BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya memiliki naluri gregariousness yaitu naluri untuk selalu hidup berkelompok atau bersama orang lain1. Secara biologis, perempuan dan laki-laki saling membutuhkan untuk dapat memiliki keturunan. Begitupula ketika seseorang sakit maka dibutuhkan dokter untuk membantu mengetahui penyakit serta obat apa yang harus digunakan supaya sembuh dari penyakit. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia yang tidak mau hidup berdampingan dengan orang lain akan mengalami kesulitan dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosialnya. Sebagai anggota masyarakat, manusia akan membentuk kelompok sosial supaya dapat bertahan hidup dan meneruskan keturunan atau generasinya. Soerjono Soekanto mendefinisikan kelompok sosial sebagai himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan di antara mereka secara timbal balik dan saling mempengaruhi2. Setiap anggota kelompok memiliki kesadaran bahwa ia merupakan bagian dari kelompok 1 http://glosarium.org/arti/?k=gregariousness diakses pada tanggal 3 Juli 2015 pukul 4:01 2 http://www.fahdisjro.com/2014/08/kelompok-sosial.html diakses pada tanggal 25 Agustus 2015 pukul 10.01 1 tersebut. Meskipun termasuk ke dalam satu kelompok yang sama, masing-masing anggota kelompok memiliki perbedaan seperti dalam hal jenis kelamin, usia, pendidikan, agama, hobi, budaya, pemikiran, perilaku, dsb. Manusia sebagai makhluk multidimensi memiliki perbedaan-perbedaan berdasarkan beberapa kriteria yang terdiri dari ciri fisiologis, kebudayaan, ekonomi, dan perilaku (Kinloch via Kamanto Sunarto, 1993: 10). Perbedaan ini menyebabkan manusia masuk ke dalam kelompok-kelompok sosial tertentu sehingga tercipta masyarakat multikultural. Menurut J.S. Furnival masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih komunitas atau struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya3. Anggota kelompok sosial yang hidup dalam masyarakat multikultural harus dapat saling menghargai perbedaan yang ada supaya tercipta masyarakat yang damai. Pada kenyataannya, konflik sosial sering terjadi akibat tidak adanya rasa toleransi antarkelompok. Gillin dan Gillin mengungkapkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antar orang-orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia (Soerjono Soekanto, 1998: 192). Konflik termasuk ke dalam salah satu bentuk interaksi sosial akibat tajamnya perbedaan yang dirasakan oleh suatu kelompok maupun anggota kelompok sosial dalam masyarakat. Terdapat beberapa hal yang menguatkan perbedaan tersebut seperti rasa benci dan rasa ingin lebih unggul dari kelompok lain. Konflik sosial 3 http://www.materisma.com/2014/01/pengertian-masyarakat-multikultural.html tanggal 26 Agustus 2015 pukul 9:35 diakses pada 2 antarkelompok dalam masyarakat juga sering diikuti dengan adanya ancaman bahkan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu kelompok pada kelompok lain. Kelompok mayoritas dan kelompok minoritas adalah salah satu contoh kelompok sosial yang hidup di dalam masyarakat multikultural. Kinloch berpendapat bahwa kelompok mayoritas adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Mereka menganggap dirinya normal dan memiliki derajat lebih tinggi. Sedangkan kelompok lain yang dianggap sebagai kelompok minoritas adalah yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap tidak normal serta lebih rendah karena dinilai mempunyai ciri-ciri tertentu (ciri-ciri fisik, ekonomi, budaya, dan perilaku). Atas dasar anggapan tersebut kelompok lain itu mengalami eksploitasi dan diskriminasi (Kamanto Sunarto, 1993: 135). Kelompok mayoritas biasanya akan mempertahankan kekuasaannya dan melakukan dominasi yang disertai penindasan terhadap kelompok minoritas dalam segala aspek kehidupan seperti di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kelompok minoritas juga bisa mendominasi kelompok mayoritas dengan syarat memiliki kekuasaan dalam suatu bidang atau hal tertentu. Kinloch mendefinisikan kelompok mayoritas dengan tidak mengaitkannya dengan jumlah anggota kelompok (Kamanto Sunarto, 1993: 135). Kelompok mayoritas dapat saja terdiri atas sejumlah kecil orang yang berkuasa atas sejumlah besar orang lain Kelompok yang demikian disebut sebagai kelompok minoritas dominan4. Mereka memiliki jumlah anggota yang tidak terlalu besar dibandingkan kelompok sosial 4 https://id.wikipedia.org/wiki/Minoritas_dominan diakses pada tanggal 3 Juli 2015 pukul 4:13 3 lain, tetapi mempunyai peran yang lebih besar dalam politik, ekonomi, sosial, atau budaya di suatu negara. Contohnya seperti keturunan etnis Tionghoa yang mendominasi aspek kehidupan ekonomi di Indonesia dan orang kulit putih yang mencanangkan politik apartheid terhadap orang kulit hitam di Afrika Selatan. Kelompok mayoritas dan minoritas dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Kemungkinan ini dapat terjadi apabila dalam interaksi sosial terdapat perilaku diskriminatif, prasangka, serta tingkah laku yang tidak bersahabat antar kelompok sehingga menimbulkan konflik sosial dimana salah satu pihak merasa dirugikan dan ditindas. Salah satu bentuk sikap yang mendiskriminasi suatu kelompok manusia adalah rasisme. Racism is an ideology based on the belief that an observable, supposedly inherited trait, such as skin color, is a mark of inferiority that justifies the discriminatory treatment of people with that trait. (Kornblum via Kamanto Sunarto, 1993: 137). Rasisme adalah sebuah ideologi berdasarkan pada keyakinan bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri tersebut lebih rendah sehingga mereka dapat didiskriminasi. Rasisme tidak dapat dipisahkan dari dominasi. Ideologi rasisme membenarkan perlakuan yang berbeda terhadap suatu kelompok akibat adatidaknya ciri fisik dan kemampuan sosial tertentu (v.d. Berghe via Kamanto Sunarto, 1993: 138). Hal ini dapat memicu terjadinya dominasi bahkan konflik antarkelompok. Peristiwa holocaust adalah salah satu contoh dominasi berdasarkan rasisme yang dilakukan oleh tentara nazi Jerman terhadap kelompok yahudi. Sejak abad pertengahan, masyarakat Jerman telah menganut paham antisemitisme yaitu kebencian dan prasangka yang ditujukan pada orang yang 4 menganut ajaran yahudi. Atas dasar tersebut tentara nazi Jerman yang dipimpin oleh Aldof Hitler melakukan pembantaian besar-besaran terhadap para yahudi di wilayah Eropa dan sekitarnya yang terjadi saat perang dunia kedua di abad 20 5. Tidak pernah ada sebuah komunitas yang tidak memiliki tingkat hirarkis, kekuasaan, dominasi antar seks, umur, dan kelas sosial. Dominasi adalah sebuah paham untuk melakukan penaklukan atau penguasaan. Dalam hal ini bisa terjadi melalui eksploitasi terhadap suatu agama, ideologi, kebudayaan, dan wilayah dengan maksud agar mendapatkan keuntungan secara ekonomi atau kekuasaan. Dengan kata lain, dominasi adalah penguasaan oleh pihak yg lebih kuat terhadap yg lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dsb). Masalah dominasi sosial tidak hanya terjadi secara terbuka dan jelas seperti konflik antar ras. Segala bentuk penjajahan terselubung dari kelompok yang kuat kepada kelompok yang lemah, dari kelompok yang besar kepada kelompok yang kecil juga dapat disebut sebagai dominasi sosial6. Permasalahan mengenai dominasi sosial dalam kelompok-kelompok sosial dapat ditemukan dalam salah satu karya sastra Prancis karangan Le Clezio yang berjudul Ritournelle de La Faim. Jean-Marie Gustave Le Clézio adalah salah satu pengarang Prancis yang lahir di Riviera, Nice pada tanggal 13 April 1940. Ayahnya berkebangsaan Inggris dan ibunya berasal dari Prancis. Namun keduanya masih memiliki hubungan 5 https://id.wikipedia.org/wiki/Holokaus diakses pada tanggal 25 Juli 2015 pukul 14:39 6 http://www.artikata.com/arti-325562-dominasi.html diakses pada tanggal 19 Desember 2014 pukul 19:44 5 kekerabatan dengan negara bekas koloni Prancis yaitu Mauritius. Dengan demikian Le Clezio menerima tiga kebudayaan dari keluarganya yaitu Prancis, Inggris, dan Mauritius. Novel Ritournelle de La Faim bercerita tentang perjuangan tokoh Ethel Brun. Ia merupakan gadis keturunan yahudi borjuis mauritius yang tinggal di kota Paris sebelum dan selama perang dunia kedua berlangsung. Selama hidupnya ia mengalami berbagai macam cobaan kehidupan. Misalnya, pertengkaran yang selalu terjadi dalam keluarganya, dikhianati oleh sahabat dan ayahnya sendiri, bahkan menjadi pengungsi di tengah masa perang dunia kedua. Ia mendapatkan kehidupan baru setelah perang dunia kedua berakhir. Novel Ritournelle de La Faim juga mengungkapkan jiwa kepahlawanan, kasih sayang dan empati dalam menjalani kehidupan. Novel Ritournelle de La Faim adalah karya Le Clezio yang dirilis pada tahun 2008 dan mengantarkan beliau mendapatkan Le Prix Nobel pada tahun yang sama. Novel ini disebut-sebut sebagai terobosan baru dalam mengeksplorasi kesalahan Prancis dalam perang yang telah lalu7. Salah satu hal menarik yang terdapat dalam novel ini adalah Le Clezio menjadikan pengalaman hidup sang ibu sebagai inspirasi cerita. Selain itu, ia menghadirkan dua jenis narator dengan sudut pandang berbeda atau campuran di dalam alur cerita. Narator yang pertama bercerita tentang kisah yang dituturkan oleh tokoh utama kepadanya dan apa yang narator pertama baca di buku harian milik tokoh utama. Narator ini hadir pada intro, beberapa bagian di tengah cerita, dan pada akhir novel. Sebagian besar alur 7 http://bibliobs.nouvelobs.com/romans/20090223.BIB3000/ritournelle-de-la-faim-de-leclezio.html diakses pada tanggal 4 Juli 2015 pukul 19.33 6 kisah pada novel ini diceritakan oleh narator kedua yang juga merupakan tokoh utama. Pada akhir cerita diketahui bahwa narator pertama adalah anak laki-laki dari tokoh utama. Eksistensi Le Clezio di dunia sastra tidak dapat diragukan lagi. Selain telah menghasilkan berpuluh-puluh karya sastra, ia juga mendapatkan penghargaan-penghargaan, antara lain: prix Théophraste Renaudot (1963), prix Valey Larbaud (1972), grand pix de littératurer Paul-Morand (1980), prix International Union Latine des Littératures Romanes (1992), prix des Téléspectateurs (1996), prix Jean-Giono (1997), prix Puterbaugh (1997), prix Prince-de-Monaco (1998), prix Stig Dagermanpriset (2008), dan prix Nobel de Littérature (2008). Le Clezio juga aktif mengajar sastra di sejumlah universitas di seluruh dunia seperti Bangkok, Mexico, Boston, Austin, dan Albuquerque8. Selain Ritournelle de La Faim (2008), Le Clezio memiliki karya sastra lain yang inspirasinya berasal dari pengalaman dan kisah hidupnya. Diantaranya, sebuah esai berjudul Haï (1971) yang bercerita tentang kebudayaan indian dimana pengalaman Le Clezio selama menetap di Mexico dan Amerika menjadi unsur penting dalam pembuatannya. Le Clezio juga menuangkan apa yang telah ia pelajari di Amerika Tengah dalam Voyages de L’autre Côté (1975). Pengalaman Le Clezio menetap di Afrika dituangkan dalam Poison d’Or (1996) dan Désert (1980). Novel Désert menggambarkan kemegahan budaya yang hilang di gurun Afrika Utara, kontras dengan gambaran Eropa yang terlihat melalui mata imigran 8 http://www.svenskaakademien.se/nobelpriset_i_litteratur/pristagarna/jmg_le_clezio diakses pada tanggal 4 Juli 2015 pukul 18.15 7 yang tidak diinginkan. Imigran tersebut dijadikan antitesis khayalan untuk keburukan dan kebrutalan masyarakat Eropa di masa itu. Selanjutya, Le Clezio menulis novel L'Africain (2006) yang terinspirasi dari pengalaman ayahnya yang berprofesi sebagai dokter militer di Afrika selama perang dunia kedua berlangsung9. Melalui Ritournelle de La Faim, Le Clezio memperlihatkan makna persaudaraan, persahabatan, kebesaran hati, keikhlasan, dan pengorbanan demi orang lain. Novel ini juga mengajak pembaca mengingat kembali masa-masa sebelum dan selama perang dunia kedua dimana banyak terjadi isu-isu kemanusiaan sehingga dapat menghargai, mengambil hikmah, sekaligus belajar dari kejadian di masa lalu. 1.2 Permasalahan Novel Ritournelle de La Faim mengemukakan permasalahan seputar dominasi antartokoh di dalamnya. Selama hidupnya, Ethel Brun mengalami dan melihat dominasi akibat kekuasaan yang berjalan tidak seimbang karena adanya perbedaan antartokoh maupun antarkelompok. Permasalahan tersebut terjadi dalam hubungan sosial di lingkungannya seperti pada hubungan persahabatannya dengan Xénia, dan juga pada hubungan keluarganya sendiri. Dominasi juga terjadi dalam beberapa peristiwa penting yang turut diceritakan di dalam novel. 9 http://www.associationleclezio.com/ressources/biographie.html diakses pada tanggal 30 Oktober 2014 pukul 20:42 8 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana wujud dominasi sosial yang terjadi pada novel Ritournelle de La Faim? 2. Bagaimana keterkaitan kekuasaan dan dominasi sosial yang terjadi di dalam novel Ritournelle de La Faim? 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini menjelaskan tentang wujud dominasi sosial yang terjadi antar tokoh dimana terdapat tokoh yang menjadi pihak dominan dan tokoh yang tersubordinasi. Dominasi sosial tersebut juga dapat ditemukan di dalam beberapa peristiwa yang terjadi di dalam novel Ritournelle de La Faim. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai keterkaitan antara kekuasaan dan dominasi sosial berdasarkan peristiwa yang terjadi dan dialami para tokoh di dalam novel. Melalui penelitian ini diharapkan para penikmat sastra dapat memperluas pengetahuan mengenai karya sastra Prancis sehingga dapat memunculkan atau mengembangkan penelitian semacam ini terhadap karya-karya sastrawan Prancis pada umumnya maupun karya-karya milik Le Clezio pada khususnya. 9 1.5 Landasan Teori Dalam menganalisis novel Ritournelle de La Faim digunakan konsep teori dominasi sosial dan kekuasaan. Teori dominasi sosial digunakan untuk menganalisis wujud dominasi yang terjadi di dalam novel. Selain itu, penelitian ini menggunakan konsep kekuasaan untuk mengetahui keterkaitan antara kekuasaan dengan dominasi berdasarkan peristiwa yang terjadi di dalam novel. 1.5.1 Dominasi Sosial Individu atau kelompok sosial dalam masyarakat akan diatur sedemikian rupa supaya memiliki kedudukan yang berbeda di dalam suatu hirarki. Di dalam buku yang berjudul Social Dominance Theory and The Dynamics of Intergroup Relation, Felicia Pratto, Jim Sidanius, dan Shana Levin memaparkan lebih lanjut mengenai hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat, terlebih pada kelompok masyarakat yang berbeda. Human societies tend to organise as group-based social hierarchies in which at least one group enjoys greater social status and power than other groups. Members of dominant social groups tend to enjoy a disproportionate share of positive social value, or desirable material and symbolic resource such as political power, wealth, protection by force, plentiful and desirable food, and access to good housing, health care, leisure, and education. Negative social value is disproportionately left to or forced upon members of subordinate groups in the form of substandard housing, disease, underemployment, dangerous, and distasteful work, disproportionate punishment, stigmatisation, and vilification (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 271-272) Manusia memiliki kecenderungan untuk membentuk hirarki berdasarkan kelompok-kelompok sosial dimana setidaknya terdapat satu kelompok yang menikmati status sosial yang lebih baik dan kekuatan yang lebih besar dibandingkan kelompok lain. Anggota kelompok sosial dominan akan menikmati bagian yang lebih besar dari nilai sosial positif, atau materi yang diinginkan 10 yang berasal dari sumber-sumber tertentu seperti kekuasaan politik, kekayaan, perlindungan dengan kekuatan, makanan kesukaan yang berlimpah, jaminan kesehatan, rekreasi, dan pendidikan. Nilai sosial negatif akan diperuntukkan atau dipaksakan untuk anggota kelompok subordinat. Sebagai contoh pemukiman yang tidak layak, penyakit, pengangguran, pekerjaan yang tidak menyenangkan atau bahkan berbahaya, hukuman yang tidak sebanding, stigmatisasi, dan fitnah. Di dalam hirarki sosial terdapat indvidu atau kelompok yang menempati bagian atas hirarki (dominan) dan individu atau kelompok yang berada di bagian bawah hirarki (subordinat). Hirarki sosial tersebut ditentukan berdasarkan nilai sosial positif yang didapatkan oleh individu atau kelompok sosial. Individu atau kelompok sosial yang berada di atas hirarki cenderung menikmati bagian yang lebih besar dari nilai positif sosial. Sebaliknya, nilai negatif sosial biasanya melekat pada individu atau kelompok subordinat. Social dominance theory was developed in an attempt to understand how group based social hierarchy is formed and maintained. Social dominance theory assumes that we must understand the processes producing and maintaining prejudice and discrimination at multiple levels of analysis, including cultural ideologies and policies, institutional practices, relations of individuals to others inside and outside their groups, the psychological predispositions of individuals, and the interaction between the evolved psychologies of men and women. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 272) Teori dominasi sosial dikembangkan untuk memahami bagaimana suatu hirarki sosial berdasarkan kelompok dibentuk dan dipertahankan. Teori ini berasumsi jika kita harus memahami proses pembentukan dan pemeliharaan prasangka dan diskriminasi pada beberapa tingkat analisis, seperti pada ideologi budaya, praktek kelembagaan, dan hubungan individu dengan individu lain yang ada di dalam kelompok atau di luar kelompok (antarkelompok), kecenderungan psikologis individu, dan interaksi perkembangan psikologis antara laki-laki dan perempuan. 11 Teori dominasi sosial memiliki pandangan yang lebih umum mengenai proses pembentukan populasi manusia daripada teori lain yang hanya fokus pada kapitalisme kerajaan, gender, kepentingan kelompok, identitas sosial, atau perbedaan individual. Namun teori ini juga sama ambisiusnya dengan teori lain karena berupaya untuk menggabungkan wawasan berdasarkan perspektif-perspektif yang paling berpengaruh seperti: (a) teori ideologi kebudayaan, (b) teori konflik kelompok yang realistis, (c) teori neoclassical elitismi, (d) teori identitas sosial, (e) marxisme, (f) analisis antropologi feminis keluarga dan tenaga kerja, (g) psikologi evolusioner. 1.5.1.1 Konsep Dominasi Sosial Teori dominasi sosial memiliki tiga struktur utama dalam mengelompokkan praktek dominasi sosial yaitu sistem umur, sistem jenis kelamin, dan sistem kesewenang-wenangan. Social dominance theory argues that societies producing stable economic surplus contain three qualitatively distinct systems of group-based hierarchy: (1) an age system, in which adults have disproportionate social power over children; (2) a gender system, in which men have disproportionate social, political, and military power compared to women; and (3) an arbitrary-set system, in which groups constructed on ‘‘arbitrary’’ bases, that is, on bases not linked to the human life-cycle, have differential access to things of positive and negative social value (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 273). Teori dominasi sosial mengemukakan bahwa pada kegiatan produksi surplus ekonomi stabil yang dilakukan oleh masyarakat terdapat tiga sistem kualitatif hirarki berbasis kelompok yang berbeda: (1) sistem umur, di mana orang dewasa memiliki 12 kekuatan yang tidak seimbang terhadap anak-anak; (2) sistem jenis kelamin, di mana laki-laki memiliki kekuatan sosial, politik, dan militer yang tidak seimbang dibanding dengan perempuan; dan (3) sistem kesewenang-wenangan, di mana sistem ini dibangun atas dasar kesewenang-wenangan yaitu tidak berhubungan dengan siklus kehidupan manusia dan terdapat perbedaan dalam mengakses nilai sosial positif dan negatif. Dari ketiga struktur tersebut, sistem kesewenang-wenangan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berkembang di masyarakat. Perbedaan sosial yang mempengaruhi sistem ini memiliki cakupan yang lebih luas dan dapat berkaitan dengan berbagai hal seperti perbedaan kewarganegaraan, ras, suku, kelas, kepemilikan tanah, keturunan, agama, klan, pengetahuan, ide-ide, ketrampilan dsb. 1.5.1.2 Mekanisme Pembentukan dan Pemeliharaan Hirarki Sosial Kelompok hirarki sosial merupakan hasil yang diperoleh dari ketidaksetaraan yang terjadi di beberapa tingkatan seperti: lembaga, individu atau perorangan, dan proses kolaborasi antar kelompok. Ketidaksetaraan tersebut terjadi tidak hanya karena penggunaan kekuataan, kekuasaan, atau intimidasi yang dilakukan individu atau kelompok dominan pada individu atau kelompok subordinat namun juga didukung oleh adanya legitimising myth. According to social dominance theory, group-based social hierarchy is produced by the net effects of discrimination across multiple levels: institutions, individuals, and collaborative intergroup processes. Discrimination across these levels is coordinated to favour dominant groups over subordinate groups by 13 legitimising myths, or societal, consensually shared social ideologies. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 275) Menurut teori dominasi sosial, hirarki sosial berbasis kelompok terbentuk karena net effects dari diskriminasi di berbagai tingkatan: lembaga, individu, dan proses kolaborasi antarkelompok. Diskriminasi di berbagai tingkatan ini di atur untuk mendukung kelompok dominan atas kelompok subordinat dengan cara membenarkan mitos atau pemikiran dalam masyarakat, yang disepakati dan disebarkan melalui ideologi sosial. Teori dominasi sosial menyatakan bahwa keputusan dan perilaku individu, praktek sosial dan lembaga baru yang terjadi dalam masyarakat dibentuk oleh legitimising myth. Kebulatan suara dari kelompok-kelompok dalam hirarki sosial terhadap diskriminasi dalam nilai yang dipegang, sikap, keyakinan, stereotip, dan ideologi budaya termasuk ke dalam legitimising myth. Social dominance theory assumes that groupbased inequality is not simply the result of the naked use of force, intimidation, and discrimination on the part of dominants against subordinates. Rather, social dominance theory states that the decisions and behaviours of individuals, the formation of new social practices, and the operations of institutions are shaped by legitimising myths. Legitimising myths are consensually held values, attitudes, beliefs, stereotypes, and cultural ideologies. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 275) Teori dominasi berasumsi bahwa ketimpangan dalam kelompok sosial tidak semata-mata akibat penggunaan suatu kekuatan, intimidasi, dan diskriminasi kelompok dominan terhadap kelompok subordinat. Sebaliknya, teori ini menyatakan bahwa keputusan dan perilaku individu, pembentukan praktek-praktek sosial baru, dan kegiatan operasional suatu lembaga dibentuk oleh legitimising myths. Nilai-nilai sosial, sikap, keyakinan, stereotip, dan ideologi budaya termasuk ke dalam legitimising myths. 14 Terdapat dua bentuk legitimising myths berdasarkan fungsinya yaitu hierarchy-enhancing legitimising myths (HE-LMs) dan Hierarchyattenuating legitimising myths (HA-LMs). HE-LMs adalah ideologi yang memberikan kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan ketidaksetaraan. Ideologi ini mendukung atau menguatkan hirarki yang ada. Contoh bentuk-bentuk HE-LMs adalah rasisme (warna kulit, agama, jenis ras), sexisme (diskriminasi atau kebencian terhadap suatu jenis kelamin tertentu, klasisme, heteroseksisme (ideologi yang menolak berbagai perilaku, identitas, hubungan, dan komunitas non-heteroseksual), stereotip (penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan kelompok dimana orang tersebut berada), nasionalisme atau kebangsaan. HA-LMs adalah ideologi yang melawan dominasi sehingga melemahkan hirarki. Contoh dari legitimising myths yang melemahkan hirarki ini adalah: hak asasi manusia, demokrasi sosial, multikulturalisme, sosialisme, persaudaraan antarumat beragama, dll. Seperti halnya legitimising myths, banyak lembaga atau institusi yang diklasifikasikan sebagai hierarchy-enhancing ataupun hierarchy attenuating. Institusi hierarchy-enhancing yang kuat termasuk institusi keuangan dengan keuntungan penuh, perusahaan lintas negara, organisasi keamanan internal (contohnya: FBI, KGB), dan sistem keadilan kriminal. Diskriminasi yang dilakukan oleh institusi hierarchy-enhancing memiliki dampak fatal bagi kelompok hierarki. Pertama, institusi dapat menggerakkan dan mengalokasikan sumber daya dalam jumlah besar 15 dengan kuat dibanding yang dapat dilakukan oleh perorangan. Kedua, institusi besar, seperti pemerintahan nasional dan perusahaan multinasional memiliki “jangkauan” yang lebih luas dalam mempengaruhi sistematiknya terhadap perusahaan lokal. Ketiga, karena banyak institusi mengabadikan diri mereka, diskriminasi yang mereka gunakan biasanya lintas generasi dan ketika orang atau kelompok mencoba untuk melawan praktek diskriminasi, institusi biasanya mempertahankan praktek diskriminasi mereka sebagai bagian dari pertahanan institusi itu sendiri. Keempat, banyak institusi membangun norma-norma internal mereka dimana norma itu mengatur orang-orang yang bekerja di dalamnya dan perbedaan perorangan. Kelima, orang-orang dalam institusi, termasuk militer dan perusahaan, seringkali dibebaskan dari kesalahan yang menyangkut tempat mereka bekerja karena perusahaan tersebut memiliki status resmi yang spesial. Selanjutnya terdapat institusi hierarchy-attenuating yang bertugas mengurangi sekaligus menyeimbangkan dampak yang timbul akibat insititusi hierarchy-enhancing. Dalam prakteknya, institusi ini membuka akses pada sumber daya yang dibatasi oleh kelompok dominan, seperti layanan publik. Di dalam institusi ini terdapat hak asasi manusia, hak warga sipil, dan kelompok kebebasan warga; organisasi kesejahteraan, dan organisasi keagamaan yang didedikasikan untuk perlindungan bagi si miskin yang teropresi dan mudah diserang. Institusi seperti ini sering 16 kekurangan dana, pasukan, hak didahulukan (precedent) yang resmi, atau dasar kekuatan yang lain yang kokoh. Reducing the consequences of hierarchy-enhancing institutions, but rarely balancing their impact, are hierarchy-attenuating (HA) institutions. These disproportionately aid members of subordinate social groups (e.g., the poor, ethnic and religious minorities) and attempt to open access to resources otherwise restricted to dominants (e.g., public services). Prominent hierarchy-attenuating institutions include human rights, civil rights, and civil liberties groups; welfare organisations; and religious organisations devoted to the protection of the poor, the vulnerable, and the oppressed. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006: 277) Institusi hierarchy-attenuating (HA) mengurangi dan menyeimbangkan dampak dari institusi hierarchy-enhancing. Hal ini membantu kelompok subordinat (contohnya: orang-orang miskin dan kelompok minoritas suatu etnis atau agama) dan mencoba membukakan jalan menuju sumber daya yang dibatasi oleh kelompok dominan (contohnya: pelayanan publik). Institusi lainnya yang termasuk dalam hierarchy-attenuatin adalah hak asasi manusia dan hak sipil, kelompok kebebasan sipil, organisasi kesejahteraan, organisasi keagamaan yang bertujuan melindungi kaum miskin, lemah, dan tertindas. Selain di dalam tubuh instisusi atau lembaga, kasus-kasus diskriminasi juga sangat banyak dilakukan individu. Diskriminasi individu merupakan perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain dikarenakan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial. Diskriminasi individu sering terjadi di kehidupan sehari-hari dalam tindakan yang sederhana, namun terkadang mencolok dan merugikan. Contohnya adalah ketika seorang atasan memutuskan untuk memecat atau memberikan promosi kepada karyawan, agen perumahan memutuskan untuk tidak menjual atau menyewakan sebuah rumah kepada kliennya, 17 atau seorang jaksa yang memutuskan untuk memberikan pidana ringan atau berat kepada terdakwa. Semua hal itu menjadi diskriminasi ketika keputusan yang diberikan berdasarkan perbedaan dalam etnis, kebangsaan, kelas sosial, orientasi seksual, atau gender Hirarki sosial dalam masyarakat mendukung terjadinya diskriminasi antarindividu. Individu yang berada pada hirarki dengan kekuatan tinggi biasanya memiliki nilai positif sosial yang lebih banyak dan kekuatan yang lebih besar untuk memastikan bahwa nilai negatif sosial berada dan disalurkan di kelompok lain. Struktur ini menegaskan bahwa lebih mudah untuk melakukan tindakan menjaga atau meningkatkan ketidaksetaraan daripada melakukan tindakan untuk melemahkan ketidaksetaraan di dalam suatu hirarki sosial. Tindakan individu tidak hanya ditentukan oleh posisi mereka dalam suatu hirarki sosial. Hal ini terbukti karena adanya perbedaan yang kuat antara individu di posisi sosial yang sama dalam ketentuan kelompok mana yang mendukung tindakan mereka, seberapa besar diskriminasi yang dilakukan, seberapa besar prasangka yang dipegang, dan seberapa besar mereka mendukung diskriminasi melawan kebijakan kesetaraan. Jenisjenis perbedaan ini bukannya tidak teratur atau tergantung keadaan, namun justru terkait dengan orientasi identifikasi jiwa terhadap hirarki hubungan antarkelompok yang disebut sebagai orientasi dominasi sosial. 18 1.5.2 Konsep Kekuasaan Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib manusia. Menurut ilmu sosiologi, kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang baik atau buruk, namun sosiologi mengakui adanya unsur kekuasaan yang merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Dengan demikian orang harus melihat pada penggunaan kekuasaan itu untuk menilai baik atau buruknya bagi keperluan masyarakat. Kekuasaan senantiasa ada di dalam masyarakat baik yang masih sederhana maupun yang sudah besar dan kompleks susunannya. Akan tetapi kekuasaan ini tidak dapat dibagi rata pada setiap anggota masyarakat. Pembagian yang tidak merata ini menimbulkan makna utama kekuasaan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan (Soerjono Soekanto, 1998:161). Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, atau dengan kata lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu, secara rela atau terpaksa (Selo Soemardjan via Soerjono Soekanto, 1998: 161). Selanjutnya, Max Weber mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok orangorang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan 19 dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Kekuasaan tersebut mempunyai berbagai bentuk dengan bermacam-macam sumber diantaranya hak milik kebendaan, kedudukan, birokrasi, disamping misalnya suatu kemampuan khusus dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang tertentu ataupun atas dasar peraturan-peraturan hukum yang tertentu, merupakan sumber-sumber kekuasaan. Jadi kekuasaan terdapat dimana-mana, dalam hubungan-hubungan sosial maupun organisasi-organisasi sosial, akan tetapi umumnya kekuasaan tertinggi ada pada organisasi yang disebut “negara” (Soerjono Soekanto, 1998: 163164). Soerjono Soekanto mengambarkan beberapa unsur kekuasaan yang dapat dijumpai pada hubungan sosial antara manusia maupun antar kelompok, yaitu yang meliputi : 1. Rasa Takut Perasaan takut seseorang pada orang lain menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tidakan pada orang yang ditakuti tadi. Rasa takut ini bernuansa negatif, karena orang tersebut tunduk pada orang lain dalam keadaan yang terpaksa. Untuk menghindari dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya, seseorang atau sekelompok orang akan patuh atau berbuat apa saja sesuai dengan keinginan fihak yang ditakutinya. Disamping kepatuhan, adakalanya secara disadari atau tidak sadar, orang atau sekelompok orang itu meniru tindakan orang-orang yang ditakuti 20 (disebut sebagai matched dependend behavior). Rasa takut merupakan gejala umum yang terdapat dimana-mana, dan bila dilekatkan pada suatu pola pemerintahan negara rasa takut ini biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat dengan pemerintahan otoriter. 2. Rasa Cinta Unsur kekuasaan dengan perasaan cinta menghasilkan perbuatan-perbuatan yang bernuansa positif, orang-orang dapat bertindak sesuai dengan keinginan yang berkuasa, masing-masing fihak tidak merasakan dirugikan satu sama lain. Reaksi kedua belah fihak, yaitu antara kekuasaan dan yang dikuasai, bersifat positif, dari keadaan ini maka suatu sistem kekuasaan dapat berjalan dengan baik dan teratur. 3. Kepercayaan Suatu kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung dari dua orang atau lebih, satu fihak secara penuh percaya pada fihak lainnya, dalam hal ini pemegang kekuasaan, terhadap segenap tindakan sesuai dengan peranan yang dilakukannya; dengan kepercayaannya ini maka orang-orang akan bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa. Unsur kepercayaan ini penting ditumbuhkan untuk melanggengkan suatu bentuk kekuasaan. 21 4. Pemujaan Suatu perasaan cinta atau sistem kepercayaan mungkin pada suatu saat dapat disangkal oleh orang lain; akan tetapi dalam sistem pemujaan, maka seseorang, sekelompok orang, bahkan hampir seluruh warga masyarakat akan selalu menyatakan pembenaran atas segala tindakan dari penguasanya, ke dalam maupun ke luar masyarakat. Selanjutnya Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa di dalam masyarakat, pelaksanaan kekuasaan dijalankan melalui saluran-saluran tertentu. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Saluran Militer Untuk melaksanakan kekuasaannya, maka fihak penguasa akan lebih banyak mempergunakan pola paksaan (coercion) serta kekuatan militer (military force), tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat, sehingga mereka tunduk kepada keinginan penguasa atau sekelompok orang yang dianggap sebagai penguasa. Untuk kepentingan itu, maka seringkali di bentuk oraganisasi dan pasukan-pasukan khusus yang bertindak sebagai dinas rahasia. 2. Saluran Ekonomi Penguasa berusaha menguasai kehidupan masyarakat dengan melakukan pendekatan-pendekatan dengan menggunakan saluran-saluran ekonom. Dengan pola penguasaan ini maka 22 penguasa dapat melaksanakan peraturan-peraturannya serta akan menyalurkan pemerintahannya dengan disertai sanksi-sanksi tertentu. Bentuknya bisa berupa monopoli, penguasaan sektorsektor penting dalam masyarakat, atau penguasaan kaum buruh. 3. Saluran Politik Melalui saluran politik, penguasa dan pemerintah berusaha untuk membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat, caranya antara lain dengan meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk mentaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan-badan yang berwenang dan sah. 4. Saluran Tradisi Saluran tradisi ini biasanya merupakan saluran yang paling disukai, karena ada keselarasan antara nilai-nilai yang diberlakukan dengan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi dalam suatu masyarakat, sehingga pelaksanaan kekuasaan dapat berjalan dengan lancar. 5. Saluran Ideologi Penguasa-penguasa dalam masyarakat biasanya mengemukakan serangkaian ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin, yang bertujuan untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya. Hal itu dilakukan agar supaya kekuasaannya dapat menjelma menjadi wewenang. Setiap penguasa akan berusaha untuk dapat menerangkan ideologinya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga melembaga 23 (institutionalized) bahkan mendarah daging (internalized) dalam diri warga-warga masyarakat. 6. Saluran-saluran Lainnya Untuk lebih menyalurkan pengaruhnya, penguasa biasanya tidak hanya terbatas menggunakan saluran-saluran seperti di atas, tetapi menggunakan berbagai saluran lain, yaitu yang berupa komunikasi massa baik berupa iklan, pamflet, surat kabar, radio, televisi, pagelaran musik, atau apa saja yang dapat menarik simpati massa. Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi alat-alat komunikasi massa, menyebabkan bahwa saluran tersebut pada akhir-akhir ini dianggap sebagai media primer sebagai saluran pelaksanaan kekuasaan. 1.6 Tinjauan Pustaka Dalam menyusun penelitian ini, penulis didukung dengan beberapa referensi kumpulan skripsi dan buku yang relevan. Dalam lingkup Jurusan Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada terdapat beberapa penelitian relevan. Yang pertama adalah skripsi berjudul Alturisme dalam Novel Terre des Hommes Karya Antoine de Saint Exupéry Analisis Semiotika Barthesian yang disusun oleh Vida Sri Yenti pada tahun 2014. Pada skripsi tersebut dijelaskan mengenai sikap alturisme yang dimiliki para tokoh dengan menggunakan teori semiotika sistem lima kode Roland Barthes. 24 Yang kedua adalah skripsi yang disusun pada tahun 2014 oleh Shavira Lazuardh Thalfah dengan judul Kolonialisme dan Pembentukan Identitas dalam Novel Allah N’est Pas Obligé Karya Ahmadou Kouruma: Analisis Naratologi. menggunakan teori poskolonial dan teori identitas. Permasalahan mengenai kolonialisme dan pembentukan identitas dianalisis dengan menggunakan teori poskolonial dan teori identitas. Menurut skripsi ini, kolonialisme tercermin pada gaya bahasa narasi dalam novel yang menunjukkan konstruksi identitas kulit hitam yaitu berpendidikan rendah, miskin, rasis, dan percaya pada hal-hal irasional. Akan tetapi, tokoh utama berusaha melawan konstruksi tersebut dan menunjukkan bahwa menolak bersikap pasrah seperti kaum terjajah pada umumnya. Yang ketiga adalah skripsi dengan judul Kemiskinan dalam Novel La Cité de La Joie karya Dominique La Pierre yang disusun oleh Shindy Febryanti pada tahun 2011. Dalam skripsi ini diungkap bentuk-bentuk kemiskinan yang terjadi pada masyarakat miskin di Calcutta dalam novel La Cité de La Joie dan pandangan dunia pengarang terhadap kemiskinan masyarakat di Kalcutta. Yang keempat adalah sebuah tesis berjudul Dominasi Sosial dalam Novel La Nuit Karya Elie Wiesel yang disusun oleh Eggy Richard Aldilla pada tahun 2014. Pada tesis ini dijelaskan mengenai sistem dominasi sosial yang terjadi antara tentara Nazi dengan bangsa Yahudi, di mana Nazi sebagai pihak dominan dan Yahudi sebagai pihak yang tersubordinasi. Selain itu, di dalam penelitian ini juga dibahas mengenai konflik etnis yang terjadi di dalam novel La Nuit. Konflik 25 etnis tersebut tidak hanya terjadi antara etnis yang satu dengan yan lainnya namun juga dapat terjadi di dalam lingkup satu kelompok etnis. Yang kelima adalah skripsi dari program studi pendidikan bahasa prancis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta yang disusun oleh Dian Pratiwi pada tahun 2012 dengan judul Analisis Struktural Semiotik Roman Ritournelle de La Faim Karya J.M.G. Le Clezio. Melalui penelitian ini dapat diketahui unsur-unsur ekstrisik sekaligus unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema di dalam novel Ritournelle de La Faim. Disebutkan pula bahwa latar belakang pengarang mempengaruhi unsur-unsur tersebut salah satu contohnya ada dalam penggambaran keadaan sosial masyarakat Prancis pada masa yang disebutkan dalam novel. Berdasarkan data-data di atas, penelitian terhadap novel Ritournelle de La Faim karya Le Clezio yang membahas mengenai kekuasaan dan dominasi dengan menggunakan teori dominasi sosial Jim Sidanus belum pernah dibahas dan diteliti, baik dalam lingkup Jurusan Sastra Roman Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada atau dilingkup lainnya sehingga penelitian ini layak untuk dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan tentang kekuasaan dan dominasi dan cara yang dialami oleh para tokoh dalam novel Ritournelle de La Faim, dan dapat memunculkan penelitianpenelitian lain terhadap novel karya Le Clezio sehingga memperluas pengetahuan terhadap karya-karya sastranya. 26 1.7 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian novel Ritournelle de La Faim dititikberatkan pada unsur intrinsik yang mengarah ke bentuk-bentuk kekuasaan dan dominasi yang ada dialami para tokoh dan ada di dalam novel. Dengan menggunakan konsep kekuasaan dan teori dominasi sosial milik Jim Sidanus akan diungkap sistem dominasi sosial yang ada di dalam novel Ritournelle de La Faim sekaligus hubungan antara kekuasaan dan dominasi sosial. 1.8 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini menitikberatkan pada segi alamian dan berdasarkan pada kualitas yang terdapat dalam data. Tujuan dari metode penelitian kualitatif adalah untuk mengumpulkan pemahaman mendalam tentang perilaku manusia dan alasan mengapa perilaku tersebut dilakukan. Pada tahap awal penelitian dilakukan dengan menentukan bentuk objek material yang akan digunakan, yaitu karya sastra berjudul Ritournelle de La Faim karya Le Clezio. Berikut ini adalah langkah-langkah selanjutnya yang ditempuh dalam menyusun penelitian ini:. 1. Membaca karya sastra secara heuristik, yaitu pembacaan secara berurutan dari awal hingga akhir cerita. 2. Menulis peristiwa-peristiwa penting yang terdapat dalam karya sastra sebagai data supaya menjadi dasar kajian analisis yang dapat dipertanggungjawabkan secara otentik. 27 3. Membaca karya sastra secara hermeneutik, yaitu pembacaan secara lebih rinci untuk memahami dan menemukan permasalahan yang terdapat di dalam novel. 4. Menentukan permasalahan dalam novel. 5. Menganalisis data dengan cara memilah dan mengelompokkan data yang akan digunakan. 6. Menganalisis novel menggunakan teori dominasi sosial dan konsep kekuasaan. 7. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis data untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dipaparkan dalam rumusan masalah. 1.9 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari: (1) latar belakang, (2) permasalahan, (3) rumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (5) landasan teori, (6) tinjauan pustaka, (7) ruang lingkup penelitian, (8) metode penelitian, dan (9) sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan yang disajikan dalam tiga subbab, yaitu (1)(2)(3) dengan menggunakan konsep kekuasaan dan teori dominasi sosial Jim Sidanus. Bab III berisi kesimpulan penelitian dan saran. Pada bagian akhir penelitian disertakan daftar pustaka dan lampiran yang berisi sinopsis novel Ritournelle de La Faim. 28