan penyalahgunaan antibiotik. Dampak pada pengobatan adalah terjadinya resistensi antibiotik. Dengan penggunaan antibiotik secara rasional akan
memberikan optimalisasi terapi antibiotik ini sehingga memberikan hasil yang optimal juga.
Kata kunci: antibiotik, rasional, aspek farmakologi, aspek penderita, aspek pejamu, pola pemilihan
antibiotik
PENDAHULUAN
Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak tahun 1940. Selama
63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan meluasnya potensi resistensi
bakteri.
Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang organisme infeksius dan
juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan
perubahan keseimbangan ekosistem antara strain yang peka dan yang resisten, konsekuensinya
adalah gangguan ekologi mikrobial alami. Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang
berbeda jenisnya atau varian resisten dari bakteri yang sudah ada.2
Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia. Hal
ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol
terjadinya resistensi bakteri.3
Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan yang rasional. Atau
secara sederhana diartikan sebagai “meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling
rendah”.5 Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan anti-
40 MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Technology
MEDICAL
REVIEW
biotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik
yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan
efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas
obat dan meminimalkan terjadinya resistensi.6
1. Prinsip Kerja Antibiotik
Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi
maka terdapat tiga aspek yang saling berkaitan,
yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Penggunaan antimikroba secara prinsip berbeda
dengan obat pada umumnya oleh karena target
antimikroba adalah sel kuman sedangkan obat
lain adalah sel host. Dalam penggunaannya,
antibiotik diharapkan mampu mencapai lokasi
infeksi dengan kadar yang cukup (melebihi kadar hambat minimal/KHM), masuk/penetrasi
ke dalam sel bakteri dan bekerja mengganggu
proses metabolisme bakteri sehingga bakteri
tersebut menjadi tidak aktif atau mati; namun
efek toksik pada sel host diharapkan seminimal
mungkin.7
Keberhasilan pengobatan antibiotik dipe-ngaruhi
oleh berbagai faktor. Selain jenis antibiotik dan
spektrum antimikroba, aspek farmako-logis yaitu
farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan
faktor yang sangat penting. Aspek farmakokinetik
mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi obat. Sedangkan aspek farmakodinamik
mencakup sifat bakteriostatik/bakterisid, timedependent/concentration dependent dan post-antibiotic effect (PAE) antibiotik.7
2. Aspek Farmakologis Antibiotik
2.1. Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai perjalanan dan apa yang terjadi
pada obat saat berada di dalam tubuh. Di antaranya termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi.7
Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di saluran cerna pada pemberian
Vol. 27, No.3, Desember 2014
oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah, konsentrasi obat akan menurun secara cepat
dalam fase yang disebut dengan fase alfa (α).
Pada fase selanjutnya yaitu fase beta (β) maka
konsentrasi antibiotik akan menurun secara
perlahan dan stabil. Pada fase beta ini yang
menentukan waktu paruh (t1/2) dari suatu antibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua
obat akan mencapai sirkulasi sistemik dalam
keadaan utuh/aktif, dan jumlah persentase
obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam
keadaan utuh atau aktif disebut bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam
sediaan dengan kadar obat dalam darah atau
jaringan disebut bioekuivalensi.7
Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai protein dominan dalam
serum dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Persentase
antibiotik yang terikat secara reversibel terhadap albumin serum digambarkan dengan
istilah protein binding. Obat kemudian akan
melepaskan diri dari ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa membran sel
sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu berikatan de-ngan protein jaringan. Distribusi obat antara lain dipengaruhi oleh aliran darah, pH, protein bin-ding,
dan volume distribusi.7
Pasca distribusi obat, obat kemudian akan
mengalami metabolisme oleh berbagai enzim
dan yang terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450, sehingga pemberian obatobatan yang dapat meningkatkan atau menghambat kerja enzim ini dapat mempengaruhi
aktivitas antibiotik.7
Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif.
Sedangkan untuk obat dalam bentuk prodrug,
enzim akan mengaktivasi obat tersebut menjadi bentuk yang aktif.7
MEDICINUS
41
Technology
MEDICAL
REVIEW
Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal
dan diekskresikan melalui urin dalam bentuk
metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat
dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan
ke dalam usus. Dari dalam usus sebagian obat
akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan
kembali diserap dan dibuang melalui ginjal.
Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui
keringat, liur, air mata, dan air susu.7
2.2. Farmakodinamik
Farmakodinamik menggambarkan efek kerja
suatu obat. Secara umum, aktivitas antibiotik
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba)
dan bakterisidal (membunuh mikroba). Contoh
antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain
aminoglycoside, beta-lactam, metronidazole,
kuinolon, rifampicin, pirazinamide, vancomycin,
isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik antara lain
chloramphenicol, clindamycin, ethambutol, macrolide, sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun sifat bakteriostatik dan bakterisid
dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotik
dengan sifat bakteriostatik dapat pula bersifat
bakterisid bila kadarnya ditingkatkan.7
Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroba dikenal dengan istilah kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal
(KBM). Fungsi antibiotik terhadap KHM dapat
dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya
(concentration dependent) dan terhadap waktu
(time dependent). Pada antibiotik golongan
concentration dependent maka semakin tinggi
kadar obat dalam darah maka semakin tinggi
pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan
efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan
menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh
di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis
time dependent, selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa
kerjanya, kecepatan dan efektivitas kerja obat
42
MEDICINUS
tersebut akan mencapai nilai maksimal. Contoh
antibiotik golongan concentration dependent
adalah quionolone dan aminoglycoside, sedangkan contoh antibiotik golongan time dependent
adalah beta-lactam.7
Beberapa golongan antibiotik masih dapat
menunjukkan aktifitas dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya
lebih rendah dari KHM. Fenomena ini disebut
post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh
jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri,
contohnya quionolone dan aminoglycoside yang
memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama
terhadap kuman gram negatif.7
2.3. Cara Kerja Antibiotik
Antibiotik memiliki cara kerja yang berbedabeda dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai
antibiotik dibuat berdasarkan mekanisme kerja
tersebut, yaitu :
1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Contohnya adalah penicilin,
cephalosporin, carbapenem, monobactam dan
vancomycin.
2. Antibiotik yang bekerja dengan merusak membran sel mikroorganisme. Antibitoik golongan ini merusak permeabilitas membran sel
sehingga terjadi kebocoran bahan-bahan dari
intrasel. Contohnya adalah polymyxin.
3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan mempengaruhi
subunit ribosom 30S dan 50S. Antibiotik ini
menyebabkan terjadinya hambatan dalam
sintesis protein secara reversibel. Contohnya
adalah chloramphenicol yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme lainnya, serta
macrolide, tetracycline dan clindamycine yang
bersifat bakteriostatik.
4. Antibiotik yang mengikat subunit ribosom 30S.
Antibiotik ini menghambat sintesis protein dan
mengakibatkan kematian sel. Contohnya adalah aminoglycoside yang bersifat bakterisidal.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Technology
MEDICAL
REVIEW
5. Antibiotik yang menghambat sintesis asam
nukleat sel mikroba. Contohnya adalah rifampicin yang menghambat sintesis RNA
polimerase dan kuinolon yang menghambat
topoisomerase. Keduanya bersifat bakterisidal.
6. Antibiotik yang menghambat enzim yang
berperan dalam metabolisme folat. Contohnya adalah trimethoprime dan sulfonamide.
Keduanya bersifat bakteriostatik.
2.4. Kombinasi Antibiotik
Kombinasi antimikroba digunakan pada infeksi
berat yang belum diketahui dengan jelas kumankuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian
kombinasi antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin.
Selain itu, kombinasi antimikroba juga digunakan
untuk mencapai efek sinergistik dan juga untuk
menghambat timbulnya resistensi terhadap
obat-obatan antimikroba yang digunakan.8
2.5. Efek Samping Antibiotik
Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi,
atau biologis. Efek samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomicin,
gentamicin, tobramycin, streptomycin atau amikacin secara intraperitoneal atau intrapleural.
Erithromycin estolac sering menyebabkan hepatitis kolestatik. Antibiotik seperti rifampicin,
cotrimoxazole dan isoniazide potensial hematotoksik dan hepatotoksik. Pemakaian chloramphenicol yang melampaui batas keamanan akan
menekan fungsi sumsum tulang dan berakibat
anemia dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping yang
dapat mengakibatkan kematian pasien setelah
pemakaian chloramphenicol.8
Efek samping alergi terutama disebabkan oleh
penggunaan penicilin dan cephalosporin. Keadaan yang paling jarang adalah kejadian syok
anafilaktik. Kejadian yang lebih sering timbul
adalah ruam dan urtikaria. Efek samping biolo-
Vol. 27, No.3, Desember 2014
gis disebabkan karena pengaruh antibiotik terhadap flora normal di kulit maupun di selaputselaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada
penggunaan obat antimikroba berspektrum
luas.8
Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan
penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan yang membutuhkan pengobatan intensif dapat juga disebabkan oleh
penggunaan antibiotik seperti clindamycin, tetracycline dan obat antibiotik berspektrum luas
lainnya.8
3. Aspek Mikrobiologik Kuman
Jenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi
sebelum dimulainya terapi. Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian terapi, namun karena hasilnya membutuhkan waktu lama maka terapi empirik dapat diberikan dengan panduan pemeriksaan
yang lebih sederhana seperti pewarnaan gram.7
Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi empirik, data mikrobiologi khususnya mengenai
pola kepekaan kuman dan data patogen resisten di rumah sakit setempat merupakan hal
yang sangat penting. Pola kepekaan kuman
yang berasal dari komunitas atau kuman nosokomial terhadap tiap jenis antibiotik merupakan panduan untuk menentukan antibiotik
yang akan diberikan dalam terapi empirik. Semakin luas cakupan suatu antibiotik terhadap
patogen akan meningkatkan probabilitas keberhasilan pengobatan.7
Selain data mengenai pola kepekaan, data
surveilans patogen resisten baik yang berasal
dari komunitas (misalnya penicillin resistance
S.pneumoniae/PRSP) atau kuman nosokomial
(methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended
spectrum beta-lactamase/ESBL juga merupakan
pertimbangan dalam menentukan pilihan antibiotik.7
MEDICINUS
43
medical review
4. Aspek Penderita
Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik, antara lain
derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan,
faktor genetik, penyakit komorbid, status imunitas, adanya kehamilan atau laktasi, riwayat
alergi dan faktor sosio ekonomi.7
Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu
diperhatikan berat ringannya infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta
status imunitas penderita. Pada infeksi ringan,
pemberian antibiotik tidak perlu diberikan
seketika. Penundaan pemberian antibiotik justru akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk merangsang timbulnya mekanisme
kekebalan tubuh. Namun pada infeksi yang
berat dan atau telah berlangsung lama, terapi
antibiotik dapat segera dimulai.7
Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik seperti organ yang
memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang,
atau organ yang memiliki sawar khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut,
pemberian antibiotik harus meliputi antibiotik
yang dapat menembus lapisan tersebut sehingga obat dapat bekerja secara efektif. Selain itu adanya abses, jaringan nekrotik, mukus
yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga
dapat mengurangi efektifitas kerja antibiotik
sehingga diperlukan tindakan seperti pembersihan luka insisi dan sebagainya sebelum antibiotik diberikan.7
Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam
pemberian antibiotik. Pada neonatus karena
kerja berbagai organ seperti hepar dan ginjal yang belum sempurna akan meningkatkan
risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian
pula pada usia lanjut dengan adanya penurunan
berbagai fungsi organ karena proses penuaan.7
Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati
atau ginjal juga harus diperhatikan karena da-
44
MEDICINUS
pat menurunkan efektifitas obat dan memperberat efek toksisitas. Selain itu, kelainan genetik
seperti defisiensi enzim Glucose-6-Phospate Dehydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan
anemia hemolitik pada pemberian antibiotik
tertentu seperti chloramphenicol dan sulfonamide.7
Status imunitas baik imunitas selular maupun
humoral pada penderita harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik.
Pada penderita yang imunokompeten, antibiotik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup
efektif untuk mengendalikan infeksi tertentu,
sedangkan pada pasien dengan penurunan
status imun, pada infeksi yang sama mungkin
diperlukan antibiotik dengan efek bakterisidal
untuk mengatasinya.7
Adanya kehamilan dan laktasi akan mempengaruhi pemilihan antibiotik karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah
plasenta dan masuk ke peredaran darah janin
serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan,
seperti efek teratogenik dan sebagainya. Ibu
hamil juga pada umumnya lebih peka terhadap
pengaruh obat obat tertentu, termasuk antibiotik. Demikian pula dengan laktasi, karena beberapa antibiotik juga dapat ditemukan dalam
air susu. Untuk itu, pertimbangan baik untuk ibu
maupun janin harus diperhatikan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan.7
Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat
harus pula diperhatikan lama dan interval pemberian obat, sehubungan dengan jumlah obat
yang diperlukan. Biaya pengobatan tersebut
merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari
suatu penyakit.7
5. Pola Pemberian Antimikroba
Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka antibiotik dapat diberikan berdasarkan beberapa
pola tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, interventif, omnisprektif dan profilaktif.8
Vol. 27, No.3, Desember 2014
medical review
Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap antibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat antibiotik efektif dengan spektrum sempit.
Kesulitan yang akan dihadapi adalah tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan
tepat.8
Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini, pemilihan harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi
pada jaringan atau organ yang dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan
kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.8
Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman pada sebuah protokol
pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat antibiotik lainnya. Bila respon yang didapat tidak memuaskan, maka protokol-protokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan
pengalaman terkini tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara pengobatan ini dikenal
sebagai terapi antimikrobial interventif.8
Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum antibiotik seluas-luasnya
dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi
pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan syok septik.8
Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasikomplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan.8
KESIMPULAN
Pemberian antibiotik secara rasional meliputi pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan penghentian obat yang berkualitas baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan terjangkau harganya oleh pasien.7,8
daftar pustaka
1. Barbosa TM, Levy SB. The Impact of Antibiotic use on Resistance Development and Persistence. Drug Resistance
Updates 2000;3.303-311.
2. Sulastrianah, Badaruddin F, Massi N. Rasionalisasi Penggunaan Antibiotik di RSUP.DR.Wahidin Sudirohusodo
Periode November 2011 – Januari 2012 dan Maret – Mei
2012 [Tesis].Universitas Hasanuddin Makassar; 2012.
3. Brunton L. Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman
& Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics.
International Edition. McGraw-Hill. New York 2008:707797.
4. Wax R et al. Bacterial Resistance to Antimicrobials, 2nd
edition. Boca Raton, FL:CRC Press 2008:46.
5. World Health Organization. Antibiotic resistance : syn-
Vol. 27, No.3, Desember 2014
thesis of recommendation by expert policy groupsAlliance for the Prudent Use of Antibiotics. WHO 2001.
6. Ambwani S, Mathur AK. Rational Drug Use. Health Administrator XIX 2006.
7. Pohan HT. Dasar-dasar Pemilihan Antibiotik pada Infeksi
Komunitas. Dalam : Setiati et al. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia 2005:50-55.
8. Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional
Di Klinik. Dalam : Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Cetakan kedua
2010:2896-2900.
MEDICINUS
45
medica l review
Probiotik:
Problematika dan Progresivitasnya
Dito Anurogo
Indonesian Young Health Professional's Society (IYHPS)
www.detik.com Jakarta dan Klinikkita Semarang
ABSTRACT
ABSTRAKSI
Probiotics are live microorganisms which when
administered in adequate amounts confer a
health benefit on the host. Their beneficial
health effects are indubitable.
Probiotik adalah mikroorganisme hidup bila
diberikan di dalam jumlah yang cukup memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh. Efeknya
terhadap kesehatan adalah pasti.
The purpose of this scientific article is to review
probiotics, including: history, criteria, sources,
mechanisms of action, benefits, side-effects,
contraindications, and dosages.
Tujuan artikel ilmiah ini adalah untuk meninjau
probiotik, termasuk: sejarah, kriteria, sumbersumber, mekanisme aksi, manfaat, efek samping, kontraindikasi, dan dosis.
Key words:
probiotics, sources, benefits, effects.
Kata Kunci:
probiotik, sumber-sumber, manfaat, efek.
I. PENDAHULUAN
Probiotik adalah mikroorganisme hidup di dalam bahan makanan dimana saat diambil pada kadar tertentu sebagai nutrisi, menyediakan penyeimbangan (equilibration) flora usus, dan karena
itu memiliki efek positif terhadap kesehatan tubuh. Probiotik dipilih dari strains yang paling bermanfaat untuk bakteri usus, yaitu bakteri dari genus Bifidobacterium, Lactobacillus, dan ragi.1
Menurut ILSI International Life Sciences Institute (ILSI) Europe Working Group, probiotik adalah
suplemen makanan dari mikroba hidup yang memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan inang (host).2
Menurut WHO dan FAO (2002), mikroorganisme hidup dimana bila diberikan di dalam jumlah
yang cukup memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh.3 Dari berbagai definisi ini, probiotik hendaklah tidak diacu sebagai agen biotherapeutic.4
46
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Technology
MEDICAL
REVIEW
Perlu diketahui pula, bahwa meskipun sering
digunakan sebagai sinonim, istilah "probiotik" tidaklah sama dengan "makanan probiotik" (probiotic foods). Makanan probiotik mengandung mikroorganisme probiotik hidup di
dalam matrix yang memadai dan konsentrasi
yang cukup, sehingga setelah proses pencernaannya, efeknya akan melebihi penyedia zat
gizi yang biasanya.5
Mengacu ke berbagai referensi, istilah “probiotics” dapat dianggap bersinonim dengan istilah “probiotic microorganisms” atau “probiotic
bacteria”.
Di dalam artikel ini, akan dibahas berbagai
problematika dan progresivitas (kemajuan)
probiotik yang meliputi multiaspek, seperti:
sejarah, kriteria, sumber, mekanisme kerja,
manfaat, efek samping, kontraindikasi, dosis
probiotik yang telah kami review.
II. PEMBAHASAN
a. Sejarah Probiotik
Istilah “probiotics” diciptakan pada tahun
1950-an oleh W. Kollath,6 sedangkan Lilly dan
Stillwell pada tahun 1965 menggunakan istilah ini untuk bakteri dan spora hidup sebagai
makanan tambahan pada hewan (animal feed
supplements) yang membantu membatasi
penggunaan antibiotik pada peternakan hewan.7
b. Kriteria Probiotik
Tidak semua mikroorganisme dapat digolongkan sebagai probiotik. Kriteria mikroorganisme ideal yang dapat dimasukkan ke dalam
kelompok probiotik adalah:1
gastrointestinal pada pH rendah dan berhubungan dengan empedu.
2). Melekat ke sel-sel epitel usus.
3). Stabil terhadap mikroflora usus.
4). Non-pathogenicity.
5). Bertahan hidup di dalam bahan makanan
dan berkemungkinan untuk produksi pharmacopoeia lyophilized preparations.
6). Multiplikasi cepat, baik dengan kolonisasi
temporer atau permanen dari traktus gastrointestinal.
7). Memiliki specificity probiotik yang generik.
Selain itu, ada berbagai faktor utama untuk
dipertimbangkan dan dapat mempengaruhi
kemampuan probiotik untuk bertahan hidup
di dalam produk-produk makanan atau minuman, diantaranya:8
1. Kondisi fisiologis dari probiotik yang ditambahkan;
2. Kondisi fisik dan kimiawi dari proses makanan;
3. Kondisi fisik dari penyimpanan makanan
(misal: suhu);
4. Komposisi kimiawi dari produk (keasaman,
kandungan gizi, kelembaban, dan oksigen)
5. Interaksi dengan komponen-komponen
produk lainnya (penghambat atau protektif )
Probiotik dapat ditambahkan ke dalam makanan dan minuman dengan berbagai macam
cara, seperti:9
a. Campuran kering (dry blended) menjadi makanan dan bubuk (powders) seperti: formula
bayi.
b. Dijadikan (dispersed) menjadi produk cair
atau semiliquid misalnya: jus atau es krim.
c. Disuntikkan (inoculated) menjadi produk
terfermentasi seperti: yogurt dan susu terfermentasi.
1). Dapat bertahan hidup melalui traktus
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
47
Technology
MEDICAL
REVIEW
c. Sumber Probiotik
Berbagai mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai probiotik antara lain:10-14. Bakteri Lactobacillus species, misalnya: L. acidophilus, L. casei, L. crispatus, L. fermentum, L. gasseri, L. johnsonii,
L. lactis, L. paracasei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus GG, Lactobacillus delbrueckii sub-species
bulgaricus.
Bifidobacterium species, misalnya: B. adolescentis, B. animalis, B. bifidum, B. breve, B. infantis, B.
lactis, B. longum. Bacillus cereus, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Escherichia coli Nissle,
Streptococcus thermophilus.
Ragi Saccharomyces boulardii.
Kultur probiotik berupa mikroorganisme jamur (fungi) yang telah disetujui dan direkomendasikan oleh State Food and Drug Administration (SFDA) antara lain: Candida utilis, Ganoderma lucidum, Ganoderma sinensis, Ganoderma tsugae, Hirsutella hepiali Chen et Shen, Kluyveromyces lactis,
Monacus anka, Monacus purpureus, Paecilomyces hepiali Chen et Dai sp.Nov, Saccharomyces cerevisiae, Saccharomyces carlsbergensis.
d. Mekanisme Kerja Probiotik
Probiotik memiliki multiperan dan multifungsi. Diantaranya: memiliki aktivitas antimikroba, yaitu: menurunkan pH luminal, mensekresikan peptida antimikroba, menghambat invasi bakteri,
menghalangi pelekatan bakteri di sel-sel epitel. Penguatan fungsi barier, berupa: peningkatan
produksi mukus dan meninggikan integritas barier. Imunomodulasi, maksudnya probiotik memiliki efek pada sel-sel epitel, sel-sel dendrit, monosit atau makrofag, limfosit (limfosit B, sel-sel
Natural Killer, sel-sel T, redistribusi sel T).15
48
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Technology
MEDICAL
REVIEW
Gambar 1. Mekanisme aksi probiotik yang disederhanakan. Inhibisi bakteri enterik dan
peningkatan fungsi barrier oleh bakteri probiotik. Representasi skematis dari crosstalk antara
bakteri probiotik dan mukosa intestinal.15
Antimicrobial
Lactic acid bacteria (LAB) adalah probiotik yang setelah diobservasi; memproduksi substansi antimicrobial. Substansi anti mikrobial yang diproduksi secara luas adalah asam organik, terutama
asam laktat dan asam asetat. Hydrogen peroxide dan carbon dioxide juga secara luas oleh LAB. Jika
probiotik LAB secara metabolis aktif selama perjalanan melalui usus (intestine), sangatlah mungkin
bahwa beberapa dari substansi ini akan diproduksi. Beberapa indikasi diperlukannya LAB bermula
dari observasi bahwa konsumsi strains probiotik tertentu mengurangi pH (keasaman) tinja, kemudian menunjukkan atau menandakan produksi asam-asam organik. Produksi berbagai komponen
antimicrobial lainnya; diacetyl, reuterine, pyroglutamic acid, dan bacteriocin, belum tentu dilakukan
dalam kondisi in vivo. Bacteriocin diproduksi dan aktif di rongga mulut, bukan di usus.16
Immunemodulation
Modulasi respon imun sistemik dan sekretori17 telah dibuktikan pada tikus dan hewan coba (experimental animals) lainnya. Inhibisi translokasi bakteri;18 peningkatan proliferasi pada organ sistem
imun (Peyer’s patches, limpa); stimulasi fagosit atau makrofag dan sel-sel NK (natural killer cells);19-21
meningkatnya pelepasan atau pembebasan sitokin (interferon alpha, interferon gamma, dan INF-
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
49
Technology
MEDICAL
REVIEW
alpha); perubahan keseimbangan Th1/Th212 ke arah alergi/atopi,22-24 meningkatkan produksi
antibodi spesifik,25-26 dan meningkatkan resistensi dan ketahanan hidup yang memanjang (prolonged survival) selama co-administration virus, toksin, dan bakteri (rotavirus, Klebsiella pneumoniae, Salmonella thyphimurium, Shigella, Vibrio cholerae, Listeria monocytogenes). Efek serupa
yang menggunakan parameter imunitas humoral dan selular juga telah terbukti pada manusia.
e. Manfaat Probiotik
Mikroorganisme probiotik memiliki multimanfaat, diantaranya:
1. Kehadiran S. epidermidis dapat mempengaruhi fungsi barrier kulit dan/atau perkembangan
respon imun bawaan di kulit manusia.27
2. Perbaikan signifikan pada perjalanan dermatitis atopik telah dilaporkan pada bayi yang diberi diet eliminasi probiotic-supplemented.28-29
3. Aplikasi topikal Vitreoscilla filiformis bermanfaat pada penderita dermatitis seboroik dan atopic eczema.30-31
4. Perbaikan kondisi penderita diare yang disebabkan oleh antibiotik dan beberapa infeksi.
Mengurangi kadar bakteri yang mendukung perkembangan kanker usus. Perbaikan gejala-gejala penderita IBS (inflammatory bowel disease) dan infeksi karena Helicobacter pylori.
Mencegah atau mengurangi proses atopik pada anak-anak. Mencegah berbagai penyakit
saluran pernafasan. Mengurangi hiperkolesterolemia.32
5. Anak-anak dengan diare akut rotavirus yang diberi Lactobacillus rhamnosus strain GG (LGG)
maka respon terhadap IgA, imunoglobulin G, dan imunoglobulin M akan meningkat, sehingga durasi terjadinya simtom gastroenteritis menjadi memendek.33
6. Organisme probiotik memiliki resistensi yang lebih besar terhadap berbagai infeksi usus karena menghambat pertumbuhan bakteri patogen daripada yang bukan probiotik.34
7. Probiotik yang mengandung Bifidobacterium bifidum dan Streptococcus thermophilus diresepkan pada anak dengan diare rotavirus, menghasilkan serokonversi yang lebih cepat di
dalam antibodi IgA dan IgM disertai dengan pertumbuhan sel-sel yang memproduksi IgM.35
8. Lactic acid bacteria meningkatkan kadar kelompok vitamin B, dan bakteri di yogurt meningkatkan kadar asam folat, niasin, dan riboflavin hingga 20 kali lipat.36
9. Probiotik mensintesis vitamin K, kelompok vitamin B, asam lemak rantai pendek sitoprotektif,
dan poliamin (putrescine, spermine, dan spermidine).37
10. Mikroflora intestinal berperan penting di dalam sirkulasi estrogen pada wanita, memobilisasi ikatan estrogen, dan mengurangi kelebihan hormon-hormon seks.38
11. Memproduksi vitamin larut air, seperti: thiamine, nikotin, asam folat, pridoksin, vitamin B12.
Hal ini dilakukan oleh probiotik tertentu seperti: B. bifidum, B. infantis, B. breve, B. adolescentis, B. longum.39
50
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Technology
MEDICAL
REVIEW
12. Probiotik menurunkan kadar kolesterol pada kondisi hypercholesterinemic, sedangkan
reduksi kadar trigliserid plasma terobservasi pada orang dengan kondisi normolipidemic.40
13. Memproduksi biotin. Hal dilakukan oleh probiotik tertentu seperti: B. adolescentis M101-4, B.
bifidum A234-4, B. breve I-53-8, B. infantis I-10-5, B. longum M101-2.41
14. L. acidophilus SBT2062 meningkatkan bioavailability zat besi (iron).42
15. L. reuteri 100-23, L. delbrueckii 100-18, L. fermentum 100-20, L. delbrueckii 100-21, E. faecium,
E. faecalis mendekonjugasi garam empedu (asam taurocholic dan asam taurodeoxycholic)
melalui mekanisme mengurangi aktivitas garam hydrolase garam empedu di ilea.43
16. Lactobacillus plantarum meningkatkan kadar asam lemak unsaturated omega-3 di dalam
bahan makanan.44
17. Yogurt bermanfaat untuk mencerna sebagian laktosa di susu melalui mekanisme meningkatkan aktivitas laktase di susu dan di duodenum serta mengurangi gangguan pencernaan
(maldigestion) laktosa.45
18. Beberapa manfaat probiotik lainnya, antara lain: reduksi (mengurangi) konsentrasi enzim
pemicu kanker (cancer-promoting enzymes) dan/atau metabolit putrefactive (bacterial) di
usus. Mencegah, mengurangi, meringankan keluhan traktus gastrointestinal pada orang sehat yang tidak teratur dan tidak spesifik. Menormalkan (normalization) buang air besar pada
penderita obstipasi atau irritable colon. Mencegah terjadinya infeksi traktus respiratorius
(misalnya: common cold, influenza) dan berbagai penyakit infeksi lainnya.46
19. Molekul mikroba tunggal dari Bacterial fragillis telah menunjukkan aktivitasnya sebagai
pelindung dari penyakit inflamasi yang disebabkan oleh Helicobacter hepaticus, sehingga
hal ini mensugesti bahwa molekul antiinflamasi alami dari bacteria microbiota dapat secara aktif meningkatkan kesehatan manusia, dan mungkin berpotensi sebagai terapi untuk
gangguan inflamasi pada manusia.47 Inflamasi ini dapat dijelaskan dengan teori dysbiosis.
Menurut teori dysbiosis, terdapat gangguan (breakdown) keseimbangan antara spesies putative (diduga berasal dari) bakteri intestinal yang bersifat “protective” versus bakteri intestinal
yang bersifat “berbahaya" (harmful) yang memicu terjadinya inflamasi intestinal kronis.48
f. Efek Samping Probiotik
Pada beberapa kasus, pneumonia dan endocarditis dilaporkan terjadi karena pengaruh bakteri
Lactobacillus. Begitu pula kasus infeksi jamur nonsimtomatis yang disebabkan oleh Saccharomyces boulardii.49,50
g. Kontraindikasi Probiotik
Ada kondisi (medis) tertentu dimana probiotik bukan pilihan tepat. Probiotik mengandung mikroorganisme hidup sehingga ada peluang terjadi infeksi patologis, terutama pada penderita
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
51
Technology
MEDICAL
REVIEW
yang kritis atau penderita dengan immunocompromized yang berat.51 Probiotic strains Lactobacillus dilaporkan menyebabkan bacteremia pada pasien dengan short-bowel syndrome.52
Preparat Lactobacillus dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap laktosa atau susu. S. boulardii dikontraindikasikan pada pasien dengan alergi ragi. Pada bifidobacteria,
tidak ada kontraindikasi karena sebagian besar spesies ini nonpatogenik dan nontoksigenik.53-56
h. Dosis Probiotik
Dosis efektif probiotik dipengaruhi oleh multifaktor, seperti:57
1. Dosis harian (107–1010 cfu);
2. Keberlangsungan hidup (viability);
3. Frekuensi pemberian setiap harinya (1-4 kali/hari);
4. Durasi (lama) pemberian (1 hari hingga beberapa bulan);
5. Waktu mengkonsumsi (sebelum, bersamaan, atau sesudah makan);
6. Tipe probiotik (lactobacilli, bifidobacteria, yeasts, enterococci);
7. Sediaan (berupa: suplemen, makanan terfermentasi, makanan, minuman, kapsul, tablet, atau
tepung).
Untuk kasus candidiasis vulvovaginal, digunakan Lactobacillus rhamnosus GG (109 bakteri per
suppositoria 2 x sehari selama 7 hari).58 L. rhamnosus GR-1 dan Lactobacillus fermentum RC-14
(setidaknya 109 bakteri tersuspensi di susu skim diberikan secara oral 2x sehari selama 14 hari).59
L. acidophilus dengan dosis 8 oz yogurt mengandung > 108 CFU/mL diminum setiap hari selama
6 bulan.60
Untuk pencegahan penyakit atopik, dipakai Lactobacillus rhamnosus GG, dengan dosis 1010 CFU
setiap hari selama 2-4 minggu sebelum persalinan berlangsung pada wanita hamil, diikuti dengan pemberian pada bayinya selama 6 bulan.61
Pada kasus atopic eczema, strain Lactobacillus rhamnosus yang tidak hidup (nonviable) tidak efektif untuk mengurangi gejala, sedangkan strain yang hidup (viable) efektif.62,63 Insiden atopic eczema pada bayi berusia dua dan empat tahun yang berisiko menderita atopic eczema berkurang
sekitar 50% melalui pemberian L. rhamnosus pada ibunya, satu bulan sebelum melalui enam
bulan setelah proses persalinan atau kelahiran (bayi), atau langsung ke bayinya sendiri.64-66 Riset
lain menunjukkan beberapa bukti bahwa penambahan probiotik seperti Lactobacillus bermanfaat untuk kasus atopic eczema pada mereka yang menjalani diet cows’-milk-whey-hydrolysate.67,68
52
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Technology
MEDICAL
REVIEW
Terapi dengan probiotik (jenis Lactobacillus GG) tidak bermanfaat pada semua bayi dengan atopic eczema/dermatitis syndrome (AEDS). Lactobacillus GG hanya bermanfaat meringankan gejala AEDS bayi yang tersensitisasi IgE, namun bukan bayi yang tidak tersensitisasi IgE. Efek lactobacilli terlihat 4 minggu setelah periode terapi, tidak segera setelah terapi. Riset lain menunjukkan
pada anak dengan AEDS menunjukkan Lactobacillus GG meningkatkan konsentrasi IL-10 di sera
4 minggu setelah terapi.69,70
Pada kasus acne, suplemen oral yang mengandung L. acidophilus dan B. bifidum (250 mg) efektif
sebagai adjuvant.71 Pilihan lain yaitu suplementasi tablet Laxtinex yang mengandung campuran
L. acidophilus dan L. bulgaricus selama 8 hari, diikuti 2 minggu membersihkan wajah (wash out)
lalu dikonsumsi lagi selama 8 hari.72 Konsumsi minuman probiotik yang mengandung Lactobacillus dan lactoferrin (protein susu antiradang) efektif mengurangi lesi inflamasi dan produksi
sebum. Mekanisme kerjanya dengan membebaskan inflammatory cytokine di dalam kulit dan
mengurangi interleukin-1 alpha.73
Dosis probiotik bervariasi tergantung produk dan indikasi penyakit. Memang belum ada konsensus atau guideline yang pasti tentang jumlah minimum organisme yang harus dikonsumsi
untuk mendapatkan khasiat yang maksimal dan optimal.74,75
III. KESIMPULAN
Probiotik adalah mikroorganisme hidup di dalam bahan (suplemen) makanan dimana saat diambil pada kadar tertentu sebagai nutrisi, menyediakan penyeimbangan flora usus, dan karena
itu berefek positif terhadap kesehatan, bila diberikan di dalam jumlah yang cukup. Istilah “probiotics” diciptakan pada tahun 1950-an oleh W. Kollath. Hanya mikroorganisme yang memenuhi
kriteria sebagai mikroorganisme ideal yang termasuk kelompok probiotik.
Probiotik dapat ditambahkan ke dalam makanan dan minuman dengan teknik tertentu. Berbagai mikroorganisme sebagai sumber probiotik adalah berasal dari bakteri Lactobacillus species,
Bifidobacterium species, ragi Saccharomyces boulardii, dan jamur. Probiotik memiliki multiperan,
multifungsi, dan multimanfaat, misalnya: antimikroba, imunmodulasi. Meskipun aman, namun
ada beberapa efek samping dan kontraindikasi pemakaian probiotik yang perlu diwaspadai.
Adapun dosis efektif probiotik dipengaruhi oleh multifaktor.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
53
daftar pustaka
1. Tomasik PJ, Tomasik P. Probiotics and Prebiotics. Cereal Chem 2003;80(2):113-117.
2. Salminen S, Bouley MC, Boutron-Rualt MC, et al. Functional food science and gastrointestinal physiology and function. Br. J. Nutr. 1998; 80 (Suppl. 1): 147–171.
3. FAO, UN, WHO. Guidelines for the evaluation of probiotics in food: report of a Joint FAO/
WHO Working Group. London, Ontario, Canada: Food and Agriculture Organization of
the United Nations and World Health Organization; 2002.
4. McFarland LV, Elmer GW. Biotherapeutic agents: past, present and future. Microecol.
Ther. 1995;23:46–73.
5. Probiotische Mikroorganismenkulturen in Lebensmitteln. Abschlussbericht der Arbeitsgruppe “Probiotische Mikroorganismen in Lebensmitteln” am Bundesinstitut für gesundheitlichen Verbraucherschutz und Veterinärmedizin (BgVV), Berlin. In: ErnährungsUmschau 2000;47:191–195.
6. Kollath W. The increase of the diseases of civilization and their prevention. Münch Med
Wochenschr 1953;95:1260–1262.
7. Lilly DM, Stillwell RH. Probiotics growth promoting factors produced by micro-organisms. Science 1965;147:747–748.
8. Crittenden R. Incorporating Probiotics into Foods. In: Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook
of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009;Chapter
1.6:p.61.
9. Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley
& Sons, Inc.,New Jersey.2009; Chapter 1.6.1:p.60.
10.Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58.
11.Senok AC, Ismaeel AY, Botta GA. Probiotics: facts and myths. Clin Microbiol Infect.
2005;11:958-66.
12.Santosa S, Farnworth E, Jones PJ. Probiotics and their potential health claims. Nutr Rev.
2006;64:265-74.
13.Doron S, Gorbach SL. Probiotics: their role in the treatment and prevention of disease.
Expert Rev Anti Infect Ther. 2006;4:261-75.
14.Regulation on Registration and Review of Probiotic Health Foods, 2005; Ministry of
Health, PRC. Available at: http://www.sfda.gov.cn/cmsweb/webportal/W945325/
A64003018_1.html.
15.Ng SC, Hart AL, Kamm MA, Stagg AJ, Knight SC. Mechanisms of Action of Probiotics:
Recent Advances. Inflamm Bowel Dis 2009;15:300-310.
16.Ouwehand AC, Kirjavainen PV, Shortt C, Salminen S. Probiotics: mechanisms and established effects. International Dairy Journal 9 (1999);9:43-52.
17.Rechkemmer G, Holzapfel W, Haberer P, Wollowski I, Pool-Zobel BL, Watzl B. Beeinflussung der Darmflora durch Ernährung. In: Deutsche Gesellschaft für Ernährung. Ernährungsbericht 2000. Druckerei Heinrich, Frankfurt am Main, Germany, 2000;259–286.
18.Yamazaki S, Tsuyuki S, Akashiba H, Kamimura H, Kimura M, Kawashima T, Ueda K. Immune response of Bifidobacterium-monoassociated mice. Bifidobact Microflora
1991;10:19–31.
19.Gill SH, Rutherford J, Cross L, Gopal PK Enhancement of immunity in the elderly by dietary supplementation with the probiotic Bifidobacterium lactis HNO 19. Am J Clin Nutr
54
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
74:833–839.
20.Jahreis G, Vogelsang H, Kiessling G, Schubert R, Bunte C, Hammes WP. Influence of
probiotic saucage (Lactobacillus paracasei) on blood lipids and immunological parameters of healthy volunteers. Food Res Int 2002;35:133–138.
21.Kitazawa H, Ino T, Kawai Y, Itoh T, Saito T (2002) A novel immunostimulating aspect
of Lactobacillus gasseri: induction of “Gasserokine” as chemoattractants for macrophages. Int J Food Microbiol 25:29–38.
22.Cross ML, Mortensen RR, Kudsk J, Gill HS. Dietary intake of Lactobacillus rhamnosus
HN001 enhances production of both Th1 and Th2 cytokines in antigenprimed mice.
Med Microbiol Immunol (Berl) 2002;191:49–53.
23.Pochard P, Gosset P, Grangette C, et al Lactic acid bacteria inhibit TH2 cytokine
production by mononuclear cells from allergic patients. J Allergy Clin Immunol
2002;110:617–623.
24.De Vrese M, Ghadimi D, Winkler P, Schrezenmeir J. Antiallergenes Potenzial von
Milchsäure-produzierenden Bakterien. Vorträge zur Hochschultagung 2006 der
Agrar- und Ernährungswissenschaftlichen Fakultät der CAU Kiel 2006;108:205–214.
25.De Vrese M, Rautenberg P, Laue C, Koopmans M, Herreman T, Schrezenmeir J. Probiotic bacteria stimulate virus-specific neutralizing antibodies following a booster
polio vaccination. Eur J Nutr 2005;44:406–413.
26.Fukushima Y, Kawata Y, Hara H, Terada A, Mitsuoka T. Effect of a probiotic formula on
intestinal immunoglobulin A production in healthy children. Int J Food Microbiol
1998;42:39–44.
27.de Jongh GJ, Zeuwen PL, Kucharekova M, et al. High expression levels of keratinocyte antimicrobial proteins in psoriasis compared with atopic dermatitis. J Invest
Dermatol 2005;125:1163-73.
28.Viljnen M, Savilahti E, Haahtela. et.al. Probiotics in the treatment of atopic eczema/
dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebo controlled trial. Allergy
2005;60:494-500.
29.Weston S, Halbert A, Rihmond P, Prescott SL. Effects of prebiotics on atopic dermatitis: a randomized controlled trial. Arch Dis Child 2005;90:892-7.
30.Gueniche A, Cathelineau AC, Bastien P, et al. Vitreoscilla filiformis biomass improves
seborrheic dermatitis. JEADV 2007;17:1468-9.
31.Gueniche A, Hennino A, Goujon C, et al. Improvement of atopic dermatitis skin
symptoms by Vitreoscilla filiformis bacterial extract. EJD 2006;16:380-4.
32.Rolfe VE, Fortun PJ, Hawkey CJ, Bath-Hextall F. Probioticos para el mantenimiento
de la remision en la enfermedad de Crohn (Cochrane Review, translated). In: La Biblioteca Cochrane Plus, number 4, 2007. Oxford, Update Software Ltd. Available at:
http://www.update-software.com (translated from the Cochrane Library, 2007 Issue
4. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.).
33.Kaila M, Isolauri E, Soppi E, et.al. Enhancement of the circulating antibody secreting cell response in human diarrhea by a human Lactobacillus strain. Pediatr Res.
1992;32:141-4.
34.Gibson GR, Saavedra JM, MacFarlane S. 1997. Probiotics and intestinal infections.
Pages 10-39 in: Probiotics: Therapeutic and Other Beneficial Effects. R. Fuller, ed.
Chapman & Hall: London.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
55
35.Saavedra JM, Abi-Hanna A, Moore N. Effect of long term consumption of infant formulas
with bifidobacteria (B) and S. thermophilus (ST) on stool patterns and diaper rash in
infants. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1998;27:483.
36.Deeth H, Tomine A. Yogurt: Nutritive and therapeutic aspects. J. Food Protec. 1981;44:7886.
37.Buts JP, de Keyser N, de Raedemaeker L. Saccharomyces boulardii enhances rat intestinal
enzyme expression by endoluminal release of polyamines. Pediatr. Res. 1994;36:522-527.
38.Gorbach SL. Estrogens, breast cancer, and intestinal flora. Rev. Infect. Dis. 1984;6(Suppl.
1):S85-90.
39.Deguchi Y, Morishita T, and Mutai M. Comparative studies on synthesis of water-soluble
vitamins among human species of Bifidobacteria.Agric.Biol. Chem. 1985;49:13–19.
40.Noda H, Akasaka N, and Ohsug M. Biotin production by Bifidobacteria. J. Nutr. Sci.Vitaminol.1994;40:181–188.
41.Oda T, Kado-oka Y, and Hashiba H. Effect of Lactobacillus acidophilus on iron bioavailability in rats. J. Nutr. Sci. Vitaminol.1994;40:613–616.
42.TannockGW, Dashkevicz MP, and Feighner SD. Lactobacilli and bile salt hydrolase in the
murine intestinal tract. Appl. Environ. Microbiol. 1989;55:1848–1851.
43.De Vres M, Stegelmann A, Richter B, Fenselau S, Laue C, and Schrezenmeir J. Probiotics
compensation for lactase insufficiency. Am. J. Clin. Nutr. 2001; 73 (Suppl.):421S–429S.
44.Bengmark S. Immunnutrition: Role of biosurfactants, fiber, and probiotic bacteria. Nutrition 1998;14:585-594.
45.Rogasi P, Vigano S, Pecile P, Leoncini F. Lactobacillus casei pneumonia and sepsis in patient with AIDS. Case report and review of the literature. Ann Ital Med Int 1998;13:180182.
46.de Vrese M, Schrezenmeir J. Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics. Adv Biochem Engin/
Biotechnol 2008;111:1–66.
47.Mazmanian SK, Round JL, Kasper DL. A microbial symbiosis factor prevents intestinal
inflammatory disease. Nature.2008;453:620–625.
48.Tamboli CP, Neut C, Desreumaux P, et al. Dysbiosis in inflammatory bowel disease.
Gut.2004;53:1–4.
49.Zunic P, Lacotte J, Pegoix M, Buteux G, Leroy G, Mosquet B, Moulin M. Fongemie a Saccharomyces boulardii. Therapie 1991;45:497-501.
50.Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58.
51.Kligler B, Cohrssen A. Probiotics. Am Fam Physician. 2008;78:1073-8.
52.Natural Medicines Comprehensive Database. Bifidobacteria monograph. www.naturaldatabase.com. (accessed 2009 Mar 23).
53.Natural Medicines Comprehensive Database. Saccharomyces boulardii monograph.
www.naturaldatabase.com. (accessed 2009 Mar 23).
54.Drugdex System. Lactobacillus monograph. Greenwood Village, CO: Thomson Micromedex (accessed 2009 Mar 23).
55.Drugdex System. Saccharomyces boulardii monograph. Greenwood Village, CO: Thomson Micromedex (accessed 2009 Mar 23).
56.Lee KY. Effective Dosage for Probiotic Effects. In: Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of
Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009;Chapter
1.5:p.52.
56
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
57.Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58.
58.Reid G, Bruce AW, Fraser N et.al. Oral probiotics can resolve urogenital infections.
FEMS Immunol Med Microbiol. 2001;30:49-52.
59.Hilton E, Isenberg HD, Alperstein P et al. Ingestion of yogurt containing Lactobacillus acidophilus as prophylaxis for candidal vaginitis. Ann Intern Med.
1992;116:353-7.
60.Kalliomaki M, Salminen S, Arvilommi H, et al. Probiotics in primary prevention of
atopic disease: a randomised placebo-controlled trial. Lancet. 2001;357:1076-9.
61.Kirjavainen PV, Salminen SJ, and Isolauri E. Probiotic bacteria in the management
of atopic disease underscoring the importance of viability. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr.2003; 36: 223–227.
62.Isolauri E, Arvola T, Sutas Y, Moilanen E, and Salminen S. Probiotics in the management of atopic eczema. Clin. Exp. Allergy 2000; 30(11): 1604–1610.
63.Viljanen M, Savilahti E, Haahtela T, et al. Probiotics in the treatment of atopic eczema/dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebo-controlled trial.
Allergy 2005;60:494–500.
64.Rautava S, Kalliomaki M, Isolauri E. Probiotics during pregnancy and breastfeeding might confer immunomodulatory protection against atopic disease in the
infant. J Allergy Clin Immunol 2002;109:119–121.
65.Kalliomaki M, Salminen S, Poussa T, Arvilommi H, Isolauri E. Probiotics and prevention of atopic disease: 4-year follow-up of a randomised placebo-controlled
trial. Lancet 2003;361:1869–1871.
66.Kalliomäki M, Salminen S, Arvilommi H, Kero P, Koskinen P, Isolauri E. Probiotics
in primary prevention of atopic disease: a randomised placebo-controlled trial.
Lancet 2001;357:1076–1079.
67.Williams H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L, Rzany B (Ed.). Evidencebased dermatology. BMJ Publishing Group. London. 2003:184.
68.Charman C. Atopic eczema. In: Godlee F, ed. Clinical Evidence. London: BMJ Publishing Group, 2001.
69.Pessi T, Sutas Y, Hurme M, Isolauri E. Interleukin-10 generation in atopic children
following oral Lactobacillus rhamnosus GG. Clin Exp Allergy 2000;30:1804–1808.
70.Marchetti F, Capizzi R, Tulli A. Efficacy of regulators of the intestinal bacterial
flora in the therapy of acne vulgaris. Clin Ter 1987;122:339-43.
71.Bowe WP, Logan AC. Acne vulgaris, probiotics and the gut-brain-skin axis- back
to the future? Gut Pathogens 2011;3:1.
72.Kim J, Ko Y, Park YK, Kim NI, Ha WK, Cho Y. Dietary effects of lactoferrin-enriched
fermented milk on skin surface lipid and clinical improvement of acne vulgaris.
Nutrition 2010;26:902-9.
73.Cazzola M. Tompkins TA, Matera MG. Immunomodulatory impact of a symbiotic
in T(h)1 and T(h)2 models of infection. Ther Adv Respir Dis 2010;4:259-70.
74.Farnworth ER. The evidence support health claims for probiotics. J Nutr.
2008;138(suppl):1250S-4S.
75.Hilton E, Rindos P, Isenberg HD. Lactobacillus GG vaginal suppositories and vaginitis. J Clin Microbiol. 1995;33:1433.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
57
PATIENt
COMPLIaNCE
Cegah Stroke Berulang
Dengan Teratur Minum Obat
Setiap bulan Oktober, tepatnya tanggal 29 Oktober diperingati sebagai hari stroke sedunia. Sebagai
penyebab kecacatan serius menetap no. 1 di seluruh dunia, prevalensi stroke di dunia sangat tinggi,
yakni 1 dari 6 orang di dunia menderita stroke dimana setiap 6 detik satu orang meninggal karena
stroke. WHO memprediksi bahwa kematian akibat stroke akan meningkat seiring dengan kematian
akibat penyakit jantung dan kanker yang menunjukkan angka 6 juta kematian pada tahun 2010,
menjadi 8 juta kematian di tahun 2030. Di Amerika Serikat tercatat 6,4 juta orang menderita stroke
dan setiap tahun sekitar 185.000 orang mengalami stroke berulang. Biaya yang dikeluarkan terkait
penyakit ini pun sangat tinggi. Tahun 2010, Amerika telah menghabiskan $ 73,7 juta untuk membiayai
tanggungan medis dan rehabilitasi akibat stroke.
Di Indonesia, masalah stroke semakin penting dan mendesak karena kini jumlah penderita stroke
di Indonesia terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia. Para ahli epidemiologi meramalkan
bahwa saat ini dan masa yang akan datang sekitar 12 juta penduduk Indonesia yang berumur di atas
35 tahun mempunyai potensi terkena serangan stroke. Oleh karena itu, upaya yang komprehensif
untuk mengendalikan faktor risiko stroke di masyarakat perlu digalakkan di Indonesia, untuk menurunkan angka kejadian stroke khususnya pada individu yang produktif.
Stroke merupakan suatu kondisi ketika pasokan darah ke otak berkurang sehingga mengurangi oksigen dan nutrisi untuk sel-sel otak. Jika tidak segera ditangani, maka dalam hitungan menit, sel-sel
otak akan mati. Kondisi tersebut bisa disebabkan penyumbatan pembuluh darah (disebut stroke
iskemik) atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik).
STROKE BISA BERULANG
Seseorang yang pernah terserang stroke, ada risiko untuk terkena serangan berikutnya jika tidak
dijaga dengan baik. Hal ini dijuga diperparah jika ada penyakit penyerta lain yang bisa berkontribusi
meningkatkan faktor risiko, seperti hipertensi, kolesterol atau diabetes. Faktor lain yang tidak kalah
penting dapat menyebabkan stroke berulang adalah ketidakpatuhan pasien dalam minum obat.
Seringkali pasien kehilangan kepatuhan minum obat ketika merasa sehat tanpa ada keluhan, padahal kelalaian minum obat inilah yang berisiko menimbulkan kekambuhan.
Setidaknya sekitar 1 dari 4 pasien (25%) yang menderita stroke akan berhenti minum obat, 3 bulan
pertama setelah dirawat di rumah sakit. Periode 3 bulan ini adalah waktu dengan risiko tertinggi seorang pasien stroke dapat terkena serangan yang kedua. Oleh karena itu, pasien stroke harus minum
obat dengan teratur untuk mencegah serangan stroke kedua dan selanjutnya.
KETIDAKPATUHAN PASIEN DALAM MINUM OBAT
Setelah serangan yang pertama teratasi, seorang pasien stroke umumnya perlu menjalani pengobatan seumur hidup. Walaupun dokter sudah meresepkan obat yang tepat kepada seorang pasien
stroke, tetapi keberhasilan pengobatan sangat didukung oleh kepatuhan pasien untuk menebus
resep baru yang diberikan maupun resep selanjutnya tepat waktu (adherence) dan kepatuhan
58
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
PATIENt
Technology
COMPLIaNCE
pasien dalam minum obat sesuai anjuran dokter (compliance). Ada banyak alasan kenapa pasien
tidak patuh dalam minum obat. Beberapa faktor yang umumnya menyebabkan pasien tidak patuh
minum obat antara lain:
1. Faktor terkait dengan keadaan sosial/ekonomi: umur, ras, status ekonomi dan biaya pengobatan.
2. Faktor pasien: kondisi pasien yang pelupa, tidak memahami aturan pakai obat, merasa takut
tergantung dengan obat yang digunakan.
3. Faktor obat: obat digunakan dalam jangka waktu lama, jenis obat yang diberikan sangat banyak,
dan timbulnya efek samping obat yang tidak diinginkan.
MENINGKATKAN KEPATUHAN PENGOBATAN PASIEN STROKE
Obat-obat untuk mencegah berulangnya serangan stroke (terapi pemeliharaan) harus diminum secara teratur. Obat-obat yang digunakan antara lain obat pengencer darah, obat penurun tekanan
darah dan penurun kolesterol.
Selain obat-obat pengencer darah, semua kondisi yang meningkatkan risiko kekambuhan juga
harus dijaga, terutama tekanan darah. Umumnya pasien harus mengonsumi obat-obat anti hipertensi dalam waktu lama. Jika pasien juga terkena diabetes atau kolesterol, tentu harus dikontrol
dengan obat-obat antidiabetes atau antikolesterol. Kadar gula yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan darah menjadi lebih kental. Hal ini berisiko untuk menyebabkan sumbatan pembuluh
darah, apalagi jika faktor-faktor lain tidak terjaga. Begitu juga dengan kadar kolesterol yang tinggi
dapat menimbulkan sumbatan/plak pada pembuluh darah.
Obat-obat yang umumnya digunakan oleh pasien stroke:
KELAS OBAT
CARA KERJA OBAT
Antiplatelet
(aspirin, clopidogrel, ticlopidine,
dipyridamole, ciloztazol)
Mencegah terbentuknya
gumpalan keping darah
Antihipertensi
(labetolol, nicardipine, captopril,
sodium nitropruside, dll
Menurunkan tekanan darah
Antikolesterol
(golongan statin)
Menurunkan kolesterol
Neuroprotektor
(citicoline)
Memulihkan metabolisme otak
Obat-obat tersebut harus digunakan secara teratur, walaupun tidak ada serangan atau tidak ada
keluhan apa-apa. Seorang pasien yang pernah mengalami serangan stroke perlu meningkatkan
kepedulian dan kepatuhan minum obat.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
59
PATIENt
COMPLIaNCE
Technology
Beberapa hal yang dapat dilakukan agar dapat membantu pasien untuk patuh minum obat antara
lain:
• Bertanya secara aktif kepada dokter atau apoteker yang merawat mengenai obat-obatan yang
digunakan.
• Jika biaya menjadi salah satu faktor yang menghambat untuk menebus resep, maka disarankan
untuk menginformasikan kepada dokter agar diresepkan obat-obat generik.
• Meminum obat sesuai aturan pakai dari dokter.
• Untuk memudahkan mengingat kapan harus minum obat dapat dilakukan dengan memasang
alarm pengingat pada handphone atau dengan menyiapkan pill box (kotak untuk menyimpan
obat secara harian atau mingguan).
• Beritahukan kepada keluarga atau orang terdekat untuk membantu mengingatkan kapan minum
obat.
Pasien yang terkena serangan stroke ada kalanya mengalami kesulitan dan keterbatasan saat melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, dukungan dari keluarga dan lingkungan sangat penting
dalam keberhasilan terapi dan peningkatan kualitas hidup pasien. Berbagai faktor yang harus diperhatikan oleh pasien pasca stroke untuk mencegah kekambuhan stroke antara lain:
• Menghentikan konsumsi alkohol, rokok.
• Mengurangi obesitas dengan menurunkan berat badan sesuai berat badan ideal.
• Jika mempunyai penyakit diabetes, harus mengonsumsi obat diabetes secara teratur dan menjaga pola makan.
• Jika mempunyai penyakit hipertensi, harus mengonsumsi obat-obat hipertensi dengan teratur
sehingga dapat menjaga tekanan darah tetap stabil.
• Jika mempunyai penyakit kolesterol tinggi, harus mengonsumsi obat-obat penurun kolesterol
secara teratur dan mengurangi makan makanan yang berkolesterol tinggi.
• Teratur berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat kaya nutrisi.
• Rutin memeriksakan diri ke dokter.
• Cegah kondisi stres.
Pengetahuan tentang kepatuhan minum obat dalam jangka panjang merupakan hal yang sangat
penting untuk mencegah terjadinya stroke berulang. Sehingga dibutuhkan kesadaran pasien dan
peran keluarga yang sangat menentukan perbaikan kualitas hidup pasien pasca stroke. (ANA-MTA)
daftar pustaka
1. Mengenali jenis-jenis stroke. Available on: www.
medicastore.com/stroke/Mengenali_Jenis_Stroke.
php
2. Stroke the silent killer. Available on: http://medicastore.com/stroke.html
3. Pengetahuan sekilas tentang stroke. Available on:
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=340
4. 25% of stroke patients stop taking prevention medication within 3 months. Available on: http://www.
news-medical.net/news/20100812/2525-of-strokepatients-stop-taking-prevention-medication-within-3-motnhs.aspx
60 MEDICINUS
5. Medication adherence and compliance. National
Stroke Association. Available on: http://www.stroke.
org/site/DocServer/NSA_Med_AdherenceBooklet.
pdf?docID=9121
6. Terapi penyakit stroke dan pengobatannya. Available on: http://terapipenyakitstroke.com/
7. Stroke. Available on: http://www.mayoclinic.com/
health/stroke/DS00150
8. Arif H, et al. 2007. Drug compliance after stroke and
myocardial infarction: A comparative study. Available at: http://www.neurologyindia.com/article.
asp?issn=0028-3886;year=2007;volume=55;issue=
2;spage=130;epage=135;aulast=Arif
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Thanks to reviewer
Prof. Arini Setiawati, Ph.D,
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D,
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
MEDICINUS
61
62
MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Download