BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 1.1. Semburan Lumpur PT. Lapindo Brantas Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 29 Mei 2006. Ketika itu lumpur panas menyembur dan menggenangi desa Renokenongo, kecamatan Porong, Sidoarjo. Semburan ini terjadi setelah PT. Lapindo Brantas mengebor sumur minyak Banjar Panji di Porong. Tiba-tiba terjadi ledakan yang mengeluarkan gas putih dan semburan lumpur kencang 1 . Semburan lumpur meningkat dengan cepat dan menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Volume semburan lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Diduga terjadi kesalahan prosedur dalam pengeboran yang dilakukan PT. Lapindo Brantas. Pemicu semburan lumpur tersebut terkait dengan kegiatan pengeboran di sumur Banjar Panji 1 Porong Sidoarjo pada tanggal 27-29 Mei 2006 dilanjutkan dengan tindakan-tindakan pasca insiden tanggal 30 Mei – 3 Juni 2006. Perdebatan seputar penyebab pasti semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo masih terus berlanjut bahkan sampai saat ini. Akan tetapi, tidak ada 1 Tempo, 18 Juni 2006, “Memburu Gas, Memanen Lumpur” 1 2 yang bisa membantah bahwa semburan lumpur tersebut telah mengakibatkan kerugian yang luar biasa besar. Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat Porong Sidoarjo, bahkan bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Genangan lumpur hingga setinggi 6 meter menutupi pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol MalangSurabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur, dan terganggunya jalur kereta api yang relnya membengkok akibat panasnya lumpur.2 1. 2. Semburan Lumpur Lapindo dan Frame Media Massa Apa yang terjadi di Sidoarjo ini tidak luput dari perhatian media massa. Walaupun berita-berita mengenai peristiwa ini pada awalnya tenggelam oleh pemberitaan bencana gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006, sejak pertengahan Juni 2006 hingga awal Juli 2007, peristiwa semburan lumpur ini menghiasi halaman-halaman utama media cetak nasional. 2 Wikipedia Indonesia, “Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006”, http://wikipedia.com 3 Hampir semua media cetak nasional menjadikan peristiwa ini sebagai materi berita dan foto headline di halaman pertamanya. Media massa, memiliki fungsi-fungsi bagi masyarakat. Melvin De Fleur melihat ada enam fungsi utama media massa. Pertama, fungsi informasi (surveillance functions). Kedua, fungsi agenda setting (set agendas). Ketiga, fungsi penghubung antar kelompok dalam masyarakat (connect). Keempat, fungsi pendidikan (educate). Kelima, fungsi mempengaruhi (persuade). Keenam, fungsi menghibur (entertain)3. Selain fungsi pemberi informasi dan menghibur, sebagai sarana komunikasi/penghubung antar kelompok masyarakat, dan sarana pendidikan, ada dua fungsi media massa yang bersifat advokatif. Fungsi agenda setting, media massa berperan sebagai pembentuk agenda/opini di dalam masyarakat melalui konstruksi realitas yang disajikan dalam pemberitaannya. Melalui konstruksi media massa, khalayak pembaca dapat digiring untuk mempunyai opini tertentu tentang sebuah peristiwa. Demikian juga dengan fungsi mempengaruhi (persuade), media massa melalui konstruksi realitas yang dibangunnya bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk mempengaruhi khalayak pembacanya, bahkan mempengaruhi penguasa/pembuat kebijakan. Fungsi ini kadang-kadang bahkan membuat media massa berada pada posisi konfrontatif dengan penguasa. Lebih jauh lagi, seperti yang dikutip Agus Sudibyo, seorang ahli komunikasi dan sosiolog, William Gamson mengatakan bahwa wacana media 3 Melvin de Fleur, Theories of Mass Communication, New York: David McKay, 1975. 4 adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa4. Bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu peristiwa menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu peristiwa. Kemasan media atas suatu isu atau peristiwa inilah yang disebut Gamson sebagai Frame. Dalam suatu peristiwa frame berperan dalam mengorganisasi pengalaman dan petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Dalam pemahaman ini, frame berperan dan menjadi aspek yang menentukan dalam partisipasi gerakan sosial. Menurut Gamson, keberhasilan dari suatu gerakan sosial terletak pada bagaimana suatu peristiwa dibingkai sebagai menimbulkan tindakan kolektif. Proses pembentukan bingkai tersebut melibatkan proses yang dinamakan konstruksi frame. Frame menyediakan sebuah cerita yang membantu individu menafsirkan realitas dan menempatkan cerita tersebut dalam posisi tertentu. Frame menempatkan dan menafsirkan suatu isu atau peristiwa sebagai masalah bersama, bukan masalah individu. Frame juga mendefinisikan apa masalah bersama tersebut dan dengan cara apa masalah tersebut diselesaikan. Frame yang tepat dapat memenangkan debat publik. Frame memainkan peran dalam memobilisasi individu yang pasif agar aktif masuk dalam kelompok. Menurut Gamson, dalam gerakan sosial paling tidak membutuhkan tiga frame. 5 Pertama, agregate frame, yaitu proses pendefinisian isu sebagai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar frame atas peristiwa tersebut sadar bahwa isu tersebut adalah masalah bersama yang berpengaruh 4 5 Agus Sudibyo, “Tinjauan Teoritis Framing”, Pantau, No.10, 2001, hlm 120-123 William A. Gamson, Talking Politics, Cambridge: Cambridge University Press, 1992, hlm.1-8 5 bagi setiap individu. Kedua, Consensus frame, yaitu proses pendefinisian bahwa masalah sosial hanya dapat diselesaikan oleh tindakan kolektif. Ini mengonstruksi perasaan dan identifikasi dari individu untuk bertindak secara kolektif. Ketiga, collective action frame, yaitu pendefinisan mengapa dibutuhkan tindakan kolektif dan tindakan kolektif apa yang harus dilakukan. Frame ini mengikat perasaan kolektif khalayak agar terlibat bersama-sama dalam suatu gerakan sosial. Collective action frame ini dikonstruksi lewat tiga elemen: (1) injustice frame. Ini ditandai dengan peristiwa ketidakadilan, ketimpangan sosial yang bisa menyentuh emosi khalayak. Ketimpangan atau ketidakadilan tersebut bukan keputusan intelektual melainkan konstruksi yang dibentuk. Frame ini menyediakan alasan untuk harus bertindak sesegera mungkin. (2) Agency frame. Ini berkaitan dengan pembentukan konstruksi siapa kawan siapa lawan, siapa pihak kita dan siapa pihak mereka. (3) Identity Frame. Dalam frame ini bukan hanya siapa kita dan siapa mereka, tetapi juga mengidentifikasi bahwa kita berbeda dengan mereka. Kita begini, mereka begitu, dan seterusnya. Dalam kaitannya dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, merupakan sesuatu yang menarik untuk melihat apakah media massa telah menjalankan fungsi-fungsi advokatifnya untuk membentuk agenda (agenda setter) dan mendorong (persuade) terjadinya gerakan sosial menentang ketidakadilan dalam konstruksi realitas pemberitaannya. Sebagai berita, peristiwa semburan lumpur yang menyebabkan kerugian dalam skala yang begitu besar ini mempunyai nilai jual yang sangat tinggi. Khalayak pembaca 6 ingin memperoleh informasi yang seluas-luasnya mengenai peristiwa ini. Bencana semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo pun telah menimbulkan gejolak sosial yang luar biasa dan mengundang reaksi masyarakat secara luas. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana peran media massa dalam pembentukan aggregate frame, consensus frame, dan collective action frame di atas. Bagaimana media massa mendefinisikan ketidakadilan atau ketimpangan sosial yang terjadi di Sidoarjo, yang menyentuh emosi khalayak (elemen injustice frame), dan mengonstruksi pihak mana yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut (agency frame) serta memberi identifikasi kepada khalayak untuk berada di pihak mana (identity frame). 1.3. Exclusion and Embrace Dalam kaitannya dengan frame ketidakadilan atau ketimpangan sosial (injustice frame) dalam konstruksi pemberitaan mengenai peristiwa bencana semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, penulis tertarik untuk merefleksikannya dengan pemikiran Miroslav Volf dalam bukunya Exclusion and Embrace6. Ketidakadilan menurut Volf adalah tindakan exclusion, penolakan. Menurut Volf ada dua aspek dalam exclusion, yaitu yang pertama memutuskan ikatan hubungan, melepaskan diri pola hubungan yang saling membutuhkan (interdependence), dan menempatkan diri pada posisi eksklusif (sovereign independence). Aspek yang kedua adalah menghapuskan perbedaan atau 6 Miroslav Volf, Exclusion and Embrace. Nashville: Abingdon Press. 1996 7 keberbedaan, menolak untuk memandang sesama yang berbeda sebagai bagian dari sebuah hubungan yang saling membutuhkan. 7 Untuk memperoleh keadilan kita perlu melakukan embrace. Volf mengatakan dalam bukunya: ‘If you want justice without injustice, you must want love. A world of perfect justice is a world of love.’8 dan, ‘There can be no justice without the will to embrace’. Bila kita menginginkan keadilan yang murni tanpa ada pihak yang diperlakukan tidak adil karena keadilan kita, maka jawabannya adalah kasih. Dunia keadilan yang sempurna adalah dunia kasih, dan tidak akan ada keadilan tanpa keinginan untuk memeluk (embrace). Melalui embrace, akan terjadi rekonsiliasi yang sempurna (full reconcilliation), di mana semua pihak yang terlibat mencapai penyelesaian yang utuh dan tuntas. Walaupun demikian, Volf mengatakan juga bahwa ‘no genuine and lasting embrace without justice’ 9 . Tidak akan terjadi embrace sebagai kata benda) yang sempurna dan berkelanjutan tanpa adanya keadilan. Kerelaan untuk menerima terletak pada kerelaan untuk mengikuti teladan Salib, yaitu kasih yang rela mengorbankan diri sendiri. Kasih Allah yang rela mengorbankan diri sendiri itulah yang memungkinkan adanya hubungan antara keadilan dan embrace, dan yang memberi makna bagi keadilan yang demikian.10 7 Volf, hlm 67 Volf, op.cit. hal 223 9 Ibid, hal.216 10 Volf mengatakan “All sufferers can find comfort in the solidarity of the Crucified; but only those who struggle against evil by following the example of the Crucified will discover him at their side. To claim the comfort od the Crucified while rejecting his way to advocate not only cheap grace but a deceitful theology.” (hal. 24) 8 8 Dengan mengadopsi pemikiran Miroslav Volf ini, penulis akan mencoba melakukan refleksi teologis terhadap framing pemberitaan harian Kompas mengenai peristiwa bencana semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan-pertanyaan ini: 1. Frame seperti apakah yang dipakai harian Kompas untuk mengonstruksikan realitas bencana semburan lumpur Lapindo dalam pemberitaannya, sehingga realitas yang dikonstruksi media tersebut dalam pemberitaannya menunjukkan ketidakadilan yang terjadi? 2. Apakah harian Kompas menjalankan fungsi advokatifnya sebagai agenda setter dan alat persuasi untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi ketidakadilan yang terjadi, dan membela masyarakat yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo? 3. Melalui refleksi teologis dengan mengadopsi pemikiran Miroslav Volf dalam bukunya exclusion and embrace, apakah dapat diberikan kontribusi pemikiran kepada media cetak di Indonesia, khususnya dalam memberi alternatif pilihan frame pemberitaan peristiwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo? 9 3. Batasan Masalah Dalam tesis ini penulis akan melakukan penelitian dengan metode analisis framing terhadap sebuah institusi media cetak terkemuka di Indonesia, yaitu harian Kompas. Institusi ini dipilih karena bertiras besar dan mempunyai sebaran sirkulasi berskala nasional. Harian ini juga konsisten menyajikan berita-berita mengenai bencana semburan lumpur Lapindo. Pemberitaan mengenai bencana semburan lumpur Lapindo masih terus berlangsung hingga saat ini, namun penulis membatasi penelitian ini dengan batasan waktu Juni 2006, ketika berita tentang semburan lumpur mulai muncul di media massa, sampai Juni 2007. Lebih detail lagi adalah obyek yang akan diteliti dalam harian tersebut meliputi: pilihan diksi dan judul, penggunaan foto dan grafis untuk mendukung berita, dan pemakaian metafora untuk mendukung isi berita yang disajikan. Analisis framing yang digunakan dalam penelitian adalah seperti yang telah dijabarkan di atas, yaitu mengadopsi formulasi William Gamson.11 4. Tujuan Penelitian dan Signifikansi Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian tesis ini adalah mengetahui seperti apakah frame yang dipakai harian Kompas dalam mengonstruksi berita semburan lumpur Lapindo, dan apakah media cetak tersebut menjalankan fungsi advokatifnya sebagai agenda setter dan alat persuasi untuk 11 William A. Gamson and Andre Modigliani, “Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power: A Constructionist Approach”, American Journal of Sociology, vol.95, no.1, 1989 10 melakukan sesuatu untuk mengatasi ketidakadilan yang terjadi, dan membela masyarakat yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo Melalui refleksi teologis dengan mengadopsi pemikiran exclusion and embrace, penulis juga ingin memberikan kontribusi pemikiran kepada media cetak di Indonesia, khususnya dalam memberi alternatif pilihan frame pemberitaan peristiwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo. 5. Metodologi Penelitian 5. 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan penulis bersifat eksplanatif, yaitu suatu penelitian yang bertitik tolak pada pertayaan dasar ‘mengapa’. Kita tidak akan puas bila hanya mengetahui apa yang terjadi dan bagaimana terjadinya, tetapi ingin juga mengetahui mengapa bisa terjadi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis framing, untuk melihat bagaimana media mengonstruksi realitas. Metode ini akan menganalisa perangkat-perangkat retoris teks berita berdasarkan formula Gamson. Dengan formula ini analisis framing akan mengidentifikasi perangkat retoris (framing device dan reasoning device) yang terdapat dalam isi berita mengenai bencana semburan lumpur Lapindo, lalu menentukan frame dan mencari tahu tendensi dari frame tersebut. 11 5. 2. Teknik Pengumpulan Data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan ada dua yaitu: Data primer, yang diperoleh penulis dari berita-berita harian Kompas dalam kurun waktu antara Juni 2006, ketika berita tentang semburan lumpur mulai muncul di media massa, sampai Juni 2007. Data sekunder, data pendukung penulis dari bacaan-bacaan, dan digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini. 6. Sistematika Penulisan Penulisan tesis dilakukan dengan menggunakan sistematika sebagai berikut: Bab I. Bab ini berisi Pendahuluan, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Judul, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Bab II. Dalam bab ini akan disajikan landasan teori yang dipakai untuk melakukan penelitian dalam tesis ini, yaitu teori framing. Bab ini berisi penjelasan mengenai pengertian framing, aspek-aspek yang terdapat di dalamnya, dan model analisis framing yang dipakai dalam penelitian ini. Selain itu dalam bab ini juga akan disajikan tinjauan umum mengenai harian Kompas, yang menjadi obyek penelitian dalam tesis ini. Bab III. Bagian pertama dari bab ini akan diisi dengan data-data yang menggambarkan seperti apa peristiwa bencana semburan lumpur Lapindo di 12 Sidoarjo, yaitu kronologi peristiwa yang mengawali semburan lumpur, dan data mengenai kerusakan yang diakibatkan oleh semburan lumpur Lapindo. Kemudian dilanjutkan dengan analisis framing terhadap bagaimana harian Kompas menyajikan peristiwa semburan lumpur Lapindo tersebut dalam pemberitaannya, dengan batasan waktu antara Juni 2006, ketika berita tentang semburan lumpur mulai muncul di media massa, sampai Juni 2007. Bab IV. Bab ini berisi refleksi teologis terhadap frame yang dipakai dalam pemberitaan Kompas tentang kasus Lumpur Lapindo, dengan mengadopsi pemikiran Miroslav Volf dalam bukunya Exclusion and Embrace. Bab V. Bab ini merupakan penutup, yang berisi kesimpulan hasil penelitian dalam tesis ini.