BAB I PENDAHULUAN A. Alasan pemilihan judul Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.1 Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan Kesejahteraan Anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup lingkup yang sangat luas. Dalam perspektif kenegaraan, komitmen Negara untuk melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut tercermin dalam kalimat:2 “….kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasarkan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu…” 1 Saraswati Rika, “Hukum Perlindungan Anak di Indonesia” , Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003. Hal 5. 2 Waluyadi, “Hukum perlindungan anak”, Mandar maju, Bandung. 2009. Hal 1. 1 Selanjutnya dijabarkan BAB XA tentang (HAM). Khusus untuk perlindungan terhadap anak, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan:3 Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Instrument hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak terdapat dalam konvensi PBB tentang hak-hak anak (Convention on the rights of the child) tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 191 negara, termasuk Indonesia sebagai anggota PBB melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990. Dengan demikian, konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga Negara Indonesia Prinsip-prinsip tersebut juga terdapat di dalam ketentuan Undang - Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang dibentuk oleh pemerintah agar hak-hak anak dapat diimplementasikan di Indonesia. Terhadap harkat dan martabat anak sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1979 ketika membuat undang-undang perlindungan anak dan sampai sekarang, kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak anak masih jauh dari yang diharapkan.4 Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa:5 “ Perlindungan Anak adalah Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi , secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala 3 4 5 Ibid, hal 2 Saraswati Rika, op.cit. hal 15 Gultom Maidin, “Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak di indonesia”, Refika aditama, Bandung. 2008. hal 34 2 upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental dan sosialnya.” Bertitik tolak pada konsep perlindungan yang utuh, menyeluruh dan komprehensif maka Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ini meletakan kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan Pasal 3 Undang -Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak hak-hak anak yang meliputi:6 1) Non diskriminasi 2) Kepentingan yang terbaik bagi anak 3) Hak untuk hidup,kelangsungan hidup dan perkembangan dan 4) Penghargaan terhadap pendapat anak Setiap anak membutuhkan perlindungan terutama anak pengungsi yang merupakan pihak yang paling rentan terhadap trauma fisik dan psikis. Hal ini dikarenakan anak masih mempunyai jiwa labil dan rentan. Kerusuhan membuat anak-anak menjadi korban yang paling membutuhkan perhatian khusus dari Pemerintah. Kebutuhan bagi anak pengungsi meliputi kebutuhan gizi bagi anak –anak, Pelayanan kesehatan, tempat perlindungan yang aman seperti alas dan selimut serta pendidikan bagi anak-anak pengungsi. Pada kenyataannya pengungsi masih banyak yang mengeluhkan dari berbagai pelayanan-pelayanan standar yang harus di penuhi oleh pemerintah. Sehingga menimbulkan persoalan baru terutama bagi pengungsi anak-anak, tentu hal ini akan sangat membahayakan kondisi anak-anak pengungsi. Namun di 6 Ibid.hal 18 3 dalam prakteknya seringkali terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak pengungsi,yang mengakibatkan kesejahteraan anak-anak pengungsi berada di dalam taraf yang sangat rendah. Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi sulit tersebut ,Undang – undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mengamanatkan dalam beberapa Pasal, sebagai berikut: Pertama, Pada Pasal 59, diamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat. Kedua, pada Pasal 60 dinyatakan bahwa anak dalam situasi adalah anak yang menjadi pengungsi dan anak korban kerusuhan. Ketiga, pada Pasal 62 dinyatakan bahwa perlindungan khusus dilaksanakan melalui Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. Konflik Poso yang mulai terjadi pada desember 1998, telah membawa dampak besar terhadap pola hidup dan pranata sosial masyarakatnya di daerah ini. Rumah-rumah yang terbakar, desa yang porak poranda, keluarga yang terluka bahkan terbunuh, anak-anak yang terpisah dari orang tuanya, anak yang kehilangan orang tua, menyebabkan perilaku anak menjadi berubah, dari yang tadinya ceria-gembira 4 sesuai dengan masa pertumbuhannya menjadi anak yang dirundung ketakutan, syok, depresi, stress bahkan menjadi agresif. Situasi konflik Poso tersebut telah menyebabkan anak kedalam situasi “krisis’. Penulis melakukan penelitian dilokasi pengungsian yaitu pengungsian Malewa yang berada di kecamatan Tentena kabupaten Poso. Penulis tertarik melakukan penelitian di Pengungsian Malewa dikarenakan dalam pemenuhan kebutuhan anak –anak pengungsi terdiri dari anak putus sekolah, jaminan kesehatan,dan anak yang kehilangan orang tua mereka serta pengabaian dan penelantaran terhadap anak dibandingkan dengan pengungsian tanahmawau. Pengungsi Malewa sebagian besar berasal dari kota Poso yang kehilangan harta benda termasuk rumah tinggal mereka. Sejak kerusuhan kedua tahun 2000, mereka dievakuasi oleh krisis center ke tentena yang merupakan Pusat sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah ( GKST) . Untuk memudahkan mobilisasi bantuan sosial, maka mereka diberikan lahan oleh krisis center GKST untuk membangun rumah tinggal sementara menunggu relokasi rumah tinggal oleh pemerintah kabupaten Poso. Sampai tahun 2012 ini relokasi oleh pemerintah kabupaten Poso belum ada. Konflik kerusuhan Poso khususnya dipengungsian Malewa, anak-anak menjadi korban yang paling membutuhkan perhatian khusus dari Pemerintah setempat namun belum optimalnya pemenuhan hak - hak anak kerusuhan konflik Poso. Hal ini disebabkan pemenuhan hak –hak anak konflik kerusuhan tidak terlaksana oleh Dinas Sosial Kabupaten Poso. Sehingga mengakibatkan kesejahteraan anak-anak pengungsi berada di dalam taraf 5 yang sangat rendah. Kewajiban dari setiap orang baik masyarakat maupun pemerintah untuk berperan dalam proses pendidikan, pembinaan, pengarahan serta perlindungan anak, agar nantinya terbentuk manusia handal untuk masa depan bangsa. Namun demikian penulis sadari bahwa kondisi anak di Poso masih banyak yang memprihatinkan. Anak-anak pengungsian mempunyai hak dan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi yaitu hak dan kebutuhan akan makan, gizi, kesehatan, bermain, kebutuhan emosional dan pendidikan serta memerlukan partisipasi dari masyarakat maupun pemerintah yang mendukung bagi kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungannya Dinas sosial kabupaten Poso memiliki Peran dalam menyelenggarakan perlindungan, pelayanan, pemulihan dan anak korban kekerasan anak –anak pasca konflik dalam mendapatkan jaminan atas hak –haknya sebagai anak pasca konflik. Hal ini sebagai Tanggung jawab Dinas Sosial Kabupaten Poso dalam penyelenggaraan sesuai dengan Perda No 6 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan, Pelayanan, Dan Pemulihan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan, dalam Pasal 9 ayat (2) memberikan perlindungan khusus dalam bentuk : 1) Perlindungan dan perlindungan khusus dalam bentuk pendampingan dan rasa aman 2) Pelayanan dalam bentuk pelayanan medis, psiko-sosial, medical – legal pelayanan hukum dan pelayanan resosialisasi dan, 3) Pemulihan dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan pemulihan ekonomi 6 Namun satu hal yang patut dipertanyakan adalah walaupun anak –anak korban konflik dilindungi perangkat hukum yang jelas namun tetapi kelemahannya tidak ada Surat Keputusan Bupati dalam penyelenggaraan Perda No 6 Tahun 2008. Perlindungan anak di Kabupaten Poso ini masih jauh memperlihatkan hasil yang dari kesan baik. Tampak jelas dengan sangat di lokasi pengungsian malewa banyak anak yang putus sekolah, pengabaian dan penelantaran terhadap anak di pengungsian tersebut. Dalam melaksanakan perlindungan khusus terhadap hak-hak anak pengungsi malewa, Dinas Sosial Kabupaten Poso memiliki Peran untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak – anak pengungsi korban konflik yakni berupa bentuk pelayanan dan pemulihan dalam bentuk pendidikan dan kesehatan. Peran ini dimaksudkan untuk memenuhi hak – hak anak pengungsi agar perlindungan dan pemenuhan hak dasar anak dari keterlantaran sehingga kelangsungan hidup anak dapat terwujud. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan sebelumnya, penulis tertarik untuk melihat Peran Dinas sosial kabupaten Poso dalam penanganan terhadap anak –anak pasca konflik kerusuhan dengan mengambil judul : KETIADAAN PERAN DINAS SOSIAL KABUPATEN POSO DALAM PERLINDUNGAN HAK ANAK KORBAN KONFLIK POSO 7 Tabel 1.1 Perbandingan skripsi Rumusan masalah Nama Tujuan penelitian Metode Pendekatan Novriyani todaga 312007037 Bagaimana peran pemerintah dalam pemenuhan hak-hak anak Untuk Sosio legal pemenuhan hak-hak pasca konflik pasca konflik Poso Apa mengetahui Untuk mengetahui kendalakendala-kendala pemerintah dalam pemenuhan hak- kendala dalam pemenuhan hakhak anak di Poso hak anak pasca konflik Aris Ardiyanto Apa peran komisi perlindungan 312003088 Untuk mengetahui dan anak indonesia (KPAI) terhadap memahami tentang kasus kekerasan anak atau peran KPAI terhadap kasus kekerasan pelaksanaan anak dan Yuridis sosiologis dapat mengidentifikasi pola penanganan dan faktor hambatan pendorong dalam dan perlindungan anak Beatrix N Bagaimana bentuk penegakan Menggambarkan bentuk- Temmar hukum dalam rangka perlindungan bentuk keterlibatan anak 312000142 anak khususnya anak yang terlibat khususnya yang terlibat sebagai tentara bocah dalam kasus sebagai tentara bocah yang dalam konflik bersenjata di ambon? situasi konflik ambon Apakah yang menjadi dampak dan keterlibatan anak sebagai tentara bocah dalam konflik ambon Mengetahui dampak ditimbulkan sebagai akibat dan keterlibatan anak selalu tentara bocah dalam konflik ambon 8 yang Yuridis sosiologis B. Latar belakang masalah Salah satu kerusuhan yang pada akhirnya berubah menjadi sebuah konflik berkepanjangan adalah peristiwa Poso 26 Desember 1998. Konflik di Poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. berbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakang agama, namun kalau diteliti lebih lanjut, maka kita akan menemukan berbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut. Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya. Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelompok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adalah agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk 9 ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.7 Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing. Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada Desember 1998. Dengan menangnya pasangan Piet Inkiriwang dan Mutholib Rimi dari identitas agama dan suku.8 Untuk seterusnya agama dijadikan penyebab pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. apabila salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok. Setelah peristiwa 1998 dan 1999, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui 7 8 Karnavian tito, TOP SECRET membongkar konflik Poso, :gramedia pustaka utama. Jakarta 2008. Hal 23 Lihat bulletin Yayasan Taman Merdeka Palu, edisi 5 tahun II. 2006. Hal 35 10 berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi Desember Tahun 1998, konflik kedua terjadi April Tahun 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.9 Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso: 1. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. 2. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala. 3. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi massa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua. kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. 9 Lihat hasil penelitian Hamdan Basyar (Ed.), Konflik Poso: Pemetaan dan Pencarian Pola-pola Alternatif Penyelesaiannya (Jakarta : P2P LIPI, 2003). Hal 20 11 Informasi yang didapat bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api. 4. keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama. Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut ”tawuran”, sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota10. Solidaritas kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama. Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan NovemberDesember 2001 konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anakanak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun solidaritas 10 Istilah ”tawuran” merupakan hasil diskusi penelitian tim penelitian Konflik Poso, LIPI.,[Hamdan Basyar (Ed.), 2003] dan [Bayu Setiawan (Ed.), 2004]. 12 kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sangat intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”. Konflik Poso telah memakan korban serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalanpersoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh para oknum yang terkait melalui instrumen isu pendatang dan penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa. Konflik Poso tersebut telah membawa luka dan kesedihan mendalam di hati anak-anak konflik Poso sebagai korban penyerangan. Hal ini membuat anak-anak menanggung segala resiko atas peristiwa yang dialami tanah kelahiran mereka. Sebagai anak Indonesia, mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban orang dewasa untuk melindungi dan menjaganya 13 sebagaimana tertulis dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Bab III Pasal 4 s/d 18. Struktur sosial pengungsi di Malewa sangat heterogen .baik dari segi etnis, ekonomi maupun pendidikan. Tetapi sebagian besar pengungsi adalah suku pamona dan juga kehidupan ekonomi mereka adalah menengah kebawah. Dari jumlah keseluruhan pengungsi di Malewa dan sekitarnya 40% adalah anak-anak. Sesuai dengan judul penulis yang menfokuskan bagaimana peran pemerintah terhadap anak-anak pasca konflik di Malewa. Penulis menemukan sejumlah anak-anak pada kategori menengah ke bawah, sedangkan kondisi anak-anak pada kategori menengah ke atas yang hidup terpisah dari komunitas Malewa tidak mendapat perhatian khusus dalam penelitian ini. Keberadaan anak-anak Malewa memang tidak menguntungkan seperti teman-teman seusianya yang lain. Jumlah keseluruhan anak-anak yang berada di pengungsian Malewa sebanyak 193 anak. Anak-anak tersebut mengalami berbagai dampak dari konflik Poso yang terjadi. Di bawah ini tabel dampak konflik yang dialami oleh sebagian anak yang berada di pengungsian di Malewa. C. Dampak konflik terhadap anak –anak di pengungsian Malewa Keberadaan anak – anak yang hidup dalam situasi konflik maupun pasca konflik kerusuhan poso. Keberadaan mereka memang tidak menguntungkan seperti teman – teman seusianya yang lain. Mereka mengalami masalah – masalah dan kesengsaraan – kesengsaraan seperti; Usia 6-18 Tahun kehilangan Orang Tua, Usia 6-15 Tahun menjadi anak Yatim piatu, Usia 0-18 14 Tahun kehilangan Tempat tinggal, Usia 0-18 Tahun Putus sekolah dan Usia 6-18 Tahun cacat. 11 Anak-anak korban konflik mengalami masalah-masalah dan kesengsaraan yang mau tidak mau harus mereka hadapi setiap hari. Fenomena yang terjadi selama mengadakan penelitian khususnya di bidang pendidikan bagi anak –anak pengungsi dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Banyak sekali anak-anak yang putus sekolah akibat konflik Poso. Pendidikan anak tampaknya terabaikannya hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan dikarenakan tidak adanya jaminan dalam memperoleh pendidikan. Sudah seharunya anak-anak di tempat pengungsian bisa terus mendapatkan hak pendidikan mereka, kenyataanya selama di pengungsian banyak anak putus sekolah. Karena sarana dan prasarana tidak memadai serta orang tua pun tidak mampu dalam menyekolahkan anaknya. Padahal sebenarnya pendidikan bagi anak pengungsi tidak dipungut biaya dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Upaya –upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso oleh Dinas Sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan dan berkreasi sudah sering dilakukan, akan tetapi, upaya-upaya tersebut sampai saat ini belum memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan. Arif Gosita berpendapat bahwa Perlindungan Anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.12 11 Hasil Wawancara dengan Ketua RT 01 RW.02 Desa Peterodungi (Pengungsian Malewa), Tanggal 21 Juli 2011 15 Menurut Undang - Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Hak dan Kewajiban Anak:13 1) Pada prinsipnya setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4) 2) Di bidang kesehatan, anak-anak mendapatkan hak pelayanan kesehatan dan jaminan sosial (Pasal 8) 3) Di bidang pendidikan, anak-anak mempunyai hak dan memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka mengembangkan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, termasuk anak cacat dan anak dengan keunggulan (Pasal 9 ayat (1) dan (2) 4) Setiap anak selama pengasuhan orang tua,wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (ekonomi dan seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13) dan, 5) Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, serta peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dan perang (Pasal 15) Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya penyalah gunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif dan mengalami 12 13 Gultom Maidin,op.cit., hal 38 Saraswati Rika, op.cit., hal 30 16 berbagai tindakan kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak. Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia, karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai mahkluk ciptaan–Nya. Dari aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus perjuangan bangsa dan penentu masa depan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut ke dalam suatu Program Nasional Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “. 14 Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 Pasal 60 ditentukan, anak dalam situasi darurat yang terdiri atas anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata. Undang-undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 memberikan Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sesuai Pasal 61 (b) perlakuan khusus juga dilakukan terhadap anak –anak dalam situasi darurat seperti anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan dan anak dalam situasi konflik bersenjata, Sedangkan menurut Pasal 62 (a), anak-anak korban kerusuhan dilaksanakan melalui : a) pemenuhan kebutuhan dasar (pangan , 14 Kebijakan pengembangan kota layak , kementrian pemberdayaan perempuan republic Indonesia .2006. hal 24 17 sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berkreasi, jaminan keamanan, dan jaminan persamaan perlakuan. Akan tetapi anak – anak pengungsi membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah setempat dalam pelaksanaanya sesuai dengan Undang-undang No 23 Tahun 2002 Pasal 62 (a) pelaksanaan pemenuhan kebutuhan anak yang meliputi kebutuhan gizi, pelayanan kesehatan, tempat perlindungan yang aman seperti alas dan selimut di pengungsian Malewa. Tetapi pelaksanaanya tidak terlaksanakan. Komisariat Tinggi PBB untuk pengungsi yaitu UNHCR merupakan lembaga internasional yang diberi mandat untuk memberikan perlindungan internasional terhadap pengungsi dan memberikan solusi permanen terhadap para pengungsi. Terkait dengan pemberian perlindungan terhadap pengungsi anak Poso, UNHCR telah melakukan berbagai program baik di bidang pendidikan, kesehatan hingga psikologis. Hal ini bertujuan supaya anak dalam pengungsian atau pengungsi anak tetap terjamin kesejahteraan serta hak-haknya sebagai anak. Namun Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering terjadi yang tercermin pada masih adanya anak-anak yang membutuhkan pertolongan dalam pemenuhan hak dan kewajiban anak. Hal ini dikarenakan implementasi dari pada suatu peraturan belum sepenuhnya dijalankan atau andaipun ada peraturan belum juga dilaksanakan implementasinya oleh Dinas kesejahteraan Anak. 18 pada tataran Kewajiban dan Tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 menentukan Negara dan Pemerintah dinas kesejahteraan anak berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak untuk terpenuhi hak dan kewajiban anak pengungsian poso khususnya pengungsian Malewa, semakin jelas bahwa pemerintah Indonesia memiliki cukup kepedulian terhadap masalah perlindungan anak.15 Namun satu hal yang dipertanyakan adalah walaupun telah memiliki perangkat hukum yang cukup jelas perlindungan anak di negeri ini masih memperlihatkan hasil yang jauh dari kesan baik. Tampak jelas dengan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban anak –anak pengungsi di pengungsian malewa. Salah satu realitas yang banyak dijumpai ketika penulis melakukan penelitian di tempat pengungsian Malewa. Khususnya di bidang pendidikan bagi anak-anak pengungsi dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Banyak anak-anak yang putus sekolah akibat konflik Poso. Hal ini disebabkan karena ketiadaan dana untuk biaya pendidikan. Disamping itu, Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat konflik di Poso sering dilakukan, akan tetapi upaya-upaya tersebut sampai saat ini belum memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan. Pada tanggal 23 july 2011, penulis melakukan wawancara kepada orang tua anak pasca konflik, mengatakan bahwa semenjak konflik Poso, harta 15 Gultom Maidin, op.cit., hal 38 19 benda hilang semuanya, untuk membiayai anak-anak sekolah saya sudah tidak sanggup, begitu juga janji-janji pemerintah untuk sekolah gratis bagi anak-anak pasca konflik hingga saat ini tidak nampak.16 Pada tanggal 27 july 2011,penulis melakukan wawancara kepada Kepala Dinas Sosial kabupaten Poso, dalam situasi konflik, anak-anak tereksploitasi untuk bekerja. Eksploitasi anak-anak pengungsi konflik Poso, bahkan dilakukan oleh Dinas sosial dalam program mereka yang mempekerjakan anak-anak di bidang usaha pencucian mobil dan motor. Program ini diadakan dengan alasan daripada mereka mati kelaparan lebih baik dipekerjakan. Alasan ini mengambarkan ketidakpeduliaan, ketidakpahaman posisi anakanak tersebut17 Atas peristiwa yang terjadi, Anak-anak korban pasca konflik terancam kehidupan kondusif mereka, karena: 1. Terganggunya akses terhadap pendidikan, karena mereka tidak bisa melanjutkan atau mengikuti kegiatan belajar di sekolah. 2. Terganggunya akses ekonomi keluarga yang berimbas pada minimnya pemenuhan kebutuhan dasar anak. 3. Terganggunya kehidupan sosial, karena terputusnya interaksi dan komunikasi mereka dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. 4. Kehilangan masa ceria bermain anak. 5. Beberapa anak korban konflik mengalami trauma akibat konflik yang berkepanjangan. 16 17 Wawancara tanggal 23 july 2011,orang tua anak korban pasca konflik, NN Wawancara tanggal 27 july 2011, Kepala Dinas sosial, Drs. Arnold bouw 20 6. Munculnya keberanian anak-anak sebagai korban untuk melakukan perlawanan sebagai pembelaan diri atas intimidasi dan ancaman pada dirinya. Hal ini pada nantinya akan menambah panjang rantai kekerasan. 7. Kehilangan kepekaannya terhadap kekerasan, sehingga mereka terbiasa dengan kekerasan. Sebagai bentuk pelaksanaan Dinas sosial menyelenggarakan Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan perlindungan, pelayanan, dan pemulihan khusus bagi anak korban kekerasan. Azas pengaturan perlindungan terhadap anak korban konflik adalah: - Penghormatan terhadap hak –hak anak - Kesetaran dan keadilan gender - Non diskriminasi - Kepentingan yang terbaik bagi anak dan, - Penghormatan terhadap hak – hak anak Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan bertujuan: - Mencegah segala bentuk kekerasan - Melindungi korban kekerasan - Memberikan pelayanan pemulihan kepada korban kekerasan dan, - Menyelenggarakan pemulihan secara menyeluruh kepada korban. Pemerintah Daerah Kabupaten Poso telah melakukan beberapa upaya perlindungan hak anak di Poso khususnya. Seperti program mereka yang mempekerjakan anak –anak di bidang usaha pencucian mobil dan motor program tersebut diadakan dengan alasan daripada mereka mati kelaparan 21 lebih baik dipekerjakan. Alasan pemerintah setempat seperti ini menggambarkan ketidakpedulian terhadap hak –hak anak. Tidaklah dapat dipungkiri bahwa upaya –upaya tersebut belum dapat dikatakan maksimal meskipun telah tercatat bahwa kabupaten Poso masuk sebagai nominator sebagai kota layak anak yaitu kota yang di dalamnya memberikan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam proses pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal dan sesuai harkat dan martabat. Perlindungan anak korban konflik poso diserahkan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan anak kepada Dinas Sosial Kabupaten Poso, karena dinas Pemberdayaan perempuan dan anak di kabupaten Poso hanya fokus terhadap pemberdayaan Perempuan. Maka oleh itu Dinas Sosial Kabupaten Poso mengambil kebijakan dalam urusan perlindungan khusus bagi anak korban konflik dalam memberi perlindungan bagi anak-anak korban pasca konflik poso yang tidak mampu dan anak –anak panti asuhan yang berada di Kabupaten poso. 22 D. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang hendak dikemukakan adalah: 1. Bagaimana Peran Dinas Sosial dalam pemenuhan hak-hak anak pasca konflik di pengungsian Malewa ? 2. Apa kendala –kendala dinas sosial dalam pemenuhan hak-hak anak pasca konflik di pengungsian Malewa ? E. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui pemenuhan hak-hak anak pasca konflik di pengungsian Malewa oleh Dinas sosial. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala Dinas sosial dalam pemenuhan hakhak anak pasca konflik di pengungsian Malewa. F. Metode penulisan 1. Metode penelitian dan jenis penelitian Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sosio legal, yaitu studi hukum yang dipelajari sebagai variable akibat yang timbul sebagai hasil akhir dari berbagai kekuatan dalam proses sosial. Langkah-langkah dan desain teknis penelitian hukum mengikuti pola ilmu sosial dan berakhir dengan penarikan kesimpulan18 18 Soekanto Soerjono ,Pengantar penelitian hukum , Universitas Indonesia press, Jakarta. 1984. hal 13 23 2. Sumber data Sumber informan diperoleh dari informan kunci yaitu individu yang dapat memberikan gambaran umum yang terjadi dan member penjelasan secara tepat dan benar tentang sebab-sebab munculnya gejala sosial yang terjadi 3. Data primer a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan, dengan cara wawancara (interview) mendalam dilakukan terhadap kunci informan agar data yang diperoleh dapat menjawab permasalahan dalam penelitian, sangat dipahami bahwa dalam penerapannya, wawancara mendalam memerlukan sesuatu keahlian dan ketrampilan tertentu dari pihak pewawancara19. Maka informan kunci yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Anak –anak korban konflik Poso yang mengungsi di pengungsian Malewa Keluarga korban Dinas kesejahteraan sosial kab. Poso LSM ( Church World Service ) b. Data sekunder Data sekunder adalah bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan objek penelitian seperti: Peraturan perundang-undangan 19 Ibid, hal 231 24 Laporan-laporan yang dikeluarkan oleh : surat kabar, Koran, internet, serta karya-karya tulis yang berhubungan dengan maslaah yang diteliti G. Unit amatan dan Unit Analisa 1. Unit Amatan Anak Korban Pasca konflik Dinas Sosial Kab. Poso LSM ( Church World Service ) Undang -Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Daerah No 6 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perlindungan, Pelayanan, Dan Pemulihan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan. 2. Unit Analisa Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisa adalah peran dan kendala – kendala dinas sosial kabupaten Poso dalam pemenuhan hak –hak anak korban konflik di pengungsian malewa 25