BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya memiliki naluri
gregariousness yaitu naluri untuk selalu hidup berkelompok atau bersama orang
lain1. Secara biologis, perempuan dan laki-laki saling membutuhkan untuk dapat
memiliki keturunan. Begitupula ketika seseorang sakit maka dibutuhkan dokter
untuk membantu mengetahui penyakit serta obat apa yang harus digunakan
supaya sembuh dari penyakit. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat
hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia yang tidak mau hidup berdampingan
dengan orang lain akan mengalami kesulitan dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan sosialnya.
Sebagai anggota masyarakat, manusia akan membentuk kelompok sosial
supaya dapat bertahan hidup dan meneruskan keturunan atau generasinya.
Soerjono Soekanto mendefinisikan kelompok sosial sebagai himpunan atau
kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan di
antara mereka secara timbal balik dan saling mempengaruhi2. Setiap anggota
kelompok memiliki kesadaran bahwa ia merupakan bagian dari kelompok
1
http://glosarium.org/arti/?k=gregariousness diakses pada tanggal 3 Juli 2015 pukul 4:01
2
http://www.fahdisjro.com/2014/08/kelompok-sosial.html diakses pada tanggal 25 Agustus 2015
pukul 10.01
1
tersebut. Meskipun termasuk ke dalam satu kelompok yang sama, masing-masing
anggota kelompok memiliki perbedaan seperti dalam hal jenis kelamin, usia,
pendidikan, agama, hobi, budaya, pemikiran, perilaku, dsb.
Manusia sebagai makhluk multidimensi memiliki perbedaan-perbedaan
berdasarkan beberapa kriteria yang terdiri dari ciri fisiologis, kebudayaan,
ekonomi, dan perilaku (Kinloch via Kamanto Sunarto, 1993: 10). Perbedaan ini
menyebabkan manusia masuk ke dalam kelompok-kelompok sosial tertentu
sehingga tercipta masyarakat multikultural. Menurut J.S. Furnival masyarakat
multikultural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih komunitas atau
struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya3. Anggota kelompok
sosial yang hidup dalam masyarakat multikultural harus dapat saling menghargai
perbedaan yang ada supaya tercipta masyarakat yang damai. Pada kenyataannya,
konflik sosial sering terjadi akibat tidak adanya rasa toleransi antarkelompok.
Gillin dan Gillin mengungkapkan bahwa interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antar
orang-orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang
perorangan dengan kelompok manusia (Soerjono Soekanto, 1998: 192). Konflik
termasuk ke dalam salah satu bentuk interaksi sosial akibat tajamnya perbedaan
yang dirasakan oleh suatu kelompok maupun anggota kelompok sosial dalam
masyarakat. Terdapat beberapa hal yang menguatkan perbedaan tersebut seperti
rasa benci dan rasa ingin lebih unggul dari kelompok lain. Konflik sosial
3
http://www.materisma.com/2014/01/pengertian-masyarakat-multikultural.html
tanggal 26 Agustus 2015 pukul 9:35
diakses
pada
2
antarkelompok dalam masyarakat juga sering diikuti dengan adanya ancaman
bahkan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu kelompok pada kelompok lain.
Kelompok mayoritas dan kelompok minoritas adalah salah satu contoh
kelompok sosial yang hidup di dalam masyarakat multikultural. Kinloch
berpendapat bahwa kelompok mayoritas adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan. Mereka menganggap dirinya normal dan memiliki derajat lebih tinggi.
Sedangkan kelompok lain yang dianggap sebagai kelompok minoritas adalah
yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap tidak normal serta lebih rendah karena
dinilai mempunyai ciri-ciri tertentu (ciri-ciri fisik, ekonomi, budaya, dan
perilaku). Atas dasar anggapan tersebut kelompok lain itu mengalami eksploitasi
dan diskriminasi (Kamanto Sunarto, 1993: 135).
Kelompok mayoritas biasanya akan mempertahankan kekuasaannya dan
melakukan dominasi yang disertai penindasan terhadap kelompok minoritas
dalam segala aspek kehidupan seperti di bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Kelompok minoritas juga bisa mendominasi kelompok mayoritas dengan
syarat memiliki kekuasaan dalam suatu bidang atau hal tertentu. Kinloch
mendefinisikan kelompok mayoritas dengan tidak mengaitkannya dengan jumlah
anggota kelompok (Kamanto Sunarto, 1993: 135). Kelompok mayoritas dapat
saja terdiri atas sejumlah kecil orang yang berkuasa atas sejumlah besar orang lain
Kelompok yang demikian disebut sebagai kelompok minoritas dominan4. Mereka
memiliki jumlah anggota yang tidak terlalu besar dibandingkan kelompok sosial
4
https://id.wikipedia.org/wiki/Minoritas_dominan diakses pada tanggal 3 Juli 2015 pukul 4:13
3
lain, tetapi mempunyai peran yang lebih besar dalam politik, ekonomi, sosial, atau
budaya di suatu negara. Contohnya seperti keturunan etnis Tionghoa yang
mendominasi aspek kehidupan ekonomi di Indonesia dan orang kulit putih yang
mencanangkan politik apartheid terhadap orang kulit hitam di Afrika Selatan.
Kelompok mayoritas dan minoritas dapat berdampak buruk bagi
masyarakat. Kemungkinan ini dapat terjadi apabila dalam interaksi sosial terdapat
perilaku diskriminatif, prasangka, serta tingkah laku yang tidak bersahabat antar
kelompok sehingga menimbulkan konflik sosial dimana salah satu pihak merasa
dirugikan dan ditindas. Salah satu bentuk sikap yang mendiskriminasi suatu
kelompok manusia adalah rasisme.
Racism is an ideology based on the belief that an observable,
supposedly inherited trait, such as skin color, is a mark of
inferiority that justifies the discriminatory treatment of people with
that trait. (Kornblum via Kamanto Sunarto, 1993: 137).
Rasisme adalah sebuah ideologi berdasarkan pada keyakinan
bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa
pemilik ciri tersebut lebih rendah sehingga mereka dapat
didiskriminasi.
Rasisme tidak dapat dipisahkan dari dominasi. Ideologi rasisme
membenarkan perlakuan yang berbeda terhadap suatu kelompok akibat adatidaknya ciri fisik dan kemampuan sosial tertentu (v.d. Berghe via Kamanto
Sunarto, 1993: 138). Hal ini dapat memicu terjadinya dominasi bahkan konflik
antarkelompok. Peristiwa holocaust adalah salah satu contoh dominasi
berdasarkan rasisme yang dilakukan oleh tentara nazi Jerman terhadap kelompok
yahudi. Sejak abad pertengahan, masyarakat Jerman telah menganut paham
antisemitisme yaitu kebencian dan prasangka yang ditujukan pada orang yang
4
menganut ajaran yahudi. Atas dasar tersebut tentara nazi Jerman yang dipimpin
oleh Aldof Hitler melakukan pembantaian besar-besaran terhadap para yahudi di
wilayah Eropa dan sekitarnya yang terjadi saat perang dunia kedua di abad 20 5.
Tidak pernah ada sebuah komunitas yang tidak memiliki tingkat hirarkis,
kekuasaan, dominasi antar seks, umur, dan kelas sosial. Dominasi adalah sebuah
paham untuk melakukan penaklukan atau penguasaan. Dalam hal ini bisa terjadi
melalui eksploitasi terhadap suatu agama, ideologi, kebudayaan, dan wilayah
dengan maksud agar mendapatkan keuntungan secara ekonomi atau kekuasaan.
Dengan kata lain, dominasi adalah penguasaan oleh pihak yg lebih kuat terhadap
yg lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga,
dsb).
Masalah dominasi sosial tidak hanya terjadi secara terbuka dan jelas
seperti konflik antar ras. Segala bentuk penjajahan terselubung dari kelompok
yang kuat kepada kelompok yang lemah, dari kelompok yang besar kepada
kelompok yang kecil juga dapat disebut sebagai dominasi sosial6. Permasalahan
mengenai dominasi sosial dalam kelompok-kelompok sosial dapat ditemukan
dalam salah satu karya sastra Prancis karangan Le Clezio yang berjudul
Ritournelle de La Faim.
Jean-Marie Gustave Le Clézio adalah salah satu pengarang Prancis yang
lahir di Riviera, Nice pada tanggal 13 April 1940. Ayahnya berkebangsaan Inggris
dan ibunya berasal dari Prancis. Namun keduanya masih memiliki hubungan
5
https://id.wikipedia.org/wiki/Holokaus diakses pada tanggal 25 Juli 2015 pukul 14:39
6
http://www.artikata.com/arti-325562-dominasi.html diakses pada tanggal 19 Desember 2014
pukul 19:44
5
kekerabatan dengan negara bekas koloni Prancis yaitu Mauritius. Dengan
demikian Le Clezio menerima tiga kebudayaan dari keluarganya yaitu Prancis,
Inggris, dan Mauritius.
Novel Ritournelle de La Faim bercerita tentang perjuangan tokoh Ethel
Brun. Ia merupakan gadis keturunan yahudi borjuis mauritius yang tinggal di kota
Paris sebelum dan selama perang dunia kedua berlangsung. Selama hidupnya ia
mengalami berbagai macam cobaan kehidupan. Misalnya, pertengkaran yang
selalu terjadi dalam keluarganya, dikhianati oleh sahabat dan ayahnya sendiri,
bahkan menjadi pengungsi di tengah masa perang dunia kedua. Ia mendapatkan
kehidupan baru setelah perang dunia kedua berakhir. Novel Ritournelle de La
Faim juga mengungkapkan jiwa kepahlawanan, kasih sayang dan empati dalam
menjalani kehidupan.
Novel Ritournelle de La Faim adalah karya Le Clezio yang dirilis pada
tahun 2008 dan mengantarkan beliau mendapatkan Le Prix Nobel pada tahun yang
sama. Novel ini disebut-sebut sebagai terobosan baru dalam mengeksplorasi
kesalahan Prancis dalam perang yang telah lalu7. Salah satu hal menarik yang
terdapat dalam novel ini adalah Le Clezio menjadikan pengalaman hidup sang ibu
sebagai inspirasi cerita. Selain itu, ia menghadirkan dua jenis narator dengan
sudut pandang berbeda atau campuran di dalam alur cerita. Narator yang pertama
bercerita tentang kisah yang dituturkan oleh tokoh utama kepadanya dan apa yang
narator pertama baca di buku harian milik tokoh utama. Narator ini hadir pada
intro, beberapa bagian di tengah cerita, dan pada akhir novel. Sebagian besar alur
7
http://bibliobs.nouvelobs.com/romans/20090223.BIB3000/ritournelle-de-la-faim-de-leclezio.html diakses pada tanggal 4 Juli 2015 pukul 19.33
6
kisah pada novel ini diceritakan oleh narator kedua yang juga merupakan tokoh
utama. Pada akhir cerita diketahui bahwa narator pertama adalah anak laki-laki
dari tokoh utama.
Eksistensi Le Clezio di dunia sastra tidak dapat diragukan lagi. Selain
telah menghasilkan berpuluh-puluh karya sastra, ia juga mendapatkan
penghargaan-penghargaan, antara lain: prix Théophraste Renaudot (1963), prix
Valey Larbaud (1972), grand pix de littératurer Paul-Morand (1980), prix
International Union Latine des Littératures Romanes (1992), prix des
Téléspectateurs (1996), prix Jean-Giono (1997), prix Puterbaugh (1997), prix
Prince-de-Monaco (1998), prix Stig Dagermanpriset (2008), dan prix Nobel de
Littérature (2008). Le Clezio juga aktif mengajar sastra di sejumlah universitas di
seluruh dunia seperti Bangkok, Mexico, Boston, Austin, dan Albuquerque8.
Selain Ritournelle de La Faim (2008), Le Clezio memiliki karya sastra
lain yang inspirasinya berasal dari pengalaman dan kisah hidupnya. Diantaranya,
sebuah esai berjudul Haï (1971) yang bercerita tentang kebudayaan indian dimana
pengalaman Le Clezio selama menetap di Mexico dan Amerika menjadi unsur
penting dalam pembuatannya. Le Clezio juga menuangkan apa yang telah ia
pelajari di Amerika Tengah dalam Voyages de L’autre Côté (1975). Pengalaman
Le Clezio menetap di Afrika dituangkan dalam Poison d’Or (1996) dan Désert
(1980). Novel Désert menggambarkan kemegahan budaya yang hilang di gurun
Afrika Utara, kontras dengan gambaran Eropa yang terlihat melalui mata imigran
8
http://www.svenskaakademien.se/nobelpriset_i_litteratur/pristagarna/jmg_le_clezio diakses pada
tanggal 4 Juli 2015 pukul 18.15
7
yang tidak diinginkan. Imigran tersebut dijadikan antitesis khayalan untuk
keburukan dan kebrutalan masyarakat Eropa di masa itu. Selanjutya, Le Clezio
menulis novel L'Africain (2006) yang terinspirasi dari pengalaman ayahnya yang
berprofesi sebagai dokter militer
di Afrika selama perang dunia kedua
berlangsung9.
Melalui Ritournelle de La Faim, Le Clezio memperlihatkan makna
persaudaraan, persahabatan, kebesaran hati, keikhlasan, dan pengorbanan demi
orang lain. Novel ini juga mengajak pembaca mengingat kembali masa-masa
sebelum dan selama perang dunia kedua dimana banyak terjadi isu-isu
kemanusiaan sehingga dapat menghargai, mengambil hikmah, sekaligus belajar
dari kejadian di masa lalu.
1.2 Permasalahan
Novel Ritournelle de La Faim mengemukakan permasalahan seputar
dominasi antartokoh di dalamnya. Selama hidupnya, Ethel Brun mengalami dan
melihat dominasi akibat kekuasaan yang berjalan tidak seimbang karena adanya
perbedaan antartokoh maupun antarkelompok. Permasalahan tersebut terjadi
dalam hubungan sosial di lingkungannya seperti pada hubungan persahabatannya
dengan Xénia, dan juga pada hubungan keluarganya sendiri. Dominasi juga terjadi
dalam beberapa peristiwa penting yang turut diceritakan di dalam novel.
9
http://www.associationleclezio.com/ressources/biographie.html diakses pada tanggal 30 Oktober
2014 pukul 20:42
8
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana wujud dominasi sosial yang terjadi pada novel
Ritournelle de La Faim?
2. Bagaimana keterkaitan kekuasaan dan dominasi sosial yang terjadi
di dalam novel Ritournelle de La Faim?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini menjelaskan tentang wujud dominasi sosial yang terjadi
antar tokoh dimana terdapat tokoh yang menjadi pihak dominan dan tokoh yang
tersubordinasi. Dominasi sosial tersebut juga dapat ditemukan di dalam beberapa
peristiwa yang terjadi di dalam novel Ritournelle de La Faim. Selain itu, dalam
penelitian ini juga akan dibahas mengenai keterkaitan antara kekuasaan dan
dominasi sosial berdasarkan peristiwa yang terjadi dan dialami para tokoh di
dalam novel. Melalui penelitian ini diharapkan para penikmat sastra dapat
memperluas pengetahuan mengenai karya sastra Prancis sehingga dapat
memunculkan atau mengembangkan penelitian semacam ini terhadap karya-karya
sastrawan Prancis pada umumnya maupun karya-karya milik Le Clezio pada
khususnya.
9
1.5 Landasan Teori
Dalam menganalisis novel Ritournelle de La Faim digunakan konsep teori
dominasi sosial dan kekuasaan. Teori dominasi sosial digunakan untuk
menganalisis wujud dominasi yang terjadi di dalam novel. Selain itu, penelitian
ini menggunakan konsep kekuasaan untuk mengetahui keterkaitan antara
kekuasaan dengan dominasi berdasarkan peristiwa yang terjadi di dalam novel.
1.5.1 Dominasi Sosial
Individu atau kelompok sosial dalam masyarakat akan diatur
sedemikian rupa supaya memiliki kedudukan yang berbeda di dalam suatu
hirarki. Di dalam buku yang berjudul Social Dominance Theory and The
Dynamics of Intergroup Relation, Felicia Pratto, Jim Sidanius, dan Shana
Levin memaparkan lebih lanjut mengenai hubungan sosial yang terjadi
dalam masyarakat, terlebih pada kelompok masyarakat yang berbeda.
Human
societies tend to organise as group-based social
hierarchies in which at least one group enjoys greater social
status and power than other groups. Members of dominant social
groups tend to enjoy a disproportionate share of positive social
value, or desirable material and symbolic resource such as
political power, wealth, protection by force, plentiful and desirable
food, and access to good housing, health care, leisure, and
education. Negative social value is disproportionately left to or
forced upon members of subordinate groups in the form of
substandard housing, disease, underemployment, dangerous, and
distasteful work, disproportionate punishment, stigmatisation, and
vilification (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 271-272)
Manusia memiliki kecenderungan untuk membentuk hirarki
berdasarkan kelompok-kelompok sosial dimana setidaknya
terdapat satu kelompok yang menikmati status sosial yang lebih
baik dan kekuatan yang lebih besar dibandingkan kelompok lain.
Anggota kelompok sosial dominan akan menikmati bagian yang
lebih besar dari nilai sosial positif, atau materi yang diinginkan
10
yang berasal dari sumber-sumber tertentu seperti kekuasaan politik,
kekayaan, perlindungan dengan kekuatan, makanan kesukaan yang
berlimpah, jaminan kesehatan, rekreasi, dan pendidikan. Nilai
sosial negatif akan diperuntukkan atau dipaksakan untuk anggota
kelompok subordinat. Sebagai contoh pemukiman yang tidak
layak, penyakit, pengangguran, pekerjaan yang tidak
menyenangkan atau bahkan berbahaya, hukuman yang tidak
sebanding, stigmatisasi, dan fitnah.
Di dalam hirarki sosial terdapat indvidu atau kelompok yang
menempati bagian atas hirarki (dominan) dan individu atau kelompok
yang berada di bagian bawah hirarki (subordinat). Hirarki sosial tersebut
ditentukan berdasarkan nilai sosial positif yang didapatkan oleh individu
atau kelompok sosial. Individu atau kelompok sosial yang berada di atas
hirarki cenderung menikmati bagian yang lebih besar dari nilai positif
sosial. Sebaliknya, nilai negatif sosial biasanya melekat pada individu atau
kelompok subordinat.
Social dominance theory was developed in an attempt to
understand how group based social hierarchy is formed and
maintained. Social dominance theory assumes that we must
understand the processes producing and maintaining prejudice
and discrimination at multiple levels of analysis, including cultural
ideologies and policies, institutional practices, relations of
individuals to others inside and outside their groups, the
psychological predispositions of individuals, and the interaction
between the evolved psychologies of men and women. (Pratto,
Sidanius, Levin, 2006: 272)
Teori dominasi sosial dikembangkan untuk memahami bagaimana
suatu hirarki sosial berdasarkan kelompok dibentuk dan
dipertahankan. Teori ini berasumsi jika kita harus memahami
proses pembentukan dan pemeliharaan prasangka dan diskriminasi
pada beberapa tingkat analisis, seperti pada ideologi budaya,
praktek kelembagaan, dan hubungan individu dengan individu lain
yang ada di dalam kelompok atau di luar kelompok
(antarkelompok), kecenderungan psikologis individu, dan interaksi
perkembangan psikologis antara laki-laki dan perempuan.
11
Teori dominasi sosial memiliki pandangan yang lebih umum
mengenai proses pembentukan populasi manusia daripada teori lain yang
hanya fokus pada kapitalisme kerajaan, gender, kepentingan kelompok,
identitas sosial, atau perbedaan individual. Namun teori ini juga sama
ambisiusnya dengan teori lain karena berupaya untuk menggabungkan
wawasan berdasarkan perspektif-perspektif yang paling berpengaruh
seperti: (a) teori ideologi kebudayaan, (b) teori konflik kelompok yang
realistis, (c) teori neoclassical elitismi, (d) teori identitas sosial, (e)
marxisme, (f) analisis antropologi feminis keluarga dan tenaga kerja, (g)
psikologi evolusioner.
1.5.1.1 Konsep Dominasi Sosial
Teori dominasi sosial memiliki tiga struktur utama dalam
mengelompokkan praktek dominasi sosial yaitu sistem umur, sistem jenis
kelamin, dan sistem kesewenang-wenangan.
Social dominance theory argues that societies producing stable
economic surplus contain three qualitatively distinct systems of
group-based hierarchy: (1) an age system, in which adults have
disproportionate social power over children; (2) a gender system,
in which men have disproportionate social, political, and military
power compared to women; and (3) an arbitrary-set system, in
which groups constructed on ‘‘arbitrary’’ bases, that is, on bases
not linked to the human life-cycle, have differential access to things
of positive and negative social value (Pratto, Sidanius, Levin,
2006: 273).
Teori dominasi sosial mengemukakan bahwa pada kegiatan
produksi surplus ekonomi stabil yang dilakukan oleh masyarakat
terdapat tiga sistem kualitatif hirarki berbasis kelompok yang
berbeda: (1) sistem umur, di mana orang dewasa memiliki
12
kekuatan yang tidak seimbang terhadap anak-anak; (2) sistem jenis
kelamin, di mana laki-laki memiliki kekuatan sosial, politik, dan
militer yang tidak seimbang dibanding dengan perempuan; dan (3)
sistem kesewenang-wenangan, di mana sistem ini dibangun atas
dasar kesewenang-wenangan yaitu tidak berhubungan dengan
siklus kehidupan manusia dan terdapat perbedaan dalam
mengakses nilai sosial positif dan negatif.
Dari ketiga struktur tersebut, sistem kesewenang-wenangan
memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berkembang di masyarakat.
Perbedaan sosial yang mempengaruhi sistem ini memiliki cakupan yang
lebih luas dan dapat berkaitan dengan berbagai hal seperti perbedaan
kewarganegaraan, ras, suku, kelas, kepemilikan tanah, keturunan, agama,
klan, pengetahuan, ide-ide, ketrampilan dsb.
1.5.1.2 Mekanisme Pembentukan dan Pemeliharaan Hirarki Sosial
Kelompok hirarki sosial merupakan hasil yang diperoleh dari
ketidaksetaraan yang terjadi di beberapa tingkatan seperti: lembaga,
individu atau perorangan, dan proses kolaborasi antar kelompok.
Ketidaksetaraan
tersebut
terjadi tidak
hanya
karena
penggunaan
kekuataan, kekuasaan, atau intimidasi yang dilakukan individu atau
kelompok dominan pada individu atau kelompok subordinat namun juga
didukung oleh adanya legitimising myth.
According to social dominance theory, group-based social
hierarchy is produced by the net effects of discrimination across
multiple levels: institutions, individuals, and collaborative
intergroup processes. Discrimination across these levels is
coordinated to favour dominant groups over subordinate groups by
13
legitimising myths, or societal, consensually shared social
ideologies. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 275)
Menurut teori dominasi sosial, hirarki sosial berbasis kelompok
terbentuk karena net effects dari diskriminasi di berbagai tingkatan:
lembaga, individu, dan proses kolaborasi antarkelompok.
Diskriminasi di berbagai tingkatan ini di atur untuk mendukung
kelompok dominan atas kelompok subordinat dengan cara
membenarkan mitos atau pemikiran dalam masyarakat, yang
disepakati dan disebarkan melalui ideologi sosial.
Teori dominasi sosial menyatakan bahwa keputusan dan perilaku
individu, praktek sosial dan lembaga baru yang terjadi dalam masyarakat
dibentuk oleh legitimising myth. Kebulatan suara dari kelompok-kelompok
dalam hirarki sosial terhadap diskriminasi dalam nilai yang dipegang,
sikap, keyakinan, stereotip, dan ideologi budaya termasuk ke dalam
legitimising myth.
Social dominance theory assumes that groupbased inequality is not
simply the result of the naked use of force, intimidation, and
discrimination on the part of dominants against subordinates.
Rather, social dominance theory states that the decisions and
behaviours of individuals, the formation of new social practices,
and the operations of institutions are shaped by legitimising myths.
Legitimising myths are consensually held values, attitudes, beliefs,
stereotypes, and cultural ideologies. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006:
275)
Teori dominasi berasumsi bahwa ketimpangan dalam kelompok
sosial tidak semata-mata akibat penggunaan suatu kekuatan,
intimidasi, dan diskriminasi kelompok dominan terhadap
kelompok subordinat. Sebaliknya, teori ini menyatakan bahwa
keputusan dan perilaku individu, pembentukan praktek-praktek
sosial baru, dan kegiatan operasional suatu lembaga dibentuk oleh
legitimising myths. Nilai-nilai sosial, sikap, keyakinan, stereotip,
dan ideologi budaya termasuk ke dalam legitimising myths.
14
Terdapat dua bentuk
legitimising myths berdasarkan fungsinya
yaitu hierarchy-enhancing legitimising myths (HE-LMs) dan Hierarchyattenuating legitimising myths (HA-LMs). HE-LMs adalah ideologi yang
memberikan kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan
ketidaksetaraan. Ideologi ini mendukung atau menguatkan hirarki yang
ada. Contoh bentuk-bentuk HE-LMs adalah rasisme (warna kulit, agama,
jenis ras), sexisme (diskriminasi atau kebencian terhadap suatu jenis
kelamin tertentu, klasisme, heteroseksisme (ideologi yang menolak
berbagai perilaku, identitas, hubungan, dan komunitas non-heteroseksual),
stereotip (penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan kelompok
dimana orang tersebut berada), nasionalisme atau kebangsaan. HA-LMs
adalah ideologi yang melawan dominasi sehingga melemahkan hirarki.
Contoh dari legitimising myths yang melemahkan hirarki ini adalah: hak
asasi
manusia,
demokrasi
sosial,
multikulturalisme,
sosialisme,
persaudaraan antarumat beragama, dll.
Seperti halnya legitimising myths, banyak lembaga atau institusi
yang diklasifikasikan sebagai hierarchy-enhancing ataupun hierarchy
attenuating. Institusi hierarchy-enhancing yang kuat termasuk institusi
keuangan dengan keuntungan penuh, perusahaan lintas negara, organisasi
keamanan internal (contohnya: FBI, KGB), dan sistem keadilan kriminal.
Diskriminasi yang dilakukan oleh institusi hierarchy-enhancing
memiliki dampak fatal bagi kelompok hierarki. Pertama, institusi dapat
menggerakkan dan mengalokasikan sumber daya dalam jumlah besar
15
dengan kuat dibanding yang dapat dilakukan oleh perorangan. Kedua,
institusi
besar,
seperti
pemerintahan
nasional
dan
perusahaan
multinasional memiliki “jangkauan” yang lebih luas dalam mempengaruhi
sistematiknya terhadap perusahaan lokal. Ketiga, karena banyak institusi
mengabadikan diri mereka, diskriminasi yang mereka gunakan biasanya
lintas generasi dan ketika orang atau kelompok mencoba untuk melawan
praktek
diskriminasi,
institusi
biasanya
mempertahankan
praktek
diskriminasi mereka sebagai bagian dari pertahanan institusi itu sendiri.
Keempat, banyak institusi membangun norma-norma internal mereka
dimana norma itu mengatur orang-orang yang bekerja di dalamnya dan
perbedaan perorangan. Kelima, orang-orang dalam institusi, termasuk
militer dan perusahaan, seringkali dibebaskan dari kesalahan yang
menyangkut tempat mereka bekerja karena perusahaan tersebut memiliki
status resmi yang spesial.
Selanjutnya terdapat institusi hierarchy-attenuating yang bertugas
mengurangi sekaligus menyeimbangkan dampak yang timbul akibat
insititusi hierarchy-enhancing. Dalam prakteknya, institusi ini membuka
akses pada sumber daya yang dibatasi oleh kelompok dominan, seperti
layanan publik. Di dalam institusi ini terdapat hak asasi manusia, hak
warga sipil, dan kelompok kebebasan warga; organisasi kesejahteraan, dan
organisasi keagamaan yang didedikasikan untuk perlindungan bagi si
miskin yang teropresi dan mudah diserang. Institusi seperti ini sering
16
kekurangan dana, pasukan, hak didahulukan (precedent) yang resmi, atau
dasar kekuatan yang lain yang kokoh.
Reducing the consequences of hierarchy-enhancing institutions,
but rarely balancing their impact, are hierarchy-attenuating (HA)
institutions. These disproportionately aid members of subordinate
social groups (e.g., the poor, ethnic and religious minorities) and
attempt to open access to resources otherwise restricted to
dominants (e.g., public services). Prominent hierarchy-attenuating
institutions include human rights, civil rights, and civil liberties
groups; welfare organisations; and religious organisations
devoted to the protection of the poor, the vulnerable, and the
oppressed. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 277)
Institusi
hierarchy-attenuating
(HA)
mengurangi
dan
menyeimbangkan dampak dari institusi hierarchy-enhancing. Hal
ini membantu kelompok subordinat (contohnya: orang-orang
miskin dan kelompok minoritas suatu etnis atau agama) dan
mencoba membukakan jalan menuju sumber daya yang dibatasi
oleh kelompok dominan (contohnya: pelayanan publik). Institusi
lainnya yang termasuk dalam hierarchy-attenuatin adalah hak asasi
manusia dan hak sipil, kelompok kebebasan sipil, organisasi
kesejahteraan, organisasi keagamaan yang bertujuan melindungi
kaum miskin, lemah, dan tertindas.
Selain di dalam tubuh instisusi atau lembaga, kasus-kasus
diskriminasi juga sangat banyak dilakukan individu. Diskriminasi individu
merupakan perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh satu individu
terhadap individu lain dikarenakan keanggotaan mereka dalam kelompok
sosial. Diskriminasi individu sering terjadi di kehidupan sehari-hari dalam
tindakan yang sederhana, namun terkadang mencolok dan merugikan.
Contohnya adalah ketika seorang atasan memutuskan untuk memecat atau
memberikan promosi kepada karyawan, agen perumahan memutuskan
untuk tidak menjual atau menyewakan sebuah rumah kepada kliennya,
17
atau seorang jaksa yang memutuskan untuk memberikan pidana ringan
atau berat kepada terdakwa. Semua hal itu menjadi diskriminasi ketika
keputusan yang diberikan berdasarkan perbedaan dalam etnis, kebangsaan,
kelas sosial, orientasi seksual, atau gender
Hirarki
sosial
dalam
masyarakat
mendukung
terjadinya
diskriminasi antarindividu. Individu yang berada pada hirarki dengan
kekuatan tinggi biasanya memiliki nilai positif sosial yang lebih banyak
dan kekuatan yang lebih besar untuk memastikan bahwa nilai negatif
sosial berada dan disalurkan di kelompok lain. Struktur ini menegaskan
bahwa
lebih
mudah
untuk
melakukan
tindakan
menjaga
atau
meningkatkan ketidaksetaraan daripada melakukan tindakan untuk
melemahkan ketidaksetaraan di dalam suatu hirarki sosial.
Tindakan individu tidak hanya ditentukan oleh posisi mereka
dalam suatu hirarki sosial. Hal ini terbukti karena adanya perbedaan yang
kuat antara individu di posisi sosial yang sama dalam ketentuan kelompok
mana yang mendukung tindakan mereka, seberapa besar diskriminasi yang
dilakukan, seberapa besar prasangka yang dipegang, dan seberapa besar
mereka mendukung diskriminasi melawan kebijakan kesetaraan. Jenisjenis perbedaan ini bukannya tidak teratur atau tergantung keadaan, namun
justru terkait dengan orientasi identifikasi jiwa terhadap hirarki hubungan
antarkelompok yang disebut sebagai orientasi dominasi sosial.
18
1.5.2 Konsep Kekuasaan
Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib
manusia. Menurut ilmu sosiologi, kekuasaan tidak dipandang sebagai
sesuatu yang baik atau buruk, namun sosiologi mengakui adanya unsur
kekuasaan yang merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
suatu masyarakat. Dengan demikian orang harus melihat pada penggunaan
kekuasaan itu untuk menilai baik atau buruknya bagi keperluan
masyarakat.
Kekuasaan senantiasa ada di dalam masyarakat baik yang masih
sederhana maupun yang sudah besar dan kompleks susunannya. Akan
tetapi kekuasaan ini tidak dapat dibagi rata pada setiap anggota
masyarakat. Pembagian yang tidak merata ini menimbulkan makna utama
kekuasaan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut
kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan (Soerjono Soekanto,
1998:161).
Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa
dan yang dikuasai, atau dengan kata lain, antara pihak yang memiliki
kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima
pengaruh itu, secara rela atau terpaksa (Selo Soemardjan via Soerjono
Soekanto, 1998: 161). Selanjutnya, Max Weber mengatakan bahwa
kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok orangorang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri,
dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan
19
dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Kekuasaan tersebut
mempunyai
berbagai
bentuk
dengan
bermacam-macam
sumber
diantaranya hak milik kebendaan, kedudukan, birokrasi, disamping
misalnya
suatu
kemampuan
khusus
dalam
bidang-bidang
ilmu
pengetahuan yang tertentu ataupun atas dasar peraturan-peraturan hukum
yang tertentu, merupakan sumber-sumber kekuasaan. Jadi kekuasaan
terdapat
dimana-mana,
dalam hubungan-hubungan sosial
maupun
organisasi-organisasi sosial, akan tetapi umumnya kekuasaan tertinggi ada
pada organisasi yang disebut “negara” (Soerjono Soekanto, 1998: 163164).
Soerjono Soekanto mengambarkan beberapa unsur kekuasaan yang
dapat dijumpai pada hubungan sosial antara manusia maupun antar
kelompok, yaitu yang meliputi :
1. Rasa Takut
Perasaan takut seseorang pada orang lain menimbulkan
suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tidakan pada orang
yang ditakuti tadi. Rasa takut ini bernuansa negatif, karena orang
tersebut tunduk pada orang lain dalam keadaan yang terpaksa.
Untuk menghindari dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya,
seseorang atau sekelompok orang akan patuh atau berbuat apa saja
sesuai dengan keinginan fihak yang ditakutinya. Disamping
kepatuhan, adakalanya secara disadari atau tidak sadar, orang atau
sekelompok orang itu meniru tindakan orang-orang yang ditakuti
20
(disebut sebagai matched dependend behavior). Rasa takut
merupakan gejala umum yang terdapat dimana-mana, dan bila
dilekatkan pada suatu pola pemerintahan negara rasa takut ini
biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat dengan
pemerintahan otoriter.
2. Rasa Cinta
Unsur kekuasaan dengan perasaan cinta menghasilkan
perbuatan-perbuatan yang bernuansa positif, orang-orang dapat
bertindak sesuai dengan keinginan yang berkuasa, masing-masing
fihak tidak merasakan dirugikan satu sama lain. Reaksi kedua
belah fihak, yaitu antara kekuasaan dan yang dikuasai, bersifat
positif, dari keadaan ini maka suatu sistem kekuasaan dapat
berjalan dengan baik dan teratur.
3. Kepercayaan
Suatu kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan
langsung dari dua orang atau lebih, satu fihak secara penuh percaya
pada fihak lainnya, dalam hal ini pemegang kekuasaan, terhadap
segenap tindakan sesuai dengan peranan yang dilakukannya;
dengan kepercayaannya ini maka orang-orang akan bertindak
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa. Unsur
kepercayaan ini penting ditumbuhkan untuk melanggengkan suatu
bentuk kekuasaan.
21
4. Pemujaan
Suatu perasaan cinta atau sistem kepercayaan mungkin
pada suatu saat dapat disangkal oleh orang lain; akan tetapi dalam
sistem pemujaan, maka seseorang, sekelompok orang, bahkan
hampir seluruh warga masyarakat akan selalu menyatakan
pembenaran atas segala tindakan dari penguasanya, ke dalam
maupun ke luar masyarakat.
Selanjutnya Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa di dalam
masyarakat, pelaksanaan kekuasaan dijalankan melalui saluran-saluran
tertentu. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Saluran Militer
Untuk melaksanakan kekuasaannya, maka fihak penguasa
akan lebih banyak mempergunakan pola paksaan (coercion) serta
kekuatan militer (military force), tujuan utamanya adalah untuk
menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat, sehingga mereka
tunduk kepada keinginan penguasa atau sekelompok orang yang
dianggap sebagai penguasa. Untuk kepentingan itu, maka
seringkali di bentuk oraganisasi dan pasukan-pasukan khusus yang
bertindak sebagai dinas rahasia.
2. Saluran Ekonomi
Penguasa berusaha menguasai kehidupan masyarakat
dengan melakukan pendekatan-pendekatan dengan menggunakan
saluran-saluran ekonom. Dengan pola penguasaan ini maka
22
penguasa dapat melaksanakan peraturan-peraturannya serta akan
menyalurkan pemerintahannya dengan disertai sanksi-sanksi
tertentu. Bentuknya bisa berupa monopoli, penguasaan sektorsektor penting dalam masyarakat, atau penguasaan kaum buruh.
3. Saluran Politik
Melalui saluran politik, penguasa dan pemerintah berusaha
untuk membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh
masyarakat, caranya antara lain dengan meyakinkan atau memaksa
masyarakat untuk mentaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh
badan-badan yang berwenang dan sah.
4. Saluran Tradisi
Saluran tradisi ini biasanya merupakan saluran yang paling
disukai, karena ada keselarasan antara nilai-nilai yang diberlakukan
dengan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi dalam suatu masyarakat,
sehingga pelaksanaan kekuasaan dapat berjalan dengan lancar.
5. Saluran Ideologi
Penguasa-penguasa
dalam
masyarakat
biasanya
mengemukakan serangkaian ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin,
yang bertujuan untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar
pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya. Hal itu dilakukan
agar supaya kekuasaannya dapat menjelma menjadi wewenang.
Setiap penguasa akan berusaha untuk dapat menerangkan
ideologinya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga melembaga
23
(institutionalized) bahkan mendarah daging (internalized) dalam
diri warga-warga masyarakat.
6. Saluran-saluran Lainnya
Untuk lebih menyalurkan pengaruhnya, penguasa biasanya
tidak hanya terbatas menggunakan saluran-saluran seperti di atas,
tetapi menggunakan berbagai saluran lain, yaitu yang berupa
komunikasi massa baik berupa iklan, pamflet, surat kabar, radio,
televisi, pagelaran musik, atau apa saja yang dapat menarik simpati
massa. Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi alat-alat
komunikasi massa, menyebabkan bahwa saluran tersebut pada
akhir-akhir ini dianggap sebagai media primer sebagai saluran
pelaksanaan kekuasaan.
1.6 Tinjauan Pustaka
Dalam menyusun penelitian ini, penulis didukung dengan beberapa
referensi kumpulan skripsi dan buku yang relevan. Dalam lingkup Jurusan Sastra
Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada terdapat beberapa
penelitian relevan. Yang pertama adalah skripsi berjudul Alturisme dalam Novel
Terre des Hommes Karya Antoine de Saint Exupéry Analisis Semiotika
Barthesian yang disusun oleh Vida Sri Yenti pada tahun 2014. Pada skripsi
tersebut dijelaskan mengenai sikap alturisme yang dimiliki para tokoh dengan
menggunakan teori semiotika sistem lima kode Roland Barthes.
24
Yang kedua adalah skripsi yang disusun pada tahun 2014 oleh Shavira
Lazuardh Thalfah dengan judul Kolonialisme dan Pembentukan Identitas dalam
Novel Allah N’est Pas Obligé Karya Ahmadou Kouruma: Analisis Naratologi.
menggunakan teori poskolonial dan teori identitas. Permasalahan mengenai
kolonialisme dan pembentukan identitas dianalisis dengan menggunakan teori
poskolonial dan teori identitas. Menurut skripsi ini, kolonialisme tercermin pada
gaya bahasa narasi dalam novel yang menunjukkan konstruksi identitas kulit
hitam yaitu berpendidikan rendah, miskin, rasis, dan percaya pada hal-hal
irasional. Akan tetapi, tokoh utama berusaha melawan konstruksi tersebut dan
menunjukkan bahwa menolak bersikap pasrah seperti kaum terjajah pada
umumnya.
Yang ketiga adalah skripsi dengan judul Kemiskinan dalam Novel La Cité
de La Joie karya Dominique La Pierre yang disusun oleh Shindy Febryanti pada
tahun 2011. Dalam skripsi ini diungkap bentuk-bentuk kemiskinan yang terjadi
pada masyarakat miskin di Calcutta dalam novel La Cité de La Joie dan
pandangan dunia pengarang terhadap kemiskinan masyarakat di Kalcutta.
Yang keempat adalah sebuah tesis berjudul Dominasi Sosial dalam Novel
La Nuit Karya Elie Wiesel yang disusun oleh Eggy Richard Aldilla pada tahun
2014. Pada tesis ini dijelaskan mengenai sistem dominasi sosial yang terjadi
antara tentara Nazi dengan bangsa Yahudi, di mana Nazi sebagai pihak dominan
dan Yahudi sebagai pihak yang tersubordinasi. Selain itu, di dalam penelitian ini
juga dibahas mengenai konflik etnis yang terjadi di dalam novel La Nuit. Konflik
25
etnis tersebut tidak hanya terjadi antara etnis yang satu dengan yan lainnya namun
juga dapat terjadi di dalam lingkup satu kelompok etnis.
Yang kelima adalah skripsi dari program studi pendidikan bahasa prancis
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta yang disusun oleh Dian
Pratiwi pada tahun 2012 dengan judul Analisis Struktural Semiotik Roman
Ritournelle de La Faim Karya J.M.G. Le Clezio. Melalui penelitian ini dapat
diketahui unsur-unsur ekstrisik sekaligus unsur intrinsik yang berupa alur,
penokohan, latar, dan tema di dalam novel Ritournelle de La Faim. Disebutkan
pula bahwa latar belakang pengarang mempengaruhi unsur-unsur tersebut salah
satu contohnya ada dalam penggambaran keadaan sosial masyarakat Prancis pada
masa yang disebutkan dalam novel.
Berdasarkan data-data di atas, penelitian terhadap novel Ritournelle de La
Faim karya Le Clezio yang membahas mengenai kekuasaan dan dominasi dengan
menggunakan teori dominasi sosial Jim Sidanus belum pernah dibahas dan
diteliti, baik dalam lingkup Jurusan Sastra Roman Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada atau dilingkup lainnya sehingga penelitian ini layak
untuk dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan
pengetahuan tentang kekuasaan dan dominasi dan cara yang dialami oleh para
tokoh dalam novel Ritournelle de La Faim, dan dapat memunculkan penelitianpenelitian lain terhadap novel karya Le Clezio sehingga memperluas pengetahuan
terhadap karya-karya sastranya.
26
1.7 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian novel Ritournelle de La Faim dititikberatkan pada unsur
intrinsik yang mengarah ke bentuk-bentuk kekuasaan dan dominasi yang ada
dialami para tokoh dan ada di dalam novel. Dengan menggunakan konsep
kekuasaan dan teori dominasi sosial milik Jim Sidanus akan diungkap sistem
dominasi sosial yang ada di dalam novel Ritournelle de La Faim sekaligus
hubungan antara kekuasaan dan dominasi sosial.
1.8 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Metode ini menitikberatkan pada segi alamian dan berdasarkan pada
kualitas yang terdapat dalam data. Tujuan dari metode penelitian kualitatif adalah
untuk mengumpulkan pemahaman mendalam tentang perilaku manusia dan alasan
mengapa perilaku tersebut dilakukan. Pada tahap awal penelitian dilakukan
dengan menentukan bentuk objek material yang akan digunakan, yaitu karya
sastra berjudul Ritournelle de La Faim karya Le Clezio.
Berikut ini adalah langkah-langkah selanjutnya yang ditempuh dalam
menyusun penelitian ini:.
1. Membaca karya sastra secara heuristik, yaitu pembacaan secara berurutan
dari awal hingga akhir cerita.
2. Menulis peristiwa-peristiwa penting yang terdapat dalam karya sastra
sebagai data supaya menjadi dasar kajian analisis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara otentik.
27
3. Membaca karya sastra secara hermeneutik, yaitu pembacaan secara lebih
rinci untuk memahami dan menemukan permasalahan yang terdapat di
dalam novel.
4. Menentukan permasalahan dalam novel.
5. Menganalisis data dengan cara memilah dan mengelompokkan data yang
akan digunakan.
6. Menganalisis novel menggunakan teori dominasi sosial dan konsep
kekuasaan.
7. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis data untuk menjawab
permasalahan-permasalahan yang dipaparkan dalam rumusan masalah.
1.9 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari: (1) latar belakang, (2)
permasalahan, (3) rumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (5) landasan teori, (6)
tinjauan pustaka, (7) ruang lingkup penelitian, (8) metode penelitian, dan (9)
sistematika penyajian.
Bab II merupakan pembahasan yang disajikan dalam tiga subbab, yaitu
(1)(2)(3) dengan menggunakan konsep kekuasaan dan teori dominasi sosial Jim
Sidanus.
Bab III berisi kesimpulan penelitian dan saran.
Pada bagian akhir penelitian disertakan daftar pustaka dan lampiran yang
berisi sinopsis novel Ritournelle de La Faim.
28
Download